Geometri Bintang Berotasi Pada Keadaan Ambang Iwan Setiawan dan Muhammad Farchani Rosyid Kelompok Riset Kosmologi, Astrofisika, dan Fisika Matematika Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta e-mail: [email protected] Diterima 22 Februari 2010, diterima untuk dipublikasikan 1 April 2010 Abstrak Konfigurasi kesetimbangan mekanis bintang-bintang berotasi ditelaah melalui model Roche. Pada kajian ini rotasi bintang diperlakukan sebagai rotasi benda tegar, sedangkan geometrinya ditentukan berdasarkan persamaan equipotensial. Kedaan kritis suatu bintang ditentukan berdasarkan ketiadaan gaya gravitasi total yang mengimbangi tekanan termodinamis. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan, percepatan gravitasi efektifnya lenyap atau batas Edington-nya terlampui. Telah ditentukan penampang membujur bintang-bintang berotasi dari berbagai massa dan kecepatan sudut. Kata kunci: Bintang berotasi, Keadaan kritis, Kecepatan kritis, Gaya gravitasi efektif Abstract The mechanical equilibrium configuration of rotating stars is discussed through Roche model. In our study, the stars are assumed to rotate rigidly, while their geometry are determined by the use of their equipotential surfaces. The critical state is achieved by a rotating star, when its total gravitational force vanishes. There are two posibilities for a star to be in its critical state: either its effective gravitational force vanishes or it exceeds the Eddington limit. The meridional section of rotating stars of various masses and angular velocity are determined. Keywords: Rotating stars, Critical state, Critical velocity, Effective gravitational force banyak digunakan karena lebih mendekati kenyataan yang ada. Pada makalah ini, pengaruh rotasi pada geometri bintang akan dipelajari, terutama bintangbintang yang mencapai ambang kecepatan rotasi yang pertama. Bentuk tampang bujur bintang-bintang berotasi sebagai fungsi kecepatan rotasi akan ditentukan. 1. Pendahuluan Seperti halnya Bumi, bintang-bintang juga mengalami rotasi. Seperti telah diketahui, akibat adanya rotasi, jejari equatorial Bumi 21,4 km lebih panjang daripada jejari kutubnya (Maeder, 2009). Untuk bintang yang berotasi dengan kecepatan sudut yang tinggi, jejari katulistiwanya bahkan dapat mencapai 1,5 jejari kutub (Ekstrom dkk, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa rotasi cukup berpengaruh pada bintang. Mekanisme kesetimbangan pada bintang yang berotasi sudah dipelajari sejak lama. Beberapa model telah dikembangkan, semisal model Mclaurin, yang menganggap kerapatan bintang tetap dan model Roche yang beranggapan sebaliknya (kerapatan yang tidak tetap). Terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara kedua model ini. Dalam model Mclaurin, perubahan mekanisme kesetimbangan terjadi pada rotasi yang tinggi. Nilai maksimum kecepatan sudut (dianggap rotasi benda tegar) adalah Ω2max= 0,4494Gπρ (Maeder, 2009). Pada kenyataan, ketidakstabilan akan terjadi sebelum mencapai batas kecepatan sudut ini. Pada model Roche dengan Ω seragam (bintang dianggap sebagai rotasi benda tegar), perubahan kesetimbangan juga akan terjadi, dan didapatkan bahwa perbandingan antara jejari kutub dan jejari equatorial akan mencapai 2/3 pada kecepatan sudut maksimum, yaitu 0,7215Gπ ρ , dengan