BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekeringan terjadi ketika kebutuhan air lebih besar daripada ketersediaan air (Tjasyono, 2004). Lebih lanjut lagi Tjasyono menyebutkan bahwa kekeringan sangat dipengaruhi oleh besarnya curah hujan dan peningkatan kebutuhan air. Curah hujan merupakan sumber utama air di Bumi sehingga semakin besar curah hujan, maka potensi untuk terjadi kekeringan semakin kecil. Sebaliknya, semakin kecil curah hujan, maka potensi untuk terjadi kekeringan semakin besar. Selain itu, peningkatan kebutuhan air juga dapat mendorong terjadinya kekeringan. Peningkatan kebutuhan air terus terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Kekeringan merupakan bencana yang cukup sering terjadi di Indonesia. Gambar 1.1 menunjukkan persentase frekuensi kejadian berbagai macam bencana di Indonesia yang tercatat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak tahun 1815-2015. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa frekuensi terjadinya bencana kekeringan tergolong cukup besar. Frekuensi kejadian bencana kekeringan berada di posisi ke empat setelah banjir, angin kencang, dan tanah longsor. Empat jenis bencana yang paling sering terjadi tersebut merupakan bencana hidrometeorologi yang sangat dipengaruhi oleh iklim. Iklim tersebut merupakan salah satu komponen fisik yang sulit untuk dikendalikan langsung oleh manusia. Kekeringan sering terjadi di beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Kekeringan tersebut telah menyebabkan kerusakan lahan di berbagai kabupaten. Berdasarkan data sepuluh tahun terakhir yang tercatat oleh BNPB antara tahun 2004-2013, kekeringan paling parah terjadi pada bulan Juni 2005 di Kabupaten Grobogan dengan kerusakan lahan mencapai 11.455 hektar. Kabupaten Blora dan Kabupaten Pati juga sering mengalami kekeringan yang parah dengan kerusakan lahan sekitar 8.000 hektar. 1 Gambar 1.1. Frekuensi Kejadian Bencana di Indonesia Tahun 1815-2015 dari 16.901 Kejadian Bencana (BNPB, 2015) Fenomena kekeringan dipengaruhi oleh El Nino Southern Oscillation (ENSO) (Kirono dan Patridge, 2002; Mulyana, 2002; Prabowo dan Nicholls, 2002; Tjasyono, 2008; Tjasyono dan Bannu, 2003). Penyimpangan iklim El Nino menyebabkan durasi kejadian kekeringan semakin lama karena musim kemarau datang lebih awal dan musim hujan berikutnya menjadi mundur (Nugroho, 2001). Hal itu serupa dengan pernyataan yang dikemukakan Kirono dan Partridge (2002) bahwa El Nino menyebabkan musim kemarau terjadi 20 hari lebih awal dan musim hujan mundur 30 hingga 40 hari seperti yang terjadi pada El Nino tahun 1982-1983. Dampak El Nino semakin ekstrim pada tahun 1997-1998 karena musim kemarau berlanjut hingga ahir tahun 1997 dan musim hujan terlambat hingga dua bulan. Kekeringan akan memicu timbulnya berbagai masalah di bidang pertanian, kesehatan, ekonomi, sosial, dan pangan. Di bidang pertanian, kekeringan dapat menyebabkan perubahan pola tanam. Menurut Kementerian Pertanian (2013), banyak petani yang tidak dapat mengikuti jadwal tanam akibat terjadi kekeringan. 2 Beberapa lahan persawahan masih dalam kondisi bera walau normalnya telah memasuki masa tanam. Lahan sawah yang awalnya memiliki pola tanam padipadi-palawija dapat berubah menjadi padi-palawija-palawija. Oleh karena itu, kajian mengenai kekeringan di Provinsi Jawa Tengah sangat penting untuk dilakukan. 1.2. Perumusan Masalah Data dari BNPB menunjukkan bahwa beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah sering mengalami bencana kekeringan yang menyebabkan berbagai permasalahan. Kekeringan terparah yang terjadi antara tahun 2004-2013 telah menyebabkan Kabupaten Grobogan di Provinsi Jawa Tengah mengalami kerusakan lahan lebih dari sepuluh ribu hektar (BNPB, 2015). Berbagai kabupaten lain di Provinsi Jawa Tengah juga sering mengalami kekeringan dengan luasan yang bervariasi dan menimbulkan berbagai permasalahan. Selain itu, BNPB (2015) menyebutkan bahwa kekeringan merupakan bencana hidrometeorologis yang sulit dikendalikan dan berada pada urutan ke empat dari bencana yang sering terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, kajian mengenai kekeringan khususnya di Provisi Jawa Tengah menarik, penting, dan perlu untuk dilakukan. Provinsi Jawa Tengah memiliki pola hujan monsun. Pola hujan monsun memiliki kaitan yang erat terhadap fenomena penyimpangan iklim ENSO. ENSO dapat menyebabkan musim hujan datang lebih lambat dan musim kemarau datang lebih awal (Kirono