BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan masyarakat yang dimanis merupakan konsekuensi logis dari adanya perkembangan disegala aspek kehidupan. Hal itu terkait dengan hubungan manusia satu dengan manusia lain dalam kedudukannya sebagai subjek hukum. Sebagai subjek hukum, setiap manusia berhak untuk mengikatkan diri dalam berbagai bentuk perbuatan hukum, karena pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, apabila terjadi hubungan hukum antara dua orang atau lebih, yang terletak didalam harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi maka dalam hubungan hukum tersebut telah terjadi perikatan, perjanjian atau kontrak. Sedangkan hukum kontrak adalah sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau keputusan.1 Kontrak atau akad mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat, merupakan dasar dari setiap aktivitas keseharian. Akad dapat memfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapat dibenarkan bila dikatakan 1 Salim HS., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarata: Sinar Grafika, 2006), hal. 3 2 bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai makhluk sosial.2 Hal ini menunjukkan betapa kehidupan manusia tidak terlepas dari akad. Bisnis apapun hampir tidak bisa dilepaskan dari keberadaan suatu kontrak, dimana ada bisnis disitu ada kontrak.3 Bahkan menurut Sir Henry Maine dalam teorinya yang terkenal perihal perkembangan hukum dari status ke kontrak sejalan dengan perkembangan masyarakat yang sederhana ke masyarakat yang modern dan kompleks, hubungan hukum yang didasarkan pada status warga masyarakat yang masih sederhana berangsur-angsur akan hilang apabila masyarakat tadi berkembang menjadi masyarakat yang modern dan kompleks, hubungan hukum didasarkan pada sistem hak dan kewajiban yang didasarkan pada kontrak yang secara sukarela dibuat dan dilakukan oleh para pihak.4 Dengan demikian dalam dunia hukum khususnya hukum bisnis, hampir dapat dipastikan bahwa abad mendatang akan merupakan abad kontrak. Untuk menunjang kegiatan-kegiatan bisnis atau transaksi-transaksi dagang yang semakin modern dan mengglobal tersebut, peranan hukum kontrak sangat diperlukan. Kontrak yang dibuat pun semakin berkembang, klausul-klausul yang dimuat dalam kontrak tersebut disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan transaksi. Terdapat keterkaitan yang erat antara perluasan pasar dengan kebebasan berkontrak, pihak yang lebih memiliki 2 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal. Pendahuluan. 3 Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Ke Empat (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 3. 4 Sir Henry Maine, dalam Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 1980), hal. 34. 3 kekuatan pasar mempunyai bargaining position yang lebih tinggi untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah. Dalam hukum perjanjian dianut apa yang disebut dengan “asas kebebasan berkontrak (mabda‟ hurriyah al-ta‟aqud)”, asas ini mengandung pengertian bahwa kebebasan seseorang untuk membuat perjanjian macam apapun dan berisi apa saja, sekalipun perjanjian itu bertentangan dengan pasal-pasal hukum perjanjian.5 Kebebasan berkontrak begitu esensial, baik bagi individu untuk mengembangkan diri di dalam kehidupan pribadi dan di dalam lalu lintas kemasyarakatan serta untuk mengindahkan kepentingan-kepentingan harta kekayaannya, maupun bagi masyarakat sebagai satu kesatuan, sehingga hal-hal tersebut oleh beberapa peneliti dianggap sebagai suatu hak dasar.6 Asas kebebasan berkontrak di dalam pustaka-pustaka yang berbahasa Inggris dituangkan dengan istilah “Freedom of Contract” atau “Liberty of Contract” atau “Party Autonomy”. Istilah yang pertama lebih umum dipakai dari pada istilah yang kedua dan ketiga. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang universal sifatnya, artinya dianut oleh hukum perjanjian di semua negara pada umumnya.7 Kebebasan berkontrak berlatar belakang pada faham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman Renaisance melalui antara lain ajaran-ajaran dari 5 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. Ke-6, (PT. Intermasa, 1979), hal. 13. Johannes Gunawan, Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: PT Refika Aditama, Cet. Pertama, 2004), hal. 99 7 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 22 6 4 Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, dan Rosseau. Puncak perkembangannya tercapai dalam periode setelah revolusi Perancis. 8 Asal mulanya asas kebebasan berkontrak lahir pada abad pertengahan di Eropa bersamaan dengan munculnya teori ekonomi klasik laissez faire (persaingan bebas) yang merupakan reaksi dari mercantile system yang dipelopori oleh Adam Smith.9 Asas ini muncul sebagai reaksi dari sistem sebelumnya yaitu sistem yang paternalistik yang mengawasi dan mengatur semua bisnis dan keuntungan raja (mercantile system).10 Sistem tersebut mengiringi keadaan ekonomi pada Abad Pertengahan, yaitu suatu masa dimana aktivitas bisnis dan perdagangan tidak mendapat tempat yang terhormat.11 Sistem ini dirasakan tidak adil karena dalam upayanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ia memberi hak-hak istimewa bagi kelompok-kelompok tertentu, dan bukannya memberikan kebebasan ekonomi kepada semua pelaku ekonomi. Alasan utama Smith yang melarang intervensi pemerintah adalah doktrin invisible hands (tangan gaib). Menurut doktrin ini, kebebasan (freedom), kepentingan diri sendiri (self-interest), dan persaingan (competition) akan menghasilkan masyarakat yang stabil dan makmur. Upaya individu untuk merealisasikan kepentingan dirinya sendiri bersama jutaan individu lainnya akan dibimbing oleh 8 Mariam Darus Badrulzaman 1, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 84. 9 Neli Mac Cormick, Adam Smith On Law, (Valparaisto University Law review, vol. 15, 1981), hal. 258-259 10 Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito: Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia Dewasa Ini, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 15 11 Essel R. Dillavou, Principles of Business Law, (New Jersey: Prentice Hall Inc, 1962), hal. 5155 5 ”tangan tak terlihat”. Setiap upaya individu mengejar kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak indvidu tersebut juga mempromosikan kepentingan publik.12 Dengan kata lain, Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire) yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan (liberalisme), maka perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Dalam Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolaholah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi tentang apa saja dan diperbolehkan pula membuat undangundang sendiri. Lebih tegasnya para pihak yang membuat perjanjian dapat menciptakan suatu ketentuan sendiri untuk kepentingan mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki. Dalam sistem hukum Islam juga menjamin adanya kebebasan berkontrak sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam membuat perjanjian, bahkan 12 Mark Skousen, Sang Maestro “Teori-Teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi, (The Making of Modern Economics, The Lives and Ideas of the Great Thinkers), alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso, cet. ii, (Jakarta: Prenada, 2006), hal. 26. 6 Sayid Sabiq menyatakan bahwa bukanlah perjanjian jika tanpa ada kebebasan dari kedua belah pihak.13 Asas kebebasan berkontrak dapat dipahami: Pertama, bahwa hukum tidak dapat membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak. Ini berarti bahwa hukum tidak boleh membatasi apa saja yang telah diperjanjikan oleh para pihak yang telah mengadakan perjanjian, sehingga dari sini para pihak bebas menentukan sendiri isi perjanjian yang mereka buat. Kedua, bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak boleh dipaksa untuk memasuki perjanjian. Ini berarti bahwa kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat suatu perjanjian. Kebebasan berkontrak merupakan ruh dan nafas sebuah kontrak atau perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak pihakpihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang. Dengan demikian diharapkan akan muncul kontrak yang adil dan seimbang bagi para pihak. Namun demikian dalam praktik masih banyak ditemukan model kontrak standar (kontrak baku) yang dianggap berat sebelah, tidak seimbang, dan tidak adil bahkan terkadang ditemukan kontrak yang melanggar kesusilaan dan norma agama. Walaupun memang asas kebebasan berkontrak tidak diatur secara rinci dalam Al-qur‟an dan Al-hadits namun asas ini penting untuk dielaborasi lebih lanjut mengingat suatu pertanyaan, apakah konsep dan bentuk transaksi atau akad yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tanpa ada keleluasaan kaum muslimin untuk 13 Sayid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam (Anashirul Quwwah Fil Islam), diterjemahkan oleh Haryono S. Yusuf (Jakarta: Intermasa, 1981), hal. 210. 7 mengembangkan bentuk-bentuk akad baru sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat di masa kini? Atau apakah kaum muslimin diberi kebebasan untuk membuat transaksi atau akad baru selama akad tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam? Menurut Al- Zarqa kebebasan berkontrak ini meliputi empat segi kebebasan yaitu: 1. Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian. 2. Tidak terikat kepada formalitas-formalitas, tetapi cukup semata-mata berdasarkan kata sepakat atau perizinan. 3. Tidak terikat kepada perjanjian-perjanjian bernama. 4. Kebebasan untuk menentukan akibat perjanjian.14 Nabi Muhammad SAW. bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa انصهح جائز اال صهحا احم حسايا اً حسو حالل bahwa kaum muslimin dibenarkan membuat perjanjian perdamaian dalam pelaksanaan hak-hak mereka, namun kebolehan tersebut berlaku dalam batas-batas sepanjang tidak melanggar ketentuan halal dan haram seperti dapat dimengerti dari lanjutan sabdanya. Disini kaum muslimin dibenarkan memperjanjikan syarat-syarat dan perjanjian itu mengikat untuk dipenuhi dalam batas-batas ketentuan halal dan haram. 14 Al- Zarqa, Al- Fiqh Al- Islami Fi Sauhihi Al- Jadid, Cet. Ke-9, (Damaskus: Matabi‟ Alifba AlAdib, 1968), hal. 462 8 Kebebasan kontrak dalam konsep ekonomi Islam haruslah didasarkan pada pemikiran bahwa setiap kontrak yang terjadi dalam perdata syariah ditekankan pada prinsip syariah Islam. Hal ini dalam rangka untuk mengatur kepentingan-kepentingan individual (fardiyah), kolektif (ijtima‟iyah) dan kepentingan negara (dusturiyah) serta agama (diniyah). Dengan demikian kebebasan berkontrak perlu dilandasi keseimbanagan, keselarasan dan kesetaraan untuk menghasilkan suatu kebebasan yang bertanggungjawab. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak ini tidak hanya milik KUH Perdata yang berlaku di Indonesia, akan tetapi bersifat universal dan dianut oleh berbagai sistem hukum dan negara-negara lain juga hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)15 dalam bab II tentang Asas Akad pasal 21 (huruf) l disebutkan bahwa “Akad dilakukan berdasarkan asas al- hurriyah (kebebasan berkontrak)” dan dalam pasal 21 disebutkan bahwa “Semua akad yang dibuat secara sah berlaku sebagai nash syari‟ah bagi mereka yang mengadakan akad”.16 Dalam pasal tersebut menegaskan secara jelas bahwa dalam bertransaksi harus berdasarkan kebebasan. Menurut Munir Fuady, Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.17 Asas ini tersirat dalam pasal 1338 KUHPerdata, pada intinya menyatakan bahwa terdapat kebebasan membuat 15 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) merupakan pedoman bagi hakim peradilan agama dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah (vide pasal 1 PERMA Nomor: 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah) 16 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), edisi revisi, 2010. 17 Munir Fuady, Pengatar Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), Hal. 12. 9 kontrak apapun sejauh tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban dan kesusilaan. Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata, menyebutkan orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan, pada umumnya juga boleh mengenyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III karena Buku III merupakan “hukum pelengkap” (aanvullend recht) bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.18 Terdapat adanya persamaan antara KUH Pertdata dan KHES mengenai asas kebebasan berkontrak. Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh KUH Perdata maupun KHES merupakan kebebasan yang mutlak (absolut) sehingga kebebasannya tidak terbatas atau memang ada batasan tentang kebebasan tersebut karena kebebasan berkontrak yang tidak ada batasnya dapat menciptakan ketidakadilan apabila salah satu pihak tidak mempunyai kedudukan yang seimbang atau ketika terjadi transaksi dalam sebuah kontrak lalu timbul permasalahan apakah Hakim berwenang untuk memasuki dan meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan Hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. 18 128. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Cet. ke-XXXIII, (Jakarta: PT.Intermasa, 2005), hal. 10 Dalam penerapan asas kebebasan berkontrak, yang berlaku dalam KUH Perdata bukan berarti dapat dilakukan bebas sebebasnya, akan tetapi ada pembatasan yang diterapkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan demikian juga dalam KHES disebutkan bahwa akad tidak sah apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Kebebasan berkontrak yang murni atau mutlak karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Problematika di atas tentunya merupakan tantangan bagi para Hakim untuk memberikan jalan keluar terbaik demi terwujudnya kontrak yang saling menguntungkan para pihak (win-win solution contract) di satu sisi memberikan kepastian dan disisi lain memberikan keadilan sesuai dengan Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia dan sesuai pula dengan Hukum Islam. Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang dituangkan dalam tesis dengan judul: “ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK, PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PERDATA DAN KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan permasalahan meliputi hal-hal sebagai berikut: 11 1. Apa dasar kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di Indonesia dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah? 2. Bagaimana batasan asas kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di Indonesia dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah? 3. Bagaimana perbedaan asas kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di Indonesia dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah? 4. Apa latar belakang landasan filosofis asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai dasar kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di Indonesia dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 2. Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai batasan asas kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di Indonesia dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 3. Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perbedaan asas kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di Indonesia dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 12 4. Untuk mengetahui dan menganalisa mengenai latar belakang landasan filosofis asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. D. Kontribusi Penelitian 1. Kontribusi Teoritis Secara Teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka pengembangan dan pendalaman tentang hukum perjanjian dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak baik menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia maupun Hukum Islam dalam hal ini Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 2. Kontribusi Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan dan sekaligus sumbangan pemikiran bagi para praktisi ataupun pihakpihak yang berkepentingan dalam menyelesaikan perkara atau sengketa ekonomi, para hakim, advokat, badan legislatif dalam penyusunan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan hukum perjanjian dalam asas kebebasan berkontrak. E. Studi Pustaka Tulisan yang meneliti mengenai hukum perjanjian dalam hal asas kebebasan berkontrak, diantanya adalah ditulis oleh: 13 a. Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. dalam disertasinya tentang “Kebebasan Berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank di Indonesia”. Dalam penelitian tersebut hanya menitik beratkan pada bagaimana asas kebebasan berkontrak pada perjanjian kredit bank yang berlaku di Indonesia. Dalam proses pengajuan permohonan kredit kepada bank, calon nasabah debitur akan disodori perjanjian baku dan standar yang klausulklausulnya telah disusun sebelumnya oleh bank. Calon debitur hanya mmpunyai pilihan antara menerima atau tidak menerima kalusul-klausul dalam perjanjian tersebut. Jika menerima, permohonan kerdit disetujui, jika tidak, permohonan kredit ditolak. Kondisi ini menempatkan calon nasabah debitur pada posisi lemah. Padahal, sebuah perjanjian seyogianya memberikan keadilan pada para pihak. Perjanjian kredit dari bank umum mengandung klausul-klausul yang apabila diukur menurut tolak ukur yang berupa asas ketertiban umum, asas moral atau kesusilaan, asas kepatutan dan keadilan, asas itikad baik, dan asas penyalahgunaan kekuasan ekonomi, maka klausul-klausul tersebut memberatkan bagi nasabah beditur atau memberatkan bagi bank. b. Dr. Agus Yudha Hernoko, SH, MH,. Dalam disertasinya tentang “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial” menemukan bahawa hakikat kontrak adalah memujudkan pertukaran hak dan kewajiban secara adil (faieness). Dengan demikian, ketidakseimbangan hasil dapat diterima sebagai sesuatu yang fair apabila proses pertukaran hak dan kewajiban berlangsung secara proporsional. 14 Berdasarkan penelusuran berkontrak terhadap penelitian tentang asas kebebasan tersebut di atas menunjukkan belum adanya penelitian tentang asas kebebasan berkontrak secara komparatif antara Hukum Perdata Indonesia dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang di dalamnya mengkaji tentang asas kebebasan berkontrak dalam tinjauan filosofis, oleh karena itu penelitian ini merupakan sesuatu yang baru sehingga diharapkan dapat mengisi kekosongan tersebut atau dapat melengkapi kekurangan yang sudah ada. F. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat library research artinya penelitian terhadap bahan-bahan tertulis yang dipublikasikan dalam bentuk buku khususnya buku-buku dan perundangan-undangan yang berkaitan dengan hukum perjanjian serta kitab-kitab fikih mua‟malah yang berkaitan dengan masalah akad. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder.19 Dalam penelitian hukum normatif, dibedakan antara penelitian terhadap asas-asas hukum dengan asas-asas perundang-undangan. Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan-patokan untuk bertingkah laku sedangkan penelitian terhadap asas-asas perundang-undangan, yaitu asas-asas tentang berlakunya suatu undang-undang dalam arti materiil, 19 hal. 11. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 15 misalnya bahwa undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undangundang yang bersifat umum bilamana pembuatnya sama.20 Di samping menggunakan pendekatan yuridis normatif, dalam penelitian ini digunakan juga pendekatan komparatif, yaitu akan dilakukan perbandingan terhadap sistem hukum perikatan atau perjanjian Islam dengan sistem hukum perikatan atau perjanjian hukum perdata di Indonesia. 1. Sumber Data Dalam penelitian ini digunakan data sekunder. Sumber utama dalam kajian ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Sumber kedua berupa buku-buku ilmu pengetahuan hukum baik ilmu pengetahuan hukum umum yang berkaitan dengan hukum perjanjian ataupun ilmu pengetahuan hukum Islam yang berkaitan dengan fiqh muamalah, jurnal, bulletin ilmiah, majalah ilmiah ataupun pendapat para ilmuwan atau ijtihad para ulama maupun pendapat para praktisi. 2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan studi kepustakaan, dalam hal ini Penulis memanfaatkan perpustakaan IAIN Antasari Banjarmasin, perpustakaan Pengadilan Agama Rantau serta koleksi pustaka pribadi. Data sekunder yang telah diperoleh selanjutnya kumpulkan dan diklasifikasikan serta disistematisasikan untuk bahan analisis tesis. 