7 BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
Ada tiga teori yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Teori Keagenan
(Agency Theory), Teori sinyal dan Pecking Order Theory :
1.
Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori agency berkaitan dengan masalah kepemilikan perusahaan
melalui pembelian saham, menurut Mardiyanto (2009:263) Teori agency adalah
ketidakselarasan kepentingan antara perusahaan dan kreditor. Teori ini
dikemukakan oleh Michael C. Jensen dan William H. Mecklein pada tahun 1976.
Menurut pendekatan ini, struktur modal disusun sedemikian rupa untuk
mengurangi
konflik
antar
berbagai
kelompok
kepentingan.
Manajemen
merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Para
pemegang saham berharap agen akan bertindak atas kepentingan mereka sehingga
mendelegasikan wewenang kepada agen.
Agency theory menyebutkan bahwa sebagai agen dari pemegang saham,
manajer tidak selalu bertindak demi kepentingan pemegang saham. Untuk dapat
melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan imbalan dan
pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan melalui cara-cara
seperti pengikatan agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap
keputusan yang dapat diambil manajemen (Apriliana Nuzul Rahmawati dan Drs.
A. Mulyo Haryanto,Msi, 2010).
7
8
Teori keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih
principal ( pemilik ) menyewa orang lain ( agen ) untuk melakukan beberapa jasa
untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan wewenang untuk membuat
keputusan agen. Dalam teori agensi, principal dan agen mempunyai kepentingan
yang berbeda (Yeniatie dan Destriana, 2010). Pada teori keagenan yang dimaksud
Prinsipal adalah pemegang saham dan agen adalah manajemen yang mengelola
perusahaan. (Wahidahwati, 2002).
Menurut Harjito dan Martono (2010:11), mengingat tujuan perusahaan
adalah memaksimumkan kemakmuran para pemegang saham yang diterjemahkan
sebagai memaksimumkan harga saham, dalam kenyataan tidak jarang manajer
perusahaan memiliki tujuan lain yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama
tersebut. Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara prinsipal dengan
agen. Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak
yang bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda, pemilik modal menghendaki
bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik modal, sedangkan manajer
juga menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi para manajer (Rizka Putri
Indahningrum dan Ratih Handayani, 2009).
Konflik kepentingan yang terjadi antara pihak manajer dan pemegang
saham dapat diminumkan dengan suatu mekanisme pengawasan
yang
mensejajarkan kepentingan terkait, hal ini akan menimbulkan agency cost
Godfrey et al. (2010) mengidentifikasi agency cost menjadi 3 kelompok, yaitu
(1). Biaya pengawasan yang harus dikeluarkan oleh pemilik (monitoring cost), (2)
Biaya yang dikeluarkan agen untuk meyakinkan pemilik (bonding cost), dan (3)
9
biaya pengorbanan akibat berkurangnya kemakmuran pemilik karena perbedaan
keputusan antara pemilik dan agen (residual loss)
Penyebab lain konflik antara manajer dengan pemegang saham yaitu
dalam hal pengambilan keputusan pendanaan. Para pemegang saham hanya peduli
terhadap risiko sistematik dari saham perusahaan, karena mereka melakukan
investasi pada protofolio yang terdiversifikasi dengan baik. Sedangkan manajer
sebaliknya lebih peduli pada resiko perusahaan secara keseluruhan (Yeniatie dan
Destriana, 2010).
2.
Teori sinyal
Teori sinyal adalah sinyal (tanda) yang diberikan oleh manajemen
perusahaan kepada investor sebagai petunjuk mengenai prospek perusahaan
tersebut (Brigham dan Houston, 2011:186). Signalling theory merupakan langkahlangkah manajemen dari perusahaan yang sebenarnya memberikan petunjuk
secara implisit kepada investor tentang bagimana manajemen memandang
prospek perusahaan. Pada umumnya perusahaan yang menguntungkan akan
menghindari emisi saham baru dan mengusahakan modal baru dengan cara-cara
lain termasuk dengan penggunaan hutang yang melebihi target struktur modal
yang normal.
Perusahaan sering kali menggunakan hutang dalam jumlah yang lebih
sedikit jika dibandingkan dengan yang ditentukan oleh struktur modal yang
optimal di saat-saat untuk memastikan bahwa perusahaan dapat memperoleh
modal hutang jika dibutuhkan (Brigham dan Houston, 2011:186). Informasi
asimetris adalah situasi di mana manajer memiliki informasi yang berbeda (lebih
10
baik) tentang prospek perusahaan dibandingkan dengan yang dimiliki oleh
investor (Brigham dan Houston, 2011:186). Asymmetric information theory
merupakan suatu kondisi dimana manajer perusahaan memiliki lebih banyak
informasi tentang operasi dan prospek kedepannya dari perusahaan dibandingkan
dengan pihak lainnya (Gitman 2009).
