Menjadi Seorang Spiritual Worker

advertisement
Oleh : Yazid Zain, S.Ag, M.Pd.I
(Staff Bimas Islam Kan.Kemenag Kab. Probolinggo)
Berbagai macam kritikan dan sorotan masyarakat telah menjadi menu sehari-hari bagi pelaku
lembaga birokrasi dan layanan publik saat ini. Tidak terkecuali lembaga Kementerian Agama kita
tercinta. Menyongsong HAB Kemenag ke-68, artikel ini disajikan dengan harapan dapat menambah
wawasan dan semangat baru dalam bekerja yang pada gilirannya menjadikan Keluarga Besar
Kementerian Agama mampu memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat luas
berlandaskan nilai-nilai spiritual yang diembannya.
A. Pendahuluan
etika bekerja dengan kesadaran spiritual, seseorang selalu merasa dilihat, dinilai dan
diawasi oleh Allah swt sehingga tidak membutuhkan penilaian dari manusia. Ada atau
tidak pimpinan yang mengontrol, selalu menampilkan sikap yang terbaik dalam setiap
langkah pekerjaannya. Kerja spiritual inilah yang diyakini mampu memotivasi
sekaligus menjadi modal utama sebuah kesuksesan dalam pencapaian visi perusahaan
atau instansi. Bekerja dengan bingkai nilai-nilai spiritual tentu akan berbeda dengan
bekerja demi kepentingan materi duniawi semata. Nilai-nilai spiritual akan memotivasi seseorang
untuk bekerja dengan ikhlas, sungguh-sungguh dan melakukan yang terbaik karena
bertanggungjawab atas keimanannya. Demi tercapainya sebuah nilai ibadah dari setiap aktivitas
kerja. Dengan demikian, bekerja menjadi lebih terkontrol dan penuh kesadaran Ilahiyah.
K
B. Motivasi Kerja dalam Islam
Salah satu konsep yang menjadi perhatian dalam Islam adalah tentang bekerja. Bekerja
merupakan hal mendasar dalam kehidupan. Hidup manusia dapat berjalan baik jika setiap orang
mau bekerja. Bekerja untuk kepentingan individu, kepentingan social (pekerja social),
kepentingan keberlangsungan negara serta kepentingan kehidupan yang lebih luas lagi, seperti
dakwah. Bekerja adalah sebuah citra diri. Dengan bekerja seseorang dapat membangun
kepercayaan dirinya. Seseorang yang bekerja tentu berbeda dengan orang yang tidak bekerja sama
sekali atau pengangguran dalam masalah pencitraan dirinya. Bahkan dengan bekerja seseorang
akan merasa terhormat di hadapan orang lain. Karena dengan hasil tangannya sendiri, mereka
mampu bertahan hidup. Sungguh berbeda jika dibandingkan dengan seorang pengemis yang selalu
meminta belas kasih orang lain. Bahkan bekerja akan menaikkan derajat suatu bangsa di hadapan
bangsa lain.
Mengingat begitu pentingnya masalah bekerja ini dalam kehidupan, maka Islam
memberikan perhatian khusus kepada umat manusia untuk bekerja. Bekerja merupakan upaya
untuk melanggengkan kehidupan itu sendiri. Bahkan, bekerja dalam pandangan Islam selalu
dikaitkan dengan masalah keimanan. Banyak kalam Allah swt yang menyebutkan bahwa
pembahasan tentang bekerja dengan cara terbaik (amal saleh) selalu disandingkan dengan
keimanan kepada Allah swt. Masalah keimanan selalu diletakkan di awal kalimat sebelum amal
saleh. Al-Qur’an menyebutkan masalah iman dan amal saleh sebanyak 70 ayat, misalnya:
o Q.S. Al-‘Ashr: 1 – 3:
1
  
 
  
 
  
  

1. demi masa.
2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
o Q.S At-Taubah: 105




  
    



  
105. dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, bekerja disejajarkan dengan keimanan,
sekaligus sebagai wujud dari keimanan itu sendiri. Hal ini pulalah yang memberikan pemahaman
bahwa bekerja hendaknya berada dalam bingkai keimanan kepada Allah swt. Sebagaimana
firman-Nya dalam Q.S. Al-Insyiqaaq: 6




