1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia, terutama di negaranegara beriklim tropis dan subtropis. Penduduk yang berisiko terkena malaria
berjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41% dari jumlah penduduk dunia. Setiap tahun,
kasus malaria berjumlah sekitar 300-500 juta dan 1,5-2,7 juta diantaranya
meninggal, terutama di negara-negara benua Afrika (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan : Depkes RI, 2008). Indonesia
merupakan salah satu negara yang masih berisiko terhadap malaria. Pada tahun
2007 di Indonesia terdapat 396 kabupaten endemis malaria dari 495 kabupaten
yang ada. Diperkirakan sekitar 45% penduduk Indonesia berdomisili di daerah
yang berisiko tinggi tertular malaria. Jumlah kasus malaria pada tahun 2006
sebanyak 2.000.000 dan pada tahun 2007 mengalami penurunan menjadi
1.774.845 (Kementerian Kesehaatan RI, 2009). Insidensi malaria falciparum dari
seluruh kasus malaria di Jawa-Bali pada tahun 2000 sebesar 29,7%, pada tahun
2004 menunjukkan keadaan yang hampir sama yaitu sebesar 29,8% sedangkan di
luar Jawa-Bali pada tahun 2000 sebesar 19,79% yang kemudian meningkat pada
tahun 2004 menjadi 31,15% (Laihad dan Arbani, 2009).
Sejak tahun 1973 ditemukan pertama kali kasus resisten Plasmodium
falciparum terhadap klorokuin di Kalimantan Timur. Sejak itu resistensi terhadap
klorokuin semakin meluas bahkan pada tahun 1990 dilaporkan telah terjadi
1
resistensi parasit falciparum terhadap klorokuin di seluruh provinsi di Indonesia.
Selain itu dilaporkan juga adanya kasus resistensi falciparum terhadap
sulfadoksin-pirimethamin (SP) di beberapa tempat di Indonesia (Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan : Depkes RI, 2008).
Keadaan seperti ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
malaria. Upaya untuk menanggulangi masalah resistensi tersebut (multiple drug
resistence), maka pemerintah telah merekomendasikan obat pilihan pengganti
klorokuin dan SP terhadap P. falciparum dengan terapi kombinasi artemisinin
(artemisinin combination therapy). Hal ini sejalan dengan rekomendasi WHO
(Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian, dan Alat Kesehatan : Depkes RI, 2008).
Provinsi Papua Barat merupakan salah satu wilayah endemis malaria di
Indonesia dengan angka kasakitan malaria tertinggi yaitu 27,66 per 1000
penduduk jika dibandingkan dengan angka kesakitan malaria nasional yaitu 1,85
per 1000 penduduk. Pada tahun 2011, ditemukan kasus malaria sebanyak 31.401
kasus di kota Sorong dengan pemeriksaan sediaan darah ditemukan sebanyak
12.421 kasus sedangkan tanpa pemeriksaan sediaan darah berjumlah 19.840
kasus. Pada tahun 2010 angka kesakitan malaria (API/ Annual Parasite Incidence)
sebesar 113,20 per 1000 penduduk jika dibandingkan dengan tahun 2011
mengalami penurunan menjadi 62,3 per 1000 penduduk. Malaria juga menempati
urutan kedua dalam laporan 10 penyakit terbanyak di kota Sorong (Dinas
Kesehatan Kota Sorong, 2011).
Kebiasaan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap pengobatan juga
sangat terkait dengan penularan malaria. Di Indonesia, mendiagnosis, mengobati,
2
dan merawat sendiri bila sakit malaria merupakan hal yang biasa, masyarakat
telah terbiasa mengkonsumsi obat-obatan yang dapat dibeli di warung tanpa resep
dokter (Hasan, 2006). Kebiasaan ini juga terjadi di beberapa negara endemis
malaria antara lain Afrika. World Health Organization (WHO) mengindikasikan
bahwa dibeberapa tempat di Afrika, klorokuin dikonsumsi lebih sering dari pada
aspirin untuk mengurangi demam dan rasa sakit (WHO, 2010). Hal ini juga
banyak dijumpai di kota Sorong. Masyarakat mengalami demam (disebabkan oleh
malaria atau bukan malaria), kebanyakan orang di kota Sorong langsung saja
membeli obat malaria yang telah dikenali dan dikonsumsi hanya sampai jika tidak
merasakan demam lagi. Hal ini sangat berpengaruh dalam meningkatnya
resistensi obat antimalaria. Disamping itu, kebiasaan masyarakat tidur di luar
rumah pada malam hari atau begadang juga berpengaruh terhadap penularan
penyakit malaria. Di beberapa daerah endemis malaria, masyarakat menganggap
penyakit malaria sebagai masalah biasa yang tidak perlu dikhawatirkan
dampaknya, anggapan tersebut membuat mereka lengah dan kurang berkontribusi
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan malaria (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan : Depkes RI, 2008).
Pada tahun 2004, WHO merekomendasikan penggunaan obat antimalaria
kombinasi berbasis artemisinin (Artemisinin Combination Therapy /ACT) sebagai
terapi lini pertama dalam penanganan malaria tanpa komplikasi di daerah yang
telah dikonfirmasi multidrug resistance untuk mencegah kegagalan terapi,
resistensi dan relaps. Penggunaan ACT merupakan kombinasi dari dua atau lebih
3
obat antimalaria berdasarkan potensi sinergistik bertujuan meningkatkan efikasi
dan mencegah resistensi dari masing-masing obat (Tjitra, 2004).
