BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan masyarakat
yang dimanis merupakan konsekuensi logis dari
adanya perkembangan disegala aspek kehidupan. Hal itu terkait dengan hubungan
manusia satu dengan manusia lain dalam kedudukannya sebagai subjek hukum.
Sebagai subjek hukum, setiap manusia berhak untuk mengikatkan diri dalam
berbagai bentuk perbuatan hukum, karena pada dasarnya kehidupan manusia tidak
dapat dipisahkan dari hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, apabila terjadi
hubungan hukum antara dua orang atau lebih, yang terletak didalam harta kekayaan,
dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi
prestasi maka dalam hubungan hukum tersebut telah terjadi perikatan, perjanjian atau
kontrak. Sedangkan hukum kontrak adalah sebagai aturan hukum yang berkaitan
dengan pelaksanaan perjanjian atau keputusan.1
Kontrak atau akad mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat,
merupakan dasar dari setiap aktivitas keseharian. Akad dapat memfasilitasi setiap
orang dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya
sendiri tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapat dibenarkan bila dikatakan
1
Salim HS., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarata: Sinar Grafika,
2006), hal. 3
2
bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh peradaban umat manusia
untuk mendukung kehidupannya sebagai makhluk sosial.2 Hal ini menunjukkan
betapa kehidupan manusia tidak terlepas dari akad.
Bisnis apapun hampir tidak bisa dilepaskan dari keberadaan suatu kontrak,
dimana ada bisnis disitu ada kontrak.3 Bahkan menurut Sir Henry Maine dalam
teorinya yang terkenal perihal perkembangan hukum dari status ke kontrak sejalan
dengan perkembangan masyarakat yang sederhana ke masyarakat yang modern dan
kompleks, hubungan hukum yang didasarkan pada status warga masyarakat yang
masih sederhana berangsur-angsur akan hilang apabila masyarakat tadi berkembang
menjadi masyarakat yang modern dan kompleks, hubungan hukum didasarkan pada
sistem hak dan kewajiban yang didasarkan pada kontrak yang secara sukarela dibuat
dan dilakukan oleh para pihak.4
Dengan demikian dalam dunia hukum khususnya hukum bisnis, hampir dapat
dipastikan bahwa abad mendatang akan merupakan abad kontrak. Untuk menunjang
kegiatan-kegiatan bisnis atau transaksi-transaksi dagang yang semakin modern dan
mengglobal tersebut, peranan hukum kontrak sangat diperlukan. Kontrak yang dibuat
pun semakin berkembang, klausul-klausul yang dimuat dalam kontrak tersebut
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan transaksi. Terdapat keterkaitan yang erat
antara perluasan pasar dengan kebebasan berkontrak, pihak yang lebih memiliki
2
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalah,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal. Pendahuluan.
3
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Ke Empat (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997), hal. 3.
4
Sir Henry Maine, dalam Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali
Pers, 1980), hal. 34.
3
kekuatan pasar mempunyai bargaining position yang lebih tinggi untuk memaksakan
kehendaknya kepada pihak yang lemah.
Dalam hukum perjanjian dianut apa yang disebut dengan “asas kebebasan
berkontrak (mabda‟ hurriyah al-ta‟aqud)”, asas ini mengandung pengertian bahwa
kebebasan seseorang untuk membuat perjanjian macam apapun dan berisi apa saja,
sekalipun perjanjian itu bertentangan dengan pasal-pasal hukum perjanjian.5
Kebebasan
berkontrak
begitu
esensial,
baik
bagi
individu
untuk
mengembangkan diri di dalam kehidupan pribadi dan di dalam lalu lintas
kemasyarakatan
serta
untuk
mengindahkan
kepentingan-kepentingan
harta
kekayaannya, maupun bagi masyarakat sebagai satu kesatuan, sehingga hal-hal
tersebut oleh beberapa peneliti dianggap sebagai suatu hak dasar.6
Asas kebebasan berkontrak di dalam pustaka-pustaka yang berbahasa Inggris
dituangkan dengan istilah “Freedom of Contract” atau “Liberty of Contract” atau
“Party Autonomy”. Istilah yang pertama lebih umum dipakai dari pada istilah yang
kedua dan ketiga. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang universal
sifatnya, artinya dianut oleh hukum perjanjian di semua negara pada umumnya.7
Kebebasan berkontrak berlatar belakang pada faham individualisme yang
secara embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Epicuristen dan
berkembang pesat dalam zaman Renaisance melalui antara lain ajaran-ajaran dari
5
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. Ke-6, (PT. Intermasa, 1979), hal. 13.
Johannes Gunawan, Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,
(Bandung: PT Refika Aditama, Cet. Pertama, 2004), hal. 99
7
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 22
6
4
Hugo
de
Groot,
Thomas
Hobbes,
John
Locke,
dan
Rosseau.
Puncak
perkembangannya tercapai dalam periode setelah revolusi Perancis. 8
Asal mulanya asas kebebasan berkontrak lahir pada abad pertengahan di Eropa
bersamaan dengan munculnya teori ekonomi klasik laissez faire (persaingan bebas)
yang merupakan reaksi dari mercantile system yang dipelopori oleh Adam Smith.9
Asas ini muncul sebagai reaksi dari sistem sebelumnya yaitu sistem yang
paternalistik yang mengawasi dan mengatur semua bisnis dan keuntungan raja
(mercantile system).10 Sistem tersebut mengiringi keadaan ekonomi pada Abad
Pertengahan, yaitu suatu masa dimana aktivitas bisnis dan perdagangan tidak
mendapat tempat yang terhormat.11 Sistem ini dirasakan tidak adil karena dalam
upayanya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ia memberi hak-hak istimewa
bagi kelompok-kelompok tertentu, dan bukannya memberikan kebebasan ekonomi
kepada semua pelaku ekonomi.
Alasan utama Smith yang melarang intervensi pemerintah adalah doktrin
invisible hands (tangan gaib). Menurut doktrin ini, kebebasan (freedom), kepentingan
diri sendiri (self-interest), dan persaingan (competition) akan menghasilkan
masyarakat yang stabil dan makmur. Upaya individu untuk merealisasikan
kepentingan dirinya sendiri bersama jutaan individu lainnya akan dibimbing oleh
8
Mariam Darus Badrulzaman 1, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001), hal. 84.
9
Neli Mac Cormick, Adam Smith On Law, (Valparaisto University Law review, vol. 15, 1981),
hal. 258-259
10
Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan
Deposito: Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan di Indonesia Dewasa Ini, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 15
11
Essel R. Dillavou, Principles of Business Law, (New Jersey: Prentice Hall Inc, 1962), hal. 5155
5
”tangan tak terlihat”. Setiap upaya individu mengejar kepentingannya, maka secara
sadar atau pun tidak indvidu tersebut juga mempromosikan kepentingan publik.12
Dengan kata lain, Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur
tangan pemerintah (laissez faire) yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan
(liberalisme), maka perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai
kemakmuran dan keseimbangan.
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang
merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk
berkontrak.
Dalam Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat
disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Dengan menekankan pada perkataan semua, maka pasal tersebut seolaholah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian
yang berupa dan berisi tentang apa saja dan diperbolehkan pula membuat undangundang sendiri. Lebih tegasnya para pihak yang membuat perjanjian dapat menciptakan
suatu ketentuan sendiri untuk kepentingan mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Dalam sistem hukum Islam juga menjamin adanya kebebasan berkontrak
sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam membuat perjanjian, bahkan
12
Mark Skousen, Sang Maestro “Teori-Teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi,
(The Making of Modern Economics, The Lives and Ideas of the Great Thinkers), alih bahasa Tri Wibowo
Budi Santoso, cet. ii, (Jakarta: Prenada, 2006), hal. 26.
6
Sayid Sabiq menyatakan bahwa bukanlah perjanjian jika tanpa ada kebebasan dari
kedua belah pihak.13
Asas kebebasan berkontrak dapat dipahami: Pertama, bahwa hukum tidak
dapat membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak. Ini berarti
bahwa hukum tidak boleh membatasi apa saja yang telah diperjanjikan oleh para
pihak yang telah mengadakan perjanjian, sehingga dari sini para pihak bebas
menentukan sendiri isi perjanjian yang mereka buat. Kedua, bahwa pada umumnya
seseorang menurut hukum tidak boleh dipaksa untuk memasuki perjanjian. Ini berarti
bahwa kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau
tidak ingin membuat suatu perjanjian.
Kebebasan berkontrak merupakan ruh dan nafas sebuah kontrak atau
perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak pihakpihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang. Dengan demikian
diharapkan akan muncul kontrak yang adil dan seimbang bagi para pihak. Namun
demikian dalam praktik masih banyak ditemukan model kontrak standar (kontrak
baku) yang dianggap berat sebelah, tidak seimbang, dan tidak adil bahkan terkadang
ditemukan kontrak yang melanggar kesusilaan dan norma agama.
Walaupun memang asas kebebasan berkontrak tidak diatur secara rinci dalam
Al-qur‟an dan Al-hadits namun asas ini penting untuk dielaborasi lebih lanjut
mengingat suatu pertanyaan, apakah konsep dan bentuk transaksi atau akad yang
terdapat dalam kitab-kitab fikih tanpa ada keleluasaan kaum muslimin untuk
13
Sayid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam (Anashirul Quwwah Fil Islam),
diterjemahkan oleh Haryono S. Yusuf (Jakarta: Intermasa, 1981), hal. 210.
7
mengembangkan bentuk-bentuk akad baru sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan masyarakat di masa kini? Atau apakah kaum muslimin diberi kebebasan
untuk membuat transaksi atau akad baru selama akad tersebut tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam?
Menurut Al- Zarqa kebebasan berkontrak ini meliputi empat segi kebebasan
yaitu:
1. Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian.
2. Tidak terikat kepada formalitas-formalitas, tetapi cukup semata-mata berdasarkan
kata sepakat atau perizinan.
3. Tidak terikat kepada perjanjian-perjanjian bernama.
4. Kebebasan untuk menentukan akibat perjanjian.14
Nabi Muhammad SAW. bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa
‫انصهح جائز اال صهحا احم حسايا اً حسو حالل‬
bahwa kaum muslimin dibenarkan membuat perjanjian perdamaian dalam
pelaksanaan hak-hak mereka, namun kebolehan tersebut berlaku dalam batas-batas
sepanjang tidak melanggar ketentuan halal dan haram seperti dapat dimengerti dari
lanjutan sabdanya. Disini kaum muslimin dibenarkan memperjanjikan syarat-syarat
dan perjanjian itu mengikat untuk dipenuhi dalam batas-batas ketentuan halal dan
haram.
14
Al- Zarqa, Al- Fiqh Al- Islami Fi Sauhihi Al- Jadid, Cet. Ke-9, (Damaskus: Matabi‟ Alifba AlAdib, 1968), hal. 462
8
Kebebasan kontrak dalam konsep ekonomi Islam haruslah didasarkan pada
pemikiran bahwa setiap kontrak yang terjadi dalam perdata syariah ditekankan pada
prinsip syariah Islam. Hal ini dalam rangka untuk mengatur kepentingan-kepentingan
individual (fardiyah), kolektif (ijtima‟iyah) dan kepentingan negara (dusturiyah)
serta agama (diniyah). Dengan demikian kebebasan berkontrak perlu dilandasi
keseimbanagan, keselarasan dan kesetaraan untuk menghasilkan suatu kebebasan
yang bertanggungjawab.
Dengan demikian asas kebebasan berkontrak ini tidak hanya milik KUH
Perdata yang berlaku di Indonesia, akan tetapi bersifat universal dan dianut oleh
berbagai sistem hukum dan negara-negara lain juga hukum Islam. Dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES)15 dalam bab II tentang Asas Akad pasal 21 (huruf)
l disebutkan bahwa “Akad dilakukan berdasarkan asas al- hurriyah (kebebasan
berkontrak)” dan dalam pasal 21 disebutkan bahwa “Semua akad yang dibuat secara
sah berlaku sebagai nash syari‟ah bagi mereka yang mengadakan akad”.16 Dalam
pasal tersebut menegaskan secara jelas bahwa dalam bertransaksi harus berdasarkan
kebebasan.
Menurut Munir Fuady, Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga
kebebasan untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.17 Asas ini tersirat dalam pasal
1338 KUHPerdata, pada intinya menyatakan bahwa terdapat kebebasan membuat
15
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) merupakan pedoman bagi hakim peradilan
agama dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah
(vide pasal 1 PERMA Nomor: 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah)
16
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), edisi revisi, 2010.
17
Munir Fuady, Pengatar Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), Hal. 12.
9
kontrak apapun sejauh tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban dan kesusilaan.
Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata, menyebutkan orang leluasa
untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum atau
kesusilaan, pada umumnya juga boleh mengenyampingkan peraturan-peraturan yang
termuat dalam Buku III karena Buku III merupakan “hukum pelengkap” (aanvullend
recht) bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.18
Terdapat adanya persamaan antara KUH Pertdata dan KHES mengenai asas
kebebasan berkontrak. Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah asas
kebebasan berkontrak yang dianut oleh KUH Perdata maupun KHES merupakan
kebebasan yang mutlak (absolut) sehingga kebebasannya tidak terbatas atau memang
ada batasan tentang kebebasan tersebut karena kebebasan berkontrak yang tidak ada
batasnya dapat menciptakan ketidakadilan apabila salah satu pihak tidak mempunyai
kedudukan yang seimbang atau ketika terjadi transaksi dalam sebuah kontrak lalu
timbul permasalahan apakah Hakim berwenang untuk memasuki dan meneliti isi
suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak
bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan Hakim berwenang melalui
tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para
pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian
rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan
kehendaknya.
18
128.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Cet. ke-XXXIII, (Jakarta: PT.Intermasa, 2005), hal.
10
Dalam penerapan asas kebebasan berkontrak, yang berlaku dalam KUH
Perdata bukan berarti dapat dilakukan bebas sebebasnya, akan tetapi ada pembatasan
yang diterapkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan demikian juga
dalam KHES disebutkan bahwa akad tidak sah apabila bertentangan dengan syariat
Islam, peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
Kebebasan berkontrak yang murni atau mutlak karena para pihak
kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu ada pihak yang lebih
lemah dari pihak yang lain. Problematika di atas tentunya merupakan tantangan bagi
para Hakim untuk memberikan jalan keluar terbaik demi terwujudnya kontrak yang
saling menguntungkan para pihak (win-win solution contract) di satu sisi
memberikan kepastian dan disisi lain memberikan keadilan sesuai dengan Hukum
Perdata yang berlaku di Indonesia dan sesuai pula dengan Hukum Islam.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian yang dituangkan dalam tesis dengan judul: “ASAS KEBEBASAN
BERKONTRAK, PERBANDINGAN ANTARA HUKUM PERDATA DAN
KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan permasalahan meliputi hal-hal
sebagai berikut:
11
1. Apa dasar kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di Indonesia dan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah?
2. Bagaimana batasan asas kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di
Indonesia dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah?
3. Bagaimana perbedaan asas kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di
Indonesia dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah?
4. Apa latar belakang landasan filosofis asas kebebasan berkontrak dalam Hukum
Perdata dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai dasar
kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di Indonesia dan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah.
2. Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai batasan asas
kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di Indonesia dan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah.
3. Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perbedaan
asas kebebasan berkontrak menurut Hukum Perdata di Indonesia dan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah.
12
4. Untuk mengetahui dan menganalisa mengenai latar belakang landasan filosofis
asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah.
D. Kontribusi Penelitian
1. Kontribusi Teoritis
Secara Teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran dalam rangka pengembangan dan pendalaman tentang hukum
perjanjian dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak baik menurut
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia maupun Hukum Islam dalam hal ini
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
2. Kontribusi Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan
masukan dan sekaligus sumbangan pemikiran bagi para praktisi ataupun pihakpihak yang berkepentingan dalam menyelesaikan perkara atau sengketa ekonomi,
para hakim, advokat, badan legislatif dalam penyusunan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan hukum perjanjian dalam asas kebebasan
berkontrak.
E. Studi Pustaka
Tulisan yang meneliti mengenai hukum perjanjian dalam hal asas kebebasan
berkontrak, diantanya adalah ditulis oleh:
13
a. Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. dalam disertasinya tentang “Kebebasan
Berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam perjanjian
kredit bank di Indonesia”. Dalam penelitian tersebut hanya menitik beratkan pada
bagaimana asas kebebasan berkontrak pada perjanjian kredit bank yang berlaku di
Indonesia. Dalam proses pengajuan permohonan kredit kepada bank, calon
nasabah debitur akan disodori perjanjian baku dan standar yang klausulklausulnya telah disusun sebelumnya oleh bank. Calon debitur hanya mmpunyai
pilihan antara menerima atau tidak menerima kalusul-klausul dalam perjanjian
tersebut. Jika menerima, permohonan kerdit disetujui, jika tidak, permohonan
kredit ditolak. Kondisi ini menempatkan calon nasabah debitur pada posisi lemah.
Padahal, sebuah perjanjian seyogianya memberikan keadilan pada para pihak.
Perjanjian kredit dari bank umum mengandung klausul-klausul yang apabila
diukur menurut tolak ukur yang berupa asas ketertiban umum, asas moral atau
kesusilaan, asas
kepatutan dan keadilan,
asas
itikad baik,
dan asas
penyalahgunaan kekuasan ekonomi, maka klausul-klausul tersebut memberatkan
bagi nasabah beditur atau memberatkan bagi bank.
b. Dr. Agus Yudha Hernoko, SH, MH,. Dalam disertasinya tentang “Hukum
Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial” menemukan bahawa
hakikat kontrak adalah memujudkan pertukaran hak dan kewajiban secara adil
(faieness). Dengan demikian, ketidakseimbangan hasil dapat diterima sebagai
sesuatu yang fair apabila proses pertukaran hak dan kewajiban berlangsung secara
proporsional.
14
Berdasarkan penelusuran
berkontrak
terhadap
penelitian
tentang
asas
kebebasan
tersebut di atas menunjukkan belum adanya penelitian tentang asas
kebebasan berkontrak secara komparatif antara Hukum Perdata
Indonesia dan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang di dalamnya mengkaji tentang asas
kebebasan berkontrak dalam tinjauan filosofis, oleh karena itu penelitian ini
merupakan sesuatu yang baru sehingga diharapkan dapat mengisi kekosongan
tersebut atau dapat melengkapi kekurangan yang sudah ada.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat library research artinya penelitian terhadap bahan-bahan
tertulis yang dipublikasikan dalam bentuk buku khususnya buku-buku dan
perundangan-undangan yang berkaitan dengan hukum perjanjian serta kitab-kitab
fikih mua‟malah yang berkaitan dengan masalah akad.
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif
dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder.19 Dalam
penelitian hukum normatif, dibedakan antara penelitian terhadap asas-asas hukum
dengan asas-asas perundang-undangan. Penelitian terhadap asas-asas hukum
dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan-patokan
untuk bertingkah laku sedangkan penelitian terhadap asas-asas perundang-undangan,
yaitu asas-asas tentang berlakunya suatu undang-undang dalam arti materiil,
19
hal. 11.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988),
15
misalnya bahwa undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undangundang yang bersifat umum bilamana pembuatnya sama.20
Di samping menggunakan pendekatan yuridis normatif, dalam penelitian ini
digunakan juga pendekatan komparatif, yaitu akan dilakukan perbandingan terhadap
sistem hukum perikatan atau perjanjian Islam dengan sistem hukum perikatan atau
perjanjian hukum perdata di Indonesia.
1. Sumber Data
Dalam penelitian ini digunakan data sekunder. Sumber utama dalam kajian
ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah. Sumber kedua berupa buku-buku ilmu pengetahuan hukum
baik ilmu pengetahuan hukum umum yang berkaitan dengan hukum perjanjian
ataupun ilmu pengetahuan hukum Islam yang berkaitan dengan fiqh muamalah,
jurnal, bulletin ilmiah, majalah ilmiah ataupun pendapat para ilmuwan atau ijtihad
para ulama maupun pendapat para praktisi.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan
studi kepustakaan, dalam hal ini Penulis memanfaatkan perpustakaan IAIN
Antasari Banjarmasin, perpustakaan Pengadilan Agama Rantau serta koleksi
pustaka pribadi. Data sekunder yang telah diperoleh selanjutnya kumpulkan dan
diklasifikasikan serta disistematisasikan untuk bahan analisis tesis.
20
Ibid. Hal. 20-21
16
3. Teknik Analisis Data
Data sekunder yang telah dikumpulkan dan diklasifikasikan selanjutnya
dianalisis. Untuk menganalisis data dipergunakan analisis kualitatif, yang
dilakukan dengan metode deduksi, yaitu mengkaji dari kaidah umum kepada halhal yang khusus. Analisis kualitatif ini dilakukan terhadap aspek-aspek normatif
(yuridis) dari data yang diperoleh dan dihubungkan atau dibandingkan satu sama
lain untuk mencapai kesimpulan yang bersifat khusus. Dalam hal ini berkaitan
dengan asas kebebasan berkontrak.
Analisis kualitatif dalam penelitian ini selain akan dilakukan secara
deskriptif dimana data diungkapkan sebagaimana adanya, juga dilakukan secara
komparasi dalam perspektif hukum Islam dan hukum perdata.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab pembahasan, tiap-tiap bab terdiri
dari beberapa sub bab.
Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, tujuan
penelitian, kontribusi penelitian, studi pustaka dan metodologi penelitian serta
sistematika penulisan.
