BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Makan Pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Yayuk Farida Baliwati. dkk, 2004 : 69). Santosa dan Ranti (2004 : 89) mengungkapkan bahwa pola makan merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh suatu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pendapat dua pakar yang berbeda-beda dapat diartikan secara umum bahwa pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup. Pola makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersifat positif dan negatif. Sikap positif atau negatif terhadap makanan bersumber pada nilai-nilai affective yang berasal dari lingkungan (alam, budaya, sosial dan ekonomi) dimana manusia atau kelompok manusia itu tumbuh. Demikian juga halnya dengan kepercayaan terhadap 11 Universitas Sumatera Utara makanan yang berkaitan dengan nilai-nilai cognitive yaitu kualitas baik atau buruk, menarik atau tidak menarik. Pemilihan adalah proses psychomotor untuk memilih makanan sesuai dengan sikap dan kepercayaannya (Khumaidi, 1994). Pola makan dapat didefinisikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih makanan dan mengkonsumsi sebagai tanggapan pengaruh psikologi, fisiologi, budaya, dan sosial (Soehardjo, 1996). 2.1.1. Pola Makan Keluarga Lingkungan keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap anak, hal ini karena di dalam keluargalah anak memperoleh pengalaman pertama dalam kehidupannya. Dalam hal ini orang tua mempunyai pengaruh yang kuat dalam membentuk kesukaan makan anak-anaknya, karena orang tua adalah model pertama yang dilihat oleh anak. Hubungan social yang dekat yang berlangsung lama antara anggota keluarga memungkinkan bagi anggotanya mengenal jenis makanan yang sama dengan keluarga (Karyadi, 1990). Menurut Khumaidi (1994), sikap anak terhadap makanan dipengaruhi oleh pelajaran dan pengalaman yang diperoleh sejak masa kanak-kanak tentang apa dan bagaimana makan. Terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat mereka makan untuk memenuhi rasa laparnya serta dari hubungan emosional antara anak-anak dengan yang memberi mereka makan. Universitas Sumatera Utara 2.1.2. Pola Makan Remaja Berdasarkan hasil penelitian Frank Gc yang dikutip oleh Moehyi (1992), mengatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan makan anak dengan ukuran tubuhnya. Makan siang dan makan malam remaja menyediakan 60% dari intake kalori, sementara makanan jajanan menyediakan kalori 25%. Anak obes ternyata akan sedikit makan pada waktu pagi dan lebih banyak makan pada waktu siang dibandingkan dengan anak kurus pada umur yang sama. Anak sekolah terutama pada masa remaja tergolong pada masa pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental serta peka terhadap rangsangan dari luar. Konsumsi makanan merupakan salah satu factor penting yang turut menentukan potensi pertumbuhan dan perkembangan remaja. Jumlah atau porsi makanan sesuai dengan anjuran makanan bagi remaja menurut Sediaoetama (2004) yang disajikan pada tabel 2.1 berikut : Tabel 2.1 Jumlah porsi makanan yang dianjurkan pada usia remaja Makan pagi 06.00-07.00 WIB Nasi 1 porsi 100 gr beras Telur 1 butir 50 gr Susu sapi 200 gr Makan siang 13.00-14.00 WIB Nasi 2 porsi 200 gr beras Daging 1 porsi 50 gr Tempe 1 porsi 50 gr Sayur 1 porsi 100 gr Buah 1 porsi 75 gr Makan malam 20.00 WIB Nasi 1 porsi 100 gr beras Daging 1 porsi 50 gr Tahu 1 porsi 100 gr Sayur 1 porsi 100 gr Buah 1 porsi 100 gr Susu skim 1 porsi 20 gr Universitas Sumatera Utara 2.2. Perkembangan Remaja 2.2.1. Pengertian Remaja WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Definisi tersebut dikemukakan dalam 3 kriteria, yaitu : biologis, psikologis dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi remaja adalah suatu masa dimana : 1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seks sekundernya sampai ia mencapai matang seksual. 2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak menjadi dewasa. 3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Walaupun batasan tersebut didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, batasan ini berlaku juga untuk remaja pria dan WHO membagi kurun usia tersebut dalam 2 bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun (Sarwono, 2000). 