BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Mathis dan Jackson (2006, p.3), manajemen sumber daya manusia adalah rancangan – rancangan sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan – tujuan organisasional. Manajemen sumber daya manusia menurut Hasibuan (2007, p.111) merupakan penyiapan dan pelaksanaan suatu rencana yang terkoordinasi untuk menjamin bahwa sumber daya manusia yang ada dapat dimanfaatkan dengan sebaik – baiknya untuk mencapai tujuan organisasi. Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Sumber Daya Manusia adalah segala usaha yang dilakukan untuk menambah nilai dari sumber daya manusia tersebut dalam kaitannya dengan mencapai tujuan perusahaan. 2.2 Efikasi Diri Menurut Bandura (1999, p.21), dasar teoritis untuk efikasi diri adalah kapabilitas refleksi diri yaitu bagaimana orang merefleksikan kembali tindakan / pengalaman kejadian tertentu dan selanjutnya memproses secara kognitif seberapa besar keyakinan mereka terhadap penyelesaian tugas / kejadian di masa mendatang. Penekanan efikasi diri terletak pada mekanisme psikologis yang paling penting dari pengaruh diri (self-influence). Dia menyatakan, “Jika orang tidak yakin bahwa 22 mereka dapat menghasilkan efek yang diinginkan dan mencegah hal yang tidak diinginkan dengan tindakan mereka, maka mereka memiliki sedikit dorongan untuk bertindak. Selain itu, Locke (2000, p.10) menyatakan bahwa faktor apapun yang bertindak sebagai motivator, berakar dalam keyakinan bahwa seseorang punya kekuasaan untuk membuahkan hasil yang diinginkan. Definisi formal efikasi diri yang biasa digunakan adalah pernyataan Bandura mengenai penilaian (judgement) atau keyakinan pribadi tentang “seberapa baik seseorang dapat melakukan tindakan yang diperlukan untuk berhubungan dengan situasi prospektif” (Bandura, 1982, p.122). 2.2.1 Proses dan Dampak Efikasi Diri Proses efikasi diri mempengaruhi fungsi manusia bukan hanya secara langsung, tetapi juga mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap faktor lain. Secara langsung, proses efikasi diri mulai sebelum individu memilih pilihan mereka dan mengawali usaha mereka. Pertama, orang cenderung mempertimbangkan, mengevaluasi dan mengintegrasikan informasi mengenai kapabilitas yang dirasakan. Langkah awal dalam proses tersebut tidak begitu berhubungan dengan kemampuan dan sumber individu, tetapi lebih pada bagaimana mereka menilai atau meyakini bahwa mereka dapat menggunakan kemampuan dan sumber mereka untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Menurut Luthans (2006, p.340), evaluasi / persepsi menghasilkan harapan atas efikasi personal yang pada gilirannya menentukan : 1. Keputusan untuk menampilkan tugas tertentu dalam konteks ini. 2. Sejumlah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan tugas. 23 3. Tingkat daya tahan yang akan muncul (selain masalah), tidak sesuai dengan bukti dan kesulitan yang dihadapi. Dengan kata lain bahwa dari awal dapat dilihat bahwa efikasi diri secara langsung mempengaruhi : 1. Pemilihan perilaku (misalkan, keputusan dibuat berdasarkan bagaimana efikasi yang dirasakan seseorang terhadap pilihan, misalnya tugas pekerjaan atau bidang karir). 2. Usaha motivasi (misalnya, orang mencoba lebih keras dan berusaha melakukan tugas dimana efikasi diri mereka lebih tinggi dari pada mereka yang memiliki penilaian efikasi rendah). 3. Daya tahan (misalnya, orang dengan efikasi diri tinggi akan bangkit, bertahan taat menghadapi masalah atau kegagalan, sementara orang dengan efikasi diri rendah cenderung menyerah saat muncul rintangan). 