9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Etiologi HIV/AIDS

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
HIV/AIDS
2.1.1
Etiologi HIV/AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh virus yang
disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis
(Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita
dengan
gejala
limfadenopati,
sehingga
pada
waktu
itu
dinamakan
Limphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (National Institute of Health,
USA 1984) menemukan virus HTL-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga
adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus
ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on
Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberi nama resmi HIV. Pada tahun 1986 di
Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2,
dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik maupun antigenik. HIV-2 dianggap
kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan virus itu
disebut sebagai HIV saja (Daili, 2009).
2.1.2 Definisi HIVAIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab AIDS.
Virus ini termasuk RNA virus genus Lentivirus golongan Retrovirus family
Retroviridae. Spesies HIV-1 dan HIV-2 merupakan penyebab infeksi HIV pada
manusia
(Soedarto,
2009).
AIDS
adalah
singkatan
dari
Acquired
Immunodeficiency Syndrome, sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi merupakan
9
Universitas Sumatera Utara
10
kumpulan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai macam
mikroorganisme serta keganasan lain akibat menurunnya daya tahan/kekebalan
tubuh penderita (Irianto, 2013).
2.1.3
Patogenesis HIV/AIDS
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah,
semen dan sekret vagina. Sebagian besar penularan terjadi melalui hubungan
seksual. Jika virus masuk ke dalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus
diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh HIV,
DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus (Daili, 2009).
HIV menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen
permukaan CD4, terutama sekali limposit T4 yang memegang peranan penting
dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4,
virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel langerhas pada kulit,
sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina,
sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit
T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya
menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Daili, 2009).
Sistem kekebalan tubuh menjadi lumpuh akibat hancurnya limposit T4
secara besar-besaran yang mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik
dan keganasan yang merupakan gejala-gejala klinis AIDS. Perjalanan penyakit
lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi
(Daili, 2009).
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.4
Cara Penularan HIV/AIDS
Penularan HIV yang diketahui dan diakui saat ini adalah melalui
hubungan seksual (homo maupun heteroseksual), darah (termasuk penggunaan
jarum suntik), dan transplasental/perinatal (dari ibu ke anak yang akan lahir). Ada
lima unsur yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu: sumber
infeksi, vehikulum/media perantara, hospes yang rentan, tempat keluar dan tempat
masuk hospes baru (Irianto, 2013).
a.
Transmisi Seksual
Hubungan seksual (penetrative sexual intercourse) baik vaginal maupun
oral merupakan cara transmisi yang paling sering terutama pada pasangan seksual
pasif yang menerima ejakulasi semen pengidap HIV. Diperkiran tiga per empat
pengidap HIV di dunia mendapatkan infeksi dengan cara ini. HIV dapat
ditularkan melalui hubungan seksual dari pria-wanita, wanita-pria, dan pria-pria.
Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat
mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut sehingga HIV yang
terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga
bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi
jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Nursalam dan Ninuk,
2011).
b.
Transmisi Nonseksual
Penularan virus HIV non seksual terjadi melalui jalur pemindahan darah
atau produk darah (transfusi darah, alat suntik, alat tusuk tato, tindik, alat
bedah, dan melalui luka kecil di kulit), jalur transplantasi alat tubuh, jalur
Universitas Sumatera Utara
12
transplasental yaitu penularan dari ibu hamil dengan infeksi HIV kepada janinnya
(Murtiastutik, 2008). Transmisi HIV non seksual dapat terjadi pula pada petugas
kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS dan petugas laboratorium yang
menangani spesimen cairan tubuh yang berasal dari penderita. Penularan terjadi
karena tertusuk jarum suntik yang sebelumnya digunakan penderita atau kulit
mukosa yang terkena cairan tubuh penderita (Irianto, 2013).
2.1.5
Gejala Klinis HIV/AIDS
Menurut Soedarto (2009), gejala klinis HIV adalah sebagai berikut:
a.
HIV Stadium I
Bersifat
asimptomatik,
aktivitas
normal
dan
dijumpai
adanya
limfadenopati Generalisata Persisten (LGP): yakni pembesaran kelenjar
getah bening di beberapa tempat yang menetap.
b.