20 Ibid. Hal. 20-21 16 3. Teknik Analisis Data Data sekunder yang telah dikumpulkan dan diklasifikasikan selanjutnya dianalisis. Untuk menganalisis data dipergunakan analisis kualitatif, yang dilakukan dengan metode deduksi, yaitu mengkaji dari kaidah umum kepada halhal yang khusus. Analisis kualitatif ini dilakukan terhadap aspek-aspek normatif (yuridis) dari data yang diperoleh dan dihubungkan atau dibandingkan satu sama lain untuk mencapai kesimpulan yang bersifat khusus. Dalam hal ini berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak. Analisis kualitatif dalam penelitian ini selain akan dilakukan secara deskriptif dimana data diungkapkan sebagaimana adanya, juga dilakukan secara komparasi dalam perspektif hukum Islam dan hukum perdata. G. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab pembahasan, tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, studi pustaka dan metodologi penelitian serta sistematika penulisan. Bab II menguraikan tentang tinjauan umum tentang perjanjian menurut Hukum Perdata yang terdiri dari Sub A yang meliputi definisi perjanjian, subjek dan objek perjanjian, jenis-jenis perjanjian, syarat syahnya perjanjian, asas-asas perjanjian, unsur-unsur perjanjian serta prestasi dan wanprestasi. Sedangkan Sub B membahas 17 tentang asas kebebasan berkontrak yang meliputi sejarah lahirnya asas kebebasan berkontrak, dasar kebebasan berkontrak dan batasan asas kebebasan berkontrak. Bab III menguraikan tentang akad (perjanjian) menurut Hukum Islam yang terdiri dari Sub A yang meliputi definisi akad, mcam-macam akad, unsur dan pembentukan akad, rukun dan syarat akad, asas-asas dalam akad, hak pilih dalam akad dan berakhirnya akad. Sedangkan Sub B membahas tentang asas kebebasan berkontrak. Bab IV merupakan bab analisis penelitian tentang tinjauan filosofis asas kebebasan yang meliputi perbedaan dan tinjauan filosofis asas kebebasan berkontrak. Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan dalam tesis ini dan saran-saran serta rekomendasi yang dapat diajukan. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian menurut Hukum Perdata 1. Definisi Perjanjian Pengaturan tentang perjanjian dapat ditemui dalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut di atas menurut Muhamad Abdul Kadir mengandung kelemahan yang dapat diuraikan sebagai berikut: a. Hanya menyangkut sepihak saja Hal ini dapat diketahui dari kalimat “Satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikat diri adalah bersifat satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus diantara para pihak. b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming). Tindakan melawan hukum (onrechtmatige doad) yang tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata pesetujuan. 19 c. Pengertian perjanjian terlalu luas Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas karena mencakup juga pelangsung perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal. d. Tanpa menyebut tujuan Dalam perumusan pasal tersebut diatas tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.21 Sedangkan menurut R. Setiawan, pengertian perjanjian tersebut terlalu luas, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum.22 Para sarjana yang merasa bahwa pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata ini mengandung banyak kelemahan, memberikan rumusan mengenai arti perjanjian. Menurut Prof. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.23 Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat 21 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990), hal. 78. R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1979), hal 49. 23 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987), hal.1. 22 20 hukum. Pendapat lain dikemukakan oleh Rutten, menurutnya perjanjian adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal balik.24 Walaupun para sarjana memberikan rumusan mengenai perjanjian dengan penggunaan kalimat yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung unsur yang sama yaitu: a. Ada pihak-pihak Yang dimaksud dengan pihak disini adalah subyek perjanjian dimana sedikitnya terdiri dari dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undangundang. b. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan. c. Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Undang-undang. d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. 24 Purwahid Patrik, Hukum Perdata II Jilid I, 1988, hal 1-3 21 e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang- undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat. 2. Subyek dan obyek perjanjian a. Subyek perjanjian Dalam setiap perjanjian terdapat dua macam subyek perjanjian yaitu: 1) Seseorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu (schudennar atau debitur). 2) Seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapatkan hak atas pelaksanaan kewajiban itu (schudennor kreditur). Subyek perjanjian yang berupa seseorang manusia harus mematuhi syarat umum untuk dapat melakukan sesuatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan oleh peraturan seseorang perempuan yang sudah kawin, menurut pasal 108 KUHPerdata. 25 Dari pengertian di atas, subyek perjanjian dapat disimpulkan menjadi dua macam yaitu manusia pribadi dan badan hukum. b. Obyek perjanjian Obyek dalam perjanjian adalah hal yang diwajibkan kepada debitur dan hal mana terhadap pihak kreditur mempunyai hak. Mengenai hal tersebut diatas, pasal 1234 KUHPerdata menentukan adanya tiga hal yaitu: 25 A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian dan Perkembangannya, (Yogyakarta, Liberty, Yogyakarta, 1985), hal. 14 22 1. Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu, misalnya sejumlah uang. 2. Untuk berbuat sesuatu atau melakukan perbuatan tertentu, misalnya memotong kayu. 3. Untuk tidak dibuat sesuatu atau menurut perjanjian ia tidak boleh melupakan sesuatu, misalnya membangun gedung yang tinggi. Dalam pasal 1332 KUHPerdata disebutkan benda yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi obyek perjanjian. Sehingga benda yang tidak dapat diperdagangkan tidak dapat menjadi obyek perjanjian. Sedangkan dalam pasal 1333 KUHPerdata menentukan syarat bagi benda agar dapat menjadi obyek suatu perjanjian yaitu benda tersebut harus tertentu. Paling tidak mengenai jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya tak perlu ditentukan terlebih dahulu asal dikemudian dapat ditentukan. 3. Jenis-Jenis Perjanjian Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu: a. Perjanjian timbal balik Perjanjian timabal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya. 23 b. Perjanjian sepihak Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan. c. Perjanjian dengan percuma Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata. d. Perjanjian konsensuil, riil dan formil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata. Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris. 24 e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.26 Sedangkan menurut Achmad Busro, jenis perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut: a. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak yang melakukannya. Misalnya: kewajiban yang timbul dalam perjanjian jual beli, pihak penjual mempunyai kewajiban pokok menyerahkan barang yang dijualnya, dipihak lain pembeli mempunyai kewajiban untuk membayar harga yang telah disepakati. Perjanjian sepihak yaitu perjanjian dimana salah satu pihak saja yang dibebani suatu kewajiban. Misal: dalam perjanjian pemberian hibah, hanya satu pihak saja yang mempunyai kewajiban. b. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alas hak membebani. Perjanjian cuma-cuma yaitu suatu perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak tanpa adanya imbalan dari pihak lain. 26 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), hal 82. 25 Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang lain, antara prestasi dan kontra prestasi tersebut terdapat hubungan menurut hukum meskipun kedudukannya tidak harus sama. Misal: Disatu pihak berprestasi sepeda, di pihak lain berprestasi kuda. Jadi disini yang penting adanya prestasi dan kontra prestasi. c. Perjanjian konsensuil, riil dan formil. Perjanjian konsensuil yaitu adanya suatu perjanjian cukup dengan adanya kata sepakat dari para pihak. Misalnya: Masing-masing pihak sepakat untuk mengadakan jual beli kambing. Perjanjian riil yaitu perjanjian disamping adanya kata sepakat masih diperlukan penyerahan bendanya. Misalnya: Dalam jual beli kambing tersebut harus ada penyerahan dan masih diperlukan adanya formalitas tertentu. d. Perjanjian bernama, tidak bernama dan perjanjian campuran. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah ada namanya seperti dalam buku III KUHPerdata Bab V sampai dengan Bab XVIII. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ada namanya. Ketentuannya diatur dalam buku III KUHPerdata Bab I sampai dengan Bab IV yang merupakan ketentuan umum. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang terdiri dari beberapa perjanjian bernama juga kemungkinan pula terdapat perjanjian tidak bernama. 26 e. Perjanjian kebendaan dan obligatoir. Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian untuk menyerahkan hak kebendaan. Sedangkan perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban kepada pihak-pihak, misal: jual beli. f. Perjanjian yang sifatnya istimewa 1) Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian untuk membebaskan dari kewajiban. Misal dalam Pasal 1438 KUHPerdata mengenai pembebasan hutang dan pasal-pasal berikutnya (Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPerdata). 2) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak sepakat menentukan pembuktian yang berlaku bagi para pihak. 3) Perjanjian untung-untungan, seperti yang ada dalam Pasal 1774 yaitu perjanjian yang pemenuhan prestasinya digantungkan pada kejadian yang belum tentu terjadi. 4) Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa. Contoh: Perjanjian yang dilakukan antara mahasiswa tugas belajar (ikatan dinas).27 Abdulkadir Muhammad28 juga mengelompokkan perjanjian menjadi beberapa jenis, yaitu: a. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak 27 28 Achmad Busro, Hukum Perikatan, (Semarang: Oetama, 1985), hal 4. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung:Penerbit Alumni, 1982), hal 86. 27 Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, pemborongan bangunan, tukar menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi obyek perikatan dan pihak yang lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPerdata. Menurut pasal ini salah satu syarat ada pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik. b. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani. Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut 28 hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahlepaskan suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341 KUHPerdata). c. Perjanjian bernama dan tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. d. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang. 29 Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak. e. Perjanjian konsensual dan perjanjian real. Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan pinjam pakai (Pasal 1694, 1740 dan 1754 KUHPerdata). Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap prbuatan hukum (perjanjian) yang obyeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak keetika itu juga terjadi peralihan hak. Hal ini disebut "kontan dan tunai". Sementara itu Salim H.S di menyebutkan bahwa jenis kontrak atau perjanjian adalah:29 a. Kontrak Menurut Sumber Hukumnya. Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian (kontrak) dibagi jenisnya menjadi lima macam, yaitu: 1. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan. 29 Salim H.S., Hukum Kontrak, (Jakarta:Sinar Grafika, 2006), hal 27-32. 30 2. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik. 3. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban. 4. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan bewijsovereenkomst. 5. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publieckrechtelijke overeenkomst. b. Kontrak Menurut Namanya Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1319 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1319 KUHPerdata hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak innominat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain. c. Kontrak Menurut Bentuknya Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum 31 dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini diilhami dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harus didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata. Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak. Akta yang dibuat oleh notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang dibuat di hadapan notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir. d. Kontrak Timbal Balik 32 Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewamenyewa. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak. 1. Kontak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi-prestasi seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biayabiaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantinya. 2. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam rangka pembubaran perjanjian. e. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani. Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian, yang menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian, disamping prestasi pihak 33 yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain, yang menurut hukum saling berkaitan. Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A. f. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya. Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak. Disamping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia. g. Perjanjian dari Aspek Larangannya Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat 34 perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Di d alam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi tiga belas jenis, sebagai berikut:. 1. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat. 2. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah: a. Suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan b. Suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku. 3. Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda. 35 4. Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 5. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya. Tindakan ini dilakukan dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. 6. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat. 7. Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usah yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri. 8. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan 36 atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 9. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 10. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jas dalam pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 11. Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. 37 12. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepad pihak dan atau pada tempat tertentu. 13. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S jenis atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain. 4. Syarat syahnya perjanjian Menurut pasal 1320 KUHPerdata untuk syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan syarat sebagai berikut: a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Untuk dua syarat yang pertama disebut sebagai syarat subyektif mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan 38 dua syarat yang kedua adalah syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilaksanakan. Prof. Subekti menjelaskan maksud dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut. Ayat 1 yaitu tentang adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri adalah adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah. Dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog). Ayat 2 mengenai kecakapan, maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah diterangkan, beberapa golongan orang oleh undang-undang dinyatakan "tidak cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, seperti orang dibawah umur, orang dibawah pengawasan (curatele). Jika ayat 1 dan 2 tidak dipenuhi maka perjanjian ini cacat dan dapat dibatalkan. Ayat 3 mengenai hal tertentu maksudnya yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Ayat 4 menurut Prof. Subekti, Undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan, 39 yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu.Jika ayat 3 dan 4 tidak dipenuhi maka perjanjian ini batal demi hukum.30 Lebih lanjut akan diuraikan satu persatu syarat-syarat perjanjian menurut ahli hukum, sebagai berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Sepakat atau juga dinamakan perizinan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat. Sepakat merupakan suatu syarat yang logis, karena dalam perjanjian setidak-tidaknya ada dua orang yang saling berhadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.31 Persetujuan harus berasal dari masing-masing pihak tanpa adanya paksaan maupun adanya satu bentuk penipuan atau ketakutan (pasal 1321,1322, dan 1328 KUHPerdata). Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian terang dan nyata (pasal 1324 KUHPerdata). Dalam mempertimbangkan hal itu harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan. Penipuan adalah suatu usaha yang dilaksanakan secara sengaja, dengan jalan tipu muslihat untuk menimbulkan kesesatan kepada pihak yang 30 31 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987), hal 135-137 J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1992), hal. 6. 40 lain. Penipuan merupakan perilaku atau tindakan membiarkan dengan maksud untuk menyesatkan pihak lain.32 Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikain rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. (pasal 1328 KUHPerdata). Sedangkan dikatakan tidak ada kekhilafan apabila kehendak seseorang pada waktu membuat persetujuan tidak dipengaruhi kesan atau pandangan yang palsu. Kekhilafaan harus sedemikian rupa sehingga seandainya tidak khilaf mengenai hal itu, ia tidak akan menyetujuinya. Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. (pasal 1322 KUHPerdata) b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.33 Cakap berarti mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta mengetahui dampak dari berbuatan yang dilakukannya, dengan kata lain sudah dapat mengendalikan apa yang diperbuatnya serta mampu mempertanggung jawabkannya. Pada umumnya setiap orang dinyatakan cakap untuk membuat perjanjian apabila ia oleh UU tidak dinyatakan tak cakap. Hal ini diatur dalam pasal 1329 KUHPerdata. Pengecualian atas prinsip yang ada dalam 32 33 R. Setiawan, op cit, hal. 265. R. Subekti, op.cit, hal 17 41 pasal 1329 KUHPerdata yaitu ada dalam isi 1330 KUHPerdata ditentukan orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian yaitu: 1. Orang yang belum dewasa Dalam pasal 1330 dikatakan bahwa mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak menikah adalah belum dewasa. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa dewasa adalah mereka yang telah berumur 21 tahun, telah menikah termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun, tetapi sudah menikah dan orang dewasa adalah orang yang pada dasarnya cakap untuk bertindak atau tidak dilarang oleh UU. Tetapi dengan berlakunya UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, batas kedewasaan seseorang berubah menjadi 18 tahun. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 47 UU No 1 tahun 1974 yang mengatakan: a. Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum menikah ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya. b. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum diluar dan di dalam pengadilan Menurut Pasal 1 UU N0. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 42 Adalah orang yang karena sifat pribadi dianggap tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum. Orang yang termasuk dibawah pengampuan adalah orang yang sakit gila atau mata gelap, orang yang lemah akal dan orang yang pemboros. Pengampuan tidak pernah terjadi demi hukum akan tetapi selalu terjadi karena adanya suatu permohonan kepada pengadilan negeri yang berada di daerah hukum di mana orang dimohonkan ditaruh dibawah pengampuan berada. “Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepadaa Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintanya pengampuannya, berdiam”. (pasal 436 KUHPerdata). 