Syndrom Gilbert

advertisement
Syndrom Gilbert
1.
Epidemiologi
Pada sebuah penelitian menunjukkan bahwa insidensi syndrom gilbert pada laki-laki
dua kali lebih banyak dari perempua.Syndrom Gilbert ( GS ) dapat berlangsung kronis
dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi, dimana tidak ada bukti disertai penyakit hati atau
hemolysis. Syndrom gilbert, mempengaruhi sekitar 6 % sampai 9 % dari populasi umum.
Meskipun sering didiagnosis pada usia dewasa muda , GS dapat mengrnai neonatal denan
jaundice. Beberapa penelitian telah menubjukkan bahwa kombinasi genotipe Gilbert dengan
faktor-faktor lain seperti icterogenic, defisiensi G6PD, ketidakcocokan ABO dan pyloric
stenosis secara dramatis meningkatkan risiko bayi yang baru lahir untuk terjadinya
hiperbilirubinemia
dan
juga
dapat
menimbulkan
komplikasi
seperti
bilirubin
encephalopathy.(saki forough et all 2011)
2.
Etiologi dan Patogenesis
Terjadi mutasi Gen UGT1 terletak pada kromosom 2q37 dimana gen ini
mengkodekan 9 protein fungsional ( UGT1A1 , UGT1A3 - 10 ). UGT1A pada ekson '
pertama' , yang disambung secara terpisah untuk empat ekson umum ( ekson 2-5 ). Enzim ini
bertanggung jawab untuk bilirubin glucuronidation. Mutasi UGT1A1 berpengaruh terhadap
bilirubin glucuronidasi, yang berkaitan dengan proses konjugasi bilirubin. Mutasi tersebut
mengakibatkan penurunan aktivitas bilirubin - glucuronidasi. Yang paling umum terjadi yaitu
mutasi pada G211A ( UGT1A1 6 ) , yang menghasilkan substitusi glisin untuk arginin pada
posisi protein 71 ( G71R ) dari UGT1A1. Sebuah penelitian aktivitas in vitro menunjukkan
bahwa mutasi G71R mengurangi aktivitas total glucuronidation bilirubin sebesar 50 % (Jung
Hee et all 2010).
3.
Factor Risiko
GS dianggap turun-temurun, yang berarti bahwa itu disebabkan oleh gen yang
berjalan dalam keluarga. Jadi seseorang memiliki risiko yang lebih tinggi terkena syndrom
gilbert jika didalam keluarganya terdapat anggota keluarga yang menderita syndrom gilbert.
Orang-orang yang mewarisi mutasi gen yang sama dari kedua orang tua mereka disebut '
homozigot ' . Meski begitu , memiliki dua gen yang abnormal tidak berarti bahwa akan terus
dapat berkembang menjadi GS (Jung Hee et all 2010)..
4.
Manifestasi Klinis
Terjadi peningkatan yang signifikan kadar bilirubin dalam darah yang dapat
menyebabkan penyakit kuning yaitu menguningnya kulit dan bagian putih mata . Dalam GS
ini lebih terlihat pada mata. Penyakit kuning mungkin menjadi lebih jelas jika menjadi stres,
sakit dengan infeksi ( terutama penyakit virus ), kelaparan atau dehidrasi. Gejala yang biasa
terjadi pada GS yaitu (Manandar et all.,2004):
 merasa lelah sepanjang waktu (kelelahan )
 kehilangan nafsu makan
 mual atau pusing
 sakit perut
 kesulitan mempertahankan konsentrasi
 urin sangat gelap
5.
Diagnosis
GS sering didiagnosis pada akhir usia belasan dan awal dua puluhan. GS diagnosis
atas dasar Tes fungsi hati ( LFT ) dan penyakit kuning. Pada orang dengan GS terjadi
peningkatan bilirubin yang signifikan yang terlihat pada tes fungsi hati. Tes fungsi hati
digunakan untuk menunjukkan apakah pada hati terjadi peradangan ( hepatitis ), rusak atau
fungsi yang menurun. Tes fungsi hati juga mengukur jumlah bilirubin untuk memperoleh
indikasi hati dalam kemampuannya untuk metabolisme dan mengeluarkannya ke dalam
empedu. ' Bilirubin serum tes' dianggap memberikan gambaran yang sangat akurat mengenai
fungsi hati dan kadar bilirubin dalam darah, pada penderita GS terjdi peningkatan bilirubin
indirect. Selain itu juga, terdapat beberapa test untuk mendiagnostik syndrom gilbert yaitu:

Asam nikotinat: Pemberian intravena 50 mg asam nikotinat akan meningkat sekitar 2
sampai 3-kali lipat pada plasma yang mengandung bilirubin tak terkonjugasi
(hiperbilirubinemia) dalam waktu 3 jam.

Fenobarbital: fenobarbital menginduksi enzim bilirubin-UDPGT, akan menormalkan
plasma bilirubin dalam pasien dengan sindrom Gilbert.

Kromatografi lapis tipis: Tes ini digunakan dalam diagnostik
sindrom Gilbert
menunjukkan proporsi bilirubin unconjugated yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu dengan hemolisis kronis, penyakit hati atau individu yang sehat.
Menunjukkan
rasio
peningkatan
rasio
bilirubin
monoglucuronide
untuk
diglucuronide, mencerminkan penurunan aktivitas bilirubin-UDPGT.

Polymerase chain reaction: (PCR) yaitu metode untuk mengidentifikasi polimorfisme
genetik pada TATA dari gen UDPGT1 menggunakan resonansi transfer energi
fluoresensi (Rotger et all.,2005).
6.
Tatalaksana
Penatalaksana syndrom gilbert bertujuan untuk mencegah terjadinya serangan
penyakit kuning, dimana dianjurkan untuk menghindari diet dan dehidrasi, ekstrem stres
emosional atau kecemasan, latihan fisik yang berat dan tenaga dan tidak teratur atau kurang
tidur. Penyakit menular harus diperlakukan awal untuk mencegah komplikasi. Pasien
dianjurkan untuk makan diet seimbang dan sehat, minum banyak cairan seperti air dan jus
buah, menghindari makanan berlemak atau manis atau makanan yang tidak bisa ditolerir.
Beberapa pasien mungkin juga memerlukan vitamin dan suplemen, Alkohol harus dihindari.
Setiap pasien dengan penyakit hati harus menghindari alkohol sama sekali untuk mencegah
penyakit hati dan kerusakan hati lebih lanjut lainnya (Jung Hee et all.,2010 ; Rotger et
all.,2005) .
7.
Prognosis
Dinegara eropa tingkat morbiditas penyakit ini sekitar 7-10 %, dimana
syndrom gilbert ini sering terdiagnosis pada anak-anak dan dewasa muda (Ye-Seul et
all., 2010)
Anemia Hemolitik
1.
Epidemiologi
Anemia hemolitik dapat terjadi sekitar 5 % dari semua anemia . AIHA akut relatif
lebih jarang , dimana dengan kejadian kasus 1-3 per 100.000 penduduk per tahun . Anemia
hemolitik tidak spesifik terjadi pada suatu daerah. Namun , gangguan sel sabit dapat
ditemukan terutama di Afrika , Afrika Amerika , beberapa orang Arab, dan Aborigin di India
selatan.Sebagian besar kasus anemia hemolitik tidak selalu berhubungan dengan jenis
kelamin. Namun, AIHA sedikit lebih mungkin terjadi pada wanita dibandingkan pada pria .
Defisiensi G - 6 - PD adalah gangguan resesif terkait-X . Oleh karena itu, laki-laki biasanya
lebih terpengaruh , sedangkan perempuan merupakan pembawa .Meskipun anemia hemolitik
dapat terjadi pada orang dari segala usia , gangguan herediter biasanya terlihat pada awal
kehidupan. AIHA lebih mungkin terjadi pada individu paruh baya dan lebih tua.
2.
Etiologi
Pada anemia hemolitik terjadi penurunan kadar hemoglobin akibat dari pemecahan
eritrosit yang lebih cepat dan tidak sebandig dengan kemampuan sumsum tulang untuk
menggantikan eritrosit yang hilang.
Berdasarkan etiologinya, anemia hemolitik dapat dibedakan menjadi:
 Intrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor yang ada pada eritrosit itu sendiri,
misalnya karena faktor herediter, gangguan metabolismenya, gangguan pembentukan
hemoglobinnya, dll.
 Ekstrakorpuskular: hemolitik akibat faktor-faktor dari luar yang biasanya didapat,
misalnya karena autoimun, pengaruh obat, infeksi, dsb.
3.
Patofisiologi
Pada anemia hemolitik tejadi proses hemolisis yang merusak sel darah merah dimana
akan terjadi dua hal berikut:
1. Terjadi penurunan kadar Hemoglobin. Jika hemolisisnya ringan atau sedang, sumsum
tulang masih bisa mengkompensasinya sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini
disebut dengan hemolitik terkompensasi. Tapi jika derajat hemolisisnya berat,
sumsum tulang tidak mampu mengompensasinya, sehingga terjadi anemia hemolitik.
2. Meningkatnya pemecahan eritrosit. Terdapat tiga mekanisme yang berkaitan dengan
pemecahan eritrosit:

Hemolitik ekstravaskuler. Mekanisme ini terjadi di dalam sel makrofag dari
sistem retikuloendotelial, terutama di lien, hepar dan sumsum tulang karena
sel tersebut mengandung enzim heme oxygenase. Lisis akan terjadi jika
eritrosit mengalamai kerusakan, baik di membrannya, hemoglobinnya maupun
fleksibilitasnya. Jika sel eritrosit dilisiskan oleh makrofag, kemudian akan
pecah menjadi globin dan heme. Globin ini akan kembali disimpan sebagai
cadangan, sedangkan heme akan pecah lagi menjadi besi dan protoporfirin.
Besi diangkut untuk disimpan sebagai cadangan, akan tetapi protoforfirin
tidak, dimana akan terurai menjadi gas CO dan Bilirubin. Bilirubin jika di
dalam darah akan berikatan dengan albumin membentuk bilirubin indirect
(Bilirubin I), mengalami konjugasi di hepar menjadi bilirubin direct (bilirubin
II), dieksresikan ke empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen di feses
dan urobilinogen di urin.

Hemolitik intravaskuler. Mekanisme ini terjadi di dalam sirkulasi. Jika
eritrosit mengalami lisis, terjadi pelepasan hemoglobin bebas ke plasma,
namun haptoglobin dan hemopektin akan mengikatnya dan menggiringnya ke
sistem retikuloendotelial untuk dibersihkan. Namun jika hemolisisnya berat,
jumlah haptoglobin maupun hemopektin tentunya akan menurun. Akibatnya,
beredarlah hemoglobin bebas dalam darah (hemoglobinemia). Jika hal ini
terjadi, Hb tsb akan teroksidasi menjadi methemoglobin, sehingga terjadi
methemoglobinemia. Hemoglobin juga bisa lewat di glomerulus ginjal, hingga
terjadi hemoglobinuria. Namun beberapa hemoglobin di tubulus ginjal
nantinya juga akan diserap oleh sel-sel epitel, dan besinya akan disimpan
dalam bentuk hemosiderin. Jika suatu saat epitel ini mengalami deskuamasi,
maka
hanyutlah
hemosiderin
tersebut
ke
urin
sehingga
terjadi
hemosiderinuria, yg merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronis.

