BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upaya untuk meningkatkan sistem pertahanan tubuh menjadi penting dilakukan dalam rangka mempertahankan sistem pertahanan tubuh agar tetap maksimal. Saat keadaan fungsi dan jumlah sel imun kurang memadai, upaya peningkatan melalui pemberian imunostimulan menjadi sangat penting. Imunostimulan merupakan cara untuk meningkatkan sistem imun dengan menggunakan bahan-bahan yang dapat merangsang sistem imun. Imunostimulan digunakan sebagai terapi tambahan untuk penyakit yang disebabkan oleh organisme patogen, membantu meringankan gejala penyakit infeksi, serta mempercepat proses penyembuhannya. Jika belum terkena penyakit, imunostimulan bisa dipakai sebagai tindakan preventif untuk mencegah penyakit, serta untuk meningkatkan daya tahan tubuh (Baratawidjaja & Rengganis, 2010). Indonesia yang beriklim tropis menyebabkan tanahnya subur sehingga banyak jenis tumbuhan yang dapat tumbuh. Beberapa jenis tumbuhan tersebut memiliki khasiat meningkatkan sistem imun. Meniran (Phyllanthus niruri Linn), sirih merah (Piper crocatum), dan keladi tikus (Typhonium flagelliforme) tanaman yang melimpah di Indonesia, telah banyak diteliti aktivitasnya dalam sistem imun. Ketiga tanaman tersebut diketahui dapat meningkatkan respon imun (Apriyanto, 2011; Nurrochmad dkk, 2011; Nworu et al.,(2010) ). 1 2 Namun demikian efek kombinasi ekstrak dari ketiga tumbuhan tersebut belum diketahui, sehingga saintifikasi ilmiah kombinasi ekstrak etanolik herba meniran (Phyllantus niruri Linn), umbi keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume), dan daun sirih merah (Piper crocatum) sebagai imunomodulator sangat diperlukan guna menjamin kajian ilmiahnya sebagai imunomodulotor dan dapat digunakan sebagai landasan dalam pengembangan kombinasi ekstrak tersebut menuju fitofarmaka. B. Rumusan Masalah Apakah pemberian kombinasi ekstrak etanolik daun sirih merah, umbi keladi tikus, dan herba meniran dapat meningkatkan proliferasi limfosit pada mencit yang terinduksi vaksin hepatitis B? C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek imunostimulan pemberian kombinasi ekstrak etanolik daun sirih merah, umbi keladi tikus, dan herba meniran dapat meningkatkan proliferasi limfosit pada mencit yang terinduksi vaksin hepatitis B. D. Pentingnya Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan data ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar pengembangan kombinasi ekstrak etanolik daun sirih merah, umbi 3 keladi tikus, dan herba meniran sebagai suatu produk fitofarmaka untuk imunostimulan. E. Tinjauan Pustaka 1. Sistem Imun Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang dapat melindungi tubuh dari unsur-unsur patogen, misalnya bakteri, virus, parasit, dan protozoa yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Respon imun terhadap patogen tergantung dari kemampuan sistem imun mengenal dan melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan patogen tersebut (Kresno, 1996). Tugas dasar sistem imunitas tersebut antara lain adalah membedakan ‘dirinya sendiri’ dengan ‘pendatang asing’ (bakteri, virus, toksik, jamur, serta jaringan asing). Sistem imunitas akan membentuk sel khusus melalui sel darah putih untuk mengeliminasi pendatang asing tersebut. Sistem imun terdiri dari sistem imun spesifik dan sistem imun nonspesifik, keduanya berperan terutama dalam proses fagositosis (Kresno, 2001). a. Sistem imun nonspesifik. Imunitas nonspesifik fisiologi berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan pada individu sehat. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan pada mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung (Baratawidjaja & 4 Rengganis, 2009). Komponen utama sistem imun nonspesifik yaitu barrier fisik dan bahan kimia seperti ephitelial, sel fagositosis seperti neutrophil, makrofag, sel natural killer (NK), protein darah meliputi sistem komplemen, mediator inflamasi, dan protein sitokin yang meregulasi dan mengkoordinasi aktivitas sel pada imunitas alami (Abbas & Lichtman, 2005). Dari berbagai sel efektor imun, neutrofil dan makrofag keduanya adalah spesialis fagositik sangat penting dalam pertahanan bawaan. Sel-sel fagositik dipenuhi oleh protein membran plasma dinamai toll-like receptors (TLR). TLR dijuluki “mata sistem imun bawaan” karena sensor imun ini mengenali dan mengikat penandapenanda di bakteri sehingga sel efektor sistem imun bawaan “melihat” patogen sebagai suatu yang berada dari sel “diri”. Saat TLR mengenali patogen, maka TLR memicu fagosit untuk menelan dan menghancurkan mikroorganisme infeksius tersebut. Pengaktifan TLR juga memicu sel fagositik mengeluarkan bahan-bahan kimia yang berperan dalam peradangan (Baratawidjaja & Rengganis, 2010). b. Sistem imun spesifik Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imum tersebut. Benda asing yang sama bila terpajang ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini disebut spesifik (Bratawidjaja, 2006). Peneliti lainnya menjelaskan bahwa disebut imun spesifik 5 karena jika antigen 1 menyerang tubuh maka antibodi 1 diproduksi untuk melawan. Jika antigen 2 menyerang maka antibodi 2 diproduksi untuk melawan, begitu seterusnya (Kresno, 1996). Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik, tetapi pada umumnya terjadi kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen dan fagosit dengan sel-T makrofag. Antibodi akan muncul apabila ada antigen yang masuk kedalam tubuh. Sistem imun spesifik hanya dapat menghancurkan antigen yang telah dikenalnya (Kresno, 2001). Secara garis besar sistem imun terdiri dari dua macam mekanisme, yakni pertahanan selular dan humoral, dalam hal ini mukosa usus merupakan sisi terpenting yang berhubungan dengan mikroba (Stites &Terr, 1990). Sistem imunitas selular memegang peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan oleh kuman-kuman intrasel contohnya virus, riketsia, mikrobakteria, dan beberapa protozoa (Kresno, 1996). Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Pada orang dewasa sel T dibentuk di sumsum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi di timus. Imunitas humoral terdiri kelompok sel B yang berperan dalam sintesis antibodi dan merupakan 20% dari limfosit tubuh. Bila sel B dirangsang oleh antigen, sel akan berpoliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi ini berbentuk humoral (dalam cairan tubuh seperti darah, getah bening). Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan bakteri serta antitoksik (Baratawidjaja & Rengganis, 2010). 6 2. Imunomodulator Imunomodulasi adalah cara mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan sistem imun yang fungsinya berlebihan. Imunomodulasi dapat diarahkan pada sel B, sel T atau APC. Karena sel T merupakan pusat dari regulasi dari imunitas seluler dan humoral, sehingga sel T menjadi target utama dari imunomodulasi antigen spesifik. Sedangkan imunomodulator adalah suatu senyawa yang dapat mempengaruhi sistem imun tubuh sehingga dapat menaikkan atau menekan aspek spesifik dari respon imun (Stites & Terr, 1990). Senyawa yang bersifat sebagai imunomodulator dapat bekerja menurut dua cara, yaitu: a. imunostimulasi Merupakan cara untuk meningkatkan fungsi imun dengan menggunakan bahan yang dapat merangsang sistem imun. Bahan yang dapat merangsang sistem imun dapat meliputi bahan: Biologis : hormon timus, limfokin, interferon, antibodi monoklonal Sintetik : levamisol, isoprinosin, muramil dipeptide (MDP) (Baratawidjaja & Rengganis, 2010) b. imunosupresi Merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menekan sistem imun. Digunakan untuk mencegah reaksi penolakkan transplantasi dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik seperti autoimun atau autoinflamasi. Kemampuan untuk menginduksi imunosupresi antigen spesifik adalah tujuan utama dari terapi alergi dan autoimunitas (Stites & Terr, 1990). 