II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004 yang dimaksud dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Struktur APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan (Gambar 3) (Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 pasal 16 PP No. 58 tahun 2005 Pasal 20). PENDAPATAN APBD BELANJA PEMBIAYAAN Gambar 3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pendapatan adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Anggaran pendapatan berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sumber pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari : pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Dana perimbangan terdiri atas : dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi Khusus (DAK). Lain-lain PAD yang sah meliputi : hasil penjualan 10 kekayaan yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi/potongan sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Belanja adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Angaran Belanja diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan berdasarkan susunan organisasi daerah seperti setda, dinas daerah dan lembaga teknis dinas daerah lainnya. Klasifikasi belaja menurut fungsinya didasarkan pada urusan kewenangan pemerintah daerah seperti : pelayanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan serta perlindungan sosial. Kalsifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Klasifikasi belanja menurut jenis belanja, anggaran belanja dikelompokan berdasarkan belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, serta belanja tidak terduga ( Peraturan Pemerintah RI No. 58 tahun 2005). Berdasarkan struktur anggaran tersebut elemen-elemen yang termasuk dalam belanja daerah terdiri dari : belanja aparatur daerah, belanja pelayanan Publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan daerah, serta belanja tidak tersangka. Pembiayaan adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan terdiri atas penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan 11 penerimaan kembali pemberian pinjaman. Pengeluaran pembiayaan terdiri dari pembentukan dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman. Pembiayaan merupakan transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah (Mardiasmo, 2002 : 187). Berdasarkan uraian diatas, struktur APBD dan komponen- komponen penyusunnya di era otonomi daerah dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini. PAD PENDAPATAN Dana Perimbangan Lain-lain penerimaan yg sah Aparatur Daerah Pelayanan Publik APBD BELANJA Bagi hasil & Bant. Keu Blj. tdk tersangka Pemb. Penerimaan PEMBIAYAAN Pemb. Pengeluaran Gambar 4 Struktur dan Komponen APBD pada Masa Otonomi Daerah Pada masa orde baru dasar hukum penyusunan APBD adalah UU nomor 5 tahun 1974. Struktur APBD-nya terdiri dari penerimaan atau pendapatan dan pengeluaran (Suparmoko, 2002 : 29). Penerimaan atau pendapatan dikelompokan menjadi penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan. Penerimaan rutin yang disebut juga penerimaan daerah terdiri dari : pendapatan asli daerah sendiri (PADS), bagi hasil pajak dan bukan pajak, dan bagian dari sumbangan dan bantuan. PADS terdiri atas : hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, dan 12 lain-lain usaha daerah yang sah seperti biaya perijinan dan hasil dari kekayaan daerah. Bagi hasil pajak dan bukan pajak meliputi : penerimaan pajak pemerintah pusat seperti PBB dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor serta bagi hasil dari pungutan kekayaan daerah seperti iuran hasil hutan. Bagian dari sumbangan dan bantuan terdiri atas sumbangan dari pemerintah pusat dan sumbangan dari pemerintah propinsi. Pengeluaran dikelompokan menjadi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin adalah pengeluaran untuk gaji pegawai dan belanja barang disamping untuk pembiayaan DPRD dan kepala daerah. Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran pembangunan untuk sektor-sektor seperti sektor industri, pertanian dan kehutanan, air dan irigasi, tenaga kerja, perdagangan, transportasi, tambang dan energi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian diatas, struktur APBD dan komponen- komponen penyusunnya di masa orde baru dapat dilihat pada Gambar 5. 13 PADS RUTIN Pajak, bukan pajak Sumbangan, bantuan PENERIMAAN PEMBANGUNAN APBD RUTIN Gaji pegawai, belanja barang, belanja DPRD, biaya kepala daerah PENGELUARAN PEMBANGUNAN Pembangunan Sektor-sektor Gambar 5 Struktur dan Komponen APBD pada Masa Orde Baru Berdasarkan kedua paparan diatas, antara struktur APBD pada masa otonomi daerah dan orde baru terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut merupakan ko nsekuensi dari perubahan penerapan paradigma pembangunan yang pada masa orde baru bersifat sentralistik dengan orientasi utama pada pembangunan pertumbuhan ekonomi menjadi bersifat desentralisasi dengan orientasi pembangunan yang berkeadilan (equity) dan distribusi pendapatan yang merata disamping tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi. 2.1.2 Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pedoman dan mekanisme penyusunan APBD di era otonomi daerah mengacu pada Peraturan Pemerintah RI No. 58 tahun 2005 dengan mekanisme penyusunan sebagai berikut : Penyusunan APBD diawali dengan penyampaian Kebijakan Umum APBD (KUA) oleh pemda kepada DPRD untuk dibahas sebagai landasan RAPBD. KUA yang disampaikan harus sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah 14 (RKPD) yang telah ditetapkan. Berdasarkan KUA yang telah disepakati oleh DPRD, pemerintah daerah bersama-sama dengan DPRD membahas Prioritas dan Plafon Anggaran Sementasa (PPAS) untuk dijadikan sebagai acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kepala SKPD selanjutnya menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Pemerintah daerah selanjutnya menyampaikan RKA-SKPD kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Hasil pembahasan ini disampaikan kepada kepala daerah sebagai pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD. Proses selanjutnya pemerintah daerah mengajukan Raperda APBD kepada DPRD untuk ditetapkan sebagai Perda APBD, tetapi apabila Raperda APBD tersebut tidak disetujui oleh DPRD maka untuk membiayai keperluan setiap bulan pemerintah daerah menggunakan APBD tahun sebelumnya. Proses penyusunan APBD sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 58 tahun 2005 secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 6. KUA PPAS RKA-SKPD Raperda APBD PEMDA : menyampaikan KUA kepada DPRD DPRD : membahas KUA sebagai landasan RAPBD PEMDA : bersama DPRD membahas PPAS DPRD : bersama PEMDA membahas PPAS PEMDA : menyampaikan kepada DPRD DPRD : membahas sebagai pendahuluan RAPBD PEMDA : mengajukan kepada DPRD DPRD : membahas sebagai sebagai Perda Jika Raperda APBD disetujui oleh DPRD Perda APBD APBD tahun lalu Jika Raperda APBD tidak disetujui oleh DPRD Gambar 6 Proses Penyusunan Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah 15 Pendekatan penyusunan APBD pada masa otonomi daerah menggunakan pendekatan kinerja, yaitu suatu pendekatan sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kinerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Untuk mengukur kinerja APBD menggunakan standar analisis belanja (SAB), tolok ukur kinerja dan standar biaya (Mardiasmo, 2002 : 192). Standar Analisis Belanja (SAB) adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan beban biaya terhadap suatu kegiatan. Dalam rangka perhitungan SAB, anggaran belanja unit kerja dikelompokkan menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung adalah belanja yang dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan yang direncanakan. Jadi keberadaan anggaran belanja langsung merupakan konsekuensi adanya program atau kegiatan. Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Jadi keberadaan anggaran belanja tidak langsung bukan merupakan konsekuensi ada atau tidaknya suatu program atau kegiatan. Tolok ukur kinerja adalah ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap unit kerja perangkat daerah. Tolok ukur kinerja ditetapkan dalam bentuk Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditentukan oleh masingmasing daerah. Standar biaya merupakan standar untuk menentukan kebutuhan pengeluaran daerah. Pendekatan menggunakan penyusunan pendekatan APBD pada incrementalism Menurut Mardiasmo (2002 : 168) bahwa dan masa orde line-item baru budget. incrementalism adalah suatu pendekatan yang didasarkan pada perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi dan jumlah penduduk. Bila tingkat infalsi dan jumlah penduduk meningkat, maka besar alokasi dana untuk tiap kegiatan yang sudah tertentu meningkat dari besar alokasi semula. Sedangkan line-item budget adalah suatu perenc anaan anggaran yang didasarkan atas “pos anggaran” yang telah ada sebelumnya. 16 Perbedaan mendasar dari proses penyusunan APBD di era otonomi daerah dan pada masa orde baru yaitu bahwa APBD di era otonomi daerah disusun melalui mekanisme bottom up melalui musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) mulai dari tingkat kelurahan/desa, kecamatan sampai dengan tingkat kota/kabupaten yang selanjutnya ditetapkan melalui peraturan daerah menjadi APBD. Selain itu APBD di era otonomi daerah disusun berdasarkan kemampuan daerah masing-masing, tidak berdasarkan flafon anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sedangkan pada masa orde baru mekanisme yang digunakan dalam penyusunan APBD bersifat top down yaitu APBD disusun berdasarkan flafon anggaran yang telah ditetapkan dari pemerintah pusat kemudian diuraikan ke tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Walaupun pada masa orde baru juga ada rakorbang (rapat koordinasi pembangunan) yang dimulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat, Namun pelaksanaan rakorbang tersebut dimulainya dari tingkat pusat terlebih dahulu kemudian berlanjut ke tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. 2.1.3 Peranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya- sumberdaya yang ada dan membentuk suatu kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pe rkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2004:298). Indikator makro ekonomi untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi daerah salah satunya dengan pendekatan laju pertumbuhan ekonomi (LPE). LPE dihitung dengan cara membandingkan pendapatan daerah (PDRB) dari tahun ke tahun. Sedangkan pendapatan daerah dibentuk dari belanja pemerintah daerah (APBD), belanja swasta (investasi), dan 17 selisih ekspor impor daerah. Belanja pemerintah daerah itu sendiri terdiri dari belanja aparatur (rutin) dan belanja Publik (pembangunan). Daerah yang mempunyai LPE tinggi maka akan berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja daerah yang tinggi pula. Setiap kenaikan LPE 1 % diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 