    
6. Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu
akan menemui-Nya.
Dalam Islam bekerja bukan sekedar untuk mendapatkan materi, tetapi lebih jauh dan
lebih dalam dari itu. Bekerja sebagai upaya mewujudkan firman Allah sebagai bagian dari
keimanannya. Dengan demikian, bekerja merupakan aktifitas yang mulia. Dengan bekerja ia dapat
melaksanakan perintah-perintah Allah swt lainnya, seperti zakat, infak dan sedekah. Bahkan
Rasulullah saw menempatkan posisi terhormat bagi mereka yang berinfak dari hasil kerjanya
sendiri. Sabda Rasulullah saw.:
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan yang dibawah”
Bahkan mereka yang bekerja atas dasar niat untuk menafkahi keluarganya diaktegorikan
sebagai mujahid (pejuang) di jalan Allah. Allah swt pun menempatkan mereka sebagai syahid
(dunia) apabila meninggal saat bekerja untuk mencari penghidupan yang terbaik bagi keluarganya.
Sabda Rasulullah saw:
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bekerja dan barangsiapa yang bekerja keras
untuk keluarganya, maka ia seperti mujahid di jalan Allah”.(HR. Ahmad)
Dalam Islam bekerja juga merupakan wujud syukur akan nikmat dan karunia Allah swt.
Selain itu bekerja juga sangat dianjurkan karena dapat menjaga wibawa dan kehormatan diri.
Dengan bekerja seseorang takkan meminta-minta dan mengharapkan pemberian orang lain. Allah
swt dan Rasul-Nya melarang para peminta-minta, yaitu mereka yang tidak bekerja dan hanya
berpangku tangan. Ibnu Mas’ud mengatakan: “Saya amat benci melihat seorang laki-laki yang
2
menganggur, tidak ada usahanya untuk kepentingan dunia dan tidak pula untuk kepentingan
akhirat”.
Bekerja di dunia merupakan salah satu jembatan menuju akhirat. Karena itu, bekerja bukan
semata-mata mencari penghidupan dunia. Cara kerja kita akan menentukan, apakah kita akan
mendapatkan kebahagiaan di akhirat atau tidak? Maka, setiap langkah kerja kita akan dimintai
pertanggungjawabannya dihadapan Allah swt kelak. Firman Allah dalam Q.S. Al-Qashash: 77:




     











      
  
77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Begitu banyak kalam Allah swt dan hadits Rasulullah yang secara khusus memberikan
motivasi untuk bekerja. Bekerja dengan cara terbaik demi mendapatkan rezeki halal dan
penghidupan terbaik. Diantaranya dalam Q.S. Al-Jumu’ah: 10:
   
     
   
