BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Dasar IPS Mata Pelajaran IPS dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berdasarkan peraturan ini kembali dimunculkan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) setelah pada kurikulum sebelumnya (Kurikulum 2004/KBK), mata pelajaran IPS digabung dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menjadi Pendidikan Kewarganegaraan dan Pengetahuan Sosial (PKPS). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 menjelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. Ruang lingkup dan cakupan konsep dasar IPS dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin bidang akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah sosial. Dalam kerangka kerja pengkajian Ilmu Pngetahuan Sosial (IPS) mengunakan bidang-bidang keilmuan yang termasuk bidang-bidang ilmu sosial. 2. Kerangka kerja Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tidak menekankan pada bidang teoretis, tetapi lebih pada bidang-bidang praktis dalam mempelajari 12 gejala dan masalah-masalah sosial yang terdapat di lingkungan masyarakat. Studi Sosial tidak perlu akademis teoretis, namun merupakan satu pengetahuan praktis yang dapat di ajarkan pada tingkat persekolahan yaitu mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi. Demikian pula pendekatan yang digunakan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sangat berbeda dengan pendekatan yang biasa digunakan dalam Ilmu Sosial. Pendekatan Ilmu Pengetahuan Sosial bersifat interdisipliner atau bersifat multidisipliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan, sedangkan pendekatan yang digunakan Ilmu Sosial (Social Sciences) bersifat disipliner dari bidang ilmunya masing-masing. Demikian pula pada tingkat taraf yang lebih rendah pendekatan studi Sosial lebih bersifat multidimensional, yaitu meninjau satu gejala atau masalah sosial dari berbagai dimensi atau aspek kehidupan. 3. Bidang studi IPS, pada hakikatnya merupakan perpaduan pengetahuan sosial. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) intinya merupakan perpaduan antara Geografi dan Sejarah. Untuk Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) intinya merupakan perpaduan antara Geografi, Sejarah dan Ekonomi Koperasi. Sedangkan untuk Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) intinya adalah perpaduan antara Geografi, Sejarah dan Ekonomi Koperasi dan Antropologi.di tingkat perguruan tinggi, bidang studi IPS ini dikenal sebagai studi sosial. IPS atau studi sosial ini, merupakan perpaduan dari berbagai bidang keilmuan Ilmu Sosial. Studi Sosial memiliki perbedaan yang prinsipil dengan ilmu-ilmu sosial. 13 Proses pembelajaran pendidikan IPS dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat usia peserta didik masing-masing. Ragam pembelajarannya pun harus disesuaikan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan. Secara formal, proses pembelajaran dan membelajarkan itu terjadi di sekolah, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. IPS sebagai satu program pendidikan tidak hanya menyajikan tentang konsep-konsep pengetahuan semata, namun harus pula mampu membina peserta didik menjadi warga negara dan warga masyarakat yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang juga memiliki tanggung jawab atas kesejahteraan bersama yang seluas-luasnya. Sebagai bidang pengetahuan, ruang lingkup IPS dapat terlihat nyata dari tujuannya. Di sepanjang sejarahnya IPS memiliki lima tujuan yaitu: 1. IPS mempersiapkan siswa untuk studi lanjut di bidang sosial sciences jika nantinya masuk ke perguruan tinggi. 2. IPS yang tujuannya mendidik kewarganegaraan yang baik. 3. IPS yang hakikatnya merupakan kompromi antara 1 dan 2 tersebut di atas. 4. IPS yang mempelajari closed areas atau masalah-masalah sosial yang pantang untuk dibicarakan di muka umum. 5. Menurut pedoman khusus bidang studi IPS, tujuan bidang studi tersebut, yaitu dengan materi yang dipilih, disaring dan disingkronkan kembali maka sasaran seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran IPS mengarah kepada 2 hal. 14 B. Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar Ilmu pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar berinduk kepada ilmu sosial, dengan pengertian bahwa teori, konsep, dan prinsip yang diterapkan IPS adalah teori, konsep, dan prinsip yang ada dan berlaku pada ilmu sosial. Studi sosial tidak terlalu akademik namun merupakan suatu pengetahuan praktis yang dapat diajarkan pada tingkat persekolahan mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi. Studi sosial sebagai bahan pengajaran karena sifatnya lebih mendasar dapat disajikan kepada tingkat yang lebih rendah. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) lebih menekankan kepada segi praktis mempelajari, menelaah, serta mengkaji gejala dan masalah sosial dengan mempertimbangkan bobot dan tingkat kemampuan pesrta didik pada tiap jenjang berbeda. Tujuan pendidikan IPS adalah agar peserta didik memiliki pengetahuan dan kemampuan berpikir tinggi, kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi terhadap lingkungannya. Lebih lanjut lagi Nursid Sumaatmadja (1984) mengungkapkan pembelajaran peserta didik di tingkat persekolahan, bahwa bidang studi IPS pada hakikatnya merupakan perpaduan antara Geografi dan Sejarah. Objek formal pembelajaran IPS berasal dari lingkungan terdekat keluarga, tetangga, kampung, desa, kelurahan, kabupaten, dan propinsi. Sedangkan objek material pembelajarannya adalah sosial, ekonomi, budaya, sejarah, geografi, praktik dan tata negara. Di dalam standar isi, kompetensi untuk satuan pendidikan dasar SD/MI, 15 tujuan mata pelajaran IPS agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial. 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetensi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional dan global. Lebih khusus dijelaskan ruang lingkup mata pelajaran IPS di SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut : 1. Manusia, tempat dan lingkungan 2. Waktu keberlanjutan dan perubahan 3. Sistem sosial dan budaya 4. Perilaku ekonomi dan kesejahteraan C. Model-model Pembelajaran IPS di SD Model diartikan sebagai representasi suatu fenomena, baik nyata maupun abstrak dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting fenomena tersebut. Menurut Aubrey Fisher (dalam Mulyana, 2001) mengatakan model adalah analogi yang mengabstraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan, unsur, sifat atau komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan 16 model. Model adalah gambaran informal untuk menjelaskan atau menerapkan teori. Dengan kata lain, model adalah teori yang disederhanakan. Model pembelajaran menurut Joyce & Weil (1980) model pembelajaran adalah suatu rencana-rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pembelajarannya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa model pembelajaran merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran dapat dikatakan interaktif jika para pembelajar atau siswa terlibat secara aktif dan positif baik mental maupun fisik dalam keseluruhan proses kegiatan pembelajaran. Suparman (1997) membagi model-model pembelajaran interaktif ke dalam 3 (tiga) bagian yaitu : Rumpun pertama disebut Model Berbagi Informasi dengan tujuan menitikberatkan pada proses informasi dan diskusi melalui interaksi argumentatif yang sarat penalaran. Termasuk ke dalam rumpun ini adalah : 1. Model Orientasi 2. Model Sidang Utama 3. Model Seminar 4. Model Konferensi Kerja 5. Model Simposium 17 6. Model Forum 7. Model Diskusi Panel Rumpun kedua disebut Model Belajar Melalui Pengalaman yang bertujuan menitikberatkan pada proses pelibatan dalam situasi yang memberi implikasi perubahan perilaku yang sarat nilai dan sikap sosial. Termasuk ke dalam rumpun ini adalah : 1. Model Simulasi 2. Model Bermain Peran 3. Model Sajian Situasi 4. Model Kelompok Aplikasi 5. Model Sajian Konflik 6. Model Sindikat 7. Model Kelompok T Rumpun ketiga disebut Model Pemecahan Masalah yang bertujuan menitikberatkan pada proses pengkajian dan pemecahan masalah melalui interaksi dialogis dalam situasi yang sarat penalaran induktif. Termasuk ke dalam rumpun ini adalah : 1. Model Curah Pendapat 2. Model Riuh Bicara 3. Model Diskusi Bebas 4. Model Kelompok Okupasi 5. Model Kelompok Silang 6. Model Tutorial 18 7. Model Studi Kasus 8. Model Lokakarya 9. Model Kontekstual (CTL) D. Belajar dan Pembelajaran 1. Belajar a. Pengertian Belajar Belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam bahasa asingnya : “ Learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his environment, which fells a need and makes him more capableof dealing adequately with his environment.” (W.H Burton dalam Uzer Usman dan Lilis Setiawati, 1993:10). Dalam pengertian ini terdapat kata change atau “perubahan” yang berarti bahwa seorang yang telah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan tingkah laku, baik dalam aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun dalam sikapnya. Perubahan tingkah laku dalam aspek pengetahuan ialah dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari bodoh menjadi pintar; dalam aspek keterampilan ialah dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak terampil menjadi terampil; dalam aspek sikap ialah dari ragu-ragu menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi 19 sopan, dari kurang ajar menjadi terpelajar. Hal ini merupakan salah satu kriteria keberhasilan belajar di antaranya ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar, tanpa adanya perubahan tingkah laku, belajar dapat dikatakan tidak berhasil atau gagal. Ernest R. Hilgard dalam Uzer Usman