aktivitas antioksidan dan potensi hayati dari

advertisement
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara tropis yang
dikenal dengan julukan the second mega
biodiversity, memiliki berbagai jenis tanaman
yang diketahui secara empirik berpotensi
sebagai obat fitofarmaka. Beberapa jenis
diantaranya adalah temulawak, meniran,
sambiloto, dan temu ireng. Karakteristik
tanaman sebagai obat fitofarmaka didasarkan
pada potensi tanaman tersebut sebagai
antimikroba,
antioksidan,
antifungi,
hepatoprotektor, antiinflamasi, dan sebagainya
(Nuratmi et al. 1996). Penelitian ini
merupakan bagian dari penelitian uji tanggap
penanggulangan Avian influenza melalui
formulasi herbal. Herbal yang digunakan
diantaranya temulawak, meniran, sambiloto,
dan temu ireng.
Dasar pemilihan herbal temulawak dan
temu ireng dilatarbelakangi oleh potensi
faramakologis dari rimpang temulawak dan
temu ireng sebagai antibakteri, antifungi,
maupun antivirus. Kandungan xanthorrizol
dalam temulawak, mampu membunuh
Candida albicans pada dosis 5 mg/L dan
Candida parasilopsis pada konsentrasi 7.5
mg/L pada waktu inkubasi 48 jam (Rukayadi
et.al 2006). Selain itu, ekstrak etil asetat dan
ekstrak metanol dari temu ireng, diketahui
berpotensi
menghambat
pertumbuhan
Pseudomonas aeruginosa, Staphyllococus
aureus, dan Bacillus subtilis pada konsentrasi
500 mg/mL sebesar 7.5 mm (Philip et.al
2009). Potensi farmakologis dari rimpang
temulawak dan temu ireng akan di uji dengan
menggunakan uji potensi hayati Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT).
Pemilihan herbal meniran dan sambiloto
didasarkan pada potensi keduanya sebagai
imunomodulator. Imunomodulator adalah zat
yang dapat meningkatkan sistem kekebalan
tubuh akibat gangguan radikal bebas,
serangan bateri ataupun virus, serta mampu
membantu mencegah terjadinya influenza
(Suhirman & Winarti 2010). Ekstrak daun
meniran dan sambiloto diketahui berpotensi
meningkatkan nilai indeks fagositosis pada
mencit albino, masing-masing sebesar
0.0171±0.0010 dan 0.0190±0.0009, serta
mampu meningkatkan jumlah leukosit sebesar
9.1±0.1 juta/mm3 untuk meniran dan 10.4±0.4
juta/mm3 untuk sambiloto (Choudari et.al
2010). Potensi daun meniran dan sambiloto
sebagai imunomodulator akan di uji
berdasarkan aktivitas antioksidan dari
keduanya (pertahanan terhadap serangan
radikal bebas).
Radikal bebas sebagai pengganggu sistem
kekebalan tubuh, merupakan pemicu beberapa
penyakit degeneratif seperti kanker, katarak,
aterosklerosis, diabetes melitus, penyakit
jantung
koroner,
dan
gangguan
imunodefisiensi. Data WHO (World Health
Organization) tahun 2005 menunjukkan
bahwa, penyakit degeneratif
telah
menyebabkan kematian hampir 17 juta orang
di seluruh dunia. Hal ini menempatkan
penyakit degeneratif sebagai penyakit
pembunuh manusia terbesar di dunia. Data
WHO menyatakan sekitar satu milyar orang
diseluruh dunia, saat ini menderita resiko
penyakit degeneratif dan diperkirakan akan
naik menjadi 1.5 milyar pada tahun 2015
(Komnas Lansia 2010).
Solusi dari masalah yang ditimbulkan
radikal bebas adalah dengan menggunakan
antioksidan. Antioksidan memiliki potensi
untuk menetralisir radikal bebas dan memutus
reaksi berantai radikal bebas, sehingga dapat
meminimalisir resiko yang ditimbulkan oleh
oksidasi radikal bebas.
Perlakuan kombinasi (formulasi) ekstrak
dari keempat jenis tanaman obat Indonesia
tersebut, diharapkan mampu meningkatkan
potensi bioaktivitas antioksidan dan efek
farmakologis dari masing-masing ekstrak
tunggal tanaman tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan hasil kombinasi
antara rimpang temulawak, daun meniran,
daun sambiloto, dan rimpang temu ireng yang
memiliki nilai Inhibition Concentration (IC50)
dan Lethal Concentration (LC50) terbaik (hasil
kombinasi dengan nilai IC50 dan LC50 yang
rendah).
Hipotesis penelitian ini adalah melalui
perlakuan kombinasi keempat jenis ekstrak
tersebut, diharapkan berpengaruh terhadap
potensi bioaktivitas yang dihasilkan. Potensi
bioaktivitas dilihat berdasarkan hasil uji
antioksidan dan uji potensi hayati pada
sejumlah kombinasi sampel yang dilakukan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi ilmiah mengenai kombinasi yang
memiliki hubungan terbaik antara potensi
antioksidan dan potensi hayati yang
dihasilkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
merupakan tanaman obat berupa rumpun
berbatang semu. Di Indonesia, temulawak
dikenal dengan berbagai nama daerah,
misalnya koneng gede (Jawa Barat),
2
temulawak (Sumatera dan Jawa Timur), dan
temo
lobak
(Madura).
Berdasarkan
taksonominya, temulawak termasuk ke dalam
kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub
divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae,
ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae,
genus Curcuma, dan spesies Curcuma
xanthorriza Roxb (Supriadi 2008).
Tanaman ini sering kali ditemukan dalam
semak-semak hutan jati, tetapi ada juga yang
ditanam atau dibudidayakan, khususnya di
daerah pulau Jawa. Temulawak tumbuh liar di
hutan-hutan beberapa pulau di Indonesia,
antara lain Jawa, Maluku, dan Kalimantan
(Supriadi 2008).
