1 pengaruh terapi madu terhadap luka diabetik pada pasien

advertisement
PENGARUH TERAPI MADU TERHADAP LUKA DIABETIK
PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2
DI RW 011 KELURAHAN PEGIRIAN SURABAYA
Fauziyah Sundari*, Hendro Djoko**
ABSTRAK
Pendahuluan: Salah satu alternatif perawatan luka diabetik adalah menggunakan terapi madu.
Madu memiliki kandungan air dan kelembapan yang cukup sehingga tidak mendukung bakteri
untuk bertumbuh dan berkembangbiak. Survey yang dilakukan di daerah kelurahan Pegirian
Surabaya, masih ada pasien DM yang mengalami luka diabetik dan melakukan perawatan
menggunakan air dan betadin, larutan NaCl 0,9% dan serbuk Nebacetin. Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi madu terhadap luka diabetik. Metode: Desain
penelitian menggunakan pra eksperimental dengan pendekatan one-group pre-post test. Populasi
penelitian adalah pasien yang menderita luka diabetik sejumlah 10 orang, sampel diambil dengan
menggunakan teknik Non Probability Sampling dengan pendekatan Total Sampling. Pengumpulan
data menggunakan lembar observasi. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan derajat luka diabetik
sebelum dilakukan terapi madu sebagian besar dalam kategori berat yaitu 9 responden (90%).
Derajat luka diabetik setelah pemberian terapi madu diperoleh sebanyak 4 responden (40%) dalam
kategori sedang. Uji statistik menggunakan Wilcoxon didapatkan tingkat signifikasi 0,023 (ρ<0,05)
yang berarti ada pengaruh pemberian terapi madu terhadap luka diabetik pada pasien DM tipe 2.
Diskusi: Dengan demikian, terapi madu sangat membantu dalam proses penyembuhan luka
diabetik pasien, sehingga di harapkan terapi ini dapat di jadikan pengobatan alternatif untuk
penyembuhan luka diabetik
Kata Kunci : Luka diabetik, Terapi madu
ABSTRACT
Introduction: One of alternative diabetic wounds is using honey therapy. Honey has enough
moisture and that moisture does not supported bacteria to grows and multiplies. The survey
conducted in Pegirian, Surabaya, there are diabetic patients who suffer diabetic wounds and did
maintenance used water and betadin, 0.9% NaCl solution and Nebacetin powder. The purpose of
this study is to determine the effect of honey therapy on diabetic wounds in RW 011, Pegirian
Surabaya. Methods: This studied design used pre experimental with one-group pre-post test
approach. The population of the study were 10 patients suffering diabetic wounds, the sample was
taken using Non Probability Sampling technique with Total Sampling approach. Data collection
used with observation sheets. Results: The results showed that the 9 respondents (90%) degree of
diabetic injuries before the honey therapy was mostly in the heavy category, and the degree of
diabetic injury after honey therapy was obtained by 4 respondents (40%) in the moderate category.
The statistic test used Wilcoxon showed that 0,023 (ρ <0,05) significance level, that means there
was effect of honey therapy on diabetic wounds in diabetes type 2 patient. Discussions: Thus, the
honey therapy is very helpful in patient's diabetic wounds healing process, so this therapy can be
made alternative medicine for healing diabetic wounds.
Keywords: Diabetic wounds, Honey Therap
1
Kelurahan Pegirian, Kecamatan Semampir
Surabaya Jawa Timur, terdapat beberapa
penderita DM yang mengalami masalah
pada kakinya dan melakukan perawatan
pada lukanya dengan menggunakan air dan
betadin saja, beberapa yang menggunakan
larutan NaCl 0,9%, dan serbuk nebacetin.
