BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) 2.1.1. Definisi Otitis Media merupakan suatu keadaan inflamasi pada mukosa telinga tengah dan rongga mastoid, tanpa melihat pada etiologi atau patogenesisnya. Ada tidaknya efusi telinga tengah dan lamanya efusi akan membantu dalam mendefinisikan proses inflamasi di telinga tengah . Efusi bisa serous, mukoid, atau purulen, jangka waktunya dibagi atas akut (0-3 minggu), subakut (3-12 minggu), atau kronik (>12 minggu). OMSK yaitu inflamasi kronis yang terjadi pada mukosa telinga tengah dan mastoid dimana membran timpani tidak intak (perforasi) serta adanya otore (Kenna & Latz, 2006; Verhoeff et al. 2006). OMSK dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe benigna atau tipe tubotimpanal karena biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan di kavum timpani, jenis ini melibatkan anteroinferior dari telinga tengah dan berhubungan dengan perforasi sentral dan tipe maligna disebut juga tipe atikoantral karena melibatkan daerah posterosuperior dari telinga tengah dan berhubungan dengan perforasi marginal atau atik (Dhingra, 2010; Helmi, 2005). Namun ada juga yang membagi OMSK atas OMSK tanpa kolesteatoma dan dengan kolesteatoma (Chole & Nason, 2009). Perforasi sentral membran timpani tidak bisa di katakan sebagai “safe ears”. Analisis terbaru dari perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason, 2009). 6 2.1.2 Anatomi Telinga Tengah Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang mengandung rantai tulang pendengaran.Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius dan prosessus mastoideus (Gacek, 2009; Dhingra. 2010). a. Membran timpani Membran timpani membentuk dinding lateral kavum timpani yang memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Memiliki tinggi 9-10 mm, lebar 8-9 mm dan ketebalannya rata-rata 0,1 mm (Dhingra, 2010). Secara anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian yaitu pars tensa terletak dibagian bawah, tegang dan lebih luas, dan pars flaksida (membran Shrapnells) di bagian atas dan lebih tipis. Secara histologis membran timpani terdiri dari tiga lapisan, yaitu: 1. Lapisan luar (stratum kutaneum) yaitu: lapisan epitel yang berasal dari liang telinga luar. 2. Lapisan dalam (stratum mukosum) yang berasal dari mukosa telinga tengah. 3. Lapisan tengah (lamina propria / fibrosa) terletak diantara stratum kutaneum dan stratum mukosum. (Dhingra, 2010). b. Kavum timpani Kavum timpani diumpamakan sebuah kotak dengan 6 sisi yaitu bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dan dinding posterior (Dingra, 2010). Atap kavum timpani dibentuk oleh lempeng tulang tipis yang disebut tegmen timpani. Daerah ini memanjang ke belakang membentuk atap aditus ad antrum. Bagian atap ini memisahkan kavum timpani dari fossa kranii media. Lantai kavum timpani juga merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dari bulbus jugularis. Kadang-kadang secara kongenital tidak sempurna dan bulbus jugularis bisa menonjol ke telinga tengah dan hanya dipisahkan oleh mukosa. Dinding anterior merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dengan arteri karotis. Juga terdapat tuba Eustachius di bagian bawah dan kanalis muskulus tensor timpani di bagian atas. Dinding posterior berbatas dengan sel-sel mastoid muncul sebagai penonjolan tulang yang disebut piramid. Dinding medial berbatasan dengan labirin. Tanpak tonjolan Promantorium yang merupakan dasar koklea. Foramen ovale terfiksasi pada kaki stapes. Diatas foramen ovale terdapat kanalis fasialis. Tulang penutupnya kadang secara kongenital mengalami dehisensi dan saraf fasialis lebih terekspos yang membuat lebih terangsang infeksi. Dinding lateral dibentuk terutama oleh membran timpani dan bagian tulang liang telinga (Dhingra, 2010). Pada kavum timpani