BAB 2 LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian Management Secara etimologis kata manajemen berasal dari bahasa Perancis Kuno ménagement, yang berarti seni melaksanakan dan mengatur.Sedangkan secara terminologis para pakar mendefinisikan manajemen secara beragam, diantaranya: Follet yang dikutip oleh Wijayanti (2008: 1) mengartikan manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Menurut Stoner yang dikutip oleh Wijayanti (2008: 1) manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya manusia organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Gulick dalam Wijayanti (2008: 1) mendefinisikan manajemen sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan (science) yang berusaha secara sistematis untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan dan membuat sistem ini lebih bermanfaat bagi kemanusiaan. 2.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia 1. Menurut Newman dan Hodgetts (2007:4), “Human Resources Management (HRM) is the process by which organizations ensure the effective use of their associates in the pursuit of both organizational and individual goals”. “Manajemen sumber daya manusia adalah suatu proses yang dilakukan suatu organisasi atau perusahaan untukmemastikan bahwa sumber daya manusia yang ada digunakan secara efektif dalam usaha mencapai tujuan organisasi atau perusahaan serta tujuan individu” 2. Sementara itu Dessler (2009:2) mengatakan, “Human resources management refers to the policies and practices one need to carry out the people or human resources aspects of a management job”. “Manajemen sumber daya manusia mengarah pada kebijakan dan tindakan yang dibutuhkan seseorang (manajer) untuk mengatur atau melaksanakan aspek sumber daya manusia dalam suatu tugas manajemen” Dessler (2009:9) Jadi, manajemen sumber daya manusia merupakan manajemen yang menitik beratkan perhatiannya kepada faktor produksi manusia dengan segala kegiatannya untuk mencapai tujuan perusahaan.Sumber daya manusia merupakan investasi yang memegang peranan penting bagi perusahaan. Tanpa adanya sumber daya manusia, faktor produksi lain tidak dapat dijalankan dengan maksimal untuk mencapai tujuan perusahaan. 2.2 Pengertian Gaya Kepemimpinan Transformasional 2.2.1 Pengertian Kepemimpinan Soerkarso, et al (2010), menyatakan kepemimpinan (leadership) merupakan proses pengaruh sosial, yaitu suatu kehidupan yang memengaruhi kehidupan lain, kekuatan yang memengaruhi prilaku orang lain kearah pencapaian tujuan tertentu. Menurut Yukl (2010) mendefinisikan kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami dan menyetujui kebutuhan yang harus dipenuhi dan cara melakukannya, serta proses memfasilitasi individu dan kelompok berusaha mencapai tujuan bersama. Veithzal Rivai (2006:3) mengatakan: “kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi, memberi inspirasi dan mengarahkan tindakan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diharapkan”. Kepemimpinan adalah proses pengarahan dan memengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas anggota kelompok. Tiga implikasi penting yang terkandung dalam hal ini ialah: 1 Kepemimpinan melibatkan orang lain, yang berkedudukan sebagai bawahan atau pengikut. 2 Perbedaan distribusi kekuasaan, misalnya kekuasaan legalitas untuk pemimpin formal atau kekuasaan paksaan untuk manajer, dan sebagainya. 3 Kemampuan dalam menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk memengaruhi perilaku bawahan. 2.2.2 Pengertian Gaya Kepemimpinan Menurut Hasibuan (2011), gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Robbins (2010), gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan seseorang untuk mempengaruhi kelompok menuju tercapainya sasaran. Menurut Mifta Thoha (2010: 49) gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba memengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. 2.2.3 Fungsi Kepemimpinan Menurut Nawawi dan Hadari (2014: 74) kepemimpinan yang efektif hanya akan terwujud apabila dijalankan sesuai dengan fungsinya. Fungsi kepemimpinan itu berhubungan langsung dengan sistuasi sosial dalam kehidupan kelompok/ organisasi masing-masing, yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan di luar situasi itu.Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian di dalam situasi sosial kelompok/ organisasinya. Fungsi kepemimpinan memiliki dua dimensi sebagai berikut: 1. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orangorang yang dipimpinnya. 2. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok/ organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan pemimpin. 