PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara tropis yang dikenal dengan julukan the second mega biodiversity, memiliki berbagai jenis tanaman yang diketahui secara empirik berpotensi sebagai obat fitofarmaka. Beberapa jenis diantaranya adalah temulawak, meniran, sambiloto, dan temu ireng. Karakteristik tanaman sebagai obat fitofarmaka didasarkan pada potensi tanaman tersebut sebagai antimikroba, antioksidan, antifungi, hepatoprotektor, antiinflamasi, dan sebagainya (Nuratmi et al. 1996). Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian uji tanggap penanggulangan Avian influenza melalui formulasi herbal. Herbal yang digunakan diantaranya temulawak, meniran, sambiloto, dan temu ireng. Dasar pemilihan herbal temulawak dan temu ireng dilatarbelakangi oleh potensi faramakologis dari rimpang temulawak dan temu ireng sebagai antibakteri, antifungi, maupun antivirus. Kandungan xanthorrizol dalam temulawak, mampu membunuh Candida albicans pada dosis 5 mg/L dan Candida parasilopsis pada konsentrasi 7.5 mg/L pada waktu inkubasi 48 jam (Rukayadi et.al 2006). Selain itu, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol dari temu ireng, diketahui berpotensi menghambat pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa, Staphyllococus aureus, dan Bacillus subtilis pada konsentrasi 500 mg/mL sebesar 7.5 mm (Philip et.al 2009). Potensi farmakologis dari rimpang temulawak dan temu ireng akan di uji dengan menggunakan uji potensi hayati Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Pemilihan herbal meniran dan sambiloto didasarkan pada potensi keduanya sebagai imunomodulator. Imunomodulator adalah zat yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh akibat gangguan radikal bebas, serangan bateri ataupun virus, serta mampu membantu mencegah terjadinya influenza (Suhirman & Winarti 2010). Ekstrak daun meniran dan sambiloto diketahui berpotensi meningkatkan nilai indeks fagositosis pada mencit albino, masing-masing sebesar 0.0171±0.0010 dan 0.0190±0.0009, serta mampu meningkatkan jumlah leukosit sebesar 9.1±0.1 juta/mm3 untuk meniran dan 10.4±0.4 juta/mm3 untuk sambiloto (Choudari et.al 2010). Potensi daun meniran dan sambiloto sebagai imunomodulator akan di uji berdasarkan aktivitas antioksidan dari keduanya (pertahanan terhadap serangan radikal bebas). Radikal bebas sebagai pengganggu sistem kekebalan tubuh, merupakan pemicu beberapa penyakit degeneratif seperti kanker, katarak, aterosklerosis, diabetes melitus, penyakit jantung koroner, dan gangguan imunodefisiensi. Data WHO (World Health Organization) tahun 2005 menunjukkan bahwa, penyakit degeneratif telah menyebabkan kematian hampir 17 juta orang di seluruh dunia. Hal ini menempatkan penyakit degeneratif sebagai penyakit pembunuh manusia terbesar di dunia. Data WHO menyatakan sekitar satu milyar orang diseluruh dunia, saat ini menderita resiko penyakit degeneratif dan diperkirakan akan naik menjadi 1.5 milyar pada tahun 2015 (Komnas Lansia 2010). Solusi dari masalah yang ditimbulkan radikal bebas adalah dengan menggunakan antioksidan. Antioksidan memiliki potensi untuk menetralisir radikal bebas dan memutus reaksi berantai radikal bebas, sehingga dapat meminimalisir resiko yang ditimbulkan oleh oksidasi radikal bebas. Perlakuan kombinasi (formulasi) ekstrak dari keempat jenis tanaman obat Indonesia tersebut, diharapkan mampu meningkatkan potensi bioaktivitas antioksidan dan efek farmakologis dari masing-masing ekstrak tunggal tanaman tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hasil kombinasi antara rimpang temulawak, daun meniran, daun sambiloto, dan rimpang temu ireng yang memiliki nilai Inhibition Concentration (IC50) dan Lethal Concentration (LC50) terbaik (hasil kombinasi dengan nilai IC50 dan LC50 yang rendah). Hipotesis penelitian ini adalah melalui perlakuan kombinasi keempat jenis ekstrak tersebut, diharapkan berpengaruh terhadap potensi bioaktivitas yang dihasilkan. Potensi bioaktivitas dilihat berdasarkan hasil uji antioksidan dan uji potensi hayati pada sejumlah kombinasi sampel yang dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai kombinasi yang memiliki hubungan terbaik antara potensi antioksidan dan potensi hayati yang dihasilkan. TINJAUAN PUSTAKA Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan tanaman obat berupa rumpun berbatang semu. Di Indonesia, temulawak dikenal dengan berbagai nama daerah, misalnya koneng gede (Jawa Barat), 2 temulawak (Sumatera dan Jawa Timur), dan temo lobak (Madura). Berdasarkan taksonominya, temulawak termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorriza Roxb (Supriadi 2008). Tanaman ini sering kali ditemukan dalam semak-semak hutan jati, tetapi ada juga yang ditanam atau dibudidayakan, khususnya di daerah pulau Jawa. Temulawak tumbuh liar di hutan-hutan beberapa pulau di Indonesia, antara lain Jawa, Maluku, dan Kalimantan (Supriadi 2008). Temulawak merupakan tanaman terna berbatang semu berwarna hijau atau coklat gelap, dengan ketinggian mencapai 1 m hingga 2 m. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat, serta berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2-9 helai, dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset. Daun temulawak berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang daun berukuran 31-84 cm dan lebar daun 10-18 cm, panjang tangkai daun (termasuk helaian daun) mencapai 43-80 cm. Pembungaan tanaman temulawak, termasuk pembungaan lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis. Panjang tangkai bunga berukuran 9-23 cm dan lebarnya 4-6 cm, berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, dengan panjang antara 8-13 mm. Mahkota bunga berbentuk tabung, dengan panjang keseluruhan 4.5 cm, helaian bunga berbentuk bundar memanjang, berwarna putih dan ujung helaian berwarna merah dadu atau merah, dengan panjang 1.252 cm dan lebar sebesar 1cm (Priamboro 2001 dalam Afifah 2003). Rimpang temulawak berukuran paling besar, bila dibandingkan rimpang tanaman marga curcuma lainnya. Rimpang temulawak, dapat dipanen setelah memasuki usia 8-12 bulan. Tanaman yang siap dipanen memiliki daun dan bagian tanaman yang telah menguning dan mengering, serta memiliki rimpang besar berwarna kuning kecoklatan (Liza 2010). Rimpang induk temulawak berbentuk bulat dan berukuran lebih besar dibandingkan rimpang cabang. Rimpang cabang temulawak memiliki bentuk memanjang dan terletak pada bagian samping rimpang induk. Warna rimpang cabang umumnya lebih muda daripada rimpang induk. Kulit rimpang berwarna kuning kecoklatan, sedangkan warna daging rimpang adalah jingga tua. Rimpang terbentuk dalam tanah pada kedalaman ± 16 cm. Setiap rumpun temulawak, umumnya memiliki enam buah rimpang tua dan lima buah rimpang muda (Afifah 2003). Temulawak merupakan salah satu tanaman dengan daya adaptasi yang tinggi terhadap beberapa cuaca di daerah tropis. Syarat pertumbuhan temulawak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya iklim, media tanam, dan ketinggian tempat. Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan teduh dan terlindung dari terik sinar matahari. Di habitat alami, rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu atau jati. Namun, temulawak juga dapat dengan mudah ditemukan di tempat terik, seperti ladang (tegalan). Suhu udara yang baik untuk budidaya tanaman ini, berkisar antara 19-30 0 C. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan antara 1.000-4.000 mm/tahun (Afifah 2003). Perakaran temulawak, beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah (media tanam), baik tanah berkapur, berpasir, maupun tanah liat. Namun, untuk memproduksi rimpang yang optimal diperlukan tanah yang subur, gembur, dan berdrainase baik. Oleh karena itu, dibutuhkan pemupukan organik dan anorganik untuk memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur. Tanah dengan kandungan bahan organic yang tinggi, diperlukan untuk menjaga agar tanah tidak mudah tergenang air (Afifah 2003). Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian 5-1.000 m/dpl (di atas permukaan laut) dengan ketinggian tempat optimum 750 m/dpl. Kandungan pati tertinggi di dalam rimpang, diperoleh pada ketinggian tanam 240 m/dpl. Temulawak yang ditanam di dataran tinggi menghasilkan kadar minyak atsiri yang kecil pada rimpangnya. Tanaman ini lebih cocok dibudidayakan di dataran sedang dibandingkan dataran tinggi maupun rendah (Afifah 2003). Rimpang temulawak sering dimanfaatkan untuk pengobatan alternatif. Rimpang temulawak, mengandung 48-59.64% zat tepung, 1.6-2.2% kurkumin, dan 1.48-1.63% minyak atsiri, serta dipercaya dapat meningkatkan kinerja ginjal dan antiinflamasi. Manfaat lain temulawak secara medis, diantaranya sebagai hepatoprotektor, antikanker, antidiabetes, antimikroba, antilipidemia, antijamur, obat jerawat, 3 penambah nafsu makan, dan antioksidan (Nurcholis 2008). Menurut Sugiharto (2004), rimpang temulawak (Gambar 1) mengandung senyawa metabolit aktif, seperti kurkumin, xanthorrizol, minyak atsiri, zat pati, flavonoid, kamfer, turmerol, phellandrene, myrcene, isofuranogermacen, p-tolymetilkarbitol, kation Fe, Ca, Na, dan K. Sedangkan menurut Hwang et.al (2000), kandungan pati dalam temulawak dapat berkhasiat sebagai senyawa imunomodulator. Kurkuminoid dan xanthorrizol memiliki potensi sebagai zat antioksidan dan hepatoprotektor. Antioksidan secara alami terdapat dalam tubuh sebagai sistem perlindungan terhadap radikal bebas. Kurkuminoid, secara kuat dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450 di hati. Enzim ini