BLOK XVII. KESEHATAN MENTAL DAN PERILAKU (MAC 305

advertisement
BLOK XVII. KESEHATAN MENTAL DAN PERILAKU (MAC 305)
Laporan Jigsaw : Post Traumatic Stress Disorder
oleh kelompok 11A :
Pricilia / 2012 – 060 – 057
Natasha Olivia Gunawan / 2012 – 060 – 111
Della Ayu Putri / 2012 – 060 – 140
Peter Alison / 2012 – 060 – 158
Jocelyn Prima Utami / 2012 – 060 – 187
Celine / 2012 – 060 – 191
Gabrielle Glenis / 2012 – 060 – 212
Vincentius Henry Sundah / 2012 – 060 – 265
Dosen Tutor :
Dr. dr. Surilena Hasan, Sp.KJ. (K)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
JAKARTA
2014
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
PTSD merupakan gangguan stress pasca trauma yang terjadi akibat dari adanya stressor.
Umumnya, gejala dimulai 3 bulan setelah adanya stressor. Seseorang dikatakan mengalami
PTSD apabila mengalami gejala yang merupakan kriteria diagnosa untuk PTSD minimal 1
bulan. Apabila pasien mengalami gejala kurang dari 1 bulan, ia dikatakan mengalami acute
stress disorder.
Gejala PTSD dapat dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat.

Gejala ringan meliputi cemas, mimpi buruk, perilaku menghindari kejadian stress, dan

malaise.
Gejala sedang meliputi isolasi sosial, depresi, adanya flashback daripada stressor yang

dialaminya, dan masalah yang berhubungan dengan adiksi.
Gejala berat meliputi psikosis, imajinasi mengenai kejadian yang tidak menyenangkan
atau stressor yang dialaminya secara berulang, dan gejala fisik seperti buta, tuli, dan
paralisis.
Faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress pasca trauma
adalah:

Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutan




maupun keluarganya.
Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir.
Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependant, atau antisosial.
Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem berupa

