Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepuasan Kerja (Job Satisfaction

advertisement
Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepuasan Kerja (Job Satisfaction )
2.1.1 Definisi
Sebelum masuk kedalam bahasan kepuasan kerja maka terlebih dahulu
akan melihat pengertian dari kepuasan kerja itu sendiri. Kepuasan Kerja
menjelaskan bagaimana konten dari seorang individu dengan pekerjaannya.
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual.
Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan
sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan
dirasakan
sesuai
dengan
keinginan
individu, maka makin
tinggi
juga
kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Jadi secara garis besar kepuasan kerja
dapa diartikan sebagai hal yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan
yang mana karyawan pandang dalam pekerjaannya.
Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja
seseorang, beberapa faktor termasuk tingkat gaji dan tunjangan, keadilan yang
dirasakan dari sistem promosi dalam perusahaan, kualitas kondisi kerja,
kepemimpinan dan hubungan sosial, dan pekerjaan itu sendiri (yang berbagai
tugas yang terlibat, kepentingan dan tantangan pekerjaan menghasilkan, dan
kejelasan deskripsi pekerjaan / persyaratan). Seseorang yang merasa senang
dan bahagia dengan pekerjaannya, dapat dikatakan juga kepuasaan mereka
terhadap pekerjaannya tinggi. Kepuasan kerja tidak sama dengan motivasi tetapi
hal ini jelas terkait satu sama lain.
Menurut Herzberg dalam Hasibuan (2005) ciri perilaku yang puas
adalah mereka yang mempunyai motivasi yang tinggi untuk bekerja , mereka
lebih senang dalam melakukan pekerjaannya, sedangkan ciri pekerja yang
kurang puas adalah mereka yang malas berangkat ke tempat bekerja, dan malas
dalam melaksanakan kewajibannya terhadap pekerjaan.
Sunyoto (2001) juga mengemukakan pendapat bahwa ketidakpuasan
kerja akan berdamapak pada tiga hal, yaitu : produktivitas kerja, kemangkiran
dan keluarnya tenaga kerja, serta kesehatan dari tenaga kerja yang
bersangkutan. Banyak pendapat yang ,menyatakan bahwa produktivitas dapat
ditingkatkan dengan manaikkan kepuasan kerja, namun hasil penelitian tidak
mendukung pandangan ini, karena hubungan antara produktivitas kerja dengan
kepuasan kerja sangat kecil. Produktivitas kerja dipengaruhi oleh banyak faktor
disamping kepuasan kerja itu sendiri. Lawler dan Porter dalam sunyoto (2001)
berpendapat bahwa produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari
kepuasan kerja jika tenaga kerja mempresepsikan bahwa usaha yang telah
dikeluarkan dan hasil yang didapatkan dari usaha tersebut kedua-duanya dirasa
adil dan pantas untuk dibuktikan dengan hasil kerja yang terbaik.
Ketidakhadiran lebih bersifat spontan dan kurang mencerminkan
ketidakpuasan kerja, berbeda dengan berhenti atau keluar dari pekerjaan. Steers
dan Rhodes dalam sunyoto (2001) mengembangkan model pengaruh dari
ketidakhadiran. Ada dua faktor pada perilaku hadir yaitu motivasi untuk hadir dan
kemampuan untuk hadir. Mereka percaya bahwa motivasi untuk hadir
dipengaruhi oleh kepuasan kerja. Menurut Robbins (1998) ketidakpuasan kerja
pada karyawan dapat diungkapkan melalui berbagai cara selain meninggalkan
pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang, mencuri barang milik
organisasi, menghindar dari tanggung jawab (Ashar SunyotoM, 2001: 365-366).
Frederick Herzberg dalam (Hasibuan, 2005) juga mengemukakan teori
motivasi berdasar teori dua faktor yaitu faktor higiene dan motivator. Dia
membagi kebutuhan Maslow menjadi dua bagian yaitu kebutuhan tingkat rendah
(fisik, rasa aman, dan sosial) dan kebutuhan tingkat tinggi (prestise dan
aktualisasi diri) serta mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi
individu adalah dengan memenuhi kebutuhan tingkat tingginya. faktor-faktor
seperti kebijakan, administrasi perusahaan, dan gaji yang memadai dalam suatu
pekerjaan akan menentramkan karyawan. berdasarkan hasil penelitian Herzberg
ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam memotivasi bawahan
(Hasibuan, 2005) yaitu:
1. Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang
yang mencakup perasaan berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan,
dapat menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya pengakuan atas semua
itu.
2. Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama pada faktor yang
bersifat embel-embel saja dalam pekerjaan, peraturan pekerjaan,
penerangan, istirahat dan lain-lain sejenisnya.
3. Karyawan akan kecewa bila peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka
akan menjadi sensitif pada lingkungannya serta mulai mencari-cari
kesalahan.
Menurut Kinicki, Mckee-Ryan, Schriesheim, & Carson (2002) dalam
(Pearson, 2006) Kepuasan kerja mengacu pada perasaan positif dan negatif dan
sikap kami miliki tentang pekerjaan kita, dan itu adalah variabel bebas yang
paling sering dipelajari dalam psikologi industri. itu tergantung pada banyak faktor
yang berhubungan dengan pekerjaan, mulai dari tempat parkir ditugaskan kita
pada rasa kepuasan yang kita dapatkan dari tugas sehari-hari. Faktor pribadi
juga dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Ini termasuk faktor usia, kesehatan,
lama pengalaman kerja, stabilitas emosional, status sosial, kegiatan rekreasi,
dan keluarga, dan hubungan sosial lainnya.
Untuk mengetahui tentang pengertian kepuasan kerja ada beberapa
pendapat sebagaimana hasil penelitian Herzberg dalam Hasibuan (2005), bahwa
faktor yang mendatangkan kepuasan adalah prestasi, pengakuan, pekerjaan itu
sendiri, tanggung jawab, dan kemajuan (Armstrong, 1994). Pendapat lain
menyatakan kepuasan kerja (job salisfaction) adalah keadaan emosional yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana para karyawan memandang
pekerjaan mereka (Handoko, 2001).
Sedangkan menurut Wexley dan Yulk (1977) yang disebut kepuasan
kerja
ialah
perasaan
seseorang
terhadap
pekerjaan.
Kepuasan
kerja
berhubungan erat dengan faktor sikap. Seperti dikemukakan oleh Tiffin (1964)
kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap dari karyawan terhadap
pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesama
karyawan (dalam As'ad, 2003). Sejalan dengan itu, Martoyo (2000) kepuasan
kerja (job salisfaction) adalah keadaan emosional karyawan di mana terjadi
ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan dari
perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang
diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan. Balas jasa kerja karyawan ini, baik
yang berupa finansial maupun yang nonfinansial. Kepuasan kerja merupakan
persoalan umum pada setiap unit kerja, baik itu berhubungan motivasi, kesetiaan
ataupun ketenangan bekerja, dan disiplin kerja (www.scribd.com). .
Menurut Hulin (1966) gaji merupakan faktor utama untuk mencapai
kepuasan kerja. Pendapat ini tidak seluruhnya salah sebab dengan mendapatkan
gaji ia akan dapat melangsungkan kehidupannya sehari-hari (www.scribd.com).
Tetapi kenyataannya gaji yang tinggi tidak selalu menjadi faktor utama unluk
mencapai kepuasan kerja. Kenyataan lain banyak perusahaan telah memberikan
gaji yang cukup tinggi, tetapi masih banyak karyawan yang merasa tidak puas
dan tidak senang dengan pekerjaannya. (As'ad, 2003) mengemukakan gaji
hanya memberikan kepuasan sementara karena kepuasan terhadap gaji sangat
dipengaruhi
oleh
kebutuhan
dan
nilai
orang
yang
bersangkutan
(www.scribd.com).
