MENCEGAH PERILAKU KANIBALIS PARA CALON POLITISI Oleh: GPB Suka Arjawa Sistem pemilihan umum anggota legislatif yang memakai suara terbanyak untuk lolos, membuat persaingan antar kandidat menjadi sengit. Yang paling dikhawatirkan banyak pihak adalah adanya saling jegal diantara anggota satu partai politik. Suasana ini dimungkinkan karena untuk mendapatkan suara terbanyak, anggota satu partai berebut mendapatkan suara. Karena itu, jika ada usulan untuk saling ”bagi” daerah kampanye, dinilai sebagai langkah lebih baik untuk menghindari upaya saling sikut tersebut. Tetapi, pembagian daerah kampanye inipun sesungguhnya tetap menimbulkan konflik antar calon sebab masing-masing wilayah (bahkan di satu kabupaten pun), mempunyai karekter sosial yang berbeda. Masyarakat berkultur petani tentu mempunyai karakter berbeda dengan mereka yang berbudaya pedagang, atau nelayan. Konflik akan muncul bagi calon anggota legislatif yang tidak puas dengan pembagian tersebut. Dalam kasanah politik, kanibal, jagal-jagalan dalam perebutan kekuasaan bisa dikatakan sebagai hal yang lumrah. Frase ”tidak ada teman dan lawan abadi dalam politik” boleh dikatakan sebagai ungkapan lain dari dunia jagal menjagal tersebut. Karena itulah oleh sebagian orang, politik sering dikatakan sebagai permainan kotor. Namun haruslah diingat bahwa makna generik dari politik tidaklah kejam seperti itu karena tanpa politik pemerintahan dan negara tidak akan pernah berjalan. Bahkan ekonomi pun tidak akan bisa berjalan kalau tidak ada engsel politik di dalamnya. Maka masalah saling sikut dalam polItik mesti dilihat dari sudut unsur yang paling khas, yaitu perilaku politik. Unsur ini sangatlah berkaitan dengan unsur lain, yaitu budaya politik. Secara sederhana, perilaku politik itu menyangkut soal tindakan, hubungan atau interaksi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dalam batas-batas memperoleh pengaruh atau kekuasaan. Sedangkan perilaku yang sudah konstan dan menurun atau menyebar atau terpola dalam rangka memperoleh pengaruh atau kekuasaan itu, bisa disebut sebagai budaya politik. Yang terakhir inipun juga bisa diperlihatkan oleh individu maupun kelompok. Saling potong, saling jegal atau kanibal sangat terkait dengan perilaku dan budaya politik. Dengan demikian, dua hal yang paling didengung-dengungkan sekarang, yakni pembagian daerah kampanye dan pengutaraan trek rekord dari kandidat legislatif, boleh dikatakan sebagai alternatif positif untuk menghindari terjadinya praktik kanibal di dalam partai politik. Pembagian daerah kampanye sesungguhnya lebih tertuju pada upaya untuk mematahkan praktik perilaku politik yang bersifat negatif di dalam suatu wilayah. Dengan pembagian wilayah kampanye, perilaku politik antagonis akan bisa direduksi sampai batas yang diperkirakan. Pada hakekatnya, sikap politik masyarakat Indonesia itu masih sederhana. Mereka terikat asal usul, dan terutama lingkungan. Artinya masyarakat akan cenderung melakukan polihan sesuai dengan ”jarak” yang paling dekat dengan mereka. ”Jarak” itu tidak lain adalah asal-usul dan lingkungan. Masyarakat akan memilih calon anggota legislatif yang mempunyai asal usul mirip dengan pemilih dan berada pada wilayah sama. Wilayah ini bisa banjar (RW), RT (desa) kecamatan atau kabupaten. Sedangkan asal usul menyangkut keluarga, marga, klan, atau di Bali akan bisa ditelusuri dengan warna. Karena itu, inisiatif untuk memberikan pembagian calon anggota lagislatif berdasarkan wilayah ini, sebaiknya memang harus disesuaikan dengan ”jarak” yang dimaksudkan tadi. Akan tetapi, hal ini tetap mempunyai kelemahan. Di dalam satu wilayah yang memiliki berbagai kesamaan itu akan masih dimungkinkan adanya lebih dari satu calon anggota legislatif. Sehingga memungkinkan bagi mereka untuk mempraktikkan model kanibal tersebut. Pada titik inilah diperlukan diuangkapkannya trek rekord dari masing-masing kandidat. Trek rekord akan mampu memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk memilih calon anggota legislatif itu menjadi anggota legislatif. Partai politik harus mempunyai peran adil untuk memberikan wilayah yang lebih pantas kepada para kandidat untuk bersaing. Kualitas dari partai politik akan ditentukan dari cara dan metode mereka untuk memberikan pembagian wilayah ini secara adil. Dan Komisi Pemilihan Umum juga harus memberikan kontribusi besar terhadap penyebaran trek rekord dari masing-masing kandidat agar mereka lebih mampu melakukan pilihan yang lebih rasional. Satu hal yang mungkin bisa mempengaruhi cara ini adalah karekater sosial dari wilayah bersangkutan. Karekater sosial menjadi tantangan tersendiri bagi para kandidat untuk melakukan kampanye atau pendekatan kepada pemilih. Satu wilayah kecamatan misalnya akan teridiri dari kelompok pedagang, petani, pegawai atau nelayan. Dalam sistem sosial di kecamatan, profesi seperti itu terkelompok ke dalam desa-desa tertentu. Justru disinilah terjadi potensi kanibalis apabila para calon anggota legilatif tidak mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam melakukan pendekatan. Tantangan terbesar bagi para kandidat adalah mempersiapkan diri metode dan pendekatan politik (kampanye) yang dilakukan untuk masyarakat sesuai dengan karakter itu. Jika tidak dilakukan, para kandidat akan melakukan jegal-jegalan, bukan pada tingkat masyarakat tetapi pada partai politik itu sendiri. Mereka akan berupaya memilih wilayah yang dipandang lebih mampu dikuasai kendati ”jaraknya” agak lebih jauh. Partai politik mempunyai tantangan disini. Sektor lain yang mesti diperhatikan dan diawasi dalam kerangka pemilihan calon anggota legislatif adalah faktor kekuasaan. Inilah ”otak” yang paling diperbutkan oleh para politisi, termasuk oleh calon anggota legislatif tersebut. Kekuasaan pada hakekatnya mengandung tiga potensi, yakni pengaruh, manajerial, dan terakhir melenyapkan pihak lain. Sebagai potensi yang mempunyai posisi lebih tinggi secara struktural kekuasaan akan mempunyai kewenangan untuk menjalankan kebijakan. Di dalam kebijakan ini kepentingan-kepentingan dari pemegang kekuasan akan bisa muncul, baik secara terbuka maupun tidak kelihatan. Jadi, ketika seorang tokoh partai atau tokoh organisasi mendapatkan tempat di jalur kekuasaan, kemungkinan apa yang menjadi ideologi akan berpengaruh ke wilayah kekuasaan tersebut. Manajerial lebih mengacu kepada upaya mengelola dan rekrutmen personil. Di dalam rekrutmen dimungkinkan para pemegang kekuasaan itu untuk memilih para pengikutnya sendiri sehingga ajaran-ajaran itu akan dominan terhadap kelompok tersebut. Hal ini sangat tidak adil bagi sistem demokrasi. Dua potensi awal itu pada akhirnya menimbulkan potensi yang ketiga, yakni melenyapkan pengaruh pihak lain dari tataran apapaun di bidang politik. Pekerjaan partai politik selanjutnya adalah menyaring calon anggota yang mempunyai sifat yang terlalu menekankan pada kekuasaan. Anggota legislatif yang terlalu menekankan pada kekuasaan itu akan mampu menghancurkan partai karena sifat kanibal sesungguhnya ada pada mereka yang terlalu menekankan tujuan pada kekuasaan. **** Penulis adalah staf pengajar Sosiologi Politik di FISIP dan FE Universitas Udayana.