BLOK XVII. KESEHATAN MENTAL DAN PERILAKU (MAC 305) Laporan Jigsaw : Post Traumatic Stress Disorder oleh kelompok 11A : Pricilia / 2012 – 060 – 057 Natasha Olivia Gunawan / 2012 – 060 – 111 Della Ayu Putri / 2012 – 060 – 140 Peter Alison / 2012 – 060 – 158 Jocelyn Prima Utami / 2012 – 060 – 187 Celine / 2012 – 060 – 191 Gabrielle Glenis / 2012 – 060 – 212 Vincentius Henry Sundah / 2012 – 060 – 265 Dosen Tutor : Dr. dr. Surilena Hasan, Sp.KJ. (K) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA JAKARTA 2014 Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) PTSD merupakan gangguan stress pasca trauma yang terjadi akibat dari adanya stressor. Umumnya, gejala dimulai 3 bulan setelah adanya stressor. Seseorang dikatakan mengalami PTSD apabila mengalami gejala yang merupakan kriteria diagnosa untuk PTSD minimal 1 bulan. Apabila pasien mengalami gejala kurang dari 1 bulan, ia dikatakan mengalami acute stress disorder. Gejala PTSD dapat dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Gejala ringan meliputi cemas, mimpi buruk, perilaku menghindari kejadian stress, dan malaise. Gejala sedang meliputi isolasi sosial, depresi, adanya flashback daripada stressor yang dialaminya, dan masalah yang berhubungan dengan adiksi. Gejala berat meliputi psikosis, imajinasi mengenai kejadian yang tidak menyenangkan atau stressor yang dialaminya secara berulang, dan gejala fisik seperti buta, tuli, dan paralisis. Faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress pasca trauma adalah: Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutan maupun keluarganya. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual. Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependant, atau antisosial. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem berupa kesulitan untuk menyesuaikan diri. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya Etiologi PTSD Halaman 2 dari 15 Etiologi PTSD terbagi menjadi etiologi primer dan sekunder. Etiologi primer dari PTSD adalah kejadian traumatis/pengalaman buruk yang mengancam nyawa (life threatening event). Berbagai kejadian traumatis tersebut antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Peperangan Bencana alam Kecelakaan Serangan teroris Kematian orang yang dicintai Pemerkosaan Penculikan Penyimpangan seksual atau fisik Masa kecil yang terabaikan Serangan Selain itu penyebab lain yang menyebabkan PTSD dapat dilihat dari segi biopsikososial. Faktor biologis meliputi perubahan pada HPA axis dan perubahan bagian otak khususnya amygdala dan hippocampus. Kaitannya juga pada peningkatan aktivitas reseptor noradrenergik dan opiate. Perubahan HPA axis menyebabkan pelepasan hormon stress. Amygdala berperan sebagai tempat penyimpanan memori, emosi dan pembelajaran sedangkan hippocampus berperan dalam penyimpanan memori. Terganggunya kedua bagian ini menyebabkan rasa takut yang timbul terus menerus serta berakibat pada neurotransmiter yang dihasilkan pada daerah tersebut antara lain dopamin, serotonin, dan asetilkolin. Dopamin dan serotonin merupakan neurotransmiter inhibitor sehingga jika terjadi penurunan, maka tidak ada inhibisi terhadap rasa takut. Sistem noradrenergik diaktivasi oleh CRH dan aktivasi sistem ini menyebabkan peningkatan aktivasi saraf simpatis yang berakibat pada agitasi motorik. Faktor psikososial yang menjadi penyebab PTSD dapat berupa reaktivasi trauma sebelumnya atau ada konflik sosial yang belum selesai, stress yang terus menerus dihadapi namun disikapi dengan cara yang salah seperti menghindari masalah, atau pasien tidak dapat melakukan coping terhadap masalahnya. Penderita psikosis rentan terkena PTSD. Hipotesa mengatakan PTSD dengan halusinasi merupakan suatu hubungan sebab akibat dimana psikosis dapat mengakibatkan PTSD. Dapat dilihat dari kondisi seorang schizophrenia yang sering kehilangan dukungan dari orang sekitar, keterampilan yang dimilikinya akan berangsur-angsur menghilang. Hal ini mengakibatkan kualitas hidupnya