Menurut Blum (1956) menyatakan faktor-faktor yang memberikan
kepuasan kerja adalah: (a) faktor individual, meliputi: umur, kesehatan, watak
dan harapan; (b) faktor sosial, meliputi: hubungan kekeluargaan, pandangan
masyarakat, kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan
berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; (c) faktor utama dalam pekerjaan,
meliputi: upah, pengawasan,ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan
untuk maju. Selain itu, juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial
di dalam pekerjaan, kelepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia,
perasaan diperlakukan adil, baik yang menyangkut pribadi maupun tugas (dalam
As'ad, 2003). Ahli lain, Ghiselli dan Brown mengemukakan lima faktor yang
menimbulkan kepuasan dalam As'ad (2003) yaitu: pertama, kedudukan (posisi),
umumnya ada anggapan bahwa orang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih
tinggi akan lebih puas daripada bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar,
perubahan tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan kerja. Kedua,
pangkat (golongan), pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat
(golongan) sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada
orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya
akan dianggap sebagai kenaikan pangkat dan kebanggaan terhadap kedudukan
yang baru itu akan merubah perilaku dan perasaan. Ketiga, umur dinyatakan
bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur karyawan. Umur
antara 25 sampai 34 tahun dan umur 40 sampai 45 tahun adalah merupakan
umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.
Keempat, jaminan finansial dan jaminan sosial. Masalah finansial dan jaminan
sosial kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Kelima, mutu
pengawasan, hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting
dalani arti menaikkan produktivitas kerja. Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan
melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan
sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting
dari organisasi kerja (sense of belonging).
Kepuasan kerja karyawan ini akan diukur melalui penilaian responden
terhadap beberapa indikator seperti hubungan dengan pimpinan, hubungan
dengan rekan, lingkungan fisik kerja, saran atau kritik dari rekan kerja, hasil
penyelesaian tugas dan tanggung jawab, perasaan di tengah keluarga berkaitan
dengan kebutuhan tugas di kantor, perasaan jika mendapat penghargaan atau
pujian dari atasan, perasaan atau penilaian terhadap gaji, tunjangan dan bonus
yang diberikan instansi, penilaian terhadap jaminan/asuransi kesehatan, jaminan
pensiun, penilaian terhadap cuti kerja.
Dari berbagai pendapat tentang kepuasan kerja yang telah dikemukakan
oleh beberapa teori-teori kepuasan kerja diatas, maka peneliti membuat
kesimpulan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja
antara lain :
a) Faktor individual, meliputi kebutuhan yang dimiliki, nilai yang
dianut dan sifat kepribadian.
b) Faktor diluar individu yang berhubungan dengan pekerjaan
meliputi:
1. Pekerjaan itu sendiri (work), termasuk tugas-tugas yang
diberikan , variasi dalam pekerjaan, kesempatan untuk belajar,
dan banyaknya pekerjaan
2. Mutu pengawasan dan pengawas (supervision), termasuk
didalamnya
hubungan
antara
karyawan
dengan
atasan,
pengawasan kerja dan kualitas kerja.
3.
Rekan sekerja (co-workers), meliputi hubungan antar
karyawan.
4. Promosi (Promotion), berhubungan erat dengan masalah
kenaikan
pangkat
atau
jabatan,
kesempatan
untuk
maju,
pengembangan karir.
5. Gaji yang diterima (pay), meliputi besarnya gaji, kesesuaian gaji
dengan pekerjaan.
6. Kondisi kerja (working conditions), meliputi jam kerja , waktu
istirahat, lingkungan kerja, keamananan dan peralatan kerja.
7. Perusahaan dan manajemen (company and management),
berhubungan dengan kebijaksanaan-kebiajksanaan perusahaan,
perhatian perusahaan kepada kepentingan karyawannya dan
system penggajian.
8. Keuntungan bekerja di perusahaan tersebut (benefits), seperti
pension, jaminan kesehatan, cuti, THR (Tunjangan Hari Raya) dan
tunjangan sosial lainnya.
9. Pengakuan (recognition), seperti puian atas pekerjaan yang
telah dilakukan, penghargaan terhadap prestasikaryawan dan juga
kritikan yang membangun.
Kesembilan faktor di luar individu yang berhubungan dengan pekerjaan
inilah yang nantinya akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini.
2.1.2 Teori-Teori Mengenai Kepuasan Kerja
Pada umumnya terdapat banyak teori yang membahas masalah
kepuasan seseorang dalam bekerja.
