konsumsi energi dan zat gizi serta status gizi pasien lansia di ruang

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Kesehatan dan Gizi Lansia
Penuaan adalah proses normal yang dimulai sejak masa konsepsi
sampai dengan akhirnya mati (Harris 2004). Lanjut usia sesuai dengan undangundang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, adalah
seseorang yang telah mencapai lebih dari 60 tahun ke atas. Klasifikasi lansia
berdasarkan usia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu usia lanjut
(elderly) (60 – 74 tahun), usia lanjut tua (old) (75 – 90 tahun), dan usia lanjut
sangat tua (very old) (di atas 90 tahun) (Komnas Lansia 2008).
Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan secara
bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai dengan
kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 – 3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan
massa otot yang berkaitan dengan usia, berkontribusi terhadap penurunan
kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan dan keseimbangan, kehilangan
fungsi
fisik,
dan
meningkatnya
risiko
penyakit
kronis.
Selama
masa
pertumbuhan, proses anabolisme lebih banyak terjadi daripada proses
katabolisme. Saat tubuh sampai pada masa kedewasaan, tingkat katabolisme
atau perubahan degeneratif menjadi lebih besar daripada regenerasi anabolik
(Harris 2004).
Stieglietz (1954) dalam Darmojo dan Martono (2006) menerangkan
bahwa penyakit pada populasi lansia berbeda perjalanan dan penampilannya
dengan yang terdapat pada populasi lain. Secara singkat dapat disimpulkan
bahwa penyakit pada usia lanjut bersifat multi patologis atau mengenai multi
organ atau sistem, degeneratif dan saling terkait, kronis dan cenderung
menyebabkan kecacatan lama sebelum terjadinya kematian, dan biasanya juga
mengandung psikologis dan sosial. Selain itu sering terjadi polifarmasi dan
iatrogenesis, yaitu menderita penyakit baru akibat penggunaan obat-obatan yang
berlebihan dibandingkan dengan diagnosa. Brocklehurst dan Allen (1987) dalam
Darmojo dan Martono (2006) menambahkan satu hal lagi yang penting yaitu usia
lanjut juga lebih sensitif terhadap penyakit akut.
Selama proses penuaan, pembuluh darah menjadi kurang elastis dan
meningkatnya resistensi periferal sehingga meningkatkan risiko terjadinya
hipertensi. Peningkatan resistensi pembuluh darah dapat mengganggu aliran
darah ke jantung sehingga menyebabkan penyakit kardiovaskuler (Harris 2004).
Susunan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi tubuh, dapat
menciptakan dua kemungkinan, yaitu keadaan gizi kurang atau keadaan gizi
lebih (kegemukan). Keadaan obesitas ini banyak dipengaruhi oleh kegiatan yang
berlebihan dari kelenjar hipotalamus, banyaknya sel-sel lemak tubuh, umur para
lanjut usia, aktivitas jasmani yang kurang, faktor psikologis, faktor keturunan, dan
faktor endokrin. Keadaan ini sering pula menimbulkan gangguan dalam tubuh
secara mekanis, secara metabolik, traumata (kecelakaan), maupun gangguan
kardiovaskuler (Astawan & Wahyuni 1988).
Fungsi imunitas juga mengalami penurunan pada lansia, sehingga
kemampuan melawan infeksi berkurang dan meningkatnya kejadian penyakit
infeksi pada lansia. Fungsi ginjal dan kecepatan penyaringan glomerulus
mengalami penurunan sekitar 60% pada usia 30 sampai 80 tahun, terutama
jumlah nefron yang berkurang menyebabkan menurunnya aliran darah (Harris
2004). Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang harus
dilakukan ginjal akan merupakan beban tersendiri (Darmojo & Martono 2006).
Masalah gizi merupakan masalah paling penting dalam perawatan pasien
usia lanjut. Penurunan berat badan sebagai akibat kekurangan gizi merupakan
masalah utama yang seringkali dijumpai pada usia lanjut yang dirawat (Setiati
2006). Angka kematian yang berhubungan dengan underweight adalah sama
dengan angka kematian yang berhubungan dengan obesitas, terutama pada
lanjut usia (Harris 2004).