2.2.4 Pengertian Gaya Kepemimpinan Transformasional Menurut Bass dalam Robbins dan Judge (2013, p.378) kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan memiliki kharisma. Kreitner dan Kinicki (2010, p.485) menyatakan bahwa pemimpin transformasional munimbulkan kepercayaan, mencari dan mengembangkan jiwa kepemimpinan dalam diri orang lain, bersedia berkorban dan memiliki moral untuk melayani, memfokuskan diri dan bawahannya pada tujuan yang melampaui kebutuhan yang lebih mendesak dari kelompok kerja. Kepemipinan transformasional mentransformasi karyawan untuk mencapai tujuan organisasi lebih dari kepentingan pribadi. Menurut Colquitt, Lepine, dan Wesson (2013, p.462) kepemimpinan transformasional meliputi menginspirasi pengikut untuk berkomitmen terhadap visi bersama yang memberi arti untuk pekerjaan mereka sementara juga sekaligus merangkap sebagai panutan yang membantu pengikut mengembangkan potensi dan melihat masalah mereka sendiri dari perspektif baru. Pemimpin transformasional dapat menghasilkan perubahan organisasi yang signifikan dan hasil kinerja karena bentuk kepemimpinan mendorong tingkat yang lebih tinggi dari motivasi intrinsik, kepercayaan, komitmen, dan loyalitas dari bawahan. Pemimpin transformasional mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan cara membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau tim daripada kepentingan diri sendiri, dan mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang lebih tinggi. Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang mampu mentransformasi atau melakukan perubahan terhadap bawahannya untuk mencapai tujuan melalui kharisma yang dimilikinya, fokus dan memperhatikan kebutuhan bawahan, menginspirasi dan memotivasi karyawannya secara individual, serta menjadi panutan dalam organisasi sehingga bawahannya bisa percaya, kagum, dan setia kepada pemimpin yang bersangkutan. 2.2.5 Peran Pemimpin Transformasional Menurut Setiawan dan Muhith (2013, p.116) peran pemimpin transformasional adalah sebagai berikut: 1) Envisioning, pemimpin menstimulus terbentuknya visi baru organisasi yang lebih maju; 2) Energizing, berarti kekuatan karakter yang menjadi sumber energi (spirit) bagi anggota untuk memiliki gairah kerja dalam mewujudkan cita-cita organisasi; 3) Enabling, pemimpin bekerja bersama dengan anggota sehingga memberikan keyakinan akan terwujudnya cita-cita organisasi (bukan cita-cita individu). 2.2.6 Dimensi Kepemimpinan Transformasional Bass dalam robbins and judge (2013, p379) mengusulkan empat dimensi kepemimpinan transformasional dalam kadar kepemimpinan seseorang, yaitu: a) Pengaruh Ideal (Idealized Influence) Pengaruh yang ideal berkaitan dengan reaksi bawahan terhadap pemimpin. Pemimpin dijadikan sebagai panutan, dipercaya, dihormati dan mempunyai visi dan misi yang jelas menurut persepsi bawahan dapat diwujudkan. b) Motivasi yang Inspiratif (Inspirational Motivation) Pemimpin yang inspirasional adalah seorang pemimpin yang bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti mampu mengkomunikasikan ekspektasi yang tinggi dari bawahannya, menggunakan simbol-simbol untuk berfokus pada upaya bawahannya dan menyatakan tujuantujuan penting secara sederhana. c) Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation) Pemimpin mendorong bawahan untuk lebih kreatif, serta mendorong bawahannya untuk menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih rasional dalam pengambilan keputusan dan cermat dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. d) Perhatian yang bersifat Individual (Individualized Consideration) Pemimpin memberikan perhatian pribadi kepada bawahannya, seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh, mempertimbangkan kebutuhan dari bawahannya, serta melatih dan memberikan saran kepada bawahannya. 2.2.7 Perbandingan Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional Menurut Afsaneh Nahavandi dikutip dari Setiawan dan Muhith (2013, p.107) kepemimpinan transaksional didasarkan pada konsep pertukaran antara pemimpin dan para pengikut. Pemimpin menyediakan pengikutnya sumber daya dan penghargaan dalam pertukaran untuk motivasi, produktivitas, dan pencapaian tugas yang efektif. Kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak yang telah mereka setujui bersama, atau pemimpin yang memotivasi bawahannya melalui pemberian imbalan atas apa yang telah mereka lakukan, sebab pemimpin mengasumsikan bahwa bawahan mampu untuk melakukan pekerjaannya. Kepemimpinan transaksional menekankan pada “reward” (imbalan) dan “punishment” (hukuman). Menurut Bass dan Rigio dalam Setiawan dan Muhith (2013, p.110) aspek-aspek dalam kepemimpinan transaksional adalah sebagai berikut: 1) Penghargaan Bersyarat (Contingent Reward) Menjalankan pertukaran kontraktual antara penghargaan dan usaha, menjanjikan penghargaan untuk kinerja yang baik dan mengakui pencapaian yang diperoleh. 2) Manajemen Pengecualian-aktif (Management by Exception-Active) Mengamati dan mencari penyimpangan dari aturan-aturan dan standar, serta melakukan tindakan-tindakan perbaikan. 3) Manajemen Pengecualian-pasif (Management by Exception-Passive) Mengintervensi hanya jika standar tidak tercapai. 