BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Dasar IPS Mata Pelajaran IPS

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep Dasar IPS
Mata Pelajaran IPS dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006
merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Berdasarkan peraturan ini kembali dimunculkan mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) setelah pada kurikulum sebelumnya
(Kurikulum 2004/KBK), mata pelajaran IPS digabung dengan Pendidikan
Kewarganegaraan
(PKn)
menjadi
Pendidikan
Kewarganegaraan
dan
Pengetahuan Sosial (PKPS). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006
menjelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu
mata
pelajaran
yang
diberikan
mulai
dari
SD/MI/SDLB
sampai
SMP/MTs/SMPLB.
Ruang lingkup dan cakupan konsep dasar IPS dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bukan merupakan suatu bidang keilmuan
atau disiplin bidang akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang
pengkajian tentang gejala dan masalah sosial. Dalam kerangka kerja
pengkajian Ilmu Pngetahuan Sosial (IPS) mengunakan bidang-bidang
keilmuan yang termasuk bidang-bidang ilmu sosial.
2. Kerangka kerja Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tidak menekankan pada
bidang teoretis, tetapi lebih pada bidang-bidang praktis dalam mempelajari
12
gejala dan masalah-masalah sosial yang terdapat di lingkungan
masyarakat. Studi Sosial tidak perlu akademis teoretis, namun merupakan
satu pengetahuan praktis yang dapat di ajarkan pada tingkat persekolahan
yaitu mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi.
Demikian pula pendekatan yang digunakan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
sangat berbeda dengan pendekatan yang biasa digunakan dalam Ilmu
Sosial. Pendekatan Ilmu Pengetahuan Sosial bersifat interdisipliner atau
bersifat multidisipliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan,
sedangkan pendekatan yang digunakan Ilmu Sosial (Social Sciences)
bersifat disipliner dari bidang ilmunya masing-masing. Demikian pula
pada tingkat taraf yang lebih rendah pendekatan studi Sosial lebih bersifat
multidimensional, yaitu meninjau satu gejala atau masalah sosial dari
berbagai dimensi atau aspek kehidupan.
3. Bidang studi IPS, pada hakikatnya merupakan perpaduan pengetahuan
sosial. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) intinya merupakan perpaduan
antara Geografi dan Sejarah. Untuk Sekolah Lanjut Tingkat Pertama
(SLTP) intinya merupakan perpaduan antara Geografi, Sejarah dan
Ekonomi Koperasi. Sedangkan untuk Sekolah Lanjut Tingkat Atas
(SLTA) intinya adalah perpaduan antara Geografi, Sejarah dan Ekonomi
Koperasi dan Antropologi.di tingkat perguruan tinggi, bidang studi IPS ini
dikenal sebagai studi sosial. IPS atau studi sosial ini, merupakan
perpaduan dari berbagai bidang keilmuan Ilmu Sosial. Studi Sosial
memiliki perbedaan yang prinsipil dengan ilmu-ilmu sosial.
13
Proses pembelajaran pendidikan IPS dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat usia peserta didik
masing-masing. Ragam pembelajarannya pun harus disesuaikan dengan apa
yang terjadi dalam kehidupan. Secara formal, proses pembelajaran dan
membelajarkan itu terjadi di sekolah, baik di dalam kelas maupun di luar
kelas.
IPS sebagai satu program pendidikan tidak hanya menyajikan tentang
konsep-konsep pengetahuan semata, namun harus pula mampu membina
peserta didik menjadi warga negara dan warga masyarakat yang tahu akan hak
dan kewajibannya, yang juga memiliki tanggung jawab atas kesejahteraan
bersama yang seluas-luasnya.
Sebagai bidang pengetahuan, ruang lingkup IPS dapat terlihat nyata
dari tujuannya. Di sepanjang sejarahnya IPS memiliki lima tujuan yaitu:
1. IPS mempersiapkan siswa untuk studi lanjut di bidang sosial sciences jika
nantinya masuk ke perguruan tinggi.
2. IPS yang tujuannya mendidik kewarganegaraan yang baik.
3. IPS yang hakikatnya merupakan kompromi antara 1 dan 2 tersebut di atas.
4. IPS yang mempelajari closed areas atau masalah-masalah sosial yang
pantang untuk dibicarakan di muka umum.
5. Menurut pedoman khusus bidang studi IPS, tujuan bidang studi tersebut,
yaitu dengan materi yang dipilih, disaring dan disingkronkan kembali
maka sasaran seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran IPS mengarah
kepada 2 hal.
14
B. Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
Ilmu pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar berinduk kepada ilmu sosial,
dengan pengertian bahwa teori, konsep, dan prinsip yang diterapkan IPS
adalah teori, konsep, dan prinsip yang ada dan berlaku pada ilmu sosial.
Studi sosial tidak terlalu akademik namun merupakan suatu
pengetahuan praktis yang dapat diajarkan pada tingkat persekolahan mulai
dari SD sampai dengan perguruan tinggi. Studi sosial sebagai bahan
pengajaran karena sifatnya lebih mendasar dapat disajikan kepada tingkat
yang lebih rendah.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) lebih menekankan kepada segi praktis
mempelajari, menelaah, serta mengkaji gejala dan masalah sosial dengan
mempertimbangkan bobot dan tingkat kemampuan pesrta didik pada tiap
jenjang berbeda.