2.2.2 Aspek-Aspek Efikasi Diri Efikasi diri secara umum dibedakan atas dua kelompok, yaitu efikasi diri khusus dan umum. Efikasi diri khusus sangat beragam tergantung pada tugas khusus dan diolah secara kognitif oleh individu sebelum usaha tersebut dikembangkan. Sebaliknya efikasi diri umum merujuk pada keyakinan orang dalam keberhasilan mencapai prestasi hidup. Bandura (dalam Luthans, 2008) menegaskan bahwa efikasi diri mewakili pengakuan tugas dan situasi khusus. Artinya efikasi diri ditujukan terhadap setiap tugas khusus dan terbuka bagi pelatihan dan pengembangan individu. Gibson (2003, p.155) menyebutkan bahwa efikasi diri memiliki tiga dimensi, yaitu besaran, kekuatan, dan 24 generalitas. Besaran merujuk pada tingkat kesulitan minat kewirausahaan yang diyakini individu bisa diatasi. Kekuatan meliputi keyakinan individu dalam melaksanakan kerja pada tingkat kesulitan khusus. Generalitas merujuk pada sejauh mana harapan berlaku umum dalam semua situasi. Salah satu implikasinya bahwa efikasi diri dapat mempengaruhi minat entrepeneurship seseorang, karena efikasi diri merefleksikan keyakinan individu atas kemampuannya mampu menuntaskan kesulitan apapun demi mencapai keberhasilan usaha yang digeluti. Bandura (2002, p.42-43) menjelaskan bahwa efikasi diri terdiri dari beberapa dimensi, yaitu: a) Level (Tingkat Kesulitan). Kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas yang tingkat kesulitannya berbeda. Individu dengan efikasi diri tinggi akan mempunyai keyakinan tinggi tentang kemampuan dalam melakukan suatu tugas yaitu keyakinan bahwa usaha yang digelutinya akan sukses. Sebaliknya individu yang memiliki efikasi diri rendah akan memiliki keyakinan rendah pula tentang setiap usaha yang dilakukan. Efikasi diri dapat ditunjukkan dengan tingkat yang berbeda dalam rangka menuju keberhasilan. Individu akan mencoba tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan akan menghindari tingkah laku yang dirasa di luar batas kemampuan yang dirasakannya. Kemampuan dapat dilihat dalam bentuk tingkat kecerdasan, usaha, ketepatan, produktivitas dan cara mengatasi tantangan. Hasil dari perbandingan antara tantangan yang timbul ketika individu mencapai performansi dengan kemampuan yang dimiliki oleh individu akan bermacam-macam tergantung aktivitas yang dilakukan. 25 b) Generality (Keluasan). Berkaitan dengan cakupan luas bidang tingkah laku dimana individu merasa yakin terhadap kemampuannya. Individu mampu menilai keyakinan dirinya dalam menyelesaikan tugas. Mampu tidaknya individu mengerjakan bidang-bidang dan konteks tertentu terungkap gambaran secara umum tentang efikasi diri individu yang berkaitan. Generalisasi bisa bervariasi dalam beberapa bentuk dimensi yang berbeda, termasuk tingkat kesamaan aktivitas dan modalitas dimana kemampuan diekspresikan dalam bentuk tingkah laku, kognitif dan afeksi. c) Strength (Ketahanan). Berkaitan dengan kekuatan pada keyakinan individu atas kemampuannya. Individu mempunyai keyakinan yang kuat dan ketekunan dalam usaha yang akan dicapai meskipun terdapat kesulitan dan rintangan. Dengan efikasi diri, kekuatan untuk usaha yang lebih besar mampu didapat. Semakin kuat perasaan efikasi diri dan semakin besar ketekunan, maka semakin tinggi kemungkinan kegiatan yang dipilih dan dilakukan berhasil. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri terdiri dari tiga aspek, yaitu level (sikap optimis dan motivasi berprestasi), generality (kemampuan pengukuran diri), dan strength (kekuatan menghadapi tugas). 2.2.3 Implikasi Efikasi Diri di tempat kerja Teori efikasi diri pertama kali digunakan 30 tahun yang lalu sebagai kerangka klinis untuk menganalisis perubahan yang dicapai dalam perilaku ketakutan dan menghindar. Perlakuan psikoterapi seperti desentralisasi, permodelan simbolis dan 26 pengalaman penguasaan langsung jelas mengubah perilaku klien melalui efikasi diri. Akan tetapi, menurut Cervone (2000, p.33), lingkup efikasi diri dengan cepat meluas melebihi domain perubahan perilaku klinis untuk bisa diterapkan dalam bidang-bidang seperti : 1. Promosi kesehatan dan recovery dari kemunduran fisik 2. Kontrol terhadap makan 3. Tahan terhadap zat adiktif 4. Keberhasilan pendidikan 5. Kinerja olahraga 6. Studi dan aplikasi perilaku organisasi dan kinerja di tempat kerja 2.3 Effort Menurut Mathis (2006, p.114), usaha (effort) adalah usaha yang dikeluarkan karyawan dalam melaksanakan tugasnya. Usaha yang baik dipengaruhi oleh motivasi bagus dan semangat kerja yang tinggi. Seorang karyawan harus mempunyai usaha yang tinggi terhadap pekerjaannya sehingga menciptakan suatu kinerja yang tinggi. Usaha yang dicurahkan oleh seorang karyawan