BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma Akibat Kerja Penyakit paru yang berhubungan dengan tempat kerja sebagian besar disebabkan oleh pengendapan debu dalam paru dan dipengaruhi pula oleh jenis debu, lamanya pajanan debu, konsentrasi dan banyaknya debu pada udara saluran napas.15 Asma adalah inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya sehingga menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk terutama malam atau dini hari. Berkembangnya asma merupakan interaksi faktor pejamu dan lingkungan. Faktor pejamu meliputi predisposisi genetik yaitu genetik asma, alergi (atopi), hiperreaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan meliputi alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan, diit, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.16 Pajanan di tempat kerja merupakan penyebab penting asma awitan baru dan eksaserbasi asma yang sudah ada. Work related asthma (WRA) adalah istilah yang lebih luas mewakili asma yang mengalami eksaserbasi atau terinduksi oleh inhalasi pajanan di tempat kerja. Istilah asma kerja mewakili asma awitan baru yang disebabkan oleh pajanan di tempat kerja.17 Work exacerbated asthma (WEA) adalah eksaserbasi asma yang dicetuskan atau diperberat oleh berbagai faktor yang berhubungan dengan pekerjaan seperti aeroalergen, iritan atau exercise pada pekerja yang sebelumnya sudah terdiagnosis asma dan prevalens WEA cukup 7 besar, sekitar 21.5%.18,19,20 Asma akibat kerja merupakan asma yang disebabkan oleh lingkungan kerja dan bukan oleh rangsangan di luar tempat kerja.21 Asma kerja (AK) adalah penyakit yang ditandai dengan inflamasi jalan napas, keterbatasan aliran udara bervariasi dan hiperresponsif jalan napas yang terjadi akibat keadaan dalam lingkungan tertentu. Berdasarkan ada tidaknya masa laten asma kerja dibagi menjadi asma kerja imunologis dan non imunologis :18,19 • Asma kerja imunologis Asma kerja jenis ini terjadi setelah periode laten dari suatu pajanan yang diperlukan untuk terjadinya sensitisasi imunologik yang didapat. Asma kerja ini diakibatkan sebagian besar oleh berat molekul tinggi ( ≥ 5000 daltons ) dan sebagian oleh senyawa dengan berat molekul rendah ( < 5000 daltons ) sehingga terjadi mekanisme imunologis yang diperantai oleh Ig E. Selain itu asma jenis ini juga diinduksi oleh senyawa di tempat kerja dengan berat molekul rendah seperti isosianat, western red cedar atau akrilat sehingga mekanisme imunologis yang diperantai Ig E tidak selalu terjadi. • Asma kerja non imunologis Asma kerja jenis ini ditandai oleh berkembangnya asma dalam beberapa jam setelah inhalasi iritan konsentrasi tinggi di tempat kerja tanpa melalui periode laten dan dikenal sebagai reactive airways dysfunction syndrome (RADS) atau irritant-induced asthma. 8 onset of exposure host markers and factors e.g. atopi, genetic markers (HLA,etc.), merokok, etc. sensitisasi konsentrasi, durasi pajanan dan nature of sensitizing agent: other interacting factors e.g. infeksi virus, pajanan polusi, merokok, dll asma kerja removal from exposure asma persisten ??? baseline bronchial responsiven ess??? durasi total pajanan, durasi pajanan setelah onset of symptoms, derajat keparahan asma pada saat diagnosis Gambar 1. Natural history of occupational asthma22 2.2 Patogenesis 2.2.1 Asma Kerja Imunologis atau Sensitizer Induced Patofisiologi asma kerja imunologis umumnya adalah IgE dependent dan kejadiannya tidak berbeda dengan asma alergi yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Sebagian besar senyawa dengan berat molekul tinggi (BMT) mencetuskan asma melalui produksi IgE spesifik sedangkan beberapa senyawa dengan berat molekul rendah (BMR) rangsangannya melalui pembentukan hapten dengan cara berikatan dengan protein tubuh untuk membentuk antigen fungsional. IgE spesifik yang terbentuk apabila berikatan dengan antigen (polutan) akan menyebabkan sel mast dan sel inflamasi lain mengeluarkan mediator seperti histamin, leukotrien C4, D4 dan E4 serta prostaglandin D2, neutrophil 9 chemotactic factor (NCF-A) dan sebagainya sehingga terjadi reaksi inflamasi. IgE yang tergantung aktivasi sel mast juga mengeluarkan sitokin/kemokin dan meningkatkan ekspresi bermacam molekul adhesi yang terlibat untuk memodulasi reaksi inflamasi lambat setelah pajanan alergen. Sel limfosit T mempunyai peran besar dalam orkestra inflamasi asma kerja dan dibantu oleh sel-sel efektor seperti eosinofil, sel mast, sel epitel dan neutrofil yang menghasilkan gambaran khas