Jangan Anggap Enteng Beban Utang Luar Negeri! Minggu, 19 Juli 2015 | 16:36 WIB 0 Komentar | 31 Views http://www.berdikarionline.com/opini/20150719/jangan-anggap-enteng-beban-utang-luar-negeri.html Yunani bukan Indonesia. Dan persoalan ekonomi yang melilit Yunani belum tentu sama dengan di Indonesia. Tetapi, ya, tidak ada salahnya mengambil pembelajaran dari Yunani. Di manapun, negara yang terjerat utang harusnya waspada. Tidak terkecuali Indonesia. Hingga April 2015, total utang luar negeri Indonesia sudah mencapai 299,84 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar rupiah saat ini, Sabtu (18/7), utang luar negeri Indonesia sudah menembus Rp. 4002 triliun. Utang pemerintah sendiri tercatat sudah Rp 2.845,25 triliun. Tetapi jumlah utang sebanyak itu dianggap enteng oleh pemerintah. Dianggap tidak seburuk Yunani. Tolak ukurnya adalah rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio utang itu terhadap PDB masih 24,7 persen. Sedangkan Yunani, rasio utang terhadap PDB-nya mencapai 175 persen. Tetapi, benarkan ukurannya hanya itu? Saya kira, pemerintah tidak boleh tutup mata dengan tolak ukur yang lain. Sebagai misal, untuk triwulan pertama 2015, rasio pembayaran utang dan bunganya terhadap jumlah penerimaan ekspor atau sering disebut debt to service ratio (DSR) sudah mencapai 56,08 persen (Bank Indonesia, 2015). Angka itu memberi kita lampu kuning. Itu sudah jauh dari batas angka aman, yaitu 30 persen. Di sini ada persoalan: di satu sisi utang Indonesia terus bertambah, sementara di sisi lain penerimaan ekspornya terus menurun. Ini berarti kemampuan Indonesia membayar utangnya terus menurun. Di samping itu, DSR sebesar 56 persen itu menandakan bahwa lebih dari separuh penerimaan ekspor kita habis dipakai membayar utang. 1 Jangan lupa juga, pelemahan nilai rupiah terhadap dollar AS juga berkontribusi pada akumulasi utang dalam bentuk rupiah. Nilai tukar rupiah saat ini di atas Rp 13.000,-. Ini jauh dari nilai tukar rupiah yang dipatok di APBN-P 2015 sebesar Rp12.500. Ini berbahaya, karena dapat menambah akumulasi utang hanya karena selisih nilai tukar mata uang. Sebagai misal, antara tahun 2012-2013, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ada akumulasi utang sebesar Rp 163,24 triliun hanya karena selisih nilai tukar mata uang—nilai itu lebih dari dua kali lipat anggaran kesehatan di APBN 2015 yang hanya Rp 71,1 triliun. Ini juga berlaku pada utang swasta. Namun, beberapa hari lalu Menteri Keuangan RI, Bambang Brodjonegoro, berusaha menyakinkan kita bahwa Indonesia tidak pernah ada masalah gagal bayar utang (default). Ia menyakinkan, setiap tahunnya pemerintah sudah menganggarkan Rp 150 triliun untuk membayar bunga utang. Pernyataan Menkeu itu bermaksud menghilangkan kekhawatiran sebagian orang bahwa Indonesia bisa gagal bayar (default) utang seperti yang dialami Yunani. Tetapi Menteri Bambang lupa, kewajiban membayar cicilan utang dan bunganya per tahun justru membebani APBN. Ruang fiskal di APBN juga mengkerut. Bayangkan, dalam kurun waktu tahun 2005-2001, Indonesia mengeluarkan Rp 1.323,8 triliun untuk membayar cicilan utang dan bunganya. Di sisi lain, pada periode yang sama, alokasi untuk fungsi sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan kelautan hanya Rp 66,8 triliun (Ahmad Erani Yustika, 2012). Ironisnya, ketika sedang mencari ruang fiskal, pemerintahan Jokowi-JK tidak menyentuh soal beban utang ini, tetapi justru mencabut subsidi energi untuk rakyat. Padahal, Jokowi-JK bisa mengajukan skenario audit utang luar negeri untuk mengurangi beban utang. Atau bisa menempuh jalan moderat: moratorium pembayaran utang. Yang juga patut diingat, akumulasi utang ini masih akan berlanjut. Sebab, pemerintahan sekarang pun belum memperlihatkan itikad baik untuk keluar dari ketergantungan utang. Untuk membiayai proyek pembangunan infrastrukturnya, Jokowi-JK masih mengandalkan pinjaman dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), JAICA, Tiongkok, dan kreditur lainnya. Kembali ke soal Yunani. Saya kira, ada beberapa kesamaan karakteristik utang kita dengan negeri para dewa itu. Pertama, dari tumpukan utang Yunani saat ini, ada utang yang diwariskan oleh kediktatoran militer yang berkuasa selama 