Bab II menguraikan tentang tinjauan umum tentang perjanjian menurut Hukum
Perdata yang terdiri dari Sub A yang meliputi definisi perjanjian, subjek dan objek
perjanjian, jenis-jenis perjanjian, syarat syahnya perjanjian, asas-asas perjanjian,
unsur-unsur perjanjian serta prestasi dan wanprestasi. Sedangkan Sub B membahas
17
tentang asas kebebasan berkontrak yang meliputi sejarah lahirnya asas kebebasan
berkontrak, dasar kebebasan berkontrak dan batasan asas kebebasan berkontrak.
Bab III menguraikan tentang akad (perjanjian) menurut Hukum Islam yang
terdiri dari Sub A yang meliputi definisi akad, mcam-macam akad, unsur dan
pembentukan akad, rukun dan syarat akad, asas-asas dalam akad, hak pilih dalam
akad dan berakhirnya akad. Sedangkan Sub B membahas tentang asas kebebasan
berkontrak.
Bab IV merupakan bab analisis penelitian tentang tinjauan filosofis asas
kebebasan yang meliputi perbedaan dan tinjauan filosofis asas kebebasan berkontrak.
Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh
pembahasan dalam tesis ini dan saran-saran serta rekomendasi yang dapat diajukan.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perjanjian menurut Hukum Perdata
1. Definisi Perjanjian
Pengaturan tentang perjanjian dapat ditemui dalam buku III bab II pasal
1313 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”.
Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut di atas
menurut Muhamad Abdul Kadir mengandung kelemahan yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
a.
Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini dapat diketahui dari kalimat “Satu orang atau lebih mengikat dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikat diri adalah bersifat
satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya
adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus diantara para pihak.
b.
Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus
Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas
tanpa kuasa (zaakwarneming). Tindakan melawan hukum (onrechtmatige
doad) yang tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata
pesetujuan.
19
c.
Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas karena
mencakup juga pelangsung perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam
lapangan hukum keluarga. padahal yang dimaksud adalah hubungan antara
debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang
bersifat kebendaan, bukan lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang
bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
d.
Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan pasal tersebut diatas tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.21
Sedangkan menurut R. Setiawan, pengertian perjanjian tersebut terlalu
luas, karena istilah perbuatan yang dipakai dapat mencakup juga perbuatan
melawan hukum dan perwalian sukarela, padahal yang dimaksud adalah
perbuatan melawan hukum.22
Para sarjana yang merasa bahwa pengertian perjanjian sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata ini mengandung banyak kelemahan,
memberikan rumusan mengenai arti perjanjian. Menurut Prof. Subekti,
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.23
Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
21
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990), hal. 78.
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung, Bina Cipta, 1979), hal 49.
23
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987), hal.1.
22
20
hukum. Pendapat lain dikemukakan oleh Rutten, menurutnya perjanjian adalah
perbuatan yang tidak sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum
yang ada tergantung dari persesuaian kehendak dua atau lebih orang-orang yang
ditujukan untuk timbulnya akibat hukum dari kepentingan salah satu pihak atas
beban pihak lain atau demi kepentingan masing-masing pihak secara timbal
balik.24
Walaupun para sarjana memberikan rumusan mengenai perjanjian
dengan penggunaan kalimat yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya
mengandung unsur yang sama yaitu:
a. Ada pihak-pihak
Yang dimaksud dengan pihak disini adalah subyek perjanjian dimana
sedikitnya terdiri dari dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai
wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undangundang.
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu
perundingan.
c. Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak
hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
Undang-undang.
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan
syarat-syarat perjanjian.
24
Purwahid Patrik, Hukum Perdata II Jilid I, 1988, hal 1-3
21
e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa
dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang- undang
yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian
mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
2. Subyek dan obyek perjanjian
a. Subyek perjanjian
Dalam setiap perjanjian terdapat dua macam subyek perjanjian yaitu:
1) Seseorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban
kewajiban untuk sesuatu (schudennar atau debitur).
2) Seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapatkan hak atas
pelaksanaan kewajiban itu (schudennor kreditur).
Subyek perjanjian yang berupa seseorang manusia harus mematuhi syarat
umum untuk dapat melakukan sesuatu perbuatan hukum secara sah, yaitu
harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan oleh peraturan seseorang
perempuan yang sudah kawin, menurut pasal 108 KUHPerdata. 25
Dari pengertian di atas, subyek perjanjian dapat disimpulkan menjadi dua
macam yaitu manusia pribadi dan badan hukum.
b.
Obyek perjanjian
Obyek dalam perjanjian adalah hal yang diwajibkan kepada debitur dan
hal mana terhadap pihak kreditur mempunyai hak. Mengenai hal tersebut diatas,
pasal 1234 KUHPerdata menentukan adanya tiga hal yaitu:
25
A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian dan Perkembangannya,
(Yogyakarta, Liberty, Yogyakarta, 1985), hal. 14
22
1. Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu, misalnya sejumlah uang.
2. Untuk berbuat sesuatu atau melakukan perbuatan tertentu, misalnya memotong
kayu.
3. Untuk tidak dibuat sesuatu atau menurut perjanjian ia tidak boleh melupakan
sesuatu, misalnya membangun gedung yang tinggi.
Dalam pasal 1332 KUHPerdata disebutkan benda yang dapat diperdagangkan
saja yang dapat menjadi obyek perjanjian. Sehingga benda yang tidak dapat
diperdagangkan tidak dapat menjadi obyek perjanjian. Sedangkan dalam pasal
1333 KUHPerdata menentukan syarat bagi benda agar dapat menjadi obyek
suatu perjanjian yaitu benda tersebut harus tertentu. Paling tidak mengenai
jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya tak perlu ditentukan terlebih dahulu
asal dikemudian dapat ditentukan.
3. Jenis-Jenis Perjanjian
Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
yaitu:
a. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timabal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak
dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya
perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa
Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di
kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang
dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban
membayar dan hak menerima barangnya.
23
b. Perjanjian sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah
ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan
barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai
kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang
dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.
c. Perjanjian dengan percuma
Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi
keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan
pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.
d. Perjanjian konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah
terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang pasal 1741
KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata.
Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk
tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris
atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual
beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan
akta notaris.
24
e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama
Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan
ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan bab
XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain.
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus
dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian keagenan dan
distributor, perjanjian kredit.26
Sedangkan menurut Achmad Busro, jenis perjanjian dapat dibedakan
menurut berbagai cara, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak
Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak yang melakukannya. Misalnya: kewajiban
yang timbul dalam perjanjian jual beli, pihak penjual mempunyai kewajiban
pokok menyerahkan barang yang dijualnya, dipihak lain pembeli mempunyai
kewajiban untuk membayar harga yang telah disepakati.
Perjanjian sepihak yaitu perjanjian dimana salah satu pihak saja yang
dibebani suatu kewajiban. Misal: dalam perjanjian pemberian hibah, hanya
satu pihak saja yang mempunyai kewajiban.
b. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alas hak membebani.
Perjanjian cuma-cuma yaitu suatu perjanjian yang memberikan keuntungan
bagi salah satu pihak tanpa adanya imbalan dari pihak lain.
26
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), hal 82.
25
Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana
terhadap prestasi dari pihak yang lain, antara prestasi dan kontra prestasi
tersebut terdapat hubungan menurut hukum meskipun kedudukannya tidak
harus sama. Misal: Disatu pihak berprestasi sepeda, di pihak lain berprestasi
kuda. Jadi disini yang penting adanya prestasi dan kontra prestasi.
c. Perjanjian konsensuil, riil dan formil.
Perjanjian konsensuil yaitu adanya suatu perjanjian cukup dengan adanya
kata sepakat dari para pihak. Misalnya: Masing-masing pihak sepakat untuk
mengadakan jual beli kambing.
Perjanjian riil yaitu perjanjian disamping adanya kata sepakat masih
diperlukan penyerahan bendanya. Misalnya: Dalam jual beli kambing tersebut
harus ada penyerahan dan masih diperlukan adanya formalitas tertentu.
d. Perjanjian bernama, tidak bernama dan perjanjian campuran.
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah ada namanya seperti dalam
buku III KUHPerdata Bab V sampai dengan Bab XVIII.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ada namanya.
Ketentuannya diatur dalam buku III KUHPerdata Bab I sampai dengan Bab
IV yang merupakan ketentuan umum.
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang terdiri dari beberapa perjanjian
bernama juga kemungkinan pula terdapat perjanjian tidak bernama.
26
e. Perjanjian kebendaan dan obligatoir.
Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian untuk menyerahkan hak kebendaan.
Sedangkan perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan
kewajiban kepada pihak-pihak, misal: jual beli.
f. Perjanjian yang sifatnya istimewa
1) Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian untuk membebaskan dari kewajiban.
Misal dalam Pasal 1438 KUHPerdata mengenai pembebasan hutang dan
pasal-pasal berikutnya (Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPerdata).
2) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak sepakat
menentukan pembuktian yang berlaku bagi para pihak.
3) Perjanjian untung-untungan, seperti yang ada dalam Pasal 1774 yaitu
perjanjian yang pemenuhan prestasinya digantungkan pada kejadian yang
belum tentu terjadi.
4) Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai
oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa.
Contoh: Perjanjian yang dilakukan antara mahasiswa tugas belajar (ikatan
dinas).27
Abdulkadir Muhammad28 juga mengelompokkan perjanjian menjadi
beberapa jenis, yaitu:
a. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak
27
28
Achmad Busro, Hukum Perikatan, (Semarang: Oetama, 1985), hal 4.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung:Penerbit Alumni, 1982), hal 86.
27
Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang
memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal
balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, pemborongan
bangunan, tukar menukar.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu
pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak
yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi obyek perikatan
dan pihak yang lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. Yang
menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah
pihak atau salah satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik
bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak,
misalnya hak untuk menghuni rumah.
Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal
pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPerdata. Menurut pasal ini
salah satu syarat ada pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat
timbal balik.
b. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan
pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.
Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana
terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari
pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut
28
hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga
pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi
memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerahlepaskan suatu barang
tertentu kepada A.
Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan berdasarkan
undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para
kreditur (perhatikan Pasal 1341 KUHPerdata).
c. Perjanjian bernama dan tidak bernama.
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang
dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya
terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama
tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.
d. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.
Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah
perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli.
Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya
sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli
berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga.
Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan
barang.
29
Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian
itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu
sah menurut hukum atau tidak.
e. Perjanjian konsensual dan perjanjian real.
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan
kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian disamping ada
persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas
barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan pinjam
pakai (Pasal 1694, 1740 dan 1754 KUHPerdata).
Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan
sifat hukum adat bahwa setiap prbuatan hukum (perjanjian) yang obyeknya
benda tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak keetika itu juga
terjadi peralihan hak. Hal ini disebut "kontan dan tunai".
Sementara itu Salim H.S di menyebutkan bahwa jenis kontrak atau
perjanjian adalah:29
a. Kontrak Menurut Sumber Hukumnya.
Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak
yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian (kontrak)
dibagi jenisnya menjadi lima macam, yaitu:
1. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya
perkawinan.
29
Salim H.S., Hukum Kontrak, (Jakarta:Sinar Grafika, 2006), hal 27-32.
30
2. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan
dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik.
3. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban.
4. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan
bewijsovereenkomst.
5. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan
publieckrechtelijke overeenkomst.
b. Kontrak Menurut Namanya
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam
Pasal 1319 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1319 KUHPerdata hanya disebutkan
dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan
kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang
dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah
jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah,
penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa,
penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah
kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis
kontrak ini belum dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak
innominat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture,
kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain.
c. Kontrak Menurut Bentuknya
Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk
kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum
31
dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau
perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan
para pihak (Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan adanya konsensus maka
perjanjian ini telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian
konsensual dan riil. Pembedaan ini diilhami dari hukum Romawi. Dalam
hukum Romawi, tidak hanya memerlukan adanya kata sepakat, tetapi perlu
diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harus didasarkan atas
penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual adalah suatu
perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian
riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata.
Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus
dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata). Kontrak ini dibagi
menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta
autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak.
Akta yang dibuat oleh notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita
acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang
dibuat di hadapan notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di
hadapan notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya
yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian
yang telah dituangkan dalam bentuk formulir.
d. Kontrak Timbal Balik
32
Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal
balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan
kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewamenyewa.
Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak
sempurna dan yang sepihak.
1. Kontak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi
satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak
ada prestasi-prestasi seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan
senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang dikenakan atas
pundaknya oleh orang pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah mengeluarkan biayabiaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus
menggantinya.
2. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan
kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah
perjanjian pinjam mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam
rangka pembubaran perjanjian.
e. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani.
Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya
prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian,
yang menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi salah satu
pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan
alas hak yang membebani merupakan perjanjian, disamping prestasi pihak
33
yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain, yang menurut
hukum saling berkaitan. Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu jumlah
tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A.
f. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya.
Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang
ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya
dibagi menjadi dua macam,
yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke
overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu
perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal
demikian untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian
pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian
obligatoir merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para
pihak.
Disamping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian
pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang
utama, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, baik kepada individu
maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir merupakan
perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan atau
fidusia.
g. Perjanjian dari Aspek Larangannya
Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya merupakan penggolongan
perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat
34
perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Di d alam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi tiga
belas jenis, sebagai berikut:.
1. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan
produksi dan atau pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak
sehat.
2. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran
pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan ini
adalah:
a. Suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan
b. Suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
3.
Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.
35
4.
Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang
dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga yang berada di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
5.
Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan
bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok
kembali barang dan atau jasa yang diterimanya. Tindakan ini dilakukan
dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
6.
Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan tidak sehat.
7.
Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang
dibuat
pelaku
usaha
dengan
pelaku
usaha
pesaingnya
untuk
mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usah yang sama, baik
untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
8.
Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan
36
atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
9.
Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing
perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk mengontrol
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
10. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama
menguasai
pembelian
atau
penerimaan
pasokan
agar
dapat
mengendalikan harga atas barang dan atau jas dalam pasar yang
bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
11. Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi
sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang
dan/atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
37
12. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan
atau jasa tersebut kepad pihak dan atau pada tempat tertentu.
13. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan tidak sehat.
Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S
jenis atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya,
yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah
perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun
dari aspek hak dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah
perjanjian konsensual, obligator dan lain-lain.
4. Syarat syahnya perjanjian
Menurut pasal 1320 KUHPerdata untuk syarat sahnya suatu perjanjian
diperlukan syarat sebagai berikut:
a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Untuk dua syarat yang pertama disebut sebagai syarat subyektif
mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan
38
dua syarat yang kedua adalah syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya
sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilaksanakan.
Prof. Subekti menjelaskan maksud dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut.
Ayat 1 yaitu tentang adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri
adalah adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu
perjanjian yang sah. Dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena
paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog). Ayat 2
mengenai kecakapan, maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut
hukum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah diterangkan, beberapa
golongan orang oleh undang-undang dinyatakan "tidak cakap" untuk melakukan
sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, seperti orang dibawah umur,
orang dibawah pengawasan (curatele). Jika ayat 1 dan 2 tidak dipenuhi maka
perjanjian ini cacat dan dapat dibatalkan. Ayat 3 mengenai hal tertentu
maksudnya yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau
suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat
menetapkan kewajiban si berhutang jika terjadi perselisihan. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Ayat 4
menurut Prof. Subekti, Undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian
harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti sebab,
tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan,
39
yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian
itu.Jika ayat 3 dan 4 tidak dipenuhi maka perjanjian ini batal demi hukum.30
Lebih lanjut akan diuraikan satu persatu syarat-syarat perjanjian menurut
ahli hukum, sebagai berikut:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat atau juga dinamakan perizinan, seia sekata antara pihak-pihak
mengenai pokok perjanjian yang dibuat. Sepakat merupakan suatu syarat
yang logis, karena dalam perjanjian setidak-tidaknya ada dua orang yang
saling berhadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya.
Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.31 Persetujuan
harus berasal dari masing-masing pihak tanpa adanya paksaan maupun
adanya satu bentuk penipuan atau ketakutan (pasal 1321,1322, dan 1328
KUHPerdata).
Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga
dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu
dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau
kekayaannya terancam dengan suatu kerugian terang dan nyata (pasal 1324
KUHPerdata). Dalam mempertimbangkan hal itu harus diperhatikan usia,
kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.
Penipuan adalah suatu usaha yang dilaksanakan secara sengaja,
dengan jalan tipu muslihat untuk menimbulkan kesesatan kepada pihak yang
30
31
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987), hal 135-137
J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1992), hal. 6.
40
lain. Penipuan merupakan perilaku atau tindakan membiarkan dengan
maksud untuk menyesatkan pihak lain.32 Penipuan merupakan suatu alasan
untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah
satu pihak, adalah sedemikain rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak
yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu
muslihat tersebut. (pasal 1328 KUHPerdata). Sedangkan dikatakan tidak ada
kekhilafan apabila kehendak seseorang pada waktu membuat persetujuan
tidak dipengaruhi kesan atau pandangan yang palsu. Kekhilafaan harus
sedemikian rupa sehingga seandainya tidak khilaf mengenai hal itu, ia tidak
akan menyetujuinya. Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu
perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang
yang menjadi pokok perjanjian. (pasal 1322 KUHPerdata)
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.
Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat
pikirannya adalah cakap menurut hukum.33 Cakap berarti mengerti akan
sesuatu yang dilakukan serta mengetahui dampak dari berbuatan yang
dilakukannya, dengan kata lain sudah dapat mengendalikan apa yang
diperbuatnya serta mampu mempertanggung jawabkannya.
Pada umumnya setiap orang dinyatakan cakap untuk membuat
perjanjian apabila ia oleh UU tidak dinyatakan tak cakap. Hal ini diatur
dalam pasal 1329 KUHPerdata. Pengecualian atas prinsip yang ada dalam
32
33
R. Setiawan, op cit, hal. 265.
R. Subekti, op.cit, hal 17
41
pasal 1329 KUHPerdata yaitu ada dalam isi 1330 KUHPerdata ditentukan
orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian yaitu:
1. Orang yang belum dewasa
Dalam pasal 1330 dikatakan bahwa mereka yang belum genap
berumur 21 tahun dan tidak menikah adalah belum dewasa. Sehingga
dapat kita simpulkan bahwa dewasa adalah mereka yang telah berumur
21 tahun, telah menikah termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun,
tetapi sudah menikah dan orang dewasa adalah orang yang pada
dasarnya cakap untuk bertindak atau tidak dilarang oleh UU.
Tetapi dengan berlakunya UU No 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, batas kedewasaan seseorang berubah menjadi 18 tahun.
Hal ini dapat dilihat dalam pasal 47 UU No 1 tahun 1974 yang
mengatakan:
a. Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum menikah ada
dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
kekuasaannya.
b. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum diluar
dan di dalam pengadilan
Menurut Pasal 1 UU N0. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa: Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
42
Adalah orang yang karena sifat pribadi dianggap tidak cakap
untuk bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum. Orang yang
termasuk dibawah pengampuan adalah orang yang sakit gila atau mata
gelap, orang yang lemah akal dan orang yang pemboros.
Pengampuan tidak pernah terjadi demi hukum akan tetapi selalu
terjadi karena adanya suatu permohonan kepada pengadilan negeri yang
berada di daerah hukum di mana orang dimohonkan ditaruh dibawah
pengampuan berada. “Segala permintaan akan pengampuan, harus
dimajukan kepadaa Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya
orang
yang
dimintanya
pengampuannya,
berdiam”.
(pasal
436
KUHPerdata).
3. Orang perempuan
Dalam pasal 108 KUHPerdata dikatakan bahwa seseorang istri
apabila hendak menghadap dimuka hakim harus mendapat bantuan dari
suaminya. Namun dengan keluarnya UU No 1 tahun 1974, maka
kedudukan suami dan istri adalah sama, yang berarti seorang istri adalah
cakap menurut hukum. Hal ini diatur dalam pasal 31 ayat (1) berbunyi
“Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami, dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan bersama
dalam masyarakat”. Sehingga dengan keluarnya UU No 1 tahun1974
maka pasal 108 dan pasal 110 KUHPerdata diatas tidak berlaku lagi.
c.
Suatu hal tertentu
Yaitu obyek yang tertentu, syarat-syarat ini perlu untuk dapat
menetapkan kewajiban debitur jika ada perselisihan.
43
Dalam pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian
harus mempunyai pokok suatu barang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Selanjutnya dalam pasal tersebut ditetapkan bahwa diperbolehkan
mengadakan perjanjian dimana pada waktu mengadakan perjanjian jumlah
barang belum ditentukan asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan
atau dihitung (jo pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata). Menurut R. Subekti
suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu, artinya apa yang
diperjanjikan mengenai hak dan kewajiban para pihak jika timbul
perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. 34
d.
Suatu sebab yang halal
Yang dimaksud adalah sebab dari isi suatu perjanjian itu sendiri yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak, bukan sebab
dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat
perjanjian. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab
orang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan adalah isi perjanjian itu
menggambarkan tujuan yang hendak dicapai tidak dilarang oleh undangundang, tidak bertentangan dengan ketertiban umun dan kesusilaan, hal ini
terlihat jelas dalam pasal 1337 KUHPerdata yaitu “suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undan-undang, atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketetiban umum”.