serangan asma ( kontraksi otot polos, hipersekresi mukus, inflamasi saluran napas dan jejas epitel ).17,21,23 Gambar 2. Patogenesis asma kerja21 10 2.2.2 Asma Kerja Nonimunologis atau Irritant Induced Mekanisme yang terjadi pada RADS adalah kerusakan mukosa atau inflamasi setelah pajanan akut dengan bahan kimia toksik. Tidak terjadi sensitisasi setelah pajanan ini tetapi setelah itu penderita mengalami hiperreaktivitas jalan napas dengan gejala batuk dan mengi berulang yang timbul setelah rangsang non spesifik dengan asap rokok, udara dingin dan bau yang menyengat. Patogenesis RADS melalui perlukaan jalan napas akibat pajanan bahan iritan diikuti aktivasi jalur nonadrenergik dan nonkolinergik melalui refleks akson dan awitan inflamasi neurogenik. Terjadi juga aktivasi makrofag nonspesifik, degranulasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi.17 2.3 Debu Tepung Roti Alergen tepung terigu/roti menyebabkan gangguan pernapasan yang dialami oleh 60-70% pekerja pembuat roti. Studi epidemiologi tahun 1967-1998 yang dirangkum Houba dkk menyatakan bahwa prevalens sensitisasi terhadap tepung terigu sekitar 5-28%. Kejadian sensitisasi terhadap tepung dalam setahun diperkirakan antara 2,2-4,2%.4 Gandum dilaporkan sebagai penyebab alergi yang sangat umum. Meskipun mengandung karbohidrat lebih tinggi dari protein, tetapi protein dengan berat molekul komponen antara 10-40 kiloDaltons, dapat menyebabkan reaksi alergi. Tepung gandum kering mengandung protein kurang dari 12% yang terbagi menjadi golongan gliadins, glutenins, albumins dan globulins.24 Debu tepung dikategorikan sebagai alergen dengan berat molekul tinggi (BMT) yang bekerja melalui mekanisme IgE. Lama sensitisasi dan timbul asma kerja lebih lama dibandingkan sensitisasi alergen binatang dan bahan 11 lainnya, sekitar 7,2 tahun dan pada penelitian lain setelah 20 tahun sejak pajanan pertama.25 Sebagian besar baker’s asthma alergi terhadap tepung wheat dan rye. Bahan-bahan yang berpotensi alergi selain tepung gandum adalah fungal αamylase, enzim, tepung kedelai, tepung malt, gluten dan biji wijen.4 Kemungkinan dapat terjadi reaksi silang dengan antigen dari berbagai padi-padian seperti cereals, barley, soya, oats, corn, beras dan antigen grass pollen.25 Tepung gandum dan aditifnya, mengandung banyak alergen potensial, termasuk tungau, kumbang dan jamur yang sering ditemukan pada tepung yang terkontaminasi. Quirce dkk tahun 2013 mengungkapkan bahwa gandum mengandung 10-15% protein, sedangkan kadar albumin dan globulin hanya 15-20% dari total protein.4 Beberapa alergen penyebab baker’s asthma adalah tepung sereal dan non sereal, enzim-enzim seperti alfa amilase, selulase, protease, xilanase papain, glucose oxidase, jamur golongan aspergilus, putih telur, kacang almond, bubuk coklat, bubuk susu, biji wijen, serangga yang ditemukan pada tepung seperti tungau.4 Kadar pajanan debu tepung juga dapat mempengaruhi timbulnya kejadian asma kerja. Pengukuran konsentrasi debu tepung roti yang terhirup menggunakan personal atau area dust sampler. Konsentrasinya bervariasi dan sebagian diatas 30 mg/m3. Penelitian Houba dkk menyatakan bahwa konsentrasi debu sebesar 12.5 mg/m3 berhubungan dengan peningkatan risiko sensitisasi terhadap alergen tepung. Heederik dan Houba mengemukakan hubungan respons-dosis antara kadar alergen debu tepung kumulatif dengan sensitisasi dan asma. Konsentrasi antigen debu tepung dengan debu total yaitu 1 mg debu tepung roti sama dengan 2.4-6 mikrogram alergen debu tepung.22 Konsentrasi debu tepung pekerja bagian pembuatan adonan roti yang terpajan selama 8 jam sekitar 2-9 mg / m3, bagian 12 pemanggangan 0,6-3,2 mg / m3 dan bagian pengemasan 1 mg / m3. Nieuwenhuijsen dkk melaporkan kadar debu tepung di bagian pembuatan adonan, dispensing, pemanggangan berkisar 6.1 mg / m3, 3,8 mg / m3, dan 1,4 mg / m3 . Burdorf menyatakan kadar debu tepung pada pembuatan adonan (5,5 mg / m3), mencetak roti (2,7 mg / m3), pemanggangan (1,2 mg / m3), pengemasan (0,5 mg / m3).4 Kadar debu tepung sangat bervariasi, tergantung jenis pekerjaan, ukuran toko roti, dan jenis produk yang diproduksi oleh pabrik roti.4 Nilai ambang batas menurut American Conference of Industrial Hygienists (ACGIH) untuk debu yang terhirup adalah 0.5 mg/m3. The Dutch Expert Committee on Occupational Standard (DECOS) menyatakan pajanan debu tepung kumulatif yang terhirup adalah 11.97 mg/tahun/m3.22 Penelitian Geyssant mengatakan kadar debu tepung pada musim dingin di pabrik pembuat roti