menurun. Apabila mereka dihadapkan pada peristiwa yang traumatis, mereka cenderung menjadi lebih stress dan akhirnya mereka terkena PTSD Trauma menimbulkan gejala psikotik. Hal ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak memiliki gejala psikotik sebelum PTSD. Contohnya korban pelecehan seksual. Mereka sulit percaya pada orang lain dan menjadi paranoid. Selalu merasa curiga seperti gejala pada schizophrenia. Saat pasien me-recall kembali, memori auditori dapat terganggu sehingga Halaman 3 dari 15 mengakibatkan munculnya halusinasi auditorik. Oleh karena itu, mereka yang mengalami suatu peristiwa traumatis dapat berkembang menjadi PTSD dan dapat disertai dengan gejala psikotik. Terdapat beberapa bukti mengenai peran paparan trauma terhadap komorbiditas PTSDADHD. Sebuah studi oleh Adler menyatakan bahwa ADHD dapat menjadi faktor risiko yang meningkatkan kerentanan seseorang mengalami PTSD setelah terpapar oleh trauma psikologis. Menurut studi ini juga, PTSD ditemukan lebih banyak pada penderita ADHD ketika usia kanakkanak dan juga ADHD yang masih ada hingga dewasa. Sama halnya dengan Adler, studi oleh Koenen menemukan bahwa individual memiliki kecenderungan mengalami trauma psikologis apabila meiliki masalah hiperaktivitas, kebiasaan antisosial, dan kesulitan atau gangguan pada tempramen pada masa kecil. Remaja yang didiagnosa dengan ADHD lebih berisiko mengalami cedera atau trauma, salah satunya cedera yang didapat melalui kecelakaan lalu lintas. Mekanisme terjadinya PTSD-ADHD menurut beberapa hipotesis : 1. Adanya kelainan psikiatrik tertentu dapat menjadi faktor risiko berkembangnya PTSD dan kelainan tersebut dapat terjadi sebelum adanya paparan trauma. Beberapa bukti menunjukkan adanya risiko dini pada masa kanak-kanak (kepribadian antisosial, hipearktivitas, dan conduct disorder, dll.) dapat berperan penting dalam perkembangan PTSD. ADHD pada masa kanak-kanak dapat berperan sebagai faktor risiko paparan trauma, seperti cedera fisik, penganiayaan fisik dan seksual, terlantar, dan konflik orang tua. Selain itu, anak-anak yang terpapar kejadian traumatic lebih rentan mengalami eksarserbasi gejala ADHD. Penganiayaan fisik dan seksual juga terbukti berkaitan dengan peningkatan masalah eksternal seperti hiperaktivitas, impulsivitas, agresi, mudah marah, dan menyerang secar fisik. 2. Common factor hypothesis. Sebuah hipotesis yang menduga adanya faktor risiko yang sama antara PTSD dan ADHD sehingga dapat menyebabkan komorbiditas. Menurut common-factor hypothesis, keterkaitan terbesar antara PTSD dan ADHD adalah gejala yang mencerminkan distress umum seperti emosionalitas neurotik dan perilaku yang pemalu. Banyak peneletian yang mengatakan bahwa PTSD banyak terjadi di negara dengan pendapatan rendah hingga menengah. Negara-negara seperti itu memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya trauma. Penelitian ini bertujuan untuk melihat prevalensi dari PTSD di negara dengan pendapatan rendah hinga menengah. Kemungkinan PTSD memiliki hubungan erat dengan kejadian trauma dan gangguan kejiwaan lain. Penelitian ini dilakukan di Kolombo-Sri Lanka, daerah dengan populasi 2,2 juta penduduk. Kabupaten ini memiliki campuran penduduk perkotaan dan penduduk pedesaan. Halaman 4 dari 15 Tempat ini juga terdapat banyak migran, individu yang terlantar akibat Perang Saudara dan Tsunami di Sri Lanka. Penelitian ini menggunakan sampel 6000 orang dengan kriteria ekslusi trauma seksual. Kejadian trauma yang banyak dialami oleh pasrtisipan adalah bencana alam (Tsunami), Perang suku. Selain itu juga terdapat trauma kecelakaan lalulintas, kekeranasan dalam keluarga. Penegakan diagnosis digunakan berdasarkan ketetapan DSM IV. Kejadian traumatik yang dilaporkan 36,3% oleh partisipan. Prevalensi Non-PTSD adalah 19,1% sedangkan PTSD 2,0%. Dalam hal ini peluang untuk terjadinya gangguan lain (penyerta) akibat trauma tidak banyak. Kalaupun ada akan terjadi gangguan psikotik. Dengan demikian PTSD di Sri