PENGAR PERTUM DEP RUH PENA MBUHAN

advertisement
PENGAR
RUH PENA
AMBAHA
AN IAA DAN KINE
ETIN TER
RHADAP
PERTUM
MBUHAN
N KRISAN
N (Dendran
nthema graandiflora Tzvelev)
T
VARIETA
AS PITAL
LOKA SECARA IN
N VITRO
KRISTIA
ANTO NUG
GROHO
A
A240700177
DEP
PARTEME
EN AGRO
ONOMI DA
AN HORT
TIKULTU
URA
FAKULT
TAS PERT
TANIAN
INS
STITUT P
PERTANIA
AN BOGO
OR
2012
RINGKASAN
KRISTIANTO NUGROHO. Pengaruh Penambahan IAA dan Kinetin
terhadap Pertumbuhan Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) Varietas
Pitaloka secara in vitro. (Dibimbing oleh NURHAYATI A. MATTJIK).
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari pengaruh konsentrasi
IAA dan kinetin terhadap pertumbuhan krisan varietas Pitaloka secara in vitro dan
mempelajari bagaimana interaksi antara kedua zat pengatur tumbuh tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman 3
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor pada bulan Februari hingga Mei 2012.
Penelitian dilakukan menggunakan rancangan perlakuan faktorial yang
disusun dalam Rancangan lingkungan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor
yaitu konsentrasi IAA dan konsentrasi kinetin. Perlakuan konsentrasi IAA terdiri
atas tiga taraf yaitu 0 mg/l, 0.5 mg/l, dan 1.0 mg/l sedangkan konsentrasi kinetin
terdiri atas empat taraf yaitu 0 mg/l, 0.5 mg/l, 1.0 mg/l, dan 1.5 mg/l sehingga
terdapat 12 kombinasi perlakuan. Tiap perlakuan diulang sebanyak 10 kali
sehingga terdapat 120 satuan percobaan.
Hasil percobaan selama tahap kultur in vitro menunjukkan bahwa
penambahan auksin tidak berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah tunas,
jumlah buku, jumlah daun, jumlah akar, panjang akar, dan tinggi planlet.
Penambahan kinetin menunjukkan pengaruh nyata terhadap jumlah akar, panjang
akar, dan tinggi planlet, serta berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas,
jumlah daun, dan jumlah buku. Interaksi antara IAA dan kinetin berpengaruh
nyata terhadap jumlah buku dan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah akar,
panjang akar, dan tinggi planlet.
Penambahan konsentrasi kinetin hingga 1 mg/l menghasilkan rata-rata
jumlah tunas dan jumlah daun terbanyak yaitu 3.18 tunas dan 16.77 daun.
Kombinasi antara IAA 1 mg/l dengan kinetin 1 mg/l menghasilkan rata-rata
jumlah buku terbanyak yaitu 14.14 buku. Perlakuan kontrol (MS0) menghasilkan
rata-rata jumlah akar terbanyak yaitu 11.5 akar.
Rata-rata panjang akar terpanjang juga diperoleh pada perlakuan kontrol
yaitu 9.73 cm, sedangkan rata-rata planlet tertinggi diperoleh pula pada perlakuan
kontrol yaitu 8.12 cm.
i
PENGARUH PENAMBAHAN IAA DAN KINETIN TERHADAP
PERTUMBUHAN KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev)
VARIETAS PITALOKA SECARA IN VITRO
Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
KRISTIANTO NUGROHO
A24070017
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ii
Judul
: PENGARUH
KINETIN
PENAMBAHAN
TERHADAP
IAA
DAN
PERTUMBUHAN
KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev)
VARIETAS PITALOKA SECARA IN VITRO
Nama
: KRISTIANTO NUGROHO
NIM
: A24070017
Menyetujui,
Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Nurhayati Ansori Mattjik, MS.
NIP. 19460807 197301 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr
NIP. 19611101 198703 1 003
Tanggal lulus :
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Desember 1989. Penulis
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sarwono dan Ibu
Nur Siti.
Riwayat pendidikan penulis dimulai tahun 1995 di SDN Aren Jaya 8
Bekasi Timur. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikannya di SMP
Negeri 3 Bekasi hingga tahun 2004. Selanjutnya penulis menyelesaikan studi di
SMA Negeri 1 Bekasi pada tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun
2007. Semasa kuliah penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah
Biologi TPB.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi
kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Pengaruh Penambahan IAA dan Kinetin terhadap Pertumbuhan
Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) varietas Pitaloka secara in vitro
dengan sebaik mungkin. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat
kelulusan bagi mahasiswa Mayor Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Tiada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa skripsi ini mungkin
masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu penulis
menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan yang ada. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2012
Penulis
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis memperoleh bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Nurhayati A. Mattjik, MS. sebagai dosen pembimbing skripsi,
atas bimbingan dan arahan selama kegiatan penelitian ini berlangsung.
2. Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc. selaku pembimbing akademik
yang telah memberi arahan dan bimbingan akademik selama masa kuliah,
juga atas bantuan ZPT kinetin untuk penelitian ini.
3. Dr. Dewi Sukma, SP, M.Si dan Dr. Ir. Syarifah Iis Aisyah, MSc.Agr.
sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk
perbaikan skripsi ini.
4. Yayasan Bogor International Club, melalui wakilnya Ibu Ratna Rosiana
Budiman, atas bantuan dana beasiswa untuk kegiatan penelitian ini
5. Bapak, Ibu, serta kakak-kakak yang selalu memberikan dukungan baik
moril maupun materil kepada penulis.
6. Rekan kerja di Laboratorium Kultur Jaringan 3, antara lain Teh Iif, Mas
Deni, Bi Acih, Pak Nur Arifin, Neneng, Rara Puspita, Mbak Sandra, serta
Mbak Iin, atas bantuan dan kerjasamanya.
7. Seluruh rekan-rekan AGH angkatan 44 dan 45, terima kasih atas
persahabatan dan kerja samanya selama ini.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.............................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xi
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 Tujuan ........................................................................................................ 3 Hipotesis .................................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 5 Botani Tanaman Krisan ............................................................................. 5 Syarat Tumbuh Tanaman Krisan…………………………………………7 Varietas Tanaman Krisan Indonesia......................................................... 10 Kultur Jaringan Tanaman ......................................................................... 11
Kultur Jaringan Krisan………………………………………………….12
Media Kultur Jaringan…………………………………………………..14 Zat Pengatur Tumbuh .............................................................................. 15 Auksin ...................................................................................................... 16 Sitokinin................................................................................................... 19 BAHAN DAN METODE ................................................................................. 22 Tempat dan Waktu ................................................................................... 22 Bahan dan Alat......................................................................................... 22 Metode Penelitian .................................................................................... 22 Pelaksanaan ............................................................................................. 23 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 26 Kondisi Umum ........................................................................................ 26
Pembahasan Umum ................................................................................. 27 Jumlah Tunas ........................................................................................... 28 Jumlah Buku ............................................................................................ 30 Jumlah Daun ............................................................................................ 32 Jumlah Akar ............................................................................................. 35 Panjang Akar............................................................................................ 37 Pembentukan Kalus ................................................................................. 39 Tinggi Planlet ........................................................................................... 41 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 44 Kesimpulan .............................................................................................. 44 Saran ........................................................................................................ 44 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 45 vii
LAMPIRAN ...................................................................................................... 48 viii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Jumlah Tunas pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 29
2. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Tunas pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 29
3. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Jumlah Buku pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 31
4. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Buku pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 31
5. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Buku pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 32
6. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Jumlah Daun pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 33
7. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Daun pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 33
8. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Jumlah Akar pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 36
9. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Akar pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 36
10. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Akar pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 36
11. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Panjang Akar pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 37
12. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Panjang Akar pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 38
13. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Panjang Akar pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 39
ix
14. Persentase Eksplan Membentuk Kalus dari Tiap Perlakuan
pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka.................................... 40
15. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Tinggi Planlet pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 41
16. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Tinggi Planlet pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 42
17. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Tinggi Planlet pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 42
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Bentuk bunga krisan : (A). Tipe Pompon, (B). Tipe Button,
(C). Tipe Decorative, (D) Tipe Single................................................7
2. Bentuk bunga krisan : (A). Tipe Spoon, (B). Tipe Quill,
(C). Tipe Anemone, (D). Tipe Spider................................................ 8
3. Krisan Varietas Pitaloka..................................................................... 11
4. Skema Biosintesis IAA...................................................................... 17
5. Skema Pembentukan Sitokinin Melalui
Lintasan Asam Mevalonat…………………………………………. 20
6. Gejala Kontaminasi Selama Masa Kultur.......................................... 26
7. Tunas yang terbentuk pada kultur in vitro krisan
varietas Pitaloka perlakuan kinetin 0.5 mg/l pada 1 MSK………….28
8. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap
Jumlah Tunas Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
pada 9 MSK……………………………………………………….. 30
9. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap
Jumlah Tunas Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
pada 9 MSK……………………………………………………….. 34
10. Akar yang terbentuk pada kultur in vitro krisan varietas Pitaloka
perlakuan IAA 1 mg/l pada 1 MSK……………………………….. 35
11. (A). Kalus Berakar yang Terbentuk pada Perlakuan IAA 0.5 mg/l
dan (B). Kalus Bertunas yang Terbentuk pada Perlakuan
Kinetin 1.5 mg/l……………………………………………………. 41
12. Planlet yang terbentuk pada perlakuan kontrol pada 9 MSK……... 43
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Deskripsi Krisan Varietas Pitaloka.................................................... 49
2. Komposisi Media Murashige dan Skoog………………………….. 50
3. Rumus Konversi dari ppm ke μM…………………………………. 51
4. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Jumlah Tunas pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………. 52
5. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Jumlah Daun pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………. 52
6. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Jumlah Buku pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………. 53
7. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Jumlah Akar pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………. 53
8. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Tinggi Planlet pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………..54
9. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Panjang Akar pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………..54
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman hias merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki
prospek ekonomi yang menguntungkan. Pemanfaatan tanaman hias dapat berupa
tanaman hias dalam pot yang digunakan untuk memperindah halaman rumah atau
mempercantik dekorasi ruangan. Cara lain pemanfaatan tanaman hias ialah dalam
bentuk bunga potong segar yang permintaannya saat ini kian bertambah seiring
dengan perkembangan pola pikir masyarakat akan nilai-nilai keindahan dan
estetika. Hal ini terlihat dari tingginya permintaan akan bunga potong segar, baik
digunakan sebagai hiasan di rumah, di kantor, di hotel maupun dalam acara-acara
tertentu seperti pernikahan, wisuda, upacara keagamaan, hingga kematian.
Kondisi geografis Indonesia yang memiliki dataran tinggi dengan kondisi udara
yang sejuk membuat agribisnis tanaman hias berkembang semakin pesat.
Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) merupakan salah satu jenis
tanaman hias yang memiliki angka permintaan cukup tinggi di masyarakat. Sentra
produksi krisan kini mulai tersebar di beberapa daerah di Indonesia antara lain di
kawasan Cipanas-Cianjur, Lembang (Jawa Barat); Bandungan (Jawa Tengah);
Batu (Jawa Timur); Brastagi (Sumatera Utara); Bukit Tinggi (Sumatera Barat);
Pagar Alam (Sumatera Selatan); Bali; hingga Tomohon (Sulawesi Utara) (Hadi,
2008). Badan Pusat Statistik (2009) mencatat bahwa produksi bunga potong
krisan pada tahun 2009 mencapai 107 847 072 tangkai, meningkat 8 688 130
tangkai dari tahun sebelumnya. Produksi bunga potong krisan bahkan jauh lebih
tinggi dibanding bunga potong tanaman lain seperti anggrek, gladiol, mawar,
sedap malam, dan gerbera (BPS, 2009). Tingginya angka produksi bunga potong
krisan menunjukkan besarnya tingkat permintaan masyarakat akan bunga potong
tersebut.
Meskipun agribisnis tanaman krisan nampak begitu menjanjikan, namun
kenyataannya upaya produksi tanaman krisan di Indonesia dihadapkan pada
beberapa permasalahan. Hingga akhir periode 1990an Indonesia belum mampu
memproduksi bibit tanaman krisan sendiri dan masih mengandalkan pasokan bibit
2
dari luar negeri. Selama ini bibit krisan diimpor dari negara seperti Belanda,
Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang yang selain harganya mahal juga
memerlukan kompensasi pembayaran royalti 10% untuk tiap harga jual
per tangkainya bila tanaman tersebut diperbanyak secara komersial (Syaifan,
2010). Pembiakan tanaman krisan dapat berlangsung secara generatif maupun
vegetatif. Menurut Kofranek (1992), bila tanaman krisan dibiakkan secara
generatif dari benih, maka akan terjadi segregasi yang menghasilkan keturunan
dengan beragam bentuk bunga, padahal keseragaman bentuk dan warna bunga
menjadi salah satu kriteria penting dalam pemasaran tanaman krisan. Hingga kini
pembiakan secara vegetatif melalui stek pucuk menjadi pilihan utama yang
digunakan oleh para produsen krisan di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu semakin tingginya permintaan konsumen akan
bunga potong krisan membuat para produsen harus mampu menyediakan bibit
tanaman krisan yang seragam serta bebas penyakit dalam jumlah yang besar dan
dalam waktu yang relatif singkat. Oleh karena itu upaya pembiakan secara in vitro
melalui teknik kultur jaringan dapat menjadi salah satu alternatif. Menurut
Gunawan (1992), kelebihan teknik kultur jaringan yaitu mampu memproduksi
tanaman dalam jumlah besar dengan waktu yang relatif singkat, tanaman yang
diperoleh juga terbebas dari patogen, dan teknik kultur jaringan dapat pula
diterapkan dalam pemuliaan tanaman terutama bila cara konvensional dihadapkan
pada hambatan alamiah. Chawla (2002) menambahkan, melalui teknik kultur
jaringan dibutuhkan penggunaan lahan yang lebih sedikit, bahan perbanyakan
tanaman yang dibutuhkan juga tidak terlalu banyak dan tidak merusak tanaman
induk, kualitas produk yang dihasilkan lebih konsisten dan dapat dihasilkan terus
menerus, dan di bawah kondisi terkontrol lebih sesuai dengan permintaan pasar.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan perbanyakan
secara in vitro ialah penambahan zat pengatur tumbuh. Auksin dan sitokinin
merupakan dua kelompok zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam
perbanyakan tanaman secara in vitro (Gunawan, 1992). Efek fisiologi auksin bagi
tanaman yaitu dalam hal pemanjangan sel, fototropisme, dominansi apikal, inisiasi
dan pemanjangan akar, produksi etilen, serta pertumbuhan buah (Arteca, 1996).