Tujuan pendidikan IPS adalah agar peserta didik memiliki pengetahuan
dan kemampuan berpikir tinggi, kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi
terhadap lingkungannya. Lebih lanjut lagi Nursid Sumaatmadja (1984)
mengungkapkan pembelajaran peserta didik di tingkat persekolahan, bahwa
bidang studi IPS pada hakikatnya merupakan perpaduan antara Geografi dan
Sejarah. Objek formal pembelajaran IPS berasal dari lingkungan terdekat
keluarga, tetangga, kampung, desa, kelurahan, kabupaten, dan propinsi.
Sedangkan objek material pembelajarannya adalah sosial, ekonomi, budaya,
sejarah, geografi, praktik dan tata negara.
Di dalam standar isi, kompetensi untuk satuan pendidikan dasar SD/MI,
15
tujuan mata pelajaran IPS agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai
berikut :
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya.
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan.
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetensi
dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional dan global.
Lebih khusus dijelaskan ruang lingkup mata pelajaran IPS di SD/MI
meliputi aspek-aspek sebagai berikut :
1. Manusia, tempat dan lingkungan
2. Waktu keberlanjutan dan perubahan
3. Sistem sosial dan budaya
4. Perilaku ekonomi dan kesejahteraan
C. Model-model Pembelajaran IPS di SD
Model diartikan sebagai representasi suatu fenomena, baik nyata
maupun abstrak dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting fenomena
tersebut. Menurut Aubrey Fisher (dalam Mulyana, 2001) mengatakan model
adalah analogi yang mengabstraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan,
unsur, sifat atau komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan
16
model. Model adalah gambaran informal untuk menjelaskan atau menerapkan
teori. Dengan kata lain, model adalah teori yang disederhanakan.
Model pembelajaran menurut Joyce & Weil (1980) model pembelajaran
adalah suatu rencana-rencana atau pola yang dapat digunakan untuk
membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang
bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang
lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru
boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai
tujuan pembelajarannya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa model
pembelajaran merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
Pembelajaran dapat dikatakan interaktif
jika para pembelajar atau
siswa terlibat secara aktif dan positif baik mental maupun fisik dalam
keseluruhan proses kegiatan pembelajaran. Suparman (1997) membagi
model-model pembelajaran interaktif ke dalam 3 (tiga) bagian yaitu :
Rumpun pertama disebut Model Berbagi Informasi dengan tujuan
menitikberatkan pada proses informasi dan diskusi melalui interaksi
argumentatif yang sarat penalaran. Termasuk ke dalam rumpun ini adalah :
1. Model Orientasi
2. Model Sidang Utama
3. Model Seminar
4. Model Konferensi Kerja
5. Model Simposium
17
6. Model Forum
7. Model Diskusi Panel
Rumpun kedua disebut Model Belajar Melalui Pengalaman yang
bertujuan menitikberatkan pada proses pelibatan dalam situasi yang memberi
implikasi perubahan perilaku yang sarat nilai dan sikap sosial. Termasuk ke
dalam rumpun ini adalah :
1. Model Simulasi
2. Model Bermain Peran
3. Model Sajian Situasi
4. Model Kelompok Aplikasi
5. Model Sajian Konflik
6. Model Sindikat
7. Model Kelompok T
Rumpun ketiga disebut Model Pemecahan Masalah yang bertujuan
menitikberatkan pada proses pengkajian dan pemecahan masalah melalui
interaksi dialogis dalam situasi yang sarat penalaran induktif. Termasuk ke
dalam rumpun ini adalah :
1. Model Curah Pendapat
2. Model Riuh Bicara
3. Model Diskusi Bebas
4. Model Kelompok Okupasi
5. Model Kelompok Silang
6. Model Tutorial
18
7. Model Studi Kasus
8. Model Lokakarya
9. Model Kontekstual (CTL)
D. Belajar dan Pembelajaran
1. Belajar
a. Pengertian Belajar
Belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri
individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan
individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu
berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam bahasa asingnya : “
Learning is a change in the individual due to instruction of that
individual and his environment, which fells a need and makes him more
capableof dealing adequately with his environment.” (W.H Burton
dalam Uzer Usman dan Lilis Setiawati, 1993:10).
Dalam pengertian ini terdapat kata change atau “perubahan”
yang berarti bahwa seorang yang telah mengalami proses belajar akan
mengalami perubahan tingkah laku, baik dalam aspek pengetahuannya,
keterampilannya, maupun dalam sikapnya. Perubahan tingkah laku
dalam aspek pengetahuan ialah dari tidak mengerti menjadi mengerti,
dari bodoh menjadi pintar; dalam aspek keterampilan ialah dari tidak
bisa menjadi bisa, dari tidak terampil menjadi terampil; dalam aspek
sikap ialah dari ragu-ragu menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi
19
sopan, dari kurang ajar menjadi terpelajar. Hal ini merupakan salah satu
kriteria keberhasilan belajar di antaranya ditandai dengan adanya
perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar, tanpa adanya
perubahan tingkah laku, belajar dapat dikatakan tidak berhasil atau
gagal.
Ernest R. Hilgard dalam Uzer Usman dan Lilis Setiawati
(1993:11) mengemukakan :
We may define learning as the process by which an activity
originate or is changed through responding to asituation, provide
the change cannot be attributed to growth or the temporary state of
the organism (as fatique or under drugs).” Terjemahan bebasnya
ialah “ Belajar adalah suatu proses di mana ditimbulkan atau
diubahnya suatu kegiatan karena meraksi suatu keadaan.
