BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Jasa (Service)

advertisement
14
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Jasa (Service)
Kotler and Keller (2006) mengemukakan jasa adalah setiap tindakan atau
kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak
berwujud dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan. Produksi jasa dapat
terikat atau tidak terikat pada suatu produk fisik. Zeithaml and Bitner (2003)
mengemukakan bahwa jasa pada dasarnya adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan
output selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat
bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud bagi pembeli
pertamanya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa jasa
pada dasarnya adalah sesuatu yang mempunyai ciri-ciri seperti: suatu yang tidak
berwujud, tetapi dapat memenuhi kebutuhan konsumen; proses produksi jasa dapat
menggunakan atau tidak menggunakan bantuan suatu produk fisik; jasa tidak
mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan; dan, terdapat interaksi antara
penyedia jasa dengan pengguna jasa.
Menurut Zeithaml and Bitner (2003), jasa memiliki empat ciri utama yang
sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu pertama tidak berwujud
(intangibility), hal ini menyebabkan konsumen tidak dapat melihat, mencium,
14
15
meraba, mendengar dan merasakan hasilnya sebelum mereka membelinya. Untuk
mengurangi ketidakpastian, konsumen akan mencari informasi tentang jasa tersebut,
seperti lokasi perusahaan, para penyedia dan penyalur jasa, peralatan dan alat
komunikasi yang digunakan serta harga produk jasa tersebut. Beberapa hal yang
dapat dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepercayaan calon konsumen, yaitu
sebagai berikut: a. Meningkatkan visualisasi jasa yang tidak berwujud, b.
Menekankan pada manfaat yang diperoleh, c. Menciptakan suatu nama merek (brand
name) bagi jasa, atau d. Memakai nama orang terkenal untuk meningkatkan
kepercayaan konsumen.
Kedua, tidak terpisahkan (inseparability), jasa tidak dapat dipisahkan dari
sumbernya, yaitu perusahaan jasa yang menghasilkannya. Jasa diproduksi dan
dikonsumsi pada saat bersamaan. Jika konsumen membeli suatu jasa maka ia akan
berhadapan langsung dengan sumber atau penyedia jasa tersebut, sehingga penjualan
jasa lebih diutamakan untuk penjualan langsung dengan skala operasi terbatas. Untuk
mengatasi masalah ini, perusahaan dapat menggunakan strategi-strategi, seperti
bekerja dalam kelompok yang lebih besar, bekerja lebih cepat, serta melatih pemberi
jasa supaya mereka mampu membina kepercayaan konsumen.
Ketiga, bervariasi (variability), jasa yang diberikan sering kali berubah-ubah
tergantung siapa yang menyajikannya, kapan dan dimana penyajian jasa tersebut
dilakukan. Ini mengakibatkan sulitnya menjaga kualitas jasa berdasarkan suatu
standar. Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan dapat menggunakan tiga
pendekatan dalam pengendalian kualitasnya, yaitu sebagai berikut: a. Melakukan
investasi dalam seleksi dan pelatihan personil yang baik. b. Melakukan standarisasi
16
proses produksi jasa. c. Memantau kepuasan pelanggan melalui sistem saran dan
keluhan, survei pelanggan, dan comparison shopping, sehingga pelayanan yang
kurang baik dapat diketahui dan diperbaiki (Zeithaml and Bitner, 2003).
Empat, mudah musnah (perishability), jasa tidak dapat disimpan sehingga
tidak dapat dijual pada masa yang akan datang. Keadaan mudah musnah ini bukanlah
suatu masalah jika permintaannya stabil, karena mudah untuk melakukan persiapan
pelayanan sebelumnya. Jika permintaan berfluktuasi, maka perusahaan akan
menghadapi masalah yang sulit dalam melakukan persiapan pelayanannya. Untuk itu
perlu dilakukan perencanaan produk, penetapan harga, serta program promosi yang
tepat untuk mengantisipasi ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran jasa.
Pernyataan ini didukung oleh Kotler (2000) dalam Kotler and Keller (2006),
yang mengemukakan bahwa terdapat empat karakteristik yang terdapat dalam jasa,
yaitu: 1) Tidak berwujud (intangibility), jasa tidak dapat dilihat, dicium, atau diraba.
Untuk mengurangi ketidakpastian, para pembeli akan mencari tanda atau bukti dari
mutu jasa tersebu melalui tempat, orang, peralatan, simbol, dan harga yang mereka
lihat. Oleh karena itu, tugas penyedia jasa adalah mengelola bukti tersebut, sehingga
mewujudkan yang tidak berwujud; 2) Konsumen selalu terlibat didalam proses jasa
(inseparability), jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedia jasa (provider), baik
berbentuk manusia atau mesin. Jika seseorang memberikan pelayanan, maka
penyedianya merupakan bagian dari jasa tersebut. Interaksi penyedia jasa dan
konsumen merupakan ciri khusus dalam proses penyampaian jasa; 3) Bervariasi
(variability), banyaknya variasi kualitas jasa tergantung pada siapa, kapan, dimana,
dan bagaimana jasa tersebut dihasilkan; 4) Mudah lenyap (perishability), jasa berbeda
17
dengan barang dimana tidak dapat disimpan untuk kemudian dijual dan digunakan
oleh konsumen sebagai akibat keberadaan nilai jasa hanya pada titik tertentu dan akan
lenyap, seperti kursi pesawat yang kosong, kamar hotel yang tidak dihuni atau jam
tertentu tanpa pasien di tempat praktek dokter gigi akan hilang atau berlalu begitu
saja karena jasa itu tidak dapat disimpan.