dan Partridge 2002). Musim kemarau yang terjadi semakin lama akan mempengaruhi fenomena kekeringan dan menimbulkan dampak yang lebih besar (Nugroho, 2001). Salah satu dampak kekeringan yang penting untuk dikaji adalah dampak terhadap pola tanam petani. Pola tanam tersebut dapat berubah mengikuti maju atau mundurnya musim hujan dan musim kemarau (Kementerian Pertanian, 2013). Hal itu terjadi karena beberapa tanaman seperti padi yang membutuhkan banyak air selama seluruh periode hidupnya hanya dapat ditanam ketika musim hujan dan di akhir musim hujan. Musim hujan yang lebih pendek menyebabkan petani harus mengubah pola tanam, misalnya semula merupakan jadwal 3 menanaman padi kemudian diganti menjadi menanam palawija. Oleh karena itu, hubungan antara ENSO, kekeringan, dan pola tanam di Provinsi Jawa Tengah menjadi penting dan menarik untuk diteliti. Berdasarkan penjabaran permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dibuat perumusan masalah yaitu: a. bagaimana distribusi kekeringan meteorologis di Provinsi Jawa Tengah? b. bagaimana hubungan antara ENSO dan kekeringan meteorologis di Provinsi Jawa Tengah? c. bagaimana dampak kekeringan meteorologis terhadap pola tanam? 1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini meliputi: a. memetakan kekeringan meteorologis di Provinsi Jawa Tengah; b. menganalisis hubungan ENSO dan kekeringan meteorologis di Provinsi Jawa Tengah; c. menganalisis dampak kekeringan meteorologis terhadap pola tanam. 1.4. Manfaat Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis yang akan diperoleh dari penelitian ini meliputi: a. mengetahui distribusi kekeringan meteorologis di Provinsi Jawa Tengah; b. mengetahui hubungan ENSO dan kekeringan meteorologis di Provinsi Jawa Tengah; c. mengetahui dampak kekeringan meteorologis terhadap pola tanam. Sementara itu, manfaat praktis yang akan diperoleh dari penelitian ini meliputi: a. sebagai bahan pertimbangan penentuan wilayah yang diprioritaskan dalam penanganan kekeringan di Provinsi Jawa Tengah; b. berkontribusi dalam pengkajian dinamika pola tanam padi dan palawija di Provinsi Jawa Tengah. 4 1.5. Tinjauan Pustaka Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya koban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang RI Nomor 24/2007 Tentang Penanggulangan Bencana). Definisi tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sudibyakto (2011) bahwa bencana adalah fenomena yang mengganggu kehidupan manusia karena dapat menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, dan kerugian harta benda. Rijanta dkk. (2014) juga mengemukakan hal yang serupa bahwa bencana adalah suatu peristiwa yang sulit diprediksi waktu kejadiannya, sudah merugikan, sudah menghilangkan, sudah merusak, dan membutuhkan penanganan khusus. Jadi, yang dimaksud dengan bencana adalah suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian fisik dan/atau sosial. Kejadian bencana dapat meliputi suatu proses yang lama, tetapi dapat pula terjadi dalam waktu yang singkat (Muta’ali, 2014). Menurut Rijanta dkk. (2014), bencana yang meliputi suatu proses yang lama dapat terjadi akibat penurunan kualitas lingkungan (stress). Sebaliknya, bencana yang terjadi dalam waktu yang singkat diakibatkan oleh adanya gangguan yang muncul tiba-tiba (shock). Bencana yang terjadi akibat proses-proses yang terjadi di alam disebut sebagai bencana alam (Wilonoyudho, 2008). Lebih lanjut lagi, Wilonoyudho (2008); Rijanta dkk. (2014) menjelaskan bahwa bencana alam muncul akibat adanya interaksi antara bahaya alam dan kerentanan (vulnerability). Kerentanan timbul akibat kondisi lingkungan yang dibangun tanpa memperhatikan keberlanjutan wilayah. Bencana alam sulit diprediksi waktu kejadiannya dengan tepat. Walau demikian, kejadian bencana dapat diprediksi melalui tanda-tanda yang muncul atau melalui suatu penelitian (Wilonoyudho, 2008). Prediksi kejadian bencana tersebut bermanfaat untuk mengurangi kerugian. Selain itu, partisipasi untuk menjaga kualitas lingkungan hidup sangat bermanfaat untuk menghindari kejadian bencana (Wilonoyudho, 2008). 5 1.5.1. Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah proses pergerakan air dari bumi ke atmosfer yang kemudian kembali ke bumi dan berlangsung secara terus-menerus (Triatmodjo, 2010). Pernyataan serupa dikemukakan oleh Hadisusanto (2011) bahwa siklus hidrologi merupakan proses pergerakan air yang terjadi secara terus-menerus dari laut menuju atmosfer, lalu turun menuju permukaan tanah dan kembali lagi ke laut. Dari kedua definisi yang telah disebutkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa siklus hidrologi adalah siklus pergerakan air yang bersifat kontinu dari perairan ke atmosfer dan berlanjut menuju daratan, lalu kembali lagi ke perairan. Proses-proses di dalam siklus hidrologi bersifat sangat kompleks. Awalnya, panas matahari menyebabkan penguapan (evapotranspirasi) pada permukaan bumi. Uap air akan berubah menjadi awan setelah mencapai ketinggian tertentu. Selanjutnya, awan tersebut mengalami kondensasi sehingga terbentuklah titik-titik air yang turun sebagai hujan. Air hujan yang mencapai permukaan tanah akan diuapkan kembali, mengalir di permukaan (run off), dan sebagian lainnya meresap ke dalam tanah (infiltrasi dan perkolasi) (Arsyad, 2009). Air yang masuk ke tanah akan menjadi satu dengan tanah dan sebagian lainnya akan mengalami perkolasi menuju sistem airtanah. Kemudian, airtanah mengalir menuju ke perairan seperti sungai, danau, dan laut (Hadisusanto, 2011). 1.5.2. Kekeringan Salah satu jenis bencana alam adalah kekeringan. Kekeringan adalah suatu kondisi ketika kebutuhan air lebih lebih besar daripada air yang tersedia (Rijanta dkk., 2014; Tjasyono, 2004). Lebih lanjut lagi, Tjasyono menjelaskan bahwa kekeringan dapat dibedakan menjadi tiga kelas yaitu: (1) kekeringan permanen yang dikaitkan dengan iklim kering; (2) kekeringan musiman yang terjadi pada iklim dengan periode cuaca kering tahunan berbeda; dan (3) kekeringan akibat keadaan curah hujan yang berubah-ubah. Sedangkan menurut Kodoatie dan Sjarief (2006), kekeringan adalah suatu periode yang tidak memiliki hujan dalam jumlah cukup sehingga terjadi kelangkaan air dalam aspek hidrologi, pertanian, sosial, dan ekonomi. Jadi, kekeringan dapat didefinisikan sebagai suatu bencana 6 yang terjadi akibat air hujan yang jatuh sebagai input sangat sedikit jumlahnya sehingga kebutuhan air menjadi tidak tercukupi. Kekeringan dapat diartikan secara lebih spesifik berdasarkan kepentingan dan jenis disiplin ilmu menjadi kekeringan meteorologis, kekeringan pertanian, kekeringan hidrologis, dan kekeringan sosial ekonomi. Palmer (1965) menyebutkan bahwa kekeringan meteorologis adalah suatu periode ketika curah hujan yang jatuh di suatu wilayah lebih pendek daripada pasokan air klimatologis yang sesungguhnya. Kekeringan pertanian adalah kondisi kelembapan tanah yang sangat rendah akibat laju evapotranspirasi yang tinggi sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik (Changnon, 1987). Kodoatie dan Sjarief (2006) mendefinisikan kekeringan hidrologis sebagai kondisi aliran sungai yang lebih kecil dari kondisi normal atau waduk yang airnya telah habis. Selain itu, Kodoatie dan Sjarief juga mendefinisikan kekeringan sosial ekonomi sebagai suatu kondisi terganggunya aktivitas manusia akibat kekeringan. Faktor penyebab kekeringan dapat dibedakan menjadi faktor pokok dan faktor pendukung. Faktor pokok penyebab terjadinya kekeringan adalah curah hujan dan peningkatan kebutuhan air (Tjasyono, 2004). Input curah hujan sangat sedikit dan bahkan tidak ada ketika musim kemarau panjang sehingga tidak ada pasokan airtanah dan air permukaan (Rijanta dkk., 2014). Lebih lanjut lagi, Tjasyono menjelaskan bahwa terjadinya kekeringan didukung oleh kelembapan nisbi yang rendah, angin kencang, dan suhu yang tinggi. Tiga faktor pendukung tersebut berperan dalam meningkatkan laju evapotranspirasi. Kekeringan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh adanya penyimpangan iklim, gangguan keseimbangan hidrologis, dan kekeringan agronomis (Rijanta dkk., 2014). Penyimpangan iklim berkaitan dengan iklim monsoon tropis dan pemanasan global. Gangguan keseimbangan hidrologis terdapat pada hubungan antara wilayah hulu dan hilir serta berkurangnya ketersediaan air pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Cekungan Air Tanah (CAT). Kekeringan agronomis berhubungan dengan sikap petani yang ingin menanam padi pada setiap musim tanam walau air tidak tersedia dalam jumlah yang mencukupi. 