BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Menurut Ryff (dalam Bianca, 2012), konsep psychological wellbeing (PWB) secara teoritis didasarkan dan bersumber dari terori awal dalam psikologi perkembangan dan psikologi klinis. Teori tersebut menekankan potensi individu untuk hidup yang berarti dan realisasi diri dalam menghadapi tantangan. PWB melihat bagaimana individu berusaha mencapai tujuan yang bermakna, tumbuh dan berkembang serta mengembangkan hubungan yang berkualitas dengan seksama. Ryff (dalam Bianca, 2012) mengatakan bahwa, secara psikologis manusia memiliki sikap positif terhadap diri dan orang lain. Mereka mampu membuat keputusan sendiri, dan mengatur tingkah laku mereka, serta mereka mampu memilih dan membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Setiap orang memiliki tujuan yang berarti dalam hidupnya, dan mereka berusaha untuk menggali dan mengembangkan diri mereka semaksimal mungkin. Menurut Ryff (1989), well-being tidak hanya terdiri dari efek positif, efek negatif, dan kepuasan hidup, melainkan paling baik dipahami sebagai sebuah konstruk multidimensi yang terdiri dari sikap hidup. Ryff membuat skala dari psychological well-being berdasarkan 11 Universitas Sumatera Utara 12 pada sebuah integrasi dari kesehatan mental, klinis, dan teori perkembangan rentang kehidupan. 2. Dimensi Psychological Well-Being Menurut Ryff (1995), psychological well-being memiliki enam dimensi, yaitu: a. Penerimaan Diri (Self-acceptance) Menurut Ryff, penerimaan diri tidak hanya mencakup adanya sikap positif terhadap diri sendiri, akan tetapi juga penerimaan terhadap kualitas baik dan kualitas buruk dalam diri seseorang, termasuk juga perasaan positif terhadap masa lalu. Hal ini merupakan ciri kesehatan mental dan juga karakteristik dari orang yang teraktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan matang. Kemampuan untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani menandakan psychological well-being yang tinggi. b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relation with other) Ryff (dalam Birren, 1980), mengatakan bahwa menjadi seseorang yang memiliki kesehatan mental pada umur berapapun dibutuhkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dalam memberi dan membangun hubungan. Kemampuan tersebut untuk meningkatkan hubungan positif dengan orang lain. Individu yang mencapai aktualisasi diri Universitas Sumatera Utara 13 memiliki perasaan yang kuat mengenai empati dan kasih sayang terhadap semua manusia serta mampu untuk menjalin hubungan cinta yang lebih baik, persahabatan yang lebih dalam, dan identifikasi yang lebih lengkap dengan orang lain. Ryff (dalam Birre, 1980), mengemukakan bahwa ciri individu yang memiliki skor yang baik dalam hubungan dengan orang lain adalah orang yang memiliki kehangatan, kepuasan, dan hubungan kepercayaan dengan orang lain, peduli mengenai kesejahteraan orang lain, mampu berempati, intimacy, serta memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan manusia. c. Otonomi (Autonomy) Menurut Ryff, otonomi merupakan keadaan dimana seseorang mengatur nasib mereka sendiri, independen, mampu untuk mengatur perilaku, dan dapat mengambil keputusan sendiri. Karakteristik individu yang memiliki otonomi yang baik adalah self-determining dan independen, mampu bertahan terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu, mengulasi tingkah laku dari dalam diri, dan memiliki standar personal untuk mengevaluasi. d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Penguasaan lingkungan merupakan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang cocok Universitas Sumatera Utara 14 dengan kondisi psikis individu yang merupakan karakteristik dari kesehatan mental. Selama perkembangan hidup, manusia membutuhkan kemampuan untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan. Perspektif ini menunjukkan bahwa partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan hal yang penting dalam kerangka kerja fungsi positif psikologi. Memiliki penguasaan dan kompetensi