 
10. apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Juga hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi:
“Sesungguhnya Allah senang jika salah seorang di antara kamu mengerjakan sesuatu pekerjaan
yang dilakukan secara profesional" (HR. Baihaqi)
C. Rezeki Bukan Hanya Hasil Kerja
Banyak orang memaknai rezeki begitu sempit, yaitu uang atau materi. Pemahaman yang
umum melekat adalah rezeki merupakan hasil kerja seseorang dan bukanlah pemberian dari Sang
Pemilik Rezeki. Ketika kita mendapatkan kesehatan yang baik, masih bisa menghirup udara
dengan bebas, mata masih bisa melihat dengan jernih, telinga masih bisa mendengar dengan jelas,
mulut masih bisa berbicara dengan indah, tangan masih bisa digerakkan, kaki masih bisa
diayunkan untuk melangkah, seakan bukanlah sebuah rezeki. Semua itu hanya dianggap sebuah
kewajaran biasa. Padahal, di saat salah satu bagian tubuh tidak dapat difungsikan dengan baik,
tentu akan banyak mengeluarkan biaya, uang, dan materi. Untuk itu, tidakkah sesungguhnya
kesehatan yang melekat pada diri merupakan rezeki terbesar (setelah keimanan) dari Allah swt?
Tetapi kebanyakan manusia tidak memahami dan menyadarinya. Untuk itulah rasulullah saw
bersabda:
“Dua hal yang sering manusia lupakan adalah kesehatan dan kesempatan”
Rezeki menurut para ulama ialah apa saja yang bisa dimanfaatkan (dipakai, dimakan atau
dinikmati) oleh manusia. Rezeki dapat berupa uang, makanan, ilmu pengetahuan, rumah,
kendaraan, pekerjaan, anak-anak, isteri, kesehatan, ketenangan dan segala sesuatu yang dirasa
nikmat dan membawa manfaat bagi manusia. Rezeki merupakan kelengkapan hidup yang pasti
3
allah karuniakan kepada makhluk hidup di dunia, khususnya manusia. Sebagaimana ajal,
keberadaan rezeki telah dijamin oleh Allah swt. Tidak ada manusia yang hidup di dunia tanpa
dilengkapi rezeki.
Sayangnya, kebanyakan orang memahami rezeki sebagai harta dan materi belaka. bahkan,
lebih sempit lagi, yaitu berupa uang. Dengan demikian muncul anggapan bahwa jika seseorang
tidak memiliki uang berarti dia tidak mendapatkan rezeki. Begitu pula jika seseorang bekerja dan
hanya mendapatkan sejumlah kecil uang, dianggap hanya mendapat sedikit rezeki. Sementara itu
pengalaman masa kerja, kebahagiaan dan lain sebagainya tidak dianggap sebagai sebuah rezeki.
Ada pula pemahaman masyarakat bahwa peluang tempat untuk mengais rezeki hanyalah dengan
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara, pekerjaan selain PNS bukanlah tempat
yang layak untuk mendapatkan rezeki. Ini merupakan pemahaman yang keliru. Padahal, dalam
hadits Rasulullah saw disebutkan, 99 pintu rezeki manusia diperoleh dari berdagang.
Banyak kalangan memiliki pemahaman yang berbeda-beda terhadap makna rezeki ini.
Pemahaman makna tersebut akan menentukan cara seseorang dalam memperlakukan rezeki yang
ada padanya. Berikut ini tiga model pemahaman tentang makna rezeki.
1. Sebagai Kepemilikan
Sebagian orang memahami bahwa rezeki yang didapat menjadi miliknya sepenuhnya. Tidak ada
campur tangan pihak lain dalam mendapatkan rezeki tersebut, baik orang lain ataupun Allah swt.
Baginya segala sesuatu yang diperoleh adalah hasil kerja kerasnya semata. Orang yang berpaham
demikian jauh dari rasa syukur dan sangat sulit untuk membagi rezekinya dengan orang lain. Bagi
mereka, berbagi hanya akan mengurangi rezeki yang dimiliki. Mereka tidak sadar bahwa segala
sesuatu sesungguhnya hanya milik Allah swt.
2. Sebagai Pemberian
Para ulama memahami makna rezeki sebagai atho’ atau pemberian. Makna tersebut merupakan
makna dasar dari kata ar-rizqu dalam bahasa Arab. Dengan pengertian atho’, segala rezeki yang
diperoleh seseorang di dunia adalah semata-mata pemberian Allah swt. Rezeki bukanlah hasil
kerja dari seseorang. Sementara, kerja hanyalah sebatas haal (jalan) atau perantara untuk
mendapatkan rezeki. Sedangkan, sebab utama diperolehnya rezeki adalah pemberian dari Allah
swt. Ada banyak perantara bagi seseorang untuk mendapatkan rezeki. Bisa melalui kerja yang dia
lakukan, melalui orang lain, atau menemukan sesuatu di jalan dan lain sebagainya. Coba
renungkan jika rezeki adalah hasil dari kerja kita, tentunya mereka yang bekerja keras, matimatian (tidak mati sungguhan), banting tulang, peras keringat, akan mendapatkan hasil yang
banyak. Pemahaman tentang rezeki sebagai pemberian Allah swt akan memudahkan seseorang
untuk memenuhi segala aturan-Nya dan berbagi dengan orang lain.
3. Sebagai Amanah
Pemahaman lainnya adalah rezeki yang dimiliki seseorang semata-mata amanah dari Allah swt.
Sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan-Nya. Inilah pemahaman
sesungguhnya tentang rezeki. Pemahaman ini akan mengantarkan seseorang pada rasa
tanggungjawab yang tinggi terhadap rezeki. Dengan demikian, Sang Pemilik dapat mengambil
kembali semua rezeki, kapanpun Dia berkehendak. Jika seseorang telah memiliki pemahaman ini,
tentunya ia takkan menolak kehendak-Nya dan takkan membuatnya stress atau bingung. Mereka
pun akan berhati-hati dalam mengelola rezekinya. Jangan sampai menyinggung perasaan Sang
