bab. i pendahuluan

advertisement
BAB. I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 lalu telah berakibat sangat berat
bagi perekonomian nasional, baik berupa penurunan produksi nasional yang tajam,
pengangguran yang bertambah, maupun dampak-dampak lainnya. Di sektor
perbankan, krisis tersebut merupakan krisis yang terburuk dalam sejarah
perkembangan perbankan nasional. Krisis nilai tukar yang terjadi telah menyebabkan
terganggunya fungsi intermediasi, ditandai dengan banyaknya bank yang menjadi
insolvent.
Pada waktu yang bersamaan, posisi keuangan dan likuiditas perbankan nasional
terus mernburuk. Di sisi liabilities (pasiva) sangat rentan karena beban bunga
menggelembung ketika Rupiah menjadi sangat lemah, sehingga menyebabkan adanya
mismatch dalam jurnlah yang besar baik dari sisi jangka waktu hutang (maturity
mismatch) maupun mata uang (currency mismatch) dalam bentuk USD. Di sisi sisi
asset (aktiva), ditandai peningkatan pinjaman bermasalah (Non Performing Loan
-
NPL) yang hingga pertengahan 1998 porsinya mencapai 70% dari total kredit yang
disalurkan. Banyaknya debitur yang "default" disebabkan oleh ketidak-mampuan
mereka di dalam membayar bunga pinjaman dan dominasi exposure pembelanjaan
dalam bentuk USD. Bagi bank sendiri, kenaikan NPL berarti pula kenaikan
kebutuhan akan penyediaan cadangan penghapusan piutangnya (PPAP), yang pada
gilirannya akan membatasi kemampuan bank tersebut dalam menyalurkan pinjaman.
Permasalahan terus berlanjut, hingga menjadi krisis kepercayaan. Kepercayaan
memegang peran yang sangat penting dalam perjalanan krisis, baik kepercayaan
bahwa ekonomi akan stabil, kepercayaan akan mengenai masa depan perekonomian
maupun kepercayaan terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Dengan keterbatasan
instrumen moneter yang tersedia menyebabkan bank sentral melakukan stabiliasi laju
inflasi dan menahan depresiasi rupiah melalui suku bunga dan menggulirkan
kebijakan untuk menarik izin usaha 16 bank pada bulan November 1997. Akibatnya,
timbul fenome1;a flight to quality dan jlight to safety dari penabung yang
memindahkan dananya ke instrumen atau bank di dalam maupun di luar negeri.
Mobilitas yang tinggi tersebut menyebabkan perbankan nasional hams memberikan
rangsangan berupa tingkat suku bunga yang tinggi, agar dana masyarakat dapat
dihimpun kembali.
Dampaknya, pada bulan Agustus 1998 suku bunga melonjak lebih dari 70%
sementara laju inflasi masih berada pada tingkat yang tinggi dan depresasi rupiah
masih overshooting. Kondisi tersebut menyebabkan perbankan nasional mengalami
negative spread sebagai akibat dari lebih tingginya biaya bunga dana ketinlbang
pendapatan bunga pinjaman. Sepanjang tahun 1998 saja, rata-rata negative spread
perbankan mencapai 27%., dan jumlah tersebut diperkirakan lebih besar lagi karena
kredit bermasalah dalam kurun waktu berikutnya tems meningkat (BPPN, 1999).
Resiko yang sangat besar pun muncul, fungsi perbankan sebagai lembaga
intermediasi praktis berhenti, dan struktur permodalannya pun menurun tajam bahkan
negatif. Bila fungsi intermediasi berhenti, maka sistem pembayaran nasional juga
berhenti dan kegiatan perekonomian secara menyelumh akan lumpuh. Data
menunjukan bahwa sebelum krisis (Juli 1997) total equity bank umum adalah sekitar
Rp. 43,5 triliun dengan hutang sebesar Rp. 14,6 trilun, sedangkan pada tahun 1998
jumlah equity seluruh bank umum minus Rp. 98,5 triliun, dengan hutang + Rp. 113
triliun. Pada tahun 1999 jumlah equity-nya mencapai minus Rp. 241 triliun, dengan
hutang sekitar Rp. 69,l triliun (Bank Indonesia, 2000).