kesulitan untuk menyesuaikan diri.
Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.
Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik
tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai
suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya
Etiologi PTSD
Halaman 2 dari 15
Etiologi PTSD terbagi menjadi etiologi primer dan sekunder. Etiologi primer dari PTSD
adalah kejadian traumatis/pengalaman buruk yang mengancam nyawa (life threatening event).
Berbagai kejadian traumatis tersebut antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Peperangan
Bencana alam
Kecelakaan
Serangan teroris
Kematian orang yang dicintai
Pemerkosaan
Penculikan
Penyimpangan seksual atau fisik
Masa kecil yang terabaikan
Serangan
Selain itu penyebab lain yang menyebabkan PTSD dapat dilihat dari segi biopsikososial.
Faktor biologis meliputi perubahan pada HPA axis dan perubahan bagian otak khususnya
amygdala dan hippocampus. Kaitannya juga pada peningkatan aktivitas reseptor noradrenergik
dan opiate.
Perubahan HPA axis menyebabkan pelepasan hormon stress. Amygdala berperan sebagai
tempat penyimpanan memori, emosi dan pembelajaran sedangkan hippocampus berperan dalam
penyimpanan memori. Terganggunya kedua bagian ini menyebabkan rasa takut yang timbul terus
menerus serta berakibat pada neurotransmiter yang dihasilkan pada daerah tersebut antara lain
dopamin, serotonin, dan asetilkolin. Dopamin dan serotonin merupakan neurotransmiter inhibitor
sehingga jika terjadi penurunan, maka tidak ada inhibisi terhadap rasa takut. Sistem
noradrenergik diaktivasi oleh CRH dan aktivasi sistem ini menyebabkan peningkatan aktivasi
saraf simpatis yang berakibat pada agitasi motorik.
Faktor psikososial yang menjadi penyebab PTSD dapat berupa reaktivasi trauma
sebelumnya atau ada konflik sosial yang belum selesai, stress yang terus menerus dihadapi
namun disikapi dengan cara yang salah seperti menghindari masalah, atau pasien tidak dapat
melakukan coping terhadap masalahnya.
Penderita psikosis rentan terkena PTSD. Hipotesa mengatakan PTSD dengan halusinasi
merupakan suatu hubungan sebab akibat dimana psikosis dapat mengakibatkan PTSD. Dapat
dilihat dari kondisi seorang schizophrenia yang sering kehilangan dukungan dari orang sekitar,
keterampilan yang dimilikinya akan berangsur-angsur menghilang. Hal ini mengakibatkan
kualitas hidupnya menurun. Apabila mereka dihadapkan pada peristiwa yang traumatis, mereka
cenderung menjadi lebih stress dan akhirnya mereka terkena PTSD
Trauma menimbulkan gejala psikotik. Hal ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak
memiliki gejala psikotik sebelum PTSD. Contohnya korban pelecehan seksual. Mereka sulit
percaya pada orang lain dan menjadi paranoid. Selalu merasa curiga seperti gejala pada
schizophrenia. Saat pasien me-recall kembali, memori auditori dapat terganggu sehingga
Halaman 3 dari 15
mengakibatkan munculnya halusinasi auditorik. Oleh karena itu, mereka yang mengalami suatu
peristiwa traumatis dapat berkembang menjadi PTSD dan dapat disertai dengan gejala psikotik.
Terdapat beberapa bukti mengenai peran paparan trauma terhadap komorbiditas PTSDADHD. Sebuah studi oleh Adler menyatakan bahwa ADHD dapat menjadi faktor risiko yang
meningkatkan kerentanan seseorang mengalami PTSD setelah terpapar oleh trauma psikologis.
Menurut studi ini juga, PTSD ditemukan lebih banyak pada penderita ADHD ketika usia kanakkanak dan juga ADHD yang masih ada hingga dewasa. Sama halnya dengan Adler, studi oleh
Koenen menemukan bahwa individual memiliki kecenderungan mengalami trauma psikologis
apabila meiliki masalah hiperaktivitas, kebiasaan antisosial, dan kesulitan atau gangguan pada
tempramen pada masa kecil. Remaja yang didiagnosa dengan ADHD lebih berisiko mengalami
cedera atau trauma, salah satunya cedera yang didapat melalui kecelakaan lalu lintas.
Mekanisme terjadinya PTSD-ADHD menurut beberapa hipotesis :
1. Adanya kelainan psikiatrik tertentu dapat menjadi faktor risiko berkembangnya
PTSD dan kelainan tersebut dapat terjadi sebelum adanya paparan trauma.
Beberapa bukti menunjukkan adanya risiko dini pada masa kanak-kanak
(kepribadian antisosial, hipearktivitas, dan conduct disorder, dll.) dapat berperan
penting dalam perkembangan PTSD. ADHD pada masa kanak-kanak dapat
berperan sebagai faktor risiko paparan trauma, seperti cedera fisik, penganiayaan
fisik dan seksual, terlantar, dan konflik orang tua. Selain itu, anak-anak yang
terpapar kejadian traumatic lebih rentan mengalami eksarserbasi gejala ADHD.
Penganiayaan fisik dan seksual juga terbukti berkaitan dengan peningkatan
masalah eksternal seperti hiperaktivitas, impulsivitas, agresi, mudah marah, dan
menyerang secar fisik.
2. Common factor hypothesis. Sebuah hipotesis yang menduga adanya faktor risiko
yang sama antara PTSD dan ADHD sehingga dapat menyebabkan komorbiditas.
Menurut common-factor hypothesis, keterkaitan terbesar antara PTSD dan ADHD
adalah gejala yang mencerminkan distress umum seperti emosionalitas neurotik
dan perilaku yang pemalu.
Banyak peneletian yang mengatakan bahwa PTSD banyak terjadi di negara dengan
pendapatan rendah hingga menengah. Negara-negara seperti itu memiliki risiko tinggi terhadap
terjadinya trauma. Penelitian ini bertujuan untuk melihat prevalensi dari PTSD di negara dengan
pendapatan rendah hinga menengah. Kemungkinan PTSD memiliki hubungan erat dengan
kejadian trauma dan gangguan kejiwaan lain.
Penelitian ini dilakukan di Kolombo-Sri Lanka, daerah dengan populasi 2,2 juta
penduduk. Kabupaten ini memiliki campuran penduduk perkotaan dan penduduk pedesaan.
Halaman 4 dari 15
Tempat ini juga terdapat banyak migran, individu yang terlantar akibat Perang Saudara dan
Tsunami di Sri Lanka. Penelitian ini menggunakan sampel 6000 orang dengan kriteria ekslusi
trauma seksual.
Kejadian trauma yang banyak dialami oleh pasrtisipan adalah bencana alam (Tsunami),
Perang suku. Selain itu juga terdapat trauma kecelakaan lalulintas, kekeranasan dalam keluarga.
Penegakan diagnosis digunakan berdasarkan ketetapan DSM IV. Kejadian traumatik yang
dilaporkan 36,3% oleh partisipan. Prevalensi Non-PTSD adalah 19,1% sedangkan PTSD 2,0%.
Dalam hal ini peluang untuk terjadinya gangguan lain (penyerta) akibat trauma tidak banyak.