2.2.2. Fisiologi Remaja Selama masa remaja terjadi perubahan tubuh secara fisik yang diakibatkan oleh pengaruh hormonal. Fase pertumbuhan yang tercepat pada masa remaja ini dikenal dengan pacu tumbuh atau growth spurt. Penelitian-penelitian yang dilakukan Universitas Sumatera Utara di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa rata-rata perempuan mengalami masa pacu tumbuh linier pada usia 10-13 tahun, sedangkan pada pria antara 12-15 tahun. Pertumbuhan maksimal yang terjadi baik dalam hal tinggi badan, berat badan dan juga pada pertumbuhan komposisi tubuh (Sayogo, 1992). Di dalam kehidupan, masa pacu tumbuh ini terjadi dua kali, yaitu pada masa bayi dan masa remaja. Disebut juga pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja sangat berbeda antara laki-laki dengan perempuan. Pada perempuan pacu tumbuh terjadi lebih awal daripada laki-laki, sehingga pada usia 11-13 tahun perempuan lebih besar daripada laki-laki, dan pada usia 13-14 tahun perempuan lebih tinggi dan lebih berat daripada laki-laki (Harini, 2005). Dikemukakan pula oleh Samsudin (1985) pada masa remaja terjadi perkembangan yang meliputi seluruh kepribadian baik berupa fisik, mental, emosi dan sosial. Perubahan fisik yang terjadi adalah pertumbuhan tinggi dan berat badan, timbulnya ciri-ciri seks sekunder seperti bulu-bulu disekitar alat kelamin dan pada bagian tubuh lainnya, membesarnya buah dada, menstruasi pada perempuan, dan lainlain. Sedangkan perubahan mental dan emosi adalah remaja mulai berfikir kritis mengenai dirinya dan lingkungannya. 2.2.3. Gizi remaja Mengonsumsi makanan dari restoran makanan cepat saji, terutama yang menyediakan menu Western Style, semakin sering ditemukan di masyarakat kota-kota besar khususnya para remaja.. Selain jumlah restoran-restoran tersebut semakin Universitas Sumatera Utara banyak di berbagai penjuru kota, menu makanan cepat saji umumnya cepat dalam penyajian (Khomsan, 2003) Kebiasaan makan ini ternyata menimbulkan masalah baru karena makanan siap saji umumnya mengandung lemak, karbohidrat, dan garam yang cukup tinggi tetapi sedikit kandungan vitamin larut air dan serat. Bila konsumsi makanan jenis ini berlebih akan menimbulkan masalah gizi lebih yang merupakan faktor risiko beberapa penyakit degeneratif yang saat ini menempati urutan pertama penyebab kematian. Sedikit sekali yang diketahui tentang asupan pangan remaja. Meski asupan kalori dan protein sudah tercukupi, namun elemen lain seperti besi, kalsium dan beberapa vitamin ternyata masih kurang. Makanan olahan, seperti yang dinyatakan dalam iklan televisi, secara berlebihan, meski dalam iklan diklaim kaya akan vitamin dan mineral, sering terlalu banyak mengandung gula serta lemak, disamping zat aditif. Konsumsi makanan jenis ini secara berlebihan dapat berakibat kekurangan zat gizi lain. Kegemaran pada makanan olahan yang mengandung zat ini menyebabkan remaja mengalami perubahan patologis yang terlalu dini (Arisman, 2004). Snack mencakup hampir 40% kalori diet remaja. Es krim, es krim kocok (shake), hamburger, dan pizza memberikan zat gizi yang penting, tetapi juga tinggi lemak, natrium dan kalori. Remaja sangat sering mengonsumsi makanan yang ada pada restoran makanan cepat saji yang mempunyai menu terbatas dan sering menekankan pada makanan yang tinggi kalori, lemak dan natrium (Moore, 1997). Universitas Sumatera Utara Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi mengakibatkan pertambahan berat badan. Obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung berlanjut hingga ke dewasa, dan lansia. Sementara obesitas itu sendiri merupakan salah satu faktor resiko penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit kantong empedu, beberapa jenis kanker, dan berbagai gangguan kulit. Ada tiga alasan mengapa remaja dikategorikan rentan. Pertama, percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi yang lebih banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi, disamping itu tidak sedikit remaja yang makan secara berlebihan dan akhirnya mengalami obesitas (Arisman, 2004). Pada usia remaja (10-18 tahun), terjadi proses pertumbuhan jasmani yang pesat serta perubahan bentuk dan susunan jaringan tubuh, disamping aktivitas fisik yang tinggi. Besar kecilnya angka kecukupan energi sangat dipengaruhi oleh lama serta intensitas