Persoalan tersebut menyebabkan format pemulihan kegiatan perekonomian
nasional menjadi sulit, sehingga program restrukturisasi perbankan menjadi pilihan
kebijakan yang mutlak hams ditempuh dalam kerangka stabilisasi dan pemulihan
ekonomi serta untuk tetap mempertahankan keberadaan perbankan. Hal tersebut
karena fungsi keberadaan perbankan tidak hanya sebagai fimgsi intermediasi untuk
membangkitkan kembali perekonomian nasional, melainkan juga fungsi lain yang
sangat vital bagi kehidupan ekonomi modem, yaitu sebagai bagian yang pokok dari
sistem pembayaran dan sebagai alat transmisi kebijakan moneter.
Dalam implementasinya restrukturisasi perbankan pun tidak mudah untuk
dilakukan, karena proses penyehatannya masih berdimensi menengah dan panjang.
Program penjaminan kepada masyarakat misalnya, meskipun Pemerintah dan Bank
Indonesia telah menggulirkan program ini, proses pelarian dana bank ke luar negeri
tetap berlanjut sehingga memaksa Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of
the last resort menyediakan bantuan likuiditas (BLBI) dan Pemerintah memberikan
skema penjaminan menyeluruh. Di satu sisi, strategi diatas berangsur-angsur berhasil
memulihkan kepercayaan masyarakat, namun di sisi lain menimbulkan biaya yang
sangat besar karena pada prakteknya justru sebagian besar perbankan mendorong
pelepasan dananya ke masyarakat sehingga beban fiskal yang ditanggung Pemerintah
menjadi sangat besar.
Upaya mengatasi krisis perbankan merupakan masalah yang dilematis. Di satu
sisi Pemerintah dihadapkan pada dua pilihan yang sama sulitnya, menyediakan dana
yang besar jumlahnya atau Indonesia akan kehilangan sistem perbankan. Pilihan
untuk tetap mempertahankan eksistensi perbankan sebagaimana yang telah dilakukan
merupakan pilihan tetap, karena tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak
memiliki sistem perbankan, walaupun proses pembenahan perbankan tersebut hams
dibayar mahal. Oleh karena itu maka Pemerintah terus melakukan upaya pembenahan
perbankan, baik dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
maupun
melakukan rekapitalisasi
perbankan
dalam
rangka meningkatkan
kemanlpuan struktur pennodalan perbankan yang memenuhi syarat (viable).
Program rekapitalisasi tidak hanya dilakukan untuk mempercepat penyelesaian
rnasalah-masalah keuangan (fznancial restructu~ing) tetapi juga permasalahan
operasional, agar bank-bank dapat beroperasi secara lebih fokus, efisien dan prudent.
Penyehatan aspek operasional bank-bank dimulai dengan mewajibkan bank-bank
menyusun rencana keja dengan target pertumbuhan yang realistis, baik dalam ha1
pemenuhan ketentuan kehati-hatian atau kualitas manajernen resiko, peningkatan
efisiensi, maupun pemanfaatan teknologi. Diharapkan, perpaduan kedua program
dimaksud akan rnenjadikan bank-bank lebih solvable dan memenuhi ketentuan
permodalan yang telah ditetapkan. Di sisi lain upaya pemantauan yang terkait dengan
konfigurasi, struktur kelembagaan, exit dan entry, daya kornpetensi dan pengawasan
juga terus ditingkatkan Bank Indonesia (Bank Indonesia, 2002).
Dalam perkembangannya, program restrukturisasi perbankan menunjukan kineja
yang membaik. Pada akhir tahun 2002, beberapa indikator seperti dana pihak ketiga,
posisi likiditas, profitabilitas, rasio NF'L, permodalan dan CAR (Capital Adequacy
Ratio) menunjukan adanya perbaikan. Posisi penghirnpunan dana pihak ketiga selarna
lima tahun terakhir (1998-2002) rata-rata (CAGR - Compound Average Growth Rate)
meningkat sebesar 13,38% per tahun atau dari sekitar Rp. 740,25 triliun lebih pada
tahun 1998 menjadi Rp. 1.243 triliun lebih pada tahun 2002. Sementara itu, untuk
pinjaman rata-rata menurun sebesar -6,94% per tahun atau dari sebesar Rp. 487,426
triliun pada tahun 1998 menjadi Rp. 365,41 triliun pada tahun 2002. Selanjutnya
posisi NF'L dalam dua tahun terakhir (baik secara gross maupun net), dari 12,1%
tahun 2001 menjadi 10,2% pada akhir tahun 2002 untuk gross NPL's, dan dari 3,6%
pada tahun 2001 menjadi 2,9% pada akhir tahun 2002. Namun demikian, masih
banyak diantara bank-bank yang merniliki NF'L diatas 5%. Secara profitabilitas, juga
menunjukan adanya perbaikan, ditandai oleh adanya peningkatan Net Interest Income
(NII) menjadi sebesar Rp. 11,O triliun dengan ROA (Return on Assets) tetap positif,
yaitu sebesar 1,86%. Hingga awal tahun 2003 keadaannya tidak jauh berbeda dengan
tahun 2002 (Bank Indonesia, 2002-2003 dan BPPN, 1999).