Salah gizi adalah keadaan gizi kurang atau gizi lebih karena asupan zat
gizi di bawah atau di atas kisaran yang dianjurkan dalam waktu yang lama
(Sandjaja et al. 2009). Kejadian salah gizi pada seorang pasien mempunyaki
efek negatif untuk mental maupun fisik pasien. Salah gizi pada seorang pasien
merupakan faktor yang memperpanjang masa rawat pasien, meningkatkan
kebutuhan untuk pelayanan yang dengan tingkat ketergantungan perawat yang
lebih tinggi, butuh perawatan intensif yang lebih tinggi, meningkatkan terjadinya
komplikasi dari penyakit yang diderita pasien dan tentunya akan meningkatkan
angka kematian baik karena penyakitnya atau komplikasi dari penyakitnya
(Daldiyono & Syam 2002).
Angka kejadian kekurangan energi dan protein pada pasien lansia yang
dirawat di rumah sakit berkisar antara 30% sampai dengan 65% (Fogt et al. 1995
dalam Setiati 2006). Suatu studi di Swedia mendapatkan 29% lansia mengalami
salah gizi ketika awal masuk rumah sakit (Thomas et al. 2000 dalam Setiati
2006). Studi lain di luar negeri mendapatkan sekitar 60% lansia yang di rawat di
rumah sakit mengalami kekurangan energi dan protein pada saat masuk rumah
sakit atau mengalami salah gizi ketika dirawat sampai sebelum keluar dari rumah
sakit (Sullivan et al. 1990 dalam Setiati 2006).
Makanan untuk Pasien Rawat Inap
Pengaturan makanan pada orang sakit sangat berperan dalam proses
penyembuhan penyakitnya, sama halnya dengan perawatan dan pengobatan
penyakit (Subandriyo & Santoso 1995). Pelayanan kesehatan paripurna seorang
pasien memerlukan tiga jenis asuhan yang terdiri atas asuhan medik, asuhan
keperawatan, dan asuhan gizi. Tujuan utama dari asuhan gizi adalah memenuhi
kebutuhan zat gizi pasien secara optimal baik berupa pemberian makanan pada
pasien yang dirawat maupun konseling gizi pada pasien rawat jalan. Kerjasama
tim dari unsur yang terkait untuk mewujudkan tujuan tersebut meliputi membuat
diagnosa masalah gizi, menentukan kebutuhan terapi gizi, memilih dan
mempersiapkan bahan atau makanan atau formula khusus (oral, enteral, dan
parenteral)
sesuai
kebutuhan,
melaksanakan
pemberian
makanan,
evaluasi/pengkajian gizi dan pemantauan (Depkes RI 2003).
Cara pemberian terapi gizi dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu
secara oral, enteral, dan parenteral. Pemberian secara oral merupakan cara
yang paling aman, mudah, dan terbaik. Pemberian gizi secara suplementasi oral
dilakukan bila pasien tidak dapat mengkonsumsi makanan secara cukup,
sehingga diperlukan dukungan gizi untuk memenuhi kebutuhannya (Setiati
2006). Penentuan terapi gizi pasien perlu berpedoman pada tepat gizi (bahan
makanan), tepat formula, tepat bentuk, tepat cara pemberian, serta tepat dosis
dan waktu (Depkes RI 2003). Porsi makanan yang dikonsumsi hendaknya kecil,
tetapi frekuensinya lebih sering, supaya tidak memberi rasa jenuh, pengab atau
mual (Roedjito 1989).
Perencanaan Menu
Perencanaan
menu
merupakan
suatu
rangkaian
kegiatan
untuk
menyusun suatu hidangan dalam variasi yang serasi. Perencanaan menu harus
disesuaikan dengan anggaran yang ada dan mempertimbangkan kebutuhan gizi
dan aspek kepadatan makanan, kebiasaan makan penderita, variasi bahan
makan, kombinasi yang dapat diterima oleh penderita, persiapan dan
penampilan makanan, dan cara-cara pelayanan. Pola menu sehari yang
dianjurkan di Indonesia adalah gizi seimbang yang terdiri dari makanan sumber
zat tenaga, makanan sumber zat pembangun, dan makanan sumber zat
pengatur (Subandriyo & Santoso 1995).
Tujuan dari perencanaan menu adalah tersedianya siklus menu sesuai
klasifikasi pelayanan yang ada di rumah sakit. Siklus menu pada umumnya
direncanakan pada waktu tertentu misalnya 10 sampai dengan 15 hari (Depkes
RI 2003). Siklus menu satu sampai dua minggu cocok digunakan pada rumah
sakit dengan masa rawat pasien sekitar dua sampai empat hari. Siklus menu
selama tiga sampai empat minggu biasa digunakan pada masa rawat dalam
jangka waktu yang lama (Gregoire & Spears 2007).