Menurut WHO (2007),
Indonesia
termasuk sepuluh negara dengan jumlah
kasus DM terbanyak di dunia. Pada tahun
2000, Indonesia berada pada peringkat
keempat dengan jumlah kasus sebesar 8,4
juta orang, dan diperkirakan pada tahun
2020 nanti akan menjadi 300 juta orang
bahkan
diprediksi
jumlahnya
akan
meningkat pada tahun 2030 menjadi 366
juta orang. (Depkes RI, 2008). Saat ini,
sebanyak 17 provinsi di Indonesia,
mempunyai prevalensi DM di atas
prevalensi nasional (1,1%), diantaranya
Aceh, Sumatra Barat, Riau, Bangka
Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, NTB, NTT, Kaltim, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan
Papua Barat. Pasien DM di Jawa Timur
sendiri sudah mencapai 2,9% dari jumlah
penduduk. Pada tahun 2009-2010, DM
menduduki urutan ke-5 penyakit terbanyak
di puskesmas se-Jawa Timur setelah
influensa, diare, hipertensi, dan tifus yaitu
sebesar 3,66% pada tahun 2009 dan 3,61%
pada tahun 2010 (DinKes Jatim, 2010).
Seperti pernyataan sebelumnya diatas,
masyarakat yang menderita DM di RW 011
kelurahan Pegirian, kecamatan Semampir,
Surabaya belum mengetahui perawatan
luka diabetik yang tepat, beberapa pasien
menolak pergi berobat karena faktor
ekonomi, dan ada yang melakukan
perawatan kakinya menggunakan air dan
betadin, ada pula yang merawatnya
menggunakan cairan NaCl 0,9%. Penelitian
Faisol
(2015),
tentang
Efektivitas
Pemberian Madu Terhadap Luka Diabetik
menunjukkan bahwa setelah dilakukan
perawatan didapatkan adanya pertumbuhan
jaringan granulasi yang baru, tidak ada
reaksi inflamasi, dan kedalaman luka
berkurang, warna jaringan kemerahan, serta
jumlah eksudat berkurang.
DM terjadi karena beberapa faktor yaitu
faktor genetik, obesitas, kurang gerak,
faktor makanan, hingga dapat terjadi
komplikasi terjadinya luka pada kaki. Pada
PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) sering dikenal
sebagai
penyakit
“kencing
manis”
merupakan masalah kesehatan yang
ditandai dengan kadar gula darah tinggi
dalam darah yang disebabkan oleh
gangguan pada sekresi insulin, gangguan
kerja insulin atau keduanya. Menurut
.American Diabetes Association (ADA)
2010, mendefinisikan DM sebagai suatu
kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin. Pada
keadaan normal kadar gula diatur
sedemikian rupa oleh insulin yang
diproduksi oleh sel beta pankreas. Jika
terjadi gangguan pada organ pankreas maka
tidak
menutup
kemungkinan
dapat
menyebabkan tubuh kekurangan insulin.
Pada
kondisi
hiperglikemi
dapat
melemahkan kapasitas sekresi insulin dan
menambah berat resistensi insulin yang
dapat mempengaruhi proses metabolik
dalam
tubuh
(Suharmiati,
2003).
Hiperglikemi bila berkepanjangan dan tidak
dikontrol dengan baik menyebabkan
komplikasi angiopati dan neuropati. Kedua
hal ini yang menyebabkan gangguan
sirkulasi darah yang akan menghambat
suplai oksigen pada serabut saraf dan
kerusakan endotel pembuluh darah, hal ini
akan memicu tumbuhnya bakteri terutama
bakteri anaerob sehingga pada akhirnya
timbul luka kaki diabetik. Pada luka
diabetik, kulit dan jaringan sekitar luka
akan
berwarna
kehitaman
dan
menimbulkan bau dimana kondisi ini
memerlukan perawatan agar tidak terjadi
masalah yang lebih berat. Berdasarkan hasil
studi empiris, telah banyak hasil alam yang
dapat dijadikan sebagai pengobatan
alternatif penyembuhan luka diabetik, salah
satunya adalah penggunaaan madu. Madu
memiliki kandungan gula yang sangat
tinggi yang dapat membantu membentuk
lapisan pelindung yang mencegah bakteri
masuk
sekaligus
menghambat
pertumbuhan bakteri. Selain itu, madu juga
mengandung berbagai macam enzim salah
satunya enzim katalase yang memberi efek
pemulihan pada luka (Hamad & Sa’id,
2007).
Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan oleh peneliti
di RW 011
2
penderita DM dapat pula terjadi gangguan
berupa kerusakan sistem syaraf (neuropati)
yang terbagi menjadi tiga kelompok
(kerusakan sistem saraf perifer, kerusakan
sistem saraf otonom, dan kerusakan sistem
saraf motorik). Kerusakan sistem saraf
perifer pada umumnya dapat menimbulkan
gejala kesemutan, nyeri pada tangan dan
kaki, serta berkurangnya sensitivitas atau
mati rasa (intensitivity), dimana kondisi ini
akan sangat berbahaya karena penderita
tidak dapat merasakan apa-apa sekalipun
kakinya terluka, yang pada akhirnya
mengakibatkan penderita terlambat untuk
menyadari bahwa kakinya sudah terluka.
Hal tersebut semakin diperparah karena
kaki yang terluka tersebut tidak dirawat
dengan baik dan mendapat perhatian serius,
sehingga luka sukar sembuh bahkan akan
menjadi borok/ulkus. Selanjutnya ulkus
berkembang menjadi kematian jaringan,
dan menyebabkan gangren. Dampak
selanjutnya yang dapat terjadi pada pasien
DM adalah komplikasi akut dan komplikasi
kronik. Komplikasi akut biasanya terjadi
ketoasidosis diabetik (KAD), hipoglikemi,
asidosis laktat, dan infeksi berat. Sedangkan
pada komplikasi kronik yang terjadi yaitu
Penyakit Jantung Koroner (PJK), stroke,
retinopati, nefropati, neuropati, dan ulkus
pada kaki (Price & Wilson, 2005). Pasien
DM,
memerlukan
pengobatan
dan
perawatan luka yang baik. Pengetahuan dan
pemahaman keluarga juga mempengaruhi
tindakan yang dilakukan terhadap luka
diabetik.
Penanganan luka diabetik dapat dilakukan
dengan terapi farmakologis maupun terapi
non farmakologis. Terapi farmakologis
meliputi pemberian suntikan insulin, obat
hipoglikemik
oral
(OHO).
Madu
merupakan
salahsatu
terapi
nonfarmakologis yang bisa diberikan dalam
perawatan luka DM. Pemberian terapi
madu
dapat
dilakukan
dengan
membersihkan terlebih dahulu luka dengan
cairan NaCl 0,9% , kemudian dilakukan
debridement (bila terdapat jaringan
nekrosis), selanjutnya dibersihkan kembali
dengan cairan NaCl 0,9%, dikeringkan
dengan kasa kering, kemudian diberikan 23 tetes madu di atas luka, diratakan dan
ditutup dengan kasa kering. Berbagai
penelitian ilmiah membuktikan bahwa
kandungan fisika dan kimiawi dalam madu,
seperti kadar keasaman dan pengaruh
osmotik, berperan besar membunuh kumankuman. Selain itu, madu juga mengandung
antibiotika
sebagai
antibakteri
dan
antiseptik untuk menjaga luka, sekaligus
embantu mengatasi infeksi pada luka
bahkan anti inflamasinya dapat mengurangi
nyeri serta meningkatkan sirkulasi yang
memberi
kontribusi
pada
proses
penyembuhan. Madu juga merangsang
tumbuhnya jaringan baru, sehingga
mengurangi timbulnya parut atau bekas
luka pada kulit. Pengetahuan dan kepatuhan
pasien DM merupakan salah satu upaya
untuk mencegah infeksi, maupun mencegah
kerusakan kulit semakin parah. Perawatan
luka diabetik dapat dilakukan secara
berkala dengan membersihkan dua kali
dalam sehari. Para tenaga kesehatan perlu
memberikan edukasi pada pasien maupun
keluarganya.