sebesar 1.10 mg/m3 (standard deviasi 0,83) sedangkan pada musim panas sebesar 0,63.26 Pajanan melalui inhalasi akan berkaitan dengan Immunoglobulin E (IgE) spesifik pada sel mast, basofil, makrofag, eosinofil dan trombosit. Reaksi spesifik alergen dan IgE menyebabkan teraktifasinya sel-sel inflamasi. Inflamasi yang terjadi dapat menyebabkan gejala klinik seperti dada terasa berat, demam, sakit kepala, nyeri otot sendi, mual dan pada pemeriksaan faal paru terjadi penurunan VEP1.27 Enzim yang berperan sebagai alergen debu tepung adalah fungal alpha amylase yang merupakan turunan dari Aspergillus oryzae. Sekitar 20% pembuat roti tersensitisasi dengan enzim tersebut. Penelitian Houba dkk pada 178 pembuat roti di Belanda mengungkapkan hubungan respons dosis dengan peningkatan frekuensi sensitisasi pada ≥ 0.25 ng/m3.22 Walusiak dkk mengungkapkan 13 peningkatan insiden alergi alpha amylase pada pembuat roti yang terpajan debu tepung selama 2 tahun dibandingkan yang terpajan selama 1 tahun.28 Insidens sensitisasi terhadap fungal α-amylase diperkirakan sekitar 25 kasus per 1000 orang (2,5%). Baur dkk melaporkan gangguan pernapasan pada pembuat roti (2455%) akibat alergen fungal a-amylase.4 Penelitian Green mengatakan bahwa enzim xylanase dan cellulase juga dapat menyebabkan baker’s asthma.29 Vanhanen dkk mengungkapkan 8% pekerja pembuat roti, 5% pekerja produksi tepung dan 3% pekerja pabrik biskuit kering tersensitisasi enzim selulosa dan xilanase.4 Brant dan Weichel mengidentifikasi enzim roti thioredoxin hb (Tri a25) yang potensial menyebabkan baker’s asthma.30 Palacin dkk melaporkan enzim roti thioredoxin Tri 14 sebagai alergen penting penyebab asma kerja. Salcedo dkk mengidentifikasi beberapa garam larut albumin dan globulin seperti inhibitor tripsin, peroksidase, thioredoksin, serin proteinase inhibitor, gliadin dan glutenin sebagai alergen yang berhubungan dengan baker’s asthma. Tee mengidentifikasi tungau yang ditemukan pada tepung terigu berperan terhadap terjadinya baker’s asthma. Prevalens baker’s asthma akibat sensitisasi terhadap tungau (Acarus siro, Glycyphagus domesticus, Lepidoglyphys destruktor, Tyrophagus longior, dan Tyrophagus putrescentiae) berkisar antara 11% dan 33%.4 2.4 Faktor Pejamu yang berhubungan dengan Asma Kerja Atopi merupakan faktor risiko yang berarti untuk terjadinya asma, dengan perkiraan 85% anak menjadi asma dan 40 – 50% orang dewasa timbul asma setelah terpajan alergen. Pada penderita yang berasal dari asma non atopi, eosinofil pada inflamasi saluran napas menyerupai proses imunologi atopi. Seorang dengan atopi akan mempunyai kecenderungan untuk memproduksi total 14 IgE dalam serum berlebih ( biasanya lebih besar dari 70 ku/l) yang berhubungan dengan eosinofilia ( ≥ 4%) dan regulasi imun sub tipe T helper 2 (Th2). Pemeriksaan eosinofil dari darah perifer pada darah manusia berkisar 1 – 3% dari hitung jenis sel. Gejala atopi yang timbul adalah dermatitis atopi, rinitis alergi, konjungtivitis alergi dan asma. Anamnesis sangat penting dalam mendiagnosis alergi dan tes alergi hanya untuk mengkonfirmasi alergen yang dicurigai.17,31 Sekitar 20-35% dari populasi yang memiliki riwayat atopi akan mengalami asma kerja bila terpajan alergen di lingkungan kerja.4 Status gizi juga dapat mempengaruhi terjadinya asma kerja. Prevalens obesitas atau kelebihan berat badan yang menderita asma meningkat sebesar 36% dibandingkan dengan berat badan normal. Orang yang mempunyai status gizi kurang akan lebih sering menjalani perawatan yang lebih lama bila menderita asma. Risiko terkena asma kerja meningkat sesuai dengan intensitas pajanan dan body mass index (BMI) serta sering ditemukan pada perempuan.32 Predisposisi genetik dapat mempengaruhi terjadinya asma kerja. Asma kerja akibat bahan alergen dengan BMT dan BMR mempunyai hubungan dengan molekul Human leucocyte antigen (HLA) kelas 2 yang terlibat pada presentasi antigen dengan limfosit T. Alel spesifik seperti HLA DR, HLA DQ dan HLA DP berperan dalam proteksi terhadap AK.22.31 Cho dkk menemukan bahwa toll like receptor 4 (TLR4) polimorfisme gen berhubungan dengan sensitisasi alergi tepung terigu. Hur dkk melaporkan bahwa polimorfisme genetik ß2-adrenergik (ADRB2) berperan terhadap kejadian asma kerja. Pengaruh usia dan kebiasaan merokok terhadap kejadian asma kerja masih belum jelas, sebagian penelitian menunjukkan bahwa usia dan kebiasaan merokok tidak berhubungan dengan 15 baker’s asthma. Jenis kelamin belum terbukti berhubungan dengan baker’s asthma. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berbeda karena jenis pekerjaan tertentu biasanya dikerjakan oleh jenis kelamin tertentu juga.4 Houba dkk yang menyatakan tidak ada perbedaan usia dengan kejadian asma kerja. Hanya atopi dan kadar debu tepung yang dilaporkan berhubungan dengan asma kerja. Sedangkan usia, jenis kelamin dan kebiasaan merokok tampaknya tidak berhubungan dengan reaksi sensitivitas dan kejadian asma kerja. Secara teori dikatakan bahwa risiko terjadinya asma akan menurun dengan pertambahan umur. Penelitian yang dilakukan Jarvis dkk mengungkapkan bahwa asma sering terjadi pada subjek dewasa muda, perempuan, perokok dan memiliki riwayat rhinosinusitis. Rask Andersen dkk meneliti pada petani dan mengatakan risiko asma akan meningkat dengan bertambahnya umur (2-9%), hal ini mungkin disebabkan akibat pajanan debu alergen seperti bakteri, jamur, endotoksin, amoniak yang ditemukan di lingkungan kerja. Toren dkk menyatakan bahwa insidens asma lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki dan bertambah dengan peningkatan usia yang mungkin disebabkan karena pajanan alergen ditempat kerja. Faktor lain yang dapat mempengaruhi perbedaan jenis kelamin pada kejadian asma kerja adalah ukuran saluran napas, faktor hormonal, jenis pekerjaan dan pajanan alergen di tempat kerja. Vandenplas, Dumas dan Houba menyatakan bahwa usia, jenis kelamin dan kebiasaan merokok tidak berhubungan dengan asma kerja, beberapa jenis pekerjaan tertentu biasanya dikerjakan oleh jenis kelamin tertentu, sehingga prevalens asma kerja yang ditemukan juga bervarisi.4 16 2.5. Rinitis dan Asma Kerja Penelitian asma kerja di Swedia menemukan kasus rinitis sebesar 29,4/1000. Beberapa penelitian epidemiologi melaporkan bahwa rinitis merupakan faktor risiko terjadinya asma kerja (11,5%). Selain itu prevalens hiperreaktivitas bronkus hiperresponsif telah dilaporkan berkisar antara 25-40%. Baatjies dkk mengungkapkan bahwa sensitisasi alergen tepung gandum menyebabkan peradangan saluran napas dan dapat dideteksi dengan pengukuran nitric oxide.4 2.6. Diagnosis Diagnosis asma kerja tergantung pada obstruksi saluran napas reversibel yang muncul bersamaan dengan inhalasi zat-zat spesifik yang dikenali sebagai penyebab eksaserbasi asma. Oleh karena itu pemeriksa sebaiknya mengenal awal fokus diagnosis asma dan menentukan penyebab jika terdapat penyebab yang berasal dari pekerjaan. Hasil spirometri menunjukkan obstruksi saluran napas reversibel yang akan membaik dengan pemberian bronkodilator. Rasio VEP1/KVP menunjukkan kurang dari 75%, merupakan diagnostik obstruksi saluran napas. Riwayat kerja sering membantu dalam mengenal penyebab asma kerja. Asma kerja yang disebabkan oleh pajanan zat ditempat kerja, gejalanya akan memberat selama masa kerja dan berkurang pada akhir minggu dan liburan. Tes fisiologi dengan spirometri, pengukuran arus puncak ekspirasi atau uji provokasi bronkus akan membantu dalam evaluasi hubungan temporal antara pajanan kerja dan perkembangan obstruksi saluran napas. Sebagai contoh, penurunan konsisten 17 pada VEP1 atau arus puncak kurang dari 15% bila terpajan agen spesifik di tempat kerja akan membantu dalam menegakkan diagnosis asma kerja.33,34 Diagnosis asma kerja ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, uji fungsi paru, uji provokasi bronkus dan uji pajanan dengan alergen spesifik. a. Anamnesis Penderita yang mengalami asma pertama kali atau mengalami perburukan gejala asma saat bekerja, sebaiknya dievaluasi kemungkinan asma yang berhubungan dengan pekerjaan (Work related asthma/WRA). Gejala klinis dapat diawali dengan rinitis dan konjungtivitis. Gejala klinis dapat membaik pada hari libur kerja dan memburuk pada saat bekerja dan terpajan bahan alergen. Beberapa pertanyaan yang harus ditanyakan adalah :19 1. Adakah perubahan pada proses pekerjaan pada suatu periode yang mengalami awitan gejala klinis? 2. Adakah pajanan kerja yang tidak biasa pada 24 jam sebelum awitan gejala asma awal? 3. Apakah gejala asma berbeda pada saat akhir pekan atau liburan ? 