Pemilihan Bahan Makanan
Kejelian memilih bahan pangan adalah merupakan langkah awal untuk
menentukan mutu akhir suatu hidangan. Pemilihan diusahakan bahan makanan
yang masih segar secara alami (Astawan & Wahyuni 1988). Konsumsi supaya
diutamakan pada makanan yang dapat mendukung penyembuhan penyakit dan
menghindari makanan yang malah akan memperburuk kondisi penyakit
(Wirakusumah 2001).
Pengolahan Bahan Makanan
Pengolahan makanan merupakan suatu kegiatan mengubah (memasak)
bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas, dan
aman untuk dikonsumsi (Depkes RI 2003). Tujuan dari pemasakan terdiri atas
meningkatkan nilai estetik bahan makanan dengan memaksimalkan kualitas
(warna, tekstur, dan cita rasa), membunuh organisme berbahaya sehingga
makanan yang akan dikonsumsi terjamin aman secara mikrobiologi, dan
meningkatkan daya cerna serta mempertahankan nilai gizi (Payhe-Palacio &
Theis 2009).
Proses pemasakan terdiri dari enam macam, yaitu pemasakan dengan
medium
udara,
pemasakan
dengan
medium
air,
pemasakan
dengan
menggunakan lemak, pemasakan langsung melalui dinding panci, pemasakan
dengan kombinasi, dan pemasakan dengan elektromagnetik (Depkes RI 2003).
Lansia yang kesulitan mengunyah sebaiknya dipilihkan makanan-makanan yang
lunak dan mudah dikunyah, seperti buah-buahan, sari buah, daging giling, susu,
ikan, telur, dan lain-lainnya. Beberapa alat dapat digunakan untuk membuat
makanan menjadi lebih mudah dikunyah seperti alat pencacah daging, mixer,
crusher, grinder, blender dan peralatan-peralatan lainnya perlu disediakan
(Astawan & Wahyuni 1988).
Standar Porsi dan Pendistribusian Makanan
Setelah mengalami proses pemasakan, makanan harus mengalami
proses pemorsian dan penyaluran dari dapur ke ruang perawatan. Makanan
diporsikan berdasarkan berat, ukuran, atau jumlah makanan. Standar porsi tidak
hanya diperlukan untuk kontrol biaya, namun juga untuk menciptakan dan
mempertahankan kepuasan konsumen (Payhe-Palacio & Theis 2009). Waktu
pemorsian makanan khusus harus dilakukan bersamaan dengan makanan biasa
sehingga penyajian pada satu ruangan dapat dilakukan secara serempak. Harus
ada tanda khusus untuk plato dengan makanan biasa dan plato dengan
makanan khusus (Subandriyo & Santoso 1995).
Pendistribusian makanan adalah serangkaian kegiatan penyaluran
makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan konsumen yang
dilayani (makanan biasa atau makanan khusus). Tujuannya adalah pasien
mendapat makanan sesuai diet dan ketentuan yang berlaku. Terdapat tiga
sistem penyaluran makanan yang biasa dilaksanakan di rumah sakit, yaitu
sistem
yang
dipusatkan
(sentralisasi),
sistem
yang
tidak
dipusatkan
(desentralisasi), dan kombinasi antara sentralisasi dan desentralisasi (Depkes RI
2003).
Pendistribusian makanan secara sentralisasi dilaksanakan dengan
ketentuan makanan pasien dibagi dan disajikan dalam alat makan di tempat
pengolahan makanan. Pendistribusian makanan secara desentralisasi yaitu
makanan pasien dibawa dari tempat pengolahan ke dapur ruang perawatan
pasien dalam jumlah besar, untuk selanjutnya disajikan dalam alat makan
masing-masing pasien sesuai dengan permintaan makanan. Pendistribusian
makanan kombinasi dilakukan dengan cara sebagian makanan ditempatkan
langsung ke dalam alat makanan pasien sejak dari tempat produksi (dapur), dan
sebagian
lagi
dimasukkan
ke
dalam
wadah
besar,
pendistribusiannya
dilaksanakan setelah sampai di ruang perawatan (Depkes RI 2003). Waktu
khusus bagi pasien untuk makan harus ditetapkan jika terdapat cukup staf. Alat
makan seperti sendok, garpu, pisau, barang tembikar, dan tatanan makanan
mungkin dibutuhkan (Watson 2003).