Perusahaan dengan prospek yang sangat cerah lebih memilih untuk
tidak melakukan pendanaan melalui penawaran saham baru. Sementara
perusahaan dengan prospek yang buruk memang menyukai pendanaan dengan
ekuitas luar. Secara garis besar pengumuman penawaran saham biasanya
dianggap sebagai sinyal (signal) bahwa prospek perusahaan kurang cerah menurut
penilaian manajemennya. Selanjutnya, hal ini menunjukkan bahwa ketika
perusahaan mengumumkan suatu penawaran saham baru, maka yang lebih sering
terjadi,
harga
sahamnya
akan
mengalami
penurunan
(Brigham
dan
Houston,2011:186)
3.
Pecking Order Theory
Pecking order theory dikemukakan oleh Donaldson pada tahun 1961,
yang membahas urutan pendanaan perusahaan. Teori ini disebut pecking order
karena teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan kedudukan
sumber dana yang paling disukai. Menurut Brealey, et all (2008 : 25) teori
pecking order berbunyi sebagai berikut :
a)
Perusahaan menyukai pendanaan internal, karena dana ini terkumpul tanpa
mengirimkan sinyal sebaliknya yang dapat menurunkan harga saham.
11
b)
Jika dana eksternal dibutuhkan, perusahaan menerbitkan utang lebih
dahulu dan hanya menerbitkan ekuitas sebagai pilihan terakhir. Pecking
order ini muncul karena penerbitan utang tidak terlalu diterjemahkan
sebagai pertanda buruk oleh investor bila dibandingkan dengan penerbitan
ekuitas.
Menurut Myers dan Majluf (1984) dalam Siahaan dan Lubis (2009)
menunjukkan urutan pendanaan dimulai dari laba ditahan, hutang dan penerbitan
saham (ekuitas) pada urutan terakhir. Laba ditahan adalah sumber dana internal,
sedangkan hutang dan ekuitas adalah sumber dana eksternal. Teori ini didasarkan
pada argumentasi bahwa penggunaan laba ditahan lebih murah dibandingkan
sumber dana eksternal. Penggunaan sumber dana eksternal melalui hutang hanya
digunakan jika kebutuhan investasi lebih tinggi dari sumber internal (Sayuthi &
Raithari, 2013).
Hipotesis pecking order mengambarkan sebuah hierarki dalam
pencarian dana perusahaan dimana perusahaan lebih memilih menggunakan
internal equity untuk membayar deviden dan mengimplementasikannya sebagai
peluang pertumbuhan, dan apabila perusahaan membutuhkan dana eksternal,
maka perusahaan akan lebih memilih hutang dibandingkan dengan external
equity, yaitu menerbitkan saham baru (Yeniatie dan Destriana, 2010).
Myers (1984) dalam Amirya dan Atmini (2008:229) mengemukakan
bahwa ada empat hal berkenaan dengan Pecking Order Theory, yaitu: (1)
perusahaan lebih mengutamakan sumber dana internal ; (2) perusahaan
menyesuaikan target dividend payout ratio terhadap peluang investasi namun
12
menghindari perubahan pembayaran dividen secara drastis ; (3) kebijakan dividen
yang ketat, fluktuasi profitabilitas dan peluang investasi yang tak terduga
mengakibatkan sumber dana internal melebihi atau bahkan kurang dari kebutuhan
investasi. Jika sumber dana internal lebih kecil dari kebutuhan investasi,
perusahaan menggunakan saldo kas atau menjual portofolio surat berharga yang
dimiliki ; (4) jika pendanaan eksternal diperlukan, perusahaan memilih sumber
dana dari hutang karena dipandang lebih aman dari ekuitas. Ekuitas merupakan
pilihan terakhir sumber pendanaan.
Dalam teori ini perusahaan tidak menentukan target rasio hutang,
karena ada dua jenis pendanaan internal yang preferen-sinya berbeda yang bisa
dipilih perusahaan, yaitu laba ditahan sampai penerbitan saham baru. Rasio
hutang perusahaan akan di-pengaruhi oleh kebutuhan perusahaan untuk
melakukan investasi (Pancawati Hardiningsih dan Rachmawati Meita Oktaviani,
2012).
4.
Kebijakan Hutang
Kebijakan
hutang
perusahaan
adalah
“suatu
kebijakan
yang
menunjukan proporsi atas penggunaan hutang dan menentukan sejauh mana
hutang diguanakan dalam struktur modal” (Wihananto, 2009).
Menurut (Djarwanto,2004:34) hutang merupakan kewajiban perusahaan
kepada pihak lain untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang atau
jasa paa tanggal tertentu. Hutang merupakan salah satu cara untuk memperoleh
dana dari pihak eksternal (kreditur). Menurut Gitman (2000) jangan menggunakan
hutang jangka pendek untuk membiayai investasi atau proyek jangka panjang.