Kalaupun ada akan terjadi gangguan psikotik. Dengan demikian PTSD di Sri Lanka memiliki
angka prevalensi lebih rendah dibandingkan di negara barat.
Mekanisme Coping pada Pasien PTSD
Mekanisme coping merupakan suatu cara yang dilakukan seseorang untuk memproteksi
atau melindungi dirinya dari berbagai masalah atau tekanan (stressor).
Beberapa mekanisme pertahanan (coping) pada pasien PTSD ialah:
1. Disavowal/penyangkalan atau denial, adalah mekanisme dimana seseorang menghindari
kenyataan dan secara sadar menyangkal adanya kenyataan tersebut. Ia menyangkal realita
yang dapat menimbulkan rasa sakit, malu, atau cemas. Contoh : Seorang ibu yang tidak
terima bahwa anaknya terlahir dengan cacat sehingga ia menitipkan anaknya ke
saudaranya yang jauh.
2. Pemindahan (displacement), dimana emosi-emosi yang terjadi pada dirinya dilampiaskan
ke objek-objek atau orang lain. Contoh : Seorang anak yang dimarahi ibunya akibat
mendapat nilai buruk di sekolah. Karena kesal, ia lalu menendang dan memukuli anjing
peliharaannya.
3. Proyeksi, yaitu seseorang yang melindungi dirinya dari tabiat-tabiat, sikap, dan
karakternya sendiri, ataupun perasaan nya dengan melemparkan atau menyalahkannya ke
orang lain. Contoh : Seorang mahasiswa yang tidak lolos mata kuliah, lalu ia mengatakan
bahwa dosennya sentimen terhadap dirinya.
4. Isolasi, yaitu seseorang yang dengan sengaja menjauhkan dirinya dari pertemuanpertemuan sosial dan menghindari untuk berinteraksi dengan banyak orang, karena
pengalaman masa lalunya yang buruk ketika berhadapan dengan banyak orang.
5. Represi (repression), merupakan bentuk pertahanan ego dengan menyingkirkan pikiranpikiran atau ingatan-ingatan yang tidak diinginkan. Ia akan sengaja melupakan kenangan
atau pikiran yang tidak menyenangkan atau tidak sesuai dengan keinginannya. Contoh :
seorang wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya karena mencintai wanita lain.
Meskipun wanita ini sudah sengaja melupakan kejadian tersebut, ingatan tersebut tetap
membekas di pikiran bawah sadar wanita tersebut, yaitu dalam bentuk trauma psikis.
Halaman 5 dari 15
6. Rasionalisasi, yaitu seseorang yang mencari alasan-alasan yang dibenarkan atau dapat
diterima oleh norma maupun orang lain terhadap tindakannya atau pikirannya. Contoh :
Seseorang yang menolak ketika diajak bermain bowling dengan beralasan bahwa ia
sedang sakit atau besok mau ujian, padahal karena takut kalah.
7. Disosiasi, dengan cara memutuskan atau mengubah beban emosi dalam dirinya. Contoh :
Seseorang yang sedih ditinggal mati oleh kekasihnya, kemudian ia menghibur dirinya
sendiri dengan mengatakan “sudah takdirnya” atau “sekarang ia sudah bahagia di surga”.
Mekanisme coping ini dapat terjadi secara berurutan. Misalnya, seseorang yang terkena
musibah tanah longsor dan kedua orang tuanya meninggal akibat bencana tersebut. Pertama –
tama, orang tersebut akan menyangkal bahwa orangtuanya sudah meninggal (denial). Kemudian,
orang tersebut mulai menyalahkan orang lain atas kematian kedua orang tuanya (proyeksi).
Lama kelamaan, orang tersebut dapat mengalami depresi yang sangat berat sehingga menarik
diri dari hadapan banyak orang (isolasi).
Mekanisme coping pada setiap orang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh temperamen
dan kepribadian seseorang serta pengalaman yang membentuk dirinya di masa lalu. Mekanisme
koping seseorang juga tergantung dari tipe dan jenis stressor yang dihadapinya.
Dampak PTSD pada Korban Pelecehan Seksual dan Pemerkosaan
Post traumatic stress disorder dapat menyebabkan gangguan. Gangguan tersebut antara
lain panic attack, perilaku menghindari, depresi, membunuh pikiran dan perasaan, merasa
disisihkan dan sendiri serta tidak mudah percaya.
1.
Panic attack
Pada penderita PTSD yang mempunyai pengalaman trauma, mereka akan
mengalami serangan panik jika dihadapkan oleh sesuatu yang mengingatkan mereka pada
traumanya. Panic attack atau serangan panik ini meliputi perasaan yang kuat atas
ketakutan atau ketidaknyamanan yang juga akan berdampak pada beberapa gejala fisik
seperti jantung yang berdebar-debar, berkeringat, gemetar, sesak napas, sakit dada, dan
sakit perut serta gejala-gejala lain.
2. Perilaku menghindar
Penderita PTSD akan menghindari hal-hal atau tempat yang akan mengingatkan
mereka pada kejadian traumatis yang pernah mereka alami. Kadang mereka juga
mengaitkan semua kejadian dalam kehidupannya dengan trauma, tidak jarang mereka
akan takut untuk keluar rumah serta meminta ditemani oleh orang yang mereka percayai
dalam berpergian.
3. Depresi
Halaman 6 dari 15
Penderita PTSD banyak yang tidak lagi tertarik akan hal-hal yang disenanginya
dulu. Mereka akan mengembangkan perasaan yang tidak benar, merasa bersalah dan
selalu menyalahkan diri sendiri padahal hal tersebut tidak benar. Biasanya mereka merasa
bahwa kehidupan mereka juga sudah tidak lagi berharga, dan tidak jarang penderita
PTSD akan memiliki niat untuk bunuh diri.
4. Merasa disisihkan dan menyendiri
Biasanya penderita PTSD akan merasa susah untuk mempercayai bahwa orang
lain dapat memahami apa yang telah dialami mereka sehingga mereka sulit dalam
bersosialisasi dan berhubungan dengan orang-orang yang ada di lingkungannya.
5. Merasa tidak percaya dan dikhianati
Kepercayaan penderita PTSD pada orang lain biasanya akan hilang dan mereka
merasa telah dikhianati oleh dunia atau nasib. Tidak jarang mereka juga akan lebih
mudah tersinggung atau marah.
Kriteria Diagnosis PTSD
Kriteria diagnosis PTSD menurut DSM IV adalah:
1. Seseorang harus terpapar dengan kejadian traumatis:
 Kejadian traumatis berupa penyimpangan seksual atau fisik, pemerkosaan,
kecelakaan, bencana alam, pertempuran, penyiksaan, penyanderaan, diungsikan,
kematian seseorang yang dicintai secara tiba-tiba, menyaksikan langsung kejadian
traumatis.
 Respon terhadap kejadian tersebut berupa ketakutan, ketidakberdayaan, kengerian.
2. Orang tersebut mengalami pengulangan kejadian traumatis tersebut secara persisten
dengan minimal satu dari beberapa cara ini:
 Terus menerus memiliki ingatan yang menganggu tentang kejadian tersebut
 Mimpi buruk
 Flashbacks, yang sangat jelas mengenai berbagai hal yang terjadi pada saat kejadian