4. Adakah gejala rinitis dan konjungtivitis yang memburuk pada saat bekerja? Pertanyaan pertama menunjukkan terdapat bahan baru yang sebelumnya tidak pernah terpajan pada penderita atau meningkatnya derajat pajanan terhadap bahan yang sudah terpajan sebelumnya. Sensitizer meningkatkan risiko sensitisasi dan AK terutama dalam 1 tahun pertama setelah pajanan. Pertanyaan kedua meningkatkan kecurigaan akan asma yang dinduksi iritan. Gejala yang timbul cukup berat dan menimbulkan penanganan segera. Asma yang diinduksi iritan 18 dikenal dengan RADS akibat pajanan tunggal dan masif gas, uap atau gas yang menimbulkan gejala asma awitan cepat atau 24 jam setelah pajanan. Pertanyaan ketiga tidak spesifik untuk WRA tetapi sensitif untuk menegakkan diagnosis asma kerja dan WEA. Pertanyaan terakhir meningkatkan kemungkinan terjadinya asma kerja sensitizer induced. b. Pemeriksaan fisis Pemeriksaan fisis penderita asma umumnya normal kecuali dalam keadaan serangan. Pemeriksaan fisis difokuskan pada saluran napas atas dan bawah, termasuk melihat membran mukosa nasal dan orofaring, palpasi sinus dan inspeksi polip nasal. Pemeriksaan jantung juga dilakukan disamping toraks untuk menyingkirkan kemungkinan jantung sebagai penyebab. Inspeksi kulit dilakukan untuk melihat ada tidaknya dermatitis eksimatosa.17 c. Pemeriksaan Objektif Diagnosis asma kerja berdasarkan anamnesis atau kuesioner saja mempunyai sensitivitas yang tinggi antara 87—92%, tetapi spesifisitasnya rendah yaitu 14-32%, karena itu diperlukan pemeriksaan obyektif lain.21 1. Pemeriksaan spirometri Pemeriksaan spirometri digunakan untuk mengukur secara objektif gangguan respirasi. Kapasitas vital paksa (KVP), volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan perbandingan VEP1/KVP merupakan nilai yang penting dalam penilaian gangguan fungsi paru. Spirometri dapat digunakan untuk membedakan kelainan paru obstruktif atau restriktif serta menilai derajat beratnya gangguan fungsi paru. Hasil VEP1 dan KVP pasien kemudian dibandingkan dengan nilai prediksi. Hasil pengukuran ini sebaiknya selalu dibandingkan dengan hasil uji 19 sebelumnya terutama uji saat sebelum pasien mendapat pajanan. Pemeriksaan spirometri sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi gejala, tanda atau hasil laboratorium yang abnormal, mengukur efek penyakit terhadap fungsi paru, menyaring subjek dengan risiko penyakit paru, toleransi operasi, menilai prognosis, menilai status kesehatan sebelum masuk program dengan aktivitas fisik yang berat. Subjek harus mengerti dan kooperatif melaksanakan instruksi operator untuk mendapatkan hasil yang optimal.35 Reversibilitas adalah peningkatan nilai VEP1≥ 12% dan 200 ml setelah pemberian bronkodilator.36 Pengukuran fungsi paru pada pembuat roti tradisional di Yunani yang diteliti oleh Patouchas dkk mengungkapkan peningkatan obstruksi jalan napas pada pembuat roti dibandingkan dengan penjual roti. Hasil tersebut juga dipengaruhi oleh status merokok dan pajanan debu tepung.37 Untuk mendapatkan hasil spirometri yang akurat, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan yaitu : a. Alat harus dikalibrasi sebelum dipakai untuk pemeriksaan spirometri b. Persiapan subjek adalah tidak merokok pada hari pemeriksaan, tidak makan terlalu kenyang, berpakaian longgar, mengerti prosedur yang akan dilakukan, sebaiknya berdiri tegak saat pemeriksaan. c. Penilaian adalah maksimal 8 kali manuver, minimal terdapat 3 spirogram yang memenuhi syarat dan 2 nilai KVP tidak berbeda lebih dari 5% atau < 100 ml. Prosedur tindakan adalah dengan : 20 - Mengisi identitas subjek, usia, dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan kemudian menentukan besar nilai prediksi berdasarkan nilai standar fungsi paru Pneumobile Project Indonesia - Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam posisi berdiri Kapasitas vital paksa (KVP) - Subjek menghirup udara semaksimal mungkin dengan cepat kemudian udara segera dikeluarkan sebanyak-banyaknya. Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak ada kebocoran. Pemeriksaan dilakukan paling banyak 8 kali dan didapatkan paling sedikit 3 nilai yang reproducible dan acceptable - Nilai yang dapat diterima adalah yang memenuhi 3 kriteria berikut yaitu : 1. Pemeriksaan dilakukan sampai selesai 2. Waktu ekspirasi minimal 6 detik 3. Awal uji dilakukan harus cukup baik, ekspirasi paksa tidak ragu-ragu dan cepat mencapai puncak yang tajam. - Uji dapat dikatakan reproducible jika perbedaan antara 2 nilai terbesar dari ketiga perasat yang dapat diterima adalah ≤ 5% atau ≤ 100 ml. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) Adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa pada detik pertama. VEP1 dapat diukur dengan perasat yang sama dengan pengukuran KVP dan biasanya kedua pengukuran tersebut dilakukan sekaligus. 