bab ii tinjauan pustaka

advertisement
 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Initial Return
2.1
Balvers (1988) dalam Ariawati (2005) mengemukakan bahwa initial
return yang diterima investor di pasar perdana dapat diperoleh dari selisih harga
saham pada saat penawaran umum (IPO) dengan harga closing saham pada saat
pertama kali listing di pasar sekunder. Initial return memiliki keterkaitan yang
erat
dengan
underpricing
sehingga
seringkali
maknanya
tertukar.
Underpricingsaham adalah suatu keadaan dimana harga saham yang
diperdagangkan di pasar perdana lebih rendah dibandingkan ketika harga
penutupan hari pertama di pasar sekunder (Sumarso, 2003 dalam Syahputra,
2008). Underpricing merupakan ciri dimana saham memberikan return positif
pada transaksi pasar sekunder setelah penawaran perdana. Selisih harga inilah
yang dikenal sebagai Initial Return (IR) atau positive return bagi investor.
Syarat agar investor dapat menikmati return ini adalah memperoleh
saham dari penawaran perdana dan melakukan hold hingga saham tersebut
dicatatkan dan ditransaksikan pada pasar sekunder (Jogiyanto, 2007). Harga
penawaran saham di pasar perdana adalah hasil kesepakatan antara emiten
dengan underwriter. Setelah itu, saham akan diperjual-belikan di pasar
27
sekunder dimana harga terbentuk atas kekuatan penawaran dan permintaan.
Selisih
harga saham saat penutupan hari pertama di pasar sekunder dengan
harga saham pada saat penawaran perdana menjadi ukuran besarnya initial
return. Apabila harga saham di pasar sekunder pada hari pertama perdagangan
saham secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan harga penawaran di
pasar perdana, maka saham mengalami underpricing (Sulistio, 2005). Initial
Return didapatkan dengan rumus:
Dimana:
IR
: Initial Return
Pt 0
: Harga Perdana
Pt 1
: Harga penutupan hari pertama bursa
Initial return dapat dirasakan oleh investor apabila underpricing
dilakukan oleh perusahaan yang melakukan emisi sahamnya ke pasar perdana.
Underpricing bukan hal yang aneh, karena underpricing terjadi hampir di
seluruh Bursa Efek. Ibbotson (1975) dan Ritter (1984), memberikan bukti yang
meyakinkan bahwa IPO secara rata-rata terjadi underpricing. Ritter (1984)
melaporkan bahwa dari jumlah sekitar 5000 perusahaan yang go public selama
1960-1982 di Amerika Serikat, nilai rata-rata IPO-nya diperdagangkan pada
harga 18,8 persen lebih tinggi dari harga penawaran perdananya. McGuinnes
28
(1992) meneliti keadaan underpricing terhadap 80 perusahaan yang melakukan
di Hongkong pada periode 1980-1990. Hasil penelitiannya menunjukkan
IPO
adanya return positif yang signifikan pada hari pertama perdagangan saham di
pasar sekunder.
Tidak diragukan bahwa informed investor telah memahami kinerja
underpricing
dan bagaimana initial return dapat terbentuk. Namun bagi
uninformed investor, keterbatasan informasi dan pengalaman yang kurang dapat
menjadi penghalang. Uninformed investor perlu memahami initial return dan
underpricing, juga pasar primer, pasar sekunder, dan proses penawaran umum
perdana. Dua jenis pasar ini menurut Darmaji dan M. Fakhrudin (2001) yaitu:
2.1.1 Primary Market (Pasar Perdana)
Primary market adalah jenis pasar yang menjadi tahap dimana saham
dan sekuritas lainnya dijual pertama kali pada masyarakat (penawaran
umum) sebelum saham dan sekuritas tersebut dicatatkan dibursa. Kegiatan
ini disebut penawaran umum perdana (Initial Public Offering). Harga
saham di pasar perdana ditentukan oleh emiten dan penjamin emisi
(underwriter) berdasarkan faktor-faktor fundamental dan faktor lain yang
perlu diidentifikasi.
Peranan penjamin emisi (underwriter) pada pasar perdana selain
menentukan harga saham bersama dengan emiten, juga melaksanakan
penjualan pada saat penawaran umum perdana kepada calon-calon investor
29
yang potensial sebagai calon pemodal. Hal ini penting mengingat emiten
dan underwriter memiliki harapan agar harga saham dapat bergerak naik
dari masa ke masa, atau underpricing yang dapat gagal bila investor
melakukan aksi untung dengan menjual saham yang mereka beli yang
seharusnya dipegang dalam jangka waktu lama untuk mempertahankan
harga saham.
Penjamin emisi juga bertugas untuk menjamin semua dana yang
dibutuhkan oleh emiten dari hasil penjualan saham dapat dipenuhi, dalam
hal ini melakukan pembelian terhadap saham yang tidak terserap seluruhnya
pada penawaran umum perdana.
Berikut ciri-ciri perdagangan di pasar perdana:
a.
Emiten menjual saham kepada masyarakat luas melalui penjamin
emisi dengan harga yang telah disepakati antara emiten dan
penjamin emisi seperti yang tertera dalam prospektus.
b.
Pembeli tidak dipungut biaya transaksi.
c.
Pembeli belum tentu pasti memperoleh jumlah saham sebanyak
yang dipesan apabila terjadi oversubscribbed (jumlah pesanan
melebihi jumlah saham yang akan dijual).
d.
Investor membeli melalui penjamin emisi atau agen penjual yang
ditunjuk.
e.
Masa penawaran terbatas.
30
f.