Temulawak merupakan tanaman terna
berbatang semu berwarna hijau atau coklat
gelap, dengan ketinggian mencapai 1 m
hingga 2 m. Akar rimpang terbentuk dengan
sempurna dan bercabang kuat, serta berwarna
hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2-9
helai, dengan bentuk bundar memanjang
sampai bangun lanset. Daun temulawak
berwarna hijau atau coklat keunguan terang
sampai gelap, panjang daun berukuran 31-84
cm dan lebar daun 10-18 cm, panjang tangkai
daun (termasuk helaian daun) mencapai 43-80
cm. Pembungaan tanaman temulawak,
termasuk pembungaan lateral, tangkai
ramping dan sisik berbentuk garis. Panjang
tangkai bunga berukuran 9-23 cm dan
lebarnya 4-6 cm, berdaun pelindung banyak
yang panjangnya melebihi atau sebanding
dengan mahkota bunga. Kelopak bunga
berwarna putih berbulu, dengan panjang
antara 8-13 mm. Mahkota bunga berbentuk
tabung, dengan panjang keseluruhan 4.5 cm,
helaian bunga berbentuk bundar memanjang,
berwarna putih dan ujung helaian berwarna
merah dadu atau merah, dengan panjang 1.252 cm dan lebar sebesar 1cm (Priamboro 2001
dalam Afifah 2003).
Rimpang temulawak berukuran paling
besar, bila dibandingkan rimpang tanaman
marga curcuma lainnya. Rimpang temulawak,
dapat dipanen setelah memasuki usia 8-12
bulan. Tanaman yang siap dipanen memiliki
daun dan bagian tanaman yang telah
menguning dan mengering, serta memiliki
rimpang besar berwarna kuning kecoklatan
(Liza 2010).
Rimpang induk temulawak berbentuk
bulat dan berukuran lebih besar dibandingkan
rimpang cabang. Rimpang cabang temulawak
memiliki bentuk memanjang dan terletak pada
bagian samping rimpang induk. Warna
rimpang cabang umumnya lebih muda
daripada rimpang induk. Kulit rimpang
berwarna kuning kecoklatan, sedangkan
warna daging rimpang adalah jingga tua.
Rimpang terbentuk dalam tanah pada
kedalaman ± 16 cm. Setiap rumpun
temulawak, umumnya memiliki enam buah
rimpang tua dan lima buah rimpang muda
(Afifah 2003).
Temulawak merupakan salah satu tanaman
dengan daya adaptasi yang tinggi terhadap
beberapa cuaca di daerah tropis. Syarat
pertumbuhan temulawak dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya iklim, media
tanam, dan ketinggian tempat. Secara alami
temulawak tumbuh dengan baik di lahan
teduh dan terlindung dari terik sinar matahari.
Di habitat alami, rumpun tanaman ini tumbuh
subur di bawah naungan pohon bambu atau
jati. Namun, temulawak juga dapat dengan
mudah ditemukan di tempat terik, seperti
ladang (tegalan). Suhu udara yang baik untuk
budidaya tanaman ini, berkisar antara 19-30
0
C. Tanaman ini memerlukan curah hujan
tahunan antara 1.000-4.000 mm/tahun (Afifah
2003).
Perakaran temulawak, beradaptasi dengan
baik pada berbagai jenis tanah (media tanam),
baik tanah berkapur, berpasir, maupun tanah
liat. Namun, untuk memproduksi rimpang
yang optimal diperlukan tanah yang subur,
gembur, dan berdrainase baik. Oleh karena
itu, dibutuhkan pemupukan organik dan
anorganik untuk memberi unsur hara yang
cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap
gembur. Tanah dengan kandungan bahan
organic yang tinggi, diperlukan untuk
menjaga agar tanah tidak mudah tergenang air
(Afifah 2003).
Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian
5-1.000 m/dpl (di atas permukaan laut)
dengan ketinggian tempat optimum 750
m/dpl. Kandungan pati tertinggi di dalam
rimpang, diperoleh pada ketinggian tanam 240
m/dpl. Temulawak yang ditanam di dataran
tinggi menghasilkan kadar minyak atsiri yang
kecil pada rimpangnya. Tanaman ini lebih
cocok dibudidayakan di dataran sedang
dibandingkan dataran tinggi maupun rendah
(Afifah 2003).
Rimpang temulawak sering dimanfaatkan
untuk pengobatan alternatif. Rimpang
temulawak, mengandung 48-59.64% zat
tepung, 1.6-2.2% kurkumin, dan 1.48-1.63%
minyak atsiri, serta dipercaya dapat
meningkatkan kinerja ginjal dan antiinflamasi. Manfaat lain temulawak secara
medis, diantaranya sebagai hepatoprotektor,
antikanker,
antidiabetes,
antimikroba,
antilipidemia, antijamur, obat jerawat,
3
penambah nafsu makan, dan antioksidan
(Nurcholis 2008).
Menurut Sugiharto (2004), rimpang
temulawak (Gambar 1) mengandung senyawa
metabolit
aktif,
seperti
kurkumin,
xanthorrizol, minyak atsiri, zat pati, flavonoid,
kamfer, turmerol, phellandrene, myrcene,
isofuranogermacen,
p-tolymetilkarbitol,
kation Fe, Ca, Na, dan K. Sedangkan menurut
Hwang et.al (2000), kandungan pati dalam
temulawak dapat berkhasiat sebagai senyawa
imunomodulator.
Kurkuminoid dan xanthorrizol memiliki
potensi sebagai zat antioksidan dan
hepatoprotektor. Antioksidan secara alami
terdapat dalam tubuh sebagai sistem
perlindungan
terhadap
radikal
bebas.