13
Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan, pemegang saham lebih menginginkan
pendanaan perusahaan yang dibiayai dengan hutang karena dengan penggunaan
hutang, hak mereka terhadap perusahaan tidak akan berkurang. Tetapi manajer
tidak menyukai pendanaan tersebut karena mengandung resiko yang tinggi
(Yeniatie dan Destriana, 2010).
Menurut Murni dan Adriana (2007) hutang adalah salah satu
mekanisme keputusan pendanaan yang penting dalam mengontrol tindakan para
manajer dan dapat mengurangi konflik keagenan dalam perusahaan, dengan
adanya hutang maka perusahaan harus membayar secara periodik terhadap bunga
dan pinjaman pokoknya. Salah satu sebab timbulnya konflik keagenan antara
manajer dan pemegang saham disebabkan oleh keputusan pendanaan. Manajemen
perusahaan mempunyai kecenderungan untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan biaya pihak lain. Perilaku ini disebut sebagai
keterbatasan rasional (bounded rationality). Akan tetapi penggunaan hutang akan
meningkatkan resiko, karena apabila perusahaan tidak mampu melunasi
hutangnya tersebut maka likuiditas perusahaan akan terancam (Yeniatie dan
Destriana, 2010).
Namun demikian, hutang juga mempunyai beberapa kelemahan,
diantaranya yaitu, (1) Semakin tinggi rasio hutang (debt ratio) maka akan semakin
tinggi pula resiko perusahaan, sehingga suku bunganya mingkin akan lebih tinggi.
(2) Jika sebuah perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan laba operasi tidak
mencukupi untuk menutup beban bunga, maka pemegang saham harus menutup
kekurangan tersebut dan perusahaan akan bangkrut jika pemegang saham tidak
14
mampu memenuhinya. Akan tetapi, perusahaan harus mencari titik keseimbangan
sehinggga kerugian manajer-pemilik maupun kreditur dapat diminimalkan dengan
estimasi debt to equity ratio yang mengoptimalkan nilai perusahaan ketika biaya
keagenan dari penambahan hutang sama dengan biaya keagenan ekuitas (Myers
1984 dan Astutuk 2007 dalam Diana dan Irianto 2008)
5.
Kepemilikan Manajerial
Menurut Rustendi dan Jimmy (2008) kepemilikan manajerial adalah
presentase saham yang menunjukkan besarnya suatu kepemilikan yang dimiliki
oleh manajer dan direksi suatu perusahaan. Berdasarkan teori keagenan,
perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan
timbulnya konflik yang biasa disebut agency conflict.
Menurut Sartono (2010:10) konflik keagenan dalam perusahaan dapat
terjadi dimana manajernya memiliki saham kurang dari seratus persen. Konflik
kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan pentingnya suatu mekanisme
yang diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham. Menurut
Haruman (2008) mekanisme pengawasan terhadap manajemen tersebut dapat
menimbulkan suatu biaya yang disebut biaya keagenan atau agency cost.
Indahnigrum (2009) menyebutkan bahwa salah satu alternatif untuk mengurangi
agency cost adalah dengan cara meningkatkan kepemilikan saham perusahaan
oleh manajemen, sehingga dapat mensejajarkan kepentingan antara pemilik dan
manajer.
Semakin meningkatnya kepemilikan manajerial akan menyebabkan
penggunaan hutang untuk mendanai kebutuhan dana perusahaan semakin rendah,
15
karena manajer tersebut akan turut merasakan dampak dari pengambilan
keputusan yang dibuatnya sebagai salah satu pemegang saham perusahaan,
manajer akan semakin berhati-hati dalam penggunaan hutang. Hal ini dapat
menyamakan kepentingan manajer dan pemegang saham sehingga dapat
mengurangi konflik keagenan (Yeniatie dan Destriana, 2010).
Menurut Cipta (2008) juga menambahkan bahwa teori keagenan
digunakan untuk mengatasi dua masalah yang terjadi dalam hubungan keagenan.
Pertama, masalah keagenan timbul pada saat keinginan principal dan agent saling
berlawanan dan merupakan hal yang sulit bagi principal untuk melakukan
verifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua, masalah
pembagian dalam menanggung resiko yang timbul dimana principal dan agent
memiliki sikap yang berbeda terhadap resiko. Dalam hubungan keagenan tersebut
terdapat pemisahan antara kepemilikan pihak principal dengan pengendali (agent)
dimana perusahaan yang memisahkan fungsinya antara pengelolaan dengan fungsi
kepemilikan akan mengakibatkan munculnya manajer bertindak oportunistik.