Perubahan itu tidak disebabkan oleh proses pertumbuhan
(kematangan) atau keadaan organism yang sementara (seperti
kelelahan atau karena pengaruh obat-obatan).
H.C. Witherington dalam Uzer Usman dan Lilis Setiawati
(1993:11) mengemukakan bahwa Belajar adalah suatu perubahan di
dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari
reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepribadian atau suatu
pengertian.
Oemar Hamalik (1980:28) mengemukakan bahwa belajar adalah
suatu bentuk pertumbuhan diri seseorang yang dinyatakan dalam cara
tingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.
Dari keempat definisi tersebut menunjukkan bahwa belajar
adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia.
Perubahan tingkah laku ini bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan
20
yang bersifat fisiologis atau proses kematangan. Perubahan yang terjadi
karena belajar dapat berupa perubahan-perubahan dalam kebiasaan
(habit), kecakapan-kecakapan (skill) atau dalam ketiga aspek yakni
pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik).
Kegiatan belajar merupalan kegiatan paling pokok dalam keseluruhan
proses pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa berhasil atau
tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada
bagaimana proses belajar yang dialami oleh peserta didik atau siswa.
Pandangan seorang guru terhadap pengertian belajar akan
mempengaruhi tindakannya dalam membimbing siswa untuk belajar.
Seorang guru yang mengartikan belajar sebagai menghafal fakta
tentunya akan lain cara mengajarnya dibandingkan dengan guru lain
yang mengartikan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku. Untuk itu penting artinya pemahaman guru akan
pengertian belajar tersebut.
b. Tujuan Belajar
Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya
sistem lingkungan yang kondusif. Sistem lingkungan belajar ini sendiri
dipengaruhi oleh berbagai komponen yang masing-masingakan saling
mempengaruhi.
Komponen-komponen
itu
misalnya
tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai, materi yang ingin diajarkan, guru dan
siswa yang memainkan peran serta dalam hubungan sosial tertentu,
jenis kegiatan yang dilakukan serta sarana dan prasarana belajar-
21
mengajar yang tersedia.
Komponen-komponen
sistem
lingkungan
itu
saling
mempengaruhi secara bervariasi sehingga setiap peristiwa belajar
memiliki profil yang unik dan kompleks. Masing-masing profil sistem
lingkungan belajar, diperuntukan tujuan-tujuan belajar yang berbeda.
Dengan kata lain untuk mencapai tujuan belajar tertentu harus
diciptakan sistem lingkungan belajar yang tertentu pula. Tujuan belajar
untuk pengembangan nilai afeksi memerlukan penciptaan sistem
lingkungan yang berbeda dengan sistem yang dibutuhkan untuk tujuan
belajar pengembangan gerak, dan begitu seterusnya.
Dari uraian di atas, kalau dirangkum dan ditinjau secara umum,
maka tujuan belajar itu ada tiga jenis, yaitu :
1) Untuk mendapatkan pengetahuan
2) Penanaman konsep dan keterampilan
3) Pembentukan sikap.
Jadi pada intinya tujuan belajar itu adalah untuk mendapatkan
pengetahuan, keterampilan dan penanaman nilai-nilai. Pencapaian
tujuan belajar itu berarti akan menghasilkan hasil belajar. Relevan
dengan uraian mengenai tujuan belajar tersebut, maka hasil baelajar itu
meliputi :
1) Hal ihwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif)
2) Hal ihwal personal, kepribadian atau sikap (afektif)
3) Hal ihwal kelakuan, keterampilan atau penampilan (psikomotor)
22
c. Jenis-Jenis Aktivitas Belajar
Aktivitas belajar siswa meliputi fisik, mental, dan emosional.
Dalam hal ini jenis aktivitas tersebut dapat digolongkan sebagai
berikut:
1) Aktivitas visual (visual activities)
2) Aktivitas lisan (oral activities)
3) Aktivitas mendengarkan (listening activities)
4) Aktivitas gerak (motor activities)
5) Aktivitas menulis (writing activities)
6) Aktivitas menggambar (drawing activities)
7) Aktivitas mental (mental activities)
8) Aktivitas emosional (emotional activities)
Masing-masing jenis aktivitas di atas memiliki kadar atau bobot
tersendiri bergantung pada segi tujuan mana yang akan dicapai dalam
kegiatan belajar yang jelas, bahwa aktivitas kegiatan belajar mengajar
siswa hendaknya memiliki kadar keterlibatan yang lebih tinggi.
d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Akivitas Belajar
Individu yang sedang belajar akan dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Hal ini akan berpengaruh bukan saja pada aktivitas yang tengah
dilaksanakan akan tetapi juga terhadap hasil belajar itu sendiri. Berikut
dikemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi belajar, antara lain :
1) Faktor yang berasal dari diri sendiri
a) Keterbatasan mental
23
b) Kondisi fisik yang kurang mendukung
c) Usia kronologis
d) Gangguan/ketidakseimbangan emosional
e) Pengalaman belajar sebelumnya yang belum terkuasai
f) Motivasi
g) Bakat
h) Sikap/kebiasaan yang merugikan diri sendiri
2) Faktor yang berasal dari luar diri sendiri
a) Faktor stimuli (rangsangan)
b) Faktor metode pengajaran
c) Faktor instrumental (alat-alat pengajaran)
d) Faktor kondisi lingkungan
Faktor lingkungan dapat dikelompokkan atas dua jenis kondisi
yang berpengaruh kepada aktivitas belajar yaitu :
(1) Lingkungan alami/fisik
(2) Lingkungan sosial
2. Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses kegiatan yang ditata dan diatur
sedemikian rupa dengan didasarkan pada berbagai aspek baik menyangkut
aspek konsep hakekat pembelajaran, maupun ketentuan yuridis formal
yang mengatur pelaksanaan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran
secara lebih khusus.