Kendati demikian, membaiknya kinerja tersebut masih belum optimal, terutama
bila dilihat dari sisi kesiapan perbankan dalam menghadapi tantangan bisnis di masa
depan. Dukungan kondisi moneter yang kondusif yakni relatif stabilnya nilai tukar
rupiah dan trend penurunan suku bunga, dalam kenyataanya belum cukup
memberikan dorongan yang berarti bagi perbaikan kinerja perbankan khususnya
dalam ha1 optimalisasi fungsi intermediasi. Data menunjukan (Bank Indonesia, 2002)
bahwa trend penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dan pemberian kredit baru
justru menunjukan sedikit penurunan. Posisi total DPK yang berhasil dihimpun
perbankan selama triwulan I2003 mencapai Rp. 832 triliun atau menurun sebesar Rp.
3,8 triliun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelurnnya. Indikasi
lain memperlihatkan bahwa, jumlah lcredit yang disalurkan perbankan sampai dengan
Februari 2003, yaitu sebesar Rp. 411,2 triliun temyata baru mencapai sekitar 49.4%
dari total DPK yang berhasil dihimpun perbankan pada periode yang sama.
Di sisi lain, tingkat suku bunga dunia justru cenderung menurun dan
menyebabkan aliran dana masuk (capital inflow) mengalami peningkatan yang luar
biasa, sehingga mengakibatkan adanya "bubble" di sektor finansial. Dalam jangka
pendek, perkembangan tersebut memang cukup membantu perekonomian nasional,
karena interest rate dan exchange rate akan membaik. Kekhawatira~myaadalah, bila
aliran dana yang masuk tersebut bersifat jangka pendek dan diinvestasikan pada
perusahaan-perusahaan yang memang belum memiliki fundamental yang solid, maka
capitalflight dengan cepat akan terjadi. Dampaknya, suku bunga dan nilai tukar &an
meningkat dan berfluktuasi kembali sehingga krisis kepercayaan terhadap Rupiah
juga melemah kembali.
Perkembangan tersebut akan lebih jelas lagi bila dilihat dari beberapa indikator
keuangan perbankan seperti NPL, CAR dan ROE (Return on Equity). Bila
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, maka secara umum kinerja
perbankan nasional hingga tahun 2002 masih tertinggal, terutama jika dilihat dari
kemampuannya dalam mencapai kinerja sebelum krisis terjadi. Untuk lebih jelasnya,
perbandingan indikator-indikator di beberapa negara ASEAN tersebut dapat dilihat
pada Gambar 1 berikut : Jika ditilik dari kontribusinya, maka lambannya proses
pemulihan perbankan tersebut disebabkan karena masih belum optimalnya
pembenahan sistem operasional perbankan, terutama di bank-bank BUMN.
Hasil due-dilligeizce (BPPN, 1999) menunjukan bahwa, sebagian besar biaya
rekapitalisasi yang ditanggung Pemerintah selama ini justru di serap oleh bank-bank
Pemerintah. Dari biaya rekapitalisasi yang ditanggung Pemerintah sebesar Rp.
429,702 triliun (tahun 2000), yang diserap Bank-bank BUMN mencapai 66,2% atau
Rp. 284,463 triliun, 33,6% atau Rp. 144,380 triliun untuk BUSN (Bank Umum
Swasta Nasional), dan sisanya sebesar 0,2% untuk Bank Pembangunan Daerah.