4) Laissez-faire Melepas tanggung jawab dan menghindari pengambilan keputusan. Sedangkan pada konteks kepemimpinan tranformasional dinyatakan bahwa untuk menjadi pemimpin yang sukses, ia harus membangkitkan komitmen pengikutnya untuk dengan kesadarannya membangun nilai-nilai organisasi, mengembangkan visi organisasi, melakukan perubahan, dan mencari terobosan-terobosan baru dalam meningkatkan produktivitas organisasi. 2.3 Pengertian Lingkungan Kerja Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting untuk diperhatikan manajemen. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksnakan proses produksi dalam suatu perusahaan, namun lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap para karyawan yang melaksanakan proses produksi tersebut. Lingkungan kerja yang memusatkan bagi karyawannya dapat meningkatkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja dan akhirnya menurunkan motivasi kerja karyawan. Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksnakan kegiatan secara optimal, sehat, aman dan nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi lingkungan-lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rencangan sistem kerja yang efisien. Menurut Sedarmayati (2009:21) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut: “Lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok”. Menurut Supardi dalam Subroto, (2005:34) “ lingkungan kerja merupakan keadaaan sekitar tempat kerja baik secara fisik maupun non fisik yang dapat memberikan kesan yang menyenangkan, mengamankan, menentramkan, dan betah kerja Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan pada saat bekerja, baik yang berbentuk fisik ataupun non fisik, langsung atau tidak langsung, yang dapat mempengaruhi dirinya dan pekerjaanya saat bekerja. 2.3.1 Jenis Lingkungan Kerja Sedarmayanti (2009:21) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2 yakni : (a) lingkungan kerja fisik, dan (b) lingkungan kerja non fisik. A. Lingkungan kerja Fisik Menurut Sedarmayanti (2009:22), “lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun scara tidak langsung.” Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni : 1. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (Seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya) 2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya :temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain. Untuk dapat memperkecil pengaruh lingkungan fisik terhadap karyawan, maka langkah pertama adalah harus mempelajari manusia, baik mengenai fisik dan tingkah lakunya maupun mengenai fisiknya, kemudian digunakan sebagai dasar memikirkan lingkungan fisik yang sesuai. B. Lingkungan Kerja Non Fisik Menurut Sadarmayanti (2009:31), “Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan”. Lingkungan non fisik ini juga merupakan kelompok lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan. Perusahaan hendaknya dapat mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama antara tingkat atasan, bawahan maupun yang memiliki status jabatan yang sama di perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik, dan pengendalian diri. Pihak manajemen perusahaan hendaknya membangun suatu iklim dan suasana kerja yang bisa membangkitkan rasa kekeluargaan untuk mencapai tujuan bersama. Pihak manajemen perusahaan juga hendaknya mampu mendorong inisiatif dan kreativitas. Kondisi seperti inilah yang selanjutnya menciptakan antusiasme untuk bersatu dalam organisasi perusahaan untuk mencapai tujuan. Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja non fisik adalah kondisi lain dari lingkungan kerja fisik yang berkaitan dengan hubungan kerja karyawan yang dapat mempengaruhi kinerjanya. Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur lingkungan kerja non fisik : 1. Hubungan Atasan dengan Bawahan Hubungan atasan dengan bawahan terjadi saat atasan memberikan tugas-tugas untuk dikerjakan bawahannya. penyampaian informasi dari pimpinan ke bawahan bisa meliputi banyak hal seperti tugas-tugas yang harus dilakukan bawahan, kebijakan organisasi, tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan adanya perubahanperubahan kebijakan. Hubungan atau interaksi antara atasan dengan bawahan harus di jaga dengan harmonis dan saling menjaga etika serta menghargai satu sama lain agar terciptanya lingkungan kerja yang nyaman. Lingkungan kerja yang nyaman akan membuat kedua belah pihak antara atasan dan bawahan dapat saling meningkatkan kinerjanya. 2. Hubungan antar Karyawan Hubungan antar karyawan dalam lingkungan kerja dalam perusahaan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan sebab yang mana akan menimbulkan tingkat kepuasan kinerja karyawan. situasi lingkungan dalam menyelesaikan pekerjaan dan interaksi antar karyawan demi untuk menciptakan kelancaran kerja. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam menciptakan suasana lingkungan kerja yang baik yaitu menciptakan hubungan / interaksi antar karyawan yang baik pula agar suasana kerja yang tercipta akan lebih nyaman dan harmonis sehingga karyawan akan lebih semangat dalam meningkatkan kinerjanya 2.3.2 Dimensi Lingkungan Kerja Menurut Sedarmayanti (2009: 34) yang dapat mempengaruhi terbentuknya kondisi lingkungan kerja yang dikaitkan dengan kemampuan karyawan, diantaranya adalah : 1. Penerangan di tempat kerja Penerangan sangat besar manfaatnya bagi karyawan guna mendapatkan keselamatan dan kelancaran kerja, oleh sebab itu perlu diperhatikan adanya penerangan (cahaya) terang tetapi tidak menyilaukan. Cahaya yang kurang jelas (kurang cukup) mengakibatkan penglihatan menjadi kurang jelas, sehingga pekerjaan akan lambat, banyak mengalami kesalahan, dan pada akhirnya menyebabkab kurang efisien dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga tujuan organisasi sulit tercapai. Pada dasarnya cahaya dapat dibedakan menjadi empat yaitu : a) Cahaya langsung b) Cahaya setengah langsung c) Cahaya tidak langsung d) Cahaya setengah tidak langsung 2. Temperatur di tempat kerja Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi diluar tubuh. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri tersebut ada batasnya, yaitu bahwa tubuh manusia masih dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika perubahan temperatur luar tubuh tidak lebih dari 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin, dari keadaan normal tubuh. Menurut para ahli penelitian, untuk berbagai tingkat temperatur akan memberikan pengaruh yang berbeda. Keadaan tersebut tidak mutlak berlaku bagi setiap karyawan karena kemampuan beradaptasi tiap karyawan berbeda, tergantung di daerah bagaimana karyawan dapat hidup. 3. Kelembaban di tempat kerja Kelembaban adalah banyaknya air yang tergantung dalam udara, biasa dinyatakan dalam persentase. Kelembaban ini berhubungan atau dipengaruhi oleh temperatur udara, dan secara bersama – sama antara temperatur, kelembaban, kecepatan udara bergerak dan radiasi panas dari udara tersebut akan mempengaruhi keadaan tubuh manusia pada saat menerima atau melepaskan panas dari tubuhnya. Suatu keadaan dengan temperatur udara sangat panas dan kelembaban tinggi, akan menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran, karena sistem penguapan. Pengaruh lain adalah makin cepatnya denyut jantung karena makin aktifnya peredaran darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen, dan tubuh manusia selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan antara panas tubuh dengan suhu disekitarnya. 4. Sirkulasi udara di tempat kerja Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk menjaga kelangsungan hidup, yaitu untuk proses metabolism. Udara di sekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalan udara tersebut telah berkurang dan telah bercampur dengan gas atau bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Sumber utama adanya udara segar adalah adanya tanaman di sekitar tempat kerja. Tanaman merupakan penghasil oksigen yang dibutuhkan oleh manusia. Dengan cukupnya oksigen di sekitar tempat kerja, ditambah dengan pengaruh secara psikologis akibat adanta tanaman disekitar tempat kerja, keduanya akan memberikan kesejukan dan kesegaran pada jasmani. Rasa sejuk dan segar selama bekerja akan membantu mempercepat pemulihan tubuh akibat lelah setelah bekerja. 5. Kebisingan di tempat kerja Salah satu polusi yang cukup menyibukkan para pakar untuk mengatasinya adalah kebisingan, yaitu bunyi yang tidak dikehendaki oleh telinga. Tidak dikehendaki, terutama jangkan panjang bunyi tersebut dapat mengganggu ketenagan bekerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan komunikasi, bahkan menurut penelitian, kebisingan yang serius bisa menyebabkan kematian. Karena pekerjaan membutuhkan konsentrasi, maka suara bising hendaknya dihindarkan agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan efisien sehingga produktivitas kerja meningkat. Ada tiga aspek yang menentukan kualitas suatu bunyi, yang bisa menentukan tingkat gangguan terhadap manusia, yaitu : a) Lamanya kebisingan b) Intensitas kebisingan c) Frekuensi kebisingan Semakin lama telinga mendengar kebisingan, akan semakin buruk akibatnya, diantaranya pendengaran dapat makin berkurang. 6. Getaran mekanis di tempat kerja Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat-alat mekanis, yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh karyawan dan dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Getaran mekanis pada umumnya sangat mengganggu tubuh karena ketidakteraturannya, baik tidak teratur dalam intensitas maupun frekuensinya. Gangguan terbesar terhadap suatu alat dalam tubuh terdapat apabila frekuensi ala mini beresonansi dengan frekuensi dari getaran mekanis. Secara umum getaran mekanis dapat mengganggu tubuh dalam hal : a) Konsentrasi bekerja b) Datanganya kelelahan c) Timbulnya beberapa penyakit, diantaranya gangguan terhadap mata, syaraf, peredaran darah, otot, tulang, dan lain-lain. 7. Bau-bauan di tempat kerja Adanya bau-bauan di sekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai pencemaran, karena dapat mengganggu konsentrasi bekerja, dan bau-bauan yang terjadi terus-menerus dapat mempengaruhi kepekaan penciuman. Pemakaian “ air condition” yang tepat merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghilangkan bau-bauan yang mengganggudi sekitar tempat kerja. 