Secara etimologis kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari
24
bahasa inggris ‘instruction”. Kata pembelajaran itu sendiri merupakan
perkembangan dari istilah belajar-mengajar atau proses belajar-mengajar
yang telah cukup lama digunakan dalam pendidikan formal (sekolah).
Teori belajar lain yang bersifat kontemporer yang memiliki
relevansi cukup signifikan dengan istilah “pembelajaran” yaitu teori
“konstuktivisme” (Vigotsky). Teori konstruktivisme memandang bahwa
siswa adalah pembangun pengetahuan aktif. Dengan demikian maka
pembelajaran harus dirancang dengan lebih banyak mendorong siswa
untuk mengembangkan potensi aktivitasnya, dan oleh karena itu dalam
pandangan sekarang fungsi guru bergeser dari fungsi sebagai “penyampai”
seperti telah dibahas sebelumnya menjadi “fasilitator” pembelajaran.
Menurut teori konstruktivisme, siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama, merevisinya apabila aturan-aturan itu lebih dari
sekedar mengingat. Agar siswa benar-benar memahami dan dapat
menerapkan pengetahuan mereka dan dapat menerapkan pengetahuan
mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu
untuk dirinya dan berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Slavin,
2000).
Pengertian pembelajaran yang dikemukakan oleh Mohammad
Surya sebagai berikut “Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan
individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam
25
interaksi dengan lingkungannya”. Inti dari pengertian tersebut bahwa
belajar adalah proses yang dilakukan setiap individu dalam interaksi
dengan lingkungan (sumber pembelajaran).
Menurut Gagne pembelajaran adalah “instruction is a set of event
that effect learners in such a way that learning is facilitated” (1992).
Intinya pembelajaran adalah serangkaian aktivitas atau kegiatan yang
difasilitasi untuk terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan demikian
guru adalah sebagai bagian dari lingkungan pembelajaran yang memiliki
tugas utama sebagai fasilitator.
Oleh karena itu beberapa implikasi dari teori di atas tercermin pada
beberapa perilaku atau proses pembelajaran sebagai berikut :
a. Belajar tidak hanya sekedar menghapal, tetapi siswa harus membangun
pengetahuannya.
b. Hasil belajar tidak hanya cukup untuk konsumsi pengetahuan (kognitif)
saja akan tetapi harud direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak (aplikasi)
c. Dalam belajar siswa harus mengalami sendiri, dan bukan hanya sebagai
penerima dari pemberian orang lain (guru). Oleh karena itu proses
pembelajaran harus membiasakan siswa terlibat dalam memecahkan
permasalahan.
d. Pembelajaran harus membiasakan siswa banyak berinteraksi dengan
sumber-sumber pembelajaran atau lingkungan pembelajaran dan
bervariasi dan tidak hanya dibatasi oleh ruang kelas saja.
26
e. Pembelajaran harus memposisikan siswa sebagai subjek pembelajar
yang aktif untuk melakukan aktifitas belajar dimana guru sebagai
fasilitator pembelajarannya.
E. Hasil Belajar
1. Pengertian Hasil Belajar
Belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa
dipisahkan. Belajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang
sebagai subjek dalam belajar, sedangkan mengajar merujuk pada apa yang
seharusnya dilakukan seorang guru sebagai pengajar.
Dua konsep belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru
terpadu dalam satu kegiatan. Di antara keduanya itu terjadi interaksi
dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa dari proses belajar
mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil bisa juga melalui kreatifitas
seseorang itu tanpa adanya intervensi orang lain sebagai pengajar.
Oleh karena itu hasil belajar yang dimaksud di sini adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima
perlakuan dari pengajar (guru), seperti yang dikemukakan oleh Sudjana.
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004 : 22). Sedangkan
menurut Horwart Kingsley dalam bukunya Sudjana membagi tiga macam
hasil belajar mengajar : (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan
dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita (Sudjana, 2004 : 22).
27
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah
kemampuan keterampilan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa
setelah ia menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat
mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni
faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa (Sudjana, 1989 :
39). Dari pendapat ini faktor yang dimaksud adalah faktor dalam diri siswa
perubahan kemampuan yang dimilikinya seperti yang dikemukakan oleh
Clark (1981 : 21) menyatakan bahwa hasil belajar siswa disekolah 70%
dipengaruhi oleh
kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh
lingkungan. Demikian juga faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan
yang paling dominan berupa kualitas pembelajaran (Sudjana, 2002 : 39).
"Belajar
adalah suatu perubahan perilaku, akibat interaksi dengan
lingkungannya" (Ali Muhammad, 204 : 14). Perubahan perilaku dalam
proses belajar terjadi akibat dari interaksi dengan lingkungan. Interaksi
biasanya berlangsung secara sengaja. Dengan demikian belajar dikatakan
berhasil apabila terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya apabila
terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar tidak dikatakan
berhasil.
Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kamampuan siswa dan
kualitas
pengajaran.
Kualitas
pengajaran
yang
dimaksud
adalah
profesional yang dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik
28
di bidang kognitif (intelektual), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku
(psikomotorik).
Dari beberapa pendapat di atas, maka hasil belajar siswa
dipengaruhi oleh dua faktor dari dalam individu siswa berupa kemampuan
personal (internal) dan faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan.
Dengan demikian hasil belajar adalah sesuatu yang dicapai atau diperoleh
siswa berkat adanya usaha atau fikiran yang mana hal tersebut dinyatakan
dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat
dalam berbagai aspek kehidupa sehingga nampak pada diri indivdu
penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan dan kecakapan dasar
yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak pada diri
individu perubahan tingkah laku secara kuantitatif.
3. Pengertian Kriteria Ketuntasan Minimal
Untuk mengetahui hasil belajar dari pembelajaran siswa guru perlu
menentukan Kriteria Ketentuan Minimal yang menjadi patokan guru
dalam menentukan apakah hasil belajar siswa tersebut sudah berhasil atau
sesuai dengan harapan atau belum sehingga sebelum memulai suatu
pembelajaran guru perlu menentukan Kriteria Ketentuan Minimal yang
selanjutnya disebut KKM.
Adapun pengertian dari KKM itu sendiri adalah Kriteria paling
rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan.
KKM harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai.
Seberapapun besarnya jumlah peserta didik yang melampaui batas
29
ketuntasan
minimal,
tidak
mengubah
keputusan
pendidik
dalam
menyatakan lulus dan tidak lulus pembelajaran. Acuan kriteria tidak
diubah secara serta merta karena hasil empirik penilaian. Pada acuan
norma, kurva normal sering digunakan untuk menentukan ketuntasan
belajar peserta didik jika diperoleh hasil rata-rata kurang memuaskan.
Nilai akhir sering dikonversi dari kurva normal untuk mendapatkan
sejumlah peserta didik yang melebihi nilai 6,0 sesuai proporsi kurva.
Acuan kriteria mengharuskan pendidik untuk melakukan tindakan yang
tepat terhadap hasil penilaian, yaitu memberikan layanan remedial bagi
yang belum tuntas dan atau layanan pengayaan bagi yang sudah
melampaui kriteria ketuntasan minimal.
Kriteria ketuntasan minimal ditetapkan oleh satuan pendidikan
berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di satuan pendidikan
atau beberapa satuan pendidikan yang memiliki karakteristik yang hampir
sama. Pertimbangan pendidik atau forum MGMP secara akademis menjadi
pertimbangan utama penetapan KKM.
Kriteria ketuntasan menunjukkan persentase tingkat pencapaian
kompetensi sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus).
Angka maksimal 100 merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target
ketuntasan secara nasional diharapkan mencapai minimal 75. Satuan
pendidikan dapat memulai dari kriteria ketuntasan minimal di bawah target
nasional kemudian ditingkatkan secara bertahap.
Kriteria ketuntasan minimal menjadi acuan bersama pendidik,
30
peserta didik, dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu pihak-pihak
yang berkepentingan terhadap penilaian di sekolah berhak untuk
mengetahuinya. Satuan pendidikan perlu melakukan sosialisasi agar
informasi dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik dan atau orang
tuanya. Kriteria ketuntasan minimal harus dicantumkan dalam Laporan
Hasil Belajar (LHB) sebagai acuan dalam menyikapi hasil belajar peserta
didik.
4. Fungsi Kriteria Ketuntasan Minimal
Adapun Fungsi kriteria ketuntasan minimal dalam pembelajaran
adalah:
a. Sebagai acuan bagi pendidik dalam menilai kompetensi peserta didik
sesuai kompetensi dasar mata pelajaran yang diikuti. Setiap
kompetensi dasar dapat diketahui ketercapaiannya berdasarkan KKM
yang ditetapkan. Pendidik harus memberikan respon yang tepat
terhadap pencapaian kompetensi dasar dalam bentuk pemberian
layanan remedial atau layanan pengayaan;
b. sebagai acuan bagi peserta didik dalam menyiapkan diri mengikuti
penilaian mata pelajaran. Setiap kompetensi dasar (KD) dan indikator
ditetapkan KKM yang harus dicapai dan dikuasai oleh peserta didik.
Peserta didik diharapkan dapat mempersiapkan diri dalam mengikuti
penilaian agar mencapai nilai melebihi KKM. Apabila hal tersebut
tidak bisa dicapai, peserta didik harus mengetahui KD-KD yang
belum tuntas dan perlu perbaikan;
31
c. Dapat digunakan sebagai bagian dari komponen dalam melakukan
evaluasi program pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Evaluasi
keterlaksanaan dan hasil program kurikulum dapat dilihat dari
keberhasilan pencapaian KKM sebagai tolok ukur. Oleh karena itu
hasil pencapaian KD berdasarkan KKM yang ditetapkan perlu
dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang peta KD-KD tiap mata
pelajaran yang mudah atau sulit, dan cara perbaikan dalam proses
pembelajaran maupun pemenuhan sarana-prasarana belajar di sekolah;
d. Merupakan kontrak pedagogik antara pendidik dengan peserta didik
dan antara satuan pendidikan dengan masyarakat. Keberhasilan
pencapaian KKM merupakan upaya yang harus dilakukan bersama
antara pendidik, peserta didik, pimpinan satuan pendidikan, dan orang
tua.