Sebab harus dibedakan dengan motif-motif adalah alasan yang
mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu hal tertentu. Motif
34
R. Subekti, op cit, hal. 19
44
merupakan hal yang tidak penting dalam hukum., sedangkan sebab adalah
tujuan dari perjanjian.35
5. Asas-asas Perjanjian
a. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak secara tidak langsung diatur Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata, yang menegaskan bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Menurut Absori,36
menjelaskan bahwa dengan mendasarkan kata
semua, maka berarti semua orang bebas untuk mengadakan perjanjian yang
memuat apa saja dan syarat-syarat perjanjian macam apapun (menentukan
secara bebas apa yang menjadi hak, kewajiban dan tanggungjawab
sepanjang tidak melanggar ketertiban umum) adalah suatu asas yang
menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya telah membuat kontrak
(perjanjian) yang berisi dan macam apapun asalkan tidak bertentangan
dengan undang-undang dan ketertiban umum.
b.
Asas konsensualisme
Asas ini diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat
sahnya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak untuk mengikatkan dirinya,
kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu
sebab yang halal.
35
R. Setiawan, op cit, hal. 62
Absori, Hukum Ekonomi Indonesia (Beberapa Aspek Pengembangan Pada Era Liberalisme
Perdagangan), (Surakarta: Muhammadiyah University Press UMS, 2006) , hal. 85.
36
45
Menurut asas konsensualitas, pada dasarnya perjanjian dan perikatan
yang timbul karenanya itu sah dilahirkan sejak terciptanya kesepakatan,
dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila telah sepakat mengenal
hal-hal yang pokok dan tidaklah perlu suatu formalitas.37 Jadi perjanjian
para pihak terjadi hanya dengan kata sepakat tanpa memerlukan formalitas
tertentu.
Pengecualian asas ini adalah perjanjian riil dan perjanjian formil,
perjanjian riil misalnya perjanjian pinjam pakai yang menurut Pasal 1740
KUHPerdata baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi
obyek perjanjian. Perjanjian formal misalnya perjanjian perdamaian yang
menurut Pasal 1851 ayat (2) kontrak perjanjian harus dituangkan secara
tertulis.
c.
Asas Pacta sunt servanda
Asas ini menegaskan bahwa apabila seseorang membuat perjanjian
secara sah (memenuhi Pasal 1320), maka perjanjian itu berakibat bagi para
pihak yang membuatnya, yaitu perjanjian itu berlaku sebagai undangundang bagi si pembuatnya oleh karenanya akibat atas asas pacta sunt
servanda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) "Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sekapat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
37
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Internusa, 1991), hal. 15
46
oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Semua perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikat baik."
Dengan demikian Pasal 1338 berkenaan dengan asas pacta sunt
servanda mempunyai nama lain asas kepastian hukum.
Sesuatu memperolah jaminan bahwa apa yang telah disepakati
dijamin pelaksanaannya, hal ini menimbulkan kewajiban bagi pihak ketiga
(termasuk hukum) untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat oleh
para pihak, artinya pihak ketiga tidak dapat mencampuri isi perjanjian dan
harus mengakui adanya perjanjian.
d.
Asas itikad baik
Asas itikad baik berarti bahwa pelaksanaan perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan kesusilaan dan keadilan. Dalam Pasal 1338 ayat (1)
dijelaskan bahwa "persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik".
Pasal tersebut merupakan dasar dari asas itikad baik.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dalam hukum perjanjian
nasional, asas-asas tersebut disesuaikan dengan idiologi Pancasila dan UUD
1945 menjadi:
a. Asas kebebasan mengadakan perjanjian
b. Asas konsensualisme
c. Asas kepercayaan
d. Asas kekuatan mengikat
e. Asas persamaan hukum
f. Asas moral
47
g. Asas kepatutan
h. Asas kebiasaan38
6. Unsur-unsur Perjanjian
Unsur-unsur dalam perjanjian adalah:
a. Essentalia
Yaitu unsur utama, tanpa adanya unsur ini persetujuan tidak mungkin ada.
b. Naturalia
Yaitu unsur yang oleh undang-undang ditentukan sebagai peraturan yang
bersifat mengatur.
c. Accidentalia
Yaitu unsur yang oleh para pihak ditambahkan dalam persetujuan dimana
undang-undang tidak mengatur.39
7. Prestasi dan Wanprestasi
a. Prestasi
Prestasi merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi oleh para pihak dalam
perjanjian. Berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata, ada tiga macam prestasi
yang dapat diperjanjikan, yaitu:
1. Untuk memberikan sesuatu
2. Untuk berbuat sesuatu
3. Untuk tidak berbuat sesuatu
38
39
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, 1989, hal 15-21.
R. Setiawan, Op.cit., hal 50.
48
b. Wanprestasi
Wanprestasi ini merupakan istilah yang diambil dari bahasa Belanda yang
berarti "prestasi buruk". Namun oleh para sarjana, kata "wanprestasi" ini
diterjemahkan dalam uraian kata menurut pendapatnya masing-masing.
Menurut Abdulkadir Muhamad, wanprestasi artinya tidak memenuhi
kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul
karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undangundang.40
Sedangkan Subekti mengatakan bahwa wanprestasi artinya peristiwa dimana
si berhutang tidak melakukan apa yang dijanjikannya. Pelanggaran janji
tersebut dapat berbentuk:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Wanprestasi dapat disebabkan karena dua hal, yaitu:
1. Kesengajaan, maksudnya adalah perbuatan yang menyebabkan terjadinya
wanprestasi tersebut memang telah diketahui dan dikehendaki oleh
debitur.
2. Kelalaian, yaitu debitur melakukan suatu kesalahan tetapi perbuatan itu
tidak dimaksudkan untuk terjadinya wanprestasi.
Segala bentuk kelalaian atau wanprestasi yang dibuat oleh debitur,
mengakibatkan debitur wajib:
40
Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hal 20.
49
1. Memberikan ganti rugi kepada kreditur, sebagaimana diatur dalam Pasal
1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata. Mengenai ganti rugi ini
Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan: "Penggantian biaya, rugi, dan bunga
karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila
si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya,
hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya."
Yang dimaksud biaya di sini adalah segala pengeluaran atau ongkos yang
nyata-nyata telah dikeluarkan satu pihak. Kerugian yang dimaksud adalah
kerugian terhadap biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan
(kosten), kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si
berpiutang (schaden) dan kerugian yang berupa kehilangan keuntungan
(interessen) yang akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai
(winstderving).41
Sedangkan bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh
kreditur.
2. Pembatalan atau pemutusan perjanjian sehingga membawwa kedua belah
pihak untuk kembali kepada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan risiko
4. Membayar biaya perkara, jika sampai diperkarakan di depan hakim.
Tuntutan dari seorang kreditur terhadap debitur yang lalai adalah:
41
Subekti, Op.cit., hal 148.
50
1. Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan
ini sudah terlambat.
2. Meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya,
karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan
tetapi tidak sebagaimana mestinya.
3. Menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian
yang
diderita
olehnyasebagai
akibat
terlambatnya
pelaksanaan
perjanjian.
4. Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik,
kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk
meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan
permintaan penggantian ker ugian.42
B. Asas Kebebasan Berkontrak
1. Sejarah Lahirnya Asas Kebebasan Berkontrak
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara embrional lahir pada zaman Yunani yang diteruskan
kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisans melalui antara
lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rosseau.
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang
dikehendakinya.43
Sejarah timbulnya pemikiran mengenai asas kebebasan berkontrak atau
freedem of contract hanya akan jelas bila didahului dengan menjelaskan mengenai
42
Subekti, Op.cit., hal 147-148
Salim, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU). (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), hal. 2.
43
51
suasana atau pola perdagangan di masa sebelum lahirnya asas tersebut, yaitu di
waktu Abad Pertengahan ketika berlakunya apa yang dinamakan “mercantile
system”. Sistem tersebut mengiringi keadaan ekonomi pada Abad Pertengahan,
yaitu suatu masa dimana aktivitas bisnis dan perdagangan tidak mendapat tempat
yang terhormat.44
Penemuan daerah-daerah baru dan logam-logam mulia pada abad ke-16
memungkinkan penggunaan uang secara luas sebagai alat tukar. Tarif barang
ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah membebani perusahaan industri dan
dagang dengan pungutan sebagai imbalan atas hak-hak istimewa dan hak-hak
monopoli yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan tersebut. Sebagai
sumber pendapatan pemerintah, maka hak untuk melakukan diberikan oleh raja
kepada perseorangan, gereja, dan kotapraja.
Kebencian terhadap pembatasan hak monopoli dan pemberontakan serta
pengaruh hukum alam telah mengakhiri mercantile system. Para penganjur hukum
alam, yang bermula dalam abad ke-17 dan abad ke-18, menyatakan bahwa
manusia dituntun oleh suatu asas bahwa ia adalah bagian dari alam dan sebagai
mahluk yang rasional dan cerdas, ia bertindak sesuai keinginannya (desires) dan
gerak hatinya (impulses). Salah satu penganjur terkemuka dari aliran hukum alam
ini adalah Hugo Grotius, yang berpendapat bahwa hak untuk mengajakan
perjanjian adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia. Ia beranggapan bahwa
44
55.
Essel R. Dillavou, Principles of Business Law, (New Jersey: Prentice Hall Inc., 1962), hal. 51-
52
suatu kontrak adalah tindakan suka rela dari seseorang dimana ia berjanji sesuatu
kepada orang lain dengan maksud bahwa orang lain itu akan menerimanya.45
Doktrin kebebasan untuk bertindak dan kebebasan berkontrak juga diterima
oleh penganjur ekonomi laissez faire pada abad ke-18 dan 19. Adam Smith yang
paling terkemuka di antara mereka telah mengusulkan sebagai salah satu asas
ekomoni politik suatu ketentuan yang menyatakan bahwa perundang-undangan
seyogianya tidak digunakan untuk mencampuri kebebasan berkontrak karena
kebebasan ini penting bagi kelanjutan perdagangan dan industri. Hal yang sama
menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang dikenal dengan utilitaanism.
Utilitarianism dan teori ekonomi klasik laissez faire dianggap saling melengkapi
dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberal modernsilistis.46 Keduanya
percaya terhadap individualisme sebagai suatu nilai dan sebagai suatu mekanisme
sosial, keduanya yakin terhadap kebebasan berkontrak sebagai suatu asas umum
dan sebagai strarting point bahwa manusia pada umumnya mengetahui
kepentingan mereka sendiri yang terbaik.
Dalam bukunya The Wealth of Nations, Smith mendukung prinsip
“kebebasan alamiah”, yakni setiap manusia memiliki kebebasan untuk melakukan
apa yang diinginkannya tanpa campur tangan pemerintah. Ini mengandung
pengertian negara tidak boleh campur tangan dalam perpindahan dan perputaran
aliran modal, uang, barang, dan tenaga kerja. Smith juga memandang pembatasan
kebebasan ekonomi oleh pemerintah sebagai pelanggaran hak asasi manusia.47
45
Sutan Remy Sjahdaeni, Op. Cit., hal. 24
P.S. Atiyah.1979.Hukum Kontrak ( Jakarta: Institut Bankir Indonesia), hal. 324.
47
Mark Skousen, Op. Cit., hal. 22
46
53
Alasan utama Smith yang melarang intervensi pemerintah adalah doktrin
invisible hands (tangan gaib). Menurut doktrin ini, kebebasan (freedom),
kepentingan diri sendiri (self-interest), dan persaingan (competition) akan
menghasilkan masyarakat yang stabil dan makmur. Upaya individu untuk
merealisasikan kepentingan dirinya sendiri bersama jutaan individu lainnya akan
dibimbing oleh ”tangan tak terlihat”. Setiap upaya individu mengejar
kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak indvidu tersebut juga
mempromosikan kepentingan publik. Dengan kata lain, Smith mengklaim dalam
sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire) yang
mengedepankan nilai-nilai kebebasan (liberalisme), maka perekonomian secara
otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan.
Sektor-sektor perekonomian yang secara faktual menguasai hajat hidup
orang banyak atau semestinya dikuasai negara untuk mencegah konsentrasi
kepemilikan di tangan segelintir orang malah diserahkan kepada mekanisme pasar
yang sudah jelas didominasi kaum kapitalis. Secara logis laissez faire hanya
menjadi alat kaum kapitalis untuk mencegah dominasi negara atas perekonomian,
menghalang-halangi distribusi kekayaan yang adil di tengah masyarakat, dan
menjadikan negara sebagai alat untuk melegalisasi kaum kapitalis.
Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham
individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan
pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu,
kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif
54
dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak
semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah
sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh
pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik.
Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan
(vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian.
2. Dasar Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perdata
Dalam hukum perdata di Indonesia asas kebebasan berkontrak ini
terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Dengan menekankan pada perkataan semua, maka Pasal
tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat diperbolehkan
membuat perjanjian yang berupa dan berisi tentang apa saja dan diperolehkan pula
membuat undang-undang sendiri, asalkan tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Lebih tegasnya para pihak yang
membuat perjanjian dapat menciptakan suatu ketentuan sendiri untuk kepentingan
mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Menurut Sjahdeini asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian
Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut: 48
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
2. Kebebasan untuk memeilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
48
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 54
55
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa dari perjanjian yang akan
dibuatnya.
4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang
bersifat opsional.
Para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian harus tunduk pada isi
perjanjian tersebut sebagaimana halnya tunduk pada Undang-undang, atau yang
disebut dengan asas pacta sunt servanda. Konsekuensinya bagi pihak ketiga
(termasuk hakim), juga wajib untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat
oleh para pihak dan tidak ikut campur didalamnya. Bahwa demi kepastian hukum,
mereka yang telah memperjanjikan sesuatu berhak mendapatkan jaminan bahwa
apa yang telah diperjanjikan tidak akan dicampuri oleh orang lain, oleh karena itu
asas pacta sunt servanda ini disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Menurut ketentuan pasal 1338 ayat (3) bahwa: Perjanjian-perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik dibagi menjadi dua yaitu itikad baik
subyektif dan itikad baik obyektif. Itikad baik subyektif adalah berkenaan dengan
dengan sikap batin atau kejujuran mengenai keinsyafan bahwa syarat-syarat
perjanjian telah terpenuhi dan biasanya tidak tertulis secara tegas dalam
perjanjian, sedangkan itikad baik obyektif adalah kemampuan para pihak dalam
memenuhi isi perjanjian.
56
3. Batasan Asas Kebebasan Berkontrak
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut Hukum Perdata yang
berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan
pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak
(perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu
sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan
kepadanya kebebasan untuk berkontrak.
Apakah memang asas kebebasan berkontrak dapat bekerja secara bebas
mutlak atau memang apa batasan-batasannya? Bila dipelajari pasal-pasal dalam
KUHPerdata ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukan bebas mutlak, tetapi
ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUHPerdata terhadap
asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas.
Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah
apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari pihak yang membuatnya.
Ketentuan tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh
“asas konsessualisme”. Ketentuan pasal 1320 ayat (1) tersebut mengandung
pengetian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi
oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi
oleh asas konsensualisme.
57
Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk
membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi
seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat
perjanjian, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian.
Menurut pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di
bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian.
Pasal 1320 (3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat
ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi
yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau
sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas
ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau
ditetapkan. Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya
ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul
perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. jika prestasi kabur atau dirasakan
kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka
dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi
hukum.
Pasal 1320 ayat (4) jo. 1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas
untuk membuat perjanjian yang menyangkut kausa yang dilarang oleh undangundang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban
umum. Perjanjian yang dibuat untuk kausa yang dilarang oleh undang-undang
atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum
adalah tidak sah.
58
Pasal 1332 memberikan arah mengenai kebebasan pihak untuk membuat
perjanjian sepanjang yang menyangkut objek perjanjian. Menurut pasal 1332
tersebut adalah tidak tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apa pun.
Hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis saja yang dapat dijadikan
objek perjanjian.
Pasal 1338 ayat (3) menentukan berlaku „asas itikad baik” dalam
melaksanakan perjanjian. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai
daya kerja pada waktu perjanjian dilaksanakan, tetapi juga sudah mulai bekerja
pada waktu perjanjian itu dibuat. Artinya bahwa perjanjian yang dibuat dengan
berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu tidak
sah. Dengan demikain asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan
suatu pihak dalam membuat perjanajian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya
tetapi dibatasi oleh itikad baik.
Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak Prof.
Asikin Kusuma Atmadja, dalam makalahnya49 menyatakan bahwa Hakim
berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena
isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam
masyarakat. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam
pasal 1338 tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim
berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan
bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang
49
http://hukum.kompasiana.com/2010/08/25/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-hukum erjanjiandi-indonesia.
59
tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas
untuk menyatakan kehendaknya.
Lebih lanjut Prof. Asikin mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang
murni/mutlak karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis
tidak ada, selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Beliau
mengilustrasikan dengan suatu cerita lama yang mengandung moral yang ada
kaitannya dengan tafsiran perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin
dan mempunyai hutang yang besar karena meminjam uang untuk menyekolahkan
anak gadis tersebut. Kalau hutangnya tidak segera dibayar maka satu-satunya
harta berupa rumah dan pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang
mempunyai kekuasaan ekonomis datang dan mengadakan perjanjian dengan
orang tua gadis tersebut bahwa hutang akan dilunasi asal gadis tersebut
dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong, sedangkan anak gadis tersebut
telah mempunyai tunangan. Kemudian terjadilah perjanjian antara sang penolong
dengan orang tua yang miskin tersebut. Apakah aneh kalau orang tua miskin
tersebut kemudian mengingkari janjinya. Moral disini janganlah mencari
kesempatan dalam kesempitan atau jangan menyalahgunakan kesempatan.
Dalam ilmu hukum moral tersebut di atas disebut misbruik van
omstandigheden (penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan).
Penyalahgunaan kesempatan dapat digunakan dalam kategori cacat dalam
menentukan kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan
alasan untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak
60
diatur dalam Undang-undang melainkan merupakan suatu konstruksi yang dapat
dikembangkan melalui Yurisprudensi.
Sesuai
dengan
hukum,
kebutuhan
konstruksi
penyalahgunaan
kesempatan/keadaan merupakan atau dianggap sebagai faktor yang membatasi
atau yang mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan
persetujuan antara kedua belah pihak. Salah satu keadaan yang dapat
disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi (economish overwicht) pada
salah satu pihak, Yang menggangu keseimbangan antara kedua belah pihak
sehingga adanya kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan yang
merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu persetujuan tidak ada (kehendak
yang cacat), menurut Prof. Z. Asikin50 yang penting ialah menciptakan beberapa
titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu
keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan
sehingga mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi kebebasan
kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan. Disini terletak
wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk
melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang.
Banyak
faktor
yang
dapat
memberikan
indikasi
tentang
adanya
penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Kalau
umpamanya ternyata ada syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak
masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan (on
redelijkecontractsvoorwaarden atau un faircontractterms), maka hakim wajib
50
Ibid
61
memeriksa dan meneliti inconcreto faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk
akal, tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut. Begitupula kalau
nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang
positie), maka hakim wajib meneliti apakah inconcreto terjadi penyalahgunaan
ekonomis. selanjutnya juga kalau terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada
pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat
yang
memberatkan, terakhir dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian
tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik
dari para pihak. Juga dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in concreto
terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis.
Dari pasal-pasal tersebut jelas bahwa asas kebebasan berkontrak yang diakui
oleh KUHPerdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUHPerdata sendiri.
Dengan demikian maka jelas bahwa asas kebebasan berkontrak tidak mempunyai
arti yang tidak terbatas, akan tetapi daya kerjanya masih sangat longgar.
Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan
bila para pihak yang membuat perjanjaian tidak sama kuat kedudukannya atau
tidak mempunyai bargaining position yang sama. Oleh bkarena itu asas
kebebasan berkontrak harus dibatasi oleh tanggungjawab para pihak, dan dibatasi
oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak.
62
BAB III
AKAD DAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT
HUKUM ISLAM
A. Akad Menurut Hukum Islam
1. Definisi Akad
Istilah perjanjian menurut hukum Islam disebut “akad”. Secara etimologi
akad berarti ikatan, yaitu ikatan antara ujung sesuatu (dua perkara), baik ikatan
secara nyata maupun ikatan secara abstrak dari satu sisi atau dari dua sisi.51
Sedangkan menurut M. Hasbi Ash- Shiddieqy akad adalah mengikat, yaitu
mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain,
sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi satu benda.52 Secara
terminologi umum adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasar
keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, sewa
menyewa, perwakilan, dan gadai.53
Istilah dalam Al- Qur‟an yang berhubungan dengan perjanjian adalah al„aqdu (akad) dan al- „ahdu (janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan,
mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau
mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya
51
Muhammad Firdaus NH., dkk., Cara mudah memahami akad-akad Syari‟ah, (Jakarta:
Renaisan, 2005), hal. 158.
52
M. Hasby Ash- Shiddieqy, dalam Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press,
2002), Cet. I, hal. 12.
53
Muhammad Firdaus, NH., dkk. Op. Cit., hlm. 13.
63
hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu. 54 Kata al„aqdu terdapat dalam Al- Qur‟an bahwa manusia diminta untuk memenuhi
akadnya sebagai mana firman Allah yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.55
Menurut Fathurrahman Djamil istilah al- „aqdu ini dapat disamakan
dengan istilah verbentanis dalam KUH Perdata.56 Sedangkan istilah al-„ahdu dapat
disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan
dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak
berkaitan dengan orang lain.
57
Istilah ini terdapat dalam Al- Qur‟an bahwa
sebenarnya siapa yang menepati janjinya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaqwa.58
54
Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), hal. 75
55
Q.S. Al- Maidah :1
56
Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syari‟ah dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh
Mariam Darus Badrul Zaman et al., Cet. 1, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 247-248.