8. Tata warna di tempat kerja Menata warna di tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakan dengan sebaikbaiknya. Pada kenyataannya tata warna tidak dapat dipisahkan dengan penataan dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi karena warna mempunyai pengaruh besar terhadap perasaan. Sifat dan pengaruh warna kadang-kadang menimbulkan rasa senang, sedih, dan lain-lain. Karena dalam sifat warna dapat merangsang perasaan manusia. 9. Dekorasi di tempat kerja Dekorasi ada hubungannya dengan tata warna yang baik, karena itu dekorasi tidak hanya berkaitan dengan hasil ruang kerja saja tetapi berkaitan juga dengan cara mengatur tata letak, tata warna, pelengkapan, dan lainnya untuk bekerja. 10. Keamanan di tempat kerja Guna menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja dalam keadaan aman maka perlu diperhatikan adanya keberadaannya. Salah satu upaya untuk menjaga keamanan di tempat kerja, dapat memanfaatkan tenaga Satuan Petugas Keamanan (SATPAM). Faktor- faktor yang terkait dengan lingkungan kerja non fisik yaitu : 1. Hubungan Atasan dengan Bawahan. Hubungan atasan dengan bawahan terjadi saat atasan memberikan tugas-tugas untuk dikerjakan bawahannya. penyampaian informasi dari pimpinan ke bawahan bisa meliputi banyak hal seperti tugas-tugas yang harus dilakukan bawahan, kebijakan organisasi, tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan adanya perubahan-perubahan kebijakan. 2. Hubungan antar Karyawan dalam lingkungan kerja dalam perusahaan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan sebab yang mana akan menimbulkan tingkat kepuasan dan kinerja karyawan. situasi lingkungan dalam menyelesaikan pekerjaan dan interaksi antar karyawan demi untuk menciptakan kelancaran kerja. 2.4 Pengertian Budaya Organisasi Menurut G Graham dalam Siswadi (2012:71) budaya organisasi adalah norma, keyakinan, sikap dan filosofi organisasi. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai, keyakinan dan norma-norma yang unik yang dimiliki secara bersama oleh anggota suatu organisasi. Kebudayaan juga menjadi suatu penyebab penting bagi keefektifan organisasi itu sendiri. Sedangkan menurut Siswadi (2012:71) budaya organisasi adalah norma, keyakinan, sikap dan filosofi organisasi. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai, keyakinan dan norma-norma yang unik yang dimiliki secara bersama oleh anggota suatu organisasi. Kebudayaan juga menjadi suatu penyebab penting bagi keefektifan organisasi itu sendiri. Robbins dalam Darmawan (2013: 143), “A system of shared meaning held by members that distinguishes the organization from other organization”. Budaya organisasi merupakan suatu sistem dari makna atau arti bersama yang dianut para anggotanya yang membedakan organisasi dari organisasi lain. Davis dalam Suharsono (2012: 190), budaya organisasi adalah perilaku konvensional masyarakatnya dan mempengaruhi perilaku anggotanya meskipun sebagaian besar tidak disadarinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dijiwai oleh seluruh anggotanya dalam melakukan pekerjaan sebagai cara yang tepat untuk memahai, memikirkan dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait, sehingga akan menjadi sebuah nilai atau aturan dalam organisasi tersebut. 2.4.1 Fungsi Budaya Budaya organisasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisasi. Kreitner dan Kinichi dalam Wibowo (2010: 49), beberapa arti penting budaya organisasi bagi kehidupan organisasi adalah sebagai berikut: 1. Memberi anggota identitas. Dengan budaya organisasi yang diciptakan dan diterapkan dalam aktivitas organisasi maka dianggap khas oleh setiap individu yang menjadi anggota organisasi itu. Kekhasan itulah yang kemudian menjadi atau memberi identitas bagi individu. 2. Memfasilitasi komitmen kolektif. Dengan menerapkan budaya yang khas maka dapat membantu individu secara kolektif membentuk perilakunya sesuai dengan budaya dalam organisasi itu. Dengan demikian maka organisasi pada dasarnya memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk membentuk komitmen pribadinya secara kolektif. Akhirnya setiap anggota merasa bangga menjadi bagian dari organisasi itu. 3. Meningkatkan stabilitas sistem sosial. Dengan terbentuknya komitmen yang tinggi maka dapat memudahkan pengelolaan berbagai potensi konflik yang terjadi di organisasi. Dengan adanya kesepakatan bersama tentang apa yang seharusnya dilakukan dan dicapai dalam organisasi itu, membuat lingkungan organisasi dan interaksi antar individu dalam organisasi itu lebih stabil. Peran budaya sebagai alat untuk meningkatkan kohesivitas karyawan dan menyatukan berbagai komponen organisasi yang memiliki cara pandang berbeda. 