dalam mengatur lingkungannya, dapat mengendalikan situasi eksternal yang kompleks, dapat menggunakan kesempatan di lingkungan secara efektif, mengenali lingkungan, serta mampu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan ppersonalnya merupakan karakteristik individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang baik. e. Tujuan Hidup (Purpose in Llife) Dalam dimensi ini menjelaskan bahwa kesehatan mental melibatkan keyakinan yang memberikan individu perasaan adanya tujuan yang berarti dalam hidupnya. Definisi kematangan juga menekankan pemahaman yang jelas tentang tujuan hidup, rasa ingin mengarahkan, dan intensionalitas. Ryff mengemukakan bahwa karakteristik individu yang memiliki skor yang tinggi adalah memiliki tujuan yang jelas dan terarah, merasakan makna kehidupan sekarang dan masa lalu, serta memegang keyakinan dalam hidupnya. Sebaliknya, individu Universitas Sumatera Utara 15 yang memiliki skor yang rendah cenderung hanya memiliki sedikit tujuan, tidak terarah, serta tidak mengetahui tujuan dan makna dalam hidupnya. f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth) Dinamika ini merupakan kebutuhan untuk mengoptimalkan fungsi psikologis tidak hanya meningkatkan karakteristik sebelumnya, tetaoi juga terus mengembangkan potensi untuk terus berkembang sebagai pribadi. Menurut Ryff, individu yang memiliki skor yang tinggi adalah individu yang memiliki keinginan untuk selalu berkembang, melihat diri sebagau pribadi yang terus tumbuh, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi diri, kemajuan diri, dan tingkah laku setiap saat, serta melakukan perubahan yang merefleksikan pemahaman diri serta efektivitas. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang, antara lain (Ryff, 1995): 1. Faktor Demografis Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychologicall well-being antara lain, sebagai berikut: a. Usia Ryff mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi psychological well-being. Universitas Sumatera Utara 16 Dalam penelitiannya, Ryff menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Namun, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan seiring bertambahnya usia. b. Jenis Kelamin Penelitian Ryff menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. c. Status Sosial Ekonomi Perbedaan kelas sosial juga mempengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Data yang diperoleh dari Wisconsin Longitudinal Study (dalam Ryff, 1995) memperlihatkan gradasi sosial dalam kondisi well-being pada dewasa madya. Data tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi dan status pekerjaan meningkatkan psychological well-being, terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup. Universitas Sumatera Utara 17 d. Budaya Penelitian mengenai psychological well-being (dalam Ryff, 1995) yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri. Hal ini dapat disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif dan saling ketergantungan. Sebaliknya, responden Amerika memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujuan hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita. 2. Dukungan Sosial Menurut Davis (dalam Pratiwi, 2000), individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological wellbeing yang lebih tinggi. Dukungan sosial dapat diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang di dapat dari orang lain atau kelompok. Dukungan ini dapat berasal dari berbagai sumber, diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial. Terdapat empat jenis dukungan sosial (Ryff, dalam Sarafino, 1990), yaitu: Universitas Sumatera Utara 18 a. Dukungan Emosional (Emotional Support) Dukungan emosi melibatkan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap seseorang. Dukungan ini memberikan rasa nyaman, aman, dimiliki, dan dicintai pada individu penerima, terutama pada saat-saat stres. b. Dukungan Penghargaan (Esteem Support) Dukungan penghargaan muncul melalui pengungkapan penghargaan yang positif, dorongan atau persetujuan terhadap pemikiran atau perasan, dan juga perbandingan yang positif antara individu dengan orang lain. Dukungan ini membangun harga diri, kompetensi, dan perasaan dihargai. c. Dukungan Instrumental (Tangible or Instrumental Support) Dukungan ini melibatkan tindakan konkrit atau memberikan pertolongan secara langsung. d. Dukungan Informasional (Informational Support) Dukungan ini meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran, atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang. 3. Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup Ryff (dalam pengalaman psychological hidup Sarafino, 1990) mengemukakan bahwa tertentu dapat mempengaruhi kondisi well-being seorang individu. Pengalaman- Universitas Sumatera Utara 19 pengalaman tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan dalam berbagai periode kehidupan. 4. Locus of Control (LOC) Locus of control didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan umum seseorang mengenai pengendalian (kontrol) terhadap penguatan (reinforcement) yang mengikuti perilaku tertentu. 5. Faktor Religiusitas Penelitian mengenai psikologi dan religiusitas yang dilakukan oleh Ellison dan Levin (dalam Bianca, 2012) menemukan hubungan positif antara religiusitas dan psychological well-being. Mereka menemukan beberapa hal yang menunjukkan fungsi psikososial dari agama, antara lain: doa dapat berperan penting sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi, partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi rasa penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem, dan keterlibatan religius merupakan prediktor evaluasi kepuasan hidup. B. PERILAKU PROSOSIAL 1. Definisi Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan (goal oriented) dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Perilaku prososial menurut William (dalam Dayakisni, 2003) yaitu perilaku yang memiliki intensi Universitas Sumatera Utara 20 untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara mental maupun psikologis. Bringham (dalam Dayakisni, 2003) menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud menyumbang kesejahteraan orang lain, dengan kedermawaan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial. Baron dan Byrne (2005) mendefinisikan perilaku prososial sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu manfaat langsung kepada orang yang melakukan tindakan menolong tersebut, dan bahkan mungkin memberikan resiko bagi orang yang menolong. Dividio (dalam Franzio, 2009) mengungkapkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang dengan sukarela bertujuan untuk menolong orang lain. Perilaku prososial juga dikatakan lebih mendasar, yang artinya tindakan tersebut bermaksud untuk memperbaiki situasi si penerima pertolongan, tindakan tersebut tidak dimotivasi oleh penyempurnaan tanggung jawab profesional, dan penerima adalah orang dan bukan organisasi. Prososial diartikan sebagai suatu tindakan heroik dengan tujuan untuk menolong orang lain. Definisi dalam konteks psikologi sosial menyebutkan definisi prososial sebagai tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu Universitas Sumatera Utara 21 keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut (Edwina, 2002). Dari beberapa pendapat para ahli tentang perilaku prososial diatas, maka ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan perilaku prososial dalam konteks penelitian ini adalah membantu orang lain dengan cara meringankan beba fisik atau psikologi orang tersebut, memperhatikan kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri (tanpa mengharapkan imbalan), dan ikut menyokong dengan tenaga dan pikiran. 