KAJIAN REGIMEN DOSIS PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA

advertisement
KAJIAN REGIMEN DOSIS PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA
PASIEN PEDIATRI RAWAT INAP DI BANGSAL ANAK RSUD
AMBARAWA
ARTIKEL
Oleh
DEWI WIJAYANTI
NIM. 050112a017
PROGRAM STUDI FARMASI
SEKOLAH TINGGI KESEHATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
AGUSTUS, 2016
1
KAJIAN REGIMEN DOSIS PENGGUNAAN OBAT ASMA PADA PASIEN
PEDIATRI RAWAT INAP DI BANGSAL ANAK RSUD AMBARAWA
Dewi Wijayanti
Program Studi Farmasi Sekolah Tinggi Ngudi Waluyo, Ungaran
ABSTRACT
Latar belakang : Asma dikenal sebagai suatu penyakit kronis dengan gejala klinis yang
bervariasi. Gejala klinis asma yang khas adalah sesak napas yang berulang dan suara mengi
(wheezing). Penyebab pasti penyakit asma masih belum diketahui secara jelas, tetapi faktor
resiko umum yang mencetuskan asma yaitu udara dingin, debu, asap rokok, stres, infeksi,
kelelahan, alergi obat dan alergi makanan. Asma tidak bisa disembuhkan, tetapi dengan
tatalaksana yang tepat, asma dapat terkontrol dan kualitas hidup terjaga.
Tujuan : penelitian ini bertujuan untuk mengkaji regimen dosis penggunaan obat asma pada
pasien pediatri rawat inap di bangsal anak RSUD Ambarawa.
Metode : Jenis penelitian ini termasuk penelitian survey diskriptif menggunakan pendekatan
retrospektif, dengan jumlah sampel 42 yang diambil secara total sampling
Hasil : Presentase ketepatan pemberian dosis untuk salbutamol oral sudah tepat 97,62%,
deksametason 100%, metil prednisolon (100%), salbutamol inhaler (72,73%). Persentase
ketepatan interval pemberian obat salbutamol oral (97,62%), deksametason (0%),
metilprednisolon (0%), salbutamol inhaler (90%). Sedangkan untuk rute pemberian obat
sudah tepat 100%.
Simpulan : Penggunaan obat asma pada pasien pediatrik di RSUD Ambarawa berdasarkan
dosis tepat (93,84%), interval pemberian (78,46%), dan rute pemberian obat (100%)
Saran : Diharapkan penggunaan obat asma pada pesien pediatrik di RSUD Ambarawa
dihitung berdasarkan berat badan agar pemberian dosis nya lebih tepat.
Kata Kunci : Regimen Dosis, Pediatrik, Asma
ABSTRACT
Background: Asthma is known as a chronic disease which has various clinical symptoms.
The typical symptom of the disease is repeated short of breath and wheezing. The causes of
asthma are not completely understood, but the common risks of asthma are cold air, dust,
tobacco smoke, stress, infection, weakness, drug allergy and food allergy. There is no cure
for asthma, but it is possible to control the symptoms and to enjoy a good quality of life.
Objective: The objective of the study is to study the dosage regiment on the asthmatic drug
usage on pediatric patients in inpatient pediatric ward of Ambarawa Regional Hospital.
Method: This study was descriptive survey research with retrospective approach. The
samples were 42 respondents taken with total sampling.
Result: The accuracy percentage of giving dose for oral salbutamol was accurate that is
(97,62%), dexametason (100%), metal prednisolon (100%), salbutamol inhaler (72,73%).
The accuracy percentage of interval for oral salbutamol was (97.5%), dexametason was
(0%), metal prednisolon was (0%), salbutamol inhaler was (97,62%). While for the route of
drug administration was accurate (100%).
Conclusion: The usage of asthmatic drug in pediatric patients of Ambarawa Regional
Hospital based on the accuracy of dose is (93,84%), based on the accuracy of interval is
(78,46%) and route of drug administration is (100%)
Suggestion: It is suggested that the asthmatic drug usage in pediatric patients of Ambarawa
Regional Hospital should be calculated based on the body weight to get the accurate dosage.