57
Ibid., hal. 248.
58
Q.S. Ali Imran : 76. Artinya: (Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang
dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa
64
Akad menurut para ahli Hukum Islam didefinikan sebagai pertalian antara
ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya. 59
Sementara itu menurut Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu
perikatan (al-„aqdu) melalui tiga tahap, yaitu: 60
1. Al- „Ahdu (perjanjian) yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan
kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk
melaksanakan janjinya tersebut seperti yang difirmankan oleh Aallah dalam
surat Ali Imran ayat 76.
2. Persetujuan yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan
oleh pihak pertama. Persejutuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak
pertama.
3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka
terjadilah apa yang dinamakan „aqdu‟ oleh Al- Qur‟an yang terdapat dalam
surat Al- Maidah ayat 1. Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah
pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau „ahdu‟ itu, tetapi „aqdu‟.
Sebagai contoh, jika A menyatakan janji untuk membeli sebuah mobil
kemudian B menyatakan janji untuk menjual sebuah mobil, maka A dan B
berada pada tahap „ahdu‟. Apabila merek mobil dan harga mobil disepakati
oleh kedua pihak, maka terjadi persetujuan. Jika dua janji tersebut
dilaksanakan, misalnya dengan membayar uang tanda jadi terlebih dahulu oleh
A, maka terjadi perikatan atau „aqdu‟ di antara keduanya.
59
Mas‟adi, Op. cit., hlm. 76.
Abdoerraoef, Al- Qur‟an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Djakarta: Bulan Bintang,
1970), hal. 122-123.
60
65
Menurut Pasal 262 Mursyid al- Hairan, akad merupakan pertemuan ijab
yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang
menimbulkan akibat hukum pada objek akad.61
Sementara menurut Syamsul Anwar, akad adalah pertemuan ijab dan kabul
sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat
hukum pada objeknya.62
Dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan bahwa
“Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih
untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu”.
Dari definisi tersebut di atas memperlihatkan bahwa, pertama, akad
merupakan keterkaitan atau pertemuan antara ijab dan kabul yang berakibat
timbulnya akibat hukum. Kedua,
akad merupakan tindakan hukum dua pihak
karena akad adalah pertemuan ijab yang merepresentasikan kehendak dari satu
pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga, tujuan akad
adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih tegas lagi tujuan akad adalah
maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak
melalui perbuatan akad.63
Tujuan akad untuk akad bernama sudah ditentukan secara umum oleh
Pembuat Hukum Syariah, sementara tujuan akad untuk akad tidak bernama
ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai dengan maksud mereka menutup akad.
Tujuan akad bernama dapat dikategorikan menjadi lima, yaitu:
61
Basyra, Mursyid al- Hairan ala Ma‟rifah Ahwal al- Insan (Kairo: dar al- Furjani, 1403/1983),
hal. 49.
62
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat,
(Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2010), hal. 68
63
Ibid, hal. 69
66
1.
Pemindahan milik dengan imbalan ataupun tanpa imbalan (at- tamlik)
2.
Melakukan pekerjaan (al- „amal)
3.
Malakukan persekutuan (asy- syirkah)
4.
Melakukan pendelegasian (at- tafwidh)
5.
Malakukan penjaminan (at- tautsiq). 64
Dari uraian tersebut di atas, mengindikasikan bahwa perjanjian harus
merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang mengikatkan diri pada perbuatan
yang akan dilakukan sebagaimana diperjanjikan. Fiqih muamalat Islam
membedakan antara wa‟ad dengan akad. Wa‟ad adalah janji (promise) antara satu
pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah
pihak. Wa‟ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji
berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi
janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa‟ad,
terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well
defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi
yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat
kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat
untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati
terlebih dahulu. Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara
rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang
64
Ibid, hal. 70
67
terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka
menerima sanksi yang sudah disepakati dalam akad.65
Dari segi sifat dan hukumnya akad dapat dibagi menjadi dua yaitu akad
yang sah (shahih) dan akad yang tidak sah (tidak shahih), akad shahih adalah aqad
yang memenuhi rukun dan syaratnya, hukum dari aqad shahih ini adalah
berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan dari akad itu dan mengikat
bagi pihak-pihak berakad, aqad tidak shahih adalah akad yang terdapat
kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum
akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad.66
2. Macam-macam akad
1. Akad Bernama dan Akad Tak bernama
Yang dimaksud akad bernama adalah akad yang sudah ditentukan
namanya oleh Pembuat Hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan
khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain. Dalam
hal ini para ulama fikih tidak sepakat tentang jumlah akad bernama baik dari
sistematika penyusunan maupun urutan-urutan akadnya. Menurut al- Kasani,
akad bernama meliputi:
1. Sewa menyewa (al- ijarah)
2. Penempaan (al- istishna‟)
3. Jual beli (al- bai‟)
4. Penanggungan (al- kafalah)
65
Adiwarman A. Karim, Bank Islam – Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hal. 65.
66
M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank system
Syariah,(Universitas Sumatera Utara, Medan 2005), hal 3.
68
5. Pemindahan utang (al- hiwalah)
6. Pemberiaan kuasa (al- wakalah)
7. Perdamaian (ash- shulhu)
8. Persekutuan (asy- syirkah)
9. Bagi hasil (al- mudharabah)
10. Hibah (al- hibah)
11. Gadai (ar- rahn).67
Wahbah az- Zuhaili dalam al- Fiqh al- Islami wa Adillatuhu
menyebutkan 13 akad bernama adalah:
1. Jual beli (al- ba‟i)
2. Pinjam meminjam (al- qaradh)
3. Sewa menyewa (al- ijarah)
4. Sayembara (al- ju‟alah)
5. Persekutuan (asy- syirkah)
6. Hibah (al- hibah)
7. Penitipan (al- ida‟)
8. Pinjam pakai (al- i‟arah)
9. Peberian kuasa (al- wakalah)
10. Penanggungan (al- kafalah)
11. Pemindahan utang (al- hiwalah)
12. Gadai (ar- rahn)
13. Perdamaian (ash- shulhu). 68
67
V, hal. 259
Al- Kasani, Bada‟i ash shana‟i fi tartib asy- syaraki‟ (Mesir: Matba‟ah al- Jamaliyyah, 1910),
69
Az- Zarqa menyebutkan bahwa akad bernama mencapai 25 jenis, yaitu:
1. Jual beli (al- bai‟)
2. Sewa menyewa (al- ijarah)
3. Penganggungan (al- kafalah)
4. Pemindahan utang (al- hiwalah)
5. Gadai (ar- rahn)
6. Jual beli opsi (bai‟ al- wafa)
7. Penitipan (al- ida‟)
8. Pinjam pakai (al- i‟arah)
9. Hibah (al- hibah)
10. Pembagian (al- qismah)
11. Persekutuan (asy- syirkah)
12. bagi hasil (al- mudharabah)
13. Penggarapan tanah (al- muzara‟ah)
14. Pemeliharaan tanaman (al- musaqah)
15. Pemberian kuasa (al- wakalah)
16. Perdamaian (ash- shulhu)
17. Arbitrase (at- tahkim)
18. Pelepasan hak kewarisan (al- mukhajarah)
19. Pinjam menimjam (al- qaradh)
20. Pemberian hak pakai rumah (al- „umra)
21. Penetapan ahli waris (al- muwalah)
68
Az- Zuhaili, al- Fiqh al- Islami wa Adillatuh (Damaskus: dar al- Fikr, 1989), IV, hal. 80
70
22. Pemutusan perjanjian atas kesepakatan (al- iqalah)
23. Perkawinan (az- zawaj)
24. Wasiat (al- washiyyah)
25. Pengangkatan pengampu (al- isha‟) 69
Sedangkan akad tak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus
dalam kitab-kitab fikih di bawah satu nama tertentu. Dengan kata lain akad
yang tidak ditentukan oleh Pembuat Hukum namanya yang khusus serta tidak
ada pengaturan tersendiri mengenainya. Akad jenis ini dibuat dan ditentukan
oleh para pihak sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka contohnya perjanjian
penerbitan, periklanan.70
2. Akad Pokok dan Akad Asesoir
Akad pokok adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak
tergantung kepada suatu hal lain seperti akad jual beli, sewa menyewa,
penitipan, pinjam pakai.
Sedangkan akad asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri
sendiri, melainkan tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan
tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut seperti akad penanggungan
(al- kafalah) dan akad gadai (ar- rahn). Kedua akad ini merupakan akad untuk
menjamin, karena itu keduanya tidak ada apabila hak-hak yang dijamin tidak
ada.71
69
Az- Zarqa‟, Syarh al- Qawa‟id al- Fiqhiyyah (Ttp.: Dar al- Garb al- Islami, 1993), hal. 59
Syamsul anwar, Op. Cit., hal 76.
71
Ibid., hal 77
70
71
3. Akad Bertempo dan Akad Tidak Bertempo
Akad bertempo (al- „aqd az- zamani) adalah akad yang di dalamnya
unsur waktu merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian
dari isi perjanjian seperti akad sewa menyewa, akad penitipan, akan pinjam
meminjam, akad pemberian kuasa.
Sedangkan akad tidak bertempo adalah akad di mana unsur waktu tidak
merupakan bagian dari isi perjanjian seperti akad jual beli.
4. Akad Konsensual, Akad Formalistik dan Akad Riil
Yang dimaksud akad konsensual (al- „aqd ar- radha‟i) adalah jenis akad
yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada kesepakatan para pihak tanpa
diperlukan
formalitas-formalitas
tertentu.
Meskipun
kadang-kadang
dipersyaratkan adanya formalitas tertentu seperti harus tertulis, hal tersebut
tidak menghalangi keabsahan akad tersebut dan tetap dianggap sebagai akad
konsensual seperti jual beli, sewa menyewa, utang piutang.
Akad formalistik adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat
formalitas yang ditentukan oleh Pembuat Hukum, di mana apabila syarat-syarat
itu tidak terpenuhi akad tidak sah seperti akad nikah di mana di antara
formalitas yang disyaratkan adalah kehadiran dan kesaksian dua orang saksi.
5. Akad Masyru‟ dan akad Terlarang
Akad masyru‟ adalah akad yang dibenarkan oleh syara‟ untuk dibuat dan
tidak ada larangan untuk menutupnya, sepwrti akad-akad yang sudah dikenal
luas semisal akad jual beli, sewa menyewa. Sedangkan akad terlarang adalah
akad yang dilarang oleh syara‟ untuk dibuat seperti akad jual beli janin, akad
72
donasi anak di bawah umur, akad yang bertentangan dengan akhlak Islam dan
ketertiban umum seperti sewa menyewa untuk melakukan kejahatan, akad
nikah mut‟ah.72
6. Akad Sah dan Akad Tidak sah
Akad sah adalah akad yang memenuhi rukun dan syarat-syarat
sebagaimana ditentuak oleh syara‟. Sedangkan akad tidak dah adalah akad
yang tidak memenuhi rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh syara‟.
Perbedaan akad terlarang dengan akad tidak sah hanya pada penekanan
saja, di mana akad terlarang terdapat dalil-dalil syariah yang melarang. Semua
akad terlarang pastilah tidak sah. Sementara itu, akad tidak sah penekanannya
adalah pada tidak terpenuhinya rukun dan syarat akad.
7. Akad Mengikat dan Akad Tidak Mengikat
Akad mengikat (al- aqd al- lazim) adalah akad di mana apabila seluruh
rukun dan syaratnya telah terpenuhi, maka akad itu mengikat secara penuh dan
masing-masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak
lain. Akad jenis ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: pertama, akad
mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli, sewa menyewa. Dalam akad
jual beli masing-masing pihak tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli
tanpa persetujuan pihak lain. Kedua, akad mengikat satu pihak, yaitu akad
dimana salah satu pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan
pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat membatalkannya tanpa persetujuan
pihak pertama, seperti akad penanggungan (kafalah) dan gadai. Kedua akad ini
72
Ibid., hal. 79
73
mengikat terhadap penganggung dan penggadai dimana keduanya tidak dapat
membatalkannya tanpa persetujuan pihak untuk siapa penanggungan dan gadai
diberikan. Sebaliknya bagi pihak terakhir ini penganggungan dan gadai tidak
mengikat dalam arti ia dapat membatalkannya secara sepihak.
Adapun akad tidak mengikat adalah akad pada masing-masing pihak
dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
1. Akad yang memang sifat aslinya tidak mengikat seperti akad pemberian
kuasa (wakalah), hibah, penitipan (wadi‟ah). Akad ini sering pula disebut
akad jaiz. Dalam akad penitipan atau pinjam pakai misalnya, penitip atau
pemberi pinjaman bisa saja menarik kembali barang yang dititipkannya atau
dipinjamkannya tanpa persetujuan penerima titipan atau peminjam. Begitu
pula sebaliknya penerima titipan atau peminjam dapat mengembalikan
barang titipan atau pinjaman dapat mengembalikan barang titipan atau
pinjaman tanpa persetujuan penitip atau pemberi pinjaman. Hanya saja perlu
dicatat bahwa menyangkut akad jaiz bahwa fasakh sepihak hanya dapat
dilakukan sepanjang fasakh tersebut tidak membawa kerugian kepada pihak
mitra akad atau pihak ketiga atau dapat dilakukan sepanjang kerugian itu
dapat diberi pengganti, sebagaimana dalam Qawa‟id Ibn Rajab ditegaskan
“Fasakh dalam akad jaiz apabila mengakibatkan kerugian kepada salah satu
pihak atau pihak ketiga tidak dibolehkan, kecuali apabila kerugian dapat
diberi penggantian”.73
73
Ibn Rajab, al- qawa‟id (Makkah: Maktabah Nizar Mushthafa al- Baz, 1999), hal. 121
74
2. Akad yang tidak mengikat karena di dalamnya terdapat khiyar bagi para
pihak, antara lain khiyar syarat (hak opsi),74 khiyar at- ta‟yin (opsi
penentu),75 khiyar ar- ru‟yah (opsi setelah melihat),76 khiyar al- „aib (opsi
cacat).
8. Akad Nafiz dan Akad mauquf
Akad nafiz adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan
tidak dapatnya akad tersebut dilaksanaakan. Dengan kata lain akad yang
tercipta secara sah dan langsung menimbulkan akibat hukum sejak sat
terjadinya.
Akad maukuf adalah akad yang tidak dapat secara langsung dilaksanakan
akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, melainkan masih
tergantung (maukuf) kepada adanya ratifikasi dari pihak berkepentingan. Sebab
kemaukufan akad ada dua, yaitu (1) tidak adanya kewenangan yang cukup atas
tindakan hukum yang dilakukan, dengan kata lain kurang cakap. Misalnya
remaja yang belum dewasa hingga menjelang tercapainya usia balig, orang
sakit ingatan yang kurang akalnya dalam memahami tindakannya; dan (2) tidak
adanya kewenangan yang cukup atas objek akad karena adanya hak orang lain
pada objek tersebut. Misalnya akad orang sakit mati yang membuat wasiat
74
Khiyar yang disyaratkan oleh salah satu atau kedua pihak dalam akad bahwa mereka
mempunyai hak untuk membatalkan akad dalam waktu tertentu dan jika tidak dibatalkan selama waktu
itu, maka akadnya berlangsung (tidak batal).
75
Suatu opsi yang diajukan sebagai klausul dalam perjanjian biasanya oleh pihak kedua bahwa
objek perjanjian itu terdiri beberapa macam yang dapat dipilih untuk ditentukan olehnya.
76
Khiyar ini tidak diperjanjikan, melainkan merupakan ketentuan syara‟ karena ketentuan hadits
Nabi SAW.
75
lebih sepertiga hartanya terahadap mana terkait hak-hak ahli waris, akad orang
di bawah pengampuan yang bertindak merugikan kreditornya.77
9. Akad Tanggungan, Akad Kepercayaan dan Akad Bersifat Ganda
Akad tanggungan („aqd adh- dhaman) akad yang mengalihkan
tanggungan risiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan
sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut sehingga kerusakan barang
yang telah diterimanya melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya
sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.
Akad kepercayaan („aqd al- amanah) adalah akad dimana barang yang
dialihkan melalui akad tersebut merupakan amanah di tangan penerima barang
tersebut, sehingga ia tidak berkewajiban menanggung risiko atas barang
tersebut kecuali kalau ada unsur kesengajaan dan melawan hukum. Misalnya
akad penitipan, peminjaman, perwakilan (pemberian kuasa).
Sedangkan akad bersifat ganda adalah akad yang di satu sisi merupkan
akad tanggungan, tetapi di sisi lain merupakan akad amanah. Misalnya akad
sewa menyewa dimana barang yang disewa merupakan amanah di tangan
penyewa, akan tetapi di sisi lain, manfaat barang yang disewanya merupakan
tanggungannya sehingga apabila ia membiarkan barang yang disewanya
setelah diterima tanpa ia manfaatkan, maka manfaat barang yang tidak
dinikmatinya adalah atas tanggungannya. Ia wajib membayar uang sewa
kepada orang yang menyewanya.
77
Syamsul Anwar, Op. Cit., hal 254.
76
10. Akad Muawadah dan akad Tabarru‟
Akad atas beban („aqd al- mu‟awadhah) adalah akad dimana terdapat
prestasi yang timbala bailk sehingga masing-masing pihak menerima sesuatu
sebagai imbalan prestasi yang diberikannya. Misalnya akad jual beli, sewa
menyewa.
Akad cuma-cuma („aqd tabarru‟) adalah akad dimana prestasi hanya dari
salah satu pihak, seperti akad hibah dan pinjam pakai.
3. Unsur dan Pembentukan Akad
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa akad adalah pertalian antara ijab dan
kabul yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap
objeknya, maka terdapat tiga unsur yang terdapat dalam akad itu, yaitu:
1. Pertalian ijab dan kabul
2. Dibenarkan oleh syara‟
3. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya.78
Akad adalah merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut
dengan tasharruf. Musthafa Az- Zarqa, mendefinisikan tasharruf adalah segala
sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara‟
menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban). Tasharruf
memiliki dua bentuk, yaitu:
1. Tasharruf fi‟li (perbuatan), yaitu usaha yang dilakukan manusia dari tenaga
dan badannya, seperti mengelola tanah yang tandus atau mengelola tanah yang
dibiarkan kosong oleh pemiliknya.
78
Ghufron A. Mas‟adi, Op. Cit. Hlm. 76-77.
77
2. Tasharruf qauli (perkataan), yaitu usaha yang keluar dari lidah manusia yang
terbagi dalam dua bentuk:
a.
Tasharruf qauli aqdi, yaitu sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan dua
pihak yang saling bertalian, yaitu dengan mengucapkan ijab dan kabul.
Pada bentuk ini, ijab dan kabul yang dilakukan para pihak ini disebut
dengan akad yang kemudian akan melahirkan suatu perikatan di antara
mereka.
b.
Tasharruf qauli ghairu aqdi merupakan perkataan yang tidak bersifat akad
atau tidak ada ijab dan kabul. Perkataan ini berupa:
1. Pernyataan, yaitu pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak (ijab
saja), seperti ikrar wakaf, ikrar talak, hibah.
2. Perwujudan, yaitu dengan melakukan penuntutan hak atau dengan
perkataan yang menyebabkan adanya akibat hukum, seperti gugatan,
pengakuan di depan hakim, sumpah.79 Tindakan tersebut tidak bersifat
mengikat, sehingga tidak dapat dikatakan akad, tetapi termasuk
perbuatan hukum.
4. Rukun dan Syarat Akad
Dalam melaksanakan suatu perjanjian, terdapat syarat dan rukun yang
harus dipenuhi. Secara definisi, rukun adalah ”suatu unsur yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah
atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu”. Definisi
79
Ibid. 77-78.
78
syarat adalah ”sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‟i dan ia
berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun
tidak ada”.80
Dalam pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan bahwa
“Rukun akad terdiri dari (a) pihak-pihak yang berakad (b) obyek akad (c) tujuan
pokok akad dan (d) kesepakatan”.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-‟aqiadin,
mahallul‟aqd, dan sighad al-‟aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Mustafa Al-Zaqra
menambah maudhu‟ul ‟aqd (tujuan akad). Ia tidak menyebut keempat hal tersebut
dengan rukun, tetapi dengan muqawimat ‟aqd (unsur-unsur penegak akad).
Sedangkan menurut T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut merupakan
kompenen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad.
Keempat komponen itu adalah:81
1. Subyek Perikatan (Al-‟Aqidain)
Al-‟aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari
suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad
(perikatan), dan sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum
sebagai pelaku perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai pihak
pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu
manusia dan badan hukum. Berikut penjelasan dari manusia dan badan hukum
dalam kaitannya dengan ketentuan hukum Islam.
80
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2005), hal. 30
81
Ghufron A. Mas‟adi, Op. Cit. hal. 51
79
1. Manusia
Manusia sebagai subjek hukum adalah pihak yang sudah dibebani
hukum yang disebut mukallaf, yakni orang-orang yang telah dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWTbaik yang
terkait dengan perintah maupun larangan-larangan-Nya.82
Abdurrahman Raden Aji Haqqi, mengutip pendapat para Ushul Fiqh
telah membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 4 (empat) tahap subjek
hukum (the stage of legal capacity):83, yakni:
1. Marhalah al- Janin (Embryonic Stage), tahap ini dimulai sejak janin telah
berada dalam kandungan sampai lahir dalam keadaan hidup. Sebagai
subyek hukum janin disebut “Ahliyyah Al-Wujub Al-Naqisah” sehingga
janin dapat memperoleh hak seperti waris, hibah namun tidak
mengemban kewajiban hukum.