Kebutuhan Gizi pada Pasien Lansia
Masing-masing lansia memiliki kebutuhan gizi yang unik sehingga saran
diet seharusnya diberikan secara individu (Harris 2004). Faktor-faktor yang
terkait dengan kebutuhan gizi lansia terdiri dari aktivitas fisik, kemunduran
biologis, pengobatan, serta depresi dan kondisi mental (Wirakusumah 2001).
Kebutuhan gizi dalam keadaan sakit, selain tergantung pada faktor-faktor
yang mempengaruhi dalam keadaan sehat juga dipengaruhi oleh jenis dan berat
ringannya penyakit (Almatsier 2005). Lansia yang sedang sakit akut dihitung
kebutuhan energi dan zat gizinya berdasarkan peningkatan yang dibutuhkan
untuk merespon keadaan hiperkatabolik yang disebabkan oleh stres penyakit
(Arisman 2003). Menurut Depkes RI (2003), penentuan kebutuhan gizi diberikan
kepada pasien atas dasar status gizi, pemeriksaan klinis, dan data laboratorium.
Selain itu, perlu juga memperhatikan kebutuhan untuk penggantian zat gizi,
kebutuhan harian, kebutuhan tambahan karena kehilangan serta tambahan
untuk pemulihan jaringan atau organ yang sedang sakit.
Energi
Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia
karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme
basal, dan pengurangan aktivitas fisik. Kebutuhan energi seseorang dapat
diketahui dengan menghitung kebutuhan energi sehari, atau menghitung
persentase peningkatan dari kebutuhan energi untuk metabolisme basal (Frary &
Johnson 2004).
Berat badan ideal biasanya lebih sering digunakan dalam perhitungan
kebutuhan energi daripada berat badan aktual karena perhitungan menggunakan
berat badan aktual dapat menimbulkan kesalahan perhitungan kebutuhan pada
kasus gizi kurang atau gizi lebih. Perhitungan menggunakan berat badan aktual
untuk kasus salah gizi yang sangat ekstrim adalah sebuah pengecualian (Frary &
Johnson 2004).
Kebutuhan energi pada pasien gagal jantung kongestif tergantung pada
berat badan aktual, pembatasan aktivitas, dan tingkat keparahan. Pasien gagal
jantung parah yang kurang gizi kebutuhan energinya meningkat sebesar 30 –
50% di atas energi metabolisme basal, atau sebesar 35 kkal/kg BB (Krummel
2004). Asupan energi yang dianjurkan bagi pasien gagal ginjal kronik adalah
sebesar 30 – 35 kkal/kg BB/hari (Hartono 2006).
Optimalisasi asupan energi adalah prinsip utama dalam terapi gizi dalam
penyakit paru-paru. Keadaan overfeeding atau underfeeding seharusnya
dicegah. Secara umum kebutuhan energi pada pasien penyakit paru-paru adalah
sebesar 1,2 sampai 1,5 kali dari energi metabolisme basal (Heimburger &
Weinsler 1997). Faktor stres pada keadaan infeksi ringan hingga sedang ialah
sebesar 1,2 – 1,4 (Hartono 2006). Secara praktis, perhitungan kebutuhan energi
total dalam keadaan akut dapat menggunakan estimasi kebutuhan energi yaitu
25 – 35 kkal/kg BB/hari (PDGKI 2008).
Protein
Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah,
matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Salah satu fungsi khas
protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh
(Almatsier 2006).
Asupan protein sebanyak 1 sampai 1,25 g/kg berat badan umumnya
aman bagi lansia. Kebutuhan protein meningkat sehubungan dengan adanya
penyakit infeksi dan kronis. Stres fisik dan psikologis dapat merangsang keadaan
keseimbangan nitrogen negatif. Infeksi, penurunan fungsi saluran pencernaan,
dan perubahan metabolisme yang disebabkan karena penyakit kronis dapat
mengurangi efisiensi penggunaan nitrogen dari makanan dan meningkatkan
ekskresi nitrogen (Harris 2004).