dan Lilis Setiawati (1993:11) mengemukakan : We may define learning as the process by which an activity originate or is changed through responding to asituation, provide the change cannot be attributed to growth or the temporary state of the organism (as fatique or under drugs).” Terjemahan bebasnya ialah “ Belajar adalah suatu proses di mana ditimbulkan atau diubahnya suatu kegiatan karena meraksi suatu keadaan. Perubahan itu tidak disebabkan oleh proses pertumbuhan (kematangan) atau keadaan organism yang sementara (seperti kelelahan atau karena pengaruh obat-obatan). H.C. Witherington dalam Uzer Usman dan Lilis Setiawati (1993:11) mengemukakan bahwa Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepribadian atau suatu pengertian. Oemar Hamalik (1980:28) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan diri seseorang yang dinyatakan dalam cara tingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Dari keempat definisi tersebut menunjukkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia. Perubahan tingkah laku ini bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan 20 yang bersifat fisiologis atau proses kematangan. Perubahan yang terjadi karena belajar dapat berupa perubahan-perubahan dalam kebiasaan (habit), kecakapan-kecakapan (skill) atau dalam ketiga aspek yakni pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Kegiatan belajar merupalan kegiatan paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh peserta didik atau siswa. Pandangan seorang guru terhadap pengertian belajar akan mempengaruhi tindakannya dalam membimbing siswa untuk belajar. Seorang guru yang mengartikan belajar sebagai menghafal fakta tentunya akan lain cara mengajarnya dibandingkan dengan guru lain yang mengartikan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku. Untuk itu penting artinya pemahaman guru akan pengertian belajar tersebut. b. Tujuan Belajar Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan yang kondusif. Sistem lingkungan belajar ini sendiri dipengaruhi oleh berbagai komponen yang masing-masingakan saling mempengaruhi. Komponen-komponen itu misalnya tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, materi yang ingin diajarkan, guru dan siswa yang memainkan peran serta dalam hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan serta sarana dan prasarana belajar- 21 mengajar yang tersedia. Komponen-komponen sistem lingkungan itu saling mempengaruhi secara bervariasi sehingga setiap peristiwa belajar memiliki profil yang unik dan kompleks. Masing-masing profil sistem lingkungan belajar, diperuntukan tujuan-tujuan belajar yang berbeda. Dengan kata lain untuk mencapai tujuan belajar tertentu harus diciptakan sistem lingkungan belajar yang tertentu pula. Tujuan belajar untuk pengembangan nilai afeksi memerlukan penciptaan sistem lingkungan yang berbeda dengan sistem yang dibutuhkan untuk tujuan belajar pengembangan gerak, dan begitu seterusnya. Dari uraian di atas, kalau dirangkum dan ditinjau secara umum, maka tujuan belajar itu ada tiga jenis, yaitu : 1) Untuk mendapatkan pengetahuan 2) Penanaman konsep dan keterampilan 3) Pembentukan sikap. Jadi pada intinya tujuan belajar itu adalah untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan penanaman nilai-nilai. Pencapaian tujuan belajar itu berarti akan menghasilkan hasil belajar. Relevan dengan uraian mengenai tujuan belajar tersebut, maka hasil baelajar itu meliputi : 1) Hal ihwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif) 2) Hal ihwal personal, kepribadian atau sikap (afektif) 3) Hal ihwal kelakuan, keterampilan atau penampilan (psikomotor) 22 c. Jenis-Jenis Aktivitas Belajar Aktivitas belajar siswa meliputi fisik, mental, dan emosional. Dalam hal ini jenis aktivitas tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: 1) Aktivitas visual (visual activities) 2) Aktivitas lisan (oral activities) 3) Aktivitas mendengarkan (listening activities) 4) Aktivitas gerak (motor activities) 5) Aktivitas menulis (writing activities) 6) Aktivitas menggambar (drawing activities) 7) Aktivitas mental (mental activities) 8) Aktivitas emosional (emotional activities) Masing-masing jenis aktivitas di atas memiliki kadar atau bobot tersendiri bergantung pada segi tujuan mana yang akan dicapai dalam kegiatan belajar yang jelas, bahwa aktivitas kegiatan belajar mengajar siswa hendaknya memiliki kadar keterlibatan yang lebih tinggi. d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akivitas Belajar Individu yang sedang belajar akan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal ini akan berpengaruh bukan saja pada aktivitas yang tengah dilaksanakan akan tetapi juga terhadap hasil belajar itu sendiri. Berikut dikemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi belajar, antara lain : 1) Faktor yang berasal dari diri sendiri