Key words
: the dosage regiment, pediatric, asthma
2
PENDAHULUAN
Asma dikenal sebagai suatu penyakit kronis dengan gejala klinis yang bervariasi dan
rekuren (Anonim, 2007). Gejala klinis asma yang khas adalah sesak napas yang berulang dan
suara mengi (wheezing). Gejala ini bervariasi pada tiap-tiap orang berdasarkan tingkat
keparahan dan frekuensi (WHO, 2014). Gejala asma lain yang tidak khas berupa batuk
produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan dada terasa tertekan (Anonim,
2013).Pada saat serangan asma, permukaan dari saluran bronkus membengkak, sehingga
mengakibatkan saluran udara menjadi sempit dan menurunkan volume udara yang masuk ke
paru (WHO, 2014).
Penyebab pasti penyakit asma masih belum diketahui secara jelas, tetapi faktor resiko
umum yang mencetuskan asma yaitu udara dingin, debu, asap rokok, stres, infeksi,
kelelahan, alergi obat dan alergi makanan (Anonim, 2013). Asma tidak bisa disembuhkan,
tetapi dengan tatalaksana yang tepat, asma dapat terkontrol dan kualitas hidup terjaga (WHO,
2014). Sampai saat ini, penyakit asma masih sulit didefinisikan secara pasti. Hal ini
dikarenakan kurangnya faktor inklusi dan spesifisitas gejala penyakit itu sendiri. Studi
epidemiologi mengalami kesulitan untuk melakukan screening akibat masalah tersebut.
Beberapa studi epidemiologi menggunakan metode kuesioner untuk mengestimasi angka
kejadian asma, salah satunya adalah ISAAC. Kuesioner ISAAC (The International Study of
Asthma and Allergies in Childhood) fase I adalah kuesioner pertama yang memberikan
keseragaman dalam pengambilan data, terlepas dari masalah perbedaan kultur dan bahasa.
Studi ini mempelajari asma dalam rentang umur 6-7 tahun dan 13-14 tahun penduduk di
total 98 negara, termasuk Indonesia (Anonim, 2013).
Penelitian ISAAC fase III tahun 2001-2002 di Indonesia terdapat pada tiga pusat,
yaitu di Bali, Bandung dan Semarang. Pada ketiga kota tersebut, prevalensi anak usia
13-14 tahun yang pernah menderita asma masing-masing sebanyak 8,7%, 12,4% dan 11,1%.
Penelitian prevalensi asma pada anak umur 6-7 tahun hanya dilakukan pada kota
Bandung, yaitu sebanyak 4,8% (Anonim,2013).
Menurut Yunus (2001), prevalensi asma pada siswa SLTP usia 13- 14 tahun seJakarta Timur adalah sebesar 8,9%. Pada studi anak SLTP dengan kuesioner ISAAC di kota
Semarang oleh Widodo (2004), didapatkan prevalensi anak yang pernah menderita asma
sebesar 5,4%. Sastrawan (2008) juga melakukan penelitian dengan kuesioner ISAAC di
Desa Tenganan dan mendapatkan prevalensi asma sebesar 7% dengan proporsi perempuan
lebih tinggi dari laki-laki (7:4). Penelitian tahun 2008 pada 12 SLTP di Jakarta Timur
mendapati prevalensi asma sebesar 13,4% (Rosamarlina, 2010).
Pada tahun 2013, Riskesdas melaporkan prevalensi asma dengan metode wawancara.
Prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti Nusa Tenggara
Timur (7,3%), D.I. Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%). Sedangkan provinsi
dengan prevalensi terendah terdapat di Lampung (1,6%), Riau (2,0%) dan Bengkulu (2,0%).
Provinsi Sumatera Utara sendiri mempunyai prevalensi asma sebesar 2,4%. Prevalensi asma
di Indonesia sebesar 3,32%. Prevalensi tertinggi penyakit asma di Indonesia terletak di
provinsi Gorontalo (7,23%) dan terendah di provinsi NAD sebesar 0,09%. Prevalensi asma
di Sumatera Utara didapati sebesar 1,82% (Oemiati, 2010).