21 Kapasitas vital (KV) Adalah jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal, setelah inspirasi maksimal. Pasien menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian udara dikeluarkan sebanyak mungkin melalui mouth piece (tanpa perasat paksa). Interpretasi : - Normal, jika KVP > 80% nilai prediksi untuk semua usia dan VEP1 1. 80% nilai prediksi untuk usia < 40 tahun 2. 75% nilai prediksi untuk usia 40-60 tahun 3. 70% nilai prediksi untuk usia > 60 tahun - Restriksi, jika KVP < 80% dibandingkan nilai prediksi. Restriksi ringan : 60-79%, sedang : 30-59%, berat : <30%. - Obstruksi ringan : 60-74%, sedang : 30-59%, berat : < 30%. 2. Pengukuran arus puncak ekspirasi (APE) serial dan uji provokasi bronkus Pengukuran APE serial merupakan pemeriksaan sederhana, tidak mahal dan dapat dilakukan sendiri oleh penderita. Penderita disarankan melakukan pemeriksaan ini 4 kali sehari minimal selama 4 minggu (2 minggu di tempat kerja dan 2 minggu di luar tempat kerja) disertai dengan melengkapi buku catatan harian tentang gejala dan pengobatan yang diberikan selama berada ditempat kerja dan diluar tempat kerja (akhir pekan atau liburan). Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini berturut-turut adalah 73% dan 100% bila penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan. Kekurangan yang sering dijumpai adalah kepatuhan penderita yang rendah untuk mencatat hasil pemeriksaan APE, gejala dan pengobatan yang dipakai. Hasil positif pengukuran APE serial terjadi penurunan APE pada saat bekerja.19,21,33,38 Penelitian Moore mengatakan bahwa 22 pengukuran arus puncak ekspirasi serial selama lebih dari 4 hari libur kerja menunjukkan sensitivitas sebesar 73-80% dan sekitar 7 dari 100 orang pekerja didiagnosis menderita asma kerja.39 Penilaian reversibilitas dengan mengukur arus puncak ekspirasi yang meningkat > 60 l/menit atau > 20% setelah pemberian bronkodilator beta agonis kerja singkat mengindikasikan kemungkinan diagnosis asma. Penilaian variabilitas harian dengan meminta subyek mengukur APE pagi dan malam (untuk mendapatkan nilai terendah dan tertinggi) setiap harinya selama waktu 1-2 minggu, kemudian dihitung variasi diurnal setiap harinya (pagi dan malam) serta rata-rata selama kurun waktu tersebut. Nilai variasi diurnal APE > 20% mengindikasikan terdapat variabilitas lebih dari normal dan kemungkinan diagnosis asma. Variabilitas harian = APE malam – APE pagi ----------------------------------- x 100% ½ (APE malam + APE pagi)40 Penelitian yang dilakukan Kubota dkk menyatakan bahwa APE terendah terdeteksi sekitar pukul 04.30 dan tertinggi sekitar 16.30 pada pasien asma derajat ringan dan sedang terutama selama observasi dan pengobatan, sehingga disarankan mengukur APE pada waktu tersebut.41 Goyal dkk mengungkapkan bahwa variabilitas APE pada individu normal mengikuti pola sirkadian pernapasan. APE akan cenderung meningkat mulai pukul 05.00 dan mencapai puncaknya pada pukul 17.00 dan APE akan cenderung menurun secara progresif setelah jam 17.00 sampai jam 05.00 kesesokan harinya.42 Perbedaan antara hasil APE dengan gejala yang muncul pada saat bekerja dan di luar lingkungan kerja kadang masih sulit untuk membedakan antara WEA dengan asma kerja karenanya 23 perlu ditambah dengan uji provokasi bronkus menggunakan metakolin yang dilakukan pada akhir minggu dan liburan. Uji provokasi bronkus yang menunjukkan penurunan reaktivitas terhadap metakolin 3 kali atau lebih (peningkatan PC20) pada saat penderita di luar lingkungan kerja mendukung diagnosis asma kerja. Uji provokasi bronkus dengan bahan dari tempat kerja yang dicurigai sebagai penyebab hanya dilakukan di pusat layanan kesehatan tertentu dan tidak rutin dilakukan dan hanya 50% penderita dengan asma kerja yang menunjukkan hasil positif dengan uji ini. Uji provokasi dengan bahan spesifik ini hanya dilakukan bila dicurigai terdapat bahan baru penyebab asma kerja, pemeriksaan standar dengan APE dan uji provokasi bronkus dengan metakolin masih belum dapat menegakkan diagnosis dan bila diperlukan akurasi yang sangat tinggi untuk menegakkan diagnosis.17,21,33 Gambar 3. Catatan harian nilai APE maksimal, rata-rata dan minimal22 24 3. Uji Imunologis dan hitung sel sputum yang diinduksi Skin prick test (SPT) dan penilaian antibodi IgE spesifik serum pada asma kerja berguna untuk mendeteksi respons IgE spesifik terhadap alergen dengan BMT. Pemeriksaan SPT atau melihat antibodi IgE serum terhadap beberapa aeroalergen yang banyak dijumpai penting untuk mengetahui status atopi penderita. Atopi meningkatkan risiko berkembangnya asma kerja akibat