Chapter II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anak
Masa anak-anak merupakan gambaran suatu periode pertumbuhan dan
perkembangan yang cepat. Pertambahan usia dan aktivitas yang banyak menjadi
penyebab anak memiliki daya tahan tubuh lemah sehingga dapat dengan mudah
terserang penyakit (KemenKes RI, 2010). Anak dengan kelompok usia kurangdari
lima tahun rentan mengalami gejala batuk dan sukar bernapas. Sistem kekebalan
tubuh pada anak usia tersebut juga sangat rentan sehingga mudah terinfeksi oleh
penyakit yang ditularkan melalui udara (Misnadiarly, 2008).
Penggunaan obat pada anak-anak tidaklah sama dengan orang dewasa,
sehingga hanya beberapa obat yang digunakan pada anak-anak, dengan bentuk
sediaan yang sesuai (Aslam, 2003).
Penentuan dosis obat untuk anak-anak perlu dilakukan penggolongan masa
anak-anak. The British Paediatric Association (BPA) mengusulkan penggolongan
masa anak-anak berdasarkan pada saat terjadinya perubahan-perubahan biologis
(Aslam, 2003):
a. Neonatus : Awal kelahiran sampai usia1 bulan
b. Bayi
: 1 bulan sampai 2 tahun
c. Anak
: 2 tahun sampai 12 tahun
d. Remaja
: 12 tahun sampai 18 tahun
7
Universitas Sumatera Utara
2.2 Infeksi Saluran Pernapasan
2.2.1 Gangguan Saluran Pernapasan
Umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhankeluhan dan gejala-gejala yang ringan, yang kemudian dapat menjadi lebih berat
dan bila semakin berat dapat mengalami kegagalan pernapasan dan mungkin
meninggal. Bila sudah
dalam
kegagalan
pernapasan maka dibutuhkan
penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi,
maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah
berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan
pernapasan (Depkes RI, 2005).
Infeksi tenggorokan (laringitis) atau jalan utama udara (trakea), atau jalan
udara yang masuk ke paru-paru (bronkitis) sangat sering terjadi. Infeksi-infeksi ini
disebut dengan istilah infeksi saluran pernapasan atas. Manifestasi yang paling
utama dari infeksi ini adalah batuk biasa (coryza akut), yang dapat mengalami
komplikasi akibat infeksi bakteri sekunder dan diperburuk oleh sinusiis, otitis
media, dan infeksi saluran pernapasan bagian bawah (Syamsudin, 2013).
Secara umum, tanda-tanda klinis gangguan saluran pernapasan adalah
batuk, sulit bernapas, atau napas pendek, dahak bernanah, pusing, hipotensi dan
demam bersamaan dengan tanda-tanda fisik (adanya cairan di ruang pleura,
ditemukan jika terjadi efusi pleura) atau perubahan radiologis yang cocok dengan
konsolidasi paru-paru (Syamsudin, 2013).
8
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Penyebab Infeksi Saluran Pernapasan
Secara umum penyebab dari infeksi saluran pernapasan adalah berbagai
mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi
saluran napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih
mudah terjadi pada musim hujan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran
infeksi saluran napas antara lain faktor lingkungan, perilaku masyarakat yang
kurang baik terhadap kesehatan diri maupun publik, serta rendahnya gizi. Faktor
lingkungan meliputi belum terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih, jamban,
pengelolaan sampah, limbah, pemukiman sehat hingga pencemaran air dan udara.
Perilaku masyarakat yang kurang baik tercermin dari belum terbiasanya cuci
tangan, membuang sampah dan meludah disembarang tempat. Kesadaran untuk
mengisolasi diri dengan cara menutup mulut dan hidung pada saat bersin ataupun
menggunakan masker pada saat mengalami flu supaya tidak menulari orang lain
masih rendah (Depkes RI, 2005).
2.2.3 Jenis Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Infeksi saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada
masyarakat. Berdasarkan wilayah infeksinya infeksi saluran napas terbagi menjadi
infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas
atas meliputi otitis media, rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis dan tonsilitis.