2.2
Persepsi Harga (Price Perception)
Pada saat konsumen melakukan evaluasi dan penilaian terhadap harga dari
suatu produk sangat dipengaruhi oleh perilaku dari konsumen itu sendiri. Sementara
perilaku konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam Kotler and Keller (2006),
dipengaruhi 4 aspek utama yaitu budaya, sosial, personal (umur, pekerjaan, kondisi
ekonomi) serta psikologi (motivasi, persepsi, percaya). Sedangkan menurut
Schiffman & Kanuk (2000) persepsi adalah suatu proses dari seorang individu dalam
menyeleksi, mengorganisasikan, dan menterjemahkan stimulus-stimulus atau
informasi yang datang menjadi suatu gambaran yang menyeluruh. Dengan demikian
penilaian terhadap harga suatu produk dikatakan mahal, murah atau biasa saja dari
setiap individu tidaklah harus sama, karena tergantung dari persepsi individu yang
dilatar-belakangi oleh lingkungan kehidupan dan kondisi individu. Dalam
kenyataannya konsumen dalam menilai harga suatu produk, sangat tergantung bukan
hanya dari nilai nominal secara absolut tetapi melalui persepsi mereka pada harga
(Nagle & Holden, 1995) dalam Isman Pepadri (2002). Secara umum persepsi
18
konsumen terhadap harga tergantung dari perception of price differences (persepi
mengenai perbedaan harga) dan reference prices (referensi harga).
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap kewajaran suatu
harga. Pertama, perception of price differences, menurut hukum Weber-Fechner,
dalam buku The Strategic dan Tactics of Pricing: A Guide to Growing More
Profitably (Nagle & Hogan, 2006), pembeli cenderung untuk selalu melakukan
evaluasi terhadap perbedaan harga antara harga yang ditawarkan terhadap harga dasar
yang diketahui. Sebagai contoh, PT. Excelcomindo Pratama Tbk menawarkan
produk-produk berkualitas dengan nilai harga yang tinggi dianggap sebagai satu hal
yang relevan dan rasional, sehingga konsumen dapat menerima tawaran harga pada
tiap-tiap produk yang ditawarkan oleh PT. Excelcomindo Pratama Tbk. Dari hukum
Weber-Fechner dapat disimpulkan bahwa persepsi konsumen terhadap perubahan
harga tergantung pada prosentase dari perubahan harga tersebut, bukan terhadap
perbedaan absolutnya dan besaran harga baru tersebut tetap berada pada “acceptable
price”(Isman Pepadri, 2002).
Faktor lain yang mempengaruhi persepsi terhadap kewajaran suatu harga
adalah price references yang dimiliki oleh pelanggan yang didapat dari pengalaman
sendiri (internal price) dan informasi luar yaitu iklan dan pengalaman orang lain
(external references price). Informasi dari luar tersebut sangat dipengaruhi : (1)
Harga kelompok produk (product line) yang dipasarkan oleh perusahaan yang sama,
(2) Perbandingan dengan harga produk saingan, (3) Urutan produk yang ditawarkan
(Top Down Selling), (4) Harga produk yang pernah ditawarkan konsumen (Recalled
Price) (Schiffman & Kanuk, 2000).
19
Sedangkan Persepsi terhadap kewajaran harga dapat pula dijelaskan dengan
teori acquisition transaction utility. Konsumen akan melakukan pembelian
(acquisition utility) apabila harga tersebut dikaitkan dengan keuntungan atau kerugian
dalam perspektif fungsi produk. Sedangkan transaction utility, konsumen
mempersepsikan harga dengan kenikmatan atau ketidaknyamanan dalam aspek
keuangan yang didapat dari perbedaan antara internal reference prices dengan harga
pembelian (Isman Pepadri, 2002).
Dalam penelitian Andreas Hermann (2007) dikemukakan bahwa konsumen
menganggap penting untuk memperhatikan harga didalam membuat keputusan untuk
memberli suatu produk. Secara spesifik, setiap konsumen menyadari hubungan yang
relatif antara harga dan tingkat harapan mereka tentang produk yang akan dibeli
(Voss, et.al., 1998). Selanjutnya, kuota dari suatu harga yang ditawarkan dapat
dikomparasi dengan pengalaman dan harapan konsumen, sehingga harga yang
ditawarkan dapat diterima atau setidaknya sesuai dengan kualitas produk yang
ditawarkan.