Penawaran melibatkan profesi akuntan publik, notaris, konsultan
hukum, dan perusahaan penilai.
g.
Pasar perdana disebut juga dengan istilah pasar primer (primary
market) atau pasar pertama (first market).
2.2.1
Secondary Market (Pasar Sekunder)
Secondary market (pasar sekunder) adalah pasar modal dimana saham
dan sekuritas lainnya diperjualbelikan kepada umum setelah masa penjualan
di pasar perdana. Harga saham di pasar ini ditentukan oleh mekanisme
pasar, yaitu berdasarkan atas kekuatan dari permintaan dan penawaran.
Permintaan dan penawaran biasanya akan dipengaruhi oleh keadaan
keadaan psikologis pasar, dan psikologi pasar ini dipengaruhi oleh 2 hal
yaitu: (1) faktor internal perusahaan yaitu suatu kondisi yang berasal dari
dalam perusahaan yang biasanya dapat dikontrol oleh perusahaan dan akan
mempengaruhi kelancaran kegiatan operasai perusahaan seperti kebijakan
perusahaan, pembagian
deviden, kinerja perusahaan, dan prospek
perusahaan di masa yang akan datang. (2) faktor eksternal perusahaan, yaitu
suatu kondisi yang berasal dari luar kendali perusahaan tetapi dapat
mempengaruhi kelancaran kegiatan operasional perusahaan. Contoh faktor
eksternal seperti kebijakan moneter yang diterapkan, politik, keamanan
negara, inflasi, dan hal lainnya yang dapat mempengaruhi penilaian dan
peramalan dari para pelaku pasar. Ciri-ciri dari pasar sekunder adalah:
31
a.
Harga terbentuk oleh investor dan trader melalui perantara efek
(broker) yang juga dapat disebut sebagai sekuritas yang terdaftar
sebagai anggota bursa efek.
b.
Transaksi dibebani biaya jual dan beli berdasarkan persentase
dari nilai penjualan/pembelian.
c.
Pesanan dapat berjumlah tak terbatas sesuai dengan keadaan
keuangan investor/trader.
d.
Anggota bursa akan memasukkan tawaran jual/beli investor ke
dalam komputer perdagangan yang disediakan oleh pihak bursa.
e.
Anggota bursa atau sekuritas (broker) akan menyelesaikan
pembayaran dana kepada sentral kliring, kemudian menerima
sahamnya dengan cara pemindahbukuan oleh sentral kustodian.
2.2.3
Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan yang membutuhkan dana atau emiten dapat menjual surat
berharganya di pasar modal. Surat berharga yang baru dikeluarkan oleh
perusahaan kemudian dijual ke pasar perdana (primary market). Pasar
perdana merupakan tempat atau sarana bagi perusahaan yang untuk pertama
kalinya menawarkan saham atau oblligasi ke masyarakat umum (Samsul,
2006). Penawaran umum atau penawaran perdana (IPO) dan perusahaan
yang melakukan IPO akan menjadi perusahaan yang menjadi go public
dengan ciri tambahan (Tbk) pada akhir nama perusahaan tersebut. Proses ini
telah mengubah status perusahaan dari perseroan tertutup menjadi perseroan
32
terbuka. Pada tahap ini harga saham di pasar perdana ditentukan oleh
penjamin emisi dan emiten.
Keputusan untuk go public atau tetap menjadi perusahaan privat
merupakan keputusan yang perlu dipertimbangkan secara mendalam.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1995 tentang
Pasar Modal, makna go public adalah kegiatan penawaran saham atau efek
lainnya yang dilakukan oleh emiten (perusahaan penerbit saham) kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar Modal dan
Peraturan Pelaksanaannya. Istilah go public hanya dipakai pada waktu
perusahaan pertama kalinya menjual saham atau obligasi. Sedangkan Initial
Public Offering merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam
rangka penawaran umum penjualan saham perdana (Ang, 1997). Dengan
demikian, makna go public ditujukan kepada kondisi perusahaan sedangkan
IPO ditujuan kepada kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dan
underwriter dalam rangka melakukan penawaran umum penjualan saham
perdana Ariawati, 2005).
Terdapat beberapa alasan perusahaan berupaya memperoleh dana
dengan melakukan go public di pasar modal. Menurut Suyatmin (2004),
alasan-alasan perusahaan menawarkan sahamnya di pasar modal adalah
sebagai berikut:
1.
Kebutuhan akan dana untuk melunasi hutang baik jangka pendek
maupun jangka panjang sehingga mengurangi beban bunga.
33
2.
Meningkatkan modal kerja.
3.
Membiayai perluasan perusahaan (pembangunan pabrik baru,
peningkatan kapasitas produksi).
4.
Memperluas jaringan pemasaran dan distribusi.
5.
Meningkatkan teknologi produksi.
6.
Membayar sarana penunjang (pabrik, perawatan kantor, dll.).
Perusahaan yang melakukan go public harus siap dengan
berbagai konsekuensi dan permasalahannya, yaitu memenuhi ketentuan
yang mengikutinya. Sebagai perusahaan publik, para pemilik lama atau
pendiri harus menerima keterlibatan pihak-pihak lain dalam perusahaan
yang didirikannya tersebut. Sebagaimana yang diwajibkan oleh keputusan
menteri
keuangan
Nomor 1548/KMK.013/1990
(Sunariyah,
2006),
perusahaan publik harus memenuhi beberapa kesanggupan, yaitu:
1.
