ISSN 0215 - 8250 13 ASPEK PEMBUDAYAAN DALAM PENDIDIKAN: SEBUAH KAJIAN MENUJU PROFESIONALISME TENAGA KEPENDIDIKAN oleh I Ketut Seken Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Negeri Singaraja ABSTRAK Pendidikan di sekolah bisa hanya menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan tetapi tidak memiliki penghayatan terhadap pengetahuan tersebut. Pendidikan seperti ini adalah pendidikan yang tidak membudayakan. Aspek pembudayaan dalam pendidikan belum banyak disentuh baik pada tingkat kebijakan maupun pada tingkat sekolah. Sejumlah kendala teridentifkasi, seperti merosotnya kewibawaan profesi guru, budaya top-down, sistem pendidikan guru yang cognitive-oriented, serta kualitas dan dedikasi guru yang rendah. Sejumlah saran pemecahan masalah dikemukakan untuk memantapkan profesionalisme tenaga kependidikan dan untuk mewujudkan pendidikan yang membudayakan. Kata kunci: pendidikan yang membudayakan, sekolah, guru, peserta didik. ABSTRACT Formal education at school may yield graduates possessing certain knowledge but with-out adequate appreciation of that knowledge. As such, this kind of education fails to sufficiently cultivate the acquired knowledge in the students’ culture. So far, cultivation of what is learned in the learner’s culture has not much been the concern of our school education, either on the decision-making level or on the classroom implementation level. Identified within this drawback in our education are constraints such as the decline of teaching as a dignified profession, the ‘top-down’ culture, the ‘cognitive-oriented’ system in teacher education, and low-quality teachers with poor dedication. Some suggestions are forwarded in the interest of enforcing the professionalism of teachers and of realizing cultivating education. Key words: cultivating education, school, teacher, students. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 14 1. Pendahuluan Kalau kita cermati perjalanan pendidikan di negeri kita dari masa Orde Baru sam-pai era reformasi seperti sekarang ini, kiranya tidak meleset kalau dikatakan bahwa pen-didikan kita lebih diorientasikan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Hasil yang dicapai memang cukup mengesankan, lebih-lebih setelah dicanang-kannya empat tema besar, yakni perluasan dan pemerataan kesempatan, relevansi, mutu dan efesiensi pendidikan. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam hampir dua decade terakhir ini merupakan bukti nyata keberhasilan pendidikan di negeri kita. Akan tetapi, di sisi lain ada fenomena yang berkembang di masyarakat yang sangat mengkhawatirkan, yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pendidikan. Berbagai krisis yang terjadi dalam decade terakhir ini mengisyaratkan ren-dahnya ketahanan moral di kalangan sebagian masyarakat kita yang tercermin pada “pe-rilaku emosional impulsif dan cenderung irasional” (Donosepoetro, 2000a), merupakan indikasi adanya aspek-aspek pokok yang kurang terurus dengan baik oleh pendidikan kita (periksa antara lain Supriyoko, 1999; Darmaningtyas, 1999). Kenyataan ini sudah se-mestinya menggugah kesadaran kita untuk mencermati kembali setiap langkah dalam sejarah perjalanan pendidikan nasional kita. Kalau kita memosisikan pendidikan sebagai ujung tombak dalam mengatasi berbagai persoalan moral yang belakangan ini terus merebak, maka kita perlu lebih mencermati lagi seberapa jauh sebenarnya paradigma pendidikan yang kita junjung selama ini ‘mengurus’ kecerdasan afektif peserta didik kita (periksa Jazadi, 2000). Bahwa pendidikan merupakan wahana pembentukan karakter bangsa sudah menjadi wacana universal sejak lama. Persoalan ‘character building’ pada bangsa kita tidak terletak pada acuan substantif-konseptualnya, tetapi lebih pada attitude yang tercermin dalam perilaku kita sehari-hari. Tidak ada yang mengingkari, misalnya, betapa penting-nya peranan membaca dalam era informasi modern dewasa ini, tetapi kebiasaan membaca belum tampak dalam kehidupan masyarakat ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 15 kita secara luas. Demikian juga halnya kon-sep berkehidupan yang demokratis telah menjadi wacana populer bangsa kita sejak zaman perjuangan kemerdekaan, tetapi praktik-praktik ademokrasi terjadi hampir setiap hari di berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Mencermati hal-hal seperti ini, kita dihadapkan kepada kesejangan antara konsep yang tercerna dengan baik secara kognitif dan praktik perikehidupan nyata sehari-hari yang tidak mencerminkan terhayatinya konsepkonsep tersebut. Dengan perkataan lain, konsep-konsep yang baik dan bernilai tinggi dalam perikehidupan manusia belum membudaya dengan mantap di kalangan bangsa kita. Gambaran sepintas di atas mengisyaratkan bahwa ada aspek-aspek tertentu dalam sistem pendidikan kita yang selama ini belum mendapat perhatian