Infeksi saluran napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang
menyebabkan infeksi saluran nafas bawah. Infeksi saluran napas atas yang banyak
terjadi serta perlu penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya yang
membahayakan adalah otitis, sinusitis dan faringitis (Depkes RI, 2005)
.
9
Universitas Sumatera Utara
1. Otitis Media
Otitis media merupakan inflamasi di bagian tengah telinga, dan terbagi
menjadi otitis media akut dan otitis media kronik. Otitis media akut ditandai
dengan adanya peradangan lokal, otalgia, iritabilitas, kurang istirahat, nafsu
makan menurun serta demam. Otitis media akut dapat menyebabkan nyeri,
hilangnya pndengaran dan leukositosis. Otitis media kronik dijumpai adanya
cairan (Otorrhea) yang purulent sehingga diperlukan drainase. Otitis media kronik
terbentuk sebagai konsekuensi dari otitis media akut yang berulang, hal ini dapat
pula terjadi paska trauma atau penyakit lain (Depkes RI, 2005).
Otitis media banyak menjadi problem pada bayi dan anak-anak, dengan
puncak insiden pada usia anak 6 bulan-3 tahun, diduga penyebabnya adalah
obstruksi tuba Eustachius dan menurunnya imunokompetensi pada anak.
Beberapa anak yang memiliki kecenderungan otitis akan mengalami 3-4 kali
episode otitis pertahun atau otitis media yang terus menerus selama lebih 3 bulan
(Otitis media kronik). Patogen yang paling umum menginfeksi pada anak adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis
(Depkes RI, 2005).
Terapi otitis media akut meliputi pemberian antibiotik oral dan tetes bila
disertai pengeluaran sekret. Lama terapi adalah 5 hari dengan pasien resiko rendah
(yaitu usia lebih 2 tahun serta tidak memiliki riwayat otitis ulangan ataupun otitis
kronik) dan 10 hari bagi pasien resiko tinggi. Rejimen antibiotik yang digunakan
dibagi menjadi dua pilihan yaitu lini pertama (empiris) dan lini kedua.
Amoksisilin merupakan antibiotik lini pertama pada terapi otitis media. Antibiotik
pada lini kedua diindiksikan apabila antibiotik lini pertama (empiris) gagal, respon
10
Universitas Sumatera Utara
yang kurang terhadap antibiotik lini pertama, serta adanya penyakit penyerta yang
mengharuskan pemilihan antibiotik. Antibiotik yang digunakan pada lini kedua
yaitu asam-klavulanat, kotrimoksazol, cefuroksim, ceftriakson, cefprozil dan
cefiksim (Depkes RI, 2005).
2. Sinusitis
Sinusitis yaitu peradangan pada mokosa sinus paranasal. Peradangan ini
banyak dijumpai pada anak dan dewasa yang didahului oleh infeksi saluran napas
atas. Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis akut, sinusitis sub akut, sinusitis
kronik. Sinusitis akut merupakan infeksi pada sinus paranasal selma 30 hari baik
dengan gejala menetap maupun berat. Gejala yang menetap yaitu gejala seperti
adanya keluaran dari hidung, batuk disiang hari yang akan bertambah parah pada
malam hari yang bertahan selama 10-14 hari, sedangkan gejala berat disamping
adanya sekret yang purulen juga disertai demam (bisa sampai 390C). bila gejala
sinusitis berlanjut hingga lebih dari 6 minggu maka akan mengakibatkan sinusitis
kronik (Depkes RI, 2005).
Tanda lokal sinusitis yaitu hidung tersumbat, sekret hidung yang kental
berwarna hijau kekuningan atau jernih, dapat pula disertai bau, nyeri pada wajah
di area pipi, diantara kedua mata dan di dahi. Gejala umum batuk, demam tinggi,
sakit kepala/migrain, serta menurunnya nafsu makan, malaise (Depkes RI, 2005).
Sinusitis
akut
biasanya
disebabkan
oleh
bakteri
Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis. Patogen yang
menginfeksi pada sinusitis kronik sama seperti pada sinusitis akut dengan
ditambah adanya keterlibatan bakteri anaerob dan Staphilococcus aureus (Depkes
RI, 2005)
11
Universitas Sumatera Utara
Rejimen antibiotik yang digunakan dibagi menjadi dua pilihan yaitu lini
pertama dan lini kedua. Antibiotik lini pertama pada sinusitis akut yaitu
amoksisilin/amoksisilin-klavulanat, kotrimoksazol, eritromisin dan doksisiklin.
