BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENYAKIT GINJAL KRONIS

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENYAKIT GINJAL KRONIS
Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis pada ginjal dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Keadaan ini bersifat ireversibel,
sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis maupun
transplantasi ginjal (Suwitra, 2009). Penderita penyakit ginjal kronis disebutkan
semakin bertambah, dimana di negara berkembang seperti Indonesia, insidensinya
mencapai 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun (Suwitra, 2009).
2.2 HEMODIALISIS
Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam larutan melalui suatu
membran semipermeabel sepanjang gradient konsentrasi elektrokimia. Tujuan
utama dari hemodialisis adalah untuk mengembalikan lingkungan cairan
intraseluler dan ekstraseluler yang merupakan karakteristik dari fungsi ginjal
normal. Hal ini dicapai dengan transportasi zat terlarut seperti urea dari darah ke
dialisat dan dengan transportasi pelarut seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam
darah (Gambar1A ). Konsentrasi pelarut dan berat molekul merupakan penentu
utama dari tingkat difusi. Molekul kecil, seperti urea, berdifusi dengan cepat,
sedangkan
yang
molekul lebih besar, seperti fosfat, β2 mikroglobulin, dan
albumin, dan protein terikat-zat terlarut, seperti p-kresol, berdifusi lebih lambat
(Gambar 1B dan 1C). Selain daripada difusi, zat terlarut dapat melewati pori-pori
di membran dengan cara konvektif yang didorong oleh gradien tekanan
hidrostatik atau osmotik – proses disebut ultrafiltrasi. Selama ultrafiltrasi, tidak
ada perubahan dalam konsentrasi larutan, tujuan utamanya adalah mengeluarkan
kelebihan dari total cairan tubuh (Himmelfarb & Ikizler, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Alur Perpindahan Larutan dengan Hemodialisa (Himmelfarb & Ikizler,
2010).
2.3 Kelebihan Cairan Pada Pasien PGK
Kelebihan cairan, khususnya pada penderita PGK kebanyakan berasal dari
asupan cairan dan garam yang berlebih, serta kurangnya adekuasi/efisiensi
dialisis. Secara fisiologis, ginjal mempertahankan homeostasis cairan tubuh
dengan cara mengontrol volume cairan ekstraseluler melalui pengaturan ekskresi
natrium dan air. Hormon antidiuretik (ADH), disekresikan sebagai respon
terhadap perubahan dalam volume darah, tonisitas dan tekanan darah untuk
mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Secara umum, seperti penyakit
kronis lainnya, penyebab edema/overload pada PGK ialah peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler, naiknya permeabilitas kapiler atau tekanan osmotik interstisial,
dan penurunan tekanan osmotik plasma.
Yang penting juga diketahui ialah konsep Volume Darah Arteri Efektif
(VDAE) bagi pasien gagal ginjal dengan masalah jantung. VDAE ialah volume
darah arteri yang adekuat untuk mengisi keseluruhan kapasitas pembuluh darah
arteri. VDAE normal ialah apabila curah jantung terhadap resistensi pembuluh
darah perifer seimbang. VDAE dapat berkurang pada kondisi perdarahan,
dehidrasi, gagal jantung, dan kondisi pro inflamasi seperti sepsis dan sirhosis
hepatis. Penurunan VDAE akan memicu ginjal untuk mengaktifkan sistem renin
angiotensin aldosteron (RAAS) serta hipotalamus mengaktivasi pelepasan ADH
Universitas Sumatera Utara
yang menyebabkan retensi natrium dan air. Sayangnya, hormon ADH ini juga
akan merangsang pusat haus, sehingga pasien akan bertambah banyak minumnya.
Beban overload ini semakin berat pada pasien PGK yang komposisi cairan
tubuhnya memang sudah terganggu (Effendi, 2010).
2.4 INTER DIALYTIC WEIGHT GAIN (IDWG)
IDWG tidak terlepas dari adekuasi dialisis, yang diukur dengan ureum
reduction ratio (URR) dan Kt/V atau bersihan ureum oleh dialiser/alat. Sebagai
jenis dialisis terbanyak dilakukan, adekuasi hemodialisis tergantung kualitas
dialiser, membran dialiser, cairan dialisat, dan compliance pasien. Jenis membran
dialiser non selulosa memiliki resiko aktivasi komplemen yang lebih rendah,
resiko syok juga rendah sehingga lebih disukai untuk menjaga compliance pasien.