Lanka memiliki angka prevalensi lebih rendah dibandingkan di negara barat. Mekanisme Coping pada Pasien PTSD Mekanisme coping merupakan suatu cara yang dilakukan seseorang untuk memproteksi atau melindungi dirinya dari berbagai masalah atau tekanan (stressor). Beberapa mekanisme pertahanan (coping) pada pasien PTSD ialah: 1. Disavowal/penyangkalan atau denial, adalah mekanisme dimana seseorang menghindari kenyataan dan secara sadar menyangkal adanya kenyataan tersebut. Ia menyangkal realita yang dapat menimbulkan rasa sakit, malu, atau cemas. Contoh : Seorang ibu yang tidak terima bahwa anaknya terlahir dengan cacat sehingga ia menitipkan anaknya ke saudaranya yang jauh. 2. Pemindahan (displacement), dimana emosi-emosi yang terjadi pada dirinya dilampiaskan ke objek-objek atau orang lain. Contoh : Seorang anak yang dimarahi ibunya akibat mendapat nilai buruk di sekolah. Karena kesal, ia lalu menendang dan memukuli anjing peliharaannya. 3. Proyeksi, yaitu seseorang yang melindungi dirinya dari tabiat-tabiat, sikap, dan karakternya sendiri, ataupun perasaan nya dengan melemparkan atau menyalahkannya ke orang lain. Contoh : Seorang mahasiswa yang tidak lolos mata kuliah, lalu ia mengatakan bahwa dosennya sentimen terhadap dirinya. 4. Isolasi, yaitu seseorang yang dengan sengaja menjauhkan dirinya dari pertemuanpertemuan sosial dan menghindari untuk berinteraksi dengan banyak orang, karena pengalaman masa lalunya yang buruk ketika berhadapan dengan banyak orang. 5. Represi (repression), merupakan bentuk pertahanan ego dengan menyingkirkan pikiranpikiran atau ingatan-ingatan yang tidak diinginkan. Ia akan sengaja melupakan kenangan atau pikiran yang tidak menyenangkan atau tidak sesuai dengan keinginannya. Contoh : seorang wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya karena mencintai wanita lain. Meskipun wanita ini sudah sengaja melupakan kejadian tersebut, ingatan tersebut tetap membekas di pikiran bawah sadar wanita tersebut, yaitu dalam bentuk trauma psikis. Halaman 5 dari 15 6. Rasionalisasi, yaitu seseorang yang mencari alasan-alasan yang dibenarkan atau dapat diterima oleh norma maupun orang lain terhadap tindakannya atau pikirannya. Contoh : Seseorang yang menolak ketika diajak bermain bowling dengan beralasan bahwa ia sedang sakit atau besok mau ujian, padahal karena takut kalah. 7. Disosiasi, dengan cara memutuskan atau mengubah beban emosi dalam dirinya. Contoh : Seseorang yang sedih ditinggal mati oleh kekasihnya, kemudian ia menghibur dirinya sendiri dengan mengatakan “sudah takdirnya” atau “sekarang ia sudah bahagia di surga”. Mekanisme coping ini dapat terjadi secara berurutan. Misalnya, seseorang yang terkena musibah tanah longsor dan kedua orang tuanya meninggal akibat bencana tersebut. Pertama – tama, orang tersebut akan menyangkal bahwa orangtuanya sudah meninggal (denial). Kemudian, orang tersebut mulai menyalahkan orang lain atas kematian kedua orang tuanya (proyeksi). Lama kelamaan, orang tersebut dapat mengalami depresi yang sangat berat sehingga menarik diri dari hadapan banyak orang (isolasi). Mekanisme coping pada setiap orang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh temperamen dan kepribadian seseorang serta pengalaman yang membentuk dirinya di masa lalu. Mekanisme koping seseorang juga tergantung dari tipe dan jenis stressor yang dihadapinya. Dampak PTSD pada Korban Pelecehan Seksual dan Pemerkosaan Post traumatic stress disorder dapat menyebabkan gangguan. Gangguan tersebut antara lain panic attack, perilaku menghindari, depresi, membunuh pikiran dan perasaan, merasa disisihkan dan sendiri serta tidak mudah percaya. 