Isolasi, Karakterisasi, dan Identifikasi Molekuler Bakteri Pelarut Fosfat

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Senyawa P di Dalam Tanah
Tanah-tanah di wilayah tropika yang bereaksi asam ditandai kahat hara
fosfat. Sebagian besar bentuk fosfat diikat oleh koloid tanah sehingga tidak
tersedia bagi tanaman. Pada kebanyakan tanah tropika diperkirakan hanya 25 %
fosfat yang diberikan dalam bentuk superfosfat yang diserap tanaman dan
sebagian besar atau 75 % diikat tanah (Sutanto, 2008).
Fosfor (P) di dalam tanah dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu Porganik dan P-anorganik. Kandungannya sangat bervariasi tergantung pada jenis
tanah, tetapi pada umumnya rendah. P-organik berasal dari hewan dan tumbuhan
yang mati diuraikan oleh dekomposer atau pengurai menjadi P-anorganik.
Sedangkan P-anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan
mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu
karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk P-anorganik
terlarut di air tanah dan laut. P-anorganik ini kemudian akan diserap kembali oleh
akar tumbuhan, dan siklus ini berulang terus menerus (Anonim, 2000). Siklus P
dapat dilihat pada Gambar 1.
Tanaman
Hewan
Materi organik mati
(Fosfat Organik)
Melalui
mikoriza
Penyerapan oleh akar
Mineralisasi
Ortofosfat
Immobilisasi
Mikroorganisme pelarut P
Fosfor anorganik yang
tidak tersedia
Gambar 1. Siklus fosfor di alam (Subba-Rao, 1994)
4
2.1.1. P-organik
Bentuk-bentuk P-organik berasal dari sisa tanaman, hewan, dan jasad
renik.
P-organik terdapat sebagai senyawa ester dari asam ortofosfat, yaitu
inositol fosfolipida, asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat.
Inositol,
fosfolipida, dan asam nukleat terdapat paling banyak di dalam tanah (Tisdale et
al., 1985).
Ketersediaan P-organik bagi tanaman sangat bergantung pada aktivitas
mikroba untuk memineralisasikannya. Namun seringkali hasil mineralisasi ini
segera bersenyawa dengan bagian-bagian anorganik untuk membentuk senyawa
yang relatif sukar larut. Enzim fosfatase berperan utama dalam melepaskan P dari
ikatan P-organik. Enzim ini banyak dihasilkan oleh mikroba tanah, terutama yang
bersifat heterotrof.
Aktivitas fosfatase dalam tanah meningkat dengan
meningkatnya C-organik, tetapi juga dipengaruhi oleh pH, kelembaban,
temperatur, dan faktor lainnya. Dalam kebanyakan tanah, total P-organik sangat
berkorelasi dengan C-organik tanah, sehingga mineralisasi P meningkat dengan
meningkatnya total C-organik. Semakin tinggi C-organik dan semakin rendah Porganik, maka semakin meningkat immobilisasi P.
P-anorganik dapat
diimmobilisasi menjadi P-organik oleh mikroba dengan jumlah yang bervariasi
antara 25-100% (Havlin et al., 1999).
Asam organik yang dihasilkan bakteri pelarut fosfat mampu meningkatkan
ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa mekanisme, diantaranya adalah
(a) anion organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid
yang bermuatan positif; (b) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam P melalui
pembentukan komplek logam organik; (c) modifikasi muatan tapak jerapan oleh
ligan organik (Havlin et al., 1999).
2.1.2. P-anorganik
Menurut Soepardi (1983) ketersediaan P-anorganik sangat ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu (i) pH tanah; (ii) besi, aluminium, dan mangan larut; (iii)
adanya mineral yang mengandung besi, aluminium, dan mangan; (iv) tersedianya
kalsium; (v) jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik; dan (vi) kegiatan
5
jasad mikro. Empat faktor pertama berhubungan satu sama lain, karena semuanya
bergantung dari kemasaman tanah.
P-anorganik dalam bentuk padat biasanya dibagi menjadi tiga bagian aktif
dan dua bagian yang nisbi tak aktif. Bagian yang aktif dapat dikelompokkan ke
dalam fosfat terikat kalsium (Ca-P), fosfat terikat aluminium (Al-P), dan fosfat
terikat besi (Fe-P). Bagian yang nisbi tak aktif adalah yang terdapat dalam bentuk
terserap dan dalam bentuk larut dalam pereduksi (Sanchez, 1992). P-anorganik di
dalam tanah pada umumnya berasal dari mineral flour apatit {Ca10(PO4)6F2}.