merupakan isoenzim yang berperan dalam bioaktivasi beberapa toksin, termasuk benzopirena (Irawati 2008). Kurkumin juga dapat mencegah pembentukan ikatan kovalen antara sitokrom P450 dengan DNA, serta mampu memodulasi fungsi sitokrom P450 untuk menghambat karsinogenesis oleh senyawa kimia. Selain itu, kurkuminoid juga mampu menjadi hepatoprotektor terhadap toksisitas alkohol, dan mampu untuk menghambat proses replikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Liza 2010). Berdasarkan hasil penelitian Liza (2010), kurkuminoid mampu menghambat fusion sel virus, pada siklus replikasi HIV. Gambar 1 Rimpang temulawak. Meniran (Phyllanthus niruri L.) Meniran merupakan tumbuhan terna musiman, dengan ketinggian mencapai 1 m. Batang pohon meniran, berbentuk bulat, liat, masif, tidak berbulu, bercabang, licin, berwarna hijau keunguan, dan memiliki diameter ± 3 mm. Daun meniran tersusun majemuk dengan warna hijau, dan berbentuk bulat telur. Karakteristik daun meniran lainnya yaitu memiliki 15-24 helai anak daun, bagian tepi daun rata, pangkal daun membulat, berujung tumpul, dan pada bagian bawah tulang daun sering dijumpai butiran kecil menggantung. Bunga pohon meniran bersifat tunggal, dengan kelopak daun berbentuk bintang, dan mahkota berwarna putih. Buah meniran berbentuk bulat, berwarna hijau keunguan. Bijinya berukuran kecil, keras, berbentuk ginjal, dan berwarna coklat tua (Widayati 2008). Tanaman ini juga dikenal dengan nama dukung anak (Malaka), meniran ijo atau meniran (Jawa, Sunda), dan gossau ma dugi (Ternate). Di India tanaman ini dijuluki dengan nama chanca-piedra, sementara di Amerika Selatan disebut sebagai stone breaker. Berdasarkan taksonominya, meniran termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dycotyledonae, ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Phyllanthus, dan spesies Phyllanthus niruri Linn. Daun meniran mengandung senyawa kimia turunan flavonoid, antara lain kuersetin, kuersetrin, isokuersetrin, astragalin, rutin kamferol-4-ramnopiranosida, eridiositol-7ramnopiranosida, fisetin-4-O-glikosida, dan irurin. Bagian akar meniran, mengandung senyawa kimia 3,5,7-trihidroksiflavon-4-O-αramnosida yang merupakan suatu senyawa glikosida flavonoid dengan kamferol sebagai aglikon, dan ramnosida sebagai glikon. Selain itu, terdapat juga senyawa turunan lignin seperti, norsekurinin, sekurinin, alosekurinin, ignan, nirfilin, isolintetrain, hipofilantin, nirtetralin, nirantin, filantin, hinikinin, ligtetralin, filantostatin, trans-fitol, dan senyawa alkaloid etnosekurinin (Widayati 2008). Akar tumbuhan meniran, sering digunakan untuk pengobatan peradangan, infeksi saluran kencing, diuretikum, penyembuhan diare, busung air, infeksi saluran pencernaan, dan gangguan fungsi hati. Buah meniran berasa pahit, dan banyak digunakan untuk obat luka dan scabies. Akar segar meniran, dapat juga digunakan untuk pengobatan penyakit kuning, penambah nafsu makan, dan obat antidemam. Meniran banyak disalahgunakan sebagai obat penggugur kandungan, dan pemakaian berlebih dari herba Phyllanthi tersebut, dapat menyebabkan impoten. Widayanti (2008), menjelaskan senyawa turunan flavonoid yang terkandung dalam meniran, dapat menghambat kinerja enzim xantin oksidase, sehingga dapat dimanfaatkan dalam pengobatan batu ginjal dan asam urat. Senyawa turunan flavonoid dalam tanaman 4 meniran dilaporkan memiliki potensi sebagai imunomodulator, sehingga mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan mampu menangkal serangan virus, bakteri, atau mikrob lainnya (Suhirman dan Winarti 2010). Thyagarajan et al. (1988), telah berhasil mengisolasi tiga senyawa aktif dari genus Phyllanthus amarus, yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap perkembangbiakan virus hepatitis B, meningkatkan sistem imun, dan melindungi sel hati. Selain itu, menurut Maat dalam Tjandrawinata et al. (2005), melaporkan bahwa ekstrak P.niruri dapat meningkatkan aktivitas dan fungsi komponen sistem imun, baik humoral maupun selular. Tjandrawinata et al (2005), telah melakukan uji pra-klinis untuk menguji aktivitas ekstrak daun meniran (Gambar 2). Uji pra-klinis dilakukan terhadap tikus dan mencit, untuk menentukan keamanan dan karakteristik imunomodulasi dari ekstrak daun meniran. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ekstrak P.niruri dapat memodulasi sistem imun melalui proliferasi dan aktivasi limfosit T & B, sekresi sitokin spesifik (gama interferon, interleukin, tumor nekrosis, dan faktor alfa), aktivasi sistem komplemen, dan aktivasi sel fagosit (makrofag dan monosit). Selain itu, juga terjadi peningkatan sel sitotoksik, seperti Natural Killer cell (NK sel). Gambar 2 Daun meniran. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) Sambiloto merupakan tanaman liar yang banyak tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tinggi tanaman dapat mencapai 1 m, dengan batang berbentuk persegi empat. Sambiloto memiliki daun tunggal, terletak berhadapan, tangkai daun pendek, berbentuk lanset, berukuran 12 x 13 cm, bertepi rata, dan permukaan atas berwarna hijau tua. Sambiloto memiliki bunga majemuk, berbentuk malai, berukuran kecil, berwarna putih, terdapat di bagian ketiak dan ujung tangkai. Buah kecil memanjang, berukuran ± 0.30-0.40 cm x 1.501.90 cm, berlekuk, memiliki dua rongga, berwarna hijau, biji kecil, gepeng, dan berwarna hitam (Aji 2009). Berdasarkan taksonominya, sambiloto termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dycotyledonae, ordo Solanales, famili Achantaceae, genus Andrographis, spesies Andrographis paniculata Ness. Sambiloto (Gambar 3) juga dikenal dengan nama yang berbeda pada tiap daerah, yaitu sambilata (Sumatra), Ki Oray (Sunda), sambiloto (Jawa), papaitan (Maluku), dan ampadu tanah (Minang). Sambiloto mengandung metabolit sekunder turunan lakton, yang terdiri dari andrografolid, deoksiandrografolid, saponin, tannin, flavonoid, homoanografolid, 14-deoksi-11,12didehidroandrografolid (Syamsuhidayat & Hutapea 1994 diacu dalam Aji 2009). Komponen aktif dari sambiloto yang diisolasi dari ekstrak metanol mempunyai efek imunomodulator dan dapat menghambat induksi sel penyebab HIV. Komponenkomponen tersebut, dapat meningkatkan proliferasi dan induksi IL-2 limfosit perifer darah manusia (Kumar et al. 2005 diacu dalam Elfahmi 2006). Hasil penelitian Cahyaningsih et al. (2003), menunjukkan bahwa melalui pemberian sambiloto pada dosis bertingkat dengan koksidiostat (preparat sulfa) akan meningkatkan heterofil darah ayam. Penambahan dosis sambiloto akan menaikkan heterofil darah ayam, kenaikan tersebut diduga berkaitan erat dengan fungsi ganda sambiloto sebagai imunosupresan dan imunostimulan (Deng 1978; Puri et al. 1993). Heterofil merupakan salah satu komponen sistem imun, yaitu sebagai penghancur sel asing yang masuk ke dalam tubuh (Tyzard 1987). Sambiloto, juga dapat digunakan sebagai obat demam, gatal-gatal pada kulit, peradangan, gigitan ular berbisa, kencing manis, disentri, masuk angin, malaria, tifus, penambah nafsu makan, antioksidan, dan obat keracunan makanan (Aji 2009). Mekanisme kerja dari herba sambiloto sebagai imunosupresan sangat terkait dengan keberadaan dari kelenjar adrenal (Yin dan Guo 1993). Hal ini dikarenakan, sambiloto dapat merangsang pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar ptutiari anterior, yang berada di dalam otak. Selanjutnya, kelenjar adrenal bagian korteks akan terangsang untuk memproduksi kortisol. Kortisol yang dihasilkan ini, kemudian akan bertindak sebagai imunosupresan (West 1995). Efek imunosupresan akan 5 mengakibatkan timbulnya penurunan respon imun. Menurut Puri et al. (1993) sambiloto dapat merangsang sistem imun tubuh, baik berupa respon antigen spesifik, maupun respon imun non spesifik yang kemudian akan menghasilkan sel fagosit. Respon antigen spesifik yang dihasilkan akan menyebabkan diproduksinya limfosit dalam jumlah besar, terutama limfosit B. Limfosit B akan menghasilkan antibodi yang merupakan plasma glikoprotein dan akan mengikat antigen, serta merangsang proses fagositosis (Decker 2000). famili Zingiberaceae, genus Curcuma, spesies Curcuma aeruginosa Roxb. Rimpang temu ireng (Curcuma aeruginosa) merupakan salah satu tanaman obat tradisional yang dimanfaatkan sebagai obat cacing (antihelmintik), penambah nafsu makan, peluruh dahak, dan obat demam berdarah (Gambar 4). (Planthus 2008). Subekti (1990), menyatakan salah satu bahan alam yang sering digunakan adalah rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza) dan temu ireng (Curcuma aeruginosa). Kedua bahan tersebut berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan antihelmintik. Selain itu, temu ireng juga dapat dimanfaatkan secara empiris untuk mengobati kerusakan sel hati. Rimpang temu ireng mengandung senyawa kimia berupa turunan kurkuminoid, saponin, flavonoid, minyak atsiri, dan polifenol (Damayanti 2009). Gambar 3 Daun sambiloto. Gambar 4 Rimpang temu ireng. Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) Temu ireng merupakan tanaman semak, dengan ketinggian berkisar ± 1.5 m. Temu ireng memiliki batang semu, yang terdiri dari pelepah daun dan rimpang. Temu ireng memiliki daun tunggal, berbentuk bulat telur, berujung runcing, bagian tepi rata, bagian pangkal tumpul, permukaannya licin, tulang daun menyirip, dan terdapat garis-garis coklat membujur. Temu ireng memiliki bunga majemuk, berambut, memiliki tangkai berukuran 20-35 cm, panjang mahkota ± 2.5 cm, lebar 1.5 cm, berwarna kuning, kelopak berbentuk silindris, bercangap tiga, dan pangkal bunga berwarna putih. Temu ireng memiliki bentuk perakaran serabut, dan berwarna coklat muda. Temu ireng, dikenal dengan nama berbeda pada tiap daerah, diantaranya temu itam (Melayu), temu hitam (Minangkabau), koneng hideung (Sunda), temu ireng (Jawa), temo ireng (Madura), dan temu lotong (Bugis). Berdasarkan taksonominya, temu ireng termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales, Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu molekul atau atom yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan dapat menyebabkan kerusakan pada biomolekul (Halliwel dan Gutteridge 1989). Hal tersebut menyebabkan radikal bebas bersifat sangat reaktif dan mampu mengambil elekron dari molekul lain, seperti protein, DNA, dan peroksidasi lipid (Hafidz 2003). Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada jaringan biologis, kerusakan tersebut dapat menyebabkan penyakit kronis, seperti iskemia, katarak, kanker, diabetes melitus, penuaan, dan jantung koroner (Hiriguchi et al. 1995). Radikal bebas terbentuk melalui dua cara, yaitu secara endogen dan eksogen. Secara endogen, radikal bebas dihasilkan melalui reaksi biokimia di dalam tubuh, contohnya oksidasi enzimatis, fagositosis, transport elektron, dan oksidasi logam transisi melalui ischemic. Secara eksogen, radikal bebas dihasilkan dari lingkungan sekitar, seperti polusi udara, bahan tambahan pangan, dan 6 radiasi ultraviolet (UV). Radikal eksogen tersebut, selanjutnya akan masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, pencernaan, dan absorbsi kulit (Amelia 2006). Radikal bebas diproduksi secara endogen di dalam sel oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, peroksisom, retikulum endoplasma, dan inti sel (Langseth 1995). Radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh, biasanya terdiri dari spesies oksigen reaktif (ROS) dan spesies nitrogen reaktif (RNS). Contoh turunan kedua spesies tersebut, diantaranya radikal superoksida (O2.), hidroksil (.OH), peroksil (ROO.), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen (O.), nitrit oksida (NO.), peroksi nitrit (NOO.), dan asam hipoklorit (HOCl.) (Murray et al. 2003). Atom atau molekul dengan elektron bebas ini, dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga dan beberapa fungsi fisiologis seperti kemampuan untuk membunuh virus dan bakteri. Menurut Gordon (1991) diacu dalam Marpaung (2008), mekanisme reaksi pembentukan radikal bebas terdiri atas tiga tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Tahap inisiasi, merupakan tahap awal pembentukan radikal bebas. Tahap kedua adalah propagasi, yaitu perubahan suatu molekul radikal bebas menjadi radikal bentuk lain (pembentukan radikal bebas baru). Tahap yang terakhir adalah terminasi. Terminasi adalah tahap dimana terjadi penggabungan dua molekul radikal bebas dan membentuk produk yang stabil. Mekanisme reaksi ketiga tahapan tersebut dapat ditulis sebagai berikut: Inisiasi: RH + OH R* + H2O Propagasi: R* + O2 ROO* ROO* + RH ROOH + R* Terminasi: ROO* + ROO* ROOR + O2 ROO* + R* ROOR R* + R* RR Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang memiliki kemampuan untuk menetralisir radikal bebas dengan cara menyumbangkan elektronnya pada molekul radikal bebas. Senyawa antioksidan dapat mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, lemak, dan DNA. Berdasarkan sumbernya, antioksidan dikelompokkan ke dalam antioksidan endogen dan antioksidan eksogen (Kumalaningsih 2007). Antioksidan endogen merupakan antioksidan enzimatis yang dihasilkan oleh tubuh, melalui proses metabolisme sel. Contoh antioksidan endogen, antara lain superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT), peroksidase, dan glutathione peroksidase (GPX). Superoksida dismutase merupakan antioksidan endogen yang dapat mengkatalisis radikal superoksida (O2.) menjadi hidrogen peroksida (H2O2), sehingga SOD disebut sebagai scavenger atau pembersih superoksida (O2.). Katalase sebagai salah satu antioksidan endogen, merupakan senyawa hemotetramer dengan besi (Fe) sebagai kofaktornya. Katalase adalah suatu hemoprotein yang mengandung empat gugus heme, dan banyak ditemukan pada hewan maupun tumbuhan. Katalase berfungsi untuk mengkatalisis berbagai radikal peroksida menjadi H2O dan O2 (Kumalaningsih 2007). Peroksidase merupakan enzim turunan hemeprotein yang terdapat pada organisme prokariot dan eukariot. Sedangkan GPX adalah salah satu jenis enzim peroksidase yang memiliki gugus prostetik berupa logam selenium (Se). Enzim GPX bekerja dengan cara memecah H2O2 dan berbagai lipid peroksida, dengan mereduksinya menjadi H2O. Proses tersebut melibatkan reaksi redoks dari glutathione tereduksi (GSH) (Kumalaningsih 2007). Antioksidan eksogen merupakan antioksidan yang diperoleh dari luar