Berdasarkan penjelasan di atas, Cipta (2008) menyimpulkan bahwa struktur
kepemilikan manajerial berperan sebagai sebuah instrumen atau alat untuk
mengurangi konflik keagenan diantara berbagai klaim (claim holders) terhadap
perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan meningkatkan kepemilikan manajerial
untuk mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga
bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan adanya kepemilikan
manajerial, maka para agent termotivasi untuk meningkatkan nilai perusahaan.
16
6.
Kepemilikan Institusional
Institusi merupakan lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap
investasi yang dilakukan, dalam hal ini termasuk investasi saham. Pada umumnya,
institusi menyerahkan tanggung jawab kepada divisi tertentu untuk mengelola
investasi perusahaan. Keberadaan institusi yang memantau secara profesional
perkembangan investasinya menyebabkan tingkat pengendalian terhadap tindakan
manajemen sangat tinggi sehingga potensi kecurangan dapat ditekan (Lastanti,
2005).
Kepemilikan Institusional adalah kepemilikan saham oleh pemerintah,
institusi keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri, dana perwalian
dan institusi lainnya pada akhir tahun (Shien, et. al dalam Winanda 2009).
Dengan adanya kepemilikan institusional di suatu perusahaan akan mendorong
peningkatan pengawasan terhadap kinerja manajemen agar lebih optimal. Hal ini
disebabkan kepemilikan saham institusional memiliki kekuatan atau wewenang
yang memungkinkan untuk mendukung atau menolak kinerja manajerial
perusahaan.
Menurut Shleifer and Vishny (dalam Barnae dan Rubin, 2005) bahwa
instansi-instansi dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk
memantau pengambilan keputusan perusahaan. Begitu pula penelitian yang
dilakukan oleh Winanda (2009) menyimpulkan bahwa semakin besar kepemilikan
oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan
untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. Semakin besar kekuatan suara dan
17
dorongan dari institusi keuangan tersebut untuk mengawasi manajemen akibatnya
akan memberikan dorongan yang lebih besar untuk mengoptimalkan nilai
perusahaan sehingga kinerja perusahaan akan meningkat. Pengaruh investor
institusional terhadap manajemen perusahaan dapat menjadi sangat penting serta
dapat digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang
saham (Solomon dalam Yuniningsih, 2010). Hal ini disebabkan apabila tingkat
kepemilikan manajerial tinggi, dapat menimbulkan masalah pertahanan yang
berdampak buruk pada perusahaan, dapat diartikan juga bahwa apabila
kepemilikan manajerial tinggi, maka para manajer memiliki posisi yang kuat
untuk melakukan suatu kontrol terhadap perusahaan dan pihak pemegang saham
eksternal akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan tindakan para manajer
tersebut.
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan
pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat
mengurangi tindakan manajer dalam melakukan manajemen laba. Hal tersebut
dikarenakan investor institusional merupakan investor yang bepengalaman dan
memiliki informasi yang memadai tentang perusahaan sehingga manipulasi laba
yang disebabkan oleh adanya asimetri informasi dapat dikurangi. Selain itu
biasanya investor institusional lebih mementingkan kinerja perusahaan jangka
panjang sehingga manajer tidak akan mempunyai insentif untuk mengatur laba
sekarang.
18
7.
Pertumbuhan Penjualan
Menurut Brigham dan Houston (2010), Bagi perusahaan dengan tingkat
penjualan dan laba yang tinggi kecenderungan perusahaan tersebut menggunakan
utang sebagai sumber dana eksternal yang lebih besar dibandingkan perusahaanperusahaan yang tingkat penjualannya rendah.
Pertumbuhan penjualan mencerminkan prospek perusahaan dengan
horizon lebih pendek dari pada pertumbuhan total aktiva. Variabel pertumbuhan
penjualan digunakan oleh Carleton dan Silberman (1997) dalam Amirya dan
Atmini (2008:231) didasarkan pada argumen bahwa pertumbuhan penjualan
mencerminkan tingkat produktivitas terpasang yang siap beroperasi serta
mencerminkan kapasitas saat ini yang dapat diserap pasar dan mencerminkan
daya saing perusahaan dalam pasar. Pertumbuhan penjualan juga mencerminkan
manifestasi keberhasilan investasi periode masa lalu dan dapat dijadikan sebagai
prediksi pertumbuhan masa yang akan datang. Pertumbuhan penjualan merupakan
indikator permintaan dan daya saing perusahaan dalam suatu industry (Sayuthi
dan Raithari, 2013).
Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pertumbuhan penjualan
perusahaan maka semakin besar pula penggunaan modal pinjaman (Eko
Supriyanto dan Falikhatun, 2008). Tingkat pertumbuhan penjualan merupakan
ukuran sampai sejauh mana laba per saham dari suatu perusahaan dapat
ditingkatkan oleh leverage. Jika penjualan dan laba setiap tahun meningkat, maka
19
pembiayaan dengan utang dengan beban tetap tertentu akan meningkatkan
pendapatan pemilik saham Weston dan Copeland, (1997).