ρ adalah kerapatan rata-rata. Pendekatan dengan model Roche biasanya lebih 2. Kesetimbangan Hidrostatik Pada Rotasi Benda Tegar Jika ditinjau dari kerangka acuan yang berotasi bersama bintang, persamaan Navier-Stokes untuk material bintang berbentuk dv′ dv 1 = − ∇P + v∇ 2 v′ − Ω × (Ω × r ) dt dt ρ dΩ − × r − 2Ω × v, dt (1) dengan v viskositas, P tekanan, dan Ω kecepatan sudut. Jika sistem dianggap berada dalam kesetimbangan hidrostatik, dan viskositas diabaikan (dianggap sangat kecil), serta kecepatan sudut setiap bagian bintang dianggap seragam (rotasi benda tegar), maka akan didapatkan persamaan, 0 = −∇Φ − 1 ρ ∇P − Ω × (Ω × r ′) − 2Ω × v ′ , (2) dengan -∇Ω percepatan gravitasi sendiri. Jika Vs didefinisikan sebagai potensial setrifugal, dengan 107 Setiawan dan Rosyid, Geometri Bintang Berotasi Pada Keadaan Ambang 1 V = − Ω 2ϖ 2 , 2 (3) dan ϖ = r sin θ jarak titik yang ditinjau dari sumbu rotasi maka didapat persamaan 1 ρ ∇P = −∇Ψ = g ef , (4) dengan Ψ (r ,θ ) = Φ (r ) + V (r ,θ ) = (5) GM r 1 2 2 2 − − Ω r sin θ r 2 adalah potensial efektif yang memenuhi persamaan Poisson ∇ 2 Ψ = 4πGρ − 2Ω 2 , dengan Mr massa bagian bintang yang berada di dalam bola berjejari r yang berpusat di pusat bintang. Karena berlakunya persamaan (4), bintang dikatakan berada dalam keadaan barotropik (Maeder, 2009), yakni, daerah dengan nilai potensial yang sama (equipotensial) memiliki tekanan yang sama, P = P(Ψ). Permukaan bintang adalah daerah ekipotensial, yakni Ψ = tetapan. Andaikan kita tinjau sebuah bintang dengan massa total M dan R(θ) jejari bintang itu pada kolatitud θ. Karena gaya sentrifugal di daerah kutub bernilai nol, maka potensial pada kutub bintang itu adalah –GM/Rp, dengan Rp jejari kutub bintang. Oleh karenanya, nilai potensial di berbagai tempat di permukaan bintang itu adalah GM GM 1 2 =− − Ω R (θ ) 2 sin 2 θ . Rp R (θ ) 2 (6) Jika er dan eθ merupakan vektor satuan dalam arah radial dan arah bujur, maka vektor percepatan gravitasi efektif pada permukaan bintang dari persamaan (5) dapat dituliskan sebagai ⎡ GM ⎤ g ef = ⎢− + Ω 2 R(θ ) sin 2 θ ⎥e r 2 ⎣ R(θ ) ⎦ [ ] (7) 3. Teorema Von Zeipel dan Faktor Edington Teorema von Zeipel menyatakan hubungan antara fluks radiasi pada kolatitud θ di permukaan bintang yang berotasi dengan percepatan gravitasi efektif lokal (Maeder dan Meynet, 2000). Jika kita tinjau bintang yang berotasi seperti rotasi benda tegar, fluks radiasi dapat dituliskan sebagai (8) dengan χ= 4acT 3 . 3κρ (9) Karena bintang berada dalam keadaan barotropik, maka dT dT g ef . (10) ∇P (Ω,θ ) = − ρχ dP dP Dengan demikian, dari hubungan antara luminositas bintang dan fluks radiasi, didapatkan F (Ω, θ ) = − L g ef (Ω, θ ) , 4πGM * (11) ⎞ ⎟, ⎟ ⎠ (12) dengan ⎛ Ω2 M * = M ⎜1 − ⎜ 2πGρ m ⎝ dan ρm rapat massa rata-rata bahan pada permukaan bintang itu. Pada bintang yang berotasi, percepatan gravitasi total bintang merupakan penjumlahan beberapa percepatan : percepatan gravitasi murni, percepatan sentrifugal, dan percepatan oleh tekanan radiasi (Maeder dan Meynet, 2000). Hal ini dinyatakan dalam persamaan berikut g tot = g ef + g rad = g gr + g rot + g rad , (13) dengan grad diberikan oleh g rad = 1 ρ ∇Prad = κ (θ )F c . (14) Faktor κ(θ) adalah kekedapan bahan pada kolatitud θ. Dengan memanfaatkan persamaan (11) dan (13), persamaan