tersebut
Penderitaan psikologis yang terus menerus akibat mengingat kejadian tersebut
Reaksi fisiologis yang terus menerus akibat mengingat kejadian tersebut seperti
palpitasi, berkeringat, kesulitan bernapas, panik, dsb.)
3. Orang tersebut menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan dirinya pada kejadian
tersebut dan mengalami kematian rasa yang dapat terlihat minimal 3 dari kriteria di
bawah ini:
 Secara aktif menghindari keadaan, orang, atau tempat yang mengingatkannya kepada



kejadian tersebut
Menghindari pembicaraan dan berpikir tentang kejadian tersebut
Tidak dapat melakukan recall terhadap aspek-aspek dari kejadian tersebut
Kehilangan minat atau berpartisipasi dalam berbagai kegiatan
Halaman 7 dari 15

Merasa bahwa dirinya terpisah atau terasing dari orang lain semenjak kejadian


tersebut
Emosi yang dimiliki menjadi terbatas dan adanya kematian rasa
Merasa bahwa hidup nya sudah tidak berarti dan layak untuk diperjuangkan sehingga
tidak berniat untuk memikirkan rencana masa depan seperti meningkatan karir,
menikah, punya anak dan sebagainya.
4. Orang tersebut memiliki gejala peningkatan gairah yang dapat terlihat minimal 2 dari dari
kriteria berikut:
 Kesulitan untuk tidur atau tidur yang berkepanjangan (dapat berkaitan dengan
ketakutan akan munculnya mimpi buruk)
 Perasaan menjadi irritable dan mudah marah
 Kesulitan konsentrasi
 Kewaspadaan berlebihan dan selalu mengutamakan keselamatan
 Reaksi berlebihan terhadap suara atau gerakan tertentu
5. Ketiga jenis gejala harus timbul bersamaan selama minimal 1 bulan.
6. Gangguan tersebut harus menyebabkan penderitaan dan perburukan keadaan secara klinis
yang menganggu kehidupan sosial, pekerjaan dan fungsi kehidupan lainnya.
Kriteria diagnostik ini sama dengan kriteria diagnosis berdasarkan PPDGJ III.
Komorbiditas dan Dampaknya PTSD
Lebih dari 3% kasus PTSD memiliki komorbiditas lain. Hal ini terjadi lantaran adanya
tumpang tindih dari diagnosis penyakit PTSD dan gangguan jiwa lain. Komorbid yang sering
timbul diantaranya adalah depresi (sebelum dan setelah trauma), gangguan karena zat psikoaktif
(bisa menjadi usaha untuk self-medicate pasien, meskipun fase withdrawal dapat memperparah),
dan gangguan ansietas lain.
Terdapat lima kelas komorbiditas, diantaranya adalah :
1)
2)
3)
4)
5)
Rasa takut (fobia sosial, fobia spesifik, agoraphobia, gangguan panik)
Distress (depresi mayor, dysthymia, depresi sedang menetap, gangguan cemas)
Eksternalisasi (alkohol dan obat-obatan, kelainan tingkah laku)
Multimorbiditas (peningkatan rate dari semua kelainan)
Lainnya (kemungkinan rendah)
Banyaknya komorbiditas dari PTSD memerlukan pengembangan diagnosis yang lebih
lanjut, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih efektif.
Terdapat studi yang menganalisa secara statistik jumlah anak yang mengalami PTSD dan
komorbid gangguan psikiatrik yang terjadi. Penelitian dilakukan di Cook County Juvenile
Temporary Detention Center in Chicago antara tahun 1995 dan 1998. Sampel sejumlah 1.829
yang terdiri dari pria dan wanita usia 10-18 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan
sistematik interview.
Halaman 8 dari 15
Gangguan komorbid psikiatrik yang biasanya terjadi pada PTSD seperti depresi,
penyalahgunaan zat psikoaktif, gangguan afektif, dan gangguan ansietas.