8.
Pertumbuhan Perusahaan
Pertumbuhan
perusahaan
merupakan
gambaran
bagaimana
perkembangan usaha yang dilakukan periode sekarang dibandingkan dengan
periode sebelumnya. Suatu perusahaan yang mengalami pertumbuhan yang tinggi
bearti perusahaan tersebut berhasil meningkatkan nilai perusahaan untuk
menghasilkan keuntungan/laba (Pancawati Hardiningsih dan Rachmawati Meita
Oktaviani, 2012).
Suatu Perusahaan yang sedang berada pada tahap pertumbuhan akan
membutuhkan dana yang besar sehingga cenderung untuk menekan sebagian
besar pendapatannya. Semakin besar pendapatan ditahan dalam perusahaan bearti
makin rendah deviden yang dibayarkan kepada para pemegang saham (Makmun
2003 dalam Murni dan Adriana 2007). Yeniatie dan Destriana (2010)
Pertumbuhan perusahaan yang besar mempunyai pengaruh yang positif terhadap
hutang perusahaan, karena suatu perusahaan yang sedang berada pada tahap
pertumbuhan akan membutuhkan dana yang besar untuk melakukan ekspansi. Hal
ini akan mendorong manajer untuk menggunakan hutang dalam membiayai
kebutuhan dana tersebut.
Steven dan Lina (2011) Tingkat pertumbuhan suatu perusahaaan
mengindikasikan bahwa perusahaan sedang mengadakan ekspansi, dan pengadaan
ekspansi ini membutuhkan dana yang besar. Bringham dan Gapensky (1996)
dalam Murni dan Andriana (2007) menyatakan bahwa perusahaan yang sedang
20
tumbuh membutuhkan sumber dana ekstern yang lebih besar. Oleh karena itu,
perusahaan akan mengadakan dana tersebut dengan berbagai cara, diantaranya
dengan hutang dan menggunakan laba ditahan. Bringham dan Gapensky (1996)
Indahningrum dan Handayani (2009) menyatakan bahwa perusahaan yang
memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi cenderung membutuhkan dana dari
sumber ekstern yang lebih besar.
Hal ini sesuai dengan teori pecking order yang menetapkan suatu
urutan keputusan pendanaan dimana para manajer pertama kali akan memilih
untuk mengunakan laba ditahan, hutang dan penerbitan saham sebagai pilihan
terakhir (Mamduh, 2004). Yeniatie dan Destriana (2010) juga menyatakan
semakin tinggi pertumbuhan perusahaan maka penggunaaan hutang untuk
membiayai kebutuhan dana perusahaan akan semakin besar.
9.
Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan sangat bergantung terhadap besar kecilnya suatu
perusahaan. Besar kecilnya suatu perusahaan sangat bergantung kepada struktur
modal, karena berkaitan dengan kemampuan perusahaan tersebut dalam
memperoleh pinjaman (Soesetio, 2008). Menurut Haruman (2008) ukuran
perusahaan (SIZE) berhubungan dengan fleksibilitas dan kemampuan untuk
mendapatkan dana dan memperoleh laba dengan melihat pertumbuhan penjualan
perusahaan.
Menurut Sienly dan Bram (2008:75), ukuran perusahaan adalah nilai
penjualan bersih perusahaan selama satu tahun tertentu. Karena nilai penjualan
bersih perusahaan cukup besar, maka dalam pengukurannya dikonverikan dalam
21
logaritma natural. Menurut Brigham dan Houston (2009:117), mengemukakan
bahwa ukuran perusahaan merupakan rata-rata penjualan bersih untuk tahun yang
bersangkutan sampai beberapa tahun, dalam hal ini penjualan lebih besar dari
pada biaya variabel dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan
sebelum pajak. Sebaliknya jika penjualan lebih kecil dari pada biaya variabel dan
biaya tetap maka perusahaan akan menderita kerugian.
Menurut Imam Subekti dan Novi Wulandari (2004), ukuran perusahaan
dapat dilihat dari total asset yang dimiliki perusahaan atau total aktiva perusahaan
yang tercantum pada laporan keuangan perusahaan selama akhir periode yang
telah diaudit.
Ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya asset yang
dimiliki oleh perusahaan. Besar kecilnya perusahaan dapat diukur berdasarkan
total penjualan, total nilai buku asset, nilai total aktiva dan jumlah tenaga kerja.
Ukuran perusahaan dapat dilihat dari total asset yang dimliki perusahaan atau total
aktiva perusahaan yang tercantum pada laporan keuangan perusahaan selama
akhir periode yang telah diaudit.