Kurkuminoid, secara kuat dapat menghambat
aktivitas enzim sitokrom P450 di hati. Enzim
ini merupakan isoenzim yang berperan dalam
bioaktivasi beberapa toksin, termasuk
benzopirena (Irawati 2008).
Kurkumin
juga
dapat
mencegah
pembentukan ikatan kovalen antara sitokrom
P450 dengan DNA, serta mampu memodulasi
fungsi sitokrom P450 untuk menghambat
karsinogenesis oleh senyawa kimia. Selain itu,
kurkuminoid
juga
mampu
menjadi
hepatoprotektor terhadap toksisitas alkohol,
dan mampu untuk menghambat proses
replikasi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) (Liza 2010). Berdasarkan hasil
penelitian Liza (2010), kurkuminoid mampu
menghambat fusion sel virus, pada siklus
replikasi HIV.
Gambar 1 Rimpang temulawak.
Meniran (Phyllanthus niruri L.)
Meniran merupakan tumbuhan terna
musiman, dengan ketinggian mencapai 1 m.
Batang pohon meniran, berbentuk bulat, liat,
masif, tidak berbulu, bercabang, licin,
berwarna hijau keunguan, dan memiliki
diameter ± 3 mm. Daun meniran tersusun
majemuk dengan warna hijau, dan berbentuk
bulat telur. Karakteristik daun meniran
lainnya yaitu memiliki 15-24 helai anak daun,
bagian tepi daun rata, pangkal daun
membulat, berujung tumpul, dan pada bagian
bawah tulang daun sering dijumpai butiran
kecil menggantung. Bunga pohon meniran
bersifat tunggal, dengan kelopak daun
berbentuk bintang, dan mahkota berwarna
putih. Buah meniran berbentuk bulat,
berwarna hijau keunguan. Bijinya berukuran
kecil, keras, berbentuk ginjal, dan berwarna
coklat tua (Widayati 2008).
Tanaman ini juga dikenal dengan nama
dukung anak (Malaka), meniran ijo atau
meniran (Jawa, Sunda), dan gossau ma dugi
(Ternate). Di India tanaman ini dijuluki
dengan nama chanca-piedra, sementara di
Amerika Selatan disebut sebagai stone
breaker. Berdasarkan taksonominya, meniran
termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospermae,
kelas Dycotyledonae, ordo Euphorbiales,
famili Euphorbiaceae, genus Phyllanthus, dan
spesies Phyllanthus niruri Linn.
Daun meniran mengandung senyawa
kimia turunan flavonoid, antara lain kuersetin,
kuersetrin, isokuersetrin, astragalin, rutin
kamferol-4-ramnopiranosida,
eridiositol-7ramnopiranosida, fisetin-4-O-glikosida, dan
irurin. Bagian akar meniran, mengandung
senyawa kimia 3,5,7-trihidroksiflavon-4-O-αramnosida yang merupakan suatu senyawa
glikosida flavonoid dengan kamferol sebagai
aglikon, dan ramnosida sebagai glikon. Selain
itu, terdapat juga senyawa turunan lignin
seperti, norsekurinin, sekurinin, alosekurinin,
ignan, nirfilin, isolintetrain, hipofilantin,
nirtetralin, nirantin, filantin, hinikinin,
ligtetralin, filantostatin, trans-fitol, dan
senyawa alkaloid etnosekurinin (Widayati
2008).
Akar
tumbuhan
meniran,
sering
digunakan untuk pengobatan peradangan,
infeksi
saluran
kencing,
diuretikum,
penyembuhan diare, busung air, infeksi
saluran pencernaan, dan gangguan fungsi hati.
Buah meniran berasa pahit, dan banyak
digunakan untuk obat luka dan scabies. Akar
segar meniran, dapat juga digunakan untuk
pengobatan penyakit kuning, penambah nafsu
makan, dan obat antidemam.
Meniran banyak disalahgunakan sebagai
obat penggugur kandungan, dan pemakaian
berlebih dari herba Phyllanthi tersebut, dapat
menyebabkan impoten. Widayanti (2008),
menjelaskan senyawa turunan flavonoid yang
terkandung
dalam
meniran,
dapat
menghambat kinerja enzim xantin oksidase,
sehingga
dapat
dimanfaatkan
dalam
pengobatan batu ginjal dan asam urat.
Senyawa turunan flavonoid dalam tanaman
4
meniran dilaporkan memiliki potensi sebagai
imunomodulator,
sehingga
mampu
meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan
mampu menangkal serangan virus, bakteri,
atau mikrob lainnya (Suhirman dan Winarti
2010).
Thyagarajan et al. (1988), telah berhasil
mengisolasi tiga senyawa aktif dari genus
Phyllanthus amarus, yang memiliki aktivitas
inhibisi terhadap perkembangbiakan virus
hepatitis B, meningkatkan sistem imun, dan
melindungi sel hati. Selain itu, menurut Maat
dalam Tjandrawinata et al. (2005),
melaporkan bahwa ekstrak P.niruri dapat
meningkatkan aktivitas dan fungsi komponen
sistem imun, baik humoral maupun selular.
Tjandrawinata et al (2005), telah
melakukan uji pra-klinis untuk menguji
aktivitas ekstrak daun meniran (Gambar 2).
Uji pra-klinis dilakukan terhadap tikus dan
mencit, untuk menentukan keamanan dan
karakteristik imunomodulasi dari ekstrak daun
meniran. Hasil penelitian menunjukkan,
bahwa ekstrak P.niruri dapat memodulasi
sistem imun melalui proliferasi dan aktivasi
limfosit T & B, sekresi sitokin spesifik (gama
interferon, interleukin, tumor nekrosis, dan
faktor alfa), aktivasi sistem komplemen, dan
aktivasi sel fagosit (makrofag dan monosit).
Selain itu, juga terjadi peningkatan sel
sitotoksik, seperti Natural Killer cell (NK sel).