a) Keterbatasan mental 23 b) Kondisi fisik yang kurang mendukung c) Usia kronologis d) Gangguan/ketidakseimbangan emosional e) Pengalaman belajar sebelumnya yang belum terkuasai f) Motivasi g) Bakat h) Sikap/kebiasaan yang merugikan diri sendiri 2) Faktor yang berasal dari luar diri sendiri a) Faktor stimuli (rangsangan) b) Faktor metode pengajaran c) Faktor instrumental (alat-alat pengajaran) d) Faktor kondisi lingkungan Faktor lingkungan dapat dikelompokkan atas dua jenis kondisi yang berpengaruh kepada aktivitas belajar yaitu : (1) Lingkungan alami/fisik (2) Lingkungan sosial 2. Pembelajaran Pembelajaran adalah suatu proses kegiatan yang ditata dan diatur sedemikian rupa dengan didasarkan pada berbagai aspek baik menyangkut aspek konsep hakekat pembelajaran, maupun ketentuan yuridis formal yang mengatur pelaksanaan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran secara lebih khusus. Secara etimologis kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari 24 bahasa inggris ‘instruction”. Kata pembelajaran itu sendiri merupakan perkembangan dari istilah belajar-mengajar atau proses belajar-mengajar yang telah cukup lama digunakan dalam pendidikan formal (sekolah). Teori belajar lain yang bersifat kontemporer yang memiliki relevansi cukup signifikan dengan istilah “pembelajaran” yaitu teori “konstuktivisme” (Vigotsky). Teori konstruktivisme memandang bahwa siswa adalah pembangun pengetahuan aktif. Dengan demikian maka pembelajaran harus dirancang dengan lebih banyak mendorong siswa untuk mengembangkan potensi aktivitasnya, dan oleh karena itu dalam pandangan sekarang fungsi guru bergeser dari fungsi sebagai “penyampai” seperti telah dibahas sebelumnya menjadi “fasilitator” pembelajaran. Menurut teori konstruktivisme, siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama, merevisinya apabila aturan-aturan itu lebih dari sekedar mengingat. Agar siswa benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan mereka dan dapat menerapkan pengetahuan mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya dan berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Slavin, 2000). Pengertian pembelajaran yang dikemukakan oleh Mohammad Surya sebagai berikut “Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam 25 interaksi dengan lingkungannya”. Inti dari pengertian tersebut bahwa belajar adalah proses yang dilakukan setiap individu dalam interaksi dengan lingkungan (sumber pembelajaran). Menurut Gagne pembelajaran adalah “instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated” (1992). Intinya pembelajaran adalah serangkaian aktivitas atau kegiatan yang difasilitasi untuk terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan demikian guru adalah sebagai bagian dari lingkungan pembelajaran yang memiliki tugas utama sebagai fasilitator. Oleh karena itu beberapa implikasi dari teori di atas tercermin pada beberapa perilaku atau proses pembelajaran sebagai berikut : a. Belajar tidak hanya sekedar menghapal, tetapi siswa harus membangun pengetahuannya. b. Hasil belajar tidak hanya cukup untuk konsumsi pengetahuan (kognitif) saja akan tetapi harud direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (aplikasi) c. Dalam belajar siswa harus mengalami sendiri, dan bukan hanya sebagai penerima dari pemberian orang lain (guru). Oleh karena itu proses pembelajaran harus membiasakan siswa terlibat dalam memecahkan permasalahan. d. Pembelajaran harus membiasakan siswa banyak berinteraksi dengan sumber-sumber pembelajaran atau lingkungan pembelajaran dan bervariasi dan tidak hanya dibatasi oleh ruang kelas saja. 26 e. Pembelajaran harus memposisikan siswa sebagai subjek pembelajar yang aktif untuk melakukan aktifitas belajar dimana guru sebagai fasilitator pembelajarannya. E. Hasil Belajar 1. Pengertian Hasil Belajar Belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subjek dalam belajar, sedangkan mengajar merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seorang guru sebagai pengajar. Dua konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan. Di antara keduanya itu terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil bisa juga melalui kreatifitas seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar. Oleh karena itu hasil belajar yang dimaksud di sini adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakuan dari pengajar (guru), seperti yang dikemukakan oleh Sudjana. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004 : 22). Sedangkan menurut Horwart Kingsley dalam bukunya Sudjana membagi tiga macam hasil belajar mengajar : (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita (Sudjana, 2004 : 22). 