HIV Stadium II
Berat badan menurun <10%, ulkus atau jamur di mulut, herpes zoster
dalam lima tahun terakhir, sinusitis rekuren.
c.
HIV Stadium III
Berat badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih
dari satu bulan, demam berkepanjangan lebih dari satu bulan.
d.
HIV Stadium IV
Berat badan menurun >10%, gejala-gejala infeksi pneumosistosis, TBC,
kriptokokosis, herpes zoster dan infeksi lainnya sebagai komplikasi
turunnya sistem imun.
Universitas Sumatera Utara
13
Menurut Nursalam dan Ninuk (2011), gejala klinis pada stadium AIDS
dibagi menjadi gejala mayor dan minor. Gejala mayor terdiri dari: penurunan
berat badan >10% dalam tiga bulan, demam yang panjang atau lebih dari tiga
bulan, diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus, dan
TBC. Gejala minor terdiri dari: batuk kronis selama lebih dari satu bulan, infeksi
pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur Candida Albicans. Pembengkakan
kelenjar getah bening yang menetap, munculnya herpes zoster, berulang dan
bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.
2.1.6
Diagnosis HIV/AIDS
Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik dan
menyerupai infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit tenggorokan, mialgia
(nyeri otot), demam dan berkeringat. Pasien mugkin mengalami beberapa gejala,
tetapi tidak mengalami keseluruhan gejala tersebut di atas. Pada stadium awal,
pemeriksaan laboratorium merupakan cara terbaik untuk mengetahui apakah
pasien terinfeksi virus HIV atau tidak (Nursalam dan Ninuk, 2011). Diagnosis
laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode:
a.
Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan
menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu
cara deteksi antigen virus yang makin popular belakangan ini adalah PCR
(polymerase chain reaction) (Daili, 2009). PCR untuk DNA dan RNA
virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering
digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas (Nursalam dan Ninuk, 2011).
b.
Tidak Langsung: dengan melihat respon zat anti spesifik, misalnya dengan
Universitas Sumatera Utara
14
ELISA,
western
blot,
immunofluorescent
assay
(IFA),
atau
radioimmunoprecipitation assay (RIPA). Untuk diagnosis HIV yang lazim
dipakai:
b1. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA
(enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi
antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu
spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif.
Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain
adalah penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi.
Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif (Nursalam dan
Ninuk, 2011). Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi yaitu sebesar
98,1%-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan
setelah infeksi. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
western blot (Daili, 2009).
b2. Western Blot
Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang
digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap
DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes
negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan,
berarti hasil tes positif. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa
menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu,
tes harus diulang lagi setelah dua minggu dengan sampel yang sama.
Universitas Sumatera Utara
15
Jika tes Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western
Blot harus diulang lagi setelah enam bulan. Jika tes tetap negatif
maka pasien dianggap HIV negatif (Nursalam dan Ninuk, 2011).
Western Blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6%-100%.
Pemerikasaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar
24 jam (Daili, 2009).
2.1.7
Pencegahan HIV/AIDS
a.
Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan
suatu penyakit sebelum hal itu terjadi. Promosi kesehatan, pendidikan kesehatan,
dan perlindungan kesehatan adalah tiga aspek utama didalam pencegahan primer.
(Timmreck, 2012). Pencegahan infeksi HIV yang terutama adalah dengan
memiliki gaya hidup sehat, tidak menggunakan narkoba suntik dan tidak
melakukan hubungan seksual diluar pernikahan (Irianto, 2013). Petugas kesehatan
perlu menerapkan kewaspadaan universal dan menggunakan darah serta produk
darah yang bebas dari HIV untuk pasien. Pencegahan penyebaran melalui darah
dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV (Nursalam
dan Ninuk, 2011).
b.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghentikan perkembangan
penyakit atau cedera menuju suatu perkembangan kearah kerusakan atau
ketidakmampuan (Timmreck, 2012). Pencegahan sekunder ditujukan kepada
penderita yang sudah terinfeksi virus HIV. Infeksi HIV/AIDS menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
16
menurunnya sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi
oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara itu,
hingga saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan infeksi HIV
secara total (Irianto, 2013). Pemberian antiretroviral pada periode asimtomatik
fase lebih awal dapat memperpanjang periode asimtomatik dan menghambat
perkembangan penyakit kearah AIDS atau dengan kata lain memperpanjang hidup
penderita (Daili, 2009).
c.