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan tentang berbagai faktor-faktor yang
mempengaruhi kebijakan hutang sudah banyak dilakukan oleh beberapa para
peneliti dengan hasil yang berbeda-beda. Penelitian tersebut antara lain :
1)
Penelitian dilakukan oleh Yeniatie dan Destriana (2010) Sampel sebanyak 120
perusahaan nonkeuangan ang terdaftar di BEI tahun 2005-2007. Analisis yang
digunakan yaitu regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan kepemilikan
22
manajerial, kebijakan dividen, risiko bisnis tidak berpengaruh terhadap
kebijakan
hutang.
Sementara
kepemilikan
institusional,
profitabilitas
berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang. Sedangkan struktur aset dan
pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang.
2)
Eko Supriyanto dan Falikhatun (2008) Sampel penelitian adalah 11 perusahaan
food and beverage di BEJ periode 1998-2005. Penelitian menggunakan regresi
berganda dengan metode OLS. Hasil dari penelitian menunjukkan tangibility,
pertumbuhan penjualan, dan ukuran perusahaan positif signifikan terhadap
struktur keuangan yang diukur dengan debt to total assets (DTA).
3)
Penelitian yang dilakukan oleh Steven dan Lina Beberapa analisis regresi
digunakan untuk menguji hipotesis dan metode purposive sampling digunakan
untuk mengambil sampel. kesimpulan dari penelitian ini dibagi kebijakan
dividen, struktur aktiva dan profitabilitas mempengaruhi kebijakan hutang
perusahaan.
sementara
investasi,
pertumbuhan
perusahaan,
manajer
kepemilikan tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang perusahaan.
4)
Hasil penelitian Rizka Putri Indahningrum dan Ratih Handayani (2009)
Penelitian ini menggunakan sampel 31 perusahaan manufaktur dan perusahaan
non manufaktur 2005-2007, kecuali perusahaan keuangan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia yang dipilih dengan menggunakan metode purposive
sampling. mendapatkan keuntungan dan memiliki rasio pembayaran dividen.
metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda .
hasilnya menunjukkan bahwa kepemilikan insider , dibagi pembayaran dan
variabel pertumbuhan perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan
23
hutang. Disisi lain investor institusional , profitabilitas, dan arus kas bebas
berpengaruh terhadap kebijakan utang.
5)
Penelitian yang dilakukan Pancawati Hardiningsih Rachmawati Meita
Oktaviani (2012). Penelitian ini Menggunakan 135 sampel perusahaan
manufaktur. Hasil analisis menunjukkan bahwa keempat variabel bebas
berpengaruh signifikan terhadap variabel DER sementara itu dua variabel
bebas lainnya tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap DER.
Profitabilitas berpengaruh positif signifikan terhadap hutang, pertumbuhan
perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap utang, struktur aktiva
perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap hutang, saldo laba ditahan
berpengaruh negative signifikan terhadap hutang, sementara free cash flow dan
kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap hutang.
6)
Penelitian yang dilakukan Sayuthi dan Raithari (2013) Penelitian ini dilakukan
pada manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada 2007-2010. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan penjualan, leverage operasi, dan
tarif pajak tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang perusahaan
dengan menggunakan pendekatan Pecking Order Theory pada perusahaan
manufaktur di BEI 2007-2010.
Tabel.2.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu
Ringkasan beberpa penelitian sebelumnya dapat dilihat pada table:
No
1
Peneliti
dan Variabel
Tahun
Penelitian
Yeniatie
dan Faktor-Faktor
Destriana, 2010 yang
Mempengaruhi
Kebijakan Hutang
Hasil Penelitian
kepemilikan manajerial, kebijakan
dividen, risiko
bisnis tidak
berpengaruh terhadap kebijakan
hutang. Sementara kepemilikan
24
2
3
4
5
pada Perusahaan
Nonkeuangan
yang Terdaftar di
BEI
institusional,
profitabilitas
berpengaruh
negatif
terhadap
kebijakan
hutang.
Sedangkan
struktur aset dan pertumbuhan
perusahaan berpengaruh positif
terhadap kebijakan hutang.
Eko Supriyanto Pengaruh
dan Falikhatun, Tangibility,
2008
Pertumbuhan
Penjualan
dan
Ukuran
Perusahaan
terhadap Struktur
Keuangan
Steven dan Lina, Faktor-Faktor
2011
Yang
Mempengaruhi
Kebijakan Hutang
Perusahaan
Manufaktur
Hasil dari penelitian menunjukkan
tangibility, pertumbuhan penjualan,
dan ukuran perusahaan positif
signifikan
terhadap
struktur
keuangan yang diukur dengan debt
to total assets (DTA).