yang semestinya. Pengamatan dan ketelitian kita tentang pendidikan yang terselenggara di negeri kita ma-sih perlu terus diuji melalui kajian-kajian mengenai berbagai aspek internal pendidikan yang saling berkait serta interaksi aspek-aspek ini dengan fator-faktor eksternal pendi-dikan, yang sering berdampak sangat dalam terhadap perencanaan dan kebijakan pendi-dikan itu sendiri. Mencermati berbagai fenomena yang berkaitan dengan mutu hasil pen-didikan di tanah air dewasa ini, kiranya kajian tentang aspek pembudayaan dalam pen-didikan cukup menarik untuk dikemukakan. Kajian ini terutama dimaksudkan untuk mengungkap seberapa jauh pendidikan, khususnya yang berlangsung di sekolah, telah menanamkan unsurunsur pembudayaan pada peserta didik yang berdampak terhadap ‘hasil nyata’ pendidikan yang diharapkan, kendala-kendala apa yang menghadang usaha pembudayaan tersebut, serta bagaimana usaha pemecahannya. 2. Pendidikan dan Pembudayaan Pendidikan nasional tidak saja tak terpisahkan dari budaya, falsafah dan amanat konstitusional bangsa Indonesia tetapi juga sebagai wahana untuk mewujudkannya dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara senyatanya. Menurut Semiawan (1993:3), dalam konteks yang luas pembangunan sistem pen____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 16 didikan nasional “merupakan suatu pende-katan budaya untuk meningkatkan pengalaman belajar manusia secara kreatif menjadi bermanfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya, masyarakat Indonesia khususnya,” sehingga suatu proses pendidikan selalu mengandung makna pembudayaan apa yang menjadi isi pendidikan tersebut. Dengan demikian pendidikan memiliki jangkauan yang lebih luas dari sekedar pembelajaran, karena mendidik berimplikasi membudayakan. Da-lam satu konsep sederhana, pembudayaan adalah proses pencapaian hasil yang permanen berupa penghayatan segenap pengetahuan dan keterampilan yang didapat melalui pendi-dikan sehingga dengannya individu yang bersangkutan mampu berbuat atau melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya dan/atau kehidupan orang lain. Proses ini se-yogyanya berlangsung seiring dengan proses pendidikan itu sendiri. Dengan demikian pembudayaan mensyaratkan ‘penghayatan’ dan ‘perbuatan’ nyata yang timbul pada individu sebagai hasil pendidikan, baik yang berlangsung dalam keluarga, di masyarakat, ataupun dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Da-lam pengertian ini, hasil nyata pendidikan dapat dilihat dari seberapa tinggi penghayatan peserta didik terhadap apa yang diperolehnya melalui pendidikan serta seberapa ia mam-pu berbuat untuk memperoleh manfaat dari pendidikannya baik bagi dirinya sendiri mau-pun bagi masyarakatnya. Peserta didik yang memperoleh berbagai pengetahuan melalui proses pendidikan formal, misalnya, tetapi tidak pernah mengetahui manfaat dari apa yang diketahuinya itu, jelas tidak tersentuh oleh proses pembudayaan secara memadai. Peserta didik yang hanya melihat (disadarinya atau tidak) proses pembelajaran sebagai usaha untuk bisa menjawab soal-soal ujian atau untuk lulus atau memperoleh nilai bagus dalam evaluasi akhir merupakan contoh lain dari kurang memadainya sentuhan pembudayaan dalam pendidikan yang dialaminya. Proses pembudayaan melalui pendidikan sangat ditonjolkan dalam empat pilar pendidikan UNESCO, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 17 together), dan belajar untuk mandiri (learning to be). Pendidikan dalam konsep empat pilar ini dengan jelas mengacu kepada kualitas manusia yang bertumpu pada penguasaan IPTEK melalui proses belajar menemukan dan belajar belajar (learning to learn) secara terus menerus; penguasaan keterampilan untuk mampu melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah-masalah; kemampuan memahami dan hidup dengan orang lain dalam suasana saling membutuhkan dan saling menghormati; dan kematangan kepribadian untuk mampu berpikir dan berbuat secara mandiri dan bertanggungjawab. Di Indonesia konsep pendidikan seperti ini telah lama dilontarkan Raka Joni (1983), yang menggarisbawahi manusia sebagai urusan utama pendidikan dan mendewasakan peserta didik sebagai misi utamanya. Menurut Raka Joni, Tujuan pendidikan yang hakiki: peningkatan martabat kemanusiaan. Ini berarti disadarinya asal-muasal keberadaan diri (KeTuhan-an Yang Maha Esa), kesa-tuan diri dengan sesama (Perikemanusiaan), kebersediaan menggunakan secara bersama lingkungan alamiah maupun buatan (Keadilan Sosial), kebersediaan un-tuk bekerja bersama atas dasar saling menghormati dan menghargai (Demokrasi), dan semangat keterikatan pada ruang dan waktu di dalam berkarya secara kon-kret meningkatkan kualitas kehidupan (Kebangsaan) (Raka Joni, 1983:32). Meningkatkan martabat kemanusiaan melalui pendidikan tidak bisa dicapai hanya melalui proses pembelajaran yang melibatkan aspek kognitif peserta didik saja. Tidak ju-ga hal ini bisa dicapai dengan mudah dan dalam waktu yang singkat. Prosesnya melibat-kan akumulasi pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia dan dimensi-dimensinya, penghayatan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, serta pengujian perilaku secara bertahap dalam perikehidupan yang nyata. Proses pendidikan seperti ini tidak bisa lepas dari konteks kemasyarakatan, dan karena setiap masyarakat adalah pen-dukung suatu kebudayaan, maka setiap ikhtiar pendidikan adalah juga proses pem-budayaan. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 18 Walaupun pembudayaan tercakup secara inherent dalam pendidikan, proses pembudayaan itu tidak bisa diasumsikan berlangsung dengan sendirinya setiap kali terjadi ikhtiar ‘pendidikan’. Istilah ‘pendidikan’ itu sendiri masih sering dikacaukan dengan is-tilah ‘pengajaran’ dan ‘pembelajaran,’ dua istilah yang mengacu pada kegiatan yang ter-cakup dalam proses pendidikan tetapi jelas tidak mengandung makna yang sama atau se-tara dengan pendidikan. Sering dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah, mi-salnya, terjadi proses pembelajaran atau pengajaran, tetapi belum bisa disebut proses pen-didikan dalam pengertian yang sebenarnya. Seperti telah diutarakan, pembudayaan men-syaratkan ‘penghayatan’ dan ‘perbuatan’ yang berskala permanen sebagai hasil dari pro-ses pendidikan. Peserta didik yang mengalami pembelajaran menulis, misalnya, kemu-dian tersentuh rangsangan-rangsangan afektif yang membangkitkan ‘rasa’ (seperti ‘senang’, ‘bergairah,’ ‘suka’ dan sebagainya) terhadap apa yang dialaminya secara bertahap akan membentuk penghayatan terhadap pengalamannya itu selama rangsangan afektif yang diterimanya bernilai positif. Menulis akan menjadi pengalaman yang menyenang-kan baginya dan akan mendorong dirinya untuk mengulang pengalaman itu, terlebih-lebih setelah diketahuinya bahwa kegiatan itu bermanfaat bagi kehidupannya dan bagi kehidupan orang lain. Dalam hal ini proses pembudayaan telah terjadi pada peserta didik yang bersangkutan. 3. Sekolah sebagai Agen Pembudayaan Sekolah sering berada dalam posisi yang ‘kurang mengenakkan’ dalam masyarakat. Di satu pihak, pandangan dan harapan masyarakat begitu tinggi terhadap sekolah dan cenderung berimplikasi bahwa sekolah ‘can do everything’ dan ‘can solve all problems,’ sehingga orangtua sering berpendapat bahwa dengan memasukkan putra-putrinya ke sekolah segala pendidikannya akan ‘beres.’ Di pihak lain, sebagai penyelenggara pendi-dikan, sekolah sering dilihat sebagai satusatunya yang bertanggungjawab terhadap ke-berhasilan atau kegagalan pendidikan. Segala fenomena masyarakat yang bisa dihu-bungkan dengan tingkat ket____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 19 erdidikan pelaku-pelaku yang terlibat, terutama yang ber-implikasi negatif, akan secara otomatis dikaitkan dengan pendidikan dan, sehubungan dengan ini, sekolah sebagai institusi pendidikan akan langsung menjadi sorotan. Sementara perilaku masyarakat berkaitan erat dengan tingkat pendidikannya (Susanto, 2000), fenomena seperti korupsi, kebrutalan massa, amuk massa, kerusuhan, main hakim sendiri, kekurangdisiplinan, merapuhnya sopan santun, dan sejenisnya akan dihubungkan dengan kegagalan pendidikan, dan ini, paling tidak sebagiannya, dianggap kegagalan sekolah (periksa, misalnya, Supriyoko, 1999; Darmaningtyas, 1999; dan Amir Santoso, 2000). Hasil pendidikan di sekolah memang tidak sepenuhnya bisa dihubungkan dengan kebobrokan yang ada di masyarakat. Demikian juga berbagai situasi sosial, politik, eko-nomi, dan hukum di masyarakat yang ada dalam posisi ‘krisis’ tidak mesti berkaitan de-ngan hasil-hasil pendidikan di sekolah. Akan tetapi memang ada aspek-aspek tertentu dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang masih perlu dicermati, antara lain kurang diperhatikannya fungsi sekolah sebagai agen pembudayaan. Situasi ini bisa dikaitkan dengan kebijakan di tingkat makro, di samping praktik penyelenggaraan pendi-dikan secara mikro di sekolahsekolah. Proses pembelajaran atau proses belajar-mengajar seperti yang terlaksana seka-rang tidak secara otomatis merupakan proses pembudayaan dari mata pelajaran yang di-pelajari atau diajarkan. Mata pelajaran yang diajarkan dengan hanya menekankan pada aspek pengalaman kognitif saja belum tentu ‘terbudayakan’ secara memadai pada peserta didik. Artinya, siswa mungkin menginternalisasi kemampuan komprehensi sampai ke-mampuan sintesis dalam mata pelajaran yang bersangkutan, tetapi tidak sampai menyen-tuh sisi afektifnya, sehingga tidak terjadi penghayatan terhadap mata pelajaran tersebut. Dengan kata lain, proses pembelajaran yang terjadi tidak sampai menimbulkan rasa senang atau kecintaan terhadap apa yang dipelajari. Sering yang terjadi adalah kebalik-annya, yaitu