2. Marhalah al-Sabiy (Childhood Stage), tahap ini dimulai sejak manusia
lahir dalam keadaan hidup sampai berusia 7 (tujuh) tahun, disebut “AshShobiy Ghoir Al-Mumayyiz”. Hak dan kewajiban yang menyangkut harta
miliknya dilaksanakan melalui walinya.
3. Marhalah al- Tamyiz (Discernment Stage), dimulai sejak manusia berusia
7 (tujuh) tahun sampai masa pubertas (aqil-baligh), disebut “Ash-Shoby
Al-Mumayyiz” (sudah bisa membedakan baik dan buruk) sehingga dapat
82
Ade Armando, dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
tt.), hal 77.
83
Abdurrahman Raden Aji Haqqi, The Philosophi of Islam Law of Transactions, (Kuala
Lumpur: Univision Press, 1999), hal. 94-96.
80
memperoleh separuh kapasitasnya sebagai subjek hukum tanpa izin
walinya. Oleh karena itu, segala aktivitas/transaksi penerimaan hak yang
dilakukan oleh anak yang mumayyiz ini sah (valid) seperti menerima
hibah
atau
sedekah,
sedangkann
transaksi
yang
mungkin
merugikan/mengurangi haknya seperti menghibahkan atau berwasiat
tidak sah (non valid) kecuali atas izin walinya. Akan tetapi menurut Abu
Zahrah,84 seorang mumayyiz sudak memiliki kecakapan bertindak hukum
meskipun masih kurang atau lemah sehingga dapat disebut “Ahliyyah AlAda‟ An-Naqishoh”. Tidakan seorang mumayyiz dapat dianggap sah
selama tidak dibatalkan walinya.
4. Marhalah al- Bulugh (Stage of Puberty), tahap ini seseorang telah
mencapai aqil baligh dan dalam keadaan normal dianggap telah menjadi
mukallaf, disebut “Ahliyyah Al-Ada Al-Kamilah”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa syarat-syarat yang
harus dipenuhi sebagai mukallaf adalah baligh. Ukuran baligh seseorang
adalah telah bermimpi (ihtilam) bagi laki-laki dan telah haid bagi
perempuan. Baligh juga dapat diukur dari usia seseorang. Terhadap orang
yang sudah baligh sudah dapat dibebani hukum taklifatau sudah dapat
bertindak hukum karena, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, ia sudah
berakal dan memiliki kecakapan bertindak hukum secara sempurna
(ahliyyah al-ada‟ al-kamilah), berakal sehat. Seseorang yang melakukan
perikatan harus memiliki akal yang sehat. Dengan akal sehat, ia akan
84
Ibid.
81
memahami segala perbuatan hukum yang dilakukan dan akibat hukum
terhadap dirinya maupun orang lain.
2. Badan Hukum
Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam
hukum
dan
yang
mempunyai
hak-hak,
kewajiban-kewajiban,
dan
perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Badan hukum ini
memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan. Dengan demikian,
meskipun pengurus badan hukum berganti-ganti, ia tetap memiliki kekayaan
tersendiri. Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun,
terlihat pada beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan
menggunakan istilah al-syirkah, seperti yang tercantum dalam al-Qur‟an
yang berbunyi:
Artinya: Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim
kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada
kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh;
dan amat sedikitlah mereka ini." Dan Daud mengetahui bahwa Kami
82
mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur
sujud dan bertaubat.85
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
85
. Q.S. Ass- shad: 24
83
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian
itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun.86
Adanya kerja sama di antara beberapa orang menimbulkan
kepentingan-kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam
hubungannya dengan pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subjek
hukum yang disebut dengan badan hukum.
Uraian tersebut telah sesuai dengan pasal 23 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah bahwa:
(1) Pihak-pihak yang berakad adalah orang perseorangan, kelompok orang,
persekutuan, atau badan hukum.
(2) Orang yang berakad harus cakap hukum, berakal, dan tamyiz.
2. Objek Perikatan (Mahallul ‟Aqd)
Mahallul aqd adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenakan
padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk akad dapat berupa benda
86
Q.S. An- Nisa: 12
84
berwujud seperti mobil dan rumah maupun benda tidak berwujud seperti manfaat.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul aqd adalah:87
1. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan.
2. Objek perikatan dibenarkan oleh Syariah.
3. Objek akad harus jelas dan dikenali.
4. Objek dapat diserahterimakan.
Dalam pasal 24 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan bahwa:
(1) Obyek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh
masing-masing pihak.
(2) Obyek
akad
harus
suci,
bermanfaat,
milik
sempurna
dan
dapat
diserahterimakan.
3. Tujuan Perikatan (Maudhu‟ul ‟Aqd)
Maudhu‟ul Aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyariatkan untuk
tujuan tersebut. Dalam hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT
dalam al- Qur‟an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadits, Fathurrahman Djamil
mengutip pendapat ulama fiqh bahwa tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai
dengan ketentuan syari‟at apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah.88
Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akaibat hukum adalah:89
1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang
bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
87
Ghufron A. Mas‟adi, Op. Cit. hal. 86-89.
Fathurrahman Djamil, Op. Cit. hal. 257-258.
89
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). Ed. Revisi,
(Yogyakarta: UII Presss, 2000), hal. 99-100.
88
85
2. Tujuan harus berlansung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
3. Tujuan akad harus dibenarkan syara‟.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 25 (ayat) 1 dijelaskan
bahwa “Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan
usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.
4. Ijab dan Kabul (Sighat Al-‟Aqd)
Shighat Aqd (Ijab dan Kabul) adalah suatu ungkapan para pihak yang
melakukan akad berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau
penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
sedang kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran
yang dilakukan oleh pihak pertama. Para ulama fiqh mensyaratkan tiga hal dalam
melakukan ijab dan kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu: 90
1. Jala‟ul ma‟na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas,
sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
2. Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul.
3. Jazmul iradatain, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para
pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
Ijab dan kabul dapat dilakukan dengan 4 (empat) cara yaitu:91
1. Lisan, para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara
jelas.
2. Tulisan, hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu
langsung atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya lebih sulit, seperti
90
91
Fathurrahman Djamil, Op. Cit. hal. 253.
Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit. hal. 68-71.
86
perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum, karena sangat dibutuhkan
alat bukti dan tanggung jawab terhadap orang-orang yang bergabung dalam
satu badan hukum tersebut.
3. Isyarat, hal ini dapat dilakukan bagi orang cacat.
4. Perbuatan, hal ini seperti pada proses jual beli di supermarket yang tidak adan
proses tawar menawar.
Adapun mengenai syarat-syarat akad menurut AM. Mujahidin92 terdapat
beberapa syarat yang harus ada dalam akad, di antaranya yaitu:
1. Syarat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala
macam akad.
2. Syarat Khusus, yaitu syarat-syarat yang diisyaratkan wujudnya dalam sebagian
akad, tidak dalam sebagian yang lain. Syarat-syarat ini biasa juga disebut
syarat tambahan (syarat idhafiyah) yang harus ada di samping syarat-syarat
umum, seperti adanya mahar (mas kawin) untuk terjadinya nikah, tidak boleh
adanya ta‟liq dalam akad muawadhah dan akad tamlik, seperti jual beli dan
hibah. Sedangkan syarat-syarat yang harus terdapat dalam segala macam akad
adalah:
1. Ahliyahtul „aqidain (kedua pihak yang melakukan akad cakap bertindak atau
ahli),
2. Qobiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek akad dapat
menerima hukuman),
92
AM. Mujahidin, M.H., Karakteristik Akad (Perikatan) dalam Perspektif Hukum Ekonomi
Syariah, Mimbar Hukum No. 66, Desember 2008, PPHI2M, Jakarta.
87
3. Al- wilyatus syar‟iyah fi maudhu‟il aqdi (akad itu diizinkan oleh syara‟
dilakukan
oleh
orang
yang
mempunyai
hak
melakukannya
dan
melaksanakannya, walau dia bukan si „aqid sendiri),
4. Alla yakunal „aqdu au madhu‟uhu mamnu‟an binashshin syar‟iyyin (jangan
akad itu yang dilarang syari‟),
5. Kaunul „aqdi mufidan (akad itu memberi faidah),
6. Baqaul ijabi shalihan ila mauqu‟il qabul (ijab berjalan terus, tidak dicabut,
sebelum terjadi kabul,
7. Ittahadu majlisil „aqdi (bertemu di majelis akad).
5. Asas-asas Dalam Akad
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan
fondasi. Secara terminologi, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan
berfikir atau berpendapat. Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas
adalah prinsip, yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir,
bertindak, dan sebagainya.93
Syamsul Anwar menyebutkan delapan asas akad dalam hukum Islam
yaitu:94
1. Asas Ibahah (Mabda‟ al- Ibahah)
Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalah.
Asas ini dirumuskan sesuai konsep ushul fikih “pada asasnya segala sesuatu itu
boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.”
93
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hal. 70.
94
Ibid., hal. 83-92
88
2. Asas Kebebasan Berakad (Mabda‟ Hurriyyah at- Ta‟aqud)
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum
yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa
terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang dan
memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan
kepentingannya.
3. Asas Konsensualisme (Mabda‟ ar- Radha‟iyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu
perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa perlu
dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
Muhammad SAW., Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kata sepakat.95
4. Asas Janji itu Mengikat
Asas ini berdasarkan perintah Al- Qur‟an agar memenuhi janji,
sebagaimana firman Allah,
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji;
sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya..”96.
95
96
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar al- Fikr, t.t.), II, hal. 737, hadits No. 2185
QS. Al- Isra: 34
89
5. Asas Keseimbangan (Mabda‟ at- Tawazun fi al- Mu‟awadhah)
Dalam hukum perjanjian Islam ditekankan perlunya keseimbangan, baik
keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun
keseimbangan antara dalam memikul risiko.
6. Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
Akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat)
atau keadaan memberatkan (masyaqqah).
7. Asas Amanah
Masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan
pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi
ketidaktahuan mitranya karena menyembunyikan informasi yang semestinya
disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila dikemudian hari
ternyata informasi itu tidak benar.
8. Asas keadilan
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum
sebagaimana firman Allah SWT.
Artunya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
90
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.97
Sedangkan Gemala Dewi dalam kaitannya dengan Hukum Perikatan
Islam menyebukatkan ada tujuh asas yang mendasarinya, yaitu:98
1. Asas Ilahiyah
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari
ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam Al- Qur‟an:
Artinya: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:
Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke
dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit
dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.99
Kegiatan muamalat termasuk perbuatan perikatan, tidak akan pernah
lepas nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung
jawab kepada diri sendiri dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibatnya
97
QS. Al-Maidah: 8
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2005), hal. 30.
99
Q.S. Al-hadid: 8
98
91
manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya, karena perbuatannya akan
mendapat balasan dari Allah SWT.
2. Asas Kebebasan (Al-Hurriyah)
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu
perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak.
Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan itu mengikat para
pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan
kewajibannya. Namun, kebebasan ini tidaklah absolut. Sepanjang tidak
bertentangan
dengan
syariah
Islam,
maka
perikatan
tersebut
boleh
dilaksanakan.100
3. Asas Persamaan atau Kesetaraan (Al-Musawah)
Suatu perbuatan muamalah merupakan salah satu jalan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Sering kali terjadi, bahwa seseorang memiliki
kelebihan dan yang lainnya. Seperti yang tercantum dalam Al- Qur‟an:
Artinya: Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain
dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau
memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar
100
Dasar hukumnya antara lain terdapat dalam QS. Al-Maidah (5): 1 ”Hai orang-orang yang
beriman penuhilah aqad-aqad itu. Dan QS. Al-Hijr (15): 29 ”maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadaNya
dengan bersujud”.
92
mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari
nikmat Allah.101
Hal ini menunjukkan, bahwa di antara sesama manusia masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, antara manusia satu dengan
yang lain hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dan
kelebihan yang dimilikinya. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki
kesempatan yang sama untuk melakukan suatu perikatan.
Dalam melakukan perikatan ini, para pihak menentukan hak dan
kewajiban masingmasing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan ini.
Tidak boleh ada suatu kezaliman yang dilakukan dalam perikatan tersebut.
Dalam Al- Qur‟an disebut:
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.102
101
102
Q.S. An- Nahl: 71
QS. Al-Hujurat : 13
93
4. Asas Keadilan (Al-‟Adalah)
Dalam Al- Qur‟an Allah berfirman:
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al
Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan
Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya
Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya
padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha
Perkasa.103
Adil adalah merupakan salah satu sifat Allah SWT. yang sering kali
disebutkan dalam Al-Qur‟an. Bersikap adil sering kali Allah SWT. tekankan
kepada manusia dalam melakukan perbuatan, karena adil menjadikan manusia
lebih dekat kepada taqwa.
5. Asas Kerelaan (Al-Ridho)
Dalam Al- Qur‟an Allah Berfirman:
103
QS. Al-Hadid (57) : 25
94
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.104
Segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau
kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan,
penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka transaksi
tersebut dilakukan dengan cara yang bathil (al-akl bil bathil).
Ayat di atas menunjukkan, bahwa dalam melakukan suatu perdagangan
hendaklah atas dasar suka sama suka atau sukarela. Tidaklah dibenarkan bahwa
suatu perbuatan muamalat, perdagangan misalnya, dilakukan dengan
pemaksaan ataupun penipuan. Jika hal ini terjadi, dapat membatalkan
perbuatan tersebut. Unsur sukarel ini menunjukkan keikhlasan dan i‟tikad baik
dari para pihak.
6. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash-Shidq)
Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam
segala bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalat. Jika
kejujuran ini tidak diterapkan dalam perikatan, maka akan merusak legalitas
104
QS. An-Nisa (4) : 29
95
perikatan itu sendiri. Selain itu, jika terdapat ketidak jujuran dalam perikatan,
akan menimbulkan perselisihan di antara para pihak. Dalam Al- Qur‟an Allah
berfirman:
Artinta: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
dan katakanlah perkataan yang benar.105
Perbuatan muamalat dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat
bagi para pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan
lingkungannya. Sedangkan perbuatan muamalat yang mendatangkan mudharat
adalah dilarang.
7. Asas Tertulis (Al-Kitabah)
Dalam Al- Qur‟an Allah berfirman:
105
QS. Al-Ahzab (33) : 70
96
97
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka
tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
98
adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.106
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa Allah SWT. menganjurkan kepada
manusia hendaknya suatu perikatan dilakukan secara tertulis, dihadiri oleh
saksi-saksi, dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perikatan,
dan yang menjadi saksi. Selain itu dianjurkan pula bahwa apabila perikatan
dilaksanakan tidak secara tunai, maka dapat dipegang suatu benda sebagai
jaminannya. Adanya tulisan, saksi dan atau benda jaminan ini menjadi alat
bukti atas terjadinya perikatan tersebut.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dalam pasal 21 dijelaskan
bahwa:
Akad dilakukan berdasarkan asas:
a. ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak; terhindar
dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.
b. amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak
sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan
pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.
106
QS. Al-Baqarah (2) : 282-283
99
c. ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang
matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.
d. luzum/tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan
perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau
maisir.
e. saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untyuk memenuhi
kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktek manipulasi dan
merugikan salah satu pihak.
f. taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan
setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
g. transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak
secara terbuka.
h. kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak,
sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.
i. taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi
kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya
sesuai dengan kesepakatan.
j. itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak
mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
k. sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh
hukum dan tidak haram.
l. al-hurriyah (kebebasan berkontrak).
m. al-kitabah (tertulis).
6. Hak Pilih Dalam Akad
Kata khiyar dalam bahasa arab, berarti pilihan. Secara terminologis al
Zuhaily mendefinisikan107 khiyar adalah hak pilih bagi salah satu atau kedua
belah pihak yang melaksanakan akad untuk melangsungkan atau membatalkan
akad dengan mekanisme tertentu. Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orangorang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan sehingga
kemaslahatan dalam berakad tercapai dengan sebaik-baiknya.
107
Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (DamaskusDar al Fikr al Mu'ashir, Jilid
4, 1997), hal. 3086-3095
100
1. Khiyar al- Majlis
Khiyar al- Majlis adalah hak pilih kedua belah pihak yang berakad untuk
membatalkan akad selama keduanya masih berada dalam majelis akad dan
belum berpisah badan. Artinya suatu akad baru dianggap sah apabila kedua
belah pihak yang melaksanakan akad telah terpisah badan atau salah seorang di
antara mereka telah melakukan pilihann untuk menjual dan/ atau membeli.
Dasar nya adalah sabda nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
‫انبيعاٌ بانخياز يانى يتفسقا‬
“Apabila dua orang melakukan akad jual beli , maka masing-masing pihak
mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah badan”. (HR. alBukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Umar). 108
2. Khiyar Ta'yin
Khiyar Ta'yin adalah hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang
berbeda kualitas dalam jual beli karena kualiatas barang itu berbeda-beda
sehingga agar pembeli tidak tertipu dan agar produk yang dicari sesuai dengan
keperluannya.
3. Khiyar asy- Syarth
Khiyar asy- Syarth adalah hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang
berakad atau keduanya atau bagi yang lain untuk meneruskan atau
108
Wahbah Zuhaily, Op. Cit, hal 252
101
membatalkan jual beli, selama masih dalam tenggang waktu yang ditentukan.
Mayoritas ulama fiqih mengatakan, tenggang waktu dalam khiyar syarat tidak
lebih dari tiga hari, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
َ‫حديث حباٌ بٍ ينقر انرٍ كاٌ يغبٍ فَ انبيع ًانشساء فشكا اىهو ان‬
‫زسٌل هللا فقال اذا بايعت فقم ال خالبة ًنَ انخياز ثالثة اياو‬
“Apabila seseorang membeli suatu barang, maka katakanalah (pada penjual):
Jangan ada tipuan! Dan saya berhak memilih dalam tiga hari” (HR. Bukhari
dan Muslim).109
4. Khiyar al- 'Aib
Khiyar al- 'Aib adalah hak untuk membatalkan atau melangsungkan akad bagi
kedua belah pihak yang mengadakan akad, apabila terdapat suatu cacat pada
obyek yang diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika
akad berlangsung. Misalnya seseorang membeli telur ayam satu kilogram,
kemudian satu butir di antaranya sudah busuk. Hal ini sebelumnya belum
diketahui, baik oleh penjual maupun pembeli. Dalam kasus ini, para ahli
hukum Islam sepakat untuk ditetapkan hak khiyar bagi pembeli. Dasar
hukumnya Hadist Rasulullah Saw.
‫انًسهى اخٌ انًسهى ال يحم نًسهى باع يٍ اخيو بيعا ًفيو عيب اال بينو‬
109
Ibid
102
Artinya: “Sesama muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seseorang menjual
barangnya kepada muslim lainnya, padahal pada barang itu terdapat cacat
(aib)”. (HR. Ibnu Majah dari „Uqbah Ibn Amir). 110
5. Khiyar ar Ru'yah
Khiyar ar Ru'yah adalah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau
batal jual beli yang ia lakukan terahadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika
akad berlangsung. Hal ini berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW
‫يٍ اشتسٍ شيأ نى يسه فيٌ بانخياز اذا زأه‬
Artinya: “Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak
khiyar apabila telah melihat barang itu”. (HR. ad- Daruqutni dari Abu
Hurairah).111
6. Khiyar Naqad
Khiyar Naqad adalah melakukan jual beli dengan ketentuan, jika pihak
pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak
menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu, maka pihak yang dirugikan
mempunyai hak untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah diatur secara
tersendiri mengenai masalah khiyar yang meliputi khiyar syarat, khiyar naqdi,
khiyar ru‟yah, khiyar „aib, khiyar ghabn dan taghrib.112
110
111
Sayyid sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid 2, hal. 112.
Wahbah Zuhaily, Op. Cit, hal 254
103
7. Berakhirnya Akad
Suatu akad dipandang berakhir apabila:
1. Terpenuhinya Tujuan Akad
Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang
telah berpindah tangan kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik
penjual. Dalam akad gadai (rahn) dan pertanggungan (kafalah), akad
dipandang telah berakhir apabila hutang telah terbayar. Akad bisa dianggap
berakhir jika telah berakhirnya masa akad, misalnya akad sewa menyewa
sudah habis, kontak menjadi berakhir dengan sendirinya.
2. Terjadi Fasakh (pembatalan)
Menurut Ahmad Azhar Basyir bahwa fasakh terjadi dengan sebabsebab sebagai berikut:113
1. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara‟,
seperti jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
2. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyah, cacat, syarat atau majelis.
3. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa
menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini
disebut iqalah. Dalam hubungan ini hadits Nabi riwayat Abu Daud
mengajarkan bahwa barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan
112
113
Pasal 271-294 KHES, edisi revisi, 2010
Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit. 130-131
104
orang yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan
menghilangkan kesukarannya pada hari kiamat kelak.
4. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhioleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya dalam khiyar pembayaran (khiyar
naqad) penjual mengatakan bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli,
dengan ketentuan apabila dalam tempo seminggu harganya tidak dibayar,
akad jual beli menjadi batal. Apabila pembeli dalam waktu yang ditentukan
itu membayar, akad berlangsung. Akan tetapi apabila ia tidak membayar,
akad menjadi rusak (batal).
5. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka waktu
tertentu dan tidak dapat diperpanjang.
