BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS II.1 Kajian Pustaka II.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia II.1.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Dessler (2005:4) mendefinisikan manajemen sumber daya manusia sebagai praktek dan kebijakan yang dilibatkan untuk menyelesaikan aspek personal atau sumber daya manusia dalam posisi manajemen, termasuk merekrut, seleksi, pelatihan, penghargaan, dan penilaian. Menurut Hasibuan (2007:10), manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Dengan demikian, manajemen sumber daya manusia merupakan suatu kebijakan untuk mengatur peranan sumber daya manusia demi tercapainya tujuan organisasi. Pengaturan-pengaturan tersebut meliputi masalah perencanaan, pengorganisasian (perancangan dan penugasan kelompok kerja), penyusunan personalia penarikan, seleksi, pengembangan, pemberian kompensasi dan penilaian prestasi kerja, pengarahan motivasi, kepemimpinan, integrasi dan pengelolaan konflik dan pengawasan. 7 II.1.1.2 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Ivancevich (2007:10), kontribusi manajemen sumber daya manusia membuat suatu organisasi berjalan efektif, meliputi hal berikut ini: 1. Membantu organisasi untuk mencapai tujuannya. 2. Memanfaatkan kemampuan dan keterampilan dari kekuatan pekerja secara efisien. 3. Menyediakan organisasi dengan karyawan yang terlatih dan termotivasi dengan baik. 4. Meningkatkan secara penuh kepuasan kerja karyawan dan aktualisasi diri. Mengembangkan dan memelihara kualitas dari kehidupan kerja yang membuat ketenagakerjaan di suatu organisasi menginginkannya. 5. Mengkomunikasikan kebijakan manajemen sumber daya manusia kepada seluruh karyawan 6. Membantu memelihara kebijakan etis dan perilaku sosial yang bertanggung jawab. 7. Mengelola perubahan untuk keuntungan yang bersifat timbal balik dari individu, kelompok, dan masyarakat. II.1.2 Pengawasan II.1.2.1 Pengertian Pengawasan Beberapa definisi mengenai pengawasan yang dikutip oleh Zubir Syahputra, Amri dan Saiful Bahri dalam penelitian mereka yang berjudul Pengaruh Pengawasan, Disiplin Kerja dan Kompensasi terhadap Efektivitas Kerja Pegawai Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh Provinsi Aceh (Jurnal Ilmu Manajemen, 2012: 3-4) adalah sebagai berikut : 8 • Strauss menyatakan bahwa pengawasan merupakan salah satu fungsi dari manajemen dengan mengadakan penilaian (sekaligus bila perlu diadakan koreksi) untuk mengarahkan bawahan demi mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. • Sukamdiyo menyatakan bahwa pengawasan merupakan suatu proses menilai dan mengoreksi pekerjaan yang sudah dilaksanakan agar pelaksanaan pekerjaan tersebut sesuai dengan yang sudah direncanakan. Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan adalah suatu kegiatan menilai dan mengoreksi yang dilakukan perusahaan untuk menjamin kualitas dari hasil akhir agar sesuai dengan yang sudah direncanakan oleh perusahaan. II.1.2.2 Tujuan dan Fungsi Pengawasan Tujuan pengawasan menurut Maman Ukas (2004:337) adalah sebagai berikut: 1. Mensuplai pegawai-pegawai manajemen dengan informasi-informasi yang tepat, teliti dan lengkap tentang apa yang akan dilaksanakan. 2. Memberi kesempatan pada pegawai dalam meramalkan rintangan-rintangan yang akan mengganggu produktivitas kerja secara teliti dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan atau mengurangi gangguangangguan yang terjadi. 3. Setelah kedua hal di atas telah dilaksanakan, kemudian para pegawai dapat membawa kepada langkah terakhir dalam mencapai produktivitas kerja yang maksimum dan pencapaian yang memuaskan dari pada hasil?hasil yang diharapkan. 9 Menurut Simbolon (2004:62), fungsi pengawasan adalah sebagai berikut : 1. Mempertebal rasa tanggung jawab terhadap pengawas yang diserahi tugas dan wewenang dalam pelaksanaan pekerjaan. 2. Mendidik para pengawas agar mereka melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. 3. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan, kelalaian dan kelemahan, agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan. 4. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan. II.1.2.3 Proses Pengawasan Proses pengawasan terdiri dari 5 tahap sebagai berikut (Handoko, 2009:363) : 1. Penetapan standar pelaksanaan (perencanaan). Standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan sebagai patokan untuk penilaian hasil-hasil, tujuan, sasaran, kuota, dan target pelaksanaan dapat digunakan sebagai standar. 2. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan. Penetapan standar adalah siasia bila tidak disertai berbagai cara untuk mengukur pelaksanaan kegiatan nyata. Oleh karena itu tahap kedua dalam pengawasan adalah menentukan pengukuran pelaksanaan secara tepat. 3. Pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata. Setelah freskuensi pengukuran dan sistem monitoring ditentukan, pengukuran dilakukan sebagai proses yang berulang-ulang dan terus menerus. Ada berbagai cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan, yaitu pengamatan (observasi), laporan-laporan baik 10 tertulis maupun lisan. Metoda-metoda otomatis dan inspeksi, pengujian (test) atau dengan pengambilan sampel. 4. Pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan. Perbandingan pelaksanaan nyata dengan pelaksanaan yang direncanakan atau standar yang telah ditetapkan merupakan tahan yang paling mudah dilakukan, tetapi kompleksitas dapat terjadi pada saat menginterpretasikan adanya penyimpangan (deviasi). Pertimpanganpertimpangan harus dianalisa untuk menentukan mengapa standar tidak dapat dicapai. 5. Pengambilan tindakan korektif bila perlu. Bila hasil analisa menunjukan perlunya tindakan koreksi, tindakan ini harus diambil. Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk. Standar mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya dilakukan bersamaan. II.1.2.4 Gaya Pengawasan Gaya Pengawasan adalah perilaku yang khas yang dimiliki setiap pengawas ketika melaksanakan fungsi pengawasan tersebut. Umumnya, manajer bertindak dalam cara yang berbeda dan menggunakan pendekatan yang berbeda untuk berhubungan dengan bawahan mereka selama menjalankan prosedur manajemen di perusahaan. Gatfield (Journal of Higher Education and Policy Management, 2005:319) menyebutkan empat gaya pengawasan utama, berdasarkan model yang menggunakan dukungan dan struktur. Sumbu vertikal mewakili dukungan dan sumbu horisontal mewakili struktur. 11 Sumber : Gatfield (2005:319) Gambar 2.1 Gaya Pengawasan 1. Pastoral Style : • Struktur yang rendah dan dukungan yang tinggi. • Kandidat memiliki kemampuan manajemen pribadi yang rendah tetapi tetap menggunakan kesempatan atas semua fasilitas pendukung yang ditawarkan. • Pengawas memberikan perhatian dan dukungan tetapi bukan dalam pengarahan tugas dan kapasitas direktif (pemberian petunjuk) yang seharusnya.. 2. Contractual Style : • Struktur yang tinggi dan dukungan yang tinggi. • Kandidat sangat termotivasi dan mampu menerima arahan serta memiliki inisiatif untuk bertindak sendiri. 12 • Pengawas mampu untuk memberikan arahan dan menggunakan kemampuan manajemen yang baik dan hubungan interpersonal. 3. Laissez-faire Style : • Struktur yang rendah dan dukungan yang rendah. • Kandidat memiliki keterbatasan dalam motivasi dan kemampuan manajemen. • Pengawas tidak memberikan petunjuk dan tidak berkomitmen untuk tingkat yang lebih tinggi dalam interaksi pribadi. • Pengawas tidak menunjukan kepedulian dan tidak terlibat. 4. Directorial Style : • Struktur yang tinggi dan dukungan yang rendah. • Kandidat sangat termotivasi dan melihat keharusan (paksaan) dalam melaksanakan kegiatan struktural yang tinggi, seperti menentukan tujuan, menyelesaikan dan menyerahkan pekerjaan tepat waktu. • Pengawas memiliki hubungan interaktif yang dekat dan rutin dengan kandidat, tetapi menghindari masalah yang tidak berhubungan dengan tugas. Dari faktor-faktor tersebut dapat diperoleh indikator-indikator dari variabel gaya pengawasan yaitu sebagai berikut : 1. Indikator dari sub variabel Pastoral Style : a. Tidak memberikan pengarahan kepada karyawan. b. Tidak memberikan petunjuk mengenai pekerjaan karyawan. c. Tidak terlibat secara langsung dalam pekerjaan karyawan. d. Memperhatikan kebutuhan karyawan. 2. Indikator dari sub variabel Contractual Style : 13 a. Memberikan pengarahan kepada karyawan. b. Memberikan petunjuk mengenai pekerjaan karyawan. c. Terlibat secara langsung dalam pekerjaan karyawan. 3. Indikator dari sub variabel Laissez-faire Style : a. Tidak memberikan pengarahan kepada karyawan. b. Tidak memberikan petunjuk mengenai pekerjaan karyawan. c. Tidak terlibat secara langsung dalam pekerjaan karyawan. d. Tidak memperhatikan kebutuhan karyawan. 4. Indikator dari sub variabel Directorial Style : a. Memberikan pengarahan kepada karyawan. b. Memberikan petunjuk mengenai pekerjaan karyawan. c. Terlibat secara langsung dalam pekerjaan karyawan. d. Tidak memberikan kebebasan kepada karyawan untuk bekerja sendiri. e. Tidak memperhatikan kebutuhan karyawan. II.1.3 Pengambilan Keputusan II.1.3.1 Pengertian Pengambilan Keputusan Beberapa pengertian mengenai keputusan dari para ahli yang dikutip oleh Suradi dalam penelitiannya yang berjudul Pengambilan Keputusan bagi Para Manajer dalam Suatu Organisasi Maupun Perusahaan (GEMA, 2005:16) adalah sebagai berikut: • Menurut Ralp C. Davis keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapinya dengan tegas. Keputusan harus dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang dibicarakan dalam hubungannya dengan perencanaan. • Menurut Mary Follet keputusan adalah suatu atau sebagai bahan situasi. 14 • Menurut James A. F. Stoner keputusan adalah pemilihan di antara alternatifalternatif. • Menurut Prayudi Atmosudirjo keputusan adalah suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah atau problema untuk menjawab pertanyaan apa yang harus diperbuat guna mengatasi masalah tersebut, dengan menjatuhkan pilihan suatu alternatif. • Menurut Koontz, Harold mengatakan bahwa keputusan adalah pilihan yang telah diambil untuk diterapkan pada situasi tertentu. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keputusan adalah suatu proses pemecahan masalah yang dilakukan dengan memilih salah satu alternatif pemecahan masalah dari beberapa alternatif. Pengertian pengambilan keputusan menurut M. Iqbal Hasan yang dikutip oleh Suradi dalam penelitiannya yang berjudul Pengambilan Keputusan bagi Para Manajer dalam Suatu Organisasi Maupun Perusahaan (GEMA, 2005:16) adalah merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindak lanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah. Dengan demikian, pengambilan keputusan adalah suatu proses untuk mengambil suatu tindakan dalam rangka untuk memecahkan masalah dan mencari alternatif pemecahan masalah tersebut. II.1.3.2 Proses Pengambilan Keputusan Stephen P. Robbins dan Mary coulter (2007:162-168) mengungkapkan proses pengambilan keputusan sebagai berikut : 15 1. Mengenali suatu masalah. Proses pengambilan keputusan berawal dengan adanya masalah atau kesenjangan antara keadaan nyata dan keadaan yang dikehendaki. 2. Mengidentifikasi kriteria keputusan. Setelah manajer mengidentifikasi masalah yang membutuhkan perhatian, kriteria keputusan yang penting untuk memecahkan masalah tersebut haruslah diidentifikasi. Artinya, para manajer harus menentukan apa yang relevan dalam mengambil keputusan. 3. Mengalokasikan Berat Kriteria. Para pengambil keputusan harus memberikan bobot kepada kriteria-kriteria yang sudah diidentifikasi, untuk memberinya prioritas yang tepat dalam keputusan itu. 4. Menyusun alternatif. Pada tahap ini, pengambil keputusan membuat daftar sejumlah alternatif yang dapat menyelesaikan masalah tersebut. 5. Menganalisis alternatif. Setelah alternatif-alternatif itu teridentifikasi, pengambil keputusan secara kritis harus menganalisis masing-masing alternatif itu. Hal ini dilakukan dengan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan masing-masing alternatif menjadi jelas. 6. Memilih sebuah alternatif. Langkah ini merupakan tindakan penting yakni memilih alternatif terbaik dari alternatif yang dipertimbangkan. Setelah menentukan semua faktor yang terkait dalam keputusan itu, memberi bobot, dan mengidentifikasi serta menganalisis alternatif-alternatif yang bisa berhasil, kita semata-mata harus memilih alternatif yang menghasilkan angka paling tinggi dalam proses menganalisis alternatif. 7. Mengimplementasikan alternatif terpilih. Tahap ini membahas upaya untuk menerapkan keputusan tersebut menjadi tindakan. Implementasi mencakup 16 penyampaian keputusan itu kepada orang-orang yang terpengaruh dan mendapatkan komitmen mereka atas keputusan tersebut. 8. Mengevaluasi keefektifan keputusan. Langkah terakhir dalam proses pengambilan keputusan mencakup menilai hasil keputusan tersebut untuk melihat apakah masalahnya telah teratasi. II.1.3.3 Gaya Pengambilan Keputusan Gaya pengambilan keputusan manajer dibedakan dengan dua dimensi (Stephen P. Robbins dan Mary coulter, 2007:178), yaitu : • Cara berpikir seseorang. Sebagian orang akan cenderung lebih rasional dan logis dalam cara memikirkan atau memproses informasi. Jenis rasional memandang informasi secara teratur dan memastikan bahwa informasi itu logis dan konsisten sebelum mengambil keputusan. Sebagian lagi akan cenderung bersifat kreatif dan intuitif. Jenis intuitif tidak harus memproses informasi menurut urutan tertentu melainkan merasa puas memandangnya sebagai keseluruhan. • Toleransi seseorang terhadap ambiguitas. Sebagian orang memiliki toleransi ambiguitas yang rendah. Jenis ini mempunyai konsistensi dan keteraturan atas cara mereka menyusun informasi sehingga ambiguitas itu minimal. Sebagian lagi dapat menanggung tingkatan ambiguitas yang tinggi dan mampu memproses banyak pemikiran sekaligus. Terdapat empat gaya pengambilan keputusan menurut Rowe dan Mason yang dikutip oleh Claude Gingras dalam penelitiannya yang berjudul Effects of Managers’ Leadership Styles and Decision-Making Styles on Appraisal of Employees’ Critical Thinking Performance (2006), yaitu : 17 Sumber : Stephen P. Robbins dan Mary coulter (2007:179) Gambar 2.2 Gaya Pengambilan Keputusan 1. Direvtive Style (Gaya Mengarahkan). Pembuat keputusan gaya direktif mempunyai toleransi rendah terhadap ambiguitas dan berorientasi pada tugas dan masalah teknis. Pembuat keputusan ini cenderung lebih efisien, logis, pragmatis, dan sistematis dalam memecahkan masalah. Pembuat keputusan direktif juga berfokus pada fakta dan menyelesaikan segala sesuatu dengan cepat. Kecepatan dan efisiensi mereka dalam membuat keputusan sering mengakibatkan mereka mengambil keputusan dengan informasi minimum dan dengan menilai sedikit alternatif saja. 2. Analytic Style (Gaya Analitis). Pembuat keputusan gaya analitis mempunyai toleransi yang tinggi untuk ambiguitas dan tugas yang kuat serta orientasi teknis. Jenis ini suka menganalisis situasi. Pada kenyataannya, mereka 18 cenderung terlalu menganalisis sesuatu. Mereka mengevaluasi lebih banyak informasi dan alternatif daripada pembuat keputusan direktif. Para pengambil keputusan analitis mengambil keputusan yang hati-hati dengan kemampuan untuk beradaptasi atau menghadapi situasi-situasi yang unik. 3. Conceptual Style (Gaya Konseptual). Pembuat gaya konseptual mempunyai toleransi yang tinggi untuk ambiguitas, orang yang kuat dan peduli pada lingkungan sosial. Mereka berpandangan luas dalam memecahkan masalah dan suka mempertimbangkan banyak pilihan dan kemungkinan masa mendatang. Pembuat keputusan ini membahas sesuatu dengan orang sebanyak mungkin untuk mendapat sejumlah informasi dan kemudian mengandalkan intuisi dalam mengambil keputusan. 