Pemilik utamanya. Apapun kehendak Sang pemilik rezeki, tentu akan dipenuhinya dengan senang
hati sebagai wujud rasa syukur atas rezeki yang dipercayakan pada dirinya. Kalaupun tidak ada
rezeki padanya, merka paham bahwa – mungkin – itulah yang terbaik menurut Sang Pemilik.
4
Meskipun belum diberi kepercayaan, mereka akan terus berupaya menampilkan yang terbaik
dalam kehidupan ini. Seraya selalu mendekatkan diri pada-Nya dan menarik simpati-Nya sehingga
Sang Pemilik mempercayakan rezeki pada dirinya.
D. Bekerja dengan Hati Nurani
Bekerja dengan hati nurani adalah bekerja dengan berlandaskan pada pusat kesadaran
manusia, yaitu kalbu. Hati nurani adalah hati yang telah diwarnai atau dipenuhi cahaya kebenaran.
Sedangkan kalbu merupakan dasar kefitrahan diri. Pada dasarnya kalbu cenderung pada panggilan
kesucian, kebenaran, dan ketaatan kepada Allah swt. Dalam bekerja hendaknya mendengarkan
suara hati nurani sebagai pengambil kebijaksanaan. Hati nurani atau kalbu digunakan sebagai alat
pertimbangan yang utama dalam menentukan sikap dan perilaku di dunia kerja. Kalbu, pada
hakikatnya, cenderung merujuk pada kebaikan. Karena itu, dengan hati nurani, nilai-nilai kebaikan
akan ditampilkan sebagai sikap kerja sehingga muncullah perilaku-perilaku positif dalam
pekerjaan. Misalnya bersih dalam bekerja, penuh semangat dan berharap penuh keikhlasan dalam
beribadah. Kemampuan seseorang untuk menerima serta tunduk pada kebenaran dan menolak
kemungkaran terletak pada kesadaran yang bersumber dari kecerdasan kalbu (hati). Kalbu adalah
pusat kesadaran inti dalam diri setiap manusia. Kalbu sebagai pemilah dan pemilih terhadap nilainilai kebenaran dan ketidakbenaran. Kalbu adalah hakim bagi diri manusia. Kalbu adalah fitrah
dalam diri setiap manusia yang beriman.
Fitrah adalah suci bersih dari noda. Dalam pengertian yang lain, fitrah adalah
kecenderungan untuk selalu pada kebaikan dan nlai-nilai kebenaran. Dengan demikian,
sesungguhnya telah tertanam dalam diri manusia sejak kelahirannya untuk selalu tunduk dan lebih
memilih nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Renungkanlah setiap kali kita melakukan keburukan,
seperti berbohong. Setelah berbohong hati menjadi tidak tenang dan selalu khawatir jika orang
lain mengetahui kebohongan kita. Perasaan khawatir ini, sesungguhnya merupakan suara
penolakan kalbu yang suci bersih. Kalbu yang tidak menginginkan kita berbuat keburukan,
walaupun kita memaksa diri untuk berbohong. Namun keburukan-keburukan yang terus dipelihara
akan mengurangi kepekaan kalbu. Jika sudah demikian, perilaku buruk tersebut akan menjadi hal
biasa dan wajar-wajar saja, bahkan dianggap benar. Sikap ini akan mengantarkan kita pada
kegagalan dan kehinaan.
Keadaan kalbu yang menerima kebenaran dari Allah swt akan mewarnai kita dengan
cahaya Ilahi dan menyelimutinya dengan kebenaran abadi (Nur Ilahi). Penerimaan terhadap nilainilai ketuhanan – seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw –
menjadikan hati dan diri kita selalu menjulang ke atas, mengharapkan ridha dari Allah swt
sehingga terbentuklah kemuliaan diri. Penuh wibawa dan terhormat dalam dunia kerja dan
kehidupannya. Penerimaan terhadap kebenaran dan nilai-nilai kebaikan akan memunculkan sikap
obyektif dalam menilai sesuatu, kreatif, inovatif, serta selalu berpikir positif terhadap diri sendiri
maupun orang lain. Hidup selalu dipenuhi rasa cinta terhadap sesama, sikap penuh empati, toleran,
kasih sayang, sabar, dan sensitiv. Ketika dihadapkan pada beragam permasalahan, kita akan tetap
tenang, rendah hati (tawadhu’), penuh semangat dalam hidup (mujahadah), hemat, sederhana,
disiplin,, berani, adil, bijak, penuh tanggungjawab dan selalu optimis.
Penolakan atas kebenaran berujung pada sikap kecintaan yang berlebihan terhadap dunia,
hati dipenuhi rasa benci dan dendam yang menggelora penuh dengan perasaan iri dan dengki,
sikap kasar, suka berbohong, serta penuh dusta. Kesan egois, sombong, dan angkuh juga akan
tampak dalam diri kita. Selain itu, kita mudah dihinggapi rasa malas, mudah putus asa, pesimis,
serta bergaya hidup boros. Inilah tipe manusia penakut penuh ragu dalam bertindak dan
5
mengambil keputusan, serta kikir dan tamak dalam masalah harta. Sedangkan akalnya dipenuhi
dengan segala subjektivitas dalam menilai sesuatu, berpikir jumud dan stagnan, pasif, selalu
berpikir negative, apriori, dan skeptif terhadap orang lain.
E. Penutup
Penanaman nilai-nilai spiritual di dunia kerja diyakini mampu mendorong munculnya
motivasi dan produktivitas kerja yang tinggi atas dasar ibadah. Dengan demikian, pekerjaan yang
dilakukan secara ikhlas; tanpa pamrih, penuh kesadaran, bertanggungjawab, bersemangat dan
bersungguh-sungguh karena merasa dinilai oleh Allah SWT, suci bersih dari penyimpangan,
penyelewengan dan kebohongan, penuh prestasi, terobsesi untuk selalu menampilkan yang
terbaik, serta menjadi teladan, contoh terbaik dalam kebaikan bagi lainnya. Berbagai sikap ini
harus dibina dan dikembangkan dalam keseharian kerja kita. Semoga menyongsong HAB
Kemenag ke-68 kita mendapat semangat yang terbarukan, menjadi spiritual worker!.
6
Download