tubuh. Antioksidan eksogen kerap kali diperoleh dari makanan sehari-hari, terutama sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin (vitamin A, C, dan E) serta mineral (seperti Zn dan Se) (Kumalaningsih 2007). Berdasarkan fungsinya, antioksidan dikelompokkan menjadi antioksidan primer, antioksidan sekunder, antioksidan tersier, oxygen scavenger, dan chelator. Antioksidan primer adalah antioksidan yang berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru, karena memiliki kemampuan untuk menonaktifkan radikal bebas sebelumnya. Contoh antioksidan primer adalah enzim SOD, enzim tersebut dapat melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Kinerja enzim SOD dipengaruhi oleh beberapa mineral, seperti Zn, Mn, Cu, dan Se (Kumalaningsih 2007). Antioksidan sekunder adalah senyawa antioksidan yang mampu memotong reaksi berantai (propagasi) yang ditimbulkan oleh radikal bebas. Sehingga dapat mencegah 7 terjadinya kerusakan yang lebih besar. Contoh antioksidan sekunder adalah betakaroten, vitamin C, dan vitamin E. Sedangkan antioksidan tersier merupakan antioksidan yang mampu memperbaiki kerusakan sel atau jaringan akibat oksidasi radikal bebas. Metionin sulfoksidan merupakan contoh antioksidan tersier yang mampu memperbaiki kerusakan DNA akibat oksidasi radikal bebas. Oxygen scavenger adalah antioksidan yang mampu mengikat radikal oksigen, sehingga tidak mendukung terjadinya reaksi oksidasi. Asam askorbat (vitamin C) merupakan contoh dari oxygen scavenger. Sedangkan chelator berfungsi mengikat kofaktor logam yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi, misalnya asam sitrat dan asam amino (Percival 1998). Berdasarkan sumbernya, antioksidan dikelompokkan menjadi antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami dalam makanan, dapat berasal dari satu atau beberapa komponen makanan. Senyawa antioksidan tersebut dapat berupa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan sebagai bahan tambahan pangan, maupun antioksidan yang terbentuk selama proses pengolahan (Pratt 1992 diacu dalam Amelia 2006). Antioksidan alami umumnya memiliki gugus hidroksil dalam struktur molekulnya (Sunarni 2005, diacu dalam Kuncahyono & Sunardi 2007). Menurut Pratt dan Hudson (1990) diacu dalam Amelia (2006), senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami, berasal dari bagian tumbuhan seperti kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, rimpang, dan serbuk sari. Selain antioksidan alami, terdapat juga antioksidan sintetik. Jenis-jenis antioksidan sintetik yang sering dijumpai, diantaranya α tokoferol, butylatedhydroxytoluene (BHT), butylatedhydroxyanysole (BHA), propylgalate (PG), tert-butyl hydroxyquinone (TBHQ), dan noredihidroquairetic acid (NDGA). Senyawa BHT dan BHA adalah antioksidan yang paling banyak digunakan sebagai bahan tambahan pangan (Buck 1991 diacu dalam Amelia 2006). Namun, antioksidan tersebut bersifat karsinogen terhadap sistem reproduksi, menyebabkan pembengkakan organ hati, mempengaruhi aktivitas enzim dalam hati, bahkan dalam jangka waktu lama tidak terjamin keamanannya. Berdasarkan uji toksisitas akut dan kronik pada hewan coba, pemakaian zat antioksidan maksimal yang diperbolehkan dalam campuran makanan adalah sebesar 200 ppm (Hernani & Rahardjo 2005). Antioksidan memiliki fungsi utama untuk memutus reaksi berantai radikal bebas. Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan mampu menyebabkan kerusakan oksidatif pada asam nukleat, protein, dan lipid yang mampu meng-inisiasi terjadinya penyakit degeneratif. Senyawa antioksidan seperti fenol, polifenol, dan flavonoid dapat menghambat mekanisme oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas seperti superoksida, hidroksiperoksida, atau lipid peroksida (Shahidi 1997 diacu dalam Nurcholis 2008). Secara umum antioksidan bereaksi dengan menghambat oksidasi lipid atau autooksidasi melalui beberapa tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi. Uji Antioksidan 2,2 diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH) Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, diantaranya adalah metode Ferric thiocyanate (FTC), asam tiobarbiturat (TBA), Cupric Ion Reducing Antioxidant (CUPRAC), Ferric Reducing Ability of Plasma (FRAP), 2,2 diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH), dan sebagainya. Pemilihan metode DPPH untuk penentuan aktivitas antioksidan, didasarkan pada beberapa keunggulannya, diantaranya mudah, sederhana, cepat, reprodusibel, baik untuk sampel dengan polaritas tertentu, sensitif, dan hanya membutuhkan sedikit sampel (Koleva et al. 2002). Reagen DPPH ditemukan pertama kali oleh Goldschmidt dan Renn pada tahun 1922. DPPH merupakan seyawa radikal bebas berwarna ungu, dan pada awalnya digunakan sebagai reagen