Peran sitokinin sendiri bagi tanaman antara lain mengatur pembelahan sel dan
3
diferensiasi jaringan, pembesaran dan pemanjangan sel, perkembangan tunas dan
pucuk, pemeliharaan sintesis asam nukleat dan protein, ikut mengendalikan
perkecambahan pada benih, menyokong translokasi nutrisi dan substansi organik,
serta menghambat terjadinya senescence dengan mencegah terjadinya degradasi
klorofil (Weaver, 1972; Arteca, 1996).
Menurut Windasari (2004), pemberian NAA pada konsentrasi 0.1 mg/l
memberikan hasil yang optimum untuk jumlah daun dan tinggi planlet krisan
varietas Delano Red, sedangkan pemberian kinetin hingga 2.5 mg/l menunjukkan
pengaruh yang baik bagi jumlah daun, namun pertumbuhan akar planlet menjadi
terhambat. Maryani dan Zamroni (2005) memperoleh hasil bahwa kombinasi IAA
1 mg/l dengan BAP 1 mg/l menghasilkan jumlah tunas terbanyak pada
perbanyakan krisan secara in vitro. Penelitian yang dilakukan oleh Syaifan (2010)
terhadap dua varietas krisan yaitu Puspita Nusantara dan Puspita Asri
menunjukkan bahwa pemberian BA 4.44 μM mendorong terbentuknya jumlah
daun per eksplan yang terbanyak, sedangkan pemberian BA 6.66 μM
menghasilkan jumlah tunas terbanyak.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan dua jenis zat pengatur
tumbuh yaitu IAA dan kinetin untuk melihat bagaimana pengaruh penambahan
kedua zat pengatur tumbuh tersebut dalam memacu pertumbuhan krisan varietas
Pitaloka secara in vitro. Konsentrasi IAA yang digunakan ialah 0 mg/l, 0.5 mg/l,
dan 1.0 mg/l, sedangkan konsentrasi kinetin yang digunakan ialah 0 mg/l, 0.5
mg/l, 1.0 mg/l, dan 1.5 mg/l.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh konsentrasi IAA dan
kinetin terhadap pertumbuhan krisan varietas Pitaloka secara in vitro dan
mempelajari bagaimana interaksi antara kedua zat pengatur tumbuh tersebut.
Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh komposisi media yang
terbaik untuk perbanyakan krisan varietas Pitaloka secara in vitro.
4
Hipotesis
1.
Akan diperoleh konsentrasi IAA yang baik untuk pertumbuhan krisan varietas
Pitaloka secara in vitro.
2.
Akan diperoleh konsentrasi kinetin yang baik untuk pertumbuhan krisan
varietas Pitaloka secara in vitro.
3.
Terdapat interaksi antara konsentrasi IAA dan kinetin yang berpengaruh baik
terhadap pertumbuhan krisan varietas Pitaloka secara in vitro.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Krisan
Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev. sinonim Chrysanthemum
morifolium Ramat.) merupakan tanaman hias berbentuk perdu yang telah
dibudidayakan di Cina sejak 2000 tahun lalu (Boodley, 1998). Pada tahun 797 M
bunga krisan dijadikan simbol kekaisaran Jepang dengan julukan Queen of the
East (National Chrysanthemum Society, 2003). Selain sebagai tanaman hias,
krisan juga dikenal sebagai salah satu tanaman obat dalam literatur pengobatan
tradisional Cina. Akarnya dapat digunakan sebagai penghilang sakit kepala, tunas
muda dan mahkota bunganya dapat dimakan sebagai salad, dan daunnya
digunakan sebagai minuman untuk kesehatan (National Chrysanthemum Society,
2003). Penelitian yang dilakukan oleh Pin et al. (1999) pada Chrysanthemum
morifolium, menunjukkan bahwa ekstrak bunga krisan jenis tersebut memiliki
kandungan antioksidan yang cukup tinggi. Penelitian Zhu et al. (2005)
menunjukkan bahwa minyak esensial yang terdapat pada bunga Chrysanthemum
indicum
memiliki
kemampuan
menghambat
pertumbuhan
15
macam
mikroorganisme.
Pada tahun 1795 tanaman krisan dibawa ke daratan Eropa (Hadi, 2008).
Ahli botani Swedia yang dikenal pula sebagai Bapak Taksonomi, Carolus
Linnaeus, memberikan nama Chrysanthemum sebagai genus tanaman ini yang
merupakan perpaduan dari kata Yunani chrysos yang berarti emas dan anthemon
yang bermakna bunga (National Chrysanthemum Society, 2003). Sejak saat itulah
nama Chrysanthemum digunakan secara luas untuk menyebut genus tanaman ini.
Selanjutnya pada tahun 1843 Robert Fortune membawa ke Inggris salah satu jenis
krisan yang menjadi tetua krisan jenis spray dan pompon; dan pada tahun 1889
Elmer D. Smith di Amerika Serikat mulai melakukan persilangan untuk
menghasilkan varietas baru krisan untuk diperjualbelikan (Kofranek, 1992).
Di Amerika Serikat sendiri, tanaman krisan menjadi sedemikian terkenal,
bahkan menurut Boodley (1998) krisan merupakan tanaman pot penghasil dollar
terbanyak kedua setelah kastuba. Boodley (1998) menyatakan bahwa alasan
6
popularitas krisan terutama karena tanaman ini memiliki bentuk dan warna petal
bunga yang beraneka ragam mulai dari kuning keemasan, merah, merah muda,
ungu, dan putih. Dalam sistem klasifikasi terbaru, beberapa anggota genus
Chrysanthemum berganti nama menjadi Dendranthema. Berikut merupakan
klasifikasi krisan:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Asterales
Famili
: Asteraceae
Genus
: Dendranthema
Spesies
: Dendranthema grandiflora Tzvelev.
Krisan memiliki bentuk bunga yang beragam. Oleh karena itu
pengelompokkan krisan seringkali dilakukan berdasarkan bentuk bunganya.
National Chrysanthemum Society dalam Crockett (1972) membuat klasifikasi
sebagai berikut :
1. Tipe Pompon, memiliki diameter bunga antara 3-5 cm. Berbunga
sepanjang musim gugur. Bunga berbentuk seperti bola, bagian piringan
bunganya ada yang berwarna kuning, berupa cincin petal tunggal maupun
ganda.
2. Tipe Button, memiliki diameter bunga kurang dari 3 cm, memiliki petal
yang memeluk piringan bunga begitu erat sehingga nampak seperti pernah
dipangkas. Berbunga pada musim gugur.
3. Tipe Decorative, memiliki diameter bunga antara 5-10 cm. Berbunga pada
akhir musim panas hingga akhir musim gugur. Bentuknya menyerupai tipe
pompon namun bagian tepi bunga lebih panjang.
4. Tipe Single, memiliki petal tunggal dengan piringan bunga berbentuk
datar.
7
Gambar 1.
A
B
C
D
Bentuk bunga krisan : (A). Tipe Pompon, (B). Tipe Button, (C).
Tipe Decorative, (D) Tipe Single (Sumber : Gambar A, B, C
berasal dari www. mums.org, Gambar D berasal dari
www.cyrosellaflower.wordpress.com
Selain keempat tipe tersebut, masih terdapat tipe lain menurut Crockett
(1972) yang kurang umum direkomendasikan karena waktu mekarnya yang
terlambat yaitu pada akhir musim gugur atau awal musim dingin sehingga
memerlukan perlindungan di rumah kaca, antara lain :
1. Tipe Spoon, memiliki diameter bunga antara 7-12 cm, memiliki tabung
petal dengan ujung tiap petal mengembang mejadi bagian yang berbentuk
seperti sendok. Warna pada bagian ujung petalnya lebih cerah dibanding
bagian petal lainnya.
2. Tipe Quill, mirip dengan tipe spoon namun bagian ujung petalnya tertutup.
3. Tipe Anemone, memiliki bagian dasar piringan bunga yang berbentuk
seperti bantalan.
4. Tipe Spider, memiliki petal yang unik dan panjang serta melengkung ke
atas.
8
Gambar 2.
A
B
C
D
Bentuk bunga krisan : (A). Tipe Spoon, (B). Tipe Quill, (C). Tipe
Anemone, (D). Tipe Spider. (Sumber :www.mums.org )
Syarat Tumbuh Tanaman Krisan
Krisan merupakan tanaman yang berasal dari daerah subtropis sehingga
memerlukan lingkungan yang cukup sejuk untuk dapat tumbuh dengan baik.Di
daerah subtropis menurut Crockett (1977), krisan dapat tumbuh dengan baik pada
suhu siang di bawah 200C sedangkan pada malam hari antara 4-100C. Menurut
BBPP Lembang (1999), suhu untuk pertumbuhan krisan pada siang hari di daerah
tropis adalah 20-280 C dan pada malam hari sekitar 15-200C, dengan kelembapan
udara 90-95% pada awal pertumbuhan dan kelembapan udara 70-80% setelah
tanaman cukup dewasa. Di Indonesia krisan dapat tumbuh dengan baik pada
daerah dengan ketinggian 600-1200 mdpl.
Menurut Boodley (1998), media untuk penanaman krisan dapat berupa
campuran tanah lempung, Sphagnum peat moss, dan perlite dengan perbandingan
1:1:1. Campuran media tersebut memiliki drainase dan aerasi yang baik sehingga
9
tidak terlalu berat dan dapat disterilisasi dengan mudah (Boodley, 1998).
Penanaman dilakukan dengan kerapatan 64 tanaman/m2 pada musim hujan dan
72-80 tanaman/m2 pada musim kemarau (BBPP Lembang, 1999). Tanaman krisan
membutuhkan air dalam jumlah yang memadai, namun tanaman krisan tidak
tahan terhadap terpaan air hujan. Oleh karena itu menurut BBPP Lembang (1999),
untuk budidaya krisan di daerah dengan curah hujan tinggi dibutuhkan bangunan
rumah plastik
Tanaman krisan merupakan tanaman hari pendek dengan batas kritis
panjang hari (critical daylength) sekitar 14.5 jam (Boodley, 1998). Tanaman
krisan akan berbunga bila panjang hari yang diterima kurang dari batas kritisnya
dan akan tetap berada dalam fase vegetatif selama panjang hari yang diterima
melebihi batas kritisnya. Indonesia merupakan negara tropis dengan panjang siang
dan malam yang relatif sama yaitu 12 jam. Oleh karena itu tanaman krisan perlu
mendapat perlakuan khusus selama masa pertumbuhannya. Untuk memacu
pertumbuhan selama fase vegetatif, biasanya dilakukan pemberian cahaya buatan
3-4 jam setiap malam selama 4-5 minggu (tergantung varietas) dengan
menggunakan lampu TL atau lampu pijar (BBPP Lembang, 1999). Menjelang fase
generatif, pemberian cahaya buatan dihentikan karena untuk merangsang
pembungaan pada krisan dibutuhkan lama penyinaran yang kurang dari titik
kritisnya.
Selain dipengaruhi oleh lama penyinaran, pembungaan pada krisan juga
dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Menurut Boodley (1998), untuk pembungaan
pada krisan dibutuhkan suhu malam pada kisaran 15.5-16.50C dan suhu siang
antara 18.5-210C. Pembungaan krisan akan terhambat pada suhu siang di atas
27.50C. Untuk memperbaiki kualitas warna bunga, biasanya suhu pada malam
hari diturunkan hingga 130C pada sepuluh hari menjelang tanaman siap dipanen
(Boodley, 1998).
Seperti halnya tanaman hias pada umumnya, tanaman krisan juga memiliki
beberapa hama dan penyakit yang sering menyerang. Menurut Boodley (1998)
hama yang sering menyerang krisan antara lain kutu daun (Aphid), thrips, kupukupu putih (whitefly), mealy bug, dan red spider mites. Penyakit yang sering
menyerang tanaman krisan menurut Boodley (1998) antara lain :
10
-
Bercak daun akibat cendawan Septoria chrysanthemella, yang dapat
menyebabkan bercak-bercak hitam pada daun dan menghambat proses
fotosintesis.
-
Bakteri Erwinia chrysanthemi dan cendawan Verticillium alboatrum yang
menyebabkan layu pada tanaman. Pencegahannya dapat dilakukan melalui
sterilisasi media tumbuh, penggunaan kultivar yang resisten, dan aplikasi
kultur meristem.
-
Bercak pada petal bunga yang menyebabkan hilangnya nilai keindahan
bunga akibat serangan Botrytis cinerea. Pencegahan dilakukan dengan
memperbaiki ventilasi dan pergerakan udara di dalam rumah kaca/plastik
serta membuang kuncup bunga yang telah terserang bercak.
