BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka Ada tiga teori yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Teori Keagenan (Agency Theory), Teori sinyal dan Pecking Order Theory : 1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori agency berkaitan dengan masalah kepemilikan perusahaan melalui pembelian saham, menurut Mardiyanto (2009:263) Teori agency adalah ketidakselarasan kepentingan antara perusahaan dan kreditor. Teori ini dikemukakan oleh Michael C. Jensen dan William H. Mecklein pada tahun 1976. Menurut pendekatan ini, struktur modal disusun sedemikian rupa untuk mengurangi konflik antar berbagai kelompok kepentingan. Manajemen merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Para pemegang saham berharap agen akan bertindak atas kepentingan mereka sehingga mendelegasikan wewenang kepada agen. Agency theory menyebutkan bahwa sebagai agen dari pemegang saham, manajer tidak selalu bertindak demi kepentingan pemegang saham. Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan imbalan dan pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan melalui cara-cara seperti pengikatan agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang dapat diambil manajemen (Apriliana Nuzul Rahmawati dan Drs. A. Mulyo Haryanto,Msi, 2010). 7 8 Teori keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih principal ( pemilik ) menyewa orang lain ( agen ) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan wewenang untuk membuat keputusan agen. Dalam teori agensi, principal dan agen mempunyai kepentingan yang berbeda (Yeniatie dan Destriana, 2010). Pada teori keagenan yang dimaksud Prinsipal adalah pemegang saham dan agen adalah manajemen yang mengelola perusahaan. (Wahidahwati, 2002). Menurut Harjito dan Martono (2010:11), mengingat tujuan perusahaan adalah memaksimumkan kemakmuran para pemegang saham yang diterjemahkan sebagai memaksimumkan harga saham, dalam kenyataan tidak jarang manajer perusahaan memiliki tujuan lain yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama tersebut. Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara prinsipal dengan agen. Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak yang bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda, pemilik modal menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik modal, sedangkan manajer juga menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi para manajer (Rizka Putri Indahningrum dan Ratih Handayani, 2009). Konflik kepentingan yang terjadi antara pihak manajer dan pemegang saham dapat diminumkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang mensejajarkan kepentingan terkait, hal ini akan menimbulkan agency cost Godfrey et al. (2010) mengidentifikasi agency cost menjadi 3 kelompok, yaitu (1). Biaya pengawasan yang harus dikeluarkan oleh pemilik (monitoring cost), (2) Biaya yang dikeluarkan agen untuk meyakinkan pemilik (bonding cost), dan (3) 9 biaya pengorbanan akibat berkurangnya kemakmuran pemilik karena perbedaan keputusan antara pemilik dan agen (residual loss) Penyebab lain konflik antara manajer dengan pemegang saham yaitu dalam hal pengambilan keputusan pendanaan. Para pemegang saham hanya peduli terhadap risiko sistematik dari saham perusahaan, karena mereka melakukan investasi pada protofolio yang terdiversifikasi dengan baik. Sedangkan manajer sebaliknya lebih peduli pada resiko perusahaan secara keseluruhan (Yeniatie dan Destriana, 2010). 2. Teori sinyal Teori sinyal adalah sinyal (tanda) yang diberikan oleh manajemen perusahaan kepada investor sebagai petunjuk mengenai prospek perusahaan tersebut (Brigham dan Houston, 2011:186). Signalling theory merupakan langkahlangkah manajemen dari perusahaan yang sebenarnya memberikan petunjuk secara implisit kepada investor tentang bagimana manajemen memandang prospek perusahaan. Pada umumnya perusahaan yang menguntungkan akan menghindari emisi saham baru dan mengusahakan modal baru dengan cara-cara lain termasuk dengan penggunaan hutang yang melebihi target struktur modal yang normal. Perusahaan sering kali menggunakan hutang dalam jumlah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan yang ditentukan oleh struktur modal yang optimal di saat-saat untuk memastikan bahwa perusahaan dapat memperoleh modal hutang jika dibutuhkan (Brigham dan Houston, 2011:186). Informasi asimetris adalah situasi di mana manajer memiliki informasi yang berbeda (lebih 10 baik) tentang prospek perusahaan dibandingkan dengan yang dimiliki oleh investor (Brigham dan Houston, 2011:186). Asymmetric information theory merupakan suatu kondisi dimana manajer perusahaan memiliki lebih banyak informasi tentang operasi dan prospek kedepannya dari perusahaan dibandingkan dengan pihak lainnya (Gitman 2009). Perusahaan dengan prospek yang sangat cerah lebih memilih untuk tidak melakukan pendanaan melalui penawaran saham baru. Sementara perusahaan dengan prospek yang buruk memang menyukai pendanaan dengan ekuitas luar. Secara garis besar pengumuman penawaran saham biasanya dianggap sebagai sinyal (signal) bahwa prospek perusahaan kurang cerah menurut penilaian manajemennya. Selanjutnya, hal ini menunjukkan bahwa ketika perusahaan mengumumkan suatu penawaran saham baru, maka yang lebih sering terjadi, harga sahamnya akan mengalami penurunan (Brigham dan Houston,2011:186) 3. Pecking Order Theory Pecking order theory dikemukakan oleh Donaldson pada tahun 1961, yang membahas urutan pendanaan perusahaan. Teori ini disebut pecking order karena teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan kedudukan sumber dana yang paling disukai. Menurut Brealey, et all (2008 : 25) teori pecking order berbunyi sebagai berikut : a) Perusahaan menyukai pendanaan internal, karena dana ini terkumpul tanpa mengirimkan sinyal sebaliknya yang dapat menurunkan harga saham. 11 b) Jika dana eksternal dibutuhkan, perusahaan menerbitkan utang lebih dahulu dan hanya menerbitkan ekuitas sebagai pilihan terakhir. Pecking order ini muncul karena penerbitan utang tidak terlalu diterjemahkan sebagai pertanda buruk oleh investor bila dibandingkan dengan penerbitan ekuitas. Menurut Myers dan Majluf (1984) dalam Siahaan dan Lubis (2009) menunjukkan urutan pendanaan dimulai dari laba ditahan, hutang dan penerbitan saham (ekuitas) pada urutan terakhir. Laba ditahan adalah sumber dana internal, sedangkan hutang dan ekuitas adalah sumber dana eksternal. Teori ini didasarkan pada argumentasi bahwa penggunaan laba ditahan lebih murah dibandingkan sumber dana eksternal. Penggunaan sumber dana eksternal melalui hutang hanya digunakan jika kebutuhan investasi lebih tinggi dari sumber internal (Sayuthi & Raithari, 2013). Hipotesis pecking order mengambarkan sebuah hierarki dalam pencarian dana perusahaan dimana perusahaan lebih memilih menggunakan internal equity untuk membayar deviden dan mengimplementasikannya sebagai peluang pertumbuhan, dan apabila perusahaan membutuhkan dana eksternal, maka perusahaan akan lebih memilih hutang dibandingkan dengan external equity, yaitu menerbitkan saham baru (Yeniatie dan Destriana, 2010). Myers (1984) dalam Amirya dan Atmini (2008:229) mengemukakan bahwa ada empat hal berkenaan dengan Pecking Order Theory, yaitu: (1) perusahaan lebih mengutamakan sumber dana internal ; (2) perusahaan menyesuaikan target dividend payout ratio terhadap peluang investasi namun 12 menghindari perubahan pembayaran dividen secara drastis ; (3) kebijakan dividen yang ketat, fluktuasi profitabilitas dan peluang investasi yang tak terduga mengakibatkan sumber dana internal melebihi atau bahkan kurang dari kebutuhan investasi. Jika sumber dana internal lebih kecil dari kebutuhan investasi, perusahaan menggunakan saldo kas atau menjual portofolio surat berharga yang dimiliki ; (4) jika pendanaan eksternal diperlukan, perusahaan memilih sumber dana dari hutang karena dipandang lebih aman dari ekuitas. Ekuitas merupakan pilihan terakhir sumber pendanaan. Dalam teori ini perusahaan tidak menentukan target rasio hutang, karena ada dua jenis pendanaan internal yang preferen-sinya berbeda yang bisa dipilih perusahaan, yaitu laba ditahan sampai penerbitan saham baru. Rasio hutang perusahaan akan di-pengaruhi oleh kebutuhan perusahaan untuk melakukan investasi (Pancawati Hardiningsih dan Rachmawati Meita Oktaviani, 2012). 