Berdasarkan penelitian Rahmi Yosmar, Meri Andani, Helmi Arifin (2015) yang
berjudul Kajian Regimen Dosis Penggunaan Obat Asma pada Pasien Pediatri Rawat Inap di
Bangsal Anak RSUP. Dr.M.Djamil Padang, disimpulkan bahwa rute pemberian obat asma
yang digunakan dalam penanganan asma pada pasien pediatri di bangsal anak RSUP.DR.
M. Djamil Padang untuk semua jenis obat dinilai sudah sesuai dengan literatur akan tetapi
dosis dan interval pemberian obat asma belum seluruhnya sesuai dengan literatur.
3
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengkaji regimen dosis penggunaan obat asma pada pasien pediatri rawat
inap di bangsal anak RSUD Ambarawa.
2. Tujuan Khusus
a. Mengkaji persentase ketepatan dosis pemberian obat asma pada pasien pediatri rawat
inap di bangsal anak RSUD Ambarawa.
b. Mengkaji persentase ketepatan rute pemberian obat asma pada pasien pediatri rawat
inap di bangsal anak RSUD Ambarawa.
c. Mengkaji persentase ketepatan interval pemberian obat asma pada pasien pediatri rawat
inap di bangsal anak RSUD Ambarawa.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam penelitian jenis non-eksperimental dan merupakan
penelitian deskriptif. Dalam penelitian deskriptif, kegiatannya hanya sebatas pengumpulan
data, pengolahan data, penyajian data, dan analisis sederhana seperti mencari nilai tengah,
variasi, rata-rata, rasio atau proporsi dan persentase (Notoatmodjo, 2012). Data dalam
penelitian ini bersifat retrospektif, dengan melakukan observasi terhadap data sekunder
berupa rekam medik yang diambil dari RSUD Ambarawa. Bahan penelitian yang
digunakan adalah data rekam medik pada pasien asma anak di RSUD Ambarawa. Dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional yang artinya pengumpulan data untuk
variabel dan sub variabel penelitian dilakukan pada satu waktu yang bersamaan.
Subyek Penelitian
1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau obyek yang diteliti (Notoatmodjo,
2012). Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien pediatrik penderita asma yang di
rawat di RSUD Ambarawa pada tahun 2014-2015 yaitu 67 anak.
2. Sampel
a. Besar Sampel
Sampel adalah sebagian objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi (Notoatmodjo, 2012). Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu 42
sampel, sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
b. Teknik Sampling
Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang digunakan dalam
penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili keseluruhan
populasi yang ada (Hidayat, 2010).
Teknik pengambilan sampling pada penelitian ini menggunakan teknik total
sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel
sama dengan populasi (Sugiono, 2007). Digunakan total sampling karena jumlah
populasi yang kurang dari 100, seluruh populasi dijadikan sampel penelitian.
Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subyek penelitian mewakili sampel
penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel. Pertimbangan ilmiah harus menjadi
pedoman dalam menentukan kriteria inklusi.
Kriteria inklusi penelitian :
1) Anak penderita asma yang memiliki kelengkapan data.
2) Anak penderita asma yang tidak memiliki komplikasi.
3) Anak penderita asma yang berumur 1 - 15 tahun.
4) Anak penderita asma yang menerima pengobatan kortikosteroid dan bronkodilator.
4
Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subyek penelitian tidak dapat
mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian. Kriteria
eksklusi penelitian ini yaitu anak penderita asma yang mendapatkan terapi penyakit
lain.
Pengolahan data
Pengolahan data terhadap data sekunder berupa rekam medik yang diambil di RSUD
Ambarawa yang meliputi nomor rekam medik, diagnosis, umur, berat badan, nama obat,
dosis, rute pemberian, frekuensi pemberian, durasi pemberian, tanggal pemberian.
Analisis data
Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran umum terhadap data hasil
penelitian tentang regimen dosis penggunaaan obat asma pada pasien anak usia 1-15 tahun.