terdapat tiga tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan stapes, dua otot yaitu muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius dan juga saraf korda timpani (Dhingra, 2010) c. Tuba Eustachius Tuba Eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap proses pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan atmosfir. Stabilnya tuba Eustachius disebabkan karena adanya kontraksi muskulus tensor veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat mengunyah dan menguap. Tiga perempat medial merupakan tulang rawan yang dikelilingi oleh jaringan lunak, jaringan adiposa, dan epitel saluran nafas (Dhingra, 2010; Gacek, 2009). d. Prosesus mastoid Mastoid terdiri dari tulang korteks dengan gambarannya seperti sarang lebah. Tergantung pada pengembangan sel udara, mastoid dibagi atas tiga tipe yaitu: Pada tipe selluler (well pneumatised) hampir seluruh proses mastoid terisi oleh pneumatisasi, tipe diploik pneumatisasi kurang berkembang dan pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali (Dingra, 2010). Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang terletak persis di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus (Helmi, 2005). e. Vaskularisasi kavum timpani Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang-cabang kecil arteri karotis eksterna. Arteri timpani anterior yang merupakan cabang dari a. maksilaris yang masuk ke telinga tengah melalui fisura petrotimpani. Pada daerah posterior mendapat vaskularisasi dari a. timpani posterior yang merupakan cabang dari a. mastoidea yaitu a. stilomastoidea. Pada daerah superior mendapat vaskularisasi dari cabang a. meningea media, a. petrosa superior, a. timpani superior. Pembuluh vena kavum timpani berjalan bersama-sama dengan pembuluh arteri menuju pleksus pterigoideus dan sinus petrosus superior (Helmi, 2005). 2.1.3. Kekerapan Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65-330 juta orang dengan keluhan telinga berair sebanyak 60% dimana 39-200 juta penderita menderita kurang pendengaran yang signifikan (WHO, 2004) Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dimana pasien OMSK ditemukan sebanyak 25% dari pasien-pasien yang berobat ke poliklinik THT rumah sakit di Indonesia (Aboet, 2007). Kodrat (2010) melaporkan sebanyak 738 penderita OMSK yang datang berobat di RSUD Labuang Baji Makassar sejak Januari 2005 - Desember 2009. Kodrat (2011) dalam kurun waktu Juli 2006 - Juni 2011 RSUD Labuang Baji Makassar, mendapatkan 818 kasus OMSK, diantaranya 329 kasus (40,22%) OMSK pada anak dimana 10 penderita OMSK anak disertai dengan komplikasi. 2.1.4. Faktor Risiko Beberapa faktor penyebab dan yang mempermudah terjadinya OMSK, antara lain: a. Lingkungan Sebagaimana telah disebutkan, prevalensi OMSK lebih tinggi pada kelompok sosial ekonomi rendah dimana penyebabnya dapat multifaktorial. Dalam sebuah studi kohort pada 12.000 anak-anak, dengan telinga berair (meskipun tidak selalu OMSK) dipengaruhi oleh kesehatan umum, ibu perokok dan pelayanan kesehatan. Penurunan prevalensi otitis media kronik pada anak Maori di Selandia Baru sejak 1978-1987 disebabkan karena perbaikan pada perawatan kesehatan dan kondisi perumahan (Kelly, 2008). Kumar menyebutkan kejadian penyakit OMSK lebih tinggi pada negara berkembang, terutama masyarakat sosial ekonomi menengah kebawah (dimana perbandingan angka kejadian antara perkotaan dan pedesaan adalah 1:2), disebabkan gizi buruk, kurangnya kebersihan dan kurangnya pengetahuan kesehatan (Kumar, 2011). b. Sosial ekonomi Faktor sosial ekonomi mempengaruhi kejadian OMSK dimana kelompok sosial ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Beberapa faktor seperti kepadatan penduduk, rendahnya pengetahuan mengenai kesehatan dan kesehatan perorangan, serta sulitnya akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Dhingra, 2010; Browning, 2008). Akinpelu mendapatkan faktor yang berhubungan dengan malnutrisi, tempat tinggal kumuh dan imunisasi yang tidak lengkap sebanyak 41,3% yang juga mempengaruhi kejadian OMSK (Akinpelu et al. 2008). c. Gangguan fungsi tuba Kelainan fungsi tuba Eustachius lebih banyak dijumpai pada penderita OMSK daripada orang yang normal. Hal ini tidak diketahui secara pasti apakah gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor terjadinya OMSK atau apakah merupakan hasil dari OMSK (Browning, 2008). Monique menyebutkan berkurangnya fungsi silia telinga tengah dan mukosa tuba Eustachius menyebabkan terganggunya pembersihan sekresi dari telinga tengah karenanya otitis media akut atau otitis media efusi dapat menjadi OMSK (Verhoeff et al. 2006). d. Otitis media sebelumnya Anak-anak yang mengalami otitis media akut dan otitis media efusi dalam waktu yang panjang dapat menyebabkan perubahan membran timpani berupa berkurangnya elastisitas membran timpani menyebabkan perforasi yang menetap atau retraksi (Browning, 2008). e. Infeksi saluran pernafasan atas Banyak pasien OMSK dilaporkan bersamaan dengan infeksi saluran nafas atas, Walaupun hal ini belum terbukti secara ilmiah. Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terganggunya fungsi dan mukosa tuba Eustachius dan dapat berlanjut kepada telinga tengah (Kelly, 2008). f. Infeksi Bakteri yang dominan dan sensitifitas antibiotika yang berubah dari waktu ke waktu, sehingga diperlukan penelitian yang terus menerus agar diperoleh hasil pengobatan antibakteri yang sesuai. Pengetahuan tentang spesies dan tingkat resistensi kuman saat ini adalah penting untuk menentukan antibiotika yang tepat untuk pasien dengan OMSK (Yeo et al. 2007). g. Genetik Insiden OMSK bervariasi dalam populasi yang berbeda,di negara maju, tertinggi di Eskimo, penduduk asli Amerika, Maori Selandia Baru dan Aborigin Australia.Tampaknya bahwa prevalensi OMSK pada populasi tersebut cenderung menurun. Dalam salah satu penelitian terhadap anak-anak Maori di Selandia Baru, prevalensi OMSK menurun secara signifikan dari 9% pada tahun 1978 menjadi 3% pada tahun 1987 (p <0,02). Sulit untuk menjawab pertanyaan apakah faktor genetik mempengaruhi OMSK, karena adanya variabel pengganggu seperti kelompok sosial ekonomi rendah dari beberapa kelompok genetik yang insidennya tinggi mengalami OMSK. Pada suku asli Amerika yang didapati insiden yang tinggi mengalami OMSK ternyata angka kejadian ini bervariasi di antara suku-suku asli Amerika berdasarkan genetik (Kelly, 2008). Menurut Verhoeff faktor genetik untuk OMSK sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Dimana penelitian terhadap kembar yang mengalami otitis media menunjukkan peningkatan tingkat kecocokan pada kembar monozygotic daripada kembar dizygotic (Verhoeff et al. 2006). h. Alergi Penderita alergi memiliki risiko yang tinggi yang menimbulkan gangguan pada tuba Eustachius dan sumbatan hidung yang dapat menimbulkan terbentuknya cairan pada telinga tengah (Chole & Nason, 2009). Susilo (2010) di Medan memeriksa 54 penderita dan mendapatkan reaksi alergi pada penderita OMSK benigna lebih besar dibandingkan dengan reaksi alergi pada penderita yang tidak OMSK, yaitu sebesar 74,1% pada kelompok penderita OMSK tipe benigna dan 40,7% pada kelompok yang tidak OMSK. 2.1.5. Patogenesis Ada dua mekanisme perforasi kronis yang dapat menyebabkan infeksi telinga tengah yang berlanjut atau berulang: (1) Bakteri dapat mengkontaminasi telinga tengah secara langsung dari telinga luar karena efek proteksi barier fisikal membran timpani telah hilang. (2) Membran timpani yang utuh secara normal menghasilkan bantalan gas, yang menolong untuk mencegah refluks sekresi nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Hilangnya