Keharusan untuk keterbukaan (full disclosure)
Indikator pasar modal yang sehat adalah transparansi atau
keterbukaan. Sebagai perusahaan publik yang sahamnya telah
dimiliki oleh masyarakat, harus menyadari keterbukaan sesuai
dengan peraturan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, emiten
harus memenuhi persyaratan disclosure dalam berbagai aspek sesuai
dengan kebutuhan pemegang saham dan masyarakat serta peraturan
yang berlaku.
34
2.
Keharusan untuk mengikuti peraturan-peraturan pasar modal
mengenai kewajiban pelaporan
Setelah perusahaan go public dan mencatatkan efeknya di
bursa, maka sebagai perusahaan publik, wajib menyampaikan laporan
secara rutin maupun laporan lain yang bersifat material kepada
BAPEPAM dan BEI. Seluruh laporan yang disampaikan oleh emiten
kepada bursa secepatnya akan dipublikasikan oleh bursa efek kepada
masyarakat melalui pengumuman dilantai bursa, papan informasi,
situs resmi BEI, dan publikasi resmi tahunan dan perkuartal yang
diterbitkan oleh BEI. Hal ini penting, karena investor sangat
mengandalkan informasi tersebut dalam melakukan pengambilan
keputusan. Kewajiban pelaporan dapat membantu penyediaan
informasi sehingga informasi dapat sampai secara tepat waktu dan
tepat guna kepada investor.
3.
Gaya manajemen yang berubah dari informal ke formal
Sebelum perusahaan berubah menjadi perusahaan publik,
manajemen tidak mempunyai kewajiban untuk menghasilkan laporan
apapun. Tetapi setelah perusahaan mendapat predikat go public maka
perusahaan mempunyai kewajiban komunikasi dengan pihak luar,
misalnya Bapepam, akuntan publik, dan stakeholder lainnya.
Hubungan tersebut merupakan hubungan formal yang dilakukan
35
kepada pihak luar, dan aturan-aturan yang berlaku merupakan aturan
yang dapat digunakan oleh semua pihak yang membutuhkan.
4.
Kewajiban membayar deviden
Investor membeli saham karena memiliki ekspetasi akan
adanya keuntungan atau deviden yang dapat diperoleh tiap
periodenya harus memenuhi kewajiban ini secara teratur dan konstan.
Jika tingkat kepercayaan investor menurun karena tidak terpenuhinya
ekspetasi ini, maka kredibilitas perusahaan akan diragukan.
5.
Senantiasa berusahan untuk meningkatkan pertumbuhan
perusahaan
Perusahaan
harus
menunjukkan
kemampuannya
untuk
bertahan dan bersaing dengan perusahaan lain yang berada dalam
industri yang sama (benchmark). Hal ini penting mengingat investor
selalu membandingkan
keadaan
perusahaan
dengan
rata-rata
benchmark dan perusahaan unggulan di dalam sebuah industri/bidang
yang sama.
Untuk menjadi perusahaan yang berpredikat go public, perusahaan
perlu melakukan persiapan internal dan penyiapan dokumentasi serta
memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bapepam. Pada gambar 1 dijelaskan
proses yang harus dilalui oleh perusahaan dalam melakukan go public.
36
Gambar 2.1
Proses Go Public
Dalam proses Initial Public Offering, calon emiten harus
melewati beberapa tahapan (Ang, 1997), yaitu sebagai berikut:
37
1.
Tahap persiapan
Tahap persiapan merupakan tahapan yang paling panjang diantara
tahapan yang lain, kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini mencakup
persiapan sebelum mendaftar ke Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal).
Dalam tahap ini, RUPS merupakan langkah awal untuk mendapatkan
persetujuan dari pemegang saham mengenai rencana go public. Anggaran
dasar perseroan juga harus diubah sesuai dengan anggaran dasar publik.
Kegiatan lain dalam tahap ini adalah penunjukkan penjamin pelaksana
emisi (lead underwriter) serta lembaga dan profesi pasar modal, yaitu
akuntan publik, konsultan hukum, penilai, Biro Administrasi Efek (BAE),
notaris, security printer dan prospectus printer.
2.
Tahap Pemasaran
Pada tahap ini, Bapepam akan melakukan penelitian tentang
keabsahan dokumen, keterbukaan seluruh aspek legal, akuntansi, keuangan,
dan manajemen. Langkah selanjutnya adalah pernyataan pendaftaran yang
diajukan ke Bapepam sampai pernyataan pendaftaran yang efektif, maka
langkah-langkah lain yang harus dilakukan adalah:
a.
Due diligence meeting
Due diligence meeting adalah pertemuan dengar pendapat
antara calon emiten dengan underwriter, baik lead underwriter
maupun underwriter. Dalam hal ini terdapat unsur pendidikan, yaitu
38
mendidik emiten untuk dapat menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang
akan diajukan oleh calon investor.
b.
Public expose dan roadshow
Public
expose
merupakan
tindakan
pemasaran
kepada
masyarakat
pemodal
dengan
mengadakan
pertemuan
untuk
mempresentasikan kinerja perusahaan, prospek usaha, resiko, dan hal
lainnya sehingga timbul daya tarik bagi para calon pemodal untuk
membeli saham yang ditawarkan. Rangkaian public expose yang
diadakan berkesinambungan dari satu lokasi ke lokasi lain disebut
sebagai roadshow, khususnya penawaran saham kepada investor asing.
Didalam public expose/roadshow ini calon emiten dapat menyebarkan
info memo dan prospektus awal.
c.
Book building
Didalam proses roadshow, para pemodal akan menyatakan
minat mereka atas saham yang ditawarkan, dimana mereka akan
menyatakan kesediaan atas kisaran harga saham yang ditawarkan.