Dalam analisa ini hanya menghasilkan nilai persentase yang akan dibuat dalam bentuk tabel .
jumlah tiap kelompok
%=
--------------------------- x 100 %
Total
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia, Berat Badan, dan Jenis Kelamin
Karakteristik
Jumlah
Persentase (%)
Umur
1-5 tahun
28
66,6%
6-14 tahun
14
33,4%
Jenis Kelamin
Laki-laki
15
35,71%
Perempuan
27
64,29%
Berdasarkan hasil penelitian penderita asma di RSUD Ambarawa paling banyak pasien
yang dirawat adalah pasien anak usia 1-5 tahun dengan jumlah 28 orang (66,6%) sedangkan
pasien usia 6-14 tahun hanya 14 orang (33,34%). Pada dasarnya asma dapat menyerang
segala usia, namun secara prinsip asma merupakan penyakit pediatrik. Pada umumnya asma
terjadi pada 5 tahun awal kehidupan dan 50% anak memiliki gejala asma sejak usia 2 tahun
(Kelly dan Sorkness, 2008). Pada usia dini asma dapat disebabkan oleh atopi atau adanya
infeksi virus (Anonim, 2014).
Karakteristik pasien asma berdasarkan jenis kelamin untuk pasien laki-laki adalah 15
orang ( 35,71%) dan pasien perempuan 27 orang (64,29%). Berbagai sumber kepustakaan
mengatakan bahwa penyebab prevalensi asma yang tinggi pada perempuan masih belum
dapat dipastikan karena berhubungan dengan multifaktorial. Perempuan dikatakan lebih
rentan terhadap pejanan yang dapat memicu reaksi hipersensitifitas, dan merespon reaksi
dengan lebih buruk dibandingkan pada laki-laki (Darmila, 2012).
Tabel 2 Persentase Penggunaan Obat Asma Berdasarkan Golongan Obat
No.
Golongan
Jumlah
Persentase
1
Bronkodilator
51
79,68%
2
Kortikosteroid
13
20,32%
Berdasarkan penelitian ini didapatkan hasil bahwa obat yang paling banyak digunakan
untuk setiap pasien pediatri penderita asma adalah golongan bronkodilator (79,6%) yaitu
salbutamol dengan rute peroral dan ventolin dengan rute inhalasi (nebulisasi). Obat
simpatomimetik selektif β2 ini memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling
efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma Pemberian langsung melalui
inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan
memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen,
latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik
(Anonim, 2010).
Obat kedua yang paling banyak digunakan untuk setiap pasien pediatri penderita asma
di bangsal anak adalah obat golongan kortikosteroid (20,32%), yaitu metylprednisolon dan
dexametason dengan rute peroral. Inflamasi kronik adalah dasar dari penyakit asma, oleh
karena itu obat-obat antiinflamasi berguna untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada
saluran napas. Kortikosteroid adalah salah satu obat antiinflamasi yang poten dan banyak
digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan baik yang bekerja secara lokal
maupun secara sistemik. Kortikosteroid adalah pengobatan jangka panjang yang paling
efektif untuk mengontrol asma. Kortikosteroid bekerja dengan menekan proses inflamasi dan
mencegah timbulnya berbagai gejala pada pasien asma. Pedoman Nasional Asma Anak
menyatakan bahwa pemberian kortikosteroid secara sistemik (dalam hal ini deksametason)
haruslah berhati-hati karena obat ini mempunyai efek samping yang cukup berat (Supriyatno,
2008).
6
No.
1
2
3
4
Tabel 3 Persentase Ketepatan Dosis Penggunaan Obat Asma
Tepat
Jumlah
Tidak Tepat
Jumlah
Obat
Dosis
Pasien
Dosis
Pasien
Salbutamol oral
97,62%
41
2,38%
1
Dexamethasone
100%
8
0%
0
Metylprednisolone
100%
4
0%
0
Salbutamol
72,73%
8
27,27%%
3
inhaler
Ketidaktepatan dosis pemberian terjadi pada pemberian obat golongan β2 agonis
(salbutamol oral) sebanyak 1 pemberian (2,38%). Dosis pemberian Salbutamol yang
seharusnya adalah 0,1-0,2 mg/kgBB setiap 6-8 jam untuk anak usia 2-6 tahun, dan 2 mg
setiap 6-8 jam untuk anak usia 6-12 tahun . Dosis kurang diterima oleh pasien P13. Pasien
P13 seharusnya menerima dosis 6,6-13,2 mg/hari tetapi pasien P13 menerima dosis sebesar 6
mg/ hari. Pemberian dosis yang kurang mengakibatkan dosis yang tidak efektif. Hal ini
merupakan masalah kesehatan yang serius dan dapat menambah biaya terapi bagi pasien.