mekanisme protektif ini menyebabkan terpaparnya telinga tengah terhadap bakteri patogen dari nasofaring (Yates & Anari, 2008). Disfungsi tuba Eustachius: -Mekanikal -Fungsional Resolusi Pelepasan Mediator inflamasi Infeksi : -Bakteri -Virus -Lainnya Peningkatan permeabilitas vaskular Aktifitas sekretori epitel Inflamasi dan efusi telinga tengah Sekuele Komplikasi Gambar 2.1. Patogenesis Otitis Media (Juhn et al, 2008) OMSK ditandai dengan keadaan patologis yaitu inflamasi yang ireversibel di telinga tengah dan mastoid. Disfungsi tuba Eustachius memegang peranan penting pada otitis media akut dan otitis media kronis. Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu, mengalirkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari nasofaring refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga tengah dengan lingkungan luar (Chole & Nason, 2009). Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini diikuti oleh pelepasan mediator inflamasi dan imun ke dalam ruang telinga tengah. Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan mononuklear selular mediator (makrofag, sel plasma, limfosit), edema persisten dan jaringan granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia epitel telinga tengah, dimana terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi epitel kolumnar pseudostratified yang mampu meningkatkan sekret mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik, kadang-kadang membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang antara osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum. Obstruksi kronis menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan mukosa (Chole & Nason, 2009). 2.1.6. Diagnosis Diagnosis OMSK dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan mikroskop, pemeriksaan audiometri, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan bakteriologi. Melalui anamnesa kita dapat mengetahui tentang perjalanan penyakit, faktor risiko, gejala penyakit, serta hal-hal lainnya yang mengarah ke diagnosis OMSK (Chole & Nason, 2009; Dhingra, 2010; Kenna. 2006). 2.1.7. Gejala Klinis 1. Telinga berair Cairan telinga dapat sedikit, berupa mukous atau mukopurulen bersifat konstan atau intermiten. Cairan sering muncul saat adanya infeksi saluran pernafasan atas dan saat masuknya air kedalam telinga (Dhingra, 2010). 2. Gangguan pendengaran Pendengaran bisa normal ketika rantai tulang pendengaran masih utuh. Gangguan pendengaran pada OMSK sebagian besar adalah konduktif namun dapat pula bersifat campuran (Chole & Nason, 2009). 3. Perdarahan Perdarahan dapat terjadi karena granulasi atau polip yang tersentuh saat membersihkan telinga (Dhingra, 2010). 2.1.8. Tanda Klinis 1. Perforasi Pada tipe benigna/tubotimpani, perforasi biasanya sentral, bisa di anterior, posterior atau inferior dari malleus. Pada tipe maligna/ atikoantral, perforasi di daerah atik atau posterosuperior. Perforasi atik yang kecil ada kalanya tidak terlihat disebabkan adanya sekret telinga (Dhingra, 2010). 2. Retraction pocket. Invaginasi membran timpani terlihat di daerah atik atau posterosuperior dari pars tensa. Pada tahap awal, kantong tersebut dangkal dan bisa membersihkan diri, namun ketika kantong tersebut dalam, terjadi akumulasi massa keratin dan bisa terinfeksi (Dhingra, 2010). 3. Kolesteatoma Bercak putih mutiara dari kolesteatoma dapat dihisap dari kantong retraksi. Pembersihan telinga dan pemeriksaan di bawah mikroskop, merupakan bagian penting dari pemeriksaan klinis dan penilaian dari setiap jenis OMSK (Dhingra, 2010). 2.1.9. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan mikroskop Dapat dibedakan jenis OMSK berdasarkan perforasi pada membran timpani, yang terdiri dari perforasi sentral, atik dan marginal. Pada tipe benigna/tubotimpani, perforasi selalu sentral bisa ditemukan pada anterior, posterior atau inferior dari manubrium malleus. Ukuran perforasi dapat kecil, sedang atau besar dimana annulus masih ada. Bila perforasinya besar mukosa telinga tengah dapat terlihat, ketika terjadi inflamasi terlihat merah serta edema. Pada tipe maligna/atikoantral perforasi dapat terletak di atik maupun di marginal (Dhingra, 2010). 2. Pemeriksaan audiometri Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati jenis tuli konduktif, tetapi dapat pula dijumpai adanya jenis tuli sensorineural, Penurunan tingkat pendengaran tergantung kondisi membran timpani seperti letak perforasi, tulang-tulang pendengaran dan mukosa telinga tengah (Dhingra, 2010, Chole & Nason; 2009). Tuli konduktif dapat diperbaiki dengan melakukan tindakan operasi, sedangkan tuli sensorineural yang permanen hanya dapat dibantu dengan menggunakan alat bantu dengar (Elemraid et al. 2010). 3. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi dapat memberikan informasi tambahan untuk melengkapi pemeriksaan klinis. CT-scan dan MRI dari tulang temporal dapat menggambarkan luasnya penyakit dan dapat mengidentifikasi kolesteatoma pada pasien yang asimtomatik. Meskipun CT-Scan dianggap standar emas pencitraan kolesteatoma namun CT-Scan mempunyai kekurangan specificity dalam membedakan kolesteatoma dengan jaringan granulasi atau edema terutama ketika erosi tulang tidak ada (Chole & Nason, 2009). 4. Pemeriksaan kultur dan sensitifitas sekret telinga Pemeriksaan kultur dan sensitifitas sekret telinga dapat membantu dalam pemilihan antibiotik untuk pengobatan OMSK (Dhingra, 2010). Sekret telinga penting untuk menentukan bakteri penyebab OMSK sehingga kita dapat menentukan penggunaan antibiotika yang tepat dalam memberikan pengobatan otitis media supuratif kronis (Iqbal et al. 2011; Kenna & Latz, 2006). 2.1.10. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala dan meminimalkan risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satu-satunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright & Valentine, 2008). Pasien dengan otore dari perforasi sentral dapat diobati dulu dengan medikamentosa untuk mengontrol infeksi dan menghentikan otore sebagai tujuan jangka pendek sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah usaha menutup perforasi membran timpani dan memperbaiki pendengaran secara operatif (Helmi, 2005). 1. Aural toilet dapat digunakan untuk membersihkan sekret dan debris dari telinga, dapat menggunakan suction dibawah mikroskop, dan telinga harus dikeringkan kembali setelah diirigasi (Dhingra, 2010). 2. Tetes telinga dapat diberikan yang mengandung neomycin, polymyxin, cloromycetin atau gentamycin, dapat juga dikombinasikan dengan steroid yang mana memiliki efek anti inflamasi lokal, diberikan tiga sampai empat kali sehari. Antibiotika sistemik juga dapat digunakan untuk OMSK yang mengalami ekserbasi akut (Dhingra, 2010). 3. Operasi rekonstruksi dapat dilakukan segera setelah telinga kering, miringoplasti dengan atau tanpa rekonstruksi tulang-tulang pendengaran yang mana dapat memperbaiki pendengaran. Penutupan dari perforasi dapat mencegah terjadinya infeksi yang berasal dari telinga luar (Dhingra, 2010). Secara umum, infeksi yang mengenai daerah atik dan antrum biasanya terlalu dalam di telinga untuk dapat dicapai oleh antibiotika. Kolesteatoma berpotensi mendestruksi tulang dan memungkinkan penyebaran infeksi sehingga diperlukan tindakan operasi (Helmi, 2005). Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal wall down) dan closed cavity (intact canal wall) mastoidectomy (Browning, 2008). 1. Canal wall down procedures Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum mastoid berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi, 2005; Dhingra, 2010; Merchant, Rosowski & Shelton, 2009). 