4. Membentuk perilaku. Budaya organisasi dapat menjadi alat untuk membentuk perilaku setiap individu dalam organisasi. Pada dasarnya setiap individu yang menjadi anggota suatu organisasi harus mengenal, menerapkan dan mengembangkan budaya organisasinya. Budaya organisasi tidak statis, tetapi dinamis atau berubah (dapat berubah). 2.4.2 Komponen Pembentuk Budaya Organisasi McKenna dan Beech dalam Darmawan (2013: 150), mengelompokkan variabelvariabel budaya organisasi sebagai berikut: 1. Artifacts Adalah hal-hal yang dapat dilihat, didengar, dirasakan bila seseorang berhubungan dengan sebuah kelompok baru dengan budaya yang tidak dikenalnya. Artifacts termasuk stuktur organisasi dan proses yang terlihat, seperti produk dan perilaku anggota kelompok. 2. Espoused Values Yaitu alasan-alasan tentang mengapa orang berkorban demi apa yang dikerjakan. Budaya sebagian besar organisasi dapat melacak nilai-nilai yang didukung kembali ke penemu budaya, meliputi strategi, sasaran/tujuan dan filosofi. 3. Basic Underlying Assumption Yaitu keyakinan dianggap sudah ada oleh anggota suatu organisasi. Budaya menetapkan cara tepat untuk melakukan sesuatu di organisasi yang sering melalui asumsi yang tidak diucapkan namun anggota organisasi meyakini ketepatan tindakan tersebut. Selanjutnya McKenna dan Beech dalam Darmawan (2013: 150) membagi budaya organisasi ke beberapa komponen pembentuk, sebagai berikut: 1. Filosofi, yang menjadi panduan penetapan kebijakan organisasi yang berkenaan dengan karyawan maupun klien. 2. Nilai-nilai dominan yang dipegang organisasi. 3. Norma-norma yang diterapkan dalam bekerja. 4. Aturan main untuk berelasi dengan baik dalam organisasi yang harus dipelajari anggota baru agar dapat diterima organisasi. 5. Tingkah laku khas tertentu dalam berinteraksi yang rutin dilakukan antar anggota organisasi. Perasaan atau suasana yang diciptakan dalam organisasi. 2.4.3 Dimensi Budaya Organisasi Robbins dalam Darmawan (2013: 147-148) menyatakan ada tujuh dimensi budaya organisasi yaitu: 1. Innovation and risk taking (inovasi dan pengambilan resiko), suatu tingkatan di mana pekerja didorong untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko. 2. Attention to detail (perhatian pada hal detail), di mana pekerja diharapkan menunjukkan ketepatan, analisis, dan perhatian pada hal detail. 3. Outcome orientation (orientasi pada hasil), di mana manajemen memfokuskan pada hasil atau manfaat dari pada sekedar pada teknik dan proses yang dipergunakan untuk mendapatkan manfaat tersebut. 4. People orientation (orientasi pada manusia), di mana keputusan manajemen mempertimbangkan pengaruh manfaatnya pada orang dalam organisasi. 5. Team orientation (orientasi pada kelompok), di mana aktifitas kerja diorganisasi berdasarkan tim daripada individual. 6. Agrressiviness (agresivitas), di mana orang cenderung lebih agresif dan kompetitif dari pada easygoing. 7. Stability (stabilitas), Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang sudah baik. 2.4.4 Fungsi Budaya Organisasi Ada beberapa pendapat para ahli dalam Sembiring, (2012:64-66) tentang fungsi budaya organisasi: 1. Fungsi Budaya organisasi menurut Robbins. • Pertama, menetapkan tapal batas; artinya budaya organisasi menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lain. • Kedua, budaya memberikan rasa identitas ke aggota-anggota organisasi. • Ketiga, budaya mempermudah komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang • Keempat, budaya itu meninggkatkan kemantapan sistem social (perekat/mempersatukan anggota organisasi). Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan dandilakukan oleh para anggota organisasi • Kelima, budaya organisasi berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi. 2. Fungsi budaya menurut Ndraha. • Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat. Identitas terbentuk dari berbagai faktor yaitu: sejarah, politik, ekonomi, dan sistem sosial yang berlaku. • Sebagai pengikat suatu masyarakat. Kebersamaan adalah faktor yang kuat untuk mengikat seluruh anggota masyarakat. • Sebagai sumber. Budaya merupakan sumber inspirasi, kebanggan dansumber daya. • Sebagai kekuatan penggerak. Budaya itu dinamis yang terbentuk melalui proses belajar mengajar. • Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah. Budaya ituberhubungan dengan nilai tambah organisasi. • Sebagai pola perilaku. Budaya berisi norma tingkah laku dan menggariskan batas-batas toleransi sosial. • Sebagai warisan. Budaya diajarkan dan disosialisasikan kepada generasi berikutnya. • Sebagai subtitusi (pengganti) formalisasi. • Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan. • Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan negara, sehingga terbentuk nation state. 