dipengaruhi oleh motivasi, etika kerja, kehadiran dan rancangan tugas. Mathis (2006, p.115) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi usaha seorang karyawan adalah : 1. Motivasi Menurut Robbins (2003, p.208), motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi, yang di kondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual. 27 Adapun Rokhimah (2009) menjelaskan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong peningkatan dari kinerja karyawan, sehingga apabila motivasi seorang karyawan tinggi baik terhadap pekerjaannya maupun perusahaannya maka kinerja karyawan tersebut juga akan meningkat. Mathis (2006, p.114) mengatakan bahwa motivasi adalah keinginan dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut bertindak. Orang biasanya bertindak karena satu alasan yaitu untuk mencapai tujuan. 2. Etika Kerja Menurut Mathis (2006, p.117), etika berhubungan dengan apa yang “seharusnya” dilakukan. Bagi professional sumber daya manusia (SDM), ini merupakan cara manajer seharusnya bertindak sehubungan dengan persoalan sumber daya manusia (SDM) yang ada. Etika kerja sangat perlu diperhatikan oleh karyawan karena berpengaruh besar pada usaha yang dilakukan. Persoalan etika dalam manajemen termasuk persoalan SDM, memiliki 5 dimensi : − Konsekuensi yang diperpanjang : keputusan etika mempunyai konsekuensi di luar keputusan itu sendiri. − Lebih dari satu alternatif : ada berbagai alternatif dalam sebagian besar situasi pembuatan keputusan, sehingga persoalan tersebut mungkin melibatkan sejauh mana harus “membengkokkan” peraturan. − Hasil yang berbaur : keputusan yang dimiliki dimensi etika sering melibatkan pertimbangan atas beberapa hasil yang bermanfaat dengan hasil yang negatif. 28 − Konsekuensi yang tidak pasti : konsekuensi dari keputusan yang memiliki dimensi etika seringkali tidak diketahui. − Pengaruh-pengaruh pribadi : keputusan etika sering mempengaruhi kehidupan pribadi para karyawan, keluarga mereka, dan orang-orang disekitarnya. 3. Tingkat Kehadiran Menurut Mathis (2006, p.122), membolos kerja mungkin tampak seperti perkara kecil bagi seorang karyawan. Tetapi apabila seorang manajer membutuhkan 12 orang dalam satu unit untuk menyelesaikan pekerjaan, dan empat orang sering tidak hadir, pekerjaan unit tersebut mungkin tidak akan selesai, atau pekerja tambahan harus dipekerjakan. Karyawan boleh tidak hadir kerja untuk beberapa alasan. Secara jelas, beberapa ketidakhadiran tidak dapat dihindarkan. Karena sakit, kematian dalam keluarga, dan alasan-alasan pribadi lainnya atas ketidakhadiran tidak dapat dihindari dan dapat dimengerti, banyak karyawan mempunyai kebijakan cuti sakit yang memperkenankan mereka untuk tidak hadir dalam jumlah hari tertentu tetapi tetap mendapatkan gaji setiap tahunnya untuk jenis ketidakhadiran tanpa kesengajaan. Akan tetapi, banyak ketidakhadiran yang merupakan ketidakhadiran yang dapat dihindari, atau ketidakhadiran dengan kesengajaan. 4. Rancangan Tugas dan Pekerjaan Menurut Mathis (2006, p.13), para karyawan akan cenderung bisa bekerja dengan baik, apabila diberi : − Tanggung jawab dan otonomi kerja 29 Dapat diberikan tanggung jawab dan otonomi kepada karyawan, maka karyawan akan merasa lebih dihargai, sehingga akan bekerja dengan baik. − Keseimbangan kerja / kehidupan Salah satu manfaat dari fleksibilitas kerja adalah ia sangat berkaitan dengan usaha pekerjaan / keluarga oleh para pemberi kerja. Program kerja / kehidupan yang diberikan oleh para pemberi kerja dapat mencakup banyak hal, seperti penjadwalan kerja yang fleksibel, pembagian kerja atau telecommuniting. Tujuan dari semua penawaran ini adalah untuk menyampaikan pada para pemberi kerja mengakui tantangan yang dihadapi para karyawan ketika menyeimbangkan tuntutan kerja / kehidupan. − Kondisi kerja Lingkungan kerja yang aman dimana resiko kecelakaan dan luka diperhatikan, juga turut mempengaruhi usaha kerja karyawan. 2.4 Kepuasan Kerja 2.4.1 Pengertian Kepuasan Menurut Nursalam (2008), kepuasan adalah perasaan senang seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesenggangan terhadap aktivitas dan suatu produk ataupun harapannya. SedangkanIrawan (2003, p.118) bersifat rasional dan emosional. 