Gambar 2 Daun meniran.
Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)
Sambiloto merupakan tanaman liar yang
banyak tersebar di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia. Tinggi tanaman dapat mencapai 1
m, dengan batang berbentuk persegi empat.
Sambiloto memiliki daun tunggal, terletak
berhadapan, tangkai daun pendek, berbentuk
lanset, berukuran 12 x 13 cm, bertepi rata, dan
permukaan atas berwarna hijau tua. Sambiloto
memiliki bunga majemuk, berbentuk malai,
berukuran kecil, berwarna putih, terdapat di
bagian ketiak dan ujung tangkai. Buah kecil
memanjang, berukuran ± 0.30-0.40 cm x 1.501.90 cm, berlekuk, memiliki dua rongga,
berwarna hijau, biji kecil, gepeng, dan
berwarna hitam (Aji 2009). Berdasarkan
taksonominya, sambiloto termasuk ke dalam
kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub
divisi Angiospermae, kelas Dycotyledonae,
ordo Solanales, famili Achantaceae, genus
Andrographis,
spesies
Andrographis
paniculata Ness.
Sambiloto (Gambar 3) juga dikenal
dengan nama yang berbeda pada tiap daerah,
yaitu sambilata (Sumatra), Ki Oray (Sunda),
sambiloto (Jawa), papaitan (Maluku), dan
ampadu
tanah
(Minang).
Sambiloto
mengandung metabolit sekunder turunan
lakton, yang terdiri dari andrografolid,
deoksiandrografolid,
saponin,
tannin,
flavonoid, homoanografolid, 14-deoksi-11,12didehidroandrografolid (Syamsuhidayat &
Hutapea 1994 diacu dalam Aji 2009).
Komponen aktif dari sambiloto yang diisolasi
dari ekstrak metanol mempunyai efek
imunomodulator dan dapat menghambat
induksi sel penyebab HIV. Komponenkomponen tersebut, dapat meningkatkan
proliferasi dan induksi IL-2 limfosit perifer
darah manusia (Kumar et al. 2005 diacu
dalam Elfahmi 2006).
Hasil penelitian Cahyaningsih et al.
(2003),
menunjukkan
bahwa
melalui
pemberian sambiloto pada dosis bertingkat
dengan koksidiostat (preparat sulfa) akan
meningkatkan
heterofil
darah
ayam.
Penambahan dosis sambiloto akan menaikkan
heterofil darah ayam, kenaikan tersebut
diduga berkaitan erat dengan fungsi ganda
sambiloto sebagai imunosupresan dan
imunostimulan (Deng 1978; Puri et al. 1993).
Heterofil merupakan salah satu komponen
sistem imun, yaitu sebagai penghancur sel
asing yang masuk ke dalam tubuh (Tyzard
1987).
Sambiloto, juga dapat digunakan sebagai
obat demam, gatal-gatal pada kulit,
peradangan, gigitan ular berbisa, kencing
manis, disentri, masuk angin, malaria, tifus,
penambah nafsu makan, antioksidan, dan obat
keracunan makanan (Aji 2009).
Mekanisme kerja dari herba sambiloto
sebagai imunosupresan sangat terkait dengan
keberadaan dari kelenjar adrenal (Yin dan
Guo 1993). Hal ini dikarenakan, sambiloto
dapat
merangsang
pelepasan
hormon
adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar
ptutiari anterior, yang berada di dalam otak.
Selanjutnya, kelenjar adrenal bagian korteks
akan terangsang untuk memproduksi kortisol.
Kortisol yang dihasilkan ini, kemudian akan
bertindak sebagai imunosupresan (West
1995).
Efek
imunosupresan
akan
5
mengakibatkan timbulnya penurunan respon
imun.
Menurut Puri et al. (1993) sambiloto
dapat merangsang sistem imun tubuh, baik
berupa respon antigen spesifik, maupun
respon imun non spesifik yang kemudian akan
menghasilkan sel fagosit. Respon antigen
spesifik yang dihasilkan akan menyebabkan
diproduksinya limfosit dalam jumlah besar,
terutama limfosit B. Limfosit B akan
menghasilkan antibodi yang merupakan
plasma glikoprotein dan akan mengikat
antigen, serta merangsang proses fagositosis
(Decker 2000).
famili Zingiberaceae, genus Curcuma, spesies
Curcuma aeruginosa Roxb.
Rimpang
temu
ireng
(Curcuma
aeruginosa) merupakan salah satu tanaman
obat tradisional yang dimanfaatkan sebagai
obat cacing (antihelmintik), penambah nafsu
makan, peluruh dahak, dan obat demam
berdarah (Gambar 4). (Planthus 2008).
Subekti (1990), menyatakan salah satu bahan
alam yang sering digunakan adalah rimpang
temulawak (Curcuma xanthorriza) dan temu
ireng (Curcuma aeruginosa). Kedua bahan
tersebut berasal dari tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai bahan antihelmintik. Selain
itu, temu ireng juga dapat dimanfaatkan secara
empiris untuk mengobati kerusakan sel hati.
Rimpang temu ireng mengandung senyawa
kimia berupa turunan kurkuminoid, saponin,
flavonoid, minyak atsiri, dan polifenol
(Damayanti 2009).
Gambar 3 Daun sambiloto.
Gambar 4 Rimpang temu ireng.
Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb)
Temu ireng merupakan tanaman semak,
dengan ketinggian berkisar ± 1.5 m. Temu
ireng memiliki batang semu, yang terdiri dari
pelepah daun dan rimpang. Temu ireng
memiliki daun tunggal, berbentuk bulat telur,
berujung runcing, bagian tepi rata, bagian
pangkal tumpul, permukaannya licin, tulang
daun menyirip, dan terdapat garis-garis coklat
membujur. Temu ireng memiliki bunga
majemuk, berambut, memiliki tangkai
berukuran 20-35 cm, panjang mahkota ± 2.5
cm, lebar 1.5 cm, berwarna kuning, kelopak
berbentuk silindris, bercangap tiga, dan
pangkal bunga berwarna putih. Temu ireng
memiliki bentuk perakaran serabut, dan
berwarna coklat muda.