27 Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan keterampilan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah ia menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa (Sudjana, 1989 : 39). Dari pendapat ini faktor yang dimaksud adalah faktor dalam diri siswa perubahan kemampuan yang dimilikinya seperti yang dikemukakan oleh Clark (1981 : 21) menyatakan bahwa hasil belajar siswa disekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Demikian juga faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan yang paling dominan berupa kualitas pembelajaran (Sudjana, 2002 : 39). "Belajar adalah suatu perubahan perilaku, akibat interaksi dengan lingkungannya" (Ali Muhammad, 204 : 14). Perubahan perilaku dalam proses belajar terjadi akibat dari interaksi dengan lingkungan. Interaksi biasanya berlangsung secara sengaja. Dengan demikian belajar dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya apabila terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar tidak dikatakan berhasil. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kamampuan siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah profesional yang dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik 28 di bidang kognitif (intelektual), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku (psikomotorik). Dari beberapa pendapat di atas, maka hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor dari dalam individu siswa berupa kemampuan personal (internal) dan faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan. Dengan demikian hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau fikiran yang mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupa sehingga nampak pada diri indivdu penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif. 3. Pengertian Kriteria Ketuntasan Minimal Untuk mengetahui hasil belajar dari pembelajaran siswa guru perlu menentukan Kriteria Ketentuan Minimal yang menjadi patokan guru dalam menentukan apakah hasil belajar siswa tersebut sudah berhasil atau sesuai dengan harapan atau belum sehingga sebelum memulai suatu pembelajaran guru perlu menentukan Kriteria Ketentuan Minimal yang selanjutnya disebut KKM. Adapun pengertian dari KKM itu sendiri adalah Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan. KKM harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai. Seberapapun besarnya jumlah peserta didik yang melampaui batas 29 ketuntasan minimal, tidak mengubah keputusan pendidik dalam menyatakan lulus dan tidak lulus pembelajaran. Acuan kriteria tidak diubah secara serta merta karena hasil empirik penilaian. Pada acuan norma, kurva normal sering digunakan untuk menentukan ketuntasan belajar peserta didik jika diperoleh hasil rata-rata kurang memuaskan. Nilai akhir sering dikonversi dari kurva normal untuk mendapatkan sejumlah peserta didik yang melebihi nilai 6,0 sesuai proporsi kurva. Acuan kriteria mengharuskan pendidik untuk melakukan tindakan yang tepat terhadap hasil penilaian, yaitu memberikan layanan remedial bagi yang belum tuntas dan atau layanan pengayaan bagi yang sudah melampaui kriteria ketuntasan minimal. Kriteria ketuntasan minimal ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di satuan pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertimbangan pendidik atau forum MGMP secara akademis menjadi pertimbangan utama penetapan KKM. Kriteria ketuntasan menunjukkan persentase tingkat pencapaian kompetensi sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus). Angka maksimal 100 merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan secara nasional diharapkan mencapai minimal 75. Satuan pendidikan dapat memulai dari kriteria ketuntasan minimal di bawah target nasional kemudian ditingkatkan secara bertahap. Kriteria ketuntasan minimal menjadi acuan bersama pendidik, 30 peserta didik, dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penilaian di sekolah berhak untuk mengetahuinya. Satuan pendidikan perlu melakukan sosialisasi agar informasi dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik dan atau orang tuanya. Kriteria ketuntasan minimal harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB) sebagai acuan dalam menyikapi hasil belajar peserta didik. 4. Fungsi Kriteria Ketuntasan Minimal Adapun Fungsi kriteria ketuntasan minimal dalam pembelajaran adalah: a. Sebagai acuan bagi pendidik dalam menilai kompetensi peserta didik sesuai kompetensi dasar mata pelajaran yang diikuti. Setiap kompetensi dasar dapat diketahui ketercapaiannya berdasarkan KKM yang ditetapkan. Pendidik harus memberikan respon yang tepat terhadap pencapaian kompetensi dasar dalam bentuk pemberian layanan remedial atau layanan pengayaan; b. sebagai acuan bagi peserta didik dalam menyiapkan diri mengikuti penilaian mata pelajaran. Setiap kompetensi dasar (KD) dan indikator ditetapkan KKM yang harus dicapai dan dikuasai oleh peserta didik. Peserta didik diharapkan dapat mempersiapkan diri dalam mengikuti penilaian agar mencapai nilai melebihi KKM. Apabila hal