7 3. Limpa Limpa ialah suatu organ yang berada dalam perut (abdomen atas), pada sisi kiri, dibelakang lambung. Limpa merupakan bagian dari sistem imun dan merupakan komponen sistem limfoid sekunder (perifer). Limpa terdiri atas pulpa merah yang terutama merupakan tempat penghancuran eritrosit dan pulpa putih yang terdiri atas jaringan limfoid. Limpa berfungsi sebagai tempat terjadinya respon imun terhadap antigen yang masuk melalui sirkulasi darah (Kresno, 2001). Limpa merupakan penyaring darah yang efektif membuang eritrosit yang sudah tidak berguna dan bereaksi aktif terhadap antigen yang dibawa darah, khususnya yang berbentuk partikel (Kresno, 1996). Fungsi limpa dan responnya terhadap antigen sama dengan kelenjar getah bening. Perbedaannya adalah limpa merupakan tempat terjadinya respon imun terhadap antigen yang masuk melalui sirkulasi darah, sedangkan kelenjar getah bening memberikan respon melalui pembuluh getah bening (Abbas & Lichtman, 2005). 4. Limfosit Limfosit adalah sel darah putih (leukosit) yang berukuran kecil, berbentuk bulat (diameter 7-15 µm) dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limpa, kelenjar limfe dan timus. Sel limfosit dibentuk dalam kelenjar timus dan sumsum tulang belakang dan tidak mempunyai kemampuan bergerak seperti amuba. Sel ini merupakan 20% dari semua sel leukosit yang beredar dalam darah manusia dewasa. Fungsi utama limfosit adalah memberi respon terhadap antigen (benda asing) dengan 8 membentuk antibodi (immunoglobulin/Ig) yang bersirkulasi dalam darah (imunitas humoral) atau dalam pengembangan imunitas seluler (Kresno, 1996). Sel limfosit berdiferensiasi menjadi sel T dan sel B. Sel T berfungsi dalam imunitas seluler yang sebagian besar terdapat dalam sirkulasi darah, yaitu berjumlah 65-85% dan berasal dari sel hematopoetik di sumsum tulang belakang yang kemudian pindah ke timus dan menjadi dewasa. Pada proses pendewasaannya sel ini berdiferensiasi menjadi sel T-helper (Th) yang berfungsi untuk membantu pembentukan antibodi, sel T-supressor (Ts) menekan pembentukan antibodi dan sel T-cytotoxic (Tc) berfungsi membunuh sel-sel yang terinfeksi patogen intraselular (Kresno, 1991). Sel T helper merupakan sub populasi yang heterogen, atas dasar jenis bantuan yang diberikan kepada sel B, limfosit sel T dibagi dalam 2 subset yaitu Th1 dan Th2. Th1 mampu menginduksi respon hipersensitivitas tipe lambat, sedangkan Th2 tidak. Th1 dapat memproduksi IFN-Ɣ dan IL-2, Th2 dapat memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10 (Kresno, 1996). Sel T dapat berproliferasi menjadi sel T memori dan mensekresikan berbagai limfokin. Limfokin ini berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel NK dan sel lain yang terlibat dalam respon imun (Roitt & Delves, 2001). Sel T mengenali target “non-self” hanya setelah antigen yang menjadi penanda patogen yang bersangkutan (dan berada di permukaan sel patogen) ditangkap oleh reseptor sel T melalui proses pertemuan antarmuka (reseptor sel T – reseptor patogen). Sel T hanya bereaksi dengan antigen kalau antigen tersebut ditampilkan pada permukaan sel APC bersama-sama dengan MHC. Dengan demikian molekul MHC 9 mengatur interaksi antara berbagai sel yang terlibat dalam sistem imun (Kresno, 1991). Fungsi utama TCR adalah untuk mengenali antigen pada kontek yang benar dengan MHC dan untuk meneruskan signal perangsangan terhadap bagian dalam sel T. Ada dua subtipe utama sel T yaitu sel T pembunuh dan