PENAFSIRAN AYAT-AYAT JENDER DALAM TAFSIR AL-MISHBAH DISERTASI Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Agama Islam Konsentrasi Tafsir Hadis Oleh ANSHORI NIM: 02.3.00.1.05.01.0021 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006 M/1427 H i PENAFSIRAN AYAT-AYAT JENDER DALAM TAFSIR AL-MISHBAH DISERTASI Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Agama Islam Konsentrasi Tafsir Hadis Oleh ANSHORI NIM: 02.3.00.1.05.01.0021 PROMOTOR PROF.Dr.H.Nasaruddin Umar,MA PROF.Dr.H.Ahmad Thib Raya,MA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006 M/1427 H ii TIM PENGUJI DISERTASI Disertasi ini telah diujikan pada sidang Ujian Disertasi Tertutup Tanggal 24 Pebruari 2006 Tim Penguji Disertasi : Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA Prof. Dr. Hj. Huzaemah T.Yanggo, MA iii PERSETUJUAN I Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” yang ditulis oleh Drs. H.Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 0501.0021, disetujui untuk dibawa ke sidang ujian disertasi tertutup. Pembimbing I Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. Tanggal: iv PERSETUJUAN I Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” yang ditulis oleh Drs. H. Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 0501.0021, disetujui untuk dibawa ke sidang ujian disertasi tertutup. Pembimbing II Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A Tanggal v PERSETUJUAN II Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs.H. Anshori, MA., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir Hadis, telah diperbaiki dan disetujui untuk dibawa pada ujian promosi (terbuka). Pembimbing I Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA Tanggal: vi PERSETUJUAN II Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs.H.Anshori, MA., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir Hadis, telah diperbaiki dan disetujui untuk dibawa pada ujian promosi (terbuka). Pembimbing II Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya,MA Tanggal: vii KETERANGAN Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs. Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir Hadis, telah diperbaiki sesuai dengan permintaan Tim Penguji Disertasi pada tanggal 13 Nopember 2006. Demikian untuk dimaklumi Anggota Tim Penguji Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA Tanggal: viii KETERANGAN Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs. Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir Hadis, telah diperbaiki sesuai dengan permintaan Tim Penguji Disertasi pada tanggal 13 Nopember 2006. Demikian untuk dimaklumi Anggota Tim Penguji Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA Tanggal: ix KETERANGAN Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs. Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir Hadis, telah diperbaiki sesuai dengan permintaan Tim Penguji Disertasi pada tanggal 13 Nopember 2006 Demikian untuk dimaklumi Anggota Tim Penguji Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA Tanggal: x KETERANGAN Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs. Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir Hadis, telah diperbaiki sesuai dengan permintaan Tim Penguji Disertasi pada tanggal 13 Nopember 2006. Demikian untuk dimaklumi Anggota Tim Penguji Dr. Yusuf Rahman, MA Tanggal: xi SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Anshori NIM : 02.3.00.1. 0501.0021 Tempat/Tgl. Lahir : Indramayu, 6 April 1957 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Disertasi yang berjudul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Mishbah” adalah benar merupakan karya asli saya, kecuali kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya sepenuhnya adalah tanggung jawab saya. Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Jakarta, 11 Agustus 2006 Anshori xii ABSTRAKSI Penelitian ini berjudul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender dalam Tafsir AlMishbah”. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bernuansa jender sering terdengar sumbang dan penuh kontroversi diantara para mufassir, baik klasik maupun kontemporer. Perbedaan pandangan tersebut, diakibatkan adanya perbedaan instrumen di antara para mufassir. Sebagian mufassir menafsirkan ayat-ayat alQur’an berangkat dari teks ayat al-Qur’an kemudian mencari pembenaran ayat tersebut dengan menggunakan hadis dan ilmu-ilmu yang lain. Instrumen ini oleh para mufassir kontemporer disebut tekstual (sesuai dengan makna teks ayat) atau yang oleh para mufassir klasik disebut dengan al-‘ibrah bi umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh al-sabab. Sedangkan sebahagian mufassir lain menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berangkat dari realitas sosial masyarakat. Teks ayat hanya merupakan pendukung. Bila teks ayat bertentangan dengan realitas sosial masyarakat, maka teks ayat dianggap tidak relevan. Instrumen ini oleh para mufassir kontemporer disebut dengan kontekstual (sesuai dengan situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian) atau yang oleh para mufassir klasik disebut dengan al-‘ibrah bi khushûsh al-sabab la bi umûm al-lafdzi. Penelitian ini bertujuan untuk menyingkap pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang ayat-ayat yang bernuansa jender dan instrumen yang digunakannya dalam menafsirkan ayat-ayat yang bernuansa jender dalam Tafsir alMishbah. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi dan mengklasifikasi ayat-ayat jender dalam al-Qur’an, lalu dibatasi pada ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia, kewarisan, persaksian, kepemimpinan, dan poligami. Kemudian dilakukan analisis terhadap Tafsir alMishbah yang berkaitan dengan ayat-ayat yang bernuansa jender tersebut. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang jender adalah jenis kelamin. Dengan demikian, bias jender berarti penyimpangan yang dilakukan oleh setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, muslim atau nonmuslim, dan ulama atau non ulama, dari masa lalu hingga masa sekarang. Misalnya, seseorang yang memberikan hak-hak orang lain melebihi dari kodratnya, atau seseorang tidak memberikan hak-hak orang lain sesuai dengan kodratnya disebut bias jender. Pandangan Muhamad Quraish Shihab mengenai hak-hak perempuan dalam tafsirnya sama dengan para mufassir klasik, yaitu kembali kepada teks. Namun demikian, dia juga memperhatikan konteks sekarang. Itulah sebabnya dia terlihat skripturalis moderat karena sangat menekankan usaha untuk mengembalikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat muslim kepada kitab suci al-Qur’an dengan memperhatikan konteksnya. Jadi instrumen yang digunakan Muhammad Quraish Shihab sama dengan para mufassir klasik yaitu sesuai dengan makna teks ayat, atau al-‘ibrah bi umûm al-lafzhi la bi khushûsh al-sabab. Pada prinsipnya bagi Muhamad Quraish Shihab secara kemanusiaan laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Namun Muhamad Quraish Shihab tidak setuju laki-laki dan perempuan disamakan secara mutlak, karena dengan menyamakan kedua jenis kelamin yang xiii berbeda, akan melahirkan makhluk ketiga, yang bukan laki-laki dan juga bukan perempuan. Artinya perempuan ditempatkan sesuai dengan kodrat kewanitaannya, karena dengan memberikan hak wanita melebihi kodratnya atau tidak memberikan haknya sesuai kodratnya dianggap bias jender. Kemudian perbedaan antara Muhammad Quraish Shihab dengan sebahagian mufassir klasik yaitu Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ayat al-Qur’an tidak parsial, sedangkan sebahagian mufassir klasik mereka menafsirkan ayat al-Qur’an secara parsial. Sedangkan perbedaan dengan sebahagian mufassir kontemporer yaitu disamping perbedaan instrumen juga mereka sebahagian mufassir kontemporer menafsirkan ayat secara parsial. xiv اﻟﻤﻠﺨﺺ ﻫﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﺑﻌﻨﻮان " ﺗﻔﺴﯿﺮ آﯾﺎت اﻟﺠﻨﺪر ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح " اﺧﺘﻠﻒ اﻟﻤﻔﺴﺮون اﻟﻘﺪﻣﺎء واﻟﻤﻌﺎﺻﺮون ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮ آﯾﺎت اﻟﺠﻨﺪرﻣﻤﺎ ﯾﻈﻬﺮ ﻟﻠﻤﻼﺣﻆ أن ﻫﺬه اﻟﺘﻔﺎﺳﯿﺮﺗﺘﻌﺎرض ﻓﯿﻤﺎ ﺑﯿﻨﻬﺎ وﻫﺬه اﻻﺧﺘﻼﻓﺎت ﺗﺮﺟﻊ اﻟﻰ اﺧﺘﻼﻓﻬﻢ ﻓﻰ اﺗﺒﺎع وﺗﻄﺒﯿﻖ اﻟﻘﺎﻋﺪة ﺣﯿﺚ اﻟﺘﺰم اﻟﺒﻌﺾ ﺑﺘﻔﺴﯿﺮ اﻟﻘﺮآن ﺑﺎﻟﻘﺮآن ﺛﻢ ﯾﻘﻮم ﺑﺎﻟﺒﺤﺚ ﻋﻦ ﻣﺴﺎﻧﺪه ﻓﻰ اﻻﺣﺎدﯾﺚ اﻟﻨﺒﻮﯾﺔ وﻋﻠﻮم اﺧﺮى .ﻫﺬا اﻻﺳﻠﻮب ﯾﺴﻤﯿﻪ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮون ﺑﺎﺳﻠﻮب ﻣﻨﻄﻮق اﻟﻨﺺ ﻛﻤﺎﯾﺴﻤﯿﻪ اﻟﻘﺪﻣﺎء ب "اﻟﻌﺒﺮة ﺑﻌﻤﻮم اﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﺑﺨﺼﻮص اﻟﺴﺒﺐ .وﺑﺠﺎﻧﺐ اﺧﺮ اﻟﺘﺰم ﺑﻌﺾ اﻟﻤﻔﺴﺮﯾﻦ ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮآﯾﺎت اﻟﺠﻨﺪرﺑﺤﻘﺎﺋﻖ اﺟﺘﻤﺎﻋﯿﺔ وﻻ ﯾﻌﺘﺒﺮ ون ﻧﺼﻮص اﻵﯾﺎت ﺳﻮى ﺗﻜﻤﯿﻠﯿﺔ ﻓﻘﻂ ﻓﻰ ﺣﺎﻟﺔ ﺗﺘﻌﺎرض ﻣﻊ ﺣﻘﺎﺋﻖ اﺟﺘﻤﺎﻋﯿﺔ ﻻ ﯾﻌﺘﺒﺮون ﺑﻬﺎ ﻻﻧﻬﺎﻏﯿﺮﻣﻨﺎﺳﺒﺔ وﻫﺬا اﻻﺳﻠﻮب ﯾﺴﻤﯿﻪ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮون ﺑﺎﻟﻮاﻗﻌﯿﺔ ﻛﻤﺎ ﯾﺴﻤﯿﻪ اﻟﻘﺪﻣﺎء "اﻟﻌﺒﺮة ﺑﺨﺼﻮص اﻟﺴﺒﺐ ﻻ ﺑﻌﻤﻮم اﻟﻠﻔﻆ .واﻟﻬﺪف ﻣﻦ ﻫﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﻫﻮاﻟﻜﺸﻒ ﻋﻦ رأى ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب ﺣﻮل آﯾﺎت اﻟﺠﻨﺪر واﻟﺘﻌﺮف ﻋﻠﻰ اﻻﺳﺎﻟﯿﺐ اﻟﺘﻰ اﺗﺒﻌﻬﺎ ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮاﻵﯾﺎت اﻟﻘﺮآﻧﯿﺔ اﻟﻤﺘﻌﻠﻘﺔ ﺑﺎﻟﺠﻨﺪرﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮه"اﻟﻤﺼﺒﺎح" واﻟﺨﻄﻮات اﻟﺘﻰ اﺗﺒﻌﻬﺎاﻟﺒﺎﺣﺚ ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﻫﺬااﻟﺒﺤﺚ ﻫﻰ ﺗﺒﺪأ ﻣﻦ ﺗﺸﺨﯿﺺ وﺗﺒﻮﯾﺐ وﺑﯿﺎن آﯾﺎت اﻟﺠﻨﺪر ﻓﻰ اﻟﻘﺮآن اﻟﻜﺮﯾﻢ ﺛﻢ ﺗﺤﺪﯾﺪﻫﺎ ﻓﯿﻤﺎ ﯾﺘﻌﻠﻖ ﺑﺨﻠﻖ اﻻﻧﺴﺎن واﻟﻮراﺛﺔ واﻟﺸﻬﺎدة ,واﻟﻮﻻﯾﺔ ﺛﻢ ﺗﻌﺪد اﻟﺰوﺟﺎت وﺑﻌﺪ ذﻟﻚ ﯾﻘﻮم اﻟﺒﺎﺣﺚ ﺑﺘﺤﻠﯿﻞ ﻫﺬه اﻵﯾﺎت وﻓﻘﺎ ﻟﻤﺎ ﺟﺎء ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح .وﺑﻌﺪ اﻟﺘﺤﻠﯿﻼت و اﻟﺒﺤﻮث ﺗﺒﯿﻦ ﻟﻠﺒﺎﺣﺚ أن ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب اﻋﺘﺒﺮﺟﻨﺪرﻧﻮﻋﺎ ﻣﻦ ﺟﻨﺲ ﺑﺸﺮى وﻣﻦ ﻫﻨﺎ رأى ان ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ ﺟﻨﺪرﯾﺔ ﻫﻰ ﻛﻞ اﻟﻤﺨﺎﻟﻔﺎت اﻟﺘﻰ ارﺗﻜﺒﻬﺎ ﺷﺨﺺ ذﻛﺮا واﻧﺜﻰ ,ﻣﺴﻠﻤﺎ أوﻛﺎﻓﺮا ,ﻋﺎﻟﻤﺎ أوﺟﺎﻫﻼ ﻣﻦ ازﻣﻨﺔ ﻣﺎﺿﯿﺔ ﺣﺘﻰ اﻵن ﻟﺬﻟﻚ ﯾﻌﺘﺒﺮون ﻣﻦ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ اﻟﺠﻨﺪر اﻋﻄﺎء ﺣﻖ اﻟﻰ ﻣﺴﺘﺤﻘﻪ اﻛﺜﺮﻣﻦ ﻗﺪره او ﻋﺪم اﻋﻄﺎء ﺣﻖ اﻟﻰ ﻣﺴﺘﺤﻘﻪ وﻓﻘﺎ ﻟﻘﺪره .وﻣﻦ اﻟﻤﻼﺣﻆ أن رأى ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب ﺣﻮل اﻟﻤﺮأة وﻓﻘﺎ ﻟﻤﺎﺟﺎء ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮه "اﻟﻤﺼﺒﺎح" ﯾﺘﻮاﻓﻖ ﻣﻊ آراء اﻟﻤﻔﺴﺮﯾﻦ اﻟﻘﺪﻣﺎء وﻫﻮ اﻟﺮﺟﻮع اﻟﻰ اﻟﻨﺺ وﺑﺎﻟﺮﻏﻢ ﻣﻦ ذﻟﻚ اﻻ اﻧﻪ ﯾﺒﺪوﻻﯾﻐﻔﻞ ﻋﻦ اﻟﻮاﻗﻊ ﻟﺬﻟﻚ اﻧﻪ ﻣﻦ skripturalis moderatﺣﯿﺚ ﯾﺤﺎول اﻋﺎدة ﻗﻀﺎﯾﺎ اﻟﻤﺴﻠﻤﯿﻦ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮة اﻟﻰ اﻟﻘﺮآن اﻟﻜﺮﯾﻢ ﻣﻊ ﻣﺮاﻋﺎة واﻗﻌﯿﺘﻬﻢ وﻣﻦ ﻫﻨﺎ ﯾﻤﻜﻨﻨﺎ اﻟﻘﻮل ﺑﺄن اﻻﺳﻠﻮب اﻟﺬى اﺗﺒﻌﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب ﻓﻰ ﻣﻌﺎﻟﺠﺔ ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻵﯾﺎت اﻟﻘﺮآﻧﯿﺔ ﯾﺘﻮاﻓﻖ ﺗﻤﺎﻣﺎ ﻣﻊ اﻻﺳﺎﻟﯿﺐ اﻟﺘﻰ اﺗﺒﻌﻬﺎ اﻟﻤﻔﺴﺮون اﻟﻘﺪﻣﺎء وﻫﻰ اﻟﻌﺒﺮة ﺑﻌﻤﻮم اﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﺑﺨﺼﻮص اﻟﺴﺒﺐ .وﺑﺼﻔﺔ ﻋﺎﻣﺔ ﻻ ﯾﻔﺮق ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب ﺑﯿﻦ اﻟﺮﺟﻞ واﻟﻤﺮأة ﻓﻰ اﻧﺴﺎﻧﯿﺘﻬﻤﺎ وﻣﻊ ذﻟﻚ ﯾﻌﺎرض اﻃﻼق اﻟﻤﺴﺎواة ﺑﯿﻨﻬﻤﺎ وذﻟﻚ ﻻن اﻃﻼق اﻟﻤﺴﺎواة ﺑﯿﻦ اﻟﺮﺟﻞ واﻟﻤﺮأة ﯾﻮﻟﺪ ﻧﻮﻋﺎ آﺧﺮ ﻣﻦ اﻟﺒﺸﺮ ﻟﯿﺲ ﺑﺬﻛﺮوﻻاﻧﺜﻰ وﻫﺬا ﯾﻌﻨﻰ وﺟﻮب وﺿﻊ اﻟﻤﺮأة وﻓﻘﺎ ﻻﻧﻮﺛﺘﻬﺎ ﻓﻼ ﺗﺴﺘﺤﻖ اﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺣﻘﻬﺎ وﻓﻘﺎ ﻟﻘﺪرﻫﺎاﻻﻧﺜﻮﯾﺔ ﻛﻤﺎﻻﯾﺠﻮزﻣﻨﻌﻬﺎ ﻣﻦ ﺟﻤﯿﻊ ﻣﺴﺘﺤﻘﺎﺗﻬﺎ وﻓﻘﺎ ﻟﻘﺪرﻫﺎاﻻﻧﺜﻮﯾﺔ .وﯾﺘﻤﯿﺰﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب ﻣﻦ ﺑﻌﺾ اﻟﻤﻔﺴﺮﯾﻦ اﻟﻘﺪﻣﺎء ﺑﺎﻧﻪ ﯾﻔﺴﺮاﻵﯾﺎت اﻟﻘﺮآﻧﯿﺔ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎرﻫﺎ ﺟﺰء ﻻ ﯾﺘﺠﺰأ ﻛﻤﺎ ﯾﺘﻤﯿﺰ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ اﻟﻤﻔﺴﺮﯾﻦ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮﯾﻦ ﻓﻰ اﺳﻠﻮب ﻣﻌﺎﻟﺠﺘﻪ ﻟﻶﯾﺎت اﻟﻘﺮآﻧﯿﺔ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﯿﺔ وﺑﺎﻋﺘﺒﺎر اﻵﯾﺎت اﻟﻘﺮآﻧﯿﺔ ﺟﺰء ﻻ ﯾﺘﺠﺰأ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﯿﺔ اﺧﺮى xv ABSTRACT This research paper is called “The Interpretation of Gender in al-Misbah Interpretation”. The Al-Qur’an interpretation of gender verses often inaccurate and bias among the mufassirs, whether they are classic or contemporary. The differences of their views are caused by variance instruments among the mufassirs. Most of them justify the Al-Qur’an interpretation based on the verses text of Al-Qur’an and search for the truthful meaning by using hadists or scientific knowledge. This instrument, by contemporary mufassirs is called textual (accurate with the meaning of verses text) or by classic mufassirs is called al-‘ibrah bi umûm al-lafzhi la bi khushûsh al-sabab. For the meantime, other mufassirs interpret the Al-Qur’an verses originated from real life context. Verses text serve as sustainable supporting media, meanwhile verses text which opposite with real life context is considered irrelevant. This instrument, by contemporary mufassir is called contextual al-‘ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi umûm al-lafzhi. The purpose of this research is to reveal the views of Muhammad Quraish Shihab about gender verses and tools that he used in defining gender verses in al- Mishbah interpretation. The steps taken in this research are: First, to identify and clarify gender verses in Al-Qur’an. Second, restrict those verses which relate to human re-creation, heritage, witness, leadership, and polygamy.Finally, carry out a deeply analysis to al-Mishbah interpretation which relates to those gender verses. This research discovered that the view of Muhammad Quraish Shihab about gender is sexes. Therefore, gender bias is a deviation that carried out by everyone, man or woman, Moslem or non Moslem, and Ulama or non Ulama, which has been happening from the ancient times until today; for example: someone who gives the right to other people more than his destiny, or someone who does not give other people’s right as his destiny is called gender bias. Muhammad Quraish Shihab has the same point of view with classic Mufassir about woman’s rights in his interpretation, which is return to the text, he also pay attention to present context. That is why he looks as if he is a moderate scriptural since he put a lot of effort to return to the problems which is faced by Moslem people to the holly Al-Qur’an by carefully examines the context. The media used by Muhammad Quraish Shihab is the same with the classic mufassirs that is accurate with the meaning of verses text or al-‘ibrah bi umûm al-lafzhi la bi khushûs al-sabab. According to Muhammad Quraish Shihab beliefs, as a human being, there are no different between man and woman, because making a comparison between two different sexes will create the third creature, neither a man nor a woman. A woman should be positioned according to her fate, because by giving woman’s more of her civil rights other than her destiny or not giving her the rights as her destiny is considered gender bias. The outcome of this research demonstrates that Muhammad Quraish Shihab interpret Al-Qur’an verses entirely, meanwhile, the contemporary Mufassirs have been interpreting verses only partially. xvi KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ واﻟﺼﻼة و اﻟﺴﻼم ﻋﻠﻰ ﺳﯿﺪﻧﺎ, اﻟﺤﻤﺪ ﷲ اﻟﺬى اﻧﻌﻤﻨﺎ ﺑﻨﻌﻤﺔ اﻻﯾﻤﺎن واﻻﺳﻼم وﻫﻰ اﻋﻈﻢ اﻟﻨﻌﻢ .ﻣﺤﻤﺪ ﺧﺎﺗﻢ اﻟﻨﺒﯿﯿﻦ واﻣﺎم اﻟﻤﺘﻘﯿﻦ وﻋﻠﻰ آﻟﻪ و ﺻﺤﺒﻪ وﻣﻦ ﺗﺒﻌﻪ اﻟﻰ ﯾﻮم اﻟﺪﯾﻦ اﻣﺎ ﺑﻌﺪ Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. karena atas rahmat, taufik , dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender dalam Tafsir AlMishbah”. Disertasi ini ditulis dalam rangka menyelesaikan studi jenjang S3 Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya salawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad saw. beserta sahabat dan keluarganya. Keberhasilan penulisan Disertasi ini tidak terlepas dari jasa, bantuan, dan dorongan semua pihak, antara lain para dosen Pascasarjana UIN Jakarta, khususnya dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membantu dan mengarahkan penulis terhadap semua masalah yang ada dalam proses penulisan Disertasi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyelesaian tugas yang mulia ini, yaitu: xvii 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, M.A. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah pada Program Pascasarjana (S3) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga telah memberikan bantuan moril dan materil. 2. Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A. beserta para dosen yang dengan tulus dan ikhlas berkenan memberikan ilmu sehingga mengantarkan penulis untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini. 3. Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. sebagai promotor yang telah banyak mengarahkan penulis dalam merumuskan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi. 4. Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A. sebagai promotor dan juga sebagai ketua konsentrasi Tafsir Hadis di Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak mengarahkan penulis dalam merumuskan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi. 5. Kepala Perpustakaan Pascasarjana dan Umum UIN Syrif Hidayatullah Jakarta, IIQ, dan perpustakaan pribadi almarhum K.H. Ibrahim Hosen, LML. 6. Kedua orang tua penulis, ayahanda Mungtamad (almarhum) dan ibunda Fatimah (almarhumah) yang telah mendidik penulis diwaktu kecil. xviii 7. Kedua orang tua asuh penulis, Bapak Prof.K.H.Ibrahim Hosen,LML (almarhum) dan Ibunda Zatiah Ibrahim Hosen yang telah memberikan bantuan baik materil maupun moril selama penulis ikut dirumahnya. 8. Istri tercinta, Yesmini Hasnul dan anak tercinta Raudhatul Azhar yang telah sabar dan rela memberikan pengorbanan waktu, memberikan kelapangan hati bahkan memberi dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. 9. Teman, kolega, dan semua sahabat yang tidak mungkin disebutkan satu per satu atas kebaikan dan kontribusi mereka baik dalam bentuk saran, gagasan, bahkan ide-ide yang semuanya sangat mendukung untuk penyempurnaan disertasi ini. Akhirnya, penulis berdoa kepada Allah swt. semoga semua bantuan dan partisipasi dari semua pihak tersebut, diberikan ganjaran yang berlipat ganda dari Allah swt. Demikian pula semoga disertasi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Amin. Jakarta, Agustus 2006 Sya’ban 1427 Penulis xix PEDOMAN TRANSLITERASI Dalam penulisan disertasi ini, penulis menggunakan pedoman transliterasi sebagai berikut: A.Konsonan Arab أ ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص Latin a/’ b t ts j h kh d dz r z s sy sh B. Vokal Pendek a Contoh ﻗﺮأditulis qara’a i Contoh رﺣﻢditulis rahima u Contoh ﻛﺘﺐditulis kutub Arab ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ي Latin dh th zh ‘ g f q k l m n w h y C. Vokal Panjang â Contoh ﻗﺎﻣﺎditulis qâmâ î Contoh رﺣﯿﻢditulis rahîm û Contoh ﻋﻠﻮمditulis ‘ulûm xx PANITIA UJIAN PROMOSI Ketua Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tim Penguji Disertasi : Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA Dr. H. Yusuf Rahman, MA xxi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………….. I PROMOTOR …………………………………………………………. ii TIM PENGUJI DISERTASI………………………………………… iii PERSETUJUAN I .. ………….. …..………………………………… iv KETERANGAN PENGUJI ………………………………………… vi PERSETUJUAN II …………………………………………………. ix SURAT PERNYATAAN PENULIS………………………………... xi ABSTRAKSI ………………………………………………………..... xii KATA PENGANTAR……………………………………………….. xvi PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………… xix PANITIA UJIAN DISERTASI TERBUKA………………………… xx DAFTAR ISI…………………………………………………………. xxi BAB I. PENDAHULUAN …………………...……………………. 1 A. Latar Belakang Masalah ………………………………. 1 B. Pokok Permasalahan …………………………………... 20 1. Identifikasi Masalah ……………………………….. 20 2. Pembatasan dan Perumusan Masalah….................... 20 C. Tinjauan Kepustakaan …………………….................... 21 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………... 29 E. Kerangka Teori ………………………………………... 30 xxii BAB II. F. Metodologi Penelitian …………………………………. 44 G. Sistematika Penelitian ………………………………..... 49 TAFSIR AL-MISHBAH DAN PENAFSIRNYA 50 A. Tafsir Al-Mishbah 50 1. Nama Yang Dipilih 50 2. Motivasi Yang Mendorong Penulisannya 51 3. Sumber Penafsiran Yang Dirujuk 52 4. Metode Penafsiran Yang Dipilih 53 5. Bentuk Dan Corak Tafsirnya 54 6. Sistematika Penulisannya 54 B Riwayat Hidup Muhammad Quraish Shihab 55 1. Latar Belakang Keluarga 55 2. Latar Belakang Pendidikan 56 3. Latar Belakang Karier dan Pengabdian 62 4. Karya Intelektual 65 BAB III. SEKILAS TENTANG TEORI JENDER ……………….. 84 A. Pengertian Jender ……………………………………… 84 B. Atribut dan Identitas Jender ………………………….... 85 C. Biologi/Jender dan Perilaku Manusia ………………..... 87 D. Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab …………. 104 BAB IV. ANALISIS PENAFSIRAN AYAT-AYAT JENDER xxiii BAB V. DALAM TAFSIR AL-MISHBAH 109 A. Term-Term Jender Dalam al-Qur’an ………………….. 109 B. Ayat-Ayat Penciptaan Manusia ……………………….. 135 C. Ayat-Ayat Kewarisan ……………… …...…................. 161 D. Ayat-Ayat Persaksian …………………………………. 175 E. Ayat-Ayat Kepemimpinan ……………………………. 197 F. Ayat-Ayat Poligami …………………………………… 251 PENUTUP ………………………………………………… 289 A. Kesimpulan …………………………………………… 289 B. Saran ………………………………………………….. 299 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………... 301 xxiv 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penafsiran al-Qur'an masih sering dijadikan dasar untuk menolak kesetaraan jender. Kitab-kitab tafsir dijadikan referensi dalam mempertahankan status quo dan melegalkan pola hidup patriarki, yang memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki dan cenderung memojokkan perempuan.1 Kitab tafsir yang dimaksud menurut hemat penulis antara lain tafsir Jâmi al-Bayân Fî Ta ’wîl al-Qur ’an karya al-Thabari, karena dia terkenal hanya mengumpulkan hadis-hadis tanpa menyeleksi keshohehan hadis yang dia kumpulkan, antara lain tentang hadis penciptaan perempuan yang dikutip alThabari dalam tafsirnya berbunyi : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺳﺒﺎﻁ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺪﻯ: ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﲪﺎﺩ ﻗﺎﻝ: ﺣﺪﺛﲎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﻫﺮﻭﻥ ﻗﺎﻝ ﺍﺳﻜﻦ ﺁﺩﻡ ﺍﳉﻨﺔ ﻓﻜﺎﻥ ﳝﺸﻰ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﺣﺸﺎ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺯﻭﺝ ﻳﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﺎﻡ ﻧﻮﻣﺔ:ﻗﺎﻝ : ﻓﺎﺳﺘﻴﻘﻆ ﻓﺎﺫﺍ ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺳﻪ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﺧﻠﻘﻬﺎ ﺍﷲ ﻣﻦ ﺿﻠﻌﻪ ﻓﺴﺄﳍﺎ ﻣﺎ ﺍﻧﺖ؟ ﻗﺎﻟﺖ ٢ ﻭﳌﺎ ﺧﻠﻘﺖ ؟ ﻗﺎﻟﺖ " ﺗﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ: ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻗﺎﻝ Musa Bin Harun menceritakan kepada saya, dia berkata, ”Amr Bin Hamad memberitakan kepada kami, dia berkata, 'Asbath dari al-Saddi telah berkata, 'Adam bertempat tinggal di surga, lalu dia berjalan di dalam surga dalam kondisi kesepian yang tidak punya istri yang dia cenderung padanya, lalu dia tidur nyenyak, lalu bangun, tiba tiba di atas kepala dia ada seorang perempuan yang sedang duduk yang diciptakan Allah dari tulang rusuknya, lalu dia bertanya, 'Ada apa engkau?' Dia menjawab, 'saya seorang perempuan. Adam bertanya, 1 Nasaruddin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran al-Qur'an, (selanjutnya tertulis Bias Jender) (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Tafsir pada Fak.Ushuluddin IAIN Syahid Jakarta, 2002), h.1 2 Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari/Jami al-Bayân fî Ta ’wîl alQur ’an,(selanjutnya tertulis Tafsir al-Thabari) (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Cet. III, Jilid III, h. 566 ١ 2 'Untuk apa kamu diciptakan?', Dia menjawab, 'Agar kamu cenderung kepadanya ". ﺍﻟﻘﻰ ﻋﻠﻰ ﺁﺩﻡ ﺻﻠﻌﻢ ﺍﻟﺴﻨﺔ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﺳﺤﻖ ﻗﺎﻝ: ﺣﺪﺛﻨﺎﺍﺑﻦ ﲪﻴﺪ ﻗﺎﻝ – ﻓﻴﻤﺎﺑﻠﻐﻨﺎﻋﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺘﻮﺭﺍﺓ ﻭ ﻏﲑﻫﻢ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻭ ﻏﲑﻩ ﰒ ﺍﺧﺬ ﺿﻠﻌﺎ ﻣﻦ ﺿﻼﻋﻪ ﻣﻦ ﺷﻘﻪ ﺍﻻﻳﺴﺮ ﻭﻷﻡ ﻣﻜﺎﻧﻪ ﻭﺁﺩﻡ ﻧﺎﺋﻢ ﱂ ﻳﻬﺐ ﻣﻦ ﻧﻮﻣﺘﻪ ﺣﱴ ﺧﻠﻖ ﺍﷲ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭ ﺗﻌﺎﱃ ﻣﻦ ﺿﻠﻌﻪ ﺗﻠﻚ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﺣﻮﺍﺀ ﻓﺴﻮﺍﻫﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻓﻴﻤﺎ: ﻟﻴﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺸﻔﺖ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﻫﺐ ﻣﻦ ﻧﻮﻣﺘﻪ ﺭﺁﻫﺎ ﺍﱃ ﺟﻨﺒﻪ ﻓﻘﺎﻝ ٣ ﻳﺰﻋﻤﻮﻥ ﻭﺍﷲ ﺍﻋﻠﻢ ﳊﻤﻰ ﻭ ﺩﻣﻰ ﻭ ﺯﻭﺟﱴ ﻓﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ ”Ibnu Hamid telah berkata, 'Salmah dari Ibnu Ishak menceritakan kepada kami. Dia berkata, 'Adam mengantuk, di mana berita itu sampai kepada kami dari Ahlu al-Kitab dari Ahli Taurat dan Ahli Ilmu lainnya. Dari Abdillah Bin al-Abbas dan yang lainnya. Kemudian Allah mengambil salah satu tulang rusuk Adam dari sebelah kiri, di mana Adam sedang tidur, yang belum bangun dari tidurnya, Allah swt. menciptakan Istri Adam dari tulang rusuk Adam yaitu Hawa, lalu Allah menyempurnakannya menjadi seorang perempuan, agar Adam menjadi tenang hatinya kepadanya, ketika mengantuknya hilang, Adam bangun dari tempat tidurnya, dia melihat perempuan itu berada di sampingnya, lalu Adam berkata, 'Pada apa yang mereka duga Hanya Allah yang tau, dagingku, darahku dan istriku, lalu dia menjadi tentram bersamanya.'" Dua hadis tersebut persis seperti cerita yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang diterbitkan oleh Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta tahun 1997 ayat 21-23 yang berbunyi, Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu, 'Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.4 3 Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari…, h. 566 Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta, Al-Kitab (Perjanjian Lama), (Jakarta: Lembaga alKitab Indonesia, 1997), Cet. Ke-155, h. 2 4 3 Di dalam Islam ada beberapa isu kontroversi berkaitan dengan relasi jender, antara lain tentang asal usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak talak perempuan, serta peran publik perempuan.5 Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi subtansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut jender.6 Penulis sepakat untuk meninjau kembali penafsiran ayat-ayat yang bernuansa jender dalam rangka pemberdayaan perempuan dan sekaligus untuk meluruskan pandangan negatif tentang perempuan yang selama ini telah mendominasi pandangan kebanyakan masyarakat manusia. Namun kita harus berhati-hati dalam menyimpulkan suatu penafsiran orang lain yang dianggap keliru itu, bila kita hanya memahami ayat al-Qur’an bersifat parsial. Bila kita memperhatikan secara cermat tentang makhluk Allah, maka kita akan melihat semua ciptaan Allah di alam ini tidak ada yang sama, khususnya manusia sebagai makhluk yang berakal. Pada hakikatnya manusia tidak ada yang sama persis baik amal, rizki, IQ, tubuh, hak, dan kewajibannya sesuai dengan fungsi dan kadar kualitas yang dimilikinya. Misalnya antara sesama manusia mesti ada perbedaan, laki-laki berbeda dengan perempuan, 5 Nasaruddin Umar, Bias Jender…, h. 1 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an, (selanjutnya tertulis Kesetaraan Jender) (Jakarta: Parama-dina, 2001), Cet.II., h.1 6 4 antara sesama laki-laki satu dengan yang lain ada perbedaan, bahkan amal yang dikerjakan oleh seorang yang sama dengan waktu yang berbeda ada perbedaan sesuai dengan kualitas dan keikhlasan mengerjakan amal tersebut (Q.S. al-Nisâ’/4: 32 dan Q.S. al-Nisâ’/4: 34). Contoh kongkrit dapat kita lihat adanya dua orang saudara kembar. Secara fisik mungkin kelihatannya sama padahal bila diteliti secara cermat suara dan sidik jari keduanya pasti berbeda. Islam selalu menghargai sifat seorang perempuan dan menganggapnya memainkan peran yang menyatu dengan peran laki-laki. Islam juga menganggap laki-laki memainkan peran yang menyatu dengan peran perempuan. Keduanya bukanlah musuh, lawan, atau saingan satu sama lain. Justru keduanya saling menolong dalam mencapai kesempurnaannya masingmasing sebagai laki-laki dan perempuan maupun sebagai manusia secara keseluruhan.7 Lelaki dan perempuan memiliki kekurangan yang tidak dapat ditutup kecuali oleh lawan jenisnya. (Q.S.al-Taubah/9:71) dan (Q.S.al-Baqarah/2:187). Perintah Allah kepada alam semesta menjadikan adanya pasangan dalam segala hal di dalamnya. Prinsip ini terwujud dalam kehadiran laki-laki dan perempuan dalam dunia kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan, dan adanya positif dan negatif dalam dunia tak hidup dengan gejala magnet, listrik, dan sebagainya. Bahkan dalam atom terdapat muatan positif dan negatif, yakni proton dan elektron.8 Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an (٤٩ : ٥١ /ﻭﻥﹶ)ﺍﻟﺬﺍﺭﻳﺎﺕﺬﹶﻛﱠﺮ ﺗﻠﱠﻜﹸﻢﻦِ ﻟﹶﻌﻴﺟﻭﺯ 7 ﺎﻠﹶﻘﹾﻨﺀٍ ﺧﻲ ﻛﹸﻞﱢ ﺷﻣِﻦﻭ Yusuf al-Qardhawi, Kedudukan Wanita Dalam Islam, (selanjutnya tertulis Kedudukan Wanita) Terjemahan Melathi Adhi Damayanti dan Santi Indra Astuti, (Jakarta: PT.Global Media Publishing, 2003), h. 39 8 Yusuf al-Qardhawi, Kedudukan Wanita …, h. 39 5 Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (Q.S. al-Dzâriyât/52: 49). Laki-laki dan perempuan seperti sebuah kaleng dengan tutupnya. Sebuah kesatuan yang meliputi suatu benda dan suku cadangnya. Yang satu tidak akan ada tanpa yang lain. Ketika Allah menciptakan jiwa manusia yang pertama (Adam), Dia juga menciptakan pasangannya (Hawa), sehingga ia dapat membangun dan menemukan kedamaian bersamanya.9 Perempuan tidak dilarang bekerja di luar rumah. Hal ini dapat dilihat dalam kisah Nabi Musa a.s. pada saat Nabi Musa tiba di sumber air Madyan, sebagaimana diceritakan dalam (Q.S.al-Qashash/28:23-25) : ﺍﻥِ ﻗﹶﺎ ﹶﻝﺬﹸﻭﺩﻦِ ﺗﻴﺃﺗﺮ ﺍﻣﻭﻧِﻬِﻢ ﺩ ﻣِﻦﺪﺟﻭﻘﹸﻮﻥﹶ ﻭﺴﺎﺱِ ﻳ ﺍﻟﻨﺔﹰ ﻣِﻦﻪِ ﺃﹸﻣﻠﹶﻴ ﻋﺪﺟ ﻭﻦﻳﺪﺎﺀَ ﻣ ﻣﺩﺭﺎ ﻭﻟﹶﻤﻭ ﻟﱠﻰ ﺇِﻟﹶﻰﻮ ﺗﺎ ﺛﹸﻢﻤﻘﹶﻰ ﻟﹶﻬﻓﹶﺴ. ﻛﹶﺒِﲑﺦﻴﺎ ﺷﻮﻧﺃﹶﺑﺎﺀُ ﻭﻋ ﺍﻟﺮﺪِﺭﺼﻰ ﻳﺘﻘِﻲ ﺣﺴﺎ ﻟﹶﺎ ﻧﺎ ﻗﹶﺎﻟﹶﺘﻜﹸﻤﻄﹾﺒﺎ ﺧﻣ ٍﺎﺀﻴﺘِﺤﻠﹶﻰ ﺍﺳﺸِﻲ ﻋﻤﺎ ﺗﻤﺍﻫﺪ ﺇِﺣﻪﺎﺀَﺗ(ﻓﹶﺠ٢٤)ﺮٍ ﻓﹶﻘِﲑﻴ ﺧ ﻣِﻦ ﺇِﻟﹶﻲﻟﹾﺖﺰﺎ ﺃﹶﻧﻲ ﻟِﻤ ﺇِﻧﺏﺍﻟﻈﱢﻞﱢ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺭ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﺎﺺﻪِ ﺍﻟﹾ ﹶﻘﺼﻠﹶﻴ ﻋﻗﹶﺺ ﻭﺎﺀَﻩﺎ ﺟﺎ ﻓﹶﻠﹶﻤ ﻟﹶﻨﺖﻘﹶﻴﺎ ﺳ ﻣﺮ ﺃﹶﺟﻚﺰِﻳﺠ ﻟِﻴﻮﻙﻋﺪ ﺇِﻥﱠ ﺃﹶﺑِﻲ ﻳﻗﹶﺎﻟﹶﺖ ( ٢٥-٢٣: ٢٨/ )ﺍﻟﻘﺼﺺﻡِ ﺍﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﲔ ﺍﻟﹾﻘﹶﻮ ﻣِﻦﺕﻮﺠ ﻧﻒﺨﺗ Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata, "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua perempuan itu menjawab, "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembalapengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya". Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan) mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syuaib) dan menceritakan kepadanya 9 Yusuf al-Qardhawi, Kedudukan Wanita…, h. 40 6 cerita (mengenai dirinya). Syuaib berkata, "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu". (Q.S. alQashash/28: 23-25). Ketinggian derajat seseorang tidak ditentukan berdasarkan jenis kelaminnya, tapi berdasarkan kualitas takwanya (Q.S. al-Hujurât/49: 13). Karya laki-laki dan perempuan di sisi Allah diberi penilaian dan balasan yang sama dan sedikitpun tidak dibedakan. Bila melakukan kebaikan, akan diberikan kebaikan dan jika melakukan keburukan akan dibalas dengan keburukan. (Q. S. al-Zalzalah/99: 7-8). Siapa yang beramal saleh baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat surga tanpa dikurangi sedikitpun pahalanya. (Q.S. al-Nisâ’/4: 124). Begitu pula, baik laki-laki maupun perempuan akan memperoleh kebaikan dan keburukan dari apa yang dilakukan tanpa dizhalimi sedikitpun. (Q.S.al-Mu'min/40: 17). Begitu juga Nabi Muhammad saw. Telah menetapkan prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan dengan menegaskan : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﲪﺎﺩ ﺑﻦ ﺧﺎﻟﺪ ﺍﳋﻴﺎﻁ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺍﻟﻌﻤﺮﻯ ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﷲ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ ﺳﺌﻞ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﳚﺪ ﺍﻟﺒﻠﻞ ﻭﻻ ﻳﺬﻛﺮ ﺍﺣﺘﻼﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﻳﻐﺘﺴﻞ ﻭ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻳﺮﻯ ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﺍﺣﺘﻠﻢ ﻭﻻ ﳚﺪ ﺍﻟﺒﻠﻞ ﻓﺎﻝ ﻻ ﻏﺴﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﺍﻡ ﺳﻠﻴﻢ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺗﺮﻯ ١٠ ﺫﻟﻚ ﺍﻋﻠﻴﻬﺎ ﻏﺴﻞ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﺍﳕﺎ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺷﻘﺎﺋﻖ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ Artinya:”Qutaibah Bin Said telah menceritakan kepada kami, Hammâd Bin Khalid al-Khayyâth telah menceritakan kepad kami, Abdullah al-‘Umari telah menceritakan kepada kami dari ‘Ubaidillah, dari al-Qâsim dari ‘Aisyah telah berkata:”Rasulullah saw. ditanya tentang seorang laki-laki menjumpai air (kebasahan) padahal dia tidak mimpi, Rasulullah menjawab dia harus mandi dan tentang laki-laki mimpi tapi tidak basah, Rasulullah menjawab dia tidak perlu mandi Ummu Sulaim berkata:”Ada seorang perempuan melihat basah, 10 Abu Dawud Sulaiman Bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Bairut : Dâr al-Fikr, 1994), Jilid I., h. 66 7 apakah dia harus mandi, Rasulullah menjawab dia harus mandi, bahwa perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Namun pada ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia, kewarisan, persaksian, kepemimpinan, dan poligami terkesan diskriminatif terhadap kaum perempuan, dan ayat-ayat ini pula yang sering digunakan para mufassir klasik untuk memojokkan perempuan. Uraian ayat-ayat di atas seolah-olah ada perbedaan satu ayat dengan ayat yang lainnya, padahal ayat-ayat al-Qur'an itu semuanya bersumber dari Allah yang tidak mungkin akan saling bertentangan satu ayat dengan ayat yang lain. Jika makna suatu ayat seolah-olah bertentangan, maka perlu merujuk pada ayat lain, sehingga tidak terkesan antara ayat itu bertentangan. Sebagaimana firman Allah: ( ٨ : ٣٥/ ﺎﺀُ )ﻓﺎﻃﺮﺸ ﻳﻦﺪِﻱ ﻣﻬﻳﺎﺀُ ﻭﺸ ﻳﻦﻀِﻞﱡ ﻣ ﻳﻓﹶﺈِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya…(Q.S. Fâthir/35: 8) Dengan pernyataan ini seolah-olah Allah menyesatkan dan memberi petunjuk kepada hamba-Nya secara acak tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi dugaan tersebut akan hilang jika membaca ayat lain yang berbunyi: ﻳﻬﺪﻯ ﺑﻪ ﺍﷲ ﻣﻦ ﺍﺗﺒﻊ ﺭﺿﻮﺍﻧﻪ ﺳﺒﻞ ﺍﻟﺴﻠﻢ ﻭ ﳜﺮﺟﻬﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻈﻠﻤﺖ ﺍﱃ ﺍﻟﻨﻮﺭ ﺑﺎﺫﻧﻪ ﻭﻳﻬﺪﻳﻬﻢ ﺍﱃ ﺻﺮﺍﻁ (١٦ :٥/ﻣﺴﺘﻘﻴﻢ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan (kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benerang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.(Q.S.al-Mâidah/5:16) Begitu pula pada ayat-ayat yang bernuansa jender harus dipahami tidak parsial, salah satu contoh dalam (Q.S.al-Nisâ’/4: 11) menyatakan, bahwa bagian waris seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Ayat ini nampaknya tidak adil, karena bagian anak perempuan berbeda dengan 8 bagian anak laki-laki, padahal keduanya sama-sama anak kandung. Namun bila kita memperhatikan (Q.S.al-Nisâ’/4:34) yang menyatakan bahwa kaum lakilaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan disebabkan kaum lelaki diberikan Allah sifat kepemimpinan dan diwajibkan memberi nafkah kepada kaum perempuan, maka perempuan mendapat setengah dari laki-laki justru sudah adil. Sebab laik-laki bila dia menikah, maka harta warisan yang diperoleh dari orang tuanya akan dipergunakan untuk membayar mahar dan nafkah istrinya bahkan bila punya anak untuk membiayai anak-anaknya, sedangkan anak perempuan jika dia menikah, maka harta warisan yang diperoleh dari orang tuanya tidak terpakai karena dia mendapat nafkah dari suaminya, bahkan dia mendapat mahar dari suaminya.11 Artinya, jika ayat-ayat al-Qur'an dipahami secara seimbang, proporsional, dan terintegrasi satu sama lain, maka semua ayat yang tercantum dalam al-Qur'an tidak akan saling bertentangan. Begitu juga masalah ayat-ayat yang bernuansa jender, harus dipahami secara utuh, tidak parsial. Tapi lain halnya jika menafsirkan ayat berangkat dari konteks ayat sebagaimana yang dikatakan oleh Husein Muhammad: Saya kira soal warisan adalah berkaitan dengan realitas dari struktur hubungan suami istri. Selama laki-laki masih diposisikan sebagai penanggungjawab nafkah keluarga, membayar maskawin, membiayai ongkos-ongkos yang lain terhadap pihak lain yang menjadi tanggung jawabnya, mut’ah (pemberian) dan sebagainya, maka pembagian 2:1 adalah adil. Kalau relasi tersebut telah berubah, maka ketentuan warisanpun bisa berubah. Sebab ketentuan warisan merupakan logika lurus dari relasi suami istri. Justru sangat tidak adil, jika 2:1 dipertahankan, sementara relasi suami istri telah mengalami 11 Lihat Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2, h.351, Lihat Tafsir Said Hawa, al-Asâs Fî al-Tafsîr, Jilid II, h.1009, Lihat Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, Jilid IV, h.196, Lihat Zamakhsyari, al-Kasysyâf, Jilid I, h.469 9 perubahan yang menuju ke kesetaraan jender. Karena inti agama adalah keadilan.12 Pada tataran konsep, laki-laki dan perempuan memang sama, tapi dalam penerapannya tidak mungkin disamakan, karena al-Qur'an sendiri tidak akan membebankan hukum kepada seseorang kecuali sesuai dengan kodrat, fungsi dan tugas yang dibebankan kepadanya. (Q.S. al-Baqarah/2: 286). Untuk mengetahui sisi perbedaan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan tersebut seharusnya kembali kepada al-Qur'an dan Hadis. (Q.S. al-Nisâ’/4: 59). Karena al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. sebagai petunjuk bagi orang yang beriman untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. (Q.S. alBaqarah/2: 2), sedangkan Hadis merupakan penjelasan terhadap al-Qur’an (Q.S. al-Nahl/16: 44). Al-Qur’an sendiri merupakan kebenaran yang mutlak (Q.S. Ali Imrân/3: 60). Al-Qur’an sebagai petunjuk tidak ada manfaatnya jika hanya sekadar dibaca tanpa diketahui isi kandungannya. Oleh karena itu terhadap orang-orang Yahudi yang diberi kitab Taurat kemudian tidak mengamalkannya, diumpamakan Allah dengan keledai yang membawa Kitab Suci/Taurat (Q.S. al-Jumu'ah/62: 5). Begitu juga dengan orang Islam yang diberi al-Qur’an, tapi tidak mengamalkannya, ia bagaikan keledai yang membawa al-Qur’an. Untuk itu penafsiran al-Qur’an (kitab tafsir al-Qur'an) sangat penting peranannya dalam memahami kemurnian ajaran Islam dan untuk menggali serta memahami kandungan al-Qur’an untuk diamalkan dalam kehidupan seharihari. Sehubungan dengan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi manusia, para mufassir berusaha memahami dan menjelaskan isi kandungan 12 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, (Yogyakarta:LkiS, 2004), h.129 10 al-Qur’an sesuai dengan kondisi yang ada, khususnya mengenai ayat-ayat jender. Perempuan memang merupakan sebaik-baik perhiasan di dunia, sebagaimana ditegaskan Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah : ﺣﺪﺛﻨﺎﻫﺸﺎﻡ ﺑﻦ ﻋﻤﺎﺭ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻴﺴﻰ ﺑﻦ ﻳﻮﻧﺲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﺑﻦ ﺍﻧﻌﻢ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺎﻴﻧ ﺇِﳕﺎﱠ ﺍﻟﺪ:َ ﻗﺎﻝﻠﱠﻢﺳﺍﷲ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ١٣ ﺎ ﺷﻴﺊ ﺍﻓﻀﻞ ﻣﻦ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺍﻟﺼﺎﳊﺔ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔﻴﻧﺎﻉِ ﺍﻟﺪﺘ ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﻣﺎﻉﺘﻣ Hisyam telah menceritakan kepada kami, Isa Bin Yunus telah menceritakan kepada kami, Abdurrahman Bin Ziyâd Bin An’um telah menceritakan kepada kami dari Abdullah Bin Yazîd, dari Abdullah Bin Amr, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:”Bahwa dunia merupakan perhiasan dan tidak ada sesuatu perhiasan di dunia yang lebih baik daripada perempuan yang salehah. (H.R.Ibnu Majah). Berbicara tentang perempuan memang indah, kendati nasib perempuan dalam perjalanan sejarah tidak seindah dirinya, bahkan sering tidak menarik. Perjalanan perempuan yang dikenal lembut, halus, dan luwes timbul tenggelam antara harapan dan kenyataan. Perempuan sewaktu-waktu berada dalam posisi di atas, namun sering pula tersungkur pada posisi di bawah tanpa ada yang menaruh belas kasihan. Kaum perempuan pada masa jahiliyah bagaikan barang atau harta yang bisa diwarisi oleh keluarga yang ditinggalkan. Hal ini diungkapkan oleh Husen Muhammad Yusuf dalam bukunya yang berjudul Ahdâf al-Usrah Fî al-Islâm. Bahwa seorang perempuan pada masa jahiliyah dapat diwariskan seperti harta warisan. Apabila suami sang istri meninggal dunia, maka anak yang bukan dari istri yang ditinggalkan (anak tiri) dapat mewarisi ibu tiri menjadi istrinya, bahkan boleh juga keluarga dekatnya yang mewarisi ibu tersebut sebagai istrinya tanpa mahar (maskawin) atau menikahkannya dengan orang lain, tapi maharnya diambil oleh keluarga 13 al-Hâfizh Abu Abdullah Muhammad Bin Yasin al-Quzweni, Sunan Ibnu Majah, (alQâhirah, Dâr al-Hadîs, 1998), Jilid II, h. 156 11 dekatnya tersebut, bila dia ingin membiarkannya, maka dia tidak mempedulikannya dengan status tidak janda dan tidak menikah sampai dia menebus dirinya dari harta warisan suaminya yang meninggal atau dibiarkannya sampai meninggal, lalu dia mewarisi hartanya.14 Muhammad Quraish Shihab menyatakan, Perempuan sering kali diperlakukan secara tidak wajar, baik karena tidak mengetahui kadar dirinya maupun mengetahuinya namun terpaksa menerima pelecehan. Ini terjadi dalam masyarakat modern, lebih-lebih dalam masyarakat masa lalu. Pada zaman Yunani Kuno, dimana hidup filosof-filosof kenamaan semacam Plato (427-347 SM), Aristotales (384-322 SM) dan Demosthenes (384-322 SM), martabat perempuan dalam pandangan mereka sungguh rendah. Perempuan hanya dipandang sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga serta pelepas nafsu seksual lelaki, karena itu perzinaan sangat merajalela. Socratos (470-399 SM) berpendapat bahwa dua sahabt setia, harus mampu meminjamkan istrinya kepada sahabatnya, sedangkan Demosthenes (384-322 SM) berpendapat bahwa istri hanya berfungsi melahirkan anak, filosof Arestotales menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya, sedang Plato menilai kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah, sedangkan kehormatan perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaanpekerjaan yang sederhana/hina sambil terdiam tanpa bicara.15 Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menyatakan, Sejarah mencatat betapa suatu ketika perempuan dinilai sebagai makhluk kelas dua. Dalam masyarakat Hindu, istri harus mengabdi kepada suaminya bagaikan mengabdi kepada Tuhan. Ia harus berjalan dibelakangnya, tidak boleh berbicara dan tidak juga makan bersamanya, tetapi memakan sisanya. Bahkan sampai abad XVII, seorang istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar, atau kalau ingin tetap hidup sang istri mencukur rambutnya, memperburuk wajahnya agar terjamin bahwa ia tidak lagi akan diminati lelaki. Di Eropa – khushusnya pada masa lalu- perempuan belum juga mendapat tempatterhormat. Pada tahun 586 M, agamawan di Prancis masih mendiskusikan apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak ? Apakah mereka juga dapat masuk surga ? Diskusi-diskusi itu berakhir 14 Husen Muhammad Yusuf, Ahdâf al-Usrah fî al-Islâm, (selanjutnya tertulis Ahdâf al-Usrah) (Cairo: Dâr al-I'tishâm , 1977 ), h. 24 15 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (selanjutnya tertulis Perempuan), Ciputat: Lentera Hati, 2005), h. 102 12 dengan kesimpulan bahwa perempuan memiliki jiwa, tetapi tidak kekal dan dia bertugas melayani lelaki. Pada masa silam di Eropa, hubungan seks dianggap sesuatu yang buruk walau hubungan itu didahului oleh pernikahan yang sah.16 Dia juga menegaskan:”Bahwa Parlemen Skotlandia pada tahun 1567 M. menetapkan bahwa perempuan tidak boleh diberi sdikit wewenangpun, bahkan pada pemerintahan Henry VIII (1491-1547 M.) di Inggris, lahir keputusan yang melarang peremuan membaca kitab Injil (Perjanjian Baru).”17 Selanjutnya dia menyatakan, Kendati Eropa telah mengalami revolusi industri (1750 M.) dan perbudakan telah dikumandangkan penghapusannya, namun harakah dan martabat perempuan belum juga mendapat tempatnya yang wajar. Mereka bekerja di pabrik-pabrik, namun gajinya lebih rendah daripada lelaki, bahkan di Inggris sampai dengan tahun 1805 M., perundangundangan mereka mengakui hak suami untuk menjual istrinya. Bahkan menurut Rasyid Ridha (1865-1935 M) dalam bukunya Nidâ ’ al-Jins alLathîf mengutif koran Inggris- di pedalaman Inggris (hingga masa itu) masih ditemukan suami yang menjual istrinya dengan harga yang sangat murah, sampai tahun 1882 M, perempuan di sana belum memiliki hak kepemilikan harta benda secara penuh, tidak juga berhak menuntut ke pengadilan. Sisa-sisa dari pandangan ini menjadikan seorang perempuan hingga masa kita ini, harus menghapus nama ayahnya yang menyertai namanya- sebelum ia menikah dan menggantinya dengan nama suaminya- begitu ia menjadi istri dari seorang lelaki.18 Dia menambahkan, Perempuan- di masa lampau- juga dinilai tidak wajar mendapat pendidikan, Elizabeth Black Will, dokter perempuan pertama yang menyelesaikan setudinya di Geneve University pada tahun 1849 M, dibaikot oleh teman-temannya sendiri dengan dalih bahwa perempuan tidak wajar memperoleh pelajaran, bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran Khusus perempuan di Philadelphia Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengancam akan membaikot semua dokter yang mengajar di Institut itu.19 16 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan,…h. 103 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan,… h. 104 18 Mhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 104 19 Mhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 105 17 13 Jadi bila kita melihat dari masa ke masa, perempuan tidak mendapat perhatian yang serius. Namun dalam ajaran Islam, justru perempuan itu mendapatkan kedudukan yang layak dan terhormat. Di masyarakat Islam masih ada praktik-praktik yang menyalahi aturan Islam, seperti ada orang tua memaksa mengawinkan anak perempuannya tanpa dikehendaki oleh anak tersebut. Ada juga orang tua yang membedabedakan anak laki-laki dan perempuan. Itu semua bukan ajaran Islam, melainkan perbuatan adat-istiadat orang dahulu. Islam adalah sesuatu dan perbuatan orang Islam adalah sesuatu yang lain.20 Jadi, kita sebagai ummat Islam harus bisa membedakan antara ajaran Islam dan perbuatan orang Islam, karena perbuatan orang Islam belum tentu sesuai dengan ajaran Islam. Begitu juga ada sebagian orang menuntut persamaan hak secara mutlak antara laki-laki dan perempuan dan tidak mau mengikuti aturan Islam, padahal aturan Islam lebih adil daripada aturan yang dibuat oleh manusia. Karena Allah yang menciptakan laki-laki dan perempuan, dan Allah pula yang membuat peraturan untuk mereka yang tidak memihak kepada salah satu jenis laki-laki dan perempuan, tidak ada kepentingan bagi Allah, tapi Allah Maha Tahu terhadap kemaslahatan makhluk-Nya. (Q.S. al-Muluk/67: 14).21 Islam memperbaiki manusia berdasarkan kenyataan, maslahat umum bagi masyarakat. Agar semuanya bagaikan satu tangan dan satu badan, sehingga bila salah satu anggota merasakan sakit, maka seluruh anggota badan merasakan sakit. Sedangkan keadilan pada masa sekarang beragam. Adil menurut orang Timur berbeda dengan adil menurut orang Barat, begitu juga adil menurut orang Barat berbeda dengan adil menurut kaum Zionis, akan tetapi adil menurut Tuhan hanya satu, karena Allah hanya satu, maka aturanNya juga satu (Q.S. al-An’âm/6: 153). Islam memerintahkan bersikap adil sekalipun terhadap musuh dan memerintahkan rasa belas kasihan kepada 20 21 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah…, h. 19 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah …, h. 48 14 mereka, jika mereka tidak mengangkat senjata melawan kaum muslimin. (Q.S. al-Mumtahanah/60: 8 ).22 Nasib perempuan baru terbela setelah al-Qur'an diturunkan. Al-Qur'an memposisikan perempuan pada tempat yang terhormat, karena al-Qur'an tidak menjadikan perempuan sebagai tirai pemisah dan tidak menjadikan rendah derajat seseorang perempuan. Al-Qur'an melihat tinggi rendahnya seseorang dari segi takwanya bukan dari segi jenis kelaminnya. (Q.S. al-Hujurât/49: 13). Berkaitan dengan hal ini Syekh Mahmud Syaltut menegaskan: ﻭﻗﺪ ﺩﻟﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻌﻨﺎﻳﺔ ﻋﻠﻲ ﺍﳌﻜﺎﻧﺔ ﺍﻟﱵ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺍﻥ ﺗﻮﺿﻊ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﳌﺮﺍﺓ ﰲ ﻧﻈﺮ ﺍﻻﺳﻼﻡ ٢٣ ﺎﻣﻜﺎﻧﺔ ﱂ ﲢﻆ ﺍﳌﺮﺍﺓ ﲟﺜﻠﻬﺎ ﰲ ﺷﺮﻉ ﲰﺎﻭﻱ ﺳﺎﺑﻖ ﻭﻻ ﰲ ﺍﺟﺘﻤﺎﻉ ﺍﻧﺴﺎﱐﻭﺍ "Perhatian ini menunjukkan atas kedudukan yang selayaknya perempuan itu ditempatkan menurut pandangan Islam. Sungguh kedudukan yang diberikan Islam kepada perempuan itu merupakan kedudukan yang tidak pernah diperoleh pada syariat agama samawi terdahulu dan tidak pula ditemukan dalam masyarakat manusia manapun." Islam datang untuk melepaskan perempuan dari belenggu-belenggu kenistaan dan perbudakan terhadap sesama manusia. Islam memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan terhormat. Makhluk yang memiliki beberapa hak yang telah disyariatkan oleh Allah. Di dalam Islam, haram hukumnya berbuat aniaya dan memperbudak perempuan. Allah mengancam orang yang melakukan perbuatan itu dengan siksa yang sangat pedih. Dari aspek kemanusiaan, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama manusia (Q.S. al-Hujurât/49:13). Dari aspek mengemban keimanan keduanya sama (Q.S. al-Burûj/85: 10). Dari aspek menerima balasan akhirat keduanya Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah …,h. 49 Muhammad Syaltut , Al-Islâm 'Aqidatan wa Syariatan, (Beirut: Dâr al-Qalam, 1966), 22 23 h. 227 15 sama (Q.S. al-Nisâ/4: 124). Dari aspek tolong-menolong keduanya sama (Q.S. al-Taubah/9: 71), dan masih banyak hak-hak yang lainnya.24 Mahdi Mahrizi mengatakan bahwa, Islam membagi wilayah kehidupan menjadi dua bagian, manusia dan jenis kelamin. Wilayah manusia tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, karena wilayah ini tidak pernah mengenal jenis kelamin, tidak memperhatikan feminim atau maskulin, karena keduanya–laki-laki dan perempuan–secara aktif berusaha keras mencari dan menuju kesempurnaan. Namun pada wilayah kedua, perempuan mesti menjadi seorang perempuan, hanya melakukan aktivitas-aktivitas keperempuanan dan mematuhi kebutuhan-kebutuhan spesialnya, sebagaimana laki-laki dalam wilayah ini harus berperilaku seperti seorang laki-laki, hanya melakukan aktivitas-aktivitas kelelakiannya.25 Tak seorangpun dapat memungkiri bahwa perlu upaya keras untuk mengenal dua makhluk Tuhan ini, laki-laki dan perempuan, sehingga mampu mengkritisi berbagai budaya, aturan, etiket, formalitas, dan pandangan tersebut. Dalam hal ini, kita harus benar-benar menggunakan teks-teks agama yang qath’i (pasti) dan mutawâtir. Al-Qur’an dan as-Sunnah, disertai dengan berbagai penyimpulan dan eksperimen intuitif serta pemikiran manusia. Dengan kata lain, mencermati riset-riset berpengalaman dan mengenal deduksi-deduksi pengetahuan yang tak terbantahkan, sangatlah berperan dalam memahami teks- teks agama secara lebih baik.26 Mahdi Mahrizi menyatakan bahwa, Perempuan adalah manusia yang memiliki semua bakat untuk berkembang, tanpa memiliki cacat atau kesalahan apapun pada esensi entitasnya. Dan kendati perempuan memiliki seluruh faktor kesempurnaan dan kemajuan, sebagaimana lelaki, namun perempuan 24 Haya Binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Terjemahan Amir Hamzah Fachruddin, (Jakarta: Darul Falah, 1421 H), Cet. VII, h. 11 25 Mahdi Mahrizi, Wanita Ideal Menurut Islam, (selanjutnya tertulis Wanita Ideal) (Jakarta: Madani Grafika, 2004), h. 10 26 Mahdi Mahrizi, Wanita Ideal…, h. 11 16 memiliki karakter independen dan tidak pernah menjadi parasit atas orang lain. Sebab Allah menciptakan dan membagi manusia menjadi dua kelompok laki-laki dan perempuan adalah demi kelestarian mereka. Dan mengelompokkan makhluk menjadi laki-laki dan perempuan sejatinya merupakan tatanan umum di dunia materi ini. (Q.S. al-Najm/53: 45). Karena itu, kelelakian dan keperempuanan sebenarnya bukanlah semata-mata ciri khas manusia, melainkan ciri eksistensi seluruh makhluk. Dan karena ciri khas ini sama sekali tak dipandang sebagai suatu cacat atau keburukan pada segala sesuatu, demikian halnya dengan manusia pada umumnya. Kesimpulan religius ini berlaku pada banyak aspek dan respek ihwal kaum perempuan.27 Kita sebagai umat Islam harus berpedoman kepada al-Qur’an dalam aktivitas sehari-harinya, khususnya dalam membina rumah tangga. Karena bila kita berpedoman kepada keinginan hawa nafsu, langit dan bumi berikut isinya akan hancur (Q.S. al-Mu'minûn/23: 71). Kenyataannya tidak semua manusia sanggup mengambil manfaat petunjuk dari al-Qur’an, bahkan menentangnya dan jumlahnya mayoritas. (Q.S. al-Anbiyâ/21: 24). Al-Qur'an sendiri ada yang bersifat muhkamât atau disebut Qath'iy28 dan ada juga yang bersifat mutasyâbihât atau disebut zhanny 29 (Q.S. Ali Imrân/3: 7). Ayat-ayat yang bersifat muhkamât tidak berlaku bagi mujtahid untuk menafsirkan sekehendak hatinya. Sesuai dengan kaidah ushul fikih ﻻ ﳎﺎﻝ ﳍﺎ ﻟﻼﺟﺘﻬﺎﺩartinya 27 Mahdi Mahrizi, Wanita Ideal…, h. 16 Abdu al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Cairo : Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar,1968) , h. 35 mengatakan ﻣﺎﺩﻝ ﻋﻠﻲ ﻣﻌﲏ ﻣﺘﻌﲔ ﻓﻬﻤﻪ ﻣﻨﻪ ﻭﻻ ﳛﺘﻤﻞ ﺗﺘﺎﻭﻳﻼ ﻭﻻ ﳎﺎﻝ ﻟﻔﻬﻢ ﻣﻌﲏ ﻏﲑﻩ ﻣﻨﻪartinya lafazd yang menunjukkan makna tertentu yang harus dipahami darinya, tidak mengandung kemungkinan takwil serta tak ada tempat atau peluang memahaminya dengan ma'na lain selain ma'na tersebut. 29 Abdu al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih…, h. 35 mengatakan, ﻣﺎﺩﻝ ﻋﻠﻲ ﻣﻌﲏ ﻭﻟﻜﻦ ﳛﺘﻤﻞ ﺍﻥ ﻳﺆﻭﻝ 28 ﻭﻳﺼﺮﻑ ﻋﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﳌﻌﲏ ﻭ ﻳﺮﺍﺩ ﻣﻨﻪ ﻣﻌﲏ ﻏﲑﻩ, artinya lafadh yang menunjukkan atas suatu makna, tapi dapat dimungkinkan untuk ditakwil dan dipalingkan dari makna tersebut dan dimaksudkan dari lafadh itu makna yang lain. 17 tidak ada lapangan ijtihad terhadap ayat-ayat yang berstatus qath’iyu aldalâlah (ayat-ayat yang bersifat muhkamât).30 Namun penulis dalam hal ini tidak akan membahas masalah ayat-ayat qath'iy atau zhanny secara mendetail karena penulis hanya memfokuskan pada penafsiran ayat-ayat jender menurut Muhammad Quraish Shihab. Muhammad Quraish Shihab sendiri cenderung untuk mengatakan bahwa, "Ayat al-Qur'an baru disebut qath'iy bila didukung oleh ayat-ayat lain yang maksudnya sama sehingga tidak bisa diartikan makna lain kecuali makna yang terkandung dalam nashsh tersebut.31 Sedangkan ayat-ayat yang bersifat zhani al-dalâlah merupakan lapangan para mujtahid untuk membahasnya. Seperti dalam al-Qur'an Surat alBaqarah/2 ayat 228. Para ulama tidak sepakat tentang makna qurû’ dalam ayat tersebut. Sebagian ulama menafsirkan suci, dan sebahagian yang lain menafsirkan haid. Kedua pendapat tersebut sifatnya zhani, maka tidak boleh saling menyalahkan. Sesuai dengan Qâidah fiqhiyah yang dikutip oleh Ibrahim Hosen ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻻ ﻳﻨﻘﺾ ﺑﺎﻻﺟﺘﻬﺎﺩ artinya hasil ijtihad seseorang tidak dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad orang lain. 32 Setiap ilmu memiliki metode yang dipergunakan oleh pengarangnya dan setiap pengarang memiliki gaya dan sistematika tersendiri walaupun mungkin ada sedikit kesamaan berdasarkan latar belakang pendidikan, budaya 30 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali, (Jakarta:Pustaka Firdaus,2002), h. 177, Lihat juga Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, (Bairut:Dâr alQalam, 1994), h.417 31 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung : Mizan, 1992), h. 140 32 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2003), Jilid I,h.8 dan lihat Muhammad Fauzi Faidhullah, al-Ijtihad Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (Kuwait: Maktabah Dâr alTurâts, 1984), h.100 18 negara, masa, dan lainnya. Begitu juga mengenai seorang mufasir tentu mempunyai metode dan karakteristik tersendiri. Indonesia memiliki banyak mubaligh, ulama, intelektual, dan birokrat. Akan tetapi, yang menyatukan profesi itu pada satu kepribadian jelas tidak banyak. Diantara yang sedikit itu adalah Muhammad Quraish Shihab. Dia disebut muballig karena siraman rohani yang disampaikannya melalui media televisi menyejukkan hati umatnya. Ia disebut ulama karena merupakan ahli tafsir lulusan Universitas al-Azhar. Ia disebut intelektual karena pandanganpandangannya selalu didasarkan pada penalaran rasional, dan ia disebut birokrat dan diplomat karena pernah menjabat Menteri Agama disamping Rektor IAIN dan duta besar RI di Mesir. Setelah selesai tugas sebagai Duta Besar RI untuk Mesir, tokoh yang dikenal santun ini mengembangkan Lembaga Studi al-Qur'an. Satu-satunya lembaga studi swasta di Indonesia yang secara spesifik menekuni kajian al-Qur'an sebagai fokus utamanya. 33 Perlu dicatat bahwa Muhammad Quraish Shihab merupakan orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur'an dari Universitas al-Azhar Cairo. Dalam Disertasinya Muhammad Quraish Shihab memilih untuk membahas masalah korelasi antara ayat-ayat dan suratsurat al-Qur'an sebagai fokus penelitiannya. Sebagai kasus dia memilih kitab Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-âyât wa al-Suwar karangan seorang mufasir kenamaan yang tergolong kontroversial, yaitu Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa'i (809 H/1406 M-885 H/1480 M). Muhammad Quraih Shihab mengatakan, ”Saya tertarik dengan tokoh ini karena dia hampir terbunuh gara-gara kitab tafsirnya.” Al-Biqâ'i juga dinilai oleh banyak pakar sebagai ahli tafsir yang 33 Arief Subhan, Tafsir Yang Membmi, (selanjutnya tertulis Tafsir Yang Membumi) Majalah Tsaqafah Vol. I.No.3, 2003 h. 81 19 berhasil menyusun suatu karya yang sempurna dalam masalah perurutan, atau korelasi antara ayat-ayat dan surat-surat al-Qur'an. Ada juga yang menilai bahwa kitab tafsirnya merupakan ensiklopedi dalam bidang keserasian ayatayat dan surat-surat al-qur'an.34 Muhammad Quraish Shihab menyatakan:”Mayoritas Ulama masa lalu melupakan segi rahasia urutan lafazh, ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an. Sekalipun ada seperti al-Imam Fahrurrazi, dia hanya lebih dominan perhatiannya pada segi ilmiyah yang bersifat filosofis, sehingga belum mencapai apa yang diharapkan.”35 Muhammad Quraish Shihab menambahkan:”Kemudian datang al-Imam Abu Ja’far Bin al-Zabir dan al-Imam al-Suyuthi, namun keduanya terbatas pada penjelasan munasabah surat-surat al-Qur’an, tanpa menyingkap rahasia yang ada pada urutan ayat-ayat dan hubungannya antara lafazh-lafazh yang ada pada surat satu dengan yang lainnya.”36 Kemudian datang Burhanuddin Abu al-Hasan Ibrahim Ibnu Umar alBiqa’i (809 H/1406 M-885 H/1480 M) memiliki perhatian khusus dalam masalah korelasi antara ayat-ayat al-Qur’an, dia mengungkapkan kedetailan rahasia urutan ayat dan lafazh al-Qur’an, hingga mencapai kesempurnaan dan bahkan merupakan ensiklopedi yang dikhususkan dalam masalah korelasi antara ayat-ayat al-Qur’an yang diberi judul “Nazhm al-Durar Fî Tanâsub al- Ăyât Wa al-Suwar.37 34 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 86 Muhammad Quraish Shihab, Nazhm al-Durar Fi Tanâsub al-‘Ayât Wa al-Suwar, (selanjutnya tertulis Nazhm al-Durar Fi Tanâsub al-Ayât) sebuah Disertasi Program Doktor Universitas al-Azhar Cairo, 1982 Jilid I, h. ﺏ 35 Muhammad Quraish Shihab, Nazhm al-Durar Fi Tanâsub al-Ayât…,h.ﺝ Muhammad Quraish Shihab, Nazhm al-Durar Fi Tanâsub al-Ayât…,h. ﺩ 36 37 20 Muhammad Quraish Shihab berpendapat, masalah korelasi antara ayatayat al-Qur'an ini layak mendapat perhatian khusus. Hal itu setidaknya dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, salah satu isu tentang al-Qur'an yang sering terdengar sumbang. Kedua, terjadinya penafsiran al-Qur'an yang bersifat parsial. Implikasi dari model penafsiran seperti ini, seperti terlihat dalam sejarah Islam, telah melahirkan konflik, khususnya dalam bidang teologi yang cenderung tidak berkesudahan. Seperti golongan Sunni dan Mu'tazilah. Kedua golongan itu seperti diketahui mempunyai kesimpulan yang bertentangan secara diametral padahal mereka sama-sama mendasarkan diri pada al-Qur'an bahkan pada ayat yang sama. Jadi melalui pembahasan tentang korelasi ayatayat ini akan didapatkan suatu pemahaman terhadap al-Qur'an sebagai keutuhan yang saling terkait.38 Dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab, masalah metodologi penafsiran al-Qur'an merupakan lapangan yang paling mendesak untuk diadakan semacam pembaharuan, sebab sejauh ini para ulama masih bertengkar dalam soal ini. Menurutnya para pembaharu membawa pemahaman baru, tetapi kebanyakan tanpa dibarengi oleh metodologi yang jelas, bahkan terkesan dalam memahami al-Qur'an masih parsial atau tidak utuh. Guna mendapatkan pemahaman yang lengkap, menurut Muhammad Quraish Shihab, paling tidak dibutuhkan metode maudhûi (tematik) dalam menafsirkan alQur'an. Meskipun cukup fanatik, metode ini tetap tidak bisa berdiri sendiri. Karena sebelum diterapkan, ia membutuhkan masukan dari metode-metode lain, seperti metode tahlîli atau tajzî’i untuk mengetahui makna, pesan-pesan dan asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turun ayat) masing- masing. Namun demikian 38 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 87 21 Muhammad Quraish Shihab juga mengakui bahwa metode ini bukan yang terbaik. Akhirnya memang tergantung kebutuhan. Kalau ingin menuntaskan topik, maka jawabannya adalah metode maudhûi tapi jika ingin menerangkan kandungan suatu ayat, maka jawabannya adalah metode tahlîli. 39 Gagasan dan pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang agama, tampaknya boleh dikatakan tergolong skripturalisme moderat. Karena dia menafsirkan ayat al-Qur’an berangkat dari teks ayat, namun dia juga selalu memperhatikan konteks masyarakat yang ada sekarang. Skripturalisme yang dikembangkan oleh Muhammad Quraish Shihab jauh berbeda dengan skripturalisme yang dikembangkan oleh kalangan muslim fundamentalis. Karena mereka hanya berpegang pada teks ayat tanpa memperhatikan konteksnya Skripturalisme Muhammad Quraish Shihab mengandung arti usaha untuk mengembalikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Muslim kepada kitab suci al-Qur'an. Muhammad Quraish Shihab sendiri menilai bahwa pada masa modern sekarang ini antara kehidupan masyarakat Muslim dengan al-Qur'an, sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan, terbentang jarak yang jauh. Oleh karena itu, menurutnya umat Islam tidak hanya perlu didekatkan kembali dengan kitab sucinya, lebih dari itu juga perlu diusahakan suatu penafsiran al-Qur'an dengan memperhatikan konteksnya. Jadi, tepatlah kiranya menempatkan Muhammad Quraish Shihab sebagai seorang skripturalis moderat.40 Salah satu obsesi Muhammad Quraish Shihab adalah melakukan penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Karena 39 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 88 40 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 89 22 dengan melibatkan sejumlah ilmuwan dari berbagai bidang spesialisasi ini, menurutnya akan berhasil mengungkap lebih banyak petunjuk-petunjuk dari dalam al-Qur'an.41 Maka tidak heran jika Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, memiliki metode yang tidak dimiliki orang lain karena dia menggabungkan berbagai metode dan ciri khasnya selalu menafsirkan ayat dengan pendekatan bahasa dan munâsabah yaitu memulai dengan menarik akar kata, lalu dihubungkan dengan ayat-ayat lain dan hadis Nabi serta ilmu pengetahuan. Diantara karya karya Muhammad Quraish Shihab adalah Tafsir alMishbah yang dapat dikatakan sebagai karya monumental. Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini mulai ditulis pada tahun 2000 sampai 2004. Kehadiran tafsir ini kiranya semakin mengukuhkannya sebagai tokoh tafsir Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Dari latar belakang diatas penulis ingin menyingkap pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang ayat-ayat jender yang terdapat pada Tafsir al-Mishbah. Untuk itu penulis ingin menulis sebuah disertasi yang berjudul”Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir al-Mishbah” B. Pokok Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu "Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir al-Mishbah," permasalahan yang akan dikembangkan dalam disertasi ini adalah cara dan langkah-langkah yang ditempuh oleh Muhammad 41 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 85 23 Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam Tafsir alMishbah khususnya ayat-ayat jender. 2. Pembatasan dan Perumusan Masalah Ayat-ayat jender yang dimaksud dalam Disertasi ini adalah ayat-ayat tentang perempuan yang ditafsirkan oleh sebahagian ulama tafsir tidak setara dengan laki-laki. Melihat luasnya pembahasan ayat-ayat jender, maka penulis membatasi pada ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia, kewarisan, persaksian, kepemimpinan, dan poligami, karena masalah ini yang sering disoroti oleh para pakar jender. Dari pembatasan tersebut, maka masalah pokok dalam disertasi ini ialah bagaimana penafsiran ayat-ayat jender yang berkaitan dengan penciptaan manusia, kewarisan, persaksian, kepemimpinan, dan poligami, menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah? Dari pokok permasalahan tersebut akan dikembangkan beberapa sub permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana bentuk, metode, dan corak Tafsir al-Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab ? b. Instrumen apa yang digunakan Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat jender dalam Tafsir al-Mishbah ? c. Apa perbedaan dan persamaan penafsiran ayat-ayat jender antara Muhammad Quraish Shihab dengan mufassir lain ? 