Sebaik apapun diagnosis dan penilaian yang dilakukan, hal itu tidak akan ada artinya apabila
pasien tidak menerima dosis yang tepat sesuai dengan kebutuhannya. Secara garis besar
suatu regimen obat dianggap sesuai dengan indikasinya dan tidak mengalami efek samping
akibat obat, tetapi tidak memperoleh manfaat terapi yang diinginkan. Tetapi penggunaan
salbutamol dosis tinggi bersamaan dengan kortikosteroid dosis tinggi akan meningkatkan
resiko hipokalemia. Untuk P13 yang juga mendapatkan dosis kurang mendapatkan terapi
nebulizer salbutamol. Maka penurunan dosis dapat dilakukan. Karena efek samping dari
salbutamol adalah terjadinya kram otot, sakit perut dan juga dapat meningkatkan reaksi
hipokalemia. Efek samping umumnya berlangsung dalam waktu singkat dan tidak ada efek
kumulatif yang dilakukan, akan tetapi perlu dilakukan penurunan dosis.
Ketidaktepatan dosis juga terjadi pada pemberian ventolin inhaler sebanyak 3
pemberian (30%). Dosis pemberian untuk ventolin inhalasi adalah 0,63-1,25 mg tiap 4-6 jam
untuk anak usia 2-12 tahun. Dosis berlebih diterima oleh pasien P1, P31, dan P35 yang
menerima dosis sebanyak 2,5mg tiap 6 jam. Pasien seharusnya mendapatkan dosis 1,25mg
tiap 4-6 jam. Pemberian dosis berlebih dapat memberikan berbagai efek samping. Efek
samping yang bisa terjadi untuk golongan
agonis antara lain vasodilatasi pembuluh darah
dengan reflek takikardi, iritabilitas, tremor, hiperaktifitas, gangguan gastrointestinal (mual
dan muntah), bronkopasme paradoksimal, hipoksemia paradoksimal serta hipokalemi. Efek
samping ini sebagian besar disebabkan oleh stimulasi adrenoreseptor, tergantung pada
dosis, aktifitas sel dan rute pemberian. Efek samping yang penting adalah memburuknya
obstruksi saluran napas dikarenakan penurunan tonus dinding saluran napas dan
memburuknya ventilasi akibat perfusi yang tidak sesuai.
Untuk obat golongan kortikosteroid yaitu deksametason dan metilprednisolon semua
memenuhi kriteria tepat dosis berdasarkan Depkes RI tahun 2007, yaitu 0,024-0,34 mg/kg
berat badan dalam 4 dosis terbagi untuk deksametason dan 0,117-1,60mg/kg berat badan
untuk metilprednisolon.
Tabel 4 Persentase Ketepatan Interval Pemberian Obat Asma
Tepat
Tidak Tepat
Jumlah
Jumlah
No.
Obat
Interval
Interval
Pasien
Pasien
Pemberian
Pemberian
1 Salbutamol oral
97,62%
41
2,38%
1
2 Dexamethasone
0%
0
100%
8
3 Metylprednisolone
0%
0
100%
4
4 Ventolin inhaler
90,90%
10
9,1%
1
7
Interval pemberian erat hubungannya dengan waktu paruh yang dimiliki oleh masingmasing obat. Waktu paruh biologis bervariasi secara luas antara obat. Untuk beberapa obat
waktu paruh tersebut mungkin hanya beberapa menit, sedangkan untuk obat lainnya mungkin
sampai beberapa jam atau bahkan berhari-hari. Obat dengan half-life panjang, lebih dari 24
jam, pada umumnya cukup diberikan dosis (pemeliharaan) satu kali sehari dan tidak perlu
sampai 2 atau 3 kali. Sebaliknya, obat yang dimetabolisasi cepat dan waktu paruhnya pendek,
perlu diberikan sampai 3-6 kali sehari agar kadar plasmanya tetap tinggi. Plasma half-life
atau waktu paruh merupakan ukuran untuk lamanya efek obat. Data tentang waktu paruh
biologis berguna dalam menentukan regimen dosis yang paling tepat untuk mencapai dan
menjaga level obat dalam darah yang dikehendaki. Penentuan seperti ini biasanya
menghasilkan jadwal pemberian dosis yang dianjurkan untuk suatu obat, seperti obat
dimakan setiap 4 jam, 6 jam, 8 jam dan seterusnya.