tersebut tidak bisa dicapai, peserta didik harus mengetahui KD-KD yang belum tuntas dan perlu perbaikan; 31 c. Dapat digunakan sebagai bagian dari komponen dalam melakukan evaluasi program pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Evaluasi keterlaksanaan dan hasil program kurikulum dapat dilihat dari keberhasilan pencapaian KKM sebagai tolok ukur. Oleh karena itu hasil pencapaian KD berdasarkan KKM yang ditetapkan perlu dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang peta KD-KD tiap mata pelajaran yang mudah atau sulit, dan cara perbaikan dalam proses pembelajaran maupun pemenuhan sarana-prasarana belajar di sekolah; d. Merupakan kontrak pedagogik antara pendidik dengan peserta didik dan antara satuan pendidikan dengan masyarakat. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan upaya yang harus dilakukan bersama antara pendidik, peserta didik, pimpinan satuan pendidikan, dan orang tua. Pendidik melakukan upaya pencapaian KKM dengan memaksimalkan proses pembelajaran dan penilaian. Peserta didik melakukan upaya pencapaian KKM dengan proaktif mengikuti kegiatan pembelajaran serta mengerjakan tugas-tugas yang telah didesain pendidik. Orang tua dapat membantu dengan memberikan motivasi dan dukungan penuh bagi putra-putrinya dalam mengikuti pembelajaran. Sedangkan pimpinan satuan pendidikan berupaya memaksimalkan pemenuhan kebutuhan untuk mendukung terlaksananya proses pembelajaran dan penilaian di sekolah; e. Merupakan target satuan pendidikan dalam pencapaian kompetensi tiap mata pelajaran. Satuan pendidikan harus berupaya semaksimal 32 mungkin untuk melampaui KKM yang ditetapkan. Keberhasilan pencapaian KKM merupakan salah satu tolok ukur kinerja satuan pendidikan dalam menyelenggarakan program pendidikan. Satuan pendidikan dengan KKM yang tinggi dan dilaksanakan secara bertanggung jawab dapat menjadi tolok ukur kualitas mutu pendidikan bagi masyarakat. 5. Prinsip Penetapan KKM Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal perlu mempertimbangkan beberapa ketentuan sebagai berikut: a. Penetapan KKM merupakan kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dilakukan melalui metode kualitatif dan atau kuantitatif. Metode kualitatif dapat dilakukan melalui professional judgement oleh pendidik dengan mempertimbangkan kemampuan akademik dan pengalaman pendidik mengajar mata pelajaran di sekolahnya. Sedangkan metode kuantitatif dilakukan dengan rentang angka yang disepakati sesuai dengan penetapan kriteria yang ditentukan; b. Penetapan nilai kriteria ketuntasan minimal dilakukan melalui analisis ketuntasan belajar minimal pada setiap indikator dengan memperhatikan kompleksitas, daya dukung, dan intake peserta didik untuk mencapai ketuntasan kompetensi dasar dan standar kompetensi c. Kriteria ketuntasan minimal setiap Kompetensi Dasar (KD) merupakan rata-rata dari indikator yang terdapat dalam Kompetensi Dasar tersebut. Peserta didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan belajar 33 untuk KD tertentu apabila yang bersangkutan telah mencapai ketuntasan belajar minimal yang telah ditetapkan untuk seluruh indikator pada KD tersebut; d. Kriteria ketuntasan minimal setiap Standar Kompetensi (SK) merupakan rata-rata KKM Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat dalam SK tersebut; e. Kriteria ketuntasan minimal mata pelajaran merupakan rata-rata dari semua KKM-SK yang terdapat dalam satu semester atau satu tahun pembelajaran, dan dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB/Rapor) peserta didik; f. Indikator merupakan acuan/rujukan bagi pendidik untuk membuat soal-soal ulangan, baik Ulangan Harian (UH), Ulangan Tengah Semester (UTS) maupun Ulangan Akhir Semester (UAS). Soal ulangan ataupun tugas-tugas harus mampu mencerminkan/ menampilkan pencapaian indikator yang diujikan. Dengan demikian pendidik tidak perlu melakukan pembobotan seluruh hasil ulangan, karena semuanya memiliki hasil yang setara; g. Pada setiap indikator atau kompetensi dasar dimungkinkan adanya perbedaan nilai ketuntasan minimal. 6. Langkah-Langkah Penetapan KKM Penetapan KKM dilakukan oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran. Langkah penetapan KKM adalah sebagai berikut: a. Guru atau kelompok guru menetapkan KKM mata pelajaran dengan 34 mempertimbangkan tiga aspek kriteria, yaitu kompleksitas, daya dukung, dan intake peserta didik dengan skema sebagai berikut: a. Hasil penetapan KKM indikator berlanjut pada KD, SK hingga KKM mata pelajaran; b. Hasil penetapan KKM oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran disahkan oleh kepala sekolah untuk dijadikan patokan guru dalam melakukan penilaian; c. KKM yang ditetapkan disosialisaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu peserta didik, orang tua, dan dinas pendidikan; d. KKM dicantumkan dalam LHB pada saat hasil penilaian dilaporkan kepada orang tua/wali peserta didik. 