BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manajemen laba merupakan isu penting dalam akuntansi, baik bagi akademisi maupun praktisi (Dechow dan Skinner 2000; Merchant dan Rockness 1994) sebab praktik manajemen laba berkaitan dengan integritas akuntan ataupun manajer (Fischer dan Rosenzweig 1995). Manajemen laba merujuk pada tindakan seorang manajer yang menyajikan laporan pendapatan di unit tempatnya bertanggung jawab dengan menambah ataupun mengurangi pendapatan yang dilaporkan saat ini tanpa menghasilkan peningkatan atau penurunan profitabilitas ekonomi secara jangka panjang pada unit tersebut (Fischer dan Rosenzweig 1995). Terdapat dua pandangan terkait etika atas praktik manajemen laba. Pandangan pertama berargumen bahwa manajemen laba merupakan hal yang etis karena dapat dijadikan sebagai alat manajerial untuk membantu memenuhi tanggung jawab manajer memaksimalkan pengembalian kepada pemangku kepentingan (Fischer dan Rosenzweig 1995). Akan tetapi, di sisi lain manajemen laba dianggap tidak etis karena dapat mengakibatkan kesalahan pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan (Fischer dan Rosenzweig 1995). Manajemen laba mengakibatkan laporan keuangan tidak menunjukkan kesejahteraan ekonomi perusahaan secara akurat. Oleh karena itu, perilaku tersebut menyebabkan terjadinya informasi asimetris antara manajemen dengan 1 2 pihak luar. Sebagai contoh akibat dari manajemen laba adalah kesalahan pemberian kompensasi kepada manajer yang sebenarnya tidak dapat mencapai target kinerja, overstatement laba mengakibatkan kesalahan keputusan kreditor dalam memberikan pinjaman, dan understatement laba mengakibatkan kesalahan pemerintah dalam menetapkan jumlah pembayaran pajak (Wolk, Dodd, dan Rozycki 2013). Dampak dari adanya manajemen laba adalah kesalahan pengambilan keputusan oleh pengguna laporan keuangan karena adanya penyajian informasi yang tidak sesuai. Hal ini bertentangan dengan tujuan pelaporan keuangan menurut SFAC1 nomor 8. Tujuan pelaporan keuangan menurut SFAC nomor 8 yaitu untuk memberikan informasi keuangan dari entitas pelapor yang berguna bagi investor, pemberi pinjaman, dan kreditor lainnya baik yang sudah ada maupun potensial dalam pembuatan keputusan mengenai penyediaan sumber daya entitas (Wolk, Dodd, dan Rozycki 2013). Tujuan serupa juga disampaikan oleh KDPPLK2 bahwa laporan keuangan dibuat untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pemakainya dalam pengambilan keputusan (IAI 2016). Kondisi yang berlawanan ini, menunjukkan bahwa manajemen laba sesungguhnya tidak etis yaitu bahwasanya laporan keuangan tidak dapat membantu pengambilan keputusan secara tepat. 1 SFAC merupakan singkatan dari Statement of Financial Accounting Concept (Wolk, Dodd, & Rozycki 2013). 2 KDPPLK merupakan singkatan dari Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (IAI 2016). 3 Penelitian terkait manajemen laba terus dilakukan bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dikaitkan dengan pertimbangan etika. Berkembangnya penelitian manajemen laba dari sisi etika dimulai pada awal abad ke-21 dengan adanya berbagai skandal keuangan perusahaan-perusahaan besar di berbagai belahan dunia seperti Enron dan Worldcom di Amerika Serikat, Olympus di Jepang, serta Kimia Farma di Indonesia (Bachtiar 2012). Perusahaan-perusahaan tersebut terbukti melakukan manajemen laba sehingga mengalami permasalahan keuangan bahkan kebangkrutan (Bachtiar 2012). Pada dasarnya, tindakan dalam organisasi atau perusahaan termasuk manajemen laba dilakukan oleh individu yang berada di dalam organisasi atau perusahaan tersebut. Dalam pengambilan keputusan etika, setiap individu dipengaruhi oleh karakteristik demografis, sifat individu, dan kepercayan yang dianut (Haines dan Leonardo 2007; Marta dkk. 2008; Vitell dan Patwardhan 2008 dalam Musbah dkk. 2014). Pengaruh ketiga hal tersebut dapat berbeda-beda tergantung pada gender, usia, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan filosofi moral (Musbah dkk. 2014). Sebelumnya, Jones dan Hiltebeitel (1995) menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan selain dipengaruhi oleh organizational support juga dipengaruhi oleh usia, gender, dan pendidikan. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa pendidikan menjadi faktor penting yang memengaruhi pengambilan keputusan etis dalam melakukan suatu tindakan. Mastracchio (2005) mengatakan bahwa kepedulian terhadap etika harus diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi masuk di dunia profesi akuntan. Pendapat Mastracchio (2005) tersebut dapat diartikan 4 bahwa kurikulum akuntansi harus mencakupi pendidikan etika sebagai mata kuliah wajib. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan yang disyaratkan oleh AACSB3 sejak tahun 1976 bahwa sekolah bisnis yang terakreditasi AACSB harus memasukkan mata kuliah Etika Bisnis sebagai mata kuliah wajib (Conaway dan Fernandez 2000). Peraturan tersebut tercantum dalam standar ke-9 terkait kemampuan umum yang harus dimiliki mahasiswa, salah satunya adalah pemahaman dan penalaran etika (AACSB 2005). Pentingnya pemahaman dan penalaran etika muncul sebagai akibat dari tuntutan masyarakat supaya perusahaan lebih bertanggung jawab atas tindakan mereka, perasaan yang lebih baik terhadap tanggung jawab sosial, dan praktik yang berkelanjutan. Wright (1995, 17) menyatakan ”Education is the best means of developing good ethical behaviour in the modern business”. Terkait dengan pendidikan etika, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) khususnya Departemen Akuntansi sebagai departemen yang mendapatkan akreditasi dari AACSB telah mewajibkan penyelenggaraan kelas Etika Bisnis. Kelas Etika Bisnis ini merupakan salah satu langkah mewujudkan misi FEB UGM “untuk mengembangkan pemimpin yang memiliki pengetahuan dan integritas yang kuat dalam memajukan masyarakat” (www.feb.ugm.ac.id). Diharapkan mata kuliah Etika Bisnis dapat memberikan penguatan kepada mahasiswa agar berperilaku etis dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan kerja, salah satunya dalam pengambilan keputusan etis. 3 AACSB merupakan singkatan dari Association to Advance Collegiate School of Business (AACSB 2005). 5 Keraguan akan manfaat pendidikan etika terhadap pengembangan moral mahasiswa masih menjadi perdebatan, sebab kecurangan akuntansi tetap terjadi bahkan jauh setelah pendidikan etika diwajibkan pada sekolah-sekolah bisnis dan lembaga akreditasi seperti AACSB. Bahkan sering dikatakan bahwa ”Anda tidak dapat mengajarkan etika bisnis” (Williams dan Dewett 2005, 109). Menurut Williams dan Dewett (2005), pendapat tersebut terbentuk karena tiga alasan. Pertama, etika tidak dapat diajarkan kepada mahasiswa sekolah bisnis karena nilai-nilai mereka telah terbentuk sebelum memasuki perguruan tinggi. Kedua, etika tidak relevan dalam konteks bisnis, kesuksesan bisnis lebih didorong oleh kepentingan bukan etika. Ketiga, mengajarkan etika bisnis tidak akan efektif, mengingat banyaknya contoh kecurangan di dalam perusahaan yang sebenarnya telah memberikan pelatihan etika. Selanjutnya Velasquez (1998) juga berargumen bahwa sebaiknya fokus manajer bisnis adalah pada keuntungan perusahaan bukan pada masalah etika yang oleh Alex C. Michaels disebut sebagai ”argumen dari agen yang loyal”. Argumen ini menyatakan bahwa manajer hendaknya mengabdi kepada majikannya dengan cara apa pun yang diinginkan majikannya (Velasquez, 1998). Hal ini semakin menguatkan keraguan tentang kualitas dan efektivitas pengintegrasian pendidikan etika ke dalam kurikulum sekolah bisnis. Penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang berbeda. Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pendidikan etika mampu meningkatkan moral awarness atau sensitivity, dan moral judgement terkait adanya permasalahan etika (Lau 2010; Glenn Jr 1992; Gautschi III dan Jones 1998). Pendidikan etika umumnya mengajarkan berbagai teori kepada mahasiswa agar berperilaku etis dalam bisnis. 