4. Behavioral Style (Gaya Perilaku). Pembuat keputusan gaya perilaku ditandai dengan toleransi ambiguitas yang rendah, orang yang kuat dan peduli lingkungan sosial. Gaya ini cenderung bekerja dengan baik dengan orang lain dan menyukai situasi keterbukaan dalam pertukaran pendapat yakni cenderung menerima saran, sportif dan bersahabat serta menyukai informasi verbal daripada tulisan. Sering kali mereka menggunakan rapat untuk berkomunikasi meskipun mereka berusaha menghindari konflik. Dari faktor-faktor tersebut dapat diperoleh indikator-indikator dari variabel gaya pengambilan keputusan yaitu sebagai berikut : 1. Indikator dari sub variabel Direvtive Style : a. Menggunakan sedikit informasi dalam mengambil keputusan. b. Berorientasi pada tugas dan masalah teknis. c. Cenderung cepat dalam mengambil keputusan. d. Hanya mau menerima informasi yang relevan (fakta). 2. Indikator dari sub variabel Analytic Style : 19 a. Menggunakan banyak informasi dalam mengambil keputusan. b. Berorientasi pada tugas dan masalah teknis. c. Cenderung lambat dalam mengambil keputusan. d. Menganalisa setiap informasi sebelum mengambil keputusan. 3. Indikator dari sub variabel Conceptual Style : a. Menggunakan banyak informasi dalam mengambil keputusan. b. Peduli dengan lingkungan sosial. c. Cenderung lambat dalam mengambil keputusan. d. Mengambil keputusan dengan mengandalkan intuisi. 4. Indikator dari sub variabel Behavioral Style : a. Mau menerima masukan / saran. b. Menggunakan banyak informasi dalam mengambil keputusan. c. Peduli dengan lingkungan sosial. d. Mengambil keputusan secara musyawarah. II.1.4 Stres Kerja II.1.4.1 Pengertian Stres Kerja Beberapa definisi mengenai stres kerja dari para ahli yang dikutip oleh Yuni Siswanti dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pengaruh Stres Kerja dalam Memediasi Hubungan antara Politik Organisasional dengan Perilaku Agresif (Jurnal Siasat Bisnis, 2006:170) adalah sebagai berikut : • Cooper berpendapat bahwa stres merupakan suatu tekanan yang meletakkan faktor psikologis dan fisik di belakang rentang stabilitasnya yang menimbulkan ketegangan di dalam diri individu. 20 • Fisher, et al. mengatakan bahwa stres tidak selalu merupakan fenomena yang merusak/merugikan karena dalam kenyataannya, sejumlah stres merupakan suatu hal penting dan proses yang mungkin perlu dilalui seseorang dalam rangka mencapai tujuan. • Krantz menyatakan bahwa stres mengacu pada suatu keadaan internal dari seorang individu yang mempersepsikan adanya ancaman-ancaman atau tantangan-tantangan terhadap kondisi kesehatan fisik dan atau mental. Menurut Luthans dalam penelitian Theresia Sunarni dan Veni Istanti yang berjudul Pengaruh Stres Kerja dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan di PT. Interbis Sejahtera Palembang (Jurnal Teknik Industri, 2007:22) mengatakan bahwa stres merupakan suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Dengan demikian, stres kerja merupakan akibat dari adanya tekanan, beban dan konflik, serta ketidaksesuaian antara sifat ataupun sikap karyawan dengan aspekaspek pada pekerjaannya. II.1.4.2 Dampak Stres Kerja Masalah karena tingkat stres yang tinggi dapat ditunjukan melalui (Luthans, 2006:456) : 1. Masalah kesehatan fisik yang berhubungan dengan stres kerja adalah sebagai berikut: • Masalah sistem kekebalan tubuh, di mana terdapat pengurangan kemampuan untuk melawan sakit dan infeksi. 21 • Masalah sistem kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi dan penyakit jantung. • Masalah sistem musculoskeletal (otot dan rangka), seperti sakit kepala dan sakit punggung. • Masalah sistem gastrointestinal (perut), seperti diare dan sembelit. 2. Masalah Psikologis. Tingkat stres tinggi mungkin disertai dengan kemarahan, kecemasan, depresi, gelisah, cepat marah, tegang, dan bosan. Sebuah studi menemukan bahwa dampak stres yang paling kuat adalah pada tindakan agresif, seperti sabotase, agresi antar-pribadi, permusuhan, dan keluhan. Jenis masalah psikologis tersebut relevan dengan kinerja yang buruk, penghargaan diri yang rendah, benci pada pengawasan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan membuat keputusan, dan ketidakpuasan kerja. 3. Masalah Perilaku. Perilaku langsung yang menyertai tingkat stres yang tinggi mencakup makan sedikit atau perubahan makan berlebihan, tidak dapat tidur, merokok dan minum, dan penyalahgunaan obat-obatan. II.1.4.3 Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja Dalam penelitian Analisis Stres Kerja Karyawan pada PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk Cabang Bogor yang ditulis oleh Siti Rahmawati (Jurnal Manajemen, 2009:115), menyebutkan bahwa stres kerja disebabkan oleh faktorfaktor penyebab stres kerja (Stressor) baik dari dalam pekerjaan maupun dari luar pekerjaan. Faktor-faktor penyebab stres kerja dari dalam pekerjaan itu sendiri mencakup tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan hubungan antarpribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi, dan tahap hidup organisasi. 