Pendidik
melakukan
upaya
pencapaian
KKM
dengan
memaksimalkan proses pembelajaran dan penilaian. Peserta didik
melakukan upaya pencapaian KKM dengan proaktif mengikuti
kegiatan pembelajaran serta mengerjakan tugas-tugas yang telah
didesain pendidik. Orang tua dapat membantu dengan memberikan
motivasi dan dukungan penuh bagi putra-putrinya dalam mengikuti
pembelajaran. Sedangkan pimpinan satuan pendidikan berupaya
memaksimalkan
pemenuhan
kebutuhan
untuk
mendukung
terlaksananya proses pembelajaran dan penilaian di sekolah;
e. Merupakan target satuan pendidikan dalam pencapaian kompetensi
tiap mata pelajaran. Satuan pendidikan harus berupaya semaksimal
32
mungkin untuk melampaui KKM yang ditetapkan. Keberhasilan
pencapaian KKM merupakan salah satu tolok ukur kinerja satuan
pendidikan dalam menyelenggarakan program pendidikan. Satuan
pendidikan dengan KKM yang tinggi dan dilaksanakan secara
bertanggung jawab dapat menjadi tolok ukur kualitas mutu pendidikan
bagi masyarakat.
5. Prinsip Penetapan KKM
Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal perlu mempertimbangkan
beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Penetapan KKM merupakan kegiatan pengambilan keputusan yang
dapat dilakukan melalui metode kualitatif dan atau kuantitatif. Metode
kualitatif dapat dilakukan melalui professional judgement oleh
pendidik dengan mempertimbangkan kemampuan akademik dan
pengalaman pendidik mengajar mata pelajaran di sekolahnya.
Sedangkan metode kuantitatif dilakukan dengan rentang angka yang
disepakati sesuai dengan penetapan kriteria yang ditentukan;
b. Penetapan nilai kriteria ketuntasan minimal dilakukan melalui analisis
ketuntasan
belajar
minimal
pada
setiap
indikator
dengan
memperhatikan kompleksitas, daya dukung, dan intake peserta didik
untuk mencapai ketuntasan kompetensi dasar dan standar kompetensi
c. Kriteria ketuntasan minimal setiap Kompetensi Dasar (KD) merupakan
rata-rata dari indikator yang terdapat dalam Kompetensi Dasar
tersebut. Peserta didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan belajar
33
untuk KD tertentu apabila yang bersangkutan telah mencapai
ketuntasan belajar minimal yang telah ditetapkan untuk seluruh
indikator pada KD tersebut;
d. Kriteria ketuntasan minimal setiap Standar Kompetensi (SK)
merupakan rata-rata KKM Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat
dalam SK tersebut;
e. Kriteria ketuntasan minimal mata pelajaran merupakan rata-rata dari
semua KKM-SK yang terdapat dalam satu semester atau satu tahun
pembelajaran, dan dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar
(LHB/Rapor) peserta didik;
f. Indikator merupakan acuan/rujukan bagi pendidik untuk membuat
soal-soal ulangan, baik Ulangan Harian (UH), Ulangan Tengah
Semester (UTS) maupun Ulangan Akhir Semester (UAS). Soal
ulangan
ataupun
tugas-tugas
harus
mampu
mencerminkan/
menampilkan pencapaian indikator yang diujikan. Dengan demikian
pendidik tidak perlu melakukan pembobotan seluruh hasil ulangan,
karena semuanya memiliki hasil yang setara;
g. Pada setiap indikator atau kompetensi dasar dimungkinkan adanya
perbedaan nilai ketuntasan minimal.
6. Langkah-Langkah Penetapan KKM
Penetapan KKM dilakukan oleh guru atau kelompok guru mata
pelajaran. Langkah penetapan KKM adalah sebagai berikut:
a. Guru atau kelompok guru menetapkan KKM mata pelajaran dengan
34
mempertimbangkan tiga aspek kriteria, yaitu kompleksitas, daya
dukung, dan intake peserta didik dengan skema sebagai berikut:
a. Hasil penetapan KKM indikator berlanjut pada KD, SK hingga KKM
mata pelajaran;
b. Hasil penetapan KKM oleh guru atau kelompok guru mata pelajaran
disahkan oleh kepala sekolah untuk dijadikan patokan guru dalam
melakukan penilaian;
c. KKM yang ditetapkan disosialisaikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan, yaitu peserta didik, orang tua, dan dinas pendidikan;
d. KKM dicantumkan dalam LHB pada saat hasil penilaian dilaporkan
kepada orang tua/wali peserta didik.