Dalam proses hancuran iklim dihasilkan berbagai mineral P sekunder seperti
hidroksi apatit, karbonat apatit, klor apatit, dan lain-lain sesuai dengan
lingkungannya. Selain itu, ion-ion fosfat dengan mudah dapat bereaksi dengan
ion Fe3+, Al3+, Mn2+, Ca2+, ataupun terjerap pada permukaan oksida-oksida hidrat
besi, aluminium, dan liat (Premono, 1994).
Pada tanah masam, kelarutan Al dan Fe menjadi tinggi.
Dengan
demikian, ion fosfat (H2PO4-, HPO42-, PO43-) akan segera terikat membentuk
senyawa P yang kurang tersedia bagi tanaman. Bila pH tanah dinaikkan, maka P
akan berubah menjadi tersedia kembali. Pada pH di atas netral, P juga kurang
tersedia bagi tanaman karena diikat oleh Ca menjadi senyawa yang kurang
tersedia.
Unsur tersebut akan tersedia kembali bila pH diturunkan.
Jadi
ketersediaan P sangat dipengaruhi oleh pH tanah (Havlin et al., 1999).
2.2.
Peranan P Dalam Tanaman
Fosfor (P) yang diserap tanaman tidak direduksi, melainkan berada di
dalam senyawa-senyawa organik dan anorganik dalam bentuk teroksidasi. Panorganik banyak terdapat di dalam cairan sel sebagai komponen sistem
penyangga tanaman. Dalam bentuk organik, P terdapat sebagai : (i) fosfolipida,
yang merupakan komponen membran sitoplasma dan kloroplas; (ii) fitin, yang
merupakan simpanan fosfat dalam biji; (iii) gula fosfat, yang merupakan senyawa
antara dalam berbagai proses metabolisme tanaman; (iv) nukleoprotein,
komponen utama DNA dan RNA inti sel; (v) ATP, ADP, AMP dan senyawa
sejenis, sebagai senyawa berenergi tinggi untuk metabolisme; (vi) NAD dan
NADP, keduanya adalah koenzim penting dalam proses reduksi dan oksidasi; (vii)
6
FAD dan berbagai senyawa lain, yang berfungsi sebagai pelengkap enzim
tanaman (Salisbury dan Ross, 1995).
Soepardi (1983) mengemukakan peranan P antara lain penting untuk
pertumbuhan sel, pembentukan akar halus dan rambut akar, memperkuat jerami
agar tanaman tidak mudah rebah, memperbaiki kualitas tanaman, pembentukan
bunga, buah, dan biji serta memperkuat daya tahan terhadap penyakit.
Kekurangan
P
pada
tanaman
akan
mengakibatkan
berbagai
hambatan
metabolisme, diantaranya dalam proses sintesis protein, yang menyebabkan
terjadinya akumulasi karbohidrat dan ikatan-ikatan nitrogen. Gejala kekurangan P
dapat diamati secara visual, yaitu daun-daun yang tua akan berwarna keunguan
atau kemerahan karena terbentuknya pigmen antisianin. Pigmen ini terbentuk
karena akumulasi gula di dalam daun sebagai akibat terhambatnya sintesis protein.
Gejala lain adalah nekrosis atau kematian jaringan pada pinggir atau helai dan
tangkai daun, diikuti melemahnya batang dan akar tanaman.
2.3.
Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)
Bakteri pelarut fosfat (BPF) merupakan kelompok bakteri tanah yang
memiliki kemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya
menjadi bentuk yang tersedia sehingga dapat diserap tanaman. Beberapa bakteri
yang dapat melarutkan fosfat diantaranya Pseudomonas sp., Bacillus sp.,
Escherichia sp., dan Actinomycetes sp. (Anonim, 2009). Genus Pseudomonas sp.
dan Bacillus sp. memiliki kemampuan yang paling besar dalam melarutkan fosfat
tak larut menjadi bentuk larut dalam tanah. Pelarutan ini disebabkan oleh adanya
sekresi asam organik bakteri tersebut seperti asam formiat, asetat, propionat,
laktat, glikolat, glioksilat, fumarat, tartarat, ketobutirat, suksinat, dan sitrat
(Subba-Rao, 1982).