kolorimetri. Selain itu, reagen DPPH juga berfungsi untuk investigasi reaksi inhibisi polimerisasi, uji antioksidan (amina, fenol, dan vitamin), serta inhibisi reaksi homolitik (Ionita 2003). Karakter dari DPPH diantaranya, DPPH merupakan senyawa hidrofobik (tidak larut air). Namun, dapat berubah menjadi hidrofilik dengan melekatkan gugus CO maupun SO2 pada DPPH. Menurut Ionita (2003), DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, pada kondisi penyimpanan yang baik (kering). Prinsip metode uji antioksidan DPPH didasarkan pada reaksi penangkapan atom hidrogen oleh DPPH (reduksi DPPH) dari senyawa antioksidan. Reagen DPPH berperan sebagai radikal bebas yang diredam oleh senyawa antioksidan yang terkandung dalam sampel. Selanjutnya DPPH akan tereduksi 8 menjadi senyawa diphenyl picryl hidrazine (DPPH-H). Reduksi DPPH menjadi DPPH-H menyebabkan perubahan warna pada reagen DPPH (Gambar 5), dari ungu menjadi kuning (Lupea et al. 2006). Metode DPPH dapat memberikan informasi mengenai reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal bebas yang stabil. Penangkapan radikal bebas DPPH oleh antioksidan menyebabkan elektron menjadi berpasangan, serta terjadi perubahan warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil oleh radikal bebas. Reagen DPPH hanya dapat mengukur senyawa antioksidan yang terlarut dalam pelarut organik, khususnya golongan alkohol. Secara luas, reagen DPPH digunakan untuk mengukur dan membandingkan aktivitas antioksidan senyawa turunan fenolik dan mengevaluasi aktivitas antioksidan melalui perubahan serapan yang terjadi. Pengujian aktivitas antioksidan DPPH harus dilakukan secara cepat dan hati-hati, karena reagen DPPH dapat dengan mudah didegradasi oleh cahaya, oksigen, Point of Hydrogen (pH), dan jenis pelarut. Metode DPPH secara umum, digunakan untuk screening berbagai sampel dalam penentuan aktivitas antioksidan. Pengukuran serapan DPPH berkisar pada panjang gelombang 515-520 nm. Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel padatan maupun larutan, dan tidak spesifik untuk komponen antioksidan partikular, tetapi dapat digunakan untuk pengukuran kapasitas antioksidan secara keseluruhan pada suatu sampel (Molyneux 2004). Gambar 5 Struktur kimia DPPH. Uji Potensi Hayati Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Analisis Probit Uji potensi hayati dapat dilakukan dengan menggunakan metode BSLT. Metode ini sering digunakan untuk menentukan nilai sitotoksisitas dari suatu bahan alam. Melalui uji BSLT dapat diketahui nilai Lethal Concentration (LC50) senyawa bioaktif pada sampel terhadap larva udang. Nilai LC50 adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan 50% dari populasi larva udang total (Frank 1995). Nilai LC50 dari suatu populasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: umur, suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur (Finney 1971). Selain dengan metode BSLT, uji potensi hayati dapat ditentukan dengan menggunakan inhibisi sel tumor pada kentang, inhibisi pertumbuhan daun Lemna minor L, dan toksisitas terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti (Mc Laughlin & Rogers 1998). Salah satu metode analisis statistika yang digunakan untuk menghitung nilai LC50 adalah dengan menggunakan analisis probit. Analisis tersebut diperkenalkan oleh Finney pada tahun 1971. Metode regresi linier digunakan untuk mendapatkan grafik garis lurus apabila probit kematian ditransformasikan terhadap konsentrasi. Konsentrasi yang dapat mengakibatkan 50% kematian populasi hewan diperoleh dengan menarik garis dari 50% probit kematian (Finney 1971). Meyer et al (1982) telah mengembangkan metode ini untuk menemukan senyawa bioaktif baru pada tumbuhan tingkat tinggi. Metode ini telah banyak digunakan untuk uji potensi hayati dalam analisis residu pestisida, anestetik, dan zat pencemaran air. Metode ini sering digunakan untuk mendeteksi senyawa bioaktif yang memiliki efek farmakologis. Data yang diperoleh dari hasil pengujian dengan menggunakan larva udang, kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS untuk menentukan nilai LC50 dan LC90 (Finney 1971). Data yang diperoleh dapat dianalisis apabila mortalitas pada kontrol ≤ 20% (Abott 1925 diacu dalam Setiarto 2009). Uji beda nyata antar nilai LC50 atau LC90 ditentukan dengan nilai selang kepercayaan 95%. Senyawa dengan nilai LC50 < 1000 ppm dikatakan memiliki potensi bioaktivitas hayati (Mc Laughlin et al 1991). Metode uji potensi hayati BSLT memiliki beberapa keunggulan, diantaranya: waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah, sederhana, tidak memerlukan teknik aseptis, tidak memerlukan peralatan khusus, dan hanya membutuhkan sedikit sampel uji (Meyer et al 1982). Larva udang Artemia salina Leach Artemia merupakan kelompok