Menurut Wexly dan Yukl (1977) dalam bukunya yang berjudul
Organizatioanl Behaviour And Personnel Psychology, teori – teori tentang
kepuasan kerja ada tiga macam yang sudah sering dikenal, yaitu :
1) Teori Keseimbangan (Equity Theory)
Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak
puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keseimbangan (equity) atau tidak
terhadap suatu situasi. Menurut teori ini equity terdiri dari tiga elemen, yaitu :
a. Input yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakn oleh
karyawan sebagai sumbangan atas pekerjaannya.
b. Out Comes yaitu segala sesuatu yang berharga yang dirasakan
oleh karyawan sebagai hasil dari pekerjaannya.
c. Comparison Persons yaitu Kepada atau dengan siapa karyawan
membandingkan rasio input – outcomes yang dimilikinya.
Comparisons Persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan
yang sama, atau ditempat lain, atau bisa pula dengan dirinya
sendiri di waktu lampau.
Menurut teori ini, puas atau tidak puasnya karyawan merupakan hasil dari
membandingkan antara input-outcome dirinya dengan perbandingan inputoutcome karyawan lain (comparison person). Jadi jika perbandingan tersebut
dirasakan seimbang (equity) maka karyawan tersebut akan merasa puas. Tetapi
apabila terjadi tidak seimbang (inequity) dapat menyebabkan dua kemungkinan,
yaitu over compensation inequity (ketidakseimbangan yang menguntungkan
dirinya) dan sebaliknya, under compensation inequity (ketidakseimbangan yang
menguntungkan karyawan lain yang menjadi pembanding atau comparison
person).
2) Teori Perbedaan (Discrepancy Theory)
Teori Perbedaan dari Locke ini menyatakan bahwa kepuasan kerja
karyawan tergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dan apa yang
diharapkan oleh karyawan. Apabila yang didapat karyawan ternyata lebih besar
daripada apa yang diharapkan maka karyawan tersebut menjadi puas.
Sebaliknya, apabila yang didapat karyawan lebih rendah daripada yang
diharapkan, akan menyebabkan karyawan tidak puas.
3) Teori Dua Faktor Herzberg (Herzberg’s Two Factor Theory)
Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg (1966). Ia
menggunakan teori Abraham Maslow sebagai titik acuannya. Prinsip dari teori ini
adalah kepuasan dan ketidakpuasan kerja itumerupakan dua hal yang berbeda,
artinya kepuasan dan ketidakpuasan kerjaterhadap pekerjaan itu tidak
merupakan suatu variabel yang kontinyu (Herzberg dalam Hasibuan, 2005).
Teori ini pertama dikemukakan oleh Herzberg melalui hasilpenelitian beliau
dengan membagi situasi
yang mempengaruhi
sikap seseorangterhadap
pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu :
a.Kelompok satisfiers yaitu situasi yang dibuktikannya sebagai sumber
kepuasan
kerja
yang
terdiri
dari
tanggung
jawab,
prestasi,
penghargaan,promosi, dan pekerjaan itu sendiri. Kehadiran faktor ini akan
menimbulkan kepuasan, tetapi tidak hadirnya faktor ini tidak akan selalu
mengakibatkan ketidakpuasan.
b.Kelompok dissatisfiers ialah faktor – faktor yang terbukti menjadi
sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari kondisi kerja, gaji, penyelia, teman
kerja,kebijakan administrasi, dan keamanan. Perbaikan terhadap kondisi ini akan
mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, tetapi tidak akan menimbulkan
kepuasan karena ia bukan sumber kepuasan kerja. Yang menarik dari teori ini
justru
terletak
pada
konsep
dasar
tentang
pemisahan
kepuasan
dan
ketidakpuasan kerja, karena dianggap kontroversial. Penelitian yang dilakukan
oleh Mills (1967) terhadap 155 orang karyawandari dua buah pabrik besar di
Australia, dimana sampel terdiri dari berbagai tingkatan umur, kebangsaan, lama
dinas, dan macam jabatan.Hasilnya seratus persen mendukung teori dua faktor
tersebut (Moh. As’ad,1995:108-109).(www.scribd.com)
dan dibawah ini juga merupakan teori-teori tambahan mengenai
kepuasan kerja, antara lain :
4) Teori Pemenuhan Kebutuhan (Need Fulfillment Theory)
Teori ini pertama kali dipelopori A. H. Maslow. dikemukakan oleh A. H.