kegiatan jasmani tersebut (Almatsier, 2001). Penentuan kebutuhan akan zat gizi secara umum didasarkan pada Recommended Daily Allowances (RDA) yang disusun berdasarkan perkembangan kronologis, bukan kematangan. Karena itu, jika konsumsi energi remaja kurang dari Universitas Sumatera Utara jumlah yang dianjurkan, tidak berarti kebutuhannya berdasarkan data yang diperoleh dari pemeriksaan klinis, biokimiawi, antropometris, diet serta psikososial. WHO menganjurkan rata-rata konsumsi energi makanan sehari adalah 1015% berasal dari protein, 15-30% dari lemak, dan 55-75% dari karbohidrat (Almatsier, 2001). Secara garis besar, remaja putra membutuhkan lebih banyak energi ketimbang remaja putri. Pada usia 16 tahun remaja putra membutuhkan sekitar 3.470 kkal perhari, dan menurun menjadi 2.900 pada usia 16-19 tahun. Kebutuhan remaja putri memuncak pada usia 12 tahun (2.550 kkal), kemudian menurun menjadi 2.200 kkal pada usia 18 tahun (Arisman, 2004). Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan obesitas. Kelebihan protein memberatkan ginjal dan hati yang harus memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen. Batas yang dianjurkan untuk konsumsi protein adalah dua kali Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk protein. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI (WKNPG VI) tahun 1998 menganjurkan angka kecukupan gizi (AKG) protein untuk remaja 1,5 - 2,0 gr/kg BB/hari. AKG protein remaja dan dewasa muda adalah 48-62 gr per hari untuk perempuan dan 5566 gr per hari untuk laki-laki. Kebutuhan lemak tidak dinyatakan secara mutlak. WHO menganjurkan konsumsi lemak sebanyak 15-30% dari kebutuhan energi total dianggap baik untuk kesehatan. Jumlah ini memenuhi kebutuhan akan asam lemak essensial dan untuk membantu penyerapan vitamin larut lemak (Almatsier, 2001). Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2 Kecukupan Energi dan Protein Rata-rata yang Dianjurkan pada Remaja Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Umur (thn) 10-12 13-15 16-19 10-12 13-15 16-19 Berat badan (kg) 35 46 55 37 48 50 Energi(kkal) Protein (gr) 2050 2400 2600 2050 2350 2200 50 60 65 50 57 50 Sumber : Depkes RI, 2004 Perubahan gaya hidup suatu masyarakat dalam kaitannya dengan makanan berkaitan juga pada perubahan budaya. Makanan alamiah yang berasal dari pertanian seperti beras, gandum, jagung menjadi lebih menarik lagi apabila diolah dengan lebih modern sesuai dengan tuntutan zaman. Makanan siap saji menjadi lebih diminati karena dianggap lebih cepat dan praktis sebab dapat menunjang kebutuhan masyarakat urban yang sangat sibuk bekerja. Dengan demikian perkembangan dan peningkatan perekonomian sebagian masyarakat juga membentuk kebiasaan makannya. Perubahan gaya hidup muncul ketika orang lebih tertarik dengan makanan siap saji yang ditawarkan di daerah pertokoan elit (dengan tempat yang nyaman dan menarik) dan hal itu dianggapnya dapat memberikan nilai tambah baginya. Selain itu perubahan gaya hidup tersebut juga membawa perubahan persepsi pada masyarakat terhadap makanan, yaitu munculnya persepsi masyarakat konsumtif (the consumer society) Perilaku konsumtif muncul karena adanya unsur teknologi, seperti iklan yang menawarkan berbagai kebutuhan manusia akan makanan. Melalui tayangan iklan baik pada media cetak maupun elektronik, orang menjadi tertarik Universitas Sumatera Utara untuk membeli. Kesadaran manusia seakan terstruktur oleh keinginan, impian, imajinasi terhadap pesan yang disampaikan oleh “tanda” (sign) pada makanan (label makanan, tayangan iklan, penyajian di tempat mewah dan sebagainya). 2.3 Metode Pengukuran Pola Makan Metode pengukuran pola makan untuk individu, antara lain : 1. Metode Food recall 24 jam 2. Metode estimated food records 3. Metode penimbangan makanan (food weighing) 4. Metode dietary history 5. Metode frekuensi makanan (food frequency) 1. Metode Food Recall 24 Jam Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring dan lain-lain). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu. Universitas Sumatera Utara 2. Estimated Food Records Pada metode ini responden diminta untuk mencatat semua yang ia makan dan minum setiap kali sebelum makan dalam URT (Ukuran Rumah Tangga) atau menimbang dalam ukuran berat (gram) dalam periode tertentu (2-4 hari berturutturut), termasuk cara persiapan dan pengolahan makanan tersebut. 