6. Karena tidak mendapat izin pihak yang berwenang.
7. Karena kematian, akan tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai
berakhirnya akad karena kematian, apakah hak yang timbul oleh akad itu
dapat diwariskan atau tidak.
B. Asas Kebebsan Berkontrak Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa hukum Islam mengakui adanya asas
kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak yang dimaksud adalah kebebasan
dalam menentukan bentuk-bentuk perjanjian yang digali berdasarkan dalil-dalil
umum dalam Islam. Nas-nas al-Qur‟an dan Sunnah Nabi serta kaidah-kaidah fiqih
menunjukka bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berkontrak.
105
Dalam al-Qur‟an Allah SWT berfirman
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian
itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.114
Cara menyimpulkan kebebasan berkontrak dari ayat di atas adalah bahwa
menurut kaidah ushul fiqih (metodologi penggalian hukum Islam), perintah dalam
ayat ini adalah wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini
akad disebut dalam bentuk
jamak yang diberi kata sandang “al” (al- „uqud).
Menurut kaidah ushul fiqih, jamak yang diberi kata sandang “al” menunjukkan
keumuman.115 Dengan demikian, dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang
dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan
akad-akad itu wajib dipenuhi.116
Dalam hadits Nabi dinyatakan:
‫انًسهًٌٌ عهَ شسًطيى‬
114
QS. 5:1.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, tt), hal. 157.
116
At- Thabathaba‟i, al- mizan fi Tafsir al- qur‟an (Beirut: Mu‟assah al- A‟lam li al- Mathbu‟at,
1970), V: 158.
115
106
Artinya: “Orang-orang muslim itu terikat kepada syarat-syarat (janji-janji)
mereka”.117
Hadits di atas seperti ayat di atas menunjukkan bahwa orang Islam terikat
kepada apa saja syarat yang mereka perjanjikan. Dengan kata lain mereka dapat
membuat syarat apa saja dan kelak syarat yang diperjanjikan itu dihormati dan
mengikat mereka untuk memenuhinya. Terhadap hadits ini al- Kanasi memberi
penjelasan, zahir hadits ini menyatakan wajibnya memenuhi setiap perjanjian selain
yang dikecualikan oleh suatu dalil, karena hdits ini menuntut setiap orang untuk setia
kepada janjinya, dan kesetiaan kepada janji itu adalah dengan memenuhi
janji
tersebut. Asasnya adalah bahwa setiap tindakan hukum seseorang terjadi menurut
yang ia kehendaki apabila ia adalah orang yang cakap untuk melakukan tindakan
tersebut, objeknya dapat menerima tindakan dimaksud, dan orang bersangkutan
mempunyai kewenangan dalam tindakan itu.118
Dalam sabda nabi SAW. yang lain “Barangsiapa menjual pohon kurma yang
sudah dikawinkan, maka buahnya adalah untuk penjual (tidak ikut terjual), kecuali
apabila pembeli mensyaratkan lain”.119 Dalam hadits ini menjelaskan bahwa para
pihak dapat menyimpang dari ketentuan hukum perjanjian yang bersifat pelengkap.
Sebagai contoh adalah hadits di atas menegaskan bahwa asasnya adalah bahwa buah
hasil pengawinan yang dilakukan oleh penjual tidak masuk dalam kontrak jual beli.
Namun para pihak dapat menentukan lain, misalnya memasukkan buah tersebut ke
dalam perjanjian jual beli.
117
Imam Bukhari, Shahih Bukhari: Kitab Ijarah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981) III:52.
Al- Kasani, Bada‟i ash- Shana‟i fi Tartib asy- Syaraki‟ (Mesir: Mathba‟ah al- Jamaliyyah,
19100, V, 259
119
Imam Bukhari, Op. Cit., III: 47
118
107
Dalam hukum Islam, pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan
akibatnya hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui
janji.120 Kaidah ini jelas menunjukkan kebebasan berakad karena perjanjian itu
dinyatakan sebagai berdasarkan kata sepakat para pihak dan akibat hukumnya adalah
apa yang mereka tetapkan melalui janji.
Bila dalam hukum positif dijelaskan bahwa membuat segala bentuk perjanjian
adalah bebas dalam batasbatas ketertiban umum dan kesusilaan, maka dalam Islam
dengan berpedoman pada hadits tersebut nampak ada kelonggaran dalam
menentapkan syarat-syarat perjanjian. Dalam al-Qur‟an-pun tidak ada pernyataan
yang membatasi bentuk-bentuk perjanjian. Allah SWT. berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.121 Ayat di atas
menggunakan kata ijarah (perniagaan), maksudnya melakukan transaksi dengan cara
tukar menukar harta benda. Hal ini menujukkan bahwa setiap transaksi (tukar
menukar benda) dianggap boleh dan sah dalam batas tidak melakukannya dengan
jalan yang “bathil”. Kalau ayat ini dikaitkan dengan hadits di atas menunjukkan
120
121
Asjmuni A. Rahman, Qa‟idah-qa‟idah Fiqih (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 44
Q.S. An- Nisa:29
108
bahwa segala bentuk akad yang dibuat adalah boleh selama tidak dilakukan dengan
cara yang bathil, tidak bertentangan dengan ketentuan syara‟, dan tidak terdapat dalil
yang mengharamkannya. Dengan demikian, kebebasan membuat akad menurut Islam
tidaklah mutlak, melainkan dibatasi. Beberapa pembatasan yang ada dalam kitab
fiqih klasik sebenarnya adalah cakupan dari beberapa bentuk perjanjian yang ada
pada masa kitab tersebut disusun. Oleh karenanya, pengembangan macam dan
bentuk perjanjian selanjutnya tidak ada larangan.
Keberadaan perjanjian dapat ditelaah dengan melihat beberapa prinsip
muamalah dalam Islam, di antaranya: pertama, pada dasarnya segala bentuk
mualamah adalah mubah, kecuali yang dilarang dalam al-Qur‟an dan Sunnah; kedua,
muamalah dilakukan atas dasar suka rela, tanpa mengandung unsur paksaan; ketiga,
muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindari
madharat
dalam
kehidupan
masyarakat;
keempat,
muamalah
dilaksanakan untuk memelihara keadilan, menghilangkan kezaliman (ketidakadilan),
gharar (penuh tipu daya).122
Menurut mazhab Hanbali dan Maliki, pihak-pihak yang melakukan perjanjian
(akad) bebas menggunakan persyaratan selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi
kedua belah pihak, misalnya menentukan
sifat-sifat tertentu yang bermanfaat
terhadap barang yang dibeli. Namun demikian, mereka tetap menyatakan bahwa
syarat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kehendak syara‟.123
122
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam, (Yogyakarta:
Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1993), hal. 10.
123
Ensiklopedi Hukum Islam, Abdul Azis Dahlan, et,al. (ed), (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), I:67.
109
Menurut al-Zarqa kebebasan berkeontrak itu meliputi empat segi kebebasan:
(1) kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian. (2) tidak terikat
kepada formalitas-formalitas, tetapi cukup semata-mata berdasarkan kata sepakat
(perizinan) (3) tidak terikat kepada perjanjian-perjanjian bernama, 4.kebebasan untuk
menentukan akibat perjanjian.124
Kebebasan manusia untuk membuat akad dan menentukan syarat-syarat di
dalamnya sesuai dengan kesepakatan di antara para pihak telah menjadi wacana yang
cukup di antara para ahli hukum Islam dari masa ke masa. Permasalahan akad yang
disertai syarat ini terdapat dua pendapat:
1. Pendapat yang tidak membolehkan
Pada dasarnya akad dan membuat syarat di dalamnya adalah haram, sampai
ada dalil syari‟at yang membolehkannya. Pendapat ini dipegang oleh fuqaha
Zahiriyyah dengan tokohnya Ibnu Hazm. Sejalan dengan pendapat ini adalah Abu
hanifah, asy- Syafi‟i dan segolongan sahabat-sahabat Malik dan Ahmad.125
Menurut Ibnu Hazm, pada dasarnya yang berhak membuat akad dan syarat di
dalamnya hanyalah pembuat undang-undang, yaitu Allah dan Rasulnya. Memenuhi
akad tidaklah merupakan keharusan yang mengikat, kecuali pada akad yang telah
ditetapkan oleh nash untuk memenuhinya.126 Berkaitan dengan hal ini Ibnu Hazm
mengemukakan tujuh macam syarat. Persyaratan itu di antaranya:
124
Al-Zarqa, al-Fiqh al-Islami fi Sauhihi al-Jadid, cet. Ke-9 (Damaskus: Matabi‟ Alifba‟ alAdib, 1968), I:462.
125
Al- Asimi, Majmu Fatawa Syaikh al- Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, (Riyad: Matabi‟ arRiyad, 1383 H), XXIX: 126-127.
126
Ibn Hazm, Al- Muhalla, (Beirut: al- Maktabah at- Tijari li at Tiba‟ah wa an- Nasyr, tt), VII:
337.
110
1. Mensyaratkan gadai dalam jual beli tidak tunai (sebagai jaminan pembayaran
hutang).
2. Mensyaratkan penundaan pembayaran harga sampai pada waktu yang ditentukan.
3. Syarat pembayaran hanya pada waktu longgar.
4. Mensyaratkan sifat tertentu pada barang.
5. Mensyaratkan tidak ada penipuan.
6. Mensyaratkan harta benda milik budak yang dijual oleh tuannya adalah untuk
pembeli baik sebagiannya maupun seluruhnya.
7. Mensyaratkan bahwa buah pohon yang telah dikawinkan yang dijual oleh
pemiliknya adalah untuk pembeli baik sebagian maupun seluruhnya.127
Dalam pandangan Abu Hanifah syarat adalah batal, kecuali syarat itu tidak
bertentangan dengan tuntutan akad. Dengan kata lain syarat baru dipandang sah
ketika syarat itu merupakan yang dikehendaki oleh akad. Maksudnya dari syaraat
yang dikehendaki oleh akad adalaah syarat yang merupakan akibat logis dari akad,
sehingga kalaupun tidak diperjanjikan dalam akad, syarat itu sudah termasuk ke
dalam akad dengan sendirinya, karena ia merupakan akibat yang dikehendaki oleh
akad. Misalnya pembeli mensyaratkan bahwa barang yang dibeli menjadi
pemiliknya.128
Abu Hanifah juga melarang adanya syarat-syarat dalam akad nikah. Alasannya
adalah nikah bukanlah objek yang dapat terjadi fasakh (pembatalan) di dalamnya,
nikah tidak menjadi batal hanya karena adanya cacat atau kemelaratan pada salah
satu pihak suami istri. Sepaham dengan pendapat Abu Hanifah adalah pendapat
127
128
Ibid., hal. 412
Ibnu Taimiyyah, Al- Fatawa al- Kubra, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1987), IV, hal. 77
111
Syafi‟i hanya mengecualikan satu syarat yaitu syarat yang tidak bertentangan dengan
apa yang dikehendaki oleh akad. Oleh karenanya sebagian syarat dalam akad nikah
diperkenankan. Misalnya salah satu pihak mensyaratkan kemerdekaan dan keislaman
pihak lainnya dan semua semua sifat tertentu yang dimaksudkan adalah sah, seperti
tampan, cantik dan lainnya.129
Pendapat Syafi‟i nampaknya lebih luas dan lebih luwes berkaitan dengan syarat
yang dikehendaki oleh akad. Sebab menurutnya syarat yang bertentangan dengan
tujuan akad dapat menjadi sah jika didukung oleh dalil-dalil khusus. Misalnya Syafi‟i
melarang usaha menghalangi pembeli untuk berbuat sekehendaknya secara mutlak
pada barang yang dibelinya, namun ia memperkenankan jual beli dengan syarat
pembeli mau memerdekakan budak yang dibelinya.130
Pendapat mazhab maliki berkaitan dengan adanya syarat dalam akad
dikemukakan bahwa segala syarat yang tidak bertentangan dengan tuntutan akad atau
tidak serasi dengan akad namun mengandung kebajikan adalah sah. Dalam hal ini
mazhab Maliki lebih luas dibanding dengan mazhab Hanafi yang mengatakan
meskipun mengandung tujuan kemaslahatan adalah tetap tidak sah.
Mazhab Maliki juga lebih luas berkaitan dengan syarat-syarat yang
diungkapkan oleh mazhab Hanafi dan Syafi‟i yakni berkaitan dengan sahnya syarat
yang tidak bertentangan dengan tujuan akad dan syarat yang tidak serasi dengan
akad. Namun demikian jika syarat itu mengandung syarat kemaslahatan kedua
mazhab ini berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafi‟i kemaslahatan yang dapat
mengesahkan akad yang demikian itu harus didasarkan pada nash syar‟i, seperti
129
130
Ibid.
Ibid
112
syarat khiyar, oenentuan batas waktu, gadai dan lainnya. Sedangkan mazhab Maliki
mengesahkan semua syarat yang mengandung manfaat logis bagi salah satu pihak,
meskipun tidak dikehendaki oleh akad.131
2. Pendapat yang membolehkan
Pada prinsipnya membuat akad dengan syarat adalah boleh dan sah. Keduanya
tidak ada yang haram atau batal kecuali apa yang diharamkan atau yang dibatalkan
oleh syara‟ baik yang berdasarkan nash atau qiyas. Pendapat ini diikuti oleh Ahmad
Ibnu Hambal. Alasannya adalah banyak hadits dan pendapat sahabat yang tidak
terhitung jumlahnya yang mengesahkan banyak akad dengan syarat tidak ditemukan
oleh para imam selain Ahmad. Karenya
Ahmad mendasarkan padanya dan
mengqiyaskan hal-hal lain yang semakna dengannya.132
Adapun ayat al- Qur‟an yang menjadi pedoman diperkenankannya syarat
dalam akad adalah firman Allah
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian
itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.133
131
As- Sanhuri, Masadir al haq fi al- Fiqh al- Islami, (Beirut: Dar al- Fikr, tt), III, hal. 156
Al- Asimi, Op. Cit., hal. 133-135
133
QS. Al- Maidah:1
132
113
Akad dalam ayat itu mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan
perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Dalam ayat itu
juga terdapat perintah untuk memenuhi segala bentuk akad dan syarat serta larangan
untuk berkhiatan dan menyalahi akad.
Dalam hal adanya syarat dalam akad, meskipun Ahmad Ibnu Hambal
cenderung membebaskan adanya syarat dalam suatu akad, akan tetapi pemberian
kebebasan itu bukan berarti bebas tanpa ada batas. Bagaimanapun juga memasukan
syarat dalam suatu akad tetap dibatasi dengan tidak bertentangan dengan syari‟at
Islam.
Melihat perbedaan pendapat ulama dalam hal syarat yang dimasukan dalam
suatu akad, pada intinya mereka tidak ada yang membebaskan sebebas mungkin.
Mereka tetap memberikan batasan-batasan, dan batasan-batasan inilah yang
membedakan pendapat mereka.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah secara jelas menyebutkan bahwa akad
dilakukan berdasarkan asas al-hurriyah (kebebasan berkontrak).134 Akan tetapi
kebebasan tersebut dibatasi oleh pasal-pasal yang terdapat dalam KHES itu sendiri,
sebagai berikut:
Pasal 26
Akad tidak sah apabila bertentangan dengan:
a. syariat Islam;
b. peraturan perundang-undangan;
c. Ketertiban umum; dan/atau
d. kesusilaan.
Pasal 27
Hukum akad terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
a. akad yang sah
134
Pasal 21 (huruf) l KHES, edisi revisi
114
b. akad yang fasad/dapat dibatalkan
c. akad yang batal/batal demi hukum
Pasal 28
(1) Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya;
(2) Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi
terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan
maslahat;
(3) Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya;
Pasal 29
(1) Akad yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf a adalah akad yang
disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur ghalath atau khilaf,
dilakukan dibawah ikrah atau paksaan, taghrir atau tipuan, dan ghubn atau
penyamaran.
(2) Akad yang disepakati harus memuat ketentuan:
a. kesepakatan mengikatkan diri;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. terhadap sesuatu hal tertentu;
d. suatu sebab yang halal menmurut syari‟at Islam.
115
BAB IV
TINJAUAN FILOSOFIS ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
A. Perbedaan Asas Kebebasan Berkontrak antara KUHPerdata dengan KHES
Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum privat yang secara historis
dan sosiologis mendasarkan pada tiga sistem hukum yang berbeda, yakni hukum
Barat (KUHPerdata), hukum adat dan hukum Islam sehingga kemudian melahirkan
hukum perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata, hukum perjanjian adat
dan hukum perjanjian Islam.135
Sistem yang dianut oleh buku III juga lazim dinamakan sistem terbuka yang
merupakan kebalikan dari sistem buku II bersifat tertutup.136 Fenomena dalam teori
perjanjian dianggap sebagai keranjang sampah catch all. Salah satu asas yang
menunjukkan fenomena tersebut adalah adanya asas kebebasan berkontrak freedom
of contract.137
Setiap orang mempunyai kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan
siapa pun. Perjanjian antara satu pihak dengan pihak lain tersebut bersifat privat,
artinya hanya mengikat kedua belah pihak. Karena itu pihak lain tidak mempunyai
hak untuk ikut campur dalam perjanjian tersebut, tidak juga negara (dalam bentuk
Undang-Undang). Negara hanya bisa melakukan intervensi dalam hubungan
135
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Jogjakarta: Citra
Media, 2006), hal. 157.
136
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hal. 128
137
Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001), hal. 30.
116
privat/perdata apabila salah satu pihak yang melakukan hubungan perdata berada
dalam posisi yang lemah.
Negara mempunyai tugas untuk melindungi pihak yang lemah tersebut agar
mempunyai posisi yang kuat. Misalnya, bahwa perjanjian itu harus memenuhi syaratsyarat sahnya suatu perjanjian, bahwa materi perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan peraturan per-Undang-Undangan, ketertiban dan kesusilaan dan bahwa
perjanjian tidak boleh timbul akibat dari adanya paksaan, kekhilafan ataupun
penipuan.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa “pihak yang kuat
(pengusaha/bank) mengalahkan pihak yang lemah (masyarakat/nasabah), oleh karena
itu masyarakat menerimanya dengan keterpaksaan”.138
Prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum positif kita diatur dalam Pasal
1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” Sementara
batasan-batasan yang diberikan oleh pembentuk Undang-Undang tercantum dalam
Pasal 1338 ayat 3, 1320, 1321 dan 1337 KUHPerdata.
Dalam Hukum Islam juga menganut asas kebebasan berkontrak yaitu suatu
perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat kedua belah pihak apabila ada
kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam 2 (dua) pilar yaitu ijab (penawaran)
dan qabul (penerimaan). Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang
138
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Citra Aditya
Bhakti, 2001), hal. 75.
117
merupakan pedoman bagi hakim peradilan agama secara tegas disebutkan bahwa
akad harus dilakukan berdasarkan asas al-hurriyah (kebebasan berkontrak).139
Namun demikian tentunya sangat berbeda dalam hal-hal prinsip dalam rangka
pembatasan asas kebebasan berkontrak tersebut. Karena pembatasan yang diberikan
dalam asas kebebasan berkontrak dalam KUHPerdata adalah buatan manusia berupa
Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sementara pembatasan yang ada
dalam konsep syariah adalah firman Allah dalam Al-Qur‟an dan juga pernyataan dan
perilaku Nabi Muhammad dalam Al-Hadis.
Dengan demikian tentu saja ada perbedaan yang sangat esensial dalam
pembatasan-pembatasan yang diberikan oleh kedua konsep tersebut.
Misalnya dalam konsep syariah sebuah perjanjian atau kontrak tidak boleh memuat 5
(lima) hal berikut :
1. Membuat dan menjual barang najis.
2. Membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam.
3. Mengandung gharar (ketidakpastian).
4. Mengandung riba (bunga uang).
5. Mengandung maisir (perjudian).
Lima materi pembatasan tersebut bisa dijadikan penjelasan bagi konsep kausa
yang halal sebagai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320
KUHPerdata. Konsep syariah juga menganut asas kebebasan berkontrak namun
dengan pembatasan-pembatasan yang lebih spesifik.
139
Pasal 21 (huruf) l KHES, edisi revisi, 2010
118
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam suatu pembuatan atau perancangan
kontrak menurut fikih Islam. Hal tersebut antara lain, yaitu mengenai:140
a. Bahasa dalam kontrak.
b. Kontrak standar/perjanjian baku.
c. Saksi-saksi.
d. Peraturan dan per-Undang-Undangan yang terkait.
e. Penyelesaian sengketa.
Dalam Al-qur‟an Allah berfirman
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian
itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.141
Ayat diatas berisi ajaran tentang asas kebebasan berkontrak. Cara
menyimpulkan ayat tersebut adalah dengan melihat kata al-„uqud (perjanjianperjanjian) yang berbentuk jamak dan diberi kata sandang “al”, ini sesuai dengan
kaidah dalam usul fiqh menunjuk keumuman, sehingga semua perjanjian apapun dan
140
M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank Sistem
Syariah, Konsentrasi Hukum Islam, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005, hal.
138.
141
Q.S. Al-Maidah ayat: 1
119
berisi apa saja wajib dipenuhi, kecuali yang mengandung unsur makan harta orang
lain secara batil. Sama dengan hal ini adalah hadis Nabi saw yang menyatakan orang
Muslim terikat kepada perjanjian yang mereka buat. Sedangkan kaidah fiqhiyah lebih
tegas lagi menyatakan kebebasan berkontrak karena akibat hukum perjanjian
dinyatakan sebagai menurut apa yang ditetapkan oleh para pihak sendiri melalui
perjanjian.