Prevalensi gangguan psikiatrik pada partisipan dengan PTSD sejumlah 93%
memiliki satu tipe gangguan psikiatrik, 54% mempunyai 2-3 tipe gangguan
psikiatrik, dan 11% mempunyai keempat tipe gangguan psikiatrik.

Partisipan dengan PTSD baik pria maupun wanita memiliki risiko 2 – 3,7
×
mendapat gangguan penggunaan zat terlarang maupun alkohol dibandingkan

dengan partisipan tanpa PTSD.
Pria dengan PTSD lebih berisiko untuk menderita gangguan komorbid psikiatrik
3,4 × dibanding wanita dengan PTSD.

Pria dengan PTSD memiliki risiko 3,2 – 9 ×
memiliki gangguan komorbid
psikiatrik, gangguan cemas, dan gangguan penggunaan zat psikoaktif dibanding
dengan pria tanpa PTSD.
Komorbiditas pada PTSD dan dampaknya sebagai berikut:
1. Gangguan depresi
Komorbiditas paling banyak; akibat sekunder dari PTSD; pasien susah tidur,
pesimis terhadap masa depan dan ingin bunuh diri.
Post traumatic stress disorder (PTSD) paling sering memiliki komorbiditas
dengan gangguan cemas, penyalahgunaan zat, keadaan medis umum dan depresi.
Ditemukan bahwa komorbiditas PTSD terbanyak adalah bersama depresi. Beberapa hal
yang mendukung komobiditas antara PTSD dan depresi adalah diantaranya :


Risiko depresi meningkat dengan adanya kejadian PTSD
Keberadaan depresi sebelumnya juga meningkatkan kejadian PTSD akibat
trauma tertentu
Beberapa penelitian juga memperoleh hasil berupa mereka yang terpapar trauma
yang menimbulkan kejadian depresi akibat PTSD lebih tinggi dibandingkan dengan
mereka yang terpapar trauma namun tidak berkembang jadi PTSD.
Kemunculan depresi yang mengikuti PTSD ataupun sebaliknya ini sangat penting
karena meningkatkan keparahan penyakit, kemungkinan kekronisan suatu penyakit, dan
menurunnya fungsi secara global atau menyeluruh. Terkadang komorbiditas antara PTSD
dan depresi ini diikuti oleh tingginya frekuensi alkoholisme, depresi mayor, dan
gangguan cemas menyeluruh. Berdasarkan penelitian oleh Holtzheimer, Russo, Zatzick,
Bundy and Roy-Byrne diperoleh hasil bahwa PTSD yang komorbiditas dengan depresi
ternyata berhubungan dengan mereka yang memilki penghasilan yang rendah.
Halaman 9 dari 15
PTSD yang komorbiditas dengan depresi sering dikaitkan dengan tingkat yang
lebih parah dari bahaya (distress) dengan gejala-gejala yang ada seperti, penurunan nilai
sosial, pekerjaan dan penurunan fungsi secara global, dosis tinggi obat, dan waktu yang
lebih lama untuk merespon pengobatan. Keadaan kesehatan yang memburuk dan juga
somatisasi dilaporkan juga pada mereka yang mengalami PTSD yang komorbiditas
dengan depresi.
2. Penggunaan alkohol atau substansi lainnya sebagai pelarian
Gangguan pemakaian hingga adiksi atau ketergantungan.
Data diperoleh dari Australian national survey of mental health and well-being
kemudian secara random dipilih partisipan yang akan diwawancara dengan
mengguanakan kuesioner.
Penilaiannya adalah pada prevalensi, kaitannya dengan demografi, gangguan fisik
dan mental, juga disability akibat komorbid PTSD dan panggunaan zat.
Hasil yang diperoleh adalah :
a. Prevalensi
 34,4% pasien PTSD ditemukan dengan gangguan pengunaan zat.
Kasus yang sering ditemukan adalah dengan gangguan penggunaan

alkohol (24,1%).
Pasien gangguan penggunaan zat yang paling sering ditemukan
dengan PTSD adalah pasien yang menggunakan opioid (33,2%).