3. Penimbangan Makanan (Food Weighing) Pada metode penimbangan makanan, responden atau petugas menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden selama 1 hari. Penimbangan makanan ini biasanya berlangsung beberapa hari tergantung dari tujuan, dana penelitian dan tenaga yang tersedia. Perlu diperhatikan, bila terdapat sisa makanan setelah makan maka perlu juga ditimbang sisa tersebut untuk mengetahui jumlah sesungguhnya makanan yang dikonsumsi. 4. Metode Riwayat Makan (Dietary History Method) Metode ini bersifat kualitatif karena memberikan gambaran pola konsumsi berdasarkan pengamatan dalam waktu yang cukup lama (bias 1 minggu, 1 bulan, 1 tahun). Burke (1974) menyatakan bahwa metode ini terdiri dari tiga komponen yaitu : - Komponen pertama adalah wawancara (termasuk recall 24 jam), yang mengumpulkan data tentang apa saja yang dimakan responden selama 24 jam terakhir. - Komponen kedua adalah tentang frekuensi penggunaan dari sejumlah bahan makanan dengan memberikan daftar (check list) yang sudah disiapkan, untuk mengecek kebenaran dari recall 24 jam tadi. Universitas Sumatera Utara - Komponen ketida adalah pencatatan konsumsi selama 2-3 hari sebagai cek ulang. Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengumpulan data adalah keadaan musim-musim tertentu dan hari-hari istimewa seperti awal bulan, hari raya dan sebagainya. 5. Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency) Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden. 2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pola Makan pada Remaja Sebagaimana kita ketahui bahwa pola makan adalah perilaku yang ditempuh seseorang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makanan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup. Perilaku sangat mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku. Menurut Green dalam Notoadmodjo (2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu : Universitas Sumatera Utara 1. Faktor Predisposisi(predisposing factors), yaitu : faktor pencetus timbulnya perilaku seperti : umur, pengetahuan, pengalaman, pendidikan, sikap, keyakinan, paritas dan lain sebagainya. 2. Faktor Pendukung (enabling factors), yaitu : faktor yang mendukung timbulnya perilaku seperti lingkungan fisik, dana dan sumber daya yang ada di masyarakat. 3. Faktor Pendorong (reinforcing factors), yaitu : faktor yang memperkuat atau mendorong seseorang untuk berperilaku yang berasal dari orang lain misalnya : teman. 2.4.1 Faktor Predisposisi (Faktor Predisposing) a. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu dan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, sebab dari pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2005). Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif terbagi atas enam tingkatan yaitu : Universitas Sumatera Utara 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur Universitas Sumatera Utara organisasi, dan masih ada kaitannyan satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. 5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengetahuan gizi diartikan sebagai semua yang diketahui tentang makanan, faedah makanan bagi kesehatan ( Moehyi, 1999). Suhardjo (1996) mengatakan bahwa pengetahuan gizi membicarakan tentang makanan beserta unsur gizinya dalam hubungannya dengan kesehatan, pertumbuhan, bekerjanya jaringan dan anggota tubuh secara normal serta produktivitas kerja. Menurut Almatsir (2002), pengetahuan gizi adalah sesuatu yang diketahui tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan optimal. Universitas Sumatera Utara Dalam penelitian Asmini (2009) tingkat pengetahuan gizi siswa-siswi di Madrasah Tsanawiyah Negeri Langgudu Kabupaten Bima sebagian besar dalam kategori baik sebanyak 45 (54,2%) orang dari 83 siswa dan yang mempunyai status gizi baik sebanyak 48 siswa (57,8%). Dalam penelitian Muniroh (2000), menunjukkan tingkat pengetahuan gizi remaja di Jombang adalah baik sebesar 81,5% tetapi masih terdapat remaja yang berstatus gizi kurang sebesar 20% walaupun pengetahuan gizinya baik. Pengetahuan siswi tentang gizi dan pola makan yang sehat akan membentuk sikap siswi terhadap pola makan sehari-harinya dan selanjutnya akan mendorong para siswi untuk tidak melakukan pola makan berlebih. b. Sikap Faktor lain yang berpengaruh terhadap pola makan berlebih adalah sikap remaja. Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan ataosisi bagi seseorang untuk berperilaku (Green, 1980). Struktur sikap terdiri dari 3 komponen yanu kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan faktor predispg saling menunjang yaitu: komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective) dan komponen konatif (conative). Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap mengenai apa yang berlaku atau yang benar bagi objek sikap. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional Universitas Sumatera Utara subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Komponen konatif merupakan aspek kecendrungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. Interaksi antara ketiga komponen adalah selaras dan konsisten, dikarenakan apabila dihadapkan dengan suatu objek sikap yang sama maka ketiga komponen itu harus mempolakan arah sikap yang seragam. Apabila salah satu diantara ketiga komponen sikap tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan yang menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap sedemikian rupa sehingga konsistensi itu tercapai kembali (Azwar, 2007). Menurut penelitian Setyaningrum dalam Sahri (2008) saat ini masyarakat cenderung lebih menyukai makanan cepat saji yang tinggi lemak, protein, karbohidrat dan garam yang berdampak meningkatnya kecenderungan kelebihan berat badan. Sikap merupakan pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek, jumlah sikap senantiasa terarah terhadap suatu objek, tidak ada sikap tanpa objek. (Purwanto, 1994) Menurut Notoatmodjo (2000) sikap positif adalah sikap sesuai dengan yang diharapkan berupa menerima, bersahabat, ingin membantu, penuh inisiatif dan ingin bertindak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan teori Notoadmodjo (2005) di mana sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas tetapi merupakan pencetus suatu tindakan atau perilaku. Universitas Sumatera Utara Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005) menjelaskan sikap itu mempunyai 3 komponen yaitu kepercayaan, evaluasi, emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak. Komponen ini secara bersama membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan sikap ini pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Walaupun sikap belum merupakan suatu tindakan aktivitas tetapi merupakan pencetus suatu tindakan atau perilaku. Sikap ini dapat bersifat positif, dan dapat pula bersifat negatif. Sikap positif ditunjukkan dengan cara menghindari konsumsi makanan cepat saji yang berlebihan sedangkan sikap negatif ditunjukkan dengan seringnya siswa mengkonsumsi makanan cepat saji. Terkait dengan teori diatas peneliti berpendapat bahwa pengaruh sikap yang baik terhadap efek dari makanan cepat saji akan mempengaruhi kesehatan siswa dan menjaga pola hidup siswa itu sendiri. Hasil penelitian Susanti (2008) terhadap 96 orang siswi SMA 2 Jember yaitu untuk mengetahui hubungan sikap siswi terhadap makanan cepat saji. Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara sikap siswa terhadap makanan cepat saji dengan kebiasaan konsumsi makanan cepat saji. Universitas Sumatera Utara 2.4.2 Faktor Pendukung (Faktor Enabling) a. Uang Saku Pada Endromono, 2006 menyatakan bahwa pemberian uang saku terhadap remaja juga bisa menjadi pemicu mereka untuk membeli makanan cepat saji, karena semakin besar uang saku yang mereka peroleh maka semakin besar kemungkinan mereka untuk membeli atau mengonsumsi makanan cepat saji, karena harga makanan cepat saji dipasaran cenderung tinggi. Sebenarnya tanpa disadari, orang tua juga ikut andil dengan kebiasaan seorang siswa dalam mengkonsumsi makanan cepat saji tersebut, dengan jalan memberikan uang saku dan membiarkan anaknya jajan Akibatnya anak menjadi lebih sering dan terbiasa mengkonsumsi makanan cepat saji. Besarnya uang saku yang diberikan kepada siswa dan kurangnya kontrol dari orang tua mengakibatkan siswa sering mengonsumsi makanan cepat saji yang dapat berdampak tidak baik terhadap kesehatan mereka pada masa yang akan datang. Dari hasil peneliti diatas dapat disimpulkan bahwa semakin besar