sel T penolong. Sel T pembunuh (Tc) hanya mengenali antigen yang digabungkan ke molekul MHC kelas I, sedangkan sel T pembantu (Th) hanya mengenali antigen yang digabungkan ke molekul MHC kelas II. Kedua mekanisme presentasi antigen ini mencerminkan peran yang berbeda dari dua jenis T sel (Parham,1950). MHC kelas I terdapat pada semua sel yang berinti, (tetapi tidak pada sel darah merah), sedangkan MHC kelas II hanya terdapat pada antigen presenting cells (APCs), termasuk sel dendritik , makrofag, sel B dan beberapa tipe sel yang lain (Kresno, 1996). Banyak metode yang dapat digunakan untuk menghitung proliferasi limfosit, salah satunya adalah dengan pewarnaan sederhana (dye exclusion) dan metode MTT. Pewarnaan dengan biru tripan adalah menghitung jumlah sel hidup (atau mati). Penggunaan teknik ini dalam menghitung proliferasi limfosit adalah dengan membandingkan jumlah sel hidup pada awal kultur dengan sel hidup setelah perlakuan atau penambahan mitogen. Metode ini murah tetapi membutuhkan ketelitian personal yang cukup tinggi (Abbas & Lichtman, 2005). Prinsip kolorimetri pada metode MTT didasarkan pada reduksi garam tertrazolium yang berwarna kuning menjadi kristal biru formazan oleh enzim suksinat dehidrogenase, enzim yang terdapat pada mitokondria sel hidup (Williams et al., 2000). Warna biru yang terbentuk akan dibaca pada panjang gelombang 550 nm 10 dengan menggunakan alat ELISA reader, dan dinyatakan sebagai jumlah sel yang hidup dalam kultur. Semakin tinggi absorbansi yang terbaca berkolerasi terhadap jumlah sel yang semakin banyak pula. 5. Meniran (Phyllanthus niruri L.) Gambar 1. Tumbuhan Phyllanthus niruri L (foto diambil dari Green House Farmasi UGM) a. Sistematika Tumbuhan Meniran (Badan POM RI, 2008). Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Phyllanthus Spesies : Phyllanthus niruri Linn Nama daerah : Meniran ijo, memeniran (Sunda), meniran (Jawa). 11 b. Morfologi Terna, tumbuh tegak, tinggi 50 cm sampai 1 m, bercabang terpencar, cabang mempunyai daun tunggal yang berseling dan tumbuh mendatar dari batang pokok. Batang yang berwarna hijau pucat atau hijau kemerahan. Bentuk daun bundar telur sampai bundar memanjang. Bunga keluar dari ketiak daun, bunga jantan terletak di bawah ketiak daun, bunga betina letaknya diatas ketiak daun. Tumbuh tersebar hampir di seluruh Indonesia pada ketinggian tempat antara 1 m sampai 1.000 m di atas permukaan laut. Tumbuh liar di tempat terbuka, pada tanah gembur yang mengandung pasir, di ladang, di tepi sungai dan pantai (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978). c. Kandungan kimia Meniran (Phyllanthus niruri L.) banyak mengandung beberapa zat kimia yaitu flavonoid, lignan, tanin, alkaloid, dan saponin (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1978). d. Khasiat tanaman Meniran (Phyllanthus niruri Linn.) adalah salah satu tumbuhan obat Indonesia yang telah lama digunakan secara turun-temurun untuk pengobatan berbagai penyakit seperti diuretik, ekspektoran dan pelancar haid. Herba meniran telah terbukti mempunyai berbagai efek farmakologis, antara lain sebagai hepatoprotektif (Munjrekar et al., 2008), antidiabetes (Nwanjo, 2007) dan antioksidan (Ahmeda et al., 2005). Pada penelitian Ardhini (2006) herba meniran terbukti dapat mengurangi kerusakan ginjal pada tikus wistar yang diinduksi karbon tetraklorida dibandingkan 12 dengan kelompok kontrol yang tidak dipejani ekstrak meniran. Meniran memiliki aktivitas untuk meningkatkan proliferasi dari sel B dan sel T limfosit (Nworu et al., 2010). 6. Sirih merah (Piper crocatum) Gambar 2. Tumbuhan Piper crocatum (foto diambil dari Green House Farmasi UGM) a. Sistematika sirih merah. Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Piperales Famili : Piperaceae Genus : Piper Spesies : Piper crocatum Ruiz & Pav (Backer & Van Den Brink, 1965) 13 Nama daerah : Sirih, Suruh (Jawa), seureuh (Sunda), base (Bali), leko, kowak, malo, malu (Nusa Tenggara); dontile, parigi, gamnjeng (Sulawesi), gies, bido (Maluku), sirih, ranub, sereh, sirieh (Melayu) (Moeljanto, 2003). b. Morfologi Sirih merah merupakan tanaman yang tumbuh merambat dan tingginya bisa mencapai 10 m, tergantung pertumbuhan dan tempat merambatnya. Batang sirih berkayu lunak, beruas-ruas, beralur dan berwarna hijau keabu-abuan. Daun tunggal berbentuk seperti jantung hati, permukaan daun licin, bagian tepi rata dan pertulangannya menyirip. Bunga majemuk tersusun dalam bulir, merunduk dan panjangnya sekitar 5-15 cm (Syariefa, 2006). c. Kandungan kimia Hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol sirih merah menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, saponin, monoterpen, seskuiterpen, flavonoid, tannin, polifenol, neolignan, amilum, gula, pati, kuinon, minyak atsiri, dan steroid (Sudewo, 2005; Trubus, 2010). Dari penelitian yang dilakukan oleh Paula (2012) telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi kandungan senyawa aktif daun sirih merah yang termasuk golongan neolignan sebagai imunostimulan, yaitu 2-allyl-4-(1’-(3”,4”,5”- trimethoxyphenyl)propan-2’yl)-3,5-dimethoxycyclohexa 3,5-dienone dan 2-allyl-4(1’acetyl-1’-(3”,4”,5”-trimethoxy-phenyl)propan-2’yl)-3,5-dimethoxy-cyclo-hexa3,5-dienone. 14 d. Khasiat Secara empiris sirih merah dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit diabetes mellitus, hepatitis, batu ginjal, keputihan, penyakit jantung, hipertensi, maag, radang liver, kelelahan, masuk angina, gonorrhoe (Sudewo, 2005; Juliantina dkk, 2008). 7. Keladi tikus (Typhonium flagelliformae (Lodd.) Blume) Gambar 3. Tumbuhan Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume (Windi, 2010) a. Sistematika keladi tikus Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Arales Famili : Araceae Genus : Typhonium Spesies : Typhonium flagelliforme 15 Nama daerah : Bira kecil, daun panta susu, kalamayong, ileus, ki babi, trenggiling mentik (Widyaningrum, 2011). b. Morfologi Keladi tikus berdaun tunggal, berwarna hijau dan tersusun di roset, panjang daun 6-16 cm, berbentuk lonjong dengan ujung meruncing seperti tombak. Pangkal daun berbentuk jantung dan bertepi rata serta permukaan daun mengkilap. Ciri khas dari tanaman ini adalah memiliki bunga unik yang bentuknya menyerupai keladi tikus (ekor tikus). Bunganya muncul dari roset akar, bertangkai, panjangnya 4-8 cm dan berkelopak bunga bulat lonjong berwarna kekuning-kuningan. Bagian atas kelopak memanjang 5-21 cm dan ujungnya meruncing menyerupai ekor tikus (Sudewo, 2004). c. Kandungan kimia Kandungan kimia pada keladi tikus diantaranya adalah alkaloid, saponin, steroid, glikosida flavonoid dan triterpenoid (Syahid, 2007). Menurut Huang (2004) umbi dari tanaman ini mengandung phenylpropanoid glikosida, sterol dan cerebrosida yang berfungsi sebagai anti hepatotoksik. Sedangkan Chee (2001), menyatakan bahwa ekstrak heksana dari tanaman keladi tikus menunjukkan aktivitas sitotoksik yang cukup lemah dalam melawan sel-sel leukemia P388 secara in vitro. Rendahnya aktivitas sitotoksik ditunjukkan oleh fraksi polar dengan melakukan uji terhadap pertumbuhan sel-sel limfoid secara in vitro. 