Mekanisme pelarutan fosfat dari bahan yang sukar larut banyak dikaitkan
dengan aktivitas mikroba yang memiliki kemampuan menghasilkan enzim
fosfatase, fitase, dan asam organik hasil metabolisme. Tetapi pelarutan P dapat
pula dilakukan oleh mikroba yang tidak menghasilkan asam organik, yaitu melalui
(i) mekanisme pelepasan proton (ion H+) pada proses respirasi; (ii) asimilasi
amonium (NH4+); dan (iii) adanya kompetisi antara anion organik dengan
7
ortofosfat pada permukaan koloid (Illmer dan Schinner, 1995). Menurut Narsian
dan Patel (2000) pelarutan P oleh mikroba pelarut fosfat selain terjadi karena
proses kelasi dan reaksi pertukaran, juga disebabkan oleh menurunnya pH rizosfer
akibat adanya asam organik.
Meningkatnya asam-asam organik biasanya diikuti dengan penurunan
pH, sehingga mengakibatkan terjadinya pelarutan P yang diikat oleh Ca.
Penurunan pH juga dapat disebabkan terbebasnya asam sulfat dan nitrat pada
oksidasi kemoautotrofik sulfur dan amonium, berturut-turut oleh bakteri
Thiobacillus dan Nitrosomonas (Alexander, 1978).
Reaksi pelarutan P oleh
penurunan pH dan terdapatnya gugus karboksilat, secara sederhana dapat
digambarkan sebagai berikut :
Ca10(PO4)6(OH)2 + 14H+
10Ca2+ + 6H2O + 6H2PO4-
OH
M
OH
+ R – COO-
OH
M
+ H2PO4-
OH
H2PO4-
OC – R
M = Al3+ atau Fe3+
Selain enzim fosfatase yang dihasilkan oleh BPF yang dapat menghasilkan
fosfat bebas, ada pula enzim lain, yaitu fitase, firofosfatase, dan metafosfatase
(Anonim, 2009). Reaksi pelarutan oleh berbagai enzim pelarut P dapat ditulis
sebagai berikut :
Ester fosfat + H2O
ROH + fosfat (tersedia)
fosfatase
Heksafosfat inositol + 6 H2O
Inositol + 6 fosfat (tersedia)
fitase
Firofosfat + H2O
2 Ortofosfat (tersedia)
firofosfatase
Metafosfat
Ortofosfat (tersedia)
metafosfatase
8
2.4.
Deoxyribonucleic Acid (DNA)
Asam deoksiribonukleat (deoxyribonucleic acid atau DNA) adalah
substansi kimiawi yang berperanan dalam penerusan informasi yang turuntemurun. Di dalam struktur DNA terkodekan (tersandikan) informasi bagi sintesis
semua protein sel. DNA adalah sebuah molekul yang panjang menyerupai tali,
biasanya terdiri dari dua utas, saling membelit membentuk heliks ganda. Setiap
utas heliks DNA terdiri dari nukleotida-nukleotida yang tergabung membentuk
rantai polinukleotida (Pelczar, 1986).
Menurut Lehninger (1994) DNA merupakan molekul yang amat panjang,
terdiri dari ribuan deoksiribonukleotida yang bergabung dalam suatu urutan yang
bersifat khas bagi tiap organisme. Molekul ini adalah material kromosom yang
membawa informasi genetik sel hidup dan umumnya berbentuk untai ganda
(double helix). Baik RNA maupun DNA tersusun atas komponen-komponen
nukleotida yang terdiri dari gula (pentosa), basa nitrogen, dan asam fosfat. Basa
nitrogen pada nukleotida bergabung secara kovalen dalam ikatan N-glikosil
dengan atom karbon 1’ pada pentosa sementara residu asam fosfat berikatan ester
dengan atom karbon 5’.
Basa nitrogen merupakan turunan dari senyawa
heterosiklik purin dan pirimidin.