uang saku yang diperoleh siswa maka akan semakin besar pula peluang mereka untuk membeli makanan cepat saji, karena mereka akan berpikir jika mereka membeli makanan cepat saji akan lebih simpel dari pada mereka membawa makanan dari rumah atau masak sendiri. Hasil peneltian Novasari (2009) terhadap 87 orang siswa Lembaga Bahasa dan Pendidikan Profesional LIA (LBPP-LIA) di Palembang untuk mengetahui hubungan uang saku dengan perilaku mengonsumsi makanan cepat saji. Hasil uji Universitas Sumatera Utara statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara uang saku dengan perilaku mengonsumsi makanan cepat saji siswa LBPP-LIA. b. Aktivitas Aktivitas merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan gerakan dan mengeluarkan energi. Dalam penelitian ini aktivitas yang diteliti adalah klasifikasi aktivitas fisik yaitu aktivitas fisik ringan, sedang dan berat. Beberapa pakar mempunyai pengertian tentang aktivitas fisik, antara lain menurut Almatsier (2003) mengatakan bahwa aktivitas fisik dapat didefinisikan sebagai gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Sedangkan Fathonah (1996) menyatakan bahwa aktivitas dibagi menjadi dua yaitu aktivitas fisik internal dan eksternal. Aktivitas fisik internal yaitu suatu aktivitas dimana proses bekerjanya organ-organ dalam tubuh saat istirahat, sedangkan aktivitas eksternal yaitu aktivitas yang dilakukan oleh pergerakan anggota tubuh yang dilakukan seseorang selama 24 jam serta banyak mengeluarkan energi. Dari beberapa pengertian yang dikemukakan aktivitas fisik merupakan suatu kondisi yang memerlukan tingkatan gerakan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan energi yang dikeluarkan, sehingga kalori per jam akan berkurang tergantung tingkat aktivitasnya. Aktivitas remaja sebagian besar banyak dilakukan di sekolah selama 8 jam meliputi kegiatan belajar dan bermain saat istirahat. Aktivitas berada dirumah kurang lebih 5-6 jam meliputi mengerjakan pekerjaan rumah, membantu orang tua dan bermain di lingkungan sebayanya. Aktivitas fisik remaja membutuhkan asupan pangan mengandung gizi yang cukup sehingga kondisi tubuh remaja akan tetap baik. Universitas Sumatera Utara Tingkat aktivitas remaja laki-laki dan perempuan sangat berbeda, untuk remaja laki-laki tingkat aktivitasnya lebih tinggi daripada perempuan. Berdasarkan pedoman Centre for Disease Control/CDC (2002) aktivitas remaja dapat diklasifikasikan menurut tingkatannya antara lain aktivitas fisik ringan, sedang dan berat yang dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 2.2 Jenis-jenis Aktifitas Remaja Macam Kegiatan Ringan : Membaca, menulis, makan, menonton televisi, mendengarkan radio, merapikan tempat tidur, mandi, berdandan, berjalan lambat, dan berbagai kegiatan yang dikerjakan dengan duduk atau tanpa menggerakkan lengan. Sedang : Bermain dengan mendorong benda, bermain pingpong, menyetrika, merawat tanaman, menjahit, mengetik, mencuci baju dengan tangan, menjemur pakaian, dan berbagai kegiatan yang dikerjakan dengan berdiri atau duduk yang banyak menggerakkan lengan. Berat : Berjalan cepat, bermain dengan mengangkat benda, berlari, mengepel, basket, berenang, naik turun tangga, memanjat, bersepeda, bermain dengan banyak menggerakkan lengan. Sumber : Huriyati, dkk, 2004 Aktivitas fisik diukur dengan metode faktorial, yaitu merinci semua jenis dan lamanya kegiatan yang dilakukan selama 24 jam (dalam menit) pada lembar kuesioner, selanjutnya dicocokkan dengan Daftar Nilai Perkiraan Keluaran Energi pada kegiatan tertentu. Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam Physical Activity Level (PAL) atau tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara ∑ (PAR x w) PAL = _________________ 24 jam Keterangan : PAL : Physical activity level (tingkat aktivitas fisik) PAR : Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu) w : Alokasi waktu tiap aktivitas (jam) Selanjutnya tingkat aktivitas fisik dikategorikan sebagai berikut (FAO/WHO/ UNU 2001) : 1) Ringan dengan nilai PAL 1,40-1,69 2) Sedang dengan nilai PAL 1,70-1,99 3) Berat dengan nilai PAL 2,00-2,40 Berbagai sarana dan fasilitas memadai hingga gerak atau aktivitas menjadi semakin terbatas. Hidup terasa santai karena segalanya sudah tersedia sehingga dapat berakibat menghambat gerak