3. Orang perempuan Dalam pasal 108 KUHPerdata dikatakan bahwa seseorang istri apabila hendak menghadap dimuka hakim harus mendapat bantuan dari suaminya. Namun dengan keluarnya UU No 1 tahun 1974, maka kedudukan suami dan istri adalah sama, yang berarti seorang istri adalah cakap menurut hukum. Hal ini diatur dalam pasal 31 ayat (1) berbunyi “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan bersama dalam masyarakat”. Sehingga dengan keluarnya UU No 1 tahun1974 maka pasal 108 dan pasal 110 KUHPerdata diatas tidak berlaku lagi. c. Suatu hal tertentu Yaitu obyek yang tertentu, syarat-syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban debitur jika ada perselisihan. 43 Dalam pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang paling sedikit ditentukan jenisnya. Selanjutnya dalam pasal tersebut ditetapkan bahwa diperbolehkan mengadakan perjanjian dimana pada waktu mengadakan perjanjian jumlah barang belum ditentukan asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung (jo pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata). Menurut R. Subekti suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan mengenai hak dan kewajiban para pihak jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. 34 d. Suatu sebab yang halal Yang dimaksud adalah sebab dari isi suatu perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak, bukan sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan adalah isi perjanjian itu menggambarkan tujuan yang hendak dicapai tidak dilarang oleh undangundang, tidak bertentangan dengan ketertiban umun dan kesusilaan, hal ini terlihat jelas dalam pasal 1337 KUHPerdata yaitu “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undan-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketetiban umum”. Sebab harus dibedakan dengan motif-motif adalah alasan yang mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu hal tertentu. Motif 34 R. Subekti, op cit, hal. 19 44 merupakan hal yang tidak penting dalam hukum., sedangkan sebab adalah tujuan dari perjanjian.35 5. Asas-asas Perjanjian a. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak secara tidak langsung diatur Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut Absori,36 menjelaskan bahwa dengan mendasarkan kata semua, maka berarti semua orang bebas untuk mengadakan perjanjian yang memuat apa saja dan syarat-syarat perjanjian macam apapun (menentukan secara bebas apa yang menjadi hak, kewajiban dan tanggungjawab sepanjang tidak melanggar ketertiban umum) adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya telah membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum. b. Asas konsensualisme Asas ini diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak untuk mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. 35 R. Setiawan, op cit, hal. 62 Absori, Hukum Ekonomi Indonesia (Beberapa Aspek Pengembangan Pada Era Liberalisme Perdagangan), (Surakarta: Muhammadiyah University Press UMS, 2006) , hal. 85. 36 45 Menurut asas konsensualitas, pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sah dilahirkan sejak terciptanya kesepakatan, dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila telah sepakat mengenal hal-hal yang pokok dan tidaklah perlu suatu formalitas.37 Jadi perjanjian para pihak terjadi hanya dengan kata sepakat tanpa memerlukan formalitas tertentu. Pengecualian asas ini adalah perjanjian riil dan perjanjian formil, perjanjian riil misalnya perjanjian pinjam pakai yang menurut Pasal 1740 KUHPerdata baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyek perjanjian. Perjanjian formal misalnya perjanjian perdamaian yang menurut Pasal 1851 ayat (2) kontrak perjanjian harus dituangkan secara tertulis. c. Asas Pacta sunt servanda Asas ini menegaskan bahwa apabila seseorang membuat perjanjian secara sah (memenuhi Pasal 1320), maka perjanjian itu berakibat bagi para pihak yang membuatnya, yaitu perjanjian itu berlaku sebagai undangundang bagi si pembuatnya oleh karenanya akibat atas asas pacta sunt servanda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sekapat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang 37 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Internusa, 1991), hal. 15 46 oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik." Dengan demikian Pasal 1338 berkenaan dengan asas pacta sunt servanda mempunyai nama lain asas kepastian hukum. Sesuatu memperolah jaminan bahwa apa yang telah disepakati dijamin pelaksanaannya, hal ini menimbulkan kewajiban bagi pihak ketiga (termasuk hukum) untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak, artinya pihak ketiga tidak dapat mencampuri isi perjanjian dan harus mengakui adanya perjanjian. d. Asas itikad baik Asas itikad baik berarti bahwa pelaksanaan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan keadilan. Dalam Pasal 1338 ayat (1) dijelaskan bahwa "persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik". Pasal tersebut merupakan dasar dari asas itikad baik. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dalam hukum perjanjian nasional, asas-asas tersebut disesuaikan dengan idiologi Pancasila dan UUD 1945 menjadi: a. Asas kebebasan mengadakan perjanjian b. Asas konsensualisme c. Asas kepercayaan d. Asas kekuatan mengikat e. Asas persamaan hukum f. Asas moral 47 g. Asas kepatutan h. Asas kebiasaan38 6. Unsur-unsur Perjanjian Unsur-unsur dalam perjanjian adalah: a. Essentalia Yaitu unsur utama, tanpa adanya unsur ini persetujuan tidak mungkin ada. b. Naturalia Yaitu unsur yang oleh undang-undang ditentukan sebagai peraturan yang bersifat mengatur. c. Accidentalia Yaitu unsur yang oleh para pihak ditambahkan dalam persetujuan dimana undang-undang tidak mengatur.39 7. Prestasi dan Wanprestasi a. Prestasi Prestasi merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi oleh para pihak dalam perjanjian. Berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata, ada tiga macam prestasi yang dapat diperjanjikan, yaitu: 1. Untuk memberikan sesuatu 2. Untuk berbuat sesuatu 3. Untuk tidak berbuat sesuatu 38 39 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, 1989, hal 15-21. R. Setiawan, Op.cit., hal 50. 48 b. Wanprestasi Wanprestasi ini merupakan istilah yang diambil dari bahasa Belanda yang berarti "prestasi buruk". Namun oleh para sarjana, kata "wanprestasi" ini diterjemahkan dalam uraian kata menurut pendapatnya masing-masing. Menurut Abdulkadir Muhamad, wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undangundang.40 Sedangkan Subekti mengatakan bahwa wanprestasi artinya peristiwa dimana si berhutang tidak melakukan apa yang dijanjikannya. Pelanggaran janji tersebut dapat berbentuk: 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan 2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat. 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Wanprestasi dapat disebabkan karena dua hal, yaitu: 1. Kesengajaan, maksudnya adalah perbuatan yang menyebabkan terjadinya wanprestasi tersebut memang telah diketahui dan dikehendaki oleh debitur. 2. Kelalaian, yaitu debitur melakukan suatu kesalahan tetapi perbuatan itu tidak dimaksudkan untuk terjadinya wanprestasi. Segala bentuk kelalaian atau wanprestasi yang dibuat oleh debitur, mengakibatkan debitur wajib: 40 Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hal 20. 49 1. Memberikan ganti rugi kepada kreditur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata. Mengenai ganti rugi ini Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan: "Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya." Yang dimaksud biaya di sini adalah segala pengeluaran atau ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan satu pihak. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian terhadap biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden) dan kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (interessen) yang akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving).41 Sedangkan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. 2. Pembatalan atau pemutusan perjanjian sehingga membawwa kedua belah pihak untuk kembali kepada keadaan sebelum perjanjian diadakan. 3. Peralihan risiko 4. Membayar biaya perkara, jika sampai diperkarakan di depan hakim. Tuntutan dari seorang kreditur terhadap debitur yang lalai adalah: 41 Subekti, Op.cit., hal 148. 50 1. Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat. 2. Meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya. 3. Menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnyasebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian. 4. Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian ker ugian.42 B. Asas Kebebasan Berkontrak 1. Sejarah Lahirnya Asas Kebebasan Berkontrak Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir pada zaman Yunani yang diteruskan kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisans melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya.43 Sejarah timbulnya pemikiran mengenai asas kebebasan berkontrak atau freedem of contract hanya akan jelas bila didahului dengan menjelaskan mengenai 42 Subekti, Op.cit., hal 147-148 Salim, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU). (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 2. 43 51 suasana atau pola perdagangan di masa sebelum lahirnya asas tersebut, yaitu di waktu Abad Pertengahan ketika berlakunya apa yang dinamakan “mercantile system”. Sistem tersebut mengiringi keadaan ekonomi pada Abad Pertengahan, yaitu suatu masa dimana aktivitas bisnis dan perdagangan tidak mendapat tempat yang terhormat.44 Penemuan daerah-daerah baru dan logam-logam mulia pada abad ke-16 memungkinkan penggunaan uang secara luas sebagai alat tukar. Tarif barang ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah membebani perusahaan industri dan dagang dengan pungutan sebagai imbalan atas hak-hak istimewa dan hak-hak monopoli yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan tersebut. Sebagai sumber pendapatan pemerintah, maka hak untuk melakukan diberikan oleh raja kepada perseorangan, gereja, dan kotapraja. Kebencian terhadap pembatasan hak monopoli dan pemberontakan serta pengaruh hukum alam telah mengakhiri mercantile system. Para penganjur hukum alam, yang bermula dalam abad ke-17 dan abad ke-18, menyatakan bahwa manusia dituntun oleh suatu asas bahwa ia adalah bagian dari alam dan sebagai mahluk yang rasional dan cerdas, ia bertindak sesuai keinginannya (desires) dan gerak hatinya (impulses). Salah satu penganjur terkemuka dari aliran hukum alam ini adalah Hugo Grotius, yang berpendapat bahwa hak untuk mengajakan perjanjian adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia. Ia beranggapan bahwa 44 55. Essel R. Dillavou, Principles of Business Law, (New Jersey: Prentice Hall Inc., 1962), hal. 51- 52 suatu kontrak adalah tindakan suka rela dari seseorang dimana ia berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud bahwa orang lain itu akan menerimanya.45 Doktrin kebebasan untuk bertindak dan kebebasan berkontrak juga diterima oleh penganjur ekonomi laissez faire pada abad ke-18 dan 19. Adam Smith yang paling terkemuka di antara mereka telah mengusulkan sebagai salah satu asas ekomoni politik suatu ketentuan yang menyatakan bahwa perundang-undangan seyogianya tidak digunakan untuk mencampuri kebebasan berkontrak karena kebebasan ini penting bagi kelanjutan perdagangan dan industri. Hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitaanism. Utilitarianism dan teori ekonomi klasik laissez faire dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberal modernsilistis.46 Keduanya percaya terhadap individualisme sebagai suatu nilai dan sebagai suatu mekanisme sosial, keduanya yakin terhadap kebebasan berkontrak sebagai suatu asas umum dan sebagai strarting point bahwa manusia pada umumnya mengetahui kepentingan mereka sendiri yang terbaik. Dalam bukunya The Wealth of Nations, Smith mendukung prinsip “kebebasan alamiah”, yakni setiap manusia memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang diinginkannya tanpa campur tangan pemerintah. Ini mengandung pengertian negara tidak boleh campur tangan dalam perpindahan dan perputaran aliran modal, uang, barang, dan tenaga kerja. Smith juga memandang pembatasan kebebasan ekonomi oleh pemerintah sebagai pelanggaran hak asasi manusia.47 45 Sutan Remy Sjahdaeni, Op. Cit., hal. 24 P.S. Atiyah.1979.Hukum Kontrak ( Jakarta: Institut Bankir Indonesia), hal. 324. 47 Mark Skousen, Op. Cit., hal. 22 46 53 Alasan utama Smith yang melarang intervensi pemerintah adalah doktrin invisible hands (tangan gaib). Menurut doktrin ini, kebebasan (freedom), kepentingan diri sendiri (self-interest), dan persaingan (competition) akan menghasilkan masyarakat yang stabil dan makmur. Upaya individu untuk merealisasikan kepentingan dirinya sendiri bersama jutaan individu lainnya akan dibimbing oleh ”tangan tak terlihat”. Setiap upaya individu mengejar kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak indvidu tersebut juga mempromosikan kepentingan publik. Dengan kata lain, Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire) yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan (liberalisme), maka perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan. Sektor-sektor perekonomian yang secara faktual menguasai hajat hidup orang banyak atau semestinya dikuasai negara untuk mencegah konsentrasi kepemilikan di tangan segelintir orang malah diserahkan kepada mekanisme pasar yang sudah jelas didominasi kaum kapitalis. Secara logis laissez faire hanya menjadi alat kaum kapitalis untuk mencegah dominasi negara atas perekonomian, menghalang-halangi distribusi kekayaan yang adil di tengah masyarakat, dan menjadikan negara sebagai alat untuk melegalisasi kaum kapitalis. Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif 54 dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian. 2. Dasar Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perdata Dalam hukum perdata di Indonesia asas kebebasan berkontrak ini terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan pada perkataan semua, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi tentang apa saja dan diperolehkan pula membuat undang-undang sendiri, asalkan tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Lebih tegasnya para pihak yang membuat perjanjian dapat menciptakan suatu ketentuan sendiri untuk kepentingan mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki. Menurut Sjahdeini asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut: 48 1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. 2. Kebebasan untuk memeilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian. 48 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 54 55 3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa dari perjanjian yang akan dibuatnya. 4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian. 5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian. 6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional. Para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian harus tunduk pada isi perjanjian tersebut sebagaimana halnya tunduk pada Undang-undang, atau yang disebut dengan asas pacta sunt servanda. Konsekuensinya bagi pihak ketiga (termasuk hakim), juga wajib untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dan tidak ikut campur didalamnya. Bahwa demi kepastian hukum, mereka yang telah memperjanjikan sesuatu berhak mendapatkan jaminan bahwa apa yang telah diperjanjikan tidak akan dicampuri oleh orang lain, oleh karena itu asas pacta sunt servanda ini disebut juga dengan asas kepastian hukum. Menurut ketentuan pasal 1338 ayat (3) bahwa: Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik dibagi menjadi dua yaitu itikad baik subyektif dan itikad baik obyektif. Itikad baik subyektif adalah berkenaan dengan dengan sikap batin atau kejujuran mengenai keinsyafan bahwa syarat-syarat perjanjian telah terpenuhi dan biasanya tidak tertulis secara tegas dalam perjanjian, sedangkan itikad baik obyektif adalah kemampuan para pihak dalam memenuhi isi perjanjian. 56 3. Batasan Asas Kebebasan Berkontrak Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Apakah memang asas kebebasan berkontrak dapat bekerja secara bebas mutlak atau memang apa batasan-batasannya? Bila dipelajari pasal-pasal dalam KUHPerdata ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukan bebas mutlak, tetapi ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUHPerdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas. Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh “asas konsessualisme”. Ketentuan pasal 1320 ayat (1) tersebut mengandung pengetian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme. 57 Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 1320 (3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1320 ayat (4) jo. 1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut kausa yang dilarang oleh undangundang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat untuk kausa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum adalah tidak sah. 58 Pasal 1332 memberikan arah mengenai kebebasan pihak untuk membuat perjanjian sepanjang yang menyangkut objek perjanjian. Menurut pasal 1332 tersebut adalah tidak tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apa pun. Hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis saja yang dapat dijadikan objek perjanjian. Pasal 1338 ayat (3) menentukan berlaku „asas itikad baik” dalam melaksanakan perjanjian. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu perjanjian dilaksanakan, tetapi juga sudah mulai bekerja pada waktu perjanjian itu dibuat. Artinya bahwa perjanjian yang dibuat dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikain asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat perjanajian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh itikad baik. Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak Prof. Asikin Kusuma Atmadja, dalam makalahnya49 menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang 49 http://hukum.kompasiana.com/2010/08/25/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-hukum erjanjiandi-indonesia. 59 tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Lebih lanjut Prof. Asikin mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang murni/mutlak karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Beliau mengilustrasikan dengan suatu cerita lama yang mengandung moral yang ada kaitannya dengan tafsiran perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin dan mempunyai hutang yang besar karena meminjam uang untuk menyekolahkan anak gadis tersebut. Kalau hutangnya tidak segera dibayar maka satu-satunya harta berupa rumah dan pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang mempunyai kekuasaan ekonomis datang dan mengadakan perjanjian dengan orang tua gadis tersebut bahwa hutang akan dilunasi asal gadis tersebut dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong, sedangkan anak gadis tersebut telah mempunyai tunangan. Kemudian terjadilah perjanjian antara sang penolong dengan orang tua yang miskin tersebut. Apakah aneh kalau orang tua miskin tersebut kemudian mengingkari janjinya. Moral disini janganlah mencari kesempatan dalam kesempitan atau jangan menyalahgunakan kesempatan. Dalam ilmu hukum moral tersebut di atas disebut misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan kesempatan dapat digunakan dalam kategori cacat dalam menentukan kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan alasan untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak 60 diatur dalam Undang-undang melainkan merupakan suatu konstruksi yang dapat dikembangkan melalui Yurisprudensi. Sesuai dengan hukum, kebutuhan konstruksi penyalahgunaan kesempatan/keadaan merupakan atau dianggap sebagai faktor yang membatasi atau yang mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua belah pihak. Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi (economish overwicht) pada salah satu pihak, Yang menggangu keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga adanya kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu persetujuan tidak ada (kehendak yang cacat), menurut Prof. Z. Asikin50 yang penting ialah menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan sehingga mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan. Disini terletak wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang. Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Kalau umpamanya ternyata ada syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan (on redelijkecontractsvoorwaarden atau un faircontractterms), maka hakim wajib 50 Ibid 61 memeriksa dan meneliti inconcreto faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk akal, tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut. Begitupula kalau nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie), maka hakim wajib meneliti apakah inconcreto terjadi penyalahgunaan ekonomis. selanjutnya juga kalau terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan, terakhir dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak. Juga dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in concreto terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis. Dari pasal-pasal tersebut jelas bahwa asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUHPerdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUHPerdata sendiri. Dengan demikian maka jelas bahwa asas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas, akan tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat perjanjaian tidak sama kuat kedudukannya atau tidak mempunyai bargaining position yang sama. Oleh bkarena itu asas kebebasan berkontrak harus dibatasi oleh tanggungjawab para pihak, dan dibatasi oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak. 62 BAB III AKAD DAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM ISLAM A. Akad Menurut Hukum Islam 1. Definisi Akad Istilah perjanjian menurut hukum Islam disebut “akad”. Secara etimologi akad berarti ikatan, yaitu ikatan antara ujung sesuatu (dua perkara), baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara abstrak dari satu sisi atau dari dua sisi.51 Sedangkan menurut M. Hasbi Ash- Shiddieqy akad adalah mengikat, yaitu mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain, sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi satu benda.52 Secara terminologi umum adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasar keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan, dan gadai.53 Istilah dalam Al- Qur‟an yang berhubungan dengan perjanjian adalah al„aqdu (akad) dan al- „ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya 51 Muhammad Firdaus NH., dkk., Cara mudah memahami akad-akad Syari‟ah, (Jakarta: Renaisan, 2005), hal. 158. 52 M. Hasby Ash- Shiddieqy, dalam Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), Cet. I, hal. 12. 53 Muhammad Firdaus, NH., dkk. Op. Cit., hlm. 13. 63 hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu. 54 Kata al„aqdu terdapat dalam Al- Qur‟an bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya sebagai mana firman Allah yang berbunyi: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.55 Menurut Fathurrahman Djamil istilah al- „aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbentanis dalam KUH Perdata.56 Sedangkan istilah al-„ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. 57 Istilah ini terdapat dalam Al- Qur‟an bahwa sebenarnya siapa yang menepati janjinya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.58 54 Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 75 55 Q.S. Al- Maidah :1 56 Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syari‟ah dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrul Zaman et al., Cet. 1, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 247-248. 57 Ibid., hal. 248. 58 Q.S. Ali Imran : 76. Artinya: (Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa 64 Akad menurut para ahli Hukum Islam didefinikan sebagai pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. 59 Sementara itu menurut Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan (al-„aqdu) melalui tiga tahap, yaitu: 60 1. Al- „Ahdu (perjanjian) yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut seperti yang difirmankan oleh Aallah dalam surat Ali Imran ayat 76. 2. Persetujuan yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persejutuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama. 3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang dinamakan „aqdu‟ oleh Al- Qur‟an yang terdapat dalam surat Al- Maidah ayat 1. Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau „ahdu‟ itu, tetapi „aqdu‟. Sebagai contoh, jika A menyatakan janji untuk membeli sebuah mobil kemudian B menyatakan janji untuk menjual sebuah mobil, maka A dan B berada pada tahap „ahdu‟. Apabila merek mobil dan harga mobil disepakati oleh kedua pihak, maka terjadi persetujuan. Jika dua janji tersebut dilaksanakan, misalnya dengan membayar uang tanda jadi terlebih dahulu oleh A, maka terjadi perikatan atau „aqdu‟ di antara keduanya. 59 Mas‟adi, Op. cit., hlm. 76. Abdoerraoef, Al- Qur‟an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Djakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 122-123. 60 65 Menurut Pasal 262 Mursyid al- Hairan, akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.61 Sementara menurut Syamsul Anwar, akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.62 Dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan bahwa “Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu”. Dari definisi tersebut di atas memperlihatkan bahwa, pertama, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan antara ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang merepresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui perbuatan akad.63 Tujuan akad untuk akad bernama sudah ditentukan secara umum oleh Pembuat Hukum Syariah, sementara tujuan akad untuk akad tidak bernama ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai dengan maksud mereka menutup akad. Tujuan akad bernama dapat dikategorikan menjadi lima, yaitu: 61 Basyra, Mursyid al- Hairan ala Ma‟rifah Ahwal al- Insan (Kairo: dar al- Furjani, 1403/1983), hal. 49. 62 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2010), hal. 68 63 Ibid, hal. 69 66 1. Pemindahan milik dengan imbalan ataupun tanpa imbalan (at- tamlik) 2. Melakukan pekerjaan (al- „amal) 3. Malakukan persekutuan (asy- syirkah) 4. Melakukan pendelegasian (at- tafwidh) 5. Malakukan penjaminan (at- tautsiq). 64 Dari uraian tersebut di atas, mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang mengikatkan diri pada perbuatan yang akan dilakukan sebagaimana diperjanjikan. Fiqih muamalat Islam membedakan antara wa‟ad dengan akad. Wa‟ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa‟ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa‟ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang 64 Ibid, hal. 70 67 terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi yang sudah disepakati dalam akad.65 Dari segi sifat dan hukumnya akad dapat dibagi menjadi dua yaitu akad yang sah (shahih) dan akad yang tidak sah (tidak shahih), akad shahih adalah aqad yang memenuhi rukun dan syaratnya, hukum dari aqad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan dari akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak berakad, aqad tidak shahih adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.66 2. Macam-macam akad 1. Akad Bernama dan Akad Tak bernama Yang dimaksud akad bernama adalah akad yang sudah ditentukan namanya oleh Pembuat Hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain. Dalam hal ini para ulama fikih tidak sepakat tentang jumlah akad bernama baik dari sistematika penyusunan maupun urutan-urutan akadnya. Menurut al- Kasani, akad bernama meliputi: 1. Sewa menyewa (al- ijarah) 2. Penempaan (al- istishna‟) 3. Jual beli (al- bai‟) 4. Penanggungan (al- kafalah) 65 Adiwarman A. Karim, Bank Islam – Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 65. 66 M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank system Syariah,(Universitas Sumatera Utara, Medan 2005), hal 3. 68 5. Pemindahan utang (al- hiwalah) 6. Pemberiaan kuasa (al- wakalah) 7. Perdamaian (ash- shulhu) 8. Persekutuan (asy- syirkah) 9. Bagi hasil (al- mudharabah) 10. Hibah (al- hibah) 11. Gadai (ar- rahn).67 Wahbah az- Zuhaili dalam al- Fiqh al- Islami wa Adillatuhu menyebutkan 13 akad bernama adalah: 1. Jual beli (al- ba‟i) 2. Pinjam meminjam (al- qaradh) 3. Sewa menyewa (al- ijarah) 4. Sayembara (al- ju‟alah) 5. Persekutuan (asy- syirkah) 6. Hibah (al- hibah) 7. Penitipan (al- ida‟) 8. Pinjam pakai (al- i‟arah) 9. Peberian kuasa (al- wakalah) 10. Penanggungan (al- kafalah) 11. Pemindahan utang (al- hiwalah) 12. Gadai (ar- rahn) 13. Perdamaian (ash- shulhu). 68 67 V, hal. 259 Al- Kasani, Bada‟i ash shana‟i fi tartib asy- syaraki‟ (Mesir: Matba‟ah al- Jamaliyyah, 1910), 69 Az- Zarqa menyebutkan bahwa akad bernama mencapai 25 jenis, yaitu: 1. Jual beli (al- bai‟) 2. Sewa menyewa (al- ijarah) 3. Penganggungan (al- kafalah) 4. Pemindahan utang (al- hiwalah) 5. Gadai (ar- rahn) 6. Jual beli opsi (bai‟ al- wafa) 7. Penitipan (al- ida‟) 8. Pinjam pakai (al- i‟arah) 9. Hibah (al- hibah) 10. Pembagian (al- qismah) 11. Persekutuan (asy- syirkah) 12. bagi hasil (al- mudharabah) 13. Penggarapan tanah (al- muzara‟ah) 14. Pemeliharaan tanaman (al- musaqah) 15. Pemberian kuasa (al- wakalah) 16. Perdamaian (ash- shulhu) 17. Arbitrase (at- tahkim) 18. Pelepasan hak kewarisan (al- mukhajarah) 19. Pinjam menimjam (al- qaradh) 20. Pemberian hak pakai rumah (al- „umra) 21. Penetapan ahli waris (al- muwalah) 68 Az- Zuhaili, al- Fiqh al- Islami wa Adillatuh (Damaskus: dar al- Fikr, 1989), IV, hal. 80 70 22. Pemutusan perjanjian atas kesepakatan (al- iqalah) 23. Perkawinan (az- zawaj) 24. Wasiat (al- washiyyah) 25. Pengangkatan pengampu (al- isha‟) 69 Sedangkan akad tak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fikih di bawah satu nama tertentu. Dengan kata lain akad yang tidak ditentukan oleh Pembuat Hukum namanya yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Akad jenis ini dibuat dan ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka contohnya perjanjian penerbitan, periklanan.70 2. Akad Pokok dan Akad Asesoir Akad pokok adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal lain seperti akad jual beli, sewa menyewa, penitipan, pinjam pakai. Sedangkan akad asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, melainkan tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut seperti akad penanggungan (al- kafalah) dan akad gadai (ar- rahn). Kedua akad ini merupakan akad untuk menjamin, karena itu keduanya tidak ada apabila hak-hak yang dijamin tidak ada.71 69 Az- Zarqa‟, Syarh al- Qawa‟id al- Fiqhiyyah (Ttp.: Dar al- Garb al- Islami, 1993), hal. 59 Syamsul anwar, Op. Cit., hal 76. 71 Ibid., hal 77 70 71 3. Akad Bertempo dan Akad Tidak Bertempo Akad bertempo (al- „aqd az- zamani) adalah akad yang di dalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian seperti akad sewa menyewa, akad penitipan, akan pinjam meminjam, akad pemberian kuasa. Sedangkan akad tidak bertempo adalah akad di mana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian seperti akad jual beli. 4. Akad Konsensual, Akad Formalistik dan Akad Riil Yang dimaksud akad konsensual (al- „aqd ar- radha‟i) adalah jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada kesepakatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu. Meskipun kadang-kadang dipersyaratkan adanya formalitas tertentu seperti harus tertulis, hal tersebut tidak menghalangi keabsahan akad tersebut dan tetap dianggap sebagai akad konsensual seperti jual beli, sewa menyewa, utang piutang. Akad formalistik adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang ditentukan oleh Pembuat Hukum, di mana apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah seperti akad nikah di mana di antara formalitas yang disyaratkan adalah kehadiran dan kesaksian dua orang saksi. 5. Akad Masyru‟ dan akad Terlarang Akad masyru‟ adalah akad yang dibenarkan oleh syara‟ untuk dibuat dan tidak ada larangan untuk menutupnya, sepwrti akad-akad yang sudah dikenal luas semisal akad jual beli, sewa menyewa. Sedangkan akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara‟ untuk dibuat seperti akad jual beli janin, akad 72 donasi anak di bawah umur, akad yang bertentangan dengan akhlak Islam dan ketertiban umum seperti sewa menyewa untuk melakukan kejahatan, akad nikah mut‟ah.72 6. Akad Sah dan Akad Tidak sah Akad sah adalah akad yang memenuhi rukun dan syarat-syarat sebagaimana ditentuak oleh syara‟. Sedangkan akad tidak dah adalah akad yang tidak memenuhi rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh syara‟. Perbedaan akad terlarang dengan akad tidak sah hanya pada penekanan saja, di mana akad terlarang terdapat dalil-dalil syariah yang melarang. Semua akad terlarang pastilah tidak sah. Sementara itu, akad tidak sah penekanannya adalah pada tidak terpenuhinya rukun dan syarat akad. 7. Akad Mengikat dan Akad Tidak Mengikat Akad mengikat (al- aqd al- lazim) adalah akad di mana apabila seluruh rukun dan syaratnya telah terpenuhi, maka akad itu mengikat secara penuh dan masing-masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain. Akad jenis ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: pertama, akad mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli, sewa menyewa. Dalam akad jual beli masing-masing pihak tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli tanpa persetujuan pihak lain. Kedua, akad mengikat satu pihak, yaitu akad dimana salah satu pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak pertama, seperti akad penanggungan (kafalah) dan gadai. Kedua akad ini 72 Ibid., hal. 79 73 mengikat terhadap penganggung dan penggadai dimana keduanya tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak untuk siapa penanggungan dan gadai diberikan. Sebaliknya bagi pihak terakhir ini penganggungan dan gadai tidak mengikat dalam arti ia dapat membatalkannya secara sepihak. Adapun akad tidak mengikat adalah akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Akad yang memang sifat aslinya tidak mengikat seperti akad pemberian kuasa (wakalah), hibah, penitipan (wadi‟ah). Akad ini sering pula disebut akad jaiz. Dalam akad penitipan atau pinjam pakai misalnya, penitip atau pemberi pinjaman bisa saja menarik kembali barang yang dititipkannya atau dipinjamkannya tanpa persetujuan penerima titipan atau peminjam. Begitu pula sebaliknya penerima titipan atau peminjam dapat mengembalikan barang titipan atau pinjaman dapat mengembalikan barang titipan atau pinjaman tanpa persetujuan penitip atau pemberi pinjaman. Hanya saja perlu dicatat bahwa menyangkut akad jaiz bahwa fasakh sepihak hanya dapat dilakukan sepanjang fasakh tersebut tidak membawa kerugian kepada pihak mitra akad atau pihak ketiga atau dapat dilakukan sepanjang kerugian itu dapat diberi pengganti, sebagaimana dalam Qawa‟id Ibn Rajab ditegaskan “Fasakh dalam akad jaiz apabila mengakibatkan kerugian kepada salah satu pihak atau pihak ketiga tidak dibolehkan, kecuali apabila kerugian dapat diberi penggantian”.73 73 Ibn Rajab, al- qawa‟id (Makkah: Maktabah Nizar Mushthafa al- Baz, 1999), hal. 121 74 2. Akad yang tidak mengikat karena di dalamnya terdapat khiyar bagi para pihak, antara lain khiyar syarat (hak opsi),74 khiyar at- ta‟yin (opsi penentu),75 khiyar ar- ru‟yah (opsi setelah melihat),76 khiyar al- „aib (opsi cacat). 8. Akad Nafiz dan Akad mauquf Akad nafiz adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut dilaksanaakan. Dengan kata lain akad yang tercipta secara sah dan langsung menimbulkan akibat hukum sejak sat terjadinya. Akad maukuf adalah akad yang tidak dapat secara langsung dilaksanakan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, melainkan masih tergantung (maukuf) kepada adanya ratifikasi dari pihak berkepentingan. Sebab kemaukufan akad ada dua, yaitu (1) tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hukum yang dilakukan, dengan kata lain kurang cakap. Misalnya remaja yang belum dewasa hingga menjelang tercapainya usia balig, orang sakit ingatan yang kurang akalnya dalam memahami tindakannya; dan (2) tidak adanya kewenangan yang cukup atas objek akad karena adanya hak orang lain pada objek tersebut. Misalnya akad orang sakit mati yang membuat wasiat 74 Khiyar yang disyaratkan oleh salah satu atau kedua pihak dalam akad bahwa mereka mempunyai hak untuk membatalkan akad dalam waktu tertentu dan jika tidak dibatalkan selama waktu itu, maka akadnya berlangsung (tidak batal). 75 Suatu opsi yang diajukan sebagai klausul dalam perjanjian biasanya oleh pihak kedua bahwa objek perjanjian itu terdiri beberapa macam yang dapat dipilih untuk ditentukan olehnya. 76 Khiyar ini tidak diperjanjikan, melainkan merupakan ketentuan syara‟ karena ketentuan hadits Nabi SAW. 75 lebih sepertiga hartanya terahadap mana terkait hak-hak ahli waris, akad orang di bawah pengampuan yang bertindak merugikan kreditornya.77 9. Akad Tanggungan, Akad Kepercayaan dan Akad Bersifat Ganda Akad tanggungan („aqd adh- dhaman) akad yang mengalihkan tanggungan risiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa. Akad kepercayaan („aqd al- amanah) adalah akad dimana barang yang dialihkan melalui akad tersebut merupakan amanah di tangan penerima barang tersebut, sehingga ia tidak berkewajiban menanggung risiko atas barang tersebut kecuali kalau ada unsur kesengajaan dan melawan hukum. Misalnya akad penitipan, peminjaman, perwakilan (pemberian kuasa). Sedangkan akad bersifat ganda adalah akad yang di satu sisi merupkan akad tanggungan, tetapi di sisi lain merupakan akad amanah. Misalnya akad sewa menyewa dimana barang yang disewa merupakan amanah di tangan penyewa, akan tetapi di sisi lain, manfaat barang yang disewanya merupakan tanggungannya sehingga apabila ia membiarkan barang yang disewanya setelah diterima tanpa ia manfaatkan, maka manfaat barang yang tidak dinikmatinya adalah atas tanggungannya. Ia wajib membayar uang sewa kepada orang yang menyewanya. 77 Syamsul Anwar, Op. Cit., hal 254. 76 10. Akad Muawadah dan akad Tabarru‟ Akad atas beban („aqd al- mu‟awadhah) adalah akad dimana terdapat prestasi yang timbala bailk sehingga masing-masing pihak menerima sesuatu sebagai imbalan prestasi yang diberikannya. Misalnya akad jual beli, sewa menyewa. Akad cuma-cuma („aqd tabarru‟) adalah akad dimana prestasi hanya dari salah satu pihak, seperti akad hibah dan pinjam pakai. 3. Unsur dan Pembentukan Akad Sebagaimana telah dijelaskan bahwa akad adalah pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya, maka terdapat tiga unsur yang terdapat dalam akad itu, yaitu: 1. Pertalian ijab dan kabul 2. Dibenarkan oleh syara‟ 3. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya.78 Akad adalah merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan tasharruf. Musthafa Az- Zarqa, mendefinisikan tasharruf adalah segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara‟ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban). Tasharruf memiliki dua bentuk, yaitu: 1. Tasharruf fi‟li (perbuatan), yaitu usaha yang dilakukan manusia dari tenaga dan badannya, seperti mengelola tanah yang tandus atau mengelola tanah yang dibiarkan kosong oleh pemiliknya. 78 Ghufron A. Mas‟adi, Op. Cit. Hlm. 76-77. 77 2. Tasharruf qauli (perkataan), yaitu usaha yang keluar dari lidah manusia yang terbagi dalam dua bentuk: a. Tasharruf qauli aqdi, yaitu sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan dua pihak yang saling bertalian, yaitu dengan mengucapkan ijab dan kabul. Pada bentuk ini, ijab dan kabul yang dilakukan para pihak ini disebut dengan akad yang kemudian akan melahirkan suatu perikatan di antara mereka. b. Tasharruf qauli ghairu aqdi merupakan perkataan yang tidak bersifat akad atau tidak ada ijab dan kabul. Perkataan ini berupa: 1. Pernyataan, yaitu pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak (ijab saja), seperti ikrar wakaf, ikrar talak, hibah. 2. Perwujudan, yaitu dengan melakukan penuntutan hak atau dengan perkataan yang menyebabkan adanya akibat hukum, seperti gugatan, pengakuan di depan hakim, sumpah.79 Tindakan tersebut tidak bersifat mengikat, sehingga tidak dapat dikatakan akad, tetapi termasuk perbuatan hukum. 4. Rukun dan Syarat Akad Dalam melaksanakan suatu perjanjian, terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Secara definisi, rukun adalah ”suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu”. Definisi 79 Ibid. 77-78. 78 syarat adalah ”sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‟i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada”.80 Dalam pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan bahwa “Rukun akad terdiri dari (a) pihak-pihak yang berakad (b) obyek akad (c) tujuan pokok akad dan (d) kesepakatan”. Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-‟aqiadin, mahallul‟aqd, dan sighad al-‟aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Mustafa Al-Zaqra menambah maudhu‟ul ‟aqd (tujuan akad). Ia tidak menyebut keempat hal tersebut dengan rukun, tetapi dengan muqawimat ‟aqd (unsur-unsur penegak akad). Sedangkan menurut T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut merupakan kompenen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad. Keempat komponen itu adalah:81 1. Subyek Perikatan (Al-‟Aqidain) Al-‟aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dan sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum. Berikut penjelasan dari manusia dan badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan hukum Islam. 