4. Kebijakan Hutang Kebijakan hutang perusahaan adalah “suatu kebijakan yang menunjukan proporsi atas penggunaan hutang dan menentukan sejauh mana hutang diguanakan dalam struktur modal” (Wihananto, 2009). Menurut (Djarwanto,2004:34) hutang merupakan kewajiban perusahaan kepada pihak lain untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang atau jasa paa tanggal tertentu. Hutang merupakan salah satu cara untuk memperoleh dana dari pihak eksternal (kreditur). Menurut Gitman (2000) jangan menggunakan hutang jangka pendek untuk membiayai investasi atau proyek jangka panjang. 13 Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan, pemegang saham lebih menginginkan pendanaan perusahaan yang dibiayai dengan hutang karena dengan penggunaan hutang, hak mereka terhadap perusahaan tidak akan berkurang. Tetapi manajer tidak menyukai pendanaan tersebut karena mengandung resiko yang tinggi (Yeniatie dan Destriana, 2010). Menurut Murni dan Adriana (2007) hutang adalah salah satu mekanisme keputusan pendanaan yang penting dalam mengontrol tindakan para manajer dan dapat mengurangi konflik keagenan dalam perusahaan, dengan adanya hutang maka perusahaan harus membayar secara periodik terhadap bunga dan pinjaman pokoknya. Salah satu sebab timbulnya konflik keagenan antara manajer dan pemegang saham disebabkan oleh keputusan pendanaan. Manajemen perusahaan mempunyai kecenderungan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya pihak lain. Perilaku ini disebut sebagai keterbatasan rasional (bounded rationality). Akan tetapi penggunaan hutang akan meningkatkan resiko, karena apabila perusahaan tidak mampu melunasi hutangnya tersebut maka likuiditas perusahaan akan terancam (Yeniatie dan Destriana, 2010). Namun demikian, hutang juga mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya yaitu, (1) Semakin tinggi rasio hutang (debt ratio) maka akan semakin tinggi pula resiko perusahaan, sehingga suku bunganya mingkin akan lebih tinggi. (2) Jika sebuah perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan laba operasi tidak mencukupi untuk menutup beban bunga, maka pemegang saham harus menutup kekurangan tersebut dan perusahaan akan bangkrut jika pemegang saham tidak 14 mampu memenuhinya. Akan tetapi, perusahaan harus mencari titik keseimbangan sehinggga kerugian manajer-pemilik maupun kreditur dapat diminimalkan dengan estimasi debt to equity ratio yang mengoptimalkan nilai perusahaan ketika biaya keagenan dari penambahan hutang sama dengan biaya keagenan ekuitas (Myers 1984 dan Astutuk 2007 dalam Diana dan Irianto 2008) 5. Kepemilikan Manajerial Menurut Rustendi dan Jimmy (2008) kepemilikan manajerial adalah presentase saham yang menunjukkan besarnya suatu kepemilikan yang dimiliki oleh manajer dan direksi suatu perusahaan. Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency conflict. Menurut Sartono (2010:10) konflik keagenan dalam perusahaan dapat terjadi dimana manajernya memiliki saham kurang dari seratus persen. Konflik kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan pentingnya suatu mekanisme yang diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham. Menurut Haruman (2008) mekanisme pengawasan terhadap manajemen tersebut dapat menimbulkan suatu biaya yang disebut biaya keagenan atau agency cost. Indahnigrum (2009) menyebutkan bahwa salah satu alternatif untuk mengurangi agency cost adalah dengan cara meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen, sehingga dapat mensejajarkan kepentingan antara pemilik dan manajer. Semakin meningkatnya kepemilikan manajerial akan menyebabkan penggunaan hutang untuk mendanai kebutuhan dana perusahaan semakin rendah, 15 karena manajer tersebut akan turut merasakan dampak dari pengambilan keputusan yang dibuatnya sebagai salah satu pemegang saham perusahaan, manajer akan semakin berhati-hati dalam penggunaan hutang. Hal ini dapat menyamakan kepentingan manajer dan pemegang saham sehingga dapat mengurangi konflik keagenan (Yeniatie dan Destriana, 2010). Menurut Cipta (2008) juga menambahkan bahwa teori keagenan digunakan untuk mengatasi dua masalah yang terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama, masalah keagenan timbul pada saat keinginan principal dan agent saling berlawanan dan merupakan hal yang sulit bagi principal untuk melakukan verifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua, masalah pembagian dalam menanggung resiko yang timbul dimana principal dan agent memiliki sikap yang berbeda terhadap resiko. Dalam hubungan keagenan tersebut terdapat pemisahan antara kepemilikan pihak principal dengan