Maslow tahun 1943. Teori ini merupakan kelanjutan dari “Human Science
Theory” Elton Mayo (1880-1949) yang menyatakan bahwa kebutuhan dan
kepuasan seseorang itu jamak, yaitu kebutuhan biologis dan psikologis berupa
kebutuhan meteriil dan non-materiil. Dalam teori ini Maslow menyatakan adanya
suatu hirarki kebutuhan pada setiap orang. Setiap orang memberi prioritas pada
suatu kebutuhan sampai kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Jika suatu
kebutuhan sudah terpenuhi, maka kebutuhan yang kedua akan memegang
peranan, demikian seterusnya menurut urutannya.
5) Teori Pandangan Kelompok (Social Reference Group Theory)
Menurut teori ini, kepuasan kerja karyawan bukanlah bergatung pada
pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat bergantung pada pandangan dan
pendapat kelompok yang oleh para karyawan dianggap sebagai kelompok
acuan. Kelompok acuan tersebut oleh karyawan dijadikan tolok ukur untuk
menilai dirinya maupun lingkungannya. Jadi, karyawan akan merasa puas
apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh
kelompok acuan.
6) Teori Pengharapan (Ecpentancy Theory)
Teori pengharapan dikembangkan oleh Victor H. Vroom. Kemudian
teori ini diperluas oleh Porter dan Lawler. Vroom menjelaskan bahwa motivasi
suatu produk dari bagaimana seseorang menginginkan sesuatu dan penaksiran
seseorang memungkinkan aksi tertentu yang akan menuntunnya. Pernyataan ini
berhubungan dengan rumus dibawah ini:
Valensi X Harapan = Motivasi
Keterangan:
a) Valensi merupakan kekuatan hasrat seseorang untuk mencapai sesuatu.
b) Harapan merupakan kemungkinan mencapai sesuatu dengan aksi tertentu.
c) Motivasi merupakan kekuatan dorongan yang mempunyai arah pada tujuan
tertentu.
Berdasarkan dari ke enam teori kepuasan kerja yang dibahas
sebelumnya diatas, penenulis memutuskan untuk menggunakan konsep Hezberg
(1966) dan diperkuat dengan teorinya Blum (1956) mengenai faktor – faktor yang
dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang, yaitu faktor diluar individu yang
berhubungan dengan pekerjaan, dan ke sembilan faktor inilah yang nantinya
dijadikan landasan utama dalam pembuatan alat ukur pada penelitian ini.
2.2 Motivasi Berprestasi (Need of Achievement)
Kajian utama yang akan dibahas dalam sub bab ini adalah tentang
motivasi berprestasi. Akan tetapi, sebelum diuraikan secara rinci mengenai
motivasi berprestasi, terlebih dahulu akan diuraikan teori-teori motivasi secara
umum yang dikemukakan berbagai teori-teori tentang motivasi secara umum
yang dikemukakan oleh para ahli. Dengan dikemukakan berbagai teori-teori
tentang motivasi, maka diharapkan akan memperdalam uraian teoritis tentang
motivasi.
Pada dasarnya motivasi berasal dari kata dasar “motive” yang berarti
dorongan atau kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang menyebabkan
organisme itu bertindak atau berbuat.
McClelland (1993) mengatakan bahwa individu yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi berbeda dalam keinginan yang kuat dalam melakukan hal-hal
yang lebih baik. McClelland (1993) menyebutkan ciri-ciri individu yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi meliputi ketertarikan terhadap tugas yang memiliki
taraf kesulitan sedang, bertanggung jawab secara personal atas performa kerja,
menyukai umpan balik, inovatif, dan memiliki ketahanan kerja yagn lebih tinggi
sehingga seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi pada
umumnya lebih berhasil dalam menjalankan tugas dibandingkan dengan mereka
yang memiliki motif berprestasi yang rendah. Sementara itu karyawan
merupakan salah satu faktor terpenting dalam meningkatkan dan menurunkan
produktivitas perusahaan dalam mencapai kesuksessan (Hasibuan, 2005).