Peningkatan hematopoiesis. Berkurangnya jumlah eritrosit di perifer akan
memicu ginjal mengeluarkan eritropoietin untuk merangsang eritropoiesis di
sumsum tulang. Sel-sel muda yang ada akan ‘dipaksa’ untuk dimatangkan
sehingga terjadi peningkatan retikulosit (sel eritrosit muda) dalam darah,
mengakibatkan polikromasia.
4.
Manifestasi klinis
Pada anemia hemolitik terjadi penghancuran eritrosit yang berlebihan yang dapat
menyebabkan beberapa gejala yaitu sebagai berikut :
a) anemi,
b) ictherus
c) pembesaran limpa (splenomegali) akibat pemecahan eritrosit yang tinggi. Secara garis
besar anemia hemolitik dapat kita pertimbangkan bila pada pemeriksaan laboratorium
dijumpai adanya beberapa kelainan dibawah ini yaitu:
1. Adanya tanda-tanda peningkatan proses penghancuran dan pembentukan sel eritrosit
yang berlebihan.
2. Kelaianan laboratorium yang berhubungan dengan meningkatnya kompensasi dalam
proses eritropoisis.
3. Kelainan laboratorium yang menunjukkan adanya tanda-tanda meningkatnya proses
penghancuran dan pembentukan sel eritrosit yang berlebihan dapat kita lihat berupa:
a. Umur eritrosit yang berkurang, dapat diukur dengan menggunakan CrLabeled eritrosit, pada anemi hemolitik umur eritrosit dapat berkurang
sampai 20 hari. Meningkatnya penghancuran eritrosit dapat kita lihat
dari tingkat anemi, ictherus dan retikulositosis.
b. Meningkatnya proses pemecahan heme, ditandai dengan adanya:

Meningkatnya kadar billirubin indirek darah.

Meningkatnya pembentukan CO endogen

Meningkatnya kadar billirubin darah (hyperbillirubinemi).

Meningkatnya eksresi urobillinogen dalam urine
c. Meningkatnya kadar enzym Lactat dehydrogenase (LDH) serum.
Enzym LDH banyak dijumpai pada sel hati, otot jantung, otak dan
seleritrosit, kadar LDH dapat mencapai 1200 U/ml.-Isoenzym LDH-2
lebih dominan pada anemi hemolitik sedang isoenzym LDH-1 akan
meninggi pada anemi megaloblastik. Adanya tanda-tanda hemolisis
intravaskular yaitu:

Tidak adanya/rendahnya kadar haptoglobulin darah.

Hemoglobinuri (meningkatnya Hb urine).

Hemosiderinuri (meningkatnya hemosiderin urine).
Pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan hal-hal berikut:

Retikulositosis ( polikromatopilik, stipling )-
Sel retikulosit merupakan sel eritrosit yang masih mengandung ribosome, pemeriksaan
dilakukan dengan menggunakan pengecatan Brelian CresielBlue (BCB), nilai normal berkisar
antara 0,8±2,5 % pada pria dan 0,8±4,1 % pada wanita, jumlah retikulosit ini harus dikoreksi
dengan ratio hemoglobin/hematokrit (Hb/0.45), Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari
normal.

Pada pemeriksaan sum sum tulang terdapat eritroid yang hiperplasia

Kelainan bentuk sel eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus darah tepiyang sering
kita lihat adalah bentuk :
a. Sel spherosit : biasanya pada hereditary spherositosisimmunohemolitik
anemi didapat, thermalinjury ,hypophosphatemia,lreracunan zat kimia
tertentu .
b. Sel Achantocyte, kelainan pada komposisi zat lemak sel eritrosityaitu
pada abetalipoproteinemia.
c. Spur sel biasanya ditemui pada keadaan sirosis hati.
d. Sel stomatocyte, ada hubungannya dengan kation eritrosit jarang pada
keadaan penyakit hemolitik yang di turunkan biasa terjadi pada
keracunan alkohol.
e. Target
sel,
spesifik
untuk
:penyakit
thalassemia,
LCAT
defisiensi,obstruktive yaundice dan postsplenektomi .
f. Elliptocyte bentuk eritrositnya oval.
g. Sickle sel
5.
Diagnosis
Dalam mendiagnosis anemia hemolitik perlu diketahui:
a. Menentukan ada tidaknya anemi hemolitik, yaitu :

Tanda-tanda
penghancuran
serta
pembentukan
sel
eritrosit
yang
berlebihan pada waktu yang sama

Terjadi anemi yang persisten yang diikuti dengan hiperaktivitas dari
sistemeritropoisis .