pengendali (agent) dimana perusahaan yang memisahkan fungsinya antara pengelolaan dengan fungsi kepemilikan akan mengakibatkan munculnya manajer bertindak oportunistik. Berdasarkan penjelasan di atas, Cipta (2008) menyimpulkan bahwa struktur kepemilikan manajerial berperan sebagai sebuah instrumen atau alat untuk mengurangi konflik keagenan diantara berbagai klaim (claim holders) terhadap perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan meningkatkan kepemilikan manajerial untuk mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan adanya kepemilikan manajerial, maka para agent termotivasi untuk meningkatkan nilai perusahaan. 16 6. Kepemilikan Institusional Institusi merupakan lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan, dalam hal ini termasuk investasi saham. Pada umumnya, institusi menyerahkan tanggung jawab kepada divisi tertentu untuk mengelola investasi perusahaan. Keberadaan institusi yang memantau secara profesional perkembangan investasinya menyebabkan tingkat pengendalian terhadap tindakan manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan (Lastanti, 2005). Kepemilikan Institusional adalah kepemilikan saham oleh pemerintah, institusi keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri, dana perwalian dan institusi lainnya pada akhir tahun (Shien, et. al dalam Winanda 2009). Dengan adanya kepemilikan institusional di suatu perusahaan akan mendorong peningkatan pengawasan terhadap kinerja manajemen agar lebih optimal. Hal ini disebabkan kepemilikan saham institusional memiliki kekuatan atau wewenang yang memungkinkan untuk mendukung atau menolak kinerja manajerial perusahaan. Menurut Shleifer and Vishny (dalam Barnae dan Rubin, 2005) bahwa instansi-instansi dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Winanda (2009) menyimpulkan bahwa semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. Semakin besar kekuatan suara dan 17 dorongan dari institusi keuangan tersebut untuk mengawasi manajemen akibatnya akan memberikan dorongan yang lebih besar untuk mengoptimalkan nilai perusahaan sehingga kinerja perusahaan akan meningkat. Pengaruh investor institusional terhadap manajemen perusahaan dapat menjadi sangat penting serta dapat digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham (Solomon dalam Yuniningsih, 2010). Hal ini disebabkan apabila tingkat kepemilikan manajerial tinggi, dapat menimbulkan masalah pertahanan yang berdampak buruk pada perusahaan, dapat diartikan juga bahwa apabila kepemilikan manajerial tinggi, maka para manajer memiliki posisi yang kuat untuk melakukan suatu kontrol terhadap perusahaan dan pihak pemegang saham eksternal akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan tindakan para manajer tersebut. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi tindakan manajer dalam melakukan manajemen laba. Hal tersebut dikarenakan investor institusional merupakan investor yang bepengalaman dan memiliki informasi yang memadai tentang perusahaan sehingga manipulasi laba yang disebabkan oleh adanya asimetri informasi dapat dikurangi. Selain itu biasanya investor institusional lebih mementingkan kinerja perusahaan jangka panjang sehingga manajer tidak akan mempunyai insentif untuk mengatur laba sekarang. 18 7. Pertumbuhan Penjualan Menurut Brigham dan Houston (2010), Bagi perusahaan dengan tingkat penjualan dan laba yang tinggi kecenderungan perusahaan tersebut menggunakan utang sebagai sumber dana eksternal yang lebih besar dibandingkan perusahaanperusahaan yang tingkat penjualannya rendah. Pertumbuhan penjualan mencerminkan prospek perusahaan dengan horizon lebih pendek dari pada pertumbuhan total aktiva. Variabel pertumbuhan penjualan digunakan oleh Carleton dan Silberman (1997) dalam Amirya dan Atmini (2008:231) didasarkan pada argumen bahwa pertumbuhan penjualan mencerminkan tingkat produktivitas terpasang yang siap beroperasi serta mencerminkan kapasitas saat ini yang dapat diserap pasar dan mencerminkan daya saing perusahaan dalam pasar. Pertumbuhan penjualan juga mencerminkan manifestasi keberhasilan investasi periode masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi pertumbuhan masa yang akan datang. Pertumbuhan penjualan merupakan indikator permintaan dan daya saing perusahaan dalam suatu industry (Sayuthi dan Raithari, 2013). Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pertumbuhan penjualan perusahaan maka semakin besar pula penggunaan modal pinjaman (Eko Supriyanto dan Falikhatun, 2008). Tingkat pertumbuhan penjualan merupakan ukuran sampai sejauh mana laba per saham dari suatu perusahaan dapat ditingkatkan oleh leverage. Jika penjualan dan laba setiap tahun meningkat, maka 19 pembiayaan dengan utang dengan beban tetap tertentu akan meningkatkan pendapatan pemilik saham Weston dan Copeland, (1997). 8. Pertumbuhan Perusahaan Pertumbuhan perusahaan merupakan gambaran bagaimana perkembangan usaha yang dilakukan periode sekarang dibandingkan dengan periode sebelumnya. Suatu perusahaan yang mengalami pertumbuhan yang tinggi bearti perusahaan tersebut berhasil meningkatkan nilai perusahaan untuk menghasilkan keuntungan/laba (Pancawati Hardiningsih dan Rachmawati Meita Oktaviani, 2012). Suatu Perusahaan yang sedang berada pada tahap pertumbuhan akan membutuhkan dana yang besar sehingga cenderung untuk menekan sebagian besar pendapatannya. Semakin besar pendapatan ditahan dalam perusahaan bearti makin rendah deviden yang dibayarkan kepada para pemegang saham (Makmun 2003 dalam Murni dan Adriana 2007). Yeniatie dan Destriana (2010) Pertumbuhan perusahaan yang besar mempunyai pengaruh yang positif terhadap hutang perusahaan, karena suatu perusahaan yang sedang berada pada tahap pertumbuhan akan membutuhkan dana yang besar untuk melakukan ekspansi. Hal ini akan mendorong manajer untuk menggunakan hutang dalam membiayai kebutuhan dana tersebut. Steven dan Lina (2011) Tingkat pertumbuhan suatu perusahaaan mengindikasikan bahwa perusahaan sedang mengadakan ekspansi, dan pengadaan ekspansi ini membutuhkan dana yang besar. Bringham dan Gapensky (1996) dalam Murni dan Andriana (2007) menyatakan bahwa perusahaan yang sedang 20 tumbuh membutuhkan sumber dana ekstern yang lebih besar. Oleh karena itu, perusahaan akan mengadakan dana tersebut dengan berbagai cara, diantaranya dengan hutang dan menggunakan laba ditahan. Bringham dan Gapensky (1996) Indahningrum dan Handayani (2009) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi cenderung membutuhkan dana dari sumber ekstern yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan teori pecking order yang menetapkan suatu urutan keputusan pendanaan dimana para manajer pertama kali akan memilih untuk mengunakan laba ditahan, hutang dan penerbitan saham sebagai pilihan terakhir (Mamduh, 2004). Yeniatie dan Destriana (2010) juga menyatakan semakin tinggi pertumbuhan perusahaan maka penggunaaan hutang untuk membiayai kebutuhan dana perusahaan akan semakin besar. 9. Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan sangat bergantung terhadap besar kecilnya suatu perusahaan. Besar kecilnya suatu perusahaan sangat bergantung kepada struktur modal, karena berkaitan dengan kemampuan perusahaan tersebut dalam memperoleh pinjaman (Soesetio, 2008). Menurut Haruman (2008) ukuran perusahaan (SIZE) berhubungan dengan fleksibilitas dan kemampuan untuk mendapatkan dana dan memperoleh laba dengan melihat pertumbuhan penjualan perusahaan. Menurut Sienly dan Bram (2008:75), ukuran perusahaan adalah nilai penjualan bersih perusahaan selama satu tahun tertentu. Karena nilai penjualan bersih perusahaan cukup besar, maka dalam pengukurannya dikonverikan dalam 21 logaritma natural. Menurut Brigham dan Houston (2009:117), mengemukakan bahwa ukuran perusahaan merupakan rata-rata penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun, dalam hal ini penjualan lebih besar dari pada biaya variabel dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan sebelum pajak. Sebaliknya jika penjualan lebih kecil dari pada biaya variabel dan biaya tetap maka perusahaan akan menderita kerugian. Menurut Imam Subekti dan Novi Wulandari (2004), ukuran perusahaan dapat dilihat dari total asset yang dimiliki perusahaan atau total aktiva perusahaan yang tercantum pada laporan keuangan perusahaan selama akhir periode yang telah diaudit. Ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya asset yang dimiliki oleh perusahaan. Besar kecilnya perusahaan dapat diukur berdasarkan total penjualan, total nilai buku asset, nilai total aktiva dan jumlah tenaga kerja. Ukuran perusahaan dapat dilihat dari total asset yang dimliki perusahaan atau total aktiva perusahaan yang tercantum pada laporan keuangan perusahaan selama akhir periode yang telah diaudit. B. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan tentang berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan hutang sudah banyak dilakukan oleh beberapa para peneliti dengan hasil yang berbeda-beda. Penelitian tersebut antara lain : 1) Penelitian dilakukan oleh Yeniatie dan Destriana (2010) Sampel sebanyak 120 perusahaan nonkeuangan ang terdaftar di BEI tahun 2005-2007. Analisis yang digunakan yaitu regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan kepemilikan 22 manajerial, kebijakan dividen, risiko bisnis tidak berpengaruh terhadap kebijakan hutang. Sementara kepemilikan institusional, profitabilitas berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang. Sedangkan struktur aset dan pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang. 2) Eko Supriyanto dan Falikhatun (2008) Sampel penelitian adalah 11 perusahaan food and beverage di BEJ periode 1998-2005. Penelitian menggunakan regresi berganda dengan metode OLS. Hasil dari penelitian menunjukkan tangibility, pertumbuhan penjualan, dan ukuran perusahaan positif signifikan terhadap struktur keuangan yang diukur dengan debt to total assets (DTA). 3) Penelitian yang dilakukan oleh Steven dan Lina Beberapa analisis regresi digunakan untuk menguji hipotesis dan metode purposive sampling digunakan untuk mengambil sampel. kesimpulan dari penelitian ini dibagi kebijakan dividen, struktur aktiva dan profitabilitas mempengaruhi kebijakan hutang perusahaan. sementara investasi, pertumbuhan perusahaan, manajer kepemilikan tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang perusahaan. 4) Hasil penelitian Rizka Putri Indahningrum dan Ratih Handayani (2009) Penelitian ini menggunakan sampel 31 perusahaan manufaktur dan perusahaan non manufaktur 2005-2007, kecuali perusahaan keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling. mendapatkan keuntungan dan memiliki rasio pembayaran dividen. metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda . hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan insider , dibagi pembayaran dan variabel pertumbuhan perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan 23 hutang. Disisi lain investor institusional , profitabilitas, dan arus kas bebas berpengaruh terhadap kebijakan utang. 5) Penelitian yang dilakukan Pancawati Hardiningsih Rachmawati Meita Oktaviani (2012). Penelitian ini Menggunakan 135 sampel perusahaan manufaktur. Hasil analisis menunjukkan bahwa keempat variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel DER sementara itu dua variabel bebas lainnya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap DER. Profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap hutang, pertumbuhan perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap utang, struktur aktiva perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap hutang, saldo laba ditahan berpengaruh negative signifikan terhadap hutang, sementara free cash flow dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap hutang. 6) Penelitian yang dilakukan Sayuthi dan Raithari (2013) Penelitian ini dilakukan pada manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada 2007-2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan, leverage operasi, dan tarif pajak tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan dengan menggunakan pendekatan Pecking Order Theory pada perusahaan manufaktur di BEI 2007-2010. Tabel.2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu Ringkasan beberpa penelitian sebelumnya dapat dilihat pada table: No 1 Peneliti dan Variabel Tahun Penelitian Yeniatie dan Faktor-Faktor Destriana, 2010 yang Mempengaruhi Kebijakan Hutang Hasil Penelitian kepemilikan manajerial, kebijakan dividen, risiko bisnis tidak berpengaruh terhadap kebijakan hutang. Sementara kepemilikan 24 2 3 4 5 pada Perusahaan Nonkeuangan yang Terdaftar di BEI institusional, profitabilitas berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang. Sedangkan struktur aset dan pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang. Eko Supriyanto Pengaruh dan Falikhatun, Tangibility, 2008 Pertumbuhan Penjualan dan Ukuran Perusahaan terhadap Struktur Keuangan Steven dan Lina, Faktor-Faktor 2011 Yang Mempengaruhi Kebijakan Hutang Perusahaan Manufaktur Hasil dari penelitian menunjukkan tangibility, pertumbuhan penjualan, dan ukuran perusahaan positif signifikan terhadap struktur keuangan yang diukur dengan debt to total assets (DTA). Rizka Putri Indahningrum dan Ratih Handayani, 2009 kepemilikan insider , dibagi pembayaran dan variabel pertumbuhan perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan hutang. Disisi lain investor institusional , profitabilitas, dan arus kas bebas berpengaruh terhadap kebijakan utang. Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Dividen, Pertumbuhan Perusahaan, Free Cash Flow, Dan Profitabilitas Terhadap Kebijakan Hutang Pancawati Determinants of Hardiningsih Debt Policy (In Rachmawati Agency Theory Meita Oktaviani, and Pecking 2012 Order Theory. kebijakan dividen, struktur aktiva dan profitabilitas mempengaruhi kebijakan hutang perusahaan. sementara investasi, pertumbuhan perusahaan, manajer kepemilikan tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang perusahaan. Profitabilitas, dan struktur aktiva perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap hutang, pertumbuhan perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap utang, saldo laba ditahan berpengaruh negative signifikan terhadap hutang, sementara free cash flow dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap hutang. 25 6 dan Pertumbuhan Sayuthi Raithari, 2013 Penjualan, Operating Leverage, dan Tax Rate Terhadap Kebijkan Hutang dengan pendekatan Pecking Order Theory pertumbuhan penjualan, leverage operasi, dan tarif pajak tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan dengan menggunakan pendekatan Pecking Order Theory pada perusahaan manufaktur di BEI 2007-2010. C. Rerangka Pemikiran Kerangka berpikir tersebut dianalisis secara kritis dan sistematis sehingga menghasilkan sintesa (kesimpulan sementara yang menerangkan hubungan antar variabel yang diteliti) yang selanjutnya digunakan untuk merumuskan hipotesis. Variabel Independen Kepemilikan Manajerial Kepemilikan Institusional Pertumbuhan Penjualan Pertumbuhan Perusahaan Ukuran Perusahaan Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran Kebijakan Hutang 26 D. Hipotesis 1. Pengaruh kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap kebjakan hutang Dengan kepemilikan saham oleh manajer, mka manajer akan dapat merasakan secara langsung akibat dari pengambilan keputusan yang diambil sehingga manajer tidak mungkin bertindak secara opurtunistik lagi (Masdupi, 2005). Langkah memberikan kepemilikan saham bagi para manajer ditunjukan untuk menarik tindakan manajer agar mendekati kepentingan pemegang saham terutama untuk memaksimalkan harga saham (Murni dan Andriana, 2007). Adanya perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen akan selalu menjadi konflik yang terus terjadi dalam perusahaan. Pihak prinsipal fokus terhadap kesejahteraan pribadinya melalui pembagian dividen yang diperoleh. Sedangkan pihak agen akan komisi atas kerja kerasnya dalam menjalankan operasional perusahaan. Tujuan ini terkadang saling berlawanan. Pihak pemilik sering kali tidak dapat merealisasikan dividen atas modal ketika perusahaan dibawah control manajemen telah menggunakan hutang yang relatif tinggi. Kas seharusnya dibagikan menjadi dividen justru digunakan membayar hutang beserta bunganya. Dari sinilah konflik kepentingan mulai terjadi. Dalam menyelaraskan kepentingan kedua belah pihak maka langkah yang bisa diambil salah satunya dengan peningkatan kepemilikan saham oleh pihak manajerial. Dengan peningkatan ini diharapkan pihak manajemen juga akan merasa memiliki perusahaan serta merasakan langsung akibat atas pengambilan keputusan yang 27 kurang tepat. Penelitian Zulhawati (2004) menunjukkan hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan kebijakan hutang. H 1 : Kepemilikan manajerial berhubungan negatif terhadap kebijakan hutang. 