1. Panic attack Pada penderita PTSD yang mempunyai pengalaman trauma, mereka akan mengalami serangan panik jika dihadapkan oleh sesuatu yang mengingatkan mereka pada traumanya. Panic attack atau serangan panik ini meliputi perasaan yang kuat atas ketakutan atau ketidaknyamanan yang juga akan berdampak pada beberapa gejala fisik seperti jantung yang berdebar-debar, berkeringat, gemetar, sesak napas, sakit dada, dan sakit perut serta gejala-gejala lain. 2. Perilaku menghindar Penderita PTSD akan menghindari hal-hal atau tempat yang akan mengingatkan mereka pada kejadian traumatis yang pernah mereka alami. Kadang mereka juga mengaitkan semua kejadian dalam kehidupannya dengan trauma, tidak jarang mereka akan takut untuk keluar rumah serta meminta ditemani oleh orang yang mereka percayai dalam berpergian. 3. Depresi Halaman 6 dari 15 Penderita PTSD banyak yang tidak lagi tertarik akan hal-hal yang disenanginya dulu. Mereka akan mengembangkan perasaan yang tidak benar, merasa bersalah dan selalu menyalahkan diri sendiri padahal hal tersebut tidak benar. Biasanya mereka merasa bahwa kehidupan mereka juga sudah tidak lagi berharga, dan tidak jarang penderita PTSD akan memiliki niat untuk bunuh diri. 4. Merasa disisihkan dan menyendiri Biasanya penderita PTSD akan merasa susah untuk mempercayai bahwa orang lain dapat memahami apa yang telah dialami mereka sehingga mereka sulit dalam bersosialisasi dan berhubungan dengan orang-orang yang ada di lingkungannya. 5. Merasa tidak percaya dan dikhianati Kepercayaan penderita PTSD pada orang lain biasanya akan hilang dan mereka merasa telah dikhianati oleh dunia atau nasib. Tidak jarang mereka juga akan lebih mudah tersinggung atau marah. Kriteria Diagnosis PTSD Kriteria diagnosis PTSD menurut DSM IV adalah: 1. Seseorang harus terpapar dengan kejadian traumatis: Kejadian traumatis berupa penyimpangan seksual atau fisik, pemerkosaan, kecelakaan, bencana alam, pertempuran, penyiksaan, penyanderaan, diungsikan, kematian seseorang yang dicintai secara tiba-tiba, menyaksikan langsung kejadian traumatis. Respon terhadap kejadian tersebut berupa ketakutan, ketidakberdayaan, kengerian. 2. Orang tersebut mengalami pengulangan kejadian traumatis tersebut secara persisten dengan minimal satu dari beberapa cara ini: Terus menerus memiliki ingatan yang menganggu tentang kejadian tersebut Mimpi buruk Flashbacks, yang sangat jelas mengenai berbagai hal yang terjadi pada saat kejadian tersebut Penderitaan psikologis yang terus menerus akibat mengingat kejadian tersebut Reaksi fisiologis yang terus menerus akibat mengingat kejadian tersebut seperti palpitasi, berkeringat, kesulitan bernapas, panik, dsb.) 3. Orang tersebut menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan dirinya pada kejadian tersebut dan mengalami kematian rasa yang dapat terlihat minimal 3 dari kriteria di bawah ini: Secara aktif menghindari keadaan, orang, atau tempat yang mengingatkannya kepada kejadian tersebut Menghindari pembicaraan dan berpikir tentang kejadian tersebut Tidak dapat melakukan recall terhadap aspek-aspek dari kejadian tersebut Kehilangan minat atau berpartisipasi dalam berbagai kegiatan Halaman 7 dari 15 Merasa bahwa dirinya terpisah atau terasing dari orang lain semenjak kejadian tersebut Emosi yang dimiliki menjadi terbatas dan adanya kematian rasa Merasa bahwa hidup nya sudah tidak berarti dan layak untuk diperjuangkan sehingga tidak berniat untuk memikirkan rencana masa depan seperti meningkatan karir, menikah, punya anak dan sebagainya. 4. Orang tersebut memiliki gejala peningkatan gairah yang dapat terlihat minimal 2 dari dari kriteria berikut: Kesulitan untuk tidur atau tidur yang berkepanjangan (dapat berkaitan dengan ketakutan akan munculnya mimpi buruk) Perasaan menjadi irritable dan mudah marah Kesulitan konsentrasi Kewaspadaan berlebihan dan selalu mengutamakan keselamatan Reaksi berlebihan terhadap suara atau gerakan tertentu 5. Ketiga jenis gejala harus timbul bersamaan selama minimal 1 bulan. 