pajanan bahan dengan BMT. Uji serologi dan SPT sangat sensitif untuk mendeteksi IgE spesifik dan asma kerja yang disebabkan bahan dengan BMT tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis asma kerja. IgE spesifik terhadap bahan dengan BMR secara teknis masih sulit diukur dan diinterpretasikan sehingga diagnosis asma kerja jenis ini tidak tergantung pada ditemukannya IgE. Hasil SPT dibaca setelah 10-15 menit dan positif bila indurasi ≥ 3mm.13,14,17,21,33,34 Pemeriksaan hitung sel pada sputum yang diiinduksi menambah sensitivitas dan spesifisitas APE serial dan uji provokasi bronkus dengan metakolin atau antigen spesifik. Kadar eosinofil pada sputum penderita dengan asma kerja pada saat di tempat kerja lebih tinggi daripada pada saat di luar tempat kerja.13,34 2.6.1. Kriteria Diagnostik Pada tahun 1995 American College of Chest Physicians (ACCP) mengeluarkan kriteria diagnostik sebagai berikut :17 1. Riwayat yang sesuai dengan asma kerja 2. Terdapat keterbatasan aliran udara dengan reversibilitasnya 3. Pada keadaan tidak terdapat keterbatasan aliran udara, terdapat hiperresponsif saluran napas nonspesifik. 25 4. Uji obyektif menunjukkan asma yang berhubungan dengan pekerjaan. Canadian Thoracic Society juga mempunyai kriteria yang sama ditambah dengan menunjukkan diagnosis asma dengan uji fungsi paru dan menilai hubungan antara asma dengan pekerjaan. Kriteria diagnostik untuk kepentingan surveilans dikeluarkan oleh Sentinel Event Notification System for Occupational Risks (SENSOR) sebagai berikut :18 A. Diagnosis asma oleh dokter spesialis paru. B. Terdapat hubungan antara gejala asma dan pekerjaan. C. Terdapat 1 atau lebih dari kriteria berikut: 1. Meningkatnya gejala asma atau penggunaan obat untuk asma pada seseorang dengan asma sebelumnya dalam 2 tahun setelah memasuki pekerjaan tertentu (WEA). 2. Gejala asma baru yang berkembang dalam 24 jam setelah pajanan derajat tinggi satu kali terhadap iritan gas, asap, rokok atau uap menetap sekurang-kurangnya 3 bulan (RADS). 3. Pajanan bahan atau proses di tempat kerja yang sebelumnya dihubungkan dengan asma kerja. 4. Perubahan nilai APE atau VEP1 serial akibat pekerjaan. 5. Perubahan responsivisitas bronkus pada tempat kerja setelah diperiksa dengan uji provokasi inhalasi nonspesifik. 6. Respon positif setelah uji provokasi dengan inhalasi bahan di tempat kerja Kriteria diagnostik untuk kepentingan surveilans dan klinik yang dikeluarkan ACCP adalah sebagai berikut :18 A. Diagnosis asma 26 B. Awitan asma terjadi setelah pajanan di tempat kerja. C. Terdapat hubungan antara gejala asma dan kerja. D. Satu atau lebih kriteria berikut : 1. Pajanan terhadap bahan atau proses di tempat kerja yang berisiko terjadinya asma kerja. 2. Perubahan VEP1 atau APE yang signifikan setelah memasuki tempat kerja. 3. Perubahan hiperresponsif saluran napas nonspesifik setelah memasuki tempat kerja. 4. Respons yang positif terhadap uji provokasi spesifik dengan bahan di tempat kerja. 5. Awitan asma mempunyai hubungan yang jelas dengan bahan iritan di tempat kerja. Asma kerja : A. Definisi kasus surveilans A+B+C+D1 atau D2 atau D3 atau D4 atau D5 B. Definisi kasus medis : A+B+C+D2 atau D3 atau D4 atau D5 Kemungkinan asma kerja : A+B+C+D1. WEA : A+C 2.7. Penatalaksanaan Penatalaksanaan asma kerja yang diinduksi sensitizer adalah memindahkan pekerja supaya tidak terpajan lagi dengan sensitizer karena pajanan dengan kadar rendah dapat mencetuskan serangan asma dari ringan sampai mengancam jiwa. Pencegahan terhadap pajanan dapat dilakukan dengan menghilangkan bahan penyebab dari tempat kerja atau penderita yang harus menghindari tempat kerja. 27 Hal ini seringkali sulit dilakukan karena pekerjaan lain tidak tersedia. Penderita umumnya akan tetap bekerja di tempat semula apalagi bila gejala asmanya ringan dan dapat diatasi dengan bronkodilator. Pilihan penatalaksanaan lainnya adalah modifikasi pajanan, follow up, kompensasi, pengobatan dengan steroid atau bronkodilator, imunoterapi dan financial consequences pada pekerja.19 Penatalaksanaan asma kerja yang diinduksi iritan dan WEA adalah menghilangkan pajanan derajat tinggi atau menggunakan alat pelindung diri dan penderita masih dapat bekerja di tempat semula, berbeda dengan asma kerja yang diinduksi sensitizer yang harus meninggalkan pekerjaannya. Bila hal tersebut diatas tidak dapat menolong, penderita harus dijauhkan dari sumber pajanan ke tempat tanpa pajanan atau pajanan derajat rendah. Terapi farmakologis tidak berbeda dengan