BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ciri-Ciri Morfologi Ikan batak 2.1.1 Ikan Batak (Tor soro) Ikan batak (Tor soro) memiliki tiga warna kombinasi yaitu warna hitam sebagai warna dominan terletak pada bagian atas badan ikan, keemasan terletak di atas warna hitam, dan putih terletak pada bagian bawah ikan, warna-warna itu semuanya memanjang mulai dari bagian depan sampai ke bagian pangkal ekor. Jenis sirip ekor ikan batak (Tor soro) tergolong sirip bercagak (Homocercal), jenis sirip punggung sirip tunggal berjari-jari dengan badan berbentuk pipih tegak dengan tipe sisik sikloid, jenis mulut tergolong subterminal, dimana di atas mulut terdapat kumis yang panjang berjumlah dua pasang (Simanjuntak, 2002). Ikan batak (Tor soro) tidak memiliki tonjolan di ujung rahang bawah, bibir bawah tanpa celah di tengah, jari-jari terakhir sirip dubur tidak mengeras dan sirip dubur lebih pendek dari sirip punggung (Kottelat et al., 1993). Tinggi kepala sedikit lebih pendek dibandingkan tinggi badan, sisik teratur gelap sampai terang, di sekitar linea lateralis berwarna coklat sampai hitam (Asih dan Subagja, 2003). Gambar 2.1 Tor soro 2.1.2 Ikan Batak (Tor douronensis) Tor douronensis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: kepala simetris, sirip punggung terdiri dari 1 jari-jari keras licin dan 8 jari-jari lemah bercabang, sirip dubur dengan 5 jari-jari lemah bercabang, mata tidak berkelopak, mempunyai 4 Universitas Sumatera Utara helai sungut mengelilingi mulut, (Saanin, 1968). Cuping berukuran sedang pada bibir bawah tidak mencapai sudut mulut, ada tonjolan di ujung rahang bawah, bagian jari-jari terakhir sirip punggung yang mengeras panjangnya sama dengan panjang kepala tanpa moncong (Kottelat et al., 1993). Gambar 2.2 Tor douronensis 2.1.3 Ikan Batak (Tor tambroides) Tor tambroides mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: terdapat sebuah cuping dipertengahan bibir bawah yang mencapai ujung mulut, memiliki jari-jari sirip punggung yang licin, kepala tidak berkerucut, serta antara garis rusuk dan sirip punggung terdapat tiga setengah baris sisik (Kottelat et al., 1993). Gambar 2.3 Tor tambroides (Nippon Koei, 2011) 2.1.4 Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) Neolissochilus sumatranus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: mempunyai lebar badan 3,1-3,5 kali lebih pendek dari panjang standard, 7-8 sisik di depan sirip punggung, 4 baris pori-pori (masing-masing memiliki tubus yang keras) pada masing-masing sisi moncong dan di bawah mata (Kottelat et al., 1993). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4 Neolissochilus sumatranus Menurut Kottelat et al., (1993) perbedaan antara genus Tor dan genus Neolissochilus adalah sebagai berikut: pada genus Tor, Bibir bawah berubah menjadi tonjolan berdaging, atau paling sedikit dua lekukan yang membatasi posisi tonjolan, lekukan di belakang bibir tidak terputus, tidak ada tulang keras pada rahang bawah, 7-17 sisir saring pada lengkung bawah insang, sedang pada genus Neolissochilus, Bibir bawah tidak berubah menjadi tonjolan berdaging dengan atau tanpa lekukan, lekukan di belakang bibir terputus atau tidak, tulang pada rahang bawah ada atau tidak ada, 7-12 sisir saring pada lengkung bawah insang. 2.2 Ekosistem Sungai Ekosistem sungai terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur dan tidak ada satu komponenpun yang dapat berdiri sendiri melainkan mempunyai keterikatan dengan komponen lain secara langsung atau tidak langsung. Aktivitas suatu komponen selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain (Asdak, 2002). Menurut Barus (2004), ekosistem sungai termasuk jenis lotik yang dapat dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam. Limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata air yang membentuk rawa-rawa. Selanjunya aliran dari beberapa mata air akan Universitas Sumatera Utara membentuk aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief aliran sungai yang terjal. Adanya perbedaan keterjalan dari topografi aliran sungai menyebabkan kecepatan arus mulai dari daerah hulu sampai ke hilir bervariasi. Daerah hulu ditandai dengan kecepatan