Proses mengumpulkan jumlah-jumlah saham yang diminati oleh
pemodal inilah yang disebut sebagai book building.
d.
Penentuan harga perdana
Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah penentuan harga
final harga saham perdana, yang dilakukan oleh lead underwriter dan
emiten.
39
3.
Tahap Penawaran Umum
Pada tahap ini calon emiten menerbitkan prospektus ringkas di dua media
cetak yang berbahasa Indonesia, yang dilanjutkan dengan penyebaran
prospektus lengkap yang final, melakukan penjatahan, refund, dan akhirnya
penyerahan Surat Kolektif Saham (SKS) bagi yang mendapat jatah.
4.
Tahap Perdagangan Sekunder
Tahap ini meliputi tahapan melakukan pendaftaran ke bursa efek (listing)
untuk mencatatkan sahamnya sesuai dengan kelanjutan perjanjian
pendahuluan pencatatan yang telah disetujui. Setelah tercatat maka saham
dapat diperdagangkan di bursa
Setelah memiliki pemahaman mengenai pasar primer, pasar sekunder, dan
proses IPO, kini uninformed investor perlu memahami bagaimana initial
return dapat terbentuk dan menganalisa dengan menggunakan informasi
yang tertuang dalam Laporan Keuangan dan prospektus yang diajukan
sehingga dapat mengurangi terjadinya asimetri informasi.
2.2 Teori yang Menjelaskan Initial Return
Teori-teori yang menjelaskan tentang harga saham IPO yang
mengalami underpricing dan mengakibatkan positive initial return dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
40
2.2.1
Teori Life Cycle
Penelitian yang dilakukan oleh Lerner (1994) dalam Hakiman (2005)
menemukan bahwa Market-to-Book-Ratios (MTBR) adalah faktor penting
bagi perusahaan dalam mengambil keputusan untuk melakukan proses go
public karena proses ini banyak dilakukan oleh perusahaan dengan MTBR
yang tinggi untuk mengurangi biaya kredit. Disamping itu, ditemukan juga
bahwa aktifitas IPO akan diikuti dengan tingginya investasi dan
pertumbuhan, bukan sebaliknya. Menurut Welch dan Ritter (2002), sebab
perusahaan melakukan IPO adalah karena adanya keinginan untuk
menaikkan modal, menciptakan pasar publik agar suatu ketika pemegang
saham dapat mengkonversikan sahamnya ke dalam bentuk tunai serta
meningkatkan publikasi.
2.2.2
The Agency-Cost Hypothesis
Wijayanto (2009) menjelaskan bahwa menurut teori ini, bankir dari
investment
bank
underwriter
mengambil
keuntungan
dari
belum
berpengalamannya emiten (issuer) dalam melakukan underpricing atas IPO
mereka. Penjelasan ini gagal memasukkan pertimbangan atas efek reputasi
investment bankers/underwriters jangka panjang atas penipuan yang
dilakukannya dan kemungkinan bahwa emiten dapat belajar dari
pengalaman-pengalaman sejarah kinerja dari sebuah underwriter serta
dikombinasikan dengan adanya kompetisi diantara underwriters.
41
2.2.3
Winner’s Curse Hypothesis
Beatty dan Ritter (1986) dan Rock (1986) disadur oleh Adler Haymans
(2006) mendasari penjelelasan mereka pada asimetri informasi diantara para
investor. Berdasarkan teori ini underpricing sengaja dilakukan oleh emiten
dan atau underwriter untuk mengurangi problema winner’s curse yang
dihadapi oleh uninformed investor. Beatty dan Ritter berpendapat bahwa
informed
investor
yang
mengetahui
nilai
saham
sesungguhnya,
memasukkan penawaran mereka hanya bila harga penawaran saham lebih
rendah dari nilai perusahaan sesungguhnya. Dipihak lain, uninformed
investor tidak mengetahui apakah harga penawaran tersebut lebih rendah
atau lebih tinggi dibanding dengan nilai sesungguhnya. Dengan demikian
uninformed investor akan menghadapi situasi yang tidak menguntungkan
bila memasukkan penawaran pada setiap IPO.
Jika harga penawaran saham lebih tinggi dari nilai sesungguhnya
(overpricing), probabilitas uninformed investor mendapatkan alokasi saham
lebih tinggi karena jumlah investor yang memasukkan penawaran relatif
lebih sedikit (karena informed investor tidak berpartisipasi). Sedangkan bila
bila harga saham saat penawaran perdana lebih rendah dari nilai saham
sesungguhnya (underprice), probabilitas untuk mendapatkan alokasi saham
menjadi rendah, karena jumlah investor yang memasukkan penawaran
relatif lebih banyak (karena informed investor turut berpartisipasi).
42
Situasi ini dikenal sebagai fenomena winner’s curse: apabila
uninformed investor mendapat alokasi (menjadi pemenang), kemungkinan
harga saham adalah overprice. Dengan demikian ROI dari uninformed
investor lebih rendah dari unconditional return. Untuk memengaruhi
informed investor agar mau memasukkan penawaran, IPO saham secara
rata-rata harusnya dilakukan underpricing.
Adler haymans (2006) memberikan keterangan dari pasar Amerika
Serikat, Amerika Latin, dan Taiwan bahwa persyaratan pendaftaran dari
trading system mungkin bertindak sebagai mekanisme pembatasan terhadap
less underpricing. Sehingga ketersediaan bukti oleh penelitian tersebut
mendukung Winner’s Curse Hypothesis. Pendapat yang kontras terhadap
keterangan diatas, Lam dan Yap (1998) dan Lim Ng (1999), yang secara
bers3ama memusatkan pada efek dari trading system, didadasari penemuan
mereka dari pasar IPO di Singapura.