Namun demikian kebebasan itu tidak bersifat mutlak, melainkan dibatasi oleh
ketertiban umum syar‟i dan akhlak islamiah. Hal ini dipahami dari pernyataan firman
Allah yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.142
Ayat tersebut melarang makan harta sesama dengan jalan batil. Para ahli
tafsir menafsirkan “makan harta dengan jalan batil” itu sebagai semua transaksi yang
142
Q.S. An- Nisa ayat: 29
120
dilarang menurut ketentuan hukum Islam seperti transaksi yang mengandung
kebatilan dan penipuan.143
B. Nilai Filosofi Asas Kebebasan Berkontrak
Kata filsafat berasal dari kata Yunani philosophia yang secara harfiah berarti
cinta kepada pengetahuan atau cinta kepada kebijaksanaan. Menurut Mustafa
Abdurraziq, pemakaian kata-kata hikmah dan hakim dalam bahasa Arab sama dengan
arti falsafah dan failosuf. Hikmah dapat dicapai oleh manusia melalui kemampuan
daya nalar dan metode-metode berpikirnya.144
Al-Qur‟an secara tegas telah memberi kemungkinan bagi pemikiran filosofis
itu. Di dalam al- Qur‟an terdapat sejumlah ayat yang menyuruh manusia untuk
menggunakan daya nalarnya dengan menjadikan alam semesta sebagai objek
pikirannya.145
Dalam kaitannya dengan masalah filsafat, Lili Rasyidi mengatakan bahwa
obyek pembahasan filsafat hukum tidak hanya masalah tujuan hukum saja, tetapi
setiap permasalahan yang mendasar sifatnya yang muncul di dalam masyarakat yang
memerlukan suatu pemecahan adalah termasuk dalam kajian filsafat hukum. Filsafat
hukum merupakan buah pikiran para ahli hukum yang dalam tugas sehari-harinya
banyak menghadapi permasalahan yang menyangkut keadilan sosial di masyarakat,
antara lain masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat,
143
Ibn Kasir, Tafsir al-Qura‟an al-Azim (Tafsir Ibn Kasir) (Beirut: Dar al-Andalus li Tiba‟ah wa
an-Nasyr, t.t.), II:253.
144
Ensiklopedi Islam, jilid 2, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoevo, 1994); hal. 15s
145
Ibid.
121
hubungan hukum dalam nilai-nilai sosial budaya, masalah pertanggungjawaban dan
lain-lain.146
1. Keadilan Dalam Berkontrak
Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakikatnya tidak
dilepaskan dalam hubungannya dengana masalah keadilan. Kontrak sebagai
wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak lain menuntut
bentuk pertukaran kepentingan yang adil. Oleh karena itu sangat tepat dan
mendasar apabila dalam melakukan analisis tentang tentang asas kebebasan
berkontrak ditinjau dari aspek filosofis keadilan berkontrak.
Pertanyaan tentang keadilan, merupakan pemahaman yang rumit bahkan
abstrak dikaitkan dengan berbagai dengan kepentingan yang kompleks. Menurut
Aristoteles,147 keadilan artinya berbuat kebajikan, atau dengan kata lain, keadilan
adalah kebajikan yang utama. Ulpianus
148
menggambarkan keadilan sebagai
“justitia est contans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” (keadilan
adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masingmasing apa yang menjadi haknya) atau “to give everybody his own”, memberikan
kepada setiap orang yang menjadi haknya.149 Perumusan ini dengan tegas
mengakui hak masing-masing person terhadap lainnya serta apa yang seharusnya
menjadi bagiannya, demikian pula sebaliknya.
146
129.
147
Abdul Manan, Hukum Islam dalam berbagai Wacana, (Jakarta : Pustaka Bangsa, 2003), hal.
Burhanuddin Salam, Etika Sosial, Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 117
O. Notohamidjojo, Masalah: Keadilan, (Semarang: Tirta Amerta, 1971), hal. 18-19
149
K. Berten, Pengantar Etika Binnis, Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 86-87
148
122
Cicero150 mengatakan bahwa orang dinilai “baik” dilihat dari perilaku
keadilannya. Menurutnya ada tiga kebijakan moral yaitu: keadilan, pengendalian
diri dan sopan santun. Sedangkan Thomas Aquinas
151
dalam hubungannya
dengan keadilan mengajukan tiga struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu:
a. Hubungan antar individu (ordo partium ad partes)
b. Hubungan antar masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu (ordo totius ad
partes)
c. Hubungan antara individu terhadap masyarakat secara keseluruhan (ordo partium
ad totum).
Dalam hal hakikat keadilan dalam kontrak, beberapa sarjana pemikir seperti
John Locke, Rosseau, Immanuel Kant, John Rawls152 menyadari bahwa tanpa
kontrak serta hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, maka masyarakat bisnis
tidak akan berjalan. Oleh karena itu tanpa adanya kontrak, orang tidak akan
bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak lain. Kontrak memberikan
sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individu akan memenuhi
janjinya, dan selanjutnya hal ini menunjukkan terjadinya transaksi diantara
mereka.153
John Locke, Rosseau, dan Immanuel kant, meskipun teori keadilannya
berbasis kontrak, namun toeri keadilan Rawls merupakan teori yang dianggap
fenomenal dan paling
banyak diperdebatkan oleh para ahli karena teorinya
bertitik tolak dari kritiknya atas kegagalan teori-teori keadilan yang berkembang
150
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 124
Ibid., hal 125-126
152
Raymond Wacks, Jurisprudence, (London: Blackstone Press Limited, 1995), hal. 178
153
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial,
(Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hal. 40.
151
123
sebelumnya. Kegagalan tersebut disebabkan oleh substansinya yang sangat
dipengaruhi baik utilitarianisme maupun intuisionisme.154
Rawls mengkritik yang dipelopori Jeremy Bentham karena teori
utilitarianisme gagal untuk menjamin keadilan sosial karena lebih mendahulukan
asas manfaat dari pada asas hak. Oleh karena itu utilitarianisme tidak tetap untuk
dijadikan basis untuk membangun suatu konsep keadilan. Lanjutnya tidak adil
mengorbankan hak dari satu atau beberapa orang yang hanya demi keuntungan
ekonomis yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan. Sikap ini justru
bertentangan dengan keadilan sebagai fairness yang menurut prinsip kebebasan
yang sama sebagai basis yang melandasi pengaturan kesejahteraan sosial. Oleh
karenanya pertimbangan ekonimos tidak boleh bertentangan dengan prinsip
kebebasan dan hak yang sama bagi semua orang. Rawls juga mengkritik
intuisionisme karena tidak memberi tempat memadai pada asas rasionalitas.
Intuisionisme dalam proses pengambilan keputusan (moral) lebih mengandalkan
kemampuan intuisi manusia. Dengan demikian pandangan ini juga tidak memadai
apabila dijadikan pegangan dalam mengambil kep[utusan, terutama pada waktu
terjadinya konflik antara norma-norma moral.155
Rawls mencoba menawarkan suatu bentuk penyelesaian yang terkait dengan
problematika keadilan dengan membangun teori keadilan berbasis kontrak.
Menurutnya suatu teori kedailan yang memadai harus dibentuk dengan
pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih bersama benar-benar
merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional dan
154
Andrea ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), (Yogyakarta:
Kanisius, 1999), hal. 21
155
Ibid., hal 21-32
124
sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu
menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil
bagi semua orang. Yang perlu digarisbawahi bahwa konsep kesamaan menurut
Rawls harus dipahami sebagai “kesamaan kedudukan dan hak”, bukan dalam arti
“kesamaan hasil” yang dapat diperoleh semua orang. Kebebasan yang ada selalu
dalam kebebasan yang tersituasi. Oleh karena itu harus dipahami bahwa keadilan
tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapat sesuatu dalam jumlah yang
sama, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara obyektif ada pada
setiap individu.
Keadilan merupakan konsep yang komprehensif menyangkut semua segi
kehidupan umat manusia. Keadilan juga membuahkan keseimbangan, kesesuaian
dan keselarasan dengan keadilan hukum.156
Kata keadilan dalam al- Qur‟an merupakan kata yang paling banyak disebut
setelah Allah SWT., dimana telah lebih dari 100 kali al- Qur‟an mengulang-ulang
kata ini, jadi menunjukkan betapa penting dan esnsialnya kata ini. Terkait
hubungannya dengan bisnis dan dunia usaha, Islam telah melarang setiap
hubungan bisnis yang mengandung kedzaliman. Sebagaimana diungkapkan oleh
an- Nabahan,157 keadilan harus dipahami sebagai doktrin syariah, sebab syariah
tidak hadir, kecuali demi menciptakan keadilan sosial.
Berkaitan dengan masalah perilaku ekonomi umat manusia, maka keadilan
mengandung maksud sebagai berikut:
156
Sophiaan, Ainur R. Etika Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategis Pembangunan
Masyarakat Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 86
157
An- Nabahan, M. Faruq, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis
dan Sosial, terj. Muhadi Zainudin, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 61
125
a. Keadilan yang rasional
Keadilan harus ditetapkan di semua fase kegiatan ekonomi. Keadilan dalam
produksi dan konsumsi ialah paduan (aransement) efisiensi dan memberantas
pemborosan. Adalah suatu kedzaliman dan penindasan apabila seseorang
dibiarkan berbuat terhadap hartanya sendiri yang melampaui batas yang
ditetapkaan dan bahkan merampas hak orang lain.
b. Keadilan yang memberikan kebebasan
Keadilan berarti kebebasan yang bersyarat akhlak Islam. Kebebasan yang tidak
terbatas akan mengakibatkan ketidakserasiannya diantara pertumbuhan
produksi
dengan
hak-hak
istimewa
bagi
segolongan
kecil
untuk
mengumpulkan kekayaan yang melimpah dan mempertajam pertentangan
antara yang kuat dan akhirnya akan menghancurkan tatanan sosial.
c. Keadilan yang bernilai materi
Keadilan berarti memberikan keluasan bagi individu untuk memperoleh
kekayaan dengan membuat kebajikan atas usahanya atas dasar kebajikan.158
Dengan demikian dalam Islam titik berat keadilan berarti setiap bentuk tipu
muslihat, kebohongan, mengeksploitasi orang tiada berdosa atau acuh tak acuh
terhadap kelompok lain dan pernyataan palsu dilarang keras. Sehingga seorang
muslim harus berupaya menghindarkan diri dari membuat transaksi semu atau
meragukan. Untuk menegakkan keadilan ini, semua bentuk larangan dalam Islam
mencakup larangan tetrhadap semua bentuk pemerasan.159
158
Ahmad Fahrudin Alamsayah, Akuntansi & Ideologi, perumusan Konsep Dasar Akuntansi
Syariah, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal. 109
159
Sophiaan, Ainur R., Op. Cit., hal. 86.
126
Keadilan merupakan nilai paling asasi dalam ajaran Islam. Menegakkan
keadilan dan memberantas kezaliman adalah tujuan utama dari risalah para rasul.
Keadilan sering kali diletakkan sederajat dengan kebajikan dan ketakwaan.
Seluruh ulama terkemuka sepanjang sejarah Islam menempatkan keadilan sebagai
unsur paling utama dalam maqashid syariah. Ibnu Taimiyah menyebutkan
keadilan sebagai nilai utama dari tauhid, sementara Muhammad Abduh
menganggap kezaliman sebagai kejahatan yang paling buruk dalam kerangka
nilai-nilai Islam. Sayyid Qutb menyebutkan keadilan sebagai unsur pokok yang
komprehensif dan terpenting dalam semua aspek kehidupan.160
Dengan berbagai muatan makna adil, secara garis besar keadilan dapat
didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana terdapat kesamaan perlakuan di mata
hukum, kesamaan hak kompensasi, hak hidup layak, hak menikmati
pembangunan dan tidak adanya pihak yang dirugikan serta adanya keseimbangan
dalam setiap aspek kehidupan.161
Berdasarkan muatan makna adil yang ada dalam Al- qur‟an sebagaimana
disebut di atas, maka bisa diturunkan berbagai nilai turunan yang berasal darinya
sebagai berikut:162
1. Persamaan Kompensasi
Persamaan kompensasi adalah pengertian adil yang paling umum, yaitu bahwa
seseorang harus memberi kompensasi yang sepadan kepada pihak lain sesuai
dengan pengorbanan yang telah dilakukan. Pengorbanan yang telah dilakukan
160
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada 2008), hal. 59
161
Ibid.
162
Ibid.
127
inilah yang menimbulkan hak pada seseorang yang telah melakukan pengorbanan
untuk memperoleh balasan yang seimbang dengan pengorbanannya.
2. Persamaan Hukum
Persamaan hukum di sini memberikan makna bahwa setiap orang harus
diperlakukan sama di depan hukum. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap
seseorang di depan hukum atas dasar apa pun juga. Dalam konteks ekonomi,
setiap orang harus diperlakukan sama dalam setiap aktivitas maupun transaksi
ekonomi. Tidak ada alasan untuk melebihkan hak suatu golongan atas golongan
yang lain hanya karena kondisi yang berbeda dari kedua golongan tersebut.
3. Proporsional
Adil tidak selalu diartikan sebagai kesamaan hak, namun hak ini disesuaikan
dengan ukuran setiap individu atau proporsional, baik dari sisi tingkat kebutuhan,
kemampuan, pengorbanan, tanggungjawab, ataupun kontribusi yang diberikan
oleh seseorang. Proporsional tidak saja berkaitan dengan konsumsi, namun juga
pada distribusi pendapatan. Suatu distribusi yang adil tidak selalu harus merata,
namun perlu tetap memperhatikan ukuran dari masing-masing individu yang ada.
Seluruh makna adil tersebut akan terwujud jika setiap orang menjunjung
tinggi nilai kebenaran, kejujuran, keberanian, kelurusan dan kejelasan. Secara
singkat masing-masing niali dijelaskan sebagai berikut:163
1. Kebenaran
Kebenaran merupakan esensi dan dasar dari keadilan. Kebenaran dalam hal ini
dimaknai sebagai kesesuaian dengan syariat Islam. Kebenaran empiris atau
163
Ibid.
128
faktual hanya bisa diterima jika tidak bertentangan dengan kebenaran syariat.
Kebenaran
dalam
memberikan
informasi,
kebenaran
dalam
membrikan
pertimbangan dan kebenaran dalam mengambil keputusan memberikan jaminan
kepada semua pihak atas hak-hak yang terkait. Keadilan hanya akan bermakna
jika setiap orang berpikir, bersikap, dan berperilaku secara benar.
2. Kejujuran
Jujur berarti adanya konsistensi adanya kepercayaan, sikap, ungkapan dan
perilaku. Kejujuran merupakan aspek penting dan prasyarat dalam keadilan.
Kejujuran merupakan tuntunan yang mutlak untuk bisa mencapai kebenaran dan
keadilan. Bila seseorang tidak bisa jujur dalam suatu hal maka keputusan yang
diambil dalam urusan itu dipastikan tidak benar dan tidak adil.
3. Keberanian
Untuk mengambil keputusan yang adil dan melakukan yang benar sering kali
seseorang dihadang oleh suatu keadaan yang serba menyulitkan. Oleh karena itu
keberanian diperlukan untuk mengatasi semua hal ini, tanpa hal ini keadilan tidak
bisa diwujudkan.
4. Kelurusan
Nilai kelurusan diartikan sebagai taat asas atau konsisten menuju tujuan. Taat asas
di sini merupakan suatu kondisi yang harus dipenuhi agar perilaku adil bisa
terwujud. Jika seseorang tidak bisa berperilaku taat asas, maka akan sangat
terbuka kemungkinan untuk melakukan kedzaliman.
Terkait dengan konsep keadilan berkontrak apabila dihubungkan dengan
asas kebebasan, maka dapat dipahami bahwa harus mengandung nilai keadilan
129
sehingga akan terjamin adanya konsep kesamaan para pihak dalam melakukan
perjanjian.
2. Nilai Spriritual Dalam Berkontrak
Islam mengenal adanya nilai-nilai spritualisme pada setiap materi yang
dimiliki, yang menjadi sentral dari konsep moralnya adalah semua barang milik
Allah SWT. dan bagaimana melakukan melakukan transaksi dalam berkontrak
yang sesuai dengan aturan main syariah.
Ajaran Islam telah memberikan pemahaman kepada manusia kapan
seseorang dapat melakukan transaksi, bagaimana mekanisme transaksi dan
komoditi barang maupun jasa apa saja yang dapat diperjualbelikan. Islam
mengatur bagaimana seorang pedagang dapat mengharmonisasikan aktivitas
perdagangan dengan kewajiban beribadah. Di mana secra umum ajaran Islam
tidak memperkenankan jika aktivitas bisnis dan perdagangan dapat melupakan
kita kepada kehadirat allah SWT. (dzikrullah). Kemudian secra khusus Islam tidak
memperkenankan aktivitas pasar berlaku pada saat masuk waktu shalat jum‟at.
Bagaimana mekanismenya, yang menjadi acuan adalah konsep yang tidak saling
menzalimi dan kesepakatan secara “an- taradhin” (suka sama suka).164
Terhadap objek yang dapat diperjualbelikan, yang menjadi acuan adalah
selama tidak berbahaya bagi dirinya maupun orang lain (harmfulness dan
impurity), maka pelaku pasar dapat memperjual belikannya. Perlu dipahami,
ajaran Islam mempunyai ketegasan yang tinggi berkaitan dengan hal ini. Karena
hal inilah yang menjadi landasan moral distingtif dengan konsep-konsep ekonomi
164
Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,
2006), hal. 173.
130
lainnya. Untuk itu, dalam ajaran Islam banyak sekali dijumpai stimulan ataupun
insentif (reward atau pahala di akhirat) bagi para pelaku pasar, yang dapat
menerapkan bisnisnya secara halal. Tentu hal ini dilengkapi dengan perangkat tata
laku dagang yang berporos kepada akhlak kejujuran, amanat, dan toleransi untuk
tidak melakukan praktik-praktik negatif yang berdampak kepada distorsi
mekanisme pasar.165
Konsep halal dan haram sangatlah jelas dalam mekanisme berkontrak,
sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.166
Mekanisme suka sama suka adalah panduan dan garis al- Qur‟an dalam
melakukan kontrol terhadap perniagaan yang dilakukan. Selain itu, terdapat
sejumlah ayat maupun hadits nabi yang meemberikan batasan mekanisme mana
saja yang secara khusus dan secara jelas dilarang, sehingga transaksi muamalah
yang dilakukan oleh manusia dapat bermanfaat bagi kehidupan
165
166
Ibid., 174
QS. An- Nisa (4): 29.
mereka dan
131
bukan menjadi malapetaka. Prinsipnya, semua yang dilarang itu berarti haram dan
jika masih dikerjakan itu berdosa.
Pelaksanaan larangan haruslah mengarah kepada bentuk nilai substansial
dan filsafat dari larangan tersebut. Bukan hanya sekedar bentuk yang tidak dapat
diaplikasikan dalam kehidupan, maupuin adanya upaya penghindaran dari batasan
dengan dalih penafsiran dan kontekstualitas. Selain itu perlu dipahami bahwa niat
baik tidak mengubah yang baik menjadi halal, sesuatu yang meragukan sebaiknya
dihindari. Jika suatu perbuatan yang haram adalah terlarang, maka begitu pula
dengan hal yang serupa dengan perbuatan tersebut.
Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan
memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi,
baik dalam praktek material maupun spiritual, dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material dewasa ini lebih
banyak mendapatkan perhatian dalam ilmu ekonomi. Terpenuhinya kebutuhan
material inilah yang disebut dengan sejahtera dan bahagia. Sejahtera
diterjemahkan dari kata prosperous yang berarti maju dan sukses, terutama dalam
hal pendapatan dan memperoleh kekayaan yang cukup banyak. Bahagia
(hapniness) memiliki makna yang lebih luas, yang berarti kondisi atau perasaan
yang bisa disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun spiritual.167
Pada dasarnya sertiap manusia selalu menginginkan kehidupannya di dunia
ini dalam keadaan bahagia, material maupun spiritual, individual maupun sosial.
167
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Op. Cip. hal, 1
132
Namun dalam prakteknya kebahagian multi dimensi ini sangat sulit diraih. Dalam
konsep Islam, untuk mencapai tujuan hidup disebut falah.
Falah berasal dari bahasa Arab yang berarti kesuksesan, kemulian atau
kemenangan. Dalam pengertian literal, falah adalah kemulian dan kemenangan
dalam hidup. Istilah falah dalam Islam diambil dari Al-qur‟an yang sering
dimaknai sebagai keberuntungan jangka panjang, dunia dan akhirat. 168 Sehingga
tidak hanya memandang aspek material namun justeru lebih ditekankan pada
aspek spiritual.
Untuk
kehidupan
dunia,
falah
mencakup
tiga
pengertian,
yaitu
kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan, serta kekuatan dan kehormatan.
Akhirat merupakan kehidupan yang diyakini nyata-nyata ada dan akan terjadi,
memiliki nilai kuantitas dan kualitas yang lebih berharga dibandingkan dunia.
Kehidupan dunia aakan berakhir dengan kematian dan kemusnahan, sedangkan
kehidupan akhirat bersifat abadi atau kekal. Kehidupan dunia merupakan ladang
bagi pencapaian tujuan akhirat. Karena itulah kehidupan akhirat akan diutamakan
manusia dihadapkan pada kondisi harus memilih antara kebahagiaan akhirat dan
kebahagiaan dunia. Meskipun demikian, falah mengandung makna kondisi
maksimum dalam kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dalam praktek kehidupan
di dunia, kehidupan akhirat tidak dapat diobservasi, namun perilaku manusia di
dunia akan berpengaruh terhadap kehidupan dan kebahagaiannya di akhirat.