rasa tid- ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 20 ak senang, rasa tidak mampu, frustasi, dan sejenisnya yang pada akhirnya menimbulkan kebencian peserta didik terhadap mata pelajaran tertentu. Pembudayaan akan terjadi kalau proses pembelajaran, di samping merangsang dan melatih nalar kognitif peserta didik, juga menggugah secara memadai nalar afektif-nya. Secara mikro, peranan metodologis-didaktis guru dengan segala kiat yang diguna-kannya akan cukup menentukan seberapa jauh sisi afektif siswa terhadap suatu mata pelajaran bisa diaktifkan dalam proses pembelajaran sehingga menggugah dan membang-kitkan penghayatannya terhadap apa yang dipelajarinya itu. Dari sudut pandang lain, di-tuntut juga bahwa guru tidak hanya menekankan instructional effects mata pelajaran yang diajarnya tetapi juga memberikan perhatian yang cukup terhadap nurturant effects yang menyertai proses belajar mengajar itu. Di samping sebagai pengajar, guru adalah pendidik (Buchori, 1994) dan pembudaya (Napitupulu, 1999). Guru dituntut untuk membudayakan apa yang diajarkannya pada peserta didik. Misalnya di bidang matematika, proses belajarmengajar bisa diarah-kan untuk mengembangkan nilai-nilai ketelitian, keuletan, dan kejujuran dan sekaligus penghayatan terhadap matematika sebagai disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan, sehingga matematika tidak perlu menjadi ‘momok’ peserta didik. Hadiwardoyo (1993) menekankan bahwa guru sebagai pendidik harus mampu menggugah hati peserta didik untuk mempraktikkan atau mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam mata pel-ajaran dan juga harus menyadari bahwa proses ini berlangsung tahap demi tahap serta memerlukan integritas dan keteladanan yang mantap dari guru itu sendiri. Melalui proses belajar-mengajar guru juga bisa membudayakan IPTEK, yang sangat penting peranannya dalam mensejahterakan umat manusia. Sikap, ketekunan, dan curiosity peneliti bisa dibudayakan secara bertahap pada peserta didik, mulai dari proses mengidentifikasi masalah, mencari pemecahan, pengujian sampai pada pembuktian kebe-naran. Yang penting adalah bahwa semua ini ditempuh dengan secara maksimal meng-aktifkan kemampuan afektif peserta ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 21 didik, di samping memberinya pengalaman kognitif yang diperlukan. Budaya baca-tulis juga sangat erat hubungannya dengan IPTEK sehing-ga perlu ditanamkan di kalangan peserta didik. Kegemaran dan kecintaan terhadap membaca, misalnya, tidak bisa dihasilkan dari proses pembelajaran membaca saja. Kebiasaan membaca yang baik dan menyenangkan adalah hasil pembudayaan. Sekolah juga merupakan agen pembudayaan nilai-nilai kebangsaan dan budaya bangsa. Seperti telah dikemukakan di bagian depan tulisan ini, pendidikan nasional ada-lah wahana penanaman dan pengembangan budaya bangsa. Dalam pengertian yang luas, setiap bagian dari ikhtiar pendidikan tidak hanya harus mengacu kepada nilai-nilai bu-daya bangsa tetapi juga mampu menanamkan nilainilai tersebut pada peserta didik. Melalui pendidikan nasional dilakukan upaya memajukan kebudayaan nasional, yang harus diartikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kemampuan intelektual dan profesional, sikap, watak, dan kepribadian manusia Indonesia yang demo-kratis dan berbudaya (Soedijarto, 1999). Dalam era teknologi dan derasnya arus globalisasi dewasa ini pendidikan untuk memantapkan integritas nilai-nilai budaya dan integritas bangsa menempati posisi yang sangat krusial. Sering terjadi bahwa kemajuan IPTEK dan kesejahteraan dicapai oleh satu masyarakat bangsa dengan mengorbankan identitas dan kepribadian bangsanya. Hal ini mengisyaratkan bahwa kita dihadapkan pada tantangan dalam menyusun program pen-didikan yang mampu menghasilkan manusia-manusia modern yang didukung oleh pe-nguatan dalam pewarisan budaya dan identitas bangsa (Suryadi dan Tilaar, 1993). Raka Joni (1990) menggambarkan masyarakat Indonesia masa depan sebagai masyarakat mo-deren yang bernafaskan Pancasila. Kalau tujuan pendidikan nasional mengacu kepada masyarakat seperti ini, maka pendidikan nasional harus melakukan dua hal dalam waktu yang bersamaan: memoderenkan bangsa Indonesia dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa yang tersirat dalam Pancasila. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 22 Sekolah sebagai agen pembudayaan dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menguatkan inte- gritas dan kepribadian bangsa. Pada tingkat mikro, proses pembudayaan ini dilakukan melalui proses belajar-mengajar yang tidak bisa hanya diberikan melalui pengalaman kognitif, melainkan harus secara signifikan menyentuh kecerdasan afektif peserta didik. Penanaman nilai-nilai budaya bangsa melalui perpaduan antara logika, etika, dan estetika (Donosepoetro, 2000b) akan menggugah penghayatan dan kecintaan peserta didik terha-dap nilai-nilai budaya bangsanya. 