Varietas Tanaman Krisan Indonesia
Tanaman krisan diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1800 dan mulai
dikembangkan secara komersial pada tahun 1940 (Hadi, 2008). Menurut Hadi
(2008), jenis dan varietas tanaman krisan di Indonesia umumnya merupakan
hibrida yang berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Jenis krisan yang
ditanam di Indonesia antara lain berupa:
a) Krisan lokal (krisan kuno) yang berasal dari luar negeri, tetapi telah lama
beradaptasi di Indonesia dan telah dianggap sebagai krisan lokal. Ciri-cirinya
ialah mampu berbunga pada hari netral dengan siklus hidup antara 7-12 bulan
dalam satu kali penanaman. Contohnya Chrysanthemum maximum berbunga
kuning yang banyak ditanam di Lembang.
b) Krisan introduksi (krisan modern atau krisan hibrida). Krisan ini bersifat hari
pendek dan memiliki siklus hidup semusim. Contoh krisan ini adalah
Chrysanthemum indicum var. Dark Flamingo, C. indicum var. Dolaroid,
C. indicum var. Indianapolis, dan sebagainya.
Untuk menghindari ketergantungan hibrid krisan dari luar negeri, maka
Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) mulai menghasilkan varietas baru melalui
persilangan atau radiasi sinar gamma. Beberapa varietas krisan yang telah
11
dihasilkan oleh Balithi di antaranya varietas Puspita Nusantara, Dewi Ratih,
Candra Kirana, Puspita Asri, Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika,
Sakuntala, Purbasari, dan Pitaloka.
Varietas Pitaloka merupakan varietas keluaran Balithi dengan nomor klon
Balithi 13.14. Varietas ini merupakan hasil persilangan tetua 880077 dengan
Klondike. Varietas ini dirilis pada tahun 2000 berdasarkan S.K. Menteri Pertanian
No. 73 tahun 2000, dengan tim pemulia Budi Marwoto, dkk. Varietas Pitaloka
memiliki bunga tipe anemone dan jenis bunga spray dengan warna bunga pita
ungu dan diameter bunga pita 4.6 cm. Umur tanaman antara 80-100 hari, adaptif
pada dataran sedang hingga tinggi, dan bunganya memiliki masa kesegaran
hingga 14 hari (deskripsi varietas pada Lampiran 1).
Gambar 3. Krisan varietas Pitaloka
(SumberKultur
: www.balithi.litbang.deptan.go.id)
Jaringan Tanaman
Kultur Jaringan Tanaman
Kultur jaringan tanaman merupakan suatu metode untuk mengisolasi
bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ,
serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian tersebut dapat
memperbanyak
diri
dan
beregenerasi
menjadi
tanaman
utuh
kembali
(Gunawan, 1992). Caponetti et al. (2005) menyatakan bahwa prinsip dasar kultur
jaringan ialah kemampuan komponen tubuh tanaman (organ, jaringan, atau sel)
untuk ditumbuhkan secara terpisah dalam suatu media in vitro menjadi tanaman
yang utuh kembali. Menurut Zulkarnain (2009), teknik kultur jaringan memiliki
beberapa keuntungan yaitu dapat menghasilkan jutaan klon dalam waktu setahun
12
hanya dari sejumlah kecil material awal, menawarkan suatu alternatif bagi
spesies-spesies yang resisten terhadap sistem perbanyakan vegetatif konvensional,
adanya suatu kemungkinan untuk mempercepat pertukaran bahan tanaman di
tingkat internasional, dan perbanyakan dengan teknik kultur jaringan tidak
bergantung pada musim.
Kultur Jaringan Krisan
Krisan merupakan salah satu jenis tanaman yang telah banyak diteliti
perbanyakannya secara kultur jaringan. Kemampuan krisan untuk dapat tumbuh
dengan mudah pada media tanam in vitro membuat tanaman ini menjadi topik
populer yang diteliti banyak orang selama lima tahun belakangan ini. Selain itu,
produk bunga potongnya yang masih mendominasi pasar di Indonesia membuat
penelitian kultur jaringan krisan masih terus dikembangkan.
Penelitian kultur jaringan krisan sebagian besar berkisar tentang
konsentrasi zat pengatur tumbuh yang efektif terhadap pertumbuhan krisan secara
in vitro. Penelitian lain ialah seputar penggunaan iradiasi sinar radioaktif untuk
menghasilkan tanaman krisan yang mengalami variasi somaklonal sehingga
diperoleh tanaman krisan dengan warna bunga yang baru. Penelitian ke arah
embriogenesis somatik pada krisan sangat jarang dilakukan terutama karena
proses embriogenesis membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga dirasakan
kurang ekonomis.
Pada tahun 2004, Windasari meneliti tentang pemberian NAA dan kinetin
terhadap pertumbuhan krisan varietas Delano Red secara in vitro. Windasari
(2004) memperoleh hasil bahwa pemberian NAA pada konsentrasi 0.1 mg/l
memberikan hasil yang optimum untuk jumlah daun dan tinggi planlet krisan
varietas Delano Red, sedangkan pemberian kinetin hingga 2.5 mg/l menunjukkan
pengaruh yang baik bagi jumlah daun, namun pertumbuhan akar planlet menjadi
terhambat. Kombinasi NAA 0.1 mg/l dengan kinetin 2.5 mg/l memberikan hasil
tertinggi untuk jumlah tunas dan jumlah buku, namun eksplan hanya membentuk
kalus pada bagian bawahnya dan tidak mampu berakar.
13
Maryani dan Zamroni (2005), memperoleh hasil bahwa kombinasi IAA
1 mg/l dengan BAP 1 mg/l menghasilkan jumlah tunas terbanyak pada
perbanyakan krisan secara in vitro, namun pemberian IAA dan BAP tidak
berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas. Penelitian yang dilakukan oleh Syaifan
(2010) terhadap dua varietas krisan yaitu Puspita Nusantara dan Puspita Asri
menunjukkan bahwa pemberian BA 4.44 μM mendorong terbentuknya jumlah
daun per eksplan yang terbanyak, sedangkan pemberian BA 6.66 μM
menghasilkan jumlah tunas terbanyak. Pada penelitian yang dilakukan Syaifan
(2010), perlakuan kontrol (tanpa ZPT) mampu menghasilkan tunas tertinggi dan
panjang ruas terpanjang.
Penelitian mengenai penggunaan iradiasi sinar gamma secara in vitro
dilakukan oleh Sari (2011) terhadap krisan varietas Puspita Nusantara, Puspita
Asri, Cut Nyak Dien, dan Dewi Ratih. Hasilnya menunjukkan bahwa dosis radiasi
sinar gamma 0.5 krad atau lebih ternyata mampu menginduksi keragaman
somaklonal pada keempat varietas tersebut. Maharani (2011) juga melakukan
penelitian iradiasi sinar gamma secara in vitro pada krisan varietas Puspita
Nusantara dan Dewi Ratih. Hasilnya menunjukkan bahwa dosis iradiasi sinar
gamma 20 Gy mampu meningkatkan keragaman (bentuk, ukuran, dan warna
daun) krisan kedua varietas tersebut. Mutan yang dihasilkan memiliki bentuk
daun yang kecil, tepi daun tak bergerigi, serta warna daun menjadi variegata.
Penelitian embriogenesis somatik terhadap 23 varietas krisan pernah
dilakukan oleh May dan Trigiano (1991) antara lain terhadap varietas Adorn,
Ballarina, Iridon, Goldmine, Fortune, Salmon Charm, dan sebagainya. Eksplan
yang digunakan berupa potongan daun yang ditanam pada media Murashige dan
Skoog (MS) dengan tambahan 2,4-D 1 mg/l dan BAP 0.2 mg/l. Embrio somatik
terbentuk secara langsung pada media yang mengandung sukrosa dengan
konsentrasi antara 9-18%, dan diinkubasi pada kondisi gelap selama 28 hari
dilanjutkan dengan kondisi terang selama 10 hari. Embrio yang diregenerasikan
mampu membentuk tanaman dengan karakter yang sama dengan induknya.
14
Media Kultur Jaringan
Media merupakan salah satu komponen penting dalam kultur jaringan
tanaman. Keberhasilan kultur jaringan tanaman sebagian besar bergantung pada
ketepatan komposisi media yang digunakan (Evans et al., 2003). Media tersebut
akan berperan dalam menyediakan lingkungan fisik bagi pertumbuhan sel dan
jaringan atau dengan kata lain, media memiliki fungsi seperti tanah yang
menyokong pertumbuhan suatu tanaman. Selain itu, media juga berperan
menyediakan nutrisi bagi sel atau jaringan sehingga mampu mengalami
pembelahan dan membentuk organ tanaman secara lengkap.
Menurut Chawla (2002), sangatlah penting untuk mengetahui jenis
tanaman apa yang digunakan serta tujuan akhir apa yang diharapkan dari eksplan
yang ditumbuhkan secara in vitro tersebut, karena dari pengetahuan akan kedua
faktor itulah maka kita bisa menentukan jenis media apa yang dapat digunakan
dengan tepat. Selanjutnya, nutrisi dalam media kultur jaringan meliputi komposisi
dari garam-garam mineral yang ditambahkan, sumber karbon, vitamin,
fitohormon, dan suplemen organik lainnya (Chawla, 2002).
Sel, jaringan dan organ hanya akan tumbuh pada kultur yang disuplai
nutrisi yang sesuai (Thomas dan Davey, 1975). Oleh karena itu, kultur jaringan
tanaman membutuhkan suplai dari beberapa komponen anorganik secara
berkelanjutan (Dodds dan Roberts, 1995). Sumber hara makro dan mikro bagi
tanaman diperoleh dari garam-garam anorganik yang ditambahkan ke dalam
media. Menurut Zulkarnain (2009) unsur hara nitrogen dapat diberikan dalam
bentuk garam KNO3 atau NH4NO3; sedangkan fosfor dapat diperoleh dalam
bentuk NaH2PO4.H2O atau KH2PO4; untuk unsur kalium diberikan melalui garam
KCl, KNO3, atau KH2PO4. Kebutuhan akan magnesium dan belerang dapat
diperoleh
melalui
MgSO4.7H2O,
kebutuhan
akan
seng
diperoleh
dari
ZnSO4.7H2O, kebutuhan tembaga berasal dari CuSO4.5H20, kebutuhan mangan
didapat dari MnSO4.H2O, unsur boron dapat terpenuhi melalui penambahan
H3BO3, serta molibdenum diperoleh dari Na2MoO4.2H20 atau dari Molibdenum
trioksida (Evans et al., 2003). Unsur besi memiliki masalah kelarutan sehingga
biasanya stok larutan besi disiapkan dalam bentuk kelat sebagai garam natrium
ferric ethylenediamine tetra-acetic (NaFeEDTA) (Dodds dan Roberts, 1995).
15
Sebagai sumber karbon biasa digunakan sukrosa atau glukosa (Chawla,
2002). Konsentrasi sukrosa yang biasa digunakan berkisar antara 2-5%. Menurut
Gunawan (1992), fruktosa dan galaktosa kurang efektif digunakan sebagai sumber
karbon sedangkan manosa dan laktosa merupakan jenis karbohidrat yang paling
tidak efektif. Vitamin ditambahkan sebagai penyusun kofaktor bagi enzim yang
berperan dalam berbagai prosesmetabolisme (Zulkarnain, 2009). Menurut
Evans et al. (2003), peranan vitamin bagi sel tanaman dan kultur jaringan tidaklah
terlalu esensial, kecuali vitamin B1 (thiamine), namun sejumlah vitamin seperti
nicotinic acid (niasin), pyridoxine HCl (B6), asam folat (B11), asam panthotenat,
biotin, vitamin C, dan vitamin E sering ditambahkan ke dalam media. Senyawa
gula alkohol seperti myo-inositol terkadang ditambahkan ke dalam media kultur
tanaman monokotil, Gymnospermae, dan beberapa tanaman dikotil (Evans et al.,
2003). Penambahan myo-inositol ke dalam media berperan dalam memperbaiki
pertumbuhan dan morfogenesis jaringan yang dikulturkan (Gunawan, 1992).
Selain senyawa organik yang konstitusinya jelas, terkadang ke dalam
media kultur jaringan juga ditambahkan persenyawaan yang kompleks yang
komposisinya berbeda dari sumber yang satu dengan yang lainnya seperti air
kelapa, casein hydrolisate, ekstrak ragi, jus tomat, dan ekstrak pisang
(Gunawan, 1992). Bila ditinjau dari sudut ilmiah, Zulkarnain (2009) menyatakan
bahwa penggunaan ekstrak alami masih dapat dianjurkan dan kehadiran senyawasenyawa tersebut tak dapat diabaikan begitu saja apabila ternyata senyawasenyawa murni tidak dapat memenuhi apa yang diharapkan.
Zat Pengatur Tumbuh
Hormon tumbuhan (fitohormon) dapat didefinisikan sebagai senyawa
organik selain nutrisi yang dihasilkan di suatu bagian tubuh tumbuhan untuk
kemudian dipindahkan ke bagian lain dan dalam konsentrasi rendah (< 1 µM)
akan memberikan respon secara biokimia, fisiologi, dan morfologi (Moore, 1979;
Salisbury dan Ross, 1995). Hormon yang dihasilkan tumbuhan secara alami dapat
berupa senyawa golongan auksin, sitokinin, giberelin, etilen, asam absisat,
brassinosteroid, asam salisilat, dan asam jasmonat. Senyawa-senyawa tersebut
16
pada mulanya hanya dapat diisolasi dari jaringan tumbuhan namun seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan, beberapa jenis senyawa sintetik yang memiliki
aktivitas menyerupai hormon tumbuhan dapat diproduksi di laboratorium. Kondisi
inilah yang kemudian mengaburkan definisi mengenai hormon tumbuhan, bahwa
senyawa sintetik tersebut juga seringkali disebut sebagai hormon.