DNA berfungsi untuk menyimpan informasi genetik secara lengkap yang
diperlukan untuk mencirikan struktur semua protein dan RNA tiap-tiap spesies
organisme, untuk membuat program pada saat yang tepat dan menempatkan
biosintesis sel dan komponen jaringan secara teratur, untuk menentukan aktivitas
organisme sepanjang siklus hidupnya, dan untuk menentukan kekhususan
organisme tertentu (Lehninger, 1994).
2.5.
Identifikasi Molekuler melalui Amplifikasi Gen 16S rRNA
Pendekatan analisis pada tingkat molekuler (genomik) dapat diaplikasikan
pada spesies yang belum dapat dikulturkan di laboratorium. Berbagai metode
dapat dilakukan untuk menganalisis DNA, diantaranya AFLP, ARDRA, PFGE,
dan lain-lain. Namun dari berbagai metode yang digunakan, rRNA paling banyak
digunakan sebagai marka molekuler.
Pada prokariot terdapat tiga macam
ribosomal RNA (rRNA), yaitu 5S rRNA, 16S rRNA, dan 23S rRNA. Molekul 5S
9
rRNA tersusun dari 120 basa.
Urutan basa molekul tersebut sangat pendek,
sehingga molekul 5S rRNA tidak ideal dari segi analisis statistika. Molekul 23S
rRNA tersusun dari 2900 basa. Molekul ini menyulitkan analisis karena memiliki
struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang. Prosedur yang telah baku yang
sudah digunakan untuk menentukan hubungan filogenetik dan mendefinisikan
spesies adalah melalui amplifikasi gen 16S rRNA (Jusuf, 2001).
Molekul 16S rRNA memiliki beberapa daerah yang relatif konservatif dan
daerah yang variatif. Perbandingan urutan basa yang konservatif berguna untuk
mengkonstruksi pohon filogenetik universal karena mengalami perubahan relatif
lambat dan mencerminkan kronologi ekologi bumi. Sebaliknya urutan basa yang
bersifat variatif dapat digunakan untuk melacak keragaman dan menempatkan
galur-galur dalam satu spesies (Pangastuti, 2006).
Gen 16S rRNA merupakan komponen penting dalam sel dan sangat
menguntungkan di dalam analisis filogenetik, karena terdiri atas daerah yang
konservatif yang mutasinya terbatas (Madigan et al., 1997). Komponen rRNA
bersifat stabil pada semua sistem hidup dan tidak ada transfer gen rRNA antar
spesies. Sekuen ini dapat digunakan untuk mengukur jarak filogenetik antar
organisme walaupun hubungan kekerabatannya jauh. Urutan basa gen 16S rRNA
juga dapat menunjukkan nenek moyang dan kekerabatan organisme, akan tetapi
organisme yang berkerabat belum tentu memiliki kesamaan aktivitas fisiologis
(Atlas, 1997).
2.6.
Elektroforesis Gel Agarosa
Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul selular berdasarkan
atas ukurannya, dengan menggunakan medan listrik yang dialirkan pada suatu
medium yang mengandung sampel yang akan dipisahkan (Yuwono, 2005).
Teknik elektroforesis selalu memiliki dua komponen utama, yaitu medium
penyangga (kertas atau gel) dan larutan bufer. Fungsi medium penyangga adalah
sebagai reseptor titik dari senyawa-senyawa yang akan dipisahkan dan
menyediakan jalur bagi migrasi komponen.
Sedangkan fungsi bufer sebagai
konduktor arus, yaitu jembatan konduksi di antara dua elektroda, sehingga
memungkinkan terjadinya aliran medan listrik dan menstabilkan pH.
Untuk
10
elektroforesis DNA dapat digunakan bufer Tris-asetat-EDTA (TAE) dan Trisborate-EDTA (TBE) (Sari, 2006).
Elektroforesis DNA akan lebih baik menggunakan medium penyangga
berupa gel buatan seperti poliakrilamida atau agarosa. Gel agarosa lebih mudah
dalam preparasinya daripada poliakrilamida.
Konsentrasi gel agarosa yang
digunakan dalam elektroforesis bervariasi antara 0.5%-2%. Biasanya gel agarosa
dengan konsentrasi 0.8%-1% sangat baik untuk memisahkan fragmen DNA
berukuran 1-20.000 pasang basa. Gel agarosa dengan konsentrasi kurang dari
0.5% sangat rapuh dan sulit ditangani.