Pencegahan Tersier
Sasaran pencegahan tersier adalah penderita penyakit tertentu dengan
tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat atau kelainan permanen,
mencegah bertambah parahnya suatu penyakit tersebut. Pada tingkat ini juga
dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari
penyembuhan suatu penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian
fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi
fisik/medis, rehabilitasi mental/psikologis serta rehabilitasi sosial (Irianto, 2013).
2.2
Narkoba
2.2.1
Definisi Narkoba
Istilah narkoba sesuai dengan surat edaran BNN No. SE/03/IV/2002
merupakan akronim dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya.
Narkoba yaitu zat-zat alami maupun kimiawi yang jika dimasukkan ke dalam
tubuh baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain
sebagainya, dapat mengubah pikiran, suasana hati, perasaan dan perilaku
seseorang.
Universitas Sumatera Utara
17
2.2.2
Jenis-jenis Narkoba
Berdasarkan BNN (2010), pada dasarnya obat-obatan yang tergolong
narkoba itu digunakan untuk kepentingan medis atau pengobatan. Adapun
kegunaannya adalah untuk menghilangkan rasa sakit. Tetapi apabila pengguna
narkoba diluar dari hal-hal medis dan tanpa mengikuti dosis yang seharusnya akan
dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental dan sikap hidup masyarakat. Narkoba
yang popular pada masyarakat terdiri dari tiga golongan yaitu: Narkotika,
psikotropika dan bahan-bahan adiktif lainnya.
a.
Narkotika
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Jenis narkotika di bagi atas tiga golongan :
a.1
Narkotika Golongan I
Narkotika golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi
serta
mempunyai
potensi
yang
sangat
tinggi
mengakibatkan
ketergantungan. Jenis narkotika yang paling sering disalahgunakan adalah
ganja, heroin, kokain, dan opium (Lisa dan Sutrisna, 2013).
a.2
Narkotika Golongan II
Narkotika golongan II adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat,
tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Meskipun demikian
Universitas Sumatera Utara
18
penggunaan narkotika golongan II untuk terapi atau pengobatan sebagai
pilihan terakhir jika tidak ada pilihan lain. Contoh dari narkotika golongan
II ini adalah benzetidin, betametadol, metadon, petidin dan turunannya,
dan lain-lain (Lisa dan Sutrisna, 2013).
a.3
Narkotika golongan III
Narkotika golongan III : adalah jenis narkotika yang memiliki daya adiktif
atau potensi ketergantungan ringan dan dapat dipergunakan secara luas
untuk terapi atau pengobatan dan penelitian. Adapun jenis narkoba yang
termasuk dalam golongan III adalah kodein dan turunannya (Lisa dan
Sutrisna, 2013).
b.
Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan
perilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa. Jenis psikotropika dibagi
atas empat golongan, yaitu:
b.1
Golongan I
Psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat untuk menyebabkan
ketergantungan, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, hanya
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan seperti esktasi (menthylendioxy
menthaphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul), sabu-sabu (berbentuk
kristal berisi zat menthaphetamin) (Lisa dan Sutrisna, 2013).
Universitas Sumatera Utara
19
b.2
Golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam
terapi untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan (contoh:
amfetamin
dan
metilfenidat atau ritalin) (Lisa dan Sutrisna, 2013).
b.3
Golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan (contoh: pentobarbital dan
flunitrazepam) (Lisa dan Sutrisna, 2013).
b.4
Golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh: diazepam,
bromazepam, fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam)
(Lisa dan Sutrisna, 2013).
c.