7. Penentuan Kriteria Ketuntasan Minimal Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penentuan kriteria ketuntasan minimal adalah: a. Tingkat kompleksitas, kesulitan/kerumitan setiap indikator, kompetensi dasar, dan standar kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik. Suatu indikator dikatakan memiliki tingkat kompleksitas tinggi, apabila dalam pencapaiannya didukung oleh sekurangkurangnya satu dari sejumlah kondisi sebagai berikut: (a) guru yang memahami dengan benar kompetensi yang harus dibelajarkan pada peserta didik; (b) guru yang kreatif dan inovatif dengan metode 35 pembelajaran yang bervariasi; (c) guru yang menguasai pengetahuan dan kemampuan sesuai bidang yang diajarkan; (d) peserta didik dengan kemampuan penalaran tinggi; (e) peserta didik yang cakap/terampil menerapkan konsep; (f) peserta didik yang cermat, kreatif dan inovatif dalam penyelesaian tugas/pekerjaan; (g) waktu yang cukup lama untuk memahami materi tersebut karena memiliki tingkat kesulitan dan kerumitan yang tinggi, sehingga dalam proses pembelajarannya memerlukan pengulangan/latihan; (h) tingkat kemampuan penalaran dan kecermatan yang tinggi agar peserta didik dapat mencapai ketuntasan belajar. b. Kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran pada masing-masing sekolah. 1) Sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kompetensi yang harus dicapai peserta didik seperti perpustakaan, laboratorium, dan alat/bahan untuk proses pembelajaran; 2) Ketersediaan tenaga, manajemen sekolah, dan kepedulian stakeholders sekolah. Daya dukung untuk Indikator tinggi apabila sekolah mempunyai sarana prasarana yang cukup untuk melakukan percobaan, dan guru mampu menyajikan pembelajaran dengan baik. Tetapi daya dukungnya rendah apabila sekolah tidak mempunyai sarana untuk melakukan percobaan atau guru tidak mampu menyajikan pembelajaran dengan baik 36 c. Tingkat kemampuan (intake) rata-rata peserta didik di sekolah yang bersangkutan F. Media pembelajaran 1. Pengertian Media Pembelajaran Kata Media (Latin) adalah bentuk jamak dari kata “medium” yang berarti “perantara” atau “pengantar”. Batasan mengenai pengertian media sangat luas, media penting dalam sebuah pembelajaran, karena proses belajar mengajar hakekatnya adalah proses komunikasi, penyampaian pesan dari pengantar ke penerima. Pesan berupa isi/sajian yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik verbal (kata-kata tulisan) maupun non-verbal. Semakin banyak verbalisme semakin abstrak pemahaman yang diterima. Miarso (1980) menegaskan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan anak didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa. Media pembelajaran adalah semua alat (bantu) atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru) maupun sumber lain kepada penerima dalam hal ini anak didik maupun warga belajar. Pesan/ informasi yang disampaikan melalui media, dalam bentuk isi atau materi pelajaran itu harus diterima oleh penerima pesan 37 (anak didik), dengan menggunakan salah satu atau gabungan beberapa indera mereka. Bahkan lebih baik bila seluruh alat indera yang dimilki mampu dapat menerima pesan yang disampaikan (Latuheru 1988:13) Media pembelajaran adalah sarana yang digunakan sebagai perantara dalam proses pembelajaran untuk mempertinggi efektifitas dalam mencapai tujuan pembelajaran. Media merupakan komponen pembelajaran yang berperan untuk lebih memperjelas dan menarik perhatian siswa, fungsi media adalah untuk mengolah dan meproses bahan sehingga memudahkan siswa untuk mempelajarinya.Adapun tujuan menggunakan media pembelajaran adalah 1) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu verbalitas, 2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, 3) memperlancar jalannya proses Kegiatan Belajar Mengajar, 4) menimbulkan kegairahan belajar siswa, 5) memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi langsung dengan lingkungan dan kenyataan, serta untuk belajar secara mandiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya. G. Penggunaan Media Peta dalam pelaksanaan pembelajaran di Sekolah Dasar 1. Pengertian Peta a. Peta adalah gambar sebagian atau keseluruhan permukaan bumi dengan perbandingan tertentu. Peta adalah bayangan/gambaran yang diperkecil dari sebagian besar atau sebagian kecil permukaan bumi pada bidang datar dengan skala dan sistem proyeksi tertentu. 38 (Wongsotjitro,1980) b. Peta adalah gambaran, lukisan, gambar yang menyatakan bagaimana letak tanah, laut, kali, gunung dan lain sebagainya (KBBI) Adiyuwono (1995:14) memberikan definisi tentang peta, 1) Peta adalah gambaran keseluruhan atau sebagaian permukaan bumi yang diproyeksikan dalam dua dimensi pada bidang datar dengan metode dan perbandingan tertentu. 