Temu ireng, dikenal dengan nama berbeda
pada tiap daerah, diantaranya temu itam
(Melayu), temu hitam (Minangkabau), koneng
hideung (Sunda), temu ireng (Jawa), temo
ireng (Madura), dan temu lotong (Bugis).
Berdasarkan taksonominya, temu ireng
termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospermae,
kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales,
Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu molekul atau
atom yang memiliki satu atau lebih elektron
yang tidak berpasangan pada orbital
terluarnya dan dapat menyebabkan kerusakan
pada biomolekul (Halliwel dan Gutteridge
1989). Hal tersebut menyebabkan radikal
bebas bersifat sangat reaktif dan mampu
mengambil elekron dari molekul lain, seperti
protein, DNA, dan peroksidasi lipid (Hafidz
2003). Radikal bebas dapat menyebabkan
kerusakan oksidatif pada jaringan biologis,
kerusakan tersebut dapat menyebabkan
penyakit kronis, seperti iskemia, katarak,
kanker, diabetes melitus, penuaan, dan
jantung koroner (Hiriguchi et al. 1995).
Radikal bebas terbentuk melalui dua cara,
yaitu secara endogen dan eksogen. Secara
endogen, radikal bebas dihasilkan melalui
reaksi biokimia di dalam tubuh, contohnya
oksidasi enzimatis, fagositosis, transport
elektron, dan oksidasi logam transisi melalui
ischemic. Secara eksogen, radikal bebas
dihasilkan dari lingkungan sekitar, seperti
polusi udara, bahan tambahan pangan, dan
6
radiasi ultraviolet (UV). Radikal eksogen
tersebut, selanjutnya akan masuk ke dalam
tubuh melalui pernafasan, pencernaan, dan
absorbsi kulit (Amelia 2006).
Radikal bebas diproduksi secara endogen
di dalam sel oleh mitokondria, membran
plasma, lisosom, peroksisom, retikulum
endoplasma, dan inti sel (Langseth 1995).
Radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh,
biasanya terdiri dari spesies oksigen reaktif
(ROS) dan spesies nitrogen reaktif (RNS).
Contoh turunan kedua spesies tersebut,
diantaranya radikal superoksida (O2.),
hidroksil (.OH), peroksil (ROO.), hidrogen
peroksida (H2O2), singlet oksigen (O.), nitrit
oksida (NO.), peroksi nitrit (NOO.), dan asam
hipoklorit (HOCl.) (Murray et al. 2003). Atom
atau molekul dengan elektron bebas ini, dapat
digunakan untuk menghasilkan tenaga dan
beberapa fungsi fisiologis seperti kemampuan
untuk membunuh virus dan bakteri.
Menurut Gordon (1991) diacu dalam
Marpaung
(2008),
mekanisme
reaksi
pembentukan radikal bebas terdiri atas tiga
tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi.
Tahap inisiasi, merupakan tahap awal
pembentukan radikal bebas. Tahap kedua
adalah propagasi, yaitu perubahan suatu
molekul radikal bebas menjadi radikal bentuk
lain (pembentukan radikal bebas baru). Tahap
yang terakhir adalah terminasi. Terminasi
adalah tahap dimana terjadi penggabungan
dua molekul radikal bebas dan membentuk
produk yang stabil. Mekanisme reaksi ketiga
tahapan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
Inisiasi:
RH + OH
R* + H2O
Propagasi:
R* + O2
ROO*
ROO* + RH
ROOH + R*
Terminasi:
ROO* + ROO*
ROOR + O2
ROO* + R*
ROOR
R* + R*
RR
Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa
yang
memiliki kemampuan untuk menetralisir
radikal bebas dengan cara menyumbangkan
elektronnya pada molekul radikal bebas.
Senyawa antioksidan dapat mencegah
kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal
bebas terhadap sel normal, protein, lemak, dan
DNA. Berdasarkan sumbernya, antioksidan
dikelompokkan ke dalam antioksidan endogen
dan antioksidan eksogen (Kumalaningsih
2007).
Antioksidan
endogen
merupakan
antioksidan enzimatis yang dihasilkan oleh
tubuh, melalui proses metabolisme sel.
Contoh antioksidan endogen, antara lain
superoksida dismutase (SOD), katalase
(CAT),
peroksidase,
dan
glutathione
peroksidase (GPX). Superoksida dismutase
merupakan antioksidan endogen yang dapat
mengkatalisis radikal superoksida (O2.)
menjadi hidrogen peroksida (H2O2), sehingga
SOD disebut sebagai scavenger atau
pembersih superoksida (O2.). Katalase sebagai
salah satu antioksidan endogen, merupakan
senyawa hemotetramer dengan besi (Fe)
sebagai kofaktornya. Katalase adalah suatu
hemoprotein yang mengandung empat gugus
heme, dan banyak ditemukan pada hewan
maupun tumbuhan. Katalase berfungsi untuk
mengkatalisis berbagai radikal peroksida
menjadi H2O dan O2 (Kumalaningsih 2007).
Peroksidase merupakan enzim turunan
hemeprotein yang terdapat pada organisme
prokariot dan eukariot. Sedangkan GPX
adalah salah satu jenis enzim peroksidase
yang memiliki gugus prostetik berupa logam
selenium (Se). Enzim GPX bekerja dengan
cara memecah H2O2 dan berbagai lipid
peroksida, dengan mereduksinya menjadi
H2O. Proses tersebut melibatkan reaksi redoks
dari
glutathione
tereduksi
(GSH)
(Kumalaningsih 2007).