2. Faktor-faktor Penentu Perilaku Prososial Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, antara lain (Baron, 2006): a. Faktor internal, terdiri dari guilt dan mood. b. Faktor eksternal, terdiri dari social norms, number of bystanders, time pressures, dan similarity. c. Faktor karakteristik penolong (helpers dispositions), terdiri dari personality trait, gender, dan religius faith. Menurut Sarwono dan Meinarno (2009) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, yaitu: a. Pengaruh Faktor Situasional 1. Bystander Orang-orang yang berada di sekitar kejadian mempunyai peran sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat memutuskan Universitas Sumatera Utara 22 antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat. 2. Daya Tarik Seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki daya tarik) akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan bantuan. 3. Atribusi terhadap korban Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia mengasumsikan bahwa letidakberuntungan korban adalah di luar kendali korban. 4. Ada model Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain. 5. Desakan waktu Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya. 6. Sifat kebutuhan korban Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benar-benar membutuhkan pertolongan, korban memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan, dan Universitas Sumatera Utara 23 bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari orang lain. b. Pengaruh Faktor dalam Diri 1. Suasana hati Emosi positif dan emosi negatif mempengaruhi kemunculan tingkah laku. 2. Sifat Karakteristik seseorang dapat mempengaruhi kecenderungan menolong orang lain. 3. Ada model Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Menurut Sears (2994) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, antara lain: a. Faktor situasi, terdiri dari: 1) Kehadiran orang lain Kehadiran orang lain terkadang dapat menghambat usaha untuk menolong, karena orang yang begitu banyak menyebabkan terjadinya penyebaran tanggung jawab. Universitas Sumatera Utara 24 2) Kondisi lingkungan Kondisi lingkungan disebut juga sebagai keadaan fisik, mempengaruhi kesediaan untuk membantu. Keadaan fisik ini meliputi cuaca, ukuran wilayah, dan tingkat kebisingan. b. Faktor karakteristik penolong, terdiri dari: 1) Kepribadian Kepribadian setiap individu berbeda-beda , salah satunya adalah kepribadian individu yang mempunyai kebutuhan tinggi untuk dapat diakui oleh lingkungannya. Kebutuhan ini akan memberikan corak yang berbeda dan memotivasi individu untuk memberikan pertolongan. 2) Suasana hati Suasana hati yang buruk menyebabkan kita memusatkan perhatian pada diri kita sendiri yang menyebabkan mengurangi kemungkinan untuk membantu orang lain. 3) Rasa bersalah Rasa bersalah merupakan perasaan gelisah yang timbul bila kita melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Keinginan untuk mengurangi rasa bersalah dapat menyebabkan kita menolong orang yang kita rugikan atau berusaha menghilangkannya dengan melakukan tindakan yang lebih baik. Universitas Sumatera Utara 25 4) Distress diri dan rasa empati Distress diri adalah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, perasaan cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang dialami. Empatik adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. c. Faktor yang membutuhkan pertolongan, terdiri dari: 1) Menolong orang yang disukai Individu yang mempunyai perasaan suka terhadap orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik atau adanya kesamaan antar individu. 2) Menolong orang yang pantas ditolong Individu lebih cenderung melakukan tindakan menolong apabila individu tersebut yakin bahwa timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut. 3. Aspek Perilaku Prososial Carlo dan Randal (2002), mengemukakan 6 aspek perilaku prososial, yaitu : a. Altruism Perilaku prososial altruistic merupakan motivasi membantu orang lain terutama yang berhubungan dengan kebutuhankebutuhan dan kesejahteraan orang lain, seringkali disebabkan oleh Universitas Sumatera Utara 26 respon-respon simpati dan diinternalisasikan ke dalam normanorma atau prinsip-prinsip yang tetap dengan membantu orang lain. Asspek yang mendasari perilaku altruistik adalah adanya simpati dan internalisasi norma-norma atau prinsip-prinsip (internalized norms/principles). Empati merupakan reaksi emosi terhadap