arus yang tinggi dan kecepatan arus tersebut akan semakin berkurang pada aliran sungai yang mendekati daerah hilir. Sungai merupakan suatu sistem yang dinamis dengan segala aktivitas yang berlangsung antara komponen-komponen lingkungan yang terdapat di dalamnya. Adanya dinamika tersebut akan menyebabkan suatu sungai berada dalam keseimbangan ekologis sejauh sungai itu tidak menerima bahan-bahan asing dari luar. Batas-batas kisaran tertentu pengaruh bahan asing ini masih dapat ditolerir dan kondisi keseimbangan masih tetap dapat dipertahankan. Bila suatu sungai menerima limbah berupa senyawa organik dalam jumlah yang sedikit, maka limbah tersebut akan dapat dinetralisir oleh adanya dinamika ekologis tersebut (Barus, 2004). 2.3 Parameter Fisik, Kimia, dan Biologi Perairan Perairan pada umumnya merupakan ekosistem yang rentan terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi, baik faktor abiotik maupun faktor biotik. Faktor yang mempengaruhi ekosistem ini ada yang merugikan dan ada yang menguntungkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, perlu juga dilakukan pengamatan terhadap faktor abiotik, sehingga diperoleh suatu gambaran tentang kualitas suatu perairan. Selanjutnya kelimpahan nekton (ikan) pada suatu perairan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: temperatur, pH, DO (oksigen terlarut), salinitas, BOD 5 , dan lain-lain (Barus, 1996). Universitas Sumatera Utara 2.3.1 Parameter Fisik 2.3.1.1 Temperatur Air Temperatur mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air, dimana apabila temperatur naik, maka kelarutan oksigen dalam air menurun. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan aktivitas metabolisme organisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga akan meningkat. Temperatur air merupakan pembatas utama pada suatu perairan karena organisme akuatik seringkali mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan-perubahan temperature (Sastrawijaya, 1991). Menurut hukum Vant’s Hoffs, kenaikan temperatur sebesar 100C akan menaikkan metabolisme 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju respirasi akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang (Barus, 1996). 2.3.1.2 Kecerahan Kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda setiap ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan. Dapat juga diartikan bahwa pada titik kompensasi cahaya ini, konsentrasi karbondioksida dan oksigen akan berada dalam keadaan relatif konstan (Barus, 2004). 2.3.1.3 Arus Air Arus air adalah faktor yang mempunyai peranan yang sangat penting baik pada perairan lotik maupun pada perairan lentik. Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan aliran air akan bervariasi secara vertikal. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen, yaitu arus yang bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke seluruh bagian dari perairan tersebut (Barus, 2004). Arus air sangat membantu pertukaran air, membersihkan tumbuhan sisa metabolisme ikan Universitas Sumatera Utara dan membawa oksigen terlarut yang sangat dibutuhkan. Namun, harus dicegah arus yang terlalu berlebihan karena menyebabkan ikan stress, energi banyak yang terbuang dan selera makan berkurang, kecepatan arus yang ideal sekitar 0,2- 0,5 m/s (Kordi, 2004). 2.3.1.4 Intensitas Cahaya Intensitas cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan dan produktivitas primer dalam suatu perairan. Apabila intensitas cahaya matahari berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air akan berkurang, dimana oksigen sangat dibutuhkan organisme akuatik untuk melaksanakan metabolisme tubuh (Barus, 1996). Cahaya merupakan unsur penting dalam kehidupan organisme akuatik khususnya pada ikan, cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, dan membantu dalam penglihatan di dalam air. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari dalam kehidupan ikan merupakan suatu bentuk rantai makanan dalam suatu perairan (Rifai et al., 1983). Jika intensitas cahaya matahari menurun maka akan mempengaruhi jumlah plankton sebagai nutrisi bagi ikan dalam suatu perairan. Cahaya mempengaruhi produktivitas ikan dimana ikan yang aktif pada siang hari (diurnal) biasanya mengambil makanan pada malam hari. Ikan yang aktif pada malam hari (nocturnal) pada intensitas cahaya maksimum dirangsang untuk melakukan gerakan untuk mencari perlindungan, sedangkan bagi ikan yang aktif pada siang hari (diurnal) intensitas cahaya yang kuat akan memberikan reaksi untuk melakukan berbagai aktivitas (Barus, 1996). 2.3.2 Parameter Kimia 2.3.2.1 pH Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan. Dalam air yang bersih jumlah konsentrasi ion H+ dan OH- berada dalam keseimbangan sehingga air yang bersih akan bereaksi netral. Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah dan basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan Universitas Sumatera Utara organisme akuatik umumnya berkisar antara 7-8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik (Barus, 1996). Nilai pH air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi ketersediaan unsur hara serta toksinitas dari unsur renik (Barus, 2004). pH merupakan suatu ekspresi dari konsentarsi ion hidrogen (H+) di dalam air. Biasanya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentasi ion H, pH sangat penting sebagai parameter kualitas air, karena pH mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Ikan dan organisme akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan organisme air (Rifai et al., 1983). 2.3.2.2 DO (Dissolved Oxygen) Dissolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Kelarutan oksigen merupakan salah satu faktor terpenting dalam setiap sistem perairan yang diperlukan organisme untuk melakukan respirasi. Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfir dan proses fotosintesis dan dari tumbuhan air lainnya. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung permukaan air oleh angin dan arus (Michael, 1994). Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu 0°C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O 2 . Konsentrasi oksigen ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya temperatur air dan sebaliknya temperatur yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus, 2004). Menurut Odum (1994) bahwa kadar oksigen akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan air, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar DO, karena proses Universitas Sumatera Utara fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik. 2.3.2.3 BOD 5 (Biochemical Oxygen Demand) BOD 5 (kebutuhan oksigen biologis) adalah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan dalam lingkungan air, pengukuran BOD 5 didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang terdapat yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang dihasilkan dalam rumah tangga, untuk produk-produk kimiawi seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme. Proses penguraian senyawa organik biasanya diukur selama 5 hari (BOD 5 ), karena diketahui dari hasil jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai ± 70 %. Nilai BOD 5 dapat dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada temperatur 200C (Barus, 2004). Penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup. Semakin tinggi nilai BOD 5 suatu badan perairan maka semakin buruk kondisi perairan tersebut. Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan senyawa organik semakin banyak, sehingga menurunkan nilai oksigen yang terlarut. Dengan demikian kondisi air menjadi miskin oksigen sehingga plankton dan organisme air lainnya tidak dapat berkembang dengan baik sebab BOD 5 yang tinggi mengindikasikan banyak limbah yang terdapat dalam air tersebut (Wardhana, 1995). 2.3.2.4 Nitrat (NO 3 ) Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N 2 , NO 2 -, NO 3 - dan NH4+ serta sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks. Sumber nitrogen terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik. Keberadaan nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri Universitas Sumatera Utara atas ion nitrit (NO 2 -), ion nitrat (NO 3 -), ammonia (NH 3 ), ion ammonium (NH 4 +) dan molekul N 2 yang larut dalam air, sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan mengendap dalam air (Chester, 1990). Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang, Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang dapat berasal dari industri, bahan peledak, dan pemupukan Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk nitrat (Alaert dan Sri, 1987). 2.3.2.5 Fosfat (PO 4 3-) Fosfor sangat penting di perairan terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga berperan dalam transfer energi di dalam sel misalnya adenosine triphosfate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP). Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk fosfat, yaitu ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P 2 O 7 4-), metafosfat (P 3 O 9 3-) dan polifosfat (P 4 O 13 6- dan P 3 O 10 5-) serta fosfat yang terikat secara organik (adenosin monofosfat). Senyawa ini berada sebagai larutan, partikel atau detritus atau berada di dalam tubuh organisme akuatik (Fergusson, 1956). Fosfor sangat berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air. Fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan fosfor sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian maka peningkatan unsur fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi fitoplankton secara massal dalam ekosistem air sehingga mendukung bagi populasi ikan dalam perairan tersebut (Barus, 2004). 2.3.3 Parameter Biologi 2.3.3.1 Plankton Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air yang pergerakannya relatif pasif (Suin, 2002). Demikian juga menurut Sachlan (1982) bahwa plankton merupakan jasad-jasad renik yang hidup melayang dalam Universitas Sumatera Utara air, tidak bergerak atau bergerak sedikit dan pergerakannya dipengaruhi oleh arus. Plankton merupakan organisme perairan pada tingkat trofik pertama yang berfungsi sebagai penyedia energi. Plankton dibagi menjadi fitoplankton, yaitu organisme plankton yang bersifat tumbuhan dan zooplankton, yaitu plankton yang bersifat hewan. Fitoplankton merupakan kelompok yang memegang peranan penting dalam ekosistem air, karena kelompok ini dengan adanya kandungan klorofil mampu melakukan fotosintesis. Proses fotosintesis pada ekosistem air yang dilakukan oleh fitoplankton (produsen), merupakan sumber nutrisi utama bagi kelompok organisme air lainnya yang membentuk rantai makanan (Barus, 2004). Plankton tidak dapat berkembang subur dalam air mengalir. Jumlah plankton berfluktuasi (naik turun) dari jam ke jam, dari hari ke hari, dan dari musim ke musim (Whitten et al., 1987). 2.3.3.2 Nekton (Ikan) Tubuh ikan terdiri atas caput (kepala), truncus (badan) dan caudal (ekor). Batas yang nyata antara caput dan truncus disebut tepi caudal operculum dan sebagai batas antara truncus dan caudal terdapat anus (Radopoetra, 1978). Selanjutnya Rifai et al., (1983) menyatakan bahwa ikan mempunyai rangka bertulang sejati dan bertulang rawan, mempunyai sirip tunggal dan berpasangan, mempunyai operculum yang menutup insang, tubuh ditutupi oleh sisik dan berlendir. Ukuran ikan bervariasi mulai dari yang kecil sampai yang besar, bentuk tubuh berbentuk torpedo, pipih, dan ada yang berbentuk tidak teratur. Ikan mempunyai otak yang terbagi menjadi regio-regio, dan dibungkus dalam cranium (tulang kepala) yang berupa kartilago. Telinga hanya terdiri dari telinga dalam, berupa saluran-saluran semisirkularis sebagai organ keseimbangan. Jantung berkembang baik, sirkulasi menyangkut aliran darah dari jantung melalui insang ke seluruh bagian tubuh lain, tipe ginjal pronefros dan mesonefros (Brotowidjoyo et al., 1995). Universitas Sumatera Utara 2.4 Kebiasaan Makanan Kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan, sedangkan kebiasaan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat dan, bagaimana cara ikan memperoleh makanannya (Beckman, 1962). Kebiasaan makanan ikan dipelajari untuk menentukan gizi alamiah ikan tersebut. Pengetahuan tentang kebiasaan makanan ikan dapat digunakan untuk melihat hubungan ekologi diantara organisme di perairan tempat mereka berada, misalnya bentuk pemangsaan, persaingan, dan rantai makanan. Ikan dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah dan variasi makanannya menjadi euryphagous yaitu ikan yang memakan berbagai jenis makanan; stenophagous yaitu ikan yang memakan