Diikuti dengan yang menggunakan zat sedatif (28,5%).
57,5% dari pasien PSTD dengan gangguan pengguna zat kebanyakan

memiliki trauma sebelum muncul gejala penggunaan zat.
Pasien PTSD dengan gangguan penggunaan zat memiliki gangguan
kesehatan fisik dan mental yang lebih buruk dibandingkan yang

menggunakan zat saja.
Pasien PSTD saja memiliki klinis yang mirip dengan pasien pengguna
zat dan PTSD.
b. Demografi
 Paling sering pada usia 18-34 tahun (dewasa muda).
 Tidak dipengaruhi tingkat edukasi.
c. Kesehatan fisik
61% pasien PTSD dengan gangguan penggunaan zat setidaknya memiliki
satu kondisi kesehatan fisik yang kronis dibandingkan yang PTSD atau
pengguna zat saja.
d. Kesehatan mental
 PTSD dengan gangguan penggunaan zat mempunyai kondisi
kesehatan mental yanag lebih buruk daripda PTSD atau gangguan
penggunaan zat saja.
Halaman 10 dari 15

Hampir 2/3 memiliki gangguan afektif, kemudian diikuti dengan
gangguan anxietas dan gangguan personalitas.
e. Disability
Pasien PTSD dengan gangguan penggunaan zat, setidaknya 1 hari dalam 1
bulan tidak melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa.
Ada persamaan antara hasil penelitian ini dan studi di Amerika Serikat walaupun
ada perbedaan budaya sehingga diperkirakan hubungan antara PTSD dan gangguan
penggunaan zat yang terjadi adalah akibat lifestyle.
Pasien PTSD harus dicari riwayat penggunaan zat, begitu pula sebaliknya, sebab
penting untuk dilakukan tatalaksana yang efisien dan tepat.
3. Gangguan anxietas menyeluruh (GAD)
4. Gangguan anxietas lainnya
5. Gangguan panik
6. Distimia
7. Gangguan bipolar
8. Agoraphobia
9. Fobia sosial
10. Fobia lainnya
Studi yang dilakukan oleh Harrington (2012) ini bertujuan untuk menguji komorbiditas
ADHD pada sampel klinis dari veteran militer yang memiliki PTSD dan menemukan kaitan
antara PTSD, ADHD, dan paparan terhadap kejadian traumatik. Seperti yang telah
dihipotesiskan sebelumnya, jumlah kekerasan seksual lebih tinggi pada veteran yang terdiagnosa
ADHD dibandingkan dengan yang tidak. Penemuan ini menunjukkan bukti bahwa adanya
ADHD berkaitan dengan peningkatan prevalensi kekerasan seksual.
Mekanisme yang memungkinkan adanya keterkaitan ADHD dan kekerasan seksual :
1. Masalah pengaturan diri terkait ADHD dapat meningkatkan risiko individu mengalami
perlakuan seksual yang tidak pantas.
2. Kekerasan seksual dan gejala PTSD yang muncul dapat mengeksaserbasi defisit terkait
ADHD seperti inatensi, disorganisasi, regulasi impuls, atau hipereaktivitas.
3. Faktor risiko lingkungan (kemiskinan, konflik keluarga, psikopatologi orang tua) terkait
ADHD dan conduct disorder dapat meningkatkan risiko individu mengalami kekerasan
seksual.
Berbeda dengan dua studi sebelumnya yang dilakukan oleh Lam LT dan Barkley, studi
ini tidak mendeteksi jumlah kejadian traumatik (kekerasan fisik, kecelakaan lalu lintas) pada
veteran dengan ADHD. Seperti yang telah dihipotesiskan, gejala inatensi, hipereaktivitas, dan
impulsivitas menunjukkan kaitan yang lemah dan tidak signifikan dengan gejala. Studi ini juga
menemukan sejumlah veteran dengan riwayat PTSD mengalami masalah berulang dengan
ADHD, tetapi faktor yang menjadi penyebab pasti keterkaitan antara PTSD dan ADHD belum
Halaman 11 dari 15
diketahui. Diperkirakan terdapat kesamaan variasi pada PTSD dan ADHD yang berkaitan
dengan masalah dalam memodulasi tingkat arousal merupakan faktor yang menyebabkan
terjadinya PTSD dan ADHD secara bersamaan.
Diagnosa psikiatri sering didahului oleh trauma emosional. Menurut DSM IV, diagnosa
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat ditegakkan bila terdapat trauma yang
mendahuluinya. Beberapa studi mengatakan prevalensi trauma tinggi pada pasien dengan
gangguan mood, cemas, dan psikotik. Peperangan sering dikaitkan dengan diagnosa dari PTSD
dan kemungkinan berkaitan dengan gangguan emosional lainnya. Studi ini mencari prevalensi
dari Bipolar Disorder (BPD) pada pasien veteran yang memenuhi kriteria BPSD. Jumlah
partisipan yang memenuhi kriteria inklusi ditentukan oleh Mini International Neuropsychiatric
Interview (MINI) yang kriteria diagnosanya ditentukan berdasarkan DSM IV. Hasil penelitian
menunjukkan persentase yang relatif tinggi untuk BPD pada pasien PTSD yaitu 55% (59 dari
109 partisipan). Pasien PTSD yang lebih parah menunjukkan prevalensi BPD yang tinggi. BPD