7 1.5.3. Standardized Precipitation Index (SPI) Standardized Precipitation Index (SPI) dibangun oleh T. B. McKee, N. J. Doesken, dan J. Kleist pada tahun 1993. Pengembangan SPI dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memudahkan deteksi terhadap kekeringan dengan menggunakan indikator yang sederhana berupa curah hujan (McKee et al., 1993). SPI tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi periode kering, tetapi juga dapat digunakan untuk mendeteksi periode basah. SPI dapat dimanfaatkan untuk mengkaji potensi kekeringan meteorologis. Input data yang diperlukan berupa data curah hujan bulanan dengan rentang waktu 30-100 tahun (McKee et al., 1993). Nilai SPI dapat digunakan untuk menentukan kelas kekeringan melalui klasifikasi berdasarkan Tabel 1.1. Tabel 1.1. Klasifikasi Kekeringan Berdasarkan Nilai SPI Nilai SPI Klasifikasi Kekeringan Amat sangat basah ≥ 2,0 1,5 – 1,99 Sangat basah 1,0 – 1,49 Basah (-0,99) – 0,99 Normal (-1,0) – (-1,49) Kering (-1,5) – (-1,99) Sangat kering Amat sangat kering ≤ (-2) Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (2012); McKee, Doesken, dan Kleist (1993); World Meteorological Organization (2012) SPI memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Menurut World Meteorological Organization (2012), kelebihan dari SPI di antaranya adalah bersifat fleksibel karena dapat dihitung pada beberapa rentang waktu; dapat digunakan untuk memberikan peringatan dini terhadap kekeringan; dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan kekeringan; bersifat spasial konsisten sehingga dapat digunakan untuk membandingkan antara lokasi yang berbeda; serta dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Sementara itu, kelemahan SPI adalah penentuan kekeringan hanya didasarkan pada curah hujan dan tidak memperhitungkan neraca air. 8 1.5.4. Sirkulasi Walker dan ENSO Sirkulasi Walker adalah peredaran zonal dari timur ke barat di Samudera Pasifik yang berada di sekitar garis katulistiwa (Tjasyono, 2008). Sirkulasi Walker menyebabkan penurunan udara di sisi timur Samudera Pasifik dan menyebabkan kenaikan udara di sisi barat Samudera Pasifik. Udara yang naik di sisi barat Samudera Pasifik menyebabkan terbentuknya awan yang besar sehingga dapat terjadi hujan. Sementara itu, udara yang bergerak menuju ke timur di lapisan troposfer paling atas akan turun di sisi timur Samudera Pasifik (Winarso dan McBride, 2002). Naik turunnya udara di dalam sirkulasi Walker disebabkan oleh perbedaan tekanan udara. Tjasyono (2008) menyebutkan bahwa naik-turunnya tekanan Walker dapat disebut sebagai southern oscillation (SO). Fenomena Sirkulasi Walker dapat dilihat secara lebih jelas pada Gambar 1.2. Gambar 1.2. Sirkulasi Walker pada Bulan Desember-Februari (United States National Weather Services, 2015) Sirkulasi Walker dipengaruhi oleh perubahan temperatur permukaan laut (TPL) (Tjasyono, 2008). Perubahan TPL akan menyebabkan perubahan tekanan atmosfer di atasnya sehingga distribusi tekanan di Samudera Pasifik juga ikut berubah. Pemanasan di sisi timur Samudera Pasifik yang lebih cepat dapat mengakibatkan terjadi penyimpangan iklim yang disebut El Nino Southern Oscillation (ENSO). 9 ENSO merupakan anomali cuaca pada sistem gabungan antara lautan dan atmosfer yang menyebabkan wilayah di bagian barat Samudera Pasifik mengalami kekeringan dan wilayah di bagian timur Samudera Pasifik mendapat pasokan hujan melebihi batas normal (Tjasyono, 2008). Sistem lautan diwakili oleh El Nino, sedangkan sistim atmosfer diwakili oleh osilasi selatan (southern oscillation). Hal itu sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Prabowo dan Nicholls (2002) bahwa ENSO merupakan pasangan antara El Nino dan osilasi selatan. Osilasi selatan timbul akibat adanya perbedaan tekanan atmosfer antara Samudera Pasifik bagian timur dan barat, terutama yang berada di ekuator (Tjasyono, 2008). Perbedaan tekanan standarisasi di antara dua wilayah dapat disebut sebagai The Southern Oscillation Index (SOI). SOI yang kurang dari -8 menunjukkan peristiwa El Nino, sedangkan SOI yang lebih besar dari +8 menunjukkan peristiwa La Nina (Bureau of Meteorology Australia, 2015). Peristiwa El Nino dikelompokkan secara lebih detil oleh Salmawati dalam Herlina dan Tongkukut (2011). Menurut Salmawati, El Nino dapat dikelompokkan menjadi kuat, sedang, dan lemah. El Nino lemah terjadi ketika SOI memiliki nilai (-5) – 0. El Nino sedang terjadi ketika SOI memiliki nilai (-10) – (-5). El Nino kuat terjadi ketika SOI memiliki nilai lebih kecil dari (-10). El Nino terjadi ketika suhu air laut naik secara tidak wajar dan berdampak pada cuaca (Prabowo dan Nicholls, 2002). Pemanasan terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur yang kemudian bergerak menuju selatan sepanjang pantai Peru dan Ekuador (Tjasyono, 2008). El Nino akan menyebabkan wilayah di bagian