APLIKASI BALANCED SCORECARD UNTUK ORGANISASI PUBLIK Trio Handoko ABSTRAKSI Semula Balanced Scorecard dikembangkan sebagai sistem pengukuran kinerja pada organisasi bisnis, sekarang telah berkembang menjadi sistem manajemen strategi. Pendekatan ini dapat diadopsi untuk manajemen publik. Balanced Scorecard dapat membuka wawasan dalam pengembangan pola berpikir strategik yang diperlukan dalam perencanaan dan pengelolaan pemerintahan. Pembahasan dimulai dari konsep dan arti pentingnya perencanaan strategik, dilanjutkan dengan sistematika perencanaan strategik sampai dengan pengendaliannya melalui pengukuran dan penilaian kinerja. Beberapa pendekatan dan pengukuran kinerja strategik organisasi publik yang diadopsi dari Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja organisasi publik. Berdasarkan Balanced Scorecard, perencanaan dan pelaksanaan program maupun anggaran pemerintah harus difokuskan pada upaya untuk mencapai misi organisasi publik, misalnya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Implementasi pendekatan ini menuntut adanya identifikasi dan pengembangan kinerja organisasi yang komprehensif pada semua level ke dalam empat perspektif (financial, customer, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan). Ini harus didukung dengan sistem pelaporan akuntabilitas kepada publik yang merupakan prasyarat bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kata kunci: Strategic planning, organisasi publik, dan Balanced Scorecard. PENDAHULUAN Yang dimaksud dengan organisasi publik disini adalah organisasi milik pemerintah atau yang mendapatkan dan memanfaatkan pendanaan yang bersumber dari dana publik yang biasanya dianggarkan oleh pemerintah baik melalui APBN maupun APBD, serta memiliki fungsi untuk memberikan layanan kepada masyarakat. Pada masa reformasi ini, proses perencanaan stratejik sangat diperlukan, karena organisasi publik ini berhadapan dengan lingkungan yang senantiasa berubah drastik, yang tentu saja juga menuntut perubahan paradigma dalam system manajemennya. Hasil proses stratejik planning berfungsi sebagai penuntun setiap pimpinan dan karyawan organisasi untuk mencapai tujuan jangka panjang (Nurcholis, 2001). Balanced Scorecard, yang pertama kali diperkenalakan oleh Kaplan dan Norton (1992), semula merupakan pendekatan dalam pengukuran kinerja manajemen perusahaan. Dalam perkembangan berikutnya ternyata pendekatan ini dapat diterapkan sebagai suatu sistem manajemen stratejik karena Balanced Scorecard dapat menuntut manajemen dan anggota organisasi dalam mengejawantahkan visi,misi dan strategi organisasi ke dalam tindakan-tindakan nyata. Untuk dapat mencapai tujuan stratejik suatu organisasi (Kaplan & Norton, 1996). Selanjutnya pendekatan Balanced Scorecard dapat pula diterapkan pada organisasi sektor pemerintahan (Wahyudi, 2000). Tulisan ini mencoba membahas konsep perencanaan stratejik dengan menggunakan pendekatan Balanced Scorecard dan mencoba mengimplementasikannya pada organisasi publik. Pembahasan meliputi konsep dan arti pentingnya strategic planning, sistematika perencanaan stratejik, pengendaliannya melalui penguuran dan penilaian kinerja, dan pendekatan pengukuran kinerja stratejik instansi pemerintah yang diadopsi dari Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabiliats Kinerja Instansi Pemerintah (LAN, 1999). STRATEGI DAN MANAJEMEN STRATEGI Menurut Robert N. Antoni (1992:107) Strategi dapat bermacam-macam, tetapi biasanya suatu strategi akan mengatakan macam produk jasa yang dijual, sumber daya dan teknologi yang akan digunakan dalam produksi, metode koordinasi yang digunakan untuk semua usaha dan rencana yang dapat berjalan efektif dan efisien dan macam tindakan