3. Schein dalam Tika (2008:13) mengemukakan fungsi budaya organisasi dalam tiga fase yaitu : • Fase awal merupakan tahap pertumbuhan suattu organisasi. Pada tahap ini, fungsi budaya organisasi terletak pada pembeda, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kelompok atau organisasi lain. • Fase pertengahan hidup organisasi. Pada fase ini budaya organisasi berfungsi sebagai integrator karena munculnya sub-sub budaya baru, sebagai penyelamat krisis identitas dan membuka kesempatan untuk mengarahkan perubahan budaya organisasi. • Fase dewasa. Pada fase ini, budaya organisasi dapat berfungsi sebagai penghambat dalam berinovasi karena berorientasi pada kebesaran dan kemapanan masa lalu dan menjadi sumber nilai untuk berpuas diri. 2.5 Pengertian Kepuasan Kerja Menurut Malthis (2006) kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul saat harapanharapan ini tidak terpenuhi. Kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi, secara umum adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan, hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan untuk maju. Setiap dimensi menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan pekerjaan itu sendiri. Tolak ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada, karena setiap individu pegawai berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja ini dapat diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan labour turnover yang kecil, maka secara relatif kepuasan kerja pegawai baik tetapi sebaliknya jika kedisiplinan, moral kerja dan labour turnover besar, maka kepuasan kerja pegawai pada perusahaan dinilai kurang. Schermerhorn et al, (2011: 71), kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Davis dalam Suharsono (2012: 107), kepuasan kerja diartikan sebagai seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Robbins dan Judge dalam Wibowo (2014: 131) memberikan definisi kepuasan kerja sebagai perasaan positif tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi dari karakteristiknya. Kepuasan kerja menurut Handoko (2008:24) adalah Keadaan emosional yang menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini dampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Locke (Luthans, 2005) memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah ”keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.” Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi pegawai mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Terdapat tiga dimensi yang diterima secara umum dalam kepuasan kerja. Pertama, kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi kerja. Dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan. Ketiga, kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. (Wibowo,2010) Pekerjaan memerlukan inetraksi dengan rekan kerja dan atasan, mengikuti peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup dengan kondisi kerja yang sering kurang ideal dan semacamnya. Kepuasaan kerja mencerminkan sikap dan bukan perilaku. Kepuasaan kerja merupakan variabel tergantung utama karena dua alasan, yaitu: (1) menunjukkan hubungan dengan faktor kinerja (2) merupakan preferensi nilai yang dipegang banyak peneliti perilaku organisasi Menurut beberapa definisi mengenai kepuasan kerja tersebut dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu sikap seseorang terhadap pekerjaannya pegawai merasa senang atau tidak dengan cara memandang pekerjaannya sendiri. 2.5.1 Meningkatkan Kepuasan Kerja Pada dasarnya ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya rasa ketidakpuasan dari para karyawan atau kelompok kerja dari suatu perusahaan, misalnya karena tingkat pengawasan yang kurang baik, kondisi kerja yang kurang nyaman, konflik dengan rekan kerja, dengan atasan maupun bawahan, perbedaan budaya kerja, kompensasi yang tidak sesuai dengan harapan karyawan. Greenberg dan Baron dalam Hartatik (2014: 236-237), ada beberapa pendekatan sehubungan dengan langkah untuk mengatasi masalah serta memperbaiki rasa ketidakpuasan kerja apabila faktor penyebab ketidakpuasan telah diketahui sebelumnya, caranya adalah sebagai berikut: 1. Membuat pekerjaan menyenangkan. Mereka senang dengan pekerjaan yang membuat mereka gembira daripada yang membosankan, sehingga menjadi lebih puas dan produktif. 2. Pembayaran gaji berdasarkan kejujuran. Orang percaya bahwa sistem pengupahan/penggajian yang tidak jujur membuat karyawan cenderung tidak puas dengan pekerjaannya. 3. Mempertemukan orang dengan pekerjaan yang cocok dengan minatnya. Semakin banyak orang merasa dapat memenuhi kepentingannya di tempat kerja, semakin puas ia dengan pekerjaannya. 