16 d. Khasiat tanaman Telah dilaporkan oleh Nurrochmad dkk. (2011), bahwa ekstrak etanolik keladi tikus terbukti meningkatkan efek imunomodulator akibat penggunaan obat kemoterapi cyclophosphamid (CPA) pada tikus. Hasil pemberian ekstrak keladi tikus terbukti meningkatkan kembali proliferasi limfosit akibat pemberian CPA. Keladi tikus juga dipercaya dapat meringankan batuk dan asma (Zhong, 2001). Studi etnofarmakologi yang dilakukan pada tikus juga mengindikasikan bahwa ekstrak keladi tikus mampu mencegah terjadinya hepatokarsinogenesis (Choon, 2008). Keladi tikus juga memiliki khasiat untuk mengobati koreng, frambusia, kanker payudara, paru-paru, usus besar, liver, prostat, ginjal, tenggorokan, tulang, otak, limpa, leukemia, empedu, pankreas dan menetralisir racun narkoba. Keladi tikus dapat mengatasi efek samping dari kemoterapi seperti rambut rontok, mual, perasaan tidak nyaman dan berkurangnya nafsu makan (Widyaningrum, 2011). 8. Ekstraksi Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Terdapat berberapa macam metode ekstraksi, antara lain maserasi, perkolasi, digesti, dan refluks (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979). Tingkat ekstraksi bahan ditentukan oleh ukuran partikel bahan tersebut. Bahan yang diekstrak sebaiknya berukuran seragam untuk mempermudah kontak antara bahan dan pelarut sehingga ekstraksi berlangsung dengan baik (Sudarmadji & Suhardi, 1996). 17 Metode maserasi merupakan ekstraksi cara dingin, digunakan untuk mengekstrak jaringan tanaman yang belum diketahui kandungan senyawanya yang kemungkinan bersifat tidak tahan panas sehingga kerusakan komponen tersebut dapat dihindari. Kekurangan dari metode ini adalah waktu yang relatif lama dan membutuhkan banyak pelarut. Ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan prinsip kelarutan. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut, dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Prinsip kelarutan adalah like dissolve like, yaitu (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar, (2) pelarut organik akan melarutkan senyawa organik. Ekstraksi senyawa aktif dari suatu jaringan tanaman dengan berbagai jenis pelarut pada tingkat kepolaran yang berbeda bertujuan untuk memperoleh hasil yang optimum, baik jumlah ekstrak maupun senyawa aktif yang terkandung dalam contoh uji (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Cara pembuatan ekstrak menrut Farmakope Herbal Indonesia adalah satu bagian serbuk kering simplisia dimasukkan ke dalam maserator, tambah 10 bagian pelarut. Kemudian direndam selama 6 jam pertama sambil sesekali diaduk, kemudian diamkan selama 18 jam. Maserat dipisahkan dengan cara pengendapan, sentrifugasi, 18 dekantasi atau filtrasi. Proses penyarian diulangi sekurang-kurangnya dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. 9. Kromatografi Lapis tipis Kromatografi adalah teknik pemisahan yang menggunakan fase diam dan fase gerak. Kromatogrfi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu dari jenis kromatogafi planar, yaitu kromatografi yang menggunakan fase diam dengan lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau lempeng plastik ( Abdul & Gandjar, 2010). Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam secara menaik (ascending) karena pengaruh kapiler, atau secara menurun (descending) karena pengaruh gravitasi. Sedangkan fase diam pada KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel 10-30 µm. Jika semakin kecil ukuran partikel pada fase diam, maka efisiensi dan resolusi yang dihasilkan semakin baik. Penjerap yang sering digunakan adalah silika dan sebuk selulosa, dengan mekanisme penjerapan yang utama adalah adsorbsi dan partisi (Abdul & Gandjar, 2010). Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh apabila dalam menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Penotolan yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang melebar dan puncak ganda. Pengembangan sampel dilakukan dalam bejana yang telah dijenuhi fase gerak. Tepi bagian bawah lempeng yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak. 19 Deteksi bercak pemisahan KLT untuk tujuan kualitatif dapat dilakukan dengan pengamatan langsung pada cahaya tampak (jika senyawa tampak), UV254nm dan UV366nm, serta pengamatan dengan cahaya tampak atau UV setelah disemprot dengan larutan penampak bercak (pereaksi kimia). Sedangkan untuk uji kuantitatif dapat dilakukan dengan mengukur luas bercak menggunakan densitometer. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Identifikasi pada KLT umumnya digunakan harga Rf (Retardation factor) atau hRf yang menunjukkan jarak pengembangan senyawa pada kromatogram. Angka Rf selalu berkisar 0,001-0,99 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. Sedangkan harga hRf ialah angka Rf yang dikalikan faktor 100. Harga Rf didefinisikan sebagai berikut: Harga Rf = (Harbone, 1987) 10. Vaksin hepatitis B Vaksinasi ialah prosedur untuk menigkatkan derajat imunitas, memberikan imunitas protektif dengan menginduksi respon memori terhadap patogen tertentu. Vaksin hepatitis B dibuat dari bagian virus yaitu lapisan paling kuat (mantel virus) yang telah mengalami proses pemurnian. Vaksin hepatitis B termasuk jenis vaksin subunit, memiliki keuntungan dapat menurunkan kemungkinan terjadinya efek samping. Vaksin ini akan rusak karena pembekuan dan karena pemanasan, paling baik disimpan pada suhu 2-8ºC. Adanya perkembangan baru untuk vaksin hepatitis B 20 yang disebut uniject prefilled syring Hepatitis B (Uniject HB). Penggunaan uniject HB oleh bidan di desa adalah salah satu alternatif utama dalam upaya pengembangan hepatitis B agar bisa segera memberikan imunisasi pada bayi baru lahir 0-7 hari untuk mencegah terjadinya transmisi vertikal (Depkes RI, 2000). Pada penelitian ini digunakan vaksin hepatitis B dengan nama dagang Engerix-B dosis 20 mcg/1 mL buatan GlaxoSmithKline Indonesia. Engerix-B merupakan vaksin hepatitis B rekombinan mengandung antigen virus hepatitis B, HBsAg, yang tidak menginfeksi yang dihasilkan dari biakan sel ragi dengan teknologi rekayasa DNA. F. Landasan Teori Adanya senyawa-senyawa kimia yang dapat meningkatkan aktivitas sistem imun sangat membantu untuk mengatasi penurunan sistem imun dan senyawa-senyawa tersebut dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Meniran (Phyllanthus niruri Linn), sirih merah (Piper crocatum), dan keladi tikus (Typhonium flagelliforme) merupakan tumbuhan yang tumbuh subur di Indonesia yang diketahui dapat mempengaruhi sistem imun. Dalam penelitian Nurrochmad dkk (2011) ekstrak etanolik keladi tikus terbukti meningkatkan efek imunomodulator akibat penggunaan obat kemoterapi cyclophosphamide (CPA) pada tikus. Hasil pemberian ekstrak keladi tikus terbukti meningkatkan kembali proliferasi limfosit akibat pemberian CPA. Menurut Nworu et al., (2010) meniran memiliki aktivitas untuk meningkatkan proliferasi dari sel B dan sel T limfosit. Pada penelitian yang dilakukan oleh Apriyanto (2011) pemberian ekstrak etanolik daun sirih merah dosis 10 mg/kgBB, 100 mg/KgBB, dan 300 21 mg/KgBB tidak meningkatkan proliferasi limfosit tikus secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Limfosit yang teraktivasi akan terjadi peningkatan proliferasi limfosit atau memproduksi sitokin-sitokin yang berperan dalam sistem imun. Atas dasar hal tersebut dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian kombinasi ekstrak etanolik umbi keladi tikus, herba meniran, dan daun sirih merah terhadap proliferasi limfosit. Diharapkan pemberian kombinsi ketiga ekstrak etanolik tersebut dapat memberikan hasil yang sinergis diantara ketiga tanaman tersebut, yang ditunjukkan dengan peningkatan proliferasi limfosit. Sehingga nantinya dapat digunakan oleh masyarakat sebagai imunostimulan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. G. Hipotesis Pemberian kombinasi ekstrak etanolik keladi tikus, meniran, dan sirih merah dapat meningkatkan proliferasi limfosit yang diinduksi vaksin hepatitis B.