80 Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 30 81 Ghufron A. Mas‟adi, Op. Cit. hal. 51 79 1. Manusia Manusia sebagai subjek hukum adalah pihak yang sudah dibebani hukum yang disebut mukallaf, yakni orang-orang yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWTbaik yang terkait dengan perintah maupun larangan-larangan-Nya.82 Abdurrahman Raden Aji Haqqi, mengutip pendapat para Ushul Fiqh telah membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 4 (empat) tahap subjek hukum (the stage of legal capacity):83, yakni: 1. Marhalah al- Janin (Embryonic Stage), tahap ini dimulai sejak janin telah berada dalam kandungan sampai lahir dalam keadaan hidup. Sebagai subyek hukum janin disebut “Ahliyyah Al-Wujub Al-Naqisah” sehingga janin dapat memperoleh hak seperti waris, hibah namun tidak mengemban kewajiban hukum. 2. Marhalah al-Sabiy (Childhood Stage), tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup sampai berusia 7 (tujuh) tahun, disebut “AshShobiy Ghoir Al-Mumayyiz”. Hak dan kewajiban yang menyangkut harta miliknya dilaksanakan melalui walinya. 3. Marhalah al- Tamyiz (Discernment Stage), dimulai sejak manusia berusia 7 (tujuh) tahun sampai masa pubertas (aqil-baligh), disebut “Ash-Shoby Al-Mumayyiz” (sudah bisa membedakan baik dan buruk) sehingga dapat 82 Ade Armando, dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.), hal 77. 83 Abdurrahman Raden Aji Haqqi, The Philosophi of Islam Law of Transactions, (Kuala Lumpur: Univision Press, 1999), hal. 94-96. 80 memperoleh separuh kapasitasnya sebagai subjek hukum tanpa izin walinya. Oleh karena itu, segala aktivitas/transaksi penerimaan hak yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz ini sah (valid) seperti menerima hibah atau sedekah, sedangkann transaksi yang mungkin merugikan/mengurangi haknya seperti menghibahkan atau berwasiat tidak sah (non valid) kecuali atas izin walinya. Akan tetapi menurut Abu Zahrah,84 seorang mumayyiz sudak memiliki kecakapan bertindak hukum meskipun masih kurang atau lemah sehingga dapat disebut “Ahliyyah AlAda‟ An-Naqishoh”. Tidakan seorang mumayyiz dapat dianggap sah selama tidak dibatalkan walinya. 4. Marhalah al- Bulugh (Stage of Puberty), tahap ini seseorang telah mencapai aqil baligh dan dalam keadaan normal dianggap telah menjadi mukallaf, disebut “Ahliyyah Al-Ada Al-Kamilah”. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai mukallaf adalah baligh. Ukuran baligh seseorang adalah telah bermimpi (ihtilam) bagi laki-laki dan telah haid bagi perempuan. Baligh juga dapat diukur dari usia seseorang. Terhadap orang yang sudah baligh sudah dapat dibebani hukum taklifatau sudah dapat bertindak hukum karena, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, ia sudah berakal dan memiliki kecakapan bertindak hukum secara sempurna (ahliyyah al-ada‟ al-kamilah), berakal sehat. Seseorang yang melakukan perikatan harus memiliki akal yang sehat. Dengan akal sehat, ia akan 84 Ibid. 81 memahami segala perbuatan hukum yang dilakukan dan akibat hukum terhadap dirinya maupun orang lain. 2. Badan Hukum Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Badan hukum ini memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan. Dengan demikian, meskipun pengurus badan hukum berganti-ganti, ia tetap memiliki kekayaan tersendiri. Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam al-Qur‟an yang berbunyi: Artinya: Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini." Dan Daud mengetahui bahwa Kami 82 mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.85 Dalam ayat lain Allah berfirman: Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun 85 . Q.S. Ass- shad: 24 83 perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.86 Adanya kerja sama di antara beberapa orang menimbulkan kepentingan-kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubungannya dengan pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subjek hukum yang disebut dengan badan hukum. Uraian tersebut telah sesuai dengan pasal 23 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bahwa: (1) Pihak-pihak yang berakad adalah orang perseorangan, kelompok orang, persekutuan, atau badan hukum. (2) Orang yang berakad harus cakap hukum, berakal, dan tamyiz. 2. Objek Perikatan (Mahallul ‟Aqd) Mahallul aqd adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk akad dapat berupa benda 86 Q.S. An- Nisa: 12 84 berwujud seperti mobil dan rumah maupun benda tidak berwujud seperti manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul aqd adalah:87 1. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan. 2. Objek perikatan dibenarkan oleh Syariah. 3. Objek akad harus jelas dan dikenali. 4. Objek dapat diserahterimakan. Dalam pasal 24 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan bahwa: (1) Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. (2) Obyek akad harus suci, bermanfaat, milik sempurna dan dapat diserahterimakan. 3. Tujuan Perikatan (Maudhu‟ul ‟Aqd) Maudhu‟ul Aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyariatkan untuk tujuan tersebut. Dalam hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT dalam al- Qur‟an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadits, Fathurrahman Djamil mengutip pendapat ulama fiqh bahwa tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari‟at apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.88 Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akaibat hukum adalah:89 1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan. 87 Ghufron A. Mas‟adi, Op. Cit. hal. 86-89. Fathurrahman Djamil, Op. Cit. hal. 257-258. 89 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). Ed. Revisi, (Yogyakarta: UII Presss, 2000), hal. 99-100. 88 85 2. Tujuan harus berlansung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad. 3. Tujuan akad harus dibenarkan syara‟. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 25 (ayat) 1 dijelaskan bahwa “Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad. 4. Ijab dan Kabul (Sighat Al-‟Aqd) Shighat Aqd (Ijab dan Kabul) adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sedang kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Para ulama fiqh mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu: 90 1. Jala‟ul ma‟na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki. 2. Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul. 3. Jazmul iradatain, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa. Ijab dan kabul dapat dilakukan dengan 4 (empat) cara yaitu:91 1. Lisan, para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas. 2. Tulisan, hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya lebih sulit, seperti 90 91 Fathurrahman Djamil, Op. Cit. hal. 253. Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit. hal. 68-71. 86 perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum, karena sangat dibutuhkan alat bukti dan tanggung jawab terhadap orang-orang yang bergabung dalam satu badan hukum tersebut. 3. Isyarat, hal ini dapat dilakukan bagi orang cacat. 4. Perbuatan, hal ini seperti pada proses jual beli di supermarket yang tidak adan proses tawar menawar. Adapun mengenai syarat-syarat akad menurut AM. Mujahidin92 terdapat beberapa syarat yang harus ada dalam akad, di antaranya yaitu: 1. Syarat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala macam akad. 2. Syarat Khusus, yaitu syarat-syarat yang diisyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebagian yang lain. Syarat-syarat ini biasa juga disebut syarat tambahan (syarat idhafiyah) yang harus ada di samping syarat-syarat umum, seperti adanya mahar (mas kawin) untuk terjadinya nikah, tidak boleh adanya ta‟liq dalam akad muawadhah dan akad tamlik, seperti jual beli dan hibah. Sedangkan syarat-syarat yang harus terdapat dalam segala macam akad adalah: 1. Ahliyahtul „aqidain (kedua pihak yang melakukan akad cakap bertindak atau ahli), 2. Qobiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek akad dapat menerima hukuman), 92 AM. Mujahidin, M.H., Karakteristik Akad (Perikatan) dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah, Mimbar Hukum No. 66, Desember 2008, PPHI2M, Jakarta. 87 3. Al- wilyatus syar‟iyah fi maudhu‟il aqdi (akad itu diizinkan oleh syara‟ dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walau dia bukan si „aqid sendiri), 4. Alla yakunal „aqdu au madhu‟uhu mamnu‟an binashshin syar‟iyyin (jangan akad itu yang dilarang syari‟), 5. Kaunul „aqdi mufidan (akad itu memberi faidah), 6. Baqaul ijabi shalihan ila mauqu‟il qabul (ijab berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi kabul, 7. Ittahadu majlisil „aqdi (bertemu di majelis akad). 5. Asas-asas Dalam Akad Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara terminologi, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip, yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak, dan sebagainya.93 Syamsul Anwar menyebutkan delapan asas akad dalam hukum Islam yaitu:94 1. Asas Ibahah (Mabda‟ al- Ibahah) Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalah. Asas ini dirumuskan sesuai konsep ushul fikih “pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.” 93 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 70. 94 Ibid., hal. 83-92 88 2. Asas Kebebasan Berakad (Mabda‟ Hurriyyah at- Ta‟aqud) Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang dan memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya. 3. Asas Konsensualisme (Mabda‟ ar- Radha‟iyyah) Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW., Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kata sepakat.95 4. Asas Janji itu Mengikat Asas ini berdasarkan perintah Al- Qur‟an agar memenuhi janji, sebagaimana firman Allah, Artinya: Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya..”96. 95 96 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar al- Fikr, t.t.), II, hal. 737, hadits No. 2185 QS. Al- Isra: 34 89 5. Asas Keseimbangan (Mabda‟ at- Tawazun fi al- Mu‟awadhah) Dalam hukum perjanjian Islam ditekankan perlunya keseimbangan, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan antara dalam memikul risiko. 6. Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan) Akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah). 7. Asas Amanah Masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya karena menyembunyikan informasi yang semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila dikemudian hari ternyata informasi itu tidak benar. 8. Asas keadilan Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum sebagaimana firman Allah SWT. Artunya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. 90 Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.97 Sedangkan Gemala Dewi dalam kaitannya dengan Hukum Perikatan Islam menyebukatkan ada tujuh asas yang mendasarinya, yaitu:98 1. Asas Ilahiyah Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam Al- Qur‟an: Artinya: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.99 Kegiatan muamalat termasuk perbuatan perikatan, tidak akan pernah lepas nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab kepada diri sendiri dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibatnya 97 QS. Al-Maidah: 8 Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 30. 99 Q.S. Al-hadid: 8 98 91 manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya, karena perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT. 2. Asas Kebebasan (Al-Hurriyah) Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan itu mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun, kebebasan ini tidaklah absolut. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan.100 3. Asas Persamaan atau Kesetaraan (Al-Musawah) Suatu perbuatan muamalah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sering kali terjadi, bahwa seseorang memiliki kelebihan dan yang lainnya. Seperti yang tercantum dalam Al- Qur‟an: Artinya: Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar 100 Dasar hukumnya antara lain terdapat dalam QS. Al-Maidah (5): 1 ”Hai orang-orang yang beriman penuhilah aqad-aqad itu. Dan QS. Al-Hijr (15): 29 ”maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadaNya dengan bersujud”. 92 mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.101 Hal ini menunjukkan, bahwa di antara sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, antara manusia satu dengan yang lain hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dan kelebihan yang dimilikinya. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan suatu perikatan. Dalam melakukan perikatan ini, para pihak menentukan hak dan kewajiban masingmasing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan ini. Tidak boleh ada suatu kezaliman yang dilakukan dalam perikatan tersebut. Dalam Al- Qur‟an disebut: Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.102 101 102 Q.S. An- Nahl: 71 QS. Al-Hujurat : 13 93 4. Asas Keadilan (Al-‟Adalah) Dalam Al- Qur‟an Allah berfirman: Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.103 Adil adalah merupakan salah satu sifat Allah SWT. yang sering kali disebutkan dalam Al-Qur‟an. Bersikap adil sering kali Allah SWT. tekankan kepada manusia dalam melakukan perbuatan, karena adil menjadikan manusia lebih dekat kepada taqwa. 5. Asas Kerelaan (Al-Ridho) Dalam Al- Qur‟an Allah Berfirman: 103 QS. Al-Hadid (57) : 25 94 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.104 Segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang bathil (al-akl bil bathil). Ayat di atas menunjukkan, bahwa dalam melakukan suatu perdagangan hendaklah atas dasar suka sama suka atau sukarela. Tidaklah dibenarkan bahwa suatu perbuatan muamalat, perdagangan misalnya, dilakukan dengan pemaksaan ataupun penipuan. Jika hal ini terjadi, dapat membatalkan perbuatan tersebut. Unsur sukarel ini menunjukkan keikhlasan dan i‟tikad baik dari para pihak. 6. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash-Shidq) Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalat. Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam perikatan, maka akan merusak legalitas 104 QS. An-Nisa (4) : 29 95 perikatan itu sendiri. Selain itu, jika terdapat ketidak jujuran dalam perikatan, akan menimbulkan perselisihan di antara para pihak. Dalam Al- Qur‟an Allah berfirman: Artinta: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.105 Perbuatan muamalat dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perbuatan muamalat yang mendatangkan mudharat adalah dilarang. 7. Asas Tertulis (Al-Kitabah) Dalam Al- Qur‟an Allah berfirman: 105 QS. Al-Ahzab (33) : 70 96 97 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu 98 adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.106 Dalam ayat di atas disebutkan bahwa Allah SWT. menganjurkan kepada manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara tertulis, dihadiri oleh saksi-saksi, dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perikatan, dan yang menjadi saksi. Selain itu dianjurkan pula bahwa apabila perikatan dilaksanakan tidak secara tunai, maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya. Adanya tulisan, saksi dan atau benda jaminan ini menjadi alat bukti atas terjadinya perikatan tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dalam pasal 21 dijelaskan bahwa: Akad dilakukan berdasarkan asas: a. ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak; terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. b. amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji. 106 QS. Al-Baqarah (2) : 282-283 99 c. ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat. d. luzum/tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir. e. saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untyuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktek manipulasi dan merugikan salah satu pihak. f. taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. g. transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. h. kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan. i. taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan. j. itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. k. sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram. l. al-hurriyah (kebebasan berkontrak). m. al-kitabah (tertulis). 6. Hak Pilih Dalam Akad Kata khiyar dalam bahasa arab, berarti pilihan. Secara terminologis al Zuhaily mendefinisikan107 khiyar adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan akad untuk melangsungkan atau membatalkan akad dengan mekanisme tertentu. Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orangorang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan sehingga kemaslahatan dalam berakad tercapai dengan sebaik-baiknya. 107 Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (DamaskusDar al Fikr al Mu'ashir, Jilid 4, 1997), hal. 3086-3095 100 1. Khiyar al- Majlis Khiyar al- Majlis adalah hak pilih kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad selama keduanya masih berada dalam majelis akad dan belum berpisah badan. Artinya suatu akad baru dianggap sah apabila kedua belah pihak yang melaksanakan akad telah terpisah badan atau salah seorang di antara mereka telah melakukan pilihann untuk menjual dan/ atau membeli. Dasar nya adalah sabda nabi Muhammad SAW yang berbunyi: انبيعاٌ بانخياز يانى يتفسقا “Apabila dua orang melakukan akad jual beli , maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah badan”. (HR. alBukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Umar). 108 2. Khiyar Ta'yin Khiyar Ta'yin adalah hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli karena kualiatas barang itu berbeda-beda sehingga agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang dicari sesuai dengan keperluannya. 3. Khiyar asy- Syarth Khiyar asy- Syarth adalah hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi yang lain untuk meneruskan atau 108 Wahbah Zuhaily, Op. Cit, hal 252 101 membatalkan jual beli, selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan. Mayoritas ulama fiqih mengatakan, tenggang waktu dalam khiyar syarat tidak lebih dari tiga hari, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW sebagai berikut: َحديث حباٌ بٍ ينقر انرٍ كاٌ يغبٍ فَ انبيع ًانشساء فشكا اىهو ان زسٌل هللا فقال اذا بايعت فقم ال خالبة ًنَ انخياز ثالثة اياو “Apabila seseorang membeli suatu barang, maka katakanalah (pada penjual): Jangan ada tipuan! Dan saya berhak memilih dalam tiga hari” (HR. Bukhari dan Muslim).109 4. Khiyar al- 'Aib Khiyar al- 'Aib adalah hak untuk membatalkan atau melangsungkan akad bagi kedua belah pihak yang mengadakan akad, apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung. Misalnya seseorang membeli telur ayam satu kilogram, kemudian satu butir di antaranya sudah busuk. Hal ini sebelumnya belum diketahui, baik oleh penjual maupun pembeli. Dalam kasus ini, para ahli hukum Islam sepakat untuk ditetapkan hak khiyar bagi pembeli. Dasar hukumnya Hadist Rasulullah Saw. انًسهى اخٌ انًسهى ال يحم نًسهى باع يٍ اخيو بيعا ًفيو عيب اال بينو 109 Ibid 102 Artinya: “Sesama muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seseorang menjual barangnya kepada muslim lainnya, padahal pada barang itu terdapat cacat (aib)”. (HR. Ibnu Majah dari „Uqbah Ibn Amir). 110 5. Khiyar ar Ru'yah Khiyar ar Ru'yah adalah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terahadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung. Hal ini berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW يٍ اشتسٍ شيأ نى يسه فيٌ بانخياز اذا زأه Artinya: “Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu”. (HR. ad- Daruqutni dari Abu Hurairah).111 6. Khiyar Naqad Khiyar Naqad adalah melakukan jual beli dengan ketentuan, jika pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu, maka pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah diatur secara tersendiri mengenai masalah khiyar yang meliputi khiyar syarat, khiyar naqdi, khiyar ru‟yah, khiyar „aib, khiyar ghabn dan taghrib.112 110 111 Sayyid sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid 2, hal. 112. Wahbah Zuhaily, Op. Cit, hal 254 103 7. Berakhirnya Akad Suatu akad dipandang berakhir apabila: 1. Terpenuhinya Tujuan Akad Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah tangan kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Dalam akad gadai (rahn) dan pertanggungan (kafalah), akad dipandang telah berakhir apabila hutang telah terbayar. Akad bisa dianggap berakhir jika telah berakhirnya masa akad, misalnya akad sewa menyewa sudah habis, kontak menjadi berakhir dengan sendirinya. 