Zat Adiktif Lainnya
Berdasarkan BNN (2010), zat adiktif adalah bahan-bahan aktif atau obat
yang dalam organisme hidup menimbulkan kerja biologi yang apabila
disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi), yakni keinginan
untuk menggunakan kembali secara terus-menerus. Dan jenis zat adiktif yang
paling sering disalahgunakan adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
20
c.1
Alkohol (ethanyl atau ethyl alcohol), hasil fermentasi/peragian karbohidrat
dari bulir padi-padian, cassava, sari buah anggur, nira.
c.2
Inhalen, zat-zat yang disedot melalui hidung: Hidrokarbon alifatis (yang
terdapat di lem, pelumas bensin, aerosol, semir sepatu), halogen
hidrokarbon (yang terdapat dalam minyak pelumas, freon, pendingin AC,
Lemari es), Nitrat alifatis (yang terdapat dalam pengharum ruangan),
Keton, Ester, Glytol.
c.3
Rokok, Benda beracun yang memberi efek santai dan sugesti merasa lebih
jantan. Di dalam rokok terdapat racun berbahaya seperti : Nikotin, Karbon
monoksida, Karbondioksida, Asam biru, Arsenic, Zat ari belerang, dan
berbagai amonial.
c.4
Obat penenang (obat tidur, pil koplo, Nipam, Valium, Lexotan, dan lainlain)
2.2.3
Dampak Narkoba
Menurut efeknya pada sistem saraf pusat pemakai, narkoba, dan zat adiktif
lainnya dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
a.
Depresan
Obat jenis ini menekan atau memperlambat fungsi sistem saraf pusat
sehingga dapat mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Obat anti depresan
ini dapat membuat pemakai merasa tenang, memberikan rasa melambung
tinggi, memberi rasa bahagia dan bahkan membuatnya tertidur atau tidak
sadarkan diri. Contoh opida/opiate (opium, morphin, heroin, kodein),
alkohol, dan obat tidur trankuiliser atau obat penenang (BNN, 2010).
Universitas Sumatera Utara
21
b.
Stimulan
Stimulan yaitu berbagai jenis zat yang dapat merangsang sistem saraf
pusat dan meningkatkan kegairahan (segar dan bersemangat) dan
kesadaran. Obat ini dapat bekerja mengurangi rasa kantuk karena lelah,
mengurangi nafsu makan, mempercepat detak jantung, tekanan darah dan
pernafasan, mengerutkan urat nadi, serta membersarkan biji mata (BNN,
2010).
c.
Halusinogen
Merupakan obat-obatan alamiah ataupun sintetik yang memiliki
kemampuan untuk memproduksi zat yang dapat mengubah rangsangan
indera yang jelas serta merubah perasaan dan pikiran sehingga
menimbulkan kesan palsu atau halusinasi (BNN, 2010).
Obat dan narkotik yang disalahgunakan dapat menimbulkan berbagai
akibat yang beraneka ragam berupa dampak tidak langsung, dampak langsung
bagi jasmani/tubuh manusia dan dampak langsung bagi kejiwaan/mental (Lisa dan
Sutrisna, 2013). Menurut Sembiring dkk (2013) yang mengutip pendapat
Soedjono, secara fisik para pecandu narkoba umumnya menunjukkan tandatanda sebagai berikut: berat badan menurun secara drastis, mata menjadi
cekung, wajah terlihat pucat, bibir berubah warna menjadi kehitaman, sulit
buang air kecil, sembelit tanpa alasan jelas, ada bintik-bintik merah seperti
bekas gigitan nyamuk atau bekas luka sayatan (Sembiring dkk, 2013).
Secara emosi para pecandu narkoba umumnya menunjukkan tanda-tanda
sebagai berikut: menjadi sangat sensitif, mudah merasa bosan, membangkang
Universitas Sumatera Utara
22
bila dimarahi atau ditegur, emosional dan mudah marah, suka menyakiti diri
sendiri (Sembiring dkk, 2013).
Secara perilaku para pecandu narkoba umumnya menunjukkan tandatanda sebagai berikut: senang menyendiri di tempat yang sepi dan gelap, nafsu
makan menurun, malas, tidak bertanggung jawab, takut air, mengeluarkan
air mata dan keringat secara berlebihan, sering menguap, sering mengalami
mimpi buruk, sering berbohong, suka mencuri uang atau benda berharga di
lingkungannya (keluarga, sekolah, kantor), sering batuk pilek berkepanjangan
tanpa sebab jelas. Biasanya pada penderita yang sedang sakau, sering pergi tanpa
izin dan bertemu dengan orang-orang yang tak dikenal (Sembiring dkk, 2013).