Arteca (1996) kemudian membuat batasan mengenai konsep hormon
tumbuhan dengan memberikan tiga syarat suatu senyawa dapat digolongkan
sebagai fitohormon yaitu :
1. Senyawa tersebut disintesis oleh bagian tubuh tumbuhan dan tersebar secara
meluas pada semua anggota kerajaan tumbuhan.
2. Senyawa tersebut menunjukkan aktivitas biologis yang spesifik pada
konsentrasi sangat rendah.
3. Senyawa tersebut mampu menimbulkan respon fisiologis selama masa
pertumbuhan.
Mengenai senyawa sintetik yang memiliki kemampuan serupa dengan hormon
tumbuhan tertentu, Arteca (1996) kemudian menggunakan istilah zat pengatur
tumbuh (plant growth regulator) untuk menyebut senyawa-senyawa tersebut
berdasarkan definisi dari Johannes van Overbeek bahwa zat pengatur tumbuh
merupakan komponen organik selain nutrisi yang pada konsentrasi rendah mampu
memacu, menghambat, atau bahkan mengubah proses fisiologis pada tumbuhan.
Auksin
Auksin berasal dari bahasa Yunani auxein yang berarti meningkatkan dan
istilah ini pertama kali digunakan oleh Frits Went yang menemukan bahwa suatu
senyawa yang belum dapat dicirikan mampu menyebabkan pembengkokan
koleoptil oat ke arah cahaya (Salisbury dan Ross, 1995).Senyawa yang ditemukan
oleh Went tersebut kemudian dikenal sebagai indole-3-acetic acid (IAA). Pada
tahun 1934, KÖgl dan Kostermans mengisolasi IAA dari khamir dan pada tahun
berikutnya
Thimann
berhasil
mengisolasi
IAA
dari
kultur
cendawan
Rhizopus suinus. Haagen-Smit dan koleganya berhasil mengisolasi IAA murni
dari endosperma biji padi yang belum masak pada tahun 1946 (Arteca, 1996).
17
Saat ini asam amino triiptofan diteerima sebagai prekurssor dalam
p
pembentuka
an IAA (Artteca, 1996). Menurut Arteca
A
(19996) terdapatt dua jalur
t
terbentuknya
a IAA darri asam am
mino triptofa
fan, baik saalah satunyya ataupun
k
keduanya
daapat berfungsi pada tanam
man (Gambaar 4).
T
Tryptophan
n
Tryyptophan
decaarboxylase
Trypto
ophan
Tryptophaan
transaminaase
Tryptamine
T
e
Amiine oxidase
Indolle‐3‐
pyruvicc acid
Indolle‐3‐
acetald
dehyde
Indolle‐3‐
aceticc acid
Indole
pyruvatee
decarboxyllase
Indole
acetaldehyyde
dehydrogennase
Indole‐3‐
ethanol
Indole‐3‐
accetaldehyd
de
Indoole ethanol
o
oxydase
Indole
aceetaldehyde
dehyydrogenase
Indole‐3‐
a
acetic acid
d
(a)
(b)
Gambbar 4. Skemaa biosintesis IAA : (a). Jaalur pertamaa (b). Jalur keedua
Menuurut Salisbu
ury dan Rooss (1995), enzim yanng paling ak
ktif dalam
m
mengubah
t
triptofan
meenjadi IAA banyak terddapat pada jjaringan mu
uda seperti
m
meristem
taajuk serta daun dan bbuah yang sedang tum
mbuh.Itulah sebabnya
m
mengapa
jarringan terseb
but diduga sebagai sum
mber dari IA
AA karena berdasarkan
b
h
hasil
pengu
ukuran, kanddungan aukksin paling tinggi ditemukan pad
da jaringan
t
tersebut.Auk
ksin mudah terdegradasii oleh cahayya (Dodds daan Roberts, 1995)
1
serta
o
oleh
enzim IAA oksid
dase (Salibuury dan Ross, 1995). Oleh karenna itu IAA
u
umumnya
diitambahkan dalam mediia kultur jariingan pada kkonsentrasi yang
y
cukup
t
tinggi
antaraa 1-30 mg/l (Dodds
(
dan Roberts,
R
199
95).
Trannspor IAA umumnya
u
beerasal dari daun
d
muda yyang bergerak ke arah
b
bawah
sepan
njang berkas pembuluhh, bahkan au
uksin sintetikk yang dibeerikan pada
18
tanaman juga bergerak serupa dengan IAA (Salisbury dan Ross, 1995). Cara
pengangkutan auksin tersebut menurut Salisbury dan Ross (1995) memiliki
keistimewaan sebagai berikut :
1. Pergerakan auksin berlangsung secara lambat dengan kecepatan 1 cm/jam
di akar dan batang.
2. Pengangkutan auksin berlangsung secara polar pada batang, dengan arah
basipetal (dari pucuk menuju ke dasar), bahkan sekalipun dasar tersebut
berada pada posisi terbalik sedangkan pada akar pengangkutan juga
berlangsung secara polar dengan arah akropetal (mencari pucuk).
3. Pengangkutan auksin membutuhkan adanya energi dalam bentuk ATP,
sehingga keberadaan senyawa apapun yang mampu menghambat respirasi
tanaman
ataupun
ketidakhadiran
oksigen
secara
otomatis
akan
menghambat pergerakan auksin.
Menurut Armini et al. (1992) auksin terutama berperan dalam
pertumbuhan kalus, suspensi sel, dan pertumbuhan akar. Efek fisiologi dari auksin
antara lain terlihat ada proses pemanjangan sel, fototropisme, dominansi apikal,
inisiasi dan pemanjangan akar, produksi etilen, dan pertumbuhan buah (Arteca,
1996).
Menurut Arteca (1996), auksin sintetik telah banyak dijual secara
komersial. Aktivitas auksin sintetik menyerupai IAA namun struktur kimianya
berbeda. Terdapat enam kelas auksin sintetik saat ini yaitu :
1. Turunan indole seperti indole-3-acetic acid (IAA) dan indole-3-butyric
acid (IBA).
2. Turunan asam benzoat seperti dicamba dan 2,3,6-trichlorobenzoic acid.
3. Turunan naftalena seperti α dan β-naphtalene-acetic acid (NAA)
4. Turunan fenoksi seperti 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D) dan
2,4,5-trichlorophenoxy acetic acid (2,4,5-T).
5. Turunan naphtoxyacetic acid seperti α dan β- naphtoxyacetic acid (NOA)
6. Turunan asam pikolinat seperti picloram
Pemilihan konsentrasi dan jenis auksin ditentukan oleh beberapa faktor
yaitu tipe pertumbuhan dan perkembangan yang dikehendaki (kalus, akar, tunas,
atau regenerasi dinding sel), tingkat taraf auksin di dalam eksplan saat eksplan
19
diambil, kemampuan ekpslan untuk mensintesis auksin secara alami, dan interaksi
antara auksin yang diberikan secara eksogen dengan auksin endogen
(Armini et al., 1992). Misalnya saja auksin jenis IAA begitu mudah teroksidasi,
sehingga penggunaannya dalam media kultur jaringan kurang efektif. NAA dapat
menjadi pilihan alternatif, karena NAA cenderung lebih stabil dan sulit
terdegradasi sehingga penggunaan pada konsentrasi rendah antara 0.1-2.0 mg/l
sudah cukup (Dodds dan Roberts, 1995). Pada proses pembentukan kalus,
umumnya 2,4-D menjadi pilihan utama karena kemampuannya merangsang
pembentukan kalus meskipun tanpa kehadiran sitokinin (Dodds dan Roberts,
1995).
Sitokinin
Menurut Srivastava (2001), sitokinin merupakan senyawa yang secara
alami ditemukan secara bebas di sitoplasma dan juga menjadi komponen
terintegrasi dari beberapa RNAt, di mana senyawa ini mampu meningkatkan
pembelahan sel pada tanaman. Chesworth et al. (1998) menyatakan bahwa
sitokinin menjadi penyusun 10% dari molekul RNAt. Sejarah penemuan sitokinin
bermula pada tahun 1913 saat Gottlieb Haberlandt di Austria menemukan
senyawa tak dikenal yang mampu merangsang pembelahan sel pada kambium
gabus dan membantu pemulihan luka pada umbi kentang yang terpotong. Pada
tahun 1940an Johannes van Overbeek juga menemukan adanya senyawa yang
mampu merangsang pembelahan sel pada endosperma cair buah kelapa (Salibury
dan Ross, 1995). Baru pada tahun 1955, Carlos Miller beserta koleganya yang
bekerja di Laboratorium Skoog dan Strong di Universitas Wisconsin, berhasil
mengisolasi suatu senyawa yang berasal dari sampel DNA ikan herring yang telah
diautoklaf, yang kemudian diberi nama kinetin karena kemampuan senyawa
tersebut dalam menginduksi pembelahan sel (Moore, 1979). Pada tahun 1964
secara hampir bersamaan D.S Letham dan Carlos Miller berhasil mengekstrak
jenis sitokinin lain yaitu zeatin yang bersumber dari endosperma cair jagung
(Salisbury dan Ross, 1995).
20
Saat ini asetil KoA
K
merupaakan senyaw
wa yang menjadi prekurrsor dalam
p
pembentuka
an sitokinin (Arteca, 19996). Asetil KoA sendirri merupakaan senyawa
y
yang
diperolleh dari prosses dekarbokksilasi oksidaatif asam pirruvat sebelum
m senyawa
t
tersebut
mem
masuki sikluus Krebs dalaam rantai resspirasi (Salissbury dan Ross,
R
1995).
S
Selain
berpeeran dalam pembentuka
p
an sitokinin, asetil KoA juga berperran penting
d
dalam
pemb
bentukan gibberelin, karottenoid, dan asam
a
absisatt (Arteca, 19996). Asetil
K
KoA
harus memasuki rangkaian panjang lin
ntasan asam
m mevalonaat sebelum
sitokinin (G
m
membentuk
Gambar 5).
Aceetyl CoA
Mevallonic acid Mevalonic accid pyrophospatee
Isopentenyyl Pyrophospate
+ AMP
Isopenttenyl AMP
Isopenteenyl Adenosine
Cyttokinin
G
Gambar
5.
Skema peembentukan sitokinin melalui
m
linttasan asam mevalonat
(Arteca, 19996).
s
baanyak ditem
mukan di jarringan yang sel-selnya
Padaa dasarnya sitokinin
m
masih
aktif membelah seperti kecaambah dan buah yang masih mudaa (Weaver,
m
menurrut Salisburyy dan Ross
1972).Selainn terdapat paada organ yaang masih muda,
(
(1995),
sitokkinin juga terdapat
t
di ujung akar. Menurut A
Arteca (19966) sitokinin
d
disintesis
di akar dan ditranslokasikkan ke pucukk karena beggitu banyaknnya laporan
y
yang
menunjukkan
bahwa
sittokinin
dittemukan
ddi
pembuluuh
xilem
t
tanaman.Sal
lisbury dan Ross (19955) menyatakkan bahwa pembuluh floem
f
juga
m
mengandung
g sitokinin seperti yangg dibuktikan
n dengan dditemukannya sitokinin
p
pada
kutu em
mbun madu.
21
Terdapat beberapa respon biologis yang menyebabkan konsentrasi
sitokinin dapat meningkat antara lain saat pembelahan sel, pembentukan organ,
pembesaran sel dan organ, penghambatan degradasi klorofil, perkembangan
kloroplas, penundaan senescens, pembukaan dan penutupan stomata, serta
perkembangan kuncup dan tunas (Arteca, 1996). Selain ditemukan pada tanaman,
sitokinin
juga
ditemukan
pada
lumut,
beberapa
jenis
bakteri
seperti
Agrobacterium sp. dan Pseudomonas sp., beberapa cendawan patogen seperti
Helminthosporium sp. dan Ustilago sp., serta ganggang cokelat dan ganggang
merah (Salisbury dan Ross, 1995; Srivastava, 2001).
Di antara sekian banyak jenis sitokinin, menurut Dodds dan Roberts
(1995) jenis sitokinin yang paling banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah
kinetin, BAP (6-benzylaminopurine), dan zeatin (6-[4-hydroxy-3-methyl-but-2enylamino]purine). Kinetin dan BAP merupakan jenis sitokinin sintetik sementara
zeatin adalah sitokinin alami. Selain zeatin, sitokinin alami lain yang sering
digunakan ialah 2iP (6-[γ,γ-dimethylallylamino]-purine) dan IPA (N6-[Δ2isopentyl]adenine) karena harganya yang jauh lebih murah dibanding zeatin
(Dodds dan Roberts, 1995).