2. Terjadi Fasakh (pembatalan) Menurut Ahmad Azhar Basyir bahwa fasakh terjadi dengan sebabsebab sebagai berikut:113 1. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara‟, seperti jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan. 2. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyah, cacat, syarat atau majelis. 3. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini disebut iqalah. Dalam hubungan ini hadits Nabi riwayat Abu Daud mengajarkan bahwa barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan 112 113 Pasal 271-294 KHES, edisi revisi, 2010 Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit. 130-131 104 orang yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan kesukarannya pada hari kiamat kelak. 4. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhioleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya dalam khiyar pembayaran (khiyar naqad) penjual mengatakan bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, dengan ketentuan apabila dalam tempo seminggu harganya tidak dibayar, akad jual beli menjadi batal. Apabila pembeli dalam waktu yang ditentukan itu membayar, akad berlangsung. Akan tetapi apabila ia tidak membayar, akad menjadi rusak (batal). 5. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang. 6. Karena tidak mendapat izin pihak yang berwenang. 7. Karena kematian, akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai berakhirnya akad karena kematian, apakah hak yang timbul oleh akad itu dapat diwariskan atau tidak. B. Asas Kebebsan Berkontrak Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa hukum Islam mengakui adanya asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak yang dimaksud adalah kebebasan dalam menentukan bentuk-bentuk perjanjian yang digali berdasarkan dalil-dalil umum dalam Islam. Nas-nas al-Qur‟an dan Sunnah Nabi serta kaidah-kaidah fiqih menunjukka bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berkontrak. 105 Dalam al-Qur‟an Allah SWT berfirman Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.114 Cara menyimpulkan kebebasan berkontrak dari ayat di atas adalah bahwa menurut kaidah ushul fiqih (metodologi penggalian hukum Islam), perintah dalam ayat ini adalah wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini akad disebut dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “al” (al- „uqud). Menurut kaidah ushul fiqih, jamak yang diberi kata sandang “al” menunjukkan keumuman.115 Dengan demikian, dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi.116 Dalam hadits Nabi dinyatakan: انًسهًٌٌ عهَ شسًطيى 114 QS. 5:1. Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, tt), hal. 157. 116 At- Thabathaba‟i, al- mizan fi Tafsir al- qur‟an (Beirut: Mu‟assah al- A‟lam li al- Mathbu‟at, 1970), V: 158. 115 106 Artinya: “Orang-orang muslim itu terikat kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka”.117 Hadits di atas seperti ayat di atas menunjukkan bahwa orang Islam terikat kepada apa saja syarat yang mereka perjanjikan. Dengan kata lain mereka dapat membuat syarat apa saja dan kelak syarat yang diperjanjikan itu dihormati dan mengikat mereka untuk memenuhinya. Terhadap hadits ini al- Kanasi memberi penjelasan, zahir hadits ini menyatakan wajibnya memenuhi setiap perjanjian selain yang dikecualikan oleh suatu dalil, karena hdits ini menuntut setiap orang untuk setia kepada janjinya, dan kesetiaan kepada janji itu adalah dengan memenuhi janji tersebut. Asasnya adalah bahwa setiap tindakan hukum seseorang terjadi menurut yang ia kehendaki apabila ia adalah orang yang cakap untuk melakukan tindakan tersebut, objeknya dapat menerima tindakan dimaksud, dan orang bersangkutan mempunyai kewenangan dalam tindakan itu.118 Dalam sabda nabi SAW. yang lain “Barangsiapa menjual pohon kurma yang sudah dikawinkan, maka buahnya adalah untuk penjual (tidak ikut terjual), kecuali apabila pembeli mensyaratkan lain”.119 Dalam hadits ini menjelaskan bahwa para pihak dapat menyimpang dari ketentuan hukum perjanjian yang bersifat pelengkap. Sebagai contoh adalah hadits di atas menegaskan bahwa asasnya adalah bahwa buah hasil pengawinan yang dilakukan oleh penjual tidak masuk dalam kontrak jual beli. Namun para pihak dapat menentukan lain, misalnya memasukkan buah tersebut ke dalam perjanjian jual beli. 117 Imam Bukhari, Shahih Bukhari: Kitab Ijarah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981) III:52. Al- Kasani, Bada‟i ash- Shana‟i fi Tartib asy- Syaraki‟ (Mesir: Mathba‟ah al- Jamaliyyah, 19100, V, 259 119 Imam Bukhari, Op. Cit., III: 47 118 107 Dalam hukum Islam, pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibatnya hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji.120 Kaidah ini jelas menunjukkan kebebasan berakad karena perjanjian itu dinyatakan sebagai berdasarkan kata sepakat para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji. Bila dalam hukum positif dijelaskan bahwa membuat segala bentuk perjanjian adalah bebas dalam batasbatas ketertiban umum dan kesusilaan, maka dalam Islam dengan berpedoman pada hadits tersebut nampak ada kelonggaran dalam menentapkan syarat-syarat perjanjian. Dalam al-Qur‟an-pun tidak ada pernyataan yang membatasi bentuk-bentuk perjanjian. Allah SWT. berfirman: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.121 Ayat di atas menggunakan kata ijarah (perniagaan), maksudnya melakukan transaksi dengan cara tukar menukar harta benda. Hal ini menujukkan bahwa setiap transaksi (tukar menukar benda) dianggap boleh dan sah dalam batas tidak melakukannya dengan jalan yang “bathil”. Kalau ayat ini dikaitkan dengan hadits di atas menunjukkan 120 121 Asjmuni A. Rahman, Qa‟idah-qa‟idah Fiqih (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 44 Q.S. An- Nisa:29 108 bahwa segala bentuk akad yang dibuat adalah boleh selama tidak dilakukan dengan cara yang bathil, tidak bertentangan dengan ketentuan syara‟, dan tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. Dengan demikian, kebebasan membuat akad menurut Islam tidaklah mutlak, melainkan dibatasi. Beberapa pembatasan yang ada dalam kitab fiqih klasik sebenarnya adalah cakupan dari beberapa bentuk perjanjian yang ada pada masa kitab tersebut disusun. Oleh karenanya, pengembangan macam dan bentuk perjanjian selanjutnya tidak ada larangan. Keberadaan perjanjian dapat ditelaah dengan melihat beberapa prinsip muamalah dalam Islam, di antaranya: pertama, pada dasarnya segala bentuk mualamah adalah mubah, kecuali yang dilarang dalam al-Qur‟an dan Sunnah; kedua, muamalah dilakukan atas dasar suka rela, tanpa mengandung unsur paksaan; ketiga, muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam kehidupan masyarakat; keempat, muamalah dilaksanakan untuk memelihara keadilan, menghilangkan kezaliman (ketidakadilan), gharar (penuh tipu daya).122 Menurut mazhab Hanbali dan Maliki, pihak-pihak yang melakukan perjanjian (akad) bebas menggunakan persyaratan selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua belah pihak, misalnya menentukan sifat-sifat tertentu yang bermanfaat terhadap barang yang dibeli. Namun demikian, mereka tetap menyatakan bahwa syarat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kehendak syara‟.123 122 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam, (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1993), hal. 10. 123 Ensiklopedi Hukum Islam, Abdul Azis Dahlan, et,al. (ed), (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), I:67. 109 Menurut al-Zarqa kebebasan berkeontrak itu meliputi empat segi kebebasan: (1) kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian. (2) tidak terikat kepada formalitas-formalitas, tetapi cukup semata-mata berdasarkan kata sepakat (perizinan) (3) tidak terikat kepada perjanjian-perjanjian bernama, 4.kebebasan untuk menentukan akibat perjanjian.124 Kebebasan manusia untuk membuat akad dan menentukan syarat-syarat di dalamnya sesuai dengan kesepakatan di antara para pihak telah menjadi wacana yang cukup di antara para ahli hukum Islam dari masa ke masa. Permasalahan akad yang disertai syarat ini terdapat dua pendapat: 1. Pendapat yang tidak membolehkan Pada dasarnya akad dan membuat syarat di dalamnya adalah haram, sampai ada dalil syari‟at yang membolehkannya. Pendapat ini dipegang oleh fuqaha Zahiriyyah dengan tokohnya Ibnu Hazm. Sejalan dengan pendapat ini adalah Abu hanifah, asy- Syafi‟i dan segolongan sahabat-sahabat Malik dan Ahmad.125 Menurut Ibnu Hazm, pada dasarnya yang berhak membuat akad dan syarat di dalamnya hanyalah pembuat undang-undang, yaitu Allah dan Rasulnya. Memenuhi akad tidaklah merupakan keharusan yang mengikat, kecuali pada akad yang telah ditetapkan oleh nash untuk memenuhinya.126 Berkaitan dengan hal ini Ibnu Hazm mengemukakan tujuh macam syarat. Persyaratan itu di antaranya: 124 Al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami fi Sauhihi al-Jadid, cet. Ke-9 (Damaskus: Matabi‟ Alifba‟ alAdib, 1968), I:462. 125 Al- Asimi, Majmu Fatawa Syaikh al- Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, (Riyad: Matabi‟ arRiyad, 1383 H), XXIX: 126-127. 126 Ibn Hazm, Al- Muhalla, (Beirut: al- Maktabah at- Tijari li at Tiba‟ah wa an- Nasyr, tt), VII: 337. 110 1. Mensyaratkan gadai dalam jual beli tidak tunai (sebagai jaminan pembayaran hutang). 2. Mensyaratkan penundaan pembayaran harga sampai pada waktu yang ditentukan. 3. Syarat pembayaran hanya pada waktu longgar. 4. Mensyaratkan sifat tertentu pada barang. 5. Mensyaratkan tidak ada penipuan. 6. Mensyaratkan harta benda milik budak yang dijual oleh tuannya adalah untuk pembeli baik sebagiannya maupun seluruhnya. 7. Mensyaratkan bahwa buah pohon yang telah dikawinkan yang dijual oleh pemiliknya adalah untuk pembeli baik sebagian maupun seluruhnya.127 Dalam pandangan Abu Hanifah syarat adalah batal, kecuali syarat itu tidak bertentangan dengan tuntutan akad. Dengan kata lain syarat baru dipandang sah ketika syarat itu merupakan yang dikehendaki oleh akad. Maksudnya dari syaraat yang dikehendaki oleh akad adalaah syarat yang merupakan akibat logis dari akad, sehingga kalaupun tidak diperjanjikan dalam akad, syarat itu sudah termasuk ke dalam akad dengan sendirinya, karena ia merupakan akibat yang dikehendaki oleh akad. Misalnya pembeli mensyaratkan bahwa barang yang dibeli menjadi pemiliknya.128 Abu Hanifah juga melarang adanya syarat-syarat dalam akad nikah. Alasannya adalah nikah bukanlah objek yang dapat terjadi fasakh (pembatalan) di dalamnya, nikah tidak menjadi batal hanya karena adanya cacat atau kemelaratan pada salah satu pihak suami istri. Sepaham dengan pendapat Abu Hanifah adalah pendapat 127 128 Ibid., hal. 412 Ibnu Taimiyyah, Al- Fatawa al- Kubra, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1987), IV, hal. 77 111 Syafi‟i hanya mengecualikan satu syarat yaitu syarat yang tidak bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh akad. Oleh karenanya sebagian syarat dalam akad nikah diperkenankan. Misalnya salah satu pihak mensyaratkan kemerdekaan dan keislaman pihak lainnya dan semua semua sifat tertentu yang dimaksudkan adalah sah, seperti tampan, cantik dan lainnya.129 Pendapat Syafi‟i nampaknya lebih luas dan lebih luwes berkaitan dengan syarat yang dikehendaki oleh akad. Sebab menurutnya syarat yang bertentangan dengan tujuan akad dapat menjadi sah jika didukung oleh dalil-dalil khusus. Misalnya Syafi‟i melarang usaha menghalangi pembeli untuk berbuat sekehendaknya secara mutlak pada barang yang dibelinya, namun ia memperkenankan jual beli dengan syarat pembeli mau memerdekakan budak yang dibelinya.130 Pendapat mazhab maliki berkaitan dengan adanya syarat dalam akad dikemukakan bahwa segala syarat yang tidak bertentangan dengan tuntutan akad atau tidak serasi dengan akad namun mengandung kebajikan adalah sah. Dalam hal ini mazhab Maliki lebih luas dibanding dengan mazhab Hanafi yang mengatakan meskipun mengandung tujuan kemaslahatan adalah tetap tidak sah. Mazhab Maliki juga lebih luas berkaitan dengan syarat-syarat yang diungkapkan oleh mazhab Hanafi dan Syafi‟i yakni berkaitan dengan sahnya syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan akad dan syarat yang tidak serasi dengan akad. Namun demikian jika syarat itu mengandung syarat kemaslahatan kedua mazhab ini berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafi‟i kemaslahatan yang dapat mengesahkan akad yang demikian itu harus didasarkan pada nash syar‟i, seperti 129 130 Ibid. Ibid 112 syarat khiyar, oenentuan batas waktu, gadai dan lainnya. Sedangkan mazhab Maliki mengesahkan semua syarat yang mengandung manfaat logis bagi salah satu pihak, meskipun tidak dikehendaki oleh akad.131 2. Pendapat yang membolehkan Pada prinsipnya membuat akad dengan syarat adalah boleh dan sah. Keduanya tidak ada yang haram atau batal kecuali apa yang diharamkan atau yang dibatalkan oleh syara‟ baik yang berdasarkan nash atau qiyas. Pendapat ini diikuti oleh Ahmad Ibnu Hambal. Alasannya adalah banyak hadits dan pendapat sahabat yang tidak terhitung jumlahnya yang mengesahkan banyak akad dengan syarat tidak ditemukan oleh para imam selain Ahmad. Karenya Ahmad mendasarkan padanya dan mengqiyaskan hal-hal lain yang semakna dengannya.132 Adapun ayat al- Qur‟an yang menjadi pedoman diperkenankannya syarat dalam akad adalah firman Allah Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.133 131 As- Sanhuri, Masadir al haq fi al- Fiqh al- Islami, (Beirut: Dar al- Fikr, tt), III, hal. 156 Al- Asimi, Op. Cit., hal. 133-135 133 QS. Al- Maidah:1 132 113 Akad dalam ayat itu mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Dalam ayat itu juga terdapat perintah untuk memenuhi segala bentuk akad dan syarat serta larangan untuk berkhiatan dan menyalahi akad. Dalam hal adanya syarat dalam akad, meskipun Ahmad Ibnu Hambal cenderung membebaskan adanya syarat dalam suatu akad, akan tetapi pemberian kebebasan itu bukan berarti bebas tanpa ada batas. Bagaimanapun juga memasukan syarat dalam suatu akad tetap dibatasi dengan tidak bertentangan dengan syari‟at Islam. Melihat perbedaan pendapat ulama dalam hal syarat yang dimasukan dalam suatu akad, pada intinya mereka tidak ada yang membebaskan sebebas mungkin. Mereka tetap memberikan batasan-batasan, dan batasan-batasan inilah yang membedakan pendapat mereka. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah secara jelas menyebutkan bahwa akad dilakukan berdasarkan asas al-hurriyah (kebebasan berkontrak).134 Akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh pasal-pasal yang terdapat dalam KHES itu sendiri, sebagai berikut: Pasal 26 Akad tidak sah apabila bertentangan dengan: a. syariat Islam; b. peraturan perundang-undangan; c. Ketertiban umum; dan/atau d. kesusilaan. Pasal 27 Hukum akad terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu: a. akad yang sah 134 Pasal 21 (huruf) l KHES, edisi revisi 114 b. akad yang fasad/dapat dibatalkan c. akad yang batal/batal demi hukum Pasal 28 (1) Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya; (2) Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat; (3) Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya; Pasal 29 (1) Akad yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf a adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur ghalath atau khilaf, dilakukan dibawah ikrah atau paksaan, taghrir atau tipuan, dan ghubn atau penyamaran. (2) Akad yang disepakati harus memuat ketentuan: a. kesepakatan mengikatkan diri; b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. terhadap sesuatu hal tertentu; d. suatu sebab yang halal menmurut syari‟at Islam. 115 BAB IV TINJAUAN FILOSOFIS ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK A. Perbedaan Asas Kebebasan Berkontrak antara KUHPerdata dengan KHES Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum privat yang secara historis dan sosiologis mendasarkan pada tiga sistem hukum yang berbeda, yakni hukum Barat (KUHPerdata), hukum adat dan hukum Islam sehingga kemudian melahirkan hukum perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata, hukum perjanjian adat dan hukum perjanjian Islam.135 Sistem yang dianut oleh buku III juga lazim dinamakan sistem terbuka yang merupakan kebalikan dari sistem buku II bersifat tertutup.136 Fenomena dalam teori perjanjian dianggap sebagai keranjang sampah catch all. Salah satu asas yang menunjukkan fenomena tersebut adalah adanya asas kebebasan berkontrak freedom of contract.137 Setiap orang mempunyai kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan siapa pun. Perjanjian antara satu pihak dengan pihak lain tersebut bersifat privat, artinya hanya mengikat kedua belah pihak. Karena itu pihak lain tidak mempunyai hak untuk ikut campur dalam perjanjian tersebut, tidak juga negara (dalam bentuk Undang-Undang). Negara hanya bisa melakukan intervensi dalam hubungan 135 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Jogjakarta: Citra Media, 2006), hal. 157. 136 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hal. 128 137 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 30. 116 privat/perdata apabila salah satu pihak yang melakukan hubungan perdata berada dalam posisi yang lemah. Negara mempunyai tugas untuk melindungi pihak yang lemah tersebut agar mempunyai posisi yang kuat. Misalnya, bahwa perjanjian itu harus memenuhi syaratsyarat sahnya suatu perjanjian, bahwa materi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan per-Undang-Undangan, ketertiban dan kesusilaan dan bahwa perjanjian tidak boleh timbul akibat dari adanya paksaan, kekhilafan ataupun penipuan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa “pihak yang kuat (pengusaha/bank) mengalahkan pihak yang lemah (masyarakat/nasabah), oleh karena itu masyarakat menerimanya dengan keterpaksaan”.138 Prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum positif kita diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” Sementara batasan-batasan yang diberikan oleh pembentuk Undang-Undang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3, 1320, 1321 dan 1337 KUHPerdata. Dalam Hukum Islam juga menganut asas kebebasan berkontrak yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat kedua belah pihak apabila ada kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam 2 (dua) pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan). Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang 138 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bhakti, 2001), hal. 75. 117 merupakan pedoman bagi hakim peradilan agama secara tegas disebutkan bahwa akad harus dilakukan berdasarkan asas al-hurriyah (kebebasan berkontrak).139 Namun demikian tentunya sangat berbeda dalam hal-hal prinsip dalam rangka pembatasan asas kebebasan berkontrak tersebut. Karena pembatasan yang diberikan dalam asas kebebasan berkontrak dalam KUHPerdata adalah buatan manusia berupa Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sementara pembatasan yang ada dalam konsep syariah adalah firman Allah dalam Al-Qur‟an dan juga pernyataan dan perilaku Nabi Muhammad dalam Al-Hadis. Dengan demikian tentu saja ada perbedaan yang sangat esensial dalam pembatasan-pembatasan yang diberikan oleh kedua konsep tersebut. Misalnya dalam konsep syariah sebuah perjanjian atau kontrak tidak boleh memuat 5 (lima) hal berikut : 1. Membuat dan menjual barang najis. 2. Membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam. 3. Mengandung gharar (ketidakpastian). 4. Mengandung riba (bunga uang). 5. Mengandung maisir (perjudian). Lima materi pembatasan tersebut bisa dijadikan penjelasan bagi konsep kausa yang halal sebagai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Konsep syariah juga menganut asas kebebasan berkontrak namun dengan pembatasan-pembatasan yang lebih spesifik. 139 Pasal 21 (huruf) l KHES, edisi revisi, 2010 118 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam suatu pembuatan atau perancangan kontrak menurut fikih Islam. Hal tersebut antara lain, yaitu mengenai:140 a. Bahasa dalam kontrak. b. Kontrak standar/perjanjian baku. c. Saksi-saksi. d. Peraturan dan per-Undang-Undangan yang terkait. e. Penyelesaian sengketa. Dalam Al-qur‟an Allah berfirman Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.141 Ayat diatas berisi ajaran tentang asas kebebasan berkontrak. Cara menyimpulkan ayat tersebut adalah dengan melihat kata al-„uqud (perjanjianperjanjian) yang berbentuk jamak dan diberi kata sandang “al”, ini sesuai dengan kaidah dalam usul fiqh menunjuk keumuman, sehingga semua perjanjian apapun dan 140 M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank Sistem Syariah, Konsentrasi Hukum Islam, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005, hal. 138. 