Permukaan membran dialiser yang lebih luas dikatakan lebih membuat proses
dialisis efisien. Selain itu dialisat yang steril juga menurunkan resiko endotoksin
dan menurunkan komplikasi dialisis. Kadar natrium dialisat berkisar 135-145
meq/l. Dialisat hipotonik telah diteliti mengurangi resiko hipertensi dan
hipernatremia pasca dialisis, namun gangguan hemodinamik lebih tinggi.
Sementara itu dialisat hipertonik
bersifat sebaliknya, ditambah berkurangnya
resiko kelainan miokardium dan endotoxemia. Namun perlu diingat, rasa haus dan
IDWG akan lebih tinggi pada pasien dengan dialisat hipertonik.Waktu dan
frekuensi dialisis telah dikemukakan sebagai faktor yang juga mempengaruhi
adekuasi dialisis. Sekarang telah banyak diteliti mengenai dialisis waktu
panjang/long conventional dialysis, long nocturnal dialysis, serta short daily
dialysis. Meskipun begitu, pada dialisis konvensional 5 jam 2 kali seminggu,
dikatakan adekuat bila URR> 80% dan rentang Kt/V antara 1,2-1,5.
Dikenal juga metode ultrafiltrasi yang diatur menggunakan alat dialisis
dapat digunakan untuk menarik cairan ekstraseluler yang berlebih. Keadaan
hipernatremia dapat ditanggulangi dengan menggunakan dialisat dengan natrium
dibawah konsentrasi natrium predialisis (metode transpor difusi) (Hecking, 2012),
(Jaeger, 1999).
2.5 Berat Kering/Dry Weight (DW) dan IDWG
Berat kering paling baik diartikan sebagai berat terendah (diluar cairan
berlebih) seorang pasien dapat mentoleransi dialisis tanpa menimbulkan gejala
Universitas Sumatera Utara
hipotensi. Karena DW fisiologis biasanya dihasilkan oleh fungsi ginjal,
permeabilitas vaskuler, konsentrasi protein serum, dan regulasi air tubuh dalam
keadaan normal, maka untuk pasien dialisis secara teori adalah lebih rendah untuk
mencegah kenaikan IDWG. Di berbagai sentra, penentuan DW ini sering disertai
trial and error, karena penentuannya yang belum baku. Sering hanya melihat
gejala overload cairan dan hipertensi post dialisis.
Penghitungan yang akurat terhadap volume cairan tubuh tergantung 3 hal, yaitu
(1) Kapasitas cairan kompartemen ekstraseluler (ECF) dan intraseluler (ICF), (2)
Jumlah cairan per kompartemen, dan (3) Kandungan zat solut, misalnya natrium,
yang mempengaruhi perpindahan cairan antar kompartemen, IDWG, dan
pengeluaran cairan selama dialisis (Effendi, 2010).
Pada permulaan dialisis, kebanyakan pasien PGK akan berada dalam
keadaan hiperkatabolik berbulan-bulan dikarenakan kronisitas penyakitnya. Pada
saat bersamaan, sisa nefron yang masih berfungsi baik akan berusaha untuk
menyeimbangkan kadar garam dan volume cairan. Kegagalan selanjutnya
menimbulkan banyak sel yang mengkerut dan terbentuk ruang ekstraseluler yang
lebih luas. Ketika proses dialisis nantinya menurunkan kadar ureum, kenaikan
BMI dan cairan ekstraseluler dapat terjadi tanpa terdeteksi. Masalah lain yang
sering timbul ialah terdapatnya fakta bahwa pasien dengan IDWG tinggi selalu
DWnya tidak tercapai dan memiliki resiko hipotensi intradialisis yang tinggi,
meskipun terlihat tanpa edema dan tekanan darah selalu normal setelah dialisis
(silent hypervolemia). Monitoring tekanan darah berkelanjutan selama 12 jam
dikatakan dapat mengurangi kejadian ini.