timur Samudera Pasifik mendapat pasokan curah hujan di atas normal dan wilayah di bagian barat dilanda kekeringan. Prabowo dan Nicholls (2002) menjelaskan bahwa El Nino terjadi setiap 3-6 tahun. Fenomena El Nino tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.3. Lawan dari El Nino adalah peristiwa La Nina. Menurut Prabowo dan Nicholls (2002), La Nina akan menyebabkan wilayah di bagian barat Samudera Pasifik mendapat curah hujan di atas normal. Hal itu berkebalikan dengan wilayah 10 di bagian timur Samudera Pasifik yang dilanda kemarau panjang. Fenomena La Nina tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.4. Gambar 1.3. Fenomena El Nino pada Bulan Desember-Februari (United States National Weather Services, 2015) Gambar 1.4. Fenomena La Nina pada Bulan Desember-Februari (United States National Weather Services, 2015) ENSO berpengaruh terhadap kejadian kekeringan. Wilayah yang memiliki pola hujan monsun akan terpengaruh kuat oleh fenomena ENSO (Kirono dan Partridge, 2002). Lebih lanjut lagi, Kirono dan Partridge menjelaskan bahwa 11 Indonesia bagian tengah dan timur seperti Sumatera bagian selatan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku mengalami kekeringan yang parah. El Nino yang terjadi pada tahun 1982-1983 telah menyebabkan musim kemarau terjadi 20 hari lebih awal dari kondisi normal dan musim hujan terlambat 30-40 hari. 1.5.5. Pola Tanam Kekeringan yang sering terjadi dapat merubah pola tanam petani. Kelangkaan air pada saat terjadi kekeringan dapat mengubah keputusan petani, misalnya dari menanam padi menjadi menanam palawija. Keputusan tersebut diambil dengan didasarkan pada keinginan untuk memperoleh hasil tanaman yang tetap tinggi walau jenis yang dihasilkan bukan padi. Dalam hal ini, air hujan sebagai sumber air di Bumi dan sekaligus sebagai salah satu unsur cuaca dan iklim memiliki peran yang sangat besar terhadap hasil tanaman. Wisnubroto dkk. (1986) merumuskan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap produksi tanaman sebagai berikut: Tanah + Iklim/Cuaca + Tanaman Hasil Tanaman Petani bercocok tanam sebanyak dua hingga tiga kali dalam satu tahun. Periode tanam pertama dilakukan pada bulan November hingga Februari, periode tanam kedua dilakukan pada bulan Maret hingga Juni, dan periode tanam ketiga dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober (Yasin dan McCaskill, 2002). Petani dapat menanam padi pada periode tanam pertama karena air tersedia dalam jumlah yang melimpah. Pada periode tanam yang kedua, petani dapat kembali menanam padi apabila air masih tersedia dalam jumlah cukup. Pada periode ketiga, biasanya air mulai sulit diperoleh sehingga petani lebih memilih menanam tanaman palawija. Tidak semua lahan dapat ditanami secara intensif hingga tiga periode tanam dalam satu tahun (Yasin dan McCaskill, 2002). Lahan yang dapat ditanami hingga tiga kali dalam setahun adalah lahan subur yang terairi oleh air dari saluran irigasi. Sawah tadah hujan biasanya hanya dapat ditanami padi sekali dan dilanjutkan dengan ditanami palawija sekali dalam satu tahun. 12 1.5.6. Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) TRMM merupakan satelit yang diluncurkan pada tahun 1997. Satelit tersebut dibangun atas kerjasama Jepang dan United States. TRMM berfungsi untuk merekam data hujan beserta distribusinya di wilayah tropis dan sub tropis. Data yang dihasilkan sangat bermanfaat untuk analisis iklim secara global. TRMM merekam data hujan berdasarkan gelombang mikro, cahaya tampak, inframerah, dan radar. TRMM mampu mengitari bumi sebanyak 16 kali dalam sehari karena periode orbitnya adalah 90 menit dengan inklinasi 350 (NASDA, 2001). Data hasil observasi TRMM diproses oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan National Space Deveopment Agency of Japan (NASDA) baru kemudian dapat digunakan oleh pengguna. Produk TRMM terbagi menjadi empat tingkatan. Setiap tingkatan produk TRMM dijelaskan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Produk TRMM Tingkatan Definisi 0 Data belum diolah, dapat dipesan berdasarkan waktu, telah melalui pengecekan kualitas. 1 Data telah digeoreferensi, diproses menurut unit fisik pada setiap sensor. 2 Berupa parameter meteorologi yang diolah melalui algoritma, berwujud peta 2 atau 3 dimensi. 3 Peta parameter meteorologi yang disajikan secara temporal dan spasial menggunakan grid. Sumber: NASDA, 2001 1.6. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai kekeringan telah banyak dilakukan seperti yang dilakukan oleh Anjar Suprapto, Putu Sudira, Sigit Supadmo Arif; Wenik Astuti; Alfian Pujian Hadi; Riesky Arum Widoretno; Ferry Irfan Nurrahman dan Adjie Pamungkas; Mira Anantha Yosilia; Ali Behrangi, Hai Nguyen, Stephanie Granger; serta Siti Nazahiyah Rahmat, Niranjali Jayasuriya, dan Muhammed Bhuiyan. Beberapa penelitian terkait yang telah dilakukan sebelumnya disajikan pada Tabel 1.3. Anjar Suprapto, Putu Sudira, Sigit Supadmo Arif; dan Alfian 13 Pujian Hadi mengkaji kekeringan dengan bantuan Sistem Informasi Geigrafis (SIG). Ali Behrangi dkk. memprediksi SPI yang sesuai digunakan untuk pemantauan kekeringan. Siti Nazahiyah Rahmat dkk. mengevaluasi SPI dan membandingkan dengan metode pendeteksi kekeringan meteorologis lain. Peneliti lainnya memfokuskan penelitian terhadap kekeringan meteorologis dengan menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI). Sementara itu, Habibah Nurrohmah juga melakukan penelitian mengenai kekeringan meteorologis menggunakan metode SPI. Penelitian mengenai kekeringan meteorologis yang dilakukan oleh Wenik Astuti bertujuan untuk mengetahui tingkat kekeringan di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian tersebut juga mencoba mencari hubungan antara risiko kekeringan terhadap elevasi. Penelitian serupa dilakukan oleh Mira Anantha Yosilia dengan wilyah kajian di Pulau Bali. Penelitian yang dilakukan oleh Mira Anantha Yosilia lebih bagus dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Wenik Astuti karena selain mengkaji kekeringan, penelitian tersebut juga mengkaji hubungan antara kekeringan dan El Nino serta dampak kekeringan terhadap produktivitas padi. Selain memiliki kelebihan, penelitian yang dilakukan oleh Mira Anantha Yosilia juga memiliki kelemahan karena produktivitas padi tidak hanya dipengaruhi oleh kekeringan. Sinar matahari yang banyak ketika musim kemarau (kekeringan) dapat meningkatkan laju fotosintesis sehingga produktivitas padi dapat meningkat. Selain itu, tidak semua lahan pertanian di Pulau Bali mengandalkan air hujan dalam hal pengairan, tetapi juga dialiri air dengan memanfaatkan saluran irigasi. Penelitian mengenai pola tanam telah dilakukan oleh Riesky Arum Widoretno. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui daerah yang mengalami perubahan tipe iklim Oldeman dan perubahan pola tanam. Perubahan pola tanam yang disampaikan dalam penelitian tersebut diketahui dari hasil wawancara terhadap petani dan beberapa dinas terkait sehingga bersifat nyata (real). Hal itulah yang menjadi nilai lebih dari penelitian tersebut. 14 Penelitian yang dilakukan Habibah Nurrohmah hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Mira Anantha Yosilia. Kedua penelitian yang dilakukan sama-sama mengkaji kekeringan meteorologis dan mengkaitkan dengan El Nino, serta dampak kekeringan. Namun, Mira Anantha Yosilia kurang tepat dalam memilih produktivitas padi sebagai elemen yang terdampak kekeringan. Oleh karena itu, Habibah Nurrohmah mencoba mengkaji dampak kekeringan terhadap perubahan pola tanam. Tabel 1.3. Penelitian-Penelitian Sebelumnya No. Nama Tujuan Metode Hasil Peneliti, Tahun, Judul 1. Anjar Menyusun - Mencari nilai K Sistem informasi Suprapto, Putu sistem informasi untuk deteksi dini dapat Sudira, Sigit yang dapat mengetahui memberikan Supadmo Arif; memberikan perbandingan informasi berupa 2008; Deteksi peringatan ketersediaan air tingkat Dini terjadinya dan kebutuhan kekurangan air Kekeringan kekeringan pada air untuk tanaman Pertanian lahan pertanian - Membuat dalam bentuk peta Berbasis berbasis sistem klasifikasi dan dilengkapi Sistem informasi kekeringan dengan waktu Informasi geografis. berdasarkan kejadiannya. Geografis nilai K - Membuat peta kekeringan 2. Wenik Astuti, Mengetahui SPI; analisis SPI Kabupaten 2011, Analisis nilai SPI untuk deskriptif Magelang (-0,84) Risiko menentukan kuantitatif, – (>-1,65) Kekeringan risiko spasial, dan grafik sehingga Meteorologis kekeringan, didominasi risiko Menggunakan serta untuk kekeringan yang Metode mengetahui sangat tinggi. Standardized hubungan SPI Ketinggian tempat Precipitation dan risiko berpengaruh Index (SPI) kekeringan terhadap indeks Kabupaten terhadap elevasi kekeringan dan Magelang, risiko kekeringan. Jawa Tengah 15 No. 3. 