Berdasarkan data rekam medik diperoleh informasi bahwa ketidaktepatan interval
pemberian untuk obat salbutamol oral, deksametason, metilprednisolon, dan ventolin inhaler
secara berurutan adalah 2,5%, 100%, 100%, dan 10%. Untuk ketidaktepatan interval
salbutamol oral adalah 1 pasien yaitu pada P1 yaitu 2 kali sehari. Seharusnya pasien
menerima dosis salbutamol oral 3 kali sehari atau setiap 8 jam. Untuk obat deksametason
interval pemberiannya tidak ada yang tepat. Berdasarkan data dari 8 pasien rata-rata
menerima pemberian deksametason sebanyak 2-3 kali sehari atau setiap 8-12 jam.
Sedangkan interval pemberian untuk deksametason yang sesuai adalah 4 kali sehari atau
setiap 6 jam. Untuk obat metilprednisolon dari 4 pasien juga tidak ada yang memenuhi
kriteria ketepatan interval pemberian yaitu pada P4 2 kali sehari, P13 2 kali sehari, P33 3
kali sehari, dan P35 3 kali sehari. Sedangkan interval yang sesuai berdasarkan Depkes RI
2007 adalah 4 kali sehari atau setiap 6 jam. Untuk obat Ventolin inhalasi ketidaktepatan
interval pemberian terjadi pada P31 yaitu setiap 3 kali sehari atau setiap 8 jam. Seharusnya
interval pemberian yang dianjurkan adalah 4-6 kali sehari atau setiap 4-6 jam. Padahal
seharusnya interval pemberian obat harus benar-benar diperhatikan karena hal ini
berhubungan dengan jumlah obat yang berada dalam tubuh. Dosis yang terlalu tinggi atau
interval yang terlalu sering dapat menimbulkan efek toksis, sedangkan dosis terlampau
rendah atau interval yang terlalu jarang tidak menghasilkan efek, bahkan pada
kemoterapeutika dapat menimbulkan resistensi kuman.
Pada penggunaan kortikosteroid obat deksametason dan metil prednisolon 100%
tidak tepat interval pemberian. Pemberian yang seharusnya 4 kali sehari hanya dibnerikan 2
atau 3 kali sehari. Hal ini dapat menyebabkn efek yang diinginkan tidak tercapai. Karena
t1/2 dari deksametason adalah 1,8-3,5 jam dan metil prednisolon adalah 3-3,5 jam. Waktu
paruh adalah waktu yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi.
Penggunaan kortikosteroid pada peresepan penyakit asma hanya sebagai profilaksis
dan pemeliharaan penyakit asma. Sehingga pemberian 2 kali sehari tidak terlalu berpengaruh
terhadap efek klinis yang ditimbulkan. Penggunaan kortikosteroid yang terlalu lama juga
dapat menimbulkan efek samping edema wajah, mulut kering, ruam, iritasi tenggorokan dan
suara serak. Oleh sebab itu kortikosteroid hanya diberikan 2 kali sehari untuk menghindari
efek samping yang tidak diinginkan.
8
Tabel 5 Persentase Ketepatan Rute Pemberian Obat Asma
Tidak Tepat
Tepat Rute Jumlah
Jumlah
No.