2.3
Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction)
Menurut Farida Jasfar (2002), kepuasan pelanggan terhadap suatu jasa adalah
perbandingan antara persepsi pelanggan terhadap jasa yang diterima dengan
harapannya sebelum menggunakan jasa tersebut. Pernyataan ini didukung oleh Kotler
and Keller (2006) yang menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah perasaan
20
senang atau kecewa yang muncul setelah membandingkan antara persepsi pelanggan
terhadap hasil dari suatu produk dengan harapannya. Lebih spesifik, secara analogika
kepuasan pelanggan berarti sejauh mana anggapan terhadap kualitas produk dalam
memenuhi harapan pelanggan. Jika kualitas produk lebih rendah dibandingkan
dengan harapan, maka pelanggan tersebut tidak puas atau kecewa. Sebaliknya, jika
kualitasnya sesuai atau bahkan melebihi harapan, pelanggan tersebut akan merasa
puas (Kotler dan Amstrong, 2004). Ketiga pernyataan diatas memiliki kesamaan
bahwa kepuasan pelanggan dapat muncul, jika kualitas produk sebanding atau
melebihi harapan pelanggan sebelum membelinya. Dengan demikian, kepuasan
pelanggan akan datang dengan sendirinya bila jasa yang dijual perusahaan sesuai atau
bahkan melampaui apa yang diinginkan pelanggan. Sebaliknya, bila kekecewaan
pelanggan yang timbul, perusahaan telah melakukan kesalahan yang merusak
citranya. Hal ini akan menimbulkan akibat buruk bagi perusahaan sebab mereka akan
meninggalkan perusahaan dan menjadi pelanggan dari perusahaan pesaing.
Adapun definisi lain, Zeithaml dan Bitner (2003) menyatakan bahwa
kepuasan pelanggan merupakan penilaian mengenai keistimewaan produk atau jasa
itu sendiri yang menyediakan tingkat kesenangan pelanggan berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan konsumsi pelanggan. Dari definisi diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa kepuasan pelanggan adalah penilaian positif pelanggan terhadap
kualitas produk yang telah dijanjikan oleh perusahaan dalam memenuhi
kebutuhannya. Pelanggan sangat peka terhadap kualitas pelayanan yang telah
diterima. Kepuasan pelanggan atas kualitas jasa tersebut dapat terlihat dari terpenuhi
tidaknya kebutuhan pelanggan yang tampak dari sikapnya terhadap produk tersebut.
21
Pelanggan memasuki situasi jual-beli dengan harapan-harapan tertentu. Pelanggan
mempunyai angan-angan tentang perasaan yang ingin mereka rasakan ketika mereka
menyelesaikan suatu transaksi atau ketika mereka menggunakan barang yang mereka
beli maupun ketika menikmati pelayanan yang telah mereka bayar. Mencapai tingkat
kepuasan pelanggan tertinggi adalah tujuan utama pemasaran. Pada kenyataannya,
akhir-akhir ini banyak perhatian tercurah pada konsep kepuasan “total,” yang
implikasinya adalah mencapai kepuasan sebagian saja tidaklah cukup untuk membuat
pelanggan setia dan kembali lagi. Ketika pelanggan merasa puas akan pelayanan yang
didapatkan pada saat proses transaksi dan juga puas akan barang atau jasa yang
mereka dapatkan, besar kemungkinan mereka akan kembali lagi dan melakukan
pembelian-pembelian yang lain dan juga akan merekomendasikan pada teman-teman
dan keluarganya tentang perusahaan tersebut dan produk-produknya. Juga kecil
kemungkinannya mereka berpaling ke pesaing-pesaing perusahaan. Mempertahankan
kepuasan pelanggan dari waktu ke waktu akan membina hubungan yang baik dengan
pelanggan. Hal ini dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dalam jangka
panjang.
Menurut Zeithaml dan Bitner (2003), terdapat bermacam-macam faktor yang
dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan, antara lain: 1) Aspek barang dan jasa,
kepuasan pelanggan terhadap barang atau jasa dipengaruhi secara signifikan oleh
penilaian pelanggan terhadap fitur barang dan jasa; 2) Aspek emosi pelanggan, emosi
atau perasaan dari pelanggan dapat mempengaruhi persepsinya mengenai tingkat
kepuasan terhadap barang dan jasa. Emosi ini berkaitan dengan suasana hati. Pada
saat seorang pelanggan sedang mengalami suasana hati yang gembira akan
22
mempengaruhi persepsi yang positif terhadap kualitas suatu jasa yang sedang
dikonsumsi. Sebaliknya, jika seorang pelanggan sedang mengalami suasana hati yang
buruk, maka emosi tersebut akan membawa tanggapan yang buruk terhadap suatu
jasa yang sedang dikonsumsi, walaupun penyampaian jasa tersebut tidak ada
kesalahan sedikitpun; 3) Aspek pengaruh kesuksesan atau kegagalan jasa, pelanggan
terkadang dikagetkan oleh sebuah hasil suatu jasa dimana bisa lebih baik atau lebih
buruk dari yang diharapkan, dan biasanya pelanggan cenderung untuk mencari
penyebabnya. Kegiatan pelanggan dalam mencari penyebab suatu kesuksesan atau
kegagalan jasa inilah yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasannya terhadap barang
dan jasa; 4) Aspek persepsi atas persamaan atau keadilan, pelanggan akan bertanyatanya pada diri mereka sendiri: “Apakah saya sudah dilayani secara adil
dibandingkan pelanggan lain? Apakah pelanggan lain mendapatkan perlakuan yg
lebih baik, harga yang lebih murah, atau kualitas jasa yang lebih baik? Apakah saya
membayar harga yang layak untuk jasa yang saya dapatkan? Apakah saya
diperlakukan secara baik sebanding dengan biaya dan usaha yang saya keluarkan? ”
Pemikiran mengenai persamaan dan keadilan ini dapat mengubah persepsi pelanggan
pada tingkat kepuasannya terhadap barang dan jasa tersebut; 5) Pelanggan lain,
keluarga, dan rekan kerja. Kepuasan pelanggan juga dipengaruhi oleh orang lain.