yang akan dilakukan. Strategi meliputi perumusan strategi dan penerapan strategi. Perumusan strategi merupakan kegiatan penting para manajer senior, menurut Andews (1971:hal 41) mengatakan bahwa para perancang strategi mempertimbangkan empat pertanyaan yaitu : Apa yang mungkin kita lakukan? Apa yang dapat kita lakukan? Apa yang ingin kita lakukan? Apa yang seharusnya kita lakukan?. Perumusan strategi merupakan pemilihan metode jangka panjang untuk pelaksanaan atau persaingan dan dimaksudkan sebagai jalan menuju sukses mencapai tujuan organisasi. Penerapan strategi adalah pelaksanaan strategi yang telah dirumuskan. Program-program kerja harus direncanakan dalam proses strategic planning dan bahkan harus dapat dirumuskan atau diidentifikasi ukuran kinerjanya. Kegagalan dalam merumuskan ukuran kinerja yang sesuai seringkali menjadi penyebab kegagalan organisasi dalam mencapai misinya. Manajemen strategjik, menurut Pierce dan Robinson (1996) didefinisi sebagai sekumpulan keputusan dan tindakan yang menghasilkan formulasi dan implementasi rencanarencana yang ditujukan untuk mencapai sasaran organisasi. Gambar 1 Kerangka Manajemen Stratejik Menurut Piece dan Robinson Misi Perusahaan Mungkin? Lingkungan Eksternal Profil Perusahaan -Jauh -Industri (Global & Domestik) -Operasional Dikehendaki? Analisis & Pilihan Strategi Sasaran Jangka Panjang Strategi umum Sasaran Tahunan Strategi Operasional Kebijakan Umpan Balik Melembagakan strategi Keterangan: Dampak Besar Dampak Kecil Pengendalian dan Evaluasi Sumber: Pearce & Robinson (2000:40) Umpan Balik Pelembagaan strategi yang dimaksudkan adalah implementasi strategi melalui pemilihan dan penerapan struktur organisasi yang sesuai, implementasi gaya kepemimpinan yang sesuai, dan pembentukan kultur organisasi dan system imbalan yang dapat mendorong pencapaian kinerja stratejik. Kinerja stratejik adalah kinerja yang menunjukkan pencapaian misi organisasi. Sedangkan pengukuran kinerja dalam perspektif strategi ini harus dipandang sebagai bentuk pencapaian tujuan organisasi yang dispesifikasikan ke dalam bentuk pengukuran kinerja yang terprogram dan terkuantifikasi, yang diperlukan untuk pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap hasil yang hendak dicapai sebagai suatu siklus berkelanjutan dalam mempertahankan keberadaan organisasi (Triadji, 2000). Cara berpikir seperti itu merupakan implementasi sistem manajemen stratejik, yakni suatu sistem yang dipergunakan untuk membangun “masa depan” suatu organisasi dengan cara memetakan rute perjalanan yang akan ditempuh oleh organiasi tersebut dalam mewujudkan visi dan mencapai misi organisasi. Gambar 2 Sistem Manajemen Strategik Perumusan Strategi Strategi Perencanaan Strategi Rencana Strategi : -Strategic Objectives -Targets -Strategic Initatives Penyusunan Program Program (Long-Range Plan) Penyusunan Anggaran Anggaran (Sari-Range Plan) Total Business Planning Strategic Managemen System Implementasi Pengendalian Sumber: Mulyadi & Setyawan (1999:308) Menurut Mulyadi dan Setyawan (1999:307) sistem manajemen strategjik meliputi enam tahap utama yakni : (1) perumusan strategi, (2) perencanaan strategi, (3) penyusunan program, (4) penyusunan anggaran, (5) implementasi, dan (6) pengendalian. Sistematika ini digambarkan pada Gambar 2. Dari keenam tahap tersebut, strategic planning merupakan tahap yang paling crucial karena merupakan tahap awal penjabaran strategi ke dalam langkah-langkah operasional. Dikatakan demikian, karena dalam strategi planning salah satunya harus menghasilkan rumusan misi, yang dalam sistem manajemen stratejik hal tersebut harus merupakan pemicu utama dalam setiap perencanaan dan implementasi program atau proyek. STRATEGIC