2) Peta adalah suatu persentasi diatas bidang datar baik seluruh atau sebagian permukaan bumi yang dilihat dari atas dan diperkecil dengan perbandingan tertentu. 3) Peta adalah sebuah gambar suatu daerah yang dapat dibayangkan seolah-oleh kita melihat daerah itu dari udara. Gambar-gambar pada peta memperlihatkan adanya hutan, lapangan, jalan, sungai, kota dll 4) Peta adalah gambar seluruh atau sebagian dari permukaan bumi yang dilukiskan kesuatu bidang datar dengan perbandingan tertentu yang dinamai kedar/skala Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian peta diatas dapat disimpulkan bahawa peta adalah gambaran permukaan bumi yang diperkecil, dituangkan dalam selembar kertas atau media lain dalam bentuk dua dimensi, atau dengan kata lain peta adalah pengecilan dari permukaan bumi atau benda angkasa yang digambarkan pada bidang datar, dengan menggunakan ukuran, simbol dan sistem kumpulan peta permukaan bumi (atlas) 39 2. Jenis Peta Peta ternyata sangat beragam. Berdasarkan kegunaannya peta dibedakan menjadi dua, yakni: a. Peta Umum Peta umum disebut juga dengan Peta Topografi. Peta umum merupakan peta yang menggambarkan keadaan umum dari suatu wilayah. Keadaan umum yang digambarkan meliputi objek atau kenampakan alam dan buatan. Objek alam misalnya gunung, sungai, dataran rendah, dataran tinggi, dan laut. Objek buatan misalnya kota, jalan dan rel kereta api. Peta Indonesia yang sering dipajang di dinding kantor atau sekolah merupakan contoh peta umum. Peta umum biasa digunakan untuk belajar di sekolah, untuk kepentingan kantor dan wisata. Gambar 2.1. Peta Umum Indonesia b. Peta Khusus Peta khusus merupakan peta yang menggambarkan data-data tertentu di suatu wilayah. Peta khusus disebut juga dengan Peta Tematik. Contoh peta khusus adalah: 40 1) Peta Persebaran Fauna di Indonesia 2) Peta Hasil Tambang di Indonesia 3) Peta Cuaca di Indonesia. Gambar 2.2 Peta Khusus Peta pembagian waktu, iklim, dan kepadatan penduduk di Indonesia 3. Komponen Peta Peta memiliki kelengkapan penting agar mudah dibaca dan dipahami. Kelengkapan tersebut dinamakan komponen peta. Komponen-komponen peta antara lain sebagai berikut: a. Judul peta Judul peta merupakan identitas atau nama untuk menjelaskan isi atau gambar peta. Judul peta biasanya terletak di bagian atas peta. Judul peta merupakan komponen yang penting. Biasanya sebelum memperhatikan isi peta, pasti seseorang terlebih dahulu membaca judulnya. b. Legenda Legenda merupakan keterangan yang berisi gambar-gambar atau simbol-simbol beserta artinya. Legenda biasanya terletak di bagian pojok kiri bawah peta 41 +++++++++++++ = Batas Negara = Gunung/Gunung Merapi +.+.+.+.+.+.+.+.+. = Batas Provinsi = Ibukota provinsi -.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-. = Batas Kabupaten = Ibukota Kabupaten Gambar 2.3 Contoh Legenda/keterangan pada peta c. Skala Skala merupakan perbandingan jarak antara dua titik pada peta dengan jarak sebenarnya di permukaan bumi. Misalnya skala 1 : 200.000. Skala ini artinya 1 cm jarak pada peta sama dengan 200.000 cm atau 2 km jarak sebenarnya. d. Simbol Simbol merupakan lambang atau gambar yang menunjukkan obyek alam atau buatan. Simbol peta harus memenuhi tiga syarat yakni sederhana, mudah dimengerti, dan bersifat umum. Berikut ini adalah simbol-simbol yang biasa digunakan pada peta. Gambar 2.4. contoh simbol-simbol dalam peta e. Mata angin Mata angin merupakan pedoman atau petunjuk arah mata angin. Mata angin pada peta biasanya berupa tanda panah yang menunjuk ke arah utara. Mata angin sangat penting keberadaanya supaya tidak terjadi kekeliruan arah. 42 4. Keterampilan membaca peta Keterampilan membaca peta sangat diperlukan untuk membangun pemahaman siswa pada suatu tempat di mana ia berada untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Untuk mengetahui keadaan/tempat di luar dunia yang sudah diketahui siswa salah satunya dengan cara guru memperkenalkan melalui peta. Penggunaan peta dalam mata pelajaran IPS mengajak siswa berpikir geografi, juga dalam melaksanakan pembelajaran siswa berproses dengan kemampuan membaca jarak atau skala, interpretasi semantik dan dari tanda abstrak ke signifikan 5. Fungsi peta Peta mempunyai beberapa fungsi di antaranya : a. Memperlihatkan posisi atau lokasi relatif dari suatu tempat b. Memperlihatkan ukuran dalam pengertian jarak dan arah c. Memperlihatkan bentuk dari unsur yang terdapat dipermukaan bumi d. Menghimpun serta menselektif data permukaan bumi 6. Kelebihan Peta sebagai media pembelajaran a. Memungkinkan siswa mengerti posisi dari kesatuan politik, daerah kepulauan, sungai, gunung, dll b. Melengkapi pengalaman tentang berbagai daerah luas dan bergerak. c. Merangsang minat siswa untuk mempelajari penduduk dan pengaruh geografis. d. Siswa memperoleh gambaran tentang imigrasi tumbuh-tumbuhan, kehidupan hewan dan kebudayaan. 43 44 45