Berdasarkan
pemaparan
diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui
lebih jauh efektivitas terapi madu pada
pasien DM dengan luka diabetik di RW 11
kelurahan Pegirian, kecamatan Semampir,
Surabaya.
METODE
Peneliti
menggunakan
desain
penelitian
pre-eksperimental
dengan
pendekatan one group pra-post test design.
Teknik sampling yang digunakan adalah
Non
Probability
Sampling
dengan
pendekatan Purposive Sampling. Dalam
penelitian ini, cara menyelesaikan sampel
dengan cara mengobservasi luka diabetik
sebelum dan sesudah terapi madu.
HASIL
Tabel
1.
Karakteristik
responden
berdasarkan jenis kelamin
di RW 011 Pegirian
Surabaya, April 2016
Jenis Kelamin Frekwensi
%
Laki-laki
9
90
Perempuan
1
10
Total
10
13
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui
mayoritas responden berjenis kelamin lakilaki sebanyak 9 orang (90%).
3
Tabel
Karakteristik
responden
berdasarkan usia di RW
011 Pegirian Surabaya,
April 2016
Usia
Frekwensi
%
55-60 thn
5
50
61-65
3
30
66-70
2
20
>70
0
0
Total
10
100
Tabel 5. Hasil pengukuran derajat luka
sesudah dilakukan terapi madu
dilakukan terapi madu di RW
011 Pegirikan, Surabaya, 2016.
No
Derajat
Jumlah Presentase
Luka
1
Ringan
3
30%
2
Sedang
4
40%
3
Berat
3
30%
Total
10
100%
Berdasarkan tabel diatas sebagian besar
responden berusia 55-60 tahun yaitu
sebanyak 5 orang (50%).
Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 4 orang
responden (40%) katagori derajat luka
termasuk derajat luka sedang.
Tabel
2.
3.
Karakteristik
responden
berdasarkan
lama
menderita luka di RW 011
Pegirian Surabaya, April
2016
Frekwensi
%
Lama
menderita
1-5 thn
6-10 thn
>10 thn
Total
7
3
0
10
Tabel 6. Tabulasi silang derajat luka
sebelum dan sesudah dilakukan
terapi madu di RW 011
Pegirikan, Surabaya, 2016.
Terapi
Pre
%
Pos
%
madu
t
70
30
0
13
Derajat Luka
Ringan
Sedang
Berat
Total
10%
3
30%
0%
4
40%
90%
3
30%
100
10
100
%
%
Hasil uji statistic wilcoxon : p = 0,023 <
0,05
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui
mayoritas lama menderita luka responden
antara 1-5 tahun sebanyak 7 orang (70%).
Tabel 4. Hasil pengukuran derajat luka
responden sebelum dilakukan
terapi madu di RW 011
Pegirikan, Surabaya, 2016.
No
Derajat Jumlah Presentase
Berdasarkan tabel diatas, terlihat
adanya perubahan derajat luka sebelum dan
sesudah diberikan terapi madu. Derajat luka
katagori ringan bertambah jumlahnya dari 1
(10%) menjadi 3 responden (30%), derajat
luka sedang juga berubah dari yang semula
tidak ada menjadi 4 responden (40%), dan
untuk derajat luka berat terjadi penurunan
dari 9 orang (90%) menjadi 3 orang (30%).
Dan dari hasil uji statistik menggunakan
Wilcoxon diperoleh ρ=0,023 yang berarti
ada pengaruh terapi madu terhadap luka
diabetikum.
Luka
1
Ringan
1
10%
2
Sedang
0
0%
3
Berat
9
90%
10
100%
Jumlah
1
0
9
10
Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 9 orang
responden (90%) katagori derajat luka
termasuk derajat luka berat.