PLANNING OTONOMI DAERAH Dalam tahun-tahun mendatang ini agenda pembangunan ekonomi daerah akan didominasi oleh program desentralisasi dan pengembangan otonomi daerah. Tujuan program ini jauh lebih luas dari pembangunan ekonomi daerah, yaitu untuk meningkatkan rasa keadilan, mengembangkan partisipasi rakyat, dan suatu sistem sosial poiltik yang demokratis, serta untuk menjaga dan memperkokoh kesatuan bangsa. Pola desentralisasi dan otonomi daerah yang dapat memenuhi semua tujuan itu tidak mudah untuk dirancang. Tujuan-tujuan di atas ingin ditampung dalam Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat and Daerah tentu saja merupakan slah satu isu stratejik yang harus dikaji dengan seksama. Dengan berlakunya kedua undangundang tersebut, paradigma manajemen Pemerintah Daerah mengalami pergeseran yang sangat drastis, dari sentralistik menuju sistem desentralistik. Dalam situasi demikian, Pemerintah Daerah dituntut untuk dapat memanfaatkan sumberdaya (resources) yang ada di daerahnya masing-masing secara lebih optimal. Dengan demikian, barangkali diperlukan adanya reformulasi strategi melalui implementasi sistem strategic planning yang lebih komperehensif dan sistematik. Dalam bidang pemabngunan ekonomi, permasalahan utama yang muncul pada era pemerintahan sebelumnya adalah : (1) terpusatnya kegiatan ekonomi, (2) terkonsentrasinya tenaga kerja terampil (3) strategi pembangunan ekonomi dengan mengejar pertumbuhan dengan harapan adanya efek menetes ke bawah ternyata gagal mencapai pemerataan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan (4) lemahnya fungsi pengendalian terhadap pelaksanaan pembangunan ekonomi tersebut. Bila permasalahan-permasalahan tersebut tidak segera diatasi, maka daerah-daerah tertentu (terutama di luar Jawa) akan semakin dirugikan, karena : (1) sumberdaya alam di daerah akan terus tersedot keluar, dan daerah akan mengalami kekurangan tenaga kerja terampil, (2) daerah akan semakin sulit mengembangkan sektor non-primer, khususnya industri manufaktur, atau akan semakin sulit merubah struktur ekonominya dari yang berbasis pertanian atau pertambangan ke industri, dan (3) tingkat pendapatan masyarakat di daerah semakin rendah, yang berarti bahwa perkembangan pasar output semakin lemah dan semakin kecil investasi ke daerah tersebut (Tambunan, 2000). Mencermati permasalahan-permasalahan tersebut, maka menurut Arsyad (dalam Tambunan 2000) strategi pembangunan ekonomi daerah yang komprehensif harus mencakup antara lain: (1) pembangunan sumber daya manusia dan enterpreneruship di daerah; (2) pembangunan sarana dan prasarana pembangunan ekonomi; (3) pemberdayaan pemerintah daerah dan semua jajarannya; (4) pengembangan sektor-sektor ekonomi potensial, termasuk pemilihan industri alternatif yang dapat dikembangkan, (5) pemberdayaan lembaga-lembaga ekonomi yang ada (seperti Kadinda eksportir lokal); (6) alokasi sumberdaya-sumberdaya pembangunan yang terbatas dengan lebih efisien dan efektif. Rumusan strategi seperti itu sudah bagus dan kenyataannya hampir semua Pemda mengadopsi strategi- strategi tersebut, meskipun rumusannya agak berbeda. Kegagalan strategi pembangunan tersebut, nampaknya disebabkan oleh adanya kesalahan dalam manajemennya, karena tidak dilaksanakan dengan pendekatan manajemen stratejik yang secara jujur harus diakui, tidak mission driven. Sejalan dengan rencana otonomi daerah, beberapa isu utama yang mengemuka dan harus segera direspon oleh pemerintah daerah adalah : Pertama, paradigma baru ini menempatkan rakyat, melalui wakil-wakilnya di DPR sebagai mitra yang berkedudukan sejajar dalam perencanaan pembangunan daerah. Ini menuntut Pemerintah Daerah untu dapat merencanakan strategi