Beberapa biomarker yang terus diteliti untuk membantu menentukan DW
dan keadaan hipervolemia untuk mencegah kenaikan IDWG seperti kadar hormon
atrial natriuretic peptide (ANP) dan kadar cyclic guanidine monophosphate
(cGMP) yang akan meninggi pada overhidrasi. Begitu pula pemeriksaan
bioimpedance (BIA), pengukuran diameter vena cava, monitoring tekanan darah
berkelanjutan, yang telah diteliti, apabila keseluruhan modalitas ini digabungkan,
hasilnya lebih bermakna (Jaeger,1999).
2.6 IDWG dan Malnutrisi
Kenaikan IDWG karena malnutrisi mengikuti teori underfilling dan
sindroma wasting, karena rendahnya kadar albumin pasien. Beberapa survey
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa 40% pasien dengan gagal ginjal mengalami malnutrisi
terutama Protein-Energi malnutrisi. Penyebab malnutrisi ini disebabkan oleh
berbagai faktor, dimana tersering penyebabnya adalah intake makanan yang
kurang. Indikator status gizi seperti turunnya intake makanan dan massa otot
merupakan salah satu penyebab secara independen terhadap kematian 12 bulan
lebih dini. Komplikasi gastrointestinal sering terjadi pada pasien,
yang
menyebabkan turunnya intake makanan dan malnutrisi. Pengobatan komplikasi
gastrointestinal dapat memperbaiki status gizi pada pasien. Faktor yang
mempengaruhi nutrisi pasien dialisis pada PGK yaitu: selera makan/appetite
menurun (anoreksia, uremia, gastroparesis), pembatasan diet, kehilangan zat gizi
selama dialisis, proses katabolik (demam, infeksi, inflamasi kronis), anemia
kronis,
akumulasi
zat
toksin,
gangguan
endokrin
(resistensi
insulin,
hiperglukogenemia). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan
nilai GFR (<50 mL/menit) diikuti juga dengan penurunan intake kalori dan energi.
Penyebab malnutrisi lainnya pada pasien gagal ginjal adalah meningkatnya
kehilangan zat gizi. Pada pasien dialisis, akan terjadi kehilangan asam amino
sebanyak 6-12 gram, 2-3 gram peptida dan sedikit protein per sesi dialisis. Selama
dialisis peritoneal, pasien akan mengalami kehilangan asam amino sebesar 2-4
gram, tetapi pada realitanya kehilangan ini meningkat menjadi 8-9 gram(termasuk
5-6 gram albumin). Pasien dengan peritonitis akan mengalami kehilangan protein
total sebesar 15 gram per sesi dialisis, hingga peritonitis diatasi (Rahardjo,2010).
2.7 Asupan Natrium & Air
Secara fisiologis, keseimbangan natrium dan volume plasma ekstraseluler
diatur oleh ekskresi natrium renal. Saat terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus
(GFR), kompensasi ginjal ialah dengan menaikkan fraksi ekskresi natrium (FNA)
(Zadeh, 2012), (Heimbá¹»rger, 2012) . Namun pada PGK, mekanisme kompensasi
ini menurun, sehingga diet rendah garam sekalipun (120-200 mmol/hari)
terkadang masih menimbulkan retensi natrium. Pada pasien PGK dengan dialisis,
asupan natrium berlebih terbukti menaikkan IDWG, resiko hipertensi, edema, dan
gagal jantung . Seiring dengan retensi natrium, PGK juga menimbulkan retensi
cairan. Kelebihan asupan air akan memperberat overload volume dan menaikkan
IDWG, dimana air mempengaruhi tonus plasma dan volume sel-sel tubuh.
Universitas Sumatera Utara
Stimulasi rasa haus dan FNA renal merupakan dua komponen utama dalam
menjaga keseimbangan cairan tubuh (Chazot, 2009), (Bots, 2004).
2.8 BIO IMPEDANCE ANALYSIS (BIA)
Penilaian komposisi tubuh adalah teknik yang bermanfaat untuk menilai
status gizi. Pertama penilaian ini bisa mengevaluasi status nutrisi melalui
pengukuran FFM dan kedua melalui pengukuran FFM dan phase angle dengan
BIA dapat menilai prognosa dan hasil akhir. Pengukuran parameter komposisi
tubuh seperti fat tissue mass, lean body mass (LBM), body cell mass (BCM), total
body water (TBW) dan extracellular water (ECW) dapat dengan DEXA yang
memberikan gambaran detil dan distribusi fat tissue mass, free fat mass (FFM)
dan bone mineral content namun DEXA biayanya mahal dan tidak bisa sering
diulangi karena radiasi. Oleh karena itu BIA yang relatif murah dan non invasif
telah dipakai dalam pengukuran TBW, ECW, FFM (Thibault dan Pichard, 2011),
(Jaffrin, 2009), (Lee dan Gallagher, 2000), (Kotler dkk, 1996).