30 menyatakan bahwa kepuasan Demikian dapat disimpulkan bagi penulis bahwa kepuasan adalah perasaan emosioal seseorang dalam menunjukan rasa senang atau tidak senang atas sesuatu yang dilakukan dan juga sesuatu yang terjadi pada dirinya. 2.4.2 Pengertian Kerja Waskito (2009, p.248) mendefinisikan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu pekerjaan dan juga dapat diartikan sesuatu yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Demikian menurut penulis bahwa kerja adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok atau individu untuk mencapai tujuan yang diharapakan. 2.4.3 Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja dirasakan semakin penting dalam setiap lingkup organisasi. Kepuasan kerja memiliki pengaruh cukup besar terhadap produktivitas organisasi karena secara langsung atau tidak langsung, kepuasan kerja dapat meningkatkan / menurunkan semangat dan motivasi karyawan. Hasibuan (2007,p.202) menyatakan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Menurut Robbins (2003) dalam Wibowo (2007,p.75), kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukan perbedaan antar jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima. 31 Menurut Handoko (1992, p.193), kepuasan kerja atau job satisfaction adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaanya. Kepuasan kerja merupakan cerminan dari perasaan pekerja terhadap pekerjaannya. Hal ini tampak dalam sikap positif pekerja terhadap pekerjaan yang dihadapi dan lingkungannya. Sebaliknya, karyawan yang tidak puas akan bersikap negatif terhadap pekerjaan dan bentuk yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Menurut Byars dan Rue (2006), kepuasan kerja adalah gambaran umum sikap karyawan terhadap pekerjaannya. Ada 5 unsur utama dalam kepuasan kerja yaitu : 1. Sikap terhadap kelompok kerja 2. Kondisi kerja sehari-hari 3. Sikap terhadap perusahaan 4. Keuntungan moneter 5. Sikap terhadap manajemen Selain itu unsur lainnya adalah pola pikir karyawan terhadap pekerjaannya dan kehidupan sehari-hari, sikap karyawan terhadap pekerjaan, kesehatan, umur, tingkat aspirasi, status sosial, dan kegiatan sosial politik dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa secara umum kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang dirasakan oleh seseorang terhadap hasil yang telah dia rasakan dalam melakukan pekerjaan yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan. 32 2.4.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja bagi karyawan sangat diperlukan karena kepuasan kerja karyawan akan meningkatkan produktivitas. Adanya ketidakpuasan pada karyawan dalam bekerja akan membawa akibat-akibat yang kurang menguntungkan baik bagi perusahaan maupun bagi karyawan itu sendiri. Menurut Nelson dan Quick (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu : 1. Pekerjaan itu sendiri (The Work Itself) Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sukar atau tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut, akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja. 2. Atasan (Supervisor) Atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, atasan bisa dianggap sebagai figur ayah/ibu/teman dan sekaligus atasannya. 3. Teman sekerja (Workers) Merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan antara pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya. 4. Promosi (Promotion) Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja. 5. Gaji (Pay) 33 Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak. 2.4.5 Pengukuran Kepuasan Kerja Indikator kepuasan kerja karyawan penting untuk diketahui oleh setiap perusahaan karena dengan pengetahuan tentang indikasi dari kepuasan kerja karyawan, maka akan dapat mengetahui sebab dari turunnya kepuasan kerja. Menurut Robbins (2003, p.47), kepuasan kerja dapat diukur melalui indikatorindikator dari variabel bergantung dalam perilaku organisasi, yaitu : 1. Productivity (Produktivitas) Merupakan ukuran kerja yang mencakup efektifitas dan efisiensi. Suatu organisasi dapat dikatan produktif jika organisasi itu mencapai tujuan-tujuannya, dan mencapainya dengan merubah masukan menjadi keluaran biaya rendah. 