makanan yang sedikit jenisnya; dan monophagous yaitu ikan yang hanya memakan satu jenis makanan saja (Moyle and Cech, 1988). Nikolsky (1963) mengatakan bahwa Faktor-faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh suatu spesies ikan adalah umur, tempat dan waktu. Makanan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan suatu organisme dan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan luas persebaran suatu spesies serta dapat mengontrol besarnya suatu populasi. Suatu organisme dapat hidup, tumbuh dan berkembangbiak karena adanya energi yang berasal dari makanannya. Sebagai komponen lingkungan, makanan merupakan faktor penentu bagi jumlah populasi, pertumbuhan, dan kondisi ikan di suatu perairan (Lagler, 1972). Makanan merupakan faktor yang menentukan bagi pertumbuhan populasi dan kondisi ikan di suatu perairan dan merupakan faktor pengendali yang penting bagi sejumlah ikan dan organisme air lainnya di suatu perairan (Effendie, 1997). Di alam terdapat berbagai jenis makanan yang tersedia bagi ikan dan ikan telah menyesuaikan diri dengan tipe makanan khusus dan telah dikelompokkan secara luas sesuai dengan cara makannya, walaupun dengan macam-macam ukuran dan umur ikan itu sendiri (Nikolsky, 1963). Universitas Sumatera Utara Makanan suatu jenis ikan dapat menginformasikan kedudukan ikan tersebut, apakah sebagai predator atau kompetitor, serta makanan utama dan makanan tambahan ikan tersebut. Berdasarkan kebiasaan makanannya, ikan dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu herbivora, karnivora, dan omnivora. Kebiasaan makanan berhubungan dengan kebiasaan cara makan ikan. Kebiasaan cara makan pada ikan seringkali dihubungkan dengan bentuk tubuh yang khusus dan fungsional morfologi dari tengkorak, rahang dan alat pencernaan makanannya. Ikan-ikan herbivora tidak dijumpai gigi, mempunyai tapis insang yang lembut dan dapat menyaring fitoplankton dari air. Ikan ini tidak mempunyai lambung yang besar, usunya panjang berliku-liku dan berdinding tipis. Ikan karnivora mempunyai gigi untuk menyergap, menahan, memegang, dan merobek mangsa serta jari-jari tapis insang yang disesuaikan untuk menahan dan menggilas mangsa. Ikan omnivora mempunyai sistem pencernaan antara bentuk herbivora dan karnivora, memiliki lambung dan usus yang pendek, tebal dan elastis (Effendie, 1997). Menurut Kottelat et al., (1993) berdasarkan jenis makanannya, maka ikan secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu: Herbivora, terdiri dari Herbivora A (Endogenus): memakan bahan tumbuhan yang hidup di air atau di dalam lumpur seperti alga, hifa jamur, dan alga biru. Herbivora B (Eksogenus): memakan bahan makanan dari tumbuhan yang jatuh ke dalam air seperti buahbuahan, biji-bijian, dan daun), golongan kedua: Carnivora, terdiri dari Predator 1 (Endogenus): memakan binatang-binatang yang kecil seperti nematoda, rotifera, endapan plankton dan invertebrata lainnya berupa detritus di dalam lumpur atau pasir, Predator 2 (Eksogenus): memakan larva serangga atau binatang air kecil lainnya, Predator 3: memakan binatang air yang lebih besar seperti udang, siput dan kepiting kecil, umumnya di dekat dasar air, dan Predator 4: memakan ikan lainnya. Golongan ketiga: Omnivora, memakan bahan makanan yang berasal dari binatang dan tumbuhan. Ikan batak (Tor soro) tergolong Omnivora artinya memakan bahan makanan yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan yang berasal dari tumbuhan yang Universitas Sumatera Utara jatuh ke dalam air berupa buah, biji-bijian, dan daun-daunan (Simanjuntak, 2002). Menurut Kottelat et al., (1993) bahwa kebiasaan makan ikan berubah sesuai dengan perubahan umur, musim dan ketersediaan bahan makanan. Kebiasaan makan ikan berubah dalam daur hidupnya, biasanya bersamaan dengan perubahan-perubahan yang nyata dalam tingkah laku dan morfologinya serta komposisi dari suplai makan merupakan menentukan komposisi jenis ikan yang ada dan juga mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut (Nikolsky, 1963). Namun di alam seringkali ditemukan tumpang tindih yang disebabkan oleh keadaan habitat sekeliling tempat ikan itu hidup (Effendie, 1992). Universitas Sumatera Utara