22
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman 3
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor pada bulan Februari hingga Mei 2012.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman (eksplan) yang digunakan adalah stek buku tunggal dari
planlet krisan varietas Pitaloka koleksi Laboratorium Kultur Jaringan 3 hasil
subkultur kedua berumur dua bulan. Media kultur yang digunakan ialah media
padat Murashige dan Skoog (MS) yang mengandung hara makro dan mikro
(Lampiran 2). Bahan pemadat yang digunakan adalah agar komersial sebanyak
7 g/l dan sebagai pengatur keasaman media digunakan KOH 1 N. Zat pengatur
tumbuh yang digunakan ialah IAA dan kinetin. Bahan lain yang digunakan
meliputi akuades, alkohol 70%, povidone iodine 10%, dan bahan pemutih
komersial yang mengandung natrium hipoklorit. Peralatan yang digunakan berupa
laminar airflow cabinet, autoklaf listrik, kertas lakmus, botol kultur, timbangan
analitik, dan peralatan tanam standar laboratorium.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan menggunakan rancangan perlakuan faktorial yang
disusun dalam Rancangan lingkungan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor
yaitu konsentrasi IAA dan konsentrasi kinetin. Perlakuan konsentrasi IAA terdiri
atas tiga taraf yaitu 0 mg/l, 0.5 mg/l, dan 1.0 mg/l sedangkan konsentrasi kinetin
terdiri atas empat taraf yaitu 0 mg/l, 0.5 mg/l, 1.0 mg/l, dan 1.5 mg/l sehingga
terdapat 12 kombinasi perlakuan. Tiap perlakuan diulang sebanyak 10 kali
sehingga terdapat 120 satuan percobaan.
23
Model linier rancangan yang digunakan adalah :
Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan :
Yij
= nilai pengamatan karena ada pengaruh dari konsentrasi IAA ke-i dan
konsentrasi kinetin ke-j
i = 1,2,3,
j = 1,2,3,4
µ
= nilai rataan umum
αi
= nilai tambahan karena pengaruh perlakuanIAA dengan konsentrasi ke-i
βj
= nilai tambahan karena pengaruh perlakuan kinetin dengan konsentrasi
ke-j
(αβ)ij = pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi IAA ke-i dan konsentrasi
kinetin ke-j
εijk
= galat pada perlakuan konsentrasi IAAke-i, konsentrasi kinetin ke-j
Data pengamatan dianalisis dengan uji F pada taraf 5%, jika terdapat hasil
yang berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut dengan DMRT (Duncan
Multiple Range Test) pada taraf 5%. Perangkat lunak yang digunakan untuk
pengolahan data adalah SAS versi 9.1 dengan program GLM (General Linear
Manager) dan Minitab.
Pelaksanaan
a.
Sterilisasi alat-alat tanam
Alat-alat yang akan digunakan untuk penanaman secara in vitro
disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121o C dengan tekanan 17.5 psi selama 60
menit. Penghitungan waktu sterilisasi dimulai setelah tercapainya tekanan yang
diinginkan. Alat-alat yang perlu disterilkan adalah : pinset, gunting, cawan petri,
botol-botol kultur, serta akuades. Laminar air flow cabinet disterilisasi dengan
sinar UV dan blower yang dibiarkan menyala selama satu jam sebelum
digunakan, serta dilakukan penyemprotan alkohol 70% pada bagian dinding dan
dasar laminar sebelum digunakan.
24
b.
Pembuatan media tanam in vitro
Media tanam in vitro yang digunakan berupa media padat MS dengan
penambahan ZPT IAA dan kinetin. Pembuatan media dilakukan dengan
pembuatan larutan stok hara MS yang terdiri atas stok A, B, C, D, E, F,
myo-inositol, dan vitamin (lampiran 2). Selanjutnya dilakukan pengambilan
larutan stok dengan menggunakan pipet sesuai kebutuhan serta dilakukan
penambahan IAA dan kinetin sesuai perlakuan. Selanjutnya larutan media tersebut
dimasukkan dalam labu takar dan ditambahkan larutan gula sebanyak 30 g/l
kemudian dilakukan tera dengan akuades hingga volume 1 liter. Proses
pengaturan pH hingga mencapai derajat kemasaman media sekitar 5.6-5.8
dilakukan melalui penambahan KOH 1N. Larutan kemudian dituang dalam panci
untuk dimasak bersama dengan agar sebanyak 7 g/l. Media yang sudah jadi
dituang ke dalam botol-botol kultur yang telah disterilisasi terlebih dahulu
sebanyak 20 ml/botol. Botol-botol kultur tersebut kemudian ditutup plastik dan
disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121o C tekanan 17.5 psi selama 20 menit.
c.
Persiapan Eksplan
Eksplan yang digunakan berupa stek buku tunggal yang dibuang terlebih
dahulu daunnya. Selanjutnya di dalam laminar airflow, eksplan tersebut direndam
dalam larutan akuades steril yang ditetesi 8-10 tetes povidone iodine 10% selama
5 menit. Eksplan lalu ditanam dalam media sesuai dengan jenis perlakuan masingmasing.
Botol-botol kultur yang berisi eksplan lalu disimpan dalam ruang kultur
yang diberi penyinaran lampu TL 36 watt selama 24 jam per hari pada suhu 200C
sejak awal penanaman hingga 9 MSK.
d.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan seminggu sekali dimulai sejak satu minggu setelah
kultur (MSK) hingga 9 MSK. Peubah yang diamati antara lain :
1. Persentase tumbuh, yang meliputi eksplan yang masih hidup hingga 9
MSK
25
2. Jumlah daun per eksplan, yang meliputi jumlah seluruh daun dari tiap
eksplan.
3. Jumlah akar per eksplan, yang meliputi jumlah seluruh akar yang dimiliki
setiap eksplan.
4. Jumlah buku per eksplan, yang meliputi jumlah buku total yang dimiliki
setiap eksplan.
5. Jumlah tunas, meliputi jumlah tunas yang terbentuk pada tiap eksplan
6. Tinggi planlet, diukur dari permukaan media hingga titik tumbuh tanaman.
Pengukuran dilakukan tanpa mengeluarkan eksplan dari botol.
7. Panjang akar, diamati pada 9 MSK dengan mengeluarkan planlet dari
botol kultur. Panjang akar diukur dari pangkal akar sampai ujung akar
terpanjang.
8. Persentase eksplan yang membentuk kalus, termasuk struktur dan warna
kalus yang terbentuk
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3,
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan
minggu sejak Februari hingga Mei 2012. Kondisi laboratorium tempat dilakukan
penelitian memiliki kisaran suhu antara 18-200C dan kelembaban udara mencapai
90%. Selama masa kultur, eksplan diletakkan pada rak dengan penyinaran selama
24 jam. Kondisi ini bertujuan agar eksplan dapat tumbuh secara optimal dengan
tingkat kontaminasi yang minimum.
Pada pengamatan minggu pertama setelah kultur (1 MSK), persentase
eksplan yang hidup adalah 100%. Saat kultur memasuki minggu kedua, gejala
kontaminasi mulai terlihat pada beberapa botol. Kontaminasi yang terjadi
disebabkan oleh cendawan dan bakteri.
A
B
Gambar 6.
Gejala Kontaminasi Selama Masa Kultur : (A). Kontaminasi
Cendawan, (B). Kontaminasi Bakteri
Eksplan yang terkontaminasi selanjutnya diselamatkan dengan cara
disterilisasi pada larutan natrium hipoklorit 5% dan povidone iodine 10%, baru
kemudian eksplan dipindahkan pada media lain yang komposisinya sama. Proses
sterilisasi yang dilakukan seringkali menyebabkan kerusakan pada sel-sel eksplan
sehingga kebanyakan eksplan yang telah terkontaminasi kemudian dicoba untuk
diselamatkan memiliki daya hidup yang rendah, bahkan menjadi mati. Tingginya
tingkat kontaminasi inilah yang menyebabkan proses pengolahan data dilakukan
27
dengan menggunakan program GLM (General Linear Manager). Hingga akhir
masa pengamatan (9 MSK), persentase planlet yang hidup adalah 67.5%.
Pembahasan Umum
Krisan varietas Pitaloka merupakan salah satu varietas produksi Balithi
yang memiliki potensi untuk dikembangkan di masyarakat. Petal bunganya yang
berwarna ungu memiliki keindahan tersendiri dan jarang ditemukan di pasaran.
Selama ini para petani krisan masih jarang menggunakan varietas keluaran Balithi
dengan alasan masa vase life bunga potongnya yang relatif singkat. Pemilihan
krisan varietas Pitaloka dalam penelitian ini diharapkan dapat memacu masyarakat
untuk mulai mau menggunakan varietas yang dihasilkan oleh para pemulia dalam
negeri.
Selama tahap kultur in vitro, penambahan ZPT IAA tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan planlet krisan varietas Pitaloka. Hal
tersebut terlihat dari hasil pengamatan di mana hampir sebagian besar eksplan
pada perlakuan kontrol (tanpa ZPT) menunjukkan respon pertumbuhan lebih baik
dibanding eksplan yang diberi perlakuan IAA. Kandungan auksin endogen yang
dimiliki tanaman krisan diduga sudah cukup tinggi sehingga penambahan auksin
dari luar justru menghambat pertumbuhan tanaman. Hasil serupa juga diperoleh
pada penelitian Syaifan (2010) di mana perlakuan kontrol (tanpa ZPT) mampu
menghasilkan tunas tertinggi dan panjang ruas terpanjang.
Kemampuan tumbuh tanaman krisan pada media MS tanpa tambahan
auksin dari luar dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi para produsen bibit
krisan hasil kultur jaringan, di mana alokasi biaya untuk ZPT auksin dapat
dikurangi sehingga biaya produksi bibit kultur jaringan krisan dapat ditekan
sedemikian rupa. Dampaknya tentu saja akan terlihat pada harga jual bibit krisan
kultur jaringan yang bisa dijual lebih murah sehingga bisa bersaing dengan bibit
krisan yang diperbanyak secara vegetatif konvensional.
Selama tahap kultur in vitro, penambahan kinetin menunjukkan respon
yang baik terhadap peubah jumlah tunas dan jumlah daun. Sitokinin memang
diperlukan dalam merangsang pembentukan tunas lateral dengan menghilangkan
28
efek dominansi apikal (Arteca, 1996). Oleh karena itu penambahan sitokinin pada
media perbanyakan krisan varietas Pitaloka secara in vitro masih diperlukan untuk
merangsang produksi tunas dan daun yang lebih banyak.
Jumlah Tunas
Pada minggu pertama setelah kultur (1 MSK), persentase eksplan yang
telah membentuk tunas sebanyak 32.08%. Satu eksplan rata-rata hanya
menghasilkan satu tunas saja. Pada umur 2 MSK tunas yang terbentuk mulai
membuka daunnya dan mulai memperlihatkan pertumbuhan yang cukup jelas.
Pada akhir pengamatan (9 MSK) persentase eksplan yang membentuk tunas
mencapai 89.58%. Eksplan yang tidak membentuk tunas umumnya berupa
eksplan yang hanya mendapat perlakuan tunggal IAA tanpa kinetin, di mana
eksplan tersebut membentuk kalus dan hanya mampu berakar saja.
Gambar 7.
Tunas yang terbentuk pada kultur in vitro krisan varietas Pitaloka
perlakuan kinetin 0.5 mg/l pada 1 MSK
Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi tunggal IAA tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 7-9 MSK. Perlakuan
konsentrasi tunggal kinetin memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah
tunas pada 7-9 MSK. Interaksi antara IAA dan kinetin tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas.
29
Tabel 1.
Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah
Tunas pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Umur (MSK)
7
8
9
Keterangan :
Konsentrasi
IAA (mg/l)
tn
tn
tn
Konsentrasi
Kinetin (mg/l)
**
**
**
Interaksi IAA
dan Kinetin
tn
tn
tn
KK (%)
8.56
9.10
9.96
tn : Tidak nyata pada uji F 5%
* : Nyata pada uji F 5%
** : Sangat nyata pada uji F 1%
MSK : Minggu Setelah Kultur
KK : Koefisien Keragaman
Data yang terbentuk merupakan hasil transformasi √
5
Rata-rata jumlah tunas terbanyak diperoleh pada perlakuan kinetin 1 mg/l
yaitu sebanyak 3.18 tunas. Rata-rata jumlah tunas terendah diperoleh pada
perlakuan tanpa ZPT (kontrol). Terlihat bahwa pemberian kinetin mampu
menstimulasi pembentukan tunas. Menurut Armini et al. (1992), pemberian
sitokinin akan merangsang proliferasi tunas, di mana melalui pemberian sitokinin,
bagian ketiak stek yang dorman atau hanya mampu menghasilkan satu tunas akan
mampu menghasilkan lebih dari satu tunas.
Tabel 2.
Konsentrasi
Kinetin
(mg/l)
0
0.5
1.0
1.5
Keterangan:
Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Tunas pada Kultur
in vitro Krisan Varietas Pitaloka
7
0.91c
1.61bc
2.86a
1.78b
Umur (MSK)
8
0.95c
1.78b
3.05a
2.16b
9
0.98c
2.13b
3.18a
2.44ab
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.
Analisis regresi pengaruh kinetin terhadap jumlah tunas pada 9 MSK
menghasilkan persamaan y = -1.850 x2 + 3.853 x + 0.9015 (R2 = 0.949), seperti
yang tersaji pada Gambar 8. Koefisien determinasi yang dihasilkan sebesar 0.949,
artinya sebesar 94.9% keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh model regresi
polinomial.
30
Fitted Line Plot
Rata-Rata Jumlah Tunas = 0.9015 + 3.853 Konsentrasi Kinetin (mg/l)
- 1.850 Konsentrasi Kinetin (mg/l)**2
S
R-Sq
R-Sq(adj)
Rata-Rata Jumlah Tunas
3.0
0.351063
94.9%
84.8%
2.5
2.0
1.5
1.0
0.0
Gambar 8.
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Konsentrasi Kinetin (mg/l)
1.4
1.6
Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah
Tunas Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka pada 9 MSK
Berdasarkan hasil uji lanjut terlihat bahwa pemberian kinetin hingga
konsentrasi 1 mg/l (4.64 μM) memberikan respon yang maksimum terhadap
jumlah tunas, sebaliknya penambahan konsentrasi kinetin hingga 1.5 mg/l
(6.96 μM) menunjukkan penurunan jumlah tunas (lampiran 3). Hasil serupa juga
terlihat pada penelitian Syaifan (2010) pada krisan varietas Puspita Asri dan
Puspita Nusantara di mana pemberian BA hingga konsentrasi 6.73 μM mampu
menghasilkan rata-rata jumlah tunas terbanyak, namun penambahan konsentrasi
BA melebihi 6.73 μM justru menurunkan rata-rata jumlah tunas. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian sitokinin pada konsentrasi optimum akan mampu
memberikan respon yang maksimal terhadap pertumbuhan tanaman, namun
peningkatan konsentrasi sitokinin melewati titik optimumnya justru akan
menghambat pertumbuhan tanaman.
Jumlah Buku
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi tunggal IAA tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah buku. Pemberian kinetin secara tunggal
menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap pembentukan buku pada 7-9 MSK,
sementara interaksi IAA dan kinetin memberikan respon nyata pada 7-9 MSK.
31
Tabel 3.
Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah
Buku pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Umur (MSK)
7
8
9
Keterangan :
Tabel 4.
Konsentrasi
Konsentrasi
Interaksi IAA
IAA (mg/l)
Kinetin (mg/l)
dan Kinetin
tn
tn
tn
**
**
**
*
*
*
KK (%)
17.63
18.84
20.01
tn : Tidak nyata pada uji F 5%
* : Nyata pada uji F 5%
** : Sangat nyata pada uji F 1% MSK : Minggu Setelah Kultur
KK : Koefisien Keragaman
Data yang terbentuk merupakan hasil transformasi √
5
Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Buku pada Kultur
in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Konsentrasi
Kinetin
(mg/l)
0
0.5
1.0
1.5
7
4.32b
4.00b
6.98a
3.25b
Umur (MSK)
8
5.36b
5.04b
8.27a
4.22b
9
5.75b
6.15b
10.59a
5.13b
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada uji lanjut DMRT taraf 5%.
Buku (node) merupakan titik tempat tumbuhnya daun dan tunas lateral.
Kinetin memiliki peran dalam proses pembentukan tunas samping dan jaringan
mesofil daun (Wareing dan Philips, 1970). Oleh karena itu penambahan kinetin
hingga konsentrasi 1 mg/l meningkatkan rata-rata jumlah buku, namun
penambahan kinetin hingga konsentrasi 1.5 mg/l justru menunjukkan respon
penurunan rata-rata jumlah buku.
Penambahan IAA secara tunggal memang memperlihatkan pengaruh yang
tidak nyata, namun interaksi antara IAA dengan kinetin tetap diperlukan dalam
pembentukan buku pada tanaman krisan. Hal tersebut terlihat dari rata-rata jumlah
buku terbanyak yang diperoleh pada perlakuan kombinasi IAA 1 mg/l dan kinetin
1 mg/l yaitu sebanyak 14.14 buku. Menurut Wareing dan Philips (1970), IAA akan
berperan dalam proses pembentukan lapisan pencegah absisi antara bagian ujung
32
daun yang berhubungan dengan bagian buku tempat melekatnya daun tersebut.
Lapisan tersebutlah yang mencegah agar daun tanaman tidak gugur sebelum
waktunya.
Tabel 5. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Buku pada Kultur
in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Konsentrasi
IAA (mg/l)
0
0.5
1.0
Konsentrasi
Kinetin
(mg/l)
0
0.5
1.0
1.5
0
0.5
1.0
1.5
0
0.5
1.0
1.5
7
6.50abc
4.00bc
5.38abc
2.17c
2.88bc
5.43abc
6.79ab
2.70bc
2.70bc
2.57bc
9.00a
5.10abc
Umur (MSK)
8
7.83abc
4.78bc
6.19abc
3.33c
3.81bc
7.14abc
8.64ab
3.00c
3.40c
3.29c
10.29a
6.50abc
9
8.28bc
5.61bc
7.00bc
3.75c
3.94c
8.86abc
11.14ab
3.00c
4.10c
4.14c
14.14a
8.90abc
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada uji lanjut DMRT taraf 5%.
Jumlah Daun
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IAA tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah daun per eksplan. Perlakuan konsentrasi
kinetin memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun pada 7-9 MSK,
sementara interaksi IAA dan kinetin berpengaruh sangat nyata pada 7 MSK dan
berpengaruh nyata pada 8 MSK, sementara pada 9 MSK interaksi tidak
memperlihatkan pengaruh yang nyata.
33
Tabel 6.
Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah
Daun pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Umur (MSK)
7
8
9
Keterangan :
Tabel 7.
Konsentrasi
IAA (mg/l)
tn
tn
tn
Konsentrasi
Kinetin (mg/l)
**
**
**
Interaksi IAA
dan Kinetin
**
*
tn
KK (%)
21.78
22.15
23.29
tn : Tidak nyata pada uji F 5%
* : Nyata pada uji F 5%
** : Sangat nyata pada uji F 1% MSK : Minggu Setelah Kultur
KK : Koefisien Keragaman
Data yang terbentuk merupakan hasil transformasi √
5
Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Daun pada Kultur
in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Konsentrasi
Kinetin
(mg/l)
0
0.5
1.0
1.5
7
Umur (MSK)
8
6.39b
6.85b
11.86a
5.44b
7.23b
8.59b
13.98a
7.94b
9
8.63b
11.17b
16.77a
10.06b
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada uji lanjut DMRT taraf 5%.
Konsentrasi kinetin 1 mg/l (4.64 μM ) memberikan respon rata-rata jumlah
daun per eksplan terbanyak yaitu 16.77 daun, sementara itu penambahan kinetin
hingga konsentrasi 1.5 mg/l (6.96 μM) justru menurunkan kemampuan eksplan
dalam membentuk daun. Hal serupa diperoleh pada penelitian Chairunnisa (2004)
pada perbanyakan krisan pot varietas Surf, di mana pemberian kinetin sebanyak
1 mg/l (4.64 μM) memberikan hasil rata-rata jumlah daun tertinggi, namun
peningkatan konsentrasi kinetin hingga 2 mg/l (9.29 μM) justru menurunkan ratarata jumlah daun. Syaifan (2010) juga memperoleh hasil yang sama pada
perbanyakan krisan varietas Puspita Asri dan Puspita Nusantara, di mana
pemberian BA pada konsentrasi 4.44 μM memberikan hasil maksimal terhadap
jumlah daun, namun peningkatan BA hingga konsentrasi 6.66 dan 8.88 μM, justru
menurunkan rata-rata jumlah daun. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
sitokinin pada konsentrasi optimum akan mampu memberikan respon yang
34
maksimal terhadap pertumbuhan tanaman, namun peningkatan konsentrasi
sitokinin melewati titik optimumnya justru akan menghambat pertumbuhan
tanaman.
Analisis regresi pengaruh kinetin terhadap jumlah daun pada 9 MSK
menghasilkan persamaan y = -9.240 x2 + 15.83 x + 7.871 (R2 = 0.689), seperti
yang tersaji pada Gambar 9. Koefisien determinasi yang dihasilkan sebesar
(0.689), artinya sebesar 68.9 % keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh model
regresi polinomial.
Fitted Line Plot
Rata-Rata Jumlah Daun = 7.871 + 15.83 Konsentrasi Kinetin (mg/l)
- 9.240 Konsentrasi Kinetin (mg/l)**2
17
S
R-Sq
R-Sq(adj)
Rata-Rata Jumlah Daun
16
3.43907
68.9%
6.7%
15
14
13
12
11
10
9
8
0.0
Gambar 9.
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Konsentrasi Kinetin (mg/l)
1.4
1.6
Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah
Daun Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka pada 9 MSK
Pembentukan daun diawali dengan inisiasi primordia daun yang diikuti
dengan proses pembelahan sel, pembesaran sel, dan diferensiasi (Wareing dan
Philips, 1970). Menurut Arteca (1996), kehadiran sitokinin akan berperan dalam
proses pembelahan dan pembesaran sel, yang pada akhirnya akan mengarah pada
pembentukan organ. Wareing dan Philips (1970) menyatakan bahwa tanaman
horseradish (Amoracea lapathifolia) yang dipotong akarnya mengalami
kegagalan dalam pembentukan jaringan mesofil daun, karena akar yang menjadi
tempat sintesis sitokinin tidak lagi ada. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
kehadiran sitokinin dalam petumbuhan daun terutama berperan dalam proses
pembentukan jaringan mesofil.
Wareing dan Philips (1970) juga menyatakan bahwa auksin memiliki
35
peran dalam pertumbuhan daun terutama dalam hal pembentukan tulang daun dan
pembuluh angkut daun. Pada kasus tanaman horseradish yang dibuang akarnya,
meskipun tanaman gagal membentuk jaringan mesofil daun, namun tanaman tetap
mampu membentuk pembuluh angkut pada daun karena pucuk sebagai sumber
auksin masih ada. Menurut Salisbury dan Ross (1995), secara terpisah auksin dan
sitokinin memang memiliki fungsi yang antagonis, namun dalam kenyataannya
untuk menghasilkan suatu respon fisiologis tertentu diperlukan interaksi kerja di
antara keduanya. Daun yang terbentuk berwarna hijau, menandakan bahwa
pemberian kinetin mampu merangsang perkembangan kloroplas, yang akan
berperan dalam pembentukan klorofil (Arteca, 1996).
Jumlah Akar
Pembentukan akar pada eksplan juga telah terjadi pada 1 MSK dengan
persentase eksplan yang berakar sebanyak 26.25%. Akar yang terbentuk
merupakan jenis akar adventif karena berasal dari jaringan yang tidak memiliki
proexisting meristem akar (Salisbury dan Ross, 1995). Pada akhir pengamatan
terdapat 89.58% eksplan yang mampu membentuk akar. Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa pemberian IAA secara tunggal tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah akar yang terbentuk. Konsentrasi tunggal kinetin memperlihatkan
pengaruh nyata pada 7 dan 9 MSK serta pengaruh sangat nyata pada 8 MSK.
Interaksi IAA dan kinetin memberikan pengaruh nyata pada 7 dan 8 MSK serta
pengaruh sangat nyata pada 9 MSK.
Gambar 10.
Akar yang terbentuk pada kultur in vitro krisan varietas Pitaloka
perlakuan IAA 1 mg/l pada 1 MSK
36
Tabel 8.
Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah
Akar pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Umur (MSK)
7
8
9
Konsentrasi
IAA (mg/l)
tn
tn
tn
Konsentrasi
Kinetin (mg/l)
*
**
*
Interaksi IAA
dan Kinetin
*
*
**
KK (%)
15.63
15.95
16.83
Keterangan :
tn : Tidak nyata pada uji F 5%
* : Nyata pada uji F 5%
** : Sangat nyata pada uji F 1% MSK : Minggu Setelah Kultur
KK : Koefisien Keragaman
Data yang terbentuk merupakan hasil transformasi √
5
Tabel 10.
Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Akar pada Kultur
in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Konsentrasi
Kinetin
(mg/l)
0
0.5
1.0
1.5
7
Umur (MSK)
8
6.50a
4.35b
4.82ab
2.97b
7.46a
4.96bc
5.66ab
3.36c
9
7.94a
5.72ab
6.93a
4.06b
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.
Tabel 9.
Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Akar pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Konsentrasi
Konsentrasi
Umur (MSK)
IAA (mg/l)
Kinetin
7
8
9
(mg/l)
0
9.40a
10.5a
11.5a
0.5
4.44bc
5.11b
5.72bcd
0
1.0
3.69bc
4.50b
5.50bcd
1.5
2.00c
2.67b
3.08cd
0
3.94bc
4.68b
4.69bcd
0.5
5.29bc
5.64b
6.93bcd
0.5
1.0
5.07bc
6.00b
7.43bc
1.5
2.50bc
2.70b
2.70d
0
4.80bc
5.80b
6.00bcd
0.5
3.29bc
4.07b
4.50bcd
1
1.0
5.86b
6.64b
8.07ab
1.5
4.14bc
4.43b
5.86bcd
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris perlakuan yang sama
tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT dengan taraf 5%.
37
Rata-rata jumlah akar terbanyak pada penelitian ini diperoleh pada
perlakuan media MS tanpa ZPT (kontrol) yaitu sebanyak 11.5 akar. Hal tersebut
diduga karena tanaman krisan telah memiliki kandungan auksin endogen yang
cukup tinggi. Tingginya kandungan auksin endogen terlihat pada kemampuan stek
buku tunggal krisan yang mampu tumbuh dengan baik di media MS tanpa
tambahan zat pengatur tumbuh. Menurut Armini et al. (1992), seringkali
sekelompok sel dalam suatu eksplan mampu memproduksi auksin endogen yang
cukup untuk aktivitas sel itu sendiri. Hasil serupa terlihat pada penelitian yang
dilakukan oleh Hoesen (2007) pada kultur in vitro keladi tikus (Tymphonium
trilobatum). Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan yang diberikan
perlakuan tunggal NAA 0.5 mg/l tidak menunjukkan respon yang optimal dalam
pembentukan akar, karena menurut Hoesen (2007) auksin endogen telah
memberikan peran dalam proses fisiologis eksplan tersebut sehingga penambahan
auksin dari luar tidaklah lagi diperlukan.
Panjang Akar
Peubah panjang akar hanya diamati pada 9 MSK, karena untuk
pengamatan panjang akar, eksplan perlu dikeluarkan dari dalam botol. Bila
pengamatan ini dilakukan selama masa kultur, dikhawatirkan tingkat kontaminasi
akan sangat tinggi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi tunggal
IAA tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar, konsentrasi tunggal kinetin
berpengaruh nyata terhadap panjang akar, dan interaksi IAA dengan kinetin
berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar pada 9 MSK.