Misalnya, kepuasan terhadap perjalanan liburan keluarga adalah fenomena yang
dinamis, dipengaruhi oleh reaksi dan ekspresi oleh anggota keluarga selama liburan.
Kemudian, apakah ekspresi kepuasan atau ketidakpuasan anggota keluarga terhadap
perjalanan dipengaruhi oleh cerita yang diceritakan kembali diantara keluarga dan
memori mengenai suatu peristiwa.
23
Dalam mengukur kepuasan pelanggan diperlukan empat perangkat (Kotler,
2000), yaitu: 1) Sistem keluhan dan saran (complain and suggestion system), sebuah
perusahaan yang berorientasi pada pelanggan, biasanya menyediakan formulir/ kotak
saran/ hot-lines dengan nomor gratis sehingga mempermudah pelanggannya untuk
memberikan saran dan keluhan. Perusahaan juga mempekerjakan staf khusus untuk
segera menangani keluhan pelanggannya sehingga masalah dapat terselesaikan
dengan cepat; 2) Survei kepuasan pelanggan (customer satisfaction survey),
perusahaan melaksanakan survei secara berkala kepada pelanggan di berbagai tempat
untuk mengetahui apakah mereka puas dengan apa yang ditawarkan oleh perusahaan,
melalui pembagian kuesioner, interview langsung, telepon, atau e-mail. Hal ini
dilakukan untuk memperoleh umpan balik secara langsung dari pelanggan. Pelanggan
akan lebih respek terhadap perusahaan karena merasa diperhatikan oleh perusahaan
tersebut; 3) Menyamar berbelanja (ghost shopping), perusahaan menempatkan
karyawannya bertindak sebagai pembeli potensial dengan tujuan untuk mengetahui
apakah produk atau jasa yang diberikan sesuai dengan standar perusahaan dan
melaporkan hasil temuan tentang kekuatan dan kelemahan ketika membeli produk
atau jasa perusahaan bahkan dimiliki oleh pesaingnya; 4) Analisis pelanggan yang
hilang (customer loss rate analysis), perusahaan melakukan analisa penyebab dari
para pelanggan yang berhenti membeli atau berganti kepada perusahaan lainnya.
Perusahaan menghubungi secara langsung pelanggannnya untuk mengetahui
penyebab hal tersebut sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
pembuatan kebijakan perbaikan di masa sekarang dan akan datang, dan diharapkan
pelanggannya selalu loyal terhadap perusahaan.
24
2.4
Kepercayaan Pelanggan (Customer Trust)
Kepercayaan pelanggan dapat didefinisikan sebagai bentuk keyakinan
pelanggan terhadap sebuah janji perusahaan yang bersifat reliable (tepat dan dapat
dipercaya) dan juga merupakan alasan dasar untuk menjalin hubungan dengan
perusahaan (Schurr dan Ozanne, 1985 dalam Donio' et al., 2006). Dari definisi
mengenai kepercayaan pelanggan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kepercayaan pelanggan adalah suatu keadaan yang meliputi keyakinan dan harapan
pelanggan yang positif terhadap janji dari pihak perusahaan yang dapat diandalkan
dan
dipercaya,
sehingga
mengokohkan
hubungan
kerjasama
yang
saling
menguntungkan.
Menurut Shankar Ganesan, 1994 dalam buku Manajemen Jasa Hj. Farida
Jasfar (2002) menjelaskan bahwa kepercayaan itu merupakan refleksi dari dua
komponen, yaitu: 1) Credibility yang didasarkan kepada besarnya kepercayaan
kemitraan dengan organisasi lain dan membutuhkan keahlian untuk menghasilkan
efektifitas dan kehandalan pekerjaan; 2) Benevolence yang didasarkan pada besarnya
kepercayaan kemitraan yang memiliki tujuan dan motivasi yang menjadi kelebihan
untuk organisasi lain pada saat kondisi yang baru muncul yaitu kondisi dimana
komitmen tidak terbentuk.
Pada buku Manajemen Jasa (Berry, 1999 dalam Hj. Farida Jasfar, 2002)
mengajukan suatu model yang menjelaskan faktor-faktor apa saja yang menjadi
25
pondasi terbentuknya hubungan jangka panjang yang berdasarkan kepercayaan.