Model Winner’s Curse secara implisit mengasumsikan bahwa
permintaan dari informed investor tidak cukup untuk menampung sahamsaham IPO. Namun demikian, bukti-bukti empiris memberikan indikasi
bahwa suatu hal yang umum terjadi adalah oversubscription atas penerbitan
saham baru.
2.2.4
Signalling Theory
Menurut Rahmawati (2007), penggunaan sinyal positif secara efektif
dapat mengurangi tingkat ketidakpastian yang dihadapi investor, sehingga
43
investor dapat membedakan kualitas perusahaan yang baik dan yang buruk.
Morris (1987) dalam Rahmawati (2007) menggambarkan teori signalling
sebagai berikut; penjual (underwriter dan emiten) di pasar mempunyai
informasi yang lebih baik dibanding pembeli (investor). Pembeli yang tidak
mempunyai informasi mengenai produk penjual akan menilai produk
tersebut sesuai persepsi mereka. Akibatnya penjual dengan kualitas tinggi
akan mengalami kerugian karena harga jualnya rendah. Seandainya pembeli
mengetahui kualitas dari produk tersebut maka harga jualnya akan dapat
lebih tinggi dan penjual tidak akan mengalami kerugian. Allen dan
Faulhaber (1989) mengasumsikan bahwa perusahaan memiliki informasi
mengenai kualitas dan prospek perusahaannya yang tidak diketahui oleh
investor luar. Perusahaan dengan tingkat ekspektasi keuntungan yang baik
akan berusaha menunjukkan kualitas perusahaannya yang lebih baik dengan
melakukan underpricing dan memberikan informasi mengenai besarnya
jumlah saham yang ditahan oleh perusahaan. Harga penawaran yang
mengalami underpricing dianggap oleh investor eksternal sebagai sinyal
yang dapat dipercaya mengenai kualitas perusahaan dikarenakan tidak
semua perusahaan sanggup untuk menanggung biaya underpricing.
Implikasi empiris dari model penelitian Allen dan Faulhaber (1989) adalah
perusahaan yang menggunakan underpricing sebagai sinyal untuk
menunjukkan kualitas perusahaan hanya akan menjual sebagian kecil
44
sahamnya pada saat penawaran perdana. Hal ini dilakukan untuk
menghindari biaya underpricing yang terlalu tinggi.
2.3
Informasi yang Terdapat dalam Laporan Keuangan dan Prospektus
Telah dijelaskan bahwa ketika suatu perusahaan melakukan Initial
Public Offering (IPO) maka secara rata-rata saham tersebut akan mengalami
kondisi underpricing. Namun selalu terdapat kemungkinan akan terjadinya
overpricing sehingga informed investor maupun uninformed investor tidak
merasakan initial return. Sebagai bentuk prevensi terhadap asimetri informasi
dan kemungkinan terjadinya overpricing maka calon investor dapat
menggunakan informasi dalam Laporan Keuangan dan Prospektus yang
diedarkan emiten. Informasi ini dapat berupa informasi keuangan seperti return
on asset, earning per share, financial leverage, dan proceed.
2.3.1 Return on Assets (ROA)
ROA merupakan salah satu rasio profitabilitas, sebuah rasio yang
menunjukkan tingkat efektifitas perusahaan dalam beroperasi dan menghasilkan
laba. ROA mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan laba dengan
membandingkannya dengan aktiva yang dimiliki oleh perusahaan (Ang, 1997).
Nilai ROA yang semakin tinggi menunjukkan bahwa perusahaan mampu
menghasilkan laba di masa yang akan datang. Rasio ini merupakan rasio yang
terpenting diantara rasio rentabilitas yang ada. ROA juga kadang-kadang
45
disebut ROI (Return on Investment). Dalam kaitannya dengan IPO, rentabilitas
perusahaan
yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian IPO sehingga akan
mengurangi ketidakpastian tingkat underpricing (Daljono, 2000).
Menurut Henry Simamora (2006:529) dalam bukunya Akuntansi Basis
Pengambilan Keputusan, mendefinisikan Return on Asset yaitu:
“Rasio antara Net Income After Tax terhadap aset secara keseluruhan
menunjukkan ukuran suatu keseluruhan profitabilitas perusahaan.”
Kim et al. (1993) menyatakan bahwa profitabilitas memberikan
informasi kepada pihak luar perusahaan mengenai efektifitas operasional
perusahaan. Profitabilitas yang tinggi menunjukkan kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba yang lebih tinggi. Dengan profitabilitas yang tinggi
akan menarik lebih banyak investor untuk melakukan investasi sehingga
permintaan akan saham perusahaan meningkat. Akibatnya harga saham akan
naik dan perubahan harga diantara penawaran perdana dan hari pertama di
pasar sekunder akan semakin kecil. Dengan demikian, ada hubungan negatif
antara
profitabilitas
dengan
tingkat
underpricing.
Semakin
tinggi
profitabilitasnya maka semakin rendah tingkat underpricing.
Rentabilitas perusahaan yang tinggi akan meyakinkan investor akan
prospek perusahaan di masa mendatang, hal ini akan mengurangi tingkat
ketidakpastian (ex ante uncertainty), namun sebaliknya jika rentabilitas
perusahaan sangat rendah maka investor akan cenderung meminta kompensasi
dari harga saham yang ditawarkan perusahaan sebagai kompensasi atas
46
ketidakpastian yang ditanggung investor. Sehingga pengaruh ROA dalam hal
rentabilitas
memengaruhi tingkat underpricing secara negatif.