Penggunaan ACT sebagai pilihan obat baru karena dapat menurunkan
jumlah parasit yang lebih besar, yaitu sekitar 10.000 setiap siklus aseksual
dibandingkan dengan obat antimalaria yang ada saat ini yang hanya menurunkan
jumlah parasit sekitar 100-1000 per siklus aseksual. Selain itu ACT juga dapat
membunuh parasit secara cepat sehingga kombinasi ACT ini direkomendasikan
oleh WHO sebagai obat antimalaria. Beberapa kombinasi ACT yang
direkomendasikan oleh WHO untuk pengobatan malaria adalah artemeterlumefantrin,
artesunat-amodiakuin,
sulfadoksin-pirimetamin
(WHO,
artesunat-meflokuin,
2006).
Selanjutnya
dan
artesunat-
WHO
juga
merekomendasikan kombinasi obat baru untuk pengobatan malaria falciparum
tanpa komplikasi dengan dihydoartemisinin+piperakuin (DHP), yang saat ini juga
telah digunakan dibeberapa negara termasuk Indonesia (WHO, 2010).
Setelah digunakan sejak tahun 2008, kombinasi DHP dan Primakuin (PQ)
belum pernah dievaluasi di kota Sorong. Oleh karena itu evaluasi penggunaan
DHP+PQ di kota Sorong ini penting dilakukan untuk mengkaji apakah kombinasi
DHP+PQ ini masih cukup efektif melawan malaria falciparum. Penelitian tentang
penggunaan DHP pernah dilakukan dengan membandingkan efikasi artesunatamodiakuin terhadap DHP di daerah selatan Papua. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa DHP memiliki efikasi 87% (Hasugian et al. 2007).
4
B. Rumusan Masalah
Penanggulangan malaria di kota Sorong dilakukan terus menerus karena
tingkat kejadian malaria terus bertambah dari tahun ke tahun. Kekhawatiran
tingginya tingkat resistensi obat antimalaria menyebabkan peneliti ingin meneliti
mengenai efektivitas penggunaan dihydoartemisinin-piperakuin dan primakuin
terhadap malaria tanpa komplikasi di kota Sorong provinsi Papua Barat.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah efikasi
dihydoartemisinin-piperakuin dan primakuin pada pengobatan malaria falciparum
tanpa komplikasi di kota Sorong provinsi Papua Barat?; 2) Bagaimanakah efek
samping dihydoartemisinin-piperakuin dan primakuin pada pengobatan malaria
falciparum tanpa komplikasi di kota Sorong provinsi Papua Barat?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Mengukur efikasi kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan primakuin
pada pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi di kota Sorong
provinsi Papua Barat.
b. Mengetahui efek samping kombinasi dihydroartemisinin-piperakuin dan
primakuin pada pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi di kota
Sorong provinsi Papua Barat
5
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi
untuk mendeskripsikan efektivitas penggunaan DHP + PQ di kota Sorong serta
dapat menjadi sumber informasi bagi peneliti lainnya.
Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
kepada para pengambil keputusan dibidang penyakit menular khususnya
dikalangan penanggung jawab program pemberantasan penyakit malaria tentang:
a. Pengadaan regimen pengobatan sesuai dengan kondisi setempat
b. Menyusun prosedur penanganan kasus ditingkat pelayanan langsung kepada
masyarakat
c. Penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang tingkat resistensi dan
langkah-langkah antisipasinya yang dilakukan kalangan masyarakat
d. Mengadakan
monitoring
secara
berkala
terhadap
kecenderungan
meningkatnya tingkat resistensi obat
e. Dapat digunakan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan oleh farmasis
dalam mempraktekkan pharmaceutical care agar dapat meningkatkan kualitas
pelayanan terapi obat
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai efektivitas penggunaan DHP+PQ untuk pengobatan
malaria tanpa komplikasi di kota Sorong provinsi Papua Barat belum pernah
dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh
Siswantoro et al. (2011) tentang
efikasi dan keamanan DHP pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di
6
Kalimantan dan Sulawesi menunjukkan bahwa efikasi DHP pada hari ke-28 dan
42 ialah 100%.
Penelitian mengenai penggunaan DHP pernah diteliti oleh Gargano et al.
(2012) yang membandingkan efikasi dan keamanan artesunat-meflokuin dan
DHP pada malaria falciparum tanpa komplikasi di India. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa selama pengamatan 63 hari artesunat-meflokuin memiliki
efikasi 100% dan DHP 98,8%.
Penelitian tentang penggunaan DHP pernah dilakukan oleh Hasugian et
al.
(2007)
yang membandingkan
efikasi
artesunat-amodiakuin
terhadap
Dihydoartemisinin-Piperakuin di daerah selatan Papua. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa DHP (87%) memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan
artesunat-amodiakuin (55%).
Penelitian tentang penggunaan DHP pernah dilakukan oleh Tjitra et al.
(2012) yang membandingkan efikasi dan keamanan kombinasi artemisininnaphtoquine terhadap DHP pada malaria falciparum tanpa komplikasi di
Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efikasi artemisininnaphtoquine (96,3%) sebanding dengan DHP (97,3%)
Bia (2011) melakukan evaluasi penggunaan artesunat-amodiakuin
dibandingkan DHP pada pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi di
Purworejo. Hasil penelitian menunjukkan artesunat-amodiakuin dan DHP
memilki efikasi 100% pada pasien malaria falciparum tanpa komplikasi di
Purworejo .
7
Download