22 Faktor yang memengaruhi stres kerja menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara yang dikutip oleh Peni Tunjungsari dalam jurnal Pengaruh Stres Kerja terhadap Kepuasan Kerja Karyawan pada Kantor Pusat PT. Pos Indonesia (PERSERO) Bandung (Jurnal UKI, 2011:4), antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab konflik kerja, perbedaan nilai antara karyawan dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja. Sedangkan menurut T. Hani Handoko, faktor yang mempengaruhi stres kerja yaitu : 1. Beban kerja yang berlebihan 2. Tekanan atau desakan watu 3. Kualitas supervisi yang jelek 4. Iklim politis yang tidak aman 5. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai 6. Kemenduaan peranan 7. Frustasi 8. Konflik antar pribadi dan antar kelompok 9. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan 10. Berbagai bentuk perusahaan Cooper dalam Arnold (2005:395-410) menjabarkan tujuh faktor yang menyebabkan terjadinya stres kerja, antara lain : 1. Faktor-faktor intrinsik pekerjaan, antara lain : • Kondisi lingkungan kerja yang kurang baik. Misalnya lingkungan kerja yang bising, pencahayaan yang kurang baik, tercium bau-bauan, dan lain sebagainya. 23 • Kerja shift / kerja malam. Kerja shift atau kerja malam yang berlebihan dapat menyebabkan kelelahan dan dampak terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. • Jam kerja yang lama dan kerja yang terlalu overload. Jam kerja yang panjang secara terus-menerus akan merusak kesehatan fisik dan psikologikal individu. • Tingkat risiko dan bahaya yang dihadapi. Pekerjaan yang mempunyai risiko atau bahaya yang tinggi akan menghasilkan tingkat stres yang tinggi. • Teknologi baru. Mengajarkan teknologi baru dengan cara dan metode yang lama akan menambah beban karyawan yang sedang dilatih. 2. Peraturan dalam organisasi, antara lain : • Konflik peran dan ketidakjelasan peran. Konflik peran merupakan hasil dari ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana yang terombang-ambing, terjepit, dan serba salah. • Tanggung jawab. Semakin besar tanggung jawabnya, maka semakin besar tingkat stres yang dirasakan. 3. Kepribadian. Seseorang dengan tingkat kecemasan tinggi dapat menderita konflik peran yang lebih tinggi dibandingkan orang yang lebih fleksibel dalam pendekatan mereka terhadap kehidupan. 24 4. Hubungan dalam pekerjaan. • Hubungan dengan superior (atasan). Gaya kepemimpinan yang penuh inspirasi dapat secara signifikan mengurangi jumlah stres kerja yang dialami oleh bawahannya. • Hubungan antara bawahan dan rekan. Stres di antara rekan kerja dapat timbul dari kompetisi dan konflik kepribadian. Karena kebanyakan orang menghabiskan begitu banyak waktu di tempat kerja, hubungan antara rekan kerja dapat menjadi dukungan yang berharga, atau sebaliknya dapat menjadi sumber stres yang besar. 5. Pengembangan Karir • Job Insecurity. Perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan masalah baru yang dapat mempunyai dampak pada perusahaan. Re-organisasi dirasakan perlu untuk dapat menghadapi perubahan lingkungan dengan lebih baik. Sebagai akibatnya adalah adanya pekerjaan lama yang hilang dan adanya pekerjaan baru. Setiap re-organisasi menimbulkan ketidakpastian pekerjaan, yang merupakan sumber stres yang potensial. • Over and Under Promotion. Peluang yang kecil untuk promosi, baik karena keadaan tidak mengizinkan maupun karena dilupakan, dapat merupakan pembangkit stres bagi tenaga kerja yang merasa sudah waktunya mendapatkan promosi. Perilaku yang menganggu, semangat kerja yang rendah dan hubungan antarpribadi yang bermutu rendah, berkaitan dengan stres dari kesenjangan yang dirasakan antara kedudukannya sekarang di organisasi dengan kedudukan yang diharapkan. Sedangkan stres yang timbul karena over-promotion 25 memberikan kondisi beban kerja yang berlebihan serta adanya tuntutan pengetahuan dan keterampilan yang tidak sesuai dengan bakatnya. 6. Budaya dan Iklim Organisasi. Bagaimana para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan, dan iklim dari organisasi adalah penting dalam memahami sumber-sumber stres potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam organisasi: kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan penilaian dari struktur dan iklim organisasi. 7. Home-Work Interface. Konflik ini dapat berupa gangguan bekerja dengan keluarga (di mana tuntutan pekerjaan menciptakan kesulitan untuk kehidupan rumah) ataupun gangguan keluarga dengan pekerjaan (di mana tuntutan kehidupan rumah menciptakan kesulitan untuk bekerja). Dari faktor-faktor tersebut dapat diperoleh indikator-indikator dari variabel stres kerja (Siti Rahmawati, 2009) yaitu sebagai berikut : 1. Indikator dari sub variabel tuntutan tugas : a. Tugas yang diberikan berlebihan. b. Tanggung jawab yang diberikan memberatkan. c. Mengalami kesulitan dalam memenuhi target. d. Dikejar waktu dalam menyelesaikan tugas. 2. Indikator dari sub variabel tuntutan peran : a. Mengerjakan pekerjaan yang tidak dimengerti atau tidak cocok. b. Tujuan yang ditetapkan perusahaan tidak sesuai dengan harapan. c. Ditekan dengan banyak peraturan dalam menjalankan tugas. 