Obat
Interval
Pemberian Pasien
Pasien
Pemberian
1 Salbutamol oral
100%
42
0%
0
2 Dexamethasone
100%
9
0%
0
3 Metylprednisolone
100%
4
0%
0
4 Ventolin inhaler
100%
12
0%
0
Rute pemberian obat terutama dipengaruhi oleh sifat obat, kestabilan obat, tujuan
terapi, kecepatan absorbsi yang diperlukan, kondisi pasien, keinginan pasien, dan
kemungkinan efek samping (Siregar, 2005; Mycek 2001; Tjay, 2002). Pemakaian obat
dikatakan tidak tepat apabila kemungkinan untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada
sama sekali, sedangkan kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan kemungkinan efek
samping atau biayanya (Vance & Millington; 1986).
Salah satu cara pemberian obat yang biasa digunakan dalam mengobati penyakit adalah
dengan oral dan inhalasi. Didalam terapi juga digunakan obat golongan β2 -Agonis, yaitu
Salbutamol dengan rute peroral sebesar 64,52% dan rute inhalasi sebesar 16,13%. Obat
simpatomimetik selektif β2 ini memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling
efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma. Pemberian langsung melalui
inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan
memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen,
latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara peroral.
Terapi inhalasi ditujukan untuk target sasaran di saluran napas. Terapi ini lebih efektif,
kerjanya lebih cepat dan dosis obat lebih kecil, sehingga efek samping ke organ lain lebih
sedikit. Sebanyak 20-30% obat akan masuk di saluran napas dan paru, sedangkan 2-5%
mungkin akan mengendap di mulut dan tenggorokan. Pemberian obat dalam bentuk inhalasi
ini ditujukan untuk memberikan efek lokal yang maksimal dan memberikan efek samping
yang seminimal mungkin. Terapi inhalasi dengan nebulizer dapat diberikan di rumah sakit
atau institusi pelayanan kesehatan yang telah memenuhi persyaratan dan di rumah dengan
aturan yang sudah dimengerti dengan baik dan benar. Untuk obat deksametason dan
metilprednisolon juga memenuhi ketepatan rute pemberian obat sebanyak 100%.
9
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kajian regimen dosis dengan parameter
tepat dosis, tepat interval pemberian, dan tepat rute pemberian obat asma pada pasien pediatri
rawat inap di RSUD Ambarawa belum sepenuhnya sesuai dengan literatur. Ketepatan dosis
penggunaan obat asma hanya (93,84%), ketepatan interval pemberian (78,46%), dan rute
pemberian obat (100%).
SARAN
1. Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai kajian penggunaan obat asma pada
pasien pediatri rawat inap di RSUD Ambarawa.
2. Perlu adanya penelitian serupa di rumah sakit lain untuk mengetahui pola pengobatan
asma pada pasien pediatrik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 2007. Pelayanan Informasi Obat. Jakarta, Depkes RI
2. Anonim. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma.Jakarta: Bakti Husada
3. Anonim. 2013. Data Source wiyh Asthma Content. International Study of Asthma and
Allergies in Childhood (ISAAC)
4. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
AFABETA, CU
5. Kelly, H.W. and Sorkness C.A., 2008, Asthma: Pharmacotherapy a Pathophysiologic
Approach, 7th., Appleton and Lange, Connecticut, pp. 463-493
6. Anonim. 2014. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Global
Initiative for Asthma. www.ginasthma.org
7. Darmila, A. 2012. Hubungan Karakteristik Pasien Asma Bronkial dengan Gejala
Penyakit Refluks Gastroesofagus di RSUD Dr. Soedarso Pontianak. Skripsi. Fakultas
Kedokteran, Universitas Tanjungpura Pontianak
8. Anonim. 2010. Children Allergy Center Information Education Network. Jakarta.
Yudhasmara Foundation
9. Supriyatno, H.B. 2008. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak.
Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 55. Jakarta.
10. Siregar, C. J. P & kumolosari, C. 2005. Farmasi klinik: Teori dan penerapan. Jakarta
11. Mycek, M. J., Harvey, R. A., & Champe, P.C. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar.
(Edisi 2).Widya Medica: Jakarta
12. Tjay, T. H. 2002. Obat-obat penting. (Edisi 4). PT.Elex Media Komputindo: Jakarta
13. Vance MA & Millington WR. 1986. Principle Of irrational drug therapy. International
Jou
Download