pembangunan daerahnya dengan lebih baik dan terarah dan mengimplementasikannya secara transparan dan acountable. DPRD dalam hal ini harus melaksanakan fungsi kontrolnya dengan lebih efektif. Pelaksanaan fungsi pengendalian yang efektif adalah pengendalian yang didasarkan pada strategic planning dengan memfokuskan pada tujuan jangka panjang organisasi. Secara umum, tujuan organisasi pemerintahan adalah untuk memfasilitasi aktivitas pembangunan baik material maupun spiritual demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Bila ini yang menjadi fokus, pertanyaannya adalah: Apakah ukuran kesejahteraan masyarakat itu? Bagaimana caranya menilai bahwa aktivitas pembangunan telah diarahkan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat? Kedua, perlu disadari bahwa otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku dalam rambu-rambu yang disepakati bersama sebagai jaminan terselenggaranya keteraturan sosial (Basri, 2000). Di sini tiadk diperkenankan adanya pembatasan dalam mobilitas faktorfaktor produksi. Otonomi harus memberikan peluang yang sehat bagi persaingan antar daerah, yang tentu saja dengan dibarengi oleh persyaratan minimum bagi daerah-daerah, yang belum mampu mensejajarkan diri dalam suatu level of playing field. Menurut Basri (2000:2-3) beberapa prasyarat yang dibutuhkan untuk menyiapkan daerah dalam menghadapi persaingan global dalam kerangka otonomi daerah adalah: (1) Terjaminnya pergerakan bebas dari seluruh faktor produksi, barang dan jasa di dalam wilayah Indonesiaa, kecuali untuk kasus-kasus yang dilandasi oleh argumen nonekonomi; (2) proses poiltik yang menjamin keotonomian masyarakat lokal dalam menentukan dan memperjuangkan aspirasi mereka melalui partisipasi politik dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak kepada publik; (3) Tegaknya good governance baik di pusat maupun daerah; (4) keterbukaan daerah untuk bekerja sama dengan daerah-daerah lain dengan tidak memandang batas-batas wilayah sebagai kendala; (5) fleksibilitas sistem intensif (6) pemerintah daerah berperan sebagai regulator yang bertujuan untuk melindungi kelompok minoritas dan lemah serta menjaga harmoni dengan alam sekitar, bukan regulator dalam pengertian serba mengatur. Menurut Hadi Soesastro (April 2000) Setiap tahun lembaga seperti World Economic Forum (WEF) dan International Institute for Mangement Development (IIMD) menerbitkan daftar peringkat daya saing internasional sejumlah negara. Indeks daya saing itu ditetapkan berdasarkan penilaian atas delapan kelompok karakteristik itu adalah : (1) keterbukaan terhadap perdagangan and keuangan internasional; (2) peran fiskal dan regulasi pemerintah; (3) pembangunan pasar finansial; (4) kualitas infrastruktur; (5) kualitas teknologi; (6) kualitas manajemen bisnis; (7) fleksibilitas pasar tenaga kerja dan pembangunan sumber daya manusia; dan (8) kualitas kelembagaan hukum dan politik. Menurut ukuran ini daya saing ekonomi sebenarnya ditentukan oleh ketiga faktor tadi; kebijakan, kelembagaan, dan kemampuan. Pengembangan ketiga faktor ini merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif. Pada akhirnya kekuatan kelembagaan dan kemampuan nasional seharusnya bukanlah yang dicerminkan dengan yang terdapat di Jakarta tetapi dengan yang ada di seluruh Indonesia. Daya saing ekonomi daerah tidak dapat dilihat dalam konteks nasional, yaitu antar ekonomi daerah, tetapi harus dikembangkan dalam konteks internasional. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembangunan ekonomi daerah harus diselenggarakan dengan pola yang secara tegas berorientasi ke luar. PERFORMANCE EVALUATION ORGANIASI PUBLIC Berdasarkan Inpres Nomor 7 tahun 1999, setiap instansi pemerintah diharuskan untuk menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah setiap tahun. Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk meningkatkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, sebagai bentuk perwujudan akuntabilitas publik kepada stake-holders, dalam hal ini adalah masyarakat dan wakil masyarakat di DPR. Penerbitan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah tersebut merupakan langkah maju dalam usaha mewujudkan pemerintahan yang bersih dan wibawa yang pada masa sebelumnya hampir saja diabaikan orang. Di dalam pedoman tersebut dinyakan bahwa dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, strategic planning merupakan langkah awal untuk pengukuran kinerja instansi pemerintah. Ini memerlukan integrasi antara keahlian sumberdaya manusia dan sumberdaya lain agar mampu menjawab tuntutan perkembangan lingkungan strategis, nasional dan global. Rencana strategis yang disusun organisasi publik harus mencakup: (1) uraian tentang visi, misi, strategi dan faktor-faktor kunci keberhasilan organisasi, (2) uraian tentang tujuan, sasaran, dan aktivitas organisasi, dan (3) uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut dengan memperhatikan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan. Di samping berisi tata cara pelaporan, pedoman ini juga menyajikan bentuk pelaporan, pengukuran kinerja, dan evaluasi terhadap implementasi program-program kerja dan proyek dengan menggunakan ukuran kinerja masukan, keluaran, hasil, manfaat and dampak. Pengertian dari masingmasing indikator tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam pedoman tersebut, disajikan berikut ini. Indikator masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa dana, sumberdaya manusia, informasi, kebijakan/ peraturan perundangan, dan sebagainya. Indiaktor keluaran adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau non fisik. Indikator hasil (outcomes) adalah suatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah. Inikator manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. Sedangkan indikator dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan. Dengan menggunakan indikator-indikator tersebut, evaluasi secara periodic (setiap tahun) dilakukan dengan membandingkan antara rencana dengan realisasinya sehingga dapat diukur tingkat capain dari setiap program atau proyek. Evaluasi dilakukan dengan cara melakukan analisis pencapaian kinerja dengan menginterpretasikan hasil pengukuran kinerja yang menggambarkan keberhasilan/ kegagalan instansi publik dalam melaksanakan misinya. Ini mengisyarakatkan bahwa seharusnya implementasi program maupun proyek yang disusun berdasarkan strategic planning harus senantiasa berorientasi pada pencapaian misi. Dengan demikian, penyusunan Laporn Akuntabilitas Kinerja instansi Pemerintah tersebut merupakan salah satu bentuk implementasi sistem manajemen stratejik yang diterapkan di organisasi pemerintahan. Namun demikian, penulis mencermati bahwa wakil rakyat sebagai salah satu state-holders, dalam penyelenggaraan pembangunan nampak belum banyak dilibatkan. Ini tercermin dari alur pelaporan yang ditunjukkan pada pedoman tersebut, yang tidak menampakkan peran DPRD. Pendekatan Balanced Scorecard disampaikan sebagai sumbangan gagasan, tujuannya untuk menggugah pelaksana pemerintahan untuk menerapkan manajemen pemerintahan dan pembangunan dengan pendekatan sistem manajemen stratejik. PENDEKATAN BALANCED SCORECARD Balanced scorecard adalah alat manajemen yang menerjemahkan visi, misi dan strategi organisasi ke dalam satu set pengukuran kinerja komprehensif untuk menghasilkan rerangka pengukuran kinejra organisasi melalui beberapa perspektif : finansial, customer, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Evaluasi dan pengukuran kinerja yang biasanya dilakukan dalam pengendalian manajemen harus dilakukan secara berimbang untuk keempat perspektif tersebut. Kerangkan Balanced Scorecard oleh Kaplan dan Norton (1996) digambarkan seperti pada Gambar 3. Kerangka tersebut menggambarkan bahwa agar sistem manajemen stratejik dapat berjalan abik, maka visi, misi dan strategi organisasi harus di translate ke dalam empat perspektif tersebut. Dari tiap-tiap perspektif harus ditunjukkan tujuan, ukuran-ukuran kinerja yang dipergunakan, target yang akan dicapai, dan inisiatif stratejik yang harus dilakukan untuk mencapai target yang telah ditetapkan sekaligus untuk mencapai misi organisasi. Kemampuan organisasi untuk dapat meng-stranslate visi dan misi organisasi ke dalam tindakan nyaa sangat menentukan keberhasilan implementasi strategi tersebut. Visi organisasi yang menggambarkan pandangan jauh ke depan mengenai “apa yang akan terjadi di masa depan dan kemana organisasi akan dibawa” akan sangat menentukan rumusan misi organisasi. Selanjutnya, rumusan misi akan dipergunakan sebagai dasar utama dalam penyusunan dan implementasi setiap program/ tindakan /proyek. Ini dapat dilakukan bila terjadi proses vision and misson sharring. Artinya,harus ada proses internalisasi visi danmisi tersebut ke dalam diri setiap individu anggota organisasi. Ini juga berarti bahwa semua anggota organisasi yang terlibat dalam implementasi program/ proyek tersebut harus memahami visi dan misi organisasi tersebut dan senantiasa memiliki pemahaman dan komitmen kuat untuk mencapai misi organisasi. Dengan demikian pelaksanaan program kerja dan proyek organisasi tersebut termasuk penganggarannya harus senatiasa didorong oleh keinginan untuk mencapai misi organisasi. Gambar 3. Kerangkan Balanced Scorecard Financial “To succed financially how should we appear to our stakehorlder? Customer Visional Strategy Achieve our vision, how should we appear to our customer? VISION AND STRATEGY Internal Bussiness process “To satisfy our stakeholders and customers, what bussiness process mush we excel at? Learning and “To achieve our vision, how will we sustain our ability to change and improve? Source: Kaplan & Norton (1996:9) Menurut Nurkholis (20010, bagi suatu organisasi pemerintahan, sebagai suatu organisasi sosial, seringkali misi organisasinya dirumuskan kurang lebih demikian : “…untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui….”. bila rumusan misinya demikian, maka semua strategi, kebijakan, dan programprogram kerja harus disusun dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari perspektif finansial, karena organisasi pemerintahan tidak berorientasi profit, maka ukuran kinerjanya jelas bukan profit atau hasil atas investasi sebagaimana digunakan dalam organisasi bisnis. Namun yang lebih masuk akal adalah efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber-sumber dana yang ada. Pengendalian keuangan dengan menerapkan value of money audit sangat diperlukan untuk menjamin efisiensi dan efektivitas penggunaan dana masyarakat. Yang dimaksud sebagai customer adalah sektor publik adalah masyarakat secara luas, yang membutuhkan baran dan jasa (termasuk infrastruktur dan fasilitas publik) yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Indikator-indikator yang dipergunakan untuk mengukur upaya peningkatan kesejahteraan adalah: menurunnya tingkat kemiskinan, menurunnya angka kematian sebagai hasil dari peningkatan layanan kesehatan, meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, dll. Loyalitas dan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi pemerintah, dengan