Penyalahgunaan narkoba bisa mengakibatkan berbagai macam masalah
pada kehidupan penggunanya. Setidaknya terdapat dua kerugian yang ditimbulkan
secara langsung akibat penyalahgunaan, yaitu kerugian pada diri pemakainya dan
kerugian pada lingkungan sosialnya. Dampak penyalahgunaan narkoba pada
seseorang sangat tergantung pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian
pemakai dan situasi atau kondisi pemakai (Sembiring dkk, 2013).
a.
Kerugian pada diri pemakai
Akibat pada fisik yaitu, gangguan pada sistem syaraf, jantung, pembuluh
darah, kulit, paru-paru, sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu tubuh
meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur. Akibat psikis yaitu: lamban kerja,
ceroboh kerja, sering tegang, gelisah, apatis, pengkhayal, penuh curiga, menjadi
ganas dan tingkah laku yang brutal, sulit berkonsentrasi, perasaan kesal,
Universitas Sumatera Utara
23
cenderung menyakiti diri dan perasaan tidak aman dan bahkan bunuh diri (Lisa
dan Sutrisna, 2013).
b.
Kerugian pada lingkungan sosial
Kerugian pada lingkungan sosial berpengaruh pada keluarga dan
lingkungan. Pengaruh pada keluarga yaitu keluarga akan malu besar karena punya
anggota keluarga yang memakai zat terlarang (Lisa dan Sutrisna, 2013).
2.2.4
Faktor – faktor Penyalahgunaan Narkoba
Berdasarkan hasil penelitian Sembiring dkk (2013), seorang remaja tidak
begitu saja mendapatkan dan menyalahgunakan narkoba, tentunya ada faktorfaktor yang mempengaruhi remaja sehingga remaja tersebut berhadapan dengan
narkoba. Hasil wawancara terhadap beberapa responden yang terdiri dari remaja
dan anak-anak yang melakukan penyalahgunaan narkoba di kota Medan, dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dapat berasal dari internal
maupun eksternal.
a.
Faktor internal, yang terdiri dari: kontrol diri yang buruk, pengambilan
keputusan yang tidak tepat, prinsip kesenangan semata, lemahnya
pemahaman agama.
b.
Faktor eksternal:
b.1 Faktor keluarga
Adanya kesempatan karena orang tua sibuk dengan kegiatan masingmasing, mungkin juga karena kurangnya rasa kasih saynag dari
keluarga atau karena akibat dari broken home. Orang tua yang berlebih
memberikan fasilitas dan uang yang berlebihan merupakan sebuah
Universitas Sumatera Utara
24
pemicu untuk menyalahgunakan uang tersebut untuk membeli narkoba
(Lisa dan Sutrisna, 2013).
b.2 Faktor lingkungan yaitu: masyarakat sekitar dan pergaulan
b.3 Faktor pendidikan
2.2.5
Pencegahan Narkoba
a.
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah mencegah seseorang yang sebelumnya tidak
memakai zat adiktif untuk tidak mencoba atau memakai teratur (Kemenkes RI,
2014).
b.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan
sekunder
adalah
mencegah
seseorang
yang
sudah
menggunakan agar tidak masuk ke dalam kelompok berisiko dan tidak menjadi
tergantung atau adiksi. Pencegahan sekunder meliputi langkah diagnosis dini
(early detection) dan penanganan segera (prompt treatment) menyatakan bahwa
deteksi dini merupakan langkah krusial pada kelompok individu yang berisiko
tinggi. Upaya ini dianjurkan untuk dilakukan dalam tatanan pelayanan kesehatan
primer. Orang yang dapat membantu mendeteksi pemakaian zat adiktif di
antaranya adalah keluarga, teman, sebaya, tetangga, atau bahkan penemu kasus
di tatanan publik di lapangan misalnya petugas kesehatan, pekerja sosial, polisi,
dan petugas hukum lain. Salah satu upaya pengenalan dini kasus adalah dengan
penjangkauan (outreach), yang menggapai pemakai zat adiktif/narkoba yang tidak
kontak dengan fasilitas pelayanan penyalahgunaan zat adiktif/narkoba. UNODC
(2003) menyebutkan beberapa pokok penting dalam penjangkauan ini yaitu:
Universitas Sumatera Utara
25
b.1
Merupakan pendekatan yang fleksibel dan tidak konvensional, di luar
lingkungan sosial dan formal kesehatan
b.2.