udangudangan (Crustaceae) dari filum Arthropoda, kingdom animalia. Artemia hidup di lingkungan danau berair asin. Udang tersebut 9 toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari kondisi perairan tawar hingga kondisi garam jenuh. Kadar garam perairan sangat berpengaruh pada proses penetasan udang, kadar garam < 6% menyebabkan telur udang tenggelam dan tidak bisa menetas. Jika kadar garam > 25%, telur akan berada pada kondisi tersuspensi, sehingga telur udang dapat menetas dengan normal (Purwakusumah 2007). Siklus hidup Artemia dimulai dari saat penetasan telur atau embrio. Setelah 15-20 jam, pada suhu 25 0C kista akan menetas menjadi embrio. Selama kisaran waktu 20-24 jam, embrio tersebut akan berubah menjadi naupli (larva udang) yang dapat berenang bebas. Siklus hidup Artemia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pH, cahaya, suhu, kadar garam, dan aerasi O2. Selang pH terbaik untuk siklus hidup Artemia adalah sebesar 8-9, pH di bawah 5 atau di atas 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya sangat diperlukan untuk proses penetasan dan pertumbuhan mereka. Selain itu, kadar oksigen harus tetap dijaga dengan baik untuk mendukung pertumbuhan Artemia. Saat faktor-faktor tersebut dapat diperoleh dengan optimal, Artemia akan tumbuh dan beranak-pinak dengan cepat. Apabila kadar oksigen dalam air rendah, air mengandung polutan organik, atau salinitas perairan meningkat, Artemia akan memakan bakteri, plankton, dan sel khamir. Pada kondisi tersebut, Artemia akan memproduksi hemoglobin sehingga tampak berwarna jingga kemerahan (Purwakusumah 2007). Selama proses inkubasi selama 24 jam, larva udang membutuhkan proses aerasi dengan menggunakan aerator (Lampiran 14). Aerasi merupakan proses terjadinya kontak antara air dan udara, sehingga terjadi perpindahan seyawa yang bersifat volatile. Proses aerasi dapat meningkatkan jumlah O2 di dalam air, menghilangkan CO2, H2S, dan menghilangkan rasa serta bau yang disebabkan oleh zat-zat organik. Aerasi juga dapat meningkatkan pH dan menurunkan suhu termal air laut (Setiarto 2009). Proses aerasi dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah dengan memompakan udara atau oksigen ke dalam air, sehingga dihasilkan gelembung udara yang berkontak langsung dengan air. Cara yang kedua adalah dengan menekan air ke atas untuk berkontak langsung dengan udara, proses tersebut dilakukan dengan bantuan pemutaran baling-baling pada permukaan air (Moss 1990). Pertimbangan pemilihan larva udang sebagai hewan uji didasarkan karena telur Artemia memiliki daya tahan yang lama (dapat tetap hidup dalam kondisi kering, selama beberapa tahun). Disamping itu, telur Artemia lebih cepat dan mudah menetas dalam waktu 48 jam, sehingga dapat dihasilkan naupli dalam jumlah besar yang siap untuk diuji (Carballo et al. 2002). Selain itu, larva udang memiliki kemampuan untuk mengatasi perubahan tekanan osmotik dan regulasi ionik yang tinggi (Croghan 1957). Alasan lain yang menyebabkan dipilihnya larva udang (naupli) sebagai hewan uji adalah, karena larva udang memiliki membran kulit yang tipis, sehingga kematian suatu larva akibat efek sitotoksik dari senyawa bioaktif dapat dianalogikan dengan kematian sebuah sel dalam organisme (Fenton 2002; Gad 2007). Disamping itu, larva udang juga memiliki toleransi yang tinggi terhadap selang salinitas yang luas, mulai dari air tawar hingga air yang bersifat jenuh garam (Dyah 1991). Prinsip penetasan telur udang dilakukan di dalam media air laut buatan selama 24 jam. Larva udang yang dihasilkan akan berenang bebas di dalam media air laut buatan. Air laut buatan terdiri atas klorin, sulfat, natrium, kalium, magnesium, dan kalsium (Priyotomo 2007). Selanjutnya sebanyak 10 ekor naupli dimasukkan ke dalam masing-masing sumur pada plate uji. Kemudian ditambahkan setetes Tween 80 dan ekstrak dari masing-masing formula dengan konsentrasi 10, 100, 500, dan 1000 ppm pada masing-masing sumur (Gambar 9). Tujuan penambahan Tween 80 pada uji potensi hayati BSLT adalah untuk membantu melarutkan ekstrak hasil maserasi yang berbentuk pasta (Sanubari 2010). Persen kematian Artemia salina dapat dihitung setelah periode inkubasi selama 24 jam, akibat pemberian sejumlah larutan uji pada media hidupnya. Kematian tersebut disebabkan, karena larva udang mengalami keracunan (toxicity) akibat keberadaan senyawa bioaktif yang masuk ke dalam tubuhnya. Selain itu, sistem pertahanan tubuh (imunitas) yang dibentuk larva udang masih belum mampu untuk menghambat dan menoleransi senyawa bioaktif yang terdapat pada media hidupnya. Kematian larva udang dinyatakan berdasarkan hasil pengamatan menggunakan kaca pembesar dan ditunjukkan dengan tidak adanya motilitas (pergerakan) dari larva udang. Selanjutnya dapat dihitung