4. Lanjutan Tabel 1.3 Nama Tujuan Metode Peneliti, Tahun, Judul Alfian Pujian - Mengkaji - Pembuatan Hadi, 2011, akurasi Indeks Vegetasi Penentuan berbagai TVDI Tingkat saluran TIR - Uji akurasi Kekeringan Citra Aster saluran TIR Lahan untuk - Analisis regresi Berbasis mendapatkan - Analisis pola Analisa Citra informasi tanam Oldeman Aster dan sebaran suhu Sistem permukaan Informasi - Mengkaji Geografis sebaran (Kasus di kekeringan Sebagian melalui indeks Wilayah TVDI Kabupaten (Temperature Gunung Kidul Vegetation Daerah Dryness Index) Istimewa - Mengkaji Yogyakarta) tingkat kekeringan lahan - Mengkaji pola tanam yang sesuai Riesky Arum Widoretno, 2013, Dampak Perubahan Zona Agroklimat Terhadap Perubahan Pola Tanam di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta Mengetahui daerah yang mengalami perubahan tipe iklim Oldeman dan perubahan pola tanam Klasifikasi iklim Oldeman, membandingkan klasifikasi tipe iklim terhadap peta agroklimat, dan wawancara 16 Hasil - Citra Aster saluran 13 memiliki akurasi paling tinggi dibanding saluran 10, 11, 12, dan 14 - Tingkat kekeringan lahan berdasar indeks TVDI didominasi tingkat kekeringan rendah - Kekeringan lahan analisis neraca air ThornthwaiteMather tergolong kekeringan sedang dan berat - Pola tanam berdasarkan agroklimat oldeman: padi gogo-palawijabero, padipalawija-bero, padi gogopalawija-bero Beberapa Kabupaten di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami perubahan zona agroklimat dan perubahan pola tanam. No. 5. 6. Nama Peneliti, Tahun, Judul Ferry Irfan Nurrahman dan Adjie Pamungkas, 2013, Identifikasi Sebaran Daerah Rawan Bahaya Kekeringan Meteorologi di Kabupaten Lamongan Lanjutan Tabel 1.3 Tujuan Metode Memberikan informasi awal mengenai sebaran daerah yang teridentifikasi memiliki bahaya kekeringan. - Identifikasi pos curah hujan pada wilayah studi - Analisa curah hujan untuk mendapatkan indeks kekeringan meteorologi dari masing-masing pos curah hujan dengan alat ukur Standardize Precipitation Index (SPI) - Analisa interpolasi nilai indeks kekeringan dari masing-masing pos hujan untuk mendapatkan sebaran kekeringan Mira Anantha Menganalisis Analisis regresi Yosilia, 2014, hubungan El linier SOI dan Analisis Nino dengan SPI, analisis Hubungan El kekeringan deskriptif untuk Nino dengan meteorologis, menguraikan Kekeringan dampak El Nino dampak dan Meteorologis terhadap usaha penanganan Menggunakan kekeringan, dan dampak SPI merumuskan (Standardized usaha untuk Precipitation mengurangi Index) di Pulau dampak Bali terhadap produksi padi 17 Hasil Tingkat kerawanan kekeringan meteorologi pada Kabupaten Lamongan tersebar dari tingkat kekeringan ringan sampai dengan tingkat kekeringan ekstrim. Sebaran kekeringan memiliki pola yang berbeda-beda dari tahun ke tahun. El Nino dan kekeringan meteorologis berhubungan positif. El Nino akan mengganggu stabilitas kehidupan makhluk hidup. Antisipasi dampak El Nino harus dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan berbagai sektor. No. 7. 8. Nama Peneliti, Tahun, Judul Ali Behrangi, Hai Nguyen, Stephanie Granger; 2015; Probabilistic Seasonal Prediction of Meteorological Drought Using the Bootstrap and Multivariate Information Siti Nazahiyah Rahmat, Niranjali Jayasuriya, dan Muhammed Bhuiyan; 2015; Assessing Droughts Using Meteorological Drought Indices in Victoria, Australia 9. Habibah Nurrohmah, 2016, Kajian Kekeringan Meteorologis Menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI) di Provinsi Jawa Tengah Lanjutan Tabel 1.3 Tujuan Metode Hasil Memprediksi SPI yang sesuai digunakan untuk pemantauan kekeringan Bootstrap, multivariate information, SPI Tiga bulan SPI, enam bulan SPI, dan suhu udara permukaan dapat meningkatkan kualitas hasil prediksi kekeringan. Mengevaluasi Standardized Precipitation Index (SPI), Reconnaissance Drought Index (RDI), dan Deciles untuk deteksi kekeringan meteorologis. Membandingkan output dari setiap metode dan kemudian menyimpulkan kelebihan dan kelemahan dari setiap metode. Menganalisis distribusi kekeringan di Provinsi Jawa Tengah, menganalisis hubungan ENSO dan kekeringan di Provinsi Jawa Tengah, dan menganalisis dampak kekeringan terhadap pola tanam SPI, interpolasi Tension Spline, analisis asosiatif, analisis deskriptif SPI dan RDI lebih unggul dibanding deciles. RDI mempertimbangkan curah hujan dan evapotranspirasi yang sensitif terhadap iklim. SPI sangat sesuai untuk memantau kekeringan meteorologist dan sejarah kekeringan. Kekeringan meteorologis di Provinsi Jawa Tengah terjadi setiap tahun (19812010). Kekeringan dan ENSO memiliki hubungan yang kuat dan berbanding