Model hubungan berdasarkan kepercayaan terdapat dua landasan utama untuk
terciptanya kepercayaan terhadap perusahaan, yaitu:
1) Penilaian
terhadap
kompetensi
atau
kehandalan
perusahaan
(perceived
competence), dalam studi yang dilakukan Berry, Parasuraman dan Zeithaml
disimpulkan bahwa konsumen selalu mengukur kompetensi atau kehandalan
pelayanan sebagai suatu hal yang paling penting dalam penilaian kualitas
pelayanan. Studi tersebut mencakup berbagai jenis usaha jasa antara lain
perbankan, asuransi kendaraan dan jasa perbaikan komputer. Dari penelitian ini
Berry dan kawan-kawan mempelajari bahwa kompetensi dari suatu perusahaan
jasa merupakan alat yang sangat penting dalam mendapatkan kepercayaan
konsumen;
2) Penilaian terhadap keadilan atau kejujuran (perceived fairness), kompetensi dan
kejujuran memberi kontribusi pada kepercayaan yang mengarah kepada
kesetiaan. Kepercayaan menjadi dasar dalam setiap hubungan yang signifikan
untuk keseimbangan resiko dan keuntungan. Kejujuran adalah persepsi seseorang
pada tingkat keadilan didalam perilaku perusahaan. Selama ini, kejujuran kurang
berkembang sebagai masalah konsumen, tenaga kerja atau rekan bisnis. Dua
kondisi yang secara umum dapat memancing timbulnya persepsi yang positif
maupun negatif terhadap kejujuran (individu) atau perilaku perusahaan
mempengaruhi persepsi mereka terhadap arti kejujuran atau ketidakjujuran. Satu
tindakan
yang
memperlihatkan
ketidakjujuran
akan
merusak
hubungan
selamanya. Sebaliknya, satu tindakan yang sangat khusus dan mudah diingat akan
26
mengokohkan hubungan yang berdasarkan atas kepercayaan selama bertahuntahun.
2.5
Komitmen Pelanggan (Customer Commitment)
Komitmen pelanggan dapat diartikan sebagai sebuah keinginan pelanggan
yang berkelanjutan untuk menjaga hubungan yang berharga dengan perusahaan
(Moorman et al., 1992 dalam Donio' et al., 2006). Menurut Moorman et al. (1992),
pelanggan berkomitmen pada suatu perusahaan, sebenarnya pelanggan tersebut
memiliki sebuah investasi dalam bentuk sebuah hubungan dengan perusahaan.
Konsep dari komitmen memiliki kesamaan dengan konsep dari orientasi jangka
panjang yang terdiri dari keinginan dan usaha dari pelanggan untuk mempertahankan
hubungannya dengan produsen (Anderson dan Weitz, 1989 dalam Kenhove et al.,
2003). Ketiga pernyataan diatas didukung oleh Morgan Hunt (1994) yang
menyatakan bahwa komitmen pelanggan memiliki peranan penting karena dapat
mendorong pelanggan untuk menjaga hubungan kerjasama, dan mengurangi
kemungkinan pelanggan untuk pindah ke alternatif lain yang menawarkan
keuntungan jangka pendek. Dari ketiga pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa
komitmen pelanggan merupakan keinginan pelanggan untuk menjaga hubungan
kerjasama dengan perusahaan dalam jangka panjang.
Morgan and Hunt (1994) mendefinisikan komitmen sebagai “an exchange
partner believing that on going relationship with another is so important as to
27
warrant maximum efforts at maintaining it; that is, the committed party believes the
relationship is worth working on to ensure that it endures indefinitly.” Definisi ini
hampir sama dengan yang disampaikan oleh Moorman et al. (1992) yang menyatakan
bahwa komitmen sebagai keinginan yang terus – menerus untuk memelihara
hubungan yang bernilai. Relationship yang bernilai berhubungan dengan keyakinan
bahwa komitmen relasional hanya ada ketika relationship dipertimbangkan sebagai
hal yang penting. Selain itu, keinginan yang terus menerus untuk mempertahankan
hubungan berhubungan dengan pandangan bahwa mitra yang komit menginginkan
relationship
dapat
berjalan
terus-menerus
dan
akan
berusaha
untuk
mempertahankannya.
Dalam area pemasaran jasa, Berry and Parasuraman (1991) menyatakan
bahwa relationships dibangun di atas fondasi mutual komitmen. Selain itu komitmen
juga merupakan proses pelanggan untuk memiliki keinginan menjalin hubungan
dengan perusahaan tertentu. Tema yang sering muncul dari berbagai literatur
relationship adalah berbagai pihak mengidentifikasi komitmen di antara mitra
pertukaran sebagai kunci untuk memperoleh hasil yang bernilai bagi mereka, dan
mereka berusaha keras untuk mengembangkan dan memelihara atribut bernilai ini
dalam relationship mereka. Oleh karena itu, komitmen adalah sentral bagi semua
pertukaran relasional antara perusahaan dan berbagai mitranya.
Secara umum ada dua tipe komitmen yang berbeda. Calculative dan affective
(Peppers and Rogers, 2004). Calculative commitment berhubungan dengan tipe
instrumen
dari
komitmen,
dan
sebagai
perluasan
dari
kebutuhan
untuk
mempertahankan relationship yang disebabkan oleh adanya manfaat ekonomi dan
28
switching cost. Calculative commitment dihasilkan dari analisis ekonomi dari biaya
dan manfaat dengan membuat komitmen.. Sementara affective commitment timbul
karena seseorang memiliki ikatan emosional, bukan karena alasan ekonomi.