Meningkatkan akses, motivasi, dan dukungan bagi pemakai zat adiktif
b.3
Menggapai
pemakai
zat
adiktif
yang tidak dalam penanganan,
meningkatkan rujukan untuk penanganan, dan mereduksi perilaku
pemakaian zat adiktif ilisit (UNODC, 2003: hal.9) (Kemenkes RI, 2014).
c.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah mereduksi bahaya yang timbul dari masalahmasalah penyalah guna narkoba dan adiksi, termasuk tindakan terapi dan
rehabilitasi, sampai seminimal mungkin menggunakannya atau bahkan
tidak menggunakan sama sekali (Kemenkes RI, 2014).
2.3
Hubungan HIV/AIDS dengan Narkoba
HIV/AIDS masih menjadi salah satu penyakit penyebab kematian terbesar
di dunia. Kasus HIV semakin hari bukan semakin kecil tetapi semakin besar. Pola
penularan HIV berdasarkan faktor risiko tidak mengalami perubahan dalam lima
tahun terakhir. Berdasarkan faktor risiko, infeksi HIV dominan terjadi pada
heteroseksual diikuti kelompok lain-lain, penasun dan LSL (Kemenkes RI, 2014).
Penularan HIV/AIDS paling tinggi terjadi melalui hubungan seksual dan
IDU (Penasun). Penggunaan NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika dan zat
adiktif) melalui jarum suntik atau lebih sering dikenal dengan IDU (Injecting
Drug User) atau obat yang disuntikkan menjadi sebuah tren baru dan menjadi
pemicu kasus-kasus HIV/AIDS. Sebagian besar pengguna narkoba menggunakan
Universitas Sumatera Utara
26
narkoba melalui jarum suntik. Pemakaian jarum suntik secara bergantian antar
pengguna meningkatkan kerentanan penularan HIV (BKKBN, 2012).
Human Immunodeficiency Virus menular melalui cairan darah. Pada saat
jarum suntik yang tidak steril dipakai, maka virus masih bertahan hidup pada
jarum. Selanjutnya virus masuk ke dalam pembuluh darah pengguna baru jarum
suntik bekas dan akhirnya berkembang biak di dalam tubuh pengguna baru.
Pengguna napza suntik menghadapi dua risiko untuk terkena HIV/AIDS. Pertama,
melalui jarum dan alat suntik yang tercemar yang digunakan secara bersamasama. Kedua, melalui
hubungan seksual terutama bagi mereka
yang
melakukannya dengan lebih dari satu pasangan (BKKBN, 2012).
Berdasarkan efeknya pada sistem saraf pusat pemakai narkotika,
psikotrofika dan obat-obatan terlarang, secara garis besar dapat digolongkan
menjadi tiga bagian yaitu efek stimulan, efek depresan, dan efek halusinogen.
Narkoba dengan efek stimulan dapat merangsang sistem saraf pusat dan
meningkatkan kegairahan (segar dan bersemangat) yang memicu keinginan bagi
pemakainya untuk melakukan seks bebas. Jenis narkoba yang paling banyak
disalahgunakan adalah ganja, shabu, pil koplo dan ekstasi. Narkotika dengan efek
stimulan seperti ekstasi dan shabu, dikonsumsi di tempat hiburan bersama banyak
kawan. Inilah yang mendorong pemakainya lebih intens berinteraksi secara fisik,
dan menyebabkan seks bebas (BNN, 2014).