sering sekali tidak diketahui atau sulit di diagnosis karena kurangnya insight dari manik pada
pasien, kurangnya penilaian yang sistematis oleh klinisi, adanya stigma, dan maraknya
ketersediaan obat anti-depresan.
Diagnosis Banding PTSD
1. Acute Stress Disorder:
Acute stress disorder adalah penyakit yang muncul 4 minggu setelah traumatic
event terjadi dan hanya terjadi selama 4 minggu. Persamaan dengan PTSD adalah dalam
acute stress disorder ini juga terjadi setelah adanya kejadian traumatik. Akan tetapi,
perbedaan dengan PTSD adalah onset dari penyakit ini. Pada PTSD lama penyakitnya
lebih dari 4 minggu, oleh sebab itu jika ditemukan pasien dengan keadaan stress pasca
trauma kurang dari 4 minggu maka diagnosisnya adalah acute stress disorder. Akan
tetapi jika stress tersebut terjadi lebih dari 4 minggu, maka diagnosisnya akan berubah
menjadi PTSD.
2. Obsessive Compulsive Disorder (OCD)
Persamaan PTSD dan OCD adalah memiliki intrusive thought (pikiran yang
menganggu). Akan tetapi perbedaan OCD dan PTSD adalah pada OCD ada kondisi
kompulsif sebagai coping dari pikiran tersebut dan pikiran tersebut tidak berhubungan
dengan kejadian traumatik.
3. Gangguan Penyesuaian
Halaman 12 dari 15
Persamaan dari kedua gangguan ini adalah sama-sama memiliki kegelisahan
dikarenakan stress exposure. Akan tetapi, pada gangguan penyesuaian stressor-nya tidak
harus parah/tidak wajar seperti PTSD. Gangguan penyesuaian juga memiliki perbedaan
onset dengan PTSD. Pada PTSD biasanya bersifat kronik, sedangan gangguan
penyesuaian bersifat akut.
4. Skizofrenia
Pada skizofrenia, orang bisa mengaku memiliki kejadian traumatik. Akan tetapi
pada kejadian skizofrenia hal tersebut tidak realistik sehingga harus dipastikan dengan
orang di sekitarnya.
5. Agorafobia/Fobia Spesifik
Pada fobia tidak terjadi recall memory. Fobia akan merasakan takut ataupun
gelisah bila dipaparkan dengan benda tersebut tanpa harus mengingat kejadiannya.
Sedangkan pada PTSD, seseorang akan mengalami recall memory yang membuat ia takut
akan hal tertentu.
PTSD pada Anak
Berdasarkan data yang diperoleh, PTSD pada anak 5-6% diderita oleh anak laki-laki dan
10-14% diderita oleh anak perempuan. Dengan demikian perbandingan jumlah penderita PTSD
pada anak laki-laki dan perempuan adalah 1:2. PTSD pada orang dewasa juga menunjukan hal
yang sama dimana perempuan lebih banyak menderita.
Penyebab PTSD pada anak terbagi dari segi biopsikososial. Faktor biologis tidak berbeda
dengan penyebab PTSD pada umumnya seperti kerusakan bagian otak khususnya amygdala dan
hippocampus sehingga neurotransmiter yang dihasilkan antara lain dopamin, serotonin, dan
asetilkolin berkurang.
Dari segi faktor psikososialnya, PTSD pada anak sering disebabkan karena pola asuh
orang tua yang salah, anak mendapatkan kejadian yang terlalu menyeramkan seperti
meninggalnya orang tercinta atau bencana alam, abuse (penyimpangan) secara seksual, moral,
emosional dan fisik.
Anak-anak yang mengalami PTSD memiliki gejala-gejala seperti menjadi sangat
pendiam, sangat sensitif, menghindari segala sesuatu hal yang dapat mengingatkan dia kepada
hal tersebut, umumnya anak tidak mau mengakui apa yang terjadi terhadap dirinya sehingga
sangat diperlukan perhatian orang tua yang baik dan benar.
Penanganan PTSD pada anak dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu psikoterapi dan
farmakoterapi. Farmakoterapi yang dapat diberikan pada anak adalah anti-depresan dengan SSRI
sebagai lini pertamanya, mengingat keadaan serotonin yang menurun pada PTSD. Selain itu
dapat diberikan mood stabilizer, anti-psikotik jika ada gejala psikotik, serta alfa dan beta blocker.
Halaman 13 dari 15
Psikoterapi yang perlu diberikan terutama melalui konseling dengan anak. CBT
(Cognitive Behavioural Therapy) didapatkan sangat efektif dalam menurunkan gejala akibat
trauma. Sekarang ini CBT lebih diperdalam yaitu FT-CBT (Focused Trauma Cognitive
Behavioural Therapy) dimana terapi CBT lebih difokuskan kepada trauma anak. Orang tua
sangat berperan terhadap kesembuhan dan perkembangan anak sehingga juga perlu dilakukan
CPP (Child Parent Physicotherapy).
Terapi PTSD
Terapi PTSD sebaiknya dilakukan dengan mencakup 3 hal yaitu pencegahan dengan
penanganan langsung setelah terpapar kejadian traumatis (sebelum diagnosa PTSD ditegakkan),
kombinasi terapi farmakologi dan nonfarmakologi serta psikoterapi primer pada remaja dan
anak.
Terapi farmakologi :