lurus. Pola tanam sawah tadah hujan berubah dari padipalawija-palawija menjadi padipalawija-bera. 18 1.7.Kerangka Teori Kekeringan terjadi karena air hujan yang jatuh di suatu wilayah sangat sedikit, bahkan tidak ada. Ketika air hujan tidak tersedia dalam jumlah yang cukup, tanah di permukaan Bumi akan menjadi kering karena mengalami evaporasi. Curah hujan memiliki peran yang sangat penting terhadap kekeringan karena hujan merupakan input utama air di Bumi. Curah hujan sangat berpengaruh terhadap kekeringan sehingga dapat digunakan sebagai data tunggal untuk menentukan klasifikasi kekeringan. Klasifikasi kekeringan dapat dilakukan dengan menggunakan SPI. Klasifikasi yang dihasilkan adalah kondisi basah atau keringnya suatu wilayah yang dibagi menjadi tujuh kelas mulai dari amat sangat basah hingga amat sangat kering. Curah hujan yang kecil di Provinsi Jawa Tengah terjadi ketika musim kemarau. Musim kemarau yang semakin panjang dapat berpengaruh terhadap terjadinya kekeringan. Salah satu faktor yang menyebabkan musim kemarau semakin panjang adalah fenomena ENSO. Fenomena ENSO menyebabkan pembentukan awan dan hujan di sisi timur Samudera Pasifik dan menyebabkan atmosfer di sisi barat Samudera Pasifik bersifat kering. Fenomena ENSO memiliki pengaruh yang kuat terhadap wilayah yang memiliki pola hujan monsun seperti di Provinsi Jawa Tengah. ENSO terjadi pada sistem atmosfer dan lautan. Sistem lautan diwakili oleh istilah El Nino, sedangkan sistem atmosfer diwakili oleh istilah southern oscillation. Suhu air laut mengalami kenaikan terutama di sisi tengah dan timur Samudera Pasifik. Hal ini yang menyebabkan pembentukan awan dan hujan yang lebat di sisi tengah dan timur Samudera Pasifik. Sementara itu, atmosfer di sisi barat Samudera Pasifik miskin uap air dan musim kemarau menjadi semakin panjang. Musim kemarau yang semakin panjang akan mempengaruhi kekeringan. Fenomena kekeringan dapat memberi dampak terhadap pola tanam petani. Petani yang awalnya dapat menanam padi sebanyak tiga kali dalam satu tahun dapat berubah menjadi menanam padi sebanyak dua kali dalam satu tahun. Begitu pula dengan lahan yang awalnya dapat ditanami padi sebanyak dua kali dalam satu tahun, kemudian berubah hanya dapat ditanami padi satu kali dalam satu 19 tahun. Pola tanam tersebut sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air. Kekeringan yang semakin lama semakin parah dan meluas dapat merubah pola tanam petani. Secara lebih jelas, kerangka terori penelitian disajikan pada Gambar 5. Tanah Iklim El Nino Tanaman Southern Oscillation Curah Hujan ENSO Kekeringan Hasil Tanaman Perubahan Pola Tanam Gambar 1.5. Kerangka Teori Penelitian Kerangka teori penelitian bermanfaat untuk mempermudah menjawab tujuan penelitian. Curah hujan merupakan variabel tunggal yang menjadi acuan untuk menentukan distribusi kekeringan (tujuan 1). Anomali iklim ENSO dapat mengurangi curah hujan sehingga berpengaruh pula terhadap kekeringan (tujuan 2). Kekeringan dapat memberikan dampak terhadap perubahan pola tanam pada sawah tadah hujan (tujuan 3). 1.8.Batasan Istilah Bencana adalah perstiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya koban jiwa manusia, kerusakan 20 lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UndangUndang RI Nomor 24/2007 Tentang Penanggulangan Bencana). Kekeringan adalah suatu bencana yang terjadi akibat air hujan yang jatuh sebagai input sangat sedikit jumlahnya sehingga kebutuhan air menjadi tidak tercukupi (Kodoatie dan Sjarief, 2006; Rijanta dkk., 2014; Tjasyono, 2004). Kekeringan meteorologis adalah suatu periode ketika curah hujan yang jatuh di suatu wilayah lebih pendek daripada pasokan air klimatologis yang sesungguhnya (Palmer, 1965). Standardized Precipitation Index (SPI) adalah sebuah metode yang dapat dimanfaatkan untuk mengkaji potensi kekeringan dengan menggunakan input data curah hujan bulanan (McKee et al., 1993). El Nino Southern Oscillation (ENSO) adalah anomali cuaca pada sistem gabungan antara lautan dan atmosfer yang menyebabkan wilayah di bagian barat Samudera Pasifik mengalami kekeringan dan wilayah di bagian timur Samudera Pasifik mendapat pasokan hujan melebihi batas normal (Tjasyono, 2008). Pola tanam adalah pola bercocok tanam selama kurang lebih satu tahun yang meliputi beberapa kali masa tanam satu atau lebih jenis tanaman yang dapat dilakukan dengan sistem rotasi (bergiliran) atau bertumpangan untuk menaikkan produksi (Thahir dalam Slamet dkk.). 21