Antibiotik yang digunakan pada lini kedua yaitu amoksisilin-klavulanat,
cefuroksim, klaritromisin, azitromisin dan levofloksasin. Terapi pokok meliputi
pemberian antibiotik dengan lama terapi 10-14 hari. Untuk gejala yang menetap
setelah 10-14 hari maka antibiotik dapat diperpanjang hingga 10-14 hari lagi
(Depkes RI, 2005).
3. Faringitis
Faringitis merupakan peradangan pada mukosa fring dan sering meluas ke
jaringan sekitarnya. Gejala faringitis yaitu demam yang tiba-tiba, nyeri
tenggorokan, nyeri nelan, adenopati servikal, malaise dan mual. Faringitis
umumnya disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes yang merupakan
Streptocci Group A hemolitik. Bakteri ini sebanyak 15-30% dijumpai pada kasus
faringitis anak dan 5-10% pada faringitis dewasa. Faringitis banyak diderita pada
usia anak 5-15 tahun di daerah iklim panas (Depkes RI, 2005).
Antibiotik penisilin dan derivatnya (antibiotik lini pertama), sefalosporin
maupun makrolida (antibiotik lini kedua) terbukti efektif pada terapi faringitis
oleh Streptococcus group A. Penisilin tetap menjadi pilihan karena efektifitasnya
dan keamanannya sudah terbukti, berspektrum sempit serta harga yang terjangkau.
Terapi antibiotik oral selama
rata-rata 10 hari untuk memastikan eradikasi
Streptococcus. Terapi antibiotik pada infeksi yang menetap atau gagal yaitu
eritromisin, sefaleksin, klindamisin, ataupun amoksisilin-klavulanat (Depkes RI,
2005).
12
Universitas Sumatera Utara
4. Rhinitis
Rhinitis merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari nasal dan
nasopharing. Rhinitis kebanyakan disebabkan oleh virus dan alergi, serta dapat
berupa penyakit akut dan kronis. Patofisiologi rhinitis yaitu terjadinya inflamasi
mukosa hidung sehingga menyebabkan edema dan mengeluarkan sekret hidung.
Rhinitis persisten (menetap) mengakibatkan sikatrik fibrosa pada jaringan
pengikat dan atropi kelenjar yang mengeluarkan lendir dan ingus. Secara klinis
rhinitis meliputi bersin, batuk, hidung berair, demam ringan, sakit tenggorokan
dan tidak enak badan (Lumbanraja, 2008).
5. Laringitis
Laringitis merupakan suatu inflamasi pada laring yang disertai edema,
yang menyebabkan berbagaimacam gangguan pada jalan napas. Laringitis
disebabkan oleh bakteri Haemophilus influenza tipe B. Secara klinis, infeksi ini
menyebabkan penurunan tekanan pernapasan secara mendadak pada anak-anak
yang sebelum tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi. Tekanan pernapasan ini
dapat berkembang secara cepat dan bisa menyebabkan kematian mendadak akibat
gagal napas. Menurut penelitian, infeksi ini lebih dominan pada pria (65%)
dibandingkan wanita (35%). Hal ini adanya perbedaan struktural yang sangat kecil
pada laring pria saat masih kecil (Syamsudin, 2013).
13
Universitas Sumatera Utara
2.3 Antibiotik
2.3.1 Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suau mikroba, terutama fungi,
yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik
dapat dibuat secara sintetik atau semisintetik. Antibiotik sintetik yang tidak
diturunkan dari produk mikroba sering digolongkan sebagai antibiotik (seperti
sulfonamid dan kuinolon) (Setiabudy, 2007).
Antibiotik harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin,
dimana obat haruslah bersifat sangat toksis untuk mikroba, tetapi relatif tidak
toksis untuk pasien (Setiabudy, 2007).