Profitabilitas
yang
tinggi
dari
suatu
perusahaan
mengurangi
ketidakpastian bagi investor sehingga menurunkan tingkat underpricing (Kim
et al. 1993). Watt dan Zimmerman (1990) menyatakan bahwa prestasi
keuangan, khususnya tingkat keuntungan, memegang peranan penting dalam
penilaian prestasi usaha perusahaan dan sering digunakan sebagai dasar dalam
keputusan investasi, khususnya dalam pembelian saham. Dengan demikian
diduga semakin besar ROA semakin kecil initial return. ROA dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
Dimana:
ROA
: Return on Assets atau Return on Investment (ROI)
NIAT
: Net Income After Tax
TA
: Total Assets
Pengukuran kinerja keuangan perusahaan dengan ROA memiliki
keuntungan, dimana ROA merupakan pengukuran yang komprehensif dimana
ROA memengaruhj laporan keuangan (laporan laba rugi dan neraca) secara
keseluruhan yang tercermin dari rasio ini. Keunggulan lain yang didapat dari
pengukuran kinerja dengan ROA adalah kemudahan dalam perhitungan ROA
dan kemudahan dalam memahaminya. ROA juga merupakan denominator yang
47
dapat diterapkan pada setiap unit organisasi yang bertanggung jawab terhadap
profitabilitas
dan unit usaha.
Dalam pengukuran kinerja perusahaan dengan ROA juga memiliki
kelemahan. Kelemahan ini berasal dari perhitungan ROA itu sendiri dimana
perhitungan ROA dapat digunakan untuk mengevaluasi perusahaan dalam
memakai dananya, namun tanpa memerhatikan besarnya sumber dana tersebut.
2.3.2 Earning Per Share (EPS)
Informasi mengenai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
pendapatan dapat membantu investoruntuk menilai kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan arus kas yang baik dimasa mendatang. Variabel EPS
merupakan proksi bagi laba per saham yang diharapkan dapat memberikan
gambaran bagi investor mengenai bagian keuntungan yang dapat diperoleh
dalam suatu periode tertentu dengan memiliki suatu saham.
Menurut Fabozzi (2001:861) yang dialihbahasakan oleh Tim
Penerjemah Salemba Empat bahwa:
“ Earning Per Share adalah perbandingan antara laba yang tersedia bagi
pemegang saham biasa (laba setelah pajak dikurangi dividen saham
preferen) dengan rata-rata tertimbang jumlah saham yang beredar selama
periode perhitungan yang dilakukan.”
Pada umumnya pemegang saham dan calon investor akan tertarik pada
EPS, karena EPS menggambarkan jumlah uang yang diperoleh untuk setiap
lembar saham dan EPS yang besar menjadi indikator keberhasilan dari emiten.
48
Dengan memperhatikan pertumbuhan laba perlembar saham tersebut dapat
dilihat
prospek perusahaan di masa yang akan datang sehingga akan
mempengaruhi keputusan investor dalam berinvestasi. Bila harga saham
mencerminkan kapitaliasi dari laba yang diharapkan di masa yang akan datang,
maka peningkatan laba akan meningkatkan harga saham dan total kapitalisasi
pasar.
EPS mencerminkan jumlah uang yang diperoleh untuk setiap lembar
saham perusahaan. Hasil empiris menunjukkan bahwa semakin tinggi EPS,
semakin tinggi pula harga saham.
Perhitungan EPS dirumuskan sebagai berikut (Ardiansyah, 2004):
Rasio EPS yang semakin meningkat memberikan indikasi bahwa
semakin besar keuntungan yang diperoleh perlembar saham, dengan asumsi
outstandingshares-nya
tetap.
Atau
perusahaan
semakin
besar
dalam
memperoleh laba sehingga kemungkinan membayarkan deviden juga semakin
besar ataupun diinvestasikan lagi (retained earning), maka diharapkan akan
memperoleh hasil yang semakin besar dimasa mendatang. Harapan tersebut
mengakibatkan dengan adanya peningkatan EPS maka akan meningkatkan
pendapatan dari kepemilikan saham. Profitabilitas yang tinggi suatu perusahaan
mengurangi ketidakpastian bagi investor sehingga menurunkan tingkat
49
underpricing (Kim et al. 1993). Dengan demikian diduga semakin besar EPS
semakin
kecil initial return.
EPS merupakan indikator yang dianggap memiliki kelebihan dalam
menggambarkan besaran pendapatan yang diterima oleh para pemegang saham,
mengingat dalam penelitian ini Initial Return merupakan return yang
diharapkan diterima oleh investor yang dapat diwakili oleh besarnya EPS.
Disisi lain, penggunaan EPS memiliki kekurangan karena tingkat
besaran EPS hanya dipengaruhi oleh besarnya penggunaan hutang dan EBIT
saja (Earning Before Interest and Tax).
2.3.3 Financial Leverage
Secara teoritis, financial leverage menunjukkan resiko suatu saham
perusahaan dan faktor ini menunjukkan kondisi ex-ante uncertainty (Kim et al,
1993) dalam Rina Trisnawati (1999). Financial leverage menunjukkan
kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya dengan modal yang
dimilikinya. Financial leverage sangat berkaitan erat dengan penciptaan suatu
struktur kebijakan dimana selanjutnya dapat mempengaruhi kemampuan suatu
perusahaan untuk membuat berbagai pilihan strategi (Jensen, 1986).