Seks bebas adalah hubungan seksual yang di lakukan di luar pernikahan
secara bebas biasanya akibat pergaulan bebas dan umumnya dilakukan para
remaja. Remaja yang telah terjerumus ke dalam pergaulan bebas merupakan
Universitas Sumatera Utara
27
pemicu utama terjadinya penyalahgunaan narkoba. Seks bebas dan Narkoba
berkaitan erat dalam permasalahan remaja. Berdasarkan data tentang seks bebas
dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sebanyak 32%
remaja usia 14-18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan
Bandung) pernah berhubungan seks. Hasil survei lain juga menyatakan, satu dari
empat remaja Indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan
62,7% remaja kehilangan perawan saat masih duduk di bangku SMP, dan bahkan
21,2% di antaranya berbuat ekstrim, yakni pernah melakukan aborsi (Jaid, 2014).
2.4
Pengetahuan
Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan merupakan
hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu
objek tertentu (Notoatmodjo, 2012).
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam
tingkatan, yaitu:
a.
Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
28
b.
Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus
dapat
menjelaskan,
menyebutkan
contoh,
menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c.
Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini
dapat diaertikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d.
Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
e.
Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
Universitas Sumatera Utara
29
f.
Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo
(2012) adalah sebagaiberikut:
a.
Tingkat pendidikan
Pendidikan merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga
terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat.
b.
Pengalaman
Sesuatu yang pernah dilakukan seseorang akan menambah pengetahuan
tentang suatu yang bersifat informal.
c.
Informasi
Seseorang yang mendapatkan informasi lebih banyak akan menambah
pengetahuan menjadi lebih luas.
d.
Budaya
Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi
kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan.
2.5
Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2012). Sikap yang baik akan
mendukung pengetahuan yang baik. Jika sikap didasari oleh pengetahuan maka
Universitas Sumatera Utara
30
sikap akan cenderung secara terus menerus baik. Sikap merupakan kecenderungan
merespon (secara postif atau negatif) orang, situai atau objek tertentu. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional. Beberapa batasan lain tentang sikap ini dapat dikutipkan sebagai
berikut:
“An individual’s social attitude is a syndrome of response consistency
with regard to social object”(Campbell, 1950).
“Attitude entails an existing predisposition to response to social objects
which in interaction with situational and other dispositional variable, guide and
direct the overt behavior of the individual”(Cardno, 1955).
Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap
itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb,
salah seorang ahli psikologis sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan
kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif
tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan
reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu
sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Universitas Sumatera Utara
31
a.
Komponen pokok sikap
Dalam bagian lain Allport (1954) dalam Notoatmojo menjelaskan bahwa
sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yaitu:
a.1
Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek
a.2
Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
a.3
Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan,
dan emosi memegang peranan penting.
b.
Berbagai tingkatan sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan sebagai beriut :
b.1
Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
b.2
Merespons (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu
usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,
terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang
menerima ide tersebut.
Universitas Sumatera Utara
32
b.3
Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
b.4
Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
c.
Ciri-ciri Sikap
Menurut Maulana (2009) yang mengutip pendapat para ahli (Gerungan,
1996; Ahmadi, A., 1999; Sarwono, S. W., 2000 dan Walgito, B., 2001), sikap
memmiliki ciri-ciri sebagai berikut:
c1.
Sikap tidak dibawa dari lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk melalui
pengalaman, latihan sepanjang perkembangan individu.
c2.
Sikap dapat berubah-ubah dalam situasi yang memenuhi syarat untuk itu
sehingga dapat dipelajari.
c3.
Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan denga objek sikap.
c4.
Sikap tidak dapat tertuju pada satu atau banyak objek.
c5.
Sikap dapat berlangsung lama atau sebentar.
c6.
Sikap mengandung factor perasaan dan motivasi, hal ini yang
membedakan dengan pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara
33
2.6
Kerangka Konsep
Pengetahuan HIV/AIDS
Sikap HIV/AIDS
Pengetahuan Bahaya Narkoba
Sikap Bahaya Narkoba
Pengetahuan HIV/AIDS
Pengetahuan Bahaya Narkoba
Sikap HIV/AIDS
Sikap Bahaya Narkoba
Universitas Sumatera Utara
Download