6. Gangguan tersebut harus menyebabkan penderitaan dan perburukan keadaan secara klinis yang menganggu kehidupan sosial, pekerjaan dan fungsi kehidupan lainnya. Kriteria diagnostik ini sama dengan kriteria diagnosis berdasarkan PPDGJ III. Komorbiditas dan Dampaknya PTSD Lebih dari 3% kasus PTSD memiliki komorbiditas lain. Hal ini terjadi lantaran adanya tumpang tindih dari diagnosis penyakit PTSD dan gangguan jiwa lain. Komorbid yang sering timbul diantaranya adalah depresi (sebelum dan setelah trauma), gangguan karena zat psikoaktif (bisa menjadi usaha untuk self-medicate pasien, meskipun fase withdrawal dapat memperparah), dan gangguan ansietas lain. Terdapat lima kelas komorbiditas, diantaranya adalah : 1) 2) 3) 4) 5) Rasa takut (fobia sosial, fobia spesifik, agoraphobia, gangguan panik) Distress (depresi mayor, dysthymia, depresi sedang menetap, gangguan cemas) Eksternalisasi (alkohol dan obat-obatan, kelainan tingkah laku) Multimorbiditas (peningkatan rate dari semua kelainan) Lainnya (kemungkinan rendah) Banyaknya komorbiditas dari PTSD memerlukan pengembangan diagnosis yang lebih lanjut, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih efektif. Terdapat studi yang menganalisa secara statistik jumlah anak yang mengalami PTSD dan komorbid gangguan psikiatrik yang terjadi. Penelitian dilakukan di Cook County Juvenile Temporary Detention Center in Chicago antara tahun 1995 dan 1998. Sampel sejumlah 1.829 yang terdiri dari pria dan wanita usia 10-18 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan sistematik interview. Halaman 8 dari 15 Gangguan komorbid psikiatrik yang biasanya terjadi pada PTSD seperti depresi, penyalahgunaan zat psikoaktif, gangguan afektif, dan gangguan ansietas. Prevalensi gangguan psikiatrik pada partisipan dengan PTSD sejumlah 93% memiliki satu tipe gangguan psikiatrik, 54% mempunyai 2-3 tipe gangguan psikiatrik, dan 11% mempunyai keempat tipe gangguan psikiatrik. Partisipan dengan PTSD baik pria maupun wanita memiliki risiko 2 – 3,7 × mendapat gangguan penggunaan zat terlarang maupun alkohol dibandingkan dengan partisipan tanpa PTSD. Pria dengan PTSD lebih berisiko untuk menderita gangguan komorbid psikiatrik 3,4 × dibanding wanita dengan PTSD. Pria dengan PTSD memiliki risiko 3,2 – 9 × memiliki gangguan komorbid psikiatrik, gangguan cemas, dan gangguan penggunaan zat psikoaktif dibanding dengan pria tanpa PTSD. Komorbiditas pada PTSD dan dampaknya sebagai berikut: 1. Gangguan depresi Komorbiditas paling banyak; akibat sekunder dari PTSD; pasien susah tidur, pesimis terhadap masa depan dan ingin bunuh diri. Post traumatic stress disorder (PTSD) paling sering memiliki komorbiditas dengan gangguan cemas, penyalahgunaan zat, keadaan medis umum dan depresi. Ditemukan bahwa komorbiditas PTSD terbanyak adalah bersama depresi. Beberapa hal yang mendukung komobiditas antara PTSD dan depresi adalah diantaranya : Risiko depresi meningkat dengan adanya kejadian PTSD Keberadaan depresi sebelumnya juga meningkatkan kejadian PTSD akibat trauma tertentu Beberapa penelitian juga memperoleh hasil berupa mereka yang terpapar trauma yang menimbulkan kejadian depresi akibat PTSD lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang terpapar trauma namun tidak berkembang jadi PTSD. Kemunculan depresi yang mengikuti PTSD ataupun sebaliknya ini sangat penting karena meningkatkan keparahan penyakit, kemungkinan kekronisan suatu penyakit, dan menurunnya fungsi secara global atau menyeluruh. Terkadang komorbiditas antara PTSD dan depresi ini diikuti oleh tingginya frekuensi alkoholisme, depresi mayor, dan gangguan cemas menyeluruh. Berdasarkan penelitian oleh Holtzheimer, Russo, Zatzick, Bundy and Roy-Byrne diperoleh hasil bahwa PTSD yang komorbiditas dengan depresi ternyata berhubungan dengan mereka yang memilki penghasilan yang rendah. Halaman 9 dari 15 PTSD yang komorbiditas dengan depresi sering dikaitkan dengan tingkat yang lebih parah dari bahaya (distress) dengan gejala-gejala yang ada seperti, penurunan nilai sosial, pekerjaan dan penurunan fungsi secara global, dosis tinggi obat, dan waktu yang lebih lama untuk merespon pengobatan. Keadaan kesehatan yang memburuk dan juga somatisasi dilaporkan juga pada mereka yang mengalami PTSD yang komorbiditas dengan depresi. 