Tabel 11.
Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Panjang
Akar pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Umur (MSK)
9
Keterangan :
Konsentrasi
IAA (mg/l)
tn
Konsentrasi
Kinetin (mg/l)
*
Interaksi IAA
dan Kinetin
**
tn : Tidak nyata pada uji F 5%
* : Nyata pada uji F 5%
** : Sangat nyata pada uji F 1%
MSK : Minggu Setelah Kultur
KK : Koefisien Keragaman
Data yang terbentuk merupakan hasil transformasi √
5
KK (%)
12.99%
38
Tabel 12.
Pengaruh Konsentrasi IAA dan Konsentrasi Kinetin terhadap
Panjang Akar
Perlakuan
Kinetin (mg/l)
0
0.5
1.0
1.5
Keterangan:
Umur (MSK)
9
...............cm.................
7.63a
6.24a
6.18a
4.36b
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.
Rata-rata panjang akar terpanjang diperoleh pada perlakuan tanpa ZPT
(kontrol) yaitu 9.73 cm, sementara rata-rata panjang akar terpendek diperoleh
pada perlakuan tunggal kinetin 1.5 mg/l yaitu 2.53 cm. Hal ini diduga karena
kandungan auksin endogen tanaman krisan cukup tinggi, sehingga tanaman
mampu membentuk akar tanpa bantuan ZPT dari luar. Leopold (1964)
menyatakan bahwa auksin memberikan dua respon yang berbeda terhadap
pertumbuhan organ, yaitu auksin akan bersifat memacu pertumbuhan pada
konsentrasi rendah dan justru akan menghambat pertumbuhan pada konsentrasi
tinggi, seperti terlihat pada perkembangan batang, kuncup, dan akar. Menurut
Leopold (1964), efek auksin terhadap penghambatan pertumbuhan akar sangatlah
tinggi, sedangkan kemampuan auksin dalam memacu pertumbuhan akar sangatlah
kecil, hanya sekitar 10 hingga 30 persen saja, dan terbatas pada kasus tertentu.
Srivastava (2001) menyatakan bahwa konsentrasi auksin yang optimum bagi
pertumbuhan akar sangatlah rendah yaitu di bawah 10-9 M (1.75 x 10-4 mg/l).
Kandungan auksin di dalam jaringan tanaman melebihi konsentrasi tersebut justru
akan menghambat pertumbuhan akar (Srivastava, 2001).
39
Tabel 13.
Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap
Panjang Akar pada Kultur in vitro Krisan Varietas
Pitaloka
Konsentrasi
IAA (mg/l)
0
0.5
1.0
Keterangan:
Konsentrasi
Kinetin (mg/l)
0
0.5
1
1.5
0
0.5
1
1.5
0
0.5
1
1.5
Umur (MSK)
9
...............cm.................
9.73a
4.40bcd
5.91bc
2.53d
5.28bcd
7.49ab
5.78bcd
2.69cd
7.58ab
7.23ab
7.01ab
7.59ab
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.
Pembentukan Kalus
Selama masa pengamatan, terdapat respon pembentukan kalus pada
beberapa eksplan. Pembentukan kalus pada kultur in vitro akan terjadi akibat
perimbangan konsentrasi auksin dan sitokinin pada tingkatan tertentu (Dodds dan
Roberts, 1995). Kalus mulai terbentuk pada 2 MSK dan terus berlanjut hingga
minggu berikutnya. Eksplan yang membentuk kalus beberapa di antaranya
mampu membentuk akar dan tunas, namun ada pula yang masih berbentuk kalus
hingga akhir masa pengamatan. Kalus yang terbentuk umumnya mempunyai
struktur kompak dan berwarna hijau.
40
Tabel 14. Persentase Eksplan Membentuk Kalus dari Tiap Perlakuan pada Kultur
in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Konsentrasi IAA
(mg/l)
0
0.5
1.0
Konsentrasi Kinetin
(mg/l)
0
0.5
1.0
1.5
0
0.5
1.0
1.5
0
0.5
1.0
1.5
Persentase Eksplan
Berkalus (%)
0
40
10
40
25
35
45
65
35
65
35
55
Berdasarkan Tabel 14. terlihat bahwa persentase eksplan membentuk kalus
paling banyak terdapat pada perlakuan IAA 0.5 mg/l + kinetin 1.5 mg/l dan IAA
1.0 mg/l + kinetin 0.5 mg/l. Diduga pada konsentrasi tersebut, kedua ZPT berada
dalam perimbangan untuk membentuk kalus. Penelitian yang dilakukan
Khairunisa (2009) terhadap kultur in vitro binahong (Anredera cordifolia),
memperoleh hasil bahwa perlakuan tunggal BAP, kinetin, dan Thidiazuron pada
selang antara 0.50 - 2.0 mg/l mampu menginduksi kalus pada eksplan yang
berasal dari ruas batang. Menurut Sitorus et al. (2011) pemberian IBA 0.5 mg/l
dan BAP 0.4 mg/l mampu merangsang pembentukan kalus pada tanaman
binahong.
Besarnya persentase eksplan yang membentuk kalus juga didukung oleh
jenis eksplan yang digunakan yakni stek buku tunggal di mana bagian ujung atas
dan ujung bawah eksplan membentuk luka bekas pemotongan buku. Menurut
Dodds dan Roberts (1995), kalus dapat terbentuk akibat adanya perlukaan pada
suatu jaringan tumbuhan. Selanjutnya sel-sel pada jaringan yang terluka itu
menurut Sitorus et al. (2011) memperbaiki diri dengan jalan membentangkan
dinding sel dan menyerap banyak air hingga sel membengkak. Proses selanjutnya
ialah sel membelah secara cepat hingga menghasilkan massa sel yang belum
berdiferensiasi yang disebut kalus.
41
A
B
Gambar 11.
(A). Kalus Berakar yang Terbentuk pada Perlakuan IAA 0.5 mg/l
dan (B). Kalus Bertunas yang Terbentuk pada Perlakuan Kinetin
1.5 mg/l
Tinggi Planlet
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi tunggal IAA
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi planlet pada 7-9 MSK.
Perlakuan konsentrasi tunggal kinetin berpengaruh nyata terhadap tinggi planlet
pada 7-9 MSK, sedangkan interaksi IAA dengan kinetin memberikan pengaruh
sangat nyata terhadap tinggi planlet pada 7-9 MSK.
Tabel 15.
Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Tinggi
Planlet pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Umur (MSK)
7
8
9
Keterangan :
Konsentrasi
IAA (mg/l)
tn
tn
tn
Konsentrasi
Kinetin (mg/l)
*
*
*
Interaksi IAA
dan Kinetin
**
**
**
tn : Tidak nyata pada uji F 5%
* : Nyata pada uji F 5%
** : Sangat nyata pada uji F 1%
MSK : Minggu Setelah Kultur
KK : Koefisien Keragaman
Data yang terbentuk merupakan hasil transformasi √
5
KK (%)
8.14
9.36
10.66
42
Tabel 16.
Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Tinggi Planlet pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Konsentrasi
Kinetin
(mg/l)
0
0.5
1.0
1.5
7
Umur (MSK)
8
3.83a
2.52b
3.04ab
2.19b
4.54a
3.16bc
3.87ab
2.61c
9
5.32a
4.15ab
4.92a
3.19b
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.
Data dalam satuan cm
Tabel 17. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Tinggi Planlet pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
Konsentrasi
IAA (mg/l)
0
0.5
1.0
Konsentrasi
Kinetin
(mg/l)
0
0.5
1.0
1.5
0
0.5
1.0
1.5
0
0.5
1.0
1.5
7
Umur (MSK)
8
9
……………………………cm…………………….
5.92a
6.95a
8.12a
2.69b
3.41b
4.36bc
2.90b
3.56b
4.38bc
1.69b
2.13b
2.42c
2.29b
2.71b
3.24bc
2.79b
3.48b
4.72bc
3.07b
4.05b
5.29b
1.96b
2.13b
2.31c
2.55b
3.12b
3.62bc
2.04b
2.51b
3.31bc
3.16b
4.05b
5.18b
3.02b
3.67b
5.00b
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada uji lanjut DMRT taraf 5%.
Rata-rata planlet tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa ZPT (kontrol)
yaitu 8.12 cm, sedangkan rata-rata planlet terpendek terdapat pada perlakuan IAA
0.5 mg/l + kinetin 1.5 mg/l yaitu 2.3 cm. Hal ini diduga karena tanaman krisan
telah memiliki kandungan auksin endogen yang tinggi, sehingga penambahan
auksin dari luar justru menghambat pertumbuhan planlet. Pada konsentrasi
optimal, auksin akan merangsang terjadinya pemanjangan sel (Wareing dan
Philips, 1970). Terikatnya auksin pada membran sel tumbuhan akan mengaktifkan
43
pompa proton yang menyebabkan terjadinya sekresi proton dari dalam sel menuju
dinding sel. Kondisi ini akan mengakibatkan aktifnya enzim yang menghidrolisis
polisakarida pada dinding sel atau melemahkan ikatan hidrogen antara komponen
penyusun dinding sel dan mengakibatkan dinding sel menjadi meregang. Itulah
sebabnya mengapa auksin dikatakan mampu merangsang proses pemanjangan sel
(Chesworth et al., 1998). Efeknya ialah terjadinya proses pemanjangan batang
yang membuat tanaman mampu tumbuh tinggi.
Gambar 12. Planlet yang Terbentuk pada 9 MSK pada Perlakuan Kontrol (MS0)
Efek auksin dalam pemanjangan sel menurut Leopold (1964), tergantung
dari berapa konsentrasi auksin yang terlibat dalam proses tersebut. Auksin akan
berperan dalam proses pemanjangan sel pada konsentrasi yang sangat rendah dan
pada konsentrasi tinggi justru auksin akan menghambat pemanjangan sel
(Leopold, 1964). Menurut Campbell et al. (2003), konsentrasi auksin yang
optimum untuk pemanjangan sel berada pada kisaran 10-8 M hingga 10-3 M. Bila
tanaman krisan telah memiliki kandungan auksin endogen yang cukup untuk
memacu pertumbuhan, maka penambahan auksin eksogen akan menghambat
pertumbuhan karena pada konsentrasi yang lebih tinggi, auksin akan menginduksi
sintesis hormon etilen yang bekerja sebagai inhibitor pertumbuhan tanaman akibat
pemanjangan sel (Campbell et al., 2003)
44
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Selama tahap kultur in vitro, media MS0 (tanpa ZPT) menunjukkan hasil
yang terbaik bagi pertumbuhan eksplan stek buku tunggal krisan varietas
Pitaloka.
2. Penambahan kinetin hingga konsentrasi 1 mg/l mampu menghasilkan ratarata jumlah tunas dan jumlah daun terbanyak, yaitu sebanyak 3.18 tunas
dan 16.77 daun.
3. Interaksi IAA dan kinetin menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
jumlah buku serta memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah
akar, panjang akar, dan tinggi planlet, namun interaksi IAA dan kinetin
tidak menunjukkan hasil yang terbaik bagi pertumbuhan eksplan stek buku
tunggal krisan varietas Pitaloka.
Saran
1. Selama masa kultur in vitro berlangsung, perlu dilakukan subkultur bila
tinggi eksplan telah mencapai puncak botol kultur.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjut dengan menggunakan jenis media yang
lain seperti ½ MS, ¼ MS, atau Hyponex, untuk melihat bagaimana respon
yang terbentuk.
3. Perlu dilakukan aklimatisasi untuk melihat bagaimana kemampuan planlet
untuk tumbuh di lapang.
45
DAFTAR PUSTAKA
Armini, N.A., G.A. Wattimena, dan L.W. Gunawan. 1992. Perbanyakan Tanaman
p. 12-104. Dalam G.A. Wattimena (Ed.) Bioteknologi Tanaman. Pusat
Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor. 309 p.
Arteca, R.N. 1996. Plant Growth Substances : Principles and Applications.
Chapman and Hall. New York, USA. 332 p.
Badan
Pusat Statistik. 2009. Produksi
http//www.bps.go.id. [20 April 2012].
Tanaman
Hias
di
Indonesia.
Balai
Besar Pasca Panen Lembang. 2009. Budidaya Krisan Potong.
http://www.bbpplembang.info/index.php?option=com_content&view=arti
cle&id=308&Itemid=304. [24 April 2012].
Boodley, J.W. 1998. The Commercial Greenhouse 2nd edition. Delmar Publishers.
New York. 612 p.
Campbell, N.A., J.B. Reece, dan L.G. Mitchell. 2003. Biologi Edisi Kelima
Jilid II. (diterjemahkan dari : Biology, 5th Edition, penerjemah :
W. Manalu). Penerbit Erlangga. Jakarta. 404 p.
Caponetti, J.D., D.J. Gray, dan R.N. Trigiano. 2005. History of plant tissue and
cell culture, p.9-15. In R.N. Trigiano dan D.J. Gray (Eds.). Plant
Development and Biotechnology. CRC Press. New York. 358 p.
Chairunnisa. 2004. Pengaruh Kombinasi Auksin dan Sitokinin pada Perbanyakan
Krisan Pot (Chrysanthemum morifolium) Varietas Surf Secara
in vitro. Skripsi. Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.17 p.
Chawla, H.S. 2002. Introduction to Plant Biotechnology 2nd edition. Science
Publishers, Inc. New Hampshire, USA. 532 p.
Chesworth , J.M., T. Stuchbury, dan J.R. Scaife. An Introduction to Agricultural
Biochemistry. 1998. Chapman and Hall, London, UK. 490 p.
