BAB IV PENUTUP Tibalah saatnya bagi Penulis, sesuai dengan judul Bab di atas untuk mengajukan kesimpulan dan saran, dengan mengacu kepada rumusan tujuan penelitian yang telah dikemukakan oleh Penulis di Bab I skripsi ini yaitu Bagaimana asas persamaan perlakuan di depan hukum yang berlaku di Indonesia dalam PBM dan dalam Putusan 41 serta 127 Mahkamah Agung yaitu dalam sengketa TUN antara Umat di Rumah Ibadat A Quo dengan Kepala Dinas? Setelah meneliti berbagai satuan amatan, seperti yang telah Penulis kemukakan di dalam Bab III Hasil Penelitian dan memeriksa atau mengeksaminasi satuan-satuan amatan itu, Penulis berkesimpulan, ada temuan bahwa baik PBM maupun Putusan-putusan Pengadilan yang ada semuanya mengandung pengakuan terhadap asas perlakuan yang sama di depan hukum (equality before the Law). Namun, terdapat satu pasal yang dapat menciderai PBM tersebut, berpotensi tidak mencerminkan asas persamaan perlakuan di depan hukum, dan menimbulkan diskriminasi yaitu Pasal 14 Ayat (2) huruf (a) dan (b) PBM. Kesimpulan lainnya, adalah bahwa prinsip (the principle) atau asas hukum 95 persamaan perlakuan di depan hukum (equality before the Law) yang menjadi satu strand penting dalam fabrik atau sistem hukum itu, dalam sistem hukum di Indonesia, merefleksikan atau memanifestasikan diri dan mengejawantah di dalam PBM maupun Putusan-putusan yang ada dan yang telah menjadi satuan amatan Penulis, baik dalam penelitian maupun dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Pada hakikatnya, patut pula disimpulkan oleh Penulis bahwa asas persamaan perlakuan di hadapan hukum (equality before the Law) itu memang dapat saja dikatakan sebagai bukan suatu kaedah hukum yang bersifat konkret, hanya saja asas hukum juga dapat menjadi suatu kaedah yang konkret dan oleh sebab itu menurut Penulis, asas persamaan di depan hukum itu juga adalah suatu kontrak (a contract). Dan sebagai suatu kontrak, asas itu menjadi kewajiban banyak pihak yang telah Penulis kemukakan di atas untuk dipatuhi. Disamping adanya judicial review, yaitu mekanisme bagi rakyat atau siapa saja yang merasa dirugikan oleh perbuatan hukum konkret badan atau pejabat TUN yang melanggar asas persamaan di depan hukum dimana lembaga pengadilan sebagai pihak (the party to contract) juga penting memikul kewajiban (contractual obligation atau constitutional obligation) menjamin bahwa tindakan dari Pejabat TUN tidak bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum. Hanya saja, sehubungan dengan apa yang baru saja Penulis kemukakan di atas, hal yang juga tidak kalah penting untuk dikemukakan di sini adalah bahwa barangkali, karena menganggap bahwa prinsip perlakuan yang sama di depan hukum itu bukanlah suatu kaedah perlindungan hak-hak asasi manusia dan pilar negara hukum yang konkret, maka para pihak yang berwenang di dalam PBM maupun dalam Putusan-putusan yang menjadi satuan amatan penelitian dan 96 penulisan karya tulis ini tidak menyatakan secara tegas di dalam semua produk hukum itu, kecuali hanya dapat dicerna secara tersirat. Oleh sebab itu, saran yang perlu Penulis kemukakan di sini adalah hendaknya para pihak yang memegang wewenang dalam menegakkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan dalam pembuatan peraturan perundangundangan hendaknya memperjelas atau membuat perumusan asas persamaan di depan hukum itu sebagai suatu rumusan yang terang sehingga tidak perlu dilakukan interpretasi untuk memahami pemanifestasian atau pengejawantahan asas itu di dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan-putusan hakim di kemudian hari. Sebab, demikianlah suatu tuntutan hukum (the dictate of the Law) yaitu bahwa suatu kaedah hukum seharusnya dirumuskan secara jelas dan terang sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi serta memberi arah kepada tindakan, baik itu tindakan pemerintah dan penguasa maupun rakyat atau mereka yang harus dilayani oleh penguasa yaitu Rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sejati dan asli (otektik) di bawah Hukum (the law). 97