7 tahun. Selama periode itu utang Yunani membengkak 4 kali lipat. Saya kira ini mirip dengan komposisi utang kita. Sekedar untuk 2 diketahui, kolonialisme Belanda mewariskan 4 miliar USD utangnya kepada kita, sedangkan kediktatoran Orde Baru mewariskan Rp 1300 triliun. Dan Bank Dunia sendiri mengakui, sekitar 30 persen utang di masa Orde Baru masuk ke kantong pribadi Soeharto. Utang yang didapat oleh rezim militer/otoriter, yang sebagian besar dipakai untuk menopang tiang kekuasaannya, dikategorikan sebagai utang najis. Kedua, utang Yunani banyak disumbang oleh sistim politik yang korup. Banyak kontrak antar pemerintah Yunani dan swasta berujung pada skandal. Selain itu, Yunani menggelontorkan uang begitu banyak melalui utang untuk membiayai pesta yang tak berhubungan dengan kebutuhan rakyatnya, yakni Olympiade Athena 2004. Olympiade Athena 2004 memakan uang sebesar 14,2 milyar USD, lebih 10 kali lipat dari patokan awal, yakni 1,3 milyar USD. Saya kira, persoalan sistim politik korup juga menjadi momok bagi pembengkakan utang Indonesia. Ketiga, tumpukan utang Yunani juga berasal dari dana talangan yang diberikan oleh Troika (IMF, Uni Eropa, dan Bank Sentral Eropa) sebesar 284 milyar USD. Ironisnya, dana talangan yang turun pada tahun 2010 dan 2012 itu justru 92 persen dipakai untuk menalangi Bank-Bank Swasta dan hanya 8 persen yang dinikmati oleh rakyat Yunani. Di Indonesia, kita jangan lupa dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang menyebabkan utang kita membengkak pasca krisis ekonomi 1997. Pada tahun 1998, atas anjutan IMF, pemerintah Indonesia menggelontorkan dana talangan sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Beban utang BLBI masih dipikul oleh setiap pundak rakyat Indonesia saat ini. Keempat, tidak benar krisis utang Yunani disebabkan oleh politik gula-gula pemerintah politik kepada semua pekerja, baik swasta atau pun pegawai sektor publik, yang menimbulkan pemborosan luar biasa keuangan negara (fiscal profligacy). Komite Kebenaran untuk Utang Publik (Truth Committee on Public Debt) mengemukakan faktanya, bahwa belanja sosial Yunani antara 1995-2008 lebih rendah dari rata-rata zona Eropa, yakni hanya hanya 48 persen, sedangkan rata-rata zona Eropa mencapai 48,4 persen. Yang terjadi, utang Yunani membengkak lantaran suku bunga utang yang tinggi, korupsi, belanja militer yang berlebihan (40 milyar USD antara 1995-2009), dan penggabungan Yunani ke zona euro. Kelima, pemberian dana talangan oleh Troika kepada Yunani disertai ketentuan yang harus dilakukan oleh pemerintah Yunani. Orang Yunani menyebutnya memoranda. Isinya: privatisasi perusahaan negara dan layanan publik, pemangkasan belanja publik, pengurangan tenaga kerja di sektor publik, kenaikan pajak, pemotongan dana pensiun, penurunan upah minimum, pasar tenaga kerja yang fleksibel, dan lain sebagainya. Ini mirip 3 dengan modus yang digunakan oleh IMF saat memberi dana talangan kepada Indonesia tahun 1997-1998 disertai ketentuan yang disebut Letter of Intent (LoI). Paling tidak, ada 130 prasyarat diajukan IMF dan mesti dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Ini juga yang menjadi roadmap bagi agenda neoliberal di Indonesia, seperti liberalisasi investasi, privatisasi, penghapusan subsidi, dan lain sebagainya. Utang dari dana talangan lembaga kreditor semacam IMF ini dapat dikategorikan Illegitimate debt, karena ketentuan dan persyaratan yang melekat dalam pinjaman melanggar hak azasi manusia dan hukum nasional. Keenam, sebagian besar utang yang dipinjam oleh pemerintah Yunani tidak melalui konsultasi dengan rakyatnya. Ini juga terjadi dalam sebagian besar kasus utang di Indonesia. Proses mendapatkan utang oleh sebuah pemerintah tanpa persetujuan rakyat seharusnya dikategorikan Illegal debt. Begitulah, ada banyak pembelajaran yang bisa dipetik dari krisis utang di Yunani. Pembelajaran itu seharusnya membuat pemerintah kita tidak pongah dalam melihat realitas ekonomi nasional, termasuk beban utang di pundak kita. Ada banyak negara yang ambruk dalam krisis akibat menyembunyikan realitas ekonominya. Ingatlah pesan bijak ini: kesombongan adalah kelemahan yang ditutupi oleh kebohongan. Rudi Hartono, pemimpin redaksi Berdikari Online 4