24 C. Tinjauan Kepustakaan Sepanjang penelitian penulis, sudah banyak orang yang menulis tentang penafsiran ayat-ayat jender, namun penulis berbeda dengan para penulis terdahulu. Beberapa contoh tulisan ilmiah dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Karya Nasaruddin Umar.Hasil penelitiannya terhadap sejumlah ayat jender mengesankan bahwa al-Qur’an cenderung mempersilahkan kepada kecerdasan-kecerdasan manusia di dalam menata pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Dengan menyadari bahwa persoalan ini cukup penting tetapi tidak dirinci di dalam al-Qur’an, maka itu menjadi isyarat adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan.42 Prinsip-prinsip kesetaraan jender dalam al-Qur’an antara lain mempersamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba (‘âbid) Tuhan dan sebagai wakil Tuhan di bumi (khalîfah Allah fî al-ardh), laki-laki dan perempuan diciptakan dari unsur yang sama, lalu keduanya terlibat dalam drama kosmis, ketika Adam dan Hawa sama-sama bersalah yang menyebabkannya jatuh ke bumi. Keduanya sama-sama berpotensi meraih prestasi di bumi, dan sama-sama berpotensi untuk mencapai ridha Tuhan di dunia dan akherat.43 Meskipun ditemukan sejumlah ayat yang kelihatannya lebih memihak kepada laki-laki, seperti dalam soal kewarisan, persaksian, poligami, dan hak-haknya sebagai suami atau sebagai ayah, ayat-ayat yang 42 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. II. 43 Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 306 25 berbicara tentang hal tersebut semuanya turun untuk menanggapi suatu sebab khusus (khushûsh al-sabab), meskipun redaksinya menggunakan lafazh umum (‘umûm al-lafazh). Hampir semua ayat jender turun dalam suatu sebab khusus, tetapi hampir semua ayat-ayat tersebut menggunakan bentuk (shîghah) lafazh umum. Jika demikian adanya maka pertanyaan metodologis muncul, “apakah yang dijadikan pegangan sebab khusus atau lafazh umum?.44 Ayat-ayat jender turun secara sistematis didalam suatu lingkup budaya yang sarat dengan ketimpangan peran jender. Dengan dipandu oleh pribadi seorang Nabi dan Rasul maka implementasi ayat-ayat jender dapat disosialisasikan dalam waktu yang relatif cepat. Nabi Muhamad masih sempat menyaksikan kaum perempuan menikmati beberapa kemerdekaan yang tidak pernah dialami sebelumnya, seperti kemerdekaan menikmati ruang publik dan memperoleh hak-hak pribadi seperti hak warisan, hak menuntut talak, dan berbagai hak asasi lainnya. Hanya saja sering ditemukan unsur budaya lokal lebih dominan di dalam menafsirkan ayatayat al-Qur’an. Termasuk dalam hal terjadinya maskulinisasi epistemologis.45 Karya ini membahas kesetaraan jender dengan menggunakan metode historical analysis (analisis sejarah), metode hermeneutical method dan metode maudhû’i yang dipadukan dengan content analysis, disamping metode induktif dan deduktif.46 44 Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 306 Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 309 46 Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 30 45 26 2. Karya Ahmad Junaidi Ath-Thayyibi. Hasil penelitiannya yaitu solusi yang ditawarkan oleh Islam hanya satu yaitu kepatuhan kaum laki-laki dan perempuan terhadap hukum syara baik berupa perintah maupun larangannya. Berupa perintah seperti menundukkan pandangan serta memelihara kemaluannya, agar bertaqwa, tidak melakukan maksiat, hubungan seksual hanya bisa dilakukan melalui akad nikah, sedangkan berupa larangan seperti, dilarang melakukan berkhalwat dan khusus kepada perempuan dilarang bersolek secara berlebihan dengan menampakkan perhiasan dan kecantikannya dan perempuan tidak melakukan pekerjaan diluar kadratnya 47 3. Karya Muhammad Anas Qasim Ja'far. Dalam kesimpulannya dia mengemukakan hal ikhwal hak politik perempuan dalam peta pemikiran Islam dan perundang-undangan kontemporer. Dia menyatakan sudah jelas merupakan hak perempuan, atas dasar prinsip persamaan, untuk ikut berpartisipasi bersama laki-laki, membangun, mengubah dan membebaskan energi-energi terendap dalam masyarakat, suatu upaya yang wajib mengikutsertakan perempuan dalam kehidupan politik. Dalam Islam tidak ditemukan aturan-aturan yang melarang perempuan menikmati hakhak tersebut, sebaliknya Islam justru mendukung perempuan untuk memperoleh hak-haknya, sebagaimana halnya pada laki-laki. Begitu pula hampir seluruh aturan perundang-undangan kontemporer mendukung perempuan menggunakan hak-hak politiknya.48 47 Ahmad Junaidi Ath-Thayyibi, Tata Kehidupan Wanita dalam Syari'at Islam, (Jakarta: Wahyu Press, 2003), Cet. I, h. 129 48 Muhammad Anas Qasim Ja'far, Mengembalikan Hak Hak Politik Perempuan sebuah Perspektif Islam, (Jakarta: Daar al-Nahdhah al-Arabiyah, 2002), Cet. I, h. 154 27 4. Karya Faisar Ananda Arfa. Dalam kesimpulannya ada tiga yaitu pertama, perempuan dalam pemikiran Islam modern digambarkan sebagai makhluk yang sama kedudukannya dengan kaum laki-laki secara teologis di hadapan Allah dan secara sosial dalam interaksi sesama manusia. Agenda utama yang dikembangkan oleh para pemikir Islam modern tersebut adalah memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam segala bidang aspek kehidupan termasuk hak berpolitik, hak memilih dan dipilih sebagai pemimpin. Dalam masalah fiqih terutama warisan dan kesaksian peremppuan dihargai sama dengan laki-laki, kedua, para pakar modernis menawarkan penafsiran baru dan segar terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang selama ini secara tradisional dipergunakan untuk mendiskriminasikan kaum perempuan. Prinsip-prinsip yang dikembangkan, bahwa pintu ijtihad terbuka lebar, ketiga, metode yang diterapkan adalah mereduksi kekuatan qath’i. Artinya bila dalam pemahaman Islam tradisional ayat-ayat tersebut bersifat muthlak dan wajib diamalkan tanpa interpretasi, maka dalam pemikiran Islam modern, ayat-ayat tersebut ditinjau dengan memperhatikan sebab turun ayat dengan memperhatikan kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat ketika ayat tersebut diturunkan.49 5. Karya Istianah. Dalam kesimpulannya dia menyatakan, bahwa wawasan al-Qur’an menggunakan metode maudhu’i (tematik), sama halnya dengan yang ditempuh oleh al-Farmawi, namun ia agak berbeda dengan Farmawi. Pertama, dalam menetapkan tema yang akan dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh dan dirasakan langsung oleh masyarakat yang membutuhkan jawaban al-Qur’an. Kedua, menyusun runtutan ayat sesuai 49 Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet. I, h. 179 28 dengan masa turunnya dan itu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk al-Qur’an menyangkut persoalan yang dibahas. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan satu kisah, atau kejadian, maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis pristiwa. Ketiga, kesempurnaannya dapat dicapai apabila mufassir berusaha memahami arti kosa kata dengan merujuk kepada penggunaan al-Qur’an. Kempat, tidak mengabaikan asbâb al-nuzûl ayat, karena asbâb nuzûl ayat mempunyai peranan yang sangat besar, yaitu sangat membantu dalam memahami suatu ayat. Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah Quraish menggunakan metode tahlîlî (runtutan ayat).50 Walaupun kedua karyanya termasuk kategori tafsir bi al-ra’yi, namun ia tidak lepas menggunakan riwayat sebagai sumber utamanya, kalau tidak dijumpai riwayat ia baru menggunakan nalarnya. Dalam kedua karyanya tersebut, Quraish juga tidak lepas dari metode interteks. Yaitu selalu mengutip pendapat dari pendahulunya seperti;Ibrahim Ibnu Umar alBiqa’i, Muhammad Thanthawi, Mutawalli al-Sya’rawi, Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Muhammad Husain Thabathaba’i, alZamakhsyari dan beberapa pakar tafsir yang lain. Proses interteks ini fungsinya diposisikan sebagai penguat dan melegimitasi dari penafsirannya.51 6. Karya Istibsyarah. Dalam kesimpulannya, bahwa al-Sya’rawi lebih moderat dalam beberapa hal, misalnya kebolehan perempuan bekerja di luar rumah, sepanjang pekerjaan itu tidak menimbulkan fitnah, dapat 50 Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab Dalam Menafsirkan al-Qur'an, (selanjutnya tertulis Metodologi Quraish Shihab) sebuah Tesis Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2002., h. 177 51 Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab…,h.179 29 memelihara prinsip-prinsip ajaran agama, kesusilaan, sopan dan dapat menjaga diri. Perbandingan kesaksian laki-laki dan perempuan 1:2 alSya’rawi menghubungkannya dengan kondisi obyektif masyarakat arab ketika al-Qur’an diturunkan, ia melihat sebagai seruan yang bersifat anjuran. Demikian pula konsep keterbatasan agama dan akal juga tidak bersifat permanen dan universal. Ia memberi kesimpulan bahwa perempuan dapat menjadi saksi sebagaimana halnya laki-laki, asal perempuan melihat dengan mata kepala sendiri.52 Menurut al-Sya’rawi, poligami dibolehkan dalam keadaan darurat, hak kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama dan keduanya memang saling melengkapi satu sama lain guna memenuhi kebutuhan hidup yang makin komplek, adanya pengakuan terhadap hak politik bagi perempuan diantaranya jihad dan memegang jabatan, dalam rumah tangga tidak ada yang superior dan inferior antara suami dan istri, hak memperoleh pendidikan sama antara laki-laki dan perempuan, dalam memilih pasangan hidup sama halnya dengan laki-laki, hak talak memang hak laki-laki, namun perempuan dapat mengajukan gugat cerai dengan berbagai pertimbangan yang matang.53 7. Karya Zaitunah Subhan. Inti kesimpulannya ada dua yaitu, pertama, perbedaan kodrati (kodrat biologis) tidak punya pengaruh apapun dalam menentukan derazat kemanusiaan, kecuali nilai iman dan taqwa. Akan tetapi kesalah pahaman memahami kodrat perempuan akan menimbulkan anggapan inferior (misalnya perempuan itu lemah akal dan agamanya, 52 Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan Dalam Relasi Jender Pada Tafsir al-Sya'rawi, (selanjutnya tertulis Hak-Hak Perempuan) sebuah Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2004, h.286. 53 Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan…, h.287 30 tempat yang pantas bagi perempuan adalah di rumah). Ini bertentangan dengan prinsip Islam, karena Islam mengajarkan keadilan dan keseimbangan terhadap laki-laki dan perempuan. Setatemen al-Qur’an berangkat dari awal penciptaan segala sesuatu yang ada ini diawali dengan berpasangan. 54 Kedua, laki-laki (suami) dan perempuan (istri) sebagai mitra dalam sebuah rumah tangga; kemitrasejajaran bukan merupakan hubungan yang satu mengungguli atau lebih rendah dari yang lain, bukan pula yang satu mendominasi dan yang lain didominasi; tetapi kemitrasejajaran adalah hubungan yang saling timbal balik. Adanya kesenjangan diakibatkan karena pemahaman agama yang tidak proporsional dalam memberikan makna kemitrasejajaran. Penafsiran yang ada sering kali berfungsi sebagai penguat isu-isu yang tersebar di masyarakat. Hal ini akibat dari penafsiran lama yang sulit diterima pada masa kini. Sumber Islam (al-Qur’an dan hadis) tidak saja dapat dipahami secara normatif, tetapi juga harus diperhatikan konteksnya. Oleh karena itu, pemahaman secara kontekstual sangat diperlukan.55 8. Fathurrahman Djamil. Dia membahas pemikiran Muhammad Quraish Shihab dari 3 sisi ;qath’i zhanni, nâsikh manshûkh dan fungsi hadis terhadap al-Qur’an. Pertama, tentang qath’i zhanni. Suatu ayat al-Qur’an disebut qath’i, jika ia hanya memiliki satu arti atau penafsiran tertentu, dan disebut zdanni, jika ia terbuka untuk diberi berbagai macam makna. Fathurrahman Djamil melihat Muhammad Quraish 54 Shihab tidak Zaitunah Subhan, Kemitrasejajaran Pria dan Wanita dalam Perspektif Islam, (selanjutnya tertulis Kemitrasejajaran Pria dan Wanita) sebuah Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 1998. h. 239 55 Zaitunah Subhan, Kemitrasejajaran Pria dan Wanita…, h. 240 31 menyetujui adanya dikotomi ini. Kedua, nâsikh mansûkh, bila ada ayat yang bertentangan maka salah satu ayat yang bertentangan tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku. Quraish dalam menyelesaikan masalah ini secara berbeda. Dia tidak melihat bahwa satu ayat telah dinyatakan tidak berlaku dan digantikan oleh ayat lainnya. Bagi dia yang terjadi adalah pemindahan obyek hukum dari satu kondisi ke kondisi lain atau dengan kata penundaan sementara berlakunya ayat tersebut. Jika kondisi yang mirip dengan kondisi dimana ayat tersebut diturunkan kembali, ayat al-Qur’an yang sudah diganti itu kembali berlaku. Ketiga, fungsi hadis terhadap al-Qur’an. Apakah Nabi punya berwenang untuk menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan al-Qur’an ? Dalam menjawab pertanyaan ini secara garis besar masyarakat islam terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama berpendapat, Nabi boleh membuat hukum baru, kelompok kedua menolaknya. Quraish lebih condong pada penjelasan tambahan. Sehingga Quraish dalam masalah hukum tidak hitam putih, tapi dia berusaha menghadirkan keragaman pendapat, baik dari masa klasik maupun modern dan mendorong penanya untuk memilih sendiri. Dia tidak mendasarkan pada satu madhhab tertentu. Dia sangat menggaris bawahi pentingnya aspek maslahah dalam penentuan hukum.56 9. Hamdani Anwar. Dalam kesimpulannya hanya membahas yang berkaitan dengan motivasi penulisan, sumber yang digunakan, metode yang dipilih, corak yang menjadi kecenderungan dan sistimatika yang dianut dalam penulisannya.57 56 Fathurrahman Djamil ,Setudia Islamika, Volume 6, Number 2, 1999, h.171 Hamdani Anwar, Mimbar Agama & Budaya, Vol.X!X, NO.2. 2003, h. 188 57 32 10. Arief Subhan. Tulisan yang dia paparkan hanya berkisar “Biografi Sosial Intelektual Muhammad Quraish Shihab” Dia memaparkan tentang Muhammad Quraish Shihab mulai dari kelahiran, melanjutkan studi ke Mesir, mengulas tentang tesis dan disertasi yang ditulisnya, dan pandangan-pandangan serta gagasan-gagasan yang diinginkannya.58 11. Herman Heizer. Dia hanya menyampaikan tentang 2 latar belakang terbitnya tafsir al-Mishbah, pertama, keprihatinan terhadap kenyataan bahwa ummat Islam Indonesia mempunyai ketertarikan yang besar terhadap al-Qur’an, tapi sebahagian hanya berhenti pada pesona bacaannya ketika dilantunkan. Seakan-akan kitab suci ini hanya untuk dibaca. Padahal menurut Quraish Shihab bacaan al-Qur’an hendaknya disertai dengan kesadaran akan kegunaannya. Kedua, tidak sedikit ummat Islam yang mempunyai ketertarikan luar biasa terhadap makna-makna al-Qur’an, tapi menghadapi berbagai kendala, terutama waktu, ilmu-ilmu pendukung dan kelangkaan buku rujukan yang memadai dari segi cakupan informasi, jelas dan tidak bertele-tele. Kajian dan bahasan buku-buku di atas sekalipun membahas jender tapi tidak menyinggung pemikiran Muhammad Quraish Shihab, dengan pendekatan yang berbeda-beda dan hasilnya memiliki kekhususan masing- masing. Ada lima orang penulis kutip yang menyoroti Muhammad Quraish Shihab seperti Istianah, Fathurrahman Djamil dan Hamdani Anwar, Arief Subhan dan Herman Heizer, namun tidak menyoroti masalah jender. Sedangkan penulis terfokus pada penafsiran ayat-ayat jender menurut Muhammad Quraish 58 Arief Subhan, Majalah Tsaqafah, Vol.1, No.3, 2003,h. 81 33 Shihab. Dengan demikian, penelitian ini bukan pengulangan dari apa yang telah ditulis oleh peneliti lain sebelumnya. Karena itu, penelitian penulis ini diharapkan akan menghasilkan hal-hal baru yang belum terungkap oleh peneliti lain tentang penafsiran ayat-ayat yang bernuansa jender. Penelitian ini akan berupaya mengungkap penafsiran ayatayat yang bernuansa jender menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah. Untuk menghasilkan kajian yang utuh, akan dipilih pendekatan dan analisis tertentu yang akan dijelaskan pada bagian metodologi. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapat jawaban yang jelas dan mendalam terhadap 3 pokok masalah yang telah dikemukakan di atas. Jawaban yang berhasil nanti, tentu akan menambah khazanah ilmu pengetahuan penulis dalam masalah penafsiran ayat-ayat jender menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bentuk, metode, corak, dan langkah-langkah yang ditempuh Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat jender 2. Ingin memberikan sumbangan kepada para pembaca, tentang pemahaman yang disampaikan oleh Muhammad Quraish Shihab khususnya mengenai ayat-ayat jender 3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan penafsiran ayat-ayat jender antara Muhammad Quraish Shihab dengan ulama klasik dan ulama kontemporer 34 4. Untuk mengetahui instrumen yang digunakan Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat jender 5. Di samping itu insya Allah hasil penelitian ini, sekecil apapun dapat menyumbangkan pemikiran bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang tafsir. 6. Kemudian dapat membuka cara pandang umat Islam agar selalu mencari penafsiran ayat-ayat yang relevan dengan keadaan sekarang. 7. Terakhir, semoga hasil penelitian ini bisa menjadi langkah awal bagi penelitian tentang penafsiran ayat-ayat jender menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, dan akan dikembangkan hasil penelitian ini pada penelitian-penilitian berikutnya. E. Kerangka Teori Al-Qur’an sebagai kalamullah yang terdapat di Lauh Makhfudz dengan bentuk yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia dan tidak terbatas dan bersifat muthlak.59 Ketika Allah menghendaki menurunkan kalamullah kepada manusia, maka langkah awal, Allah merubah terlebih dahulu kalamullah yang semula tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia menjadi bentuk yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia yang terbatas dan relatif yaitu dengan bahasa arab, karena al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad orang arab.60 Sebagaimana Firman Allah (Q.S.al-Zukhruf/43 :3) : ( ٣ : ٤٣/ﺍﻧﺎ ﺟﻌﻠﻨﺎﻩ ﻗﺮﺁﻧﺎ ﻋﺮﺑﻴﺎﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻌﻘﻠﻮﻥ )ﺍﻟﺰﺧﺮﻑ Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya. Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’an Qirâ ’ah Mu’âshirah (selanjutnya tertulis alKitab Wa al-Qur ’an), (Damaskus : al-Ahâli Li Al-Thabâ’ah Wa al-Nasyar Wa al-Tauzî’, 1990), h. 44 60 Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’an…, 152 59 35 Kemudian al-Qur’an tersebut diturunkan sekaligus ke Samâ ’u alDunya (langit dunia) dengan bahasa arab yang dapat dijangkau oleh panca indra manusia. (Q.S.Yusuf/12: 2).61 Kemudian diturunkan secara berangsur kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril, kemudian Nabi langsung menyampaikannya kepada manusia.62 Jadi kalamullah yang tak terbatas sebelum diubah menjadi bahasa arab, manusia tidak dapat memahaminya, kemudia setelah diubah menjadi bahasa arab juga mengandung ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât. Kemudian manusia yang terbatas mencoba menggali maksud ayat-ayat alQur’an tersebut dengan makna qarîb (dekat/teks/dzahir) dan makna baîd (jauh/konteks/ abstrak). Hal ini sesuai dengan Khalid Abdurahman al-‘Ak yang mengatakan:” Dalil yang dibentuk melalui ta’wil (penafsiran) ada yang mengutamakan makna zhâhir atau makna qarîb dan ada yang mengutamakan makna tersirat atau makna baîd.”63 Seperti kalimat ﺍﷲ ﻳـﺪmakna qarîbnya tangan Allah, tapi makna baîdnya adalah kekuasaan Allah. Munawir Sjadzali menyatakan, Diantara para ahli dari empat madzhab, meskipun mereka banyak saling berbeda pendapat, namun terdapat semacam kesepakatan atau konsensus bahwa hukum islam terbagi dalam dua katergori; hukum yang bertalian dengan ibadah murni, dan hukum yang menyangkut mu’amalah duniawiyah (kemasyarakatan). Dalam hal hukum yang termasuk kategori pertama tidak banyak kesempatan bagi kita untuk mempergunakan penalaran, tetapi dalam hal hukum dari kategori kedua, lebih luas ruang gerak untuk penalaran intelektual, dengan Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’an…, 152 Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’an…, 153 63 Khalid Abdurrahman al-‘Ak, Ushûl al-Tafsîr Wa Qawâiduhu, (Bairut : Dâr al-Nafâis, 1986), h. 60 61 62 36 kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolok ukur utama.64 Berbeda dengan Quraish Shihab yang menyatakan, Bahwa ajaran yang dibebankan kewajibannya kepada seorang mukallaf ada yang bersifat pengetahuan dan ada yang bersifat pengamalan, maka ulama Islam membagi kewajiban tersebut kepada ‘aqîdah dan syarî’ah, atau dengan kata lain, ushûl dan furû’. Sesuatu yang bersifat pengetahuan dan wajib diyakini karena berdasarkan suatu yang qath’i atau ushûl al-dîn, sedangkan yang bersifat pengamalan adalah syarî’ah. Dari sini- katanya- dapat disimpulkan, bahwa segala keyakinan yang tidak bersumber kepada sesuatu yang qath’i, bukan merupakan ushûl al-dîn, dan tidak mengakibatkan kekufuran penganutnya, betapapun besarnya perbedaan tersebut.65 Kemudian dia juga mengutip pendapat Mahmûd Syaltût, Pertama, dalam masalah akidah, penetapnnya haruslah menggunakan argumentasi yang bersifat qath’i. Kedua, hal-hal yang tidak bersifat qath’i, dan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya, tidak dapat dianggap sebagai masalah akidah, dan tidak pula pendapat satu kelompok tertentu dalam masalah tersebut merupakan pendapat yang pasti benar, sedangkan yang lainnya salah. Ketiga, kitab-kitab yang membahas teologi tidak semata-mata berisi masalah-masalah yang diwajibkan oleh agama untuk dianut, tetapi juga berisi disamping halhal tersebut, beberapa teori ilmiah yang argumentasi-argumentasinya saling bertentangan sehingga teori-teori tersebut merupakan ijtihad para ulama.66 Kemudian dia juga mengutip pendapat Isa Mannun, Ajaran-ajaran Islam yang berdasarkan argumentasi yang pasti dan menyakinkan dan yang diterima berdasarkan tawâtur, serta dari generasi kegenarasi sejak masa Nabi saw, sehingga pengetahuan tentang hal tersebut telah demikian populer, atau yang disebut dengan istilah alma ’lûm min al-dîn bi al-dharûrah. Penolakan terhadap masalahmasalah tersebut mengakibatkan kekufuran. Dan ketetapan-ketetapan agama yang disepakati oleh ulama-ulama (ijma ’), walaupun ketetapanketapan tersebut belum populer. Yanng menolak hal ini ada yang menilainya kafir dan ada pula yang menilainya fasiq.67 64 Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta : PT.Temprint, 1995), h. 92 Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 354 66 Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 355 67 Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 356 65 37 Jadi ukuran boleh menggunakan nalar akal terhadap penafsiran ayatayat al-Qur’an berbeda antara Munawir Sjadzali dan Muhammad Quraish Shihab, karena Munawir Sjadzali melihat dari sisi materinya (akidah atau mu’amalah), sedangkan Muhammad Quraish Shihab dari sisi argumentasinya (qath’i atau zhanninya). Muahammad Quraish Shihab selanjutnya menyatakan, Manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih dan menetapkan ajaran hidupnya, serta agama yang dianutnya. Tetapi kebebasan ini bukan berarti kebebasan memilih ajaran-ajaran agama pilihnnya itu, mana yang dianut dan mana yang ditolak. Karena Tuhan tidak menurunkan suatu agama untuk dibahas oleh manusia dalam rangka memilih yang dianggap-nya sesuai dan menolak yang tidak sesuai. Agama pilihan adalah satu paket, penolakan terhadap satu bagian mengakibatkan penolakan terhadap keseluruhan paket tersebut. (Q.S.al-Baqarah/2:85). Dalam hal ini, agama Islam tidak memberikan kepada seorang muslim kebebasan memilih dari keragaman pendapat yang berkembang dalam bidang ushûl al-dîn, karena masalahnya sudah demikian jelas dan pasti. Kebebasan memilih hanya diberikan dalam bidang furû’ karena argumentasinya bersifat zhanni. 68 Sedangkan Ibrahim Hosen menyatakan, Mengenai al-qur’an yang dapat kita baca dan kita dengarkan itu adalah kalâm lafdhi yang menunjukkan kepada kalâm nafsi. Atas dasar ini maka hukum islam itu sangat luas sekali yang hanya diketahui melalui dalil, baik dalil-dalil yang disepakati kehujjahannya maupun dalil-dalil yang diper-selisihkan kehujjahannya. Atas dasar itu pula dapat diketahui bahwa hukum itu bersifah qadîm dan hanya Allahlah yang berhak menetapkan hukum. Dengan demikian maka tergambarlah bagi kita bahwa yang kita cari itu adalah hukum Allah. Jelas hal ini sangat sulit, karena hukum Allah adalah khithâb-Nya yang berupa kalâm nafsi yang tidak bersuara dan tidak berhuruf yang tidak dapat kita cerna dan kita gambarkan, yang diluar jangkauan manusia. Untuk mengetahui hal tersebut hendaklah kita mengetahui bahwa kalâmullah itu mempunyai dua indikasi. Pertama, indikasi lafdhi dan kedua, indikasi ma ’nawi. Indikasi lafdhi yaitu al-Qur’an dan indikasi ma ’nawi adalah hadis, ijma, qiyas dan dalil-dalil lain. Dari sini dapat diketahui 68 Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 357 38 bahwa yang berperan itu adalah dalil hukum. Tampa dalil kita tidak dapat mengetahui hukum dan hukum tanpa dalil adalah tahakkum (membuat-buat hukum). Perbuatan ini haram dan dosanya lebih besar daripada syirik. Sebab syirik itu yang sesat hanyalah yang bersangkutan, sedangkan tahakkum, disamping pelakunya juga akan menyesatkan banyak manusia.69 Pendapat Ibrahim Hosen sama dengan Muhammad Quraish Shihab, karena dia membagi hukum Islam kepada dua yaitu syarî’ah/ushûl yang biasa disebut dengan hukum qath’i atau dengan kata lain yaitu mâ ’ulima minaddin bi al-dharurah dan hukum fiqh/furû yang biasa disebut hukum zhanni. Apabila kita menemukan ayat-ayat al-qur’an yang konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu dan berkaitan dengan suatu hukum maka ketentuan itu tidak terbatas pada kasus itu saja, tetapi berlaku secara umum. Ini ditujukan kepada setiap kasus yang mempunyai persamaan dengan kasus tersebut.70 Hal ini sesuai dengan pendapat mayoritas ulama yang menayatakan ﺍﻟﻌﱪﺓ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟـﺴﺒﺐ, artinya penafsiran ayat al-qur’an berdasarkan teks ayat, bukan dilihat dari latar belakang turun ayat. 71 Dalam memahami kaidah diatas, yang perlu diingat ialah bahwa sebab turunnya ayat pada hakikatnya hanyalah salah satu alat bantu berupa contoh untuk menjelaskan makna redaksi-redaksi ayat al-qur’an, namun cakupannya tidak terbatas pada ruang lingkup sebab turunnya suatu ayat.72 Bagaimana al-Qur’an bisa menjadi petunjuk segala zaman, bila memahaminya hanya berlaku dalam satu kasus, tidak berlaku umum. Oleh karena itu, menurut hemat penulis seorang mufassir yang akan menafsirkan al69 Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, (Jakarta :LPPI IIQ, 1987), h. 6 Abdurahman Dahlan, Penafsiran al-Qur ’an…, h. 91 71 Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyân Fî Ulûm al-Qur ’an, (Cairo : Dâr al-Shâbuni, 1999), 70 h. 27 72 Abdul Rahman Dahlan,Penafsiran Al-Qur'an…, h. 91 39 Qur’an harus berpegang pada ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber utama untuk mengkaji ajaran Islam dan hadis Nabi saw. Sebagai sumber kedua setelah alQur’an, karena salah satu fungsi hadis adalah untuk menjelaskan maksud ayatayat al-Qur’an. Namun ada pendapat ulama yang jumlahnya minoritas menyebutkan ﺍﻟﻌﱪﺓ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﻻ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔـﻆartinya penafsiran ayat al-Qur’an berdasarkan latar belakang turunnya ayat, bukan hanya dilihat dari teks ayat.73 Pendapat ini berbeda dengan pendapat jumhur (mayoritas) ulama di atas. Pendapat ini menggunakan pendekatan maqâsid al-syarî’ah (tujuan dari penerapan hukum islam) yang antara lain melihatnya dari segi mashlahah mursalah. Oleh karena itu, apabila ada pertentangan antara nash dan nalar akal, maka nash diabaikan dan diambil nalar akal. Dengan demikian asbâb alnuzûl merupakan patokan utama dari teori ini. Hal ini dapat dilihat pada pendapat tim penulis Paramadina yang menulis buku berjudul Fiqih Lintas Agama menggunakan pendekatan maqâshid al-syarî'ah yang mengutip pendapat al-Syathibi. Menurutnya dalam syariat terdapat beberapa varian yang mesti dipahami secara utuh, antara lain hukum, tujuan umum, dalil, dan ijtihad. Hal ini menunjukkan bahwa syariat tidak hanya hukum belaka, karena ada varian lain yang sangat penting yaitu tujuan-tujuan utama (maqâshid al-syarî'ah)… dan inti dari maqâshid al-syarî’ah adalah kemaslahatan, yang didefinisikan sebagai mengambil yang bermanfaat dan menghindari yang rusak (jalb al-manâfi wadar'u al-mafâsid)… Selanjutnya dia menegaskan, bahwa agama tidak hanya memuat yang menekankan aspek ritual dan peribadatan (al-taabbudi), tetapi juga membawa misi kemaslahatan bagi manusia (al-mashlahah alâmmah).74 Muhammad Abdul Azhim al-Zarqâni, Manâhilu al-‘Irfân Fî Ulûm al-Qur ’an, (Bairut :Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), h. 75 74 Nurcholish Majid et. al., Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet.VI., h. 10. 73 40 Sejalan dengan kaidah di atas, Zuhairin Misrawi memberi kata pengantar pada buku karya Verdiansyah mengatakan, Manakala melihat perkembangan pemikiran keagamaan di atas, sejatinya diupayakan langkah progresif guna melahirkan tafsir keagamaan yang dapat menjawab kebutuhan kontekstual, terutama menyangkut pembebasan masyarakat dari ketertindasan dan pencerahan dari dogmatisme. Tafsir atas teks-teks suci sejatinya tidak hanya dalam bingkai pembenaran terhadap teks atau pembelaan pada Tuhan semata, melainkan harus menyentuh persoalan persoalan riil dalam masyarakat, seperti pembebasan dari kemiskinan, pendidikan, pembusukan politik, dan segala bentuk penindasan.75 Tafsir emansipatoris juga sejalan dengan kaidah di atas, maka tafsirnya tidak lagi berangkat dari teks, akan tetapi berangkat dari realitas kemanusiaan. Dalam tafsir emansipatoris, analisis sosial merupakan alat bantu guna memahami problem-problem sentral kemanusiaan. Ini disadari, karena agama dalam tataran sosiologi antropologis merupakan proses akulturasi dengan budaya. Di satu sisi agama membentuk budaya, tapi disisi lain budaya juga membentuk agama.76 Untuk itu perlu pemetaan dalam menganalisis pemikiran atau penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat-ayat jender dalam Tafsir Al-Mishbah. Oleh karena itu penulis berpendapat, orang yang memahami alQur’an berangkat dari qath’i dan zhanni, maka dalam penafsiran ayat-ayat alQur’an dia cenderung pada tekstual, dan sebaliknya orang yang memahami alQur’an berangkat dari akidah dan mu’amalah, maka dalam penafsiran ayatayat al-Qur’an dia cenderung menafsirkan ayat al-Qur’an secara kontekstual. Kemudian perlu juga dalam analisis data ini menggunakan metodologi tafsir yaitu : 75 Very Vedrdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, (selajutnya tertulis Islam Emansipatoris) (Jakarta: P3M, 2004), h. xxiii 41 a. Metode ijmâli, yaitu metode global yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an kepada makna gobal ( garis besar) yang berdasarkan urutan bacaan dan susunan al-Qur'an.77 b. Metode tahlili, yaitu metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya berdasarkan urutan ayat dalam al-Qur'an, mulai dari mengemukakan arti kosakata, munasabah antar ayat, antar surat, asbâb al-nuzûl, makna mufradât (kosa kata), dan lainnya.78 c. Metode maudlu'iy. Metode ini mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur'an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus serta hubungan persoalanpersoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya. Dengan demikian semua persoalan tersebut kait-mengkait bagaikan satu persoalan, sebagaimana metode yang ditempuh oleh Muhammad Syaltut dalam kitab tafsirnya. Kedua, menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat al-Qur'an kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh ayat-ayat tersebut sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya. 79 d. Metode Muqâran (komparasi), yaitu membandingkan ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Yang termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al- 76 Very Vedrdiansyah, Islam Emansipatoris…, xxiii Abdu al-Hay al-Farmawi, al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudhu'i (selanjutnya tertulis Tafsir Maudhu’i) (Mesir: al-Hadhârah al-Arabiyah, 1977), h. 43 78 Abdu al-Hay al-Farmawi, Tafsir al-Maudhû'i…, h. 24 79 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur ’an…, h. 117 77 42 Qur'an dengan hadis-hadis Nabi saw. yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur'an.80 Kerangka teori di atas akan dirujuk sebagai pisau analisis dalam memaknai penafsiran Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah. F. Metodologi Penelitian 1. Sumber Penelitian Masalah yang akan dibahas dalam disertasi ini adalah penafsiran ayatayat jender menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah. Untuk mendapatkan data dan fakta yang akurat dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Karena studi ini menyangkut Tafsir al-Mishbah secara langsung, maka sumber data primernya (pokoknya) adalah Tafsir al-Mishbah mulai dari volume 1 sampai 15 yang dicetak tahun 2000–2004 karya Muhammad Quraish Shihab dan karya karya beliau lainnya. Adapun sumber data sekundernya (pendukungnya) adalah: a. Buku-buku para pakar jender yang terkait dengan masalah antara lain: "Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an," karya Nasaruddin Umar, "Tata Kehidupan Wanita dalam Syari'at Islam," karya Ahmad Junaidi Ath-Thayyibi, "Mengembalikan Hak-Hak Politik Perempuan, sebuah Perspektif Islam," karya Muhammad Anas Qasim Ja'far,"Wanita dalam Konsep Islam Modernis," karya Faisar Ananda Arfa, "Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan," karya Very Verdiansyah, "Memahami Keadilan dalam Poligami," karya Arij Abdurrahman As-Sanan, 80 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur ’an…, h. 118 43 "Kedudukan Wanita Dalam Islam," karya Yusuf Qardhawi, "Taaddud alZaujât fi al-Islâm," karya Abdullah Nashih Ulwan, "Gelombang Tantangan Muslimah," karya Anwar Jundi, "Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam," karya Lembaga Daru al-Tauhid, "Islam Menggugat Poligami," karya Siti Musdah Mulia, "Wanita dalam Al-Qur’an," karya Muhammad Mutawali Sya’rawi, "Huqûq al-Mar’ah fi al-Mujtama al-Islâmy," karya Jamaluddin Muhammad Mahmud. b. Karya-karya yang berupa Tesis dan Disertasi yang terkait antara lain seperti, "Metodologi Muhammad Quraish Shihab dalam Menafsirkan Al-Qur'an," karya Istianah, "Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender pada Tafsir AlSya'rawi," karya Istibsyarah, "Kemitrasejajaran Pria dan Wanita dalam Perspektif Islam," karya Zaitunah Subhan. c. Kitab kitab tafsir yang dianggap representatif yang terkait dengan masalah antara lain : 1) Tafsir Jâmi' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an, karya Muhammad Ibnu Jarir Ibnu Yaziz Ibnu Katsir Ibnu Ghalib Al-Thabari (224 H/839 M-310 H/925 M.) Mazhab Syafii dan Tafsir al-Qur'an al-Azhim karya Ismail Ibnu Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi (W. 774 H.) yang lebih dikenal dengan Ibnu Katsir yang bermazhab Syafii. Kedua tafsir ini mewakili tafsîr bi al-ma'tsûr. 2) Tafsir al-Kasysyâf 'An Haqâiq Gowâmidh al-Tanzîl Wa Uyûn alAqâwil fi Wujûh al-Ta'wîl, karya Mahmud Ibnu Umar al-Zamakhsyari (467H/1075M.- 538H/1144M.) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak adabi, bermazhab Hanafi dan beraliran Mu'tazilah 3) Tafsir Nuzhum al-Durar fi Tanâsub al-âyât wa al-Suwar karya Burhan al-Din abu al-Hasan Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa'I (809H/1406M— 44 885H/1480M) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak balaghi bermazhab al-Asy'ari al-Syafii. 4) Tafsir al-Munîr karya Wahbah al-Zuhaily yang lahir pada 1351 H./ 1932 M. termasuk tafsir al-'aqly al-ijtihâdy yang bermazhab Hanafi 5) Tafsir al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'an karya Muhammad Husen alThabathaba'i (1321 H./1903 M. – 1402 H./1981 M.) termasuk tafsir bi al-ra'yi bermazhab al-Syi'I al-Itsna Asyar 6) Tafsir al-Marâgi karya Ahmad Ibnu Mushthafa al-Marâgi (1300H/1883M-1371H/1952M) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak adab ijtimâ'i bermazhab al-Syafi'i al-Asy'ari. 7) Tafsir al-Asâs fi al-Tafsîr karya Said Hawa (W. 1411 H./1990 M.) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak adab ijtimâ ’i bermazhab Sunny 8) Tafsir Fî Zhilal al-Qur'an karya Sayyid Ibnu Quthub Ibnu Ibrahim (1326 H./1908 M. – 1386 H./1936 M.) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak adab ijtimâ'i bermazhab sunny al-Asy'ari 9) Tafsir al-Manâr karya Muhammad Abduh (1266 H./1850 M. – 1323 H./1905 M.) dan Muhammad Rasyid Ridho (1282 H./1865 M. —1354 H./1935 M.) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak Adabi bermazhab Syafi'i al-Asy'ary. 10) Tafsir Shafwah al-Tafâsir karya Muhammad Ali Ibnu Jamil al-Shabuny (1347 H./1928 M.) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak Adabi bermazhab al-Sunny al-Asy'ari. Jadi sumber yang digunakan dalam penulisan ini ada dua, yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer yaitu sumber yang ditulis langsung oleh 45 Muhammad Quraish Shihab sendiri seperti kitab Tafsir al-Mishbah dan karya karya yang lainnya, sedangkan sumber sekunder yaitu sumber yang ditulis oleh orang lain yang berkaitan dengan penulisan ini. 2. Langkah Langkah Penelitian Setelah permasalahan dirumuskan, maka penulis melakukan beberapa langkah yaitu: a. Langkah awal penulis mengumpulkan ayat-ayat tentang perempuan dengan menggunakan tiga kitab yaitu: ٨١ ﺗﺒﻮﻳﺐ ﺍ ﻱ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺣﻴﺔ ﺍﳌﻮﺿﻮﻋﻴﺔ ٨٢ ﻣﻌﺠﻢ ﺍﻟﻔﺎﻅ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ ٨٣ ﺍﳌﻌﺠﻢ ﺍﳌﻔﻬﺮﺱ ﻻﻟﻔﺎﻅ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ Dari hasil penelitian tersebut penulis menemukan 110 kata dalam 107 ayat, terdiri dari kata ﺍﻣﺮﺃﺓsebanyak 25 ayat, dari kata ﺍﻟﻨـﺴﺎﺀ/ ﻧﺴﻮﺓsebanyak 55 ayat dan dari kata ﺍﻧﺜــﻰjamaknya ﺍﻧــﺎﺙsebanyak 27 ayat. Kemudian diklasifikasikan sesuai dengan topik yang ada dalam penulisan ini. b. Kemudian untuk mengetahui ayat-ayat yang bernuansa jender yang ada pada Tafsir al-Mishbah dapat dirujuk pada buku buku yang membahas ayat-ayat jender. c. Untuk mengetahui perbedaan penafsiran antara Muhammad Quraish Shihab dengan pakar lain, dapat dibandingkan antara ayat-ayat yang ada 81 Ahmad Ibrahim Mahna, Tabwîb Ay al-Qur'an al-Karîm Min al-Nâhiyah al-Maudhûiyah, Cairo: Daar al-Sya'b, t.t. ), Jilid IV. h. 85-97 82 Ibrahim Madkur, Mu'jam al-Fâdh al-Qur'an al-Karîm, (Cairo: Majma' al-Lughah alArabiyah al-Idârah al-‘âmah lil Mu'jamât Wa Ihya al-Turats, 1988 ), jilid I & II 83 Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu'jam al-Mufahrasy li Alfâdh al-Qur'an al-Karîm, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 1986) 46 pada Tafsir al-Mishbah dengan kitab-kitab tafsir lain dan buku-buku yang menulis tentang ayat-ayat jender. d. Untuk mengetahui latar belakang keluarga, pendidikan, karier dan karya intelektual Muhammad Quraish Shihab dapat dirujuk melalui Tafsir alMishbah dan karya-karya beliau yang lain, dan wawancara tertulis dengan beliau dan mengutip tulisan orang lain yang menulis tentang riwayat hidup Muhammad Quraish Shihab. e. Untuk mengetahui metode dan instrumen penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat ayat jender, dirujuk pada Tafsir Al-Mishbah yang dikaitkan dengan kitab-kitab ulum al-Qur’an. f. Untuk mengetahui pemikiran yang murni dari Muhammad Quraish Shihab dan pemikiran yang hanya menukil atau membandingkan antara para mufasir, penulis membandingkan sedemikian rupa antara kitab Tafsir alMishbah dengan tafsir-tafsir yang lain. g. Langkah terakhir adalah mengambil kesimpulan (natijah) yang berkaitan dengan rumusan masalah atau jawaban dari rumusan masalah. Setiap ayat yang akan dianalisis diterjemahkan terlebih dahulu yang diambil dari CD ROM al-Qur'an, setelah diterjemahkan baru diperbandingkan antara kitab-kitab tafsir baik yang klasik maupun yang kontemporer dengan Tafsir al-Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab. G. Sistematika Penelitian Penulisan desertasi ini mengikuti pedoman penulisan ilmiah yang dikeluarkan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sedangkan sistematikanya adalah sebagai berikut: Bab pendahuluan atau bab pertama, memuat pembahasan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan 47 kepustakaan, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian Bab kedua, tafsir al-Mishbah dan penafsirnya, memuat pembahasan tafsir al-Mishbah mencakup (nama yang dipilih, motifasi yang mendorong penulisannya, sumber penafsiran yang dirujuk, metode penafsiran yang dipilih, corak penafsiran yang menjadi kecenderungannya dan sistematika penulisannya, riwayat hidup Muhammad Quraish Shihab mencakup riwayat hidup Muhammad Quraish Shihab mencakup (latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, latar belakang karier, dan pengabdian, dan karya-karya intelektual). Bab ketiga, pembahasan sekilas tentang teori jender yang memuat pengertian jender, atribut dan identitas jender, biologi/jender, perilaku manusia dan jender menurut Muhammad Quraish Shihab Bab keempat, analisis penafsiran ayat-ayat jender dalam tafsir alMishbah yang memuat term-term jender dalam al-Qur'an, ayat-ayat penciptaan manusia, ayat-ayat kewarisan, persaksian, ayat-ayat kepemimpinan, dan ayatayat poligami. Bab kelima yaitu bab penutup, memuat kesimpulan dari penelitian dan saran-saran yang dianggap perlu. 48 BAB II TELAAH TENTANG TAFSIR AL-MISHBAH A. Tafsir Al-Mishbah Diantara karya-karya Muhammad Quraish Shihab adalah Tafsir alMishbah yang dapat dikatakan sebagai karya monumental. Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini mulai ditulis pada tahun 2000 sampai 2004. Dengan terbitnya tafsir ini, semakin mengukuhkan Muhammad Quraish Shihab sebagai tokoh tafsir Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Dalam tafsir tersebut penulis ingin memaparkan beberapa hal antara lain : 1. Nama Yang Dipilih Adapun penamaan tafsirnya dengan al-Mishbah, bila dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Mishbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yang memberi penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Dengan memilih nama ini, dapat diduga bahwa Muhammad Quraish Shihab dalam tafsirnya berharap dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara langsung karena kendala bahasa. Hamdani Anwar menyatakan: Bahwa ada dua hal yang dapat dikemukakan sebagai alasan dari pemilihan nama tersebut. Pertama, dari segi fungsinya yaitu al-Mishbah berarti lampu yang gunanya untuk menerangi kegelapan. Dengan memilih nama ini, penulisnya berharap agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai penerang bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pedoman hidup. Kedua, didasarkan pada awal kegiatan Muhammad Quraish Shihab dalam hal tulis menulis di Jakarta. Pada saat dia tinggal di Ujung 48 49 Pandang, dia sudah aktif menulis dan banyak karya yang dihasilkannya, namun produktifitasnya sebagai penulis dapat dinilai mulai mendapat momentumnya setelah ia bermukim di Jakarta. Pada tahun 1980-an ia diminta untuk menjadi pengasuh dari rubrik “Pelita Hati” pada harian Pelita… pada tahun 1994 kumpulan dari tulisannya itu diterbitkan oleh Mizan dengan judul “Lentera Hati” yang ternyata menjadi best seller dan mengalami cetak ulang beberapa kali. Dari sinilah kata Hamdani Anwar tampaknya pengambilan nama al-Mishbah itu berasal, bila dilihat dari maknanya.1 2. Motivasi Yang Mendorong Penulisannya Muhammad Quraish Shihab mengatakan: Latar belakang terbitnya tafsir al-Mishbah ini adalah diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul "Tafsir al-Qur'an al-Karim" pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak, bahkan sebahagian mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata atau kaiadah-kaidah yang disajikan. Akhirnya Muhammad Quraish Shihab tidak melanjutkan upaya itu. Disisi lain banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari alQur'an, seperti surah yasin, al-Waqi'ah, al-Rah'man dan lain lain merujuk kepada hadis dhoif, misalnya bahwa membaca surat al-Waqi'ah mengandung kehadiran rizki. Dalam Tafsir al-Mishbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur'an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar. 2 Sedangkan menurut Herman Heizer yang dimuat pada Majalah Tsaqafah menyebutkan: Bahwa latar belakang penulisan Tafsir al-Mishbah paling sedikit ada dua alasan utama. Pertama, keprihatinan terhadap kenyataan bahwa ummat islam Indonesia mempunyai ketertarikan yang besar terhadap alQur'an, tapi sebahagian hanya berhenti pada pesona bacaannya ketika dilantunkan, seakan akan kitab suci ini hanya untuk dibaca. Padahal menurut Muhammad Quraish Shihab bacaan al-Qur'an hendaknya disertai dengan kesadaran akan keagungan-Nya disamping pemahaman dan penghayatan yang disertai dengan tadzakkur dan tadabbur. Kedua, tidak sedikit ummat islam yang mempunyai ketertarikan luar biasa 1 Hamdani Anwar, Mimbar Agama & Budaya, (selanjutnya tertulis Mimbar Agama) Vol.XIX, No.2 ,2002 , h. 176 2 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Ciputat : Lentera Hati, 2000), Vol.I, h. ix 50 terhadap makna-makna al-Qur'an, tetapi menghadapi berbagai kendala, terutama waktu, ilmu-ilmu yang mendukung dan kelangkaan buku-buku rujukan yang memadai dari segi cakupan informasi, jelas, dan tidak bertele-tele.3 Jadi jelaslah bahwa latar belakang terbitnya Tafsir al-Mishbah dikernakan adanya antusias masyarakat terhadap al-Qur'an dengan cara membaca dan melagukannya. Namun, dari segi pemahaman terhadap alQur'an masih jauh dari memadai karena faktor bahasa dan ilmu yang kurang memadai. Sehingga tidak jarang orang membaca ayat-ayat tertentu untuk mengusir hal-hal yang gaib sperti jin dan setan serta lainnya. Padahal yang semestinya ayat-ayat itu harus dijadikan sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia. 3. Sumber Penafsiran Yang Dirujuk Hamdani Anwar mengatakan:”Bahwa sumber penafsiran yang dipergunakan pada tafsir al-Mishbah ada dua, pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Sedang yang kedua, adalah bahwa dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa para ulama, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”4 Selanjutnya Hamdani Anwar mengatakan: Sementara itu, selain dari mengutip pendapat para ulama, Muhammad Quraish Shihab juga mempergunakan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. sebagai bagian dari penjelasan dari tafsir yang dilakukannya. Biasanya rujukan dari ayat al-Qur’an dan Hadis ditulis dalam bentuk italic (miring), sebagai upaya untuk membedakannya dari rujukan yang berasal dari pendapat ulama atau ijtihadnya sendiri.5 3 Herman Heizer, Tafsir al-Mishbah, lentera bagi ummat islam Indonesia, Majalah Tsaqafah Jakarta, Vol. I. No. 3, 2003, h. 91 4 Hamdani Anwar, Mimbar Agama…, Vol.XIX, No.2 ,2002 , h. 180 5 Hamdani Anwsar, Mimbar Agama…, Vol.XIX, No.2 ,2002 , h. 181 51 Tafsir al-Mishbah bukan semata-mata hasil ijtihad Muhammad Quraish Shihab, hal ini diakui sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantarnya mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan di sini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i (w.885 H/1480 M) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan Disertasi penulis di Universitas al-Azhar, Cairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain.6 4. Metode Penafsiran Yang Dipilih Metode yang dipergunakan Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah yaitu gabungan dari beberapa metode, seperti tahlîli karena dia menafsirkan berdasarkan urutan ayat yang ada pada al-Qur’an, muqâran (komparatif) karena dia memaparkan berbagai pendapat orang lain, baik yang klasik maupun pendapat kontemporer dan semi maudhû’i karena dalam Tafsir al-Mishbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar. Hal tersebut dapat dilihat pada pengakuan Muhammad Quraish Shihab dalam sambutan sekapur sirihnya menegaskan: Dalam konteks memperkenalkan al-Qur’an, dalam buku ini, penulis berusaha dan akan terus berusaha menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surat, atau tema pokok surat. Memang, menurut para pakar, setiap surat ada tema pokoknya. Pada tema itulah berkisar uraian ayat-ayatnya. Jika kita mampu memperkenalkan tema6 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, Vol.I, h. xii 52 tema pokok itu, maka secara umum kita dapat memperkenalkan pesan utama setiap surah, dan dengan memperkenalkan ke 114 surah, kitab suci ini akan dikenal lebih dekat dan mudah.7 5. Bentuk Dan Corak Tafsirnya Bentuk Tafsir al-Mishbah termasuk tafsir bi al-ra ’yi karena di dalam Tafsir al-Mishbah digunakan argumen akal disamping hadis-hadis Nabi. Sedangkan corak (kecenderungan) dalam tafsirnya adalah sosial kemasyarakatan (adab ijtimâ ’i). Hamdani Anwar mengatakan: Corak tafsir tafsir yang berorientasi pada kemasyarakatan akan cenderung mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di masyarakat. Penjelasan-penjelasan yang diberikan dalam banyak hal selalu dikaitkan dengan persoalan yang sedang dialami ummat, dan uraiannya diupayakan untuk memberikan solusi atau jalan keluar dari masalah-masalah tersebut. Dengan demikian, diharapkan bahwa tafsir yang telah ditulisnya mampu memberikan jawaban terhadap segala sesuatu yang menjadi persoalan ummat, dan ketika itu dapat dikatakan bahwa al-Qur’an memang sangat tepat untuk dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk.”8 6. Sistimatika Penulisannya Setiap mufassir pada umumnya memiliki sistem atau pola penulisan yang dipaparkannya. Hal ini untuk mempermudah para pembacanya. Dari data yang berhasil dihimpun, dapat disebutkan bahwa Muhammad Quraish Shihab dalam menulis tafsirnya menggunakan sistematika sebagai berikut : a. Dimulai dengan penjelasan surat secara umum b. Pengelompokkan ayat sesuai tema-tema tertentu lalu diikuti dengan terjemahannya c. Menguraikan kosakata yang dianggap perlu dalam penafsiran makna ayat 7 8 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, Vol.I, h.ix Hamdani Anwar, Mimbar Agama…, Vol.XIX, No.2 ,2002 , h. 184 53 d. Penyisipan kata penjelas sebagai penjelasan makna atau sisipan tersebut merupakan bagian dari kata atau kalimat yang digunakan al-Qur’an e. Ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. yang dijadikan penguat atau bagian dari tafsirnya hanya ditulis terjemahannya saja f. Menjelaskan munasabah antara ayat-ayat al-Qur’an B. Riwayat Hidup Muhammad Quraish Shihab 1. Latar Belakang Keluarga Muhammad Quraish Shihab berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab (1905-1986 M.). Beliau adalah tamatan Jami'at al-Khair Jakarta, yaitu sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang ikut meletakkan fondasi modernisme Islam di Indonesia. Jalinan kerjasama lembaga pendidikan ini dengan pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah, baik Hadramaut, Haramain, maupun Cairo, membawanya pada posisi penting dalam gerakan Islam di Indonesia. Lembaga inilah yang mengundang guru-guru dari kawasan Timur Tengah untuk mengajar. Diantaranya—yang kemudian sangat berpengaruh terhadap perkembangan Islam di negeri ini—adalah Syekh Ahmad Syurkati, ulama asal Sudan Afrika Utara, pendiri al-Irsyad sebuah organisasi sosial keagamaan yang memiliki banyak pengaruh di kalangan keturunan Arab di Indonesia.9 Abdurahman Shihab pernah menjabat rektor IAIN Alaudin Makasar, perguruan tinggi Islam yang mendorong tumbuhnya Islam moderat di 9 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi, (selanjutnya tertulis Tafsir Yang Membumi) Majalah Tsaqafah, Jakarta Vol. I. No.3, 2003, h. 82 54 Indonesia. Ia juga salah seorang penggagas berdirinya UMI (Universitas Muslim Indonesia), yaitu universitas Islam swasta terkemuka di Makasar.10 Ayah Muhammad Quraish Shihab juga dikenal sebagai ahli tafsir, keahlian yang mensyaratkan kemampuan yang memadai dalam bahasa Arab. Muhammad Quraish Shihab sendiri mengaku bahwa dorongan untuk memperdalam studi al-Qur'an—terutama tafsir—datang dari ayahnya. Ayahnya senantiasa menjadi motivator bagi Muhammad Quraish Shihab untuk melanjutkan pendidikan lebih lanjut.11 Mengenang ayahnya Muhammad Quraish Shihab menuturkan:"Beliau adalah pencinta ilmu. Walau sibuk berdagang, beliau selalu menyempatkan diri untuk berdakwah dan mengajar. Bahkan beliau juga mengajar di mesjid. Sebagaian hartanya benar-benar dipergunakan untuk kepentingan ilmu. Beliau menyumbangkan buku-buku bacaan dan membiayai lembaga-lembaga pendidikan Islam di wilayah Sulawesi."12 2. Latar Belakang Pendidikan Muhammad Quraish Shihab adalah putra kelima dari dua belas bersaudara. Dia lahir di Rappang Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944. Kemudian Muhammad Quraish Shihab bercerita, "Sejak kecil, kira-kira sejak umur 6-7 tahun saya sudah harus ikut mendengar ayah mengajar alQur'an. Pada saat-saat seperti itu, selain menyuruh mengaji (belajar membaca al-Qur'an), ayah juga menjelaskan secara sepintas kisah-kisah dalam alQur'an."13 10 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi..., h. 83 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 83 12 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 83 13 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 83 11 55 Dari sinilah benih kecintaan kepada studi al-Qur'an mulai tumbuh. Dengan latar belakang seperti itu, tak heran jika minat Muhammad Quraish Shihab terhadap studi Islam, khususnya al-Qur'an sebagai area of concern mendapatkan lahan subur untuk tumbuh. Hal ini selanjutnya terlihat dari pendidikan lanjutan yang dipilihnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Fâqihiyah. Pada tahun 1958 dalam usia 14 tahun, dia berangkat ke Kairo Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar dan pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadis Universitas al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada tahun 1969 dia meraih gelar M.A. untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Qur'an dengan tesis berjudul Al-I'jâz al-Tasyrî'iy li al-Qur'an al-Karîm.14 Pilihannya untuk menulis tesis mengenai mukjizat al-Qur'an ini bukan sesuatu yang kebetulan, tetapi memang didasarkan pada hasil bacaan Muhammad Quraish Shihab terhadap realitas masyarakat Muslim yang diamatinya. Menurutnya, gagasan tentang kemukjizatan al-Qur'an di kalangan masyarakat Muslim telah berkembang sedemikian rupa sehingga sudah tidak jelas lagi mana yang mukjizat dan mana yang hanya merupakan keistimewaan. Mukjizat dan keistimewaan menurut Muhammad Quraish Shihab merupakan dua hal yang berbeda. Tetapi keduanya masih sering dicampuradukkan, bahkan oleh kalangan ahli tafsir sekalipun.15 14 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (selanjutnya tertulis Membumikan al-Qur ’an) (Bandung : Mizan, 1992), h. 6 15 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 84 56 Menurut Muhammad Quraish Shihab, mukjizat itu tidak ditujukan kepada kaum Muslimin yang memang sudah percaya (iman). Mukjizat merupakan bukti yang membungkamkan lawan, sebab tujuan mukjizat adalah mengantarkan orang menjadi percaya. Mukjizat al-Qur'an pada masa modern sekarang ini, menurut Muhammad Quraish Shihab ialah jika para pakar alQur'an mampu menggali dari al-Qur'an petunjuk-petunjuk yang bisa menjadi alternatif guna memecahkan problem masyarakat. Hal ini sebenarnya sekaligus menjadi tantangan bagi kaum Muslimin, terutama tertuju kepada kalangan cendekiawan. Jadi mereka harus mampu merespon problematika masyarakat modern sekaligus memberikan solusinya berdasarkan petunjuk-petunjuk dari al-Qur'an. Di sinilah juga letak pentingnya ilmu-ilmu al-Qur'an itu.16 Mukjizat al-Qur'an harus mampu membungkam lawan dan membuat mereka percaya. Dari pendapatnya ini dapat disimpulkan bahwa konsep mukjizat merupakan sesuatu yang berkembang dan terus berkembang. Sesuatu yang dulu merupakan mukjizat, sekarang dalam waktu dan konteks yang berbeda hanya menjadi keistimewaan al-Qur'an. Muhammad Quraish Shihab menunjuk bahasa al-Qur'an sebagai salah satu contohnya. Gagasan mukjizat semacam itu, menurut Muhammad Quraish Shihab sejalan dengan klaim universalitas al-Qur'an.17 Keinginan Muhammad Quraish Shihab belajar ke Kairo Mesir ini terlaksana atas bantuan beasiswa dari pemerintah daerah Sulawesi (waktu itu wilayah Sulawesi belum dibagi menjadi Sulawesi Utara dan Selatan). Mesir dengan Universitas al-Azhar, seperti diketahui, selain merupakan pusat gerakan pembaharuan Islam, juga merupakan tempat yang tepat untuk studi al16 17 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 84 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 84 57 Qur'an. Sejumlah tokohnya, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho adalah Mufasir kenamaan. Pelajar Indonesia yang melanjutkan studinya ke Mesir cukup banyak. Mesir bahkan menjadi saingan Haramain dalam studi Islam.18 Sejak di Indonesia minat Muhammad Quraish Shihab adalah studi alQur'an. Oleh karena itu, ketika nilai bahasa Arab yang dicapai di tingkat menengah dianggap kurang dan tak diizinkan melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar, Muhammad Quraish Shihab bersedia mengulang satu tahun. Padahal dengan nilai yang dicapainya itu, sejumlah jurusan lain di lingkungan al-Azhar bersedia menerimanya. Bahkan menurut penuturannya, dia juga diterima di Universitas Cairo (Darul Ulum). Belakangan Muhammad Quraish Shihab mengakui bahwa pilihannya itu ternyata tepat. Selain merupakan minat pribadi, pilihan untuk mengambil bidang studi al-Qur'an rupanya sejalan dengan besarnya "kebutuhan umat manusia akan al-Qur'an dan penafsiran atasnya."19 Setelah meraih gelar magister untuk spesialisasi tafsir al-Qur’an, dia kembali ke tanah air Indonesia dan langsung diberi kepercayaan untuk menduduki berbagai jabatan. Meskipun sudah menduduki sejumlah jabatan, semangat Muhammad Quraish Shihab untuk melanjutkan pendidikannya tetap tinggi, karena ayahnya selalu berpesan agar anaknya berhasil mencapai gelar doktor.20 Oleh karena itu ketika ada kesempatan untuk melanjutkan studi, tepatnya pada tahun 1980, Muhammad Quraish Shihab kembali ke Kairo dan 18 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 82 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 83 20 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h.86 19 58 melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1982, dengan disertasi berjudul "Nazhm al-Durar li al-Biqâ'iy, Tahqîq wa Dirâsah," dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu alQur'an dengan yudisium summa cum laude, disertasi penghargaan tingkat I (mumtâz ma'a martabat al-syaraf al-‘ûla).21 Muhammad Quraish Shihab menulis judul tersebut karena dia tertarik dengan seorang tokoh yang bernama Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa'i, pengarang Tafsir Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-âyat wa al-Suwar. Alasannya karena tokoh ini hampir terbunuh gara-gara kitab tafsirnya tersebut. Tokoh tersebut dinilai oleh banyak pakar sebagai ahli tafsir yang berhasil menyusun suatu karya yang sempurna dalam masalah perurutan atau korelasi antar ayat dan surat-surat al-Qur'an. Sementara ahli tafsir bahkan menilai bahwa kitab tafsirnya itu merupakan ensiklopedi dalam bidang keserasian ayat-ayat dan surat-surat al-Qur'an.22 Melihat dari latar belakang penulisan disertasi di atas, maka sedikit banyak Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an tentunya dipengaruhi oleh tokoh yang dia kaguminya, yaitu Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa'i. Oleh karena itu tidak heran jika Tafsir al-Mishbah mempunyai kemiripan dengan Tafsir Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-âyat wa al-Suwar. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh tafsir tersebut terhadap penafsiran Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, penulis akan mencermati dan menganalisisnya. Di Mesir Muhammad Quraish Shihab tidak banyak melibatkan diri dalam aktivitas kemahasiswaan. Namun demikian, dia sangat aktif memperluas 21 22 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an …, h. 6 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 86 59 pergaulannya, terutama dengan mahasiswa-mahasiswa dari negara-negara lain. Karena dengan bergaul dengan mahasiswa asing ada dua manfaat yang dapat diambil. Pertama dapat memperluas wawasan, terutama mengenai kebudayaan bangsa-bangsa lain, dan kedua memperlancar bahasa Arab. 23 Belajar di Mesir, sangat menekankan aspek hafalan. Hal ini juga di alami oleh Muhammad Quraish Shihab. Ia mengakui bahwa jika jawaban ujian tidak persis dengan catatan (buku muqarrar), nilainya akan kurang. Fenomena belajar di Mesir, dalam pengamatan Muhammad Quraish Shihab cukup unik. Pada musim ujian, banyak orang yang belajar sambil berjalan-jalan. Suatu fenomena unik yang tak ditemukan di Indonesia. Selain harus memahami teks yang sedang dipelajari, mereka juga harus menghafalnya. Malam hari membaca dan memahami teks, dan siang harinya menghafalnya. Hal yang sama juga dilakukan Muhammad Qurash Shihab. Biasanya, setelah shalat subuh dia memahami teks, selanjutnya berusaha menghafalnya sambil berjalan-jalan. Muhammad Quraish Shihab sangat mengagumi kuatnya hafalan orangorang Mesir, khususnya dosen-dosen al-Azhar. Dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab, belajar dengan cara menghafal semacam itu bernilai positif, meskipun banyak mendapat kritik dari para ahli pendidikan modern. Bahkan menurut dia nilai positif ini akan bertambah jika kemampuan hafalan itu dibarengi dengan kemampuan analisis. Masalahnya adalah bagaimana menggabungkan kedua hal ini.24 Muhammad Quraish Shihab juga pernah mengikuti pelatihan “Training Program In Strategic Management For Upper Level Government Officials, 23 24 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 83 Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 83 60 Pada The Institute For Training And Development, Amherst Massachussets, Amerika Serikat. 3. Latar Belakang Karier dan Pengabdian Sekembalinya dari Mesir ke Ujung Pandang (1970), Muhammad Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan pada IAIN Alaudin, Ujung Pandang (1974-1980). Selain itu dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur (1967-1980), maupun di luar kampus seperti pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental (1973-1975). Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur"(1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).25 Kemudian dia kembali lagi ke Mesir untuk meneruskan studinya hingga meraih gelar Doktor di bidang Tafsir. Sekembalinya ke Indonesia setelah meraih Doktor dari Al-Azhar sejak tahun 1984 Muhammad Quraish Shihab di tugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pascasarjana dan ahirnya menjadi Rektor IAIN yang sekarang menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1992-1998). Selain itu, diluar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tahun (1985-1998), anggota Lajnah Pentashhih Al-Qur'an Departemen Agama sejak tahun 1989 sampai sekarang, anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional tahun (1988- 25 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an …, h. 6 61 1996).26 Anggota MPR RI 1982-1987, 1987-2002, anggota Badan Akreditasi Nasional (1994-1998), Direktur Pengkaderan Ulama MUI (1994-1997), anggota Dewan Riset Nasional (1994-1998), anggota Dewan Syari’ah Bank Mu’amalat Indonesia (1992-1999) dan Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) Jakarta. Beliau juga pernah meraih Bintang Maha Putra. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional antara lain: pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari'ah, pengurus Konsorsium IlmuIlmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang menjadi Departemen Pendidikan Nasional, Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan disela-sela kesibukannya, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiyah di dalam maupun luar negri.27 Yang tidak kalah pentingnya, Muhammad Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis menulis seperti di surat kabar Pelita. Setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita Hati" Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir alAmanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta yaitu majalah Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majlah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta.28 Disamping itu juga Muhammad Quraish Shihab tercatat dekat dengan tampuk kekuasaan pada masa Orde Baru. Ketika acara tahlilan dalam rangka memperingati meninggalnya Ibu Tien Soeharto ia ditunjuk menjadi penceramah dan memimpin doa. Melalui relasi inilah membuatnya masuk ke kancah politik praktis. Pada Pemilu 1997, ia disebut-sebut menjadi juru kampanye untuk Partai Golkar. Setelah Golkar meraih kemenangan dalam 26 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an …, h. 6 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an …, h. 7 28 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an …, h. 7 27 62 struktur kementrian Kabinet pembangunan VII tercantum nama Muhammad Quraish Shihab sebagai Menteri Agama RI, sehingga dia memegang jabatan rangkap, yaitu sekaligus menjabat rektor UIN Jakarta. Namun tidak lebih dari dua bulan, dia jatuh pada tanggal 21 Mei 1998, sehingga jabatan menteri agama RI tersebut lepas dari tangannya seiring dengan angin reformasi yang melanda Indonesia. Dalam konteks nasional, nama Muhammad Quraish Shihab agaknya tenggelam terbawa arus keluarga cendana yang mendapat stereotif negatif di mata rakyat Indonesia pada umumnya. Kemudian pada tahun 1999, melalui kebijakan pemerintahan transisional Habibie, Muhammad Quraish Shihab mendapat jabatan baru sebagai duta besar Indonesia untuk Pemerintah Mesir, Jibuti dan Somalia. Dan disinilah dia mulai menulis karya besarnya pada tanggal 18 Juni 1999 dan selesai secara keseluruhan pada tahun 2004.29 4. Karya Intelektual Muhammad Quraish Shihab salah seorang intelektual yang produktif dalam dunia keilmuan. Dia banyak menulis, baik berupa buku maupun artikel di berbagai surat kabar dan majalah, Republika, Pelita, majalah al-Amanah, Ulumul Qur'an, Mimbar Ulama dan sebagainya. Dia juga sibuk melakukan dakwah di masyarakat baik secara perorangan maupun lembaga bahkan di berbagai Media elektronika seperti RCTI, Metro dan setasiun setasiun TV Swasta lainnya. Kemudian hasilnya dicetak menjadi buku sebagai karyanya. Kesuksesan Muhammad Quraish Shihab dalam kariernya tidak terlepas dari dukungan dan motivasi keluarga, belaian kasih sayang istri tercinta Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab Dalam Menafsirkan al-Qur ’an ,(selanjutnya tertulis Metodologi Muhammad Quraish Shihab) (Jakarta : Tesis Program Pascasarjana Jurusan Tafsir Hadis UIN Jakarta, 2002), h. 19 29 63 (Fatmawati) yang selalu mendampingi bahtera kehidupan rumah tangganya, demikian pula dengan keempat orang putrinya, Najela Shihab, Najwa Shihab, Nasywa Shihab, Nahla Shihab, dan seorang putranya Ahmad Shihab yang mereka bina, dan kesemuanya turut andil dalam menempuh semangat untuk meraih kesuksesan.30 Karya-karyanya diterbitkan dan disebarkan secara luas, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negri tetangga, seperti Malaysia dan Brunai Darussalam. Diantara karya-karya itu adalah sebagai berikut : a. Karya-karya beliau yang belum penulis miliki antara lain : 1) Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alaudin,1984) 2) Filsafat Hukum Islam (Jakarta : Depag, 1987) 3) Satu Islam Sebuah Dilema, (Bandung: Mizan, 1987) 4) Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI, Unisco, 1990) 5) Tafsir al-Amanah (Jakarta:Pustaka Kartini, 1992) 6) Tafsir al-Qur ’an al-Karim atas surat-surat pendek berdasarkan urutan turunnya (Bandung :Pustaka Hidayah,1997) 7) Pengantin al-Qur ’an (Jakarta: Lentera Hati, 1999) 8) Sejarah dan Ulum al-Qur ’an (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999) 9) Fatwa-Fatwa Seputar al-Qur ’an dan Hadis (Bandung:Mizan, 1999) 10) Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah (Bandung:Mizan, 1999) 11) Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama (Bandung:Mizan, 1999) 12) Fatwa-Fatwa Seputar Tafsir al-Qur ’an (Bandung:Mizan, 1999) 30 Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab …, h. 20 64 13) Menuju Haji Mabrur (Jakarta:Pustaka, Zaman, 1999) 14) Panduan Puasa Bersama Muhammad Quraish Shihab (Jakarta:Republika, 1999) b. Karya-karya beliau yang sekarang ada di tangan penulis adalah sebagai berikut : 1). Mahkota Tuntunan Ilahi; Tafsir Surah al-Fatihah (Jakarta:Untagama,1988) Kemudian dicetak ulang dengan judul “Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil”(Jakarta:Lentera Hati, 1996) Latar belakang penulisan buku ini di antaranya karena surah alFatihah merupakan mahkota tuntunan Ilahi. Dia adalah ummul Qur’an atau induk al-Qur’an. Dari nama-namanya dapat diketahui betapa besar dampak yang dapat diperoleh bagi para permbacanya. Tidak heran jika doa dianjurkan untuk ditutup dengan al-Hamdulillah Rabbil ‘alaimin atau bahkan ditutup dengan surat al-Fatihah. Al-Fatihah (pembuka yang sangat sempurna), nama ini sebagai isyarat bahwa ia adalah pembuka alQur’an dan juga pembuka yang amat sempurna bagi segala macam kebajikan. Surat ini dinamai pula al-Syâfiah (penyembuh) dan alRuqyah (mantera), sebagai isyarat bahwa pembacaan dan pengamalan kandungannya dapat mengantarkan kepada kesembuhan dan dapat dijadikan semacam mantera untuk segala persoalan. Dia juga al-Asas (dasar), karena kandungan surah ini merupakan asas dan dasar bagi segala sikap dan prilaku untuk meraih kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.31 31 1996), h. 1 Muhammad Quraish Shihab, Hidangan Ilahi (ayat-ayat tahlil), (Jakarta : Lentera Hati, 65 2) Membumikan Al-Qur'an (Bandung:Mizan, 1992) Latar belakang terbitnya buku ini adalah ketika penerbit Mizan Bandung menyampaikan maksudnya untuk menerbitkan makalah makalah dan ceramah ceramah tertulis yang pernah disampaikan Muhammad Quraish Shihab dalam berbagai kesempatan. Muhammad Quraish Shihab sendiri menyambut maksud tersebut dengan sangat gembira. Apalagi selama ini sudah banyak kumpulan makalah cendekiawan yang diterbitkan oleh penerbit Mizan. Tetapi ketika langkah dimulai, tampak bahwa pekerjaan itu tidak semudah yang dibayangkan. Makalah-makalah dan ceramah-ceramah Muhammad Quraish Shihab yang disampaikan dalam rentang waktu antara 1975 hingga sekarang (sebelum terbit buku), kemudian diseleksi. Dari penyeleksian itu tampak bahwa sekian bahan yang dihimpun itu masih harus disempurnakan, sekian catatan kaki yang kurang lengkap, dan yang belum tercatat sama sekali, harus dirujuk ulang. Selain itu gaya bahasa makalah-makalah dan ceramah- ceramah itu, banyak yang menggunakan bahasa lisan, sehingga harus diluruskan. Masih banyak lagi kesulitan lainya. Namun demikian, meskipun tidak sempurna secara keseluruhan, ahirnya kesulitan kesulitan itu pun dapat diatasi sehingga terbitlah buku ini.32 Buku tersebut terdiri dari dua bagian. Pertama, tentang gagasan al-qur'an terdiri dari empat bab. Bab I tentang bukti kebenaran al-qur'an, Bab II tentang sejarah perkembangan tafsir, Bab III tentang ilmu tafsir dan problematiknya, Bab IV mengenai gagasan al-Qur'an tentang 32 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung : Mizan, 1992), h. 13 66 pembudayaannya. Kedua, tentang amalan al-qur'an terdiri dari empat bab. Bab I tentang agama dan problematiknya, Bab II tentang islam dan kemasyarakatan, Bab III tentang islam dan tuntunan ibadah, Bab IV tentang islam dan peran ulama. 3) Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994) Buku ini berisikan tulisan-tulisan pilihan Muhammad Quraish Shihab yang pernah dimuat di harian Pelita, sejak tahun 1990 hingga awal 1993. Tulisan-tulisan tersebut dimaksudkan sebagai lentera yang menerangi pembacanya sehubungan dengan berbagai masalah aktual yang dihadapi masyarakat pada saat rubrik tersebut dihidangkan. "Pelita Hati" demikian nama rubrik yang dipilih oleh harian Pelita untuk menampung tulisan-tulisan ini, dan juga tulisan teman-teman lain yang ikut memperkaya rubrik "Pelita Hati". Kata “Hati” sifatnya seperti yang diisyaratkan oleh kata padanannya, "kalbu". “Kalbu” berasal dari bahasa arab yang berakar dari kata kerja Qalaba yang artinya membalik berpotensi untuk berbolak-balik yaitu di suatu saat merasa senang, di saat lain merasa susah, suatu kali mau menerima dan suatu kali menolak. Memang hati tidak konsisten kecuali yang mendapat bimbingan cahaya Ilahi. Dari sinilah, lentera dibutuhkan bagi hati manusia. (Sekalipun tidak sama dengan lentera Ilahi).33 Buku ini terbagi dalam tujuh bagian. Pertama, memahami petunjuk agama. Kedua, memahami taqdir Allah. Ketiga, memahami 33 Muhammad Quraish Shihab, Lentera Hati, (Bandung : Mizan, 1994), h. 7 67 makna sholat. Keempat, memahami potensi ruhaniyah manusia. Kelima, memahami masalah- masalah di sekitar kita. Keenam, memahami kecendekiawanan dan kepemimpinan. Ketujuh, memahami kesatuan sumber agama. 4) Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M.Rasyid Ridha (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994) Buku yang ada pada tangan pembaca ini kata Muhammad Quraish Shihab, berusaha mengetengahkan dua tokoh di bidang tafsir al-Qur’an, metode dan prinsip-prinsip penafsirannya serta keistimewaan dan kelemahan masing-masing, dengan harapan kiranya hasil-hasil pemikiran mereka yang baik dapat lebih dipahami dan dimanfaatkan. Muhammad Quraish Shihab tidak mengklaim bahwa apa yang dikemukakan dalam buku ini merupakan hasil temuan atau analisisnya. Catatan-catatan kaki yang menghiasi buku ini kiranya cukup berbicara bahwa ia adalah kumpulan dari informasi dan analisis sekian pakar terdahulu yang Muhammad Quraish Shihab upayakan untuk diperkaya.34 Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan; suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya alQur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang 34 Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Mannâr, (selanjutnya tertulis Tafsir alMannâr) (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), h.10 68 berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Tokoh utama corak penafsiranm ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad Mustafa al-Maraghi.35 5) Untaian Permata Buat Anakku ; Pesan al-Qur'an untuk mempelai (Bandung: al-Bayan, 1995) Latar belakang terbitnya buku ini adalah permintaan dari anak putri Muhammad pernikahannya. Quraish Anak Shihab putrinya yang akan mengharapkan melangsungkan agar ayahnya menggoreskan untuk mereka nasehat dan petuah yang berkaitan dengan pristiwa bahagia yang mereka hadapi. Bahkan Muhammad Quraish Shihab mengutip kata-kata putrinya secara langsung. Abi, begitu mereka memanggil saya, tuliskanlah nasehat untuk kami, agar menjadi bekal dan kenangan, dan biar didengar dan dibaca orang banyak, sehingga ia semakin terpatri di hati kami." Tentu saja harapan mereka tidak wajar saya abaikan, lebih lebih karena sebentar lagi mereka akan mandiri. Bahkan bagaimana saya abaikan, bukankah nasehat bisa lebih berharga daripada materi ? Apalagi kandungan nasehat ini tidak lain kecuali petunjuk Ilahi yang tersurat atau tersirat dalam al-Qur'an dan petuah petuah Nabi saw yang bertaburan di kitab kitab hadis. Dua sumber yang tidak pernah kering, tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan, tidak pula tersesat yang mengikutinya… Kami penuhi harapan mereka, sambil mempersembahkannya kepada semua yang berkesempatan membacanya, terbuka pula pintu pintu rahmat serta mengalir doa restu, bukan saja untuk anak anak kami, tetapi untuk semua yang telah, sedang dan akan memasuki mahligai pernikahan.36 35 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mannâr …, h. 11 Muhammad Quraish Shihab, Untaian Permata Buat Anakku; Pesan al-Qur'an Untuk Mempelai, (Bandung : Mizan, 1998), Cet. IV.,h. 5 36 69 6) Wawasan al-Qur'an (Bandung:Mizan, 1996) Buku ini sebagian besar merupakan kumpulan makalah yang disajikan Muhammad Quraish Shihab dalam "pengajian istiqlal untuk para eksekutif". Pengajian yang dilaksanakan sebulan sekali itu dirancang untuk diikuti oleh para pejabat, baik yang berasal dari kalangan pemerintah maupun swasta. Namun demikian tidak tertutup bagi siapapun yang berminat, sebagaimana kenyataannya dalam setiap kali pengajian berlangsung. Mengingat tujuan pengajian seperti yang dikemukakan diatas dan menyadari pula kesibukan para pejabat yang tentunya tidak memiliki cukup waktu untuk menerima aneka informasi tentang berbagai disiplin ilmu keislaman, maka dipilihlah al-Qur'an sebagai subyek kajian. Alasannya, karena kitab suci ini merupakan sumber utama ajaran islam yang telah melahirkan sekian banyak disiplin ilmu keislaman, sekaligus menjadi rujukan untuk penetapan bahkan pembenaran sekian rincian ajaran.37 Buku tersebut berisi lima bagian. Pertama, wawasan al-qur'an tentang pokok pokok keimanan. Kedua, wawasan al-qur'an tentang kebutuhan pokok manusia dan soal-soal muamalah. Ketiga, wawasan alqur'an tentang manusia dan masyarakat. Keempat, wawasan al-qur'an tentang aspek-aspek kegiatan manusia. Kelima, wawasan al-qur'an tentang soal-soal penting ummat. 7) Mukjizat Al-Qur'an (Bandung :Mizan, 1997) Ditulisnya buku ini bermula dari saran-saran dari sekian banyak rekan agar Muhammad Quraish Shihab menulis buku yang mudah 37 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, (Bandung : Mizan, 1996), h. xi 70 dicerna menyangkut mukjizat dan keistimewaan al-Qur'an. Setiap saran tersebut disampaikan, Muhammad Quraish Shihab selalu menyambutnya dengan berkata:"Insya Allah pada waktunya akan saya penuhi." Sebelumnya Muhammad Quraish Shihab maju mundur untuk menyelesaikan penulisan buku ini. Pada awal tahun 1995 serta bertepatan dengan bulan suci Ramadhan 1415 H. Muhammad Quraish Shihab dan beberapa temannya ditugaskan mengikuti studi dan latihan strategic management selama sepuluh minggu di satu kota kecil, Amhers, di wilayah Massachussets, Amerika Serikat. Untuk mengobati kerinduan kepada keluarga beliau mengobati dengan cara membaca ayat-ayat al-Qur'an di malam hari. Nikmat membaca ayat-ayat al-Qur'an serta ketenangan batin yang dihasilkannya, mengingatkan kembali tentang saran rekan-rekannya di atas. Setiap lidah membaca ayat yang demikian indah susunan, gaya, dan nadanya, atau setiap nalar menampilkan keistimewaan dan atau mukjizat al-Qur'an baik yang pernah penulis pelajari maupun yang lahir ketika itu, setiap itu pula nalar dan hati bersepakat mendorong untuk menulis dan menulis. Maka pada bulan suci Ramadhan itu mengalirkan ingatan dan ide yang melahirkan puluhan halaman dari karya ini. Waktu itu masih belum dalam bentuknya yang sekarang, karena ketika itu tidak ada literatur yang dapat penulis jadikan rujukan konfirmasi atau pengayaan materi kecuali" Mushhaf saku" al-Qur'an yang tercetak pula bersamanya tafsir Jalalain, asbab al-Nuzul, dan mu'jam ayat ayatnya. Sekembalinya ke tanah air, kesibukan sehari-harinya menghalangi penyelesaian buku ini. Hingga ahirnya pada bulan Ramadhan 1417 71 H/1997M, kembali hati Muhammad Quraish Shihab tergugah bahkan meronta agar tulisan ini segera diselesaikan. Maka penulis membuka kembali lembaran-lembaran yang lama, melanjutkan apa yang pernah ditulis sebelumnya. Pada tahun 1997 ahirnya buku ini terbit.38 8) Sahur Bersama Muhammad Quraish Shihab di RCTI (Bandung:Mizan 1997) Latar belakang terbitnya buku tersebut diungkapkan oleh Muhammad Quraish Shihab: Bahwa pada bulan Ramadhan 1417 H/1997 M. Saya bersama saudara Dr. Arief Rahman mengasuh acara yang oleh Rajawali Citra Televisi Indonesia dinamai Sahur Bersama M.Quraish Shihab. Acara ini dinamakan demikian karena acara tersebut ditayangkan pada saat kaum Muslimin menikmati sahur. Acara tersebut rupanya mendapatkan sambutan positif dari berbagai pihak dan tingkat masyarakat, mulai dari Ibu rumah tangga, pelajar, mahasiswa, dan karyawan hingga pejabat tinggi. Itu antara lain tercermin melalui penyampaian tertulis maupun lisan yang kami terima dan yang diterima oleh RCTI. Ketika itu, tidak jarang yang meminta rekaman kaset video atau mengusulkan penerbitan uraian tersebut secara tertulis. Usul terahir ini, kami sambut dan disambut juga oleh RCTI, Alhamdulillah, Yayasan Wakaf Paramadina mengambil langkah selanjutnya untuk merealisasikannya.39 Buku ini memuat 20 topik yang semuanya berkaitan dengan puasa dan dikemas dengan metode dialog 9) Haji Bersama Muhammad Quraish Shihab (Bandung:Mizan, 1998) Buku ini terbit berdasarkan pengalaman Muhammad Quraish Shihab saat berkali-kali pergi haji dan umrah serta berkali-kali pula membimbing para jamaah haji dan bersama mereka pula melaksanakan 38 39 h. 5 Muhammad Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur'an, (Bandung : Mizan, 1997), Cet. I., h. 7 Muhammad Quraish Shihab, Sahur Bersama M.Quraish Shihab, (Bandung : Mizan, 1997), 72 rukun islam kelima itu. Banyak pengalaman yang Muhammad Quraish Shihab lihat dan rasakan Muhammad Quraish Shihab bersama mereka, dan banyak juga pertanyaan atau tanggapan yang diterimanya.40 Buku ini terdiri dari empat bagian. Pertama, pengertian memahami makna kunjungan. Kedua, ibadah haji. Ketiga, tuntunan praktis mengenai haji. Keempat, amalan setelah haji. 10) Menyingkap Tabir Ilahi (Asma al-Husna dalam Perspektif alQur'an) (Jakarta: Lentera Hati, 1998) Later belakang terbitnya buku ini adalah ada seorang teman yang meminta kepada Muhammad Quraish Shihab untuk menguraikan Asma al-Husna di layar kaca secara berturut turut hingga tuntas. Permintaan itulah yang menggerakkan pena penulis menggoreskan uraian ini. Kandungan buku ini telah dipersiapkan oleh Muhammad Quraish Shihab jauh sebelum tayangan di layar kaca yang sebetulnya singkat dan sederhana. Motifasi penulisannya pun berbeda. Pertama, adanya kesan umum yang dirasakan oleh Muhammad Quraish Shihab dan agaknya juga oleh banyak orang adalah bahwa Allah Dzat yang cinta-Nya merupakan samudra yang tidak bertepi, yang anugrah-Nya langit yang tidak berujung, yang amarah-Nya dikalahkan oleh rahmat-Nya, serta pintu ampunan-Nya terbuka lebar sepanjang saat. Kedua, karena selama ini terkesan bahwa keberagaman sebagian kita, tidak sejalan dengan sifatsifat Allah, padahal keberagaman adalah upaya meneladani Tuhan 40 1998), h. 5 Muhammad Quraish Shihab, Haji Bersama Muhammad Quraish Shihab, (Bandung : Mizan, 73 dalam sifat-sifat-Nya. Seperti yang diucapkan oleh sementara pakar bahwa ummat beragama tidak lagi menyembah Tuhan, tapi menyembah agama. Mereka mempertuhankan agama, tidak mempertuhankan Allah.41 Isi buku ini khusus menjelaskan pengertian Asma al-Husna yang jumlahnya 99 11) Mahkota Tuntunan Ilahi; Tafsir Surah al-Fatihah (Jakarta : Untagama, 1998) Latar belakang terbitnya buku ini antara lain karena surah alFatihah sebagai ummu al-Qur'an yang mengandung pengakuan tauhid, pengakuan atas ke Esaan Allah swt, pengakuan akan adanya hari kemudian, dan semua pengabdian hanya tertuju kepada Allah swt. Disamping itu al-Fatihah juga merupakan pembukaan yang sempurna bagi segala macam kebaikan serta memuat pesan dan tuntunan yang sangat berguna sebagai bekal di dalam kehidupan di dunia dan aherat. Pengahayatan dan pengamalannya lebih mendalam untuk diserap, mendorong hati ummat islam untuk menghayati dan mengamalkannya.42 Buku ini berupa tafsir surah al-Fatihah yang disajikan dengan metode tahlili (analisis) 12) Fatwa Fatwa Seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan, 1999) Buku ini merupakan hasil dari kumpulan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh pembaca harian Republika melalui rubrik "Dialog 41 42 h. 1-2 Muhammad Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi (Jakarta : Lentera Hati, 1998), h.viii Muhammad Quraish Shihab, Mahkota Tuntunan Ilahi, (Jakarta : Untagama, 1998), Cet.I, 74 Jum'at" yang hadir sejak tahun 1992. 43 Buku tersebut berisi tentang shalat, puasa, zakat, dan haji. 13) Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1999) Buku ini merupakan rangkuman dari ceramah-ceramah Muhammad Quraish Shihab pada pengajian yang diselenggarakan di Departemen Agama, Masjid Istiqlal, dan Forum Konsultasi dan Komunikasi Badan Pembinaan Rohani Islam (FOKUS BAPINROHIS) tingkat pusat untuk para eksekutif.44 14) Yang Tersembunyi : Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat (Jakarta: Lentera Hati, 1999) Ide ditulisnya buku ini muncul ketika Muhammad Quraish Shihab mengikuti training tentang manajemen di Amerika Serikat. Pada waktu luang Muhammad Quraish Shihab diminta untuk memberikan ceramah di hadapan mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat dan dilanjutkan dengan diskusi menyangkut agama dan kehidupan. Dalam diskusi tersebut timbul permintaan dari sebahagian mahasiswa di Boston agar penulis berbicara tentang pandangan Islam menyangkut makhluk halus khususnya jin, iblis, dan setan.45 43 Muhammad Quraish Shihab, Fatwa Fatwa Seputar Ibadah Mahdah, (Bandung : Mizan, 1999),h.vii 44 Muhammad Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi :Hidup Bersama al-Qur'an, (Bandung : Mizan, 1999), h. 45 Muhammad Quraish Shihab, Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat, (Jakarta : Lentera Hati, 1999), Cet. I, h. vii 75 15) Tafsir al-Mishbah (Jakarta:Lentera Hati, 2000) Penulisan tafsir ini diawali di Cairo pada tanggal 18 Juni 1999. Acara peluncurannya diselenggarakan pada tanggal 29 Maret 2000 di hotel Mandarin Jakarta. Tampil sebagai pembicara adalah Nurcholish Majid dan Mar'i Muhammad.46 Tafsir ini baru dapat diselesaikan sebanyak 15 Volume secara keseluruhan pada tahun 2004 Muhammad Quraish Shihab mengatakan: Latar belakang terbitnya tafsir al-Mishbah ini adalah diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul "Tafsir al-Qur'an alKarim" pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak, bahkan sebahagian mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata atau kaiadah-kaidah yang disajikan. Akhirnya Muhammad Quraish Shihab tidak melanjutkan upaya itu. Disisi lain banyak kaum muslimin yang membaca surahsurah tertentu dari al-Qur'an, seperti surah yasin, al-Waqi'ah, alRah'man dan lain lain merujuk kepada hadis dhoif, misalnya bahwa membaca surat al-Waqi'ah mengandung kehadiran rizki. Dalam Tafsir al-Mishbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur'an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar. 47 16) Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat ayat Tahlil (Jakarta:Lentera Hati, 2001) Latar belakang terbitnya buku ini berawal dari ide seseorang yang dicintai (tidak disebutkan namanya). Buku Hidangan Ilahi dilengkapi dan disempurnakan dengan uraian tentang doa-doa yang dibaca dalam acara tahlilan, bahkan dilengkapi dengan uraian tentang maut.48 46 Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab …, h. 38 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Ciputat : Lentera Hati, 2000), h. viii 48 Muhammad Quraish Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian Kematian, Surga, dan Ayat Ayat Tahlil, (selanjutnya tertulis Ayat-Ayat Tahlil) (Jakarta : Lentera Hati, 2001), Cet. I., h. vi 47 76 Buku ini mengajak pembaca untuk membayangkan perjalanan menuju keabadian dan menjelaskannya, tanpa menakut-nakuti, atau melebih-lebihkan. Memang, hidup dan mati adalah wewenang muthlak Allah swt. Apalagi dibalik kematian terdapat apa yang belum pernah dilihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terjangkau oleh nalar. Buku ini berbicara tentang alam sesudah adanya kematian, dan mengajak pembaca untuk membayangkan perjalanan manusia menuju keabadian yang dimulai dengan kamatian. Selain itu juga menguraikan pesan ayat-ayat serta doa-doa tahlil.49 17) Menjemput Maut (Jakarta: Lentera Hati, 2002) Terbitnya buku ini diilhami oleh buku "bekal Perjalanan" yang ditulis oleh Muhammad Quraish Shihab sendiri dalam rangka peringatan wafatnya ayah salah seorang sahabatnya. Dalam buku ini ada penambahan beberapa artikel guna lebih melengkapi bekal menuju Allah swt. 50 18) Mistik Seks dan Ibadah (Jakarta: Republika, 2004) Latar belakang terbitnya buku ini adalah karena keterlibatan Muhammad Quiraish Shihab sebagai penulis di Harian Umum Republika sejak awal berdirinya harian tersebut. Kegiatan tersebut terus berlangsung hingga kini, bahkan disela-sela kesibukannya sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah, menteri agama atau duta besar di Mesir, Muhammad Quraish Shihab masih menyempatkan untuk 49 50 Muhammad Quraish Shihab, Ayat-Ayat Tahlil,… h. viii Muhammad Quraish Shihab, Menjemput Maut (Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), h. vi 77 menulis dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikirim ke redaksi harian Republika. Setelah penerbitan dua bukunya yang berjudul Panduan Puasa dan Panduan Sholat mendapat sambutan yang sangat baik, terbitlah buku ketiga yang diberi judul "Mistik Seks dan Ibadah" Judul ini diambil mengingat begitu beragamnya pertanyaan yang diajukan dan melihat ketika masalah tersebut (Mistik, Seks dan Ibadah ) selalu menjadi pembicaraan yang tidak kunjung habis habisnya.51 19) Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta : Lentera Hati, 2004) Latar belakang terbitnya buku ini adalah karena adanya keinginan bahkan desakan untuk menulis persoalan ini yang sudah lama terbetik dalam benak penulis. Desakan itu lahir bukan saja dari banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada penulis menyangkut jilbab yang merupakan busana muslimah ini, baik melalui media masa maupun secara langsung dalam pertemuan dan ceramah agama. Selain itu juga karena ada yang menyalahpahami pandangan Muhammad Quraish Shihab menyangkut persoalan ini. Padahal yang selama ini dikemukakan hanyalah aneka pendapat pakar tentang persoalan jilbab tanpa menetapkan satu pilihan. Sampai terbitnya buku inipun Muhammad Quraish Shihab belum mentarjih dari berbagai pendapat tentang jilbab tersebut.52 51 Muhammad Quraish Shihab, Mistik, Seks dan Ibadah, (Jakarta : Penerbit Republika, 2004), h.vii 52 h.4 Muhammad Quraish Shihab, Jilbab Pakean Wanita Muslimah, (Jakarta : Lentera Hati, 2004), 78 20) Dia Dimana Mana (Jakarta: Lentera Hati, 2004) Muhammad Quraish Shihab setiap menulis buku selalu menjelaskan latar belakang penulisannya. Namun, dalam buku yang berjudul "Dia Dimana mana" dia tidak menyebutkan latar belaknag penulisannya. Namun demikian, pada halaman sekapur sirih Quraish Shihab mengatakan:"Kalau kita merenung dan berfikir secara tulus dan benar, pasti kita akan menyadari bahwa Allah hadir dimana mana. Kita dapat menemukan-Nya setiap saat dan di semua tempat. Pengetahuan manusia dapat mengantarnya kepada pengakuan tentang wujud dan kuasa-Nya. 53 21) Perempuan (Jakarta : Lentera Hati, 2005) Dalam buku ini dijelaskan berbagai persoalan yang menjadi bahan pembicaraan dan diskusi tentang perempuan. Muhammad Quraish Shihab mengharap kiranya buku ini merupakan sumbangsih yang dapat menyingkap sebagian kekhilafan atau kesalahpahaman yang dulu dan sekarang terdengar menyangkut perempuan, khususnya dalam kaitannya dengan ajaran islam. Dalam buku tersebut Muhammad Quraish Shihab juga memohon taufik dan hidayah-Nya sambil berharap kiranya jika terdapat manfaat dari tulisan ini. Dia juga berharap semoga ganjaran yang diperoleh ibu bersama ayah penulis melebihi ganjaran yang diperoleh. Selain itu juga akan semakin bertambah kesyukuran, kekaguman dan kecintaannya kepada istri dan anak-anak 54 53 54 Muhammad Quraish Shihab, Dia Dimana Mana, (Ciputat : Lentera Hati, 2004), Cet.I, h. ix Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta : Lentera Hati, 2005), h. xiii 79 22) 40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta :Lentera Hati, 2005) Buku ini merupakan terjemahan Muhammad Quraish Shihab dari buku yang berjudul ﺍﻻﺭﺑﻌـﻮﻥ ﺍﻟﻘﺪﺳـﻴﺔyang diambil dari judul asli “Forty Hadith Qudsi” karya Ezzeddin Ibrahim. 23) Logika Agama (Jakarta : Lentera Hati, 2005) Buku ini berasal dari satu karya Muhammad Quraish Shihab yang berjudul al-Khawâthir dikala dia sedang belajar pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo. Karya ini ditulis dengan bahasa Arab, kemudian beberapa teman dan juga anak-anak beliau menganjurkan agar karya lama itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena menurut mereka kandungannya masih sangat relevan pada masa kini, disebabkan perubahan yang melanda seluruh dunia dengan membawa nilai-nilai baru dan menjungkirbalikkan banyak nilai lama. Tidak sedikit orang yang menuntut perubahan segala hal, termasuk nilai-nilai dasar agama. Padahal tidak semua hal berubah. Sekian banyak hal yang tetap langgeng walau telah lama tetapi belum usang bahkan belum atau tidak ada gantinya yang sepadan sehingga masih harus dipertahankan. Karya Muhammad Quraish Shihab inimenurut sebahagian temannya- walau telah lama tetapi ia membicarakan masalah yang kini sedang ramai diperbincangkan, disamping karya ini berbicara tentang hubungan agama dengan akal. 55 Mendudukkan persoalan agama dengan akal dewasa ini sangat penting, karena penggunaan rasio dan pengaguman terhadap akal demikian besarnya sehingga bukan saja terjadi desakralisasi tetapi juga 55 Muhammad Quraish Shihab, Logika Agama, (selanjutnya tertulis Logika Agama) (Jakarta : Lentera Hati, 2005), h. 11 80 melampaui sehingga muncul despiritualisasi yang mengingkari atau paling sedikit merasionalkan yang supra-rasional dan mengabaikan atau paling tidak sangat meminggirkan peranan kalbu manusia. Rasio kini telah mengambil tempat melebihi porsinya, sehingga kalbu terpojok, metafisika tersingkirkan, bahkan Tuhan pun nyaris terabaikan, kalau enggan berkata seperti Nietzsche (1844-1900) “Tuhan telah mati” yang juga dikenal sebagai filosof yang bertujuan melahirkan “Superman” Rasio yang diberi peranan melebihi fungsinya dapat membinasakan manusia, karena itu dari waktu ke waktu mereka harus diingatkan. Begitulah beberapa teman Muhammad Quraish Shihab berusaha meyakinkan Muhammad Quraish Shihab untuk menerbitkan buku ini. Kemudian ahirnya buku ini diterbitkan pada bulan Oktober 2005 56 Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan, bahwa Muhammad Quraish Shihab adalah seorang yang produktif dalam tulis menulis dan konsisten menekuni ilmu al-Qur’an sejak kecil hingga sekarang. Hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya dan juga pendidikan yang beliau pedroleh, dan pengabdian yang beliau tekuni seperti mendirikan Pusat Setudi al-Qur’an (PSQ) yang dibangun dua lantai di daerah Ciputat. 56 Muhammad Quraish Shihab, Logika Agama …, h. 13 BAB III SEKILAS TENTANG TEORI JENDER A. Pengertian Jender Kata "jender" diambil dari bahasa Inggris yaitu gender yang berarti jenis kelamin.1 Menurut Nasaruddin Umar arti ini kurang tepat, karena dengan demikian gender disamakan pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin. Persoalannya karena kata jender termasuk kosa kata baru sehingga pengertiannya belum ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.2 Siti Musda Mulia menegaskan bahwa, "Jender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri lakilaki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan.” 3 Kemudian Siti Musda Mulia menyimpulkan bahwa, "Jender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman.”4 Sedangkan Nasaruddin Umar menyimpulkan bahwa, "Jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya."5 1 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1994), Cet. XIII, h. 265 2 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an, (selanjutnya tertulis Kesetaraan Jender) (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. II., h. 33 3 Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Kesetaraan Gender Perspektif Islam, (selanjutnya tertulis Keadilan Jender) (Jakarta: LKAJ, 2003), Cet. II, h. viii 4 Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Jender…, h. ix 5 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 35 ٨١ 82 Dari beberapa pengertian jender di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jender adalah kedudukan laki-laki dan perempuan ditinjau dari segi sosial budaya, ekonomi, politik dan kebijakan suatu negara, bukan dari segi jenis kelamin atau ajaran agama. Maka seks dan jender tentu tidak sama, karena seks adalah ketentuan Allah yang tidak bisa diubah karena sudah merupakan kodrat, sedangkan jender dibuat oleh kesepakatan masyarakat setempat yang sewaktu-waktu akan berubah. B. Atribut dan Identitas Jender Sejak seorang anak dilahirkan, maka seorang anak itu sudah dapat diketahui identitasnya. Jika anak yang dilahirkan memiliki alat kelamin penis, maka disebut anak laki-laki, dan jika memiliki alat kelamin vagina, maka disebut anak perempuan. Setelah identitas seorang anak diketahui, maka masyarakat langsung memberikan atribut yang melekat pada identitas kelaminnya. Orang tuanya mulai membentuk sifat-sifat yang harus dimiliki oleh anaknya sesuai jenis kelaminnya. Jika yang dilahirkan anak laki-laki maka orang tuanya setelah anak mulai mau bermain akan membelikan mobil-mobilan, sedangkan perempuan orang tuanya akan membelikan boneka. Masyarakat memandang bahwa segala kelembutan dan kesabaran adalah kodrat yang harus dijalani seorang perempuan. Anak perempuan yang main tembak-tembakan atau memanjat pohon dikatakan menyimpang. Demikian pula dengan laki-laki, orang tua selalu mewanti-wanti pada mereka untuk tidak gampang menangis, walaupun ditimpa kesedihan atau kekesalan seberat apapun. Penampilan anak laki-laki harus pemberani, kuat, tidak 83 cengeng, rasional, dan selalu harus ada di depan, karena anak laki-laki kelak akan menjadi seorang pemimpin.6 Begitu seorang anak dilahirkan, maka pada saat yang sama ia memperoleh tugas dan beban jender (gender assignment) dari lingkungan budaya masyarakatnya. Jadi beban jender seseorang tergantung dari nilai-nilai budaya yang berkembang di dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat patrilineal dan androsentris, sejak awal beban jender seorang anak laki-laki lebih dominan dibanding anak perempuan.7 Perbedaan jender telah melahirkan perbedaan peran sosial. Kadangkala peran sosial tersebut dibakukan oleh masyarakat, sehingga tidak ada kesempatan bagi perempuan atau laki-laki untuk berganti peranan.8 Dari sini kita dapat melihat tradisi orang arab Saudi Arabia yang membatasi peran perempuan hanya di rumah, sehingga seluruh kehidupannya habis untuk melayani suami dan anak-anaknya di rumah bahkan belanja ke pasarpun dilakukan oleh kaum laki-laki atau suami. Beban kerja yang berat dan jam kerja yang banyak semakin dirasakan oleh perempuan, jika suaminya gagal memperoleh pekerjaan tetap atau diberhentikan dari pekerjaan tetapnya. Suami tidak dapat menjalankan perannya sebagai pencari nafkah, padahal kelangsungan rumah tangga harus tetap di jaga (dapur harus ngebul). Kondisi ini telah memaksa banyak perempuan mengambil alih tugas sebagai pencari nafkah. Namun celakanya alih tugas ini bukan berarti alih tanggung jawab tugas-tugas rumah tangga 6 7 8 Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Jender…, h. 56 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 37 Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Jender…, h. 60 84 (tidak mengerjakan urusan rumah tangga), karena tugas-tugas ini tetap menjadi beban perempuan.9 Selanjutnya Siti Musda Mulia juga mengakui bahwa "Sumber-sumber ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat Islam tidak berasal dari ajaran dasar agama, tetapi lebih pada salah tafsir terhadap agama, seperti yang diperlihatkan sebahagian besar ulama Islam selama berabad abad."10 Penulis sependapat bahwa bias jender itu bukan diakibatkan oleh teks al-Qur'an, tapi akibat penafsiran seorang mufasir. Karena seorang mufasir akan dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, budaya, sosial, politik, ekonomi dan lingkungannya. Namun demikian tidak semua mufasir klasik keliru menafsirkan ayatayat al-Qur'an, sekalipun menurut para mufasir kontemporer sebagian mufasir klasik dianggap bias jender. C. Biologi, Jender, dan Perilaku Manusia Setiap makhluk hidup dapat dikelompokkan pada dua jenis yaitu lakilaki dan perempuan, termasuk didalamnya buah-buahan sebagaimana diungkap dalam (Q.S.al-Ra’d/13:3) ِﻦـﻴﺟﻭﺎ ﺯﻞﹶ ﻓِﻴﻬﻌﺍﺕِ ﺟﺮ ﻛﹸﻞﱢ ﺍﻟﺜﱠﻤﻣِﻦﺍ ِ ﻭﺎﺭﻬﺃﹶﻧ ﻭﺍﺳِﻲﻭﺎ ﺭﻞﹶ ﻓِﻴﻬﻌﺟ ﻭﺭﺽ ﺍﻟﹾﺄﹶﺪ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻣﻮﻫﻭ ( ٣ : ١٣/ﻭﻥﹶ ) ﺍﻟﺮﻋﺪﻔﹶﻜﱠﺮﺘﻡٍ ﻳﺎﺕٍ ﻟِﻘﹶﻮ ﻟﹶﺂﻳ ﺇِﻥﱠ ﻓِﻲ ﺫﹶﻟِﻚﺎﺭﻬﻞﹶ ﺍﻟﻨﺸِﻲ ﺍﻟﻠﱠﻴﻐﻦِ ﻳﻴﺍﺛﹾﻨ Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.(Q.S.alRa'd/13:3). 9 10 Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Jender…, h. 62 Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Jender…,h. 89 85 ( ٤٩ : ٥١/ﻭﻥﹶ ) ﺍﻟﺬﺍﺭﻳﺎﺕﺬﹶﻛﱠﺮ ﺗﻠﱠﻜﹸﻢﻦِ ﻟﹶﻌﻴﺟﻭﺎ ﺯﻠﹶﻘﹾﻨﺀٍ ﺧﻲ ﻛﹸﻞﱢ ﺷﻭَﻣِﻦ Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (Q.S. al-Dzariyat/51: 49) ( ٤٥ : ٥٣/ﺜﹶﻰ )ﺍﻟﻨﺠﻢﺍﻟﹾﺄﹸﻧ ﻭﻦِ ﺍﻟﺬﱠﻛﹶﺮﻴﺟﻭ ﺍﻟﺰﻠﹶﻖ ﺧﻪﺃﹶﻧﻭ Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan lakilaki dan perempuan. (Q.S. al-Najm/53: 45) Berdasarkan ayat-ayat di atas Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa, ”Allah swt. menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Keberpasangan mengandung persamaan sekaligus perbedaan. Persamaan dan perbedaan itu harus diketahui agar manusia dapat bekerja sama menuju citacita kemanusiaan."11 Lelaki dan perempuan keduanya berkewajiban menciptakan situasi harmonis dalam masyarakat. Tentu saja situasi ini harus sesuai dengan kodrat dan kemampuan masing-masing. Ini berarti bahwa kita dituntut untuk mengetahui keistimewaan dan kekurangan masing-masing, serta perbedaan keduanya. Karena tanpa mengetahui hal-hal tersebut, maka orang bisa mempersalahkan dan menzalimi banyak pihak. Dia bisa mempersalahkan interpretasi agama dan menganiaya perempuan karena mengusulkan hal-hal yang justru bertentangan dengan kodratnya.12 Dalam suasana maraknya tuntutan hak asasi manusia serta seruan keadilan dan persamaan, sering kali tanpa disadari, hilang hak asasi dan sirna keadilan lagi kabur makna persamaan yang dituntut itu.13 Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Anis Manshur yang menyatakan bahwa, ”Tidak ada satu masyarakat di seluruh persada dunia ini 11 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (selanjutnya tertulis Perempuan) (Jakarta : Lentera Hati, 2005), h. 2 12 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan,…, h. 3 13 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 3 86 yang mempersamakan lelaki dan perempuan dalam segala hal, tidak pada masyarakat yang sangat maju, tidak juga pada masyarakat yang sangat terbelakang. Memang, lelaki dan perempuan masing-masing mempunyai lima indera, tetapi terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat jelas, dalam dan tajam.”14 Ada tidaknya pengaruh biologi terhadap perilaku manusia para pakar berbeda pendapat, antara lain Nasaruddin Umar mengutip pendapat Unger tentang perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan sebagai berikut : Laki-laki • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • Sangat agresif Independen Tidak emosional Dapat menyembunyikan emosi Lebih objektif Tidak mudah terpengaruh Tidak submisif Sangat menyukai penget. eksakta Tidak mudah goyah terhadap krisis Lebih aktif Lebih kompetitif Lebih logis Lebih mendunia Lebih terampil berbisnis Lebih berterus terang Memahami perkembangan dunia Berperasaan tak mudah tersinggung Lebih suka berpetualang Mudah menghadapi persoalan Jarang menangis Umumnya terampil memimpin Penuh rasaperscaya diri Lebih banyak mendukung sikap 14 Perempuan • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • Tidak terlalu agresif Tidak terlalu independen Lebih emosional Sulit menyembunyikan emosi Lebih subjektif Mudah terpengaruh Lebih submisip Kurang menyukai eksakta Mudah goyah menghadapi krisis Lebih pasif Kurang kompetitif Kurang logis Berorientasi ke rumah Kurang terampil berbisnis Kurang berterus terang Kurang memahami perkemb.dunia Berperasaan mudah tersinggung Kurang suka berpetualang Sulit mengatasi persoalan Lebih sering menangis Tidak umum terampil memimpin Kurang percaya diri Kurang senang terhadap sikap Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 5 87 Agresif • Lebih ambisi • Lebih mudah membedakan antara rasa dan rasio • Lebih merdeka • Tidak canggung dalam penampilan • Pemikiran lebih unggul • Lebih bebas berbicara agresif • Kurang ambisi • Sulit membedakan antara rasa dan rasio • Kurang merdeka • Lebih canggung dalam penampilan • Pemikirang kurang unggul • Kurang bebas berbicara 15 Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Murtadha Muthahari, seorang ulama terkemuka Iran dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Abu al-Zahra al-Najafi ke dalam bahasa Arab dengan judul Nizhâm Huqûq alMar ’ah yang intinya adalah bahwa lelaki secara umum lebih besar dan lebih tinggi dari perempuan, suara lelaki dan telapak tangannya kasar, berbeda dengan suara dan telapak tangan perempuan,… pertumbuhan perempuan lebih cepat dari laki-laki. Namun perempuan lebih mampu membentengi diri dari penyakit dibanding lelaki Lebih cepat berbicara bahkan dewasa dari lelaki. Rata-rata bentuk kepala lelaki lebih besar dari perempuan, tetapi jika dibandingkan dari segi bentuk tubuhnya, maka sebenarnya perempuan lebih besar. Kemampuan paru-paru lelaki menghirup udara lebih besar/banyak dari perempuan, dan denyut jantung perempuan lebih cepat dari denyut lelaki.16 Kemudian Quraish Shihab menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi psikis. Secara umum, lelaki lebih cenderung kepada olah raga, berburu, dan pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding perempuan. Lelaki secara umum cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan cenderung kepada kedamaian dan keramahan, lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara perempuan lebih tenang dan tentram. Perempuan menghindari penggunaan kekerasan terhadap dirinya atau orang lain, karena itu jumlah perempuan yang bunuh diri lebih sedikit 15 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 43 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (selanjutnya tertulis al-Mishbah Vol. 2) (Ciputat: Lentera Hati, 2000) Vol. 2, h. 405 16 88 dari jumlah lelaki. Caranyapun berbeda, biasanya lelaki menggunakan cara yang lebih keras—pistol, tali gantungan, atau meloncat dari ketinggian—sementara perempuan menggunakan obat tidur, racun, dan semacamnya.17 Perasaan perempuan lebih cepat bangkit dari lelaki, sehingga sentimen dan rasa takutnya segera muncul, berbeda dengan lelaki yang biasanya lebih berkepala dingin. Perempuan biasanya lebih cenderung kepada upaya menghiasi diri, kecantikan, dan mode yang beraneka ragam, serta berbeda bentuk. Di sisi lain, perasaan perempuan secara umum kurang konsisten dibanding dengan lelaki. Perepmuan lebih berhati-hati, lebih tekun beragama, cerewet, takut, dan lebih banyak berbasa-basi. Perasaan perempuan lebih keibuan, ini jelas tampak sejak anak-anak. Cintanya kepada keluarga serta kesadarannya tentang kepentingan lembaga keluarga lebih besar dari lelaki.18 Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Prof. Reek, pakar psikologi Amerika, yang telah bertahun-tahun melakukan penelitian tentang lelaki dan perempuan menguraikan keistimewaan lelaki dan perempuan dari segi kejiwaannya, antara lain sebagai berikut: 1. Lelaki biasanya merasa jemu untuk tinggal berlama-lama di samping kekasihnya. Berbeda dengan perempuan, ia merasa nikmat berada sepanjang saat bersama kekasihnya. 2. Pria senang tampil dalam wajah yang sama setiap hari. Berbeda dengan perempuan yang setiap hari ingin bangkit dari pembaringannya dengan wajah yang baru. Itu sebabnya mode rambut dan pakaian perempuan sering berubah, berbeda dengan lelaki. 3. Sukses di mata lelaki adalah kedudukan sosial terhormat serta penghormatan dari lapisan masyarakat, sedangkan bagi perempuan adalah menguasai jiwa raga kekasihnya dan memilikinya sepanjang hayat. Karena itu, lelaki—disaat tuanya—merasa sedih, karena sumber kekuatan mereka telah tiada, yakni kemampuan untuk 17 18 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 406 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 406 89 bekerja, sedang perempuan merasa senang dan rela karena kesenangannya adalah di rumah bersama suami dan anak cucu. 4. Kalimat yang paling indah didengar oleh perempuan dari lelaki, menurut Prof. Reek adalah ”Kekasihku, sungguh aku cinta padamu.” Sedang kalimat yang indah diucapkan oleh perempuan kepada lelaki yang dicintainya adalah ”Aku bangga padamu.”.19 Kemudian M.Quraish Shihab mengutip pendapat Psikolog perempuan, Cleo Dalon, yang menemukan dua hal penting pada perempuan sebagaimana dikutip oleh Murtadha Muthahari dalam bukunya Nizhâm Huqûq al-Mar ’ah : . Pertama, perempuan lebih suka bekerja di bawah pengawasan orang lain. Kedua, perempuan ingin merasakan bahwa ekspresi mereka mempunyai pengaruh terhadap orang lain serta menjadi kebutuhan orang lain. Kemudian Psikolog perempuan itu menyatakan bahwa Menurut hemat saya, kedua kebutuhan psikis ini bersumber dari kenyataan bahwa perempuan berjalan di bawah pimpinan perasaan, sedang lelaki di bawah pertimbangan akal, walaupun kita sering mengamati bahwa perempuan bukan saja menyamai lelaki dalam hal kecerdasan, bahkan terkadang melebihinya. Kelemahan utama perempuan adalah pada perasaannya yang sangat halus. Lelaki berpikir secara praktis, menetapkan, mengatur, dan mengarahkan. Perempuan harus menerima kenyataan bahwa mereka membutuhkan kepemimpinan lelaki atasnya.20 Menurut Muhammad Quraish Shihab:”Ada perbedaan tertentu antara lelaki dan perempuan baik fisik maupun psikis. Mempersamakannya dalam segala hal berarti melahirkan jenis ketiga, bukan jenis laki-laki dan bukan juga perempuan.”21 Muhammad Quraish Shihab selanjutnya menjelaskan: Kita perlu menggarisbawahi bahwa laki-laki dan perempuan keduanya adalah manusia yang sama, karena keduanya bersumber dari ayah dan ibu yang sama. Keduanya berhak memperoleh penghormatan sebagai manusia. Tetapi akibat adanya perbedaan, maka persamaan dalam bidang tertentu tidak menjadikan keduanya sepenuhnya sama. 19 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 406 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 407 21 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 407 20 90 Namun ketidaksamaan ini tidak mengurangi kedudukan satu pihak dan melebihkan yang lain. Maka persamaan di sini harus diartikan kesetaraan, dan bila kesetaraan dalam hal tersebut telah terpenuhi, maka keadilan pun telah tegak, karena keadilan tidak selalu berarti persamaan. Anda telah berlaku adil terhadap dua anak yang berbeda umur, jika anda memberikan keduanya bahan baju yang sama dalam kualitasnya, walau ukurannya berbeda akibat perbedaan badan mereka.22 Di sisi lain, tidaklah adil bila anda menugaskan seorang anak yang masih kecil untuk menyelesaikan pekerjaan yang hanya dapat diselesaikan oleh orang dewasa. Tidak juga adil bila anda menuntut dari seorang dokter untuk membangun jembatan, dan dari seorang petani untuk membelah pasien. Yang adil adalah menugaskan masing-masing sesuai kemam-puannya.23 Perbedaan-perbedaan yang ada itu dirancang Allah swt. agar tercipta kesempurnaan kedua belah pihak, karena masing-masing tidak dapat berdiri sendiri dalam mencapai kesempurnaannya tanpa keterlibatan yang lain.24 Muhammad Quraish Shihab lebih lanjut mengutip pernyataan Anis Manshur yang mengatakan:”Bahwa apakah perbedaan-perbedaan itu adalah dampak perlakuan masyarakat atau memang lahir dari tabiat masing-masing jenis kelamin laki-laki dan perempuan? Ada pendapat, di Taman KanakKanak, anak laki-laki dan perempuan umumnya dididik oleh perempuan, karena hampir semua guru TK adalah perempuan.”25 Ini merupakan indikator, bahwa perbedaan-perbedaan tersebut lahir dari tabiat masing-masing. Nasaruddin Umar menyatakan:”Bahwa kalangan feminis dan ilmuan Marxis menolak anggapan di atas dan menyebutnya hanya sebagai bentuk stereotip jender. Mereka membantah adanya skematisasi perilaku manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin.”26 22 23 24 25 26 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 5 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 6 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 7 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 18 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 44 91 Kalangan feminis dan Marxis berkeyakinan bahwa perbedaan jender tersebut bukan karena kodrat atau faktor biologis (divine creation), tetapi karena faktor budaya (cultural contruction).27 Faisar Ananda Arfa mengatakan:”Bila kita membuka teks book sosiologi apa saja pada saat sekarang ini, maka akan ditemukan bagaimana lapangan sosiologi terbagi kepada dua kubu yang berbeda yakni teori fungsionalis dan teori konflik. Kedua teori tersebut—teori struktural fungsional dan teori sosial konflik—kelihatannya juga diterapkan dalam kajian perempuan.”28 1. Teori Struktural Fungsional Faisar Ananda Arfa mengutip pendapat Soerjono Soekanto yang mengatakan: Pendekatan struktural fungsional ini mengakui adanya keragaman di dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan keragaman pada fungsi sesuai dengan posisi seseorang pada struktur sebuah sistem. Metode fungsionalisme bertujuan untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial di masyarkat. Metode ini berprinsip bahwa unsurunsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi; masing-masing mempunyai fungsi tersendiri terhadap masyarakat. 29 Selanjutnya Faisar Ananda Arfa mengutip pendapat August Comte yang menyatakan:”Bahwa perempuan secara konstitusional bersifat inferior terhadap laki-laki, sebab kedewasaan mereka berakhir pada masa kanak-kanak. Oleh sebab itu August Comte percaya bahwa perempuan menjadi subordinat 27 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 44 Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, (selanjutnya tertulis Wanita Islam Modernis) (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) , h. 42 29 Faisar Ananda Arfa, WanitaIslam Modernis…, h. 43 28 92 laki-laki begitu mereka menikah. Perempuan tidak punya hak untuk bercerai, sebab mereka adalah semata mata budak laki-laki manja.”30 Berkaitan dengan hal ini, Nasaruddin Umar berpendapat:”Bahwa,teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut di dalam masyarkat."31 Walaupun penulis kurang sependapat dengan teori ini untuk dijadikan sebagai tolok ukur perbedaan dan persamaan laki-laki dan perempuan, namun penulis setuju dari segi bahwa fungsi yang berbeda, tentu tugasnyapun berbeda. Hal ini sejalan dengan Muhammad Quraish Shihab yang mengatakan, Sangat sulit untuk menyatakan bahwa perempuan sama dengan lakilaki, baik atas nama ilmu pengetahuan maupun agama. Adanya perbedaan antara kedua jenis manusia itu harus diakui, suka atau tidak. Mempersamakan hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan laki-laki dan bukan perempuan. Kaidah yang menyatakan fungsi/peranan utama yang diharapkan menciptakan alat' masih tetap relevan untuk dipertahankan. Tajamnya pisau dan halusnya bibir gelas, karena fungsi dan peranan yang diharapkan darinya berbeda. Kalau merujuk kepada teks keagamaan baik al-Qur'an maupun Sunnah ditemukan tuntunan dan ketentuan hukum yang disesuaikan dengan kodrat, fungsi dan tugas yang dibebankan kepada mereka.32 Pernyataan di atas sejalan dengan Q.S.Ali Imrân/3:36 : ﺜﹶﻰ ﻛﹶﺎﻟﹾـﺄﹸﻧ ﺍﻟﺬﱠﻛﹶﺮﺲﻟﹶﻴ ﻭﺖﻌﺿﺎ ﻭ ﺑِﻤﻠﹶﻢ ﺃﹶﻋﺍﻟﻠﱠﻪﺜﹶﻰ ﻭﺎ ﺃﹸﻧﻬﺘﻌﺿﻲ ﻭ ﺇِﻧﺏ ﺭﺎ ﻗﹶﺎﻟﹶﺖﻬﺘﻌﺿﺎ ﻭﻓﹶﻠﹶﻤ ( ٣٦ : ٣/ﺟِﻴﻢِ )ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥﻄﹶﺎﻥِ ﺍﻟﺮﻴ ﺍﻟﺸﺎ ﻣِﻦﻬﺘﻳﺫﹸﺭ ﻭﺎ ﺑِﻚﻲ ﺃﹸﻋِﻴﺬﹸﻫﺇِﻧ ﻭﻢﻳﺮﺎ ﻣﻬﺘﻴﻤﻲ ﺳﺇِﻧﻭ 30 Faisar Ananda Arfa, WanitaIslam Modernis…, h. 43 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 51 32 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 351 31 93 Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak lakilaki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk." Begitu juga mencari akhirat banyak jalan yang harus ditempuh sesuai dengan apa yang Allah berikan padanya. Orang kaya dengan kekayaannya, orang berilmu dengan ilmunya, pejabat dengan jabatannya, kaum buruh dengan tenaganya, dan lain lain. Hal ini sesuai dengan Firman Allah ( ٧٧ : ٢٨/ﺓﹶ )ﺍﻟﻘﺼﺺ ﺍﻟﹾﺂﺧِﺮﺍﺭ ﺍﻟﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪﺎﻙﺎ ﺀَﺍﺗﻎِ ﻓِﻴﻤﺘﺍﺑﻭ Artinya: "Carilah akhirat dengan apa yang Allah berikan pada kamu…" (Q.S. al-Qashash/28 : 77). Jadi perbedaan peran diantara manusia tidak mengurangi kesempatan untuk memperoleh pahala di akhirat. Untuk itu kaum perempuan tidak perlu iri hati terhadap kaum laki-laki apabila perannya berbeda dengannya. 2. Teori Konflik Nasaruddin Umar menegaskan bahwa, Dalam soal jender, teori konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx karena begitu kuatnya pengaruh Karl Marx di dalamnya. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa dalam susunan di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Siapa yang memiliki dan menguasai sumbersumber produksi dan distribusi merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama di dalamnya. 33 Lebih lanjut dijelaskan bahwa teori konflik ini menjadi anutan dari feminisme radikal yang melihat tidak ada perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis, sehingga dalam melaksanakan 33 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 61 94 analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka beranggapan berasal dari idiologi partriarki jenis kelamin. Karena itu secara biologis dan politis laki-laki merupakan bagian dari permasalahan. 34 Dalam penjelasan berikutnya Nasarudin Umar menjelaskan:”Bahwa aliran ini juga beranggapan penguasaan laki-laki terhadap fisik perempuan dalam bentuk hubungan seksual, misalnya merupakan bentuk dasar dari penindasan terhadap perempuan, sehingga partriarki merupakan dasar idiologi dari penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual ketika laki-laki memiliki kekuasaan superior dan keistimewaan ekonomi.”35 Faisar Ananda Arfa mengatakan:”Bahwa Feminisme Marxis juga menganut teori konflik, namun mereka menolak biologi adalah dasar pembedaan jender. Menurut mereka, penindasan perempuan adalah bagian penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan kerap diletakkan pada kerangka kritik atas kapitalisme.”36 Letak perbedaan kedua teori tersebut yaitu bahwa teori struktural fungsional melihat bahwa setiap unsur harus berfungsi menurut fungsinya, sehingga laki-laki dan perempuan masing masing harus menjalankan perannya masing masing. Sedangkan teori konflik menekankan pada pembagian kelas berdasarkan ekonomi bukan berdasarkan biologis. Pada prinsipnya penulis kurang sependapat bahwa menafsirkan alQur'an sebagai kebenaran mutlak menggunakan kedua teori tersebut yang sifatnya relatif. Bila penafsiran ayat tidak diketemukan dalam hadis Nabi, baru boleh berijtihad yang instrumennya juga menggunakan ayat al-Qur'an dan 34 35 36 Faisar Ananda Arfa, WanitaIslam Modernis…, h. 54 Faisar Ananda Arfa, WanitaIslam Modernis…, h. 55 Faisar Ananda Arfa, WanitaIslam Modernis…, h. 55 95 hadis. Karena bila kebenaran mutlak mengikuti keinginan manusia, maka langit dan bumi berikut isinya akan hancur. Sesuai firman Allah ﻢ ﻓﹶﻬ ﺑِﺬِﻛﹾﺮِﻫِﻢﻢﺎﻫﻨﻴﻞﹾ ﺃﹶﺗ ﺑ ﻓِﻴﻬِﻦﻦﻣ ﻭﺍﻻﺭﺽ ُ ﻭﺍﺕﻮﻤﺕِ ﺍﻟﺴﺪ ﻟﹶﻔﹶﺴﻢﺍﺀَﻫﻮ ﺃﹶﻫﻖ ﺍﻟﹾﺤﻊﺒﻟﹶﻮِ ﺍﺗﻭ ( ٧١: ٢٣/ﻮﻥﹶ)ﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥﺮِﺿﻌ ﻣ ﺫِﻛﹾﺮِﻫِﻢﻦﻋ Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.S. al-Mu’minûn/23: 71) Sedangkan menafsirkan ayat dengan hadis karena hadis sebagai tibyân (penjelasan) terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Sesuai firman Allah ( ٤٤ : ١٦/ﻭﻥﹶ)ﺍﻟﻨﺤﻞﻔﹶﻜﱠﺮﺘ ﻳﻢﻠﱠﻬﻟﹶﻌ ﻭﻬِﻢﻝﹶ ﺇِﻟﹶﻴﺰﺎ ﻧﺎﺱِ ﻣ ﻟِﻠﻨﻦﻴﺒ ﻟِﺘ ﺍﻟﺬﱢﻛﹾﺮﻚﺎ ﺇِﻟﹶﻴﻟﹾﻨﺰﺃﹶﻧﻭ Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. al-Nahl/16: 44) Selain merupakan penjelasan dari ayat-ayat al-Qur'an, hadis juga memiliki posisi kedua setelah al-Qur'an. Sesuai dengan ayat al-Qur'an ٍﺀـﻲ ﻓِـﻲ ﺷﻢﺘﻋﺎﺯﻨ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺗﻜﹸﻢﺮِ ﻣِﻨﺃﹸﻭﻟِﻲ ﺍﻻﹶﻣﻮﻝﹶ ﻭﺳﻮﺍ ﺍﻟﺮﺃﹶﻃِﻴﻌ ﻭﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﺍ ﺃﹶﻃِﻴﻌﻨ ﺀَﺍﻣﻳﺎﻳﻬﺎﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ ـﺄﻭِﻳﻼ ﺗﻦـﺴﺃﹶﺣ ﻭﺮﻴ ﺧﻡِ ﺍﻟﹾﺂﺧِﺮِ ﺫﹶﻟِﻚﻮﺍﻟﹾﻴﻮﻥﹶ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﻭﻣِﻨﺆ ﺗﻢﺘﻮﻝِ ﺇِﻥﹾ ﻛﹸﻨﺳﺍﻟﺮ ﺇِﻟﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭﻭﻩﺩﻓﹶﺮ ( ٥٩ : ٤/)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. al-Nisâ’/4: 59) Kemudian ditegaskan pula pada ayat-ayat lain seperti surat al-Nisâ’/4 ayat 69-80 dan Ali Imrân/3 ayat 32-132, dan masih banyak ayat yang lain yang menjelaskan tentang posisi hadis sebagai posisi kedua setelah al-Qur'an. 96 Selain kedua teori di atas, Nasaruddin Umar menyatakan bahwa dalam studi jender dikenal beberapa teori yang cukup berpengaruh dalam menjelaskan latar belakang perbedaan dan persamaan peran jender laki-laki dan perempuan antara lain sebagai berikut : 1. Teori Psikoanalisa/Identifikasi Menurut Nasaruddin Umar:”Bahwa teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan bahwa kepribadian seseorang tersusun di atas tiga struktur yaitu id, ego, dan super ego. Tingkah laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu.”37 Pertama, id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis seseorang sejak lahir, termasuk nafsu seksual dan insting yang cenderung selalu agresif. Kedua ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. Ketiga super ego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian, berupaya mewujudkan kesempurnaan hidup, lebih dari sekedar mencari kesenangan dan kepuasan. Super ego juga selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id.38 Nasaruddin selanjutnya mengatakan:”Bahwa menurut Freud sejak tahap phallic, yaitu anak usia antara 3-6 tahun, perkembangan kepribadian anak laki- laki dan anak perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan 37 38 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 45 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 46 97 pembedaan formasi sosial berdasarkan identitas jender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan.”39 Tentu saja pendapat Freud tersebut menimbulkan protes keras dari kalangan feminis, terutama karena tanpa rasa malu ia mengungkapkan kekurangan alat kelamin perempuan.40 2. Teori-Teori Feminis Nasaruddin Umar mengatakan bahwa:"Dalam dua dekade terakhir kelompok feminis memunculkan beberapa teori yang secara khusus menyoroti kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Kelompok feminis berupaya menggugat kemapanan patriarki dan berbagai bentuk stereotip jender lainnya yang berkembang luas di dalam masyarakat.”41 Adapun teori-teori yang lahir dari kelompok-kelompok feminis tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Feminisme Liberal Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya.42 Meskipun dikatakan feminisme liberal, kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal— terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi—aliran ini masih tetap memandang perlu adanya pembedaan (distinction) laki-laki dan perempuan. 39 40 41 42 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 47 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 50 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 64 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 64 98 Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekwensi logis di dalam kehidupan bermasyarakat.43 b. Feminisme Marxis Sosialis Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan di Rusia dengan menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919). Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah.44 c. Feminisme Radikal Menurut kelompok ini, perempuan tidak harus tergantung kepada lakilaki, bukan saja dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan tetapi juga pemenuhan kebutuhan seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan dan kepuasan seksual kepada sesama perempuan. Kepuasan seksual dari laki-laki adalah masalah psikologis. Melalui berbagai latihan dan pembiasaan kepuasan itu dapat terpenuhi dari sesama perempuan.45 Aliran ini mendapat tantangan luas, bukan saja dari kalangan sosiolog tetapi juga di kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal yang banyak berpikir realistis tidak setuju sepenuhnya dengan pendapat ini. Persamaan secara total pada akhirnya akan merepotkan dan merugikan perempuan itu 43 44 45 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 64 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 65 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 67 99 sendiri. Laki-laki yang tanpa beban organ reproduksi secara umum akan sulit diimbangi oleh perempuan.46 Mastuhu mengutip surat kabar Easter Mail yang terbit di Kopenhagen Denmark, Mei 1975 yang memuat protes keras mahasiswi Universitas Kopenhagen terhadap pernyataan pemerintah Denmark yang menghina dan menjatuhkan derajat perempuan. Mereka (para mahasiswi) mengatakan, "Kami tak mau dijadikan barang-barang. Kami ingin tetap berdiam di rumah. Kembalikan sifat-sifat kewanitaan kami. Kami menolak hidup bebas tanpa kendali."47 Mastuhu selanjutnya mengutip Abdurahman al-Baghdadi (1990) menyatakan bahwa Ana Rode seorang penulis perempuan Denmark berkomentar, Masyarakat saat ini selalu menuntut mode dan hidup dengan mode tersebut. Aku tak sudi menuntut mode, aku ingin menjadi perempuan, bukan sebagai benda…. Sesungguhnya, aktivitas-aktivitas yang menjengkelkanku saat ini adalah apa yang menamakan diri sebagai gerakan kebebasan perempuan. Padahal gerakan-gerakan semacam itu tak akan berhasil mengubah suatu kenyataan. Laki-laki selamanya tetap laki-laki dan perempuan selamanya tetap perempuan.48 Sedangkan konsep Islam tentu sangat berbeda dengan konsep-konsep yang lainnya karena Islam menempatkan posisi perempuan pada tempat yang terhormat, seperti aurat perempuan berbeda dengan laki-laki, sehingga pakaiannyapun tentu harus berbeda. Namun dari segi lain banyak kesamaannya, seperti melaksanakan shalat, puasa, zakat, menuntut ilmu, berdakwah, berdagang, menjadi pejabat pemerintahan seperti menjadi hakim, dan lainnya. 46 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 67 Mastuhu, Peran Serta IIQ dalam Membentuk Ulama Wanita Menyongsong Abad XXI, (selanjutnya tertulis Peran Serta IIQ Dalam Membentuk Wanita) Majalah al-Furqan, h. 6 48 Mastuhu, Peran Serta IIQ dalam Membentuk Wanita…, h. 7 47 100 3. Teori Sosio Biologis Nasaruddin Umar menyatakan: Teori ini dikembangkan oleh Pierre Van dan Berghe, Lionel Tiger, dan Robin Fox. Teori ini intinya menyatakan bahwa semua pengaturan peran jenis kelamin tercermin dari biogram dasar yang diwarisi manusia modern dari nenek moyang primat dan hominid mereka. Intensitas keunggulan laki-laki tidak saja ditentukan oleh faktor biologis tetapi oleh elaborasi kebudayaan atas biogram manusia. Teori ini disebut bio sosial karena melibatkan faktor biologis dan sosial dalam menjelaskan relasi jender.49 Kemudian Nasaruddin Umar mengutip pendapat J.C. Friedrich yang menggambarkan secara jelas pengaruh sindrom menjelang menstruasi (pre menstruation syndrome), yaitu suatu masa menjelang menstruasi seorang perempuan senantiasa mengalami depresi dan berbagai bentuk stres.50 Sedangkan kita semua sama-sama mengetahui bahwa semua perempuan akan mengalami menstruasi, maka bila pendapat di atas itu benar, tentu lakilaki tidak bisa disamakan perannya dengan perempuan. Dan sekaligus memperkuat anggapan bahwa faktor biologis dapat berpengaruh pada perilaku manusia. Pada prinsipnya Islam menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam kemanusiaan, sesuai dengan al-Qur'an Surat al-Nisâ/4 ayat 1. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sejarah sejak Adam hingga sekarang terdapat perbedaan-perbedaan diantara manusia seperti ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang rajin dan ada yang malas, ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang sehat dan ada yang sakit. Perbedaan semacam ini memiliki pengaruh perbedaan, karena Allah yang menciptakan kesemuanya itu dan Dia mengetahui karakter, watak, dan kemampuan makhluknya. Untuk itu Allah 49 50 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 68 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 69 101 membuat aturan sesuai dengan fitrah dan kemampuannya. Perbedaan diantara manusia, dijadikan Allah agar saling mengenal dan saling ketergantungan (Q.S. al-Hujurât/49: 13). Perbedaan ini seharusnya tidak menjadikan sebab yang satu merasa lebih tinggi daripada yang lain, dan tidak menjadikan adanya kelas-kelas atau tingkat-tingkat keistimewaan di masyarakat, karena keistimewaan itu hanya terletak pada ketakwaan seseorang. (Q.S. alHujurât/49: 13). Keunggulan seseorang tidak terlepas dari perbedaan hak dan kewajiban, bahkan keunggulan tersebut merupakan dasar tanggung jawab. Perbedaan harta, menyebabkan perbedaan kemampuan, maka tidak mungkin orang yang rajin disamakan dengan orang malas.51 Allah telah membedakan rizki seseorang satu dengan yang lainnya (Q.S. al-Nahl/16: 71). Tetapi keunggulan ini yang menyebabkan perbedaan kewajiban dan tanggung jawab antara yang kaya dengan yang miskin. Orang kaya wajib zakat sedangkan yang miskin wajib menerima zakat. Perbedaan laki-laki dan perempuan disebabkan oleh adanya perbedaan fungsi, misalnya laki-laki berfungsi menjadi pemimpin dan memberi nafkah dalam keluarga. Fungsi ini tidak lahir dari kesepakatan kedua belah pihak, tapi sudah ditetapkan Allah (Q.S. al-Nisâ/4: 34). Untuk itu laki-laki dan perempuan tidak boleh saling iri (Q.S. al-Nisâ/4: 32). D. Jender menurut Muhammad Quraish Shihab Kata jender menurut bahasa diambil dari bahasa Inggris yaitu gender yang berarti jenis kelamin.52 Sedangkan bias artinya menyimpang tata nilai, 51 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Baina al-Islâm wa al-Qawânîn al-‘âlamiyah, (selanjutnya tertulis al-Mar ’ah Baina al-Islâm) (Kuwait: Daar al-Wafa, 2001), h. 143 52 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, h. 265 102 ukuran dari yang sebenarnya.53 Jadi bias jender menurut istilah adalah penyimpangan hak disebabkan perbedaan jenis kelamin. Sedangkan bias jender menurut istilah Muhammad Quraish Shihab berarti penyimpangan terhadap kaum perempuan dan kaum laki-laki. Hal ini sesuai dengan pernyataannya, Tidak dapat disangkal juga adanya bias terhadap perempuan oleh lelaki dan perempuan, Muslim atau non-Muslim, ulama, cendekiawan maupun bukan, dari masa lalu hingga masa kini. Bias tersebut bukan saja mengakibatkan peremehan terhadap perempuan, karena mempersamakan mereka secara penuh dengan lelaki, menjadikan mereka menyimpang dari kodratnya, dan ini adalah pelecehan. Sebaliknya, tidak memberi hak-hak mereka sebagai manusia yang memiliki kodrat dan kehormatan yang tidak kalah dengan apa yang dianugerahkan Allah kepada lelaki, juga merupakan pelecehan.54 Yang tidak memberi perempuan hak-haknya sebagai mitra yang sejajar dengan lelaki, dan meremehkannya- tidak jarang menggunakan dalih keagamaan serta memberi interpretasi terhadap teks—interpretasi yang lahir dari kesan atau pandangan lama ketika perempuan masih dilecehkan oleh dunia masa lalu.55 Sebaliknya yang memberi hak-hak yang melebihi kodrat mereka, tidak jarang juga mengalami bias ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan dengan menggunakan logika baru yang keliru lagi tidak sejalan dengan teks, atau jiwa dan tuntunan agama. Memang sementara orang, bahkan ulama atau cendekiawan karena menggebu–gebunya meluruskan kekeliruan, kesalah pahaman dan pengalaman umat tentang ajaran agama – sementara mereka – sering kali melampaui batas, sehingga lahir pandangan yang justru tidak sejalan dengan ajaran agama. Mereka beralih dari satu kesalahan ke kesalahan yang lain, dan berpindah dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain.56 53 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) Cet. III, h. 113 54 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 31 55 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 32 56 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 32 103 Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ada dua kelompok yang sangat rawan melakukan bias dan pelecehan terhadap perempuan. Kelompok pertama dari yang telah ada sejak masa lalu. Ini tidak terbatas dalam masyarakat Arab pada masa Jahiliyah saja, tetapi menyeluruh di seluruh penjuru dunia di Timur dan Barat, dan bekas-bekasnya masih terasa hingga kini. Sedang kelompok kedua adalah yang menggebu-gebu menampik bias masa lalu itu, sehingga terjerumus pula dalam bias baru, yang belum dikenal kecuali masa kini."57 Muhammad Quraish Shihab juga mengakui bahwa dalam literatur agama ditemukan sekian banyak riwayat atau interpretasi dan pandangan yang dinilai lahir dari sisa-sisa pandangan lama terhadap perempuan. Sekian banyak riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. atau Sahabat-sahabat beliau yang diterima sebagai kebenaran, padahal Nabi dan sahabatnya tidak pernah bermaksud seperti apa yang mereka pahami. Boleh jadi riwayat dan pandangan-pandangan sementara ulama itu diterima secara luas dan dianggap benar, karena ia sejalan dengan apa yang terdapat di bawah sadar masyarakat yang belum lagi terkikis habis.58 Muhammad Quraish Shihab menyatakan: Memang apa yang dinisbatkan kepada Nabi dan sahabatnya terdapat ratusan ribu riwayat yang nilainya beragam, ada yang sahih, hasan, dan ada yang dhaif. Bermacam-macam pula motif para periwayatnya. Ada yang baik, dan ada diantara mereka yang sengaja membuat-buat riwayat mengatasnama kan Nabi saw. atau sahabat guna mendorong orang lain melakukan kebaikan, atau mencegah terjerumus dalam kedurhakaan. Ada juga yang motifnya buruk, yakni untuk kepentingan pribadi atau kelompok, bahkan untuk menodai agama Islam.59 57 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 36 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 37 59 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 38 58 104 Di sisi lain kata Quraish: Bahwa kualitas pengetahuan dan ingatan para perawipun bertingkat-tingkat. Diperparah lagi dengan adanya sikap sementara ulama yang merasa hanya bertugas menghimpun riwayat yang didengar/dibacanya tanpa menyeleksinya, lalu menyerahkan kepada pembaca atau pendengarnya untuk menyeleksi sendiri kebenarannya. Imam al-Thabari (w. 923 H.) salah seorang ulama yang menempuh cara ini dan mengakuinya ketika menulis Tarikhnya. Begitu juga Imam Jalaluddin al-Suyuthi (1445 – 1505 M).60 Adapun sebagian contoh bias jender ulama dahulu yang disampaikan Muhammad Quraish Shihab adalah : ﺧﺎﻟﻔﻮﺍ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻓﺎﻥ ﰱ ﺧﻼﻓﻬﻦ ﺑﺮﻛﺔ Berbeda pendapatlah dengan perempuan, karena dalam perbedaan dengan mereka terdapat keberkahan. (HR.al-Askari melalui Umar ra.) ﻃﺎﻋﺔ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻧﺪﺍﻣﺔ Menaati saran perempuan berahir dengan penyesalan. (HR.al-Ajluni) ﺿﻴﺎﻉ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﲔ ﻓﺨﺬﻯ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ Ilmu hilang di antara kedua paha perempuan. (HR. Al-Ajluni dan Ibnu Thulun) Muhammad Quraish Shihab menilai riwayat- riwayat di atas dan semacamnya sangat lemah, baik dari segi sanad, lebih-lebih matan (kandungan informasinya). Bukankah dalam al-Qur’an diuraikan bahwa putri Nabi Syu’aib as. mengajukan saran kepada ayahnya yang Nabi itu, dan sarannya diterima, bahkan diabadikan oleh al-Qur’an sebagai petunjuk dan pelajaran bagi ummat manusia (Q.S.al-Qashash/28:26). Bukankah Nabi Muhammad saw. sendiri sering kali berdiskusi dan menerima saran-saran dari istri-istri beliau.61 Sementara itu ada juga karena terdorong oleh semangat yang menggebu-gebu telah melahirkan pemikiran-pemikiran baru, tetapi perlu untuk didiskusikan, bahkan disempurnakan agar benar-benar sejalan dengan ajaran 60 61 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 38 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 46 105 Islam serta sesuai dengan kodrat perempuan. Mereka itu terkesan berupaya untuk mempersamakan perempuan dengan laki-laki secara mutlak, padahal upaya mempersamakan kedua jenis kelamin yang berbeda itu, tidak akan melahirkan apa-apa kecuali jenis makhluk ketiga, yang bukan laki-laki dan bukan juga perempuan.62 Mereka menemukan sekian banyak riwayat yang sebenarnya sahih, tetapi karena kandungan teksnya mereka rasakan tidak adil, atau karena penafsirannya yang populer selama ini tidak menggambarkan persamaan mutlak tersebut, maka teks itu mereka abaikan. Bahkan mereka menilai Islam telah melecehkan perempuan melalui teks-teks tersebut. Persoalan-persoalan yang mereka ketengahkan antara lain adalah: 1. Bagian anak lelaki dalam warisan dua kali bagian anak perempuan 2. Kesaksian perempuan setengah dari kesaksian lelaki 3. Keharusan adanya wali bagi perempuan dalam pernikahan 4. Kewajiban iddah bagi perempuan 5. Izin memukul istri 6. Hak perceraian berada di tangan suami 7. Kewajiban nafkah hanya atas suami.63 Jadi, jender menurut Muhammad Quraish Shihab adalah seks (jenis kelamin) yang berpijak dari sifat kelelakian dan keperempuanan. Lalu dari perbedaan sifat tersebut menimbulkan perbedaan peran dan status laki-laki dan perempuan yang pada ahirnya terjadi perbedaan hak dan kewajiban keduanya sesuai dengan kodrat masing-masing. Oleh karena itu wajar jika laki-laki karena tanggungjawabnya lebih besar mendapat fasilitas yang lebih daripada perempuan. Seperti bagian waris laki-laki dua kali bagian perempuan dalam beberapa kondisi. 62 63 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 257 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 258 BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN AYAT-AYAT JENDER DALAM TAFSIR AL-MISHBAH A. Term-Term Jender dalam Al-Qu’an Term menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya istilah.1 Jadi term term jender dalam al-Qur'an artinya istilah-istilah yang berkaitan dengan jender dalam al-Qur'an. Istilah-istilah jender yang dimaksud dalam karya tulis ini, yaitu simbolsimbol kalimat dalam al-Qur'an yang dijadikan ukuran oleh para pakar jender. Atau dengan kata lain membahas shigah mudzakar (kata untuk makna lakilaki) dan mu'annats (kata untuk makna perempuan) dalam al-Qur'an. Adapun shigah-shigah mudzakar dan mu'annats yang biasa digunakan oleh para pakar jender dalam al-Qur'an sangat banyak antara lain dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. Istilah-Istilah yang Menunjuk kepada Laki-Laki dan Perempuan Beberapa istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kata al-Rijâl dan al-Nisâ’ Kata al-rijâl merupakan bentuk jamak dari kata al-rajul yang diambil dari akar kata ﺭ ﺝ ﻝkemudian membentuk beberapa makna seperti ﺭﺟﻠﻪ ﺭﺟـﻼ artinya ﺍﺻﺎﺏ ﺭﺟﻠﻪmelukai kakinya. ﺭﺟﻞ ﺍﻟﺸﺎﺓartinya ﻋﻘﻠﻬﺎ ﺑﺮﺟﻠﻴﻬﺎmengikat kedua kaki kambing. ﺭﺟﻠﺖ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﻭ ﻟﺪﻫﺎartinya ﻭﺿﻌﺘﻪ ﲝﻴﺚ ﺧﺮﺟـﺖ ﺭﺟـﻼﻩ ﻗﺒـﻞ ﺭﺃﺳـﻪseorang 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (selanjutnya tertulis Kamus Bahasa Indonesia) (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 938 108 perempuan melahirkan anaknya dimana kedua kakinya lebih dahulu daripada ﺭﺟﻞartinya ﻣﺸﻲ ﻋﻠﻰ ﺭﺟﻠﻴـﻪberjalan dengan kedua kakinya atau diartikan , ﻗﻮﻱ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺸﻲkuat berjalan, ﺷﻜﺎ ﺭﺟﻠﻪmengeluh terhadap kakinya. ﺭﺟﻞ ﺍﳊﻴﻮﺍﻥartinya ﻛﺎﻥ ﰱ ﺍﺣﺪﻯ ﺭﺟﻠﻴﻪ ﺑﻴـﺎﺽbinatang itu salah satu dari kedua kepalanya. kakinya ada warna putih. ﺭﺟﻞ ﺍﻟﺸﻌﺮartinya ﻛﺎﻥ ﺑﲔ ﺍﻟﺴﺒﻮﻃﺔ ﻭ ﺍﳉﻌﻮﺩﺓrambutnya antara lurus dan keriting.2 Abu Husen Ahmad bin Faris bin Zakaria dalam kamusnya menyatakan: ﺎ ﻻ ﺗﻨﺒﺖ ﺍﻻ ﰱ ﻣﺴﻴﻞ ﻣـﺎﺀ ﻭ ﻗـﺎﻝﺍﻟﺮﺟﻠﺔ ﻫﻰ ﺍﻟﱴ ﻳﻘﺎﻝ ﳍﺎ ﺍﻟﺒﻘﻠﺔ ﺍﳊﻤﻘﺎﺀ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻭﺍﳕﺎ ﲰﻴﺖ ﺍﳊﻤﻘﺎﺀ ﻻ ٣ . ﺎ ﺭﺟﻠﺔﻗﻮﻡ ﺑﻞ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻣﺴﺎﻳﻞ ﺍﳌﺎﺀ ﻭﺍﺣﺪ Kata al-rijlah disebut al-baqalah al-hamqâ ’, mereka mengatakan, "Disebut al-hamqâ ’, karena sayuran itu hanya tumbuh pada aliran air." Bahkan satu kaum mengatakan, "Kata al-rijalu yang artinya sayuran yang ada pada aliran air mufradnya rijlah." ﺍﻟﺮﺟـﻞdibaca fathah huruf ﺭdan dibaca dhommah huruf ﺝartinya ﺍﻟـﺬﻛﺮ ﺍﻟﺒـﺎﻟﻎ ﻣـﻦ ﺑـﲎ ﺍﺩﻡseorang laki laki yang baligh dari keturunan Nabi Adam. Sedangkan kalimat ﺍﻟﺮﺍﺟﻞ ﺧﻼﻑ ﺍﻟﻔﺎﺭﺱartinya pejalan Sedangkan kata kaki bukan penunggang kuda sebagaimana yang ditegaskan al-Qur'an.4 :٢ /)ﺍﻟﺒﻘـﺮﺓ ـﻮﻥﹶﻠﹶﻤﻌﻮﺍ ﺗﻜﹸﻮﻧ ﺗﺎ ﻟﹶﻢ ﻣﻜﹸﻢﻠﱠﻤﺎ ﻋ ﻛﹶﻤﻭﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻓﹶﺎﺫﹾﻛﹸﺮﻢﺘﺎ ﻓﹶﺈِﺫﹶﺍ ﺃﹶﻣِﻨﺎﻧﻛﹾﺒ ﺭﺎﻟﹰﺎ ﺃﹶﻭ ﻓﹶﺮِﺟﻢﻓﺎِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘ (٢٣٩ Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 239) 2 Ibrahim Anis at. al., al-Mu'jam al-Wasîth, (selanjutnya tertulis al-Wasîth) (Mesir: Majma al-Lughah al-Arabiyah, 1980), Jilid I, h. 332 3 Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, Mu'jam al-Maqâyis fî Lughah, (selanjutnya tertulis al- Maqâyis fî Lughah) (Bairut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 444 4 Ibrahim Anis at, .al, al-Wasith …, jilid I, h. 332 109 Kemudian kata ـﺎﻝ ﺭﺟـdan ـﺔ ﺭﺟﻠـsebagai kata jamak, kemudian ﲨﻊ ﺍﳉﻤـﻊmenjadi ﺭﺟـﺎﻻﺕyang artinya orang-orang terhormat. Ketika kalimat ﺍﻣـﺮﺃﺓ ﺭﺟﻠـﺔmaka artinya berubah menjadi ﺗﺸﺒﻬﺖ ﺑﺎﻟﺮﺟﺎﻝ ﰱ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﻭ ﺍﳌﻌﺮﻓـﺔseorang perempuan yang menyerupai dijamakkan lagi yang biasa disebut laki laki dalam pikirannya dan pengetahuannya. Hal ini sesuai dengan hadis ﻛﺎﻧﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺭﺟﻠـﺔ ﺍﻟـﺮﺃﻱAisyah r.a. pikirannya menyerupai laki-laki. Sedangkan kata ﺍﻟﺮﺟﻮﻟﺔ ﻭ ﺍﻟﺮﺟﻮ ﻟﻴـﺔartinya sifat yang sempurna yang Nabi terdapat pada seorang laki-laki. 5 Jadi kata Rajul kesemuanya menunjukkan arti kuat, perkasa dan memiliki ketangguhan. Dari pengertian di atas, Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa, "Semua orang yang masuk dalam kategori al-rajul termasuk juga kategori al-dzakar tetapi tidak semua al-dzakar masuk dalam kategori al-rajul. Kategori al-rajul menuntut sejumlah kriteria tertentu yang bukan hanya mengacu kepada jenis kelamin, tetapi juga kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat-sifat kejantanan (masculinity)."6 Akar kata ﺭ ﺝ ﻝdalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 73 kali dalam al-Qur'an.7 Namun kata al-rajul jamaknya al-rijâl yang artinya kaum laki-laki terdapat 55 kali disebut dalam al-Qur'an, yaitu 24 kali dalam bentuk mufrad (makna tunggal), 5 kali dalam bentuk mutsanna (makna dua) dan 26 kali dalam bentuk jamak (banyak). Dari 55 kata tersebut Nasaruddin Umar membagi ke dalam 5 kecenderungan pengertian dan maksud sebagai berikut: 5 Ibrahim Anis at al, al-Wasith…,Jilid I h. 332 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an, (selanjutnya tertulis Kesetaraan Jender) (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet.II, h. 145 7 Ibrahim Madkur, Mu'jam alfâdh al-qur'an al-karîm, (selanjutnya tertulis Al-fâdh alQur ’an) (Cairo: Majma al-lughah al-arabiyah al-Idârah al-âmmah lil Mu'jamât wa Ihya al-Turâts, 1988), Jilid. I, h. 477-479 6 110 1) Al-Rajul dalam arti jender laki-laki seperti terdapat pada surat alBaqarah/2: 282, 228, surat al-Nisâ’/4: 34, 32. 2) Al-Rajul dalam arti orang, baik laki-laki maupun perempuan seperti terdapat pada surat al-A'râf/7: 46, al-Ahzâb/33: 23. 3) Al-Rajul dalam arti nabi atau rasul seperti terdapat pada surat alAnbiyâ/21: 7, Saba/34: 7. 4) Al-Rajul dalam arti tokoh masyarakat antara lain terdapat pada surat Yâsîn/36: 20, al-A'râf/7: 48, alQashash/28: 20, al-Mu'min/40: 28, AlA'râf/7: 48, 155, al-Kahfi/18: 32, 37, al-Qashash/28: 15, al-Jin/72: 6, dan al-Ahzâb/33: 40, 23, al-Nahl/16: 76 5) Al-Rajul dalam arti budak seperti terdapat pada surat al-Zumar/39: 29, alNisâ’/4: 1, dan al-Naml/27: 55.8 Sedangkan kata al-nisâ ’ menurut etimologi diambil dari kata nasia ( )ﻥ ﺱ ﻱyang artinya ada dua yaitu melupakan sesuatu dan meninggalkan sesuatu.9 Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah : ( ٦٧ : ٩/ )ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ... ﻧﺴﻮﺍ ﺍﷲ ﻓﻨﺴﻴﻬﻢ Mereka melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka…(Q.S. atTaubah/9: 67) Begitu juga terdapat dalam firman Allah (١١٥ : ٢٠/ﺎ )ﻃﻪﻣﺰ ﻋ ﻟﹶﻪﺠِﺪ ﻧﻟﹶﻢ ﻭﺴِﻲﻞﹸ ﻓﹶﻨ ﻗﹶﺒ ﻣِﻦﻡﺎ ﺇِﻟﹶﻰ ﺀَﺍﺩﻧﻬِﺪ ﻋﻟﹶﻘﹶﺪﻭ Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. (Q.S. Taha/20: 115) ١٠ 8 . ﺎ ﺣﺒﻠﻰ ﺗﺎﺧﺮ ﺣﻴﻀﻬﺎ ﻋﻦ ﻭﻗﺘﻪ ﻓﺮﺟﻰ ﺍ: ﻧﺴﺌﺖ ﺍﳌﺮﺍﺓ Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 147-158 Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah… h. 1024 10 Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah… h. 1025 9 111 Seorang perempuan tertunda haidnya pada waktunya, maka diharap bahwa perempuan itu hamil. Dan terdapat pula dalam ayat yang lain ﺍﻃِﺌﹸـﻮﺍﻮﺎ ﻟِﻴﺎﻣ ﻋﻪﻮﻧﻣﺮﺤﻳﺎ ﻭﺎﻣ ﻋﻪﺤِﻠﱡﻮﻧﻭﺍ ﻳ ﻛﹶﻔﹶﺮﻞﱡ ﺑِﻪِ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦﻀﺓﹲ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻜﹸﻔﹾﺮِ ﻳﺎﺩﺴِﻲﺀُ ﺯِﻳﺎ ﺍﻟﻨﻤﺇِﻧ ﻡـﺪِﻱ ﺍﻟﹾﻘﹶـﻮﻬ ﻟﹶـﺎ ﻳﺍﻟﻠﱠـﻪ ﻭﺎﻟِﻬِﻢﻤﻮﺀُ ﺃﹶﻋ ﺳﻢ ﻟﹶﻬﻦﻳ ﺯ ﺍﻟﻠﱠﻪﻡﺮﺎ ﺣﺤِﻠﱡﻮﺍ ﻣ ﻓﹶﻴ ﺍﻟﻠﱠﻪﻡﺮﺎ ﺣﺓﹶ ﻣﻋِﺪ (٣٧ : ٩/)ﺍﻟﺘﻮﺑﺔﺍﻟﹾﻜﹶﺎﻓِﺮِﻳﻦ Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (setan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S. alTaubah/9: 37) Sedangkan Ibnu Mandur dalam kamus Lisân al-Arab menyatakan: ١١ . ﻧﺴﻮﺍ ﺍﷲ ﻓﺎﻧﺴﺎﻫﻢ ﺍﻧﻔﺴﻬﻢ: ﺍﻟﺘﺮﻙ ﻟﻠﻌﻤﻞ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ: ﺍﻟﻨﺴﻮﺓ Kata niswah artinya meninggalkan untuk bekerja, sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah: "Mereka melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka terhadap diri mereka." Jadi kata al-Nisâ ’ memiliki arti lemah, menunda, lupa, meninggalkan dan mengulur-ulur waktu. Sedangkan menurut terminologi kata al-nisâ ’, alniswan, dan al-niswah merupakan kata jamak dari kata al-mar'ah (perempuan) yang bukan dari lafadhnya seperti kata al-kaum merupakan jamak dari kata almar'u.12 Sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya 11 Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, (selanjutnya tertulis Lisân al-Arab) (Mesir: Daar al-Fikr, t.t.) Jilid. VI, h. 4417 12 Al-Raghib al-Ashfihani, Mu'jam Mufradât al-Fâdh al-Qur'an, (selanjutnya tertulis Mufradât al-fâdh al-Qur ’an) (Bairut: Daar al-Fikr, t.t.), h.513 112 ٍﺎﺀ ﻧِـﺴﺎﺀٌ ﻣِﻦﻟﹶﺎ ﻧِﺴ ﻭﻢﻬﺍ ﻣِﻨﺮﻴﻮﺍ ﺧﻜﹸﻮﻧﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﺴﻡٍ ﻋ ﻗﹶﻮ ﻣِﻦ ﻗﹶﻮﻡﺮﺨﺴﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﻳﻨ ﺀَﺍﻣﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦﻬﺎﹶﻳﻳ ﺪﻌ ﺑﻮﻕ ﺍﻟﹾﻔﹸﺴﻢ ﺍﻟِﺎﺳﻭﺍ ﺑِﺎﻟﹾﺄﹶﻟﹾﻘﹶﺎﺏِ ِﺑﺌﹾﺲﺰﺎﺑﻨﻟﹶﺎ ﺗ ﻭﻜﹸﻢﻔﹸﺴﻭﺍ ﺃﹶﻧﻠﹾﻤِﺰﻟﹶﺎ ﺗ ﻭﻦﻬﺍ ﻣِﻨﺮﻴ ﺧﻜﹸﻦﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﺴﻋ (١١: ٣٣/ﻮﻥﹶ)ﺍﳊﺠﺮﺍﺕ ﺍﻟﻈﱠﺎﻟِﻤﻢ ﻫ ﻓﹶﺄﹸﻭﻟﹶﺌِﻚﺐﺘ ﻳ ﻟﹶﻢﻦﻣﺎﻥِ ﻭﺍﻟﹾﺈِﳝ Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula kaum perempuan (mengolok-olok) kaum perempuan lain (karena) boleh jadi kaum perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Hujurat/33: ayat 11). Kata al-nisâ ’ menurut Nasaruddin Umar berarti jender perempuan, sepadan dengan kata al-rijâl yang berarti jender laki-laki.13 Kata al-nisâ ’ dalam berbagai bentuknya terdapat dalam 55 ayat dan terulang sebanyak 59 kali dalam al-Qur'an. Dari 59 kata al-nisâ ’ menurut Nasaruddin Umar memiliki kecenderungan pengertian dan maksud sebagai berikut: 1) Al-nisâ ’ dalam arti jender perempuan terdapat dalam al-Qur'an ﺎ ﻗﹶﻞﱠﻮﻥﹶ ﻣِﻤﺑﺍﻟﹾﺄﹶﻗﹾﺮﺍﻥِ ﻭﺍﻟِﺪ ﺍﻟﹾﻮﻙﺮﺎ ﺗ ﻣِﻤﺼِﻴﺐﺎﺀِ ﻧﺴﻟِﻠﻨﻮﻥﹶ ﻭﺑﺍﻟﹾﺄﹶﻗﹾﺮﺍﻥِ ﻭﺍﻟِﺪ ﺍﻟﹾﻮﻙﺮﺎ ﺗ ﻣِﻤﺼِﻴﺐﺎﻝِ ﻧﺟﻟِﻠﺮ (٧ : ٤/ﺎ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻭﺿﻔﹾﺮﺎ ﻣﺼِﻴﺒ ﻧ ﻛﹶﺜﹸﺮ ﺃﹶﻭﻪﻣِﻨ Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (Q.S. al-Nisâ’/4: 7) Begitu juga terdapat dalam ayat yang lain 13 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 159 113 ِﺎﺀﺴﻟِﻠﻨﻮﺍ ﻭﺒﺴﺎ ﺍﻛﹾﺘ ﻣِﻤﺼِﻴﺐﺎﻝِ ﻧﺟﺾٍ ﻟِﻠﺮﻌﻠﹶﻰ ﺑ ﻋﻜﹸﻢﻀﻌ ﺑِﻪِ ﺑﻞﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺎ ﻓﹶﻀﺍ ﻣﻮﻨﻤﺘﻟﹶﺎ ﺗﻭ : ٤/ﺎ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻠِﻴﻤﺀٍ ﻋﺷﻲ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺑِﻜﹸﻞﱢﻠِﻪِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻓﹶﻀ ﻣِﻦﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪﺍﺳ ﻭﻦﺒﺴﺎ ﺍﻛﹾﺘ ﻣِﻤﺼِﻴﺐﻧ (٣٢ Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Nisâ’/4: 32) Kata al-nisâ ’ menurut Nasaruddin Umar menunjukkan jender perempuan. Porsi pembagian hak dalam ayat ini tidak semata-mata ditentukan oleh realitas biologis sebagai perempuan atau laki-laki, melainkan berkaitan erat dengan realitas jender yang ditentukan oleh faktor budaya yang bersangkutan. Ada atau tidaknya warisan ditentukan oleh keberadaan seseorang. Begitu seseorang lahir dari pasangan muslim yang sah, apapun jenis kelaminnya, dengan sendirinya langsung menjadi ahli waris. Sementara itu besar kecilnya porsi pembagian peran ditentukan oleh faktor eksternal, atau menurut istilah ayat ini ditentukan oleh usaha yang bersangkutan.14 2) Al-nisâ ’ dalam arti istri-istri, seperti terdapat dalam al-Qur'an ﻥﹶـﺮﻄﹾﻬﻰ ﻳﺘ ﺣﻦﻮﻫﺑﻘﹾﺮﻟﹶﺎ ﺗﺤِﻴﺾ ﻭﺎﺀَ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻤﺴﺰِﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﻨﺘ ﺃﹶﺫﹰﻯ ﻓﹶﺎﻋﻮﺤِﻴﺾِ ﻗﹸﻞﹾ ﻫﻦِ ﺍﻟﹾﻤ ﻋﻚﺄﹶﻟﹸﻮﻧﺴﻳﻭ : ٢/ )ﺍﻟﺒﻘـﺮﺓﺮِﻳﻦﻄﹶﻬﺘﺍﻟﹾﻤ ﺤِﺐﻳ ﻭﺍﺑِﲔﻮ ﺍﻟﺘﺤِﺐ ﻳ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺍﻟﻠﱠﻪﻛﹸﻢﺮﺚﹸ ﺃﹶﻣﻴ ﺣ ﻣِﻦﻦﻮﻫﻥﹶ ﻓﹶﺄﹾﺗﺮﻄﹶﻬﻓﹶﺈِﺫﹶﺍ ﺗ (٢٢٢ Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesung-guhnya Allah menyukai 14 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 161 114 orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Q.S. al-Baqarah/2: 222) Dalam ayat yang lain juga disebutkan ﻠﹶﺎﻗﹸﻮﻩ ﻣﻜﹸﻢﻮﺍ ﺃﹶﻧﻠﹶﻤﺍﻋ ﻭﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪﺍﺗ ﻭﻔﹸﺴِﻜﹸﻢﻮﺍ ﻟِﺄﹶﻧﻣﻗﹶﺪ ﻭﻢﻰ ِﺷﺌﹾﺘ ﺃﹶﻧﺛﹶﻜﹸﻢﺮﻮﺍ ﺣ ﻓﹶﺄﹾﺗﺙﹲ ﻟﹶﻜﹸﻢﺮ ﺣﻛﹸﻢﺎﺅﻧِﺴ (٢٢٣ : ٢/)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﻣِﻨِﲔﺆﺮِ ﺍﻟﹾﻤﺸﺑﻭ Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Baqarah/2: 223 ) Kata al-nisâ ’ dalam kedua contoh di atas diartikan dengan istri-istri, sebagaimana halnya kata al-mar'ah sebagai bentuk mufrad dari kata alnisâ ’, hampir seluruhnya berarti istri. Misalnya imra'ah Lûth (Q.S. alTahrîm/66:10) imra'ah Fir'aun (Q.S. al-Tahrîm/66: 11) dan imra'ah Nûh (Q.S. al-Tahrîm/66: 10). Kata al-nisâ ’ yang berarti istri-istri ditemukan pada sejumlah ayat. (Q.S. al-Baqarah/2: 187, 223, 226, 231, dan 236; Q.S. al-Nisâ’/4: 15; dan 23, Q.S. al-Ahzâb/33:30, 32, dan 52; Q.S. Ali Imrân/3: 61; Q.S. al-Thalaq/65: 4; Q.S. al-Mujâdilah/58: 2 dan 3).15 b. Al-Dzakar dan al-Untsa Menurut kamus al-Maqâyis fî al-Lugah, bahwa kata dzakar berasal dari akar kata lupa seperti ﺫ ﻙ ﺭyang secara harfiyah/etimologi artinya ingat lawan dari ﺫﻛﺮﺕ ﺍﻟﺸﺊartinya (aku telah mengingat sesuatu).16 Sedangkan menurut kamus al-Wasîth, bahwa kata ﺫﻛﺮmashdarnya ﺫﻛﺮﺍ ﻭ ﺗﺬﻛﺎﺭﺍ, ﺫﻛﺮﻯ, ﺫﻛﺮﺍ, artinya ( ﺣﻔﻈﻪmenghafalnya/ menjaganya). Dapat juga diartikan meminang seperti dalam hadis Ali yang berbunyi 15 16 ﺍﻥ ﻋﻠﻴﺎ ﻳﺬﻛﺮ ﻓﺎﻃﻤﺔ Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h.163 Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah…, h. 388 115 (Bahwa Ali melamar Fatimah). Juga bisa diartikan memuji seperti ﺫﻛﺮ ﺍﷲ ﺍﻱ ﺍﺛﲎ ﻋﻠﻴﻪjuga bisa diartikan mensyukuri seperi kalimat ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻨﻌﻤﺔartinya seseorang telah mensyukuri nikmat. Bisa juga diartikan menyerupai seperti ﺫﻛﺮﺕ ﻓﻼﻧﺔ ﺍﻱ ﺗﺸﺒﻬﺖ ﰱ ﴰﺎﺋﻠﻬﺎ ﺑﺎﻟﺮﺟﻞartinya Fulanah menyerupai laki-laki dalam perangainya."17 Sedangkan menurut terminologi kata al-dzakar artinya lawan dari kata al-untsâ (perempuan) yang dikaitkan dengan kelamin.18 Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an ﻧﺜﹶﻰ ﻛﹶﺎﻟﹾﺄﹸ ﺍﻟﺬﱠﻛﹶﺮﺲﻟﹶﻴ ﻭﺖﻌﺿﺎ ﻭ ﺑِﻤﻠﹶﻢ ﺃﹶﻋﺍﻟﻠﱠﻪﻧﺜﹶﻰ ﻭﺎ ﺃﹸﻬﺘﻌﺿﻲ ﻭ ﺇِﻧﺏ ﺭﺎ ﻗﹶﺎﻟﹶﺖﻬﺘﻌﺿﺎ ﻭﻓﹶﻠﹶﻤ (٣٦ : ٣/ﺟِﻴﻢِ)ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥﻄﹶﺎﻥِ ﺍﻟﺮﻴ ﺍﻟﺸﺎ ﻣِﻦﻬﺘﻳﺫﹸﺭ ﻭﺎ ﺑِﻚﻲ ﺃﹸﻋِﻴﺬﹸﻫﺇِﻧ ﻭﻢﻳﺮﺎ ﻣﻬﺘﻴﻤﻲ ﺳﺇِﻧﻭ Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, diapun berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan, dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak lakilaki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk." (Q.S. Ali Imran/3: 36) Adapun kata al-untsâ diambil dari akar kata ﺍﻧﺚyang berarti lembut, lunak dan halus. Sedangkan kata al-untsâ (perempuan) adalah lawan dari kata al-dzakar (laki-laki) dari segala jenis (binatang, tumbuh-tumbuhan dan manusia). Sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Manzhur dalam kamus Lisân alArab : . ﺍﻻﻧﺜﻰ ﺧﻼﻑ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﺊ ﻭ ﺍﳉﻤﻊ ﺍﻧﺎﺙ ﻭ ﺍﻧﺚ ﲨﻊ ﺍﻧﺎﺙ ﻛﺤﻤﺎﺭ ﻭ ﲪﺮ: ﺍﻧﺚ ١٩ .ﲰﻴﺖ ﺍﳌﺮﺍﺓ ﺍﻧﺜﻰ ﻟﻠﻴﻨﻬﺎ Kata al-untsâ (perempuan) diambil dari kata anatsa yang artinya lawan dari laki-laki dari segala jenis (binatang, tumbuh tumbuhan dan 17 18 19 Ibrahim Anis at. al., al-Wasîth…, h. 313 Ibrahim Anis at. al., al-Wasîth…, h. 213 Ibnu Manzhur, Lisan al –Arab…, Jilid I, h. 145 116 manusia) dan jama dari kata al-untsâ adalah inâts. Dan unuts jamak dari kata inâts seperti kata humur jamanya himâr, kata al-mar'ah disebut untsâ karena lembut dan halusnya. Sedangkan al-Raghib al-Ashfihani dalam kamusnya menyatakan ٢٠ . ﺍﻻﻧﺜﻰ ﺧﻼﻑ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭﻳﻘﺎﻻﻥ ﰱ ﺍﻻﺻﻞ ﺍﻋﺘﺒﺎﺭﺍ ﺑﺎﻟﻔﺮﺟﲔ: ﺍﻧﺚ Kata al-untsâ (perempuan) diambil dari kata unuts yang artinya lawan dari laki-laki dan keduanya (kata al-dzakar dan al-untsâ) pada mulanya digunakan untuk makna dua jenis kelamin. Hal ini sesuai dengan firman Allah: ﻮﻥﹶﻈﹾﻠﹶﻤﻟﹶﺎ ﻳﺔﹶ ﻭﻨﻠﹸﻮﻥﹶ ﺍﻟﹾﺠﺧﺪ ﻳ ﻓﹶﺄﹸﻭﻟﹶﺌِﻚﻣِﻦﺆ ﻣﻮﻫﻧﺜﹶﻰ ﻭ ﺃﹸ ﺫﹶﻛﹶﺮٍ ﺃﹶﻭﺎﺕِ ﻣِﻦﺎﻟِﺤ ﺍﻟﺼﻞﹾ ﻣِﻦﻤﻌ ﻳﻦﻣﻭ (١٢٤ : ٤/ﺍ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻘِﲑﻧ Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (Q.S. al-Nisâ’/4: 124) Kemudian dalam kamus Al-Maurid disebutkan: ٢١ . ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭ ﺍﻻﻧﺜﻰ ﻣﻦ ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ ﺍﻭ ﺍﳊﻴﻮﺍﻥ ﺍﻭ ﺍﻟﻨﺒﺎﺕ Kata al-dzakar dan al-untsâ dipergunakan untuk jenis manusia, binatang, dan tumbuh tumbuhan. Sedangkan kata al-rajul, al-nisâ dan al-mar'ah dalam al-Qur'an hanya dipergunakan untuk manusia. Kata al-untsâ dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur'an terulang sebanyak 30 kali kesemuanya diartikan jenis kelamin perempuan.22 c. Al-Mar'u/al-Imru'u dan al-Mar'atu/al-Imra'atu 20 Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…, h.23 Munir al-Ba’labakka, al-Maurid, (Bairut: Dâr al-Ilmi Lilmalayin,1986), h. 553 22 Majma' al-Lughah al-Arabiyah al-Idârah al-âmmah li al-Mu'jamât wa Ihya al-Turâts, Mu'jam alfâdh al-Qur'an al-Karîm, (selanjutnya tertulis alfâdh al-Qur ’an al-Karîm) (Cairo: Majma alLughah al-Arabiyah, 1988), h. 93 21 117 Kata al-Imru'u/al-Mar'u terulang dalam al-Qur'an sebanyak 11 kali yang diartikan seorang laki-laki atau seseorang.23 Kata al-imru'u/al-mar'u diambil dari kata ﻣﺮﺃyang artinya baik, bermanfaat, dan lezat.24 Kemudian dibentuk shîgah mubâlagah yang artinya sangat baik atau sangat lezat sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an ٤/ﺮِﻳﺌﹰﺎ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻨِﻴﺌﹰﺎ ﻣﻫ ﺎ ﻓﹶﻜﹸﻠﹸﻮﻩﻔﹾﺴ ﻧﻪﺀٍ ﻣِﻨﻲ ﺷﻦ ﻋ ﻟﹶﻜﹸﻢﻦﻠﹶﺔﹰ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻃِﺒ ﻧِﺤﻗﹶﺎﺗِﻬِﻦﺪﺎﺀَ ﺻﺴﻮﺍ ﺍﻟﻨﺀَﺍﺗﻭ (٤ : Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. al-Nisâ’/4: 4) Sedangkan al-Ragib al-Ashfihani dalam kamusnya menegaskan ٢٥ . ﻣﺮﺃ ﻳﻘﺎﻝ ﻣﺮﺀ ﻭ ﻣﺮﺃﺓ ﻭ ﺍﻣﺮﺅ ﻭﺍﻣﺮﺃﺓ "Kata mar'un, mar'atun, imru'u, dan imra'atun diambil dari satu akar kata yaitu ﻣﺮﺃ." Kemudian kata al-mar'u dan imru'un berarti laki-laki atau seseorang (laki-laki atau perempuan) sedangkan kata mar'ah dan imra'ah artinya perempuan. Kata imra'ah dalam al-Qur'an terulang sebanyak 26 kali, 4 kali diartikan seorang perempuan dan 22 kali diartikan istri.26 2. Gelar Status yang Berhubungan dengan Jenis Kelamin 23 Majma' al-Lughah al-Arabiyah al-Idârah al-âmmah li al-Mu'jamât wa Ihya al-Turâts, alfâdh al-Qur'an al-Karîm…, h. 1038 24 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1322 25 Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…, h. 485 26 Majma' al-Lughah al-Arabiyah al-Idârah al-âmmah li al-Mu'jamât wa Ihya al-Turâts, alfâdh al-Qur'an al-Karîm…, h. 1039 118 Gelar status yang berhubungan dengan jenis kelamin dapat disebutkan antara lain: a. Suami (al-Zawj) dan istri (al-Zawjah) Menurut Abu Husen Ahmad Ibnu Faris Ibnu Zakaria dalam kamusnya menyatakan : ﺍﻟﺰﺍﺀ ﻭ ﺍﻟﻮﺍﻭ ﻭﺍﳉﻴﻢ ﺍﺻﻞ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺎﺭﻧﺔ ﺷﺊ ﻟﺸﺊ ﻣﻦ ﺫ ﻟﻚ )ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺯﻭﺝ ﺍﳌﺮﺃﺓ: ﺯﻭﺝ ٢٧ . ﻭ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺯﻭﺝ ﺑﻌﻠﻬﺎ Kata za wj yang terdiri dari huruf za, wawu, dan jim asalnya menunjukkan kepada pendamping sesuatu terhadap sesuatu seperti, suami pendamping istri, dan istri pendamping keluarganya. Sesuai dengan ayat al-Qur'an ﺓﹶﺮﺠﺬِﻩِ ﺍﻟﺸﺎ ﻫﺑﻘﹾﺮﻟﹶﺎ ﺗﺎ ﻭﻤﺚﹸ ِﺷﺌﹾﺘﻴﺍ ﺣﻏﹶﺪﺎ ﺭﻬﻛﹸﻠﹶﺎ ﻣِﻨﺔﹶ ﻭﻨ ﺍﻟﹾﺠﻚﺟﻭﺯ ﻭﺖ ﺃﹶﻧﻜﹸﻦ ﺍﺳﻡﺎﺁﺩﺎ ﻳﻗﹸﻠﹾﻨﻭ (٣٥ :٢/)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﺍﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﲔﺎ ﻣِﻦﻜﹸﻮﻧﻓﹶﺘ Dan Kami berfirman, "Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zhalim. (Q.S. alBaqarah/2: 35) Dan ayat yang lain ﺎﻜﹸﻮﻧﺓﹶ ﻓﹶﺘﺮﺠﺬِﻩِ ﺍﻟﺸﺎ ﻫﺑﻘﹾﺮﻟﹶﺎ ﺗﺎ ﻭﻤﺚﹸ ِﺷﺌﹾﺘﻴ ﺣﺔﹶ ﻓﹶﻜﹸﻠﹶﺎ ﻣِﻦﻨ ﺍﻟﹾﺠﻚﺟﻭﺯ ﻭﺖ ﺃﹶﻧﻜﹸﻦ ﺍﺳﻡﺎ ﺁﺩﻳﻭ (١٩ : ٧/)ﺍﻻﻋﺮﺍﻑ ﺍﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﲔﻣِﻦ (Dan Allah berfirman), "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan istrimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zhâlim". (Q.S.al-A'râf/7: 19) Sedangkan al-Ragib al-Ashfihani dalam kamusnya menyatakan: 27 Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah…, h. 464 119 ﺯﻭﺝ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻜﻞ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﻳﻨﲔ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭ ﺍﻻﻧﺜﻰ ﰱ ﺍﳊﻴﻮﺍﻧﺎﺕ ﺍﳌﺘﺰﻭﺟﺔ ﺯﻭﺝ ﻭﻟﻜﻞ ﻗﺮﻳﻨﲔ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﰱ ﻏﲑﻫﺎ ﺯﻭﺝ ﻛﺎﳋﻒ ﻭ ﺍﻟﻨﻌﻞ ﻭﻟﻜﻞ ﻣﺎ ﻳﻘﺘﺮﻥ ﺑﺎﺧﺮ ﳑﺎﺛﻼ ﻟﻪ ﺍﻭ ﻣﻀﺎﺩ ﺯﻭﺝ ٢٨ . Kata zawj ada yang mengatakan artinya setiap patner/ pasangan lakilaki dan perempuan dalam jenis binatang yang berkawin adalah zawj dan setiap pasangan dalam binatang dan selainnya disebut juga zawj seperti sepasang sepatu, sepasang sandal, dan setiap pasangan satu dengan yang lain baik sejenis atau lawannya juga disebut zawj." Seperti dalam al-Qur'an (٣٩ : ٧٥/ﺜﹶﻰ)ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔﺍﻟﹾﺄﹸﻧ ﻭﻦِ ﺍﻟﺬﱠﻛﹶﺮﻴﺟﻭ ﺍﻟﺰﻪﻞﹶ ﻣِﻨﻌﻓﹶﺠ Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki laki dan perempuan. (Q.S. al-Qiyâmah/75: 39) Sedangkan menurut Ibnu Manzhur dalam kamus Lisân al-Arab dinyatakan ٢٩ . ( ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺧﻼﻑ ﺍﻟﻔﺮﺩKata zawj/pasangan beda dengan tunggal). Kemudian dia menjelaskan, bahwa kata zawj bisa diartikan pasangan, baik dua laki-laki, atau dua perempuan, kanan kiri, dua jenis yang berbeda seperti putih hitam, manis masam, langit bumi, musim panas dan dingin, malam, dan siang.30 Sedangkan kata zawjah dalam kamus Arab hanya digunakan untuk makna perempuan, sebagaimana dinyatakan oleh Ibrahim Anis dalam kamus al-Wasîth ٣١ . ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺍﻟﺮﺟﻞ: ( ﺍﻟﺰﻭﺟﺔzawjah adalah istri seorang laki-laki). Konsep berpasang-pasangan dalam al-Qur'an menurut Nasaruddin Umar adalah "lebih bersifat fungsional, holistik, sakral, dan didasari oleh kasih sayang yang penuh rahmat (mawaddah wa rahmah)."32 28 29 30 31 32 Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…, h. 220 Ibnu Manzhur, Lisân al-Arab…, h. 1884 Ibnu Manzhur, Lisân al-Arab…, h. 1885 Ibrahim Anis at. al., al-Wasîth…, h. 406 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 179 120 b. Ayah (al-Ab) dan Ibu (al-Umm) Kata ﺍﻻﺏdiambil dari kata ﺍﺑﻮyang artinya pendidikan dan makanan. ﺍﺑﻮﺕ ﺍﻟﺸﺊartinya saya telah memakan sesuatu. Kemudian kata ﺍﻻﺏdiartikan ayah dan jamaknya ﺍﺑﺎﺀ ﻭﺍﺑﻮﺓ.33 Seperti kalimat Al-Ragib al-Ashfihani mendefinisikan kata ﺍﻻﺏyaitu: ﺍﻻﺏ = ﺍﻟﻮﺍﻟﺪ ﻭﻳﺴﻤﻰ ﻛﻞ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺳﺒﺒﺎ ﰱ ﺍﳚﺎﺩ ﺷﺊ ﺍﻭ ﺍﺻﻼﺣﻪ ﺍﻭ ﻇﻬﻮﺭﻩ ﺍﺑﺎ ﻭﻟﺬﺍﻟﻚ ٣٤ . ﻳﺴﻤﻰ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻌﻢ ﺍﺑﺎ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ "Kata ﺍﻻﺏdiartikan ayah, dan semua orang yang menjadi sebab terwujudnya sesuatu atau memperbaiki sesuatu, atau menampakkannya disebut ayah. Untuk itu Nabi Muhammad saw. disebut ayah orangorang beriman." Ada juga yang mengatakan: ﻭﲰﻰ ﻣﻌﻠﻢ...ﻭﻳﺴﻤﻰ ﺍﻟﻌﻢ ﻣﻊ ﺍﻻﺏ ﺍﺑﻮﻳﻦ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﻻﻡ ﻣﻊ ﺍﻻﺏ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﳉﺪ ﻣﻊ ﺍﻻﺏ ٣٥ . ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ ﺍﺑﺎﻩ Paman dan ayah, Ibu dan ayah, kake dan ayah disebut ( ﺍﺑﻮﻳﻦdua orang tua)… dan pendidik manusia disebut juga ayah manusia. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah (٢٢: ٤٣/ﻭﻥﹶ)ﺍﻟﺰﺧﺮﻑﺪﺘﻬﻣ ﻠﹶﻰ ﺀَﺍﺛﹶﺎﺭِﻫِﻢﺎ ﻋﺇِﻧﺔٍ ﻭﻠﹶﻰ ﺃﹸﻣﺎ ﻋﺎﺀَﻧﺎ ﺀَﺍﺑﻧﺪﺟﺎ ﻭﻞﹾ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺇِﻧﺑ Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka." (Q.S. alZukhruf/43: 22) Dalam kamus Lisân al-Arab disebutkan: ﺍﻻﺏ ﺍﺻﻠﻪ ﺍﺑﻮ ﺑﺎﻟﺘﺤﺮﻳﻚ ﻻﻥ ﲨﻌﻪ ﺍﺑﺎﺀ ﻣﺜﻞ ﻗﻔﺎﺀ ﺍﻗﻔﺎﺀ ﻭﺭﺣﻰ ﺍﺭﺣﺎﺀ ﻓﺎﻟﺬﺍﻫﺐ ﻣﻨﻪ ﻭﺍﻭ ٣٦ 33 34 35 . ﻻﻧﻚ ﺗﻘﻮﻝ ﰱ ﺍﻟﺘﺜﻨﻴﺔ ﺍﺑﻮﺍﻥ Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah…, h. 53 Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…, h. 3 Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…., h. 3 121 Kata ﺍﻻﺏasalnya dari kata ﺍﺑﻮdengan memfathahkan huruf ba karena jamaknya ﺍﺑﺎﺀseperti kata ﻭﺭﺣﻰ ﻭﺍﺭﺣﺎﺀ, ﻗﻔﺎ ﻭﺍﻗﻔﺎﺀmaka yang dibuang adalah huruf wa wu karena ketika kamu membuat kata itu menjadi mutsanna (makna dua) menjadi ﺍﺑﻮﺍﻥ. Kata ﺍﻻﺏdengan berbagai bentuknya dalam al-Qur'an menurut kamus alfâzh Al-Qur'an Al-Karîm terulang 117 kali.37 Kata ﺍﻻﺏmengandung beberapa makna antara lain: 1) Mengandung makna orang tua, kakek, atau paman terulang 64 kali yaitu dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah/2: 133, 170, 170, 200; al-Nisâ’/4:11, 22; al-Mâidah/5: 104, 104; al-An'âm/6: 87, 91, 148; al-A'râf/7: 28, 70, 71, 95, 173; al-Taubah/9: 23, 24, Yûnus/10: 78; Hûd/11: 62, 87, 109; Yûsuf/12: 38, 40; al-Ra'du/13: 23; Ibrahîm/14: 10; al-Nahl/16: 35; al-Kahfi/18: 5; alAnbiyâ’/21: 44, 53, 54; al-Mu'minûn/23: 24, 68, 83; al-Nûr/24: 31, 31, 61; al-Furqân/25:18; al-Syu'arâ’/26: 26, 74, 76); al-Naml/27: 67, 68; alQashash/28: 36; Lukmân/31: 21; al-Ahzâb/33: 5, 5, 55; Saba/34: 43; Yâsîn/36: 6; al-Shafât/37: 17, 69, 126; Gâfir/40: 8; al-Zukhruf/43: 22, 23, 24, 29; al-Dukhân/44: 8, 36; al-Jâsyiah/45: 25; al-Najm/53: 23; alWâqi'ah/56: 48; al-Mujâdalah/58: 22. 38 2) Diartikan ayah kandung terulang 27 kali yaitu dalam al-Qur'an Surat Yûsuf/12: 4, 8, 9,11,16, 17,59, 61, 63, 65, 78, 80,80, 81, 81, 93, 97, 100; Maryam/19: 42, 43, 44, 45; al-Syu'arâ/26: 86; al-Qashash/28: 25,26; alAhzâb/33: 40; al-Shafât/37: 102.39 3) Diartikan Adam dan Hawa pada al-Qur'an Surat al-A'râf/7: 27 36 Ibnu Manzhur, Lisân al-Arab…, h.15 Ibrahim Madkur, alfâdh al-qur'an…, h.4-7 38 Ibrahim Madkur, alfâdh al-qur'an …, h. 4-5 39 Ibrahim Madkur, alfâdh al-qur'an…, h. 5-7 37 122 4) Sebagai kunyah (panggilan) untuk Abdu al-Uzza paman Nabi yaitu Abu Lahab yang tercantum dalam al-Qur'an Surat al-Lahab/111: 1 5) Diartikan kakek terdapat pada al-Qur'an Surat al-An'âm/6: 74; al- Taubah/9: 114; Yûsuf/12: 4, 8, 63; Maryam/19: 42; al-Anbiyâ’/2: 52; alHaj/22: 78; al-Syuarâ/26: 70; al-Shafât/37: 85; al-Zukhruf/43: 26, alMumtahinah/60: 4; Abasa/80: 35. 6) Bila dijadikan mutsannâ (makna dua) diartikan ayah dan ibu, terulang 11 kali yaitu pada al-Qur'an Surat al-Nisâ/4:11; Yûsuf/12: 6, 68, 94, 99, 100; al-Kahfi/18: 80, 82; Maryam/19: 28; al-Qashash/28: 23).40 Dari klasifikasi makna di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kata ﺍﻻﺏyang berbentuk mufrad diartikan ayah kandung, sedangkan bila berbentuk jamak diartikan orang tua, nenek moyang (kakek), atau paman. Sedangkan bila bentuk mutsanna (makna dua) diartikan ayah dan ibu, atau paman dan ayah atau ayah dan kakek. Kecuali dalam al-Qur'an Surat alA'râf/7 ayat 27 diartikan Adam dan Hawa, dan di dalam al-Qur'an Surat alLahab/111 ayat 1 diartikan kunyah (sebutan) untuk Abdu al-Uzza paman Nabi dengan sebutan Abû Lahab. Menurut Nasaruddin Umar, bahwa hampir semua kata ﺍﻻﺑﺎﺀbentuk jamak dari kata ﺍﻻﺏmenunjuk kepada pengertian nenek moyang atau leluhur. Kata ﺍﻻﺏdalam arti nenek moyang atau leluhur tidak mesti harus mengambil jalur laki laki, tetapi juga pada jalur perempuan. Sehingga istilah nenek ﺍﻻﺑﺎﺀlebih cenderung menekankan pada kualitas jender daripada moyang identitas jenis kelamin. Berbeda dengan kata menekankan aspek jenis kelamin (sex).41 40 41 Ibrahim Madkur, alfâdh al-qur'an…, h. 6-7 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 181 ( ﺍﻟﻮﺍﻟﺪayah) yang cenderung 123 Sedangkan kata ﺍﻷﻡ bisa juga digunakan dengan kata ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﺓ sebagaimana diungkapkan dalam al-Qur'an ﻟﹸﻮﺩِ ﻟﹶﻪﻮﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤﻋﺔﹶ ﻭﺎﻋﺿ ﺍﻟﺮﺘِﻢ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﺍﺩ ﺃﹶﺭﻦﻦِ ﻟِﻤﻦِ ﻛﹶﺎﻣِﻠﹶﻴﻟﹶﻴﻮ ﺣﻦﻫﻟﹶﺎﺩ ﺃﹶﻭﻦﺿِﻌﺮ ﻳﺍﺕﺍﻟِﺪﺍﻟﹾﻮﻭ ﻪ ﻟﹶﻟﹸﻮﺩﻮﻟﹶﺎ ﻣﺎ ﻭﻟﹶﺪِﻫﺓﹲ ﺑِﻮﺍﻟِﺪ ﻭﺎﺭﻀﺎ ﻟﹶﺎ ﺗﻬﻌﺳ ﺇِﻟﱠﺎ ﻭﻔﹾﺲ ﻧﻜﹶﻠﱠﻒﻭﻑِ ﻟﹶﺎ ﺗﺮﻌ ﺑِﺎﻟﹾﻤﻦﻬﺗﻮﻛِﺴ ﻭﻦﻗﹸﻬﺭِﺯ ﺎﻬِﻤﻠﹶﻴ ﻋﺎﺡﻨﺭٍ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺟﺎﻭﺸﺗﺎ ﻭﻤﻬﺍﺽٍ ﻣِﻨﺮ ﺗﻦﺎﻟﹰﺎ ﻋﺍ ﻓِﺼﺍﺩ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺃﹶﺭﺍﺭِﺙِ ِﻣﺜﹾﻞﹸ ﺫﹶﻟِﻚﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻮﻋﻟﹶﺪِﻩِ ﻭﺑِﻮ ِﻭﻑﺮﻌ ﺑِﺎﻟﹾﻤﻢﺘﻴﺎ ﺀَﺍﺗ ﻣﻢﺘﻠﱠﻤ ﺇِﺫﹶﺍ ﺳﻜﹸﻢﻠﹶﻴ ﻋﺎﺡﻨ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺟﻛﹸﻢﻟﹶﺎﺩﻮﺍ ﺃﹶﻭﺿِﻌﺮﺘﺴ ﺃﹶﻥﹾ ﺗﻢﺗﺩﺇِﻥﹾ ﺃﹶﺭﻭ (٢٣٣ : ٢/)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺼِﲑﻠﹸﻮﻥﹶ ﺑﻤﻌﺎ ﺗ ﺑِﻤﻮﺍ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﻠﹶﻤﺍﻋ ﻭﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪﺍﺗﻭ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Baqarah/2: 233) Kata ﺍﻷﻡdalam al-Qur'an terulang 35 kali yaitu 24 kali bentuk mufrad dan 11 kali berbentuk jamak.42 Dari 35 kata tersebut tidak selalu artinya Ibu, tapi mempunyai makna yang berbeda antara lain: 1) Kata ﺍﻷﻡdisandarakan kepada ﺍﻟﻘﺮﻯartinya kota Mekkah yang terulang dua kali (Q.S. al-An'âm/6 : 92; dan Q.S. al-Syu'arâ/26: 7) 2) Kata ﺍﻷﻡyang disandarkan kepada ﺍﻟﻜﺘﺎﺏartinya inti/pokok kitab yang terulang 3 kali (Q.S. Ali Imrân/3 : 7; Q.S. al-Ra'du/13 : 39; dan Q.S. alZukhruf/43: 4) 42 Muhammad Fuad Abdu al-Baqi, Mu’jam al-Mufahrasy Li alfâdh al-Qur ’an al-Karîm, (selanjutnya tertulis al-Mufahrasy Li alfâdh al-Qur ’an) (Cairo : Dâr al-Hadîts, 1986), h. 79 124 3) Kata ﺍﻷﻡdisandarkan kepada ﻣﻮﺳﻰartinya Ibu Musa yang terulang 2 kali (Q.S. al-Qashash/28 : 7 dan 10) 4) Diartikan tempat kembali atau tempat tinggal (Q.S. al-Qâri'ah/101 : 9) 5) Diartikan ibu kota (Q.S. al-Qashash/28 : 59) 6) Diartikan orang yang tidak pandai tulis baca terulang 6 kali (Q.S. alA'râf/7: 157, 158: Q.S. al-Baqarah/2: 78; Q.S. Ali Imrân/3: 20, 75; dan Q.S. al-Jumu'ah/62: 2).43 Sedangkan 20 kata yang lainnya bisa diartikan ibu kandung dan makna lainnya. Nasaruddin Umar mengatakan, "Adapun dalam bentuk jama (ﺃﻣﻬﺎﺕ ) di dalam al-Qur'an pada umumnya digunakan khusus untuk pengertian ibu-ibu. Hanya saja ada dalam pengertian ibu dalam garis lurus ke atas mencakup nenek, ibu susuan, dan ibu dari istri (al-Nisâ’/4 : 23). 44 Kata ﺃﻣﻬﺎﺕjuga digunakan untuk menyebut istri-istri Nabi sebagai "ibu kehormatan umat Islam yang tidak dibenarkan untuk dikawini (Q.S. alAhzâb/33: 6).45 Kata ﺍﻻﺏdan ﺍﻷﻡtidak selamanya menjadi simbul identitas jender sebagaimana yang lazim ditemukan dalam kitab fikih yang berarti bapak atau ibu. Bapak dan ibu masing-masing mempunyai peran penting dalam pembinaan anak. Urusan keamanan dan tanggung jawab sosial ekonomi lebih banyak diperankan ayah () ﺍﻻﺏ, seperti tercermin dalam kisan Nabi Yusuf bersaudara dengan ayahnya (Ya'qub), Nabi Ismail dan Nabi Ishaq dengan ayahnya, Ibrahim. Adapun ibu ( ) ﺍﻷﻡdalam arti ibu lebih banyak dihubungkan dengan tanggung jawab reproduksi dan pembinaan internal rumah tangga 43 44 45 Ibrahim Madkur, alfâdh al-qur'an…, h. 82 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 188 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 189 125 seperti mengandung bayi (Q.S. Luqmân/31: 14) dan menyusui bayi (Q.S. alQashash/28: 7).46 c. Anak Laki-Laki ( ) ﺍﻻﺑﻦdan Anak Perempuan () ﺍﻟﺒﻨﺖ Kata ﺍﻻﺑﻦdiambil dari kata ﺑﻨﻮdiartikan oleh abu Husen Ahmad bin Faris Bin Zakaria dalam kamus Al-Maqâyis fî al-Lugah : ٤٧ . ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺸﺊ ﻳﺘﻮﻟﺪ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺊ ﻛﺎﺑﻦ ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ ﻭ ﻏﲑﻩ "Sesuatu yang dilahirkan dari sesuatu seperti anak manusia dan lainnya." Sedangkan menurut al-Ragib al-Ashfihani dalam kamus Mufradât alfâzh al-Qur'an mengatakan: ﻭﲰﻰ ﺑﺬﻟﻚ ﻟﻜﻮﻧﻪ ﺑﻨﺎﺀ ﻟﻼﺏ ﻓﺎﻥ... ﺍﺑﻦ ﺍﺻﻠﻪ ﺑﻨﻮ ﻟﻘﻮﳍﻢ ﺍﳉﻤﻊ ﺍﺑﻨﺎﺀ ﻭ ﰱ ﺍﻟﺘﺼﻐﲑ ﺑﲎ ﺍﻻﺏ ﻫﻮﺍﻟﺬﻯ ﺑﻨﺎﻩ ﻭ ﺟﻌﻠﻪ ﺍﷲ ﺑﻨﺎﺀ ﰱ ﺍﳚﺎﺩﻩ ﻭ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻜﻞ ﻣﺎﳛﺼﻞ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺷﻴﺊ ﺍﻭ ﻣﻦ ﺗﺮﺑﻴﺘﻪ ﺍﻭ ﺑﺘﻔﻘﺪﻩ ﺍﻭ ﻛﺜﲑﺓ ﺧﺪﻣﺘﻪ ﻟﻪ ﺍﻭ ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﺎﻣﺮﻩ ﻫﻮ ﺍﺑﻨﻪ ﳓﻮ ﻓﻼﻥ ﺍﺑﻦ ﺣﺮﺏ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞ ٤٨ . ﻟﻠﻤﺴﺎﻓﺮ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ Kata ﺍﺑﻦdiambil dari kata ﺑﻨﻮlalu mereka mengatakan bahwa jama dari kata ﺍﺑﻦadalah ﺍﺑﻨﺎﺀdan tashgirnya … ﺑﲎdinamakan demikian karena anak itu dibentuk/ dididik oleh ayah, maka ayah yang mendidik anaknnya dan Allah menjadikan ayah sebagai pendidik dalam memperbaiki anak. Dan ada yang mengatakan, "Seluruh yang dihasilkan dari pengarahan, pendidikan terhadap sesuatu, atau hasil dari pencarian sesuatu, atau hasil dari banyak pelayanan terhadap sesuatu, atau dari hasil melakukan urusan sesuatu disebut anaknya. Seperti ( ﻓﻼﻥ ﺍﺑﻦ ﺣﺮﺏFulan adalah seorang pemberani), ( ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞseorang yang melakukan perjalanan jauh), ( ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻠﻴﻞseorang pencuri), ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ (seorang pelajar)." Sedangkan menurut kamus Al-Wasîth, kata tapi orang arab menjadikan kata 46 47 48 ﺍﺑﻦartinya anak laki-laki, ﺍﺑﻦmenjadi kunyah (sebutan) terhadap Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 190 Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah…, h. 156 Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…., h. 60 126 sesuatu. Seperti ﺍﺑﻦ ﺍﳊﺮﺏdigunakan untuk seorang pembrani, ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﺍﻭ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻠﻴﻞdigunakan untuk seorang pencuri, ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞdigunakan untuk seorang yang melakukan perjalanan jauh. Adapun jama dari kata ﺍﺑﻦada dua yaitu ﺍﺑﻨﺎﺀdan ﺑﻨﻮﻥ. 49 Kata ﺍﻟﺒﻨﺖartinya anak perempuan, jamaknya ﺑﻨﺎﺕnasabnya ﺑﻨﱴatau ﺍﺑﲎ ﺑﻨﻴﺔnamun orang arab menggunakan kata ﺑﻨﺖuntuk kunyah (sebutan) seperti ﺑﻨﺎﺕ ﺍﻟﺼﺪﺭdigunakan untuk orang kesusahan, ﺑﻨﺎﺕ ﺍﻟﺪﻫﺮ dan tashgirnya ﺑﻨﺎﺕ ﻧﻌﺶ ﰱ ﺍﻟﻔﻠﻚdigunakan untuk dua kelompok bintang yang satu kecil dan yang satunya besar, ﺑﻨﺎﺕ ﺍﻻﺭﺽ digunakan untuk tempat persembunyian pengembala, dan ﺑﻨﺎﺕ ﺍﻟﻠﻴﻞdigunakan digunakan untuk orang yang sangat susah, untuk wanita pelacur. 50 ﺍﺑﻦdijadikan makna perempuan menjadi ﺍﺑﻨﺔatau ﺑﻨﺖdan jamaknya menjadi ﺑﻨﺎﺕ.51 Dari pengertian Al-Ragib al-Ashfihani menyebutkan, bahwa kata pengertian diatas, maka Nasaruddin Umar menyatakan:"Bahwa bentuk jama dari kata ﺍﺑﻦyakni ﺍﺑﻨﺎﺀatau ﺑﻨﲔ, ﺑﻨﻮﻥmenunjuk kepada pengertian anak-anak atau anak cucu tanpa dibedakan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan.52 Sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an ﻣِﻦ ﺫﹶﻟِﻚﺮﻴ ﺧﻯ ﺫﹶﻟِﻚﻘﹾﻮ ﺍﻟﺘﺎﺱﻟِﺒﺎ ﻭﺭِﻳﺸ ﻭﺁﺗِﻜﹸﻢﻮﺍﺭِﻱ ﺳﻮﺎ ﻳﺎﺳ ﻟِﺒﻜﹸﻢﻠﹶﻴﺎ ﻋﻟﹾﻨﺰ ﺃﹶﻧ ﻗﹶﺪﻡﻨِﻲ ﺁﺩﺎﺑﻳ (٢٦: ٧/ﻭﻥﹶ )ﺍﻻﻋﺮﺍﻑﺬﱠﻛﱠﺮ ﻳﻢﻠﱠﻬﺎﺕِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻟﹶﻌﺁﻳ Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi `auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudahmudahan mereka selalu ingat. (Q.S. al-A'râf/7: 6) 49 50 51 52 Ibrahim Anis at. al., al-Wasîth…, h. 72 Ibrahim Anis at. al., al-Wasîth…, h. 72 Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…., h. 60 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 192 127 Begitu juga kata ﺍﻟﻮﻟﺪyang jamaknya ﺍﻭﻻﺩkadang-kadang diartikan anak laki-laki dan kadang-kadang juga menunjukkan kepada pengertian anak tanpa membedakan anak laki-laki dan perempuan dan ini yang lebih banyak diungkap dalam al-Qur'an. 53 Seperti dalam al-Qur'an ﻢ ﻟﹶﻬﺎ ﻓﹶﺄﹸﻭﹶﻟﺌِﻚﺎﻟِﺤﻤِﻞﹶ ﺻﻋ ﻭﻦ ﺀَﺍﻣﻦﻟﹾﻔﹶﻰ ﺇِﻟﱠﺎ ﻣﺎ ﺯﻧﺪ ﻋِﻨﻜﹸﻢﺑﻘﹶﺮ ﺑِﺎﻟﱠﺘِﻲ ﺗﻛﹸﻢﻟﹶﺎﺩﻟﹶﺎ ﺃﹶﻭ ﻭﺍﻟﹸﻜﹸﻢﻮﺎ ﺃﹶﻣﻣﻭ (٣٧ : ٣٤/ﻮﻥﹶ )ﺳﺒﺎﻓﹶﺎﺕِ ﺀَﺍﻣِﻨﺮ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻐﻢﻫﻤِﻠﹸﻮﺍ ﻭﺎ ﻋﻒِ ﺑِﻤﻌﺍﺀُ ﺍﻟﻀﺰﺟ Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga). (Q.S.Saba/34: 37) Berbeda dengan bentuk jamak kata ﺑﻨﺖyakni ﺑﻨﺎﺕyang secara khusus menunjuk kepada anak-anak perempuan. Seperti terdapat dalam al-Qur'an alNisâ/4 ayat 23 dan Surat al-Ahzâb/33 ayat 59.54 3. Kata Ganti (Dhomir) Berkaitan Dengan Jenis Kelamin Dhomir menurut Fuad Ni’mah adalah ٥٥ . ﺍﻟﻀﻤﲑ ﺍﺳﻢ ﻣﺒﲏ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻲ ﻣﺘﻜﻠﻢ ﺍﻭ ﳐﺎﻃﺐ ﺍﻭ ﻏﺎﺋﺐ ”Kata ganti adalah isim (kata) yang mabni (tidak berubah) yang menunjukkan pada orang pertama, kedua atau ketiga.” Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ganti dalam bahasa Arab sama halnya dengan bahasa Indonesia, ada tiga macam. a. Kata ganti untuk orang pertama 53 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 193 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 192 55 Fuad Ni’mah, Mulakhash Qowaid al-Lughah al-Arabiyah, (Bairut: Daar al-Tsaqafah alIslamiyah, t.t. ), h. 113 54 128 Kata ganti untuk orang pertama ada dua yaitu: 1) Kata ganti orang pertama tunggal dengan menggunakan ( ﺍﻧﺎsaya) digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Sebagaimana dalam firman Allah dalam al-Qur'an yang berbunyi ﺎﺎ ﺃﹶﻧﻣ ﺇِﺫﹰﺍ ﻭﻠﹶﻠﹾﺖ ﺿ ﻗﹶﺪﺍﺀَﻛﹸﻢﻮ ﺃﹶﻫﺒِﻊﻭﻥِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻗﹸﻞﹾ ﻟﹶﺎ ﺃﹶﺗ ﺩﻮﻥﹶ ﻣِﻦﻋﺪ ﺗ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦﺪﺒ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻋﻬِﻴﺖﻲ ﻧﻗﹸﻞﹾ ﺇِﻧ ( ٥٦ : ٦/ﺪِﻳﻦ )ﺍﻻﻧﻌﺎﻡﺘﻬ ﺍﻟﹾﻤﻣِﻦ Katakanlah, "Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah". Katakanlah, "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk." (Q.S. al-An’âm/6: 56) 2) Kata ganti untuk orang pertama lebih dari satu dengan menggunakan ﳓﻦ (kami) dapat digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah di dalam al-Qur'an ( ١٣٨ : ٢/ﻭﻥﹶ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺎﺑِﺪ ﻋ ﻟﹶﻪﻦﺤﻧﺔﹰ ﻭﻐ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻِﺒ ﻣِﻦﻦﺴ ﺃﹶﺣﻦﻣﺔﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭﻐﺻِﺒ Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah. (Q.S. alBaqarah/2:138). b. Kata ganti untuk orang kedua Kata ganti untuk orang kedua ada 5 yaitu: 1) Kata ganti orang kedua tunggal untuk laki-laki menggunakan kata ﺍﻧﺖ (kamu) dengan memfathahkan huruf ta-nya (kamu seorang laki-laki) atau huruf ﻙyang dibaca fathah. Seperti firman Allah di dalam al- Qur'an Surat al-Mâidah/5 ayat 116 yang berbunyi: ﻭﻥِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺩﻦِ ﻣِﻦﻴ ﺇِﻟﹶﻬﻲﺃﹸﻣﺨِﺬﹸﻭﻧِﻲ ﻭﺎﺱِ ﺍﺗ ﻟِﻠﻨ ﻗﹸﻠﹾﺖﺖ ﺀَﺃﹶﻧﻢﻳﺮ ﻣﻦﻰ ﺍﺑﺎﻋِﻴﺴ ﻳﺇِﺫﹾ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﻭ ﻔﹾﺴِﻲﺎ ﻓِﻲ ﻧ ﻣﻠﹶﻢﻌ ﺗﻪﺘﻠِﻤ ﻋ ﻓﹶﻘﹶﺪﻪ ﻗﹸﻠﹾﺘﺖ ﺇِﻥﹾ ﻛﹸﻨﻖ ﻟِﻲ ﺑِﺤﺲﺎ ﻟﹶﻴﻜﹸﻮﻥﹸ ﻟِﻲ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻗﹸﻮﻝﹶ ﻣﺎ ﻳ ﻣﻚﺎﻧﺤﺒﺳ (١١٦ : ٥/ﻮﺏِ)ﺍﳌﺎﺋﺪﺓﻴ ﺍﻟﹾﻐﻠﱠﺎﻡ ﻋﺖ ﺃﹶﻧﻚ ﺇِﻧﻔﹾﺴِﻚﺎ ﻓِﻲ ﻧ ﻣﻠﹶﻢﻟﹶﺎ ﺃﹶﻋﻭ 129 Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, 'Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?' Isa menjawab, "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib." 2) Kata ganti orang kedua tunggal untuk perempuan menggunakan kata ﺍﻧﺖ dengan mengkasrahkan huruf ta (kamu seorang perempuan) atau menggunakan kata ﻙyang dibaca kasrah. Seperti firman Allah dalam alQur'an yang berbunyi: (٣٣ : ٢٧/)ﺍﻟﻨﻤﻞﺮِﻳﻦﺄﹾﻣﺎﺫﹶﺍ ﺗﻈﹸﺮِﻱ ﻣﻚِ ﻓﹶﺎﻧ ﺇِﻟﹶﻴﺮﺍﻟﹾﺄﹶﻣﺪِﻳﺪٍ ﻭﺄﹾﺱٍ ﺷﺃﹸﻭﻟﹸﻮ ﺑﺓٍ ﻭ ﺃﹸﻭﻟﹸﻮ ﻗﹸﻮﻦﺤﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻧ Mereka menjawab, "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan". (Q.S. al-Namal/27: 33) 3) Kata ganti orang kedua untuk dua orang laki-laki atau dua orang perempuan menggunakan kata (( ﺍﻧﺘﻤﺎ)ﻛﻤﺎkamu dua orang laki-laki atau dua perempuan) seperti dalam al-Qur'an yang berbunyi: ﺎﻜﹸﻤﻌﺒﻦِ ﺍﺗﻣﺎ ﻭﻤﺘﺎ ﺃﹶﻧﺎﺗِﻨﺎ ﺑِﺂﻳﻜﹸﻤﺼِﻠﹸﻮﻥﹶ ﺇِﻟﹶﻴﺎ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﻳﻠﹾﻄﹶﺎﻧﺎ ﺳﻞﹸ ﻟﹶﻜﹸﻤﻌﺠﻧ ﻭ ﺑِﺄﹶﺧِﻴﻚﻙﺪﻀ ﻋﺪﺸﻨﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ (٣٥ : ٢٨/ﻮﻥﹶ)ﺍﻟﻘﺼﺺﺎﻟِﺒﺍﻟﹾﻐ Allah berfirman, "Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang menang." (Q.S. al-Qashosh/28: 35) 4) Kata ganti orang kedua lebih dari dua orang untuk laki-laki digunakan kata (( ﻛﻢ )ﺍﻧﺘﻢkalian laki-laki) seperti firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Ali Imrân/3 ayat 71 yang berbunyi: (٧١ : ٣/ﻮﻥﹶ)ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥﻠﹶﻤﻌ ﺗﻢﺘﺃﹶﻧ ﻭﻖﻮﻥﹶ ﺍﻟﹾﺤﻤﻜﹾﺘﺗﺎﻃِﻞِ ﻭ ﺑِﺎﻟﹾﺒﻖﻮﻥﹶ ﺍﻟﹾﺤﻠﹾﺒِﺴ ﺗﺎﺏِ ﻟِﻢﻞﹶ ﺍﻟﹾﻜِﺘﺎﺃﹶﻫﻳ 130 Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui? 5) Kata ganti orang kedua lebih dari dua orang untu perempuan digunakan kata ﺍﻧﱳatau ( ﻛﻦkalian perempuan) seperti firman Allah dalam al- Qur'an yang berbunyi: ﻪ ﺍﻟﻠﱠﻦﺃﹶﻃِﻌﻛﹶﺎﺓﹶ ﻭ ﺍﻟﺰﺀَﺍﺗِﲔﻠﹶﺎﺓﹶ ﻭ ﺍﻟﺼﻦﺃﹶﻗِﻤﺔِ ﺍﻟﹾﺄﹸﻭﻟﹶﻰ ﻭﺎﻫِﻠِﻴ ﺍﻟﹾﺠﺝﺮﺒ ﺗﻦﺟﺮﺒﻟﹶﺎ ﺗ ﻭﻮﺗِﻜﹸﻦﻴﻥﹶ ﻓِﻲ ﺑﻗﹶﺮﻭ ﻠﹶﻰﺘﺎ ﻳﻥﹶ ﻣﺍﺫﹾﻛﹸﺮﺍ ﻭﻄﹾﻬِﲑ ﺗﻛﹸﻢﺮﻄﹶﻬﻳﺖِ ﻭﻴﻞﹶ ﺍﻟﹾﺒ ﺃﹶﻫﺲﺟ ﺍﻟﺮﻜﹸﻢﻨ ﻋﺬﹾﻫِﺐ ﻟِﻴ ﺍﻟﻠﱠﻪﺮِﻳﺪﺎ ﻳﻤ ﺇِﻧﻮﻟﹶﻪﺳﺭﻭ ( ٣٤-٣٣ : ٣٣/ﺍ )ﺍﻻﺣﺰﺍﺏﺒِﲑ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻄِﻴﻔﹰﺎ ﺧﺔِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺍﻟﹾﺤِﻜﹾﻤﺎﺕِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭ ﺀَﺍﻳ ﻣِﻦﻮﺗِﻜﹸﻦﻴﻓِﻲ ﺑ Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Ahzâb/33: 33 -34) c. Kata ganti orang ketiga Kata ganti orang ketiga ada 5 macam yaitu : 1) Kata ganti orang ketiga tunggal untuk laki laki, digunakan kata ﻫﻮatau huruf ha (dia laki laki) seperti firman Allah di dalam al-Qur'an yang berbunyi: ِﻓﱢﻖﻮﺎ ﻳﻠﹶﺎﺣﺍ ﺇِﺻﺮِﻳﺪﺎ ﺇِﻥﹾ ﻳﻠِﻬ ﺃﹶﻫﺎ ﻣِﻦﻜﹶﻤﺣﻠِﻪِ ﻭ ﺃﹶﻫﺎ ﻣِﻦﻜﹶﻤﻌﺜﹸﻮﺍ ﺣ ﺎ ﻓﹶﺎﺑﻨِﻬِﻤﻴ ﺑ ﺷِﻘﹶﺎﻕﻢﺇِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘﻭ (٣٥ : ٤/ﺍ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﺒِﲑﺎ ﺧﻠِﻴﻤ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋﺎ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﻤﻬﻨﻴ ﺑﺍﻟﻠﱠﻪ Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suamiistri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Nisâ’/4 : 35) 131 2) Kata ganti orang ketiga tunggal untuk perempuan digunakan kata atau ﻫﻰ ( ﻫﺎdia perempuan) seperti firman Allah di dalam al-Qur'an Surat al-Tahrîm/66 ayat 12 yang berbunyi: ﺎﻬﺑﺎﺕِ ﺭ ﺑِﻜﹶﻠِﻤﻗﹶﺖﺪﺻﺎ ﻭﻭﺣِﻨ ﺭﺎ ﻓِﻴﻪِ ﻣِﻦﻨﻔﹶﺨﺎ ﻓﹶﻨﻬﺟ ﻓﹶﺮﺖﻨﺼﺍﻥﹶ ﺍﻟﱠﺘِﻲ ﺃﹶﺣﺮ ﻋِﻤﺖﻨ ﺍﺑﻢﻳﺮﻣﻭ (١٢ : ٦٦/)ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ ﺍﻟﹾﻘﹶﺎﻧِﺘِﲔ ﻣِﻦﺖﻛﹶﺎﻧﺒِﻪِ ﻭﻛﹸﺘﻭ Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat. 3) Kata ganti orang ketiga untuk dua orang baik laki-laki maupun perempuan digunakan kata yang sama yaitu ( ﳘﺎdia laki laki atau dia perempuan) seperti firman Allah dalam al-Qur'an yang berbunyi: ﻜِﻴﻢ ﺣﺰِﻳﺰ ﻋﺍﻟﻠﱠﻪ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭﻜﹶﺎﻟﹰﺎ ﻣِﻦﺎ ﻧﺒﺎ ﻛﹶﺴﺍﺀً ﺑِﻤﺰﺎ ﺟﻤﻬﺪِﻳﻮﺍ ﺃﹶﻳﺎﺭِﻗﹶﺔﹸ ﻓﹶﺎﻗﹾﻄﹶﻌﺍﻟﺴ ﻭﺎﺭِﻕﺍﻟﺴﻭ (٣٨ : ٥/)ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Mâidah/5: 38) 4) Kata ganti orang ketiga lebih dari dua orang untuk laki laki digunakan kata ( ﻫﻢmereka laki laki) seperti firman Allah dalam al-Qur'an Surat al-Ahzâb/23 ayat 12 yang berbunyi: ﺇِﻟﱠﺎﻮﻟﹸﻪﺳﺭ ﻭﺎ ﺍﻟﻠﱠﻪﻧﺪﻋﺎ ﻭ ﻣﺽﺮ ﻣ ﻓِﻲ ﻗﹸﻠﹸﻮﺑِﻬِﻢﺍﻟﱠﺬِﻳﻦﺎﻓِﻘﹸﻮﻥﹶ ﻭﻨﻘﹸﻮﻝﹸ ﺍﻟﹾﻤﺇِﺫﹾ ﻳﻭ (١٢ : ٣٣/ﺍ)ﺍﻻﺣﺰﺍﺏﻭﺭﻏﹸﺮ Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, "Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya." 5) Kata ganti orang ketiga lebih dari 2 orang untuk perempuan digunakan kata ( ﻫﻦmereka kaum perempuan) seperti firman Allah dalam al- Qur'an yang berbunyi: 132 ﺎﺾِ ﻣﻌﻮﺍ ﺑِﺒﺒﺬﹾﻫ ﻟِﺘﻦﻠﹸﻮﻫﻀﻌﻟﹶﺎ ﺗﺎ ﻭﻫﺎﺀَ ﻛﹶﺮﺴﺮِﺛﹸﻮﺍ ﺍﻟﻨ ﺃﹶﻥﹾ ﺗﺤِﻞﱡ ﻟﹶﻜﹸﻢﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﻳﻨ ﺀَﺍﻣﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦﻬﺎﹶﻳﻳ ﻰ ﺃﹶﻥﹾﺴ ﻓﹶﻌﻦﻮﻫﻤﺘﻭﻑِ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹶﺮِﻫﺮﻌ ﺑِﺎﻟﹾﻤﻦﻭﻫﺎﺷِﺮﻋﺔٍ ﻭﻨﻴﺒﺔٍ ﻣ ﺑِﻔﹶﺎﺣِﺸﺄﹾﺗِﲔ ﺇِﻟﱠﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﻦﻮﻫﻤﺘﻴﺀَﺍﺗ (١٩ : ٤/ﺍ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﺍ ﻛﹶﺜِﲑﺮﻴ ﻓِﻴﻪِ ﺧﻞﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﻌﺠﻳﻴﺌﹰﺎ ﻭﻮﺍ ﺷﻫﻜﹾﺮﺗ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.S. al-Nisâ’/4: 19) Sekalipun penjelasan mengenai dhamîr sudah dipaparkan di atas, namun demikian perlu memperhatikan catatan mengenai masalah dhamîr (kata ganti) baik munfashil (terpisah), muttashil (bersambung), maupun mustatirah (tersembunyi), karena menurut kaidah bahasa Arab bahwa bila terkumpul mudzakar dan muannats maka cukup digunakan dengan dhamîr mudzakar dan tidak sebaliknya. Nasaruddin Umar mengutip pendapat ulama dari golongan Mu'tazilah: ﺍﻥ ﻣﺮﺍﺩﻫﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﺍﻥ ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ ﺍﺫﺍ ﺍﺭﺍﺩ ﺍﻟﺘﻌﺒﲑ ﻋﻦ ﺍﻟﺆﻧﺚ ﻭ ﺍﳌﺬﻛﺮ ﺑﻠﻔﻆ ﻭﺟﺐ ﺍﻥ: ﻭﺍﳉﻮﺍﺏ ﻳﻌﱪ ﻋﻨﻪ ﺑﻠﻔﻆ ﺍﳌﺬﻛﺮ ﻻ ﻣﺆﻧﺚ ﻭ ﻟﻴﺲ ﰲ ﻫﺬﺍ ﻣﺎﻳﺪﻝ ﻋﻠﻲ ﺍﻥ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻳﻔﻴﺪ ﻇﺎﻫﺮﻩ ﺍﳌﺆﻧﺚ "Jawabnya, 'Sesungguhnya yang dimaksud masalah tersebut ialah jika yang dikehendaki seseorang adalah penyebutan perempuan dan laki-laki di dalam satu lafazh, maka harus menggunakan lafazh mudzakar, bukannya lafazh muannats. Dan tidak berarti bahwa zhâhîr lafazh itu menunjukkan muannats.'"56 B. Ayat-Ayat Penciptaan Manusia 56 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 204 133 Sampai saat ini ada sebagian orang yang mempercayai teori evolusi Darwin yang menyebutkan bahwa manusia itu berasal dari kera. Padahal teori ini bertentangan dengan firman Allah ِﻦﻠﹶﻴﻠﹶﻰ ﺭِﺟﺸِﻲ ﻋﻤ ﻳﻦ ﻣﻢﻬﻣِﻨﻄﹾﻨِﻪِ ﻭﻠﹶﻰ ﺑﺸِﻲ ﻋﻤ ﻳﻦ ﻣﻢﻬﺎﺀٍ ﻓﹶﻤِﻨ ﻣﺔٍ ﻣِﻦﺍﺑ ﻛﹸﻞﱠ ﺩﻠﹶﻖ ﺧﺍﻟﻠﱠﻪﻭ (٤٥ : ٢٤/ )ﺍﻟﻨﻮﺭﺀٍ ﻗﹶﺪِﻳﺮﻲﻠﹶﻰ ﻛﹸﻞﱢ ﺷ ﻋﺎﺀُ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺸﺎ ﻳ ﻣ ﺍﻟﻠﱠﻪﻠﹸﻖﺨﻊٍ ﻳﺑﻠﹶﻰ ﺃﹶﺭﺸِﻲ ﻋﻤ ﻳﻦ ﻣﻢﻬﻣِﻨﻭ Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendakiNya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. alNur/24: 45) Dari ayat ini jelaslah bahwa Allah sudah membedakan antara satu makhluk dengan makhluk lainnya, khususnya manusia dengan kera. Keduanya tentu berbeda karena manusia berjalan dengan kedua kakinya, sedangkan kera berjalan dengan empat kakinya. Begitu juga bertentangan dengan firman Allah ﺎ ﻓِﻴﻬﻔﹾﺴِﺪ ﻳﻦﺎ ﻣﻞﹸ ﻓِﻴﻬﻌﺠﻠِﻴﻔﹶﺔﹰ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺃﹶﺗﺽِ ﺧﺎﻋِﻞﹲ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭﻲ ﺟﻠﹶﺎﺋِﻜﹶﺔِ ﺇِﻧ ﻟِﻠﹾﻤﻚﺑﺇِﺫﹾ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﻭ :٢/)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﻮﻥﹶﻠﹶﻤﻌﺎ ﻟﹶﺎ ﺗ ﻣﻠﹶﻢﻲ ﺃﹶﻋ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇِﻧ ﻟﹶﻚﺱﻘﹶﺪﻧ ﻭﺪِﻙﻤ ﺑِﺤﺢﺒﺴ ﻧﻦﺤﻧﺎﺀَ ﻭﻣ ﺍﻟﺪﻔِﻚﺴﻳﻭ (٣٠ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S.al-Baqarah/2 :30) Manusia pada hakikatnya diciptakan dari tanah dan al-Qur'an telah menceritakan kepada kita tentang asal kejadian manusia sejak Nabi Adam sampai saat kita sekarang ini. Hal ini banyak disebutkan pada beberapa ayat al- 134 Qur'an (Q.S.al-Sajadah/32: 7; Q.S.al-Rahmân/55:14; Q.S.al-Hajar/15 :26; Q.S. al-Mu'minûn/23:12; Q.S. al-An'âm/6: 2; Q.S. al-Shâfât/37: 11; Q.S. Shâd/38: 71; Q.S. al-Haj/22: 5; dan Q.S. al-Rûm/30: 20). 57 Penciptaan manusia pada dasarnya dibagi pada dua tahap yaitu: 1. Penciptaan manusia pertama (Adam dan Hawa) Penciptaan manusia pertama dapat dirujuk pada firman Allah ﺎﻤﻬﺚﱠ ﻣِﻨﺑﺎ ﻭﻬﺟﻭﺎ ﺯﻬ ﻣِﻨﻠﹶﻖﺧﺓٍ ﻭﺍﺣِﺪﻔﹾﺲٍ ﻭ ﻧﻢ ﻣِﻦ ﻠﹶﻘﹶﻜﹸ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﺧﻜﹸﻢﺑﻘﹸﻮﺍ ﺭ ﺍﺗﺎﺱﺎ ﺍﻟﻨﻬﺎﹶﻳﻳ ﺎﻗِﻴﺒ ﺭﻜﹸﻢﻠﹶﻴ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺎﻡﺣﺍﻟﹾﺄﹶﺭﺎﺀَﻟﹸﻮﻥﹶ ﺑِﻪِ ﻭﺴ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪﺍﺗﺎﺀً ﻭﻧِﺴﺍ ﻭﺎﻟﹰﺎ ﹶﻛﺜِﲑﺭِﺟ (١ : ٤/)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. alNisâ’/4: 1) Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa surat al-Nisâ’ mengajak agar senantiasa menjalin hubungan kasih sayang antara seluruh manusia. Karena itu ayat ini walau turun di Madinah yang biasanya panggilan ditujukan kepada orang beriman, ( ) ﻳﺎﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﻣﻨﻮﺍ, namun demi persatuan dan kesatuan, ayat ini mengajak semua manusia yang beriman dan yang tidak beriman. (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah, Vol.2, h.313.58 57 Amir Abdul Aziz, al-Insan fi al-Islam, (Bairut: Daar al-Furqan, 1986), h. 11 Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, yakni Adam atau jenis yang sama, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara seorang manusia dengan yang lain, dan Allah menciptakan darinya, yakni dari diri yang satu itu pasangannya, dan dari keduanya yakni dari Adam dan istrinya. Allah memperkembangbiakkan lakilaki yang banyak dan perempuanpun demikian. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan pelihara pula hubungan silaturahim. Jangan putuskan hubungan tersebut, karena apapun yang terjadi. Sesungguhnya Allah terus menerus sebagaimana dipahami dari kata () ﻛﺎﻥ Maha pengawas terhadap kamu. 58 135 Ketika Muhammad Quraish Shihab menerjemahkan kata ﻣﻦ ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ beliau memaparkan pendapat para ulama tafsir. Menurutnya bahwa mayoritas ulama memahaminya dalam arti Adam a.s. Ada juga pendapat minoritas yang memahaminya dalam arti jenis manusia lelaki dan perempuan, seperti Muhammad Abduh, al-Qasimi dan beberapa ulama kontemporer lainnya, sehingga ayat ini sama dengan maksud firman Allah dalam al-Qur'an Surat alHujurât/49 ayat 13 yang intinya berbicara tentang asal kejadian manusia yang sama dari seorang ayah dan ibu, yakni seperma ayah dan ovum/indung telur ibu. Tapi tekanannya pada persamaan hakikat kemanusiaan orang perorang, karena setiap orang walau berbeda-beda ayah dan ibunya, tetapi unsur dan proses kejadian mereka sama. Oleh karena itu tidak wajar seseorang menghina atau merendahkan orang lain.59 Selanjutnya memahami kata Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ﻧﻔﺲ ﻭ ﺍﺣﺪﺓsebagai Adam a.s. Menjadikan kata ﺯﻭﺟﻬﺎyang secara harfiyah bermakna pasangannya, adalah istri Adam a.s. Yang populer bernama Hawa. Agaknya karena ayat itu menyatakan bahwa pasangan itu diciptakan dari ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓyang berarti Adam a.s., maka para ulama tafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam a.s. diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. 60 Banyak penafsir menyatakan bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok, kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Qurthubi dalam tafsirnya. ”Oleh karena itu 59 60 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 314 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 315 136 perempuan bersifat ﻋﻮﺟﺎﺀartinya bengkok. Pandangan ini mereka perkuat dengan hadis Rasul saw. yang menyatakan: ﹶﺓﺮﺴﻴ ﻣﻦﺓﹶ ﻋﺍﺋِﺪ ﺯﻦ ﻋﻠِﻲ ﻋﻦ ﺑﻦﻴﺴﺎ ﺣﺛﹶﻨﺪﺍﻡٍ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺣ ﺣِﺰﻦﻰ ﺑﻮﺳﻣﺐٍ ﻭﻳﻮ ﻛﹸﺮﺎ ﺃﹶﺑﺛﹶﻨﺪﺣ ِﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻﺳ ﻗﹶﺎ ﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﺿِﻲﺓﹶ ﺭﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫﻦﺎﺯِﻡٍ ﻋ ﺃﹶﺑِﻲ ﺣﻦ ﻋﻌِﻲﺠﺍﻟﹾﺄﹶﺷ ﻓﹶﺈِﻥﹾﻠﹶﺎﻩﻠﹶﻊِ ﺃﹶﻋﺀٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻀﻲ ﺷﺝﻮﺇِﻥﱠ ﺃﹶﻋ ﺿِﻠﹶﻊٍ ﻭ ﻣِﻦﻠِﻘﹶﺖﺃﹶﺓﹶ ﺧﺮﺎﺀِ ﻓﹶﺈِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤﺴﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻨﺻﻮﺘ ﺍﺳﻠﱠﻢﺳﻭ ٦١ ﺎﺀِ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯﺴﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻨﺻﻮﺘ ﻓﹶﺎﺳﺝﻮﻝﹾ ﺃﹶﻋﺰ ﻳ ﻟﹶﻢﻪﻛﹾﺘﺮﺇِﻥﹾ ﺗ ﻭﻪﺗﺮ ﻛﹶﺴﻪﻘِﻴﻤ ﺗﺖﺒﺫﹶﻫ "Abu Kuraib dan Musa Ibnu Hizam menceritakan kepada kami, keduanya berkata, "Husain Ibnu Ali menceritakan kepada kami dari Zaidah, dari Maisarah al-Asyja’i, dari Abi Hazim, dari Abi Hurairah r.a. Berkata, 'Rasulullah saw. telah bersabda, 'Berwasiatlah kepada para perempuan. Sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang ada paling atas, jika kamu ingin meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya, dan jika kamu biarkan, maka tulang rusuk itu tetap bengkok, maka berwasiatlah kepada para perempuan." (H.R. Bukhari) Hadis ini dipahami oleh ulama-ulama terdahulu dalam arti harfiyah, namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya dalam arti metafora, bahkan ada yang menolak kesahehan hadis tersebut. Yang memahami secara metafora menyatakan bahwa hadis itu mengingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda dengan laki-laki, sehingga bila tidak disadari akan mengantar laki-laki bersikap tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.62 Kemudian Quraish Shihab mengutip Thabathaba’î dalam tafsirnya yang menyatakan, ”Perempuan (istri Adam a.s.) diciptakan dari jenis yang 61 CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab al-Bukhari, Nomor. 3084 137 sama dengan Adam. Ayat tersebut sedikitpun tidak mendukung paham yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Memang tidak ada petunjuk dari al-Qur’an yang mengarah ke sana, atau bahkan mengarah kepada penciptaan pasangan Adam dari unsur yang lain."63 Muhammad Quraish Shihab juga mengutip pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridho, bahwa hal tersebut timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II:21-22) yang menyatakan, ”Bahwa ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pada tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.” Rasyid Ridha menjelaskan, ”Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim.”64 Muhammad Quraish Shihab mengatakan Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan kaum perempuan selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua laki-laki dan perempuan anak cucu Adam yang lahir dari gabungan antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana bunyi surah al-Hujurât di atas, dan sebagaimana penegasan-Nya, ”Sebagian kamu dari sebagian yang lain” (Q.S.Ali Imrân/3: 195). Lelaki lahir dari pasangan laki-laki dan perempuan, begitu juga perempuan. 62 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah …,Vol. 2. h. 315 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 315 64 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 315 63 138 Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya, kekuatan lelaki dibutuhkan oleh perempuan dan kelemahlembutan perempuan didambakan oleh laki-laki. Jarum harus lebih kuat dari kain, dan kain harus lebih lembut dari jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan tercipta pakaian yang indah, serasi dan nyaman.65 Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al-Qur ’an justru agak jelas sikapnya tentang hadis yang menjelaskan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, dia menegaskan, ”Al-Qur’an menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan." Memang Muhammad Quraish Shihab tidak mengingkari adanya hadis yang artinya ”Saling memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Karena diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan Tirmidzi dari Sahabat Abu Hurairah. Namun tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan). 66 Penegasan-Nya bahwa ﺯﻭﺟﻬﺎ dari ﺧﻠﻖ ﻣﻨﻬﺎAllah menciptakan darinya yakni ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓitu pasangannya mengandung makna bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu sehingga menjadi diri yang satu, yakni menyatu dalam perasaan dan pikirannya, dalam cita dan harapannya, dalam gerak dan langkahnya, bahkan dalam menarik dan menghembuskan nafasnya. Itu sebabnya perkawinan dinamai 65 ﺯﻭﺍﺝyang berarti keberpasangan di samping Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 316 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur ’an, (selanjutnya tertulis Membumikan al-Qur ’an) (Bandung: Mizan, 1992), h. 270 66 139 dinamai ﻧﻜﺎﺡyang berarti penyatuan ruhani dan jasmani. Suami dinamai ﺯﻭﺝ dan istri pun demikian.67 Beberapa pakar tafsir yang belum disebut dalam tafsir al-Mishbah, tampaknya telah disebut oleh Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya Wa wasan Al-Qur'an yang menyatakan, "Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, seperti Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Al-Biqa'i , Abu As-Su'ud, dan lain lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi'ah (Abad ke-6 H.) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam."68 Dalam buku karya terbaru Muhammad Quraish Shihab yang berjudul Perempuan, dia mengakui ada bias jender bagi mufasir klasik seperti yang disebutkannya, Bahwa asal kejadian perempuan berbeda dari asal kejadian lelaki. Pandangan ini bersumber dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan al-Turmudzi melalui Abu Hurairah yang intinya, ”Saling memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.” Hadis ini dipahami oleh ulama terdahulu secara harfiah, namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metaforis, bahkan ada yang menolak kesahehannya.69 Dalam buku ini sikap Muhammad Quraish Shihab persis sama seperti yang diungkapkan dalam buku Membumikan Al-Qur ’an dan juga dalam Tafsir al-Mishbah. Dari sini kita dapat melihat bahwa Muhammad Quraish Shihab menggunakan metode muqaran yaitu membandingkan antara para mufasir 67 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 316 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, (selanjutnya tertulis Wawasan alQur ’an ) (Bandung: Mizan, 1996), h. 299 69 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (selanjutnya tertulis Perempuan) (Ciputat: Ledntera Hati, 2005), h. 40 68 140 klasik dan kontemporer, lalu dia cenderung pada penafsiran mufasir kontemporer, walaupun dia tetap mengakui hadis penciptaan perempuan tersebut. Artinya Muhammad Quraish Shihab mengakui adanya penyimpangan penafsiran ayat-ayat jender, tapi bukan berarti ayat-ayat al-Qur’an itu bias jender, tapi mufasirnya yang bias jender. Penulis setuju dengan pernyataan Rasyid Ridha yang dikutip oleh Muhammad Quraish Shihab di atas, karena antara hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam, mirip dengan cerita yang terdapat dalam Perjanjian Lama dalam Kitab Kejadian II ayat 21-22 di atas. Namun, penulis melihat Muhammad Quraish Shihab kurang tegas sikapnya terhadap hadis yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Dari satu sisi dia menolak dengan merujuk pendapat Sayyid Muhammad Ridho di atas, dari sisi lain dia menerima hadis yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Namun demikian, dia tidak setuju dengan penafsiran secara harfiyah, tapi dia menghendaki dengan penafsiran metaforis. Kemudian penulis mencoba merujuk kitab Perjanjian Lama yang diterbitkan oleh Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta tahun 1997 ayat 21-23 yang berbunyi, Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan lalu dibawaNya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu, 'Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.70 70 Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta, Al-Kitab (Perjanjian Lama), (Jakarta: Lembaga alKitab Indonesia, 1997), Cet. Ke-155, h. 2 141 Cerita tersebut mirip dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Thabari dalam kitab tafsirnya: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺳﺒﺎﻁ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺪﻯ: ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﲪﺎﺩ ﻗﺎﻝ: ﺣﺪﺛﲎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﻫﺮﻭﻥ ﻗﺎﻝ ﺍﺳﻜﻦ ﺁﺩﻡ ﺍﳉﻨﺔ ﻓﻜﺎﻥ ﳝﺸﻰ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﺣﺸﺎ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺯﻭﺝ ﻳﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﺎﻡ ﻧﻮﻣﺔ:ﻗﺎﻝ ﺍﻣﺮﺃﺓ: ﻓﺎﺳﺘﻴﻘﻆ ﻓﺎﺫﺍ ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺳﻪ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﺧﻠﻘﻬﺎ ﺍﷲ ﻣﻦ ﺿﻠﻌﻪ ﻓﺴﺄﳍﺎ ﻣﺎ ﺍﻧﺖ؟ ﻗﺎﻟﺖ ٧١ ﻭﳌﺎ ﺧﻠﻘﺖ ؟ ﻗﺎﻟﺖ " ﺗﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ: ﻗﺎﻝ Musa Bin Harun menceritakan kepada saya, dia berkata, ”Amr Bin Hamad memberitakan kepada kami, dia berkata, 'Asbath dari alSaddi telah berkata, 'Adam bertempat tinggal di surga, lalu dia berjalan di dalam surga dalam kondisi kesepian yang tidak punya istri yang dia cenderung padanya, lalu dia tidur nyenyak, lalu bangun, tiba tiba di atas kepala dia ada seorang perempuan yang sedang duduk yang diciptakan Allah dari tulang rusuknya, lalu dia bertanya, 'Ada apa engkau?' Dia menjawab, 'saya seorang perempuan. Adam bertanya, 'Untuk apa kamu diciptakan?', Dia menjawab, 'Agar kamu cenderung kepadanya ". – ﺍﻟﻘﻰ ﻋﻠﻰ ﺁﺩﻡ ﺻﻠﻌﻢ ﺍﻟﺴﻨﺔ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﺳﺤﻖ ﻗﺎﻝ: ﺣﺪﺛﻨﺎﺍﺑﻦ ﲪﻴﺪ ﻗﺎﻝ ﻓﻴﻤﺎﺑﻠﻐﻨﺎﻋﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺘﻮﺭﺍﺓ ﻭ ﻏﲑﻫﻢ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻭ ﻏﲑﻩ ﰒ ﺍﺧﺬ ﺿﻠﻌﺎ ﻣﻦ ﺿﻼﻋﻪ ﻣﻦ ﺷﻘﻪ ﺍﻻﻳﺴﺮ ﻭﻷﻡ ﻣﻜﺎﻧﻪ ﻭﺁﺩﻡ ﻧﺎﺋﻢ ﱂ ﻳﻬﺐ ﻣﻦ ﻧﻮﻣﺘﻪ ﺣﱴ ﺧﻠﻖ ﺍﷲ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭ ﺗﻌﺎﱃ ﻣﻦ ﺿﻠﻌﻪ ﺗﻠﻚ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﺣﻮﺍﺀ ﻓﺴﻮﺍﻫﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻟﻴﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻓﻠﻤﺎ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﺰﻋﻤﻮﻥ ﻭﺍﷲ ﺍﻋﻠﻢ ﳊﻤﻰ: ﻛﺸﻔﺖ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﻫﺐ ﻣﻦ ﻧﻮﻣﺘﻪ ﺭﺁﻫﺎ ﺍﱃ ﺟﻨﺒﻪ ﻓﻘﺎﻝ ٧٢ ﻭ ﺩﻣﻰ ﻭ ﺯﻭﺟﱴ ﻓﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ ”Ibnu Hamid telah berkata, 'Salmah dari Ibnu Ishak menceritakan kepada kami. Dia berkata, 'Adam mengantuk, di mana berita itu sampai kepada kami dari Ahlu al-Kitab dari Ahli Taurat dan Ahli Ilmu lainnya. Dari Abdillah Bin al-Abbas dan yang lainnya. Kemudian Allah mengambil salah satu tulang rusuk Adam dari sebelah kiri, di mana Adam sedang tidur, yang belum bangun dari tidurnya, Allah swt. menciptakan Istri Adam dari tulang rusuk Adam yaitu Hawa, lalu Allah menyempurnakannya menjadi seorang perempuan, agar Adam 71 Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari/Jami al-Bayân fî Ta ’wîl al-Qur ’an,(selanjutnya tertulis Tafsir al-Thabari) (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Cet. III, Jilid III, h. 566 72 Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari…, h. 566 142 menjadi tenang hatinya kepadanya, ketika mengantuknya hilang, Adam bangun dari tempat tidurnya, dia melihat perempuan itu berada di sampingnya, lalu Adam berkata, 'Pada apa yang mereka duga Hanya Allah yang tau, dagingku, darahku dan istriku, lalu dia menjadi tentram bersamanya.'" Berdasarkan cerita yang terdapat dalam Perjanjian Lama dengan hadis tentang penciptaan perempuan khususnya yang diriwayatkan oleh al-Thabari di atas, penulis mencoba untuk mengkritisi hadis-hadis tentang penciptaan perempuan. Muhammad Abduh dan Abu Muslim mengkritik hadis-hadis tentang perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam dengan mengatakan, ”Bahwa Allah mampu menciptakan Adam dan Hawa dari tanah, lalu apa manfaatnya, bahwa Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam.73 Semestinya Muhammad Quraish Shihab mengkritisi hadis-hadis tentang penciptaan perempuan, atau karena hadis itu diriwayatkan oleh Bukhori yang terkenal ketat dalam persyaratan kesahihan hadis sehingga para ulama hadis menilai kitab Bukhori sebagai peringkat pertama dalam kitab-kitab hadis sahih, sehingga Muhammad Quraish Shihab menganggap tidak perlu diteliti. Namun demikian seyogyanya dia harus membandingkan antara hadishadis sahih yang berkaitan dengan penciptaan perempuan. Karena banyak hadis- hadis sahih yang maknanya berbeda dalam satu masalah, seperti tentang penulisan hadis. Dalam satu riwayat Nabi melarang menulis hadis, sedangkan pada riwayat lain Nabi memerintahkan untuk menulis hadis. Dalam ilmu hadis hal seperti ini disebut Mukhtalaf al-Hadis. Begitu juga hadis tentang penciptaan perempuan beragam redaksinya dan berbeda maknanya. Contoh 73 Al-Imam Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir al-Qur'an al-Hakim (Tafsir al-Mannar), (Bairut: Daar al-Ilmiyah, 1999), Cet. I, Jilid 4, h. 270 143 hadis-hadis sahih yang maknanya menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam yaitu: ﺓﹶﺮﺴﻴ ﻣﻦﺓﹶ ﻋﺍﺋِﺪ ﺯﻦ ﻋﻠِﻲ ﻋﻦ ﺑﻦﻴﺴﺎ ﺣﺛﹶﻨﺪﺍﻡٍ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺣ ﺣِﺰﻦﻰ ﺑﻮﺳﻣﺐٍ ﻭﻳﻮ ﻛﹸﺮﺎ ﺃﹶﺑﺛﹶﻨﺪﺣ ِﻪﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻﺳ ﻗﹶﺎ ﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﻪﻨ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪﺿِﻲﺓﹶ ﺭﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫﻦﺎﺯِﻡٍ ﻋ ﺃﹶﺑِﻲ ﺣﻦ ﻋﻌِﻲﺠﺍﻟﹾﺄﹶﺷ ﻓﹶﺈِﻥﹾﻠﹶﺎﻩﻠﹶﻊِ ﺃﹶﻋﺀٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻀﻲ ﺷﺝﻮﺇِﻥﱠ ﺃﹶﻋ ﺿِﻠﹶﻊٍ ﻭ ﻣِﻦﻠِﻘﹶﺖﺃﹶﺓﹶ ﺧﺮﺎﺀِ ﻓﹶﺈِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤﺴﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻨﺻﻮﺘ ﺍﺳﻠﱠﻢﺳﻭ ٧٤ ﺎﺀِ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯﺴﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻨﺻﻮﺘ ﻓﹶﺎﺳﺝﻮﻝﹾ ﺃﹶﻋﺰ ﻳ ﻟﹶﻢﻪﻛﹾﺘﺮﺇِﻥﹾ ﺗ ﻭﻪﺗﺮ ﻛﹶﺴﻪﻘِﻴﻤ ﺗﺖﺒﺫﹶﻫ "Abu Kuraib dan Musa Ibnu Hizam menceritakan kepada kami, keduanya berkata, "Husain Ibnu Ali menceritakan kepada kami dari Zaidah, dari Maisarah al-Asyja’i, dari Abi Hazim, dari Abi Hurairah r.a. Berkata, 'Rasulullah saw. telah bersabda, 'Berwasiatlah kepada para perempuan. Sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang ada paling atas, jika kamu ingin meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya, dan jika kamu biarkan, maka tulang rusuk itu tetap bengkok, maka berwasiatlah kepada para perempuan." (H.R. Bukhari) ِﺎﺩﻧ ﺃﹶﺑِﻲ ﺍﻟﺰﻦﺎﻥﹸ ﻋﻔﹾﻴﺎ ﺳﺛﹶﻨﺪ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺣﺮﻤﻦِ ﺃﹶﺑِﻲ ﻋﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ ﻟِﺎﺑ ﻭﺮﻤ ﺃﹶﺑِﻲ ﻋﻦﺍﺑ ﻭﺎﻗِﺪﻭ ﺍﻟﻨﺮﻤﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﺣ ﻦ ِ ﻣﻠِﻘﹶﺖﺃﹶﺓﹶ ﺧﺮ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤﻠﱠﻢﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻﺳﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫﻦﺝِ ﻋﺮ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﻦﻋ ﺖﺒﺇِﻥﹾ ﺫﹶﻫ ﻭﺝﺎ ﻋِﻮﺑِﻬﺎ ﻭ ﺑِﻬﺖﻌﺘﻤﺘﺎ ﺍﺳ ﺑِﻬﺖﻌﺘﻤﺘﻠﹶﻰ ﻃﹶﺮِﻳﻘﹶﺔٍ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺍﺳ ﻋ ﻟﹶﻚﻘِﻴﻢﺘﺴ ﺗﺿِﻠﹶﻊٍ ﻟﹶﻦ ٧٥ ﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﺎ ﻃﹶﻠﹶﺎﻗﹸﻬﻫﺮﻛﹶﺴﺎ ﻭﻬﺗﺮﺎ ﻛﹶﺴﻬﻘِﻴﻤﺗ ”Amr al-Naqid dan Ibnu Abi Umar menceritakan kepada kami sedangkan lafazhnya dari Ibnu Abi Umar keduanya telah berkata, ”Sufyan telah menceritakan kepada kami dari Abi al-Zinad dari al‘Araj dari Abi Hurairah telah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, ”Bahwa perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok yang kamu tidak akan bisa meluruskannya hanya dengan satu cara, maka jika kamu meminta untuk menikmati perempuan itu, maka kamu dapat menikmatinya dengan kondisi bengkok, dan jika kamu berusaha meluruskan tulang rusuk yang bengkok itu, maka kamu akan 74 CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab al-Bukhari, Nomor. 3084 75 CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab Muslim, Nomor. 2670 144 mematahkannya, mematahkan tulang rusuk artinya menceraikan perempuan itu." (H.R. Muslim) ﻦﺝِ ﻋﺮﻦِ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﺎﺩِ ﻋﻧ ﺃﹶﺑِﻲ ﺍﻟﺰﻦﺎﻥﹸ ﻋﻔﹾﻴﺎ ﺳﻧﺮﺒ ﺃﹶﺧﺎﺭِﻱﻦِ ﺍﻟﺬﱢﻣﻤﺣﺪِ ﺍﻟﺮﺒ ﻋﻦﻠِﻚِ ﺑ ﺍﻟﹾﻤﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﺣ ﻠﹶﻰ ﻋﻦﻘِﻤﺘﺴ ﺿِﻠﹶﻊٍ ﻟﹶﺎ ﻳ ﻣِﻦﻠِﻘﹾﻦﺎﺀَ ﺧﺴ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻨﻠﱠﻢﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﺒِﻲﺓﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨﺮﻳﺮﺃﹶﺑِﻲ ﻫ ٧٦ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪﺝﺎ ﻋِﻮﻓِﻴﻬﺎ ﻭ ﺑِﻬﺘِﻊﻤﺘﺴﺎ ﺗﻛﹾﻬﺮﺘﺇِﻥﹾ ﺗﺎ ﻭﻫﻜﹾﺴِﺮﺎ ﺗﻬﻘِﻤﻠِﻴﻘﹶﺔٍ ﺇِﻥﹾ ﺗﺧ Artinya: ”Abdu al-Malik Ibnu Abdi al-Rahman al-Dimari menceritakan kepada kami, Sufyan memebritahukan kepada kami dari Abi al-Zinad, dari al-‘Araj dari Abi Hurairah, bahwa Nabi saw. telah bersabda, ”Bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok yang tidak dapat diluruskan sesuai dengan bentuknya, jika kamu berusaha meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya, dan jika kamu biarkannya, maka kamu akan menikmatinya dalam kondisi bengkok." (H.R.Ahmad) ﻦ ﻠﹶﺎﺀِ ﻋ ﺃﹶﺑِﻲ ﺍﻟﹾﻌﻦ ﻋﺮِﻱﻳﺮﺎ ﺍﻟﹾﺠﺛﹶﻨﺪﺍﺭِﺙِ ﺣ ﺍﻟﹾﻮﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪ ﺣﻗﹶﺎﺷِﻲﺪِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺍﻟﺮﺒ ﻋﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﻧﺮﺒﺃﹶﺧ ﻣِﻦﻠِﻘﹶﺖﺃﹶﺓﹶ ﺧﺮ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤﻠﱠﻢﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻﺳ ﺃﹶﻥﱠ ﺭ ﺃﹶﺑِﻲ ﺫﹶﺭﻦﺐٍ ﻋﻨﻦِ ﻗﹶﻌﻢِ ﺑﻴﻌﻧ ٧٧ ﺔﹰ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻰﻠﹾﻐﺑﺍ ﻭﺩﺎ ﺃﹶﻭﺎ ﻓﹶﺈِﻥﱠ ﻓِﻴﻬﺍﺭِﻫﺎ ﻓﹶﺪﻬﺗﺮﺎ ﻛﹶﺴﻬﻘِﻤﺿِﻠﹶﻊٍ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺗ ”Muhammad Bin Abdullah al-Raqasyi telah memberitakan kepada kami, Abdu al-Warits menceritakan kepada kami, al-Jurairiy menceritakan kepada kami dari Abi al-‘Ala, dari Nuaim Bin Qa’nab, dari Abi Dar, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, ”Bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, jika kamu meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya, maka biarkanlah dia, sesungguhnya kebengkokan itu sudah melekat padanya." (H.R. Darimi) Keempat hadis tersebut dan juga hadis hadis sahih lainya yang berkaitan dengan penciptaan perempuan tidak ada satu hadispun menyebut langsung tulang rusuk Adam, tapi hanya menyebut tulang rusuk, dan tidak ada 76 CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab Musnad Ahmad Bin Hanbal , Nomor. 10044 77 CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab al-Dârimi, Nomor. 2124 145 satu hadispun tentang penciptaan perempuan menyebutkan nama Hawa, tapi hanya menyebut kata ﺍﳌﺮﺃﺓ Begitu juga tidak ada petunjuk al-Qur’an yang mengarah kepada tulang rusuk Adam, bahkan penulis menemukan beberapa hadis sahih yang redaksinya berbeda dengan hadis yang biasa disampaikan para ulama selama ini yaitu: ﺃﹶﺑِﻲﻦﺝِ ﻋﺮ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﻦﺎﺩِ ﻋﻧ ﺃﹶﺑِﻲ ﺍﻟﺰﻦ ﻋﺎﻟِﻚﺛﹶﻨِﻲ ﻣﺪﺪِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣﺒ ﻋﻦﺰِﻳﺰِ ﺑ ﺍﻟﹾﻌﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﺣ ﺇِﻥﹾﺎ ﻭﻬﺗﺮﺎ ﻛﹶﺴﻬﺘﻠﹶﻊِ ﺇِﻥﹾ ﺃﹶﻗﹶﻤﺃﹶﺓﹸ ﻛﹶﺎﻟﻀﺮ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﹾﻤﻠﱠﻢﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻﺳﺓﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺭﺮﻳﺮﻫ ٧٨ ( ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯﺝﺎ ﻋِﻮﻓِﻴﻬﺎ ﻭ ﺑِﻬﺖﻌﺘﻤﺘﺎ ﺍﺳ ﺑِﻬﺖﻌﺘﻤﺘﺍﺳ ”Abdul Aziz bin Abdullah menceritakan kepada kami, dia berkata:”Malik menceritakan kepada saya dari Abi al-Zinad dari al‘Araj dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw telah bersabda, ”Perempuan itu bagaikan tulang rusuk yang bengkok, jika kamu luruskan tulang rusuk itu, maka kamu akan mematahkannya, dan jika kamu meminta untuk menikmatinya, maka kamu akan menikmatinya perempuan itu dalam kondisi bengkok." (H.R.al-Bukhari) ﺛﹶﻨِﻲﺪﺎﺏٍ ﺣﻦِ ﺷِﻬ ﺍﺑﻦ ﻋﺲﻮﻧﻧِﻲ ﻳﺮﺒﺐٍ ﺃﹶﺧﻫ ﻭﻦﺎ ﺍﺑﻧﺮﺒﻰ ﺃﹶﺧﻴﺤ ﻳﻦﻠﹶﺔﹸ ﺑﻣﺮﺛﹶﻨِﻲ ﺣﺪﻭ ﺣ ﺃﹶﺓﹶﺮ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤﻠﱠﻢﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻﺳﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫﻦﺐِ ﻋﻴﺴ ﺍﻟﹾﻤﻦﺍﺑ ِﺛﹶﻨِﻴﻪﺪ ﻭ ﺣﺝﺎ ﻋِﻮﻓِﻴﻬﺎ ﻭ ﺑِﻬﺖﻌﺘﻤﺘﺎ ﺍﺳﻬﻛﹾﺘﺮﺇِﻥﹾ ﺗﺎ ﻭﻬﺗﺮﺎ ﻛﹶﺴﻬﻘِﻴﻤ ﺗﺖﺒﻠﹶﻊِ ﺇِﺫﹶﺍ ﺫﹶﻫﻛﹶﺎﻟﻀ ﻦِ ﺃﹶﺧِﻲ ﺍﺑﻦﺪٍ ﻋﻌﻦِ ﺳ ﺑﺍﻫِﻴﻢﺮﻦِ ﺇِﺑ ﺑﻘﹸﻮﺏﻌ ﻳﻦﺎ ﻋﻤﺪٍ ﻛِﻠﹶﺎﻫﻴﻤ ﺣﻦ ﺑﺪﺒﻋﺏٍ ﻭﺮ ﺣﻦ ﺑﺮﻴﻫﺯ ٧٩ (ﺍﺀً )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﻮ ﺳﺎﺩِ ﻣِﺜﹾﻠﹶﻪﻨﺬﹶﺍ ﺍﻟﹾﺈِﺳﻪِ ﺑِﻬﻤ ﻋﻦ ﻋﺮِﻱﻫﺍﻟﺰ ”Harmalah Bin Yahya telah menceritakan kepada saya, Ibnu Wahab telah memberitahukan kepada kami, Yunus telah memberitakan kepada saya dari Ibnu Syihab, Ibnu Musayyab menceritakan kepada saya dari Abi Hurairah telah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, ”Bahwa perempuan itu bagaikan tulang rusuk yang bengkok, jika 78 CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab al-Bukhari , Nomor. 4786 79 CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab Shaheh Muslim, Nomor. 2669 146 kamu berusaha meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya, jika kamu biarkannya, maka kamu akan menikmati perempuan itu dalam kondisi bengkok. Dan Zuhair Bin Harb dan Abdu Bin Humaid keduanya menceritakan kepada saya dari Ya’qub Bin Ibrahim Bin Saad dari anak saudaraku yaitu al-Zuhri dari pamannya dengan sanad yang sama.'" (H.R.Muslim) ٍ ﺎﻦِ ﺷِﻬ ﺃﹶﺧِﻲ ﺍﺑﻦﺎ ﺍﺑﺛﹶﻨﺪﺪٍ ﺣﻌﻦِ ﺳ ﺑﺍﻫِﻴﻢﺮ ﺇِﺑﻦ ﺑﻘﹸﻮﺏﻌﺎ ﻳﺛﹶﻨﺪﺎﺩٍ ﺣ ﺃﹶﺑِﻲ ﺯِﻳﻦ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺑﺪﺒﺎ ﻋﺛﹶﻨﺪﺣ ﺏ ﻠﱠﻢﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻﺳﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫﻦﺐِ ﻋﻴﺴﻦِ ﺍﻟﹾﻤﻌِﻴﺪِ ﺑ ﺳﻦﻪِ ﻋﻤ ﻋﻦﻋ ﺝٍ ﻗﹶﺎﻝﹶﻠﹶﻰ ﻋِﻮﺎ ﻋ ﺑِﻬﺖﻌﺘﻤﺘﺎ ﺍﺳﻬﻛﹾﺘﺮﺇِﻥﹾ ﺗﺎ ﻭﻬﺗﺮﺎ ﻛﹶﺴﻬﻘِﻴﻤ ﺗﺖﺒﻠﹶﻊِ ﺇِﻥﹾ ﺫﹶﻫﺃﹶﺓﹶ ﻛﹶﺎﻟﻀﺮﺇِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤ ﻦﺴﺪِﻳﺚﹲ ﺣﺓﹶ ﺣﺮﻳﺮﺪِﻳﺚﹸ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫﻰ ﺣﻮ ﻋِﻴﺴﺔﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑﺎﺋِﺸﻋﺓﹶ ﻭﺮﻤﺳ ﻭ ﺃﹶﺑِﻲ ﺫﹶﺭﻦﺎﺏ ﻋﻓِﻲ ﺍﻟﹾﺒﻭ ٨٠ ( ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯﺪﻴ ﺟﻩﺎﺩﻨﺇِﺳﻪِ ﻭﺟﺬﹶﺍ ﺍﻟﹾﻮ ﻫ ﻣِﻦ ﻏﹶﺮِﻳﺐﺤِﻴﺢﺻ ”Abdullah Bin Abi Ziyad telah menceritakan kepada kami, Ya’qub Bin Ibrahim Bin Saad telah menceritakan kepada kami, anak saudaraku Ibnu Syihab menceritakan kepada kami dari pamannya, dari Sa’id Bin al-Musayyab dari Abi Hurairah telah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, ”Bahwa perempuan bagaikan tulang rusuk yang bengkok, jika kamu meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya, jika kamu biarkannya, kamu akan menikmatinya dalam kondisi bengkok. Dia mengatakan pada suatu bab dari Abi Dar, Samrah, dan Aisyah. Abu Isa mengatakan, 'Hadis Abu Hurairah ini termasuk hadis hasan shohih garib dari segi ini, dan sanadnya jayyid.'" (H.R.al-Turmudzi) ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺳﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫﻦﺙﹸ ﻋﺪﺤ ﺃﹶﺑِﻲ ﻳﺖﻤِﻌﻠﹶﺎﻥﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳﺠﻦِ ﻋﻦِ ﺍﺑﻰ ﻋﻴﺤﺎ ﻳﺛﹶﻨﺪﺣ ِ ﺑِﻪﺘِﻊﻤﺘﺴ ﺗﻛﹾﻪﺮﺘﺇِﻥﹾ ﺗ ﻭﻩﻜﹾﺴِﺮﺘِﻪِ ﺗﻠﹶﻰ ﺇِﻗﹶﺎﻣ ﻋﺮِﺹﺤﻠﹶﻊِ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺗﺃﹶﺓﹸ ﻛﹶﺎﻟﻀﺮ ﺍﻟﹾﻤﻠﱠﻢﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪﺻ ٨١ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪﺝﻓِﻴﻪِ ﻋِﻮﻭ ”Yahya menceritakan kepada kami dari Ibnu ‘Ajlan telah berkata:”Saya telah mendengar Ayahku menceritakan dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, perempuan itu bagaikan tulang rusuk yang bengkok, jika kamu berusaha keras untuk meluruskannya, kamu akan mematahkannya, jika kamu biarkannya, 80 CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab Sunan al-Turmudzi , Nomor. 1109 81 CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab Musnad Ahmad Bin Hanbal , Nomor. 9159 147 maka kamu akan dapat menikmatinya dalam kondisi bengkok.'" (H.R. Ahmad) ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫﻦﺝِ ﻋﺮ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋﻦﺎﺩِ ﻋﻧ ﺃﹶﺑِﻲ ﺍﻟﺰﻦ ﻋﺎﻟِﻚﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﻠﹶﺪٍ ﺣﺨ ﻣﻦ ﺑﺎﻟِﺪﺎ ﺧﻧﺮﺒﺃﹶﺧ ﺘِﻊﻤﺘﺴﺇِﻥﹾ ﺗﺎ ﻭﻫﻜﹾﺴِﺮﺎ ﺗﻬﻘِﻤﻠﹶﻊِ ﺇِﻥﹾ ﺗﺃﹶﺓﹸ ﻛﹶﺎﻟﻀﺮﺎ ﺍﻟﹾﻤﻤﻢ ﺇِﻧ ﻠﱠﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻﺳﺭ ٨٢ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻰﺝﺎ ﻋِﻮﻓِﻴﻬ ﻭﺘِﻊﻤﺘﺴﺗ ”Khalid Bin Makhlad telah menceritakan kepada kami, Malik telah menceritakan kepada kami dari Abi al-Jinad, dari al-‘Araj dari Abi Hurairah telah berkata, Rosulullah saw. telah bersabda, Bahwa perempuan itu bagaikan tulang rusuk, jika kamu meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya, dan jika kamu meminta untuk menikmatinya, maka kamu akan menikmatinya dalam kondisi bengkok.'" (H.R. Darimi). Kelima hadis di atas semuanya hadis sahih, karena para perawinya cukup berkualitas dan tidak ada yang jarh (cacat), kemudian sanadnya bersambung sampai Rasulullah, karena tidak ada yang putus. Kelima hadis tersebut tidak menyebutkan, bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam, tapi hanya menyebutkan, bahwa perempuan bagaikan tulang rusuk. Artinya bahwa perempuan itu memiliki sifat-sifat yang ada pada tulang rusuk. Karena 5 hadis tersebut dalam ilmu bahasa disebut tasybîh (penyerupaan). Sedangkan tasybîh menurut ilmu balaghah adalah ﺍﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ﺍﺻﻄﻼﺣﺎ ﻋﻘﺪ ﳑﺎﺛﻠﺔ ﺑﲔ ﺍﻣﺮﻳﻦ ﺍﻭ ﺍﻛﺜﺮ ﻗﺼﺪ ﺍﺷﺘﺮﺍﻛﻬﻤﺎ ﰱ ﺻﻔﺔ ﺍﻭ ﺍﻛﺜﺮ ﺑﺄﺩﺍﺓ 83 ﻟﻐﺮﺽ ﻳﻘﺼﺪﻩ ﺍﳌﺘﻜﻠﻢ ”Tasybih menurut istilah adalah melakukan penyerupaan antara dua hal atau lebih, dimaksudkan ada kesamaan diantara keduanya dalam 82 CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab Sunan al-Dârimi , Nomor. 2125 83 Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah Fî al-Ma ’âni Wa al-Bayân Wa al-Badî’, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 214 148 satu sifat atau lebih dengan menggunakan huruf tasybih untuk tujuan yang dikehendaki oleh orang yang berbicara." Jadi, penulis sangat setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa "Hadis yang mengatakan, bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, harus diartikan secara metaforis, bukan makna hakiki. Bahkan hadis-hadis tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam dianggap kurang tepat matannya." Karena hadis tersebut termasuk mukhtalaf al-hadîst, sehingga para ulama hadis, jika menemukan dua atau lebih hadis sahih yang berbeda matannya, maka harus ditempuh 4 cara yaitu: 1. Jika mungkin dapat dikompromikan, maka perlu dikompromikan dan keduanya dapat diterapkan. 2. Jika dapat diketahui mana yang dahulu dan mana yang belakangan, maka yang datang belakangan dapat menghapus hukum sebelumnya. 3. Jika tidak diketahui mana yang dahulu dan mana yang belakangan, maka dapat dilakukan tarjîh 4. Jika tidak dapat dilakukan dengan tiga cara tersebut, maka kita tawaqquf (tidak diamalkan keduanya). 84 Mengenai hadis-hadis penciptaan perempuan di atas, penulis cenderung untuk mentarjîh, yaitu perempuan tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan perempuan diciptakan bagaikan tulang rusuk. Karena bila keempat hadis di atas diartikan dengan harfiah (teks), maka kelima hadis di atas tidak dapat diterapkan, tapi bila diartikan secara metaforis, maka antara keempat dan kelima hadis tersebut dapat diterapkan. 84 Mahmud al-Thahhan, Taisîr Mushthalah al-Hadîs, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 47 149 Hal ini sejalan dengan Abdulkarim al-Khathab yang menyatakan, ”Manusia baik yang ada sekarang maupun yang akan muncul adalah buah dari benih yang satu. Kemudian Allah meniupkan ruh pada benih tersebut, lalu benih itu menumbuhkan buah yang banyak yang bermacam-macam bentuk. Dari benih atau materi yang sama diciptakan istrinya untuk Adam dalam rangka menyempurnakan keberadaan Adam.85 Sebuah cerita yang mengatakan bahwa, ”Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam adalah cerita fiktif, namun sebahagian besar ulama tafsir mengutipnya, lalu mereka memahami ayat ini dari cerita tersebut. Padahal ayat itu tidak memberi pemahaman ini." Bila kita melihat kata ﻭﺧﻠﻖ ﻣﻨﻬﺎ ﺯﻭﺟﻬﺎmaka kita akan menjumpai dhamir (kata ganti) pada kata ﻣﻨﻬﺎyang menunjuk pada kata ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓtidak bermaksud bentuk manusia seperti Adam, melainkan merujuk pada materi yang tersedia untuk menciptakan manusia. Dari materi itu Adam diciptakan dan dari materi itu juga istrinya Hawa diciptakan untuk menyempurnakan keberadaan Adam (Q.S. al-Naba/78: 8). Hal ini bukan hanya menciptakan manusia semata, melainkan untuk menciptakan makhluk hidup semuanya, seperti binatang dan tumbuhtumbuhan, dan siapa tahu juga untuk menciptakan benda mati (Q.S.alDzâriyât/51: 49 dan Q.S. al-Qaf/50: 7)… Apakah dari tulang rusuk laki-laki perempuan diciptakan, tentu tidak masuk akal. Sesungguhnya ayat al-Qur’an yang berbicara tentang laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan asal penciptan diantara keduanya, bahkan menjadikan keduanya satu tabiat. Seperti dipahami dari al-Qur'an Surat Ali Imrân/3 ayat 195 dan al-Qur'an Surat alQiyâmah/75 ayat 36-39. Ini isyarat yang nyata, bahwa manusia pada 85 Abdulkarim al-Khaththab, al-Tafsir al-Qur ’an Li al-Qur ’an, (selanjutnya tertulis alTafsir al-Qur ’an) (Bairut: Daar al-Fikr, t.t.), Jilid II., h 682 150 bentuknya diberi tabiat laki-laki dan perempuan artinya materi yang sama untuk menciptakan laki-laki dan perempuan.86 Di atas terbaca kata lelaki disusul dengan kata banyak, sedang perempuan tidak disertai dengan kata banyak. Aneka ragam kesan yang diperoleh ulama dari redaksi itu. Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip Al-Biqa’i yang menyatakan bahwa, "Walaupun sebenarnya perempuan lebih banyak dari laki-laki, tetapi kata banyak yang menyusul kata lelaki itu untuk mengisyaratkan bahwa lelaki memiliki derajat lebih tinggi. (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol.2, h.317)."87 Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, ”Sedang perempuan tinggal di rumah dan mengurusnya agar rumah menjadi tempat yang tenang, sedang lelaki yang giat bergerak di bumi ini, dan dengan demikian perempuan telah melaksanakan tugasnya."88 Hal ini juga yang memperkuat bahwa kepemimpinan rumah tangga ada di tangan suami yang akan dibicarakan pada sub bab berikutnya. Memang kata ﺑـﺚtelah mengandung makna banyak, sehingga wajar apabila dipertanyakan mengapa ada lagi kata banyak dan hanya dirangkaikan dengan lelaki, tetapi kesan yang diperoleh oleh para ulama itu—sebagaimana 86 Abdulkarim al-Khaththab, al-Tafsir al-Qur ’an …,Jilid.II h. 682 Mereka lebih kuat dan lebih jelas kehadirannya di tengah masyarakat dibanding perempuan. Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Fakhruddin al-Razi, sebelum al-Biqa’i juga berpendapat serupa. Kata banyak yang menyifati lelaki- dan bukan kata wanita- karena lelaki lebih populer, sehingga jumlah banyak mereka lebih jelas. Ini juga memberi peringatan tentang apa yang wajar bagi lelaki yaitu keluar rumah menampakkan diri dan menjadi populer, sedang yang wajar buat wanita adalah ketersembunyian dan kelemahlembutan. Begitu tulis al-Razi dan dikutip juga oleh Muhammad Sayyid Thantawi. Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Syekh Muhammad Mutawali al-Sya’rawi mempertegas pendapat di atas. Tulisnya, ”Penyebaran di bumi seharusnya hanya khusus buat lelaki, karena Allah berfirman ( ١٠ :٦٢/ ﻓﺎﺫﺍ ﻗﻀﻴﺖ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺎﻧﺘﺸﺮﻭﺍ ﰱ ﺍﻻﺭﺽ ﻭﺍﺑﺘﻐﻮﺍ ﻣﻦ ﻓﻀﻞ ﺍﷲ ﻭﺍﺫﻛﺮﻭﺍ ﺍﷲ ﻛﺜﲑﺍ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮﻥ )ﺍﳉﻤﻌﺔ Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (Q.S. al-Jumu’ah/62: 10) 87 88 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah …, Vol.2. h. 317 151 halnya semua kesan—bersifat subjektif. Kita dapat menerima atau menolaknya, apabila pakar-pakar bahasa menetapkan bahwa al-Qur’an cenderung kepada penyingkatan redaksi. Karena kata mereka, walau di sini tidak disebut kata banyak setelah penyebutan perempuan, tetapi sebenarnya mereka pun banyak. Bahwa lelaki yang disifati demikian, karena lelaki yang terlebih dahulu disebut. Penyebutannya lebih dahulu adalah wajar, karena dia yang tercipta lebih dahulu, dan jenis kelamin anak cucunya akibat pengembang-biakan itu ditentukan oleh gen lelaki. Baca tafsir ayat berikut:89 ﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪﺍﺗ ﻭﻔﹸﺴِﻜﹸﻢﻮﺍ ﻟِﺄﹶﻧﻣﻗﹶﺪ ﻭﻢﻰ ﺷِﺌﹾﺘ ﺃﹶﻧﺛﹶﻜﹸﻢﺮﻮﺍ ﺣ ﻓﹶﺄﹾﺗﺙﹲ ﻟﹶﻜﹸﻢﺮ ﺣﻛﹸﻢﺎﺅﻧِﺴ (٢٢٣ :٢/ ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﻣِﻨِﲔﺆﺮِ ﺍﻟﹾﻤﺸﺑ ﻭﻠﹶﺎﻗﹸﻮﻩ ﻣﻜﹸﻢﻮﺍ ﺃﹶﻧﻠﹶﻤﺍﻋﻭ Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Baqarah/2: 223). Zaitunah Subhan menyatakan, Dari beberapa pandangan mufasir atau intelektual kontemporer di atas dapat dianalisis bahwa pandangan pertama sepakat menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam karena berdasarkan kata nafsun wahidah yang diyakini dengan makna Adam, sehingga kata minha kembali pada kata ganti (dhomir) ha kepada Adam. Demikian pula kata zaujaha, diyakini sebagai istri Adam yaitu Hawa, sedangkan Adam sebagai penciptaan pertama. Walaupun dari segi bahasa kata nafsun bersifat umum (bisa pria dan wanita). Jenis kata nafs ini, termasuk muannats (dengan sifat yang muannats yaitu wahidah). Dhomir ha yang merujuk muannats (artinya wanita), mengapa kembali ke Adam yang diyakini pria.90 89 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah …,Vol. 2. h. 317 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur ’an, (selanjutnya tertulis Tafsir Kebencian) (Yogyakarta: LKIS, 1999),h. 49 90 152 Pertanyaan Zaitunah Subhan adalah mengapa kembali ke Adam yang diyakini pria, kurang tepat alasannya, karena ha dhamir itu memang tidak langsung kepada Adam, tapi kepada kata nafs yang semua orang ahli bahasa sepakat bahwa kata tersebut adalah muannats majâzi. Tentu tidak salah ha dhamir tersebut kembali kepada kata nafs. Namun, jika yang dimaksud dengan kata nafs itu adalah jiwa Adam, hal itu tidak terlalu salah, karena ha dhamir pada kata zaujaha menunjuk kepada Adam, sebab para ulama sepakat bahwa Hawa adalah istri Adam. Analisis Zaitunah terhadap hadis Bukhari tentang Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak harus dipahami secara harfiah, dapat penulis terima. Tetapi ketika dia menyatakan bahwa matan hadis Bukhari belum tentu qath’iy wurud dalalahnya sehingga dia menolak hadis tersebut, juga kurang bijaksana karena dia baru menduga tapi belum menelitinya. Penulis menyimpulkan bahwa penafsiran Quraish Shihab tentang kata ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓcenderung pada pendapat minoritas ulama yang menyatakan bahwa kata ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ, adalah Adam dan kata ﺯﻭﺟﻬﺎadalah Hawa. Tetapi dia tidak sepakat bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam diartikan secara harfiah, melainkan harus dipahami secara metaforis. Kemudian dia menggunakan metode muqâran dengan memaparkan para ulama tafsir, baik ulama klasik maupun ulama kontemporer. Dia juga menilai pendapat yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari diri Adam adalah pendapat mayoritas ulama, sedangkan yang berpendapat, bahwa Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam adalah pendapat minoritas. Kemudian dia juga mengingatkan kepada pembaca, bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, bukan berarti bahwa kedudukan kaum perempuan selain Hawa lebih 153 rendah dibanding lelaki, karena semua laki-laki dan perempuan lahir dari gabungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Quraish Shihab tidak menafikan hadis sahih tersebut, walaupun ada catatan-catatan. Seperti tidak sependapat terhadap pernyataan, bahwa perempuan bagian dari laki-laki, juga tidak sependapat bila hadis tersebut diartikan secara harfiah. Ditinjau dari segi kemanusiaan lelaki dan perempuan tidak ada bedanya. Tetapi Quraish Shihab memandang bahwa keduanya berbeda dari segi fungsinya. Oleh karena itu Quraish Shihab menggambarkan lelaki dan perempuan bagaikan jarum dan kain. Jarum harus lebih kuat dari pada kain dan kain harus lebih lembut daripada jarum, agar kain dapat terjahit dengan baik. Kemudian penulis mencoba membandingkan dengan tafsir yang belum dirujuk oleh Quraish Shihab antara lain: a. Tafsir al-Kasysyâf karya Zamakhsyari yang terkenal rasional dan beraliran Mu'tazilah. Dia cenderung menafsirkan kata ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓadalah Adam dan Adam diciptakan dari tanah, sedangkan Allah menciptakan istrinya (Hawa) dari tulang rusuk Adam.91 b. Tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr karya Said Hawa sama halnya dengan pendapat Zamakhsyari yang menafsirkan kata ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓyaitu Adam, sedangkan Hawa, istri Adam, diciptakan dari tulang rusuk kiri Adam ketika Adam sedang tidur. Pada saat Adam bangun, Adam melihat Hawa yang membuat Adam kagum. Lalu Adam dan Hawa menjalin cinta kasih sehingga melahirkan laki laki dan perempuan yang banyak.92 91 Abu al-Qaasim Jaru Allah Mahmud Bin Umar Bin Muhammad al-Zamakhsyari, alKasysyâf, (selanjutnya tertulis al-Kasysyâf) (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), Jilid I., h.451 92 Said Hawa , al-Asâs Fî al-Tafsîr, (selanjutnya tertulis al-Asâs Fî al-Tafsîr) (Cairo: Dâr al-Salam, 1985), Jilid II., h. 984 154 c. Tafsir al-Marâghi karya Ahmad Mushthafa al-Maraghi tidak sejalan dengan Zamakhsyari dan Said Hawa. Al-Maraghi mengutip pendapat jumhur bahwa kata ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓadalah Adam. Mereka tidak mengambil ayat ini, akan tetapi didasarkan pada pemahaman bahwa Adam adalah Abu alBasyar (bapak manusia)…Dia juga mengutip pendapat al-Ustadz al-Imam (Muhammad Abduh), ”Bahwa zahir ayat menolak maksud kata ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ adalah Adam dengan dua alasan. Pertama, pembahasan ilmiyah dan sejarah bertentangan dengan pendapat tersebut. Kedua, menyebutkan kata bahwa Allah ﺭﺟﺎﻻﻛﺜﲑﺍ ﻭ ﻧﺴﺎﺀtidak mengatakan ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺀ, akan tetapi al-Qur’an tidak menafikan keyakinan ini dan tidak menetapkan secara pasti tanpa adanya jalan takwil.93 Kemudian al-Maraghi mengambil kesimpulan, bahwa Allah telah memperbanyak kalian dari satu jenis yang Allah ciptakan dari tanah dan diciptakan dari tanah itu istrinya bernama Hawa. Hal ini didukung oleh pendapat Abu Muslim al-Ashfihani, ”Bahwa makna ﻣﻨﻬﺎadalah dari jenis yang sama sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Rûm/30 ayat 21; Q.S. alTaubah/9: 128; dan Q.S.Ali Imrân/3: 164. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara uslub-uslub ayat ini dan uslub-uslub ayat-ayat lain karena makna semuanya adalah sama yaitu dari jenis yang sama. Orang yang menetapkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam bukan bersumber dari al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 1 dan ayat yang lainnya.94 d. Al-Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-Zuhaily. Al-Zuhaily sejalan dengan para mufasir sebelumnya. Dia menjelaskan bahwa, ”Kata 93 ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî (selanjutnya tertulis Tafsir al-Maraghii) (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Halabi wa Awlâdih, 1974), Jilid IV, h. 175 94 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, al-Tafsîr al-Marâghî…, Jilid.IV. h. 177 155 adalah hanya Adam yang satu. Jika ada pendapat ada Adam-Adam yang lain tentu bertentangan dengan al-Qur’an. Begitu juga maksud kata ﺯﻭﺟﻬﺎ adalah Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk kiri Adam."95 Orang yang menganggap Hawa diciptakan dari jenis yang sama bertentangan dengan hadis sahih, karena Allah mampu menciptakan makhluk hidup dari makhluk hidup tanpa melalui proses kelahiran sebagaimana Allah mampu menciptakan makhluk hidup dari benda mati (tanah).96 e. Tafsir Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-âyât Wa al-Suwar karya Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Bin Umar al-Biqa’i. Al-Biqa'i tidak Dia menyatakan bahwa, ”Kata sejalan dengan al-Maraghi. ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ adalah Adam sebagai jenis laki-laki yang diciptakan tanpa laki-laki dan perempuan, kemudian kata ﺯﻭﺟﻬﺎadalah Hawa sebagai jenis perempuan yang diciptakan dari laki-laki tanpa perempuan, dan Isa dilahirkan dari perempuan tanpa laki-laki."97 2. Penciptaan manusia setelah Adam dan Hawa Penciptaan manusia setelah Adam dan Hawa dapat dirujuk pada firman Allah ﺍ ٍﺭﻄﹾﻔﹶﺔﹰ ﻓِﻲ ﻗﹶﺮ ﻧﺎﻩﻠﹾﻨﻌ ﺟ(ﺛﹸﻢ١٢)ٍ ﻃِﲔﻠﹶﺎﻟﹶﺔٍ ﻣِﻦﻦ ﺳ ِﺎﻥﹶ ﻣﺴﺎ ﺍﻹِﻧﻠﹶﻘﹾﻨ ﺧﻟﹶﻘﹶﺪﻭ ﺎﺔﹶ ﻋِﻈﹶﺎﻣﻐﻀﺎ ﺍﻟﹾﻤﻠﹶﻘﹾﻨﺔﹰ ﻓﹶﺨﻐﻀﻠﹶﻘﹶﺔﹶ ﻣﺎ ﺍﻟﹾﻌﻠﹶﻘﹾﻨﻠﹶﻘﹶﺔﹰ ﻓﹶﺨﻄﹾ ﹶﻔﺔﹶ ﻋﺎ ﺍﻟﻨﻠﹶﻘﹾﻨ ﺧ(ﺛﹸﻢ١٣)ٍﻜِﲔﻣ 95 Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsîr al-Munîr, (selanjutnya tertulis al-Munîr) (Bairut: Dâr alFikr al-Mu’âshir, 1998), Juz 5, h. 223 96 Wahbah al-Zuhaily, al-Munîr…, Juz 5. h. 224 97 Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Bin Umar al-Biqa’i , Nudzum al-Durar fî Tanâsub alâyât wa al-Suwar, (selanjutnya tertulis Nudzum al-Durar) (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), Juz 2, h. 206 156 ﺎﻟِﻘِﲔ ﺍﻟﹾﺨﻦﺴ ﺃﹶﺣ ﺍﻟﻠﱠﻪﻙﺎﺭﺒ ﻓﹶﺘﺮﻠﹾﻘﹰﺎ ﺀَﺍﺧ ﺧﺎﻩﺄﹾﻧﺸ ﺃﹶﻧﺎ ﺛﹸﻢﻤ ﻟﹶﺤﺎ ﺍﻟﹾﻌِﻈﹶﺎﻡﻧﻮﻓﹶﻜﹶﺴ (١٤ -١٢: ٢٣/)ﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥ Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Q.S.alMu'minûn/23:12-14) : Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Quraish Shihab menyebutkan ada tujuh tahap proses kejadian manusia sehingga ia lahir di pentas bumi ini. Ayat ini lebih kurang menyatakan bahwa, Dan sesungguhnya Kami bersumpah bahwa Kami telah menciptakan manusia, yakni jenis manusia yang kamu saksikan. Bermula dari suatu saripati yang berasal dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya yakni saripati itu nuthfah yang disimpan dalam tempat yang kokoh yakni rahim ibu. Kemudian Kami ciptakan yakni jadikan nuthfah itu 'alaqah lalu Kami ciptakan yakni jadikan 'alaqah itu mudhgah yang merupakan sesuatu yang kecil sekerat daging, lalu Kami ciptakan yakni jadikan mudhghah itu tulang belulang, lalu Kami bungkus tulang-belulang itu dengan daging, kemudian Kami mewujudkannya yakni tulang yang terbungkus daging itu menjadi—setelah Kami meniupkan ruh ciptaan Kami kepadanya— makhluk lain daripada yang lain yang sepenuhnya berbeda dengan unsurunsur kejadiannya yang tersebut diatas bahkan berbeda dengan makhlukmakhluk lain. Maka Maha banyak lagi mantap keberkahan yang tercurah dari Allah, Pencipta Yang Terbaik. Kemudian sesungguhnya kamu wahai anak cucu Adam sekalian sesudah itu, yakni sesudah melalui proses tersebut dan ketika kamu berada di pentas bumi ini dan melalui lagi proses dari bayi, anak kecil, remaja, dewasa, tua, dan pikun, benar-benar kamu akan mati baik pada masa pikun maupun sebelumnya. Kemudian setelah kamu mati dan dikuburkan, sesunguhnya kamu sekalian pada hari kiamat nanti akan dibangkitkan dari kubur kamu untuk dimintai pertanggungjawaban, lalu masing-masing Kami beri balasan dan ganjaran.98 98 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. IX., h. 165-166 157 Kemudian Quraish Shihab menjelaskan bahwa, Berbeda-beda pendapat ulama tentang siapa yang dimaksud kata ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ pada ayat 12 di atas. Banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Adam. Memang ayat selanjutnya menyatakan Kami menjadikannya nuthfah, bukan Kami menjadikan keturunannya nuthfah. Ini—menurut penganut pendapat diatas—tidak menjadi halangan, karena sudah demikian populer bahwa anak keturunan Adam meliputi proses nuthfah, bagi yang tidak menerima pendapat di atas, ada yang menyatakan bahwa kata ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ dimaksud adalah jenis manusia. Al-Biqa’i misalnya menulis bahwa kata ﺳﻼﻟﺔ ﻣﻦ ﻃﲔadalah saripati dari tanah, merupakan tanah yang menjadi bahan penciptaan Adam. Thaba Thaba’i juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ﺍﻻﻧﺴﺎﻥtidak mungkin Adam. Sedangkan Thahir Ibnu Asyur, walaupun membuka kemungkinan memahami kata ﺍﻻﻧﺴﺎﻥdalam arti Adam, cenderung berpendapat bahwa kata ﺍﻻﻧﺴﺎﻥyang dimaksud adalah putra putri Adam as.Sari pati dari tanah itu menurutnya adalah apa yang diproduksi oleh alat pencernaan dari bahan makanan yang kemudian menjadi darah, yang kemudian berproses hingga ahirnya menjadi sperma ketika terjadi hubungan seks. Nah, inilah yang dimaksud dengan saripati tanah karena ia berasal dari makanan manusia—baik tumbuhan maupun hewan yang bersumber dari tanah.99 Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa, Apapun pendapat yang anda kuatkan, yang jelas kata ﺳﻼﻟﺔterambil dari kata ﺳﻞyang antara lain berarti mengambil, mencabut. Patron kata ini mengandung makna sedikit, sehingga kata ﺳﻼﻟﺔberarti mengambil sedikit dari tanah dan yang diambil itu adalah saripatinya. Kemudian kata ﻧﻄﻔﺔ dalam bahasa Arab berarti setetes yang dapat membasahi. Ada juga yang memahami kata itu dalam arti hasil pertemuan seperma dan ovum. Penggunaan kata ini menyangkut proses kejadian manusia sejalan dengan penemuan ilmiah yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin laki-laki mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, sedangkan yang berhasil bertemu dengan indung telur perempuan hanya satu saja. Kata ﻋﻠﻘﺔterambil dari kata ﻋﻠﻖdalam kamuskamus bahasa, kata itu diartikan dengan (a) segumpal darah yang membeku, (b) sesuatu yang seperti cacing berwarna hitam, terdapat dalam 99 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. IX., h. 166 158 air, yang bila air itu diminum, cacing tersebut menyangkut di kerongkongan, dan (c) sesuatu yang bergantung atau berdempet.100 Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa, Dahulu kata tersebut dipahami dalam arti segumpal darah, tetapi setelah kemajuan ilmu pengetahuan serta maraknya penelitian, para embriolog enggan menafsirkannya dalam arti tersebut. Mereka lebih cenderung memahaminya dalam arti sesuatu yang bergantung atau berdempet di dinding rahim. Menurut mereka, setelah terjadi pembuahan (nuthfah yang berada dalam rahim itu), maka terjadi proses di mana hasil pembuahan itu menghasilkan zat baru, yang kemudian terbelah menjadi dua, lalu yang dua menjadi empat, empat menjadi delapan, demikian seterusnya berkelipatan dua, dan dalam proses itu, ia bergerak menuju ke dinding rahim dan ahirnya bergantung atau berdempet di sana. Nah, inilah yang dinamai 'alaqah oleh al-Qur'an. Dalam priode ini—menurut para pakar embriologi—sama sekali belum ditemukan unsur-unsur darah, dan karena itu tidak tepat menurut mereka, mengartikan 'alaqah atau 'alaq dalam arti segumpal darah. Kata ﻣﻀﻐﺔterambil dari kata ﻣﻀﻎyang berarti mengunyah. ﻣﻀﻐﺔadalah sesuatu yang kadarnya kecil sehingga dapat dikunyah.101 Lebih lanjut Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa, Kata ﻛـﺴﻮﻧﺎterambil dari kata ﻛـﺴﻰyang berarti membungkus. Daging diibaratkan pakaian yang membungkus tulang. Sayyid Qutub menulis bahwa di sini seseorang berdiri tercengang dan kagum di hadapan apa yang diungkap al-Qur’an menyangkut hakekat pembentukan janin yang tidak diketahui secara teliti kecuali baru-baru ini setelah kemajuan yang dicapai oleh Embriologi. Kekaguman itu lahir antara lain setelah diketahui bahwa sel-sel daging berbeda dengan sel-sel tulang dan juga setelah terbukti bahwa sel-sel tulang tercipta sebelum sel-sel daging, dan bahwa tidak terdeteksi adanya satu sel daging sebelum terlihat sel-sel tulang, persis seperti yang diinformasikan ayat di atas, ”Lalu Kami ciptakan mudhgah itu tulang-belulang, lalu Kami bungkus tulang-belulang itu dengan daging. Maha suci Allah Yang Maha Mengetahui yang umum dan yang rinci.102 100 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. IX., h. 166 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. IX., h. 167 102 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 9, h. 167 101 159 Dalam hal ini Muhammad Quraish Shihab mengacu kepada akar kata bahasa, lalu dibandingkan dengan ilmu pengetahuan melalui pendapat pakar Embriologi. Mengingat metode tafsir al-Mishbah itu berbentuk tahlîli, maka untuk mengetahui penafsiran ayat-ayat jender yang ada padanya harus membaca tafsirnya secara keseluruhan, sehingga memahaminya tidak parsial yang memang dianjurkan penulisnya. C. Ayat Ayat Kewarisan Untuk membahas masalah kewarisan dapat merujuk kepada firman Allah ﺛﹸﻠﹸﺜﹶﺎﻦﻦِ ﻓﹶﻠﹶﻬﻴﺘ ﺍﺛﹾﻨﻮﻕ ﺎﺀً ﻓﹶ ﻧِﺴﻦِ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹸﻦﻴﺜﹶﻴﻆﱢ ﺍﻟﹾﺄﹸﻧ ﻟِﻠﺬﱠﻛﹶﺮِ ﻣِﺜﹾﻞﹸ ﺣﻟﹶﺎﺩِﻛﹸﻢ ﻓِﻲ ﺃﹶﻭ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﺻِﻴﻜﹸﻢﻳ ﺇِﻥﹾﻙﺮﺎ ﺗ ﻣِﻤﺱﺪﺎ ﺍﻟﺴﻤﻬﺍﺣِﺪٍ ﻣِﻨﻪِ ﻟِﻜﹸﻞﱢ ﻭﻳﻮﻟِﺄﹶﺑ ﻭﻒﺼﺎ ﺍﻟﻨﺓﹰ ﻓﹶﻠﹶﻬﺍﺣِﺪ ﻭﺖﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻧ ﻭﻙﺮﺎ ﺗﻣ ِﻪﺓﹲ ﻓﹶﻠِﺄﹸﻣﻮ ﺇِﺧﻪِ ﺍﻟﺜﱡﻠﹸﺚﹸ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻪ ﻓﹶﻠِﺄﹸﻣﺍﻩﻮ ﺃﹶﺑﺭِﺛﹶﻪﻭ ﻭﻟﹶﺪ ﻭ ﻟﹶﻪﻜﹸﻦ ﻳ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻟﹶﻢﻟﹶﺪ ﻭﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻪ ﻟﹶﻜﹸﻢﺏ ﺃﹶﻗﹾﺮﻢﻬﻭﻥﹶ ﺃﹶﻳﺭﺪ ﻟﹶﺎ ﺗﻛﹸﻢﺎﺅﻨﺃﹶﺑ ﻭﻛﹸﻢﺎﺅﻦٍ ﺀَﺍﺑﻳ ﺩﺎ ﺃﹶﻭﻮﺻِﻲ ﺑِﻬﺔٍ ﻳﺻِﻴﺪِ ﻭﻌ ﺑ ﻣِﻦﺱﺪﺍﻟﺴ (١١ : ٤/ﺍ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻜِﻴﻢﺎ ﺣﻠِﻴﻤ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺔﹰ ﻣِﻦﺎ ﻓﹶﺮِﻳﻀﻔﹾﻌﻧ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan. Jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Nisâ’/4: 11) 160 Muhammad Shahrur memandang ayat di atas bias jender. Dia menyatakan bahwa, "Ayat ini dianggap bersifat kondisional, karena menurut dia Allah menunjukkan bahwa jatah laki-laki menjadi dua kali lipat dari jatah perempuan dalam satu kasus saja, yaitu ketika adanya dua perempuan berbanding dengan satu laki-laki. Hal ini berarti bahwa dalam wilayah himpunan, jatah laki laki adalah dua kali lipat jatah perempuan ketika jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki laki."103 Begitu juga dalam buku Keadilan Kesetaraan Gender Perspektif Islam yang disusun oleh Tim Lembaga Kajian Agama dan Jender tersirat bahwa ayat tersebut bias jender. Dengan mengutip seorang mufasir dari anak benua India, Parves, dalam buku tersebut dijelaskan, "Anak perempuan memperoleh separo dari laki-laki setelah ayahnya meninggalkan wasiat dan memberi anak perempuannya sebanyak yang ia sukai… sehingga mereka mendapat bagian yang sama dengan saudara laki-lakinya. Hukum waris Islam baru bisa dilaksanakan ketika wasiatnya tersebut telah dilaksanakan secara benar."104 Penulis tidak sependapat dengan Muhammad Shahrur dan Siti Musdah Mulia diatas, karena tidak ada petunjuk al-qur’an dan hadis yang diungkapkan oleh kedua orang tersebut, bahkan yang ada adalah wasiat Allah untuk membagi waris sesuai dengan ketentuan Allah (Q.S.al-Nisâ’/4:11) Para mufasir pada umumnya berbeda dengan pendapat Muhammad Syahrur dan Siti Musdah Mulia. Said Hawa misalnya, menyatakan :”Bahwa Q.S.al-Nisâ’/4:11 Allah memerintahkan untuk berbuat adil pada anak laki-laki 103 Muhammad Syahrur, Dirâsah Islâmiyah Mu'âshirah Nahwa Ushûl Jadîdah lil Fiqhi alIslâmi, yang diterjemahkan oleh Sahiron Syamsudin yang diberi judul Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (selanjutnya tertulis Metodologi Fiqih) (Jakarta: ELSAQ Press, 2004), h. 342 104 Siti Musdah Mulia at.al., Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam, (selanjutnya tertulis Keadilan Jender) (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 2003), Cet. II, h. 102 161 dan perempuan dalam asal waris walaupun berbeda jumlah bagian dari masing-masing, seperti laki-laki dua kali bagian perempuan karena laki-laki diwajibkan memberi nafkah dan diberi beban untuk usaha."105 Ahmad Mushthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa, Kaum laki-laki mendapat dua bagian perempuan, tidak menggunakan perempuan setengah dari laki-laki apabila ada laki-laki dan perempuan…. Hikmah dari laki-laki mendapat dua bagian perempuan, karena laki-laki memerlukan untuk membayar nafkah pada dirinya dan pada istrinya, maka dia mendapat dua bagian, sedangkan perempuan dia hanya membayar nafkah untuk dirinya sendiri, bahkan bila dia kawin, maka nafkah dirinya ditanggung suaminya.106 Zamakhsyari (467-538 H.) berpendapat bahwa, Jika kamu bertanya apakah laki-laki mendapat dua bagian perempuan, maka jawabannya adalah karena laki-laki mempunyai keutamaan…. Ini jika terkumpulnya laki-laki dan perempuan, sedangkan jika terjadi hanya satu jenis saja, seperti seorang anak lakilaki, maka anak laki-laki itu mengambil harta warisan secara keseluruhan, sedangkan jika hanya dua perempuan, maka keduanya mengambil 2/3 harta warisan.107 Sehubungan dengan hal ini Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut tidak bias jender bila mufasir menerjemahkan ayat-ayat alQur'an secara utuh, tidak secara parsial. Oleh karena itu ketika menafsirkan ayat tersebut (Q.S. al-Nisâ’/4: 13-14) Quraish Shihab menegaskan, "Setelah Allah menjelaskan rincian bagian untuk masing-masing ahli waris, kedua ayat di atas memberi dorongan, peringatan, janji dan ancaman dengan menegaskan bahwa bagian-bagian yang ditetapkan di atas, itu adalah batas-batas Allah, 105 Said Hawa , al-Asâs Fî al-Tafsîr …, Jilid. II., h. 1009 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, Jilid.IV. h. 196 107 Abu al-Qaasim Jaru Allah Mahmud Bin Umar Bin Muhammad al-Zamakhsyari, alKasysyaf…, Jilid.I, h.469 106 162 yakni ketentuan ketentuan-Nya yang tidak boleh dilanggar. (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah, Vol.2, h. 350).108 Perlu dicatat bahwa setiap peradaban menciptakan hukum sesuai dengan pandangan dasarnya tentang wujud, alam, dan manusia. Setiap peradaban membandingkan sekian banyak nilai kemudian memilih atau menciptakan apa yang dinilainya terbaik. Oleh karena itu, merupakan kekeliruan besar memisahkan antara satu hukum syara ’ yang bersifat juz'i dengan pandangan dasarnya yang menyeluruh. Siapa yang menafsirkan satu teks keagamaan atau memahami ketentuan hukum agama terpisah dari pandangan menyeluruh agama itu tentang Tuhan, alam, dan manusia—laki-laki dan perempuan—pasti akan terjerumus dalam kesalahpahaman penilaian, dan ketetapan hukum parsial yang keliru. Termasuk dalam hal ini pandangan Islam tentang waris, khususnya menyangkut hak laki-laki dan perempuan.109 Sangat sulit untuk menyatakan bahwa perempuan sama dengan lakilaki, baik atas nama ilmu pengetahuan maupun agama. Adanya perbedaan antara kedua jenis manusia itu harus diakui, suka atau tidak. Mempersamakannya hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan lakilaki dan bukan perempuan. Kaidah yang menyatakan bahwa fungsi/peranan utama yang diharapkan menciptakan alat, masih tetap relevan untuk dipertahankan. Tajamnya pisau dan halusnya bibir gelas, karena fungsi dan 108 Siapa yang taat kepada Allah dan Rasulnya dengan mengindahkan batas batas itu, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalannya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah keberuntungan yang besar. Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasulnya dengan mempersekutukan-Nya dan melanggar ketentuan ketentuanNya di atas, niscaya Allah memasukkanya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya, dan yang mendurhakai Allah tapi tidak mempersekutukan-Nya, maka baginya siksa yang menghinakan, setimpal dengan sikap mereka melecehkan ketentuan Allah dan meremehkan orang orang yang mereka halangi hak haknya. 109 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 351 163 peranan yang diharapkan darinya berbeda! Kalau merujuk kepada teks keagamaan—baik al-Qur'an maupun Sunnah—ditemukan tuntunan dan ketentuan hukum yang disesuaikan dengan kodrat, fungsi, dan tugas yang dibebankan kepada mereka.110 Laki-laki dibebankan oleh agama membayar mahar, membelanjai istri, dan anak-anaknya, sedangkan perempuan tidak demikian. Maka bagaimana mungkin, al-Qur'an dan Sunnah akan mempersamakan bagian mereka? Bahkan—boleh jadi—tidak keliru pendapat asy-Sya'rawi yang menyatakan bahwa jika berbicara tentang kepemihakan, maka sebenarnya al-Qur'an lebih berpihak kepada perempuan yang lemah itu daripada lelaki (lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol.2,h. 352).111 Dalam hal waris, Muhammad Quraish Shihab tetap berpedoman pada instrumen ﺍﻟﻌﱪﺓ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ, artinya ayat tersebut berlaku umum tidak kondisional. Sedangkan sebagian mufasir menggunakan instrumen ﺍﻟﻌﱪﺓ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﻻ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ, artinya ayat ini bersifat kondisional tidak berlaku secara umum. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa waris mewaris itu termasuk mu’âmalat, maka tidak harus mengikuti teks ayat. Sedangkan kelompok pertama beranggapan, bahwa ayat waris mewaris termasuk ayat-ayat 110 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 351 Lelaki membutuhkan istri tetapi dia yang harus membiayainya. Wanita juga membutuhkan suami tetapi dia tidak wajib membelanjainya, bahkan dia yang harus dicukupi kebutuhannya. Kalau kita berkata bahwa lelaki harus membelanjai wanita sebenarnya ditetapkan Allah untuk dirinya dan istrinya. Seandainya ia tidak wajib membelanjainya maka setengah dari yang seharusnya ia terima itu dapat mencukupinya. Di sisi lain, bagian wanita yang satu itu, sebenarnya cukup untuk dirinya sebagaimana kecukupan satu bagian buat pria seandainya dia tidak kawin. Tetapi jika wanita itu kawin, maka keperluan hidupnya ditanggung oleh suami, sedang bagiannya yang satu dia dapat simpan tanpa dia belanjakan. Nah siapakah yang habis dan siapa pula yang utuh bagiannya jika dia kawin? Jelas lelaki akan habis, karena dua bagian yang dimilikinya harus dibagi dua, sedang apa yang dimiliki oleh wanita tidak digunakannya sama sekali. Jika demikian–dalam soal waris mewarisi ini—keberpihakan Allah kepada perempuan lebih berat daripada keberpihakan-Nya kepada lelaki. 111 164 qath’i, maka sekalipun ayat-ayat waris itu termasuk mu’âmalat, maka wajib diikuti tidak boleh dilanggar dan yang melanggarnya akan berdosa besar bahkan dikatakan kafir. Muhammad Quraish Shihab menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Perempuan” , Ayat di atas berbicara tentang hak anak perempuan dan lelaki dalam kewarisan, bukan hak semua perempuan atau semua lelaki, dan bukan dalam segala persoalan. Hal ini perlu digarisbawahi, karena tidak semua ketentuan agama dalam bidang kewarisan membedakan antara perempuan dan lelaki. Ibu dan ayah apabila ditinggal mati oleh anaknya, sedang sang anak meninggalkan juga anak-anak lelaki atau anak-anak lelaki dan perempuan, maka ketika itu sang ayah dan ibu masing-masing memperoleh bagian yang sama, yakni 1/6 (baca lanjutan ayat di atas).112 Bahkan Muhammad Quraish Shihab tidak dapat menerima pendapat sementara pemikir kontemporer yang menduga bahwa ketetapan warisan tersebut bukan ketetapan final. Maka ia dapat saja direvisi dan dikembangkan dengan menetapkan kesamaan bagian anak perempuan dengan anak lelaki dalam perolehan hak waris. Pendapat yang antara lain dikemukakan oleh Nashr Abu Zaid ini, sulit diterima karena bukankah Allah telah menetapkan kesempurnaan agama, dalam arti tuntunan-Nya telah final (Q.S. al-Mâidah/5: 3), dan bukankah setelah menjelaskan rincian perolehan masing-masing ahli waris dinyatakan-Nya, bahwa siapa yang taat pada Allah dan Rasul-Nya, akan mendapat surga, dan siapa yang mendurakai Allah dan Rasul-Nya, akan dimasukkan ke neraka. (Q.S. al-Nisâ’/4: 13-14).113 Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan: Bila ada orang tua merasa bahwa ketetapan Tuhan di atas tidak adil apabila dia telah memenuhi banyak kebutuhan anak laki-lakinya. Untuk 112 113 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 261 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 264 165 kasus semacam ini, Muhammad Quraish Shihab memberi solusi dengan cara memberi anak perempuan—semasa hidup sehatnya—sejumlah yang dianggapnya dapat menghasilkan keadilan di antara anak-anaknya. Karena Allah telah memberi wewenang kepada siapapun untuk menghadiahkan hartanya selama yang bersangkutan masih sehat, tetapi begitu dia sakit-sakitan, maka wewenangnya dalam menghibahkan hartanya tinggal sepertiga. Bila dia meninggal dunia, maka ia tidak lagi memiliki wewenang dan harta tersebut kembali menjadi milik Allah. Hanya Dialah yang berwenang penuh membaginya sebagaimana ditetapkan-Nya dalam ketentuan hukum waris.114 Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mahmud Syaltut yang mengatakan, ”Bagian perempuan setengah dari bagian laki-laki dalam masalah waris. Islam tidak menjadikan dasar bahwa kemanusiaan perempuan lebih sedikit daripada kemanusiaan laki-laki, tapi dikarenakan faktor lain yaitu suami dibebani memberi nafkah keluarga, yaitu istri, anak dan keluarga dekat, begitu juga dibebani membayar mahar kepada istri sebagai tanda kecintaan suami pada istrinya. Sedangkan istri dibebani untuk mengatur rumah dan urusan hamil, melahirkan, mengasuh anak-anaknya."115 Begitu juga ketika perempuan itu dicerai, maka perempuan itu berhak mendapatkan nafkah iddah sebagaimana layaknya hidup suami-istri, dan berhak mendapat hadiah selain nafkah iddah. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 241. Sedangkan suami dituntut membiayai dirinya, anak-anaknya, dan istrinya yang baru, bahkan kedua orang tuanya dan keluarga dekatnya yang miskin.116 Ketika menafsirkan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 32, Muhammad Quraish Shihab juga menegaskan:”Bahwa ayat ini berpesan agar tidak berangan-angan dan berkeinginan yang dapat mengantar kepada pelanggaran114 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 266 Mahmud Syaltut, al-Islâm Aqîdah wa al-Syarî’ah, (selanjutnya tertulis Aqîdah Wa alSyarî’ah) (Bairut: Daar al-Qalam, 1966), h. 247 116 Mahmud Syaltut, Aqîdah wa al-Syarî’ah…, h. 248 115 166 pelanggaran ketentuan-ketentuan Allah, termasuk ketentuan-Nya menyangkut pembagian waris, yang menetapkan bahwa laki-laki mendapat bagian lebih banyak dari perempuan.”117 Dapat juga dikatakan bahwa lelaki dan perempuan, masing-masing telah mendapatkan bagian dari ganjaran Ilahi berdasarkan amal mereka. Maka tidak ada gunanya perempuan berangan-angan untuk melakukan pekerjaanpekerjaan yang ditetapkan Allah buat lelaki, dan sebaliknya pun demikian, karena ganjaran bukannya terbatas pada amalan tertentu saja. Banyak cara untuk memperoleh ganjaran, sehingga tidak pada tempatnya perempuan iri hati dan merasa tidak senang terhadap laki-laki dalam warisan dua kali lipat dari perolehan anak perempuan. Mereka tidak perlu iri hati, karena perolehan perempuan bukan hanya bersumber dari harta warisan, tetapi juga dari suaminya yang harus membayar mahar dan mencukupkan kebutuhan hidupnya.118 Kemudian ketika M.Quraish Shihab menafsirkan al-Qur'an Surat alNisâ’/4 ayat 34 dia juga menegaskan bahwa, "Ayat ini menjelaskan keistimewaan yang dianugerahkan Allah itu antara lain karena masing-masing mempunyai fungsi yang harus diembannya dalam masyarakat sesuai dengan potensi dan kecenderungan jenisnya. Karena itu pula, surat al-Nisâ’ ayat 32 mengingatkan bahwa Allah telah menetapkan bagian masing-masing menyangkut harta warisan, yang di dalamnya terlihat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kini, fungsi dan kewajiban masing masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa para lelaki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami adalah 117 118 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 396 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 398 167 Qawwâmûn, pemimpin dan penanggung jawab atas para perempuan. Oleh karena itu, Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya." 119 Jadi Islam membagikan warisan kepada perempuan setengah dari bagian laki-laki. Ini sesuai dengan kehormatannya, yakni ia lepas dari tanggung jawab untuk memberikan nafkah. Dari bagian itu, ia tidak berkewajiban untuk mengeluarkan nafkah sekalipun untuk dirinya sendiri ataupun untuk anak- anaknya, melainkan hartanya itu menjadi miliknya sendiri.120 Muhammad Mutawalli Sya’rawi sejalan dengan Muhammad Quraish Shihab, mengatakan bahwa Apabila kita membahas suatu masalah yang sukar dicari penyelesaiannya oleh akal, sebaiknya kita mencari hal-hal yang ada persamaannya sebagai bahan perbandingan. Seperti perempuan dan lakilaki, di mana persamaan dan perbedaannya? Persamaannya adalah bahwa keduanya sama-sama manusia. Perbedaannya adalah bahwa yang satu berjenis perempuan dan yang satu lagi berjenis lelaki. Pembagian jenis itu semata-mata hanyalah pembagian tugas, karena setiap jenis punya kekhususan, punya fungsi, kedudukan dan tugas masing-masing. Apabila tugas dan kepentingan keduanya sama tentu cukup hanya satu jenis saja.121 Sebagai contoh, waktu dan zaman yang meliputi malam dan siang yang sebagian orang mengira bahwa malam dan siang adalah berlawanan. Yang satu terang dan yang satu lagi gelap. Bukan begitu, kata Sya’rawi. Keduanya tidak 119 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 402 Anwar Jundi, Gelombang Tantangan Muslimah, Terjemahan Ahsin Wijaya, (selanjutnya tertulis Tantangan Muslimah) (Solo: CV Pustaka Mantiq, 1989), Cet.III, h. 36 121 Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Wanita Dalam al-Qur ’an, terjemahan Abu Abdillah al-Mansur, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 8 120 168 berlawanan. Siang bukan untuk melawan malam begitu juga sebaliknya. Keduanya tidak bisa dicari perbandingannya. Masing-masing melaksanakan tugas yang tidak bisa dilakukan oleh yang lain. Keduanya punya tugas sendiri, ada tugas siang hari dan ada yang tugas malam hari.122 Hal ini sesuai dengan Firman Allah ٍﻡـﺎﺕٍ ﻟِﻘﹶـﻮ ﻟﹶﺂﻳﺍ ﺇِﻥﱠ ﻓِـﻲ ﺫﹶﻟِـﻚـﺼِﺮﺒ ﻣﺎﺭﻬﺍﻟﻨﻮﺍ ﻓِﻴﻪِ ﻭﻜﹸﻨﺴﻞﹶ ﻟِﺘ ﺍﻟﻠﱠﻴﻞﹶ ﻟﹶﻜﹸﻢﻌ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﺟﻮﻫ (٦٧ : ١٠/ﻮﻥﹶ)ﻳﻮﻧﺲﻌﻤﺴﻳ Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar. (Q.S.Yûnus/10: 67) Dari sini jelas, bila kita memaksakan untuk menyamakan dua jenis lakilaki dan perempuan, berarti kita mengabaikan tugas pokok dari kedua jenis tersebut. Ketetapan Allah yang menjadikan siang dan malam adalah persoalan semesta yang tidak bisa dicampuri oleh manusia. Ketentuan itu mirip dengan adanya laki-laki dan perempuan, tidak ada makhluk yang dapat menentang kehendak Allah swt.123 Hal ini sesuai dengan Firman Allah ٩٢/)ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻰﺘ ﻟﹶﺸﻜﹸﻢﻴﻌﺜﹶﻰ ﺇِﻥﱠ ﺳﺍﻟﹾﺄﹸﻧ ﻭ ﺍﻟﺬﱠﻛﹶﺮﻠﹶﻖﺎ ﺧﻣﻠﱠﻰ ﻭﺠﺎﺭِ ﺇِﺫﹶﺍ ﺗﻬﺍﻟﻨﻰ ﻭﺸﻐﻞِ ﺇِﺫﹶﺍ ﻳﺍﻟﻠﱠﻴﻭ ( ٤-١: Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. (Q.S. al-Lail/92: 1- 4) 122 123 Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Wanita Dalam al-Qur ’an…, h. 8 Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Wanita Dalam al-Qur ’an…, h. 11 169 Allah juga memperingatkan kepada semua manusia agar tidak saling iri satu dengan yang lainnya (Q.S. al-Nisâ’/4: 32) Perbedaan jenis tentu dimaksudkan agar tidak terjadi benturan kepentingan. Sebab bila keduanya berebut fungsi dan tugas, maka akan merusak kelestarian alam semesta. Terhadap ayat tersebut Ibnu Katsir berkomentar, Allah memerintahkan kepada kalian untuk berbuat adil pada mereka, karena orang-orang jahiliyah dahulu menjadikan seluruh warisan hanya untuk kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan tidak mendapatkan sama sekali, lalu Allah memerintahkan untuk menyamakan di antara mereka dalam masalah asal waris, walaupun kedua belah pihak berbeda jumlah penerimaannya, seperti laki-laki mendapat dua bagia perempuan, hal itu disebabkan laki-laki diberi beban membari nafkah.124 Al-Syanqithi berpendapat bahwa, "Dalam ayat tersebut tidak disebutkan hikmah laki-laki lebih banyak dari perempuan dalam menerima waris, padahal keduanya sama dalam kedekatannya. Namun hal itu ada isyarat pada ayat lain yaitu al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 34, yaitu karena laki-laki mempunyai kelebihan fisik dan memberi nafkah."125 Menurut Muhammad Imarah, bahwa dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 11 yang menyatakan bahwa, Laki-laki mendapat dua bagian perempuan, bukan kaidah yang diperlakukan semua keadaan dalam masalah waris, melainkan diperlakukan pada hal-hal tertentu dan terbatas. Perbedaan penerimaan waris tidak mengacu kepada ukuran laki-laki dan perempuan, tapi mengacu pada kondisi penerima waris, seperti kedekatan hubungan antara pewaris dengan yang meninggal, kedudukan generasi pewaris yang masih panjang menerima beban hidup, menerima beban materi yang diharuskan oleh syar’i.126 124 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur ’an al-‘Adzîm, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1992), Jilid I, h. 565. Lihat Muhammad al-Razi, Tafsir al-Fakhru al-Razi, (Bairut: Dâr al-Fikr,t.t.), jilid IX, h.213 Lihat Abdulkarim al-Khaththab, Tafsir al-Qur ’an Li al-Qur ’an, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid.II, h. 709 125 Muhammad al-Amin Ibnu Muhammad al-Mukhtar al-Jakni al-Syanqithi, Adwâ alBayân, (Riyadh: Mathba’ah al-Ahliyah, t.t.) Jiid. I, h. 370 126 Muhamad Imarah, al-Tahrîr al-Islâmi li al-Mar ’ah, (selanjutnya tertulis Tahrîr alMar ’ah) (Cairo: Dar al-Syuruq, 1968), h. 68 170 Sedangkan Salim al-Bahnasawi menjelaskan bahwa "Perbedaan bagian waris tidak berkaitan dengan laki-laki dan perempuan, melainkan karena perbedaan beban materi dan semacamnya yang tidak dapat dijangkau/diketahui oleh manusia. Hal ini dapat dilihat pada beberapa pembagian warisan menurut al-Qur’an yaitu: a. Bagian perempuan sama persis dengan bagian laki-laki seperti bagian Ayah dan Ibu. Keduanya sama-sama mendapat 1/6 dari seluruh harta warisan jika ada anak ( ١١: ٤/ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻟﹶﺪ ﻭ ﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻪﻙﺮﺎ ﺗ ﻣِﻤﺱﺪﺎ ﺍﻟﺴﻤﻬﺍﺣِﺪٍ ﻣِﻨﻪِ ﻟِﻜﹸﻞﱢ ﻭﻳﻮﻟِﺄﹶﺑﻭ Dan untuk dua orang tua (ayah dan ibu) masing-amsing mendapat 1/6 dari harta yang ditinggalkan, jika yang meningggal itu punya anak. (Q.S.alNisâ’/4: 11) b. Bagian perempuan sama dengan bagian laki-laki seperti jika seorang meninggal baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan juga tidak meninggalkan anak, tapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja atau mempunyai seorang saudara perempuan seibu saja. Bagian mereka masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapat 1/6 dari harta warisan. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam 1/3 harta warisan. ﻮﺍ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻧﺱﺪﺎ ﺍﻟﺴﻤﻬﺍﺣِﺪٍ ﻣِﻨ ﻓﹶﻠِﻜﹸﻞﱢ ﻭﺖ ﺃﹸﺧ ﺃﹶﻭ ﺃﹶﺥﻟﹶﻪﺃﹶﺓﹲ ﻭﺮﺙﹸ ﻛﹶﻠﹶﺎﻟﹶﺔﹰ ﺃﹶﻭِ ﺍﻣﻮﺭﻞﹲ ﻳﺟﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺭﻭ ( ١٢ :٤/ﻛﹶﺎﺀُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺜﱡﻠﹸﺚِ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﺮ ﺷﻢ ﻓﹶﻬ ﺫﹶﻟِﻚ ﻣِﻦﺃﹶ ﹾﻛﺜﹶﺮ Jika seorang meninggal baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu atau seorang saudara perempuan seibu, maka bagi mereka masingmasing laki-laki maupun perempuan mendapat 1/6 dari harta warisan. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian sepertiga itu. (Q.S. al-Nisâ’/4: 12) 171 c. Jika Anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (dua ke atas) maka mereka mendapat 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu hanya seorang saja maka ia mendapat setengah dari seluruh harta waris. Untuk dua orang tua (ayah dan ibu) bagi mereka masing-masing mendapat 1/6 dari harta yang ditinggalkan. ٍﺍﺣِﺪﻪِ ﻟِﻜﹸﻞﱢ ﻭﻳﻮﻟِﺄﹶﺑ ﻭﻒﺼﺎ ﺍﻟﻨﺓﹰ ﻓﹶﻠﹶﻬﺍﺣِﺪ ﻭﺖﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻧ ﻭﻙﺮﺎ ﺗ ﺛﹸﹸﻠﺜﹶﺎ ﻣﻦﻦِ ﻓﹶﻠﹶﻬﻴﺘ ﺍﺛﹾﻨﻕﺎﺀً ﻓﹶﻮ ﻧِﺴﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹸﻦ ( ١١ :٤/ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻟﹶﺪ ﻭ ﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻪﻙﺮﺎ ﺗ ﻣِﻤﺱﺪﺎ ﺍﻟﺴﻤﻬﻣِﻨ Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta. Dan untuk dua orang tua (ayah dan ibu) masing-masing mendapat seperenam dari harta yang ditiggalkannya, jika yang meninggal itu mempunyai anak. (Q.S.alNisâ’/:11) d. Anak perempuan mendapat setengah anak laki-laki. ( ١١ : ٤/ﻦِ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻴﺜﹶﻴﻆﱢ ﺍﻟﹾﺄﹸﻧ ﻟِﻠﺬﱠﻛﹶﺮِ ﻣِﺜﹾﻞﹸ ﺣﻟﹶﺎﺩِﻛﹸﻢ ﻓِﻲ ﺃﹶﻭ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﺻِﻴﻜﹸﻢﻳ ”Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian waris untuk anakanakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.” (Q.S. al-Nisâ’/4:11) e. Perbedaan ini mempunyai sebab yang tidak bisa dijangkau oleh sebahagian akal manusia.127 ﺎﻜِﻴﻤﺎ ﺣﻠِﻴﻤ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺔﹰ ﻣِﻦﺎ ﻓﹶﺮِﻳﻀﻔﹾﻌ ﻧ ﻟﹶﻜﹸﻢﺏ ﺃﹶﻗﹾﺮﻢﻬﻭﻥﹶ ﺃﹶﻳﺭﺪ ﻟﹶﺎ ﺗﻛﹸﻢﺎﺅﻨﺃﹶﺑ ﻭﻛﹸﻢﺎﺅﺁﺑ ( ١١ :٤/)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ Para orang tuamu dan anak-anakmu, kalian tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S.al-Nisâ’/4 : 11) Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa, ”Bagian waris laki-laki dua kali lipat perempuan disebabkan laki-laki dituntut memberi nafkah, bekerja, 127 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Baina al-Islâm Wa al-Qawânîn al-Alamiyah, (selanjutnya tertulis al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn) (Kuwait: Dâr al-Wafa, 2003), h. 185 172 mencari rizki, dan membayar mahar istrinya. Sedangkan perempuan baik anak perempuan, saudara perempuan, ibu, istri, atau bibi tidak dituntut seperti laki-laki, kecuali jika sudah besar dia menafkahi dirinya selama belum nikah."128 Sedangkan ayah dan ibu jika ada anak mendapatkan sama karena hanya untuk memberikan kemuliaan kepada keduanya. Tetapi, kedua orang tua bagiannya lebih kecil daripada anak, karena keduanya sudah tua sehingga tidak berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anak-anaknya melainkan anak-anaknya yang dewasa itulah yang harus memberi nafkah kedua orang tuanya. Sedangkan anak-anaknya masih membutuhkan nafkah yang banyak disebabkan masih kecil, atau karena perlu biaya untuk menikah dan banyak menanggung beban hidup ketika dewasa.129 Wahbah al-Zuhaili menentang orang yang melakukan pembagian waris tidak dengan ketentuan Allah, bahkan berdasarkan adat istiadat masyarakat setempat, atau dengan mengadopsi antara peraturan orang-orang Barat dan peraturan manusia. Menurutnya, ”Tidak ada keadilan setelah keadilan Allah, dan tidak ada rahmat di atas rahmat Allah. Hal ini sesuai dengan alQur'an Surat al-Nisâ’/4:11.130 Adanya perbedaan penafsiran antara Muhammad Quraish Shihab dengan pakar yang lain tentang al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 11, karena adanya perbedaan instrumen masing-masing mufassir. Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat waris, beranjak dari teks ayat, 128 Wahbah al-Zuhaily, al-Munîr… , h. 273 Wahbah al-Zuhaily, al-Munîr…, h. 275 130 Wahbah al-Zuhaily, al-Munîr…, h. 280 129 173 sedangkan para mufasir kontemporer beranjak dari konteks sosial masyarakat. D. Ayat-Ayat Persaksian 1. Pengertian saksi Saksi menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu pristiwa (kejadian), orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika apabila diperlukan dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi. Orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa. Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan penuntutan.131 Sedangkan saksi menurut istilah Muhammad Quraish Shihab Saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat suatu pristiwa— katakanlah tabrakan—maka ketika itu anda telah berpotensi memikul tugas kesaksian, sejak saat itu anda dapat dinamai saksi walaupun belum lagi melaksanakan kesaksian itu di pengadilan. Ayat ini dapat berarti. Janganlah orang orang yang berpotensi menjadi saksi enggan menjadi saksi apabila mereka diminta. Memang banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu mereka perlu dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika sudah ada orang lain yang memberi keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya muthlak untuk menegakkan keadilan. 132 2. Pendapat para pakar muslim tentang saksi laki-laki dan perempuan Ayat persaksian yang sering disoroti oleh para pakar jender adalah alQur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 282, yaitu 131 132 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia…, h. 770 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.,I, h.568 174 ِﻝﺪ ﺑِﺎﻟﹾﻌ ﻛﹶﺎﺗِﺐﻜﹸﻢﻨﻴ ﺑﺐﻜﹾﺘﻟﹾﻴ ﻭﻮﻩﺒﻰ ﻓﹶﺎﻛﹾﺘﻤﺴﻞٍ ﻣﻦٍ ﺇِﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟﻳ ﺑِﺪﻢﺘﻨﺍﻳﺪﻮﺍ ﺇِﺫﹶﺍ ﺗﻨ ﺀَﺍﻣﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦﻬﺎﹶﻳﻳ ﻪ ﺑ ﺭﻖِ ﺍﻟﻠﱠﻪﺘﻟﹾﻴ ﻭﻖﻪِ ﺍﻟﹾﺤﻠﹶﻴﻠِﻞِ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻋﻤﻟﹾﻴ ﻭﺐﻜﹾﺘ ﻓﹶﻠﹾﻴ ﺍﻟﻠﱠﻪﻪﻠﱠﻤﺎ ﻋ ﻛﹶﻤﺐﻜﹾﺘ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ ﻛﹶﺎﺗِﺐﺄﹾﺏﻟﹶﺎ ﻳﻭ ﻮﻤِﻞﱠ ﻫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﻄِﻴﻊﺘﺴ ﻟﹶﺎ ﻳﻌِﻴﻔﹰﺎ ﺃﹶﻭ ﺿﺎ ﺃﹶﻭﻔِﻴﻬ ﺳﻖﻪِ ﺍﻟﹾﺤﻠﹶﻴﺌﹰﺎ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻋﻴ ﺷﻪ ﻣِﻨﺲﺨﺒﻟﹶﺎ ﻳﻭ ِﺎﻥﺃﹶﺗﺮﺍﻣﻞﹲ ﻭﺟﻦِ ﻓﹶﺮﻠﹶﻴﺟﺎ ﺭﻜﹸﻮﻧ ﻳ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻟﹶﻢﺎﻟِﻜﹸﻢ ﺭِﺟﻦِ ﻣِﻦﻳﻬِﻴﺪﻭﺍ ﺷﻬِﺪﺸﺘﺍﺳﻝِ ﻭﺪ ﺑِﺎﻟﹾﻌﻪﻟِﻴﻠِﻞﹾ ﻭﻤﻓﹶﻠﹾﻴ ﺍ ُﺀﺪﻬ ﺍﻟﺸﺄﹾﺏﻟﹶﺎ ﻳﻯ ﻭﺮﺎ ﺍﻟﹾﺄﹸﺧﻤﺍﻫﺪ ﺇِﺣﺬﹶﻛﱢﺮﺎ ﻓﹶﺘﻤﺍﻫﺪﻀِﻞﱠ ﺇِﺣﺍﺀِ ﺃﹶﻥﹾ ﺗﺪﻬ ﺍﻟﺸﻥﹶ ﻣِﻦﻮﺿﺮ ﺗﻦﻣِﻤ ﻡﺃﹶﻗﹾﻮ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭﺪﻂﹸ ﻋِﻨ ﺃﹶﻗﹾﺴﻠِﻪِ ﺫﹶﻟِﻜﹸﻢﺍ ﺇِﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟ ﻛﹶﺒِﲑﺍ ﺃﹶﻭﻐِﲑ ﺻﻮﻩﺒﻜﹾﺘﻮﺍ ﺃﹶﻥﹾ ﺗﺄﹶﻣﺴﻟﹶﺎ ﺗﻮﺍ ﻭﻋﺎ ﺩﺇِﺫﹶﺍ ﻣ ﺎﺡﻨ ﺟﻜﹸﻢﻠﹶﻴ ﻋﺲ ﻓﹶﻠﹶﻴﻜﹸﻢﻨﻴﺎ ﺑﻬﻭﻧﺪِﻳﺮﺓﹰ ﺗﺎﺿِﺮﺓﹰ ﺣﺎﺭﻜﹸﻮﻥﹶ ﺗِﺠﻮﺍ ﺇِﻟﱠﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﺗﺎﺑﺗﺮﻰ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗﻧﺃﹶﺩﺓِ ﻭﺎﺩﻬﻟِﻠﺸ ﺑِﻜﹸﻢﻮﻕ ﻓﹸﺴﻪﻠﹸﻮﺍ ﻓﹶﺈِﻧﻔﹾﻌﺇِﻥﹾ ﺗ ﻭﻬِﻴﺪﻟﹶﺎ ﺷ ﻭ ﻛﹶﺎﺗِﺐﺎﺭﻀﻟﹶﺎ ﻳ ﻭﻢﺘﻌﺎﻳﺒﻭﺍ ﺇِﺫﹶﺍ ﺗﻬِﺪﺃﹶﺷﺎ ﻭﻮﻫﺒﻜﹾﺘﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗ ( ٢٨٢ : ٢/ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﻠِﻴﻢﺀٍ ﻋﻲ ﺑِﻜﹸﻞﱢ ﺷﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭ ﺍﻟﻠﱠﻪﻜﹸﻢﻠﱢﻤﻌﻳ ﻭﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪﺍﺗﻭ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu 175 kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Amina Wadud berpendapat Bahwa maksud ayat tersebut adalah bahwa dua perempuan tidak disebut saksi. Satu perempuan ditunjuk untuk mengingatkan satunya lagi dia bertindak sebagai teman kerja sama (kolaborator). Meskipun perempuan itu ada dua, masing-masing berbeda fungsinya. Kemudian dia merujuk Fazlur Rahman yang keberatan penerapan ayat ini secara harfiah dalam semua transaksi di kemudian hari… Dengan demikian, ayat ini penting bagi keadaan tertentu yang bisa, dan sudah menjadi usang.133 Pembatasan mengenai transaksi finansial ini tidak berlaku pada persoalan lain. Permintaan akan dua perempuan dan satu laki-laki untuk menjadi saksi perjanjian finansial bukanlah peraturan umum untuk partisipasi perempuan, bahkan tidak untuk semua kesaksian. Permintaan lain untuk saksi hendaknya tidak untuk jender tertentu. Jadi siapa saja yang dianggap mampu menjadi saksi berhak menjadi saksi.134 Pendapat Aminah Wadud yang menyatakan bahwa dua orang perempuan dalam ayat tersebut bukan sebagai saksi kurang jelas alasannya, karena dia berangkat bukan dari teks, tapi dari kondisi sosial masyarakat. Tampaknya Aminah Wadud menggunakan instrumen kontekstual yang sejalan dengan tafsir emansipatoris yang mengubah strategi ala tafsir teosentris menjadi kontekstual yang penafsirannya tidak lagi berangkat dari teks, akan tetapi berangkat dari realitas kemanusiaan.135 133 Amina Wadud, Qur ’an Menurut Perempuan, terjemahan Abdullah Ali, (selanjutnya tertulis Qur ’an Menurut Perempuan) (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 152 134 Amina Wadud, Qur ’an Menurut Perempuan …, h. 154 135 Zuhairi Misrawi dalam kata pengantar buku karya Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, (Jakarta: P3M, 2004), h. xxiii 176 Sedangkan para mufasir pada umumnya menafsirkan ayat al-Qur’an mulai dari teks, lalu mencari hikmah melalui ilmu-ilmu lainnya. Perhatikan terjemahan al-Thabari untuk terjemahan ayat berikut: ﻥﹶ ﻣِﻦﻮﺿﺮ ﺗﻦﺎﻥِ ﻣِﻤﺃﹶﺗﺮﺍﻣﻞﹲ ﻭﺟﻦِ ﻓﹶﺮﻠﹶﻴﺟﺎ ﺭﻜﹸﻮﻧ ﻳ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻟﹶﻢﺎﻟِﻜﹸﻢ ﺭِﺟﻦِ ﻣِﻦﻳﻬِﻴﺪﻭﺍ ﺷﻬِﺪﺸﺘﺍﺳﻭ ( ٢٨٢ : ٢/ﺍﺀِ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺪﻬﺍﻟﺸ Mintalah dua saksi laki laki muslim yang merdeka, bukan budak dan orang kafir, jika tidak ada dua laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan sebagai saksi dalam utang piutang.136 (Q.S. al-Baqarah/2: 282) Menurut Zaitunah Subhan ”Saksi merupakan salah satu alat bukti untuk dijadikan pertimbangan hukum dalam memutuskan suatu perkara. Maka al-Qur’an berbicara mengenai persaksian ini secara gamblang. Namun di kalangan ulama masih ada saja perbedaan pendapat dalam masalah persaksian ini, sebagaimana dijelaskan Zaitunah Subhan bahwa jika yang dimaksudkan alQur’an bahwa dua orang perempuan diperlakukan sejajar dengan satu lelaki, di manapun masalah kesaksian ada (muncul), al-Qur’an akan memperlakukan perempuan dengan cara yang sama. Namun, kenyataan yang ada tidak demikian. Dalam al-Qur’an terdapat tujuh ayat yang berkenaan dengan pencatatan kesaksian ini, yaitu Q.S. al-Baqarah/2:282; Q.S. al-Nisâ’/4: 15; 136 Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir al-Thabari (w.310 H.), Tafsir al-Thabari, ( Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Jilid. III, h. 123. Lihat al-Qadhi Nashir al-Din Abi Said Abdullah Bin Umar Bin Muhammad al-Syirazi al-Baidhowi, Tafsir al-Baidhowi, (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), Jilid. I.,h. 144 , Lihat al-Imam Muhammad Bin Ali Bin Muhammad al-Syaukani (w.1250 H.), Fathu al-Qadir, (Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), Jilid. I, h. 246. Lihat Muhammad Ali alShabuni, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, (Cairo: Daar al-Shabuni, 1999), Jilid. I., h. 254. Lihat Abu Ali al-Fadhal Bin Hasan Bin al-Fadhal al-Thabarsyi, Majma al-Bayan Fi Tafsir al-Qur ’an, (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), Jilid II., h. 172. Lihat al-Imam al-Hafidh Imaduddin Abu al-Fida Ismail Bin Katsir al-Quarasyi al-Dimasqa, Tafsir al-Qur ’an al-Adhim, (Cairo: Daar al-Turats al-Arabi, t,t.), Jilid I, h. 335. Lihat Abu al-Hasan Ali Bin Muhammad Bin Habib al-Mawardi al-Bashari, al-Nikat wa al-Uyun Tafsir al-Mawardi, (Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), Jilid.I.h.356. Lihat Abu Qasim JarullahMahmud Bin Umar Bin Muhammad al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, (Bairut : Daar al-Kutub alIlmiyah, 1995), Jilid.I,h.321. Lihat Said Hawa, al-Asaas Fi al-Tafsir, (Cairo: Daar al-Salam, 1985), Jilid.I, h.661 177 Q.S. al-Mâidah/5:106; Q.S. al-Nûr/24: 4, 6 dan 13; dan Q.S. al-Thalâq/65: 2, tetapi tidak satupun yang menetapkan bahwa dua orang saksi perempuan sebagai pengganti satu saksi laki-laki.137 Selanjutnya dia juga mengatakan bahwa karena lelaki dan perempuan itu punya status yang sama, maka menjadi saksi itu boleh lelaki atau perempuan. Formula satu lelaki dan dua perempuan merupakan suatu pengecualian khusus untuk transaksi bisnis, tidak dapat diperluas pada kesaksian kesaksian yang lain. Di samping juga kini sudah banyak kaum perempuan yang ahli di bidang bisnis. Masihkah ayat ini relevan? Apakah masih diinterpretasikan dan diterapkan seperti zaman dahulu? Kesaksiankesaksian yang disebutkan al-Qur’an tidak menentukan bahwa para saksi itu harus laki-laki. Misalnya dalam al-Qur'an Surat al-Mâidah/5 ayat 106, tentang kesaksian dalam wasiat. Kemudian al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 15, alQur'an Surat al-Nûr/24 ayat 4, dan al-Qur'an Surat al-Thalâq/65 ayat 2 tentang kesaksian dalam pembuktian perzinaan. 138 Penulis sepakat dengan pernyataan Zaitunah Subhan yang menyatakan bahwa tidak semua persaksian dua perempuan dipersamakan dengan satu lakilaki, tapi penulis tidak sepakat ketika Zaitunah mempertanyakan relevansi Q.S. al-Baqarah/2: 282 dengan konteks sekarang. Karena sama halnya dengan menolak firman Allah. Padahal Allah sudah jelas menegaskan dalam persaksian utang-piutang itu harus 2 orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan 2 orang perempuan. 137 138 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian …, h. 119 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian …, h. 119 178 Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad Quraish Shihab yang menyatakan: Kata saksi yang digunakan ayat ini ﺷﻬﻴﺪﻳﻦbukan ﺷﺎﻫﺪﻳﻦIni berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada yakni kalau bukan dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.139 Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab melontarkan pertanyaan, Mengapa kesaksian dua orang laki-laki, diseimbangkan dengan satu laki-laki dan dua orang perempuan, yakni seorang laki-laki diseimbangkan dengan dua orang perempuan? Apakah karena kemampuan intelektualnya kurang seperti diduga sementara ulama, atau karena emosinya sering tidak terkendali ? menurut Muhammad Quraish Shihab tidak ini dan tidak itu. Persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama perempuan dan fungsi utama yang dibebankan atasnya, yaitu membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Atas dasar itulah tuntunan di atas ditetapkan. 140 Muhammad Quraish Shihab selanjutnya menegaskan bahwa al-Qur’an dan as-Sunah mengatur pembagian kerja antara perempuan dan lelaki, suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberi perhatian utama yaitu menyediakan kecukupan nafkah untuk anak-anak dan istrinya. Sedang tugas utama perempuan atau istri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anakanaknya.141 139 140 141 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. I . h. 566 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. I . h. 567 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. I . h. 567 179 Namun perlu dicatat bahwa pembagian kerja itu tidak ketat. Hal ini dapat dirujuk pada Tafsir al-Mishbah Vol.1 halaman 567.142 Kemudian kata ﺍﻟﻔﺎﺣﺸﺔdalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 15 bukan berarti berzina, atau orang yang melakukan homo seksual, tapi mereka yang mendatangi tempattempat yang sangat buruk. Perempuan-perempuan yang mengunjungi tempattempat tidak terhormat hendaknya ditahan di rumah sampai mati, atau Allah memberi jalan keluar baginya berupa perkawinan. Perempuan ditahan sedangkan laki-laki tidak ditahan, tapi dicemoohkan, karena perempuan tidak berkewajiban bertebaran di bumi mencari rizki. Dengan demikian keberadaannya di rumah tidak membawa dampak negatif bagi diri atau keluarganya. Berbeda dengan lelaki yang harus keluar mencari rizki.143 Namun demikian Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, Bahwa kesaksian perempuan dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, cerai dan rujuk. Mazhab Hanafi lebih luas dan lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kodrat perempuan. Mereka membenarkan kesaksian perempuan dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta, persoalan rumah tangga seperti pernikahan, talak dan rujuk bahkan segala sesuatu kecuali dalam soal kriminal.144 142 Tidak jarang istri para Sahabat Nabi Muhammad saw. ikut bekerja mencari nafkah, karena suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang melakukan aktivitas di rumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian kerja yang disebut di atas, dan perhatian berbeda yang dituntut terhadap tiap-tiap jenis kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan mereka menyangkut objek perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tangga, pastilah lebih kuat dari pria yang perhatiannya lebih banyak atau seharusnya lebih banyak tertuju kepada kerja, perniagaan termasuk hutang piutang. Ingatannya pasti juga lebih kuat dari wanita yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak diharapkan tertuju kesana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan di atas ditetapkan. Dan karena al-Qur’an menghendaki wanita memberi perhatian lebih banyak kepada rumah tangga, atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini, wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutang-piutang, baik karena suami tidak mengizinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih besar dari kemungkinannya oleh pria. Oleh arena itu demi menguatkan persaksian dua orang wanita di seimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. 143 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2 h. 355 144 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 1 h. 566 180 Kemudian pernyataan Zaitunah bahwa formula satu lelaki dan dua perempuan hanya berlaku khusus pada transaksi bisnis, justru pada al-Qur'an Surat al-Nisâ’ ayat 15 tidak menyebutkan perempuan sama sekali, tapi menyebutkan 4 saksi laki-laki. Hal ini kata Muhammad Quraish Shihab, Terlihat dari kata ﺍﺭﺑﻌﺔdipahami, bahwa saksi itu laki-laki, karena bila yang dimaksud saksi itu perempuan, tentu menggunakan kata ﺍﺭﺑﻊtanpa ada huruf ta al-marbuthah , karena dalam kaidah bahasa Arab, bila yang dihitung adalah perempuan, maka bilangan harus menggunakan mudzakar (bilangan untuk makna laki-laki), dan sebaliknya jika yang dihitung adalah mudzakar, maka bilangan harus menggunakan muannats (bilangan untuk makna perempuan), sedangkan dalam ayat di atas menggunakan bilangan muannats, berarti yang dihitung adalah mudzakar (laki-laki).145 Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip perkataan al-Zuhri, ”Telah berlalu masa Rasulullah saw. dan kedua khalifah sesudah beliau, kebiasaan tidak menerima persaksian perempuan dalam sanksi-sanksi yang bersifat hudud. Ini karena sejak semula al-Qur’an dan as-Sunnah bermaksud menghindarkan perempuan dari tempat tempat mesum, apalagi menyaksikan kedurhakaan yang sangat buruk."146 Begitu juga dalam al-Qur'an Surat al-Nûr/24 ayat 13 mengenai para penyebar isu juga menggunakan kata ﺍﺭﺑﻌﺔyang tentunya saksi itu bukan perempuan, tapi laki- laki, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan al-Qur'an Surat al-Mâidah/5 ayat 106 menurut sebab nuzul ayat ini adalah kasus Tamim al-Dari dan Adi Ibnu Badda, keduanya adalah laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada Tafsir al-Mishbah Vol. 3 halaman 229.147 145 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 357 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 . h. 357 147 Mereka berdua sering mondar-mandir ke Makkah. Suatu ketika mereka berdua ditemani oleh seorang pemuda dari Bani Sahm, bernama Budail Ibnu Abi Maryam menuju ke Syam. Dalam perjalanan, pemuda itu jatuh sakit dan meninggal dunia, di suatu daerah yang tidak berpenduduk muslim. Sebelum wafatnya ia berwasiat kepada Tamim dan Adi agar menyerahkan harta 146 181 Juga pada al-Qur'an Surat al-Nûr/24 ayat 4, mengenai tuduhan berbuat zina menggunakan kata ﺍﺭﺑﻌﺔtidak dengan kata ﺍﺭﺑﻊyang berarti saksinya adalah laki-laki. Maka menurut hemat penulis semua ayat yang diungkapkan Zaitunah di atas tidak ada indikasi menyamakan saksi laki-laki dan perempuan, bahkan terkesan pada ayat-ayat tersebut semua saksi itu kaum lelaki. Sedangkan pernyataan Zaitunah di atas dia masih bimbang. Dari satu sisi dia meralat pernyatannya di atas, tetapi dari sisi lain meyakini adanya perbedaan laki-laki dan perempuan dalam persaksian walaupun hanya memberlakukan dalam masalah transaksi bisnis. Tetapi dalam kesimpulannya tetap dia mempertanyakan relevan dan tidaknya surat al-Baqarah/2 ayat 282 untuk diterapkan seperti dahulu kala. Penulis meragukan pernyataan Zaitunah yang membingungkan karena dia masih mempertanyakan relevansi ayat tersebut dengan kondisi sekarang, tapi tidak didukung dengan argumen yang kuat. Penulis justru khawatir bila kebenaran mutlak itu diukur dengan hawa nafsu (keinginan seseorang) bukan mengacu kepada al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya ﻢ ﻓﹶﻬ ﺑِﺬِﻛﹾﺮِﻫِﻢﻢﺎﻫﻨﻴﻞﹾ ﺃﹶﺗ ﺑ ﻓِﻴﻬِﻦﻦﻣ ﻭﺭﺽ ﺍﻟﹾﺄﹶ ﻭﺍﺕﻮﻤﺕِ ﺍﻟﺴﺪ ﻟﹶﻔﹶﺴﻢﺍﺀَﻫﻮ ﺃﹶﻫﻖ ﺍﻟﹾﺤﻊﺒﻟﹶﻮِ ﺍﺗﻭ ( ٧١: ٢٣/ﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥ.)ﻮﻥﹶﺮِﺿﻌ ﻣ ﺫِﻛﹾﺮِﻫِﻢﻦﻋ Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya peninggalannya kepada keluarganya, dengan menyertakan sepucuk surat yang menjelaskan barang barang yang ditinggalkannya. Salah satu diantaranya adalah wadah yang terbuat dari ukiran perak berwarna-warni. Tamim dan Adi yang tidak mengetahui tentang surat itu menjual wadah tersebut dan menyerahkan sisa harta wasiat Budail kepada keluarganya. Ketika keluarga Budail menanyakan tentang wadah yang terbuat dari perak itu, Tamim dan Adi mengingkarinya, maka Nabi saw. menyumpah keduanya. Tidak lama kemudian yang hilang itu ditemukan pada seorang yang mengaku membelinya dari Tamim dan Adi. Keluarga Budail datang kepada Nabi saw. dan bersumpah bahwa kesaksian mereka lebih wajar diterima dari sumpah Tamim dan Adi. Maka Rasul saw. membenarkan dan memberi wadah tersebut kepada keluarga yang meninggal itu. Dalam riwayat lain diinformasikan bahwa Adi mengembalikan uang harga wadah yang dijualnya kepada ahli waris yang berhak menerimanya. 182 Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.S. al-Mukminûn/23: 71) Memang dalam teks para ahli fikih terdapat permasalahan yang cukup hanya disaksikan oleh seorang perempuan, seperti masalah yang tidak boleh dilihat oleh kaum lelaki seperti melahirkan anak, keperawanan perempuan dan aib-aib perempuan yang lainnya yang tidak bisa dilihat oleh kaum lelaki.148 Ada juga yang mempersamakan kesaksian laki-laki dan perempuan, seperti persaksian dalam masalah li’an sebagaimana firman Allah ٍ ﺍﺎﺩﻬ ﺷﻊﺑ ﺃﹶﺭﺪِﻫِﻢﺓﹸ ﺃﹶﺣﺎﺩﻬ ﻓﹶﺸﻢﻬﻔﹸﺴﺍﺀُ ﺇِﻟﱠﺎ ﺃﹶﻧﺪﻬ ﺷﻢ ﻟﹶﻬﻜﹸﻦ ﻳﻟﹶﻢ ﻭﻢﻬﺍﺟﻭﻮﻥﹶ ﺃﹶﺯﻣﺮ ﻳﺍﻟﱠﺬِﻳﻦﻭ ﺕ ﺎﻬﻨﺃﹸ ﻋﺭﺪﻳ(ﻭ٧) ﺍﻟﹾﻜﹶﺎﺫِﺑِﲔﻪِ ﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣِﻦﻠﹶﻴﺔﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻋﻨﺔﹸ ﺃﹶﻥﱠ ﻟﹶﻌﺎﻣِﺴﺍﻟﹾﺨ(ﻭ٦)ﺎﺩِﻗِﲔ ﺍﻟﺼ ﻟﹶﻤِﻦﻪﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﺇِﻧ ﺎﻬﻠﹶﻴ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻋﺐﺔﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﻏﹶﻀﺎﻣِﺴﺍﻟﹾﺨ(ﻭ٨) ﺍﻟﹾﻜﹶﺎﺫِﺑِﲔ ﻟﹶﻤِﻦﻪﺍﺕٍ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﺇِﻧﺎﺩﻬ ﺷﻊﺑ ﺃﹶﺭﺪﻬﺸ ﺃﹶﻥﹾ ﺗﺬﹶﺍﺏﺍﻟﹾﻌ ( ٩-٦ : ٢٤/ )ﺍﻟﻨﻮﺭﺎﺩِﻗِﲔ ﺍﻟﺼﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣِﻦ Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orangorang yang benar. (Q.S. al-Nûr/24 ayat 6-9) Kemudian Zaitunah Subhan mengatakan, ”Jika kita melihat dari segi penggunaan bahasa, kata mudzakar tidak secara otomatis menunjuk pria, tanpa adanya pengkhususan, karena dalam bahasa Arab kata mudzakar berlaku untuk lelaki dan perempuan."149 148 149 Mahmud Syaltut, Aqîdah wa al-Syarî’ah…, h. 250 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian …, h. 120 183 Tapi sayangnya Zaitunah tidak mencontohkan kata mudzakar yang berkaitan dengan kesaksian yang diartikan perempuan, karena dalam tata bahasa Arab semua kata mudzakar hanya dipergunakan untuk makna laki-laki, begitu juga setiap kata dzakar hanya diartikan lelaki. Lain halnya dengan kata ﺭﺟﻞmemang bisa diartikan dengan tokoh atau nenek moyang yang tidak terbatas pada laki-laki, melainkan bisa juga perempuan. Zaitunah menyimpulkan pendapat tiga tafsir/mufassir (Hamka, Mahmud Yunus, dan Tafsir Depag) mengenai kesaksian yang ada pada surat al-Baqarah/2 ayat 282 dengan format satu laki-laki dibanding dua perempuan, ada 3 kategori penyebab yaitu: a. Sebab yang bersifat kodrati, yaitu perempuan pelupa, emosional, pemikirannya kurang daripada laki-laki b. Sebab yang ada pada diri perempuan, yaitu kemungkinan adanya kekuatan luar yang akan memaksanya untuk memberikan kesaksian palsu c. Kurang berpengalaman dalam transaksi bisnis.150 Penulis juga kurang sependapat bila format satu laki-laki dibanding dua perempuan disebabkan tiga faktor tersebut, karena tidak ada penyebutan tiga faktor itu dalam ayat al-qur’an, tapi penulis sependapat bila ketiga faktor itu hanya sebagai pembenaran ketika ayat itu turun, untuk meyakinkan kebenaran mutlak, yaitu al-Qur’an Surat al-Baqarah/2 ayat 282. Anwar Jundi mengatakan bahwa, "Persaksian dua perempuan sama dengan persaksian satu orang laki-laki. Hal ini karena mempertimbangkan sifat kewanitaannya yang lemah-lembut dan halus.”151 150 151 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian …, h. 120 Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 36 184 Muhammad Quraish Shihab belum mengambil sikap yang tegas, walaupun ada kecenderungan tidak mempermasalahkan kesaksian perempuan dalam masalah membanding-bandingkan pendapat para transaksi ulama bisnis, baik menyamakan karena klasik baru maupun kontemporer. Adapun saksi dalam masalah rujuk dan cerai, sikap Muhammad Quraish Shihab cukup jelas, dia menyatakan:”Bahwa printah mempersaksikan dua orang saksi dalam masalah rujuk atau cerai diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i –dalam satu riwayatmemahaminya printah itu sunnah. Sementara ulama kontemporer dari golongan sunni secara tegas menyatakannya wajib bahkan menjadikannya syarat. Pendapat Abduh sejalan dengan pendapat aliran syi’ah sebagaimana dikemukakan oleh al-Thabarsi dalam tafsirnya dan pendapat inilah yang diberlakukan oleh Undang-Undang perkawinan di Indonesia.152 Setelah penulis membaca karya Muhammad Quraish Shihab yang terbaru berjudul Perempuan penulis mulai menemukan titik terang. Dia mengatakan, Al-Qur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 282 berbicara tentang persaksian di bidang keuangan. Karena ayat ini berbicara tentang utang-piutang, dalam sekian bidang lainnya, kesaksian seorang perempuan dinilai sama dengan kesaksian seorang lelaki. Misalnya kesaksiannya dalam melihat bulan guna menentukan awal Ramadhan dan Syawal, dalam hal penyusuan anak, kelahiran, atau hal-hal yang biasanya diketahui secara jelas oleh perempuan.153 Jika demikian halnya, maka yang perlu dibahas adalah mengapa kesaksian perempuan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan keuangan 152 153 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, Vol.14, h. 296 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 266 185 dinilai setengah dari kesaksian seorang lelaki? Secara umum dapat dikatakan bahwa ketika turunnya ayat ini, keterlibatan perempuan dalam persoalanpersoalan perdagangan belumlah sepesat dewasa ini. Lebih-lebih jika dikatakan bahwa ayat ini turun menyangkut tuntunan dalam perjalanan, seperti terbaca pada lanjutan ayat di atas. 154 Dengan demikian, jika pesan ayat ini merupakan bagian dari lapangan ijtihad dan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Quraish Shihab di atas merupakan ‘illat (motif penetapan hukum), maka bisa saja kini—kata Muhammad Quraish Shihab—kesaksian perempuan yang terlibat langsung dalam bidang keuangan, dinilai sama dengan kesaksian lelaki, yakni kesaksian seorang perempuan yang telah terlibat begitu banyak dalam soal keuangan sama dengan kesaksian seorang lelaki.155 Persoalan di atas, jika demikian, maka di sini kita bertemu dengan aneka pendapat yang berbeda walau semua sepakat menggunakan kaidah yang menyatakan bahwa, ”Ketetapan hukum berkisar pada 'illatnya; selama ‘illat itu ada, maka hukum tetap berlaku, dan bila ‘illat telah tiada, maka gugur pula keberlakuan hukum.”156 Permasalahannya adalah, apakah ‘illat itu permanen atau tidak? Karena tugas pokok perempuan adalah di rumah, sedangkan tugas pokok Adam, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur'an Surat Thâha/20 ayat 117 adalah sebagai suami yang memenuhi kebutuhan keluarganya. Tugas utama perempuan atau istri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. ‘illat 154 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 267 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 268 156 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 268 155 186 semacam ini dianggap oleh sebagian ulama merupakan ‘illat yang permanen yang tidak bisa diubah-ubah dalam kondisi apapun.157 Pertanyaannya kemudian adalah apakah pandangan menyangkut pembagian kerja di atas merupakan pandangan dasar yang mengantar kepada tidak direstuinya perempuan untuk terlalu banyak berkecimpung dalam bidang perniagaan dan keuangan dan dengan demikian, tidak pula wajar menyamakan kesaksian perempuan dalam bidang keuangan sama dengan laki-laki? Sementara pakar berpendapat demikian, dan membuktikan betapa kerja perempuan telah berdampak negatif terhadap kehidupan bermasyarkat.158 Muhammad Quraish Shihab enggan berkata demikian selama tugastugas pokok mereka tidak terabaikan. Sekali lagi ini adalah lapangan ijtihad yang dapat melahirkan aneka pandangan. Yang jelas kenyataannya pada masa turunnya ayat ini, perempuan-perempuan tidak memberi perhatian yang cukup terhadap utang piutang, baik karena suami tidak mengizinkan keterlibatan mereka, maupun oleh sebab lain. Kemungkinan mereka lupa lebih besar daripada kemungkinannya oleh lelaki. Oleh karena itu, demi menguatkan persaksian dua orang perempuan diseimbangkan dengan seorang lelaki, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya.159 Dalam hal ini Muhammad Quraish Shihab tampak agak jelas sikapnya. Namun dia masih belum tegas, karena dia menyatakan, bahwa ayat kesaksian merupakan lapangan ijtihad yang tentu para ulama belum sepakat mengenai status hukumnya. Untuk itu penulis lebih cenderung pada pendapat Muhammad 157 Imarah yang mengatakan bahwa Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 270 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 272 159 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 272 158 pembicaraan di atas 187 mencampuradukkan antara ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺓdan kata ﺍﻻﺷﻬﺎﺩ. Kata ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺓadalah alat bukti yang dijadikan pegangan oleh hakim dalam menyingkap keadilan yang didasarkan pada alat bukti kesaksian. Untuk melepaskan tuduhan tidak bisa alat bukti kesaksian itu ukuran diterima dan tidaknya diambil dari laki-laki atau perempuan, melainkan ukurannya adalah terpenuhinya keyakinan hakim untuk membenarkan bukti kesaksian itu, tanpa melihat jenis orang yang menjadi saksi, apakah dia laki-laki atau perempuan. Demikian juga tanpa melihat jumlah saksi. Sehingga apabila hakim sudah yakin hatinya bahwa bukti itu sudah jelas, apakah dia berpegang pada kesaksian dua orang laki-laki, atau dua orang perempuan, atau seorang laki dan seorang perempuan, seorang laki-laki dan dua orang perempuan, seorang perempuan dan dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki atau seorang perempuan, tidak terpengaruh laki-laki atau perempuan dalam kesaksian yang digunakan hakim, melainkan adalah bukti yang nyata.160 Sedangkan dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 282 berbicara tentang masalah lain. Tidak membicarakan tentang kesaksian di hadapan hakim, melainkan berbicara tentang ﺍﻻﺷﻬﺎﺩmemberi kesaksian pada pemilik hutang untuk mengukuhkan ingatan atas hutangnya, bukan bukti kesaksian yang dipegang teguh oleh hakim dalam memutuskan persengketaan kedua belah pihak. Ayat tersebut hanya ditujukan kepada pemilik hutang, bukan kepada hakim, bahkan tidak ditujukan kepada semua pemilik hutang dan juga tidak mensyaratkan harus sama jumlahnya dalam segala hal utang piutang, melainkan hanya ditujukan kepada pemilik hutang secara khusus.161 160 161 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah…, h. 71 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah…, h. 72 188 Kata ﺍﻻﺷﻬﺎﺩmemberi kesaksian dalam masalah hutang-piutang harus dilakukan 2 orang laki-laki beriman, atau satu laki-laki dan dua orang perempuan. Persyaratan ini tidak diminta dalam perdagangan modern. Pemahaman yang demikian dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H./12631328 M), oleh muridnya Ibnu al-Qoyyim (691-751 H./1292-1350 M.), Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M.) dan Mahmud Syaltut (13101383 H./1893-1963).162 Alat bukti yang dijadikan pegangan hakim mengacu kepada hadis Nabi saw. yang berbunyi: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺃﻧﺒﺄﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﻣﺴﻬﺮ ﻭﻏﲑﻩ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﷲ ﻋﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﰱ ﺧﻄﺒﺘﻪ ﺍﻟﺒﻴﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺪﻋﻰ ١٦٣ ﻭﺍﻟﻴﻤﲔ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺪﻋﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ Ali Bin Hujr telah menceritakan kepada kami, Ali Bin Mushir dan lainnya telah memberitakan kepada kami dari Muhammad Bin ‘Ubaidillah dari Amr Bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakenya, bahwa Nabi saw. telah bersabda dalam khuthbahnya :"Bukti itu bagi orang yang menuduh dan sumpah bagi orang yang terduduh." (H.R.alTurmudzi) Muhammad Imarah mengutip perkataan Ibnu Taimiyah yang menjelaskan bahwa, Al-Qur’an tidak menyebut dua saksi laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh hakim, melainkan al-Qur’an menyebutkan dua macam pembuktian (Q.S.alBaqarah/2: 282). Dalam ayat ini Allah memerintahkan mereka dalam rangka menjaga hak mereka dengan dua cara. Pertama ditulis, dan kedua dengan cara kesaksian dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.164 162 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …, h. 73 CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab Sunan al-Turmudzi, Nomor. 1261 164 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …, h. 74 163 189 Semua ini merupakan nasihat untuk mereka, dan mendidik serta petunjuk bagi mereka yang ingin menjaga hak-haknya. Menjaga hak merupakan sesuatu dan hakim memutuskan hukum dengan sesuatu merupakan hal yang lain pula. Maka cara memutuskan hukum lebih luas dari kesaksian dua orang laki-laki atau dua orang perempuan.165 Seorang hakim dibolehkan memutuskan hukum dengan kesaksian seorang laki-laki, jika seorang laki-laki itu diyakini benar dalam masalah selain pidana. Allah mewajibkan hakim agar memutuskan hukum hanya dengan dua saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Ini bukan berarti hakim tidak boleh memutuskan hukum dengan cara lebih sedikit dari yang ditetapkan. Karena Rasulullah—sebagai hakim—memutuskan hukum dengan seorang saksi laki-laki dan sumpah, bahkan dengan seorang saksi lakilaki saja. Hal itu tidak dianggap menyalahi kitab Allah bagi yang mengerti, karena hukum Allah dan hukum Rasulullah tidak bertentangan. Misalnya ketika Nabi saw. menerima kesaksian seorang Baduwi melihat bulan di dalam bulan Ramadhan (ru’yah al-hilal), begitu juga ketika Nabi saw. menerima seorang saksi laki-laki dalam masalah perhiasan orang yang terbunuh, dan kesaksian seorang dokter yang adil dalam masalah kena luka dapat diterima.166 Nabi saw. menerima kesaksian seorang perempuan dalam masalah menyusui yang bersaksi atas perbuatannya sendiri dalam kasus Uqbah Ibnu alHaris yang mengawini Ummu Yahya Binti Abi Iahab. Lalu datang seorang budak perempuan hitam dan berkata, "Saya telah menyusui anda berdua." Hal itu diadukan kepada Nabi saw. Nabi meminta memaparkan kepadanya. Mendengar hal itu Nabi bersabda, "Bagaimana dia sudah mengakui, bahwa dia 165 166 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …, h. 75 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah…, h. 76 190 telah menyusui kamu berdua."167 Nabi menerima kesaksian perempuan tersebut. Nabi Muhammad juga menerima kesaksian seorang perempuan dalam masalah hudud (pidana) seperti kasus seorang perempuan diperkosa oleh seorang laki-laki, sebagaimana ditegaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud yang berbunyi: ٍ ﺮ ﺣﻦ ﺑﺎﻙﺎ ﺳِﻤﺛﹶﻨﺪﺍﺋِﻴﻞﹸ ﺣﺮﺎ ﺇِﺳﺛﹶﻨﺪ ﺣﺎﺑِﻲﻳﺎ ﺍﻟﹾﻔﱢﺮﺛﹶﻨﺪﻦِ ﻓﹶﺎﺭِﺱٍ ﺣﻰ ﺑﻴﺤ ﻳﻦ ﺑﺪﻤﺤﺎ ﻣﺛﹶﻨﺪﺣ ﺏ ﺮِﻳﺪ ﺗﻠﱠﻢﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﺒِﻲﺪِ ﺍﻟﻨﻬﻠﹶﻰ ﻋ ﻋﺖﺟﺮﺃﹶﺓﹰ ﺧﺮ ﺃﹶﺑِﻴﻪِ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻣﻦﺍﺋِﻞٍ ﻋﻦِ ﻭﺔﹶ ﺑﻠﹾﻘﹶﻤ ﻋﻦﻋ ﻞﹲ ﻓﹶﻘﹶﺎﻟﹶﺖﺟﺎ ﺭ ﻬﻠﹶﻴ ﻋﺮ ﻓﹶﻤﻄﹶﻠﹶﻖﺍﻧ ﻭﺖﺎﺣﺎ ﻓﹶﺼﻬ ﻣِﻨﻪﺘﺎﺟﻰ ﺣﺎ ﻓﹶﻘﹶﻀﻠﱠﻠﹶﻬﺠﻞﹲ ﻓﹶﺘﺟﺎ ﺭﻠﹶﻘﱠﺎﻫﻠﹶﺎﺓﹶ ﻓﹶﺘﺍﻟﺼ ﻞﹶ ﺑِﻲﻞﹶ ﻓﹶﻌﺟ ﺍﻟﺮ ﺇِﻥﱠ ﺫﹶﻟِﻚ ﻓﹶﻘﹶﺎﻟﹶﺖﺎﺟِﺮِﻳﻦﻬ ﺍﻟﹾﻤﺔﹲ ﻣِﻦﺎﺑ ﻋِﺼﺕﺮﻣﻛﹶﺬﹶﺍ ﻭﻞﹶ ﺑِﻲ ﻛﹶﺬﹶﺍ ﻭ ﻓﹶﻌﺇِﻥﱠ ﺫﹶﺍﻙ ﺬﹶﺍ ﻫﻮ ﻫﻢﻌ ﻧﺎ ﺑِﻪِ ﻓﹶﻘﹶﺎﻟﹶﺖﻫﻮﺎ ﻓﹶﺄﹶﺗﻬﻠﹶﻴ ﻋﻗﹶﻊ ﻭﻪ ﺃﹶﻧﺖﻞﹶ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻇﹶﻨﺟﺬﹸﻭﺍ ﺍﻟﺮﻄﹶﻠﹶﻘﹸﻮﺍ ﻓﹶﺄﹶﺧﻛﹶﺬﹶﺍ ﻓﹶﺎﻧﻛﹶﺬﹶﺍ ﻭ ﻮﻝﹶﺳﺎ ﺭﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻳﻬﻠﹶﻴ ﻋﻗﹶﻊﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻭﻬﺎﺣِﺒ ﺻ ﺑِﻪِ ﻗﹶﺎﻡﺮﺎ ﺃﹶﻣ ﻓﹶﻠﹶﻤﻠﱠﻢﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴ ﻋﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺻﺒِﻲﺍ ﺑِﻪِ ﺍﻟﻨﻮﻓﹶﺄﹶﺗ ﺩﺍﻭﻮ ﺩﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑﻨﺴﻟﹰﺎ ﺣﻞِ ﻗﹶﻮﺟﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟِﻠﺮ ﻟﹶﻚِ ﻭ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻏﹶﻔﹶﺮﺒِﻲ ﻓﹶﻘﹶﺪﺎ ﺍﺫﹾﻫﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻬﻬﺎﺣِﺒﺎ ﺻﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺃﹶﻧ ﺎﻬﺎﺑ ﺗﺔﹰ ﻟﹶﻮﺑﻮ ﺗﺎﺏ ﺗ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻘﹶﺪﻮﻩﻤﺟﺎ ﺍﺭﻬﻠﹶﻴ ﻋﻗﹶﻊﻞِ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻭﺟﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟِﻠﺮﻮﺫﹶ ﻭﺄﹾﺧﻞﹶ ﺍﻟﹾﻤﺟﻨِﻲ ﺍﻟﺮﻌﻳ 168 ٍﺎﻙ ﺳِﻤﻦﺎ ﻋﻀﺮٍ ﺃﹶﻳﺼ ﻧﻦﺎﻁﹸ ﺑﺒ ﺃﹶﺳﺍﻩﻭﺩ ﺭﺍﻭﻮ ﺩ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑﻢﻬﺔِ ﻟﹶﻘﹸﺒِﻞﹶ ﻣِﻨﺪِﻳﻨﻞﹸ ﺍﻟﹾﻤﺃﹶﻫ ”Muhammad bin Yahya bin Faris menceritakan kepada kami, alFaryabi menceritakan kepada kami, Israil menceritakan kepada kami, Simak bin Harb menceritakan kepada kami dari Alqamah bin Wail dari Ayahnya, ”Bahwa seorang perempuan pada masa Nabi saw. keluar rumah untuk menunaikan shalat, lalu seorang laki-laki bertemu dengan perempuan tersebut, lalu seorang laki-laki itu memperdayakannya dan menodai perempuan tersebut, lalu perempuan itu berteriak kemudian laki-laki itu lari. Ketika laki-laki itu melewati perempuan tersebut, perempuan itu berkata, ”Bahwa orang itu yang menodai saya beginibegitu. Lalu sekelompok kaum Muhajirin lewat, maka perempuan itu mengadu kepada kaum Muhajirin tersebut, bahwa laki laki itu yang 167 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah…, h. 77 Abu Dawud Sulaiman Bin al-Asy’ats al-Sujistani al-Azadi, Sunan Abi Dawud, (Cairo: Daar al-Hadits, 1999), Jilid IV, h. 1872 168 191 menodai saya begini-begitu. Lalu kaum Muhajirin itu mengejar dan menagkap laki-laki yang diduga bahwa dia pelaku pemerkosaan, lalu mereka membawanya kepada perempuan tersebut, dan perempuan itu mengatakan, ”Benar bahwa dia ini pelakunya." Kemudian mereka membawanya kepada Rasulullah saw. Ketika Rasulullah memerintahkan untuk dirajam, pelaku pemerkosaan yang sebenarnya berdiri sambil mengatakan, ”Wahai Rasulullah, (bukan dia) pelakunya. Sayalah pelakunya". Lalu Rasulullah bersabda, ”Pergilah wahaiperempuan, mudah mudahan Allah mengampuni kamu," Rasulullah saw. bersabda kepada laki-laki itu, "Kamu telah mengatakan dengan baik.". Abu Dawud mengatakan, ”Yang dimaksud adalah laki-laki yang dibawa". Dan Rasulullah saw. mengatakan kepada laki-laki yang melakukan pemerkosaan, "Rajamlah dia." Lalu bersabda, ”Sungguh dia bertaubat, seandainya penduduk Madinah menerima taubatnya, maka dia akan diterima oleh mereka.” Abu Dawud mengatakan, ”Asbath bin Nashr juga meriwayatkannya dari Simak.” Muhammad Imarah mengutip Ibnu Taimiyah yang mengomentari alQur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 282 yang intinya menjelaskan bahwa dua orang perempuan sebagai pengganti seorang laki-laki agar jika perempuan yang satu lupa, maka perempuan yang lain mengingatkannya. Ini bukan tabiat perempuan secara keseluruhan dan bukan keharusan dalam segala kesaksian, melainkan suatu masalah yang mempunyai hubungan dengan keahlian dan akan mengalami perkembangan dan perubahan. Dengan demikian, jika seorang perempuan memiliki keahlian dalam kesaksian tertentu, kesaksian perempuan tidak selalu setengah dari kesaksian laki laki.169 Muhammad Imarah mengutip perkataan Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa, Kesaksian dua orang perempuan, dengan alasan bahwa perempuan itu lupa, kurang tepat. Yang benar adalah karena perempuan dalam bidang bisnis pada umumnya ingatannya lemah. Lain halnya dalam bidang rumah tangga, perempuan adalah bidangnya. Perempuan lebih kuat ingatannya dalam bidang rumah tangga dibanding kaum laki-laki. Artinya bahwa 169 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 78 192 tabiat manusia baik laki-laki maupun perempuan, dia akan kuat ingatannya terhadap masalah yang memang bidangnya.170 Perbedaan kesaksian antara laki-laki dan perempuan dalam masalah utang-piutang dan perdagangan (bisnis) ditegaskan dalam al-Qur'an Surat alBaqarah/2 ayat 282 dengan alasan tabiat perempuan dalam masalah bisnis cepat lupa, bukan tabiat umumnya perempuan, tapi perempuan-perempuan tertentu saja. Dan dalam permasalahan tertentu yaitu masalah bisnis, sebagai bukti: a. Persaksian dalam masalah bisnis terdapat dalam al-Qur'an Surat al- Baqarah/2 ayat 282 untuk mencegah perselisihan dan persengketaan dibuat 2 sarana, yaitu ditulis dan disaksikan oleh 2 orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. b. Persaksian dalam masalah selain bisnis, tidak ada perbedaan antara lakilaki dan perempuan (Q.S. al-Thalâq/65: 2 dan Q.S. al-Mâidah/5:106). Saksi dalam masalah talak dan wasiat tidak dipersyaratkan seperti dalam masalah bisnis, namun dipersyaratkan adil. Sedangkan adil dalam kesaksian mencakup laki-laki dan perempuan. Begitu juga jumlah dua orang merupakan lafazh umum yang mencakup laki-laki dan perempuan. c. Kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan dalam masalah bisnis, oleh Mahmud Syaltut merupakan petunjuk pada waktu transaksi bisnis, bukan kapasitas sebagai saksi di pengadilan. d. Bahwa saksi itu hanya untuk mengukuhkan dan menjaga hak, maka ketika tidak terpenuhi jumlah yang dikehendaki al-Qur’an, seorang saksi sudah cukup seperti yang dilakukan Rasulullah. 170 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 80 193 e. Perbedaan dalam kesaksian antara laki-laki dan perempuan tidak berarti memberikan keistimewaan kepada laki-laki, karena dalam kondisi tertentu syariat Islam menerima kesaksian perempuan semata, seperti untuk mengukuhkan kelahiran anak dari ibunya. f. Perbedaan kesaksian antara laki-laki dan perempuan dalam bisnis bukan untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Ketika Allah menjadikan saksi dalam masalah perzinaan adalah 4 orang laki-laki, bukan berarti menurunkan derajat laki-laki, melainkan untuk menjaga kehormatan perempuan dan menjaga kemuliaannya g. Syariat Islam ketika membedakan laki-laki dan perempuan dalam kesaksian, maka perbedaan keduanya didasarkan kepada kekhususan tabiat masing-masing. Jika syariat Islam menyamakan laki-laki dan perempuan dalam satu masalah, hal itu dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan keadilan manusia, bukan untuk kemaslahatan perempuan saja.171 Dalam masalah persaksian, Muhammad Quraish Shihab menggunakan instrumen ﺍﻟﺴﺒﺐ ﺍﻟﻌﱪﺓ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﲞﺼﻮﺹ. Hal ini dapat dilihat ketika Quraish Shihab menafsirkan ayat persaksian. Dia menafsirkan secara tekstual tanpa melihat dalam konteks apa ayat itu berbicara. Bahkan dia berusaha merujuk pada para mufasir lain sebagai perbandingan yang mendukung pendapatnya. Walaupun dalam buku terbarunya yang berjudul Perempuan, dia dapat menerima dengan kondisi yang berbeda dapat berubah. Namun dia tetap pada pendapatnya bahwa bila dalam kondisi seperti ayat itu turun, maka ayat itu berlaku kembali. Sedangkan para mufasir kontemporer mereka memahami teks melalui kekhususan sebab, bukan melalui keumuman lafazh yang biasa 171 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 182-184 194 disebutkan ﺍﻟﻌﱪﺓ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﻻ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆMereka berpendapat bahwa bila teks ayat itu tidak sesuai dengan kondisi realitas sosial masyarakat, maka teks ayat itu dianggap tidak relevan dan tidak perlu diamalkannya. Namun demikian, ada sebagian pakar kontemporer tidak menggunakan metodologi yang benar, sehingga mereka mudah saja mengatakan ayat alQur’an sudah tidak relevan, yang berarti tidak mengakui keberadaan ayat alQur’an. Sementara Muhammad Quraish Shihab, menganggap semua ayat tetap eksis sampai hari kiamat. Sebab, sekalipun ayat itu sudah tidak relevan, seperti ayat perbudakan, mungkin saja dikemudian hari ayat itu diberlakukan kembali. Hal ini sejalan dengan almarhum Ibrahim Hosen ketika menanggapi tulisan almarhum Munawir Syadzali yang mengatakan bahwa, ”Umar Bin Khathab dianggap melanggar ayat, karena menghilangkan bagian muallaf dalam masalah zakat.” Menurut Ibrahim Hosen Umar bin Khathab tidak melanggar ayat, namun wadah hukum yang dianggap tidak ada oleh Umar. Sehingga jika muallaf timbul kembali, maka bagian muallaf harus ditimbulkan kembali. Dan berangkat dari sini pula Munawir Sjadzali berkeyakinan, bahwa al-Qur’an terbagi dua kategori yaitu akidah dan mu’amalat. Ayat-ayat yang masuk kategori mu’amalat boleh tidak diamalkan sebagaimana yang dilakukan oleh Umar Bin Khaththab. Sementara Muhammad Quraish Shihab dan Ibrahim Hosen menyatakan, bahwa Umar Bin Khaththab tidak melanggar ayat, tapi umar tidak melaksanakannya karena obyek /wadah hukumnya yang dianggap tidak ada. Jadi ayat al-Qur’an menurut Quraish dan Ibrahim Hosen seluruhnya tetap eksis, sekalipun obyek/wadah hukumnya tidak ada, maka keduanya 195 membagi hukum dalam al-Qur’an kepada dua kategori yaitu qath’i dan zhanni. Maka sekalipun ayat itu masuk dalam kategori mu’amalat, tapi jika masuk dalam kategori qath’i, maka tidak boleh dilanggar bahkan wajib diamalkannya. E. Ayat-Ayat Kepemimpinan Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hubungan satu sama lain, kemudian membuat kelompok-kelompok, baik dalam lingkup kecil maupun besar. Setiap kelompok apapun memerlukan seorang pemimpin. Islam mengatur sedemikian rupa yang berkaitan dengan kepemimpinan, baik yang berkaitan dengan kepemimpinan rumah tangga, kepemimpinan masyarakat, kepemimpinan negara, dan sejenisnya. Untuk membahas masalah kepemimpinan, perlu dikelompokkan kepada dua macam kepemimpinan. 1. Kepemimpinan dalam rumah tangga Diantara ayat yang mengatur kepemimpinan rumah tangga adalah ﻢ ِﺍﻟِﻬـﻮ ﺃﹶﻣﻔﹶﻘﹸﻮﺍ ﻣِـﻦﺎ ﺃﹶﻧﺑِﻤﺾٍ ﻭﻌﻠﹶﻰ ﺑ ﻋﻢﻬﻀﻌ ﺑﻞﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺎ ﻓﹶﻀﺎﺀِ ﺑِﻤﺴﻠﹶﻰ ﺍﻟﻨﻮﻥﹶ ﻋﺍﻣﺎﻝﹸ ﻗﹶﻮﺟﺍﻟﺮ ﻦ ﻓﹶﻌِﻈﹸـﻮﻫﻦﻫﻮﺯـﺸﺎﻓﹸﻮﻥﹶ ﻧﺨﺍﻟﻠﱠﺎﺗِﻲ ﺗ ﻭﻔِﻆﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺎ ﺣﺐِ ﺑِﻤﻴ ﻟِﻠﹾﻐﺎﻓِﻈﹶﺎﺕ ﺣﺎﺕ ﻗﹶﺎﻧِﺘﺎﺕﺎﻟِﺤﻓﹶﺎﻟﺼ ﺎﻠِﻴ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋﺒِﻴﻠﹰﺎ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺳﻬِﻦﻠﹶﻴﻮﺍ ﻋﻐﺒ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺗﻜﹸﻢﻨ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺃﹶﻃﹶﻌﻦﻮﻫﺮِﺑﺍﺿﺎﺟِﻊِ ﻭﻀ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻤﻦﻭﻫﺮﺠﺍﻫﻭ (٣٤ : ٤/ﺍ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻛﹶﺒِﲑ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, janganlah 196 kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S. al-Nisâ’/4: 34) Sifat kejantanan merupakan unsur pokok dalam kepemimpinan, maka suami adalah kepala rumah tangga menurut semua peraturan yang ada di dunia. Oleh karena itu anak-anak dinisbatkan kepada ayah walaupun seorang ibu yang banyak dibebani oleh seorang anak sejak dalam kandungan sampai melahirkan, bahkan sampai besar. Namun Islam berbeda dengan peraturan yang ada di dunia, karena Islam menjadikan suami menjadi pemimpin dengan dua alasan yaitu, karena memiliki sifat kejantanan dan memberi nafkah. (Q.S. al-Nisâ’/4: 34).172 Jika kewajiban laki-laki memberi nafkah kepada keluarganya dijadikan alasan bahwa laki-laki berhak menjadi pemimpin, maka bagaimana jika perempuan yang mencari nafkah? Apakah kepemimpinan dapat berpindah kepada sang istri? Salim al-Bahnasawi menjawab, ”Memberi nafkah semata bukan menjadikan sebab kepemimpinan di tangan suami. Sebab yang paling prinsip adalah fisik yang dimiliki laki-laki.”173 Muhammad Shahrur tidak sependapat bila kepemimpinan laki-laki dikaitkan dengan faktor fisik, yakni bahwa kaum laki-laki secara alami adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Mereka memahami firman Allah Bimâ faddhalallah ba ’dhohum alâ ba ’dhin dengan pengertian bahwa Allah telah melebihkan kaum laki-laki di atas kaum perempuan dengan ilmu, agama, akal, dan kekuasaan. Pendapat demikian tidak berarti sedikitpun baginya. Seandainya Allah menghendaki arti demikian, seharusnya Allah akan berfirman, Adzukûru qawwâmûna ‘alâ al-inâts.174 172 173 174 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 2001 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 2002 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 448 197 Muhammad Shahrur berpendapat bahwa, ”Arti firman Allah Bimâ fadhlallah ba ’dhohum ‘lâ Ba ’dhin mencakup laki-laki maupun perempuan sekaligus. Karena seandainya kata ba ’dhohum hanya menunjuk kaum laki-laki saja, maka yang masuk di dalamnya adalah sebagian kaum laki-laki, bukan seluruh kaum laki-laki. Selain itu, seharusnya firman selanjutnya adalah ‘alâ ba ’dhihinna yang menunjuk kepada sebagian kaum perempuan, bukan seluruhnya, sehingga keseluruhannya berarti bahwa Allah telah melebihkan sebagian kaum laki-laki di atas sebahagian kaum perempuan. Lalu apa yang terjadi dengan bagian sisanya? Apakah sama-sama memiliki kelebihan? Di manakah dengan kaum perempuan yang memiliki kelebihan di atas kaum lakilaki yang ada di berbagai bidang dan zaman? Dari sinilah kami memahami bahwa kalimat Ba ’dhohum ‘alâ ba ’dhin mencakup kaum laki-laki dan kaum perempuan sekaligus, sehingga firman di atas berarti karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki dan perempuan di atas sebagian laki-laki dan perempuan yang lainnya. Arti demikian mengacu pada firman Allah 175 : ١٧/ )ﺍﻻﺳﺮﺍﺀ.ﻔﹾﻀِﻴﻠﹰﺎﺗ ﺮﺃﹶﻛﹾﺒﺎﺕٍ ﻭﺟﺭ ﺩﺮﺓﹸ ﺃﹶﻛﹾﺒﻟﹶﻠﹾﺂﺧِﺮﺾٍ ﻭﻌﻠﹶﻰ ﺑ ﻋﻢﻬﻀﻌﺎ ﺑﻠﹾﻨ ﻓﹶﻀﻒ ﻛﹶﻴﻈﹸﺮﺍﻧ ( ٢١ Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. (Q.S.al-Isrâ’/17 : 21) Kemudian Muhammad Shahrur beralih pada aspek kedua, yaitu aspek harta benda. Dalam firman-Nya, Wabimâ anfaqû min amwâlihim, seorang pemilik harta benda pasti memiliki kepemimpinan (al-qiwâmah) tanpa harus melihat kecakapan dan ketinggian kesadaran dan kebudayaannya. Oleh karena itu, seorang pemilik pabrik yang berpendidikan rendah, misalnya, bisa 175 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 449 198 menunjuk seorang direktur yang berijazah tinggi untuk menjalankan pabriknya. Sang direktur akan tunduk terhadap seluruh kebijakan sang pemilik pabrik karena ia memiliki kekuasaan untuk menyalurkan harta (qiwwâmât alInfâq). Kekuasaan/kepemimpinan dalam bidang ekonomi ini tampak jelas pada individu-individu, keluarga, dan negara-negara maju dan tidak berkaitan sama sekali dengan tingkat kebudayaan dan kecakapan.176 Adapun ulama yang berpendapat bahwa kepemimpinan kaum laki-laki atas kaum perempuan disebabkan adanya faktor alami (penciptaan) yang dimiliki kaum laki-laki. Imam al-Suyuthi misalnya, menisbatkan pendapatnya kepada beberapa sabda Nabi, diantaranya: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺍﳍﻴﺜﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻮﻑ ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﺍﰉ ﺑﻜﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻟﻘﺪ ﻧﻔﻌﲏ ﺍﷲ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﲰﻌﺘﻬﺎﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻳﺎﻡ ﺍﳉﻤﻞ ﺑﻌﺪ ﻣﺎﻛﺪﺕ ﺍﻥ ﺍﳊﻖ ﺑﺎﺻﺤﺎﺏ ﺍﳉﻤﻞ ﻓﺎﻗﺎﺗﻞ ﻣﻌﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﳌﺎ ﺑﻠﻎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﺍﻫﻞ ﻓﺎﺭﺱ ﻗﺪ ﻣﻠﻜﻮﺍ ١٧٧ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﻨﺖ ﻛﺴﺮﻯ ﻗﺎﻝ ﻟﻦ ﻳﻔﻠﺢ ﻗﻮﻡ ﻭ ﻟﻮ ﺍﻣﺮﻫﻢ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ Usman Bin al-Haitsam telah menceritakan kepada kami, Auf telah menceritakan kepada kami dari al-Hasan, dari Abi Bakrah telah berkata, "Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku pada waktu perang jamal dengan kalimat yang saya dengar dari Rasulullah saw. setelah aku hampir bergabung dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka, Abu Bakrah berkata, 'Ketika ada berita sampai kepada Rasulullah, bahwa penduduk Persi telah mengangkat putri Kisra menjadi Ratu, maka Rasulullah bersabda 'Tidak akan sukses suatu kaum jika masalah pemerintahan diserahkan kepada perempuan.'" (H.R. al-Bukhari). Kaum perempuan adalah kurang dalam akal dan agamanya." (Bukhari: 293), "Persaksian seorang dari kaum perempuan adalah seperti separuh persaksian dan inilah yang dimaksud kurang akal, dan karena mereka 176 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 449 Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari, (selanjutnya tertulis alBukhari) (Bairut: Dâr al-Fikr, 1995), Julid III, h. 89 177 199 berhaid sehingga mereka dilarang melaksanakan shalat, dan itulah yang dimaksud kurang dalam agama," dan sabda Nabi, ”Yang menggugurkan shalat adalah perempuan, himar (keledai) dan anjing hitam.” (Turmudzi: 310). Keseluruan hadis-hadis tersebut, bagi Muhammad Shahrur tidaklah berarti sama sekali.178 Kaum laki-laki memiliki kekuasaan dalam kekayaan, pendidikan, budi pekerti dan kemampuan memimpin. Kaum perempuan juga demikian. Tidak diragukan lagi bahwa kebaikan sebuah keluarga dan masyarakat akan tercapai jika kepemimpinan berada di tangan orang yang memiliki kelebihan, baik lakilaki ataupun perempuan. Inilah maksud dari ayat 34 surat al-Nisâ di atas. Ayat tersebut diawali dengan pernyataan bahwa kepemimpinan kaum laki-laki atas kaum perempuan, Al-Rijâlu qawwâmûna 'alâ al-nisâ. Selanjutnya beralih kepada isyarat tentang adanya kesamaan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, dan tentang kelebihan yang dianugerahkan oleh Allah kepada sebagian orang laki-laki dan perempuan atas sebagian yang lainnya. Ayat tersebut kemudian diakhiri dengan uraian tentang kepemimpinan kaum perempuan atas kaum laki-laki, Fa al-shâlihâtu qânitâtun, hâfidhâtun lii algaibi bimâ hafizha Allahu. Kata al-hâfidhât di sini berarti bahwa kaum perempuan yang pantas untuk memimpin, karena kepemimpinan merupakan tema pokok dalam ayat ini.179 Dengan demikian, ayat 34 surat al-Nisâ’ di atas berisi tentang penjelasan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang perempuan yang diberi anugerah hak kepemimpinan, berupa kekayaan, pendidikan, ataupun kadar intelektual. Sifat-sifat tersebut adalah patuh dan menjaga aib suami. Apabila ia 178 179 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 450 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 452 200 memiliki sifat-sifat demikian, maka ia pantas untuk memimpin. Akan tetapi jika ia tidak memiliki sifat-sifat tersebut, maka ia telah keluar dari garis kelayakan sebagai pemimpin, yang dalam ayat di atas disebut nâsiz: wallâti takhâfûna nusyûzahunna…(perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya…) yakni keluar dari sifat rendah hati dan menjaga aib suami. 180 Sampailah kepada kesimpulan Muhammad Shahrur, bahwa nusyuz di sini tidaklah berkaitan sama sekali baik dengan kesalehan dalam pengertian mendirikan shalat dan puasa, maupun dengan pelanggaran etika dan kedurhakaan yang mengharuskannya diberi pendidikan dan pukulan tangan, sebagaimana dikemukakan oleh al-Suyuthi dan ulama lainnya. Akan tetapi, kata tersebut berarti keluar dari garis kepemimpinan dengan kasih dan sayang, yakni otoriter dan kesewenang-wenangan pendapat. Lawan katanya adalah qunut yang berarti kerendahhatian, kesabaran dan berlapang dada. Sampailah pada penghujung ayat tentang langkah-langkah yang harus dilakukan dalam keadaan munculnya tanda-tanda nusyuz seorang perempuan yang memiliki hak kepemimpinan, apakah ia seorang istri, saudara perempuan, anak perempuan, ataupun seorang ibu.181 Hal di atas berkenan dengan nusyuz dan perbedaan ketika hak kepemimpinan berada di tangan perempuan. Jika hak kepemimpinan berada di tangan laki-laki, kemudian ia berbuat sewenang-wenang, lalim, dan nusyuz, maka ayat 128 dalam surat yang sama memberikan penjelasan tentangnya serta menetapkan cara penyelesaiannya. Allah berfirman 182 180 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 453 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 453 182 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 455 181 201 ﺎـﻠﹾﺤﺎ ﺻﻤﻬﻨﻴﺎ ﺑﻠِﺤﺼﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﻬِﻤﻠﹶﻴ ﻋﺎﺡﻨﺎ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺟﺍﺿﺮ ﺇِﻋﺍ ﺃﹶﻭﻮﺯﺸﺎ ﻧﻠِﻬﻌ ﺑ ﻣِﻦﺎﻓﹶﺖﺃﹶﺓﹲ ﺧﺮﺇِﻥِ ﺍﻣﻭ ﻠﹸـﻮﻥﹶﻤﻌـﺎ ﺗ ﻛﹶـﺎﻥﹶ ﺑِﻤﻘﹸﻮﺍ ﻓﹶﺈِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺘﺗﻮﺍ ﻭﺴِﻨﺤﺇِﻥﹾ ﺗ ﻭﺢ ﺍﻟﺸﻔﹸﺲﺕِ ﺍﻟﹾﺄﹶﻧﻀِﺮﺃﹸﺣ ﻭﺮﻴ ﺧﻠﹾﺢﺍﻟﺼﻭ ( ١٢٨ : ٤/)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ.ﺍﺒِﲑﺧ Dan jika seorang perempuan khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyûz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Nisâ’/4: 128). Menurut hemat penulis pendapat Muhammad Shahrur yang menghendaki kepemimpinan berada pada orang yang memiliki materi baik laki-laki maupun perempuan sekalipun dia tidak pandai dan lemah, kurang tepat. Hal itu dikarenakan di dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 34 tidak berbicara tentang sebuah perusahaan. Ayat tersebut berbicara tentang rumah tangga yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah, yaitu bahwa kepemimpinan dalam rumah tangga ada pada suami, karena Allah sudah memberikan 2 hal pada seorang suami, yaitu kelebihan dari segi fisik dan kewajiban memberi nafkah. Demikian pula Rasulullah saw. telah mengatur masalah kepemimpinan dalam rumah tangga secara berjenjang, sebagaimana beliau bersabda: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺍﻥ ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﻋﻘﺒﺔ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿـىﺎﷲ ﻛﻠﻜﻢ ﺭﺍﻉ ﻭﻛﻠﻜﻢ ﻣﺴﺆﻭﻝ ﻋﻦ ﺭﻋﻴﺘـﻪ: ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻭﺍﻻﻣﲑ ﺭﺍﻉ ﻭ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺭﺍﻉ ﻋﻠﻰ ﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻪ ﻭﺍﳌﺮﺃﺓ ﺭﺍﻋﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺑﻴـﺖ ﺯﻭﺟﻬـﺎﻭ ﻭﻟـﺪﻩ ١٨٣ ( ﻓﻜﻠﻜﻢ ﺭﺍﻉ ﻭﻛﻠﻜﻢ ﻣﺴﺆﻭﻝ ﻋﻦ ﺭﻋﻴﺘﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ 183 Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari, …, Jilid III. h. 277 202 Abdân telah menceritakan kepada kami, Abdullah telah memberitahukan kepada kami, Musa Bin ‘Uqbah telah memberitahukan kepada kami dari Nâfi’ dari Ibnu Umar ra. dari Nabi saw. telah bersabda, ”Kalian semuanya adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya, seorang Raja adalah pemimpin, seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya, seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan anaknya maka semua kalian adalah pemimpin dan semua kalian bertanggung jawab atas kepemimpinannya.'" (H.R.Al-Bukhari) Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad Quraish Shihab yang mengatakan bahwa fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa para lelaki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami adalah qawwâmûn, pemimpin dan penaggung jawab atas para perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak anaknya. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah dan juga kepada suaminya, setelah mereka bermusyawarah bersama dan atau bila perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah serta tidak mencabut hak-hak pribadi istrinya. Disamping itu, ia juga memelihara diri, hak-hak suami dan rumah tangga ketika suaminya tidak berada di tempat, karena Allah telah memelihara mereka. Pemeliharaan Allah terhadap para istri antara lain dalam bentuk memelihara cinta suaminya ketika suami tidak berada di tempat dengan cinta yang lahir dari kepercayaan suami terhadap istrinya.184 184 Muhammad .Quraish Shihab, al-Misbah…, Vol. 2, h. 402 203 Kemudian Allah memberi petunjuk kepada para suami dalam rangka mengatur dan mengantisipasi terjadinya pembangkangan para istri terhadap suaminya. Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol. 2, h. 403.185 Kata ﺍﻟﺮﺟــﺎﻝadalah bentuk jamak dari kata ﺭﺟــﻞyang biasa diterjemahkan laki-laki. Walaupun al-Qur'an tidak selalu menggunakannya dalam arti tersebut. Banyak ulama yang memahami kata ﺍﻟﺮﺟـﺎﻝdalam ayat ini dalam arti para suami. Penulis tadinya ikut mendukung pendapat itu. Dalam buku Wawasan al-Qur'an, Muhammad Quraish Shihab mengemukakan bahwa ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻗﻮﺍﻣـﻮﻥ ﻋﻠـﻰ ﺍﻟﻨـﺴﺎﺀbukan berarti lelaki secara umum karena konsideran pernyataan di atas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat, adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta mereka untuk istri-istri mereka.186 Kemudian Muhammad Quraish Shihab menemukan tulisan Muhammad Thahir Ibnu Asyur dalam tafsirnya yang mengemukakan pendapatnya yang amat perlu dipertimbangkan yaitu bahwa kata ﺍﻟﺮﺟـﺎﻝtidak digunakan oleh bahasa Arab, bahkan bahasa al-Qur'an, dalam arti suami. Berbeda dengan kata ﺍﻟﻨﺴﺎﺀatau ﺍﻣﺮﺍﺓyang digunakan untuk makna istri.187 Kata ﻗﻮﺍﻣﻮﻥadalah bentuk jamak dari kata ﻗﻮﺍﻡyang terambil dari kata ﻗﺎﻡKata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat misalnya, juga menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi 185 Wanita-wanita yang kamu khawatirkan yakni sebelum terjadi nusyuz mereka, yaitu pembangkangan terhadap hak hak yang dianugerahkan Allah kepada kamu, wahai para suami, maka nasihatilah mereka pada saat yang tepat dan dengan kata kata yang menyentuh, tidak menimbulkan kejengkelan, dan bila nasihat belum mengahiri pembangkangannya maka tinggalkanlah mereka bukan dengan keluar dari rumah, tetapi di tempat pembaringan kamu berdua, dengan memalingkan wajah dan membelakangi mereka. Kalau perlu tidak mengajak berbicara paling lama tiga hari berturut turut untuk menunjukkan rasa kesal dan ketidakbutuhanmu kepada mereka—ika sikap mereka berlanjut—dan kalau inipun belum mempan, maka demi memelihara kelanjutan rumah tanggamu, maka pukullah mereka, tetapi pukulan yang tidak menyakitkan agar tidak mencendrainya namun menunjukkan sikap tegas. 186 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h.403 187 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h.404 204 melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun, dan sunnah-sunnahnya.188 Sering kali kata ﺍﻟﺮﺟــﺎﻝditerjemahkan dengan pemimpin. Tetapi agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki. Walaupun harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain, dalam pengertian "kepemimpinan" tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan…Nah siapakah yang harus memimpin? Allah swt. menetapkan lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok. Pertama, ﲟﺎﻓﻀﻞ ﺍﷲ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌـﺾkarena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, yakni masing-masing memiliki keistimewaankeistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimilki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Di sisi lain, keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.189 Ada ungkapan yang menyatakan bahwa fungsi menciptakan bentuk, atau bentuk disesuaikan dengan fungsi. Mengapa pisau diciptakan lancip dan tajam? Mengapa bibir gelas tebal dan halus? Mengapa tidak sebaliknya? Jawabannya adalah ungkapan di atas. Yakni pisau diciptakan demikian, karena ia berfungsi untuk memotong, sedangkan gelas untuk minum. Kalau bentuk gelas sama dengan pisau, maka ia berbahaya dan gagal dalam fungsinya. Kalau 188 189 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 404 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 404 205 pisau dibentuk seperti gelas, maka sia-sialah kehadirannya dan gagal pula ia dalam fungsinya.190 Kedua, ﲟﺎﺍﻧﻔﻘﻮﺍﻣﻦ ﺍﻣﻮﺍﳍﻢdisebabkan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Bentuk kata kerja past tense/masa lampau yang digunakan ayat ini telah menafkahkan, menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada perempuan telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian lumrah hal tersebut, sehingga langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja masa lalu yang menunjukkan terjadinya sejak dahulu. Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini. Dalam konteks kepemimpinan dalam keluarga, alasan kedua agaknya cukup logis. Bukankah dibalik setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas? Tetapi pada hakikatnya, ketetapan ini bukan hanya atas pertimbangan materi.191 Perempuan secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami, bahkan kekasihnya. Di sisi lain, lelaki malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu, agama Islam yang tuntunann- tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup istri dan anak-anaknya. Lebih lanjut lihat Tafsir alMisbah Vol. 2,.h. 407.192 190 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 405 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 407 192 Kewajiban itu diterima dan menjadi kebanggaan suami, sekaligus menjadi kebanggaan istri yang dipenuhi kebutuhan dan permintaannya oleh suami, sebagai tanda cinta kepadanya. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan istri secara ekstrem dan berlebihan, pakar hukum Islam, Ibnu Hazm, berpendapat bahwa wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suaminya dalam hal menyediakan makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan untuk istri dan anak anaknya pakaian jadi, dan makanan yang siap dimakan. 191 206 Nah dari kedua faktor yang disebutkan di atas—keistimewaan fisik dan psikis, serta kewajiban memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak—lahir hak- hak suami yang harus pula dipenuhi oleh istri. Suami wajib ditaati oleh istrinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang istri. Ini bukan kewajiban taat secara mutlak. Jangankan terhadap suami, terhadap ibu bapakpun kebaktian kepada mereka tidak boleh mencabut hak- hak pribadi seorang anak.193 Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menyatakan perlunya digaris bawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Al-Qur'an menganjurkan untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap persoalan. Termasuk di dalamnya persoalan yang dihadapi keluarga. Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat/tingkat yang lebih tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat al-Qur'an yang menegaskan derajat tersebut.194 ﺎﻣِﻬِﻦﺣ ﻓِﻲ ﺃﹶﺭ ﺍﻟﻠﱠﻪﻠﹶﻖﺎ ﺧ ﻣﻦﻤﻜﹾﺘ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﻦﺤِﻞﱡ ﻟﹶﻬﻟﹶﺎ ﻳﻭﺀٍ ﻭ ﺛﹶﻠﹶﺎﺛﹶﺔﹶ ﻗﹸﺮﻔﹸﺴِﻬِﻦ ﺑِﺄﹶﻧﻦﺼﺑﺮﺘ ﻳﻄﹶﻠﱠﻘﹶﺎﺕﺍﻟﹾﻤﻭ ـﻦﻟﹶﻬﺎ ﻭﻠﹶﺎﺣﻭﺍ ﺇِﺻﺍﺩ ﺇِﻥﹾ ﺃﹶﺭ ﻓِﻲ ﺫﹶﻟِﻚﻫِﻦﺩ ﺑِﺮﻖ ﺃﹶﺣﻦﻬﻮﻟﹶﺘﻌﺑﻡِ ﺍﻟﹾﺂﺧِﺮِ ﻭﻮﺍﻟﹾﻴ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﻭﻣِﻦﺆ ﻳﺇِﻥﹾ ﻛﹸﻦ ( ٢٢٨ : ٢/ ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﻜِﻴﻢ ﺣﺰِﻳﺰ ﻋﺍﻟﻠﱠﻪﺔﹲ ﻭﺟﺭ ﺩﻬِﻦﻠﹶﻴﺎﻝِ ﻋﺟﻟِﻠﺮﻭﻑِ ﻭﺮﻌ ﺑِﺎﻟﹾﻤﻬِﻦﻠﹶﻴِﻣﺜﹾﻞﹸ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻋ Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan 193 194 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 408 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 408 207 kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Baqarah/2: 228) Quraish Shihab mengutip perkataan Imam Fakhruddin al-Razi yang menyatakan bahwa keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah/pengembala, dan dalam kedudukannya seperti itu, ia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya (istrinya). Istripun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya. Tetapi di sisi lain, perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi.”195 Kalau titik temu tidak diperoleh dalam musyawarah, dan kepemimpinan suami yang harus ditaati dihadapi oleh istri dengan nusyuz, keangkuhan, dan pembangkangan, maka ada tiga langkah yang dianjurkan di atas untuk ditempuh suami untuk mempertahankan mahligai perkawinan. (Selanjutnya lihat Tafsir al-Mishbah Vol. 2. h. 409).196 Firman-Nya ﺍﻫﺠﺮﻭﻫﻦyang diterjemahkan dengan tinggalkanlah mereka adalah perintah kepada suami untuk meninggalkan istri, didorong oleh rasa tidak senang pada kelakuannya. (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol. 2 .h.409).197 195 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 409 Ketiga langkah tersebut adalah nasihat, menghindari hubungan seks, dan memukul. Ketiganya dihubungkan satu dengan yang lain dengan menggunakan huruf wawu ( ) ﻭyang biasa diterjemahkan dengan dan. Huruf itu tidak mengandung makna perurutan, sehingga dari segi tinjauan kebahasaan dapat saja yang kedua di dahulukan sebelum yang pertama. Namun demikian, penyusunan langkah langkah itu sebagaimana bunyi teks memberi kesan bahwa itulah perurutan langkah yang sebaiknya ditempuh. 196 197 Ini dipahami dari kata hajar yang berarti meninggalkan tempat, atau keadaan yang tidak baik, atau tidak disenangi menuju ke tempat dan atau keadaan yang baik atau lebih baik. Jelasnya, kata ini tidak digunakan untuk sekedar meninggalkan sesuatu, tetapi di samping itu ia juga mengandung dua hal lain. Yang pertama, bahwa sesuatu yang ditinggalkan itu buruk atau tidak disenangi, dan yang 208 Kata ﻓىﺎﳌﻀﺎﺟﻊyang diterjemahkan dengan di tempat pembaringan, di samping menunjukkan bahwa suami tidak meninggalkan mereka di rumah, bahkan tidak juga di kamar, tetapi di tempat tidur. (Lebih lanjut lihat Tafsir alMishbah Vol. 2. h. 410).198 Kata ﻭﺍﺿﺮﺑﻮﻫﻦyang diterjemahkan dengan pukullah diambil dari kata ﺿﺮﺏyang mempunyai banyak arti.199 Sementara ulama memahami perintah menempuh langkah pertama dan kedua di atas ditujukan kepada suami. Sedang langkah ketiga—yakni memukul—ditujukankepada penguasa. (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol. 2. h.172).200 kedua, ia ditinggalkan untuk menuju ke tempat dan keadaan yang lebih baik. Jika demikian, melalui perintah ini, suami dituntut untuk melakukan dua hal pula. Pertama, menunjukkan ketidaksenangan atas sesuatu yang buruk dan telah dilakukan oleh istrinya, dalam hal ini adalah nusuz dan kedua, suami harus berusaha untuk meraih di balik pelaksanaan perintah itu sesuatu yang baik atau lebih baik dari keadaan semula. Ini karena ayat tersebut menggunakan kata fi ( ) ﰱyang berarti di tempat tidur, bukan kata ﻣﻦyang berarti dari tempat tidur, yang berarti meninggalkan dari tempat tidur. Jika demikian, suami hendaknya jangan meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar tempat suami-istri biasanya tidur. Kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda kesalahpahaman dapat memperlebar jurang perselisihan. Perselisihan hendaknya tidak diketahui oleh orang lain, bahkan anak anak dan anggota keluarga di rumah sekalipun. Karena semakin banyak yang mengetahui, maka semakin sulit memperbaiki. Kalaupun kemudian ada keinginan untuk meluruskan benang kusut, boleh jadi harga diri di hadapan mereka yang mengetahuinya akan menjadi aral penghalang. 199 Bahasa, ketika menggunakan dalam arti memukul, tidak selalu dipahami dalam arti menyakiti atau melakukan sesuatu tindakan keras dan kasar. Orang yang berjalan kaki atau musafir dinamai oleh bahasa dan oleh al-Qur’an yadhribuna fi al-ardhi, yang secara harfiyah berarti memukul di bumi. Karena itu, perintah di atas dipahami oleh ulama berdasarkan penjelasan Rasul saw. bahwa yang dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakitkan. Perlu dicatat bahwa ini adalah langkah terakhir bagi pemimpin rumah tangga (suami) dalam upaya memelihara kehidupan rumah tangganya. 198 200 Memang, tidak jarang ditemukan dua pihak yang diperintah dalam satu ayat (baca kembali penjelasan tentang ayat 229 dari surat al-Baqarah). Atas dasar ini, ulama besar Atha’ berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istrinya, paling tinggi hanya memarahinya.” Pemahamannya itu berdasar adanya kecaman Nabi saw. kepada suami yang memukul istrinya, seperti sabda beliau yang artinya, ”Orang orang terhormat tidak memukul istrinya.” Sejumlah ulama sependapat dengan Atha’ dan menolak atau memahami secara metafora hadis-hadis yang membolehkan suami memukul istrinya. Betapapun, kalau ayat ini dipahami sebagai izin memukul istri oleh suami, maka harus dikaitkan dengan hadis hadis Rasul saw. di atas, yang menyaratkan tidak menciderainya, tidak juga pukulan itu ditujukan kepada kalangan yang menilai pemukulan sebagai suatu penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat. Agaknya untuk masa kini, dan di kalangan keluarga terpelajar, pemukulan bukan lagi satu cara yang tepat. Kemudian Quraish Shihab mengutip 209 Bila ketiga langkah tersebut tidak berhasil, maka langkah berikut adalah sebagaimana yang diperintahkan Allah (Q.S.Al-Nisâ’/4 : 35) : ِﻓﱢﻖ ﻮﺎ ﻳﻠﹶﺎﺣﺍ ﺇِﺻﺮِﻳﺪﺎ ﺇِﻥﹾ ﻳﻠِﻬ ﺃﹶﻫﺎ ﻣِﻦﻜﹶﻤﺣﻠِﻪِ ﻭ ﺃﹶﻫﺎ ﻣِﻦﻜﹶﻤﻌﺜﹸﻮﺍ ﺣ ﺎ ﻓﹶﺎﺑﻨِﻬِﻤﻴ ﺑ ﺷِﻘﹶﺎﻕﻢﺇِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘﻭ ( ٣٥ : ٤/) ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ. ﺍﺒِﲑﺎ ﺧﻠِﻴﻤ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋﺎ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﻤﻬﻨﻴ ﺑﺍﻟﻠﱠﻪ Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suamiistri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Berkaitan dengan kepemimpinan dalam rumah tangga, ada hal yang menarik dari pernyataan Muhammad Quraish Shihab yang tidak dituangkan dalam Tafsir al-Mishbah, tapi dituangkan dalam buku karya beliau yang berjudul Perempuan. Bila dua syarat kepemimpinan suami dalam rumah tangga yakni kemampuan qawwâmah dan kemampuan memberi nafkah tidak dimiliki oleh seorang suami, atau kemampuan istri melebihi kemampuan suami dalam hal keistimewaan—misalnya karena suami sakit—maka bisa saja kepemimpinan rumah tangga beralih kepada istri. Tetapi ini dengan syarat kedua faktor yang di sebut di atas tidak dimiliki suami. Jika suami tidak mampu memberi nafkah, namun tidak mengalami gangguan dari segi keistimewaan yang dibutuhkan dalam kepemimpinan, maka istri belum boleh mengambil alih kepemimpinan itu.201 Tapi sayangnya dalam buku Muhammad Quraish Shihab tersebut tidak menjelaskan alasan secara rinci tentang kebolehan istri mengambil alih kepemimpinan suaminya. tulisan Muhamad Thahir Ibnu Asyur, ”Pemerintah, jika mengetahui bahwa suami tidak dapat menempatkan sanksi- sanksi agama ini di tempatnya yang semestinya, dan tidak mengetahui batas batas yang wajar, maka dibenarkan bagi pemerintah untuk menghentikan sanksi ini dan mengumumkan bahwa siapa yang memukul istrinya, maka dia akan dijatuhi hukuman. Ini agar tidak berkembang luas tindakan-tindakan yang merugikan istri, khususnya di kalangan mereka yang tidak memiliki moral.”200 201 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h.334 210 Tampaknya Muhammad Quraish Shihab sudah mulai masuk pada wilayah ijtihad dengan menggunakan methode ushul fiqih yang menyatakan ٢٠٢ .ﻗﺮﺭ ﺍﻻﺻﻮﻟﻴﻮﻥ ﺍﻥ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺗﺪﻭﺭ ﻭﺟﻮﺩﺍ ﻭ ﻋﺪﻣﺎ ﻣﻊ ﻋﻠﻠﻬﺎ ﻻ ﻣﻊ ﺣﻜﻤﻬﺎ ”Para pakar ushul al-fiqh menetapkan bahwa hukum-hukum syariat (hukum Islam) itu berputar bersama ‘illatnya, ada maupun tiadanya, bukan bersama hikmahnya.” Suami dijadikan pemimpin dalam rumah tangga oleh Allah, karena ada 2 ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu memiliki kelebihan fisik dan kewajiban memberi nafkah. Oleh karena itu maka jika kedua hal tersebut tidak ada, maka dapat diambil alih kepemimpinan rumah tangga itu oleh istrinya yang memang memiliki kedua hal tersebut. Wahbah al-Zuhaily dalam menafsirkan al-Qur'an Surat al-Nisâ/4 ayat 34 sejalan dengan Quraish Shihab. Dalam tafsirnya ditegaskan bahwa penafsiran ayat di atas adalah suami/laki-laki adalah pemimpin istri/perempuan. Suami/laki-laki sebagai kepala rumah tangga, hakim dalam rumah tangga, dan sebagai pendidik istri bila istri menyimpang. Dia sebagai pemelihara dan pengelola rumah tangga. Oleh karena itu dia wajib berusaha dengan sungguh sungguh. dia berhak mendapatkan waris lebih besar dari istri karena dia yang diberi beban untuk memberi nafkah kepada istri dan anak anaknya. Adapun sebab seorang suami menjadi kepala rumah tangga ada dua, yaitu: a. Adanya kekuatan fisik. Dia sempurna fisiknya, kuat akalnya, perasaannya stabil. Seorang suami lebih unggul daripada istri/perempuan, baik dari segi akal, pendapat, ide, dan kekuatan fisiknya. Untuk itu Allah memberikan risalah, kenabian, kepemimpinan, penyebaran agama kepada para laki-laki 202 Abdu al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1968), h. 66 211 seperti azan, iqamah, khuthbah, shalat Jumat, dan jihad. Begitu juga talak ada di tangan mereka (suami), dan mereka dibolehkan memiliki banyak istri. Saksi dalam pidana dikhususkan pada kaum lelaki, serta bagian waris lebih banyak daripada wanita. b. Wajib memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Wajib memberi mahar, karena mahar merupakan lambang penghormatan terhadap perempuan. Sedangkan selain tersebut di atas hak dan kewajibannya sama antara laki laki dan perempuan.203 Ini merupakan bagian dari kebaikan Islam sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 228. Ahmad Mushthafa al-Maraghi juga sejalan dengan Quraish Shihab. AlMaraghi menegaskan bahwa Suami memimpin istri, karena suami yang melaksanakan urusan istri, dan memperhatikan untuk menjaganya, sebab suami dilebihkan daripada istri, karena dua hal. Pertama, secara alami laki-laki itu diciptakan Allah kuat dan sempurna fisiknya seperti kuat akalnya, pemandangannya jernih dalam menghadapi permasalahan sejak awal sampai ahir permasalahan. Kedua, dari segi usaha, laki-laki memiliki kekuatan untuk usaha dan mengatur segala urusan. Oleh karena itu laki-laki dibebani untuk memberi nafkah kepada istri dan melakukan kepemimpinan dalam rumah tangga.204 Begitu juga Zamakhsyari,205 Sayyid Qutub,206 Said Hawa,207 mempunyai pandangan yang sama, yaitu bahwa kepemimpinan itu berada di tangan kaum lelaki (suami) disebabkan dua faktor. Pertama, kaum laki-laki 203 Wahbah al-Zuhaily, al-Munîr… , Juz 5, h. 54 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, Jilid. V., h. 26 Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân Tafsir Ayat al-Ahkâm Min al-Qur ’an, (Cairo: Dâr al-Shabuni, 1999), Jilid.I. h. 332 Lihat Abi al-Hasan Ali Muhammad Bin Habib al-Mawardi al-Bashari, al-Naktu Wa alUyûn Tafsir al-Mawardi, (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), Jilid.I, h. 480 Lihat Tafsir Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Bin Umar al-Biqa’i , Nudzum al-Durar…, Juz 2, h. 251 205 Abu al-Qaasim Jaru Allah Mahmud Bin Umar Bin Muhammad al-Zamakhsyari, alKasysyaf…, Jilid.I, h. 495 206 Sayyid Qutub, Fi Dhilâl al-Qur ’an, (Cairo: Daar al-Syuruq, 1981), Jilid. II, h.649 207 Said Hawa , al-Asâs Fî al-Tafsîr …, Jilid. II. h. 1052 204 212 diberi kelebihan oleh Allah seperti akal, ide, cita-cita, kekuatan fisik, kesempurnaan puasa, shalat, kenabian, kepemimpian, menjadi imam, azan dalam shalat, khuthbah, saksi dalam hukum pidana, qishash, mendapat waris yang berlipat, memiliki nikah, dan talak. Kedua, disebabkan kaum lelaki diwajibkan memberi nafkah dan mahar pada sang istrinya dan anak-anaknya. Faisar Ananda Arfa menyimpulkan bahwa dari diskursus di atas terlihat perbedaan interpretasi antara kelompok Islam tradisional dan modern dalam melihat soal kepemimpinan perempuan dalam Islam. Bagi kelompok Islam tradisional berpandangan bahwa kepemimpinan berada di tangan lakilaki dengan asumsi bahwa Allah telah melebihkan laki-laki dari perempuan secara fisik maupun mental yang merupakan prasyarat mutlak bagi kepemimpinan yang baik. Pembebanan kewajiban nafkah kepada laki-laki menambah kesan bahwa yang kuat bahwa Tuhan mempercayakan laki-laki sebagai pemimpin. Ketentuan Allah ini merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar dalam kondisi dan situasi apapun.208 Sebaliknya bagi kelompok Islam modern berpandangan bahwa ajaran Islam diklasifikasikan dalam dua bagan besar, yakni ajaran dasar dan ajaran bukan dasar. Masalah kepemimpinan dimasukkan ke dalam bagian ajaran bukan dasar, yang bersifat interpretatif dan karenanya sangat mungkin berubah sesuai dangan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan manusia. Mereka kelihatanya memandang bahwa kepemimpinan dalam Islam bukan sesuatu yang given, namun merupakan ajang kompetisi terbuka yang dapat diperebutkan baik oleh laki-laki dan perempuan. 209 208 Faisar Ananda Arfa, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, (selanjutnya tertulis Wanita Modernis) (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 111 209 Faisar Ananda Arfa, Wanita Modernis…, h. 112 213 Nampaknya Faisar Ananda Arfa mengikuti paradigma yang dikembangkan oleh Munawir Sjadzali yang mengatakan, bahwa al-Qur’an dikelompokkan pada dua kelompok yaitu aqîdah dan mu’âmalat. Ayat dalam kategori mu’âmalat akal boleh berperan sekalipun bertentangan dengan teks ayat al-Qur’an. Dan masalah kepemimpinan termasuk kategori mu’âmalat, maka wajar dia menyimpulkan bahwa ayat tentang kepemimpinan bersifat kondisional. Hal tersebut dapat dilihat dalam pernyataannya: Ayat-ayat al-Quran tentang kepemimpinan dipandang sebagai ayat yang bersifat kondisional, dan merupakan cerminan dari masyarakat Arab ketika ayat tersebut diturunkan. Oleh karena itu ayat-ayat itu tidak merupakan ayat yang mengikat kaum muslimin sepanjang masa dan di berbagai tempat di pelosok dunia. Jadi dasar pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok Islam modern dalam masalah ini adalah bahwa dalam soal ajaran yang bukan dasar dan bersifat muamalah seperti soal kepemimpinan ini, Islam tidak memberikan aturan yang ketat dan kaku, namun dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat.210 Penulis tidak sependapat dengan pernyataan Faisar Ananda Arfa yang menyatakan bahwa perbedaan masalah kepemimpinan dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 34 di kelompokkan pada penafsiran para mufasir klasik dan modern, tapi yang jadi pokok masalah adalah kepemimpinan dalam rumah tangga atau kepemimpinan dalam masyarakat, karena kepemimpinan dalam rumah tangga mayoritas ulama baik ulama klasik maupun modern telah sepakat bahwa suami adalah pemimpin tertinggi dalam keluarga. Namun terhadap masalah kepemimpinan dalam masyarkat, para ulama berbeda pendapat dan semuanya mengacu pada al-Qur'an Surat al-Taubah/9 ayat 71. Untuk itu dalam masalah kepemimpinan penulis membagi dalam dua hal, yaitu 210 Faisar Ananda Arfa, Wanita Modernis…, h. 112 214 kepemimpinan dalam rumah tangga sebagaimana dijelaskan di atas dan kepemimpinan dalam masyarakat/pemerintahan yang akan dijelaskan berikut ini. 2. Kepemimpinan dalam masyarakat/pemerintahan Hak-hak politik dianggap sebagai ukuran/barometer yang amat penting yang harus diperhatikan ketika melihat masyarakat tertentu untuk mengetahui kemajuan kehidupan sosial masyarakat. Sehingga individu yang mendapat kesempatan melakukan hak-hak politik dalam masyarakat tertentu, dia akan ikut serta dengan orang-orang lain dalam membangun masyarakat ini dan dapat memudahkan urusan pribadinya serta perkembangannya ke tingkat yang lebih unggul.211 Berkaitan dengan hal tersebut, ada hal yang lebih penting lagi untuk diperhatikan yaitu hak-hak politik perempuan, yaitu hak menyatakan pendapat, kebebasan pendapat, kebebasan sosial, hak memilih, dan dipilih untuk anggota MPR/DPR, kebebasan menyatakan pendapat di pengadilan, dan hak menjadi pimpinan pada lembaga pelayanan umum.212 Islam mengajak kepada kaum laki-laki maupun perempuan untuk menyatakan pendapatnya dalam berbagai hal sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur'an, yaitu: a. Kaum perempuan bebas berpendapat dan berfikir Allah telah berfirman dalam beberapa ayat tentang musyawarah antara lain: 211 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah Fî al-Mujtama al-Islâm, (selanjutnya tertulis Huqûq al-Mar ’ah) (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah al-âmmah Li al-Kitâb, 1986), h. 51 212 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah .., h. 52 215 ﻢﻬﻨ ﻋﻒ ﻓﹶﺎﻋﻟِﻚﻮ ﺣﻮﺍ ﻣِﻦﻔﹶﻀﺎ ﻏﹶﻠِﻴﻆﹶ ﺍﻟﹾﻘﹶﻠﹾﺐِ ﻟﹶﺎﻧ ﻓﹶﻈﺖ ﻛﹸﻨﻟﹶﻮ ﻭﻢ ﻟﹶﻬﺖ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻟِﻨﺔٍ ﻣِﻦﻤﺣﺎ ﺭﻓﹶﺒِﻤ )ﺍﻝﻛﱢﻠِﲔﻮﺘ ﺍﻟﹾﻤﺤِﺐ ﻳﻠﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﻛﱠﻞﹾ ﻋﻮ ﻓﹶﺘﺖﻣﺰﺮِ ﻓﹶﺈِﺫﹶﺍ ﻋ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﻣﻢﻫﺎﻭِﺭﺷ ﻭﻢ ﻟﹶﻬﻔِﺮﻐﺘﺍﺳﻭ (١٥٩ : ٣/ﻋﻤﺮﺍﻥ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali Imrân/3:159) ﻔِﻘﹸﻮﻥﹶﻨ ﻳﻢﺎﻫﻗﹾﻨﺯﺎ ﺭﻣِﻤ ﻭﻢﻬﻨﻴﻯ ﺑﻮﺭ ﺷﻢﻫﺮﺃﹶﻣﻠﹶﺎﺓﹶ ﻭﻮﺍ ﺍﻟﺼﺃﹶﻗﹶﺎﻣ ﻭﻬِﻢﺑﻮﺍ ﻟِﺮﺎﺑﺠﺘ ﺍﺳﺍﻟﱠﺬِﻳﻦﻭ (٣٨ :٤٢/)ﺍﻟﺸﻮﺭﻱ Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. (Q.S. al-Syurâ/42: 38) Tidak ada perbedaan dalam mendiskusikan masalah-masalah umum dalam masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Perempuan pada permulaan Islam selalu ikut serta dalam urusan sosial dan tidak dipencilkan/diasingkan dari aktivitas masyarakat di tengah-tengah keberadaan Nabi saw. Begitu juga pada masa al-Khulafa al-Rasyidin. Bahkan tidak ada seorangpun yang mengingkari hak bersekutu bagi kaum perempuan dalam masalah-masalah umum di masyarkat.213 Jamaluddin Muhammad Mahmud mengatakan:"Bahwa Islam mengajak kepada semua pakar baik laki-laki maupun perempuan di masyarkat untuk menyatakan pendapatnya demi kebaikan di masyarkat.”214 Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah 213 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah…, h.53 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah … , h. 53 214 216 ﻢ ﻫﺃﹸﻭﻟﹶﺌِﻚﻜﹶﺮِ ﻭﻨﻦِ ﺍﻟﹾﻤﻥﹶ ﻋﻮﻬﻨﻳﻭﻑِ ﻭﺮﻌﻭﻥﹶ ﺑِﺎﻟﹾﻤﺮﺄﹾﻣﻳﺮِ ﻭﻴﻮﻥﹶ ﺇِﻟﹶﻰ ﺍﻟﹾﺨﻋﺪﺔﹲ ﻳ ﺃﹸﻣﻜﹸﻢ ﻣِﻨﻜﹸﻦﻟﹾﺘﻭ (١٠٤: ٣/ﻮﻥﹶ )ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥﻔﹾﻠِﺤﺍﻟﹾﻤ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.(Q.S. Ali Imran/3: 104) Ayat ini mengajak untuk menyatakan pendapat dan mengambil sikap positif dalam memperbaiki masyarakat melalui ceramah atau mengeluarkan pendapat, baik laki-laki maupun perempuan dalam kapasitas yang sama. Ada sekelompok perempuan pergi menghadap Nabi saw. mereka menuntut untuk berbaiat (janji setia). Lalu Nabi membaiat mereka, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah ِﻧﺰﻟﹶﺎ ﻳ ﻭﺮِﻗﹾﻦﺴﻟﹶﺎ ﻳﺌﹰﺎ ﻭﻴ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﺷﺮِﻛﹾﻦﺸﻠﹶﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﻟﹶﺎ ﻳ ﻋﻚﻨﺎﻳِﻌﺒ ﻳﺎﺕﻣِﻨﺆ ﺍﻟﹾﻤﺎﺀَﻙ ﺇِﺫﹶﺍ ﺟﺒِﻲﺎ ﺍﻟﻨﻬﺎﹶﻳﻳ ﲔ ٍﻭﻑﺮﻌ ﻓِﻲ ﻣﻚﺼِﻴﻨﻌﻟﹶﺎ ﻳ ﻭﻠِﻬِﻦﺟﺃﹶﺭ ﻭﺪِﻳﻬِﻦ ﺃﹶﻳﻦﻴ ﺑﻪﺮِﻳﻨﻔﹾﺘﺎﻥٍ ﻳﺘﻬ ﺑِﺒﺄﹾﺗِﲔﻟﹶﺎ ﻳ ﻭﻦﻫﻟﹶﺎﺩ ﺃﹶﻭﻠﹾﻦﻘﹾﺘﻟﹶﺎ ﻳﻭ (١٢ : ٦٠/ )ﺍﳌﻤﺘﺤﻨﺔﺣِﻴﻢ ﺭ ﻏﹶﻔﹸﻮﺭ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺍﻟﻠﱠﻪﻦ ﻟﹶﻬﻔِﺮﻐﺘﺍﺳ ﻭﻦﻬﺎﻳِﻌﻓﹶﺒ Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Mumtahanah/60:12) Ayat ini merupakan bukti, bahwa perempuan dapat menyatakan hakhaknya dalam masalah akidah, pemikiran, dan mengembangkan agama yang dia pilihnya. Ini merupakan contoh nyata tentang kebebasan kaum perempuan dalam akidah, menyatakan pendapat dan mengambil keputusan. Dengan 217 demikian bukan hal yang aneh jika masyarakat menganut prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam masalah menyatakan pendapat.215 Begitu juga Nabi sebagai hakim agung, mufti yang paling alim, dan hakim yang bijak, mau mendengar pengaduan perempuan terhadap suaminya, sebagaimana ditegaskan Allah ﺎ ﺇِﻥﱠﻛﹸﻤﺭﺎﻭﺤ ﺗﻊﻤﺴ ﻳﺍﻟﻠﱠﻪﻜِﻲ ﺇِﻟﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭﺘﺸﺗﺎ ﻭﺟِﻬﻭ ﻓِﻲ ﺯﺎﺩِﻟﹸﻚﺠﻝﹶ ﺍﻟﱠﺘِﻲ ﺗ ﻗﹶﻮ ﺍﻟﻠﱠﻪﻤِﻊ ﺳﻗﹶﺪ (١: ٥٨/ﺎﺩﻟﺔ )ﺍﺼِﲑ ﺑﻤِﻴﻊ ﺳﺍﻟﻠﱠﻪ Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Mujâdalah/58: 1) Ayat ini menunjukkan bahwa istri tidak dilarang mengajukan gugatan suaminya kepada penguasa yang tertinggi dalam masyarakat. Begitu juga perempuan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, karena Nabi saw. mengizinkan kaum perempuan ke luar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu juga Nabi mengizinkan pergi ke masjid untuk menunaikan shalat. Ketika Islam meletakkan kaum perempuan di belakang kaum laki-laki dalam shalat, bukan berarti perempuan memiliki kekurangan, tetapi sebaliknya dalam rangka menjaga kesucian dan kehormatan perempuan itu sendiri, sebab jika kaum perempuan diletakkan di baris depan kaum lelaki, maka kaum lelaki akan melihat ruku dan sujud kaum perempuan sehingga akan menimbulkan fitnah.216 Banyak diantara perempuan yang menjadi penyair seperti al-Khansa, Rabiah al-Adawiyah. Begitu juga banyak kaum perempuan yang mengemban 215 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h. 54 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah…, h. 55 216 218 amanah periwayatan hadis dari Nabi saw. seperti Aisyah, Asma Binti Abi Bakar, Hafshah Biti Umar, Ummu Hani Binti Abi Thalib, Fathimah alNaisaburiyah, Nafisah Binti Hasan al-Anwar, Asma binti Asad Ibnu al-Furat dari Qairuwan. Banyak para ulama mengambil hadis yang diriwayatkan oleh kaum perempuan tersebut. Dari sini jelaslah bahwa perempuan pada masa awal Islam sudah ikut serta dalam bidang sastra dan pemikiran.217 b. Kaum perempuan berhak memilih dan dipilih Diantara peraturan yang prinsip dalam syariat Islam adalah menetapkan prinsip musyawarah, sedangkan musyawarah harus diputuskan oleh orang yang ahlinya (pakar), maka dalam musyawarah tidak memandang laki-laki atau perempuan. Yang penting dia mampu dan cakap untuk menyelesaikannya.218 Sebahagian ulama berpendapat bahwa Islam tidak mengharamkan perempuan untuk berpolitik sebagaimana dinyatalan dalam al-Qur'an Surat alBaqarah/2 ayat 228 dan Surat al-Taubah/9 ayat 71. Ikut sertanya Aisyah dalam menyelesaikan sengketa politik antara Ali dan Muawiyah dan juga peran yang dimainkan oleh Nailah istri Usman Bin Affan, menunjukkan adanya pengakuan ajaran Islam terhadap kebolehan perempuan untuk berpolitik, Selain itu juga karena tidak adanya nash yang jelas yang melarang hak-hak perempuan untuk berpolitik. Dengan bolehnya para perempuan mengemukakan pendapat dalam musyawarah, berarti perempuan boleh memilih dan dipilih menjadi anggota DPR/MPR.219 c. Kaum perempuan Berhak Menjdi Pemimpin dalam Masyarakat Umum 217 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h. 59 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h. 61 219 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h. 64 218 219 Kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan yang terkandung dalam Q.S. al-Nisâ’/4:34 adalah kepemimpinan dalam keluarga, itu hak yang tidak diragukan lagi, karena itu hukum syar'i dan realitas kehidupan dalam segala zaman. Namun perempuan itu harus di rumah jangan kita menjadikan dia selalu ada di rumah, tetapi dia harus ditujukan ke tempat pekerjaannya dan tempat dia menyampaikan misinya yang mulia dalam kehidupan. Apabila dia ikut serta dalam urusan masyarakat, maka dia harus keluar dari rumahnya untuk menyempurnakan risalahnya.220 Untuk itu tidak ada yang membatasi hak perempuan dalam mengurus/ menguasai seluruh kepentingan umum. Hanya saja perlu disesuaikan dengan kemampuan dan kehormatan perempuan itu sendiri. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Perempuan yang melaksanakan pekerjaannya di luar rumah perlu menjaga kode etik ajaran Islam yang bertujuan untuk menjaga kehormatan perempuan, seperti menjaga kehormatan dirinya dari kaum laki-laki yang tidak baik. 2) Perempuan seyogyanya tidak dibebani dengan pekerjaan yang berat yang biasa dilakukan kaum laki-laki 3) Perempuan dapat menjabat sebagai karyawan biasa atau pejabat tinggi di Pemerintahan sesuai dengan kemampuan baik fisik dan kecerdasannya.221 Perempuan dibolehkan mengendalikan urusan peradilan (menjabat sebagai qadhi atau hakim), karena seorang qadhi bukan merupakan bagian dari jajaran pejabat pemerintah. Qadhi adalah orang yang mengatasi persengketaan di tengah-tengah masyarakat serta memberikan penjelasan kepada pihak-pihak 220 221 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h. 65 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h.67 220 yang bersengketa tentang hukum syariat yang bersifat memaksa. Karena ada riwayat yang menyatakan bahwa Umar Bin Khatthab pernah mengangkat seorang perempuan bernama Syifa untuk menjabat qadhi hisbah (hakim yang menyangkut pelanggaran terhadap hak masyarakat) di pasar. Dengan demikian tidak menjadi masalah jika perempuan menjabat sebagai qadhi (hakim) 222 Hal ini juga sejalan dengan Ibnu Jarir yang dikutip oleh Jamaluddin Muhammad Mahmud dalam bukunya mengatakan bahwa Ibnu Jarir atau dikenal dengan Imam al-Thabari membolehkan perempuan memimpin peradilan atau menjadi hakim tanpa ada batasan masalah, baik perdata, maupun pidana.223 Ada sebagian ulama yang mengharamkan perempuan sebagai pemimpim dengan alasan sebuah hadis riwayat Bukhari ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺍﳍﻴﺜﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻮﻑ ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﺍﰉ ﺑﻜﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻟﻘﺪ ﻧﻔﻌﲏ ﺍﷲ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﲰﻌﺘﻬﺎﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻳﺎﻡ ﺍﳉﻤﻞ ﺑﻌﺪ ﻣﺎﻛﺪﺕ ﺍﻥ ﺍﳊﻖ ﺑﺎﺻﺤﺎﺏ ﺍﳉﻤﻞ ﻓﺎﻗﺎﺗﻞ ﻣﻌﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﳌﺎ ﺑﻠﻎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﺍﻫﻞ ﻓﺎﺭﺱ ﻗﺪ ﻣﻠﻜﻮﺍ ٢٢٤ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﻨﺖ ﻛﺴﺮﻯ ﻗﺎﻝ ﻟﻦ ﻳﻔﻠﺢ ﻗﻮﻡ ﻭ ﻟﻮ ﺍﻣﺮﻫﻢ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ Usman Bin al-Haitsam telah menceritakan kepada kami, Auf telah menceritakan kepada kami dari al-Hasan, dari Abi Bakrah telah berkata, "Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku pada waktu perang jamal dengan kalimat yang saya dengar dari Rasulullah saw. setelah aku hampir bergabung dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka, Abu Bakrah berkata, 'Ketika ada berita sampai kepada Rasulullah, bahwa penduduk Persi telah mengangkat putri Kisra menjadi Ratu, maka Rasulullah bersabda 'Tidak akan sukses suatu kaum jika masalah pemerintahan diserahkan kepada perempuan.'" (H.R. Bukhari). 222 Achmad Junaidi Ath-Thayyibiy, Tata Kehidupan perempuan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Wahyu Press, 2003), h. 81 223 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah…, h. 70 224 Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari…, Jilid.III, h. 89 221 Jika kita menelaah hadis di atas, maka celaan Rasulullah terhadap orang-orang yang menyerahkan urusan pemerintahannya kepada seorang perempuan merupakan respon beliau terhadap informasi yang didengarnya, yaitu bahwa bangsa Persia dipimpin oleh seorang perempuan. Hadis ini tentu dikhususkan untuk topik ini, tidak terkait dengan persoalan yang lain. Artinya tidak semua persoalan dapat digeneralisasi. Apalagi bila dilihat dari latar belakang pengungkapan Rasulullah yang terdapat pada kitab Imam Bukhari yaitu: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺳﺤﺎﻕ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳﻌﻘﻮﺏ ﺑﻦ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﰉ ﻋﻦ ﺻﺎﱀ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﻗﺎﻝ ﺃﺧﱪﱏ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﷲ ﺃﻥ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺃﺧﱪﻩ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻌﺚ ﺑﻜﺘﺎﺑﻪ ﺍﱃ ﻛﺴﺮﻯ ﻣﻊ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺣﺬﺍﻓﺔ ﺍﻟﺴﻬﻤﻰ ﻓﺄﻣﺮﻩ ﺍﻥ ﻳﺪﻓﻌﻪ ﺍﱃ ﻋﻈﻴﻢ ﺍﻟﺒﺤﺮﻳﻦ ﺍﱃ ﻛﺴﺮﻯ ﻓﻠﻤﺎﻗﺮﺃﻩ ﻣﺰﻗﻪ ﻓﺤﺴﺒﺖ ﺃﻥ ﺍﺑﻦ ﺍﳌﺴﻴﺐ ﻗﺎﻝ ﻓﺪﻋﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ٢٢٥ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﳝﺰﻗﻮﺍ ﻛﻞ ﳑﺰﻕ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ Ishaq menceritakan kepada kami, Ya’kub ibn Ibrahim menceritakan kepada kami, Bapakku menceritakan kepada kami dari Shaleh dari Ibnu syihab, ia mengatakan ‘Ubaidillah ibn ‘Abdillah menceritakan kepadaku bahwa Ibnu ‘Abbas memberi tahukannya bahwa Rasulullah SAW. telah mengirim surat kepada Kisra melalui ‘Abdillah Ibnu Khuzafah al-sahmi. Rasulullah saw. memerintahkannya untuk menyerahkan surat tersebut kepada pembesar bahrain, lalu diserahkan kepada Kisra. Ketika Kisra membaca surat tersebut, maka surat itu disobek-sobeknya. Lalu saya mengira bahwa Ibnu al-Musayyab mengatakan, ”Maka Rasulullah mendoakan agar mereka disobeksobek seperti sobekan surat tersebut." (H.R.Bukhari) Ahmad Fudhaili mengutip perkataan al-Asqallany dalam kitab Fathu al-Bari yang mengatakan Kisra yang telah menyobek-nyobek surat Nabi dibunuh oleh anak lakilakinya. Sebelum matinya, Kisra mengetahui bahwa ia dibunuh oleh 225 Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari,… Jilid.III, h. 89 222 anaknya sendiri, Syairuwiyah. Maka ia memerintahkan kepada pembantunya yang setia untuk membunuh anaknya setelah ia mati. Berselang enam bulan sejak kematian bapaknya, Syairuwiyahpun mati diracun. Pada saat itu tidak ada yang menggantikan kedudukan raja, karena selain membunuh ayahnya, Syairuwiyah juga membunuh saudara-saudaranya yang lain karena ambisi untuk menduduki tahta kerajaan, kecuali anak perempuannya, Buran bint Syairuwiah ibn Kisra bin Barwiz. Anak perempuan inilah yang kemudian menduduki tahta kerajaan. Tidak lama kemudian kekuasaannya hancur berantakan, sebagaimana sumpah Nabi kepada mereka.226 Kemudian Ahmad Fudhaili mengutip perkataan Husen Muhammad yang mengatakan, ”Dalam konteks inilah Nabi bersabda, 'Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintahkan oleh perempuan'”. Hadits ini diungkapkan dalam kerangka pemberitahuan, hanya sebuah informasi yang disampaikan Nabi dan bukan dalam kerangka legitimasi hukum dan tidak memiliki relevansi hukum.227 Penulis setuju bahwa perempuan mempunyai kewenangan publik seperti menjadi anggota parlemen (DPR), menjadi Hakim, bahkan menjadi Presiden, selama perempuan itu memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Sesuai dengan salah satu riwayat yang berbunyi ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻨﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻓﻠﻴﺢ ﻭﺣﺪﺛﲎ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﺍﳌﻨﺬﺭ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻓﻠﻴﺢ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﲎ ﺍﰉ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﲎ ﻫﻼﻝ ﺑﻦ ﻋﻠﻰ ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﺑﻦ ﻳﺴﺎﺭ ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﺑﻴﻨﻤﺎ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰱ ﳎﻠﺲ ﳛﺪﺙ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺟﺎﺀﻩ ﺍﻋﺮﺍﰊ ﻓﻘﺎﻝ ﻣﱴ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻓﻤﻀﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﳛﺪﺙ ﻓﻘﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﲰﻊ ﻣﺎﻗﺎﻝ ﻓﻜﺮﻩ ﻣﺎﻗﺎﻝ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﻞ ﱂ ﻳﺴﻤﻊ ﺣﱴ ﺍﺫﺍ ﻗﻀﻰ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻳﻦ ﺍﺭﺍﻩ ﺍﻟﺴﺎﺋﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻗﺎﻝ ﻫﺎ ﺍﻧﺎ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ﻓﺎﺫﺍ ﺿﻴﻌﺖ ﺍﻻﻣﺎﻧﺔ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻗﺎﻝ ﻛﻴﻒ ﺍﺿﺎﻋﺘﻬﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﺫﺍ ﻭﺳﺪ ﺍﻻﻣﺮ ﺍﱃ ﻏﲑ ﺍﻫﻠﻪ ٢٢٨ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ 226 Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci Kritik Atas Hadis-Hadis Sahih, (selanjutnya tertulis Perempuan di Lembaran Suci) (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), h. 228 227 Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci…, h. 228 228 Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari,… Jilid.I, h.24 223 Muhammad Bin Sinan telah menceritakan kepada kami dia berkata, Fulaih telah menceritakan kepada kami dan Ibrahim Bin al-Mundzir telah menceritakan kepada saya dia berkata, Muhammad Bin Fulaih telah menceritakan kepada kami dia berkata, ayahku telah menceritakan kepada saya dia berkata, Hilal Bin Ali telah menceritakan kepada saya dari ‘Atha Bin Yasar dari Abi Hurairah dia berkata, ketika Nabi saw berada di suatu majlis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba seorang Arab Badui mendatanginya dia bertanya:”Kapan terjadi kehancuran, Rasulullah meneruskan pembicaraan itu, lalu sebahagian kaum berkata dan mendengar apa yang dikatakan Rasulullah, dia memikirkan apa yang dikatakannya dan sebahagian yang lain berkata bahkan belum pernah dia dengar sehingga apabila pembicaraan itu berlangsung Rasulullah bertanya :” Mana saya melihat orang yang bertanya tentang kehancuran, orang tersebut menjawab, saya wahai Rasulullah, Rasulullah mmenjawab:” Apabila amanat disia-siakan, maka tunggu kehancurannya, orang tersebut balik bertanya, apa yang dimaksud orang yang menyianyiakan amanat itu, Rasulullah menjawab:”Apabila suatu masalah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”(H.R.al-Bukhari) Kemampuan untuk memimpin tidak hanya dimiliki oleh kaum lakilaki, tapi juga kaum perempuan. Jadi tidak benar misalnya ada seorang perempuan yang lebih pandai memimpin daripada laki-laki, lalu diangkat seorang laki-laki yang bodoh sebagai pemimpim. Menurut Muhamad Anas Qasim Ja’far, bahwa orang yang tidak membolehkan perempuan sebagai pemimpin didasarkan pada argumen antara lain: al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 34, al-Baqarah/2 ayat 228, dan al- Ahzâb/33 ayat 33. Selain itu juga didasarkan pada hadis yang maknanya, “Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan pemerintahannya kepada perempuan.” Hadis yang maknanya, “Perempuan itu kurang akal dan agamanya.” Ijma Ulama pada kurun waktu tertentu yang tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin. Qiyas yaitu upaya memasukan sesuatu perkara yang tidak terdapat status hukumnya—baik dalam al-Qur’an, sunnah maupun 224 ijma—dengan perkara yang status hukumnya telah tercatat dalam salah satu sumber hukum tersebut karena adanya persamaan illat hukum.229 Kemudian Muhammad Anas Qasim Ja’far menanggapi alasan-alasan di atas sebagai berikut : Pertama, kami berpandangan, bahwa maksud hak kepemimpinan dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 34 adalah hak suami untuk memberi pelajaran kepada istri yang membangkang. Dia menyimpulkan, bahwa ayat di atas diturunkan dengan sebab khusus. Ia secara khusus menanggapi kejadian tertentu, yakni urusan keluarga, dan tidak ada hubungannya dengan soal hak politik perempuan.230 Penulis sependapat dengan pendapat Muhammad Anas Qasim Ja’far, karena kepemimpinan dalam masyarakat tidak ada kaitan dengan kewajiban memberi nafkah antara pemimpin dan yang dipimpin, yang ada hanya menegakkan keadilan terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Kedua, begitu juga dengan maksud al-Qur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 228 adalah derajat laki-laki tersebut bukanlah derajat keunggulan dan keistimewaan, melainkan derajat kepemimpinan sejauh disebutkan dalam ayat terdahulu (Q.S. al-Nisâ’/4: 34), yaitu dalam masalah rumah tangga.231 Penulis sependapat dengan Muhammad Anas Qasim Ja’far, karena kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan dalam rumah tangga, maka wajar kalau suami yang berhak memimpin, karena dalam rumah tangga yang berkewajiban memberi nafkah adalah suami, begitu juga wajar bila lakilaki memiliki derajat lebih dibanding perempuan. 229 Muhammad Anas Qasim Ja’far, Mengembalikan Hak Hak Politik Perempuan Sebuah Perspektif Islam, (selanjutnya tertulis Hak-Hak Politik Perempuan) (Jakarta: Azan, 2001), h. 37-41 230 Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 42 231 Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 43 225 Ketiga, begitu juga maksud al-Qur'an Surat al-Ahzâb/33 ayat 33. Ayat ini mengandung makna bahwa al-Qur’an mengharuskan perempuan selalu berada di dalam rumah. Perempuan tidak diperbolehkan ke luar rumah untuk bergelut dengan kehidupan publik dan ikut serta dalam kehidupan politik. Padahal ayat ini merupakan salah satu ayat yang diturunkan khusus untuk istri-istri Nabi. Karena itu lingkup hukumnya terbatas pada istri-istri Nabi.232 Hal tersebut sesuai dengan pendapat Muhammad Quraish Shihab yang mengatakan, ”Tidak semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya. Bukankah beliau wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat.”?233 Tentunya istri-istri nabi tidak boleh keluar rumah untuk bergelut dengan kehidupan publik dan ikut serta dalam kehidupan politik, tidak mutlak harus diikuti oleh istri-istri selain Nabi saw. walaupun kenyataannya ada istriistri Nabi yang ikut dalam kehidupan politik seperti Aisyah ketika melawan Ali Bin Abi Thalib, ketika Ali tidak bertanggung jawab atas kematian Usman Bin Affan. Keempat, hadis yang menyatakan, ”Bahwa tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan pemerintahannya kepada perempuan.” Ini merupakan salah satu hadis yang keluar secara khusus untuk merespon kenyataan bahwa putri Kisra, Raja Persia, memegang kepemimpinan negara. Ini disebabkan tidak adanya laki-laki yang memimpin kerajaan akibat perang saudara dan pristiwa bunuh-bunuhan antara kaum laki-laki satu sama lain. 232 233 Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 45 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 326 226 Sehingga kerajaan diserahkan kepada seorang perempuan. Hadis ini khusus untuk masyarakat Persia akibat tidak adanya laki-laki yang layak memimpin kerajaan. Juga khusus dalam konteks dikabulkannya doa Rasulullah saw. ketika Kisra menyobek-nyobek surat kiriman Nabi. Ketika itu, Rasulullah saw. berdoa kepada Allah agar dihancur leburkan kerajaan itu, dan Allah mengabulkannya.234 Memang kita harus menyadari bahwa di antara hadis-hadis, ada yang berasal dari Rasulullah saw. dalam kapasitas sebagai utusan Tuhan, ada juga hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah saw. dalam kapasitas sebagai pemimpin dan pemegang pemerintahan komunitas Muslim. Hadis semacam ini bukan merupakan perundang-undangan yang bersifat umum, sebab putusannya mengacu pada kemaslahatan yang ada pada masa itu. Ia tidak menjadi keharusan mutlak bagi seluruh umat manusia, karena terlahir dari Rasul saw. dalam kapasitas sebagai manusia biasa, bukan sebagai utusan Allah.235 Contoh paling jelas untuk kategori ini adalah ketika peristiwa perang Badar, ketika Nabi saw. ingin menurunkan sepasukan tentara pada suatu tempat, lantas sebagian sahabat mengatakan, ”Apakah ini wahyu yang diturunkan Allah kepadamu yang tidak bisa kita tawar-tawar, atau merupakan pendapat, taktik, dan strategi perang?” Salah seorang sahabat berujar, “Ini sesungguhnya bukanlah wahyu.” Kemudian salah seorang sahabat mengusulkan agar pasukan diturunkan di tempat lain dengan alasan yang dijelaskannya kepada Rasulullah. Rasulullah lalu melaksanakan usulan-usulan itu.236 234 Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 48 Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 50 236 Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 50 235 227 Mengingat hadis di atas ada kaitannya dengan pemerintahan Persia, maka tentu tidak mutlak harus diikuti dalam segala zaman, sebab hadis tersebut berkaitan dengan Ratu dari negara Persia. Kelima, hadis yang menyatakan kaum perempuan kurang akal dan kurang agama, jangan ditafsirkan bahwa perempuan makhluk yang tidak sempurna, buktinya saat sekarang banyak kaum perempuan yang lebih cerdas dari kaum laki-laki. Keenam, ijma ulama mengenai tidak diperbolehkannya perempuan turun berperan dalam aktivitas politik suatu negara bertentangan dengan Rasulullah yang pernah sebelum perang mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat yang pada saat itu. Para Sahabat perempuan menghadiri menyumbangkan pertemuan-pertemuan pendapatnya. Kemudian sejenis Umar Bin dan turut al-Khatthab mempercayakan jabatan pengawas pasar kepada seorang perempuan yang bernama al-Syifa Binti Abdullah. Kemudian Aisyah r.a. pernah mengomandani angkatan perang dengan 3.000 pasukan dari Makkah menuju Bashrah untuk menuntut kematian Usman Bin Affan dan menolak Baiat terhadap Ali bin Abi Thalib, serta menuntut dikembalikannya urusan pemerintahan melalui proses musyawarah kaum muslimin.237 Ketujuh, pendapat yang menyatakan bahwa tidak diperbolehkannya perempuan mengimami shalat berjamaah kaum lelaki, tidak memliki hak cerai, dan tidak diperbolehkannya perempuan bepergian sendirian tanpa didampingi mahram atau teman sesama jenis yang dapat dipercaya, lalu diqiyas kaum perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Ini namanya qiyas al-fariq (qiyas 237 Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h.56-59 228 yang tidak sepadan). Padahal, dalam qiyas disyaratkan adanya persamaan kausa hukum (‘illat hukum) antara perkara ashal dengan perkara yang hendak dicari hukumnya. Seperti mengqiyas masalah politik dengan masalah ibadah keagamaan, maka tidak sah. Karena shalat memiliki syarat rukun, sedangkan masalah politik tidak ada syarat rukunnya.238 Perselisihan sekitar masalah kebolehan perempuan menjadi anggota DPR/MPR terfokus pada dua hal yaitu: 1) Sejauh mana adanya percampuran yang tidak Islami antara laki-laki dan perempuan dalam parlemen. Ini sebenarnya tidak terbatas pada pekerjaan di parlemen, percampuran yang diharamkan lebih banyak di tempat-tempat pekerjaan selain parlemen, justru perempuan di parlemen lebih mudah untuk menghindari berkhalwat dengan laki-laki di banding di tempattempat selainnya. 2) Sejauh mana pekerjaan di parlemen itu dari segi wilayah ammah yang memang dilarang oleh hadis.239 Namun Salim al-Bahnasawi mengomentarinya, ”Bekerja di parlemen adalah pekerjaan yang baru yang belum pernah ada pada masa khulafa alrasyidun dan juga pada masa para fuqaha yang terkenal, sehingga komisi fatwa di al-Azhar al-Syarif mengeluarkan fatwa keharaman perempuan menjadi DPR/MPR. Kemudian komisi ini mencabut fatwanya setelah Jamal Abdu alNashir memasukkan perempuan di parlemen.240 Untuk itu perlu dibedakan dua wilayah yaitu: 238 Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…., h. 60 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 120 240 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 120 239 229 1) Al-Wilâyah al-khâshah, yaitu kekuasaan yang pemiliknya dapat menerapkan dalam masalah-masalah khusus seperti masalah jual beli, hibah, wakaf, wasiat, dan semacamnya. Dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan. 2) Al-Wilâyah al-ammah, yaitu kekuasaan yang ditetapkan dalam urusan kolektif, seperti menyelesaikan pertikaian, melaksanakan hukum, kepemimpinan negara, kepemimpinan departemen, mewakili pemerintah di luar negeri, anggota parlemen, atau dengan kata lain tiga kekuasaan yaitu legislatif, ekskutif, dan yudikatif.241 Para ulama fikih sepakat bahwa perempuan tidak boleh menjabat sebagai kepala negara dengan alasan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ahmad dan al-Turmudzi, yaitu ﻟﻦ ﻳﻔﻠﺢ ﻗﻮﻡ ﻭﻟﻮﺍ ﺍﻣﺮﻫﻢ ﺍﻣﺮﺃﺓadapun selain kepala negara, para ulama fikih berbeda pendapat.242 Salim al-Bahnasawi mengutip pendapat Imam Hanafi, Ibnu Hazam, dan Ibnu al-Jarir al-Thabari, ”Menurut Imam Hanafi bahwa perempuan boleh menjabat sebagai hakim selain masalah pidana dan qishosh. Sedangkan menurut Ibnu Hazam dan Ibnu Jarir boleh secara mutlak. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa perempuan berhak menjabat di berbagai bidang selain kepala negara jika perempuan memiliki keahlian dibidang yang dia tekuni dengan alasan hijrah para perempuan dari Makkah ke Habsyah, kemudian dari Makkah ke Madinah, adanya kaum perempuan ikut perang di masa Rasulullah, dan lain lain.243 241 242 243 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 121 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 121 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 122 230 Sedangkan Muhammad Imarah menyatakan, ”Jumhur ulama fikih tidak ada perbedaan tentang al-Imâmah al-Uzhmâ dan Khilâfah al-âmmah (kepala negara) harus laki-laki. Sedangkan fikih modern tidak membicarakan al-Imâmah al-Uzhmâ dan Khilâfah al-âmmah, karena hal itu sudah hilang sejak jatuhnya khilafah Usmaniyah (1342 H/1924 M) sampai sekarang."244 Pemahaman al-wilâyah al-âmmah pada masa kita sekarang sudah berubah dengan perubahan ( ﺳﻠﻄﺎﻥ ﺍﻟﻔﺮﺩkekuasaan individu) kepada ﺳـﻠﻄﺎﻥ ( ﺍﳌﺆﺳﺴﺔkekuasaan kolektif) yang di dalamnya ikut serta semua yang memiliki kepemimpinan dan keahlian. Begitu juga hakim individu kepada hakim kolektif yang di dalamnya terkumpul para hakim. Maka ikut serta perempuan sebagai hakim di pengadilan, bukan karena adanya hadis yang membolehkan perempuan menjadi hakim.Artinya karena memang sudah ada pada fikih klasik. Sebab kepemimpinan sekarang baik laki-laki maupun perempuan di lembaga apapun adalah kepemimpinan kolektif bukan individu.Hakim sekarang tidak berijtihad dalam memutuskan hukum, tapi hanya sebagai pelaksana undang- undang yang sudah dibuat oleh pemerintah secara kolektif.245 Dengan adanya perubahan ijtihad dari individu kepada kolektif, maka keikut sertaan perempuan dalam pengadilan, bukan karena ada hadis yang membolehkan perempuan menjadi hakim, melainkan juga karena adanya perubahan kepemimpinan dari kepemimpinan individu kepada kepemimpinan kolektif. Al-Qur’an berbicara tentang Ratu Saba, lalu al-Qur’an memuji ratu dan kepemimpinannya dalam wilâyah âmmah (kepala negara) karena dia 244 245 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 103 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 104 231 melakukan prinsip musyawarah, bukan prinsip individu. (Q.S. al-Namal/27: 32), dan al-Qur’an mencela Firaun, Raja Mesir, karena dia menggunakan prinsip kekuasaan individu. (Q.S. Ghâfir/40: 29) kedua ayat itu tidak berbicara laki-laki atau perempuan dalam wilâyah âmmah (kepala negara), tapi berbicara tentang prinsip individu atau kolektif.246 Penulis sependapat dengan Nasaruddin Umar yang menegaskan bahwa, ”Tampilnya Balqis dan Sulaiman adalah representasi kepemimpinan ratu dan raja dalam al-Qur’an. Balqis dilukiskan sebagai pemilik tahta kerajaan superpower atau Lahâ ‘arsyun ‘azhîm (Q.S. al-Namal/27: 23), Tidak pernah ada kata lahû ‘arsyun ‘azhîm, sementara Sulaiman mempunyai beberapa kemampuan, seperti menguasai dirgantara dengan perantaraan burung (Q.S. alNamal/27: 16), kemampuan melakukan mobilisasi sangat cepat, karena ia dapat merekayasa angin (Q.S. al-Anbiyâ’/21: 81), kemampuan untuk melakukan eksplorasi di dasar laut (S.al-Anbiyâ’/21: 82), kemampuan untuk bekerja sama dengan jin dan burung (Q.S. al-Namal/27: 17), berkomunikasi dengan hewan dan serangga (Q.S. al-Namal/27: 18), termasuk kemampuan untuk menguasai setan (Q.S. al-Anbiyâ’/21: 82). Dalam menghadapi kekuatan Balqis, Sulaiman terpaksa harus mengerahkan segenap potensi tersebut.247 Dari dua cerita kepemimpinan di atas, semestinya tidak ada perbedaan antara kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Namun yang perlu diperhatikan adalah perbedaan antara kepemimpinan di rumah tangga dan kepemimpinan di masyarakat, karena merupakan dua hal yang berbeda. 246 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 105 Muhammad Anas Qasim Ja’far, (Kata Pengantar Nasaruddin Umar), Hak Hak Politik Perempuan…, h. xii 247 232 Untuk menghilangkan ketidakjelasan masalah kepemimpinan perempuan dapat diajukan beberapa hal: a. Perempuan menjabat sebagai hakim, merupakan buah hukum fikih, bukan hukum agama yang diciptakan Allah. Artinya al-Qur’an maupun hadis tidak menunjukkan hal tersebut. Sedangkan ijtihad ulama dapat berubah disebabkan perubahan waktu, tempat, dan mashlahah mursalah. Maka perempuan menjadi hakim merupakan masalah fiqhiyah, tentu pintu ijtihad tidak dapat ditutup. b. Ijtihad para ulama fikih klasik yang membicarakan masalah perempuan menjadi hakim adalah beragam dan banyak mazhab. Ijtihad mereka dalam masalah ini terus berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya. Tidak ada ijma fikih dalam masalah ini, walaupun ada ketetapan ulama-ulama sekarang tentang adanya ijma orang-orang dahulu. Ketetapan para ulama sekarang dengan ijma ulama-ulama dahulu adalah ijma yang bukan pada tempatnya. Banyak ulama mengingkari kemungkinan terjadinya ijma dalam masalah furu. Diantaranya Ahmad bin Hambal (164-241 H/780-855 M.) yang mengatakan ( ﻣﻦ ﺍﺩﻋﻰ ﺍﻻﲨﺎﻉ ﻓﻘﺪ ﻛﺬﺏsiapa yang mengakui ijma berarti dia telah berdusta) maka pintu ijtihad baik sekarang, akan datang dalam masalah ini masih terbuka, kecuali para ulama semuanya telah sepakat, sesuai dengan kaidah ushul fiqih ﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﻦ ﺍﳌﻌﻠﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟـﺪﻳﻦ ﺑـﺎﻻ ﺍﻟـﻀﺮﻭﺭﺓyaitu masalah yang tidak akan terjadi perselisihan di antara para mazhab ummat, dan para ulama serta cendekiawan Muslim. c. Berlangsungnya adat-istiadat pada masa-masa yang lalu terhadap ketidak bolehan perempuan menjadi hakim, bukan berarti agama mengharamkan perempuan menjadi hakim. Ajakan perempuan untuk perang adalah 233 kebiasaan yang belum dilakukan pada masa-masa Islam yang lalu. Hal itu bukan berarti haram kalau perempuan ikut berperang dan berjihad perang ketika diperlukan dan mampu. Diwajibkannya jihad berperang bagi setiap Muslimah, karena perempuan melakukan dan ikut serta dalam peperangan pada masa Nabi dan khulafah al-Rasyidun mulai dari perang uhud (3 H / 625 M) sampai perang al-Yamamah (12 H / 633 M) melawan kemurtadan Musailamah al-Kadzdzab (12 H/633 M). Kebiasaan itu berkaitan dengan keperluan yang berubah disebabkan perubahan kemashlahatan dan situasi, dan ini bukan sumber halal dan haram. d. Bahwa alasan perbedaan para ahli fikih sekitar bolehnya perempuan menjadi hakim tanpa adanya teks agama (al-Qur’an dan hadis) yang membahas masalah ini, maka perbedaan para ahli fiqih dalam hukum yang mereka qiyas, yaitu perempuan boleh menjadi hakim, berarti orang yang mengqiyas jabatan hakim itu termasuk al-imâmah al-uzhmâ yaitu alkhilâfah al-âmmah bagi ummat Islam. Seperti para ahli fikih mazhab Syafii, mereka melarang perempuan menjadi hakim berdasarkan ittifaq jumhur ulama fikih—selain sebagian Khawarij—bahwa laki-laki itu menjadi syarat dari syarat-syarat khalifah dan imam. Selanjutnya mereka mensyaratkan laki-laki untuk menjadi hakim, adalah mengqiyas kepada khilâfah dan imâmah al-uzhmâ. Qiyas ini merupakan qiyas hukum fikih bukan ijma dan bukan qiyas terhadap teks qoth’i al-dalâlah. e. Laki-laki bukan satu-satunya syarat yang masih diperselisihkan oleh para ulama fikih bagi orang yang mau menjadi hakim. Begitu juga mereka berselisih pada syarat hakim itu karyawan bukan semata-mata pandai menurut hukum empat, yaitu al-qur’an, hadis, ijma dan qiyas. Hal ini 234 dipersyaratkan oleh Syafii dan oleh yang lainnya tidak dipersyaratkannya. Begitu juga Abu Hanifah mensyaratkan hakim itu harus orang Arab Quraisy. Maka syarat laki-laki untuk menjadi hakim adalah salah satu syarat dari syarat-syarat yang masih diperselisihkan oleh para ahli fikih, dikarenakan sebagian mensyaratkan dalam sebagian masalah, sedangkankan yang lain tidak. Oleh karena itu di dalamnya tidak ada ijma .Sebagamana di dalamnya tidak ada teks agama yang melarang atau membatasi ijtihad para mujtahid. f. Bahwa jabatan hakim dan jabatan politik lainnya telah berubah dari kepemimpinan individu kepada kepemimpinan kolektif. Oleh karena itu dianggap tidak ada wilayah laki-laki dan perempuan, sebab laki-laki merupakan bagian dari kepemimpinan kolektif. Begitu juga perempuan merupakan bagian kepemimpinan kolektif. Dari sini permasalahan itu menjadi baru sehingga memerlukan ijtihad baru yang dapat mengubah seluruh jabatan antara lain perempuan menjadi hakim.248 Orang yang tidak membolehkan perempuan bekerja di luar rumah mengacu pada firman Allah ﺍﻟﻠﱠﻪﻦﺃﹶﻃِﻌﻛﹶﺎﺓﹶ ﻭ ﺍﻟﺰﺀَﺍﺗِﲔﻠﹶﺎﺓﹶ ﻭ ﺍﻟﺼﻦﺃﹶﻗِﻤﺔِ ﺍﻟﹾﺄﹸﻭﻟﹶﻰ ﻭﺎﻫِﻠِﻴ ﺍﻟﹾﺠﺝﺮﺒ ﺗﻦﺟﺮﺒﻟﹶﺎ ﺗ ﻭﻮﺗِﻜﹸﻦﻴﻥﹶ ﻓِﻲ ﺑﻗﹶﺮﻭ :٣٣/ ﺍ )ﺍﻻﺣﺰﺍﺏﻄﹾﻬِﲑ ﺗﻛﹸﻢﺮﻄﹶﻬﻳﺖِ ﻭﻴﻞﹶ ﺍﻟﹾﺒ ﺃﹶﻫﺲﺟ ﺍﻟﺮﻜﹸﻢﻨ ﻋﺬﹾﻫِﺐ ﻟِﻴ ﺍﻟﻠﱠﻪﺮِﻳﺪﺎ ﻳﻤ ﺇِﻧﻮﻟﹶﻪﺳﺭﻭ (٣٣ Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Q.S. alAhzâb/33: 33) 248 Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 106-110 235 Kata ﺍﻟﺒﻴﺖsecara harfiyah berarti rumah, yaitu rumah tempat tinggal istri-istri Nabi Muhammad saw. Rumah tersebut dibangun berdampingan dengan masjid. Bangunan tersebut terdiri dari sembilan kamar yang sangat sederhana.249 Ulama berbeda pendapat tentang siapa saja yang dicakup oleh ahl albait pada ayat tersebut. Dengan melihat konteks ayat tersebut, maka istri-istri Nabi Muhammad saw. termasuk di dalamnya, bahkan merekalah yang pertama dituju oleh konteks ayat ini. Ayat ini turun di rumah Ummu Salamah, istri Nabi saw. Ketika itu Nabi saw. memanggil Fathimah, putri beliau, bersama suaminya, yakni Ali Ibnu Abi Thalib dan kedua putra mereka (cucu Nabi saw.), yakni Hasan dan Husain. Nabi saw. menyelubungi mereka dengan kerudung sambil berdoa, "Ya Allah mereka itulah ahl al-baitku, bersihkanlah mereka dari dosa dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya." Ummu Salamah yang melihat pristiwa ini berkata, "Aku ingin bergabung ke dalam kerudung itu." Tetapi Nabi saw. mencegahku sambil bersabda, ”Engkau dalam kebajikan… engkau dalam kebajikan" (H.R.Thabrani dan Ibnu Katsir melalui Ummu Salamah ra.).250 Agaknya Nabi saw. menolak memasukkan Ummu Salamah ke dalam kerudung itu bukan karena beliau bukan ahl al-bait, tetapi karena yang masuk di kerudung itu adalah yang didoakan Nabi saw. secara khusus. Sedangkan Ummu Salamah sudah termasuk sejak awal dalam kelompok ahl al-bait melalui konteks ayat ini. Atas dasar inilah ulama-ulama salaf berpendapat bahwa ahl al-bait adalah seluruh istri Nabi saw. bersama Fathimah, Ali Ibn Abi Thalib, serta Hasan dan Husain. Ulama Syi’ah kenamaan, Thabathaba’i 249 250 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 265 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 265 236 membatasi pengertian ahl al–bait pada ayat ini hanya pada lima orang yang masuk ke dalam kerudung itu, yaitu Nabi Muhammad saw, ‘Ali Ibn Abi Thalib, Fathimah az-Zahra, serta Hasan dan Husain. Sedang pembersihan mereka dari dosa dan penyucian mereka dipahaminya dalam arti ‘ishmat, yakni keterpeliharaan mereka dari perbuatan dosa. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ahl al-bait adalah semua anggota keluarga Nabi Muhammad saw. yang bergaris keturunan sampai kepada Hasyim, yaitu ayah kakek Nabi Muhammad saw., putra Abdullah, putra Abdul Muthtalib, putra Hasyim.251 Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer yang menyatakan, Tempat perempuan adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan terhormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk ke luar, maka boleh saja mereka ke luar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu. Terbaca bahwa Maududi tidak menggunakan kata “darurat” tetapi kebutuhan atau keperluan. Hal serupa dikemukakan oleh tim yang menyusun tafsir yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI.252 Kemudian Muhammad Quraish Shihab juga mengutip pendapat Thahir Ibnu Asyur yang menggarisbawahi:” Bahwa perintah ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sedang bagi perempuan-perempuan muslimah selain mereka sifatnya adalah kesempurnaan. Yakni tidak wajib, tetapi sangat baik dan menjadikan perempuan-perempuan mengindahkannya, menjadi lebih sempurna.”253 251 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 266 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 266 253 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 267 252 yang 237 Shahal Qazan mengutip komentar Yusuf Qardhawi yang mengatakan:” Bahwa ayat tersebut ditujukan kepada para istri Nabi saw. Mereka memang berhak mendapat perlakuan khusus yang tidak dilakukan kepada selain mereka, di samping juga berlaku aturan berat yang tidak dibebankan kepada perempuan lain. Meskipun demikian, ayat ini tidak menghalangi Aisyah ummu al-mu’minîn, untuk pergi ke luar dalam perang Jamal dan menuntut sesuatu yang diyakininya sebagai hal yang benar dalam masalah politik. Beliau disertai oleh dua orang sahabat besar yang dicalonkan untuk menjadi khalifah dan keduanya termasuk sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.254 Muhammad Quraish Shihab tampaknya sependapat dengan Yusuf Qardhawi yang tidak setuju ayat di atas dijadikan sebagai dalil ketidakbolehan perempuan bekerja di luar rumah dengan mengatakan, "Perintah di atas sebagaimana terbaca ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad saw. 255 Kemudian batas kebolehan bekerja menurut Muhammad Quraish Shihab dengan mengutip pendapat Muhammad Quthub dalam bukunya Ma'rakah al-Taqâlid adalah bahwa, "Ayat itu bukan berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja (ke luar rumah) karena Islam tidak melarang perempuan bekerja (di luar rumah). Hanya saja Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar."256 Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Sa'id Hawa yang menjelaskan bahwa, "Yang dimaksud dengan kebutuhan seperti mengunjungi orang tua dan belajar yang sifatnya fardhu ain atau kifayah, dan 254 Shahal Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, Terjemahan Khazin Abu Fakih, (Surakarta: Era Intermedia, 2001), h. 54 255 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. Vol. 11, h. 266 256 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 267 238 bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang dapat menanggungnya."257 Berkaitan dengan hal ini Muhammad Quraish Shihab memaparkan bukti kebolehan perempuan bekerja di luar rumah di masa Nabi saw. dan para Sahabat, seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila al-Ghaffariyah, Ummu Sinan al-Aslamiyah, dan lain-lain yang tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. dan para sahabat aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang berkerja sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim Binti Huyay (istri Nabi Muhammad saw.), serta ada juga yang menjadi perawat, bidan, dan sebagainya.258 Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah Binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat sukses. Raithah, istri Sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibnu Mas'ud, juga sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Demikian juga Syifa, adalah seorang perempuan yang pandai menulis ditugaskan oleh khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.259 Anwar Jundi mengatakan bahwa Islam mengarahkan aktivitas perempuan terutama menyangkut kepada pekerjaan-pekerjaan yang berkenaan untuk mengatur dirinya dan keluarga. Bila perempuan terpaksa harus bekerja, maka ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan. Diantaranya pekerjaan tersebut harus sesuai dengan kodrat keperempuannya, pekerjaan tersebut 257 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 267 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an…, h. 306 259 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an…, h. 306 258 239 adalah untuk membantu suami, pekerjaan tersebut akan membawa kemaslahatan bagi kehidupan rumah tangga, dan pekerjaan tersebut tidak akan membawa fitnah bagi dirinya maupun bagi rumah tangganya.260 Kemudian Anwar Jundi mengutip perkataan Isa Abduh bahwa, "Menyamakan pekerjaan perempuan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki merupakan penganiayaan. Hal tersebut hanya akan mencampur adukkan ketentuan tugas yang telah diciptakan oleh al-Khaliq."261 Islam tidak melarang perempuan bekerja di luar rumah, namun Islam membatasi pekerjaan untuk kemaslahatan perempuan pekerja itu sendiri, keluarga, suami dan masyarakat. Untuk itu perempuan dilarang berkhalwat di dalam pekerjaannya untuk menjaga kehormatan perempuan, keluarga, dan masyarakat. Perempuan dilarang bekerja jika pekerjaannya itu mengganggu kamaslahatan anak dan keluarga, atau akan menimbulkan penyimpangan seksual atau menjadikan perempuan sebagai alat kesenangan kaum laki laki, karena tanggung jawab nafkah adalah suami, bukan istri.262 Ketika Islam melarang perempuan bekerja, bukan berarti perempuan bekerja itu haram, tapi dikhawatirkan akan timbul mudharat bagi perempuan, anak, keluarga, dan masyarakat. Kekeliruan yang dijumpai saat ini yaitu ada beberapa organisasi perempuan melanggar aturan yang dibuat Allah, seperti: a. Persamaan hak dengan mewajibkan perempuan bekerja b. Persamaan hak dengan menghilangkan kewajiban nafkah bagi suami, bahkan laki-laki wajib mendapat nafkah 260 Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 61 Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 62 262 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 96 261 240 c. Persamaan hak dengan menghilangkan peraturan perempuan berada di rumah d. Persamaan hak dengan cara mewajibkan perempuan menjadi militer.263 Kemudian mengenai hadis, "Tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan" Perlu digarisbawahi bahwa hadis ini tidak bersifat umum. Ini terbukti dari redaksi hadis tersebut secara utuh: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺍﳍﻴﺜﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻮﻑ ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﺍﰉ ﺑﻜﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻟﻘﺪ ﻧﻔﻌﲏ ﺍﷲ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﲰﻌﺘﻬﺎﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻳﺎﻡ ﺍﳉﻤﻞ ﺑﻌﺪ ﻣﺎﻛﺪﺕ ﺍﻥ ﺍﳊﻖ ﺑﺎﺻﺤﺎﺏ ﺍﳉﻤﻞ ﻓﺎﻗﺎﺗﻞ ﻣﻌﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﳌﺎ ﺑﻠﻎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﺍﻫﻞ ﻓﺎﺭﺱ ﻗﺪ ﻣﻠﻜﻮﺍ ٢٦٤ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﻨﺖ ﻛﺴﺮﻯ ﻗﺎﻝ ﻟﻦ ﻳﻔﻠﺢ ﻗﻮﻡ ﻭ ﻟﻮ ﺍﻣﺮﻫﻢ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ Usman Bin al-Haitsam telah menceritakan kepada kami, Auf telah menceritakan kepada kami dari al-Hasan, dari Abi Bakrah telah berkata, "Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku pada waktu perang jamal dengan kalimat yang saya dengar dari Rasulullah saw. setelah aku hampir bergabung dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka, Abu Bakrah berkata, 'Ketika ada berita sampai kepada Rasulullah, bahwa penduduk Persi telah mengangkat putri Kisra menjadi Ratu, maka Rasulullah bersabda 'Tidak akan sukses suatu kaum jika masalah pemerintahan diserahkan kepada perempuan.'" (H.R. Bukhari). Dari hadis di atas, Muhammad Quraish Shihab menegaskan bahwa hadis tersebut di atas ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan. Kita dapat berkesimpulan bahwa tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki. Di 263 264 Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 98 Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari…, Jilid.III, h. 89 241 sisi lain, cukup banyak ayat dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut.265 Antara lain ditegaskan dalam (Q.S. al-Taubah/9: 71), (Q.S. al-Syurâ’/42: 38), dan (Q.S. al-Mumtahanah/60: 12) Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak perempuan yang terlibat pada persoalan politik praktis. Ummu Hani, misalnya dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik. Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a. memimpin langsung peperangan melawan Ali Bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu tersebar dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terbunuhnya Khalaifah ketiga Usman r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik praktis sekalipun.266 Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para perempuan boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta 265 266 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an…, h. 314 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an…, h. 316 242 selama mereka dapat memelihara agamanya dan dapat menghindari dampakdampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.267 Namun kepemimpinan di rumah tangga berbeda dengan kepemimpinan di masyarakat, karena ayatnya sudah jelas, bahwa laki laki yang berhak memimpin karena dua alasan, yaitu kewajiban memberi nafkah dan faktor fisik. Tetapi jangan diartikan seperti tuan dengan budaknya, karena kepemimpinan suami di rumah tangga hanya merupakan pembagian tugas semata. Berkaitan dengan kebolehan perempuan menjabat sebagai kepala negara, Muhammad Quraish Shihab—baik dalam Tafsir al-Mishbah dan karya-karya sebelumnya—belum mengambil sikap tegas. Namun dalam tulisan terbarunya yang berjudul Perempuan tampaknya beliau sudah mengambil sikap yang tegas. Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya, Harus diakui bahwa memang ulama dan pemikir masa lalu, tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan Kepala Negara, tetapi hal ini lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, antara lain kondisi perempuan sendiri yang belum siap untuk menduduki jabatan, jangankan Kepala Negara, menteri atau kepala daerah pun tidak. Perubahan fatwa dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi, dan karena itu tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis atau memimpin negara. 