2. Intact Canal Wall Procedures Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang dan merekonstruksi skutum. Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired cholesteatoma bila kolesteatoma terdapat di atik dan antrum. Dilakukan complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dimasuki. Diseksi matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi dapat terjadi bila fragmen kecil dari epitel berkeratinisasi tertinggal. Sering diperlukan “second look operation” setelah 6-12 bulan kemudian disebabkan rekurensi kolesteatoma (Browning, 2008; Chole & Nason, 2009). 2.1.11.Komplikasi Komplikasi OMSK terbagi dua yaitu komplikasi intratemporal dan intrakranial, yaitu (Dhingra, 2010) 1. Komplikasi intratemporal a. Mastoiditis b. Petrositis c. Paralisis fasial d. Labirinitis 2. Intrakranial a. Abses ektradural b. Abses subdural c. Meningitis d. Abses otak e. Tromboflebitis sinus lateralis f. Hidrosefalus otitis 2.2. Bakteriologi dari OMSK Bakteri yang terdapat pada otitis media kronik dan kolesteatoma jelas berbeda dari yang ditemukan pada otitis media akut atau otitis media efusi kronik. Pada sebahagian kasus OMSK dapat ditemukan baik bakteri aerobik dan anaerobik. Bakteri aerobik yang paling banyak ditemukan adalah P. aeruginosa, S. aureus dan basil Gram negatif seperti E. coli , Proteus sp., dan Klebsiella sp. P. aeruginosa berada pada daerah yang lembab dari telinga tengah, sedangkan S. aureus biasanya berada pada daerah hidung. Bacteroides sp. dan Fusobacterium sp. adalah bakteri anaerob yang sering ditemukan pada OMSK (Chole & Nason. 2009). Pada penelitian Afobi et al. disebutkan bahwa kuman penyebab OMSK dapat berupa kuman Proprionibacterium) anaerob dan kuman (seperti aerob Bacteroides, (seperti Peptostreptococcus, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis, Klebsiella sp.) ataupun infeksi yang disebabkan gabungan antara kuman aerob maupun kuman anaerob (Afobi et al. 2012). Total dari 230 pasien dimana telinga kanan yang terlibat 114, telinga kiri 102 dan kedua telinga sebanyak 7 mendapatkan kuman yang terbanyak adalah Staphylococcus aureus 74 (32,2%), Pseudomonas aeruginosa 62 (26,9%), Klebsiella sp 24 (10,4%), Streptococcus pneumoniae 14 (6,1%). Karena variasi dari iklim, masyarakat, populasi pasien dan penggunaan antibiotika yang tidak sesuai menyebabkan perubahan pola kuman pada OMSK. Maka sangatlah penting dan membantu untuk mengidentifikasi mikroorganisme untuk pemberian antibiotika yang tepat (Sharestha et al. 2011). Sebagian besar bakteri yang merupakan flora normal manusia bersifat anaerob. Ciri khas yang menunjukkan adanya infeksi kuman anaerob seperti : (1) Infeksi sering berdekatan dengan permukaan mukosa. (2) Infeksi cendrung melibatkan campuran organisme. (3) Infeksi cendrung membentuk infeksi ruang tertutup, baik sebagai abses, sekret. (4) Pus dari infeksi anaerob sering berbau busuk (akibat produk asam lemak rantai pendek dari metabolisme anaerob). (5) Infeksi anaerob dipermudah dengan penurunan suplai darah, jaringan nekrotik, dan potensial oksidasi-reduksi rendah. (6) Menggunakan metode pengumpulan khusus, medium transport (Jawetz et al, 2007). Infeksi yang penting secara medis akibat bakteri anaerob sering terjadi. Biasanya infeksinya bersifat polimikroba dimana bakteri anaerob ditemukan pada infeksi campuran dengan bakteri anaerob lainnya, fakultatif anaerob, maupun dengan bakteri aerob. Bakteri anaerob ditemukan di semua bagian tubuh manusia seperti di kulit, dipermukaan mukosa dan di mulut serta saluran cerna dengan konsentrasi tinggi sebagai bagian dari flora normal. Bakteri anaerob sering ditemukan pada infeksi saluran nafas atas kronis serta infeksi pada kepala dan leher yang dapat menyebabkan penyakit serius dan mengancam jiwa (Jawetz et al. 2007; Elisabeth, 2010) Bakteri anaerob tidak akan tumbuh bila ada oksigen dan dapat dibunuh dengan oksigen atau radikal oksigen. pH dan potensial oksidasi –reduksi (Eh) juga penting dalam membuat kondisi yang membantu pertumbuhan bakteri anaerob. Anaerob tumbuh pada Eh rendah atau negatif (Jawetz et al. 2007). 