2. Penggunaan alkohol atau substansi lainnya sebagai pelarian Gangguan pemakaian hingga adiksi atau ketergantungan. Data diperoleh dari Australian national survey of mental health and well-being kemudian secara random dipilih partisipan yang akan diwawancara dengan mengguanakan kuesioner. Penilaiannya adalah pada prevalensi, kaitannya dengan demografi, gangguan fisik dan mental, juga disability akibat komorbid PTSD dan panggunaan zat. Hasil yang diperoleh adalah : a. Prevalensi 34,4% pasien PTSD ditemukan dengan gangguan pengunaan zat. Kasus yang sering ditemukan adalah dengan gangguan penggunaan alkohol (24,1%). Pasien gangguan penggunaan zat yang paling sering ditemukan dengan PTSD adalah pasien yang menggunakan opioid (33,2%). Diikuti dengan yang menggunakan zat sedatif (28,5%). 57,5% dari pasien PSTD dengan gangguan pengguna zat kebanyakan memiliki trauma sebelum muncul gejala penggunaan zat. Pasien PTSD dengan gangguan penggunaan zat memiliki gangguan kesehatan fisik dan mental yang lebih buruk dibandingkan yang menggunakan zat saja. Pasien PSTD saja memiliki klinis yang mirip dengan pasien pengguna zat dan PTSD. b. Demografi Paling sering pada usia 18-34 tahun (dewasa muda). Tidak dipengaruhi tingkat edukasi. c. Kesehatan fisik 61% pasien PTSD dengan gangguan penggunaan zat setidaknya memiliki satu kondisi kesehatan fisik yang kronis dibandingkan yang PTSD atau pengguna zat saja. d. Kesehatan mental PTSD dengan gangguan penggunaan zat mempunyai kondisi kesehatan mental yanag lebih buruk daripda PTSD atau gangguan penggunaan zat saja. Halaman 10 dari 15 Hampir 2/3 memiliki gangguan afektif, kemudian diikuti dengan gangguan anxietas dan gangguan personalitas. e. Disability Pasien PTSD dengan gangguan penggunaan zat, setidaknya 1 hari dalam 1 bulan tidak melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa. Ada persamaan antara hasil penelitian ini dan studi di Amerika Serikat walaupun ada perbedaan budaya sehingga diperkirakan hubungan antara PTSD dan gangguan penggunaan zat yang terjadi adalah akibat lifestyle. Pasien PTSD harus dicari riwayat penggunaan zat, begitu pula sebaliknya, sebab penting untuk dilakukan tatalaksana yang efisien dan tepat. 3. Gangguan anxietas menyeluruh (GAD) 4. Gangguan anxietas lainnya 5. Gangguan panik 6. Distimia 7. Gangguan bipolar 8. Agoraphobia 9. Fobia sosial 10. Fobia lainnya Studi yang dilakukan oleh Harrington (2012) ini bertujuan untuk menguji komorbiditas ADHD pada sampel klinis dari veteran militer yang memiliki PTSD dan menemukan kaitan antara PTSD, ADHD, dan paparan terhadap kejadian traumatik. Seperti yang telah dihipotesiskan sebelumnya, jumlah kekerasan seksual lebih tinggi pada veteran yang terdiagnosa ADHD dibandingkan dengan yang tidak. Penemuan ini menunjukkan bukti bahwa adanya ADHD berkaitan dengan peningkatan prevalensi kekerasan seksual. Mekanisme yang memungkinkan adanya keterkaitan ADHD dan kekerasan seksual : 1. Masalah pengaturan diri terkait ADHD dapat meningkatkan risiko individu mengalami perlakuan seksual yang tidak pantas. 2. Kekerasan seksual dan gejala PTSD yang muncul dapat mengeksaserbasi defisit terkait ADHD seperti inatensi, disorganisasi, regulasi impuls, atau hipereaktivitas. 3. Faktor risiko lingkungan (kemiskinan, konflik keluarga, psikopatologi orang tua) terkait ADHD dan conduct disorder dapat meningkatkan risiko individu mengalami kekerasan seksual. Berbeda dengan dua studi sebelumnya yang dilakukan oleh Lam LT dan Barkley, studi ini tidak mendeteksi jumlah kejadian traumatik (kekerasan fisik, kecelakaan lalu lintas) pada veteran dengan ADHD. Seperti yang telah dihipotesiskan, gejala inatensi, hipereaktivitas, dan impulsivitas menunjukkan kaitan yang lemah dan tidak signifikan dengan gejala. Studi ini juga menemukan sejumlah veteran dengan riwayat PTSD mengalami masalah berulang dengan ADHD, tetapi faktor yang menjadi penyebab pasti keterkaitan antara PTSD dan ADHD belum Halaman 11 dari 15 