Menurut Adult Treatment Panel (ATP) III, konsumsi protein yang
disarankan adalah 15% dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Perencanaan
makan bagi penyandang diabetes di Indonesia adalah hidangan dengan asupan
protein sekitar 10 – 15% dari total kebutuhan energi (PERKENI 2002 dalam
Hartono 2006). Asupan protein pada pasien paru-paru yang tidak mengalami
hypercapnia adalah sebesar 15 – 20% dari total kebutuhan energi (Heimburger &
Weinsler 1997). Dorfman (2004) menyatakan konsumsi protein sedang atau
sebesar 15 – 20% dari total kebutuhan energi dianjurkan bagi penderita asam
urat. Kebutuhan protein dalam situasi stres, seperti alcoholic hepatitis, sepsis,
infeksi, perdarahan pada gastrointestinal, dan asites yang parah dapat diberikan
minimal 1,5 g protein perkilogram berat badan perhari (Hasse & Matarese 2004).
Asupan protein sehari untuk pasien gagal ginjal yang belum mengalami dialisis
(predialisis) adalah 0,6 – 0,8 g/kg BB/hari (PDGKI 2008). Konsumsi diet tinggi
protein sebesar 1,5 g/kg BB/hari dalam keadaan anemia digunakan dalam
regenerasi sel darah dan menjaga fungsi hati (Stopler 2004).
Karbohidrat
Asupan karbohidrat diperlukan untuk mencegah penggunaan protein
sebagai sumber energi. Kontribusi karbohidrat terhadap kebutuhan energi total
pada lansia secara umum adalah sekitar 45% sampai 65% (Harris 2004).
Selain jumlah, kebutuhan karbohidrat dalam keadaan sakit sering
dinyatakan dalam bentuk karbohidrat yang dianjurkan. Contoh pada kasus
diabetes melitus dan dislipidemia dengan trigliserida darah tinggi, tidak
dianjurkan penggunaan gula sederhana (Almatsier 2005). Sumber karbohidrat
kompleks supaya ditingkatkan, seperti sayuran, serealia, kacang-kacangan, serta
buah-buahan yang mengandung serat, phytochemicals, vitamin, dan mineral
(Harris 2004).
Menurut ATP III, konsumsi karbohidrat yang disarankan adalah 50 – 60%
dari total kebutuhan energi (NCEP 2002). Persentase kontribusi karbohidrat
terhadap pemenuhan kebutuhan energi total pada pasien penyakit paru-paru
yang tidak mengalami hypercapnia adalah 50 – 60% (Heimburger & Weinsler
1997).
Lemak
Kontribusi lemak terhadap total kebutuhan energi yang disarankan adalah
sebesar 25% sampai 35%, serta meningkatkan asupan lemak tak jenuh ganda
dan tunggal, serta mengurangi asupan lemak jenuh (Harris 2004). Kebutuhan
lemak dalam keadaan sakit bergantung jenis penyakit. Penyakit tertentu seperti
dislipidemia membutuhkan modifikasi jenis lemak (Almatsier 2005). Pembatasan
asupan lemak pada makanan bermanfaat dalam mengontrol berat badan dan
pencegahan kanker. Pembatasan lemak sampai dengan kurang dari 20% total
kebutuhan energi dapat mempengaruhi kualitas diet dan memberikan efek yang
negatif dari segi cita rasa, rasa kenyang, dan asupan (Harris 2004).
Menurut ATP III, konsumsi lemak yang disarankan adalah 25 – 35% dari
total kebutuhan energi (NCEP 2002). Asupan lemak pada penderita asam urat
harus lebih sedikit, sedangkan asupan karbohidrat harus mengandung lebih
banyak untuk membantu pengeluaran asam urat yang lebih mudah larut dalam
urin yang alkalis (Hartono 2006). Perbandingan komposisi zat gizi makro dalam
menyumbang kebutuhan energi pada penderita asam urat ialah 50 – 55% dari
karbohidrat, dan lemak tidak lebih dari 30% (Dorfman 2004). Persentase
kontribusi lemak terhadap pemenuhan kebutuhan energi total pada pasien
penyakit paru-paru yang tidak mengalami hypercapnia adalah 20 – 30%
(Heimburger & Weinsler 1997).
Persentase pemenuhan kebutuhan energi total dalam diet rendah sisa
adalah 10 - 25% dari lemak, dan 60 - 80% dipenuhi dari karbohidrat. Diet rendah
sisa diberikan kepada pasien diare berat, peradangan saluran cerna akut, serta
pada pra dan pascabedah saluran cerna (Hartono 2005).