Antioksidan
eksogen
merupakan
antioksidan yang diperoleh dari luar tubuh.
Antioksidan eksogen kerap kali diperoleh dari
makanan sehari-hari, terutama sayuran dan
buah-buahan yang banyak mengandung
vitamin (vitamin A, C, dan E) serta mineral
(seperti Zn dan Se) (Kumalaningsih 2007).
Berdasarkan
fungsinya,
antioksidan
dikelompokkan menjadi antioksidan primer,
antioksidan sekunder, antioksidan tersier,
oxygen scavenger, dan chelator. Antioksidan
primer adalah antioksidan yang berfungsi
untuk mencegah terbentuknya radikal bebas
baru, karena memiliki kemampuan untuk
menonaktifkan radikal bebas sebelumnya.
Contoh antioksidan primer adalah enzim
SOD, enzim tersebut dapat melindungi sel-sel
tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh
radikal bebas. Kinerja enzim SOD
dipengaruhi oleh beberapa mineral, seperti Zn,
Mn, Cu, dan Se (Kumalaningsih 2007).
Antioksidan sekunder adalah senyawa
antioksidan yang mampu memotong reaksi
berantai (propagasi) yang ditimbulkan oleh
radikal bebas. Sehingga dapat mencegah
7
terjadinya kerusakan yang lebih besar. Contoh
antioksidan sekunder adalah betakaroten,
vitamin C, dan vitamin E. Sedangkan
antioksidan tersier merupakan antioksidan
yang mampu memperbaiki kerusakan sel atau
jaringan akibat oksidasi radikal bebas.
Metionin sulfoksidan merupakan contoh
antioksidan tersier yang mampu memperbaiki
kerusakan DNA akibat oksidasi radikal bebas.
Oxygen scavenger adalah antioksidan yang
mampu mengikat radikal oksigen, sehingga
tidak mendukung terjadinya reaksi oksidasi.
Asam askorbat (vitamin C) merupakan contoh
dari oxygen scavenger. Sedangkan chelator
berfungsi mengikat kofaktor logam yang
mampu mengkatalisis reaksi oksidasi,
misalnya asam sitrat dan asam amino
(Percival 1998).
Berdasarkan
sumbernya,
antioksidan
dikelompokkan menjadi antioksidan alami
dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami
dalam makanan, dapat berasal dari satu atau
beberapa komponen makanan. Senyawa
antioksidan tersebut dapat berupa antioksidan
yang diisolasi dari sumber alami dan
ditambahkan sebagai bahan tambahan pangan,
maupun antioksidan yang terbentuk selama
proses pengolahan (Pratt 1992 diacu dalam
Amelia 2006). Antioksidan alami umumnya
memiliki gugus hidroksil dalam struktur
molekulnya (Sunarni 2005, diacu dalam
Kuncahyono & Sunardi 2007). Menurut Pratt
dan Hudson (1990) diacu dalam Amelia
(2006), senyawa antioksidan yang diisolasi
dari sumber alami, berasal dari bagian
tumbuhan seperti kayu, kulit kayu, akar, daun,
buah, bunga, biji, rimpang, dan serbuk sari.
Selain antioksidan alami, terdapat juga
antioksidan sintetik. Jenis-jenis antioksidan
sintetik yang sering dijumpai, diantaranya α
tokoferol, butylatedhydroxytoluene (BHT),
butylatedhydroxyanysole (BHA), propylgalate
(PG), tert-butyl hydroxyquinone (TBHQ), dan
noredihidroquairetic acid (NDGA). Senyawa
BHT dan BHA adalah antioksidan yang
paling banyak digunakan sebagai bahan
tambahan pangan (Buck 1991 diacu dalam
Amelia 2006). Namun, antioksidan tersebut
bersifat
karsinogen
terhadap
sistem
reproduksi, menyebabkan pembengkakan
organ hati, mempengaruhi aktivitas enzim
dalam hati, bahkan dalam jangka waktu lama
tidak terjamin keamanannya. Berdasarkan uji
toksisitas akut dan kronik pada hewan coba,
pemakaian zat antioksidan maksimal yang
diperbolehkan dalam campuran makanan
adalah sebesar 200 ppm (Hernani & Rahardjo
2005).
Antioksidan memiliki fungsi utama untuk
memutus reaksi berantai radikal bebas.
Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan
mampu menyebabkan kerusakan oksidatif
pada asam nukleat, protein, dan lipid yang
mampu meng-inisiasi terjadinya penyakit
degeneratif. Senyawa antioksidan seperti
fenol, polifenol, dan flavonoid dapat
menghambat mekanisme oksidasi yang
disebabkan oleh radikal bebas seperti
superoksida, hidroksiperoksida, atau lipid
peroksida (Shahidi 1997 diacu dalam
Nurcholis 2008). Secara umum antioksidan
bereaksi dengan menghambat oksidasi lipid
atau autooksidasi melalui beberapa tahap,
yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi.
Uji Antioksidan 2,2 diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH)
Pengukuran aktivitas antioksidan dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa
metode, diantaranya adalah metode Ferric
thiocyanate (FTC), asam tiobarbiturat (TBA),
Cupric Ion Reducing Antioxidant (CUPRAC),
Ferric Reducing Ability of Plasma (FRAP),
2,2 diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH), dan
sebagainya. Pemilihan metode DPPH untuk
penentuan aktivitas antioksidan, didasarkan
pada beberapa keunggulannya, diantaranya
mudah, sederhana, cepat, reprodusibel, baik
untuk sampel dengan polaritas tertentu,
sensitif, dan hanya membutuhkan sedikit
sampel (Koleva et al. 2002).
Reagen DPPH ditemukan pertama kali
oleh Goldschmidt dan Renn pada tahun 1922.