diketahui. Diperkirakan terdapat kesamaan variasi pada PTSD dan ADHD yang berkaitan dengan masalah dalam memodulasi tingkat arousal merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya PTSD dan ADHD secara bersamaan. Diagnosa psikiatri sering didahului oleh trauma emosional. Menurut DSM IV, diagnosa Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dapat ditegakkan bila terdapat trauma yang mendahuluinya. Beberapa studi mengatakan prevalensi trauma tinggi pada pasien dengan gangguan mood, cemas, dan psikotik. Peperangan sering dikaitkan dengan diagnosa dari PTSD dan kemungkinan berkaitan dengan gangguan emosional lainnya. Studi ini mencari prevalensi dari Bipolar Disorder (BPD) pada pasien veteran yang memenuhi kriteria BPSD. Jumlah partisipan yang memenuhi kriteria inklusi ditentukan oleh Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI) yang kriteria diagnosanya ditentukan berdasarkan DSM IV. Hasil penelitian menunjukkan persentase yang relatif tinggi untuk BPD pada pasien PTSD yaitu 55% (59 dari 109 partisipan). Pasien PTSD yang lebih parah menunjukkan prevalensi BPD yang tinggi. BPD sering sekali tidak diketahui atau sulit di diagnosis karena kurangnya insight dari manik pada pasien, kurangnya penilaian yang sistematis oleh klinisi, adanya stigma, dan maraknya ketersediaan obat anti-depresan. Diagnosis Banding PTSD 1. Acute Stress Disorder: Acute stress disorder adalah penyakit yang muncul 4 minggu setelah traumatic event terjadi dan hanya terjadi selama 4 minggu. Persamaan dengan PTSD adalah dalam acute stress disorder ini juga terjadi setelah adanya kejadian traumatik. Akan tetapi, perbedaan dengan PTSD adalah onset dari penyakit ini. Pada PTSD lama penyakitnya lebih dari 4 minggu, oleh sebab itu jika ditemukan pasien dengan keadaan stress pasca trauma kurang dari 4 minggu maka diagnosisnya adalah acute stress disorder. Akan tetapi jika stress tersebut terjadi lebih dari 4 minggu, maka diagnosisnya akan berubah menjadi PTSD. 2. Obsessive Compulsive Disorder (OCD) Persamaan PTSD dan OCD adalah memiliki intrusive thought (pikiran yang menganggu). Akan tetapi perbedaan OCD dan PTSD adalah pada OCD ada kondisi kompulsif sebagai coping dari pikiran tersebut dan pikiran tersebut tidak berhubungan dengan kejadian traumatik. 3. Gangguan Penyesuaian Halaman 12 dari 15 Persamaan dari kedua gangguan ini adalah sama-sama memiliki kegelisahan dikarenakan stress exposure. Akan tetapi, pada gangguan penyesuaian stressor-nya tidak harus parah/tidak wajar seperti PTSD. Gangguan penyesuaian juga memiliki perbedaan onset dengan PTSD. Pada PTSD biasanya bersifat kronik, sedangan gangguan penyesuaian bersifat akut. 4. Skizofrenia Pada skizofrenia, orang bisa mengaku memiliki kejadian traumatik. Akan tetapi pada kejadian skizofrenia hal tersebut tidak realistik sehingga harus dipastikan dengan orang di sekitarnya. 5. Agorafobia/Fobia Spesifik Pada fobia tidak terjadi recall memory. Fobia akan merasakan takut ataupun gelisah bila dipaparkan dengan benda tersebut tanpa harus mengingat kejadiannya. Sedangkan pada PTSD, seseorang akan mengalami recall memory yang membuat ia takut akan hal tertentu. PTSD pada Anak Berdasarkan data yang diperoleh, PTSD pada anak 5-6% diderita oleh anak laki-laki dan 10-14% diderita oleh anak perempuan. Dengan demikian perbandingan jumlah penderita PTSD pada anak laki-laki dan perempuan adalah 1:2. PTSD pada orang dewasa juga menunjukan hal yang sama dimana perempuan lebih banyak menderita. Penyebab PTSD pada anak terbagi dari segi biopsikososial. Faktor biologis tidak berbeda dengan penyebab PTSD pada umumnya seperti kerusakan bagian otak khususnya amygdala dan hippocampus sehingga neurotransmiter yang dihasilkan antara lain dopamin, serotonin, dan asetilkolin berkurang. Dari segi faktor psikososialnya, PTSD pada anak sering disebabkan karena pola asuh orang tua yang salah, anak mendapatkan kejadian yang terlalu menyeramkan seperti meninggalnya orang tercinta atau