Menurut Keown, dkk (2001;402), financial leverage merupakan:
“penggunaan aset perusahaan yang didanai dengan surat-surat berharga
(surat hutang dengan tingkat bunga tetap atau saham preferen dengan
tingkat dividen konstan) dengan tingkat pengembalian yang tetap
50
(terbatas) yang diharapkan dapat meningkatkan keuntungan bagi
pemegang saham.”
Struktur modal yang tepat adalah keputusan kritis yang perlu
dipertimbangkan oleh berbagai organisasi bisnis. Selain keputusan ini berkaitan
dengan kebutuhan untuk memaksimumkan keuntungan, keputusan ini juga
berpengaruh
untuk mempertahankan perusahaan agar dapat bersaing dengan
perusahaan lain di industri yang sama.
Keputusan pendanaan berkaitan dengan sumber dana, baik yang
berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) perusahaan. Sumber
dana internal berasal dari dana yang terkumpul dari laba yang ditahan yang
berasal dari hasil kegiatan perusahaan. Sedangkan sumber dana eksternal
berasal dari pemilik atau peserta yang merupakan komponen modal sendiri
yang dapat diperoleh melalui IPO dan dana yang berasal dari para kreditur yang
merupakan modal pinjaman atau hutang.
Financial leverage dapat diproksikan oleh DER (Leonard Panjaitan,
2001). Perusahaan yang memiliki tingkat financial leverage tinggi akan lebih
cenderung menggunakan dana hasil IPO-nya untuk membayar hutangnya
daripada untuk kegiatan investasi guna melakukan ekspansi baru. Daljono
(2000) menyatakan bahwa apabila financial leverage tinggi, menunjukkan
resiko suatu perusahaan tinggi. Para investor dalam melakukan keputusan
investasi tentu akan mempertimbangkan informasi financial leverage. Oleh
sebab itu tingkat ketidakpastiannya akan semakin tinggi dan menyebabkan
51
semakin tinggi tingkat underpricing yang diharapkan. Sehingga pengaruh
financial
leverage terhadap tingkat initial return adalah positif
Variabel financial leverage diukur dengan rasio DER. Cara yang sama
dilakukan oleh Kim et al (1993) dan Rina Trisnawati (1999). Robert Ang
(1997) menyatakan bahwa DER dapat dihitung dengan rumus:
Dimana:
DER
: Debt to Equity Ratio
TD
: Total Debt
TSE
: Total Shareholder’s Equity
Financial leverage yang tinggi menunjukkan resiko finansial atau
resiko kegagalan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman yang tinggi dan
sebaliknya. Oleh karena financial leverage yang tinggi pada suatu perusahaan,
investor akan mengharapkan trade off
berupa initial return yang tinggi
(Daljono, 2000; Kim et al, 1995; dan Trisnawati, 1996)
Financial leverage dianggap memiliki kelebihan dalam memberikan
gambaran perusahaan-perusahaan yang memiliki proporsi utang yang baik, dan
dapat digunakan sebagai peringatan dini akan kemungkinan terjadinya k. Disisi
bangkrutan. Disisi lain, karena financial leverage menilai laba perusahaan
jangka pendek, apabila perusahaan ini menggunakan utangnya untuk investasi
52
jangka panjang yang baru akan menghasilkan laba setelah jangka waktu
tertentu,
financial leverage tidak dapat menjelaskan hal tersebut.
2.3.4 Ukuran Penawaran (Proceeds)
Pada saat perusahaan menawarkan saham baru maka terdapat aliran
kas masuk dari proceeds (penerimaan dari emisi saham). Proceeds
menunjukkan besarnya ukuran penawaran saham pada saat IPO (Ardiansyah,
2004). Melalui IPO diharapkan akan menyebabkan membaiknya prospek
perusahaan yang terjadi karena ekspansi atau investasi yang akan dilakukan atas
hasil IPO.
Nilai penawaran saham yang ditawarkan ke publik memberikan
informasi sejauh mana kebutuhan keuangan perusahaan. Semakin tinggi
perusahaan dikembangkan, akan semakin tinggi jumlah dana yang dibutuhkan.
Nilai penawaran saham juga akan menjadikan pertimbangan investor untuk
menganalisis jumlah saham yang dibutuhkan untuk menguasai persentase
tertentu atas saham sebuah perusahaan. Perusahaan dengan skala usaha yang
besar dan tingkat pertumbuhan yang tinggi akan cenderung menawarkan saham
dengan nilai yang besar. Demikian pula sebaliknya jika perusahaan yang baru
berdiri dan memiliki tingkat kebutuhan akan tambahan modal yang relatif kecil.
Perhitungan proceed dirumuskan sebagai berikut (Ardiansyah, 2004):
53
Dimana:
Proceed
: Nilai penawaran saham perusahaan
Offerprice
: Harga saham yang ditawarkan pada saat IPO
Shares
: Jumlah saham yang ditawarkan pada saat IPO
Nilai penawaran saham dapat dipergunakan sebagai indikator untuk
mengukur volatilitas. Sebelum saham memasuki pasar sekunder, semakin besar
nilai penawaran maka tingkat kepastiannya akan semakin kecil. Hasil penelitian
Nasirwan (2000) menunjukkan bahwa penawaran saham ternyata berasosiasi
signifikan dan negatif dengan return 15 hari dan satu tahun setelah IPO.
Sehingga jika nilai penawaran saham naik, maka akan menurunkan kinerja
saham selama 15 hari dan satu tahun setelah IPO.
Kim et al. (1995) menyatakan bahwa proceeds merupakan proksi dari
ketidakpastian yang dihubungkan dengan penawaran saham. Oleh karena itu
diduga bahwa proceeds berhubungan positif dengan harga pasar saham karena
semakin tinggi proceeds, semakin rendah ketidakpastian yang ditanggung oleh
investor dan berakibat pada initial return yang semakin kecil.