4. Kendala-Kendala Pembudayaan dalam Pendidikan Ada sejumlah kendala yang perlu dibahas dalam hubungannya dengan peningkat-an mutu pendidikan di tanah air, khususnya yang berkaitan dengan pembudayaan melalui pendidikan di sekolah. Ada kendala di tingkat kebijakan (makro) dan ada pula kendala di tingkat sekolah (mikro). Demi peningkatan mutu pendidikan di masa depan masing-masing kendala ini memerlukan pencermatan. 4.1 Kendala di Tingkat Kebijakan 4.1.1 Kebijakan Menyangkut Kewibawaan Profesi Guru Kemerosotan kewibawaan profesi guru telah lama dirasakan, baik oleh para guru itu sendiri maupun oleh masyarakat. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan kemerosot-an ini, antara lain: (1) profesi guru selama ini merupakan profesi yang berpenghasilan relatif rendah; (2) sebagai akibat dari rendahnya gaji guru, profesi guru tidak mempunyai gengsi; (3) profesi guru tidak menarik dan cenderung dipandang sebelah mata oleh masyarakat; (4) guru itu sendiri menganggap profesi yang digelutinya tidak bisa dibang-gakan; dan (5) status sosial guru di masyarakat rendah. Pemerintah dari zaman Orde Baru sampai sekarang sebenarnya menyadari situasi merosotnya kewibawaan profesi guru ini dan menyadari pula dampaknya terhadap mutu pendidikan. Tetapi kenyataannya peme-rintah tidak ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 23 berbuat banyak untuk memperbaiki situasi ini. Dari waktu ke waktu alasan-nya tetap saja: jumlah guru terlalu besar. Sebenarnya yang harus dipikirkan adalah ‘nasib’ pendidikan itu sendiri, karena guru sampai saat ini masih merupakan faktor penentu utama keberhasilan pendidikan se-kolah di Indonesia. Dengan merosotnya kewibawaan profesi guru, maka tidak bisa diha-rapkan profesi ini akan diminati oleh lulusan sekolah dengan kualitas unggul. Kualitas input LPTK akan selalu rendah sehingga sulit bagi LPTK, bagaimanapun keras usahanya, untuk menghasilkan guru dengan kualitas memadai. Ini sudah cukup memberi gambaran tentang prospek pendidikan di masa depan, khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Ironisnya, posisi guru sebagai pendidik dan pembudaya justru memerlukan wiba-wa dan rasa percaya diri yang tinggi. Untuk tampil berwibawa guru memerlukan faktor-faktor pendukung, antara lain tingkat kesejahteraan yang memadai, kesiapan akademik, serta kelonggaran waktu untuk memberinya peluang menyiapkan performansinya secara optimal. Sebagai pendidik dan pembudaya, guru sebenarnya diharapkan memusatkan se-genap pengabdiannya pada profesinya serta mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dia bisa menjadi sangat akhli di bidangnya. 4.1.2 Kualifikasi Formal dan Sistem Pendidikan Guru Mencermati kualifikasi formal dan sistem pendidikan guru yang berlaku saat ini di LPTK, beberapa hal perlu dicatat sebagai kelemahan. Pertama, kualifikasi formal guru, baik untuk jenjang pendidikan dasar maupun menengah, masih rendah. Yang ideal adalah bahwa guru SD dan SLTP sedikitnya berkualifikasi S1 (sarjana muda) dan guru sekolah menengah sedikitnya berkualifikasi S2 (magister). Kedua, kurikulum pendidikan guru di LPTK sangat didominasi oleh mata kuliah yang terlalu berorientasi kognitif. Ini bisa dilihat dari pembelajaran yang exam-oriented dan sistem evaluasi yang sangat mene-lantarkan kemampuan afektif mahasiswa. Ketiga, praktik pengalaman lapangan (PPL), di samping waktunya ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 24 yang umumnya terlalu singkat, tidak menjamin sistem bimbingan yang profesional dan efektif. Keempat, sistem saringan melalui ujian masuk perguruan tinggi secara umum dan tersentralisir (SPMB, UMPTN, apapun namanya) kurang tepat untuk LPTK, karena tidak bisa membedakan antara calon yang betul-betul berminat menjadi guru dan yang sebenarnya tidak berminat tetapi ‘terpaksa.’ Karena profesi guru sebagai pendidik dan pembudaya memerlukan kemampuan afektif yang tinggi, sistem pendidikan guru yang hanya menekankan pada kemampuan kognitif akan menjadi kendala bagi tersedianya tenaga guru yang betul-betul memenuhi kualifikasi pendidik dan pembudaya. Demikian juga tingkat kemampuan profesionalnya yang paspasan akan menjadi kendala baginya dalam menjalankan profesinya secara op-timal. Misalnya guru SD dengan kualifikasi D2 akan mengalami kesulitan kalau dituntut untuk meningkatkan kualitas pengajarannya melalui penelitian karena kemampuan mene-liti belum dimilikinya. Praktik pengalaman lapangan yang tidak memadai tidak bisa menjamin bahwa lulusan LPTK memiliki kesiapan penuh sebagai pengajar, apalagi se-bagai pendidik dan pembudaya. Mahasiswa LPTK yang terjaring melalui ujian masuk perguruan tinggi yang diselenggarakan secara nasional (SPMB) belum tentu mempunyai minat dan kecintaan terhadap profesi guru, walaupun mereka telah