berikut didapatkan ⎡ κ (θ ) L( P ) ⎤ g tot = g ef ⎢1 − ⎥. ⎣ 4πcGM * ⎦ (15) Pada persamaan ini, efek rotasi muncul pada gef dan pada ungkapan di dalam kurung. Jika kita tinjau batas fluks secara lokal, yaitu keadaan dengan gtot = 0 [Maeder dan Meynet, 2000], maka grad = - gef. Batas fluks, oleh karena itu, diberikan oleh Flim (θ ) = − + Ω 2 R(θ ) sin θ cos θ eθ . F (Ω, θ ) = − χ∇T (Ω, θ ) , F (Ω, θ ) = − 108 c κ (θ ) g ef (θ ) . (16) Dari persamaan ini, jika faktor Edington lokal ΓΩ(θ) didefinisikan sebagai nisbah (rasio) antara besarnya fluks sebenarnya dengan besarnya fluks batas lokal, maka didapatkan ΓΩ (θ ) = κ (θ ) L( P) ⎛ Ω2 4πcGM ⎜⎜1 − ⎝ 2πGρ m ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ . (17) Jika tidak, bintang tidak mengalami rotasi (yakni jika Ω bernilai 0), maka ΓΩ(θ) akan sama dengan faktor Edington Global Γ. Persamaan (15), selanjutnya, dapat ditulis sebagai g tot = g ef [1 − ΓΩ (θ )] . (18) Persamaan ini mengungkapkan bahwa pada bintang yang berotasi, percepatan gravitasi total dipengaruhi oleh percepatan gravitasi efektif gef (yang melibatkan 109 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, DESEMBER 2010, VOL. 15 NOMOR 3 ungkapan tentang kecepatan rotasi bintang) dan oleh luminositas bintang. 4. Keadaan Ambang Pertama Melalui ungkapan persamaan (18), keadaan ambang (kritis) dapat diperkirakan. Pada keadaan kritis ini percepatan gravitasi total lenyap sehingga tidak ada lagi percepatan atau gaya yang mengimbangi tekanan termal dari dalam bintang. Akibatnya, bahan-bahan bintang akan lari (buyar). Hal ini tentu saja mengakibatkan persamaan (18) akan mempunyai dua akar, yaitu gef = 0 atau ΓΩ(θ) = 1. Keadaan ini mengakibatkan adanya batas (limit) tertentu pada kecepatan rotasi bintang, selain bergantung pada beberapa parameter lain seperti massa bintang dan jejari bintang. Keadaan gtot = 0 juga akan memberikan adanya batas pada luminositas bintang sebagaimana dijelaskan di atas, yang disebut sebagai Batas Eddington (Meynet, 2008). Keadaan ambang gef = 0 akan dinamakan keadaan ambang pertama, sedangkan keadaan pada ΓΩ(θ) = 1, disebut keadaan ambang kedua. Tentang akibat fisis ataupun geometris keadaan ambang kedua ini bukan merupakan bahasan dalam makalah ini. Masalah tersebut telah didiskusikan secara rinci dalam (Maeder dan Meynet, 2000). Kedaan ambang gtot = 0 menurut persamaan (7) diperoleh hanya pada wilayah katulistiwa (θ=π/2)). Keadaan ini memberikan ungkapan 2 Ω krit = GM Re3,krit , (19) dengan Re,krit jeari-jari bintang di ekuator ketika keadaan kritis itu. Jika faktor f didefinisikan sebagai nisbah Re/Rp antara jari-jari ekuator dan jari-jari kutub untuk sembarang kecepatan sudut, maka secara umum didapat Ω ⎛3⎞ =⎜ ⎟ Ω krit ⎝ 2 ⎠ 3/ 2 ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ ⎛ R p , krit ⎜ ⎜ Rp ⎝ 3/ 2 R (θ )3 − 2GM 2 Ω R p sin 2 θ R (θ ) (23) 2GM + = 0. Ω 2 sin 2 θ Persamaan ini memperlihatkan bahwa jejari bintang yang berotasi, sebagai fungsi sudut kolatitud, memenuhi persamaan polinom pangkat tiga yang bergantung kepada berbagai hal : tetapan gravitasi (G), massa bintang (M), jejari polar (Rp), serta parameter kecepatan rotasi bintang itu sendiri (Ω). Jika jejari bintang (R(θ)) dievaluasi pada semua sudut kolatitud maka akan didapatkan bentuk penampang bintang