141 Q.S. Al-Maidah ayat: 1 119 berisi apa saja wajib dipenuhi, kecuali yang mengandung unsur makan harta orang lain secara batil. Sama dengan hal ini adalah hadis Nabi saw yang menyatakan orang Muslim terikat kepada perjanjian yang mereka buat. Sedangkan kaidah fiqhiyah lebih tegas lagi menyatakan kebebasan berkontrak karena akibat hukum perjanjian dinyatakan sebagai menurut apa yang ditetapkan oleh para pihak sendiri melalui perjanjian. Namun demikian kebebasan itu tidak bersifat mutlak, melainkan dibatasi oleh ketertiban umum syar‟i dan akhlak islamiah. Hal ini dipahami dari pernyataan firman Allah yang berbunyi: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.142 Ayat tersebut melarang makan harta sesama dengan jalan batil. Para ahli tafsir menafsirkan “makan harta dengan jalan batil” itu sebagai semua transaksi yang 142 Q.S. An- Nisa ayat: 29 120 dilarang menurut ketentuan hukum Islam seperti transaksi yang mengandung kebatilan dan penipuan.143 B. Nilai Filosofi Asas Kebebasan Berkontrak Kata filsafat berasal dari kata Yunani philosophia yang secara harfiah berarti cinta kepada pengetahuan atau cinta kepada kebijaksanaan. Menurut Mustafa Abdurraziq, pemakaian kata-kata hikmah dan hakim dalam bahasa Arab sama dengan arti falsafah dan failosuf. Hikmah dapat dicapai oleh manusia melalui kemampuan daya nalar dan metode-metode berpikirnya.144 Al-Qur‟an secara tegas telah memberi kemungkinan bagi pemikiran filosofis itu. Di dalam al- Qur‟an terdapat sejumlah ayat yang menyuruh manusia untuk menggunakan daya nalarnya dengan menjadikan alam semesta sebagai objek pikirannya.145 Dalam kaitannya dengan masalah filsafat, Lili Rasyidi mengatakan bahwa obyek pembahasan filsafat hukum tidak hanya masalah tujuan hukum saja, tetapi setiap permasalahan yang mendasar sifatnya yang muncul di dalam masyarakat yang memerlukan suatu pemecahan adalah termasuk dalam kajian filsafat hukum. Filsafat hukum merupakan buah pikiran para ahli hukum yang dalam tugas sehari-harinya banyak menghadapi permasalahan yang menyangkut keadilan sosial di masyarakat, antara lain masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, 143 Ibn Kasir, Tafsir al-Qura‟an al-Azim (Tafsir Ibn Kasir) (Beirut: Dar al-Andalus li Tiba‟ah wa an-Nasyr, t.t.), II:253. 144 Ensiklopedi Islam, jilid 2, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoevo, 1994); hal. 15s 145 Ibid. 121 hubungan hukum dalam nilai-nilai sosial budaya, masalah pertanggungjawaban dan lain-lain.146 1. Keadilan Dalam Berkontrak Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakikatnya tidak dilepaskan dalam hubungannya dengana masalah keadilan. Kontrak sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak lain menuntut bentuk pertukaran kepentingan yang adil. Oleh karena itu sangat tepat dan mendasar apabila dalam melakukan analisis tentang tentang asas kebebasan berkontrak ditinjau dari aspek filosofis keadilan berkontrak. Pertanyaan tentang keadilan, merupakan pemahaman yang rumit bahkan abstrak dikaitkan dengan berbagai dengan kepentingan yang kompleks. Menurut Aristoteles,147 keadilan artinya berbuat kebajikan, atau dengan kata lain, keadilan adalah kebajikan yang utama. Ulpianus 148 menggambarkan keadilan sebagai “justitia est contans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” (keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masingmasing apa yang menjadi haknya) atau “to give everybody his own”, memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya.149 Perumusan ini dengan tegas mengakui hak masing-masing person terhadap lainnya serta apa yang seharusnya menjadi bagiannya, demikian pula sebaliknya. 146 129. 147 Abdul Manan, Hukum Islam dalam berbagai Wacana, (Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003), hal. Burhanuddin Salam, Etika Sosial, Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 117 O. Notohamidjojo, Masalah: Keadilan, (Semarang: Tirta Amerta, 1971), hal. 18-19 149 K. Berten, Pengantar Etika Binnis, Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 86-87 148 122 Cicero150 mengatakan bahwa orang dinilai “baik” dilihat dari perilaku keadilannya. Menurutnya ada tiga kebijakan moral yaitu: keadilan, pengendalian diri dan sopan santun. Sedangkan Thomas Aquinas 151 dalam hubungannya dengan keadilan mengajukan tiga struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu: a. Hubungan antar individu (ordo partium ad partes) b. Hubungan antar masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu (ordo totius ad partes) c. Hubungan antara individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo partium ad totum). Dalam hal hakikat keadilan dalam kontrak, beberapa sarjana pemikir seperti John Locke, Rosseau, Immanuel Kant, John Rawls152 menyadari bahwa tanpa kontrak serta hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, maka masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Oleh karena itu tanpa adanya kontrak, orang tidak akan bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak lain. Kontrak memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individu akan memenuhi janjinya, dan selanjutnya hal ini menunjukkan terjadinya transaksi diantara mereka.153 John Locke, Rosseau, dan Immanuel kant, meskipun teori keadilannya berbasis kontrak, namun toeri keadilan Rawls merupakan teori yang dianggap fenomenal dan paling banyak diperdebatkan oleh para ahli karena teorinya bertitik tolak dari kritiknya atas kegagalan teori-teori keadilan yang berkembang 150 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 124 Ibid., hal 125-126 152 Raymond Wacks, Jurisprudence, (London: Blackstone Press Limited, 1995), hal. 178 153 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hal. 40. 151 123 sebelumnya. Kegagalan tersebut disebabkan oleh substansinya yang sangat dipengaruhi baik utilitarianisme maupun intuisionisme.154 Rawls mengkritik yang dipelopori Jeremy Bentham karena teori utilitarianisme gagal untuk menjamin keadilan sosial karena lebih mendahulukan asas manfaat dari pada asas hak. Oleh karena itu utilitarianisme tidak tetap untuk dijadikan basis untuk membangun suatu konsep keadilan. Lanjutnya tidak adil mengorbankan hak dari satu atau beberapa orang yang hanya demi keuntungan ekonomis yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan. Sikap ini justru bertentangan dengan keadilan sebagai fairness yang menurut prinsip kebebasan yang sama sebagai basis yang melandasi pengaturan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya pertimbangan ekonimos tidak boleh bertentangan dengan prinsip kebebasan dan hak yang sama bagi semua orang. Rawls juga mengkritik intuisionisme karena tidak memberi tempat memadai pada asas rasionalitas. Intuisionisme dalam proses pengambilan keputusan (moral) lebih mengandalkan kemampuan intuisi manusia. Dengan demikian pandangan ini juga tidak memadai apabila dijadikan pegangan dalam mengambil kep[utusan, terutama pada waktu terjadinya konflik antara norma-norma moral.155 Rawls mencoba menawarkan suatu bentuk penyelesaian yang terkait dengan problematika keadilan dengan membangun teori keadilan berbasis kontrak. Menurutnya suatu teori kedailan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional dan 154 Andrea ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 21 155 Ibid., hal 21-32 124 sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Yang perlu digarisbawahi bahwa konsep kesamaan menurut Rawls harus dipahami sebagai “kesamaan kedudukan dan hak”, bukan dalam arti “kesamaan hasil” yang dapat diperoleh semua orang. Kebebasan yang ada selalu dalam kebebasan yang tersituasi. Oleh karena itu harus dipahami bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapat sesuatu dalam jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara obyektif ada pada setiap individu. Keadilan merupakan konsep yang komprehensif menyangkut semua segi kehidupan umat manusia. Keadilan juga membuahkan keseimbangan, kesesuaian dan keselarasan dengan keadilan hukum.156 Kata keadilan dalam al- Qur‟an merupakan kata yang paling banyak disebut setelah Allah SWT., dimana telah lebih dari 100 kali al- Qur‟an mengulang-ulang kata ini, jadi menunjukkan betapa penting dan esnsialnya kata ini. Terkait hubungannya dengan bisnis dan dunia usaha, Islam telah melarang setiap hubungan bisnis yang mengandung kedzaliman. Sebagaimana diungkapkan oleh an- Nabahan,157 keadilan harus dipahami sebagai doktrin syariah, sebab syariah tidak hadir, kecuali demi menciptakan keadilan sosial. Berkaitan dengan masalah perilaku ekonomi umat manusia, maka keadilan mengandung maksud sebagai berikut: 156 Sophiaan, Ainur R. Etika Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 86 157 An- Nabahan, M. Faruq, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosial, terj. Muhadi Zainudin, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 61 125 a. Keadilan yang rasional Keadilan harus ditetapkan di semua fase kegiatan ekonomi. Keadilan dalam produksi dan konsumsi ialah paduan (aransement) efisiensi dan memberantas pemborosan. Adalah suatu kedzaliman dan penindasan apabila seseorang dibiarkan berbuat terhadap hartanya sendiri yang melampaui batas yang ditetapkaan dan bahkan merampas hak orang lain. b. Keadilan yang memberikan kebebasan Keadilan berarti kebebasan yang bersyarat akhlak Islam. Kebebasan yang tidak terbatas akan mengakibatkan ketidakserasiannya diantara pertumbuhan produksi dengan hak-hak istimewa bagi segolongan kecil untuk mengumpulkan kekayaan yang melimpah dan mempertajam pertentangan antara yang kuat dan akhirnya akan menghancurkan tatanan sosial. c. Keadilan yang bernilai materi Keadilan berarti memberikan keluasan bagi individu untuk memperoleh kekayaan dengan membuat kebajikan atas usahanya atas dasar kebajikan.158 Dengan demikian dalam Islam titik berat keadilan berarti setiap bentuk tipu muslihat, kebohongan, mengeksploitasi orang tiada berdosa atau acuh tak acuh terhadap kelompok lain dan pernyataan palsu dilarang keras. Sehingga seorang muslim harus berupaya menghindarkan diri dari membuat transaksi semu atau meragukan. Untuk menegakkan keadilan ini, semua bentuk larangan dalam Islam mencakup larangan tetrhadap semua bentuk pemerasan.159 158 Ahmad Fahrudin Alamsayah, Akuntansi & Ideologi, perumusan Konsep Dasar Akuntansi Syariah, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal. 109 159 Sophiaan, Ainur R., Op. Cit., hal. 86. 126 Keadilan merupakan nilai paling asasi dalam ajaran Islam. Menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman adalah tujuan utama dari risalah para rasul. Keadilan sering kali diletakkan sederajat dengan kebajikan dan ketakwaan. Seluruh ulama terkemuka sepanjang sejarah Islam menempatkan keadilan sebagai unsur paling utama dalam maqashid syariah. Ibnu Taimiyah menyebutkan keadilan sebagai nilai utama dari tauhid, sementara Muhammad Abduh menganggap kezaliman sebagai kejahatan yang paling buruk dalam kerangka nilai-nilai Islam. Sayyid Qutb menyebutkan keadilan sebagai unsur pokok yang komprehensif dan terpenting dalam semua aspek kehidupan.160 Dengan berbagai muatan makna adil, secara garis besar keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana terdapat kesamaan perlakuan di mata hukum, kesamaan hak kompensasi, hak hidup layak, hak menikmati pembangunan dan tidak adanya pihak yang dirugikan serta adanya keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.161 Berdasarkan muatan makna adil yang ada dalam Al- qur‟an sebagaimana disebut di atas, maka bisa diturunkan berbagai nilai turunan yang berasal darinya sebagai berikut:162 1. Persamaan Kompensasi Persamaan kompensasi adalah pengertian adil yang paling umum, yaitu bahwa seseorang harus memberi kompensasi yang sepadan kepada pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukan. Pengorbanan yang telah dilakukan 160 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada 2008), hal. 59 161 Ibid. 162 Ibid. 127 inilah yang menimbulkan hak pada seseorang yang telah melakukan pengorbanan untuk memperoleh balasan yang seimbang dengan pengorbanannya. 2. Persamaan Hukum Persamaan hukum di sini memberikan makna bahwa setiap orang harus diperlakukan sama di depan hukum. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap seseorang di depan hukum atas dasar apa pun juga. Dalam konteks ekonomi, setiap orang harus diperlakukan sama dalam setiap aktivitas maupun transaksi ekonomi. Tidak ada alasan untuk melebihkan hak suatu golongan atas golongan yang lain hanya karena kondisi yang berbeda dari kedua golongan tersebut. 3. Proporsional Adil tidak selalu diartikan sebagai kesamaan hak, namun hak ini disesuaikan dengan ukuran setiap individu atau proporsional, baik dari sisi tingkat kebutuhan, kemampuan, pengorbanan, tanggungjawab, ataupun kontribusi yang diberikan oleh seseorang. Proporsional tidak saja berkaitan dengan konsumsi, namun juga pada distribusi pendapatan. Suatu distribusi yang adil tidak selalu harus merata, namun perlu tetap memperhatikan ukuran dari masing-masing individu yang ada. Seluruh makna adil tersebut akan terwujud jika setiap orang menjunjung tinggi nilai kebenaran, kejujuran, keberanian, kelurusan dan kejelasan. Secara singkat masing-masing niali dijelaskan sebagai berikut:163 1. Kebenaran Kebenaran merupakan esensi dan dasar dari keadilan. Kebenaran dalam hal ini dimaknai sebagai kesesuaian dengan syariat Islam. Kebenaran empiris atau 163 Ibid. 128 faktual hanya bisa diterima jika tidak bertentangan dengan kebenaran syariat. Kebenaran dalam memberikan informasi, kebenaran dalam membrikan pertimbangan dan kebenaran dalam mengambil keputusan memberikan jaminan kepada semua pihak atas hak-hak yang terkait. Keadilan hanya akan bermakna jika setiap orang berpikir, bersikap, dan berperilaku secara benar. 2. Kejujuran Jujur berarti adanya konsistensi adanya kepercayaan, sikap, ungkapan dan perilaku. Kejujuran merupakan aspek penting dan prasyarat dalam keadilan. Kejujuran merupakan tuntunan yang mutlak untuk bisa mencapai kebenaran dan keadilan. Bila seseorang tidak bisa jujur dalam suatu hal maka keputusan yang diambil dalam urusan itu dipastikan tidak benar dan tidak adil. 3. Keberanian Untuk mengambil keputusan yang adil dan melakukan yang benar sering kali seseorang dihadang oleh suatu keadaan yang serba menyulitkan. Oleh karena itu keberanian diperlukan untuk mengatasi semua hal ini, tanpa hal ini keadilan tidak bisa diwujudkan. 4. Kelurusan Nilai kelurusan diartikan sebagai taat asas atau konsisten menuju tujuan. Taat asas di sini merupakan suatu kondisi yang harus dipenuhi agar perilaku adil bisa terwujud. Jika seseorang tidak bisa berperilaku taat asas, maka akan sangat terbuka kemungkinan untuk melakukan kedzaliman. Terkait dengan konsep keadilan berkontrak apabila dihubungkan dengan asas kebebasan, maka dapat dipahami bahwa harus mengandung nilai keadilan 129 sehingga akan terjamin adanya konsep kesamaan para pihak dalam melakukan perjanjian. 2. Nilai Spriritual Dalam Berkontrak Islam mengenal adanya nilai-nilai spritualisme pada setiap materi yang dimiliki, yang menjadi sentral dari konsep moralnya adalah semua barang milik Allah SWT. dan bagaimana melakukan melakukan transaksi dalam berkontrak yang sesuai dengan aturan main syariah. Ajaran Islam telah memberikan pemahaman kepada manusia kapan seseorang dapat melakukan transaksi, bagaimana mekanisme transaksi dan komoditi barang maupun jasa apa saja yang dapat diperjualbelikan. Islam mengatur bagaimana seorang pedagang dapat mengharmonisasikan aktivitas perdagangan dengan kewajiban beribadah. Di mana secra umum ajaran Islam tidak memperkenankan jika aktivitas bisnis dan perdagangan dapat melupakan kita kepada kehadirat allah SWT. (dzikrullah). Kemudian secra khusus Islam tidak memperkenankan aktivitas pasar berlaku pada saat masuk waktu shalat jum‟at. Bagaimana mekanismenya, yang menjadi acuan adalah konsep yang tidak saling menzalimi dan kesepakatan secara “an- taradhin” (suka sama suka).164 Terhadap objek yang dapat diperjualbelikan, yang menjadi acuan adalah selama tidak berbahaya bagi dirinya maupun orang lain (harmfulness dan impurity), maka pelaku pasar dapat memperjual belikannya. Perlu dipahami, ajaran Islam mempunyai ketegasan yang tinggi berkaitan dengan hal ini. Karena hal inilah yang menjadi landasan moral distingtif dengan konsep-konsep ekonomi 164 Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 173. 130 lainnya. Untuk itu, dalam ajaran Islam banyak sekali dijumpai stimulan ataupun insentif (reward atau pahala di akhirat) bagi para pelaku pasar, yang dapat menerapkan bisnisnya secara halal. Tentu hal ini dilengkapi dengan perangkat tata laku dagang yang berporos kepada akhlak kejujuran, amanat, dan toleransi untuk tidak melakukan praktik-praktik negatif yang berdampak kepada distorsi mekanisme pasar.165 Konsep halal dan haram sangatlah jelas dalam mekanisme berkontrak, sebagaimana firman Allah SWT. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.166 Mekanisme suka sama suka adalah panduan dan garis al- Qur‟an dalam melakukan kontrol terhadap perniagaan yang dilakukan. Selain itu, terdapat sejumlah ayat maupun hadits nabi yang meemberikan batasan mekanisme mana saja yang secara khusus dan secara jelas dilarang, sehingga transaksi muamalah yang dilakukan oleh manusia dapat bermanfaat bagi kehidupan 165 166 Ibid., 174 QS. An- Nisa (4): 29. mereka dan 131 bukan menjadi malapetaka. Prinsipnya, semua yang dilarang itu berarti haram dan jika masih dikerjakan itu berdosa. Pelaksanaan larangan haruslah mengarah kepada bentuk nilai substansial dan filsafat dari larangan tersebut. Bukan hanya sekedar bentuk yang tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan, maupuin adanya upaya penghindaran dari batasan dengan dalih penafsiran dan kontekstualitas. Selain itu perlu dipahami bahwa niat baik tidak mengubah yang baik menjadi halal, sesuatu yang meragukan sebaiknya dihindari. Jika suatu perbuatan yang haram adalah terlarang, maka begitu pula dengan hal yang serupa dengan perbuatan tersebut. Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi, baik dalam praktek material maupun spiritual, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material dewasa ini lebih banyak mendapatkan perhatian dalam ilmu ekonomi. Terpenuhinya kebutuhan material inilah yang disebut dengan sejahtera dan bahagia. Sejahtera diterjemahkan dari kata prosperous yang berarti maju dan sukses, terutama dalam hal pendapatan dan memperoleh kekayaan yang cukup banyak. Bahagia (hapniness) memiliki makna yang lebih luas, yang berarti kondisi atau perasaan yang bisa disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun spiritual.167 Pada dasarnya sertiap manusia selalu menginginkan kehidupannya di dunia ini dalam keadaan bahagia, material maupun spiritual, individual maupun sosial. 167 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Op. Cip. hal, 1 132 Namun dalam prakteknya kebahagian multi dimensi ini sangat sulit diraih. Dalam konsep Islam, untuk mencapai tujuan hidup disebut falah. Falah berasal dari bahasa Arab yang berarti kesuksesan, kemulian atau kemenangan. Dalam pengertian literal, falah adalah kemulian dan kemenangan dalam hidup. Istilah falah dalam Islam diambil dari Al-qur‟an yang sering dimaknai sebagai keberuntungan jangka panjang, dunia dan akhirat. 168 Sehingga tidak hanya memandang aspek material namun justeru lebih ditekankan pada aspek spiritual. Untuk kehidupan dunia, falah mencakup tiga pengertian, yaitu kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan, serta kekuatan dan kehormatan. Akhirat merupakan kehidupan yang diyakini nyata-nyata ada dan akan terjadi, memiliki nilai kuantitas dan kualitas yang lebih berharga dibandingkan dunia. Kehidupan dunia aakan berakhir dengan kematian dan kemusnahan, sedangkan kehidupan akhirat bersifat abadi atau kekal. Kehidupan dunia merupakan ladang bagi pencapaian tujuan akhirat. Karena itulah kehidupan akhirat akan diutamakan manusia dihadapkan pada kondisi harus memilih antara kebahagiaan akhirat dan kebahagiaan dunia. Meskipun demikian, falah mengandung makna kondisi maksimum dalam kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dalam praktek kehidupan di dunia, kehidupan akhirat tidak dapat diobservasi, namun perilaku manusia di dunia akan berpengaruh terhadap kehidupan dan kebahagaiannya di akhirat. 168 Ibid. 133 Pendefinisian Islam tentang kesejahteraan didasarkan pandangan yang komprehensif tentang kehidupan ini. Kesejahteraan menurut ajaran Islam mencakup dua pengertian, yaitu:169 1. Kesejahteraan holistik dan seimbang, yaitu kecukupan materi yang didukung oleh terpenuhinya kebutuhan spiritual serta mencakup individu dan sosial. Sosok manusia terdiri atas unsur fisik dan jiwa, karenanya kebahagiaan harus menyuluruh dan seimbang diantara keduanya. Demikian pula manusia memiliki dimensi individu sekaligus sosial. Manusia akan merasa bahagia jika terdapat keseimbangan di antara dirinya dengan lingkungan sosialnya. 