DPPH merupakan seyawa radikal bebas
berwarna ungu, dan pada awalnya digunakan
sebagai reagen kolorimetri. Selain itu, reagen
DPPH juga berfungsi untuk investigasi reaksi
inhibisi polimerisasi, uji antioksidan (amina,
fenol, dan vitamin), serta inhibisi reaksi
homolitik (Ionita 2003).
Karakter dari DPPH diantaranya, DPPH
merupakan senyawa hidrofobik (tidak larut
air). Namun, dapat berubah menjadi hidrofilik
dengan melekatkan gugus CO maupun SO2
pada DPPH. Menurut Ionita (2003), DPPH
merupakan senyawa radikal bebas yang stabil
dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang
lama, pada kondisi penyimpanan yang baik
(kering).
Prinsip metode uji antioksidan DPPH
didasarkan pada reaksi penangkapan atom
hidrogen oleh DPPH (reduksi DPPH) dari
senyawa antioksidan. Reagen DPPH berperan
sebagai radikal bebas yang diredam oleh
senyawa antioksidan yang terkandung dalam
sampel. Selanjutnya DPPH akan tereduksi
8
menjadi senyawa diphenyl picryl hidrazine
(DPPH-H). Reduksi DPPH menjadi DPPH-H
menyebabkan perubahan warna pada reagen
DPPH (Gambar 5), dari ungu menjadi kuning
(Lupea et al. 2006).
Metode DPPH dapat memberikan
informasi mengenai reaktivitas senyawa yang
diuji dengan suatu radikal bebas yang stabil.
Penangkapan radikal bebas DPPH oleh
antioksidan menyebabkan elektron menjadi
berpasangan, serta terjadi perubahan warna
yang sebanding dengan jumlah elektron yang
diambil oleh radikal bebas. Reagen DPPH
hanya dapat mengukur senyawa antioksidan
yang terlarut dalam pelarut organik,
khususnya golongan alkohol. Secara luas,
reagen DPPH digunakan untuk mengukur dan
membandingkan
aktivitas
antioksidan
senyawa turunan fenolik dan mengevaluasi
aktivitas antioksidan melalui perubahan
serapan yang terjadi. Pengujian aktivitas
antioksidan DPPH harus dilakukan secara
cepat dan hati-hati, karena reagen DPPH dapat
dengan mudah didegradasi oleh cahaya,
oksigen, Point of Hydrogen (pH), dan jenis
pelarut.
Metode DPPH secara umum, digunakan
untuk screening berbagai sampel dalam
penentuan aktivitas antioksidan. Pengukuran
serapan DPPH berkisar pada panjang
gelombang 515-520 nm. Metode DPPH dapat
digunakan untuk sampel padatan maupun
larutan, dan tidak spesifik untuk komponen
antioksidan partikular, tetapi dapat digunakan
untuk pengukuran kapasitas antioksidan
secara keseluruhan pada suatu sampel
(Molyneux 2004).
Gambar 5 Struktur kimia DPPH.
Uji Potensi Hayati Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT)
Analisis Probit
Uji potensi hayati dapat dilakukan dengan
menggunakan metode BSLT. Metode ini
sering digunakan untuk menentukan nilai
sitotoksisitas dari suatu bahan alam. Melalui
uji BSLT dapat diketahui nilai Lethal
Concentration (LC50) senyawa bioaktif pada
sampel terhadap larva udang. Nilai LC50
adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk
mematikan 50% dari populasi larva udang
total (Frank 1995). Nilai LC50 dari suatu
populasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain: umur, suhu, jumlah hewan uji, dan
jenis galur (Finney 1971). Selain dengan
metode BSLT, uji potensi hayati dapat
ditentukan dengan menggunakan inhibisi sel
tumor pada kentang, inhibisi pertumbuhan
daun Lemna minor L, dan toksisitas terhadap
jentik nyamuk Aedes aegypti (Mc Laughlin &
Rogers 1998).
Salah satu metode analisis statistika yang
digunakan untuk menghitung nilai LC50 adalah
dengan menggunakan analisis probit. Analisis
tersebut diperkenalkan oleh Finney pada tahun
1971. Metode regresi linier digunakan untuk
mendapatkan grafik garis lurus apabila probit
kematian
ditransformasikan
terhadap
konsentrasi.
Konsentrasi
yang
dapat
mengakibatkan 50% kematian populasi hewan
diperoleh dengan menarik garis dari 50%
probit kematian (Finney 1971).
Meyer et al (1982) telah mengembangkan
metode ini untuk menemukan senyawa
bioaktif baru pada tumbuhan tingkat tinggi.
Metode ini telah banyak digunakan untuk uji
potensi hayati dalam analisis residu pestisida,
anestetik, dan zat pencemaran air.
Metode ini sering digunakan untuk
mendeteksi senyawa bioaktif yang memiliki
efek farmakologis. Data yang diperoleh dari
hasil pengujian dengan menggunakan larva
udang,
kemudian
dianalisis
dengan
menggunakan
program
SPSS
untuk
menentukan nilai LC50 dan LC90 (Finney
1971). Data yang diperoleh dapat dianalisis
apabila mortalitas pada kontrol ≤ 20% (Abott
1925 diacu dalam Setiarto 2009). Uji beda
nyata antar nilai LC50 atau LC90 ditentukan
dengan nilai selang kepercayaan 95%.
Senyawa dengan nilai LC50 < 1000 ppm
dikatakan memiliki potensi bioaktivitas hayati
(Mc Laughlin et al 1991).
Metode uji potensi hayati BSLT memiliki
beberapa keunggulan, diantaranya: waktu
pelaksanaan cepat, biaya relatif murah,
sederhana, tidak memerlukan teknik aseptis,
tidak memerlukan peralatan khusus, dan
hanya membutuhkan sedikit sampel uji
(Meyer et al 1982).