2. Pengaruh kepemilikan institusional terhadap kebijakan hutang Kepemilikan institusional dapat mempengaruhi keputusan pencarian dana apakah melalui hutang atau right issue. Jika pendanaan diperoleh melalui hutang berarti rasio hutang terhadap ekuitas akan meningkat, sehingga akhirnya akan meningkatkan risiko. Kebijakan hutang yang tinggi menyebabkan perusahaan dimonitor oleh pihak debtholders sehingga kondisi ini akan menarik masuknya kepentingan institusional. Penggunaan hutang yang kurang proporsional juga akan menurunkan nilai perusahaan dan meningkatkan risiko, oleh karena itu manajer akan berhatihati dalam penggunanan hutang. Semakin tinggi kepemilikan institusional maka diharapkan semakin kuat kontrol internal terhadap perusahaan dimana akan dapat mengurangi biaya keagenan pada perusahaan serta penggunaan hutang yang kurang tepat oleh manajer. Penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Masdupi (2005) yang menujukkan variabel kepemilikan institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap kebijakan hutang perusahaan dan begitu pula dengan penelitian Yeniatie dan Nichen (2010) yang menunjukan terdapat pengaruh negative antara variabel kepemilikan institusional dengan Kebijakan Hutang. 28 H 2 : Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang. 3. Pengaruh pertumbuhan penjualan terhadap kebijakan hutang Pertumbuhan penjualan mencerminkan tingkat produktivitas terpasang yang siap beroperasi serta mencerminkan kapasitas saat ini yang dapat diserap pasar dan mencerminkan daya saing perusahaan dalam pasar, Kaaro (2001) dalam Amirya dan Atmini (2008:231) menemukan bahwa pertumbuhan penjualan berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang. Pertumbuhan penjualan yang tinggi tentunya akan membuat perusahaan itu lebih menggunakan pendanaan internal yang berupa laba ditahan dari pada pendanaan eksternal sehingga cenderung menurunkan hutang dan sebaliknya perusahaan akan menggunakan hutang jika pertumbuhan penjualan perusahaan tersebut rendah. Perusahaan yang memiliki penerimaan tinggi, berarti memiliki kemampuan pendanaan internal yang tinggi. Sesuai dengan teori pecking order, perusahaan akan memilih pendanaan internal terlebih dahulu kemuadian hutang dan saham sebagai pilihan terakhir. Penelitian yang dilakukan oleh Amirya dan Atmini (2008) menunjukkan hasil bahwa pertumbuhan penjualan negatif terhadap hutang. H 3 : Pertumbuhan penjualan berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang. 4. Pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap kebijakan hutang Menurut Brigham dan Gapenski (1996), pertumbuhan perusahaan yang tinggi membutuhkan sumber dana dari pihak eksternal yang lebih besar 29 Perusahaan harus memilih sumber pendanaan dengan biaya paling murah. Biaya emisi penjualan saham biasa akan melebihi biaya hutang. Oleh karena itu mendorong perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan tinggi untuk lebih mengandalkan pendanaan yang bersumber pada hutang. Perusahaan harus memilih sumber pendanaan dengan biaya paling murah. Biaya emisi penjualan saham biasa akan melebihi biaya hutang. Oleh karena itu mendorong perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan tinggi untuk lebih mengandalkan pendanaan yang bersumber pada hutang. Hasil penelitian Murni dan Andriana (2007) menunjukan bahwa pertumbuhan perusahaan berpengaruh negative terhadap kebijakan hutang. Pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang. Semakin tinggi pertumbuhan perusahaan maka penggunaaan hutang untuk membiayai kebutuhan dana perusahaan akan semakin besar. H 4 : Pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang. 5. Pengaruh ukuran perusahaaan terhadap kebijakan hutang Ukuran perusahaan merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan perusahaan dalam menentukan kebijakan hutangnya. Semakin besarnya ukuran perusahaan maka kebutuhan akan dana juga akan semakin besar yang salah satunya dapat berasal dari pendanaan eksternal yaitu hutang. Perusahaan besar memiliki keuntungan aktivitas serta lebih dikenal oleh publik dibandingkan dengan perusahaan kecil sehingga kebutuhan hutang perusahaan yang besar akan lebih tinggi dari perusahaan kecil (Smith, 1996 dalam Mulianti, 2009). 30 Moh’d et. Al (1998) dan Ghosh (2000) adalah dengan adanya penelitian Tarjo (2005), dan Prabowo (2006) yang mengemukakan bahwa adanya hubungan yang positif antara ukuran perusahaan dengan kebijkan hutang. Karena menurut Tarjo dan Prabowo ukuran perusahaan merupakan factor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan hutang perusahaan. H 5 : Pengaruh ukuran perusahaan berpengaruh postif terhadap kebijakan hutang.