demikian, merupakan tema stratejik yang harus menjadi pedoman dalam setiap perumusan kebijakan. Dan ini akan tercapai bilamana : (1) pembangunan dilakukan betul-betul untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, (2) pemerintah melaporkan hasil-hasil pembangunan berikut pengelolaan keuangannya secara accountable. bila ini terjadi, maka kesadaran masyarakat untuk membayar pajak juga akan meningkat. Dan kredibilitas pemerintah pun akan terpelihara. Intisari dari perspektif proses bisnis interna adalah “inovasi” . Dalam organisasi bisnis, prosess inovasi berkelanjutan diperlukan perusahaan agar dapat memenangkan persaingan masa depan. Artinya adalah bahwa dalam setiap rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh organisasi dalam menghasilkan barang dan jasa harus senantiasa meningkatkan nilai bagi customer. Pada organisasi pemerintahan, pemikiran ini harus diterjemahkan sebagai upaya untuk melakukan peningkatan kualitas layanan secara berkelanjutan kepada masyarakat. Ini dapat diwujudkan antara lain dalam pemberian layanan publik yang lebih efisien, praktis, dan adil. Upaya-upaya debirokratisasi dan penyampaian informasi dengan demikian, mutlak harus dilakukan. Pemerintah harus lebih memerankan dirinya sebagai “fasilitator” ketimbang sebagai “regulator” yang kaku. Berbagai upaya dalam ketiga perspektif sebelumnya, hanya dapat dilakukan oleh aparat yang mampu merespon perubahan yang sangat cepat. Oleh karenanya, dalam perspektif keempat, pemberdayaan karyawan (employee empowerment) melalui proses pembelajaran yang dilakukan secara terus menerus harus dilakukan untuk mencapai pertumbuhan yang diinginkan. Dalam mengimplementasikan pendekatan Balanced Scorecard kedalam sektor publik, ada lima langkah yang harus dilakukan (Wahyudi, 2000). 1. Menetapkan suatu pengukuran kinerja yang berorientasi pada hasil yang menyeimbangkan pencapaian target dari keempat perspektif tersebut. Dalam hal ini diperlukan tiga langkah konkrit: (1) mendefinisikan atau menentukan pengukuran yang paling berarti bagi stakeholders yang berfungsi untuk mengarahkan perhatian mereka, (2) penumbuhan komitmen pada perubahan-perubahan dasar dengan melibatkan berbagai pihak dan menerapkan system yang fleksibel serta menentukan arahan yang jelas untuk pelaksanaam, monitoring, pengukuran dan pelaporannnya, (3) memperhatikan fleksibilitas melalui perhatian bahwa manajemen kinerja adalah proses yang hidup, dan mempertahankan keseimbangan antara pengukuran keuangan dan non keuangan. 2. Menetapkan akuntabilitas pada semua level organisasi. Akuntabilias harus dipandang sebagai kunci keberhasilan organisasi, harus menjadi tanggung jawab setiap individu, dan yang lebih penting harus diwujudkan oleh pimpinan organisasi melalui contoh/ teladan. Langkah ini harus ditopang oleh upaya konkrit untuk : (1) mensponsori pengukuran kinerja di semua level organisasi dan menggunakannya sebagai dasar dalam implementasi sistem pemberian imbalan dan sanksi (reward and punishment system), (2) menjamin bahwa pegawai menerima informasi dan komunikasi yang efektif dan jelas, dan (3) menjamin bahwa masyarakat juga mendapatkan informasi yang sama sebagai dasar terciptanya public accountability. 3. Mengumpulkan, menggunakan, dan menganalisis data yang diperoleh dan menghubungkannya ke dalam proses perencanaan stratejik. Data dan informasi yang harus dikumpulkan meliputi data umpan balik dari masyarakat, perubahan lingkungan makro, dan data kinerja organisasi. Hasil analisis terhadap data-data tersebut harus pula disampaikan kepada masyarakat sebagai salah satu stakeholders. 