Larva udang Artemia salina Leach
Artemia merupakan kelompok udangudangan (Crustaceae) dari filum Arthropoda,
kingdom animalia. Artemia hidup di
lingkungan danau berair asin. Udang tersebut
9
toleran terhadap selang salinitas yang sangat
luas, mulai dari kondisi perairan tawar hingga
kondisi garam jenuh. Kadar garam perairan
sangat berpengaruh pada proses penetasan
udang, kadar garam < 6% menyebabkan telur
udang tenggelam dan tidak bisa menetas. Jika
kadar garam > 25%, telur akan berada pada
kondisi tersuspensi, sehingga telur udang
dapat menetas dengan normal (Purwakusumah
2007).
Siklus hidup Artemia dimulai dari saat
penetasan telur atau embrio. Setelah 15-20
jam, pada suhu 25 0C kista akan menetas
menjadi embrio. Selama kisaran waktu 20-24
jam, embrio tersebut akan berubah menjadi
naupli (larva udang) yang dapat berenang
bebas. Siklus hidup Artemia dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya pH, cahaya,
suhu, kadar garam, dan aerasi O2. Selang pH
terbaik untuk siklus hidup Artemia adalah
sebesar 8-9, pH di bawah 5 atau di atas 10
dapat membunuh Artemia. Cahaya sangat
diperlukan untuk proses penetasan dan
pertumbuhan mereka. Selain itu, kadar
oksigen harus tetap dijaga dengan baik untuk
mendukung pertumbuhan Artemia.
Saat faktor-faktor tersebut dapat diperoleh
dengan optimal, Artemia akan tumbuh dan
beranak-pinak dengan cepat. Apabila kadar
oksigen dalam air rendah, air mengandung
polutan organik, atau salinitas perairan
meningkat, Artemia akan memakan bakteri,
plankton, dan sel khamir. Pada kondisi
tersebut,
Artemia
akan
memproduksi
hemoglobin sehingga tampak berwarna jingga
kemerahan (Purwakusumah 2007).
Selama proses inkubasi selama 24 jam,
larva udang membutuhkan proses aerasi
dengan menggunakan aerator (Lampiran 14).
Aerasi merupakan proses terjadinya kontak
antara air dan udara, sehingga terjadi
perpindahan seyawa yang bersifat volatile.
Proses aerasi dapat meningkatkan jumlah O2
di dalam air, menghilangkan CO2, H2S, dan
menghilangkan rasa serta bau yang
disebabkan oleh zat-zat organik. Aerasi juga
dapat meningkatkan pH dan menurunkan suhu
termal air laut (Setiarto 2009).
Proses aerasi dapat dilakukan dengan dua
cara.
Cara
pertama
adalah
dengan
memompakan udara atau oksigen ke dalam
air, sehingga dihasilkan gelembung udara
yang berkontak langsung dengan air. Cara
yang kedua adalah dengan menekan air ke
atas untuk berkontak langsung dengan udara,
proses tersebut dilakukan dengan bantuan
pemutaran baling-baling pada permukaan air
(Moss 1990).
Pertimbangan pemilihan larva udang
sebagai hewan uji didasarkan karena telur
Artemia memiliki daya tahan yang lama
(dapat tetap hidup dalam kondisi kering,
selama beberapa tahun). Disamping itu, telur
Artemia lebih cepat dan mudah menetas
dalam waktu 48 jam, sehingga dapat
dihasilkan naupli dalam jumlah besar yang
siap untuk diuji (Carballo et al. 2002). Selain
itu, larva udang memiliki kemampuan untuk
mengatasi perubahan tekanan osmotik dan
regulasi ionik yang tinggi (Croghan 1957).
Alasan lain yang menyebabkan dipilihnya
larva udang (naupli) sebagai hewan uji adalah,
karena larva udang memiliki membran kulit
yang tipis, sehingga kematian suatu larva
akibat efek sitotoksik dari senyawa bioaktif
dapat dianalogikan dengan kematian sebuah
sel dalam organisme (Fenton 2002; Gad
2007). Disamping itu, larva udang juga
memiliki toleransi yang tinggi terhadap selang
salinitas yang luas, mulai dari air tawar hingga
air yang bersifat jenuh garam (Dyah 1991).
Prinsip penetasan telur udang dilakukan di
dalam media air laut buatan selama 24 jam.
Larva udang yang dihasilkan akan berenang
bebas di dalam media air laut buatan. Air laut
buatan terdiri atas klorin, sulfat, natrium,
kalium, magnesium, dan kalsium (Priyotomo
2007). Selanjutnya sebanyak 10 ekor naupli
dimasukkan ke dalam masing-masing sumur
pada plate uji. Kemudian ditambahkan setetes
Tween 80 dan ekstrak dari masing-masing
formula dengan konsentrasi 10, 100, 500, dan
1000 ppm pada masing-masing sumur
(Gambar 9). Tujuan penambahan Tween 80
pada uji potensi hayati BSLT adalah untuk
membantu melarutkan ekstrak hasil maserasi
yang berbentuk pasta (Sanubari 2010).
Persen kematian Artemia salina dapat
dihitung setelah periode inkubasi selama 24
jam, akibat pemberian sejumlah larutan uji
pada media hidupnya. Kematian tersebut
disebabkan, karena larva udang mengalami
keracunan (toxicity) akibat keberadaan
senyawa bioaktif yang masuk ke dalam
tubuhnya. Selain itu, sistem pertahanan tubuh
(imunitas) yang dibentuk larva udang masih
belum mampu untuk menghambat dan
menoleransi senyawa bioaktif yang terdapat
pada media hidupnya. Kematian larva udang
dinyatakan berdasarkan hasil pengamatan
menggunakan kaca pembesar dan ditunjukkan
dengan tidak adanya motilitas (pergerakan)
dari larva udang. Selanjutnya dapat dihitung
Download