4
disampaikan dari orang-orang disekitar
responden yang pernah mengalami hal
tersebut, namun berdasarkan pernyataan
responden tidak ada perubahan sama sekali
pada luka yang dialami responden untuk itu
responden jenuh dan enggan mencoba
menggunakan
alternatif
yang
lain.
Sedangkan diketahui apabila luka diabetik
tidak ditangani dengan baik akan
menyebabkan komplikasi yang berat
bahkan perlu melakukan tindakan serius
misalnya
amputasi
sehingga
untuk
alternative pengobatan luka diabetik bukan
hanya pengobatan medis saja tetapi ada
alternatif lain yang sekiranya murah dan
mudah dilakukan oleh responden di rumah.
Hal inilah yang menyebabkan luka diabetik
yang dialami responden termasuk katagori
berat.
Berdasarkan tabel 1, diketahui
mayoritas responden berjenis kelamin lakilaki yaitu sebanyak 9 orang (90%). Menurut
Morison, (2009), menyatakan bahwa lakilaki cenderung banyak mengalami masalah
diabetes mellitus berhubungan dengan
aktivitas yang sebanding dengan tekanan,
dimana semakin tinggi aktivitas seseorang
maka semakin tinggi pula tekanan yang
diperoleh, sehingga
laki-laki memiliki
resiko lebih tinggi mengalami luka diabetik
dibanding perempuan. Tekanan dan
kekuatan/gesekan
dapat mengganggu
sirkulasi jaringan yang akan menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah dan
mengakibatkan hipoksia serta memperbesar
pembuangan metabolik yang dapat
mengakibatkan nekrosis. Hal ini dapat
dibuktikan saat peneliti menanyakan
kepada responden, sebagian responden
meyatakan bahwa saat bekerja atau
melakukan aktivitasnya sehari-hari mereka
jarang menggunakan alas kaki, sebab
mereka menyampaikan kurang nyaman saat
menggunakan alas kaki ataupun sepatu dan
ketika kaki mengalami perlukaan mereka
tidak langsung mengobatinya.
Berdasarkan
tabel
2,
dapat
diketahui sebanyak 5 orang (42%)
responden berusia 55-60 tahun. Menurut
Riyadi dan Sukarmin (2010), menyatakan
bahwa seiring bertambahnya usia seseorang
akan mengalami penurunan fisiologis yang
cepat. Selain itu juga terjadi penurunan
sensasi rasa pada kaki dan bagian tubuh
lainnya, sehingga penurunan ini akan
PEMBAHASAN
Karakteristik Luka Diabetik Sebelum
dilakukan terapi madu
Berdasarkan tabel 4, distribusi hasil
pengukuran derajat luka sebelum dilakukan
terapi madu diperoleh 9 responden (90%)
mengalami derajat berat dan 1 responden
(10%) mengalami derajat ringan. Dari hasil
tersebut dapat dikatakan bahwa sebagian
besar responden di RW 011 Kelurahan
Pegirian Surabaya mengalami luka diabetik
dengan kategori derajat luka berat. Menurut
Prabowo, (2007 dalam Situmorang, 2009),
menyatakan bahwa luka diabetik adalah
luka yang terjadi karena adanya kelainan
pada saraf, pembuluh darah dan kemudian
adanya infeksi. Beberapa faktor yang
diduga berkaitan dengan berkembangnya
masalah luka diabetik diantaranya adalah
memiliki riwayat ulkus, gaya hidup yang
tidak sehat, , infeksi, kadar gula darah yang
tinggi. Faktor resiko yang terjadi tidak
hanya satu, akan tetapi terdapat berbagai
faktor karena faktor satu dengan faktor
yang lain saling mendukung, seperti gaya
hidup yang tidak sehat mendukung
terjadinya peningkatan kadar gula darah
yang tinggi sehingga beresiko terjadinya
luka diabetik. Berdasarkan hasil observasi
peneliti sebelum diberikan terapi madu
banyak repsonden yang mengalami luka
diabetik pada kategori berat, hal ini
disebabkan karena kurangnya informasi
tentang alternatif lain dalam membantu
penyembuhan luka diabetik selain dengan
cara medis yang dianjurkan oleh dokter,
sehingga sampai saat ini responden hanya
berfokus pada pengobatan medis saja.