168
Ibid.
133
Pendefinisian Islam tentang kesejahteraan didasarkan pandangan yang
komprehensif tentang kehidupan ini. Kesejahteraan menurut ajaran Islam
mencakup dua pengertian, yaitu:169
1. Kesejahteraan holistik dan seimbang, yaitu kecukupan materi yang didukung
oleh terpenuhinya kebutuhan spiritual serta mencakup individu dan sosial.
Sosok manusia terdiri atas unsur fisik dan jiwa, karenanya kebahagiaan harus
menyuluruh dan seimbang diantara keduanya. Demikian pula manusia
memiliki dimensi individu sekaligus sosial. Manusia akan merasa bahagia jika
terdapat keseimbangan di antara dirinya dengan lingkungan sosialnya.
2. Kesejahteraan di dunia dan di akhirat, sebab manusia tidak hanya hidup di alam
dunia saja, tetapi juga di alam setelah kematian/kemusnahan dunia (akhirat).
Kecukupan materi di dunia ditujukan dalam rangka untuk memperoleh
kecukupan diakhirat. Jika kondisi ideal ini tidak dapat dicapai maka
kesejahteraan di akhirat tentu lebih diutamakan, sebab ia merupakan suatu
kehidupan yang abadi dan lebih bernilai (valuable) dibandingkan kehidupan
dunia.
3. Kemashlahatan Dalam Berkontrak
Para filosof hukum Islam di masa lampau seperti al-Gazali (w. 505/1111)
dan asy-Syatibi (w.790/1388) merumuskan tujuan hukum Islam berdasarkan ayatayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw sebagai mewujudkan kemaslahatan.
Dengan maslahat dimaksudkan memenuhi dan melindungi lima kepentingan
169
Ibid., hal. 4
134
pokok manusia, yaitu melindungi religiositas, jiwa-raga, akal-pikiran, martabat
diri dan keluarga, dan harta kekayaan.170
Mashlahat yang menjadi tujuan syari‟ah tersebut di atas dibedakan menjadi
tiga tingkat, yaitu :
1 Mashlahat daruriyah, yaitu kepentingan dan kebutuhan yang harus terpenuhi,
jika tidak dipenuhi akan membawa akibat terancamnya jiwa baik di dunia
maupun di akhirat. Dengan kata lain segala kebutuhan yang harus terpenuhi
guna mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
2 Mashlahat hajiyat, yaitu kebutuhan yang harus terpenuhi untuk dapat hidup
dengan layak sebagai manusia yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancan
jiwa akan tetapi menyebabkab penderitaan dan kesulitan. Dengan kata lain
segala kebutuhan yang harus dipenuhi untuk memberi kemudahan bagi
manusia dan menghindarkannya dari kesulitan.
3 Mashlahat tahsiniyat (komplementer), yaitu kebutuhan yang sifatnya
menambah keindahan dan kepenuhan hidup di atas dari maslahat hajiyat.171
Penjelasan yang dikemukakan di atas menggambarkan pandangan dunia
yang diajarkan dalam hukum Islam, yang berarti bahwa segala kegiatan manusia
khususnya dalam bidang ekonomi tidak semata diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan materi belaka tetapi juga kebutuhan spiritual. Dalam bermu‟amalat
kelima butir maslahat di atas menjadi dasar yang melandasi kegiatan mu‟amalat
dalam tukar-menukar barang dan jasa, serta segala bentuk transaksi.
170
Al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul (Kairo:Syirkah at-Tiba‟ah al-Fanniyah al-Muttahidah,
171
Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam (Ttp: Dar al-Fikr,1341), II: 3-4
1971)
135
Atas dasar bahwa hukum mu‟amalah dalam Islam merupakan hak prerogatif
manusia untuk mengembangkannya, Najamuddin at-Tufi (w.716) berpendirian
bahwa mengenai masalah mu'amalat dan yang sejenis, dalil yang diikuti adalah
maslahat. Memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at (dalam
bidang mu‟amalah) wajib didahulukan atas dalil-dalil syara‟ lainnya. Sedangkan
dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus didahulukan
daripada sarana.172
At-Tufi membangun pemikirannya tentang maslahat tersebut berdasarkan
atas empat prinsip,173 yaitu :
1. Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya dalam
lapangan mu'amalah dan adat. Untuk menentukan suatu kemaslahatan atau
kemafsadatan cukup dengan akal. Pendirian at-Tufi bahwa akal semata, tanpa
harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi
fondasi yang pertama dalam piramida pemikirannya. Akan tetapi, at-Tufi
membatasi kemandirian akal itu dalam bidang mu'amalah dan adat istiadat, dan
ia melepaskan ketergantungan atas petunjuk nas, maslahat atau mafsadat pada
kedua bidang itu. Pandangan ini bertolak belakang dengan mayoritas ulama
yang menyatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan kemafsadatan itu dapat
dicapai dengan akal, kemaslahatan itu harus mendapatkan justifikasi dari nas
atau ijma', baik bentuk, sifat maupun jenisnya.
2. Sebagai kelanjutan dari pendapatnya yang pertama di atas, at-Tufi berpendapat
bahwa maslahat merupakan dalil syar'i mandiri yang kehujjahannya tidak
172
Yusdani, Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum : Kajian Hukum Islam
Najamuddin at-Tufi (Yogyakarta : UII-Press, 2000), hlm.62-63.
173
Ibid, hlm.70-72
136
tergantung pada konfirmasi nas, tetapi hanya tergantung pada akal semata.
Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan
hukum. Oleh sebab itu untuk kehujjahan maslahat dalam bidang mu‟amalah
tidak diperlukan dalil pendukung, karena maslahat itu didasarkan kepada
pendapat akal semata. Bagi at-Tufi, untuk menyatakan sesuatu itu maslahat
atas dasar adat-istiadat dan eksperimen, tanpa membutuhkan petunjuk nas.
3. Maslahat hanya berlaku dalam lapangan mu'amalah dan adat kebiasaan,
sedangkan dalam bidang ibadat (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan
syara', seperti salat zuhur empat rakaat, puasa ramadan selama satu bulan, dan
tawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek maslahat, karena masalahmasalah tersebut merupakan hak Allah semata. Bagi at-Tufi, maslahat
ditetapkan sebagai dalil syara' hanya dalam aspek mu'amalah (hubungan sosial)
dan adat-istiadat. Sedangkan dalam ibadat dan muqaddarat, maslahat tidak
dapat dijadikan dalil. Pada kedua bidang tersebut nas dan ijma'-lah yang
dijadikan referensi harus diikuti. Perbedaan ini terjadi karena dalam pandangan
at-Tufi ibadah merupakan hak prerogatif Allah; karenanya, tidak mungkin
mengetahui jumlah, cara, waktu dan tempatnya kecuali atas dasar penjelasan
resmi
langsung
dari
Allah.
Sedangkan
dalam
lapangan
mu'amalah
dimaksudkan untuk memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan kepada umat
manusia. Oleh karena itu, dalam masalah ibadat Allah lebih mengetahui, dan
karenanya kita harus mengikuti nas dan ijma' dalam bidang ini. Mengenai
masalah hubungan sosial, manusialah yang lebih mengetahui kemaslahatannya.
137
Karenanya mereka harus berpegang pada maslahat ketika kemaslahatan itu
bertentangan dengan nas dan ijma'.
4. Maslahat merupakan dalil syara' paling kuat dalam lapangan mu‟amalah. Oleh
sebab itu, at-Tufi juga menyatakan apabila nas dan ijma' bertentangan dengan
maslahat dalam bidang mu‟amalah, didahulukan maslahat dengan cara
pengkhususan (takhsis) dan perincian (bayan) nas tersebut. Dalam pandangan
at-Tufi secara mutlak maslahat itu merupakan dalil syara' yang terkuat. Bagi atTufi, maslahat itu bukan hanya merupakan dalil ketika tidak adanya nas dan
ijma', juga hendaklah lebih diutamakan atas nas dan ijma' ketika terjadi
pertentangan antara keduanya. Pengutamaan maslahat atas nas dan ijma'
tersebut at-Tufi lakukan dengan cara bayan dan takhsis; bukan dengan cara
mengabaikan atau meninggalkan nas sama sekali, sebagaimana mendahulukan
sunnah atas Alquran dengan cara bayan. Dari prinsip-prinsip teori maslahat atTufi ini dapat dipahami bahwa semua bentuk akad atau transaksi dapat
dilakukan berdasarkan kemaslahatan asalkan syarat-syarat perjanjian dipenuhi.
Dalam Al- qur‟an, mashlahah banyak disebut dengan istilah manfa‟at atau
manafi yang berati kebaikan yang terkait dengan material, fisik, psikologis halhal indrawi lainnya, sebagaimana firman Allah:
138
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.174
Mashlahah sering diungkapkan dengan istlah lain seperti hikmah, huda,
barakaha, yang berarti imbalan baik yang dijanjikan oleh Allah di dunia maupun
di akhirat sebagaimana firman Allah:
Artinya: Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam
tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).175
Jadi mashlahah mengandung pengertian kemanfaatan duniawi dan kemanaafaatan
akhirat.176
Mashlahah harus diwujudkan melalui cara-cara yang sesuai dengan
syariah Islam sehingga akan terbentuk suatu peradaban yang luhur. Peradaban
Islam adalah peradaban yang mengedepankan aspek budi pekerti atau akhlak, baik
manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia, makhluk lain di alam
semesta dan hubungannya dengan Tuhan. Upaya pencapaian mashlahah dan harus
174
Q.S. Ali Imran: 104
Q.S. Al- Baqarah: 269
176
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Op.cit. hal. 50
175
139
dilakukan dengan dasar akhlak Islam sehingga tidak memperuncing konflik
sosial.177
Mashlahah dapat dicapai hanya jika manusia hidup dalam keseimbangan,
sebab keseimbangan merupakan sunnatullah. Kehidupan yang seimbang
merupakan salah satu esensi ajaran Islam sehingga umat Islam pun disebut
sebagai umat pertengahan. Ekonomi Isdlam bertujuan untuk menciptakan
kehidupan yang seimbang ini, di mana antara lain mencakup keseimbangan
kehidupan fisik dengan mental, material dan spiritual, individu dengan sosial,
masa kini dengan masa depan, serta dunia dengan akhirat. Keseimbangan fisik
dengan mental atau material dan spiritual akan menciptakan kesejahteraan holistik
bagi manusia. Pembangunan ekonomi yang terlalu mementingkan aspek material
dan mengabaikan aspek spiritual hanya akan melahirkan kebahagiaan semu,
bahkan menimbulkan petaka.178
Dengan adanya kemaslahatan dalam akad yang dibuat oleh para pihak
sehingga bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh
menimbulkan kerugian (mudrahat) atau keadaan memberatkan (masyaqqah).
Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak
dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak
bersangkutan sehingga memberatkannya, maka kewajibannya dapat diubah dan
disesuaikan kepada batas yang masuk akal.
177
178
Ibid., hal. 55
Ibid.
140
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah Penulis membahas dan menganalisa permasalahan dalam masalah Asas
Kebebasan Berkontrak, Perbandingan antara Hukum Perdata dengan Hukum Islam,
maka penulis membuat kesimpulan sebagi berikut:
1. Asas kebebasan berkontrak telah diatur baik dalam Hukum Perdata maupun
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
2. Asas kebebasan berkontrak baik dalam KUPerdata maupun Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah bukan bersifat mutlak atau tidak tak terbatas tetapi memiliki
batasan-batasan.
3. Perbedaan yang sangat esensial adalah karena pembatasan yang diberikan dalam
asas kebebasan berkontrak dalam KUHPerdata adalah buatan manusia berupa
Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum, sementara pembatasan yang
ada dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah firman Allah dalam AlQur‟an dan juga pernyataan dan perilaku Nabi Muhammad dalam Al-Hadis.
4. Kebebasan berkontrak yang tidak ada batasnya dapat mencipkatan ketidakadilan
apabila salah satu pihak mempunyai kedudukan yang tidak seimbang.
5. Tinjauan filosofis batasan asas kebebasan berkontrak adalah keadilan,
spritualisme, dan kemashlahatan.
141
6. Hakim berwenang untuk memasuki dan meneliti isi suatu kontrak karena isi dan
pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
B. Saran
Dari kesimpulan yang ada dan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat
dikemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran guna
memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi, yaitu:
1. Asas kebebasan berkontrak yang semula memiliki daya kerja yang sangat kuat,
yang kebebasannya tidak boleh dibatasi, baik rasa keadilan masyarakat maupun
oleh aturan perundang-undangan. Namun perkembangan selanjutnya, perjanjian
yang berdasarkan asas ini mengalami kegagalan. Hal ini terlihat adanya buktibukti berupa campur tangan parlemen melalui peraturan perundang-undangan
terhadap kebebasan berkontrak, maka disarankan kepada para pembuat undangundang atau peraturan dalam membuat undang-undang atau peraturan harus
memperhatikan aturan-aturan dasar sehingga tidak menimbulkan kelonggaran
bagi para pihak karena kelonggaran ini akan menimbulkan ketimpanganketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat perjanjian tidak
sama kuat kedudukannya atau tidak mempunyai bargaining position yang sama.
2. Dalam hal perjanjian telah dibuat oleh para pihak ternyata mengandung klausul
yang tidak sesuai dengan aturan dasar hukum perjanjian dan hukum syara‟,
hendaklah Pengadilan dalam hal ini hakim untuk memasuki dan meneliti isi suatu
kontrak apabila isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai
dalam masyarakat.
142
3. Dalam dunia perbankan telah dikenal dengan adanya perjanjian baku (standar
kontrak), dimana dalam pelaksanaannya terkadang orang merasa terpaksa untuk
membuat perjanjian karena tidak ada pilihan lain, maka direkomendasikan kepada
para intelektual muslim untuk meneliti eksistensi perjanjian baku tersebut
menurut hukum Islam.
143
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan, et,al. (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996);
Abdul Halim Mahmud al Ba'ly, Al Istitsmar wa al Riqabah al Syar'iyyah fi al Bunuk wa
al Mu‟assasah al Maliyyah al Islamiyyah, (Kairo Mesir:Maktabah Wahbah al
Qahirah, 1991);
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990);
Abdoerraoef, Al- Qur‟an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Djakarta: Bulan
Bintang, 1970);
Abdurrahman Raden Aji Haqqi, The Philosophi of Islam Law of Transactions, (Kuala
Lumpur: Univision Press, 1999);
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: UII Press, 2004)
Absori, Hukum Ekonomi Indonesia (Beberapa Aspek Pengembangan Pada Era
Liberalisme Perdagangan), (Surakarta: Muhammadiyah University Press
UMS, 2006);
Ade Armando, dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve);
Adiwarman A. Karim, Bank Islam – Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004);
Agus Yudha Hernoko, Dr., Prof., Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam
Kontrak Komersial, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008);
Ahmad Abu al- Fath, Kitab al- Mu‟amalah fi asy- Syari‟ah al- Islamiyah wa alQawanin al- Mishriyah, (Mesir: Matba‟ah al- Busfir, 1913);
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam,
(Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, 1993);
Achmad Busro, Hukum Perikatan, (Semarang, Oetama, 1985);
144
Ahmad Fahrudin Alamsayah, SE., MM., Akuntansi & Ideologi, perumusan Konsep
Dasar Akuntansi Syariah, (Malang: UIN-Malang Press, 2008);
Al- Asimi, Majmu Fatawa Syaikh al- Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, (Riyad: Matabi‟ arRiyad, 1383 H);
Al-Gazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul ( Kairo:Syirkah at-Tiba‟ah al-Fanniyah alMuttahidah,1971);
Al- Kasani, Bada‟i ash shana‟i fi tartib asy- syaraki‟ (Mesir: Matba‟ah al- Jamaliyyah,
1910);
Al- Zarqa, Al- Fiqh Al- Islami Fi Sauhihi Al- Jadid, Cet. Ke-9, (Damaskus: Matabi‟
Alifba Al- Adib, 1968);
AM. Mujahidin, Dr., M.H., Karakteristik Akad (Perikatan) dalam Perspektif Hukum
Ekonomi Syariah, Mimbar Hukum No. 66, Desember 2008, PPHI2M, Jakarta;
Asjmuni A. Rahman, Qa‟idah-qa‟idah Fiqih (Jakarta: Bulan Bintang, 1975);
Andrea ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls),
(Yogyakarta: Kanisius, 1999);
As- Sanhuri, Masadir al haq fi al- Fiqh al- Islami, (Beirut: Dar al- Fikr, tt);
Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam (Ttp: Dar al-Fikr,1341);
A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian dan Perkembangannya,
(Yogyakarta, Liberty, 1985);
Az- Zuhaili, al- Fiqh al- Islami wa Adillatuh (Damaskus: dar al- Fikr, 1989);
Az- Zarqa‟, Syarh al- Qawa‟id al- Fiqhiyyah (Ttp.: Dar al- Garb al- Islami, 1993);
Az-Zarqa, al-Fiqh al-Islami fi Sauhihi al-Jadid, cet. Ke-9 (Damaskus: Matabi‟ Alifba‟
al-Adib, 1968);
Basyra, Mursyid al- Hairan ala Ma‟rifah Ahwal al- Insan (Kairo: dar al- Furjani,
1403/1983);
Burhanuddin Salam, Etika Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997);
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1994);
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur-an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Qur'an,
2002);
145
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002);
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995);
Essel R. Dillavou, Principles of Business Law, (New Jersey: Prentice Hall Inc, 1962);
Fathurrahman Djalil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan
oleh Mariam Daruz Badrulzaman et. al., cet. I, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001);
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam Di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005);
Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002);
Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, (Medan: Fakultas Hukum Universitas
Dharmawangsa, 1992);
http://hukum.kompasiana.com/2010/08/25/asas-kebebasan-berkontrak-dalam-hukum
perjanjian-di-indonesia.
Imam Bukhari, Shahih Bukhari: Kitab Ijarah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981);
Ibn Hazm, Al- Muhalla, (Beirut: al- Maktabah at- Tijari li at Tiba‟ah wa an- Nasyr, tt);
Ibnu Taimiyyah, Al- Fatawa al- Kubra, (Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiyah, 1987);
Ibn Rajab, al- qawa‟id (Makkah: Maktabah Nizar Mushthafa al- Baz, 1999);
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar al- Fikr, t.t.);
J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1992);
Johannes Gunawan, Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,
(Bandung: PT Refika Aditama, Cet. Pertama, 2004);
K. Berten, Pengantar Etika Binnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000);
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pustaka Mahardika;
Kompilasi Hukum Ekonomi Syaria‟ah, Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Edisi
Revisi, tahun 2010)
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001);
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, 1989;
146
Mark Skousen, Sang Maestro “Teori-Teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran
Ekonomi, (The Making of Modern Economics, The Lives and Ideas of the Great
Thinkers), alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso, cet. ii, (Jakarta: Prenada,
2006);
M. Faruq An- Nabahan, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan Sistem
Kapitalis dan Sosial, terj. Muhadi Zainudin, (Yogyakarta: UII Press, 2000);
M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank
system Syariah,(Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005);
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Ke Empat (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1997);
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, tt);
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Cet. 8, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000);
Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:
Kencana, 2006);
M. Hasby Ash- Shiddieqy, dalam Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali
Press, 2002), Cet. I;
Muhammad Firdaus NH., dkk., Cara mudah memahami akad-akad Syari‟ah, (Jakarta:
Renaisan, 2005);
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000);
Neli Mac Cormick, Adam Smith On Law, (Valparaisto University Law review, vol. 15,
1981);
O. Notohamidjojo, Masalah: Keadilan, (Semarang: Tirta Amerta, 1971);
P.S. Atiyah, Hukum Kontrak, ( Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1979);
Purwahid Patrik, Hukum Perdata II Jilid I, 1988;
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian
dan dari UU), (Bandung: Mandar Maju, 1994);
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2008);
Raymond Wacks, Jurisprudence, (London: Blackstone Press Limited, 1995);
147
Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk
Tabungan dan Deposito: Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan
Deposan di Indonesia Dewasa Ini, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995);
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1988);
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta, Intermasa, 1987);
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987)
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1987);
R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Cet. 8, (Bandung: Sumur
Bandung, 1981);
Salim.,et.al., Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU). (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007);
Salim HS., Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarata: Sinar
Grafika, 2006);
Syamsul Anwar, Prof.,Dr.,MA., Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad
dalam Fikih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010);
Sir Henry Maine, dalam Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta:
Rajawali Pers, 1980);
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti, 2009);
Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003);
Sayyid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam (Anashirul Quwwah Fil Islam),
diterjemahkan oleh Haryono S. Yusuf (Jakarta: Intermasa, 1981);
Sophiaan, Ainur R. Etika Ekonomi Politik: Elemen-Elemen Strategis Pembangunan
Masyarakat Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997);
Tafsir at- Thabathaba‟i, al- mizan fi Tafsir al- qur‟an (Beirut: Mu‟assah al- A‟lam li alMathbu‟at, 1970);
http://hukum.kompasiana.com/2010/08/25/asas-kebebasan-berkontrakperjanjian-di-indonesia.
dalam-hukum
148
Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al Fikr al
Mu'ashir, Jilid 4, 1997);
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986);
Yusdani, Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum : Kajian Hukum
Islam Najamuddin at-Tufi (Yogyakarta : UII-Press, 2000);
Yusuf Qardawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, diterjemahkan oleh
Didin Hafiduddin, Setiawan Budiutamo, dan Aumur Rofik Shaleh Tamhid,
Cet. 1. (Jakarta: Robbani Press, 1997);
Download