Vitamin dan Mineral
Meskipun tampak sehat, kekurangan sebagian vitamin dan mineral tetap
saja berlangsung pada lansia. Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring
dengan penurunan kebutuhan vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin
dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status mineral pada
lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan
fisiologis, dan pengobatan (Harris 2004).
Seiring berlangsungnya proses penuaan maka kepadatan zat gizi dalam
makanan menjadi lebih diperhatikan. Makanan seseorang harus menyediakan
cukup cairan, kalsium, serat, zat besi, protein, asam folat, dan vitamin A, B12, dan
C tanpa energi yang ekstra (Harris 2004). Vitamin A, C, dan E juga sebagai
antioksidan yang dapat mengurangi kerusakan sel akibat radikal bebas
(Wirakusumah 2001). Fungsi utama vitamin E adalah untuk mencegah oksidasi
PUFA pada membran sel. Karena kurangnya data yang mendukung, American
Heart Association (AHA) tidak merekomendasikan suplementasi vitamin E untuk
mencegah
penyakit
kardiovaskuler.
Suplementasi
β-karoten
juga
tidak
memberikan keuntungan pada pencegahan penyakit kardiovaskuler. Karena itu,
suplementasi vitamin E dan β-karoten tidak disarankan, sedangkan konsumsi
makanan yang kaya antioksidan disarankan (Krummel 2004).
Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah daripada orang
yang lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi vitamin C lebih
efektif dalam meningkatkan status vitamin C pada lansia (Harris 2004).
Penyerapan zat besi dan pencegahan anemia gizi besi dapat dilaksanakan
dengan meningkatkan asupan pangan sumber zat besi, vitamin C, daging, ikan,
dan unggas setiap waktu makan, serta mencegah mengkonsumsi teh dan kopi
dalam jumlah besar bersamaan dengan waktu makan (Stopler 2004). Saran
asupan vitamin C pada pasien dengan nefrolitiasis yang berusia di atas 50 tahun
adalah kurang dari 2 g perhari (Wilkens 2004).
Defisiensi vitamin larut air seperti vitamin B1, B6, B12, dan asam folat
berkaitan dengan penyakit alcoholic liver. Jika diduga terjadi defisiensi,
suplementasi vitamin B1 dalam dosis besar (100 mg) diberikan selama batas
waktu tertentu (Hasse & Matarese 2004). Defisiensi tiamin (B1) karena
pemberian obat furosemid pertama kali terjadi pada tikus percobaan. Defisiensi
sedang vitamin B1 dapat terjadi pada pasien lansia di rumah sakit serta pada
pasien gagal jantung kronik dengan terapi diuretik (Witte & Clark 2004). Eksresi
vitamin B1 dilakukan melalui urin dalam bentuk utuh dan sebagian kecil dalam
bentuk metabolit (Almatsier 2006).
Kebanyakan kasus anemia terjadi karena defisiensi zat gizi yang
dibutuhkan untuk sintesis eritrosit, seperti zat besi, vitamin B6, B12, C, dan asam
folat (Stopler 2004). Lansia sering juga mengalami masalah dengan vitamin B 12,
meskipun sudah mengkonsumsi dalam jumlah yang cukup. Vitamin B 12
diperlukan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif sehingga dapat berfungsi
dalam memproduksi sel darah merah. Terganggunya penyerapan vitamin B 12
dapat menyebabkan pernicious anemia (Harris 2004). Lapisan lambung lansia
mengalami penipisan, serta sekresi HCL dan pepsin berkurang. Hal itu
mengakibatkan penyerapan vitamin B12 dan zat besi menurun (Arisman 2003).
Anemia yang terjadi pada lansia lebih terkait pada penyakit dan pengobatan,
atau menurunnya kemampuan penyerapan akibat pengobatan (Harris 2004).
Pengobatan
pada
penyakit
TB
dapat
mengganggu
metabolisme
pyridoxine (vitamin B6) (Mueller 2004). Isoniazida (Asam Iso Nikotenat
Hidroksida atau INH) yang dipakai untuk pengobatan penyakit paru-paru
merupakan antagonis vitamin B6 karena membentuk kompleks dengan piridoksal
fosfat yang tidak aktif (Almatsier 2006).
Osteoporosis terjadi karena proses demineralisasi tulang. Penyebab
proses ini ialah defisiensi kalsium karena asupan kurang dan penyerapan
kalsium menurun, gangguan keseimbangan hormon seks akibat menopause,
dan ketidakaktifan fisik (Arisman 2003).