asma pada umumnya.17,19 2.8. Pencegahan Pencegahan merupakan langkah dasar untuk menurunkan insidens, morbiditas dan kecacatan dari WRA. Pencegahan melibatkan ahli kesehatan kerja, ahli higiene industri, insinyur, ahli kimia dan alergi disertai dengan kerjasama dengan pekerja, manajemen dan dokter. Pencegahan WRA meliputi pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer yang bertujuan mencegah asma kerja dilakukan dengan cara pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja untuk menyaring pekerja yang mempunyai risiko tinggi terhadap WRA yaitu atopi dan perokok. Usaha lainnya adalah menurunkan atau menghilangkan bahan yang dapat membuat sensitisasi yang dilakukan dengan substitusi, isolasi, pembatasan proses produksi, perubahan proses produksi, ventilasi yang baik serta pemakaian alat perlindungan diri.14,17,19 Penelitian Renstrom dkk menunjukkan bahwa 28 pajanan debu tepung roti akan berkurang sekitar 93-96% bila menggunakan P2 particle filter facemask dan menyimpulkan bahwa jenis masker ini dapat membantu untuk mencegah baker’s asthma. Peneliti lain berpendapat bahwa otomatisasi bagian dari proses pembuatan roti adalah pilihan jangka panjang yang dapat mengurangi pajanan alergen. Nilai ambang debu yang terhirup 10 mg / m3 TWA, namun potensi sensitisasi debu tepung yang tinggi menyebabkan sulit menentukan kadar debu tepung maksimal yang bisa menyebabkan kejadian asma kerja.4 Pencegahan sekunder dilakukan dengan cara deteksi dini penyakit ini dan menghindari pajanan secara dini. Hal ini dilakukan dengan cara pemeriksaan berkala pada penderita yang terpajan dengan bahan yang dapat mencetuskan asma kerja. Pencegahan tersier bertujuan mencegah kerusakan permanen dengan cara pemberian pengobatan yang optimal dan menghindarkan penderita dari pajanan lebih lanjut.14,17,19 Metode skrining dan surveilans yang banyak dilakukan adalah kuesioner, tes imunologi dan spirometri. Penggunaan tes kulit terhadap alergen spesifik terbukti memiliki nilai prediksi yang tinggi pada individu yang mengalami baker’s asthma. Suarthana dkk mengungkapkan suatu pengembangan model diagnostik untuk memprediksi kemungkinan sensitisasi alergen pada penyebab baker’s asthma.4 2.9. Pabrik Roti PT X Pabrik roti PT X berdiri sejak tanggal 14 April 2007 merupakan perusahaan keluarga. Pabrik roti pertama didirikan di sebuah rumah kontrakan dan hanya memiliki 3 karyawan. Seiring dengan perkembangannya, pabrik roti ini terdiri dari 20 cabang dengan pembagian 12 pabrik roti yang mencakup toko roti dan 8 cabang toko roti serta 1 gudang tempat penyimpanan bahan untuk pembuatan roti. 29 Sejak awal berdiri pabrik roti ini sudah menggunakan mesin pembuatan roti yang modern. Pabrik roti PT X mempunyai 2 divisi yaitu divisi produksi (gudang dan pembuatan roti) dan divisi penjualan (pemasaran dan administrasi). Jumlah total karyawan perusahaan roti ini adalah 380 orang dengan sistem jam kerja yang berbeda. Rata-rata karyawan yang bekerja di pabrik roti ini telah bekerja selama lebih dari 1 tahun dan jumlah jam kerja selama 8-9 jam dalam sehari. Divisi produksi bekerja dari jam 06.00 pagi-17.00 sore. Divisi gudang bekerja dengan sistem shift (07.00 pagi-17.00 sore dan 12.00 siang-22.00 malam). Divisi penjualan bekerja dengan sistem shift (07.00 pagi-16.00 sore dan 13.30 siang22.30 malam). Waktu istirahat yang diberikan selama bekerja adalah 1 jam. Alat pelindung diri yang disediakan berupa masker tapi sangat jarang digunakan oleh karyawan. Selain itu karyawan juga mendapat jatah hari libur rata-rata 3-4 hari dalam sebulan sesuai kesepakatan bersama. 30 2.10. Kerangka Teori Kadar Debu Tepung (BMT) Jenis pekerjaan APD Antigen Presenting Cell Sel T + CD4 Riwayat atopi Sitokin Th2 IL- 4 TNFα IL-13 IL-5 Sel B IgE Sub epitelial fibrosis Sel Mast Eosinofil Makrofag Proses inflamasi Kronik Remodeling Status gizi kurang/lebih Akut Merokok Hiperresponsif dan obstruksi saluran napas usia Faal paru 31 2.11. Kerangka Konsep Faktor Lingkungan - Jenis pekerjaan - Ketersediaan APD Faktor Agen - Kadar debu tepung Faktor Penjamu - Usia - Riwayat atopi - Status gizi - Kebiasaaan merokok - Kebiasaan memakai APD Asma • Anamnesis dan pemeriksaan fisis • Faal Paru - Spirometri (VEP1) - APE 2.12. Hipotesis Penelitian 1. Ditemukan asma kerja pada pekerja pabrik roti. 2. Terdapat hubungan faktor-faktor seperti kadar debu tepung roti, usia, status gizi, riwayat atopi, jenis pekerjaan, kebiasaan merokok dan kebiasaan menggunakan APD masker terhadap asma kerja. 32