6 Selain teori, mahasiswa biasanya mendiskusikan kasus untuk diberikan pendapat dan solusi sehingga pemahaman terhadap karakteristik suatu masalah lebih tajam. Sementara itu, penelitian lain tidak berhasil menemukan bukti bahwa pendidikan etika mampu memengaruhi moral awarness atau moral sensitivity (Ritter 2006). Adanya hasil yang tidak konsisten ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan sampel dan alat ukur. Perbedaan sampel mungkin mengakibatkan perbedaan persepsi yang dipengaruhi oleh budaya responden sehingga hasil tersebut mungkin tidak berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menguji kembali penelitian yang sudah ada sebelumnya untuk konteks Indonesia. Selanjutnya, sensitivitas dan pendapat yang dimiliki mahasiswa terhadap suatu permasalahan etika tersebut belum tentu membuatnya melakukan tindakan pelaporan. Oleh karena itu, penting pula untuk dilakukan kajian terkait sejauh mana peran pendidikan etika dalam proses pengembangan moral mahasiswa. 1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah pendidikan etika memengaruhi moral intensity terkait manajemen laba? 2. Apakah pendidikan etika memengaruhi permasalahan etika pada tahapan: a) moral sensitivity b) moral judgement c) moral intention kemampuan identifikasi 7 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan identifikasi bahwa pendidikan etika memiliki hubungan positif terhadap moral sensitivity dan moral judgement mahasiswa akuntansi FEB UGM terkait adanya tindakan yang tidak etis seperti adanya manajemen laba. Selain itu, penelitian ini juga ingin memberikan indikasi terkait sejauh mana kemauan mereka untuk melaporkan adanya kecurangan dengan berbagai situasi yang memengaruhi. Selanjutnya, penelitian ini ingin menunjukkan adanya pengaruh moral intensity model dalam melakukan pelaporan kecurangan. 1.4 Motivasi Penelitian Pendidikan etika merupakan mata kuliah yang penting di era bisnis yang semakin kompetitif. Sebagaimana pernyataan Wright (1995, 17), “Education is the best means of developing good ethical behaviour in the modern business”. Di era bisnis modern bermunculan permasalahan yang semakin beragam. Munculnya beragam permasalahan tersebut dapat dikarenakan kurangnya pemahaman etika dalam menjalankan bisnis. Oleh karena itu, melalui pendidikan etika diharapkan dapat membantu pengembangan kemampuan mahasiswa dalam memahami adanya permasalahan etika. Selanjutnya, mahasiswa akan memiliki kemampuan pengambilan keputusan yang memadai terkait adanya permasalahan etika tersebut. Untuk menguji tercapainya tujuan pendidikan etika tersebut maka perlu dilakukan penelitian terkait sejauh mana peran pendidikan etika pada moral intensity, sensitivity, judgement, dan intention mahasiswa. 8 Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengindikasi sejauh mana peran pendidikan etika pada mahasiswa Akuntansi FEB UGM dalam mengidentifikasi masalah etika. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi menilai keefektifan pendidikan etika dalam menginternalisasi nilai etis pada mahasiswa. Akhirnya, hasil penelitian dapat dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan kurikulum pembelajaran Etika Bisnis khususnya di Departemen Akuntansi FEB UGM. 1.5 Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada: 1. Praktisi, berupa pengembangan kurikulum mata kuliah Etika Bisnis khususnya di Departemen Akuntansi FEB UGM dan perguruan tinggi yang lain di Indonesia. 2. Literatur, sebagai referensi bagi penelitian berikutnya baik kuantitatif maupun kualitatif terkait dengan pendidikan etika dan pemahaman karakteristik masalah serta tahapan pengambilan keputusan. 1.6 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bab dengan susunan penulisan penelitian sebagai berikut: Bab I adalah Bab Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini merupakan bab pengantar penelitian yang dilakukan oleh peneliti. 9 Bab II adalah Bab Kajian Pustaka. Bab ini berisi teori-teori yang mendasari hipotesis. Bab ini juga memberikan gambaran terkait penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran untuk pengembangan hipotesis. Selain itu, dalam bab ini juga terdapat rerangka penelitian Bab III adalah Bab Metode Penelitian. Bab ini menjelaskan mengenai desain penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi operasional variabel, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan alat analisis data. Bab IV adalah Bab Hasil dan Pembahasan. Bab ini berisi tentang olahan data menjadi informasi dan interpretasi hasil untuk menjawab pertanyaan penelitian. Bab V adalah Bab Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian, keterbatasan penelitian, dan saran untuk penelitian berikutnya.