Dimana kita ketahui bahwa untuk
penyembuhan luka diabetik membutuhkan
jangka waktu yang cukup panjang dan
membutuhkan biaya yang banyak pula. Hal
inilah yang menyebabkan responden
memiliki kecenderungan untuk merasa
enggan melakukan perawatan secara medis
dan
jarang
memanfaatkan
fasilitas
kesehatan yang ada. Saat peneliti mencoba
menanyakan apa saja tindakan yang
dilakukan responden untuk membantu
menyembuhkan luka diabetik yang
dialaminya, sebagian besar responden
mengatakan bahwa mencoba berbagai
alternatif lain berdasarkan informasi yang
5
dan Basal et al (2009) menyatakan bahwa
madu memiliki kandungan air 18,25%:
kelembaban/aktivitas air (AW) sebesar
0,58%: Hidrogen peroksida sebesar 0,038
mmol/L: Keasaman (pH) sebesar 3,95:
kandungan protein sebesar 0,29%: Fruktosa
sebesar 38,87%: glukosa sebesar 29,98%
dan mineral sebesar 0,20%. Rata-rata
kandungan air pada madu sekitar 17%
dengan AW sebesar 0,56-0,62 hal ini tidak
mendukung pertumbuhan kebanyakan
bakteri yang membutuhkan AW sebesar
0,94-0,99 pertumbuhan bakteri dihambat
oleh hydrogen peroksida, selain itu bakteri
pathogen hanya bisa hidup pada pH antara
4,0-4,5.Madu juga merangsang tumbuhnya
jaringan baru sehingga selain mempercepat
penyembuhan juga mengurangi timbulnya
parut atau bekas luka pada kulit.. Perawatan
luka diabetik dengan menggunakan madu
bertujuan untuk membunuh kuman
(antibakteri),
mengurangi
inflamasi
(antiinflamasi), serta menstimulasi dan
mempercepat penyembuhan luka, dilihat
dari perbedaan hasil penilaian status luka
pada
seluruh
parameter
penilaian.
Berdasarkan hasil penelitian dan dikaitkan
dengan teori, maka didapatkan bahwa Hal
ini sesuai dengan pernyataan yang
disampaikan
oleh
responden
yang
menyatakan
bahwa
lukanya
agak
mengering dan sudah lumayan membaik
dari
sebelumnya
setelah
dilakukan
perawatan menggunakan madu selama 2
minggu jaringan nekrotik berkurang secara
signifikan. selain itu saat dilakukan
observasi pada luka diabetik setelah
dilakukan terapi luka sudah tampak
mengering, sudah tampak jaringan baru
pada luka dan luka sudah tertutup oleh
lapisan benang-benang fibrin berwarna
putih halus, dan pus yang dihasilkan oleh
luka sebelumnya sudah tampak berkurang
bahkan menghilang, hal ini disebabkan oleh
responden telah dilakukan tindakan
pemberian terapi madu yang mana banyak
responden yang mengalami perubahan pada
luka diabetik menjadi kategori baik. Hal ini
juga dikarenakan responden mengikuti
prosedur yang diterapkan yaitu Perlakuan
tersebut dilakukan selama 2 minggu dengan
aturan pakai madu dioleskan pada luka
setiap hari kurang lebih sehari dua kali,
kemudian tutup luka dengan kasa kering,
anjurkan pada responden untuk luka agar
beresiko pada penurunan fungsi pankreas
untuk memproduksi insulin. Berdasarkan
data hasil penelitian yang dikaitkan dengan
teori dimana banyak responden yang
berusia 55-60 tahun, sehingga dengan
bertambahnya usia responden maka resiko
terjadinya luka akan semakin bertambah
besar seiring dengan usia responden saat
ini. Hal ini juga dapat dilihat dari
kemampuan bergerak responden yang
sudah mulai menurun dan melemahnya
fisik, sehingga hal tersebut yang dapat
memperburuk
dan
memperlambat
penyembuhan luka.
Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat
bahwa luka yang diderita responden
terbanyak adalah 1-5 tahun sejumlah 7
orang. Suyono (2004), mengatakan bahwa
penderita diabetes mellitus yang telah lama
menderita luka diabetik antara 1-5 tahun
atau lebih, apabila kadar glukosa darahnya
tidak dikendalikan dengan baik akan
muncul komplikasi yang berhubungan
dengan vaskuler sehingga responden dapat
mengalami
makroangiopati
dan
mikroangiopati yang akan mengakibatkan
menurunnya
sirkulasi
darah
akibat
tersumbatnya pembuluh darah perifer yang
akan menghambat suplai oksigen pada
serabut saraf dan kerusakan endotel
pembuluh darah, hal tersebut dapat memicu
tumbuhnya bakteri dengan subur terutama
bakteri anaerob, sehingga penyebab
timbulnya luka diabetik pada kaki.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian,
responden yang mengalami luka diabetik
bervariasi mulai derajat 1 (ringan), derajat 2
(sedang), dan derajat 3 (berat). Hal tersebut
juga dapat dikaitkan dengan faktor usia
responden dan faktor-faktor lain yang
belum diidentifikasi.
Karakteristik Luka Diabetik Setelah
Dilakukan Terapi Madu
Berdasarkan tabel 5, distribusi derajat luka
responden setelah dilakukan terapi madu,
terlihat bahwa dari 10 responden terdapat 4
orang (40%) mengalami derajat sedang,
sebanyak 3 orang (30%) mengalami derajat
ringan dan berat. Dari hasil tersebut dapat
dikatakan bahwa sebagian besar responden
di RW 011 Kelurahan Pegirian Surabaya
mengalami perubahan derajat luka setelah
dilakukan terapi madu. Menurut Molan
(1992 dalam Jeffrey dan Echazaretta, 1997)
6
tetap dalam kondisi kering. Disisi lain
dukungan dan kepercayaan dari keluarga
terhadap penyembuhan bagi lansianya juga
sangat besar dimana keluarga kooperatif
terhadap tindakan yang dilakukan peneliti.
Kelurahan Pegirian, Surabaya adalah
derajat luka kategori sedang. Dari hasil
tersebut
didapatkan
ada
pengaruh
pemberian terapi madu terhadap derajat
luka di RW 011, Kelurahan Pegirian,
Surabaya
Pengaruh Terapi Madu terhadap Luka
Diabetik
Berdasarkan tabel 6, distribusi data
pengukuran derajat luka setelah dilakukan
terapi madu terlihat bahwa dari 10
responden terdapat 3 orang (30%)
mengalami derajat ringan, sebanyak 4
orang (40%) mengalami derajat sedang dan
3 orang (30%) mengalami derajat berat.
Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa
sebagian besar responden di RW 011
Kelurahan Pegirian Surabaya mengalami
perubahan derajat luka setelah dilakukan
terapi madu. Berdasarkan hasil uji statistik
Wilcoxon menunjukkan p=0,023 yang
berarti p <0,05 dan demikian dapat
diartikan bahwa HO ditolak yang
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
madu terhadap penyembuhan luka diabetik.