2.3.2 Klasifikasi Antibiotik
a. Berdasarkan toksisitas
1. Zat-zat
baktriostatik,
yaitu
antibiotik
yang
bersifat
menghambat
pertumbuhan mikroba. Contohnya adalah kloramfenikol, tetrasiklin,
makrolida dan linkomisin (Setiabudy, 2007).
2. Zat-zat bakterisid yaitu antibiotik yang bersifat mematikan mikroba.
Contohnya adalah penisilin, sefalosporin, polipeptida, rifampisin, kuinolon,
aminoglikosida, kotrimoksazol dan isoniazid (Setiabudy, 2007).
b. Berdasarkan mekanisme kerja antibiotik
1. Menghambat metabolisme sel mikroba. Dengan mekanisme kerja ini
diperoleh efek bakteriostatik. Obat yang termasuk kelompok ini yaitu
sulfonamid, trimethoprim.
14
Universitas Sumatera Utara
2. Menghambat sintesis dinding sel mikroba. Mekanisme ini merupakan dasar
efek bakterisida pada kuman yang peka. Obat yang termasuk kelompok ini
yaitu penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin.
3. Mengganggu keutuhan membran sel. Obat yang termasuk kelompok ini
yaitu polimiksin, golongan polien serta berbagai antibiotik kemoterapi.
4. Menghambat sintesis protein sel mikroba. Obat yang termasuk kelompok
ini yaitu golongan aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin dan
kloramfenikol.
5. Menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Obat yang termasuk
kelompok ini yaitu rifampisin dan golongan kuinolon (Setiabudy, 2007).
c. Berdasarkan luas aktivitas
1. Antibiotik narrow –spectrum (spektrum sempit). Obat-obat ini terutama
aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya Penisilin G dan
penisilin V, eritromisin, klindamisin yang hanya bekerja terhadap kuman
gram positif, sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin B yang aktif
pada kuman gram negatif.
2. Antibiotik broad-spectrum (spektrum luas), bekerja terhadap lebih banyak
kuman baik gram positif maupun gram negatif. Antara lain sulfonamida,
ampisilin,
sefalosporin,
kloramfenikol,
tetrasiklin
dan
rifampisin
(Setiabudy, 2007).
15
Universitas Sumatera Utara
2.4 Penggunaan Antibiotik Pada Infeksi Saluran Pernapasan
Antibiotik yang banyak digunakan dalam terapi infeksi saluran pernapasan
adalah sebagai berikut:
1. Penisilin
Penisilin merupakan derivat β-laktam tertua yang memiliki aksi
bakterisida dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri.
Akibat resistensi penicillinase mendorong ditemukannya derivat penisilin seperti
methicillin, fenoksimetil penicillin yang dapat diberikan oral, karboksipenicilin
yang
memiliki
aksi
terhadap
Pseudomonas
sp.
Di
Indonesia
hanya
fenoksimetilpenicilin yang lebih dikenal dengan nama Penisilin V (Depkes RI,
2005).
Spektrum
aktivitas
dari
fenoksimetilpenicilin
meliputi
terhadap
Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae dan aksi kurang kuat pada
Enterococcus faecalis. Aktivitas terhadap bakteri Gram negatif sama sekali tidak
dimiliki (Depkes RI, 2005).
Penemuan lain penisilin adalah
lahirnya derivat
penisilin yang
berspektrum luas seperti golongan aminopenicilin (amoksisilin) yang mencakup
E. Coli, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenza, Neisseria gonorrhoeae. Penambahan gugus β-laktamase inhibitor
seperti klavulanat memperluas cakupan hingga Streptococcus aureus, Bacteoides
catarrhalis. Sehingga saat ini amoksisilin-klavulanat merupakan altenatif bagi
pasien yang tidak dapat mentoleransi alternatif lain setelah resistensi dengan
amoksisilin (Depkes RI, 2005).
16
Universitas Sumatera Utara
2. Sulfonamida
Sulfonamida merupakan salah satu antibiotik tertua yang masih
digunakan. Preparat
sulfonamida yang paling banyak digunakan yaitu
sulfametoksazol yang dikombinasi dengan trimetoprim yang lebih dikenal dengan
kotrimoksazol. Mekanisme kerja sulfametoksazol dengan menghambat sintesis
asam folat, sedangkan trimethoprim menghambat enzim pada alur sintesis asam
folat. Kombinasi yang bersifat sinergis ini menyebabkan pemakaian yang luas
pada terapi infeksi community-acquired seperti otitis media, sinusitis, infeksi
saluran kencing (Depkes RI, 2005).