Dengan asumsi bahwa beban bunga obligasi tersebut identik terhadap persentase
obligasi yang diberikan kepada perbankan nasional dan dengan tingkat suku bunga
(SBIlinterbank rate) rata-rata sebesar 14-15%, maka untuk Bank BUMN diperkirakan
menerima
+ Rp. 38,96 triliun, BUSN sebesar i: Rp.
19,77 triliun dan
+ Rp. 0,12
triliun untuk Bank Pembangunan Daerah, sedangkan untuk Bank BNI diperkirakan
menerima sebesar Rp. 8,47 triliun atau dengan net sekitar Rp. 7,47 triliun di luar
pajak 2 10% (BPPN, 1999).
Permasalahannya adalah bahwa, bila biaya bunga obligasi yang diterima
perbankan nasional yang langsung dibuku sebagai pendapatan tersebut dibandingkan
dengan perolehan laba perbankan saat ini dan kemudian dikonversikan kedalam
earning assets (sesuatu yang hams dikelola sehingga timbul biaya operasional), maka
untuk menghasilkan laba tentu membutuhkan tambahan kebutuhan sumber daya (baik
kebutuhan sumber daya manusia, biaya-biaya operasional, beban bunga, maupun
biaya lainnya) dengan jumlah berlipat-lipat.
3.9
17.5
6.7
12.2
17.4
3.6
8.1
17.1
7.8
Tahap kemajuan
4.9
11.1
6.2
14.2
10.3
-8.5
11.0
12.1
10.3
Pembenahan
6.3
9.6
12.0
48.2
9.3
-11.1
10.2
13.9
-1.0
Bermasalah
10.4
12.0
8.8
70.0
-24.6
4.7
11.8
7.7
4.2
4.0
15.9
12.3
15.5
-8.5
17.9
13.1
2.6
.
1,
Bermasalah
.,:
:~:r;a:.,
:,
1: , kq"y*:ypE$
*:;, , ~ .,,. ,?:+:
, ,
I .,:,.;<?,.
,-.3
.:
. , , R
12.4
p,:+.:~~~~~.*:.2p~.~-:
'1995 data tldak dlmungklnkan; mnggunakan data 1997
"PosisI CAR per Desember 2001, ROE per Juni 2002
Penentuankategori terhadap poslsl sebelum kdsls
Sumher: Central Banks, Bloombew, Literafur Research dalam ASmNBankers Association (2W2)
Gambar 1
. Perbandingan Indikator Finansial Perbankan ASEAN Sebelum dan
Setelah Krisis
Keadaan itu berarti pula bahwa sebagian besar kontribusi laba perbankan saat ini
sebenarnya masih didukung oleh pendapatan yang berasal dari obligasi (disubsidi),
atau dengan perkataan lain pada kenyataanya masih mengalami kerugian. Fakta
menunjukan bahwa dari beberapa bank penyerap obligasi terbesar, seperti Bank
Mandiri (diperkirakan menerirna bunga obligasi sebesar Rp. 24,816 triliun),
kemudian Bank BNI dan BRI sebesar Rp. 3,99 triliun. Sementara itu hingga
Desember 2002, laba bersih (sebelum pajak dan termasuk bunga obligasi) yang
dihasilkan masing-masing bank tersebut hanya sebesar Rp. 5,773 triliun, Rp. 2,509
triliun dan Rp. 1,470 triliun (BPPN, 1999).
1.2. Identifikasi Masalah
Secara garis besar, pernasalahan yang dihadapi Bank BNI adalah sebagai berikut :
a. Permasalahan struktural di dalam mengelola bisnis-bisnis yang ada di Bank BNI,
yang mengakibatkan beberapa ha1 di Bank BNI sebagai berikut :
Belum jelasnya fungsi, tugas dan tanggung-jawab serta kewenangan,
Masih berfokus pada proses bisnis (bersifat fungsional) dan belum
berorientasi pasar,
Lambannya perbaikan kinerja bisnis berkelanjutan dan laba yang optimal,
termasuk dalam ha1 ini lemahnya penetrasi pasar dan besarnya ''opportunity
loss",
Bank BNI belum adaptif terhadap perkembangan pasar bisnis perbankan,
In-efisiensi dan in-efektifitas pengelolaan alokasi sumber daya, pengembangan sistem dan manajemen, serta
Potensi timbulnya konflik internal dan "mahalnya" koordinasi.
b. Permasalahan sistem manajemen di dalam mengakomodasikan perkembangan
yang ada di pasar, seperti sistem pengukuran kinerja bisnis yang belum sejalan
dengan kinerja pasar, prinsip-prinsip keadilan (kesesuaian terhadap fkngsi dan
tanggung-jawab) dan inkonsistensi implernentasinya.