Calculative commitment berhubungan negatif dengan kepercayaan dan
didasarkan pada perhitungan biaya dan benefit. Jadi tidak kondusif bagi
perkembangan relationship jangka panjang. Sebaliknya, affective commitment
didasarkan pada relationship yang berkesinambungan, bukan karena benefit ekonomi
jangka pendek, tetapi karena setiap pihak merasakan kedekatan emosional atau
psikologikal satu sama lain. Affective commitment secara positif berhubungan dengan
kepercayaan dan mendukung benefit relationship dalam waktu yang lebih lama,
menurunkan opportunism, dan keinginan untuk memecahkan konflik dengan cara
damai. Oleh karena komitmen bersifat rentan, relationship dijalin dengan pihak yang
dapat dipercaya. Oleh sebab itu, kepercayaan adalah kontributor yang kuat bagi
komitmen. Sepanjang garis yang sama, komunikasi dan pertukaran informasi yang
terbuka dapat digunakan untuk menciptakan sikap positif anggota relationship dan
dapat digunakan untuk menguatkan benefit relationship. Anggota relationship yang
menunjukkan kemampuan untuk menyampaikan manfaat superior akan dinilai tinggi
oleh pihak yang secara senang melibatkan diri dalam relationship.
2.6
Loyalitas Pelanggan (Customer Loyalty)
Oliver, 1997 dalam Donio' et al., (2006) mendefinisikan bahwa loyalitas
pelanggan adalah suatu komitmen yang sangat mendalam dari pelanggan untuk
29
membeli kembali suatu produk yang disukai secara konsisten di masa mendatang.
Menurut Bendall-lyon dan Power (2003), loyalitas pelanggan meliputi keinginan
pelanggan untuk kembali pada suatu penyedia jasa, dan juga keinginan untuk
merekomendasikan penyedia jasa tersebut kepada orang lain. Kedua pernyataan ini
didukung oleh Lovelock and Wright (2002) mengemukakan bahwa loyalitas
pelanggan merupakan kesediaan pelanggan untuk terus bcrlangganan pada suatu
perusahaan dalam jangka panjang, dengan membeli dan menggunakan barang atau
jasanya secara berulang-ulang, serta dengan sukarela merekomendasikan barang atau
jasa perusahaan tersebut kepada teman dan kerabat. Dari ketiga pernyataan ini
memiliki kesamaan bahwa loyalitas pelanggan merupakan kesediaan pelanggan untuk
kembali bahkan berulang-ulang membeli barang atau jasa yang disukai dalam jangka
panjang dan juga bersedia merekomendasikan kepada orang lain.
Hasil penilaian konsumen atas kualitas pelayanan akan membentuk pola
loyalitas konsumen tertentu (consumer loyalty pattern), yaitu dari sangat loyal sampai
dengan sangat tidak loyal (Kotler, 1994). Konsumen dikatakan sangat loyal bila ia
mempunyai pola konsumsi terhadap satu pelayanan pada setiap waktu dan tidak
pernah berganti dari satu pelayanan ke pelayanan yang lain, tingkatan ini
menunjukkan loyalitas yang sangat tinggi. Pada sisi lain konsumen disebut sangat
tidak loyal bila konsumen sama sekali tidak memiliki loyalitas pada pelayanan
tertentu. Konsumen semacam ini setiap waktu memiliki pola konsumsi yang berubahubah dari satu pelayanan ke pelayanan yang lainnya. Pada kenyatannya menciptakan
konsumen yang loyal bukan hal yang mudah, terutama dengan banyaknya dimensi
kualitas pelayanan yang dapat digunakan oleh konsumen dalam memberikan
30
penilaian.
Pelanggan berbeda dengan konsumen (Consumer), seseorang dapat dikatakan
sebagai pelanggan apabila orang tersebut mulai membiasakan diri untuk membeli jasa
yang ditawarkan oleh badan usaha. Kebiasaan tersebut dapat dibangun melalui
pembelian secara berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu apabila dalam jangka
waktu tertentu tidak melakukan pembelian ulang maka orang tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai pelanggan tetapi seorang pembeli atau konsumen.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Griffin (1995) mengenai perbedaan antara
konsumen dan pelanggan yaitu, pelanggan merupakan seseorang yang membeli suatu
produk dari kita. Para pelanggan ini menetapkan kegiatan pembelian dan interaksi
pada kesempatan waktu yang berulang-kali. Tanpa adanya pengalaman mengenai
kegiatan pembelian seseorang belum bisa dibilang pelanggan melainkan pembeli.
Definisi customer loyalty adalah kegiatan dan perilaku dalam intensitas
pembelian yang dilakukan secara berulang-kali (Peter Olson, 1993). Dari definisi
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa loyalitas pelanggan merupakan dorongan dan
perilaku untuk melakukan pembelian secara berulang-ulang dan untuk membangun
kesetiaan pelanggan terhadap sesuatu jasa yang dihasilkan oleh badan usaha
membutuhkan waktu yang lama melalui suatu proses pembelian berulang-ulang
tersebut. Konsep loyalitas lebih berkaitan dengan perilaku pelanggan.
Penjelasan dari loyalitas tersebut adalah jumlah rata-rata seorang pelanggan
melakukan pembelian ulang selama periode waktu tertentu. Pelanggan yang setia
pada suatu perusahaan akan membeli product atau jasa baru yang diluncurkan oleh
perusahaan tersebut. Hal tersebut telah mendorong pelanggan yang lain untuk
31
membeli product atau jasa dari suatu perusahaan dan menunjukkan bahwa seorang
pelanggan mempunyai suatu ketahanan terhadap daya tarik yang dimiliki para
pesaing dari suatu perusahaan.