Motivasi berprestasi adalah suatu motivasi yang ditanda dengan
karakteristik sebagai High – achiever. Motivasi berprestasi adalah kebutuhan
untuk berhasil dalam melakukan sesuatu yang lebih baik dari yang lainnya dan
untuk menguasai tugas menantang. Menurut McClelland (1993), dikatakan
Motivasi berprestasi adalah motivasi kewiraswastaan, yaitu keinginnan untuk
melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan standar yang tertinggi (excellence)
atau keinginnan untuk berhasil, sukses dalam suasana persaingan.
Mc.Clelland mengemukakan teorinya yaitu McClelland Achievement
Motivation Theory atau teori Motivasi Prestasi Mc Clelland. Menurut McClelland
(1993) yang dikutip oleh Hasibuan (2005) teori ini berpendapat bahwa karyawan
mempunyai cadangan energi potensial. Bagaimana energi ini dilepaskan dan
digunakan tergantung pada kekuatan dorongan motivasi seseorang dan situasi
serta peluang yang tersedia Dari beberapa teori motivasi di atas dapat
disimpulkan tidak cukup memenuhi kebutuhan makan dan minum pakaian saja.
Akan tetapi orang juga mengharapkan pemuasan kebutuhan biologis dan
psikologis orang tidak dapat hidup bahagia. Semakin tinggi status seseorang
dalam perusahaan, maka motivasi mereka semakin tinggi dan hanya pemenuhan
jasmaniah saja. Semakin ada kesempatan untuk memperoleh kepuasan material
dan non material dari hasil kerjanya, semakin bergairah seseorang untuk bekerja
dengan mengerahkan kemampuan yang dimilikinya.
Masalah
rendahnya
motivasi
berprestasi
pada
karyawan
dapat
disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik merupakan faktor
dari dalam individu yaitu persepsi individu tentang kemungkinan sukses yang
dicapai,
keyakinan
terhadap
kemampuannya
mencapai
sukses,
tingkat
pentingnya tujuan bagi individu, serta faktor lainnya seperti jenis kelamin, usia
dan kepribadian dan pengalaman kerja (McClelland, 1987). Perilaku rendahnya
motivasi dapat disebabkan oleh faktor intrinsik seperti adanya perasaan tidak
sanggup dan tidak penting terhadap tujuan, bosan dan jenuh terhadap pekerjaan
karena tidak adanya variasi pekerjaan, monoton, dan ketidaksesuaian pekerjaan
yang diterima (Kondalkar, 2009).
Selain faktor dari dalam diri individu, terdapat pula faktor yang berasal
dari luar individu yang mempengaruhi motivasi berprestasi yaitu faktor ekstrinsik.
Beberapa faktor ekstrinsik yang dapat menyebabkan rendahnya motivasi
berprestasi pada karyawan adalah beban kerja yang relatif berat, kondisi
lingkungan kerja yang kurang mendukung, sistem imbalan yang kurang
memadai, konflik horizontal atau vertikal yang dihadapi karyawan di dalam
perusahaan kesewenangan atasan dan kebijakan perusahaan yang tidak tepat
(Kondalkar, 2009). Hal ini dapat mempengaruhi perilaku negatif pada karyawan
seperti aksi protes dan demo, mogok kerja dan pengunduran diri (Anton, 2009).
Faktor ekstrinsik merupakan hal-hal yang berasal dari organisasi dan
perusahaan yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi pada karyawan
seperti status kerja, administrasi dan kebijakan perusahaan, gaji, kondisi kerja,
dan relasi interpersonal (McClelland, 1987).
Karyawan akan melakukan pekerjaan dengan lebih baik bila tersedia
motivasi ekstrinsik. Penelitian menemukan bahwa motivasi berprestasi tinggi
memiliki performa yang kurang baik ketika tidak ada insentif dari pekerjaan
sebagai motivasi ekstrinsik (McClelland, 1987). Individu yang memiliki motivasi
berprestasi tinggi tidak selalu dapat melakukan sesuatu dengan lebih baik bila
tidak dihadirkan motivasi ekstrinsik. Oleh karena itu, perusahaan harus
memahami pentingnya motivasi ekstrinsik bagi karyawan dalam memenuhi
kebutuhan berprestasi karyawan. Motivasi ekstrinsik merupakan sesuatu yang
diberikan oleh perusahaan untuk meningkatkan kontribusi karyawan. Hal ini
dapat dilakukan dengan menciptakan kualitas kehidupan bekerja yang
mendorong karyawan memaksimalkan kontribusinya pada pencapaian prestasi
yang optimal.