Gambar 2. Contoh Alat BIA
2.9 Prinsip BIA
Metode ini berdasarkan kemampuan tubuh dari tubuh menghantarkan
listrik dan dengan BIA akan mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang
didasarkan pada asumsi bahwa jaringan tubuh adalah merupakan konduktor
silinder ionik dimana lemak bebas ekstrasellular dan intrasellular berfungsi
sebagai resistor dan kapasitor. Arus listrik dalam tubuh adalah jenis ionik dan
berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa dan asam, juga
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan konsentrasi, mobilitas, dan temperatur medium. Jaringan
terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik
yang baik, sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk.
Resistance (R) dari materi konduksi yang homogen dari daerah penampangnya
adalah sebanding dengan panjangnya (L) dan berbanding terbalik dengan luas
penampangnya (A), (Gambar 3) (Balbino & Silva, 2012) (Kyle dkk, 2004).
Prinsip BIA dari karakteristik fisik komposisi tubuh (Kyle dkk, 2004)
Tubuh memang bukan suatu silinder yang seragam dan konduktivitasnya tidak
seragam tetapi secara empiris hubungan ini dapat ditetapkan dengan hasil bagi
(Lenght2/R) dan volume air yang terdiri dari elektrolit sebagai penghantar listrik
dalam tubuh. Masalah yang lain tubuh memiliki dua tipe R yaitu Capasitative R
(reactance) dan Resistive R (biasa disebut Resistance). Resistance merupakan
tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan oleh cairan intrasel dan ekstrasel
sedangkan capacitance merupakan tahanan frekuensi arus listrik yang dihasilkan
oleh jaringan dan membran sel. Impedance adalah istilah dari kombinasi
Capasitanse dan Resistive (Gambar 4) (Kyle dkk, 2004), (Goswami dkk, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Gambar Pemasangan standar dari elektroda BIA di tangan dan kaki. (Kyle
dkk, 2004), (Goswami dkk, 2007)
2.10 Parameter BIA dalam penentuan komposisi tubuh Body Cell Mass
(BCM)
BCM didefinisikan sebagai massa intraselular dalam tubuh, yang terutama
berisi kalium tubuh (98-99%). BCM pada hakekatnya merupakan massa dari
seluruh elemen sel di dalam tubuh, oleh karena itu merupakan komponen aktif
dari metabolism tubuh. Pada individu normal, pada jaringan otot terdiri dari
sekitar 60% BCM, jaringan organ sekitar 20% BCM, dan sisanya 20% terdapat
pada sel darah merah dan jaringan seperti adiposit, tendon, tulang dan tulang
rawan. BCM merupakan kompartemen kaya protein yang dipengaruhi keadaan
katabolik dan kehilangan BCM berhubungan dengan prognosis yang buruk.
Free Fat mass (FFM)
FFM adalah semua yang bukan lemak tubuh yang merupakan kombinasi
dari Body Cell Mass (BCM) dan Extracellular Mass (ECM).
Fat Mass (FM)
Lemak adalah tempat penyimpanan energi di dalam tubuh. Fat Mass (FM)
sama dengan berat badan aktual dikurangi dengan Fat free Mass (FFM). Nilai
normalnya pengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.
Resting Metabolic Rate (RMR)
Energi merupakan kebutuhan pokok bagi proses biologik. Tanpa energi,
proses dasar biologik bagi kehidupan tidak terjadi. Metabolisme terjadi melalui 2
fase yang berbeda: 1). Katabolisme, badan memecah makanan dan menghasilkan
energi dan disimpannya dalam ikatan atomnya. 2). Anabolisme, di mana bagian
komponen dan energi itu digunakan untuk membangun jaringan yang baru dan
melakukan fungsi dasar hidup. RMR adalah jumlah energi dalam tubuh yang
Universitas Sumatera Utara
dibutuhkan setiap hari untuk melakukan fungsi dasar hidup
(Lukaski,1985),
(Kyle dkk, 2004).