Aktifitas mikroba yang dimiliki kotrimoksazol meliputi kuman gramnegatif seperti E. Coli, Klebsiella, Enterobacter sp, M morganii, P.mirabilis,
P.vulgaris, H.Influenza, salmonella serta gram-positif seperti S.pneumoniae,
pneumocystis carinal, serta parasit seperti Nocardia sp (Depkes RI, 2005)
3. Makrolida
Aktifitas golongan makrolida secara umum meliputi gram positif coccus
seperti Staphylococcus aureus, coagulase-negatif staphylococci, staphylococci βhemolitik dan Streptococcus spp, lain enterococci, H.Influenza, Neisseria spp,
Bordetella spp, Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia dan
Legionella pneumophila (Depkes RI, 2005).
Mekanisme kerja eritromisin dapat bersifat menghambat (bakterisida)
untuk organisme-organisme yang rentan, khususnya pada konsentrasi yang lebih
tinggi (Katzung, 2004). Eritromisin tidak aktif terhadap kebanyakan gram negatif,
namun ada beberapa spesies yang sangat peka terhadap eritromisin yaitu N.
17
Universitas Sumatera Utara
gonorrhoeae, Campylobacter jejuni, M. pneumoniae, Legionella pneumophila dan
C. trachomatis (Setiabudy, 2007).
4. Sefalosporin
Mekanisme kerja golongan sefalosporin yaitu dengan menghambat sintesis
dinding sel mikroba. Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif maupun
gram negatif, tetapi spektrumnya masing-masing derivat bervariasi (Setiabudy,
2007).
Sefalosporin generasi pertama aktif terhadap gram negatif. Golongan ini
efektif terhadap Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Streptococcus
pneumoniae, Streptococcus pneumoniae, E. Coli, Klebsiella spp. Yang termasuk
golongan sefalosporin generasi pertama yaitu sefadroksil, sefaleksin dan sefradin
(Setiabudy, 2007).
Spektrum aktifitas sefalosporin generasi kedua sama dengan generasi
pertama. Yang termasuk golongan sefalosporin generasi kedua yaitu sefaklor,
sefprozil, sefuroksim. Sefuroksim memiliki aktifitas tambahan terhadap Neisseria
gonorrhoeae (Depkes RI, 2005).
Spektrum aktifitas sefalosporin generasi ketiga kurang aktif dibandingkan
dengan generasi pertama terhadap coccus gram positif, tetapi jauh lebih aktif
terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase. Yang
termasuk golongan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefiksim, sefotaksim,
septriakson, seftazidim, sefoperazon dan seftizoksim (Setiabudy, 2007).
18
Universitas Sumatera Utara
5. Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik berspektrum luas, dengan mekanisme
keja menghambat terikatnya asam amino ke ribosom bakteri (sub unit 30S),
sehingga menimbulkan sifat bakteriostatik yang luas terhadap gram positif, gram
negatif, chlamydia, mycoplasma bahkan rickettsia (Depkes RI, 2005).
Generasi pertama meliputi tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin.
Generasi kedua merupakan penyempurnaan dari generasi pertama. Generasi kedua
memiliki karekteristik farmakokinetik yang lebih baik yaitu antara lain memiliki
volume distribusi yang lebih luas karena profil lipofiliknya, bioavailabilitas yang
lebih besar dengan waktu paruh eliminasi lebih panjang (> 15 jam). Yang
termasuk generasi kedua yaitu doksisiklin dan minosiklin yang tetap aktif
terhadap stafilokokus yang resisten terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri
anaerob seperti Acinetobacter spp, Enterococcus yang resisten terhadap
vankomisin sekalipun tetap efektif (Depkes RI, 2005).