suatu hal/situasi. Empati dapat memunculkan simpati dan personal distress. Personal distress adalah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain, perasaan cemas, prihatin, tidak berdaya dan perhatian terhadap orang lain. Aspek lainnya yang berkorelasi dengan perilaku altruistik adalah internalized norms/principles. Orang yang memiliki prinsip yang tinggi dalam menolong cenderung memiliki kesukaan untuk memberi manfaat kepada orang lain. Internalized norms merupakan level tertinggi dari moral reasoning. b. Compliant Perilaku prososial compliant merupakan menolong orang lain sebagai respon terhadap permintaan baik berupa verbal ataupun nonverbal. Compliant ini lebih sering dilakukan secara spontan. Individu yang memiliki tingkat compliant yang tinggi berkaitan dengan approval oriented yang turun dari moral reasoning. c. Emotional Perilaku prososial emotional adalah kecenderungan menolong orang lain atas dasar situasi emosional yang tinggi. Hal ini dapat Universitas Sumatera Utara 27 dipengaruhi oleh hubungan atau kesamaan. Respon emosional ini dihubungkan dengan kemampuan regulasi emosi dan perilaku menolong. Bagi seseorang, memunculkan perilaku menolong ketika berada dalam situasi emosional yang tinggi dikarenakan perlunya untuk mengatasi personal distress. Karena ketika seseorang mampu memberikan pertolongan kepada orang lain, maka perilaku tersebut dapat meningkatkan suasana hati seseorang. Bagi yang lainnya, perilaku muncul dikarenakan adanya dorongan simpati. Namun, pada umumnya, perilaku prososial yang muncul karena tingkat emosional yang tinggi berkaitan erat dengan simpati dan otheroriented personal tendencies. d. Public Perilaku prososial yang dilakukan di depan orang lain yang dimotivasi dengan keinginan untuk mendapatkan penerimaan dan penghormatan ataupun pengakuan dari orang lain serta meningkatkan harga diri. Peneliti mengemukakan bahwa perilaku ini didasari oleh selforiented, sehingga mendorong perilaku prososial muncul di depan banyak orang. Self-oriented ini, perilaku prososial yang dilakukan di depan orang lain juga berhubungan dengan approval-priented dan social desirability. Universitas Sumatera Utara 28 e. Anonymous Perilaku prososial anonymous didefinisikan sebagai menolong yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang ditolong. f. Dire Dire mengacu pada menolong orang ketika dihadapkan pada keadaan krisis atau situasi darurat. Perilaku ini sama halnya dengan perilaku altruistik,, perilaku ini muncul dikarenakan adanya perasaan empati terhadap seseorang yang sedang membutuhkan pertolongan. C. PELAYAN KHUSUS Dalam Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), memiliki pelayan khusus yang bertugas sebagai petugas dalam pelaksanaan acara gereja maupun sebagai pemerhati jemaat di gereja. Pelayan khusus tersebut adalah Pendeta, Pertua dan Diaken. 1. Pendeta Pendeta (yang disingkat Pdt) berstatus sebagai pendeta Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) dan ditempatkan melayani Runggun, Klasis, dan Sinode serta di luar GBKP. Seseorang yang berhak menjadi Pdt adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan minimal sarjana teologi dari perguruan tinggi teologi yang diakui oleh GBKP. Dalam proses pendidikan, maka seorang calon Pdt akan diajari mengenai fungsi dan tugas Pdt sebagai gembala, guru, dan juga pemimpim jemaat. Seorang Pdt memiliki tanggung jawab untuk Universitas Sumatera Utara 29 memahami dan mematuhi Alkitab, Pengakuan Iman GBKP, dan Tata Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015). 2. Pertua Pertua (yang disingkat Pt) berstatus sebagai pertua GBKP yang berbasis pada Runggun yang memilihnya. Seorang Pt memiliki masa jabatan dalam 1 periode adalah selama 5 tahun kecuali diakhiri atau ditanggalkan. Seseorang yang menjabat sebagai Pt di gereja, harus memiliki panggilan dalam pelayanan kepemimpinan, menunjukkan keaktifan dalam kegiatan gereja, memperlihatkan keteladanan dalam iman dan dalam kehidupan moral sehari-hari serta memiliki karunia untuk memimpin dan melayani jemaat (dalam Tata Gereja GBKP, 2015). 