7. Penentuan Kriteria Ketuntasan Minimal
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penentuan kriteria
ketuntasan minimal adalah:
a. Tingkat
kompleksitas,
kesulitan/kerumitan
setiap
indikator,
kompetensi dasar, dan standar kompetensi yang harus dicapai oleh
peserta didik. Suatu indikator dikatakan memiliki tingkat kompleksitas
tinggi, apabila dalam pencapaiannya didukung oleh sekurangkurangnya satu dari sejumlah kondisi sebagai berikut: (a) guru yang
memahami dengan benar kompetensi yang harus dibelajarkan pada
peserta didik; (b) guru yang kreatif dan inovatif dengan metode
35
pembelajaran yang bervariasi; (c) guru yang menguasai pengetahuan
dan kemampuan sesuai bidang yang diajarkan; (d) peserta didik
dengan
kemampuan
penalaran
tinggi;
(e) peserta
didik
yang
cakap/terampil menerapkan konsep; (f) peserta didik yang cermat,
kreatif dan inovatif dalam penyelesaian tugas/pekerjaan; (g) waktu
yang cukup lama untuk memahami materi tersebut karena memiliki
tingkat kesulitan dan kerumitan yang tinggi, sehingga dalam proses
pembelajarannya
memerlukan
pengulangan/latihan;
(h)
tingkat
kemampuan penalaran dan kecermatan yang tinggi agar peserta didik
dapat mencapai ketuntasan belajar.
b. Kemampuan
sumber
daya
pendukung dalam
penyelenggaraan
pembelajaran pada masing-masing sekolah.
1) Sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tuntutan
kompetensi yang harus dicapai peserta didik seperti perpustakaan,
laboratorium, dan alat/bahan untuk proses pembelajaran;
2) Ketersediaan
tenaga,
manajemen
sekolah,
dan
kepedulian
stakeholders sekolah.
Daya dukung untuk Indikator tinggi apabila sekolah mempunyai
sarana prasarana yang cukup untuk melakukan percobaan, dan guru
mampu menyajikan pembelajaran dengan baik. Tetapi daya dukungnya
rendah apabila sekolah tidak mempunyai sarana untuk melakukan
percobaan atau guru tidak mampu menyajikan pembelajaran dengan
baik
36
c. Tingkat kemampuan (intake) rata-rata peserta didik di sekolah yang
bersangkutan
F. Media pembelajaran
1. Pengertian Media Pembelajaran
Kata Media (Latin) adalah bentuk jamak dari kata “medium” yang
berarti “perantara” atau “pengantar”. Batasan mengenai pengertian media
sangat luas, media penting dalam sebuah pembelajaran, karena proses
belajar mengajar hakekatnya adalah proses komunikasi, penyampaian
pesan dari pengantar ke penerima. Pesan berupa isi/sajian yang dituangkan
ke dalam simbol-simbol komunikasi baik verbal (kata-kata tulisan)
maupun
non-verbal. Semakin banyak verbalisme semakin abstrak
pemahaman yang diterima.
Miarso (1980) menegaskan bahwa media pembelajaran adalah
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan,
perhatian dan kemauan anak didik sehingga dapat mendorong terjadinya
proses belajar pada diri siswa.
Media pembelajaran adalah semua alat (bantu) atau benda yang
digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, dengan maksud untuk
menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru)
maupun sumber lain kepada penerima dalam hal ini anak didik maupun
warga belajar. Pesan/ informasi yang disampaikan melalui media, dalam
bentuk isi atau materi pelajaran itu harus diterima oleh penerima pesan
37
(anak didik), dengan menggunakan salah satu atau gabungan beberapa
indera mereka. Bahkan lebih baik bila seluruh alat indera yang dimilki
mampu dapat menerima pesan yang disampaikan (Latuheru 1988:13)
Media pembelajaran adalah sarana yang digunakan sebagai perantara
dalam proses pembelajaran untuk mempertinggi efektifitas dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Media merupakan komponen pembelajaran
yang berperan untuk lebih memperjelas dan menarik perhatian siswa,
fungsi media adalah untuk mengolah dan meproses bahan sehingga
memudahkan siswa untuk mempelajarinya.Adapun tujuan menggunakan
media pembelajaran adalah 1) memperjelas penyajian pesan agar tidak
terlalu verbalitas, 2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera,
3) memperlancar jalannya proses Kegiatan Belajar Mengajar, 4)
menimbulkan kegairahan belajar siswa, 5) memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berinteraksi langsung dengan lingkungan dan kenyataan, serta
untuk belajar secara mandiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya.
G. Penggunaan Media Peta dalam pelaksanaan pembelajaran di Sekolah
Dasar
1. Pengertian Peta
a. Peta adalah gambar sebagian atau keseluruhan permukaan bumi
dengan perbandingan tertentu. Peta adalah bayangan/gambaran yang
diperkecil dari sebagian besar atau sebagian kecil permukaan bumi
pada bidang datar dengan skala dan sistem proyeksi tertentu.
38
(Wongsotjitro,1980)
b. Peta adalah gambaran, lukisan, gambar yang menyatakan bagaimana
letak tanah, laut, kali, gunung dan lain sebagainya (KBBI)
Adiyuwono (1995:14) memberikan definisi tentang peta,
1) Peta adalah gambaran keseluruhan atau sebagaian permukaan bumi
yang diproyeksikan dalam dua dimensi pada bidang datar dengan
metode dan perbandingan tertentu.
2) Peta adalah suatu persentasi diatas bidang datar baik seluruh atau
sebagian permukaan bumi yang dilihat dari atas dan diperkecil
dengan perbandingan tertentu.