3. Indikator dari sub variabel tuntutan hubungan antarpribadi : a. Hubungan dengan rekan kerja tidak baik. b. Kesulitan berkomunikasi dengan atasan. 26 c. Kurangnya dukungan dari atasan. d. Hubungan dengan atasan tidak baik. 4. Indikator dari sub variabel struktur organisasi : a. Informasi mengenai pekerjaan kurang jelas. b. Tanggung jawab pekerjaan yang harus dijalankan kurang jelas. c. Prosedur / instruksi kurang jelas. 5. Indikator dari sub variabel kepemimpinan organisasi : a. Karyawan tidak diberi kesempatan untuk memberikan pendapat. b. Karyawan tidak punya peranan dalam mengambil keputusan. c. Atasan tidak memberitahu dengan jelas mengenai tugas yang harus dilakukan. 6. Indikator dari sub variabel tahap hidup organisasi: a. Peluang mendapatkan promosi kecil. b. Mengalami promosi ke jabatan yang tidak sesuai dengan kemampuan. c. Umpan balik terhadap hasil kerja tidak sesuai harapan. II.1.5 Kepuasan Kerja II.1.5.1 Pengertian Kepuasan Kerja Beberapa pengertian mengenai kepuasan kerja dari para ahli yang dikutip oleh Anwar Prabu dalam jurnalnya yang berjudul Pengaruh Motivasi terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Kabupaten Muara Enim (Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya, 2005:7-8), adalah sebagai berikut: • Menurut Hasibuan kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya, yang dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. 27 • Menurut Sethep P. Robbins kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pegawai dan banyaknya yang mereka yakini apa yang seharusnya mereka terima. • Menurut Davis kepuasan kerja adalah kepuasan pegawai terhadap pekerjaannya. Perasaan itu merupakan cermin dari penyesuaian antara apa yang diharapkan pegawai dari pekerjaan / kantornya. Menurut Robins dalam penelitian Wendi A. N. yang berjudul Pengaruh Kepuasan Kerja Karyawan terhadap Intensi Turnover pada Call Center Telkomsel di Medan (Jurnal MANDIRI, 2009:3) mengatakan bahwa kepuasan kerja merujuk kepada sikap seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaan itu, sedangkan seseorang dengan tingkat kepuasan yang rendah menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka dapat disimpulkan kepuasan kerja sebagai sikap karyawan terhadap pekerjaannya mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting, dari persepsi mereka terhadap pekerjaannya. II.1.5.2 Penyebab Kepuasan Kerja Faktor yang menyebabkan kepuasan karyawan menurut Robbins dan Coullter (2007:149-150), adalah: 1. Kerja yang secara mental menantang. Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan yang masih mereka miliki menawarkan 28 beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja secara menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan. 2. Imbalan yang pantas. Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu dan standar pengupahan komunitas kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Banyak orang bersedia menerima uang lebih kecil untuk bekerja di lokasi yang diinginkan atau pada pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam pekerjaan yang mereka lakukan dan jam kerja. Tetapi kunci yang menautkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, lebih penting lagi adalah persepsi keadilan. Sama halnya pula karyawan berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang adil. Promosi memberikan kesempatan untuk kebutuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak, dan status sosial yang meningkat. Oleh karena itu, individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dengan cara yang adil (Fair and Just) kemugkinan besar akan merasakan kepuasan dengan pekerjaan mereka. 3. Kondisi kerja yang mendukung. Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik, seperti kondisi fisik kerja yang nyaman dan aman, pemberian 29 diklat untuk memudahkan karyawan dalam mengerjakan tugasnya dengan baik. 4. Rekan kerja yang mendukung. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar ke kepuasan kerja yang meningkat. Prilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan. II.1.5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Luthans yang dikutip oleh Djumadi dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Kondisi Kerja dan Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan Lembaga Pendidikan Nonformal di Jawa Timur (Jurnal Aplikasi Manajemen, 2006:412), yaitu sebagai berikut : 1. Pekerjaan itu sendiri. Tingkat dimana sebuah pekerjaan menyediakan tugas yang menyenangkan, kesempatan belajar, dan kesempatan untuk mendapatkan tanggung jawab. Hal ini menjadi sumber mayoritas kepuasan kerja. 2. Gaji. Upah dan gaji diakui merupakan faktor yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Seseorang menerima gaji yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami distress (ketidakpuasan). Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan sebagai adil didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasan kerja. 30 3. Kesempatan atau promosi. Karyawan memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan memperluas pengalaman kerja, dengan terbukanya kesempatan untuk kenaikan jabatan. 4. Supervisor. Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis dan perilaku dukungan. Hubungan fungsional dan hubungan keseluruhan yang positif memberikan tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa. Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan adalah jika kedua hubungan adalah positif. 5. Rekan kerja. Kebutuhan dasar manusia untuk melakukan hubungan sosial akan terpenuhi dengan adanya rekan kerja yang mendukung karyawan. Jika terjadi konflik dengan rekan kerja, maka akan berpengaruh pada tingkat kepuasan karyawan terhadap pekerjaan. 6. Kondisi kerja. Bekerja dalam ruangan kerja yang sempit, panas, yang cahaya lampunya menyilaukan mata, kondisi yang tidak mengenakkan akan menimbulkan keengganan untuk bekerja. Oleh karena itu, perusahaan perlu menyediakan ruang kerja yang membuat karyawannya merasa nyaman untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Secara otomatis, karyawan akan merasa puas apabila mendapatkan kondisi kerja yang baik. Dari faktor-faktor tersebut dapat diperoleh indikator-indikator dari variabel kepuasan kerja yaitu sebagai berikut : 1. Indikator dari sub variabel pekerjaan itu sendiri : 31 a. Kesempatan belajar. b. Kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan keahlian. 2. Indikator dari sub variabel gaji : a. Kesesuaian dengan beban pekerjaan. 3. Indikator dari sub variabel kesempatan / promosi : a. Kesempatan mengembangkan diri. b. Kesempatan kenaikan jabatan. 4. Indikator dari sub variabel supervisor (pengawas) : a. Kemampuan menyediakan bantuan teknis. b. Kemampuan dalam memberikan dukungan. 5. Indikator dari sub variabel rekan kerja : a. Hubungan dengan rekan. 6. Indikator dari sub variabel Kondisi Kerja : a. Kondisi lingkungan kerja. II.2 Kajian Penelitian Terdahulu Adanya pengaruh antara gaya pengawasan dan gaya pengambilan keputusan terhadap stres kerja dan dampaknya terhadap kepuasan kerja telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lung-Tan Lu dan Yuan-Ho dengan judul “The Effect of Supervision Style and Decision-Making on Role Stress and Satisfaction of Senior Foreign Managers in International Joint Ventures in China” (International Journal of Commerce & Management, 2007). Tujuan dari pengujian tersebut adalah untuk menguji pengaruh gaya pengawasan dan pengambilan keputusan pada stres peran dan kepuasan manajer yang bekerja di International Joint Ventures (IJV) di Cina. Ukuran sampel yang digunakan pada penelitian adalah 82 manajer Jepang dan 32 Taiwan yang bekerja di IJV di Cina. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stres peran memiliki hubungan yang signifikan dengan gaya pengawasan dan pengambilan keputusan, serta kepuasan memiliki hubungan yang signifikan dengan ketiga variabel tersebut. 33 II.3 Kerangka Pemikiran Gaya Pengawasan (X1): • Pastoral Style • Contractual Style • Laissez-faire Style • Directorial Style • • • • Sumber : Gatfield (2005) Gaya Pengambilan Keputusan (X2) : Direvtive Style Analytic Style Conceptual Style Behavioral Style Sumber : Claude Gingras (2006) • • • • • • Stres Kerja (Y) : Tuntutan tugas Tuntutan peran Tuntutan hubungan antarpribadi Struktur organisasi Kepemimpinan organisasi Tahap hidup organisasi Sumber : Siti Rahmawati (2009) • • • • • • Kepuasan Kerja (Z) : Pekerjaan itu sendiri Gaji Kesempatan / promosi Supervisor (Pengawas) Rekan Kerja Kondisi Kerja Sumber : Djumadi (2006) Sumber : Pengelolaan Penulis, 2012 Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran 34 Keterangan : Indikator dari Gaya Pengawasan adalah sebagai berikut : 1. Indikator dari sub variabel Pastoral Style : a. Tidak memberikan pengarahan kepada karyawan. b. Tidak memberikan petunjuk mengenai pekerjaan karyawan. c. Tidak terlibat secara langsung dalam pekerjaan karyawan. d. Memperhatikan kebutuhan karyawan. 2. Indikator dari sub variabel Contractual Style : a. Memberikan pengarahan kepada karyawan. b. Memberikan petunjuk mengenai pekerjaan karyawan. c. Terlibat secara langsung dalam pekerjaan karyawan. 3. Indikator dari sub variabel Laissez-faire Style : a. Tidak memberikan pengarahan kepada karyawan. b. Tidak memberikan petunjuk mengenai pekerjaan karyawan. c. Tidak terlibat secara langsung dalam pekerjaan karyawan. d. Tidak memperhatikan kebutuhan karyawan. 4. Indikator dari sub variabel Directorial Style : a. Memberikan pengarahan kepada karyawan. b. Memberikan petunjuk mengenai pekerjaan karyawan. c. Terlibat secara langsung dalam pekerjaan karyawan. d. Tidak memberikan kebebasan kepada karyawan untuk bekerja sendiri. e. Tidak memperhatikan kebutuhan karyawan. Sedangkan, indikator dari Gaya Pengambilan Keputusan adalah sebagai berikut: 1. Indikator dari sub variabel Direvtive Style : 35 a. Menggunakan sedikit informasi dalam mengambil keputusan. b. Berorientasi pada tugas dan masalah teknis. c. Cenderung cepat dalam mengambil keputusan. d. Hanya mau menerima informasi yang relevan (fakta). 2. Indikator dari sub variabel Analytic Style : a. Menggunakan banyak informasi dalam mengambil keputusan. b. Berorientasi pada tugas dan masalah teknis. c. Cenderung lambat dalam mengambil keputusan. d. Menganalisa setiap informasi sebelum mengambil keputusan. 3. Indikator dari sub variabel Conceptual Style : a. Menggunakan banyak informasi dalam mengambil keputusan. b. Peduli dengan lingkungan sosial. c. Cenderung lambat dalam mengambil keputusan. d. Mengambil keputusan dengan mengandalkan intuisi. 4. Indikator dari sub variabel Behavioral Style : a. Mau menerima masukan / saran. b. Menggunakan banyak informasi dalam mengambil keputusan. c. Peduli dengan lingkungan sosial. d. Mengambil keputusan secara musyawarah. Kedua variabel bebas tersebut akan dicari apakah saling berkorelasi secara signifikan atau tidak serta bagaimana sifat hubungannya satu sama lain. Variabel gaya pengawasan dan gaya pengambilan keputusan secara individual maupun simultan diasumsikan berkorelasi dengan stres kerja karyawan dan memengaruhi variabel stres kerja karyawan yang memiliki indikator sebagai berikut : 1. Indikator dari sub variabel tuntutan tugas : a. Tugas yang diberikan berlebihan. 36 b. Tanggung jawab yang diberikan memberatkan. c. Mengalami kesulitan dalam memenuhi target. d. Dikejar waktu dalam menyelesaikan tugas. 2. Indikator dari sub variabel tuntutan peran : a. Mengerjakan pekerjaan yang tidak dimengerti atau tidak cocok. b. Tujuan yang ditetapkan perusahaan tidak sesuai dengan harapan. c. Ditekan dengan banyak peraturan dalam menjalankan tugas. 3. Indikator dari sub variabel tuntutan hubungan antarpribadi : a. Hubungan dengan rekan kerja tidak baik. b. Kesulitan berkomunikasi dengan atasan. c. Kurangnya dukungan dari atasan. d. Hubungan dengan atasan tidak baik. 4. Indikator dari sub variabel struktur organisasi : a. Informasi mengenai pekerjaan kurang jelas. b. Tanggung jawab pekerjaan yang harus dijalankan kurang jelas. c. Prosedur / instruksi kurang jelas. 5. Indikator dari sub variabel kepemimpinan organisasi : a. Karyawan tidak diberi kesempatan untuk memberikan pendapat. b. Karyawan tidak punya peranan dalam mengambil keputusan. c. Atasan tidak memberitahu dengan jelas mengenai tugas yang harus dilakukan. 6. Indikator dari sub variabel tahap hidup organisasi: a. Peluang mendapatkan promosi kecil. b. Mengalami promosi ke jabatan yang tidak sesuai dengan kemampuan. c. Umpan balik terhadap hasil kerja tidak sesuai harapan. 37 Setelah itu, ketiga variabel tersebut akan dicari apakah berkorelasi dengan dan berkontribusi terhadap variabel bergantung yaitu variabel kepuasan kerja karyawan yang dilihat dari indikator-indikator sebagai berikut : 1. Indikator dari sub variabel pekerjaan itu sendiri : a. Kesempatan belajar. b. Kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan keahlian. 2. Indikator dari sub variabel gaji : a. Kesesuaian dengan beban pekerjaan. 3. Indikator dari sub variabel kesempatan / promosi : a. Kesempatan mengembangkan diri. b. Kesempatan kenaikan jabatan. 4. Indikator dari sub variabel supervisor (pengawas) : a. Kemampuan menyediakan bantuan teknis. b. Kemampuan dalam memberikan dukungan. 5. Indikator dari sub variabel rekan kerja : a. Hubungan dengan rekan. 6. Indikator dari sub variabel Kondisi Kerja : a. Kondisi lingkungan kerja. II.4 Hipotesis Berdasarkan dari permasalahan yang telah diajukan dan tujuan penerlitian serta tinjauan pustaka, maka hipotesis yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Hipotesis sesuai dengan Tujuan 1 (T-1) melalui pengujian secara individual antara variabel X1 dengan variabel Y : 38 Ho : Variabel X1 tidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Y Ha : Variabel X1 berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Y 2. Hipotesis sesuai dengan Tujuan 1 (T-1) melalui pengujian secara individual antara variabel X2 dengan variabel Y : Ho : Variabel X2 tidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Y Ha : Variabel X2 berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Y 3. Hipotesis sesuai dengan Tujuan 1 (T-1) melalui pengujian secara simultan antara variabel X1 dan X2 dengan variabel Y : Ho : Variabel X1 dan X2 tidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Y Ha : Variabel X1 dan X2 berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Y 4. Hipotesis sesuai dengan Tujuan 2 (T-2) melalui pengujian secara individual antara variabel X1 dengan variabel Z : Ho : Variabel X1 tidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Z Ha : Variabel X1 berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Z 5. Hipotesis sesuai dengan Tujuan 2 (T-2) melalui pengujian secara individual antara variabel X2 dengan variabel Z : Ho : Variabel X2 tidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Z Ha : Variabel X2 berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Z 6. Hipotesis sesuai dengan Tujuan 2 (T-2) melalui pengujian secara individual antara variabel Y dengan variabel Z : Ho : Variabel Y tidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Z Ha : Variabel Y berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Z 7. Hipotesis sesuai dengan Tujuan 2 (T-2) melalui pengujian secara simultan antara variabel X1, X2 dan Y dengan variabel Z : 39 Ho : Variabel X1, X2 dan Ytidak berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Z Ha : Variabel X1, X2 dan Y berkontribusi secara signifikan terhadap variabel Z 40