Lansia yang dibatasi atau dilarang makan daging dan ikan berisiko
mengalami defisiensi seng karena rendahnya bioavailibilitas seng dari sumber
pangan lainnya. Defisiensi seng berhubungan dengan gangguan fungsi imun,
anoreksia,
dysgeusia
(kehilangan
nafsu
makan),
dan
lamanya
proses
penyembuhan (Harris 2004).
Lansia yang tidak mengalami masalah dengan tekanan darah dan retensi
cairan dapat mengkonsumsi natrium sekitar 2 – 4 g/hari, dan meningkatkan
asupan kalium (Harris 2004). Penyakit-penyakit tertentu seperti sirosis hati,
penyakit ginjal tertentu, dekompensasio kordis, dan hipertensi esensial dapat
menyebabkan gejala edema dan atau hipertensi. Dalam keadaan demikian
asupan garam natrium perlu dibatasi (Almatsier 2005). Menurut Wirakusumah
(2001) makanan yang mengandung cukup tinggi kalium merupakan salah satu
obat yang cukup manjur bagi penderita hipertensi. Kalium berfungsi untuk
memelihara keseimbangan garam (Na) dan cairan serta membantu mengontrol
tekanan darah yang normal. Asupan natrium dalam sehari disarankan bagi
pasien dengan gangguan kardiovaskuler adalah kurang dari 2400 mg (6,4 g
garam dapur) dan mempertahankan asupan kalium sekitar 90 mmol perhari
(3510 mg), serta cukup konsumsi kalsium sesuai kebutuhan (NCEP 2002).
Di Indonesia telah direkomendasikan angka kecukupan gizi untuk lansia
sehat, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Angka kecukupan vitamin dan mineral pada lansia
Zat Gizi
Vitamin A (RE)
Vitamin E (mg)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin B6 (mg)
Vitamin B12 (mcg)
Asam Folat (mcg)
Vitamin C (mg)
Kalsium (mg)
Besi (mg)
Seng (mg)
Pria
60-64 th
600,0
15,0
1,2
1,7
2,4
400,0
90,0
800,0
13,0
13,4
≥65 th
600,0
15,0
1,0
1,7
2,4
400,0
90,0
800,0
13,0
13,4
Wanita
60-64 th
500,0
15,0
1,0
1,5
2,4
400,0
75,0
800,0
12,0
9,8
≥65 th
500,0
15,0
1,0
1,5
2,4
400,0
75,0
800,0
12,0
9,8
Sumber: WNPG VIII dalam LIPI (2004)
Kebutuhan vitamin dan mineral pada orang sakit juga dapat diambil dari AKG
yang dianjurkan. Vitamin dan mineral perlu ditambahkan dalam bentuk suplemen
untuk menjamin kebutuhan dalam keadaan tertentu (Almatsier 2005).
Status Gizi Lansia
Status gizi seseorang merupakan refleksi dari mutu makanan yang
dimakan sehari-hari (Astawan & Wahyuni 1988). Lansia seperti tahapan-tahapan
usia lainnya dapat mengalami baik keadaan gizi lebih maupun gizi kurang
(Darmojo & Martono 2006). Status gizi lansia dapat dinilai dengan cara-cara
yang baku bagi berbagai tahapan umur yakni penilaian secara langsung dan
tidak langsung. Jellife (1966) dalam Gibson (2005) menerangkan bahwa
penilaian secara langsung dilakukan melalui pemeriksaan antropometri, klinis,
biokimia, dan biofisik. Antropometri merupakan salah satu macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar lengan
atas, dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa et al. 2001).
Laporan WHO tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan
normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI) atau
Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa et al. 2001). Klasifikasi IMT
berdasarkan WHO untuk populasi Asia ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Cut off point IMT untuk populasi Asia menurut WHO tahun 2004
Klasifikasi
BB kurang (underweight)
Severe underweight
Moderate underweight
Mild underweight
Normal
BB Lebih (overweight)
Pra-obes
Obes
Obes I
Obes II
Obes III
`
Sumber: PDGKI (2008).
IMT
(kg/m2)
< 18,5
< 16,0
16,0 – 16,9
17,0 –
18,49
18,5 – 24,9
≥ 25
25 – 29,9
≥ 30
30 – 34,9
35 – 39,9
≥ 40
Download