yang berotasi. Memanfaatkan beberapa data yang menyebutkan tentang parameter-parameter di atas, penampang membujur sebuah bintang dengan kecepatan rotasi tertentu akan dapat digambarkan dengan terlebih dahulu menyelesaikan persamaan pangkat tiga untuk jejari bintang, persaman (23). Persamaan (23) dapat ditulis dalam bentuk R (θ ) 3 − AR (θ ) + B = 0 , (24) dengan A=− 2GM 2 Ω R p sin 2 θ dan B=− 2GM Ω 2 sin 2 θ . Tabel 1. Parameter-parameter Bintang Berotasi dengan Massa 1 M~ [Roxburg, 2004] 1/ 2 ⎛ 2( f − 1) ⎞ ⎟ ⎜ ⎜ f3 ⎟ ⎠ ⎝ . (20) Dengan pendekatan Rp,krit = Rp, yakni tidak ada perubahan pada jari-jari kutub, didapat Ω ⎛3⎞ =⎜ ⎟ Ω krit ⎝ 2 ⎠ 3/ 2 1/ 2 ⎛ 2( f − 1) ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ f3 ⎟ ⎝ ⎠ . (21) Dari persamaan terakhir ini tampak bahwa f = 3/2 pada saat Ω = Ωkrit. Jika v kecepatan singgung di ekuator, maka v vkrit 1/ 3 ⎛ Ω ⎞ = ⎜⎜ 2( f − 1) ⎟⎟ ⎝ Ω krit ⎠ . (22) 5. Geometri Bintang Pada Berbagai Nilai Kecepatan Sudut Hendak ditinjau kembali persaman permukaan bintang sebagai daerah equipotensial, yakni persamaan (6). Persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai Persamaan ini merupakan persamaan polinom pangkat tiga dengan paramater yang lebih sederhana, yang jika diselesaikan dengan metode NewtonRaphson dan dengan menggunakan data pada Tabel 1, akan didapatkan jejari bintang R(θ) pada kolatitud θ. Dalam Table 1 itu, α = Ω2 Re3/GM, s adalah jarak dari pusat bintang ke permukaan ekipotensial, dan k adalah bilangan pada polinom Legendre. Perhitungan dengan cara itu menghasilkan Tabel 2, dengan G = 3,8×10 −7 R3 M s2 . Setiawan dan Rosyid, Geometri Bintang Berotasi Pada Keadaan Ambang 110 Tabel 2. Jejari Bintang 1 M~ dengan Ω 10−4 rad/s. Dari tabel 2 diperoleh tampang bujur bintang tersebut, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1 Gambar 2. Penampang Bintang 1 M~ beberapa nilai Ω untuk Gambar 3. Penampang bintang 5 M~ untuk beberapa Ω Gambar 1. Tampang bujur Bintang berotasi 1 M~ dengan Ω = 10−4 rad/s. Hasil perhitungan untuk bintang bermassa 1 M~ dalam berbagai kecepatan sudut rotasi diberikan oleh Gambar 2. Untuk bintang bermassa 1 M~ dengan kecepatan sudut rotasi Ω = 4,6 x 10−4 rad/s didapatkan bentuk penampang bujur yang melancip sepanjang lingkar katulistiwa. Kecepatan rotasi ini merupakan kecepatan yang mendekati kecepatan sudut kritis. Terlihat bahwa peningkatan kecepatan sudut rotasi akan menyebabkan terjadinya perubahan tampang bujur bintang, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2. Untuk bintang berotasi dengan massa yang yang lain didapatkan bentuk tampang bujur sebagaimana pada gambar 3 dan gambar 4. Gambar 4. Penampang bintang 10 M~ beberapa nilai Ω untuk Dari beberapa gambar diatas terlihat bahwa, meningkatnya kecepatan rotasi akan merubah kesetimbangan bintang, yang ditandai dengan penurunan jejari polar dan meningkatnya jejari katulistiwa. Pada Gambar (3) dan (4), didapatkan bentuk penampang bujur bintang yang semakin melancip di katulistiwa karena seiring peningkatan 111 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, DESEMBER 2010, VOL. 15 NOMOR 3 kecepatan sudut rotasi. Penampang bintang yang paling melancip pada ujung-ujungnya ini merupakan penampang bintang dengan kecepatan rotasi yang sudah mencapai kecepatan kritis, ini dapat dibuktikan dengan nilai perbandingan antara jejari equatorial dan jejari polar yang telah mencapai 3/2. 