Proceed dianggap memiliki keunggulan dalam memberikan gambaran
mengenai besarnya dana yang akan diperoleh oleh perusahaan, besarnya dana
yang dibutuhkan untuk memiliki porsi saham tertentu, kemampuan perusahaan
dalam memberikan underpricing. Sedangkan kelemahan kelemahan dalam
proceed adalah ketidakmampuan dalam memberikan kepastian berapa banyak
dana yang telah terserap dalam penawaran perdana saham.
54
2.4
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai penawaran perdana selalu dikaitkan dengan besarnya
initial return sebagai proksi dari fenomena underpricing yang merupakan efek dari
adanya perbedaan harga saat penawaran umum perdana dengan harga penutupan hari
pertama pada pasar sekunder (Balvers, 1989 dalam Diyah, 2007). Beberapa penelitian
terdahulu telah dilakukan untuk menganalisa faktor-faktor yang memengaruhi
terjadinya underpricing pada penawaran saham perdana.
Kim et al (1993) menguji variabel keuangan financial leverage, return on
asset dan proceeds untuk investasi, serta variabel-variabel signalling, kualitas
underwriter, retensi kepemilikan dan ukuran penawaran. Hasil penelitiannya
menunjukkan variabel financial leverage berkorelasi positif dengan initial return,
sedangkan variabel ROA berkorelasi negatif dengan initial return. Untuk variabel
proceeds tidak signifikan, dan untuk variabel-variabel signallling hanya reputasi
penjamin emisi yang signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (1998) memfokuskan penelitian
pada informasi keuangan dan non-keuangan pada prospektus terhadap return di Bursa
Efek Jakarta. Faktor keuangan yang digunakan dalam penelitian itu adalah
profitabilitas perusahaan yang diukur dengan menggunakan ROA, dan financial
leverage. Sedangkan faktor-faktor non-keuangan adalah reputasi auditor, reputasi
penjamin emisi, dan prosentase saham. ROA, financial leverage, dan faktor nonkeuangan lainnyatidak memengaruhi secara signifikan terhadap initial return.
55
Daljono (2000) mengemukakan bahwa reputasi auditor, umur perusahaan,
prosentase
kepemilikan saham yang ditawarkan, profitabilitas, dan solvabilitasratio
tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap initial return, sedangkan
reputasi penjamin emisi dan financial leverage memiliki pengaruh yang signifikan
dan positif terhadap initial return.
Penelitian Chandradewi (2000) menggunakan variabel keuangan yang sama
dengan penelitian Kim et al (1995) yaitu laba per lembar saham, proceed, tipe
penawaran, dan indeks harga saham. Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya laba
per lembar saham yang berpengaruh signifikan pada harga saham pasar, yang berarti
mendukung hasil penelitian Kim et al. (1995) yang menemukan bahwa laba per
lembar saham berpengaruh signifikan dan berkorelasi positif dengan harga pasar
saham. Sedangkan proceed, tipe penawaran, dan IHSG tidak berpengaruh signifikan
terhadap harga pasar saham.
Nasirwan (2000) melakukan penelitian untuk menguji apakah reputasi
penjamin emisi, reputasi auditor, prosentase penawaran saham, umur perusahaan,
ukuran perusahaan, nilai penawaran saham, dan deviasi standar return, return 15 hari
setelah IPO dan kinerja perusahaan satu tahun setelah IPO. Hasilnya menunjukkan
bahwa reputasi penjamin emisi, prosentase penawaran saham, dan nilai penawaran
saham yang ditawarkan serta penawaran berkorelasi negatif terhadap return.
Setyaningsih (2000) melakukan studi berjudul “Pengaruh Analisis Beta, BookMarket Ratio, Debt-Equity Ratio, Earning-Price Ratio, Firm Size dan Sales-Prize
Ratio terhadap pendapatan saham Perusahaan Industri Dasar dan Kimia di Bursa Efek
56
Jakarta 1992-1998”. Analisis fundamental dengan variabel beta, B/M ratio, D/E ratio,
firm size, dan S/P ratio terhadap tingkat pendapatan saham industri dasar
E/P ratio,
dan kimia yang menunjukkan bahwa tingkat pendapatan saham perusahaan industri
dasar dan kimia selama 1992-1998 dapat diprediksikan dengan beta, B/M ratio, D/E
ratio, E/P ratio, firm size, dan S/P ratio. Namun demikian dalam penelitian ini semua
variabel bebas kecuali D/E ratio memiliki pengaruh positif dan hanya beta, D/E ratio
dan EPS yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat pendapatan saham
industri dasar dan kimia tahun 1992-1998. Hasil tersebut sedikit berbeda dengan
penelitian Sandip Mukherji, dimana pendapatan saham berhubungan secara positif
dengan B/M, S/P, D/E, serta berhubungan secara negatif dengan market value of
equity, tetapi tidak signifikan dengan beta dan E/P.
Penelitian
Andhi
Wijayanto
(2009)
menggunakan
variabel-variabel
independen seperti ROA, Earning Per Share, Financial Leverage, dan faktor non
keuangan Proceed untuk mengetahui pengaruhnya terhadap initial return pada
perusahaan non keuangan pada perusahaan yang melakukan IPO pada periode 20002006. Hasil analisa menunjukkan bahwa ROA berpengaruh negatif dan tidak
signifikan, EPS berpengaruh negatif signifikan, financial leverage berpengaruh
positif tidak signifikan, dan proceed berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap
initial return.
57
Download