Crockett , J.U. 1972. Perennials.Time Life Books Inc., Virginia, US. 160 p.
. 1977. Greenhouse Gardening. Time Life Books Inc., Virginia, US.
180 p.
Dodds, J.H., and L.W. Roberts. 1995. Experimental in Plant Tissue Culture 3rd
edition. Cambridge University Press. Cambridge, UK. 256 p.
46
Evans, D.E., J.O.D. Coleman, and A. Kearns. 2003. Plant Cell Culture. BIOS
Scientific Publishers. London. 194 p.
Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan.Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar
Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. 165 p.
Hadi, P. 2008. Pengembangan Kemampuan Petani Krisan dalam Pemasaran.
Workshop Produksi Penangkaran Krisan 21-22 April 2008. Yogyakarta.
Hoesen, D.S.H. 2007. Pertumbuhan dan perkembangan tunas Tymphonium secara
in vitro. Berita Biologi 8 (5) : p. 413-422.
Khairunisa, R. 2009. Penggunaan Beberapa Jenis Sitokinin Terhadap Multiplikasi
Tunas dan Pertumbuhan Binahong (Anredera cordifolia [Ten] Steenis)
secara in vitro. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Kofranek, A.M. 1992. Cut chrysanthemum p. 3-42. In R. A. Larson (ed.). Introduction
to Floriculture 3rd edition.Academic Press. London. 636 p.
Leopold, A.C. 1964. Plant Growth and Development. McGraw-Hill, Inc. USA.
466 p.
Maharani, S. 2011. Induksi Keragaman dua Varietas Krisan (Dendranthema
grandiflora Tzvelev) dengan Iradiasi Sinar Gamma secara in vitro. Skripsi.
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. 80 p.
Maryani, Y. dan Zamroni. 2005. Penggandaan tunas krisan melalui kultur
jaringan. Jurnal Ilmu Pertanian 12 (1) : 51-55.
May, R.A. dan R.N. Trigiano. 1991. Somatic embryogenesis and plant
regeneration
from
leaves
of
Dendranthema
grandiflora.
J. Amer. Soc. Hort. Sci. 116 (2) : p. 366-371.
Moore, T.C. 1979. Biochemistry and Physiology of Plant Hormones. SpringerVerlag. New York. 274 p.
National Chrysanthemum Society. 2003. History of the Chrysanthemum.
http://www.mums.org/journal/articles/chrysanthemum_history.htm.
[20April 2012].
Pin, D.D, Y.T. Yang, dan C.Y. Gow. 1999. Antioxidant activity of water extract of
Harng Jyur (Chrysanthemum morifolium Ramat). LWT-Food Science and
Technology 32 (5) : 269-277.
47
Salisbury, F.B., dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Edisi Ketiga
(diterjemahkan dari : Plant Physiology Third Edition, penerjemah : D.R.
Lukman dan Sumaryono). Penerbit ITB. Bandung.
Sari, E.N. 2011. Induksi Keragaman Somaklonal Beberapa Kultivar Krisan
(Dendranthema grandiflora Tzvelev.) Melalui Iradiasi Sinar Gamma
secara in vitro untuk Memperoleh Klon Krisan Baru. Skripsi. Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. 51 p.
Sitorus, E.N., E.D. Hastuti, dan N. Setiari. 2011. Induksi kalus binahong (Basella
rubra L.) secara in vitro pada media Murashige & Skoog dengan konsentrasi
sukrosa yang berbeda. BIOMA 13 (1) : p. 1-7.
Srivastava, L.M. 2001. Plant Growth and Development : Hormones and
Environment. Academic Press. California, USA. 772 p.
Syaifan, U. 2010. Pengaruh Benzyl Adenine (BA) terhadap Pertumbuhan Eksplan
Dua Kultivar Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev.) secara in vitro.
Skripsi. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. 63 p.
Thomas, E dan M.R. Davey. 1975. From Single Cells to Plants. Wykeham
Publications, Ltd. London, UK. 171 p.
Wareing, P.F. dan I.D.J. Philips. 1970. The Control of Growth and Differentiation
in Plant. Pergamon Press Ltd., UK. 303 p.
Weaver, R.J. 1972. Plant Growth Substances in Agriculture. W.H. Freeman and
Company. San Fransisco, USA. 594 p.
Windasari, A. 2004. Pengaruh Kombinasi Auksin dan Sitokinin Pada Perbanyakan
Krisan Pot (Chrysanthemum morifolium) Varietas Delano Red secara in
vitro.Skripsi. Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, IPB. Bogor. 14 p.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman : Solusi Perbanyakan Tanaman
Budidaya. Bumi Aksara. Jakarta. 249 p.
Zhu S., Y. Yang, H. Yu, Y. Ying, dan G. Zou. 2005. Chemical composition and
antimicrobial activity of the essential oils of Chrysanthemum indicum.
Journal of Ethnopharmacology 96 (1) : 151-158.
48
LAMPIRAN
49
Lampiran 1. Deskripsi Krisan Varietas Pitaloka
Varietas Pitaloka
Nomor Klon
Tetua silangan
Umur tanaman
Tinggi tanaman
Warna bunga pita
Warna bunga tabung
Diameter bunga pita
Diameter bunga tabung
Jumlah bunga pita
Jumlah bunga tabung
Panjang tangkai bunga
Panjang petiol
Tipe bunga
Jenis bunga
Bentuk daun
dangkal, tepi bergerigi
Warna daun
Susunan daun
Panjang daun
Lebar daun
Panjang ruas batang
Sistem perakaran
Inisiasi bunga
Inisiasi akar stek
Tanaman induk
Ketahanan terhadap
Lyriomyza
Ketahanan terhadap
Puccinia horiana
Lama kesegaran
bunga dalam vas
Peneliti
: Balithi 13.14
: 880077 X Klondike
: 81 - 101 hari
: 79.47 – 99.10 cm
: Ungu = Red Purple 70 A (Colour Chart CAB)
: Ungu = Red Purple 70 A (Colour Chart CAB)
: + 4.60 cm
: + 2.40 cm
: 23 helai
: 169 helai
: 98.3 cm
: 7.30 – 10.30 cm
: Anemon
: Spray
: Lonjong ramping menjari, ujung runcing, lekukan
: Hijau gelap
: Berselang-seling
: + 8.90 cm
: + 6.80 cm
: + 3.58 cm
: Serabut
: + 32.52 hari setelah hari panjang
: + 8.78 hari
: 19.83 stek setelah 16 minggu
: Sedikit tahan
: Sedikit tahan
: 14.0 hari
: Budi Marwoto, Jan de Jong, Toto Sutater,
Minangsari Dewanti, Ridho Kurniati, Yiyin Nasihin
Sumber :
http://dokumen.deptan.go.id
50
Lampiran 2. Komposisi Media Murashige dan Skoog
Stok
Senyawa
per liter stok
Pemakaian
Stok
per liter
medium
A
NH4NO3
82.5 g
20.00 ml
1 650 mg
B
KNO3
95.0 g
20.00 ml
1 900 mg
C
KH2PO4
34.00 g
5.00 ml
H3BO3
1.24 g
6.2 mg
KI
0.166 g
0.83 mg
Na2MoO4.2H20
0.05 g
0.25 mg
CoCl2.6H2O
0.005 g
0.025 mg
D
CaCl2.2H20
88.00 g
5.00 ml
440 mg
E
MgSO4.7H20
74.00 g
5.00 ml
370 mg
MnSO4.4H2O
4.46 g
22.3 mg
ZnSO4.4H2O
1.72 g
8.6 mg
CuSO4.5H20
0.005 g
0.025 mg
Na2EDTA
7.46 g
37.3 mg
FeSO4.7H20
5.56 g
27.8 mg
F
10.00 ml
170 mg
Myo-Inositol
10.00 g
Glisin
0.2 g
Niasin
0.05 g
0.5 mg
PiridoksinHCl
0.05 g
0.5 mg
Tiamin HCl
0.01 g
0.1 mg
Sukrosa
Agar
Sumber : Murashige dan Skoog dalam Zulkarnain (2009)
100 mg
2 mg
30 000 mg
7 000 mg
51
Lampiran 3. Rumus Konversi dari ppm ke μM
1 ppm = 1 mg/l
1 μM = 10-6 M
Konversi ppm ke μM = 1000 x ppm
Bobot molekul
Konversi μM ke ppm = Bobot molekul x μM
1000
BM IAA = 175.19
BM Kinetin = 215.21
1 mg/l kinetin = 1000 x 1
215.21
= 4.64 μM
1.5 mg/l kinetin = 1000 x 1.5
215.21
= 6.96 μM
Sumber : Armini et al., 1992.
52
Lampiran 4.
MSK
7
8
9
Sumber
Keragaman
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
Lampiran 5.
MSK
7
8
9
Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya terhadap
Jumlah Tunas pada Kultur in vitro Krisan varietas Pitaloka
db
2
3
6
9
2
3
6
9
2
3
6
9
Jumlah
Kuadrat
2.031
40.578
16.380
3.798
2.568
49.640
17.475
8.795
5.921
52.204
16.226
10.634
Kuadrat
Tengah
1.015
13.526
2.730
0.422
1.284
16.546
2.912
0.977
2.960
17.401
2.704
1.181
F
Hitung
0.83
11.05
2.23
0.34
0.74
9.57
1.68
0.57
1.27
1.39
8.17
0.55
Pr>F
0.4409
<0.0001
0.0517
0.9560
0.4800
<0.0001
0.1398
0.8202
0.2566
0.0001
0.2842
0.8282
KK (%)
71.74
66.75
67.47
Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya terhadap
Jumlah Daun pada Kultur in vitro Krisan varietas Pitaloka
Sumber
Keragaman
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
Db
2
3
6
9
2
3
6
9
2
3
6
9
Jumlah
Kuadrat
28.858
578.830
569.480
163.368
61.911
699.944
565.236
309.704
113.467
883.444
615.876
418.198
Kuadrat
Tengah
14.429
192.943
94.913
18.152
30.955
233.314
94.206
34.411
56.733
294.481
102.646
46.466
F
Hitung
0.50
6.66
3.28
0.63
0.83
6.29
2.54
0.93
1.05
5.45
1.90
0.86
Pr>F
0.6100
0.0006
0.0073
0.7698
0.5083
0.4392
0.0009
0.0292
0.3564
0.0022
0.0953
0.5658
KK (%)
69.14
63.80
62.47
53
Lampiran 6.
MSK
7
8
9
Sumber
Keragaman
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
Lampiran 7.
MSK
7
8
9
Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya terhadap
Jumlah Buku pada Kultur in vitro Krisan varietas Pitaloka
Db
2
3
6
9
2
3
6
9
2
3
6
9
Jumlah
Kuadrat
0.805
184.552
173.591
93.606
0.093
224.940
246.664
174.980
17.204
434.630
422.176
271.038
Kuadrat
Tengah
0.402
61.517
28.931
10.400
0.046
74.980
41.110
19.377
8.602
144.876
70.362
30.115
F
Hitung
0.03
5.34
2.51
0.90
0.00
4.72
2.59
1.22
0.39
6.56
3.18
1.36
Pr>F
0.9657
0.0025
0.0307
0.5289
0.9971
0.0049
0.0265
0.2990
0.6792
0.0006
0.0087
0.2244
KK (%)
71.79%
68.39
66.92
Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya terhadap
Jumlah Akar pada Kultur in vitro Krisan varietas Pitaloka
Sumber
Keragaman
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
Db
2
3
6
9
2
3
6
9
2
3
6
9
Jumlah
Kuadrat
11.561
101.165
171.910
77.090
16.365
136.341
176.778
88.485
18.849
139.401
278.840
168.112
Kuadrat
Tengah
5.780
33.721
28.651
8.565
8.182
45.447
29.463
9.831
9.424
46.467
46.473
18.679
F
Hitung
0.66
3.88
3.29
0.98
0.82
4.57
2.96
0.99
0.74
3.67
3.67
1.48
Pr>F
0.5179
0.0130
0.0068
0.4610
0.4440
0.0058
0.0129
0.4587
0.4788
0.0165
0.0033
0.1756
KK (%)
62.00
57.66
56.70
54
Lampiran 8.
MSK
7
8
9
Sumber
Keragaman
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
Lampiran 9.
MSK
9
Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya terhadap
Tinggi Planlet pada Kultur in vitro Krisan varietas Pitaloka
Db
2
3
6
9
2
3
6
9
2
3
6
9
Jumlah
Kuadrat
10.547
17.697
55.946
19.656
14.775
27.812
76.954
20.779
15.478
37.118
120.736
40.341
Kuadrat
Tengah
5.273
5.899
9.324
2.184
7.387
9.270
12.825
2.308
7.739
12.372
20.122
4.482
F
Hitung
3.08
3.45
5.45
1.28
2.92
3.67
5.07
0.91
2.00
3.20
5.21
1.16
Pr>F
0.0529
0.0218
0.0001
0.2675
0.0613
0.0169
0.0003
0.5200
0.1434
0.0292
0.0002
0.3357
KK (%)
44.45
44.09
43.85
Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya terhadap
Panjang Akar pada Kultur in vitro Krisan varietas Pitaloka
Sumber
Keragaman
IAA
Kinetin
IAA*Kinetin
Ulangan
Db
2
3
6
9
Jumlah
Kuadrat
43.34
85.60
171.115
63.186
Kuadrat
Tengah
21.673
28.533
28.519
7.020
F
Hitung
2.89
3.80
3.80
0.94
Pr>F
0.0630
0.0143
0.0027
0.5008
KK (%)
44.10
Download