Rizka
Putri
Indahningrum
dan
Ratih
Handayani,
2009
kepemilikan insider , dibagi
pembayaran
dan
variabel
pertumbuhan perusahaan tidak
memiliki
pengaruh
terhadap
kebijakan hutang. Disisi lain
investor
institusional
,
profitabilitas, dan arus kas bebas
berpengaruh terhadap kebijakan
utang.
Pengaruh
Kepemilikan
Manajerial,
Kepemilikan
Institusional,
Dividen,
Pertumbuhan
Perusahaan, Free
Cash Flow, Dan
Profitabilitas
Terhadap
Kebijakan Hutang
Pancawati
Determinants of
Hardiningsih
Debt Policy (In
Rachmawati
Agency
Theory
Meita Oktaviani, and
Pecking
2012
Order Theory.
kebijakan dividen, struktur aktiva
dan profitabilitas mempengaruhi
kebijakan hutang perusahaan.
sementara investasi, pertumbuhan
perusahaan, manajer kepemilikan
tidak
berpengaruh
terhadap
kebijakan utang perusahaan.
Profitabilitas, dan struktur aktiva
perusahaan berpengaruh positif
signifikan
terhadap
hutang,
pertumbuhan
perusahaan
berpengaruh negatif signifikan
terhadap utang, saldo laba ditahan
berpengaruh negative signifikan
terhadap hutang, sementara free
cash flow dan kepemilikan
manajerial
tidak
berpengaruh
signifikan terhadap hutang.
25
6
dan Pertumbuhan
Sayuthi
Raithari, 2013
Penjualan,
Operating
Leverage,
dan
Tax
Rate
Terhadap
Kebijkan Hutang
dengan
pendekatan
Pecking
Order
Theory
pertumbuhan penjualan, leverage
operasi, dan tarif pajak tidak
berpengaruh signifikan terhadap
kebijakan
hutang
perusahaan
dengan menggunakan pendekatan
Pecking Order Theory pada
perusahaan manufaktur di BEI
2007-2010.
C. Rerangka Pemikiran
Kerangka berpikir tersebut dianalisis secara kritis dan sistematis
sehingga menghasilkan sintesa (kesimpulan sementara yang menerangkan
hubungan antar variabel yang diteliti) yang selanjutnya digunakan untuk
merumuskan hipotesis.
Variabel Independen
Kepemilikan
Manajerial
Kepemilikan
Institusional
Pertumbuhan
Penjualan
Pertumbuhan
Perusahaan
Ukuran
Perusahaan
Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran
Kebijakan
Hutang
26
D. Hipotesis
1.
Pengaruh kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap kebjakan
hutang
Dengan kepemilikan saham oleh manajer, mka manajer akan dapat
merasakan secara langsung akibat dari pengambilan keputusan yang diambil
sehingga manajer tidak mungkin bertindak secara opurtunistik lagi (Masdupi,
2005). Langkah memberikan kepemilikan saham bagi para manajer ditunjukan
untuk menarik tindakan manajer agar mendekati kepentingan pemegang saham
terutama untuk memaksimalkan harga saham (Murni dan Andriana, 2007).
Adanya perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen akan selalu
menjadi konflik yang terus terjadi dalam perusahaan. Pihak prinsipal fokus
terhadap kesejahteraan pribadinya melalui pembagian dividen yang diperoleh.
Sedangkan pihak agen akan komisi atas kerja kerasnya dalam menjalankan
operasional perusahaan. Tujuan ini terkadang saling berlawanan. Pihak pemilik
sering kali tidak dapat merealisasikan dividen atas modal ketika perusahaan
dibawah control manajemen telah menggunakan hutang yang relatif tinggi. Kas
seharusnya dibagikan menjadi dividen justru digunakan membayar hutang beserta
bunganya. Dari sinilah konflik kepentingan mulai terjadi. Dalam menyelaraskan
kepentingan kedua belah pihak maka langkah yang bisa diambil salah satunya
dengan peningkatan kepemilikan saham oleh pihak manajerial. Dengan
peningkatan ini diharapkan pihak manajemen juga akan merasa memiliki
perusahaan serta merasakan langsung akibat atas pengambilan keputusan yang
27
kurang tepat. Penelitian Zulhawati (2004) menunjukkan hubungan negatif antara
kepemilikan manajerial dengan kebijakan hutang.
H 1 : Kepemilikan manajerial berhubungan negatif terhadap kebijakan
hutang.
2.
Pengaruh kepemilikan institusional terhadap kebijakan hutang
Kepemilikan institusional dapat mempengaruhi keputusan pencarian
dana apakah melalui hutang atau right issue. Jika pendanaan diperoleh melalui
hutang berarti rasio hutang terhadap ekuitas akan meningkat, sehingga akhirnya
akan meningkatkan risiko. Kebijakan hutang yang tinggi menyebabkan
perusahaan dimonitor oleh pihak debtholders sehingga kondisi ini akan menarik
masuknya kepentingan institusional.