2. Absenteeism (Kemangkiran) Yaitu mengenai ketidakhadiran karyawan pada hari kerja tanpa adanya penjelasan atau laporan. 3. Labor Turn Over (Tingkat keluar masuknya karyawan) Yaitu tingkat keluar masuknya karyawan dari dan keperusahaan secara permanen baik yang dilakukan secara sukarela ataupun tidak dari perusahaan. 34 2.4.6 Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja Dalam suatu organisasi dimana sebagian besar pekerjaannya memperoleh kepuasan kerja, tidak tertutup kemudian sebagian kecil diantaranya merasakan ketidakpuasan terhadap hasil yang dia dapatkan setelah melakukan pekerjaan. Ketidakpuasan pekerja dapat ditunjukan dalam sejumlah cara. Robbins (2003, p.32) menunjukan empat tanggapan yang berbeda satu sama lain dalam dimensi konstruktif/destriktif dan aktif/pasif, dengan penjelasan sebagai berikut (Wibowo, 2007, p.314-315) : 1. Exit Ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku diarahkan pada meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri. 2. Voice Ketidakpuasan ditunjukan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan. 3. Loyalty Ketidakpuasan ditunjukan secara pasif, tetapi optimistic dengan menunggu kondisi untuk memperbaiki, termasuk dengan berbicara bagi organisasi dihadapan kritik eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemen melakukan hal yang benar. 4. Neglect 35 Ketidakpuasan ditunjukan melalui tindakan secara pasif membiarkan kondisi semakin memburuk, termasuk kemangkiran atau keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan meningkatkan kesalahan. 2.5 Turnover Intention Menurut Zeffane (1994), turnover intention adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya. Menurut Bluedorn dalam Grant et al (2001), turnover intention adalah kecenderungan sikap atau tingkat dimana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaannya. Menurut Robbins (1996), turnover dapat terjadi secara sukarela (voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover atauquit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya. 2.5.1 Faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention Ajzen (2005, p.2) dalam teorinya yang disebut theory of planned behavior, menjelaskan bahwa intensi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : 1. Sikap terhadap tingkah laku tertentu 2. Norma subjektif 36 3. Persepsi tentang kontrol perilaku Faktor pertama, sikap terhadap perilaku adalah penilaian yang bersifat pribadi dari orang yang bersangkutan, menyangkut pengetahuan dan keyakinannya mengenai perilaku tertentu, baik dan buruknya, keuntungan dan manfaatnya. Norma subjektif mencerminkan pengaruh sosial, yaitu persepsi seseorang terhadap tekanan sosial (masyarakat dan orang-orang sekitar) untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku. Persepsi tentang kontrol perilaku merupakan persepsi mengenai sulit atau mudahnya seseorang untuk menampilkan tingkah laku tertentu dan diasumsikan merefleksikan pengalaman masa lalu serta halangan atau rintangan yang diantisipasi. 2.5.2 Pengukuran Turnover Beberapa cara pengukuran tingkat turnover menurut Mowdey dkk (dalam Sunarso, 2000) adalah sebagai berikut : 1 Rata-rata masa kerja Jumlah masa kerja tiap karyawan dibagi jumlah karyawan. 2 Tingkat pertambahan Jumlah karyawan baru pada satu periode dibagi rata-rata jumlah karyawan pada periode tersebut. 3 Tingkat pemisahan diri Jumlah karyawan yang memisahkan diri dari perusahaan untuk satu periode dibagi rata-rata karyawan pada periode tersebut. 4 Tingkat stabilitas 37 Jumlah karyawan yang tetap menjadi anggota yang tetap menjadi anggota perusahaan itu dari awal hingga akhir satu periode dibagi jumlah karyawan pada awal periode tersebut. 5 Tingkat ketidakstabilan Banyaknya karyawan yang keluar dari perusahaan itu dari awal hingga satu periode dibagi jumlah karyawan pada awal periode tersebut. 