3) Peta adalah sebuah gambar suatu daerah yang dapat dibayangkan
seolah-oleh kita melihat daerah itu dari udara. Gambar-gambar pada
peta memperlihatkan adanya hutan, lapangan, jalan, sungai, kota dll
4) Peta adalah gambar seluruh atau sebagian dari permukaan bumi
yang dilukiskan kesuatu bidang datar dengan perbandingan tertentu
yang dinamai kedar/skala
Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian peta diatas
dapat disimpulkan bahawa peta adalah gambaran permukaan bumi yang
diperkecil, dituangkan dalam selembar kertas atau media lain dalam
bentuk dua dimensi, atau dengan kata lain peta adalah pengecilan dari
permukaan bumi atau benda angkasa yang digambarkan pada bidang
datar, dengan menggunakan ukuran, simbol dan sistem kumpulan peta
permukaan bumi (atlas)
39
2. Jenis Peta
Peta ternyata sangat beragam. Berdasarkan kegunaannya peta
dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Peta Umum
Peta umum disebut juga dengan Peta Topografi. Peta umum
merupakan peta yang menggambarkan keadaan umum dari suatu
wilayah. Keadaan umum yang digambarkan meliputi objek atau
kenampakan alam dan buatan. Objek alam misalnya gunung, sungai,
dataran rendah, dataran tinggi, dan laut. Objek buatan misalnya kota,
jalan dan rel kereta api. Peta Indonesia yang sering dipajang di dinding
kantor atau sekolah merupakan contoh peta umum. Peta umum biasa
digunakan untuk belajar di sekolah, untuk kepentingan kantor dan
wisata.
Gambar 2.1. Peta Umum Indonesia
b. Peta Khusus
Peta khusus merupakan peta yang menggambarkan data-data tertentu
di suatu wilayah. Peta khusus disebut juga dengan Peta Tematik.
Contoh peta khusus adalah:
40
1) Peta Persebaran Fauna di Indonesia
2) Peta Hasil Tambang di Indonesia
3) Peta Cuaca di Indonesia.
Gambar 2.2 Peta Khusus
Peta pembagian waktu, iklim, dan kepadatan penduduk di Indonesia
3. Komponen Peta
Peta memiliki kelengkapan penting agar mudah dibaca dan dipahami.
Kelengkapan tersebut dinamakan komponen peta. Komponen-komponen
peta antara lain sebagai berikut:
a. Judul peta
Judul peta merupakan identitas atau nama untuk menjelaskan isi atau
gambar peta. Judul peta biasanya terletak di bagian atas peta. Judul
peta
merupakan
komponen
yang
penting.
Biasanya
sebelum
memperhatikan isi peta, pasti seseorang terlebih dahulu membaca
judulnya.
b. Legenda
Legenda merupakan keterangan yang berisi gambar-gambar atau
simbol-simbol beserta artinya. Legenda biasanya terletak di bagian
pojok kiri bawah peta
41
+++++++++++++
= Batas Negara
= Gunung/Gunung Merapi
+.+.+.+.+.+.+.+.+.
= Batas Provinsi
= Ibukota provinsi
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.
= Batas Kabupaten
= Ibukota Kabupaten
Gambar 2.3 Contoh Legenda/keterangan pada peta
c. Skala
Skala merupakan perbandingan jarak antara dua titik pada peta dengan
jarak sebenarnya di permukaan bumi. Misalnya skala 1 : 200.000.
Skala ini artinya 1 cm jarak pada peta sama dengan 200.000 cm atau 2
km jarak sebenarnya.
d. Simbol
Simbol merupakan lambang atau gambar yang menunjukkan obyek
alam atau buatan. Simbol peta harus memenuhi tiga syarat yakni
sederhana, mudah dimengerti, dan bersifat umum. Berikut ini adalah
simbol-simbol yang biasa digunakan pada peta.
Gambar 2.4. contoh simbol-simbol dalam peta
e. Mata angin
Mata angin merupakan pedoman atau petunjuk arah mata angin. Mata
angin pada peta biasanya berupa tanda panah yang menunjuk ke arah
utara. Mata angin sangat penting keberadaanya supaya tidak terjadi
kekeliruan arah.
42
4. Keterampilan membaca peta
Keterampilan membaca peta sangat diperlukan untuk membangun
pemahaman siswa pada suatu tempat di mana ia berada untuk berinteraksi
dengan lingkungannya. Untuk mengetahui keadaan/tempat di luar dunia
yang
sudah
diketahui
siswa
salah
satunya
dengan
cara
guru
memperkenalkan melalui peta. Penggunaan peta dalam mata pelajaran IPS
mengajak siswa berpikir geografi, juga dalam melaksanakan pembelajaran
siswa berproses dengan kemampuan membaca jarak atau skala,
interpretasi semantik dan dari tanda abstrak ke signifikan
5. Fungsi peta
Peta mempunyai beberapa fungsi di antaranya :
a. Memperlihatkan posisi atau lokasi relatif dari suatu tempat
b. Memperlihatkan ukuran dalam pengertian jarak dan arah
c. Memperlihatkan bentuk dari unsur yang terdapat dipermukaan bumi
d. Menghimpun serta menselektif data permukaan bumi
6. Kelebihan Peta sebagai media pembelajaran
a. Memungkinkan siswa mengerti posisi dari kesatuan politik, daerah
kepulauan, sungai, gunung, dll
b. Melengkapi pengalaman tentang berbagai daerah luas dan bergerak.
c. Merangsang minat siswa untuk mempelajari penduduk dan pengaruh
geografis.
d. Siswa memperoleh gambaran tentang imigrasi tumbuh-tumbuhan,
kehidupan hewan dan kebudayaan.
43
44
45
Download