Terjadi penurunan kadar hemoglobin dengan sangat cepat tanpa bisa
diimbangi dengan eritropoisis normal.

Adanya tanda-tanda hemoglobinuri atau penghancuran eritrosit intravaskular.
b. Menentukan penyebab spesifik dari anemi hemolitik, yaitu : informasi dari anamnese
yang tepat terhadap pasien serta dari basil pemeriksaan (Coomb’s test). Pemeriksaan
untuk mendeteksi antibodi yang tidak mengaglutinasi / Ab yang menyelimuti sel
darah merah dalam serum.Antiglobulin, terdapat 2 macam test, yaitu :
 Direct antiglobulin test (DAT) mendeteksi antibodi/komponen yang menyelimuti
permukaan sel darah merah misalnya pada anemia hemolitik autoimun
 Indirect antiglobulin test (IAT) mendeteksi reaksi antara sel darah merah dan coating
antibodi misalnya deteksi antibodi.
6.
Tatalaksana
Dalam melakukan pengobatan anemia hemolitik dapat diberikan ribavirin dan
penggunaan faktor hormon pertumbuhan (erythropoietin) dalam meningkatkan produksi sel
darah merah.
Secara umum, pengurangan dosis ribavirin atau penggunaan faktor
pertumbuhan sel darah merah direkomendasikan ketika kadar hemoglobin di bawah 10 g / dL
atau jika terjadi penurunan kadar hemoglobin yang signifikan selama periode waktu yang
singkat. orang dengan penyakit jantung harus dipantau sangat hati-hati ketika kadar
hemoglobin dimulai menurun. Rekomendasi untuk tidak memberikan ribavirin jika kadar
hemoglobin turun di bawah 8,5 g / dL. Erythropoietin (EPO, nama merek atau Epogen
Procrit) dapat meningkatkan produksi sel darah merah dalam sumsum tulang. Studi klinis
menggunakan EPO dalam mengobati anemia hemolitik, dimana pengobatan ini telah
menunjukkan peningkatan rata-rata hemoglobin sekitar 2,0 g / dL dan peningkatan kualitas
hidup pasien.
7.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada anemia hemolitik yaitu komplikasi trombotik,
termasuk tromboemboli vena, di paru dapat terjadi trombosis. Risiko terjadinya komplikasi
tromboemboli tampaknya lebih tinggi.
8.
Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan anemia hemolitik tergantung pada penyebab yang
mendasarinya .Secara keseluruhan , tingkat kematian yang terjadi pada anemia hemolitik
yaitu rendah . Namun, risiko akan lebih besar pada pasien yang lebih tua dan pasien dengan
gangguan kardiovaskular. Morbiditas tergantung pada etiologi dari hemolisis dan gangguan
yang mendasari seperti anemia sel sabit atau malaria.
Daftar pustaka
Jung, H., et al. (2010) A case of concomitant Gilbert's syndrome and hereditary
spherocytosis. [online]. Available from: www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc [accessed 10th
November 2013]
Rotger, M., (2005) Gilbert syndrome and the development of antiretroviral therapyassociated hyperbilirubinemia. [online]. Available form: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
[accesed 11th november 2013]
Saki, F., et al. (2011) Prevalence of Gilbert syndrome in parents of neonates with pathologic
indirect hyperbilirubinemia.[online]. Available from: www.ncbi.nlm.nih.gov [accesed 10th
November 2013]
Kenneth, I., et al. (2009) Hypercoagulability and thrombotic complications in hemolytic
anemias. [online]. Available form: www.haematologica.com [accessed 13th November 2013]
Chair, S., et al. (2006) Hemolytic Anemia. [online]. Available form:
asheducationbook.hematologylibrary.org [accessed 13th November 2013]
Francisus, A., et al. (2013) Hemolytic Anemia. [onlaine]. Available form:
www.hcvadvocate.org [accessed 13th November 2013]
.
Download