1.3. Rumusan Masalah
Pernasalahan yang dihadapi di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana bentuk atau model dari "Inti Dasar Pengelolaan Bisnis" (Core
Business Platj+omz) dapat membantu mengatasi pernasalahan-pernasalahan
struktur dan sistem manaje~nenyang ada, sehingga mampu meningkatkan kineja
bisnis secara keseluruhan dan berkelanjutan berdasarkan kinerja pasar.
b. Bagaimana
bentuk
"Inti
Dasar
Pengelolaan
Bisnis"
tersebut
dapat
diimplementasikan Bank BNI, sesuai dengan kebutuhan pasar dan bisnisnya. Satu
dan lain ha], karena pernasalahan utama yang dihadapi Bank BNI adalah
pernasalahan implementasi dari suatu rencana pengembangan bisnis.
c. Tantangan terbesar di dalam membangun Bank BNI yang berkelanjutan ini antara
lain adalah mempersiapkan faktor kunci keberhasilan dan sumber daya yang
dibutuhkan; meningkatkan kesejahteraan pegawai, dan minimalisasi dampakdampak yang ditimbulkannya.
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai masukan agar proses penataan
"Inti Dasar Pengelolaan Bisnis" di Bank BNI dapat memberikan kemampuan di
dalam mengekesploitasi sumber daya yang dimiliki dalam rangka mengoptimalkan
keuntungan dan menekan biaya seminimal mungkin, melalui optimalisasi nilai
tambah sistem struktur dan sistem manajemen dalam rangka peningkatan penjualan,
serta kehendak untuk memiliki staf yang lebih besar dalam rangka pelayanan,
penjualan din kesesuaiannya dengan perubahan lingkungan usaha.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai salah satu sarana dalam
pengembangan wawasan dan masukan serta rekomendasi kepada pihak manajemen
Bank BNI, bahwa dengan menata "Inti Dasar Pengelolaan Bisnism-nya, diharapkan
Bank BNI menjadi cukup fleksibel, sehingga tetap hadir di dalam situasi yang
fluktuatif karena Bank BNI akan menjadi lebih fokus dan memiliki kemarnpuan
beradaptasi sesuai dengan perubahan lingkungan usaha. Proses adaptasi tersebut
dapat terjadi bila penataan dari "Inti Dasar Pengelolaan BisnisY'nyadapat dilakukan
kembali melalui suatu penataan yang terns menerus sesuai dengan perkembangan
atau pun perubahan lingkungan usaha yang tejadi di masa-masa yang akan datang,
sehingga sangat dimungkinkan untuk di-redefinisi kembali berdasarkan indikatorindikator ("trafic light") tertentu, seperti keseimbangan antara total aset, total
kontribusi, total profitabilitas, daya iarik industri, dan sebagainya
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Penelitian terhadap sistem struktur pola Unit Bisnis (orgaware dan manajemen),
dalam rangka pengembangan bisnis Bank BNI baik dalam bentuk konseptual
maupun strategi implementasinya.
b. Penelitian ini dibatasi pada tahap altematif pengembangan strategi "Inti Dasar
Pengelolaan Bisnis", khususnya yang berkenaan dengan arsitektur bisnis, yaitu
sistem Unit Bisnis di Bank BNI. Sernentara itu dalam ha1 pelaksanaan operasional
selanjutnya diserahkan kepada manajemen Bank BNI.
c. Selain itu, penelitian ini hanya membatasi rencana implementasi pada unit-unit
bisnis yang memang memiliki masa depan yang paling prospek di Bank BNI,
sedangkan untuk bisnis-bisnis lain diharapkan dapat mengimplementasikannya
dengan pola yang serupa.
d. Selanjutnya, penelitian atau kajian ini juga mengidentifikasi berbagai faktor yang
menentukan Bank BNI dalam mengembangkan bisnisnya secara lebih
berkseinambungan dan berorientasi kepada pasar. Termasuk dalam ha1 ini, faktorfaktor yang mempengaruhi implementasinya di Bank BNI.
Download