Skema diagram 5 dari FFM, TBW, ICW, ECW dan BCM (Kyle dkk, 2004)
Tabel Nilai rerata kompartemen komposisi tubuh (Thibault dan Pichard,
2012)
Kompartemen Kompartemen
Tingkat
Persentase
Nilai
seluruh tubuh
kompertemen
dari TBW
absolute
spesifik
pada
70
kg
FFM
Protein Tubuh
Molecular
13
9
(termasuk
ICW
Selular
36
25
TBW)
ECW
Selular
24
17
Jaringan Tulang
Jaringan
7
5
ACM
Selular
49
34
TBW
Molecular
60
42
Total FFM
Seluruh tubuh
80
56
-
-
20
14
FM
ACM= active cell mass, ECW= extracellular water, ICW= intracellular
water, TBW= total body water.
2.11 Phase angle
Dari keseluruhan dampak yang diperlihatkan tubuh terhadap perubahan
arus ada dua yaitu Resistance dan Reactance (Xc). FFM di tubuh manusia
mewakili resistance dan BCM sebagai reactance. Phase angle
merupakan
Universitas Sumatera Utara
metode pengukuran secara linier hubungan antara resistance dan reactance pada
rangkaian seri atau parallel. Phase angle = sudut (reactance/resistance). Nilai
phase angle dari 0-90’, 0’ jika sirkuit hanya resistive (sistem tanpa membrane sel)
dan 90’ jika sirkuit hanya capacitive (semua membrane tanpa cairan). Phase angle
45’ menggambarkan jumlah reactance dan resistance sama, nilai yang lebih
rendah menandakan reactance yang rendah dan kematian sel atau kerusakan
permeabilitas membran sel.
2.12 Manfaat Prognosis dari BIA
BIA merupakan pemeriksaan yang sensitif, aman dan tidak mahal yang
dapat menentukan status nutrisi dan dengan BIA dapat ditentukan BCM yang
dapat memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan yang tersedia lainnya
yang kurang akurat seperti antropometri atau pendekatan kreatinin. BIA telah
divalidasi untuk penilaian dari komposisi tubuh dan status nutrisi pada berbagai
populasi termasuk pasien kanker (Setiawan, 2007), (Balbino dan Silva, 2012),
(Pirlich dkk, 2000).
2.13 BIA dan Malnutrisi
Malnutrisi ditandai dengan perubahan integritas membran sel dan
perubahan pada keseimbangan cairan, oleh karena itu pengukuran komposisi
tubuh merupakan komponen penting dari keseluruhan evaluasi nutrisi. BIA
mengukur komponen resistance dan capacitance tubuh yang mana akan
menggambarkan phase angle yang merefleksikan kontribusi dari cairan
(resistance) dan membran sel (capacitance) dari tubuh. Phase angle telah
ditemukan sebagai faktor prognosis pada beberapa keadaan klinis seperti infeksi
HIV, SH, PPOK, hemodialisis, sepsis dan kanker paru (Gupta dkk, 2004)
(Balbino dan Silva, 2012).
Phase angle merupakan indikator prognosis pada pasien dengan kanker
stadium lanjut seperti kolorekti lanjut. Pada pasien kanker paru non small sel
stage IIIB dan IV didapati phase angle BIA merupakan indikator prognosis
independen dan intervensi nutrisi memperbaiki phase angle bisa potensial
membawa perbaikan harapan hidup pasien (Silvana dkk, 2009),(Gupta dkk, 2009),
(Gupta dkk, 2004). BIA phase angle juga merupakan indikator potensial pada
kanker kolorekti tahap lanjut dan bahkan pada pada kanker pankreas tahap lanjut
Universitas Sumatera Utara
phase angle merupakan indikator prognosis yang kuat (Gupta,Lis, dkk, 2004),
(Gupta dkk, 2008).
Saat ini parameter-parameter BIA juga telah dipakai pada pasien PPOK dan
juga parameter phase angle distandarisasi sebagai faktor prognosis harapan hidup
pada pasien kanker. (Paiva dkk, 2011), (Walter-Kroker dkk, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Download