atau aktivitas yang pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan antara asupan pangan dan pengeluaran energi. Dampak penumpukan lemak menyebabkan penumpukan lemak yang berlebihan yang disebut dengan kegenukan atau obesitas. Universitas Sumatera Utara 2.4.3 Faktor Pendorong (Faktor Reinforcing) a. Teman Teman sebaya mempunyai pengaruh yang sangat besar pada remaja dalam hal memilih jenis makanan. Ketidakpatuhan terhadap teman dikhawatirkan dapat menyebabkan dirinya terkucil dan akan merusak kepercayaan dirinya. (Arisman, 2004) b. Promosi Makanan Cepat Saji Remaja usia sekolah juga merupakan suatu kelompok masyarakat yang relatif rentan terhadap iklan terutama iklan makanan cepat saji di televisi. Adanya iklaniklan produk makanan cepat saji di televisi dapat meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya. Pada umumnya fungsi dari iklan adalah untuk memberi informasi dan melakukan persuasi. Tujuan dari pemberian informasi adalah untuk memperkenalkan produk baru atau perubahan produk lama (Sabda, 2009) Walaupun iklan adalah suatu informasi yang diperlukan oleh konsumen namun dalam hal ini pengaruh iklan adalah hal yang kurang baik, karena jika siswa terpengaruh iklan dalam mengkonsumsi makanan cepat saji maka mereka justru akan mengurangi pola makan yang seharusnya (pola makan sehat). Remaja belum mempunyai kematangan cara berpikir dan bertindak. Ia berada pada tahap sosialisasi dengan melakukan pencarian informasi di sekitarnya dalam rangka membentuk identitas diri dan kepribadiannya. Sumber informasi utama bagi Universitas Sumatera Utara anak adalah dari keluarga. Setelah itu, ia mengumpulkan informasi lainnya dari teman sebaya, sekolah, masyarakat dan media massa. Kenyataan ini perlu dicermati secara kritis karena iklan bisa membentuk pola makan yang buruk pada masa remaja. Padahal makanan yang dikonsumsi pada masa remaja akan menjadi dasar bagi kondisi kesehatan di masa dewasa dan tua nanti. Gencarnya iklan produk makanan di media massa, terutama televisi. Karena jiwanya masih labil, maka remaja usia sekolah mudah sekali menjadi korban iklan. Terutama jika yang diiklankan adalah produk makanan baru, mereka tertarik untuk mencobanya. 2.5 Landasan Teori Landasan teori yang digunakan untuk menganalisis faktor predisposisi, factor pendukung dan factor pendorong yang mempengaruhi pola makan pada siswi SMA Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan adalah teori model Green (1980). Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku) dan nonbehavioral factors (faktor nonperilaku). Selanjutnya Green menganalisis, bahwa factor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu : 1. Faktor Predisposisi yaitu faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan dan sebagainya. 2. Faktor Pendukung adalah faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku. Yang dimaksud dengan faktor pendukung adalah sarana dan prasarana Universitas Sumatera Utara untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Rumah Sakit, Puskesmas, dana dan sebagainya. 3. Faktor Pendorong adalah faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Misalnya keluarga, teman, tokoh masyarakat, petugas kesehatan dan sebagainya. 2.6 Kerangka Konsep Kerangka konsep pada penelitian ini diambil dari skema Green (1980) seperti yang dapat dilihat dibawah ini : Variabel Bebas Variabel Terikat Faktor predisposisi - Pengetahuan - Sikap Faktor pendukung - Uang saku - Aktivitas Pola Makan : - jumlah energi - jenis - frekuensi Faktor pendorong - Dukungan Teman - Promosi Makanan cepat saji Gambar 1. Kerangka Konsep Analisis Faktor Predisposisi, Faktor Pendukung dan Faktor Pendorong terhadap Pola Makan pada Siswi SMA Yayasan Shafiyyatul Amaliyyah Medan Tahun 2010 Universitas Sumatera Utara Dari skema diatas dapat dijelaskan bahwa perilaku terjadi diawali dengan adanya pengetahuan dan sikap seseorang serta faktor-faktor dari luar orang tersebut (lingkungan). Kemudian pengetahuan, sikap dan lingkungan (uang saku, promosi makanan cepat saji dan aktivitas serta teman) tersebut diketahui, dipersepsikan dan diyakini sehingga menimbulkan suatu niat untuk bertindak dan akhirnya terjadilah perwujudan niat tersebut yang berupa perilaku. Dalam hal ini perilaku pola makan. Universitas Sumatera Utara