Hasil elektroforesis DNA dapat
divisualisasikan dengan mewarnai gel (staining) yang berisi DNA menggunakan
Etidium Bromida (EtBr) selama 5-10 menit kemudian dilanjutkan dengan
pencucian dalam akuades (destaining) selama 5-10 menit yang bertujuan untuk
menghilangkan EtBr yang berikatan secara tidak spesifik pada bagian gel yang
tidak terdapat DNA.
Selanjutnya pita-pita DNA dapat dilihat dengan sinar
ultraviolet (UV). Etidium Bromida dapat menangkap sinar UV, sehingga DNA
yang terikat dengan EtBr dapat terlihat pendarannya di transilluminator (Sari,
2006).
Asam deoksiribonukleat merupakan molekul bermuatan negatif, sehingga
jika diletakkan di medan listrik, DNA akan bermigrasi dari kutub negatif ke kutub
positif. Sebelum dilakukan elektroforesis, suspensi DNA harus dicampur dengan
muatan pewarna (loading buffer).
Pewarna yang biasa digunakan adalah
bromofenol biru dan xilen sianol yang mengandung sukrosa sebagai pemberat
(Sari, 2006).
2.7.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction (PCR) atau disebut reaksi rantai polimerase
adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu
sekuen nukleotida tertentu atau DNA dengan cara in vitro (Yuwono, 2006).
Sejak ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1983, teknik ini telah melahirkan
bermacam teknik berbasis PCR lainnya yang sangat bervariasi. Protokol dasar
PCR menurut Anonim (2008) adalah sebagai berikut :
11
1.
DNA utas ganda didenaturasi pada suhu 95°C sehingga membentuk DNA
utas tunggal yang berfungsi sebagai cetakan.
2.
DNA utas tunggal yang pendek (disebut primer) berikatan dengan DNA
cetakan pada temperatur rendah. Ikatan primer terjadi pada utas yang
komplementer dengan cetakan pada daerah ujung batas sekuen DNA target.
3.
Suhu ditingkatkan menjadi 72°C sehingga enzim DNA polimerase dapat
melakukan sintesis DNA membentuk utas ganda DNA baru.
4.
Utas ganda DNA yang baru disintesis, didenaturasi pada suhu tinggi dan
siklus berulang.
Tujuan dari PCR adalah untuk membuat sejumlah besar duplikasi suatu
gen. Hal ini diperlukan agar diperoleh jumlah DNA cetakan awal yang cukup
untuk sekuensing DNA ataupun untuk memperoleh material genetik yang
diperlukan dalam proses rekayasa genetik.
Tahapan pengerjaan PCR secara
umum terdiri dari isolasi DNA/RNA, pengecekan integritas isolat DNA/RNA
secara spektrofotometri atau elektroforesis, pencampuran komponen reaksi PCR
pemrograman mesin PCR pada kondisi optimum, amplifikasi reaksi dan deteksi
atau evaluasi hasil reaksi (Sari, 2006).
Reaksi PCR suatu fragmen DNA dimulai dari tahap denaturasi DNA
cetakan. Denaturasi ini akan menyebabkan DNA yang semula rantai ganda akan
terpisah menjadi DNA rantai tunggal. Denaturasi DNA menggunakan pemanasan
pada suhu 900C hingga 950C. Kemudian dilanjutkan dengan tahap penempelan
primer pada DNA cetakan yang rantai tunggal. Penempelan primer terjadi pada
DNA target untuk mendefinisikan sekuen yang diinginkan. Suhu pada tahap ini
dipengaruhi oleh jumlah G+C dan A+T di dalam primer yang digunakan dan
konsentrasi amplifikasi primer.
Setelah dilakukan penempelan primer, suhu
inkubasi dinaikkan hingga 720C. Pada suhu ini akan terjadi polimerisasi rantai
DNA yang baru pada DNA target. DNA baru hasil polimerisasi tersebut akan
berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerisasi selanjutnya. Tiga prinsip tahap
reaksi tersebut dapat dilakukan 20 hingga 40 kali sehingga pada akhir dari PCR
akan didapatkan DNA baru dalam jumlah banyak (Yuwono, 2006). Siklus PCR
dapat dilihat pada Gambar 2.
12
Gambar 2. Siklus PCR (Carr, 2005)
Download