bencana alam, abuse (penyimpangan) secara seksual, moral, emosional dan fisik. Anak-anak yang mengalami PTSD memiliki gejala-gejala seperti menjadi sangat pendiam, sangat sensitif, menghindari segala sesuatu hal yang dapat mengingatkan dia kepada hal tersebut, umumnya anak tidak mau mengakui apa yang terjadi terhadap dirinya sehingga sangat diperlukan perhatian orang tua yang baik dan benar. Penanganan PTSD pada anak dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu psikoterapi dan farmakoterapi. Farmakoterapi yang dapat diberikan pada anak adalah anti-depresan dengan SSRI sebagai lini pertamanya, mengingat keadaan serotonin yang menurun pada PTSD. Selain itu dapat diberikan mood stabilizer, anti-psikotik jika ada gejala psikotik, serta alfa dan beta blocker. Halaman 13 dari 15 Psikoterapi yang perlu diberikan terutama melalui konseling dengan anak. CBT (Cognitive Behavioural Therapy) didapatkan sangat efektif dalam menurunkan gejala akibat trauma. Sekarang ini CBT lebih diperdalam yaitu FT-CBT (Focused Trauma Cognitive Behavioural Therapy) dimana terapi CBT lebih difokuskan kepada trauma anak. Orang tua sangat berperan terhadap kesembuhan dan perkembangan anak sehingga juga perlu dilakukan CPP (Child Parent Physicotherapy). Terapi PTSD Terapi PTSD sebaiknya dilakukan dengan mencakup 3 hal yaitu pencegahan dengan penanganan langsung setelah terpapar kejadian traumatis (sebelum diagnosa PTSD ditegakkan), kombinasi terapi farmakologi dan nonfarmakologi serta psikoterapi primer pada remaja dan anak. Terapi farmakologi : Anti-depresan (SSRI) merupakan lini pertama karena penurunan serotonin. Beta blocker (propanolol) untuk gejala hyperarousal Anti-konvulsan (carbamazepin; lamortrigine) untuk emosi yang labil Anti-psikotik atipikal (risperidone) digunakan jika pemberian anti depressan pada pasien tidak berefek Alfa 1 blocker untuk mengatasi mimpi buruk dan gangguan tidur Alfa 2 agonis untuk gejala hyperarousal dan mengatasi mimpi buruk Terapi non farmakologi : Psikoterapi kelompok Psikoterapi individu dan keluarga Cognitive behavioural therapy (CBT) Play dan art therapy Hipnotis Teknik relaksasi dan pengendalian kecemasan Halaman 14 dari 15 DAFTAR PUSTAKA 1. Harrington KM, Miller MW, Wolf EJ, Reardon AF, Ryabchenko KA, Ofrat S. Attentiondeficit/hyperactivity disorder comorbidity in a sample of veterans with posttraumatic stress disorder. Compr Psychiatry. 2012 Aug;53(6):679–90. 2. The Comorbidity of Psychotic Symptoms and Posttraumatic Stress Disorder: Evidence for a Specifier in DSM-5. [cited 2014 Nov 15]; Available from: http://www.lsu.edu/psychology/sprl/documents/In%20press%20Vigna%20Reuther %20CSRP.pdf. 3. Shah RR. Impact of comorbid major depressive disorder (mdd) on ptsd severity in toronto transit commission (ttc) employees. University of Toronto. 2012;5:1-114. 4. McLay RN, Ram V, Webb-Murphy J, Baird A, Hickey A, Johnston S. Apparent Comorbidity of Bipolar Disorder in a Population With Combat-Related Post-Traumatic Stress Disorder. Mil Med. 2014 Feb;179(2):157–61. 5. Vaidyanathan U, Patrick CJ, Iacono WG. Who is likely to develop PTSD? A personcentered approach to understanding comorbidity in PTSD. Compr Psychiatry [Internet]. 2011 Nov [cited 2014 Oct 26];52(6). Available from: http://search.proquest.com/docview/1030081997/241BFA68CC904334PQ/3? accountid=48149. 6. Müller M, van deleur C, Rodgers S, Rössler W, Castelao E, Preisig M, et al. Factors associated with comorbidity patterns in full and partial PTSD: Findings from the PsyCoLaus study. Compr Psychiatry. 2014 May;55(4):837–48. 7. Brady KT, Killeen TK, Brewerton T, Lucerini S. Comorbidity of psychiatric disorders and posttraumatic stress disorder. J Clin Psychiatry. 2000;61 Suppl 7:22–32. 8. Abram, Karen M., Linda AT, Devon CK, Sandra LL, Kristin ME, Erin GR, Gary MM, et al. PTSD, Trauma, and Comorbid Psychiatric Disorders in Detained Youth. Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention. 2013. Halaman 15 dari 15