4. Menghubungkan hasil analisis data dan informasi di atas ke dalam proses penyusunan program kerja berikut penyusunan anggarannya. Dalam hal ini harus dapat ditunjukkan dengan jelas bahwa penyusunan program dan anggaran tersebut adalah dalam rangka mencapai misi organisasi yang telah ditetapkan. 5. Membagi peran kepemimpinan. Meskipun pada sektor pemerintahan diperlukan seorang pemimpin yang kuat, tidak berarti bahwa semua pengambilan keputusan harus dimonopoli oleh sang pemimpin. Di sini diperlukan desentralisasi dalam pengambilan keputusa, namun dalam koridor peraturan perundangan yang ada, yang sesungguhnya dimaksudkan untuk dapat segera merespon kebutuhan masyarakat. Kekhawatiran bahwa bawahan akan melakukan distrorsi dalam pengambilan keputusan harus dapat dicegah melalui proses vision and mission sharing serta pemberdayaan yang telah dilakukan. PENUTUP Pendekatan Balanced Scorecard yang disajikan dalam tulisan ini dimaksudkan untu membuka wawasan dalam pengembangan pola berpikir stratejik yang diperlukan dalam perencanaan dan pengelolaan sektor publik/ pemerintahan. Pesan yang disampaikan adalah bahwa perencanaan dan pelaksanaan progarm maupun anggaran pemerintah harus difokuskan pada upaya untu mencapai misi organisasi pemerintahan, yakni dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pendekatan ini menuntut adanya identifikasi dan pengembangan kinerja organisasi yanglebih komprehensif pada semua level, dan dilakukan secara berimbang paling tidak ke dalam empat perspektif: financial, customer, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Ini harus didukung dengan sistem pelaporan akuntabilitas kepada publik yang dianggap sebagai prasyarat bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. DAFTAR REFERENSI Anthony, R.N. & V. Govindarajan (2001), “Management Control System”, 10th Edition, Chicago: Irwin. Anthony, R.N. & V. Govindarajan (1995), “Mangement Contorl System”, Eight Edition, Chicago: Irwin. Anthony, R.N. & V. Govindarajan (1992), “Mangement Contorl System”, Eight Edition, Chicago: Irwin. Basri, Faisal H. (200). Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah, Makalah disampaikan pada seminar nasional Strategi Bisnis Menghadapi Otonomi Daerah, diselenggarakan oleh Forum Dewan PWI Malang, 3 Juni. Hadi Soesastro, (ISEI 21-23 April 2000), “Pembangunan Ekonomi Daerah Dalam Konteks Pemulihan Ekonomi Nasional, Konggres ISEI ke XIV di Makassar, 21-23 April 2000. Kaplan R.S. & D.P. Norton (1992) “The Balanced Scorecard : Measures that Drive Performance” Harvard Business Review, January-February, pp.71-79. Kaplan R.S. & D.P. Norton (1996) “The Balanced Scorecard : Translating Strategy Into Action” Boston: Harvard Business School Press. Kenneth R. Andrews, (1971) “Konsep Strategi Perusahaan”, Penerbit Erlangga, hal. 41, Jones Irwin, hal. 41. Lembaga Administrasi Negara (1999), “Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)”, Jakarta : LAN. Mulyadi & Johny Setyawan (1999), “Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen,” Yogyakarta : Aditya Media. Nurkholis (2001), Perencanaan Stratejik Organisasi Pemerintahan, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Pierce, J.A. & R.B. Robinson, Jr. (1996), “Strategic Management: Formulation, Implementation and Control”, New York : Richard D. Irwin, inc. Tambunan, Tulus (2000), “Langkah-langkah Strategis untuk Meningkatkan Daya Saing Ekonomi Daerah,”Makalah disampaikan pada Konggres ISEI XIV, Makassar : 21-23 April. Triadji, Bambang (2000), “Pengukuran Kinerja dan Tujuan Organisasi Sektor Publik: Suatu Pemikiran Tentang Pengembangan Akuntansi Sektor Publik”, Pemeriksa, Januari. Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah Wahyudi, Ishak A. (2000). “Alternatif Proses Pengukuran Kinerja di Sektor Publik”, Pemeriksa Januari