Ada tiga jenis kebutuhan manusia menurut McClelland dalam Hasibuan
(2005) yaitu kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk kekuasaan, dan
kebutuhan untuk berafiliasi.
A. Kebutuhan akan Kekuasaan (Need of Power / N-Pow)
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain
berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan
berperilaku
demikian
atau
suatu
bentuk
ekspresi
dari
individu
untuk
mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow
terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri.
McClelland (1987) menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat
berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan. Npow adalah motivasi terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi untuk
berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin
dan memiliki ide-ide untuk menang. Ada juga motivasi untuk peningkatan status
dan prestise pribadi.
B. Kebutuhan untuk Berafiliasi atau Bersahabat (Need of Affiliation / N- Affi)
Kebutuhan akan Afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi
yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai
hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak
lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil
dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi. McClelland
(1987) mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik
tersebut, akibatnya akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau
mengelola organisasi.
C. Kebutuhan akan Prestasi (Need of Achivement/ N- Ach)
Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli,
berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar bergulat untuk sukses.
Kebutuhan ini pada hirarki Maslow (1943) terletak antara kebutuhan akan
penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri inidividu yang
menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif
tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka,
keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah. N-Ach adalah
motivasi untuk berprestasi, karena itu karyawan akan berusaha mencapai
prestasi tertingginya, pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi
menantang, dan kemajuan dalam pekerjaan. Karyawan perlu mendapat umpan
balik dari lingkungannya sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya
tersebut.
Teori Motivasi Berprestasi mengemukakan bahwa, manusia pada
hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi diatas kemampuan orang
lain. Teori ini memiliki sebuah pandangan (asumsi) bahwa kebutuhan untuk
berprestasi itu adalah suatu yang berbeda dan dapat dan dapat dibedakan dari
kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Menurut McClelland (1987), seseorang
dianggap memiliki motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk
melakukan suatu karya berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain.
Terdapat beberapa karakteristik dari orang yang menurut McClelland
dalam Hasibuan (2005) berprestasi tinggi, antara lain :
1. Pemilihan tingkat kesulitan tugas (level task difficulty choices)
Individu dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung memilih tugas
dengan tingkat kesulitan menengah (moderate task difficulty), sementara individu
dengan motivasi berprestasi rendah cenderung memilih tugas dengan tingkat
kesulitan yang sangat tinggi atau rendah. Banyak studi empiris menunjukkan
bahwa subjek dengan kebutuhan berprestasi tinggi lebih memilih tugas dengan
tingkat kesulitan menengah, karena individu berkesempatan untuk membuktikan
bahwa ia mampu melakukan sesuatu dengan lebih baik. Weiner (dalam
McClelland, 1993) mengatakan bahwa pemilihan tingkat kesulitan tugas
berhubungan dengan seberapa besar usaha yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh kesuksesan. Tugas yang mudah dapat diselesaikan oleh semua
orang, sehingga individu tidak mengetahui seberapa besar usaha yang telah
mereka lakukan untuk mencapai kesuksesan. Tugas sulit membuat individu tidak
dapat mengetahui usaha yang sudah dihasilkan karena betapapun besar usaha
yang telah mereka lakukan, namun mereka mengalami kegagalan.
2. Ketahanan atau ketekunan (persistence) dalam mengerjakan tugas
Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan lebih bertahan atau
tekun dalam mengerjakan berbagai tugas, tidak mudah menyerah ketika
mengalami kegagalan dan cenderung untuk terus mencoba menyelesaikan
tugas, sementara individu dengan motivasi berprestasi rendah cenderung
memiliki ketekunan
yang
rendah.
Ketekunan
individu
dengan
motivasi
berprestasi rendah terbatas pada rasa takut akan kegagalan dan menghindari
tugas dengan kesulitan menengah.