6. Geometri Bintang pada Kecepatan Sudut Ambang Meningkatnya kecepatan rotasi akan memengaruhi kesetimbangan bintang. Jika kecepatan rotasi mencapai nilai ambang, maka jejari bintang dikatakan juga pada keadaan ambang. Persamaan jejari bintang pada kecepatan ambang dapat dituliskan menjadi Rk (θ )3 − + 2GM Ω k2 R p , k sin 2 θ 2GM Ω k2 sin 2 θ Rk (θ ) (25) = 0, Gambar 6. Penampang bintang 20 M~ dengan Ωk = 1,28 x 10−4 rad/s dengan Rk(θ) jejari jejari bintang pada keadaan kritis, k kecepatan sudut bintang pada keadaan ambang, serta Rp,k jejari polar pada keadaan ambang. Jika kita gunakan ungkapan pada persamaan (19), maka persamaan (25), dapat dituliskan menjadi Rk (θ ) 3 − 27 R 2p ,k Rk (θ ) + 27 R 3p , k = 0 . (26) 4 sin 2 θ 4 sin 2 θ Persamaan ini diselesaikan dengan metode yang sama dengan yang sebelumnya, dengan terlebih dahulu menentukan nilai Rp,k. Ungkapan untuk Rp,k didapatkan dari persamaan (19) dan bantuan datadata yang diperoleh dari (Meynet and Maeder, 1996). Hasil-hasil perhitungan untuk beberapa variasi massa bintang diperlihatkan pada Gambar 5, 6, dan 7. Gambar 7. Penampang bintang 60 M~ dengan Ωk = 8,26 x 10−5 rad/s Dari beberapa gambar terlihat bahwa pada keadaan kritis, dengan kecepatan rotasi bintang yang juga berada pada kecepatan ambang, bentuk penampang bintang akan memipih, dengan ujungujung pada daerah khatulistiwa berbentuk lancip. Keadaan seperti ini disebabkan pada keadaan ambang di daerah katulistiwa gravitasi efektif bernilai nol, sehingga material dalam bintang yang sebelumnya berada dalam kesetimbangan hidrostatik (tekanan hidrostatik diimbangi oleh gravitasi), akan menuju keluar, karena tidak ada lagi gravitasi yang menahannya. Gambar 5. Penampang bintang 9 M~ dengan Ω k = 1,684 x 10−4 rad/s 7. Simpulan Kecepatan sudut rotasi bintang sangat berpengaruh pada bentuk tampang bujur bintang itu. Tampang bujur bintang pada kecepatan ambang pertama sangat khas. Jika kecepatan sudut rotasi bintang melampaui kecepatan ambang pertama, maka Setiawan dan Rosyid, Geometri Bintang Berotasi Pada Keadaan Ambang kesetimbangan hidrostatis pada bintang akan dilanggar, yakni tidak ada lagi kesetimbangan hidrostatik sehingga material dalam bintang yang sebelumnya berada dalam kesetimbangan hidrostatik (tekanan hidrostatik diimbangi oleh gravitasi), akan menuju keluar, karena tidak ada lagi gravitasi yang menahannya. Daftar Pustaka Ekstrom, S., G. Meynet, A. Maeder, and F. Barblan, 2008, Evolution Towards the Critical Limit and the Origin of Be Stars, arXiv:0711.1735v1. Maeder, A., 2009, Physics, Formation and Evolution of Rotating Stars, Springer, Verlag Berlin Heidelberg, Germany, 22-80. 112 Maeder, A. and G. Meynet, 2000, The Eddington and Ω-Limits, the rotational mass loss for OB and LBV stars, Astronomy & Astrophysics, 361, 159-166. Meynet, G. and A. Maeder, 1996, The Computational Method and Inhibiting Effect of the µGradient, Astronomy & Astrophysics, 321, 465-476. Meynet, G., 2008, Physics of Rotation in Stellar Models, arXiv:0801.2944v1. Roxburgh, I.W, 2004, 2-Dimensional Models of Rapidly Rotating Stars, Uniformly Rotating Zero Age Main Sequence Stars, Astronomy & Astrophysics, 428, 171-179.