2.3. Uji sensitifitas Metode pengujian sensitifitas antimikroba digunakan untuk mendeteksi resistensi antimikroba pada bakteri dimana uji sensitifitas antimikroba dapat menjadi pedoman klinis yang berguna dalam memilih pilihan terbaik pengobatan antibiotika dan juga dapat digunakan untuk memantau munculnya dan penyebaran mikroorganisme resisten dalam populasi ( Microbiology Modul, 2011). Uji kepekaan (tes resistensi) dilakukan apakah bakteri penyebab infeksi peka (sensitif) terhadap antimikroba sehingga dapat dipilah antimikroba yang tepat untuk mengatasi infeksi tersebut. Pada uji kepekaan dapat pula ditentukan KHM (Kadar Hambatan Minimum) dan KBM (Kadar Bakterisidal Minimum) untuk mengetahui apakah suatu antimikroba itu menghambat pertumbuhan bakteri tersebut (bacteriostatic) atau mematikannya (bacteriocidal) (Jawetz et al. 2007; James et al. 2009). Dalam uji sensitifitas antibiotik dapat digunakan metode antara lain (Jawetz et al. 2004, James et al. 2009) : 1. Cara Tabung (Tube Dilution Method), membuat penipisan antibiotika pada sederetan tabung reaksi yang berisi perbenihan cair. Ke dalam tabung-tabung tersebut dimasukkan kuman yang akan diperiksa dengan jumlah tertentu dan kemudian dieram. Dengan cara ini akan diketahui konsentrasi terendah antibiotika yang menghambat pertumbuhan kuman yang disebut Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC). 2. Cara Cakram (Disc Method), menggunakan cakram kertas saring yang mengandung antibiotika/bahan kimia lain dengan kadar tertentu yang diletakkan di atas lempeng agar yang ditanami kuman yang akan diperiksa, kemudian di inkubasi. Apabila tampak adanya zona hambatan pertumbuhan kuman disekeliling cakram antibiotika, maka kuman yang diperiksa sensitif terhadap antibiotika tersebut, Cara ini disebut juga cara difusi agar, yang lazim dilakukan adalah cara Kirby-Bauer. Resistensi terhadap antimikroba/ antibiotika dapat terjadi melalui 5 mekanisme yaitu : (Jawetz et al. 2007) 1. Mikroorganisme memproduksi enzim yang dapat menghancurkan zat aktif dari obat tersebut. Contohnya adalah Staphylococcus yang resisten terhadap penicillin karena memproduksi acetylating enzyme, bakteri Gram negative yang resisten terhadap chloramphenicol acetyltransferase. 2. Mikroorganisme merubah permeabilitasnya terhadap obat. Contohnya adalah bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida karena terganggunya transport aktif melewati membran sel. 3. Mikroorganisme merubah struktur target dari antibiotik. Contohnya adalah bakteri yang resisten terhadap aminoglikosida karena bakteri merubah 30s sub unit dari ribosom bakteri yang menjadi tempat melekat antibiotik. 4. Mikroorganisme merubah jalur metabolisme sehingga melewati reaksi yang diinhibisi oleh antibiotika. Contohnya adalah bakteri yang resisten terhadap Sulfonamide tidak memerlukan ekstra selular PABA, tetapi dapat menggunakan asam folat. 5. Mikroorganisme merubah pembentukan enzim tetapi masih bisa berfungsi dalam metabolisme. Resistensi mikroorganisme ini terhadap antibiotika bisa didapat secara genetik atau non genetik. 2.2.11 Kerangka Teoritis FAKTOR RISIKO Umur Infeksi bakteri Riwayat otitis media berulang Infeksi saluran nafas atas Lingkungan tempat tinggal Sosial ekonomi Jenis kelamin Pendapatan Luas tempat tinggal Alergi Infeksi jamur, virus Genetik Otitis Media Supuratif Kronis Keluhan utama Gejala dan tanda klinis Foto polos mastoid Mikrobiologi Tubotimpanal Medikamentosa a Variabel penelitian Pembedahan Atikoantral Pembedahan + Medikamentosa