3. Harapan terhadap umpan balik (feedback)
Individu dengan motivasi berprestasi tinggi selalu mengharapkan umpan
balik (feedback) atas tugas yang sudah dilakukan, bersifat konkret atau nyata
mengenai seberapa baik hasil kerja yang telah dilakukan. Individu dengan
motivasi berprestasi rendah tidak mengharapkan umpan balik atas tugas yang
sudah dilakukan. Bagi individu dengan motivasi berprestasi tinggi, umpan balik
yang bersifat materi seperti uang, bukan merupakan pendorong untuk melakukan
sesuatu dengan lebih baik, namun digunakan sebagai pengukur keberhasilan.
4. Memiliki tanggung jawab pribadi terhadap kinerjanya
Individu dengan motivasi berprestasi tinggi memiliki tanggung jawab
pribadi atas pekerjaan yang dilakukan. Selain itu, Johnson dan Schwitzgebel &
Kalb (dalam Djaali, 2008) menyatakan juga karakteristik individu yang memiliki
motivasi berprestasi tinggi, yaitu : a. Menyukai situasi atau tugas yang menuntut
tanggung jawab pribadi atas hasil-hasilnya dan bukan atas dasar untung untungan, nasib, atau kebetulan.
5. Kemampuan dalam melakukan inovasi (innovativeness)
Inovatif dapat diartikan mampu melakukan sesuatu lebih baik dengan
cara berbeda dari biasanya. Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan
menyelesaikan tugas dengan lebih baik, menyelesaikan tugas dengan cara
berbeda dari biasanya, menghindari hal-hal rutin, aktif mencari informasi untuk
menemukan cara yang lebih baik dalam melakukan sesuatu, serta cenderung
menyukai hal-hal yang sifatnya menantang daripada individu yang memiliki
motivasi berprestasi rendah.
Selain itu Sukadji (2001) daam Lestary (2012) juga mengatakan bahwa ciriciri individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi adalah :
1. Selalu berusaha, tidak mudah menyerah dalam mencapai sukses
maupun dalam berkompetisi, dengan menentukan sendiri standard bagi
prestasinya.
2. Secara umum tidak menampilkan hasil yang lebih baik pada tugas-tugas
rutin, tetapi mereka biasanya menampilkan hasil yang lebih baik pada
tugas-tugas khusus yang memiliki arti bagi mereka.
3. Dalam melakukan sesuatu tidak didorong atau dipengaruhi oleh reward
(hadiah atau uang)
4. Cenderung mengambil risiko
yang
wajar (bertaraf sedang)
dan
diperhitungkan. Mereka tidak akan melakukan hal-hal yang dianggapnya
terlalu mudah ataupun terlalu sulit
5. Mencoba memperoleh umpan balik dari perbuatannya
6. Mencermati lingkungan dan mencari kesempatan/peluang
7. Bergaul lebih untuk memperoleh pengalaman
8. Menyenangi situasi menantang, dimana mereka dapat memanfaatkan
kemampuannya.
9. Cenderung mencari cara-cara yang unik dalam menyelesaikan suatu
masalah
10. Kreatif
11. Dalam bekerja atau belajar seakan-akan dikejar waktu.
Berdasarkan ke lima karakteristik orang berprestasi tinggi yang dijelaskan
menurut McClelland (1987), dipilih penulis sebagai landasan dalam penelitian ini
mengenai motivasi berprestasi.
2.3 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir yang dikembangkan dalam penelitian ini, mengacu
pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa sumber ketidakpuasaan
pada karyawan yaitu pekerjaan(working condition), pengawasan (supervision
technical), gaji (salary), promosi dan hubungan antar personal (interpersonal
relation). Adanya perbaikan terhadap kondisi ini diharapkan akan mengurangi
atau menghilangkan ketidakpuasan sehingga kinerja meningkat. Berikut adalah
gambar dari konsep penelitian:
Hubungan Vocational Maturity
dengan Motivasi Berprestasi
Motivasi
Kepuasan
Supervisor
Berprestasi
Kerja
karyawan
Staff
Gambar 2.3 Hubungan Kepuasan Kerja dengan Motivasi
Berprestasi karyawan
Download