Menurut Hastuti (2008), madu merupakan
salah satu obat untuk proses penyembuhan
luka yang tertua yang pernah ada, yang
berfokus
untuk
mengatasi
atau
mempercepat penyembuhan luka. Kategori
luka pada responden dari berat dapat
berubah menjadi kategori sedang atau
ringan Hal ini juga tidak terlepas dari
kemauan dan kepatuhan responden untuk
menyembuhkan luka diabetikum yang
dialaminya dimana mereka setiap harinya
selalu rajin untuk mengoleskan madu pada
daerah luka setiap harinya dan tidak lupa
diimbangi dengan pengaturan pola makan
yang baik dan menjaga kebersihan pada
daerah luka. Selain itu dukungan dari
keluarga dapat membantu dalam proses
penyembuhan pasien
sebab adanya
dukungan dapat meningkatkan kepercayaan
pasien dan menjadi penyemangat pasien
untuk sembuh.
SARAN
Hasil penelitian dapat di gunakan
sebagai metode pengobatan alternatif non
farmakalogis yang dapat membantu proses
penyembuhan luka diabetic.
Mahasiswa
mengenal
serta
memahami tentang pengaruh terapi madu
dan di harapkan mahasiswa dapat
mengaplikasikanya pada saat praktek di
lapangan atau di masyaraka
DAFTAR PUSTAKA
Adhi, Bayu, TI, Rodiyatul F. S. dan
Hermansyah,
2011.
An
Early
Detection Method of Type-22 Diabetes
Mellitus in Public Hospital. Vol.9,
No.2, Telkomnika
Al Fady Moh. Faisol, 2015. Madu dan Luka
Diabetik. Yogyakarta. KDT
Badero & Siswandi, 2009. Ilmu penyakit
dalam. Jakarta : Salemba mdika.
Corwin, 2001. Diabetes Mellitus,
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Terpadu, FKUI. Jakarta
Darmono, 2007, Diabetes Mellitus Ditinjau
dari Berbagai Aspek Penyakit Dalam.
Diterjemahkan oleh : CV. Agung,
Semarang
Grestein, Ben. Diana Wood, 2010. At a
Glance Sistem Endokrin edisi 2
Jakarta:Penerbit Erlangga
Haviva, A.B. 2011. Dahsyatnya Mukjizat
Madu untuk Kesehatan, Kecantikan,
dan Kecerdasan. Jogjakarta: DIVA
Press.
Hidayat, A.A. 2006. Pengantar Kebutuhan
Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika
Hastuti, R.T. 2008. “Faktor-Faktor Resiko
Ulkus Diabetika Pada Penderita
Diabtes Mellitus; Studi Kasus di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.
Tidak
Diterbitkan.
Tesis.
SIMPULAN
Derajat luka diabetik responden
sebelum pemberian terapi madu, di RW
011, Kelurahan Pegirian, Surabaya adalah
derajat luka kategori berat. Sedangkan
derajat luka diabetik responden sesudah
pemberian terapi madu, di
RW 011,
7
Semarang:PS. Magister Epidemiologi
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Mansjoer , A., et al. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Jakarta :
Media Aesculapius
Nursalam. 2003, konsep dan penerapan
Metodologi
Penelitian
Ilmu
Keperawatan. Jakarta : Salemba
Situmorang, L.L. 2009. “Efektivitas Madu
Terhadap
Penyembuhan
Luka
Gangren Diabetes Mellitus di RSUP
H.Adam Malik Medan”. Tidak
Diterbitkan. Skripsi. Sumatera Utara:
PSIK FK Universitas Sumatera Utara.
Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G. 2002. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Vol. 1. Edisi 8.
Alih Bahasa oleh Agung Waluyo et al.
Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G. 2002. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner @ Suddarth. Vol. 2. Edisi 8.
Alih Bahasa oleh Agung Waluyo et al.
Jakarta: EGC
Sudoyo, A.W., et al. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4.
Jakarta: FK Universitas Indonesia
Suyono S, 2005, Patofisiologi Diabetes
Mellitus Dalam Soegondo S dkk.
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Terpadu, FKUI. Jakarta
Wardani,
Anggita
Kusuma.
2011.
Pengetahuan Praktis Ragam Penyakit
Mematikan Yang Paling Sering
Menyerang Kita. BukuBiru
8
Download