4. Menghindari kebosanan dan pekerjaan yang berulang-ulang. Kebanyakan orang cenderung mendapatkan sedikit kepuasan dalam melakukan pekerjaan yang sangat membosankan dan berulang. Orang akan merasa jauh lebih puas dengan pekerjaan yang menyakinkan bahwa mereka memperoleh sukses dengan cara mengontrol pekerjaan atas cara mereka sendiri. 2.5.2 Dampak Ketidakpuasan Kerja Dalam suatu organisasi ketidakpuasan kerja dapat ditunjukan melalui berbagai cara, Robins and Judge dalam Wibowo (2014: 144-145) menerangkan ada empat respon akibat konsekuensi dari ketidakpuasan kerja tersebut. 1. Keluar (Exit), ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku diarahkan pada meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri. 2. Aspirasi (Voice), ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah denganatasan, dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan. 3. Kesetiaan (Loyalty), ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan menunggu kondisi untuk memperbaiki, termasuk dengan berbicara bagi organisasi dihadapan kritik eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemen melakukan hal yang benar. 4. Pengabaian (Neglect), ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan. Gambar 2. 1 Respon – Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja Sumber: Robbins dan Judge dalam Wibowo (2014:145) 2.5.3 Dimensi Kepuasan Kerja Schermerhorn (2011: 73), mengemukakan bahwa kepuasan kerja meliputi lima dimensi yaitu: a. Pekerjaan itu sendiri (work itself) Salah satu faktor kepuasan kerja adalah pekerjaan yang menantang, bervariasi dan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menggunakan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya sehingga tidak menimbulkan kejenuhan dan kebosanan bagi karyawan dalam mengerjakannya. b. Pengawasan (supervision) Hubungan antara atasan dan bawahan bisa disebut dengan hubungan fungsional dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu bawahan, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi karyawan, misalnya dengan memberikan pekerjaan yang menantang. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antarpribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai. c. Rekan kerja (co-worker) Rekan kerja yang ramah, hubungan kerja sama dan komunikasi dengan rekan kerja yang terjalin dengan baik akan mendatangkan kepuasan kerja yang tinggi. d. Kesempatan untuk maju (advancement opportunities) Pemberian kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan karirnya. Seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik jabatan atau tidak. Proses kenaikan jabatan yang kurang terbuka dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang. e. Gaji (pay) Yaitu sejumlah bayaran yang diterima seseorang akibat dari pelaksanaan kerja apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil sesuai dengan keterampilan dan pengorbanan yang diberikan. 2.6 Kerangka Pemikiran Berdasarkan penjelasan dari teori- teori diatas, dapat digambarkan kerangka pemikiran mengenai pengaruh komunikasi organsasi, lingkungan kerja, dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja adalah sebagai berikut : Gaya Kepemimpinan Transformasional (X1) H1 Kepuasan Kerja (Y) H2 Lingkungan Kerja (X2) H3 Budaya Organisasi (X3) H4 Gambar 2. 2Kerangka Pemikiran Sumber : Peneliti, 2015 2.7 Hipotesis X1 mewakili gaya kepemimpinan transformasional, X2 mewakili lingkungan kerja, X3 mewakili budaya organisasi, Y mewakili kepuasan kerja. X1, X2, dan X3 sebagai variabel independen dan Y sebagai variable dependen. Maka dapat dirumuskan uji hipotesis sebagai berikut. Hipotesis 1: X1 dan Y H1 : Tidak ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional (X1) terhadap kepuasan kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia H2 : Ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional (X1) terhadap kepuasan kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia Hipotesis 2: X2 dan Y H1 : Tidak ada pengaruh secara signifikan lingkungan kerja (X2) terhadap kepuasan kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia H2 : Ada pengaruh secara signifikan lingkungan kerja (X2) terhadap kepuasan kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia Hipotesis 3 : X3 dan Y H1 : Tidak ada pengaruh secara signifikan budaya organisasi (X3) terhadap kepuasan kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia H2 : Ada pengaruh secara signifikan budaya organisasi (X3) terhadap kepuasan kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia Hipotesis 4: X1, X2, X3 dan Y H1 : Tidak ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional (X1), lingkungan kerja (X2) dan budaya organisasi (X3) terhadap kepuasan kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia H2 : ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional (X1), lingkungan kerja (X2) dan budaya organisasi (X3) terhadap kepuasan kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia.