Analisis Keragaman Genetik Kelapa Sawit

advertisement
PENDAHULUAN
Popularitas keragaman hayati Indonesia
tidak perlu diragukan lagi. Hal tersebut juga
menjadi salah satu alasan penjajahan Belanda
selama beratus tahun. Beberapa tanaman yang
diintroduksi pemerintah Hindia Belanda
seperti teh, kopi, karet, kakao, tebu, dan lainlain kini menjadi komoditi andalan
perkebunan Indonesia. Namun, dari semua
komoditi tersebut terdapat satu komoditi yang
belum dikembangkan di era kolonial namun
kini menjadi komoditi primadona yang sangat
berperan dalam perekonomian nasional yaitu
kelapa sawit. Data Badan Pusat Statistik
Indonesia menunjukkan bahwa produksi
kelapa sawit Indonesia tahun 2010 mencapai
14.290.054 ton dari 5.032.8 hektar lahan
perkebunan kelapa sawit.
Potensi lahan untuk pengembangan kelapa
sawit berkisar 21.704.950 hektar yang tersebar
di seluruh Indonesia yaitu pulau Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Kiswanto
et al. 2008). Luasnya lahan tersebut tidak
diimbangi dengan produktivitas kelapa sawit.
Hal ini dipicu oleh keragaman genetik kelapa
sawit di Indonesia yang masih rendah
sehingga perlu dilakukan eksplorasi untuk
meningkatkan keragaman dalam upaya
mendapatkan bibit unggul (Ditjenbun 2010).
Hal ini juga merupakan salah satu upaya
dalam revitalisasi komoditi perkebunan
Indonesia (Deptan 2007).
Eksplorasi bibit kelapa sawit ke Afrika
merupakan salah satu upaya yang dilakukan
Departemen Pertanian dalam langkah
penemuan bibit unggul pada tahun 2003.
Eksplorasi lain juga dilakukan dengan
mencari populasi kelapa sawit di Indonesia,
salah satunya di Jawa Barat. Informasi genetik
dari populasi kelapa sawit di daerah ini dapat
digunakan untuk meningkatkan keragaman
kelapa sawit nasional sehingga Indonesia
dapat memiliki bibit unggul kelapa sawit.
Bibit unggul kelapa sawit dapat dihasilkan
melalui program pemuliaan tanaman. Selama
ini kegiatan tersebut dilakukan secara
konvensional
yang
didasarkan
pada
pengamatan fenotipe (morfologi) dan
pendugaan menggunakan metode statistika.
Lamadji et al. (1999) menyatakan bahwa
terdapat hambatan dalam pemuliaan secara
konvensional yaitu memerlukan waktu yang
cukup lama, gen yang menjadi target seleksi
untuk diekspresikan pada sifat-sifat morfologi
sulit ditentukan karena penampilan fenotipe
tanaman bukan hanya ditentukan oleh
komposisi genetik tetapi juga oleh lingkungan
tempat tanaman tersebut tumbuh, rendahnya
frekuensi individu yang diinginkan dalam
suatu populasi sehingga menyulitkan kegiatan
seleksi untuk mendapatkan hasil yang valid
secara statistik, dan pautan gen antara sifat
yang diinginkan dengan yang tidak diinginkan
sulit dipisahkan saat melakukan persilangan.
Selain itu untuk membedakan varietas baru
dan varietas lama juga dilakukan melalui
pengamatan morfologi. Cara ini sulit
dilakukan terlebih jika varietas baru memiliki
keragaman genetik yang sempit dan tetuanya
tidak berbeda jauh (Moeljopawiro 2010).
Menurut Pandin (2010), terjadinya
perubahan basa nukleotida pada sekuen DNA
tidak selalu mengubah karakter morfologi
sehingga penggunaan penanda yang langsung
terintegrasi dengan sistem genetika akan lebih
mampu menggambarkan keadaan genom yang
sesungguhnya. Terlebih genom tanaman
terletak pada tiga tempat berbeda yakni inti
sel, kloroplas, dan mitokondria. Keterbatasan
tersebut ditanggulangi dengan menggunakan
penanda yang didasari oleh adanya
polimorfisme pada tingkat protein atau DNA.
Informasi genetika berdasarkan penanda
protein dapat dilakukan menggunakan isozim.
Polimorfisme protein dideteksi dengan cara
elektroforesis dan perbedaan yang terdeteksi
antar alel bergantung pada asam amino yang
bermuatan. Informasi genetika berdasarkan
penanda DNA (molekular) dapat dilakukan
dengan
Restriction
Fragment
Length
Polymorphism (RFLP), Random Amplified
Polymorphic DNA (RAPD), Amplified
Fragment Length Polymorphism (AFLP), dan
mikrosatelit atau Simple Sequence Repeat
(SSR).
Penanda molekuler merupakan teknik
yang sangat baik bagi pemulia dan ahli
genetik untuk menganalisis genom tanaman.
Cara ini telah merevolusi bidang pemetaan
genetik dan bermanfaat untuk analisis
keragaman genetik, klasifikasi dan filogeni
dalam pengelolaan plasma nutfah, sebagai alat
bantu dalam pemuliaan, dan seleksi melalui
penandaan gen. Penanda molekuler juga dapat
digunakan untuk pengklonan gen yang
difasilitasi oleh peta penanda molekuler
(Azrai 2006).
Berbagai penelitian menggunakan teknik
RAPD telah banyak dilakukan pada berbagai
spesies tanaman dalam analisa keragaman
genetik. Penelitian tersebut diantaranya
dilakukan oleh Bangun (2002) dan Setiyo
(2001) pada tanaman kelapa sawit, Roslim
(2001), Pandin (2000), dan Hayati et al.
(2000) pada tanaman kelapa. Pemilihan
1
Download