Menurut Kotler dan Armstrong (2004) bahwa loyalitas berasal dari
pemenuhan harapan konsumen, sedangkan ekspektasi berasal dari pengalaman
pembelian terdahulu oleh konsumen, opini dari teman dan kerabat dan janji atau
informasi dari pemasar atau pesaing. Ada alasan untuk pengembangan hubungan
jangka panjang dengan konsumen seperti biaya perolehan pelanggan baru tinggi,
pelanggan yang setia cenderung untuk menghabiskan lebih banyak, pelanggan yang
puas merekombinasikan produk-produk dan jasa perusahaan, dan pelanggan yang
setia akan menekan pesaing dari pembagian pasar.
Dengan mengkombinasikan komponen sikap dan perilaku pembelian ulang,
maka didapat 4 situasi kemungkinan loyalitas (Dick & Basu, 1994) yaitu: a. No
Loyalty, bila sikap dan perilaku pembelian ulang pelanggan sama-sama lemah, maka
loyalitas tidak terbentuk. Ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, sikap yang
lemah (mendekati netral) bisa terjadi bila suatu produk atau jasa baru diperkenalkan
atau pemasarannya tidak mampu mengkomunikasikan keunggulan produknya.
Kedua, berkaitan dengan dinamika pasar, dimana merek-merek yang berkompetisi
dipersepsikan serupa atau sama. Konsekuensinya, pemasar mungkin sangat sukar
membentuk sikap yang positif atau kuat terhadap produk/ jasa atau perusahannya,
namun ia bisa mencoba menciptakan spurious loyalty melalui pemilihan lokasi yang
strategis, promosi yang agresif, meningkatkan shelf space untuk merk produk atau
jasa; b. Spurious Loyalty, bila sikap yang relatif lemah disertai dengan pola
32
pembelian ulang yang kuat, maka yang terjadi adalah spurious loyalty atau captive
loyalty. Situasi semacam ini ditandai dengan pengaruh factor non sikap terhadap
perilaku, misalnya norma subyektif dan factor situasional; c. Latent Loyalty, situasi
latent loyalty tercermin bila sikap yang kuat disertai dengan pola pembelian ulang
yang lemah. Situasi yang menjadi perhatian besar para pemasar ini disebabkan
pengaruh factor-faktor nonsikap yang sama kuat atau bahkan cenderung lebih kuat
dari pada factor sikap dalam menentukan pembelian ulang; dan, d. Loyalty, situasi ini
merupakan situasi ideal yang paling diharapkan para pemasar, dimana konsumen
bersikap positif terhadap jasa atau penyedia jasa bersangkutan dan disertai pola
pembelian ulang yang konsisten. Klasifikasi loyalitas berdasarkan sikap dan perilaku
ini juga memberikan gambaran mengenai beberapa kemungkinan reaksi pesaing
terhadap perusahaan yang memiliki tingkat loyalitas pelanggan tinggi.
2.7
Keterkaitan Antar Konsep
2.7.1
Keterkaitan Price Perceptions terhadap Customer Satisfaction
Menurut Szymanski and Henard dalam Andreas Hermann (2007) bahwa
kesetaraan memiliki pengaruh dalam menilai suatu kepuasaan pelanggan, dimana hal
ini menunjukan pengaruh yang ada pada pengaruh price perceptions terhadap
kepuasan pelanggan. Dimana, pelanggan melihat harga yang dibayar sesuai dengan
produk yang ditawarkan.
33
2.7.2
Keterkaitan Customer Satisfaction terhadap Customer Trust
Menurut (Schurr dan Ozanne, 1985 dalam Donio' et al., 2006), kepercayaan
pelanggan (Customer Trust) dapat dipertimbangkan sebagai sebuah hasil dari
kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction).
Keterkaitan Customer Satisfaction
dengan Customer Trust terletak pada kepercayaan pelanggan yang muncul sebagai
akibat pelanggan tersebut telah terpenuhi kebutuhan dan keinginannya oleh karyawan
perusahaan jasa. Kepercayaan pelanggan berperan sebagai kunci kesuksesan untuk
melanjutkan usaha, terutama di bidang jasa. Apabila perusahaan tidak mampu
membina dan mempertahankan kepercayaan pelanggan, maka sangat sulit bagi
perusahaan untuk mengembalikan kepercayaan ini. Perusahaan tersebut diharuskan
selalu membina komunikasi dengan pelanggan, dan berusaha untuk memuaskannya
dengan menangani keluhan secara bijaksana.
2.7.3
Keterkaitan Customer Trust terhadap Customer Commitment
Kepercayaan pelanggan dapat didefinisikan sebagai bentuk keyakinan
pelanggan terhadap sebuah janji perusahaan yang bersifat reliable (tepat dan dapat
dipercaya) dan juga merupakan alasan dasar untuk menjalin hubungan dengan
perusahaan (Schurr dan Ozanne, 1985 dalam Donio' et al., 2006). Komitmen dan
kepercayaan merupakan dua komponen yang paling penting dari hubungan jangka
panjang antara perusahaan dengan partner pertukaran mereka. Morgan and Hunt
(1994) dalam Donio' et al., (2006) menyatakan bahwa, “relationship commitment dan
relationship trust adalah kunci bagi kesuksesan pemasaran relasional. Komitmen dan
34
kepercayaan secara langsung membawa perilaku kerjasama yang mendorong
kesuksesan pemasaran relasional.