Penggunaan hutang yang kurang proporsional juga akan menurunkan
nilai perusahaan dan meningkatkan risiko, oleh karena itu manajer akan berhatihati dalam penggunanan hutang. Semakin tinggi kepemilikan institusional maka
diharapkan semakin kuat kontrol internal terhadap perusahaan dimana akan dapat
mengurangi biaya keagenan pada perusahaan serta penggunaan hutang yang
kurang tepat oleh manajer. Penelitian ini mendukung hasil penelitian yang
dilakukan oleh Masdupi (2005) yang menujukkan variabel kepemilikan
institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap kebijakan hutang perusahaan
dan begitu pula dengan penelitian Yeniatie dan Nichen (2010) yang menunjukan
terdapat pengaruh negative antara variabel kepemilikan institusional dengan
Kebijakan Hutang.
28
H 2 : Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap kebijakan
hutang.
3.
Pengaruh pertumbuhan penjualan terhadap kebijakan hutang
Pertumbuhan penjualan mencerminkan tingkat produktivitas terpasang
yang siap beroperasi serta mencerminkan kapasitas saat ini yang dapat diserap
pasar dan mencerminkan daya saing perusahaan dalam pasar, Kaaro (2001) dalam
Amirya dan Atmini (2008:231) menemukan bahwa pertumbuhan penjualan
berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang. Pertumbuhan penjualan yang
tinggi tentunya akan membuat perusahaan itu lebih menggunakan pendanaan
internal yang berupa laba ditahan dari pada pendanaan eksternal sehingga
cenderung menurunkan hutang dan sebaliknya perusahaan akan menggunakan
hutang jika pertumbuhan penjualan perusahaan tersebut rendah.
Perusahaan yang memiliki penerimaan tinggi, berarti memiliki
kemampuan pendanaan internal yang tinggi. Sesuai dengan teori pecking order,
perusahaan akan memilih pendanaan internal terlebih dahulu kemuadian hutang
dan saham sebagai pilihan terakhir. Penelitian yang dilakukan oleh Amirya dan
Atmini (2008) menunjukkan hasil bahwa pertumbuhan penjualan negatif terhadap
hutang.
H 3 : Pertumbuhan penjualan berpengaruh negatif terhadap kebijakan
hutang.
4.
Pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap kebijakan hutang
Menurut Brigham dan Gapenski (1996), pertumbuhan perusahaan yang
tinggi membutuhkan sumber dana dari pihak eksternal yang lebih besar
29
Perusahaan harus memilih sumber pendanaan dengan biaya paling murah. Biaya
emisi penjualan saham biasa akan melebihi biaya hutang. Oleh karena itu
mendorong perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan tinggi untuk lebih
mengandalkan pendanaan yang bersumber pada hutang. Perusahaan harus
memilih sumber pendanaan dengan biaya paling murah. Biaya emisi penjualan
saham biasa akan melebihi biaya hutang. Oleh karena itu mendorong perusahaan
yang sedang mengalami pertumbuhan tinggi untuk lebih mengandalkan
pendanaan yang bersumber pada hutang.
Hasil penelitian Murni dan Andriana (2007) menunjukan bahwa
pertumbuhan perusahaan berpengaruh negative terhadap kebijakan hutang.
Pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang. Semakin
tinggi pertumbuhan perusahaan maka penggunaaan hutang untuk membiayai
kebutuhan dana perusahaan akan semakin besar.
H 4 : Pertumbuhan perusahaan berpengaruh positif terhadap kebijakan
hutang.
5.
Pengaruh ukuran perusahaaan terhadap kebijakan hutang
Ukuran perusahaan merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan
perusahaan dalam menentukan kebijakan hutangnya. Semakin besarnya ukuran
perusahaan maka kebutuhan akan dana juga akan semakin besar yang salah
satunya dapat berasal dari pendanaan eksternal yaitu hutang. Perusahaan besar
memiliki keuntungan aktivitas serta lebih dikenal oleh publik dibandingkan
dengan perusahaan kecil sehingga kebutuhan hutang perusahaan yang besar akan
lebih tinggi dari perusahaan kecil (Smith, 1996 dalam Mulianti, 2009).
30
Moh’d et. Al (1998) dan Ghosh (2000) adalah dengan adanya penelitian
Tarjo (2005), dan Prabowo (2006) yang mengemukakan bahwa adanya hubungan
yang positif antara ukuran perusahaan dengan kebijkan hutang. Karena menurut
Tarjo
dan Prabowo ukuran perusahaan merupakan factor yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan hutang perusahaan.
H 5 : Pengaruh ukuran perusahaan berpengaruh postif terhadap
kebijakan hutang.
Download