3. Diaken Diaken (yang disingkat Dk) berstatus sebagai diaken GBKP yang berbasis pada Runggun yang memilihnya. Seorang Dk memiliki masa jabatan dalam 1 periode adalah selama 5 tahun kecuali diakhiri atau ditanggalkan. Seseorang yang menjabat sebagai Dk di gereja, harus memiliki panggilan dalam pelayanan kepada orang-orang yang menderita, menunjukkan keaktifan dalam kegiatan gereja, memperlihatkan keteladanan dalam iman dan dalam kehidupan moral sehari-hari serta memiliki karunia untuk memimpin dan melayani jemaat (dalam Tata Gereja GBKP, 2015). Universitas Sumatera Utara 30 D. PELAYANAN KHUSUS DI GBKP 1. Pendeta Menurut Tata Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015), adapun tugas Pendeta adalah sebagai berikut: 1. Melaksanakan pemberitaan Firman Tuhan. 2. Melayankan sakramen-sakramen. 3. Melayankan sidi, penerimaan, dan penerimaan kembali warga. 4. Menyampaikan berkat Tuhan dengan penumpangan tangan. 5. Melayani kebaktian-kebaktian. 6. Menahbiskan pendeta dengan penumpangan tangan. 7. Menahbiskan atau mengukuhkan pertua dan diaken. 8. Melaksanakan pemberkatan perkawinan. 9. Melaksanakan pendidikan dan pembinaan terutama katekisasi. 10. Memperhatikan dan menjaga ajaran yang berkembang dalam jemaat agar sesuai dengan Firman Allah dan ajaran GBKP. 11. Melaksanakan tri tugas panggilan gereja, yakni persekutuan, kesaksian, dan pelayanan. 12. Melaksanakan kegiatan lainnya membantu, mendukung, mendirikan, menjadi inspirasi, dan menyediakan fasilitas bagi pengembangan masyarakat. 2. Pertua Menurut Tata Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015), adapun tugas Pertua adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 31 1. Memimpin dan melayani jemaat, bersama-sama dengan pelayan khusus lainnya. 2. Menjadi pembimbing, pendorong, dan teladan bagi warga gereja dalam pertumbuhan menuju kedewasaan iman dalam kehidupan yang bersekutu, bersaksi, dan melayani. 3. Melakukan perkunjungan rumah tangga, memperhatikan kesejahteraan jasmani maupun rohani warga gereja, dan melaporkan kepada Majelis Runggun apabila ada warga yang perlu dibantu secara khusus. 4. Menyelenggarakan pelayanan kebaktian, pemberitaan firman, persiapan-persiapan sakramen, persiapan-persiapan pemberkatan perkawinan, persiapan sidi, penyelanggaraan pendidikan agama, menilik isis pengajaran yang tidak sesuai dengan pengajaran GBKP, serta menggembalakan warga gereja. 5. Mendampingi warga gereja yang sedang menghadapi kesulitan dirumah tangga, di lingkungan masyarakat atau di tempat kerja guna membantu mencapai jalan keluar dan menyimpan kerahasiaan yang menyangkut pribadi-pribadi warga gereja dengan sebijaksana mungkin. 3. Diaken Menurut Tata Gereja GBKP (dalam Tata Gereja GBKP, 2015), adapun tugas Diaken adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 32 1. Memberikan perhatian dan pelayanan kepada jemaat dan masyarakat yang menderita, karena: sakit dan berkebutuhan khusus, yatim piatu, terpenjara, kemiskinan., bencana alam., kemalangan, tertindas, korban ketidakadilan, korban kekerasan, dan lain-lain. 2. Menjadi pembimbing dan pendorong bagi warga gereja dalam pertumbuhan menuju kedewasaan iman dalam kehidupan yang bersekutu, bersaksi, dan melayani. 3. Menyelenggarakan pelayanan kebaktian-kebaktian. 4. Menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga Kristen, lembagalembaga pemerintah dan lembaga-lembaga dalam masyarakat yang bergerak di bidang masalah-masalah sosial, ekonomi, bantuan hukum atau upaya-upaya hukum dan lain-lain. Tugas ini dilaksanakan atas keputusan Majelis Runggun. 5. Melaksanakan pelayanan cinta kasih yang tertuju kepada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan hidup warga gereja dan masyarakat sekitar. 6. Mengusahakan dan mengembangkan bentuk-bentuk baru bagi pelayanan cinta kasih gereja di tengah-tengah masyarakat yang terus menerus berubah dan berkembang. 