memilih untuk masuk LPTK. Kalau ter-nyata mereka tidak berminat menjadi guru tetapi kemudian lulus dan diangkat sebagai guru, akan timbul masalah integritas yang serius sepanjang kariernya sebagai guru dan ini akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan masalah seperti ini tentu saja dia tidak akan bisa menjadi pendidik dan pembudaya yang baik. 4.1.3 Kebijakan Ujian Nasional Kebijakan ujian akhir nasional (UAN), dulu Ebtanas, selama ini telah menyebab-kan orientasi pendidikan yang kurang mendukung proses pembudayaan dalam pendi-dikan di sekolah. Proses belajar-mengajar terlalu diorientasikan ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 25 kepada ujian nasional, apapun namanya, sehingga banyak esensi pendidikan yang penting menjadi terabaikan atau mendapat porsi perhatian kurang dari semestinya, seperti pendidikan moral dan etika. Karena UAN tidak mencakup semua mata pelajaran, mata pelajaran yang tidak tercakup dalam UAN menjadi mata pelajaran ‘kelas 2’ dan ini berpengaruh terhadap peserta didik dan guru. Kebijakan ujian nasional juga menyebabkan sistem belajar yang exam-oriented di kalangan siswa sehingga penekanan utama pembelajarannya terkon-sentrasi pada kemampuan kognitif. Tidak terjadi penghayatan peserta didik terhadap ilmu pengetahuan yang dipelajarinya sehingga tidak terjadi proses pembudayaan. Kebijakan ujian nasional juga memungkiri kenyataan bahwa kondisi pendidikan di tanah air masih sangat beragam, di mana kondisi satu sekolah bisa sangat berbeda dengan sekolah yang lain. Di samping itu, kebijakan ini juga melecehkan kemampuan se-kolah dan kemampuan para guru dalam menyelenggarakan evaluasi, padahal merekalah sebenarnya yang lebih tahu tingkat kemampuan anak didiknya. 4.1.4 Budaya Top-Down Budaya top-down yang menjadi ciri khas kebijakan pendidikan nasional selama ini ‘membunuh’ kreativitas sekolah dan guru. Budaya seperti ini juga mempengaruhi si-kap guru terhadap peserta didiknya, yaitu guru akan menganut sikap ‘serba ditentukan dari atas.’ Kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat-setempat sangat mempengaruhi efektivitas pendidikan. Kalau guru menganut budaya ‘serba ditentukan dari atas’ maka proses pembelajaran di kelas akan terpasung dalam suasana yang kaku sehingga kreativitas siswa akan mati. Sedangkan proses pembudayaan memerlukan kreativitas peserta didik, suasana bebas terbuka yang menyenangkan, dan hubungan gurusiswa yang demokratis. Dalam budaya top-down, peserta didik juga akan ‘membudayakan’ suasana ‘serba diatur’ sehingga prakarsa dan rasa tanggungjawabnya ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 26 tidak berkembang. Budaya kritis dan mandiri tidak tumbuh, se-mentara budaya bergantung menjadi bertambah subur. Situasi seperti ini jelas merugikan pendidikan nasional dan akan berdampak terhadap budaya masyarakat terpelajar kita. Salah satu contoh budaya topdown yang mengingkari keanekaragaman daerah adalah kebijakan ‘buku paket.’ Kebijakan ini, di samping sering mengalami kendala teknis seperti kesulitan transportasi dari pusat ke daerah, juga melecehkan kewenangan dan kemampuan sekolah untuk mengatur penge-lolaan pendidikan sesuai dengan aspirasi masyarakat lingkungannya. Tambahan lagi, ke-bijakan buku paket bisa menumbuhkan budaya KKN, yang tentu saja menjadi sebuah ironi yang menyakitkan dalam dunia pendidikan kita. 4.2 Kendala di Tingkat Sekolah 4.2.1 Kualitas Guru Rendahnya kualitas guru merupakan kendala serius dalam usaha pengembangan profesionalisme guru dan peningkatan mutu pendidikan nasional. Berbicara tentang kua-litas guru, kita terbentur pada sebuah ‘lingkaran setan’ yang tak ada ujungnya. Seperti telah diutarakan di bagian depan tulisan ini, kebijakan pemerintah yang tidak mampu mengangkat harkat guru telah menyebabkan profesi guru menjadi tidak menarik. Ke-tidakmenarikan profesi guru menyebabkan profesi ini ‘dijauhi’ oleh ‘bibit-bibit unggul’ yang dihasilkan masyarakat. Secara terpaksa, karena tidak ada pilihan, profesi guru menampung ‘bibit kelas 2’ atau bahkan ‘kelas 3’ atau ‘kelas 4.’ Situasi ini makin lama bertambah parah karena rendahnya kualitas guru berakibat rendahnya mutu pendidikan. Dengan kemampuan paspasan ditambah lagi dengan tingkat kesejahteraan yang rendah, guru tidak memiliki ruang fleksibilitas dan kreativitas untuk menyikapi profesi-nya secara baik dan bertanggungjawab. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan guru mempunyai ‘profesi rangkap’ untuk mempertahankan hidupnya. Dengan kondisi seperti ini status guru sebagai pendidik tinggal hanya ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 27 ‘label’ saja, karena untuk ‘meng-urus’ dirinya saja sudah ‘sangat repot,’ apalagi mengurus orang lain (baca: anak didik). Dalam konteks seperti ini membicarakan guru sebagai pembudaya yang memerlukan dedikasi tinggi juga ‘jauh panggang dari api.’ 4.2.2 Hubungan Guru-Siswa Seperti telah dikemukakan di bagian depan, hubungan guru siswa dalam konteks pembelajaran atau proses belajar-mengajar selama ini berpola top-down. Dengan pola ini, hubungan guru-murid menjadi kaku dan dominasi guru mewarnai interaksi pendidikan. Modus pendidikan seperti ini tidak bisa mengembangkan budaya demokrasi di sekolah dan ini akan berlanjut kelak di masyarakat. Kreativitas peserta didik juga terpasung sam-pai titik terendah. 4.2.3 Dedikasi Guru Berbagai kendala yang dialami guru dalam menjalani profesinya (antara lain, ken-dala kualitas profesional dirinya, kendala tingkat kesejahteraannya, kendala gengsinya, dan sebagainya) menyebabkan melorotnya motivasi guru untuk ‘berbuat’ lebih baik dan lebih banyak sebagai pendukug utama keberhasilan pedidikan nasional. Dedikasi guru yang rendah merupakan kendala sangat serius dalam profesi kependidikan karena mendi-dik yang ideal membutuhkan dedikasi tinggi, bahkan tanpa batas. Rendahnya dedikasi guru bisa juga bersumber pada kurang diminatinya profesi itu oleh yang bersangkutan, yang berprofesi guru karena ‘terpaksa.’ 4.2.4 Faktor Pendukung Profesi Guru Di samping kendala rendahnya tingkat kesejahteraan dan kualitas profesional guru, beberapa faktor pendukung yang menopang profesi guru sering sangat minim ke-beradaannya di sekolah. Misalnya, untuk kebanyakan sekolah di tanah air, guru tidak memiliki ruang kerja yang memadai di mana dia bisa bekerja dengan nyaman pada wak-tu tidak berada di kelas. Yang ada hanya sebuah ‘com____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 28 mon room’ yang kadang-kadang tidak cukup luas untuk memberikan kenyamanan walaupun hanya untuk melepaskan le-lah. Sekolah juga tidak memiliki perpustakaan guru yang memadai, apalagi yang up to date. Fasilitas pendidikan lainnya umumnya juga sangat terbatas. 4.2.5 Kurikulum Padat Padatnya kurikulum yang harus dilaksanakan sekolah hampir-hampir tidak me-nyisakan waktu bagi siswa untuk mendapatkan pengalaman pendidikan di luar kurikulum (non-curricular activities). Aktivitas ekstrakurikuler dikesampingkan, bahkan disepele-kan, sehingga kegiatan-kegiatan yang bersifat apresiatif-afektif sangat minim. Kompeten-si sosial peserta didik yang banyak berkembang melalui kegiatan ekstrakurikuler juga tumbuh seadanya, dan terhadang juga perkembangan bakat serta kualitas etis-estetisnya. 4.2.6 Sistem Evaluasi Sistem evaluasi yang dilaksanakan di sekolah-sekolah kita hanya menekankan aspek kognitif. Kecerdasan peserta didik hanya diukur melalui kemampuannya memecah-kan masalah secara kognitif dan mengenyampingkan kemampuan-kemampuan lain yang sebenarnya berperan cukup penting dalam kehidupan peserta didik kelak, seperti kompe-tensi sosial, apresiasi nilai-nilai moral, dan sebagainya. Kemampuan-kemampuan ini ti-dak bisa secara taken for granted dianggap dimiliki oleh peserta didik setelah selesai mengikuti pendidikan sekolah. Sistem evaluasi di sekolah mengukur seberapa jauh satu mata pelajaran dikuasai (dipahami, diketahui) tetapi tidak seberapa jauh yang dikuasai itu dihayati untuk dipraktikkan dan dimanfaatkan dalam kehidupan nyata kelak. 5. Harapan dan Pemecahan Menyadari bahwa pendidikan adalah titik sentral pembangunan bangsa kita, sudah semestinya setiap komponen bangsa ikut memikirkan dan merasa ber____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 29 tanggungjawab atas maju-mundurnya pendidikan kita. Berangkat dari pemikiran ini sudah sewajarnya pula pemerintah memberikan perhatian yang khusus terhadap dunia pendidikan melalui program-program yang nyata dan berkesinambungan, karena pendidikan tidak hanya ‘berbicara’ untuk masa kini, tetapi terlebih-lebih untuk masa depan. Pemerintah mestinya tidak hanya menghitung seberapa besar dana yang diperlukan untuk ‘membeli’ pendi-dikan yang baik tetapi juga seberapa besar dana yang harus disiapkan untuk memulihkan akibat-akibat dari pendidikan yang jelek. Dunia pendidikan sangat mendambakan kebijakan pemerintah yang bisa meng-angkat kewibawaan profesi guru, membenahi sistem pendidikan guru, dan meningkatkan kualitas guru. Untuk mengangkat kewibawaan profesi guru, pemerintah tidak hanya per-lu menetapkan standar penghasilan yang layak bagi guru sebagai pemilik profesi itu te-tapi juga menentukan standar kualifikasi yang mendukung profesi guru sebagai profesi yang bermartabat. Misalnya, kalau profesi guru sudah menjadi profesi yang menarik se-hingga banyak diminati, maka seleksi calon guru harus dilakukan sedemikian rupa se-hingga hanya mereka yang memenuhi persyaratan sesuai dengan standar kualifikasi yang ditetapkan yang bisa menjadi entran LPTK. Entran LPTK yang lolos melalui seleksi yang ketat dididik melalui pendidikan khas keguruan. Pendidikan calon guru ini harus mampu menyiapkan calon pendidik itu tidak saja dengan kemampuan kognitif yang tinggi tetapi juga wawasan afektif yang man-tap. Untuk menyiapkan guru yang berkualitas seperti ini, waktu pendidikan yang dibutuh-kan minimal 4 tahun (Strata 1). Dengan kualifikasi minimal S1 seorang guru akan mam-pu melaksanakan misi pendidikan yang diembannya secara profesional. Kalau profesi guru sudah menjadi profesi yang bermartabat, harapan bahwa guru akan bekerja dengan penuh dedikasi dan dengan kedisiplinan yang tinggi akan terwujud. Hal ini tentu men-janjikan prospek yang melegakan bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional kita. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 30 6. Penutup Hasil yang telah dicapai melalui pembangunan pendidikan di Indonesia cukup mengesankan dan diakui dunia internasional (Bank Dunia, 1998). Krisis ekonomi meng-hadang saat bangsa kita dengan semangat reformasi ingin melanjutkan apa yang belum selesai dalam pembangunan pendidikan. Adalah kewajiban seluruh bangsa Indonesia, khususnya jajaran kependidikan, untuk mempertahankan hasil-hasil pendidikan yang te-lah dengan susah payah dicapai serta mengusahakan setiap ikhtiar yang mungkin untuk menyongsong masa depan pendidikan kita yang lebih cerah. Memang belum saatnya kita bisa berpuas diri mengenai pendidikan di tanah air betapapun hasil yang sudah kita capai. Masih cukup banyak masalah yang harus dipecahkan dan kendala yang harus diatasi. Pembahasan mengenai aspek pembudayaan dalam pendidikan dimaksukan untuk membersitkan secercah sinar dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di masa depan, khususnya melalui pemantapan profesionalisme guru. Walaupun secara konseptual pem-budayaan itu ‘bersenyawa’ dengan pendidikan, namun kenyataan dalam praktik tidak sepenuhnya mendukung hal itu. Berbagai kendala yang ada, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat sekolah, menyebabkan hampir tidak pernah pendidikan itu tersam-paikan secara utuh di sekolah. Sekolah lebih banyak menyelenggarakan ‘pengajaran’ daripada pendidikan. Oleh karena itu sangat perlu diupayakan agar pendidikan yang kita selenggarakan betul-betul membudayakan apa yang dididikkan kepada peserta didik. DAFTAR PUSTAKA Buchori, M. 1994. Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan. Yogya-karta: PT. Tiara Wacana Yogya. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 31 Darmaningtyas. 1999. “Reformasi mulai dari pendidikan”. Kompas, 6 Desember. Donosepoetro, M. 2000a. “Dinamika Perubahan Masyarakat dan Proses Pendidikan Nasional.” Seminar Nasional Sekolah sebagai Basis Pendidikan, Universitas Negeri Malang. Donosepoetro, M. 2000b. “Dimensi Kebudayaan dari Pendidikan Nasional”. Makalah Suplemen. Seminar Nasional Sekolah sebagai Basis Pendidikan. Universitas Negeri Malang. Farrell, J. P. 1982. “Educational expansion and the drive for social equality” in Altbach, P. G. (ed). Comparative Education. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. pp 39-53. Hadiwardoyo, A. P. 1993. “Nilai kemanusiaan hikmat bagi pendidikan” dalam Kas-wardi, E. K. (ed) Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT. Grasindo. Jazadi, I. 2000. “Mencermati paradigma pendidikan Indonesia” dalam Kompas, 25 Februari. Napitupulu, W. P. 1999. “Manusia Yang Harmonis Menuju Masyarakat Madani di Milenium Ketiga”. Kongres Ilmu Pengetahuan Indonesia VII. PUSPIPTEK Serpong, Tangerang. Raka Joni, T. 1983. Cara Belajar Siswa Aktif, Wawasan Kependidikan, dan Pembaharuan Pen-didikan Guru. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, IKIP Malang. Raka Joni, T. 1990. “Mereka Masa Depan, Sekarang: Tantangan bagi Pendidikan dalam Me-nyongsong Abad Informasi” Seminar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Revolusi Tekno-logi Informasi dan Strategi Dunia Pendidikan. Malang, 26 Mei. Semiawan, C. R. 1993. “Peningkatan mutu pendidikan melalui pembelajaran aktif dan ber-makna” dalam Semiawan, C. R. dan T. Raka Joni. Pendekatan Pembelajaran: Acuan Konseptual Pengelolaan Kegiatan BelajarMengajar. Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendi-dikan. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 32 Soedijarto, H. 1999. “Otonomi Daerah dan Amanat UUD 1945 tentang Pendidikan Nasional dan Upaya Memajukan Kebudayaan Nasional”. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VII. PUSPIPTEK Serpong, Tangerang. Supriyoko, K. 1999. “Usulan terbuka untuk Presiden Gus Dur: Benahi pendidikan nasional” dalam Kompas, 6 Desember. Suryadi, A. dan H.A.R. Tilaar. 1993. Analisis Kebijakan Pendidikan, Suatu Pengantar. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Susanto, S. 2000. “Membangun karakter lewat pendidikan” dalam Kompas, 7 Maret. World Bank. 1998. Education in Indonesia, From Crisis to Recovery. Education Sector Unit, East Asia and Pacific Region. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004