Anti-depresan (SSRI) merupakan lini pertama karena penurunan serotonin.
Beta blocker (propanolol) untuk gejala hyperarousal
Anti-konvulsan (carbamazepin; lamortrigine) untuk emosi yang labil
Anti-psikotik atipikal (risperidone) digunakan jika pemberian anti depressan pada pasien


tidak berefek
Alfa 1 blocker untuk mengatasi mimpi buruk dan gangguan tidur
Alfa 2 agonis untuk gejala hyperarousal dan mengatasi mimpi buruk






Terapi non farmakologi :
Psikoterapi kelompok
Psikoterapi individu dan keluarga
Cognitive behavioural therapy (CBT)
Play dan art therapy
Hipnotis
Teknik relaksasi dan pengendalian kecemasan
Halaman 14 dari 15
DAFTAR PUSTAKA
1. Harrington KM, Miller MW, Wolf EJ, Reardon AF, Ryabchenko KA, Ofrat S. Attentiondeficit/hyperactivity disorder comorbidity in a sample of veterans with posttraumatic
stress disorder. Compr Psychiatry. 2012 Aug;53(6):679–90.
2. The Comorbidity of Psychotic Symptoms and Posttraumatic Stress Disorder: Evidence
for
a
Specifier
in
DSM-5.
[cited
2014
Nov
15];
Available
from:
http://www.lsu.edu/psychology/sprl/documents/In%20press%20Vigna%20Reuther
%20CSRP.pdf.
3. Shah RR. Impact of comorbid major depressive disorder (mdd) on ptsd severity in
toronto transit commission (ttc) employees. University of Toronto. 2012;5:1-114.
4. McLay RN, Ram V, Webb-Murphy J, Baird A, Hickey A, Johnston S. Apparent
Comorbidity of Bipolar Disorder in a Population With Combat-Related Post-Traumatic
Stress Disorder. Mil Med. 2014 Feb;179(2):157–61.
5. Vaidyanathan U, Patrick CJ, Iacono WG. Who is likely to develop PTSD? A personcentered approach to understanding comorbidity in PTSD. Compr Psychiatry [Internet].
2011
Nov
[cited
2014
Oct
26];52(6).
Available
from:
http://search.proquest.com/docview/1030081997/241BFA68CC904334PQ/3?
accountid=48149.
6. Müller M, van deleur C, Rodgers S, Rössler W, Castelao E, Preisig M, et al. Factors
associated with comorbidity patterns in full and partial PTSD: Findings from the
PsyCoLaus study. Compr Psychiatry. 2014 May;55(4):837–48.
7. Brady KT, Killeen TK, Brewerton T, Lucerini S. Comorbidity of psychiatric disorders
and posttraumatic stress disorder. J Clin Psychiatry. 2000;61 Suppl 7:22–32.
8. Abram, Karen M., Linda AT, Devon CK, Sandra LL, Kristin ME, Erin GR, Gary MM, et
al. PTSD, Trauma, and Comorbid Psychiatric Disorders in Detained Youth. Office of
Juvenile Justice and Delinquency Prevention. 2013.
Halaman 15 dari 15
Download