2. Kesejahteraan di dunia dan di akhirat, sebab manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja, tetapi juga di alam setelah kematian/kemusnahan dunia (akhirat). Kecukupan materi di dunia ditujukan dalam rangka untuk memperoleh kecukupan diakhirat. Jika kondisi ideal ini tidak dapat dicapai maka kesejahteraan di akhirat tentu lebih diutamakan, sebab ia merupakan suatu kehidupan yang abadi dan lebih bernilai (valuable) dibandingkan kehidupan dunia. 3. Kemashlahatan Dalam Berkontrak Para filosof hukum Islam di masa lampau seperti al-Gazali (w. 505/1111) dan asy-Syatibi (w.790/1388) merumuskan tujuan hukum Islam berdasarkan ayatayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw sebagai mewujudkan kemaslahatan. Dengan maslahat dimaksudkan memenuhi dan melindungi lima kepentingan 169 Ibid., hal. 4 134 pokok manusia, yaitu melindungi religiositas, jiwa-raga, akal-pikiran, martabat diri dan keluarga, dan harta kekayaan.170 Mashlahat yang menjadi tujuan syari‟ah tersebut di atas dibedakan menjadi tiga tingkat, yaitu : 1 Mashlahat daruriyah, yaitu kepentingan dan kebutuhan yang harus terpenuhi, jika tidak dipenuhi akan membawa akibat terancamnya jiwa baik di dunia maupun di akhirat. Dengan kata lain segala kebutuhan yang harus terpenuhi guna mempertahankan kelangsungan hidup manusia. 2 Mashlahat hajiyat, yaitu kebutuhan yang harus terpenuhi untuk dapat hidup dengan layak sebagai manusia yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancan jiwa akan tetapi menyebabkab penderitaan dan kesulitan. Dengan kata lain segala kebutuhan yang harus dipenuhi untuk memberi kemudahan bagi manusia dan menghindarkannya dari kesulitan. 3 Mashlahat tahsiniyat (komplementer), yaitu kebutuhan yang sifatnya menambah keindahan dan kepenuhan hidup di atas dari maslahat hajiyat.171 Penjelasan yang dikemukakan di atas menggambarkan pandangan dunia yang diajarkan dalam hukum Islam, yang berarti bahwa segala kegiatan manusia khususnya dalam bidang ekonomi tidak semata diarahkan pada pemenuhan kebutuhan materi belaka tetapi juga kebutuhan spiritual. Dalam bermu‟amalat kelima butir maslahat di atas menjadi dasar yang melandasi kegiatan mu‟amalat dalam tukar-menukar barang dan jasa, serta segala bentuk transaksi. 170 Al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul (Kairo:Syirkah at-Tiba‟ah al-Fanniyah al-Muttahidah, 171 Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam (Ttp: Dar al-Fikr,1341), II: 3-4 1971) 135 Atas dasar bahwa hukum mu‟amalah dalam Islam merupakan hak prerogatif manusia untuk mengembangkannya, Najamuddin at-Tufi (w.716) berpendirian bahwa mengenai masalah mu'amalat dan yang sejenis, dalil yang diikuti adalah maslahat. Memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at (dalam bidang mu‟amalah) wajib didahulukan atas dalil-dalil syara‟ lainnya. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan daripada sarana.172 At-Tufi membangun pemikirannya tentang maslahat tersebut berdasarkan atas empat prinsip,173 yaitu : 1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya dalam lapangan mu'amalah dan adat. Untuk menentukan suatu kemaslahatan atau kemafsadatan cukup dengan akal. Pendirian at-Tufi bahwa akal semata, tanpa harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi fondasi yang pertama dalam piramida pemikirannya. Akan tetapi, at-Tufi membatasi kemandirian akal itu dalam bidang mu'amalah dan adat istiadat, dan ia melepaskan ketergantungan atas petunjuk nas, maslahat atau mafsadat pada kedua bidang itu. Pandangan ini bertolak belakang dengan mayoritas ulama yang menyatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan kemafsadatan itu dapat dicapai dengan akal, kemaslahatan itu harus mendapatkan justifikasi dari nas atau ijma', baik bentuk, sifat maupun jenisnya. 2. Sebagai kelanjutan dari pendapatnya yang pertama di atas, at-Tufi berpendapat bahwa maslahat merupakan dalil syar'i mandiri yang kehujjahannya tidak 172 Yusdani, Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum : Kajian Hukum Islam Najamuddin at-Tufi (Yogyakarta : UII-Press, 2000), hlm.62-63. 173 Ibid, hlm.70-72 136 tergantung pada konfirmasi nas, tetapi hanya tergantung pada akal semata. Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu untuk kehujjahan maslahat dalam bidang mu‟amalah tidak diperlukan dalil pendukung, karena maslahat itu didasarkan kepada pendapat akal semata. Bagi at-Tufi, untuk menyatakan sesuatu itu maslahat atas dasar adat-istiadat dan eksperimen, tanpa membutuhkan petunjuk nas. 3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu'amalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadat (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara', seperti salat zuhur empat rakaat, puasa ramadan selama satu bulan, dan tawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek maslahat, karena masalahmasalah tersebut merupakan hak Allah semata. Bagi at-Tufi, maslahat ditetapkan sebagai dalil syara' hanya dalam aspek mu'amalah (hubungan sosial) dan adat-istiadat. Sedangkan dalam ibadat dan muqaddarat, maslahat tidak dapat dijadikan dalil. Pada kedua bidang tersebut nas dan ijma'-lah yang dijadikan referensi harus diikuti. Perbedaan ini terjadi karena dalam pandangan at-Tufi ibadah merupakan hak prerogatif Allah; karenanya, tidak mungkin mengetahui jumlah, cara, waktu dan tempatnya kecuali atas dasar penjelasan resmi langsung dari Allah. Sedangkan dalam lapangan mu'amalah dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan kepada umat manusia. Oleh karena itu, dalam masalah ibadat Allah lebih mengetahui, dan karenanya kita harus mengikuti nas dan ijma' dalam bidang ini. Mengenai masalah hubungan sosial, manusialah yang lebih mengetahui kemaslahatannya. 137 Karenanya mereka harus berpegang pada maslahat ketika kemaslahatan itu bertentangan dengan nas dan ijma'. 4. Maslahat merupakan dalil syara' paling kuat dalam lapangan mu‟amalah. Oleh sebab itu, at-Tufi juga menyatakan apabila nas dan ijma' bertentangan dengan maslahat dalam bidang mu‟amalah, didahulukan maslahat dengan cara pengkhususan (takhsis) dan perincian (bayan) nas tersebut. Dalam pandangan at-Tufi secara mutlak maslahat itu merupakan dalil syara' yang terkuat. Bagi atTufi, maslahat itu bukan hanya merupakan dalil ketika tidak adanya nas dan ijma', juga hendaklah lebih diutamakan atas nas dan ijma' ketika terjadi pertentangan antara keduanya. Pengutamaan maslahat atas nas dan ijma' tersebut at-Tufi lakukan dengan cara bayan dan takhsis; bukan dengan cara mengabaikan atau meninggalkan nas sama sekali, sebagaimana mendahulukan sunnah atas Alquran dengan cara bayan. Dari prinsip-prinsip teori maslahat atTufi ini dapat dipahami bahwa semua bentuk akad atau transaksi dapat dilakukan berdasarkan kemaslahatan asalkan syarat-syarat perjanjian dipenuhi. Dalam Al- qur‟an, mashlahah banyak disebut dengan istilah manfa‟at atau manafi yang berati kebaikan yang terkait dengan material, fisik, psikologis halhal indrawi lainnya, sebagaimana firman Allah: 138 Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.174 Mashlahah sering diungkapkan dengan istlah lain seperti hikmah, huda, barakaha, yang berarti imbalan baik yang dijanjikan oleh Allah di dunia maupun di akhirat sebagaimana firman Allah: Artinya: Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).175 Jadi mashlahah mengandung pengertian kemanfaatan duniawi dan kemanaafaatan akhirat.176 Mashlahah harus diwujudkan melalui cara-cara yang sesuai dengan syariah Islam sehingga akan terbentuk suatu peradaban yang luhur. Peradaban Islam adalah peradaban yang mengedepankan aspek budi pekerti atau akhlak, baik manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia, makhluk lain di alam semesta dan hubungannya dengan Tuhan. Upaya pencapaian mashlahah dan harus 174 Q.S. Ali Imran: 104 Q.S. Al- Baqarah: 269 176 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Op.cit. hal. 50 175 139 dilakukan dengan dasar akhlak Islam sehingga tidak memperuncing konflik sosial.177 Mashlahah dapat dicapai hanya jika manusia hidup dalam keseimbangan, sebab keseimbangan merupakan sunnatullah. Kehidupan yang seimbang merupakan salah satu esensi ajaran Islam sehingga umat Islam pun disebut sebagai umat pertengahan. Ekonomi Isdlam bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang seimbang ini, di mana antara lain mencakup keseimbangan kehidupan fisik dengan mental, material dan spiritual, individu dengan sosial, masa kini dengan masa depan, serta dunia dengan akhirat. Keseimbangan fisik dengan mental atau material dan spiritual akan menciptakan kesejahteraan holistik bagi manusia. Pembangunan ekonomi yang terlalu mementingkan aspek material dan mengabaikan aspek spiritual hanya akan melahirkan kebahagiaan semu, bahkan menimbulkan petaka.178 Dengan adanya kemaslahatan dalam akad yang dibuat oleh para pihak sehingga bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudrahat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah). Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan sehingga memberatkannya, maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal. 177 178 Ibid., hal. 55 Ibid. 140 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah Penulis membahas dan menganalisa permasalahan dalam masalah Asas Kebebasan Berkontrak, Perbandingan antara Hukum Perdata dengan Hukum Islam, maka penulis membuat kesimpulan sebagi berikut: 1. Asas kebebasan berkontrak telah diatur baik dalam Hukum Perdata maupun Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 2. Asas kebebasan berkontrak baik dalam KUPerdata maupun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bukan bersifat mutlak atau tidak tak terbatas tetapi memiliki batasan-batasan. 3. Perbedaan yang sangat esensial adalah karena pembatasan yang diberikan dalam asas kebebasan berkontrak dalam KUHPerdata adalah buatan manusia berupa Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sementara pembatasan yang ada dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah firman Allah dalam AlQur‟an dan juga pernyataan dan perilaku Nabi Muhammad dalam Al-Hadis. 4. Kebebasan berkontrak yang tidak ada batasnya dapat mencipkatan ketidakadilan apabila salah satu pihak mempunyai kedudukan yang tidak seimbang. 5. Tinjauan filosofis batasan asas kebebasan berkontrak adalah keadilan, spritualisme, dan kemashlahatan. 141 6. Hakim berwenang untuk memasuki dan meneliti isi suatu kontrak karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. B. Saran Dari kesimpulan yang ada dan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat dikemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran guna memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi, yaitu: 1. Asas kebebasan berkontrak yang semula memiliki daya kerja yang sangat kuat, yang kebebasannya tidak boleh dibatasi, baik rasa keadilan masyarakat maupun oleh aturan perundang-undangan. Namun perkembangan selanjutnya, perjanjian yang berdasarkan asas ini mengalami kegagalan. Hal ini terlihat adanya buktibukti berupa campur tangan parlemen melalui peraturan perundang-undangan terhadap kebebasan berkontrak, maka disarankan kepada para pembuat undangundang atau peraturan dalam membuat undang-undang atau peraturan harus memperhatikan aturan-aturan dasar sehingga tidak menimbulkan kelonggaran bagi para pihak karena kelonggaran ini akan menimbulkan ketimpanganketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat perjanjian tidak sama kuat kedudukannya atau tidak mempunyai bargaining position yang sama. 2. Dalam hal perjanjian telah dibuat oleh para pihak ternyata mengandung klausul yang tidak sesuai dengan aturan dasar hukum perjanjian dan hukum syara‟, hendaklah Pengadilan dalam hal ini hakim untuk memasuki dan meneliti isi suatu kontrak apabila isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. 142 3. Dalam dunia perbankan telah dikenal dengan adanya perjanjian baku (standar kontrak), dimana dalam pelaksanaannya terkadang orang merasa terpaksa untuk membuat perjanjian karena tidak ada pilihan lain, maka direkomendasikan kepada para intelektual muslim untuk meneliti eksistensi perjanjian baku tersebut menurut hukum Islam. 143 DAFTAR PUSTAKA Abdul Azis Dahlan, et,al. (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996); Abdul Halim Mahmud al Ba'ly, Al Istitsmar wa al Riqabah al Syar'iyyah fi al Bunuk wa al Mu‟assasah al Maliyyah al Islamiyyah, (Kairo Mesir:Maktabah Wahbah al Qahirah, 1991); Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990); Abdoerraoef, Al- Qur‟an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Djakarta: Bulan Bintang, 1970); Abdurrahman Raden Aji Haqqi, The Philosophi of Islam Law of Transactions, (Kuala Lumpur: Univision Press, 1999); Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: UII Press, 2004) Absori, Hukum Ekonomi Indonesia (Beberapa Aspek Pengembangan Pada Era Liberalisme Perdagangan), (Surakarta: Muhammadiyah University Press UMS, 2006); Ade Armando, dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve); Adiwarman A. Karim, Bank Islam – Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004); Agus Yudha Hernoko, Dr., Prof., Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008); Ahmad Abu al- Fath, Kitab al- Mu‟amalah fi asy- Syari‟ah al- Islamiyah wa alQawanin al- Mishriyah, (Mesir: Matba‟ah al- Busfir, 1913); Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam, (Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1993); Achmad Busro, Hukum Perikatan, (Semarang, Oetama, 1985); 144 Ahmad Fahrudin Alamsayah, SE., MM., Akuntansi & Ideologi, perumusan Konsep Dasar Akuntansi Syariah, (Malang: UIN-Malang Press, 2008); Al- Asimi, Majmu Fatawa Syaikh al- Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, (Riyad: Matabi‟ arRiyad, 1383 H); Al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul ( Kairo:Syirkah at-Tiba‟ah al-Fanniyah alMuttahidah,1971); Al- Kasani, Bada‟i ash shana‟i fi tartib asy- syaraki‟ (Mesir: Matba‟ah al- Jamaliyyah, 1910); Al- Zarqa, Al- Fiqh Al- Islami Fi Sauhihi Al- Jadid, Cet. Ke-9, (Damaskus: Matabi‟ Alifba Al- Adib, 1968); AM. Mujahidin, Dr., M.H., Karakteristik Akad (Perikatan) dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah, Mimbar Hukum No. 66, Desember 2008, PPHI2M, Jakarta; Asjmuni A. Rahman, Qa‟idah-qa‟idah Fiqih (Jakarta: Bulan Bintang, 1975); Andrea ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), (Yogyakarta: Kanisius, 1999); As- Sanhuri, Masadir al haq fi al- Fiqh al- Islami, (Beirut: Dar al- Fikr, tt); Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam (Ttp: Dar al-Fikr,1341); A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian dan Perkembangannya, (Yogyakarta, Liberty, 1985); Az- Zuhaili, al- Fiqh al- Islami wa Adillatuh (Damaskus: dar al- Fikr, 1989); Az- Zarqa‟, Syarh al- Qawa‟id al- Fiqhiyyah (Ttp.: Dar al- Garb al- Islami, 1993); Az-Zarqa, al-Fiqh al-Islami fi Sauhihi al-Jadid, cet. Ke-9 (Damaskus: Matabi‟ Alifba‟ al-Adib, 1968); Basyra, Mursyid al- Hairan ala Ma‟rifah Ahwal al- Insan (Kairo: dar al- Furjani, 1403/1983); Burhanuddin Salam, Etika Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997); Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994); Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur-an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Qur'an, 2002); 145 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002); E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995); Essel R. Dillavou, Principles of Business Law, (New Jersey: Prentice Hall Inc, 1962); Fathurrahman Djalil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Daruz Badrulzaman et. al., cet. I, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001); Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005); Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002); Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, 1992); http://hukum.kompasiana.com/2010/08/25/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-hukum perjanjian-di-indonesia. Imam Bukhari, Shahih Bukhari: Kitab Ijarah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981); Ibn Hazm, Al- Muhalla, (Beirut: al- Maktabah at- Tijari li at Tiba‟ah wa an- Nasyr, tt); Ibnu Taimiyyah, Al- Fatawa al- Kubra, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1987); Ibn Rajab, al- qawa‟id (Makkah: Maktabah Nizar Mushthafa al- Baz, 1999); Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar al- Fikr, t.t.); J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1992); Johannes Gunawan, Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: PT Refika Aditama, Cet. Pertama, 2004); K. Berten, Pengantar Etika Binnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000); Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pustaka Mahardika; Kompilasi Hukum Ekonomi Syaria‟ah, Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Edisi Revisi, tahun 2010) Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001); Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, 1989; 146 Mark Skousen, Sang Maestro “Teori-Teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi, (The Making of Modern Economics, The Lives and Ideas of the Great Thinkers), alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso, cet. ii, (Jakarta: Prenada, 2006); M. Faruq An- Nabahan, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosial, terj. Muhadi Zainudin, (Yogyakarta: UII Press, 2000); M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank system Syariah,(Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005); Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Ke Empat (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997); Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, tt); Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. 8, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000); Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006); M. Hasby Ash- Shiddieqy, dalam Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), Cet. I; Muhammad Firdaus NH., dkk., Cara mudah memahami akad-akad Syari‟ah, (Jakarta: Renaisan, 2005); Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000); Neli Mac Cormick, Adam Smith On Law, (Valparaisto University Law review, vol. 15, 1981); O. Notohamidjojo, Masalah: Keadilan, (Semarang: Tirta Amerta, 1971); P.S. Atiyah, Hukum Kontrak, ( Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1979); Purwahid Patrik, Hukum Perdata II Jilid I, 1988; Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari UU), (Bandung: Mandar Maju, 1994); Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008); Raymond Wacks, Jurisprudence, (London: Blackstone Press Limited, 1995); 147 Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito: Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia Dewasa Ini, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995); Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988); R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta, Intermasa, 1987); R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987) R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1987); R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Cet. 8, (Bandung: Sumur Bandung, 1981); Salim.,et.al., Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU). (Jakarta: Sinar Grafika, 2007); Salim HS., Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarata: Sinar Grafika, 2006); Syamsul Anwar, Prof.,Dr.,MA., Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010); Sir Henry Maine, dalam Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 1980); Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009); Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003); Sayyid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam (Anashirul Quwwah Fil Islam), diterjemahkan oleh Haryono S. Yusuf (Jakarta: Intermasa, 1981); Sophiaan, Ainur R. Etika Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997); Tafsir at- Thabathaba‟i, al- mizan fi Tafsir al- qur‟an (Beirut: Mu‟assah al- A‟lam li alMathbu‟at, 1970); http://hukum.kompasiana.com/2010/08/25/asas-kebebasan-berkontrakperjanjian-di-indonesia. dalam-hukum 148 Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al Fikr al Mu'ashir, Jilid 4, 1997); WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986); Yusdani, Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum : Kajian Hukum Islam Najamuddin at-Tufi (Yogyakarta : UII-Press, 2000); Yusuf Qardawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, diterjemahkan oleh Didin Hafiduddin, Setiawan Budiutamo, dan Aumur Rofik Shaleh Tamhid, Cet. 1. (Jakarta: Robbani Press, 1997);