Komitmen dan kepercayaan merupakan kunci bagi keberhasilan relationship
karena mendorong pemasar untuk (1) bekerja sama dengan mitra pertukaran dalam
menjaga relationship, (2) menolak benefit jangka pendek untuk mendapatkan benefit
jangka panjang, (3) memandang tindakan yang berpotensi memiliki risiko tinggi
secara bijaksana dengan keyakinan bahwa mitra mereka tidak akan bertindak secara
oportunis. Mereka menyatakan bahwa ketika ada komitmen dan kepercayaan,
hasilnya adalah efisiensi, produktivitas, dan efektifitas.
Kepercayaan pelanggan dapat dipertimbangkan sebagai faktor yang
mempengaruhi komitmen dan loyalitas pelanggan. Kepercayaan pelanggan
menunjukkan keberadaannya sebagai sebuah kunci penting yang menentukan
komitmen pelanggan (Morgan dan Hunt, 1994 dalam Donio' et al., 2006). Komitmen
pelanggan (Customer Commitment) tumbuh dalam benak pelanggan disebabkan
adanya kepercayaan terhadap kinerja karyawan perusahaan yang telah memenuhi
harapannya.
2.7.4
Keterkaitan Customer Commitment terhadap Customer Loyalty
Komitmen pelanggan (Customer Commitment) memiliki peranan penting
dalam mendorong pelanggan untuk menjaga hubungan kerjasama, dan mengurangi
kemungkinan pelanggan untuk pindah ke alternatif lain yang menawarkan
keuntungan jangka pendek (Morgan Hunt, 1994). Dengan adanya sebuah sikap
komitmen yang kuat dari pelanggan terhadap suatu merek dapat membentuk loyalitas
35
pelanggan pada merek tersebut (Day, 1969 dalam Donio' et al., 2006). Keterkaitan
Customer Commitment dengan Customer Loyalty terletak pada terbentuknya sebuah
loyalitas pelanggan yang disebabkan oleh keinginan pelanggan tersebut untuk
menjaga hubungan kerjasama dengan cara menggunakan jasa perusahaan secara
berulang-ulang. Pernyataan ini didukung oleh Lovelock and Wright (2002)
mengungkapkan bahwa loyalitas pelanggan (Customer Loyalty) merupakan
kesediaan pelanggan untuk terus bcrlangganan pada suatu perusahaan dalam jangka
panjang, dengan membeli dan menggunakan barang atau jasanya secara berulangulang, serta dengan sukarela merekomendasikan barang atau jasa perusahaan tersebut
kepada kerabat. Pelanggan yang loyal melakukan pembelian lebih sering
dibandingkan pelanggan lainnya yang kurang loyal.
2.7.5
Keterkaitan Customer Satisfaction terhadap Customer Loyalty
Kepuasan pelanggan sebagai sebuah indikator yang dapat mempengaruhi
loyalitas pelanggan (Costabile, 2001 dalam Donio' et al., 2006). Keterkaitan kepuasan
pelanggan dengan loyalitas pelanggan terletak pada proses pembentukan loyalitas
yang disebabkan pelanggan tersebut telah terpenuhi kebutuhan dan keinginannya oleh
karyawan perusahaan.
a) Pengaruh positif antara Customer Satisfaction dengan Customer Loyalty
Menurut Anderson et al. (1994) didalam penelitiannya, mengungkapkan bahwa
kepuasan pelanggan yang tinggi akan mengakibatkan loyalitas pelanggan
meningkat kepada perusahaan, dan para pelanggan cenderung kurang berminat
dengan tawaran perusahaan lain. Pelanggan yang merasa puas setelah terpenuhi
36
kebutuhannya akan kembali lagi kepada perusahaan jasa tersebut di masa
mendatang. Dengan adanya kepuasan tersebut akan mendatangkan pelanggan
yang loyal. Pelanggan yang loyal merupakan aset yang menguntungkan bagi
perusahaan dalam jangka panjang disebabkan pelanggan yang loyal tersebut akan
menghabiskan uang lebih banyak dan menyebarkan hal-hal yang positif kepada
calon pelanggan lainnya, sehingga menambah calon pelanggan baru yang ingin
mencoba produk yang ditawarkan.
b) Pengaruh negatif antara Customer Satisfaction dengan Customer Loyalty
Menurut Jones dan Sasser, 1995 dalam Donio' et al. (2006) yang menyatakan
bahwa tingginya tingkat Customer Satisfaction tidak dapat menunjukkan
tingginya loyalitas pelanggan karena masih banyak terdapat variabel intervening
dalam proses pembentukan Customer Loyalty. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
pelanggan yang telah merasa puas dengan kinerja perusahaan belum tentu akan
selalu loyal terhadap perusahaan tersebut, melainkan pelanggan harus terlebih
dahulu percaya dan komitmen pada perusahaan.
Download