View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini
yang dilakukan pada anak-anak yang dirawat di RSGMP
Tamalanrea pada 25 Februari-23 April 2013, jumlah sampel yang diperoleh sebanyak
100 anak yang melakukan kunjungan perawatan di RSGMP.
Penelitian ini mengambil anak usia 3-12 tahun sebagai subyek penelitian
dengan pertimbangan bahwa anak pada usia ini mengalami erupsi gigi sulung dan
permanen dan memperlihatkan kuantitas serta kualitas pengalaman perawatan gigi
yang berpengaruh terhadap perilaku anak pada perawatn gigi dan mulut
Dari data diperoleh 100 anak yang terdiri dari 54 laki-laki dan 46 perempuan
pada usia 3-12 tahun, sehingga dapat disimpulkan frekuens tertinggii yang
berkunjung ke RSGMP adalah laki-laki. (lihat tabel 1)
Data diperoleh 100 anak yang terdiri dari usia 3 tahun hingga 12 tahun
,dipeoleh data presentasi tertinggi pada usia 9 tahun yakni 21 %, usia 7 tahun yakni
16 %, 8 tahun yakni 14%. Dari hasil penelitian ini disimpulkan usia 5-10 tahun
membutuhkan perawatan gigi dan mulut. Menurut penelitian Darwita yang dikutip
oleh Sari 19, masa kanak-kanak pertengahan 6-12 tahun sering disebut sebagai masamasa yang rawan, karena pada masa itulah gigi susu mulai tanggal satu persatu dan
gigi permanen pertama mulai tumbuh (usia 6-8 tahun). Dengan adanya variasi gigi
susu dan gigi permanen bersama-sama di dalam mulut, menandai masa gigi
37
campuran pada anak. Gigi yang baru tumbuh tersebut belum matang sehingga rentan
terhadap kerusakan gigi sehingga perlu dilakukan perawatan 14 (lihat tabel 2).
Pada tabel 3 menunjukkan diagnoda perilaku anak, diperoleh diagnosa
perilaku 88% kooperatif, pemalu/penakut 9 %, keras kepala 1%, tegang 1%, histeris
0%, cengeng 1% dan tidak mampu kooperatif 0%. Anak memilki cara pendekatan
tersendiri yang berbeda dan memilki cara berkomunikasi yang berbeda pula,
begitupula saat berhadapan dengan perawatan gigi dan mulut. Ada yang bersikap
koopertatif, cengeng, keras kepala, tegang, pemalu/penakut, histeri maupun tidak
mampu kooperatif, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor dari dalam, luar anak itu
sendiri dan faktor dari dokter gigi yang menyebabakan timbulnya perilaku anak pada
saat perawatan. Diagnosa perilaku pada anak yang dirawat di RSGMP terbanyak
adalah kooperatif sebesar 88 %. Hal yang paling mendukung timbulnya perilaku
kooperatif anak pada saat perawatan adalah sikap dari operator disebabkan anak dan
operator telah memilki hubungan yang baik sebelum perawatan sehingga timbul
perilaku rileks pada anak yang menjadikan kooperatif pada saat perawatan. Adapun
perilaku lainnya yang merupakan potensial kooperatif disebabkan oleh kurangnya
kemampuan adaptasi anak pada ruang perawatan dan tidak adanya pengalaman
perawatan sebelumnya. Menurut Wilson
15
pentingnya komunikasi yang baik anatar
pasien dengan operator untuk membantu prognosisi yang baik yang akan
mempengaruhi pada proses perawatan anak-anak sehingga komunikasi yang baik
pada anak dapat membantu anak beradaptasi pada perawatan. Perilaku potensial
kooperatif seperti penakut/pemalu ,cengeng, keras kepala dan tegang trata-rata hanya
38
terjadi pada kunjungan pertama ataupun kedua hal tersebut disebabkan anak telah
mampu beradaptasi pada lingkungan perawatan. Penelitian yang dilakuakan oleh
Gustafsson
16
menunjukkan dari 871 anak yang dilakukan perawatan 96 anak atau
11% membatalkan perawataan gigi dan mulutnya
akibat perilaku negatif anak
terhadap perawatan.
Menurut penelitian Liddell dan Murray17 yang menyebutkan bahwa anak
yang pernah mendapatkan pengalaman dalam perawatan gigi sebelumnya cenderung
tidak begitu cemas dibandingkan dengan anak yang sebelumnya belum pernah sama
sekali mengalami pengalaman perawatan ke dokter gigi. Hal ini dikuatkan dengan
pengamatan Locker dan Liddell
18
yang mengemukakan bahwa terdapat status
kecemasan perawatan gigi dan pengalaman negatif misalnya rasa sakit.16,17
Pada tabel 4 menunjukkan tingkat kooperatif berdasarkan jenis kelamin
diperoleh diagnosa perilaku 88% kooperatif, tingkat kooperatif anak terbagi atas tiga
yakni, rendah, sedang dan tinggi. Dari 88% kooperatif terdapat 40 anak kooperatif
rendah,46 anak kooperatif sedang dan dua anak kooperatif tinggi. Dari 46 anak lakilaki dan 42 anak perempuan diperoleh 40 anak kooperatif rendah yang terdiri 14 lakilaki dan 26 perempuan, 46 kooperatif sedang yang terdiri 31 anak laki-laki , dua
kooperatif tinggi yang terdiri satu laki-laki dan satu perempuan . Hal ini dapat
disimpulkan tingkat kooperatif anak pada perawatan gigi dan mulut masih rendah
ataupun sedang.
39
Pada tabel 5 menunjukkan tingkat kooperatif anak berdasarkan usia diperoleh
data hubungkan antara perilaku anak dengan kunjungan. Pada kunjungan pertama
diperolah kooperatif 56%, keras kepala 1%, tegang 1%, pemalu/penakut 6 %,
cengeng 1 %, histeris 0% dan tidak mampu kooperatif 0%. Sedangkan kunjugan
kedua diperoleh data koopertif 17%, pemalu/penakut 3% dan perilaku lainnya 0%.
Hal ini dapat disimpulkan pada kunjungan pertama terdapat variasi perilaku anak
(lihat tabel 5) disebabkan pada kunjungan pertama
kemampuan adaptasi anak
terhadap lingkungan perawatan, pengalaman pertama menyebabakan kecemasan
pada anak sehingga menyebabakan perilaku potensial koopertif ataupun tidak
mampu kooperatif pada anak, sikap operator juga mempengaruhi perilaku anak dan
penampilan dari rumah sakit atau klinik.
Pada tabel 6 menunjukkan
hubungan diagnosa perilaku anak dengan
kunjungan perawatan. Berdasarkan kunjngan perawatan gigi dan mulut anak
diperoleh kunjungan pertama yakni 65% sehingga terdapat berbagai macam perilaku
anak baik kooperatif, potensial kooperatif ataupu tidak mampu kooperatif akan
dijumpai pada kunjungan pertama. Penelitian yang dilakukan oleh Versloot et al
5
melaporkan pengalaman perawatan sebelumnya atauapun pengenalan lebih dini
terhadap perawatan gigi dan mulut mempengaruhi perilaku anak dalam perawatan.
Kunjungan pertama untuk anak seringkali hanyalah merupakan kunjungan
perkenalan yaitu memperkenalkan anak kepada dokter gigi dan lingkungan klinik 5.
40
Download