6 Tingkat ketahanan Jumlah karyawan baru yang tetap menjadi karyawan dalam satu periode dibagi jumlah karyawan baru. 7 Tingkat kehilangan Jumlah karyawan baru yang keluar dalam satu periode dibagi jumlah karyawan baru. 2.5.3 Manfaat Turnover Menurut Yoder dan Staudohar (1986, p.304), “Bagaimanapun, disisi lain turnover juga dapat memberikan manfaat. Dengan adanya turnover, maka terbukalah kesempatan dalam membawa orang baru dalam segala kemampuan dan ide-ide baru dalam suatu organisasi. Keuntungan financial juga dapat diperoleh dari turnover tersebut. Misalnya dalam beberapa jenis pekerjaan, produktivitas yang dihasilkan tidak sesuai dengan tingkat kemampuan karyawan. Bila karyawan tersebut keluar, dapat digantikan dengan karyawan baru dengan gaji yang lebih rendah dan sesuai dengan produktivitas yang dihasilkan. Turnover juga dapat mengurangi biaya pendanaan pensiun dalam suatu organisasi atau perusahaan.” 38 2.5.4 Kerugian Turnover Menurut Winterton (2004), kerugian yang ditimbulkan akibat turnover adalah: 1. Menghabiskan biaya yang cukup banyak untuk proses pergantian karyawan. 2. Perusahaan mempertahankan pengetahuan dan keahlian bagi karyawan yang meninggalkan perusahaan. 3. Perusahaan perlu mengeluarkan biaya untuk pendidikan dan pengembangan. 2.6 Kerangka Pemikiran Efikasi Diri (X1) Kepuasan Kerja Turnover Intention (Y) (Z) Effort (X2) Gambar 2. 1 Kerangka Pemikiran Sumber : Peneliti (2013) 2.7 Hipotesis Berdasarkan permasalahan yang ada pada bab 1 dan kerangka pemikiran tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Hipotesis 1 : 39 Untuk mengetahui apakah variabel efikasi diri (X1) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kepuasan kerja (Y). Ho = Variabel efikasi diri (X1) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kepuasan kerja (Y). Ha = Variabel efikasi diri (X1) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kepuasan kerja (Y). Hipotesis 2 : Untuk mengetahui apakah variabel effort (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kepuasan kerja (Y). Ho = Variabel effort (X2) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kepuasan kerja (Y). Ha = Variabel effort (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel kepuasan kerja (Y). Hipotesis 3 : Untuk mengetahui apakah variabel efikasi diri (X1) dan variabel effort (X2) berpengaruh secara signifikanterhadap variabel kepuasan kerja (Y). Ho = Variabel efikasi diri (X1) dan variabel effort (X2) tidak berpengaruh secara signifikanterhadap variabel kepuasan kerja. Ha = Variabel efikasi diri (X1) dan variabel effort (X2) berpengaruh secara signifikanterhadap variabel kepuasan kerja (Y). Hipotesis 4 : Untuk mengetahui apakah variabel efikasi diri (X1)berpengaruh secara signifikan terhadap variabel turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. 40 Ho = Variabel efikasi diri (X1)tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. Ha = variabel efikasi diri (X1)berpengaruh secara signifikan terhadap variabel turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. Hipotesis 5 : Untuk mengetahui apakah variabel effort (X2)berpengaruh secara signifikan terhadap variabel turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. Ho = Variabel effort (X2)tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. Ha = variabel effort (X2)berpengaruh secara signifikan terhadap variabel turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. Hipotesis 6 : Untuk mengetahui apakah variabel kepuasan kerja (Y) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. Ho = Variabel kepuasan kerja (Y) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. Ha = variabel kepuasan kerja (Y) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. Hipotesis 7 : Untuk mengetahui apakah variabel efikasi diri (X1), variabel effort (X2), dan variabel kepuasan kerja (Y) berpengaruh secara signifikan terhadap turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. 41 Ho = Variabel efikasi diri (X1), variabel effort (X2), dan variabel kepuasan kerja (Y) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. Ha = Variabel efikasi diri (X1), variabel effort (X2), dan variabel kepuasan kerja (Y) berpengaruh secara signifikan terhadap turnover intention (Z) di PT. Alsun Suksesindo. 42