6. Kuinolon
Secara umum mekanisme kerja golongan kuinolon yaitu dengan
menghambat DNA-gyrase. Aktifitas kuinolon meliputi Enterobacteriaceae, P.
aeruginose, Staphylococci, enterococci, streptococci. Aktifitas terhadap bakteri
anaerob pada generasi kedua dan ketiga tidak dimiliki. Aktifitas terhadap anaerob
seperti B. fragilis, anaerob lain dan gram positif baru muncul pada generasi
keempat yaitu trovafloksasin (Depkes RI, 2005).
19
Universitas Sumatera Utara
2.5 Prinsip Penggunaan Antibiotik Untuk Terapi Empiris Dan Definitif
a. Antibiotik untuk terapi empiris
Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang elum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Pemberian
antibiotik empiris ditujukan untuk penghambatan pertumbuhan bakteri yang
diduga menjadi penyebab infeksi sebelum diperoleh hasil pemeriksaan
mikrobiologi. Lama pemberian antibiotik empiris diberikan dalam jangka waktu
48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis
dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya. Antibiotik empiris
diberikan secara oral pada infeksi ringan, sedangkan pada infeksi sedang sampai
berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik secara parenteral. Terapi
empiris diindikasikan untuk bakteri tertentu yang sering menjadi penyebab infeksi
yaitu:
1. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik data epidemiologi dan pola resistensi
bakteri yang tersedia dikomunitas atau dirumah sakit setempat.
2. Kondisi klinis pasien.
3. Ketersediaan antibiotik.
4. Kemampuan antibiotik menembus ke dalam jaringan/organ yang terinfeksi.
5. Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan
antibiotik kombinasi (KemenKes RI, 2011).
b. Antibiotik untuk terapi definitif
Penggunaan antibiotik pada terapi definitif yaitu penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya. Antibiotik
terapi definitif ditujukan
untuk penghambatan
20
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi berdasarkan hasil
pemeriksaan mikrobiologi. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada
efikasi klinis untuk penghambatan pertumbuhan bakteri sesuai dengan diagnosis
awal yang telah dikonfirmasikan. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi
berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien. Pemberian antibiotik
secara oral unuk terapi definitif menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi
ringan. Pemberian antibiotik secara parenteral dapat dipertimbangkan pada infeksi
sedang sampai berat (KemenKes RI, 2011).
Berikut ini berbagai faktor yang perlu diperhatikan untuk menunjang
tercapainya sasaran penggunaan antibiotik (Wattimena dkk, 1991):
a. Aktifitas antibiotik.
b. Efektifitas dan efisiensi proses farmakokinetik.
c. Toksisitas antibiotik.
d. Reaksi karena modifikasi flora alamiah tuan rumah.
e. Penggunaan kombinasi antibiotik.
f. Pola penanganan infeksi.
2.6 Bentuk Sediaan Obat
Bentuk sediaan obat adalah bentuk sediaan farmasi yang mengandung
zat/bahan berkhasiat, bahan tambahan dengan dosis serta volume dan bentuk
sediaan tertentu, langsung dapat digunakan untuk terapi. Bentuk sediaan obat
adalah sebagai berikut (Joenoes, 2001):
21
Universitas Sumatera Utara
a. Obat bentuk sediaan cair
Obat bentuk sediaan cair dapat diberikan untuk obat luar, obat suntik, obat
minum dan obat tetes, seperti larutan, suspensi, emulsi, sirup dan injeksi (Joenoes,
2001).
b. Obat bentuk sediaan setengah padat
Obat bentuk sediaan setengah padat pada umumnya hanya digunakan
sebagai obat luar, dioleskan pada kulit untuk keperluan terapi atau berfungsi
sebagai pelindung seperti salep, krim ddan pasta (Joenoes, 2001).
c. Obat bentuk sediaan padat
Obat bentuk sediaan padat merupakan sediaan yang mengandung dosis
tertentu dari satu atau beberapa komponen obat seperti tablet, kapsul, pulvis
pulveres atau puyer dan pil (Joenoes, 2001).
Pada umumnya anak-anak lebih menyukai obat dalam bentuk sediaan
sirup yang lebih mudah ditelan dibandingkan dengan sediaan padat lainnya secara
oral serta rasa dan bau yang tidak enak dapat ditutupi dengan korigensia serta
dosis obat mudah diatur (Jas, 2007).
22
Universitas Sumatera Utara
Download