7. Mendampingi warga gereja yang sedang menghadapi kesulitan di rumah tangga, di lingkungan masyarakat atau di tempat kerja guna mencapai jalan keluar dan menyimpan kerahasiaan yang Universitas Sumatera Utara 33 menyangkut pribadi-pribadi warga gereja dengan sebijaksana mungkin. E. DINAMIKA HUBUNGAN PERILAKU PROSOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING Bagi pelayan khusus di gereja, tentunya banyak tuntutan-tuntutan dalam melakukan pelayanan, terutama tuntutan kerja dalam gereja. Pelayan khusus yang memiliki timgkat religiusitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jemaatnya, mampu merasakan kebahagiaan, kedamaian, kenyamanan dan juga kesejahteraan secara psikologis (Pinquart, 2001). Tidak banyak yang memilih untuk menjadi pelayan khusus di gereja, terutama mereka tidak menerima imbalan (gaji) atas pelayanan yang mereka lakukan. Namun, karena bekerja sebagai pelayan khusus mendapatkan kesejahteraan psikologis, kedamaian, dan kenyamanan secara iman, hal tersebutlah yang mendorong seseorang untuk bersedia bekerja sebagai pelayan di gereja. Bagi pelayan khusus, mereka merasakan kesejahteraan secara psikologis (psychological well-being) karena mereka mampu meresapi tugas panggilan yang berasal dari hati untuk melayani dalam nama Tuhan (Binarti, 2012). Ryff menjelaskan bahwa ketika seseorang mlebih merasakan kesejahteraan psikologis (psychological well-being), akan mendorong seseorang untuk melakukan perilaku prososial. Dalam penelitiannya, Sears mengatakan bahwa perilalu menolong dapat memberikan kepuasan dan Universitas Sumatera Utara 34 dapat meningkatkan perasaan mereka sehingga tercapainya psychological well-being. Tugas dan tanggung jawab dalam pelayanan mereka tidak terlepas dari perilaku prososial, dimana mereka harus menaungi jemaat yang ada di gereja. Sebagai pelayan khusus harus siap untuk membantu jemaat baik dalam keadaan sukacita maupun dukacita. Seorang pelayan khusus yang mampu memaknai tugas dan tanggung jawabnya sebagai panggilan dari Tuhan, mereka akan melakukan pelayanan mereka dengan sungguh-sungguh (Karina, 2015). Ketika pelayan khusus memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi maka mereka akan lebih mampu melakukan pelayanan di gereja sesuai dengan tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan khusus. F. HIPOTESIS Berdasarkan teori yang telah diuraikan dan analisis terhadap teoriteori tersebut, diajukan hipotesis sebagai berikut: Perilaku prososial memiliki hubungan dengan Psychological WellBeing. Universitas Sumatera Utara 35 G. Kerangka Berpikir PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PENGERTIAN Pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan sebagai hasil dari evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap hidupnya, baik evaluasi secara kognitif maupun secara emosi. Aspek psychological well-being: Self-acceptance, personal growth, purpose in life, positive relation with others, dan autonomy. Pelayan khusus di gereja, memiliki tingkat psychological well-being yg tinggi. Orang yang hidupnya berorientasi dengan Tuhan mampu merasakan kenyamanan, damai, bahagia dan juha merasa sejahtera secara psikologis. Tugas dan tanggung jawab sbg pelayan khusus di gereja adalah melayani warga jemaat. Pelayanan tsb tidak terlepas dari perilaku prososial. Pelayanan dalam gereja dapat berupa, kunjungan ketika sukacita maupun dukacita, kunjungan orang sakit, memasuki rumah baru, mendampingi jemaat dan melakukan pastoral konseling (pelayanan diakonia). Perilaku prososial merupakan perilaku yg bertujuan untuk memberi keuntungan pada penerima bantuan tanpa adanya kompensasi timbal balik yang jelas atas perilaku tersebut. Kenyataannya tdk semua pelayanan diakonia memunculkan perilaku prososial yang tinggi. Dari data wwcr yang di dapat banyak jemaat di gereja yang masih belum puas terhadap pelayanan diakonia. Ketika pelayan khusus memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi maka mereka akan mampu menunjukkan pelayanan. Universitas Dengan demikian, apakah ada hubungan perilaku prososial dengan psychological well-being pelayan khusus? Sumaterapada Utara