120.000 orang. Selanjutnya setiap orang yang sudah bekerja dengan sendirinya pendapatannya akan meningkat yang pada akhirnya tingkat kesejahteraan mereka juga ikut meningkat pula. 2.1.4 Rasio Aktifitas Keuangan Daerah Berdasarkan pasal 10 UU nomor 32 tahun 2004 bahwa pemerintah daerah diberi wewenang yang luas dalam penyelenggaraan semua urusan pemerintahan kecuali dalam masalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Pada pasal 4 PP nomor 58 tahun 2005 disebutkan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efesien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah, salah satunya dengan pendekatan analisis rasio aktifitas keuangan daerah. Rasio aktifitas terdiri dari rasio keserasian dan rasio penyerapan dana per triwulan. Rasio keserasian menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dana APBD-nya. Semakin tinggi rasio belanja aparatur (rutin) terhadap APBD maka semakin kecil dana yang digunakan untuk pembangunan ekonomi di wilayah dan akan semakin kecil dampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Hakim, 2006 : 28). Rasio penyerapan dana per triwulan untuk melihat sejauh mana pemerintah daerah melakukan manajemen alokasi dana yang sudah tersedia dalam triwulan I sampai dengan IV. Rasio ini tidak dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat secara langsung. 18 Analisis rasio keserasian dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut ini. Rasio Belanja Publik terhadap APBD = Total Belanja Publik Total APBD Rasio Belanja Aparatur terhadap APBD = Total Belanja Aparatur Total APBD 2.2 Kesejahteraan Masyarakat 2.2.1 Pendapatan per Kapita Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kesejahteraan mengandung arti hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, ketentraman. Sejahtera itu sendiri mempunyai arti aman, sentosa, dan makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan).(Pusat Bahasa Depdiknas, 2005). Kesejahteraan masyarakat atau sering disebut kesejahteraan sosial adalah suatu kondisi (keadaan) yang digambarkan oleh suatu tatanan (tata kehidupan) yang seimbang antara kehidupan jasmani dan rohani atau antara aspek material maupun spiritual (Adi, 2003 : 41). Dari aspek ekonomi dan sosial, kesejahteraan masyarakat diantaranya dapat diukur dengan pendekatan pendapatan per kapita (PDRB per kapita) per tahun dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Arsyad, 2004 : 25-38). Kelemahan dari pendekatan pendapatan per kapita adalah diabaikannya distribusi pendapatan. Namun demikian, berdasarkan perhitungan BPS Kota Bekasi (2003 : 50) bahwa angka indeks gini (koefisien gini) untuk Kota Bekasi adalah 0,132. Dengan demikian menggambarkan distribusi pendapatan penduduk Kota Bekasi merata dengan kata lain ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Bekasi rendah. Hal ini sesuai dengan Arsyad (2004 : 233) bahwa koefisien gini merupakan ukuran untuk distribusi pendapatan yang nilainya antara 0 (kemerataan sempurna) dan 1(ketidakmerataan sempurna). Berdasarkan ketentuan World Bank bahwa pendapatan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan mereka adalah USD $ 1 19 atau setara dengan Rp. 10.000 per hari (Sumardjo, 2006 : 25). Namun demikian, pendapatan penduduk yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendapatan per kapita yang diperoleh dari PDRB per kapita. Pilihan ini didasarkan pada argumentasi bahwa data PDRB per kapita mudah diakses dan PDRB per kapita dapat dijadikan indik ator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. 2.2.2 Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang telah dikembangkan oleh United Nations for Develpment Program (UNDP) sejak tahun 1990 merupakan indeks komposit yang merupakan gabungan dari tiga dimensi pokok kemampuan dasar (basic capabilities) penduduk yang terdiri dari : (1) dimensi eko nomi; (2) dimensi sosial ; dan (3) dimensi kesehatan (Siregar, 2005 : 3). Dimensi ekonomi perwujudannya adalah kehidupan yang layak (decent living) yang diukur dengan pendekatan indikator pengeluaran perkapita riil dan UNDP menggunakan indikator Pendapatan Domestik Bruto (PDB) riil (adjusted real GDP per capita). Dimensi sosial perwujudannya adalah pengetahuan (knowledge) dengan indik ator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Indikator angka melek huruf diperoleh dari variab el kemampuan membaca dan menulis, sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. UNDP mengukur komponen pendidikan dengan indikator partisipasi sekolah dasar, menengah dan tinggi sebagai pengganti rata-rata lama sekolah yang secara global sulit diperoleh. Sedangkan dimensi kesehatan perwujudannya yaitu umur panjang dan sehat (longevity ) dengan indikator angka harapan hidup saat lahir. Secara umum komponen-komponen dijelaskan dalam Gambar 7. penyusun IPM dapat 20 DIMENSI : INDIKATOR : INDEKS DIMENSI : Umur Panjang dan Sehat Angka Haparan Hidup Saat Lahir Indeks Harapan Hidup Pengetahuan Angka Melek Huruf Rataan Lama Sekolah Indeks Pendidikan Kehidupan yang Layak Pengeluaran Perkapita Rill Indeks Pendapatan IPM Sumber : Siregar, 2005. Gambar 7 Komponen-Komponen Penyusun Indeks Pembangunan Manusia Skala indeks IPM adalah antara 0 sampai 100. Indeks IPM sampai dengan kurang dari 50 menunjukkan IPM rendah, indeks IPM antara 50 sampai dengan 65 menggambarkan IPM menengah rendah, indeks IPM antara 65 sampai dengan 80 menggambarkan IPM menengah tinggi dan indeks IPM di atas 80 menunjukkan IPM tinggi.