268 Penulis sangat setuju dengan pernyataan Muhammad Quraish Shihab di atas. Namun sayang beliau tidak memberikan argumen yang meyakinkan tentang kebolehan perempuan menjadi kepala negara tersebut. Justru Muhammad Imarah lebih jelas argumentasinya mengenai kebolehan perempuan menjadi kepala negara, yaitu disebabkan kepemimpinan sekarang 267 268 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an…, h. 275 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 350 243 ini bukan kepemimpinan individu, melainkan kepemimpinan kolektif, jadi kepala negara yang ada saat ini bagaikan boneka yang hanya merupakan simbol, karena semua keputusannya sudah diatur bersama. Sekalipun perempuan boleh jadi pemimpin dalam masyarakat, namun jangan dijadikan alasan bahwa perempuan boleh menjadi imam kaum laki laki dalam shalat. Berkaitan dengan hal ini Ali Mustafa Ya’qub mengatakan, Selama 15 abad tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat bahwa perempuan dibolehkan menjadi imam shalat berjamaah di mana makmumnya terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan, kecuali Abu Tsaur (w. 240H.) murid Imam syafi’i yang kemudian mendirikan madzhab sendiri. Abu Tsaur melandaskan pendapatnya pada sebuah hadis yang diriwayatkan antara lain oleh Imam Abu Dawud, Imam Ahmad dan Imam Hakim. Hadis ini dikenal dengan hadits Ummu Waraqah, karena awalnya seorang sahabat perempuan bernama Ummu Waraqah menghadap Rasulullah saw., meminta beliau agar menunjuk seorang muadzin di rumahnya. Beliau kemudian menunjuk seorang muadzin dan memerintahkan Ummu Waraqah untuk mejadi imam shalat bagi penghuni rumahnya.269 Adapun bunyi hadis yang dimaksud adalah : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﳊﺴﻦ ﺑﻦ ﲪﺎﺩ ﺍﳊﻀﺮﻣﻰ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻓﻀﻴﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﲨﻴﻊ ﻋـﻦ ﻋﺒـﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﺧﻼﺩ ﻋﻦ ﺍﻡ ﻭﺭﻗﺔ ﺑﻨﺖ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻗﺎﻝ ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﻳﺰﻭﺭﻫﺎ ٢٧٠ ﰱ ﺑﻴﺘﻬﺎ ﻭﺟﻌﻞ ﳍﺎ ﻣﺆﺫﻧﺎ ﻳﺆﺫﻥ ﳍﺎ ﻭ ﺍﻣﺮﻫﺎ ﺍﻥ ﺗﺆﻡ ﺍﻫﻞ ﺩﺍﺭﻫﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ Artinya:”al-Hasan Bin Hamad al-Hadhrami telah menceritakan kepada kami, Muhammad Bin Fudhail dari al-Walid Bin Jami dari Abdu alRahman Bin Khalad dari Umu Waraqah Bintu Abdullah Bin al-Harits telah berkata:”Pada suatu hari Rasulullah mengunjungi rumah Ummu Waraqah dan Rasulullah mengizinkan azan dan memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi Imam bagi penghuni rumahnya (H.R.Abu Dawud ) Hadis ini kuwalitasnya sahih (valid), tetapi dari sisi istidlal (sumber hukum) untuk membolehkan perempuan menjadi imam shalat secara umum di 269 Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan Dalam Perspektif Hadis,(selanjutnya tertulis Imam Perempuan) sebuah makalah yang disampaikan pada diskusi dosen, 21 Mei 2005, h. 1 270 al- Imam al-Hâfizh Abu Dawud Sulaiman Bin al-‘Asy’ats al-Sijistani al-Azadi, Sunan Abu Dawud, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 1999), Jilid. I, h. 284 244 antara makmumnya kaum laki-laki, hal itu perlu ditinjau ulang, karena dalam hadis tersebut tidak ada kejelasan siapa yang menjadi makmum Ummu Waraqah. Kemungkinan semua makmumnya adalah perempuan, semuanya laki-laki, atau campuran antara laki-laki dan perempuan. Kaidah ushul fikih menyatakan, apabila sebuah dalil mengandung banyak kemungkinan, maka dalil itu tidak dapat dijadikan sumber hukum. Karenanya hadis Ummu Waraqah itu kendati sahih, ia gugur sebagai dalil.271 Sementara itu, ada pendekatan lain untuk memahami hadis tersebut, yaitu bahwa hadis Ummu Waraqah itu bersifat umum, sementara dalam versi lain yang diriwayatkan Imam Darulquthni dalam kitab sunannya berbunyi: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﲪﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺍﻟﺒﻐﻮﻯ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺷﺒﺔ ﺍﺑﻮ ﺍﲪﺪ ﺍﻟﺰﺑﲑﻯ ﺍﺧﱪﻧﺎ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﲨﻴﻊ ﻋﻦ ﺍﻣﻪ ﻋﻦ ﺍﻡ ﻭﺭﻗﺔ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﺃﺫﻥ ﳍﺎ ﺍﻥ ﻳﺆﺫﻥ ﳍﺎ ﻭ ﻳﻘﺎﻡ ﻭﺗﺆﻡ ﻧﺴﺎﺀﻫﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺩﺍﺭ ٢٧٢ ﺍﻟﻘﻄﲎ Artinya:”Ahmad Bin al-Abbas al-Baghawi telah menceritakan kepada kami, Umar Bin Syabah Abu Ahmad al-zubairi telah menceritakan kepada kami, al-Walid Bin Jami dari Ibunya, dari Umu Waraqah Bahwa Rasulullah mengizinkan Ummu Waraqah untuk menjadi Imam bagi kaum perempuan (H.R.al-Darulquthni). Berdasarkan kaidah pemahamamn hadis, jika terdapat dua buah hadis yang masing-masing memberikan pengertian umum dan khusus, maka pengertian yang umum harus diartikan dengan pengertian yang khusus. Atau dengan kata lain, hadis yang memberikan pengertian umum tidak dipakai, dan hadis yang memberian pengertian khusus itulah yang dipakai sebagai dalil. Metode ini dikenal dengan metode takhshish.273 Dalam kasus hadis Ummu Waraqah ini, kendati riwayat yang memberikan pengertian umum jumlahnya lebih banyak, namun karena ada 271 Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan…, h. 1 al-Imam al-Kabir Ali Bin Umar al-Dâr al-Quthni, Sunan Dâr al-Quthni, (Bairut : Dâr alFikr, 1994), Jilid.I, h. 223 272 245 riwayat yang memberikan pengertian khusus, maka hadis yang memberikan pengertian umum itu di-takhshish (diartikan secara khusus) dengan hadis yang memberikan pengertian khusus. Oleh karena itu, yang berlaku adalah hadis yang memberikan pengertian bahwa Rasulullah mengizinkan Ummu Waraqah menjadi imam shalat bagi perempuan-perempuan yang menjadi penghuni rumahnya.274 Pengertian ini didukung oleh hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah yang berbunyi : ﺣﺪﺛﺎ ﺍﲪﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺓ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﻋﻦ ﺍﻟﻌﻼﺀ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳـﺮﺓ ﻭﻋـﻦ ﺧﲑ ﺻﻔﻮﻑ ﺍﻟﻨـﺴﺎﺀ ﺁﺧﺮﻫـﺎ ﻭ: ﺳﻬﻴﻞ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ ٢٧٥ ﺷﺮﻫﺎ ﺍﻭﳍﺎ ﻭﺧﲑ ﺻﻔﻮﻑ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﺍﻭﳍﺎ ﻭﺷﺮﻫﺎ ﺁﺧﺮﻫﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ Artinya:”Ahmad Bin Abdah telah menceritakan kepada kami, Abdul Aziz Bin Muhammad telah menceritakan kepada kami dari al-‘Ala dari ayahnya dari Abu Hurairah dan dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah telah berkata:”Rasulullah telah bersabda, Sebaik-baik Shaf (barisan) wanita adalah paling ahir, dan sejelek-jelek barisan wanita adalah barisan pertama, dan sebaik-baik barisan kaum lelaki adalah barisan pertama dan sejelek-jelek barisan kaum lelaki adalah barisan belakang (H.R.Ibnu Majah) Seandainya dibolehkan perempuan menjadi imam kaum laki laki, tentunya Aisyah istri Nabi saw. pantas menjadi imam shalat berjamaah dengan kaum laki-laki. Kenyataannya tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa Aisyah pernah menjadi imam shalat berjamaah bagi makmum laki laki dan perempuan, atau makmum laki-laki saja.276 Istri-istri Nabi saw. seperti Aisyah dan Ummu Salamah pernah menjadi imam shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Tapi mereka 273 Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan…, h. 2 Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan …, h. 2 275 al-Hâfizh Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid al-Quzwaini , Sunan Ibnu Majah, (selanjutnya tertulis Ibnu Majah) (Cairo : Dâr al- Hadîts, 1998) Jilid I, h. 386 276 Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan …, h..2 274 246 hanya menjadi imam untuk makmum perempuan saja. Shalat adalah bagian dari ibadah yang acuannya harus mengikuti petunjuk dari Allah dan RasulNya. Oleh karena itu intervensi akal dalam masalah ibadah, termasuk di dalamnya shalat, tidak dapat dibenarkan. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﳌﺜﲎ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻳﻮﺏ ﻋﻦ ﺍﰉ ﻗﻼﺑﺔ ﻗـﺎﻝ ﺣـﺪﺛﻨﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﺍﺗﻴﻨﺎ ﺍﱃ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﳓﻦ ﺷﺒﺒﺔ ﻣﺘﻘﺎﺭﺑﻮﻥ ﻓﺎﻗﻤﻨﺎ ﻋﻨﺪﻩ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭﺣﻴﻤﺎ ﺭﻓﻴﻘﺎ ﻓﻠﻤﺎ ﻇﻦ ﺍﻧﺎ ﻗﺪ ﺍﺷﺘﻬﻴﻨﺎ ﺍﻫﻠﻨﺎ – ﺍﻭ ﻗﺪ ﺍﺷﺘﻘﻨﺎ – ﺳﺄﻟﻨﺎ ﻋﻤﻦ ﺗﺮﻛﻨﺎ ﺑﻌﺪﻧﺎ ﻓﺎﺧﱪﻧﺎﻩ ﻗﺎﻝ ﺍﺭﺟﻌﻮﺍ ﺍﱃ ﺍﻫﻠـﻴﻜﻢ ﻓـﺎﻗﻴﻤﻮﺍ ﻓـﻴﻬﻢ ﻭ ﻋﻠﻤﻮﻫﻢ ﻭ ﻣﺮﻭﻫﻢ – ﻭﺫﻛﺮ ﺍﺷﻴﺎﺀ ﺍﺣﻔﻈﻬﺎ ﺍﻭ ﻻ ﺍﺣﻔﻈﻬﺎ – ﻭﺻﻠﻮﺍ ﻛﻤﺎ ﺭﺍﻳﺘﻤﻮﱏ ﺍﺻـﻠﻰ ٢٧٧ ﻓﺎﺫﺍ ﺣﻀﺮﺕ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻠﻴﺆﺫﻥ ﻟﻜﻢ ﺍﺣﺪﻛﻢ ﻭﻟﻴﺆﻣﻜﻢ ﺍﻛﱪﻛﻢ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ Muhammad Bin al-Matsna telah menceritakan kepada kami dia berkata, Abdulwahab telah menceritakan kepada kami dia berkata, Ayyub telah menceritakan kepada kami dari Ayahku Qilâbah dia berkata, Malik telah menceritakan kepada kami dia berkata:”Kami telah datang kepada Nabi saw. dan kami pemuda yang dekat Rasulullah saw. kami berada disamping Rasulullah saw. selama 20 hari malam dan siang, dan Rasulullah seorang yang penyayang dan santun, ketika dia menduga bahwa kami rindu/ingin berjumpa dengan keluarga kami, dia menanyakan kepada kami tentang orang yang kami tinggalkan setelah kami, lalu kami memberitahukannya kepada Nabi saw. lalu Nabi saw. bersabda:” Pulanglah kalian untuk menjumpai keluarga kalian, dan bertempat tinggallah bersama mereka, didiklah mereka, dan printahkanlah mereka dan Nabi telah mengajarkan beberapa hal ada yang aku hafal dan ada yang tidak-dan Nabi memerintahkan :”Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat, apabila shalat telah tiba, maka salah seorang diantara kalian hendaknya adzan dan orang yang paling tua diantara kalian hendaklah menjadi Imam kalian. (H.R.al-Bukhari) Mengapa perempuan tidak boleh menjadi imam kaum laki-laki, karena akan timbul fitnah. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi : 277 Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail, al-Bukhari, …Jilid I., h. 145 247 ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺍﺣﺰﻡ ﺍﺑﻮ ﻃﺎﻟﺐ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﰉ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﺯﺭﺍﺭﺓ ﺑﻦ ﺍﻭﰱ ﻳﻘﻄﻊ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﳌـﺮﺃﺓ: ﻋﻦ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ٢٧٨ ﻭﺍﻟﻜﻠﺐ ﻭﺍﳊﻤﺎﺭ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ Zaid Bin Ahzam Abu Thalib telah menceritakan kepada kami, Mu’ad Bin Hisyam telah menceritakan kepada kami, Ayahku telah menceritakan kepada kami dari Qatadah dari Zararah Bin Aufa dari Sa’ad Bin Hisyam dari Abi Hurairah, dari Nabi saw. bersabda:”Shalat dapat terganggu oleh perempuan, anjing dan himar (H.R.Ibnu Majah) Kemudian di dukung oleh hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻭﻛﻴﻊ ﻋﻦ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻘﻴﻞ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑـﻦ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧﲑ ﺻﻔﻮﻑ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻣﻘـﺪﻣﻬﺎ ﻭﺷـﺮﻫﺎ: ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ ٢٧٩ ﻣﺆﺧﺮﻫﺎ ﻭﺧﲑ ﺻﻔﻮﻑ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻣﺆﺧﺮﻫﺎ ﻭﺷﺮﻫﺎ ﻣﻘﺪﻣﻬﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ Ali Bin Muhammad telah menceritakan kepada kami, Waqî’ telah menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari Abdullah Bin Muhammad Bin ‘Aqîl dari Jabir Bin Abdullah telah berkata Rasulullah saw. telah bersabda:”Barisan dalam salat berjamaah terbaik untuk laki-laki adalah barisan pertama (depan) dan barisan terburuk bagi mereka adalah barisan terahir (belakang), sedangkan barisan terbaik untuk perempuan adalah barisan terahir (belakang) dan barisan terburuk bagi mereka adalah barisan pertama (depan). Berdasarkan hadis-hadis tersebut diatas penulis sependapat dengan keputusan Fatwa MUI NO:9/MUNAS VII/MUI/13/2005 yang menyatakan:”Bahwa perempuan menjadi imam salat berjamaah yang diantara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah, dan perempuan menjadi imam salat berjamaah yang makmumnya perempuan, 278 279 al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Bin Yazid al-Quzweni, Ibnu Majah,… Jilid.I., h.370 al-Hâfizh Abu Abdullah Muhammad Bin Yazid al-Quzweni, Ibnu Majah…Jilid.I., h.386 248 hukumnya mubah.” 280 Alasannya bila shalat perempuan diletakkan di depan kaum lelaki, tentu shalat kaum lelaki tidak khusu’ bahkan timbul fitnah dan ahirnya perempuan tidak terhormat lagi yang smestinya harus dihormati. E. Ayat Poligami 1. Pengertian Poligami Poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.”281 Sedangkan poliandri adalah ”Perempuan yang memiliki suami lebih dari satu di waktu yang bersamaan.”282 Dari definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa poligami adalah suami memiliki istri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan poliandri adalah istri memiliki suami lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. 2. Pendapat para pakar muslim tentang poligami Ayat tentang poligami yang biasa dirujuk oleh para pakar gender adalah ﻓﹶﺈِ ﻥﹾﺎﻉﺑﺭﺛﹸﻠﹶﺎﺙﹶ ﻭﻰ ﻭﺜﹾﻨﺎﺀِ ﻣﺴ ﺍﻟﻨ ﻣِﻦ ﻟﹶﻜﹸﻢﺎ ﻃﹶﺎﺏﻮﺍ ﻣﻜِﺤﻰ ﻓﹶﺎﻧﺎﻣﺘﻘﹾﺴِﻄﹸﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻴ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗﻢﺇِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘﻭ (٣: ٤/ﻮﻟﹸﻮﺍ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻌﻰ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗﻧ ﺃﹶﺩ ﺫﹶﻟِﻚﻜﹸﻢﺎﻧﻤ ﺃﹶﻳﻠﹶﻜﹶﺖﺎ ﻣ ﻣﺓﹰ ﺃﹶﻭﺍﺣِﺪﺪِﻟﹸﻮﺍ ﻓﹶﻮﻌ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗﻢﺧِﻔﹾﺘ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. alNisâ’/4: 3 ) 280 MUNAS MUI VII di Jakarta tahun 2005 , h. 3 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia…, h. 693 282 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia…, h. 693 281 249 Muhammad.Quraish Shihab menyatakan bahwa Penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya, 'jika Anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan Anda.' Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu.283 Perlu digarisbawahi bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama serta adat-istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Sebagaimana ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.284 Sikap Muhammad Quraish Shihab dalam masalah hukum poligami cukup jelas yaitu mubah (boleh) tapi tidak dianjurkan dan tidak boleh ditutup rapat, dan tidak dilihat dari sisi baik dan buruknya. Tetapi harus dilihat dari penetapan hukum Allah dalam kondisi yang mungkin terjadi. Allah membuat peraturan dalam al-Qur’an tentu dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia. Bahkan Muhammad Quraish Shihab dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa poligami bagaikan pintu darurat yang ada pada pesawat terbang. Pintu darurat itu dirancang karena diduga setiap pesawat akan 283 284 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 , h. 324 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 , h. 324 250 mengalami kecelakaan. Pada saat terjadi kecelakaan yang tidak mungkin bagi para penumpang hanya melalui satu pintu biasa, maka pintu darurat dapat dimanfaatkan. Pintu darurat tidak boleh dibuka sembarang waktu. Muhammad Quraish Shihab mengatakan, Adalah wajar bagi suatu perundang-undangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat, untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada satu ketika. Walaupun kejadian itu baru merupakan kemungkinan. Bukankah kenyataan menunjukkan bahwa jumlah lelaki bahkan jantan binatang lebih sedikit dari jumlah perempuan atau betinanya? Perhatikanlah sekeliling anda, bukankah rata-rata usia perempuan lebih panjang dari usia laki- laki, sedang potensi membuahi, lelaki lebih lama dari potensi perempuan, bukan saja karena perempuan mengalami masa haid, tetapi juga karena perempuan mengalami menopous sedang laki-laki tidak mengalami keduanya.285 Selanjutnya, Bukankah kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh dan dapat terjadi di mana-mana? Apakah jalan keluar yang dapat diusulkan kepada suami yang mengalami kasus demikian? Bagaimanakah seharusnya ia menyalurkan kebutuhan biologisnya atau memperoleh dambaannya pada keturunan? Poligami ketika itu adalah jalan keluar yang paling tepat, apalagi berarti kewajiban. Seandainya ia anjuran, pastilah Allah menciptakan perempuan lebih banyak empat kali lipat dari jumlah laki-laki, karena tidak ada artinya anda—apalagi Allah—menganjurkan sesuatu kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau 285 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 , h. 325 251 kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contohnya di atas. (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol.2.h.325).286 Namun penulis melihat Muhammad Quraish Shihab tidak memberi jalan keluar, bila kondisi tersebut terjadi sebaliknya, seperti suami mandul, laki-laki lebih banyak daripada perempuan, suami sakit parah dan semacamnya. Sehingga kesan penulis dan para pembaca Tafsir al-Mishbah, bahwa Muhammad Quraish Shihab hanya membela kepentingan kaum lakilaki saja. Menurut hemat penulis, bila terjadi sebaliknya, maka kaum perempuan berhak melakukan seperti yang dilakukan kaum laki-laki selain poliandri, karena poliandri haram hukumnya menurut ajaran Islam. Dia hanya bisa minta cerai atau menggugat suami untuk memberikan talak kepada istri dengan membayar tebusan sebagai ‘iwad kepada suami yang biasa disebut thalaq bain shugra. Kemudian Muhammad Quraish Shihab juga mengingatkan kepada kita semua dengan menyatakan, ”Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasul saw. kawin lebih dari satu, dan perkawinan semacam itu hendaknya diteladani, karena tidak semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani. Sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi ummatnya." (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol.2. h.326).287 286 Tentu saja masih banyak kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang tidak ringan itu. Kita tidak dapat membenarkan orang yang berkata bahwa poligami adalah anjuran, dengan alasan bahwa perintah di atas dimulai dengan bilangan dua, tiga, atau empat, baru kemudian kalau khawatir tidak berlaku adil, maka nikahilah seorang saja dengan alasan yang telah dikemukakan di atas, baik dari makna redaksi ayat, maupun dari segi kenyataan sosiologis di mana perbandingan perempuan dan laki laki tidak mencapai empat banding satu, bahkan dua banding satu. 287 Bukankah Rasul saw. antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak menerima zakat? Bukankah tidak batal wudu beliau bila tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna 252 Persyaratan dan ketentuan poligami yang dikemukakan oleh Muhammad Quraish Shihab berbeda dengan persyaratan dan ketentuan yang dikemukakan oleh Muhammad Shahrur. Muhammad Shahrur lebih ketat daripada Muhammad Quraish Shihab. Muhammad Shahrur berpendapat bahwa, Sesungguhnya Allah swt. tidak hanya sekadar membolehkan poligami, akan tetapi Dia sangat menganjurkannya, dengan dua syarat. Pertama, bahwa istri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim. Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim, sehingga perintah poligami akan menjadi gugur ketika tidak terdapat dua syarat di atas. 288 Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ﻣﺎﻃﺎﺏ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀdengan "maka kawinilah apa yang kamu senangi," bukan "siapa yang kamu senangi," agaknya disebabkan kata tersebut bermaksud menekankan tentang sifat perempuan, bukan orang tertentu, nama, atau keturunannya. Bukankah jika anda bertanya, ”Siapa yang dia kawini?" Maka anda menanti jawaban tentang perempuan tertentu, namanya, dan anak siapa dia. Sedang bila anda bertanya dengan menggunakan kata apa, maka jawaban yang anda nantikan adalah sifat dari yang ditanyakan itu, misalnya janda atau gadis, cantik atau tidak dan sebagainya.289Artinya perempuan yang dikawininya tidak perlu harus janda sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Muhammad Shahrur di atas. Kemudian Muhammad Shahrur menegaskan, mensukseskan misinya? Atau apakah mereka yang menyatakan itu benar benar ingin meneladani Rasul dalam perkawinannya? Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadar bahwa semua perempuan yang beliau kawini, kecuali Aisyah r.a. adalah janda-janda, dan kesemuanya untuk tujuan mensukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami itu, yang pada umumnya bukanlah perempuan-perempuan yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat. 288 289 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 428 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 h. 322 253 khithab perintah dalam ayat poligami tersebut ditujukan kepada orangorang yang telah menikah dengan seorang perempuan dan memiliki anak, sehingga tidak dikatakan poligami bagi laki-laki bujangan yang mengawini janda yang memiliki anak yatim, dengan alasan bahwa ayat tersebut diawali dengan dua dan diakhiri dengan empat, berarti sudah punya satu sebelum-nya. 290 Selanjutnya Muhammad Shahrur mengatakan, Karena konteks ayat poligami adalah berkisar tentang anak-anak yatim yang belum dewasa yang ditinggalkan ayahnya, sementara ibunya masih hidup menjanda, maka anak yang kehilangan kedua orang tuanya (yatim piatu) atau kehilangan ibunya (piatu) menjadi gugur masalah poligami, seperti suami ditinggalkan istrinya, lalu dia kawin lagi, maka istri keduanya tidak disebut poligami.291 Kemudian Muhammad Shahrur juga mengatakan, "Dia tidak sependapat, bila adil dikaitkan dengan hubungan suami istri (senggama), karena konteks ayat tersebut berbicara tentang poligami dalam kaitannya dengan pemahaman sosial kemasyarakatan, bukan konsep biologis (senggama) dan berkisar masalah anak yatim dan berbuat baik kepadanya serta berlaku adil terhadapnya.”292 Dia juga tidak sependapat jika jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki, istri mandul, syahwat laki-laki lebih besar, dan kelemahan seorang istri menjalankan fungsi sebagai seorang istri karena sakit yang berkepanjangan dijadikan alasan bagi suami berpoligami. Bahkan dia balik bertanya, bagaimana bila kejadian itu menimpa sang suami.293 Muhammad Shahrur dalam mengahiri pembicaraan mengenai poligami menyatakan, ”Suatu yang haram tidak mungkin dihalalkan, akan tetapi sesuatu 290 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 428 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 427 292 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 429 291 293 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 430 254 yang halal mungkin dilarang, tapi pelarangannya tidaklah mengandung sifat abadi dan umum. Apabila pelarangan ini mengandung sifat abadi dan umum, berarti sesuatu yang haram, dan ia merupakan hak khusus Allah semata, bahkan para Nabi dan Rasulpun tidak berhak untuk mengharamkannya.”294 Siti Musdah Mulia justru bertentangan pendapatnya dengan Muhammad Shahrur dengan mengutip pendapat Muhammad Syaltut (w.1963) yang mengatakan, ”Dia secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam, dan juga menolak bahwa poligami diterapkan oleh syari’ah.”295 Setelah penulis merujuk kepada kitab aslinya, tampaknya kesimpulan Musdah Mulia bertolak belakang dengan maksud Muhammad Syaltut, karena beliau menyatakan sebagai berikut: ﻭﺍﻻﺳﻼﻡ ﱂ ﻳﻜﻦ ﰱ ﺷﺮﻉ ﺗﻌﺪﺩ ﺍﻟﺰﻭﺟﺎﺕ ﻭﻻ ﰱ ﺷﺮﻉ ﺍﺻﻞ ﺍﻟﺰﻭﺍﺝ ﻣﺒﺘﻜﺮﺍ ﻟﺸﻴﺊ ﱂ ﻳﻜﻦ ﺎ ﻣﻌﺮﻭﻓﺎ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﻭﻫﺬﺍ ﺷﺄﻧﻪ ﰱ ﻛﺜﲑ ﻣﻦ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﳌﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺍﻻﺭﺗﺒﺎﻃﺎﺕ ﺍﻟﺒﺸﺮﻳﺔ ﺍﻟﱴ ﺗﻘﻀﻰ ﻃﺒﻴﻌﺔ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﻭﺍﳕﺎﻛﺎﻥ ﻣﻘﺮﺭﺍ ﻣﺎﺗﻘﺘﻀﻴﻪ ﺍﻟﻄﺒﻴﻌﺔ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻣﻌﺪﻻ ﻓﻴﻬﺎﲟﺎ ﻳﺮﻯ ﻣﻦ ﺟﻬﺎﺕ ﺍﻟﺘﻬﺬﻳﺐ ﺍﻟﱴ ﺗﻜﻔﻞ ﺍﻟﻄﺒﻴﻌﺔ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﰱ ﺍﳊﺪﺍﻟﻮﺳﻂ ﻭﺗﻘﻴﻬﺎ ﺷﺮ ﺍﻻﳓﺮﺍﻑ ﻭ ﺍﳌﻴﻞ ﻭﲢﻔﻆ ٢٩٦ . ﻟﻼﺟﺘﻤﺎﻉ ﺧﲑ ﻣﻘﺘﻀﻴﺎﺕ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻄﺒﻴﻌﺔ ”Islam—dalam penetapan hukum poligami, dan penetapan hukum asal perkawinan—tidak menciptakan untuk sesuatu yang belum dikenal sebelumnya. Inilah peranan Islam pada umumnya dalam masalah muamalat (perdata) dan hubungan antara sesama manusia yang dikehendaki oleh watak sosial. Bahkan Islam menetapkan hal itu untuk kepentingan tabiat (watak/karakter) tersebut, untuk menyeimbangkan hal-hal yang dianggap perlu dari segi pendidikan yang dapat menjamin tabiat agar berada pada batas keadilan (moderat), dan menjaganya dari kejahatan dan kecenderungan adanya penyimpangan serta memelihara kehendak tabiat/watak yang terbaik untuk kepentingan masyarakat." 294 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 434 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (selanjutnya tertulis Menggugat Poligami) (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.44 296 Muhammad Syaltut, Aqîdah wa al-Syarî’ah…, h. 186 295 255 Pernyataan Mahmud Syaltut di atas menunjukkan bahwa Islam tidak menolak poligami. Mahmud Syaltut hanya mengatakan, bahwa poligami yang ditetapkan Islam bukan hal yang baru, tapi sudah ada sebelum Islam lahir. Hal ini sejalan dengan Muhammad Quraish Shihab yang mengatakan, ”Poligami telah dikenal oleh masyarakat manusia, dengan jumlah yang tidak sedikit dari perempuan yang berhak digauli. (Lebih lanjut lihat karya Muhammad Quraish Shihab “Perempuan” h. 159)"297 Poligami—menurut Siti Musdah Mulia—pada hakikatnya adalah selingkuh yang dilegalkan, dan karenanya jauh lebih menyakitkan perasaan istri. Islam menuntun manusia agar menjahui selingkuh, dan sekaligus menghindari poligami. Islam menuntun pengikutnya, laki-laki dan perempuan, agar mampu menjaga organ-organ reproduksinya dengan benar sehingga tidak terjerumus pada segala bentuk pemuasan syahwat yang dapat mengantarkan pada kejahatan terhadap kemanusiaan.298 Membolehkan poligami berdasarkan kasus-kasus yang ada justru bertentangan dengan akal sehat yang berarti juga bertentangan dengan ajaran agama. Solusinya bukan membolehkan poligami. Sebaliknya justru melarang poligami secara mutlak.299 Penulis tidak sependapat bila poligami dikatakan selingkuh yang dilegalkan, karena sangat berbeda antara selingkuh dengan poligami. 297 Dalam Perjanjian Lama misalnya disebutkan bahwa Nabi Sulaiman as. memiliki tujuh ratus istri bangsawan dan tiga ratus gundik (Perjanjian Lama, Raja-Raja I-11-4). Poligami meluas, di samping masyarakat Arab Jahiliyah, juga pada bangsa Ibrani dan Sicilia yang kemudian melahirkan sebagian besar bangsa Rusia, Lithuania, Polandia, Cekoslowakia dan Yugoslavia, serta sebahagian penduduk Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris. Greja di Eropa pun mengakui Poligami hingga akhir abad XVII atau awal abad XVII. (M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 159) 298 Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 62 299 Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 66 256 Selingkuh sudah jelas haram hukumnya dan tidak ada seorang pun yang berhak menghalalkannya, bahkan para Nabi sekalipun. Karena hal itu merupakan hak preogatif Allah. Sebaliknya tidak ada seorangpun yang berhak mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, sebagaimana ditegaskan Allah dalam beberapa firman-Nya . ﺣِﻴﻢ ﺭ ﻏﹶﻔﹸﻮﺭﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﺍﺟِﻚﻭﺎﺓﹶ ﺃﹶﺯﺿﺮﻐِﻲ ﻣﺘﺒ ﺗ ﻟﹶﻚﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺎ ﺃﹶﺣ ﻣﻡﺮﺤ ﺗ ﻟِﻢﺒِﻲﺎ ﺍﻟﻨﻬﺎﹶﻳﻳ ( ١: ٦٦\)ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Tahrîm/66: 1) . ﺪِﻳﻦﺘﻌ ﺍﻟﹾﻤﺤِﺐ ﻟﹶﺎ ﻳﻭﺍ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺘﻌﻟﹶﺎ ﺗ ﻭ ﻟﹶﻜﹸﻢﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﺎ ﺃﹶﺣﺎﺕِ ﻣﺒﻮﺍ ﻃﹶﻴﻣﺮﺤﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﺗﻨ ﺀَﺍﻣﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦﻬﺎﹶﻳﻳ ( ٨٧ : ٥\)ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. al-Mâidah/5: 87). Melarang poligami secara mutlak bertentangan dengan kehendak Allah yang memang sudah dirancang hukumnya walaupun dengan persyaratan yang ketat. Sama halnya dengan seorang arsitiktur yang merancang pintu darurat untuk pesawat terbang. Karena kemungkinan akan terjadi di luar kemampuan manusia bahwa pada saat terbang pesawat tersebut akan rusak, sehingga para penumpang harus diselamatkan melalui pintu darurat. Apalagi Allah yang memang sudah mengetahui persis akan terjadi suatu yang tidak diinginkan oleh pasangan suami istri, maka harus menempuh pintu darurat dengan jalan poligami. Siti Musdah Mulia selanjutnya mengatakan, 257 Kalaupun dibenarkan berdalil pada satu ayat saja (meski ini sangat tidak logis), maka sesungguhnya pemahaman kelompok yang pro poligami terhadap teks ayat tersebut juga tidak utuh. Pertama, mari kita (kata Siti Musdah Mulia) lihat bunyi teksnya, 'Maka kawinilah perempuanperempuan yang kamu senangi. Dua, tiga, empat,… Atau budak-budak perempuan yang kamu miliki.' Secara jelas teks ayat itu membolehkan perbudakan. Akan tetapi, mengapa para pendukung bunyi literal teks tersebut memegang teguh kebolehan poligami, namun mengabaikan kebolehan menggauli budak-budak perempuan? 300 Kemudian Siti Musdah Mulia mengutip perkataan Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan bahwa, "Jika perbudakan dapat dihapuskan dari kehidupan masyarakat secara bertahap, maka poligami juga seharusnya seperti itu."301 Menurut hemat, penulis poligami dan perbudakan sangat berbeda. Sekalipun ayat tersebut membolehkan perbudakan dalam rangka menghapuskan perbudakan secara bertahap sebagaimana ayat-ayat yang lainnya, sedangkan ayat poligami tidak ada ayat lain selain al-Qur'an SuratalNisâ’/4: 3). Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan potongan ayat ﻣﺎﻣﻠﻜﺖ ﺍﳝﺎﻧﻜﻢyang diterjemahkan dengan "budak-budak perempuan yang kamu miliki," menunjuk kepada satu kelompok masyarakat yang ketika itu merupakan salah satu fenomena umum masyarkat manusia di seluruh dunia. Dapat dipastikan, Allah dan Rasul-Nya tidak merestui perbudakan, walau dalam saat yang sama harus pula diakui bahwa al-Qur'an dan sunnah tidak mengambil langkah drastis untuk menghapuskannya sekaligus. Al-Qur'an dan sunnah menutup semua pintu untuk lahir dan berkembangnya perbudakan, kecuali satu pintu yaitu tawanan yang diakibatkan oleh peperangan dalam 300 301 Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 50 Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 51 258 rangka mempertahankan diri dan akidah. Itupun disebabkan karena ketika itu demikianlah perlakuan manusia terhadap tawanan perangnya. Namun kendati tawanan perang diperkenankan untuk diperbudak, tapi perlakuan terhadap mereka sangat manusiawi. Bahkan al-Qur'an memberi peluang kepada penguasa Muslim untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa tebusan. Berbeda dengan sikap umat manusia ketika itu.302 Islam menempuh cara bertahap dalam pembebasan perbudakan antara lain disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak yang ditemuinya. Para budak ketika itu hidup bersama tuan-tuan mereka, sehingga kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka terpenuhi. Anda dapat membayangkan bagaimana jadinya jika perbudakan dihapus sekaligus. Pasti akan terjadi problema sosial yang jauh lebih parah dari Pemutusan Hubungan Kerja. (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vo. 2. h. 322).303 Di sisi lain, walau perbudakan secara resmi tidak dikenal lagi oleh umat manusia dewasa ini, namun itu bukan berarti bahwa ayat ini dan semacamnya tidak relevan lagi. Ini karena al-Qur'an tidak hanya diturunkan untuk putraputri abad ini, tetapi diturunkan untuk umat manusia sejak abad ke-6 hingga ahir zaman. (Lebih lanjut dapat dilihat dalam Tafsir al-Mishbah, Vol. 2. h.323.)304 302 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 h. 322 Ketika itu—para budak bila dibebaskan— bukan saja pangan yang harus mereka siapkan sendiri, tetapi juga papan. Atas dasar itu kiranya dapat dimengerti jika al-Qur'an dan as-Sunnah menempuh jalan bertahap dalam menghapus perbudakan. Dalam konteks ini, dapat juga kiranya dipahami perlunya ketentuan-ketentuan hukum bagi para budak tersebut. Itulah yang mengakibatkan adanya tuntutan agama baik dari segi hukum atau moral yang berkaitan dengan perbudakan. Salah satu tuntutan itu adalah izin mengawini budak perempuan. Ini bukan saja kerena mereka juga adalah manusia yang mempunyai kebutuhan biologis tetapi juga merupakan salah satu cara menghapus perbudakan. 303 304 Semua diberi petunjuk dan semua dapat menimba petunjuk sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zamannya. Masyarakat abad ke-6 menemukan budak budak perempuan, dan bagi merekalah tuntunan itu diberikan. Al-Qur'an akan terasa kurang oleh mereka, jika petunjuk ayat ini 259 Menurut penulis Muhammad Quraish Shihab cenderung bahwa ayat itu tetap berlaku sebagai payung hukum, kendati objek hukumnya sudah tidak ada. namun tidak menutup kemungkinan, jika objek hukum tersebut muncul, ayat tersebut dapat dijadikan pedoman sebagai pelaksanaan hukum. Sama halnya dengan Umar Bin al-Khatthab yang melarang memberikan zakat pada muallaf karena Umar Bin Khatthab menganggap muallaf tidak ada, tapi bukan berarti Umar Bin al-Khatthab menghapus ayat tentang muallaf. Siti Musdah Mulia menyatakan bahwa, Setelah Allah menyuruh setiap pasangan untuk produktif membangun keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan keluarga melalui sikap dan perilaku yang senantiasa adil, maka pada ayat selanjutnya Allah mengecam para suami yang berpoligami dan menyatakan bahwa mereka tidak akan pernah mampu berbuat adil terhadap para istri, dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129.305 Bahkan dia menegaskan bahwa Islam sudah menutup rapat pintu poligami melalui ayat tersebut.306 Kemudian Siti Musdah Mulia menyimpulkan bahwa, ”Menjadikan surat al-Nisâ’/4 ayat 3 sebagai dalil pembenar bagi kebolehan poligami, seperti dipahami di masyarakat, sesungguhnya tidak signifikan dan sangat keliru, mengingat ayat itu bukan diturunkan dalam konteks pembicaraan poligami, melainkan dalam konteks pembicaraan anak yatim dan perlakuan tidak adil yang menimpa mereka."307 Menurutnya melalui ayat tersebut Allah mengingatkan kepada para suami akan dua hal. Pertama, jangan menikahi anak yatim perempuan yang tidak mereka temukan. Di lain segi kita tidak tahu perkembangan masyarakat pada abad-abad yang akan datang. Boleh jadi mereka mengalami perkembangan yang belum dapat kita duga dewasa ini. Ayat-ayat ini atau jiwa petunjuknya dapat mereka jadikan rujukan dalam kehidupan mereka. 305 Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 110 Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 131 307 Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 116 306 260 berada dalam perwalian mereka kalau tidak mampu berlaku adil. Kedua, jangan poligami kalau tidak mampu berlaku adil. Faktanya dalam dua hal tersebut manusia hampir-hampir mustahil dapat berlaku adil. Kesimpulannya ayat ini lebih berat mengandung ancaman berpoligami ketimbang membolehkannya.308 Pernyataan Siti Musdah Mulia tersebut bertentangan dengan pendapat Muhammad Shahrur yang mengatakan bahwa Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah swt. Sehingga tidak mengherankan kalau Allah meletakannya pada awal surat al-Nisâ dalam kitab-Nya yang mulia. Seperti yang kita lihat bahwa poligami terdapat pada ayat ketiga dan merupakan satu-satunya ayat dalam al-Tanzil yang membicarakan masalah ini. Akan tetapi para mufassir dan para ahli fikih, seperti biasanya, telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada di antara masalah poligami dengan para janda yang memiliki anak-anak yatim.309 Sebagaimana ditegaskan Allah ﻓﹶﺈِﻥﹾﺎﻉﺑﺭﺛﹸﻠﹶﺎﺙﹶ ﻭﻰ ﻭﺜﹾﻨﺎﺀِ ﻣﺴ ﺍﻟﻨ ﻣِﻦ ﻟﹶﻜﹸﻢﺎ ﻃﹶﺎﺏﻮﺍ ﻣﻜِﺤﻰ ﻓﹶﺎﻧﺎﻣﺘﻘﹾﺴِﻄﹸﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻴ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗﻢﺇِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘﻭ ( ٣ : ٤/ﻮﻟﹸﻮﺍ) ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻌﻰ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗﻧ ﺃﹶﺩ ﺫﹶﻟِﻚﻜﹸﻢﺎﻧﻤ ﺃﹶﻳﻠﹶﻜﹶﺖﺎ ﻣ ﻣﺓﹰ ﺃﹶﻭﺍﺣِﺪﺪِﻟﹸﻮﺍ ﻓﹶﻮﻌ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗﻢﺧِﻔﹾﺘ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. alNisâ’/4: 3) Sebagian masyarakat berpendapat bahwa laki-laki tidak berhak melakukan poligami. Poligami dinilai sebagai bentuk kezaliman terhadap perempuan (istri) karena suami tidak mungkin dapat berlaku adil terhadap para 308 309 Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 116 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 425 261 istrinya. Hal itu mengacu pada al-Qur'an Suratal-Nisâ’/4 ayat 3 dan al-Qur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 129. Arij Abdurrahman As-Sanan mengatakan bahwa, ”Pendapat ini jelas keliru, karena ayat pertama mewajibkan berlaku adil pada hal yang menjadi kesanggupan suami, yaitu adil dalam bermalam, nafkah, dan pergaulan. Sedang ayat kedua menafikan keadilan yang memang berada di luar kesanggupan suami, yaitu cinta dan hubungan badan."310 Ada sebagian masyarakat yang menganggap poligami merupakan penghinaan terhadap perempuan, karena dia dijadikan alat pemuas nafsu seksual kaum laki laki. Menurut penulis justru memberikan kepuasan seksual kaum perempuan, karena hubungan badan laki-laki dan perempuan akan samasama mendapatkan kepuasan/kenikmatan kedua belah pihak. Poligami justru merupakan pemuliaan bagi perempuan, karena poligami menjaganya dari zina. Pernikahan adalah satu-satunya jalan yang sah untuk menyalurkan libido seksual. Poligami menjaga laki-laki dari penyimpangan perilaku zina, yaitu memiliki kekasih gelap atau perempuan simpanan.311 Adapun akibat negatif dari poligami yang terjadi di masyarakat, seperti ketidakadilan suami atas istri-istrinya, hal ini bukan lahir dari syariat poligami itu sendiri. Tetapi diakibatkan oleh tidak diterapkannya syariat pologami itu dengan benar.312 Ada sebagian orang berpendapat bahwa hanya Islam yang membolehkan poligami. Pendapat ini tidak benar dan merupakan kebohongan 310 Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, (selanjutnya tertulis Keadilan Dalam Poligami) (Jakarta: PT Global Media Cipta Publishing, 2003), h. 26 311 Arij Abdurrahman As-Sanan, Keadilan Dalam Poligami…, h. 26 312 Arij Abdurrahman As-Sanan, Keadilan Dalam Poligami…, h. 27 262 sejarah. Banyak bangsa dan agama sebelum Islam yang telah mengizinkan menikahi banyak perempuan, sepuluh, bahkan seratus tanpa persyaratan atau pembatasan apapun. Perjanjian Lama menyebutkan bahwa Dawud memiliki tiga ratus perempuan dan Sulaiman memiliki tujuh ratus perempuan, beberapa diantaranya adalah istrinya, sementara lainnya Cuma gundik.313 Islam adalah kata kata terakhir dari Allah yang menyimpulkan/ menyegel seluruh pesan pesan-Nya. Oleh karena itu Islam datang dengan hukum yang umum dan abadi untuk merangkul seluruh bangsa, usia, dan masyarakat. Islam tidak membuat hukum untuk penduduk kota tanpa memandang masyarakat pedesaan, juga tidak hanya untuk kawasan dingin atau panas, atau sebaliknya dan juga tidak untuk usia tertentu dan mengabaikan kelompok usia lainnya serta generasi-generasi lainnya. Islam menghormati pentingnya pribadi maupun masyarakat.314 Wahbah al-Zuhaily menyimpulkan bahwa, ”Poligami dalam Islam adalah masalah darurat, memperbaiki kerusakan dalam poligami lebih utama daripada menghilangkan poligami. Tidak boleh seorangpun membatalkan poligami, karena nash syar ’inya secara jelas membolehkannya. Menghentikan atau mengeluarkan nash berarti mengingkari ayat Allah dan haram menurut syariat dan agama Allah."315 Islam membolehkan poligami karena dharurat dengan syarat mampu memberi nafkah, adil diantara istri-istrinya, berlaku baik, atau karena suatu hal 313 Yusuf Qardhawi, Kedudukan Perempuan Islam, terjemahan Melati Adhi Damayanti, (selanjutnya tertulis Kedudukan Perempuan) (Jakarta: PT Global Media Publishing, 2003), h. 123 314 Yusuf Qardhawi, Kedudukan Perempuan …, h. 126 315 Wahbah al-Zuhaily, al-Munir…, Juz 5. h. 244 263 seperti istri mandul, jumlah perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki, atau fisik perempuan yang tidak dapat melayani suami karena sakit.316 Sistem poligami menurut hukum Islam adalah suatu sistem yang manusiawi dan bermoral. Disebut bermoral karena Islam tidak membolehkan laki-laki untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan manapun yang dikehendakinya pada waktu kapanpun ia kehendaki tanpa melalui pernikahan yang sah. Laki-laki juga tidak diizinkan untuk melakukan hubungan seksual dengan lebih dari tiga perempuan di samping istri pertamanya. Poligami tidak dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi, melainkan harus dilangsungkan dengan sebuah akad nikah dan diumumkan walau di antara khalayak terbatas.317 Sedangkan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129 yang dijadikan argumen oleh orang orang yang menolak poligami karena manusia tidak akan mampu berbuat adil pada para istri sekalipun berusaha keras. Wahbah alZuhaily justru memandang ayat ini sebagai dukungan terhadap ayat poligami di atas. Karena adil yang dituntut oleh para istri adalah adil dalam masalah materi seperti giliran (tidur bersamanya), nafkah, pakaian, dan tempat tinggal. Sedangkan keadilan dalam masalah nonmateri (masalah hati), seperti cinta Allah tidak menuntut kecuali sesuai dengan kemampuan, karena cinta memang sulit untuk disamakan. Oleh karena itu adalah sesuatu yang bisa dipahami jika Rasulullah mencintai Aisyah lebih besar dibanding pada istri selainnya.318 Ironisnya, sementara kalangan menghendaki berkembangnya paham Barat di negara-negara Arab, dan Islam lainnya telah memanfaatkan apa yang 316 Wahbah al-Zuhaily, al-Munir…, Juz 5. h 242 Wahbah al-Zuhaily, al-Munir…, Juz 5. h. 129 318 Wahbah al-Zuhaily, al-Munir…, Juz 5. h. 302 317 264 terjadi akibat pelanggaran yang dilakukan beberapa orang Islam. Mereka makin gigih menyuarakan agar poligami dihapuskan sepenuhnya. Siang dan malam kelemahan poligami terus diulas sementara mereka justru membisu jika menyangkut akibat merugikan perzinahan dan perselingkuhan, yang sayangnya dibolehkan oleh hukum setempat yang mengatur negara-negara Muslim dewasa ini.319 Bila ada orang mengatakan bahwa poligami lebih banyak mudharatnya daripada kemaslahatannya, jangan lalu disalahkan ayat al-Qur’annya, tapi orang yang melakukan poligami itu sendiri. Karena al-Qur’an telah melarang orang yang berpoligami yang tidak mengikuti tuntunan al-Qur’an yaitu berbuat adil. Islam juga melarang sesuatu yang akan menjadikan mudharat kepada diri sendiri dan orang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam Firman-Nya ﻢ ﻫﺮﺄﹾﻣﺠِﻴﻞِ ﻳﺍﻟﹾﺈِﻧﺍﺓِ ﻭﺭﻮ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘﻢﻫﺪﺎ ﻋِﻨﻮﺑﻜﹾﺘ ﻣﻪﻭﻧﺠِﺪ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻳﻲ ﺍﻟﹾﺄﹸﻣﺒِﻲﻮﻝﹶ ﺍﻟﻨﺳﻮﻥﹶ ﺍﻟﺮﺒِﻌﺘ ﻳﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ ﻢﻬﻨ ﻋﻊﻀﻳﺎﺋِﺚﹶ ﻭﺒ ﺍﻟﹾﺨﻬِﻢﻠﹶﻴ ﻋﻡﺮﺤﻳﺎﺕِ ﻭﺒ ﺍﻟﻄﱠﻴﻢﺤِﻞﱡ ﻟﹶﻬﻳﻜﹶﺮِ ﻭﻨﻦِ ﺍﻟﹾﻤ ﻋﻢﺎﻫﻬﻨﻳﻭﻑِ ﻭﺮﻌﺑِﺎﻟﹾﻤ ﺍﻟﱠﺬِﻱﻮﺭﻮﺍ ﺍﻟﻨﻌﺒﺍﺗ ﻭﻭﻩﺮﺼﻧ ﻭﻭﻩﺭﺰﻋﻮﺍ ﺑِﻪِ ﻭﻨ ﺀَﺍﻣ ﻓﹶﺎﻟﱠﺬِﻳﻦﻬِﻢﻠﹶﻴ ﻋﺖﺍﻟﹾﺄﹶﻏﹾﻠﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﱠﺘِﻲ ﻛﹶﺎﻧ ﻭﻢﻫﺮﺇِﺻ (١٥٧ : ٧/ﻮﻥﹶ)ﺍﻻﻋﺮﺍﻑﻔﹾﻠِﺤ ﺍﻟﹾﻤﻢ ﻫ ﺃﹸﻭﹶﻟﺌِﻚﻪﻌﺰِﻝﹶ ﻣﺃﹸﻧ (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggubelenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orangorang yang beruntung. (Q.S. al-Baqarah/2: 219) 319 Wahbah al-Zuhaily, al-Munir…, Juz 5. h. 134 265 Dalam ajaran Islam, semua yang dilarang al-Qur’an pasti lebih banyak kerugian daripada keuntungannya. Demikian pula sebaliknya segala yang diperintahkan dalam al-Qur’an pasti lebih banyak keuntungannya dibandingkan kerugiannya. Seperti mengenai khamar dan judi Allah berfirman ﺎﻔﹾﻌِﻬِﻤ ﻧ ﻣِﻦﺮﺎ ﺃﹶﻛﹾﺒﻤﻬﺇِﺛﹾﻤﺎﺱِ ﻭ ﻟِﻠﻨﺎﻓِﻊﻨﻣ ﻭ ﻛﹶﺒِﲑﺎ ﺇِﺛﹾﻢﺴِﺮِ ﻗﹸﻞﹾ ﻓِﻴﻬِﻤﻴﺍﻟﹾﻤﺮِ ﻭﻤﻦِ ﺍﻟﹾﺨ ﻋﻚﺄﹶﻟﹸﻮﻧﺴﻳ : ٢/ ﻭﻥﹶ)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﻔﹶﻜﱠﺮﺘ ﺗﻠﱠﻜﹸﻢﺎﺕِ ﻟﹶﻌ ﺍﻟﹾﺂﻳ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﺍﻟﻠﱠﻪﻦﻴﺒ ﻳ ﻛﹶﺬﹶﻟِﻚﻔﹾﻮﻔِﻘﹸﻮﻥﹶ ﻗﹸﻞِ ﺍﻟﹾﻌﻨﺎﺫﹶﺍ ﻳ ﻣﻚﺄﹶﻟﹸﻮﻧﺴﻳﻭ (٢١٩ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayatayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (Q.S. al-Baqarah/2 : 219) Ahmad Mushthafa al-Maraghi senada dengan Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa poligami dibolehkan karena dharurat dengan syarat dia yakin dapat menegakkan keadilan. Namun keadilan yang sesuai dengan kemampuan manusia adalah yang bersifat materi seperti tempat tinggal, pakaian dan semacamnya. Sedangkan yang bersifat nonmateri seperti cinta sulit untuk menyamakannya, maka manusia tidak dituntut maksimal sebagaimana Nabi mencintai Aisyah melebihi cintanya pada istri-istri yang lainnya.320 Begitu juga Said Hawa,321 Sayyid Qutub, Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad dan Jalaluddin Abdu al-Rahman Bin Abi Bakar al-Suyuthi, 322 ketiga mufasir tersebut memandang poligami itu adalah rukhshah (dispensasi) yang 320 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, Jilid IV.h.180 Said Hawa, Al-Asâs Fî al-Tafsîr…, Jilid.II, h.992 322 Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad dan Jalaluddin Abdu al-Rahman Bin Abi Bakar alSuyuthi, Tafsir al-Jalâlain, (Bandung: Syarikah al-Ma’arif Bandung Indonesia, t.t.), Jilid. I., h.70 321 266 memang tidak dapat dihindari di dalam kehidupan manusia, dengan syarat tidak lebih dari empat dan berlaku adil. Karena Islam adalah undang-undang untuk kepentingan manusia, maka undang-undangnya harus sesuai dengan fitrah manusia, sesuai dengan realitas kehidupan manusia yang berubah dalam berbagai tempat, waktu, dan keadaan.323 Sedangkan Muhammad al-Shabuni dan Ibnu Katsir menjelaskan bahwa, Al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 3 menegaskan, jika ada anak yatim berada dalam naungan seseorang, dan dia takut tidak dapat membayar mahar mitsli, maka dia tidak boleh mengawini anak yatim tersebut. Kawinilah perempuan selain anak yatim tersebut, karena perempuan selain anak yatim masih banyak. Alasan tidak boleh mengawini anak yatim, karena anak yatim itu lemah sehinga perlu perhatian dan bimbingan, sedangkan orang yang berbuat aniaya pada orang lemah merupakan dosa besar di sisi Allah. Untuk itu Allah memerintahkan untuk mengawini perempuan selain anak yatim dua, tiga, atau emapat. Namun jika khawatir tidak dapat berbuat adil diantara istri-istrinya, maka cukup seorang istri saja atau menikahi budak, karena dengan hanya seorang baik perempuan biasa atau budak lebih mendekati tidak berbuat aniaya. 324 Kemudian kedua mufasir tersebut ketika menerjemahkan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129 menjelaskan bahwa, Kalian wahai laki-laki tidak akan dapat merealisasikan keadilan dalam masalah cinta dan seksual, walaupun kalian sudah berusaha maksimal, karena menyamakan cinta dan kecenderungan hati di luar kemampuan manusia. Namun jangan karena perbedaan kecenderungan lalu tidak berbuat adil dalam masalah lainnya yang dapat diukur oleh kemampuan manusia.325 323 Sayyid Quthub, Fi Dhilâl al-Qur ’an, (Cairo: Daar al-Syuruq, 1982), Jilid.1, h.579 Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafâsir, (Bairut: Dâr al-Qur’an al-Karîm, 1981), Juz 4 , h. 259 Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur ’an al-‘Adzîm, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1992), Juz 1, h. 555 324 267 Istibsyarah menyatakan bahwa adanya persyaratan berlaku adil kepada istri-istri sebenarnya merupakan suatu tekanan psikologis terhadap laki-laki yang berpoligami pada masa itu, agar tidak seenaknya saja melakukan poligami yang dapat berakibat pada buruknya perlakuan terhadap istri-istri mereka. Hal ini diperkuat dengan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129. Ayat ini menurutnya dapat dipahami sebagai penolakan terhadap poligami atau setidaknya lebih memperketat pelaksanaan poligami, karena syarat dari poligami adalah kesanggupan berlaku adil. Sedangkan ayat ini menegaskan ketidakmampuan seseorang berlaku adil terhadap istri-istrinya.326 Kemudian dia mengutip pendapat al-Sya’rawi yang mengatakan bahwa, Adil dalam hal kecenderungan kepada salah satu istrinya merupakan beban yang tidak akan dapat ditanggung oleh manusia, karena hal ini berkaitan erat dengan hati. Islam tidak mensyaratkan berlaku adil dalam hal yang berkaitan dengan hati, tapi hanya mensyaratkan bersikap adil dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. Islam membolehkan praktik poligami ketika pihak laki-laki yakin bahwa dirinya tidak akan memarjinalkan dan menyepelekan perempuan.327 Menurut hemat penulis kutipan Istibsyaroh dari al-Sya’rawi menggugurkan pendapatnya sendiri yang mengatakan bahwa al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129 merupakan penolakan terhadap poligami. Menurut alSya’rawi ayat itu justeru dijadikan sebagai pendukung kebolehan poligami. Begitu juga dengan kutipannya dari Ahmad Mushthafa al-Maraghi membatalkan pendapatnya sendiri. Seperti dikatakannya, Memang ada sebagian penafsir, seperti al-Maraghi, yang memahami potongan ayat ﻓﻼﲤﻴﻠﻮﺍ ﻛﻞ ﺍﳌﻴﻞsebagai penolakan pemustahilan poligami. Menurutnya, bagian ayat tersebut seolah-olah ditujukan kepada mereka yang tidak mampu berlaku adil. Sedangkan mereka yang mampu berlaku 325 Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafâsir…, h. 308, Lihat Ibnu Katsir, Tafsir alQur ’an…, jilid. 1, h. 696 326 Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan Dalam Relasi Jender Pada Tafsir Al-Sya ’rawi, (selanjutnya tertulis Hak-Hak Perempuan) (Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2004), h. 210 327 Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan …, h. 211 268 adil dengan sendirinya potongan ayat ini tidak berlaku. Jadi potongan ayat ini memberikan penjelasan terhadap potongan ayat sebelumnya yang mengeliminir kemampuan berlaku adil terhadap perempuan, dan dengan demikian penjelasan ini menafikan pemustahilan untuk berpoligami.328 Nasaruddin Umar mengutip pernyataan Muhammad Ali al-Shabuni dalam tafsir ayat ahkam yang menafsirkan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 3 sebagai berikut Ayat ini menggunakan shigah umum, yaitu menggunakan kata ganti jamak ( ﺧﻔﺘﻢ ﻭ ﺗﻌﻮﻟﻮﺍ, ﺗﻘﺴﻄﻮﺍ, ﻓﺎﻧﻜﺤﻮﺍ, )ﺍﳝﺎﻧﻜﻢpadahal ayat ini turun untuk menanggapi suatu sebab khusus, yaitu Urwah Bin Zubair, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Bukhari yang bersumber dari Aisyah, bahwa ia mempunyai seorang anak yatim yang hidup di dalam pengawasannya. Selain cantik anak yatim itu juga memiliki harta sehingga Urwah bermaksud mengawininya, maka ayat ini menjadi petunjuk bagi Urwah dalam melangsungkan niatnya.329 Metode tahlîli menyimpulkan bahwa teks ayat tersebut (Q.S.alNisâ’/4: 3) di atas mengizinkan poligami, yaitu seorang laki-laki boleh kawin lebih dari satu sampai empat, asal yang bersangkutan mampu berlaku adil. Akan tetapi metode maudhûi bisa menyimpulkan lain, karena adanya ayat di tempat lain yang seolah-olah memustahilkan syarat adil itu dapat dilakukan manusia sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129. Ayat ini kata Nasaruddin Umar dapat diartikan menolak poligami, atau paling tidak lebih memperketat pelaksanaan poligami. Syarat poligami adalah kesanggupan untuk berlaku adil, sementara ayat ini menegaskan ketidakmampuan seseorang berlaku adil di antara istri-istrinya. Kata ﻓﻼ ﲤﻴﻠﻮﺍ ﻛﻞ ( ﺍﳌﻴﻞjanganlah kalian terlalu cenderung pada setiap kecenderungan) dalam ayat 328 329 Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan …, h. 213 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 282 269 di atas dipahami oleh sebagian mufasir sebagai penolakan pemustahilan berpoligami.330 Menurut hemat penulis kurang tepat bila al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129 dijadikan alasan untuk menolak poligami karena yang dimaksud bahwa kalian tidak akan dapat berbuat adil diantara istri-istri sekalipun kalian berusaha keras, adalah adil dalam masalah mahabbah (cinta) yang memang tidak perlu harus sama persis, karena sulit mengukurnya. Hanya saja tidak boleh karena perbedaan kecintaan kepada satu istri mengakibatkan perbedaan dalam nafkah, pakaian, dan giliran pada istri yang lainnya. Kemudian penulis tidak sependapat bila kata ﻛﻞ ﺍﳌﻴﻞdiartikan segala/setiap kecenderungan, karena kata ﻛﻞyang disandarkan kepada mashdar fiilnya disebut nâib mafûl muthlaq (pengganti mafûl muthlaq) yang diartikan untuk menta ’kidkan/menguatkan makna fiilnya, maka kata ﻛﻞ ﺍﳌﻴﻞharus diartikan betul-betul cenderung/sangat cenderung, bukan segala kecenderungan. Muhammad Quraish Shihab justru mengkritik orang yang tidak merestui poligami, sebagaimana katakannya Ayat ini sering dijadikan alasan oleh sementara orang yang tidak mengerti bahwa Islam tidak merestui poligami, karena kalau izin berpoligami bersyarat dengan berlaku adil berdasar firman-Nya, “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S.al-Nisâ’/4:3). Sedangkan di sini dinyatakannya bahwa kamu sekali kali tidakakan dapat berlaku adil di antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka hasilnya—kata mereka—adalah bahwa poligami tidak mungkin direstui. Pendapat ini tidak dapat diterima, bukan saja karena Nabi saw. dan sekian banyak sahabat beliau melakukan poligami, tetapi juga karena ayat ini tidak berhenti di tempat para penganut pendapat ini berhenti, tetapi berlanjut dengan menyatakan karena itu janganlah kamu terlalu 330 Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h..283 270 cenderung (kepada yang kamu cintai). Penggalan ayat ini menunjukkan kebolehan poligami walau keadilan mutlak tidak dapat diwujudkan.331 Seperti terbaca di atas, keadilan yang tidak dapat diwujudkan itu adalah dalam hal cinta. Bahkan cinta atau suka pun dapat di bagi, yakni suka yang lahir atas dorongan perasaan dan suka yang lahir atas dorongan akal. Obat yang pahit tidak disukai oleh siapapun. Ini berdasarkan perasaan setiap orang. Tetapi obat yang sama akan disukai, dicari, dan diminum karena akal si sakit mendorongnya menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian juga suka atau cinta dalam diri seseorang dapat berbeda. (Lebih lanjut dapat dilihat pada Tafsir al-Mishbah Vol.2, h.582).332 Istibsyaroh mengutip beberapa hadis sebagai dasar untuk mengurangi terjadinya poligami secara pelan-pelan.333 Adapun hadis yang dikutip adalah: ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﻫﻨﺎﺩ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﻩ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﰊ ﻋﺮﺑﺔ ﻋﻦ ﻣﻌﻤﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻫﺮﻯ ﻋﻦ ﺳﺎﱂ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻏﻤﺮ ﺍﻥ ﻏﻴﻼﻥ ﺑﻦ ﺳﻠﻤﺔ ﺍﻟﺜﻘﻔﻰ ﺍﺳﻠﻢ ﻭﻟﻪ ﻋﺸﺮ ﻧﺴﻮﺓ ﰱ ﺍﳉﺎﻫﻠﻴﺔ ﻓﺎﺳﻠﻤﻦ ﻣﻌﻪ ﻓﺎﻣﺮﻩ ٣٣٤ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﻳﺘﺨﲑ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﻣﻨﻬﻦ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ Artinya: Hunad menceritakan kepada kami, Abduh menceritakan kepada kami dari Said Bin Abi Urwah dari Ma’mar, dari al-Zuhri, dari Salim Bin Abdullah dari Ibnu Ghamar, bahwa Ghailan Bin Salmah alTsaqafi masuk Islam dan ia memiliki 10 istri pada masa Jahiliyah, mereka masuk Islam bersama dia. Lalu Nabi saw. memerintahkan Ghailan untuk memilih 4 dari 10 diantara mereka. (Diriwayatkan oleh al-Turmudzi). 331 Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 581 Yang tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah keadilan dalam cinta atau suka berdasar perasaan. Sedang suka yang berdasar akal dapat diusahakan manusia, yakni memperlakukan istri dengan baik, membiasakan diri untuk menerima kekurangan-kekurangannya, memandang semua aspek yang ada padanya, bukan hanya aspek keburukannya ataupun kebaikannya. Inilah yang dimaksud dengan janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) dan jangan juga terlalu cenderung mengabaikan yang kamu kurang cintai. 332 333 Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan …, h. 207 Muhammad Bin Isa Abu Isa al-Turmudzi, Ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir , Sunan al-Turmudzi, (Bairut : Dâr Ihya al-Turâts, t.th.), Jilid III, h. 435 No. 1128 334 271 ﺣﺪﺛﻨﺎﺍﲪﺪ ﺑﻦ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﺪﻭﻗﻰ ﺣﺪﺛﻨﺎﻫﺸﻴﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﰉ ﻟﻴﻠﻰ ﻋﻦ ﲪﻴﻀﺔ ﺑﻨﺖ ﺍﻟﺸﻤﺮﺩﻝ ﻋﻦ ﻗﻴﺲ ﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻗﺎﻝ ﺍﺳﻠﻤﺖ ﻭﻋﻨﺪﻯ ﲦﺎﻥ ﻧﺴﻮﺓ ﻓﺎﺗﻴﺖ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﻠﺖ ٣٣٥ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﺧﺘﺮ ﻣﻨﻬﻦ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ Artinya: Ahmad Bin Ibrahim al-Durqi menceritakan kepada kami, Hasyim menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Laila dari Humaidhah Binti al-Symardal dari Qais Bin al-Harits telah berkata, ”Saya telah masuk Islam dan memiliki 8 istri, lalu saya datang kepada Nabi saw. Lalu saya katakan hal itu kepada Nabi. Lalu Nabi mengatakan, ”Pilihlah 4 diantara 8 dari mereka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah). ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺴﺪﺩ ﺣﺪﺛﻨﺎﻫﺸﻴﻢ ﻭﺣﺪﺛﻨﺎﻭﻫﺐ ﺑﻦ ﺑﻘﻴﻪ ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻫﺸﻴﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﰉ ﻟﻴﻠﻰ ﻋﻦ ﲪﻴﻀﺔ ﺑﻦ ﺍﻟﺸﻤﺮﺩﻝ ﻋﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﻗﺎﻝ ﻣﺴﺪﺩ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﲑﺓ ﻭﻗﺎﻝ ﻭﻫﺐ ﺍﻻﺳﺪﻯ ﻗﺎﻝ ﺍﺳﻠﻤﺖ ﻭ ﻋﻨﺪﻯ ﺗﺴﻌﺔ ﻧﺴﻮﺓ ﻓﺬﻛﺮﺕ ﺫﻟﻚ ﻟﻠﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ٣٣٦ ﺍﺧﺘﺮ ﻣﻨﻬﻦ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮﺩﺍﻭﺩ Artinya: Musaddad menceritakan kepada kami, Hasyim menceritakan kepada kami, Wahab Bin Buqyah menceritakan kepada kami, Hasyim menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Laila dari Humaidhah Bin alSyamardal dari al-Harits Bin Qais, Musaddad Ibnu Umairah telah berkata dan Wahab al-Asady telah berkata, ”Saya telah masuk Islam dan saya memiliki 9 istri. Lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi saw. Nabi telah bersabda, ”Pilihlah 4 dari 9 diantara mereka." (Diriwayatkan oleh Abu Dawud). Menurut hemat penulis 3 hadis di atas justru mengukuhkan bolehnya poligami dengan syarat maksimal 4 istri. Kalau Nabi saw. saja tidak berani menyalahi al-Qur’an yang membolehkan kawin lebih dari satu sampai 4 istri walaupun dengan syarat yang ketat, mengapa para cendikiawan sekarang berani mendahului Nabi yang melarang poligami. Hal ini bertentangan dengan firman Allah 335 Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid al-Quzweni, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abdu alBâqi, Sunan Ibnu Majah, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid I, h. 628, No. 1952 336 Sulaiman Bin al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistani al Azadi, ditahqiq oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Sunan Abu Dawud, (Bairut : Dâr al-Fikr, t.th.), Jilid II, h. 272, No. 2241 272 ﻀِﻜﹸﻢﻌﺮِ ﺑﻬﻝِ ﻛﹶﺠ ﺑِﺎﻟﹾﻘﹶﻮﻭﺍ ﻟﹶﻪﺮﻬﺠﻟﹶﺎ ﺗ ﻭﺒِﻲﺕِ ﺍﻟﻨﻮ ﺻﻕ ﻓﹶﻮﻜﹸﻢﺍﺗﻮﻮﺍ ﺃﹶﺻﻓﹶﻌﺮﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﺗﻨ ﺀَﺍﻣﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦﻬﺎﹶﻳﻳ ( ٢: ٤٩\)ﺍﳊﺠﺮﺍﺕ. ﻭﻥﹶﺮﻌﺸ ﻟﹶﺎ ﺗﻢﺘﺃﹶﻧ ﻭﺎﻟﹸﻜﹸﻢﻤﻂﹶ ﺃﹶﻋﺒﺤﺾٍ ﺃﹶﻥﹾ ﺗﻌﻟِﺒ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (Q.S. al-Hujurât/49: 2) Sedangkan poligami yang dilakukan oleh Rasulullah tidak harus diteladani baik jumlahnya maupun orang yang akan dijadikan istri kedua, ketiga, dan kempat, karena hal tersebut merupakan kekhushusan Rasulullah sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an ﻪ ﺎ ﺃﹶﻓﹶﺎﺀَ ﺍﻟﻠﱠ ﻣِﻤﻚﻤِﻴﻨ ﻳﻠﹶﻜﹶﺖﺎ ﻣﻣ ﻭﻦﻫﻮﺭ ﺃﹸﺟﺖﻴ ﺍﻟﻠﱠﺎﺗِﻲ ﺀَﺍﺗﻚﺍﺟﻭ ﺃﹶﺯﺎ ﻟﹶﻚﻠﹶﻠﹾﻨﺎ ﺃﹶﺣ ﺇِﻧﺒِﻲﺎ ﺍﻟﻨﻬﺎﹶﻳﻳ ﺃﹶﺓﹰﺮﺍﻣ ﻭﻚﻌﻥﹶ ﻣﺮﺎﺟ ﺍﻟﻠﱠﺎﺗِﻲ ﻫﺎﻟﹶﺎﺗِﻚﺎﺕِ ﺧﻨﺑ ﻭﺎﻟِﻚﺎﺕِ ﺧﻨﺑ ﻭﺎﺗِﻚﻤﺎﺕِ ﻋﻨﺑ ﻭﻚﻤﺎﺕِ ﻋﻨﺑ ﻭﻚﻠﹶﻴﻋ ﺪ ﻗﹶﻣِﻨِﲔﺆﻭﻥِ ﺍﻟﹾﻤ ﺩ ﻣِﻦﺔﹰ ﻟﹶﻚﺎﻟِﺼﺎ ﺧﻬﻜِﺤﻨﺘﺴ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﺒِﻲ ﺍﻟﻨﺍﺩ ﺇِﻥﹾ ﺃﹶﺭﺒِﻲﺎ ﻟِﻠﻨﻬﻔﹾﺴ ﻧﺖﺒﻫﺔﹰ ﺇِﻥﹾ ﻭﻣِﻨﺆﻣ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﺝﺮ ﺣﻚﻠﹶﻴﻜﹸﻮﻥﹶ ﻋﻠﹶﺎ ﻳ ﻟِﻜﹶﻴﻢﻬﺎﻧﻤ ﺃﹶﻳﻠﹶﻜﹶﺖﺎ ﻣﻣ ﻭﺍﺟِﻬِﻢﻭ ﻓِﻲ ﺃﹶﺯﻬِﻢﻠﹶﻴﺎ ﻋﻨﺿﺎ ﻓﹶﺮﺎ ﻣﻨﻠِﻤﻋ ( ٥٠ : ٣٣\ )ﺍﻻﺣﺰﺍﺏ. ﺎﺣِﻴﻤﺍ ﺭﻏﹶﻔﹸﻮﺭ Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara lakilaki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Ahzab/33: 50) Hal ini diungkap oleh Muhammad Quraish Shihab yang menjelaskan bahwa, ”Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasul saw. kawin lebih dari satu, dan perkawinan semacam itu hendaknya diteladani, karena tidak semua apa 273 yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya." (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol.2, h.326). 337 Sedangkan untuk umatnya maksimal hanya 4 istri sebagaimana hadis yang dikutip oleh Abdullah Nashih Ulwan 338 yaitu: ﻭﺣﺪﺛﲎ ﳛﲕ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﺑﻠﻐﲎ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ-١ ﻗﺎﻝ ﻟﺮﺟﻞ ﻣﻦ ﺛﻘﻴﻒ ﺍﺳﻠﻢ ﻭ ﻋﻨﺪﻩ ﻋﺸﺮ ﻧﺴﻮﺓ ﺣﲔ ﺍﺳﻠﻢ ﺍﻟﺜﻘﻔﻰ ﺍﻣﺴﻚ ﻣﻨﻬﻦ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﻭ ٣٣٩ ﻓﺎﺭﻕ ﺳﺎﺋﺮﻫﻦ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺎﻟﻚ Yahya telah menceritakan kepada saya dari Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa dia telah berkata, telah sampai berita kepada saya, bahwsa Rasulullah saw. telah bersabda kepada seorang laki-laki bernama Ghailan al-Tsaqafi dari Tsaqif, dia masuk Islam dan memiliki 10 istri, ketika Ghailan al-Tsaqafi masuk islam Rasulullah memerintahkan pegang 4 istri dan selainnya ceraikan (H.R.Imam Malik). ﺣﺪﺛﻨﺎﺍﲪﺪ ﺑﻦ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﺪﻭﻗﻰ ﺣﺪﺛﻨﺎﻫﺸﻴﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﰉ ﻟﻴﻠﻰ ﻋﻦ ﲪﻴﻀﺔ ﺑﻨﺖ ﺍﻟﺸﻤﺮﺩﻝ-٢ ﻋﻦ ﻗﻴﺲ ﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻗﺎﻝ ﺍﺳﻠﻤﺖ ﻭﻋﻨﺪﻯ ﲦﺎﻥ ﻧﺴﻮﺓ ﻓﺎﺗﻴﺖ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ٣٤٠ ﻓﻘﻠﺖ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﺧﺘﺮ ﻣﻨﻬﻦ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ Artinya: Ahmad Bin Ibrahim al-Durqi menceritakan kepada kami, Hasyim menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Laila dari Humaidhah Binti al-Symardal dari Qais Bin al-Harits telah berkata, ”Saya telah masuk Islam dan memiliki 8 istri, lalu saya datang 337 Bukankah Rasul saw. antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna menyukseskan misinya? Atau apakah mereka yang menyatakan itu benar-benar ingin meneladani Rasul dalam perkawinannya? Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadar bahwa semua perempuan yang beliau kawini, kecuali Aisyah r.a., adalah janda-janda, dan kesemuanya untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan para perempuan yang kehilangan suami itu, yang pada umumnya bukanlah perempuan-perempuan yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat. 338 Abdullah Nashih Ulwan, Ta ’addud al-Zaujât Fî al-Islâm, (selanjutnya tertulis Ta ’addud al-Zaujât) (Saudi Arabia: Dâr al-Salâm, 1984) Cet.II, h. 42 339 Malik Bin Anas Abu Abdillah al-Ashbahi ditahqiq oleh Fuad Abdu al-Bâqi, Muwatha Imam Malik, (Mesir : Dâr Ihya al-Tutrâts, t.th. ), Jilid II, h. 586, No. 1218 340 Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid al-Quzweni, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abdu alBâqi, Sunan Ibnu Majah, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid I, h. 628, No. 1952 274 kepada Nabi saw. Lalu saya katakan hal itu kepada Nabi. Lalu Nabi mengatakan, ”Pilihlah 4 diantara 8 dari mereka. (H.R.Ibnu Majah). ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﻫﻨﺎﺩ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﻩ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﰊ ﻋﺮﺑﺔ ﻋﻦ ﻣﻌﻤﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻫﺮﻯ ﻋﻦ ﺳﺎﱂ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ-٣ ﺍﷲ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻏﻤﺮ ﺍﻥ ﻏﻴﻼﻥ ﺑﻦ ﺳﻠﻤﺔ ﺍﻟﺜﻘﻔﻰ ﺍﺳﻠﻢ ﻭﻟﻪ ﻋﺸﺮ ﻧﺴﻮﺓ ﰱ ﺍﳉﺎﻫﻠﻴﺔ ﻓﺎﺳﻠﻤﻦ ٣٤١ ﻣﻌﻪ ﻓﺎﻣﺮﻩ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﻳﺘﺨﲑ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﻣﻨﻬﻦ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ Artinya: Hunad menceritakan kepada kami, Abduh menceritakan kepada kami dari Said Bin Abi Urwah dari Ma’mar, dari al-Zuhri, dari Salim Bin Abdullah dari Ibnu Ghamar, bahwa Ghailan Bin Salmah al-Tsaqafi masuk Islam dan ia memiliki 10 istri pada masa Jahiliyah, mereka masuk Islam bersama dia. Lalu Nabi saw. memerintahkan Ghailan untuk memilih 4 dari 10 diantara mereka. (Diriwayatkan oleh al-Turmudzi). Poligami dipersyaratkan harus adil, namun yang dimaksud adil oleh Nashih Ulwan adalah bahwa, "Para ulama telah sepakat, mendukung penafsiran Rasul dan perbuatannya yang menyatakan bahwa, ”Maksud adil yang dipersyaratkan adalah adil dari segi materi, seperti tempat tinggal, pakaian, makanan, minuman, dan giliran. Semua itu memungkinkan untuk direalisasikannya, karena masuk dalam jangkauan manusia."342 Sedangkan adil dalam masalah cinta (kecenderungan) di antara para istri di luar jangkauan kemampuan manusia. Sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129. Ayat ini menjelaskan bahwa, seorang suami tidak boleh sangat cenderung kepada salah satu istri lalu mengabaikan istri yang lain dalam masalah materi. Hal ini dapat dipahami oleh Nabi ketika menafsirkan ayat yang berbunyi ﻭﻟﻦ ﺗﺴﺘﻄﻴﻌﻮﺍ ﺍﻥ ﺗﻌﺪﻟﻮﺍ ﺑﲔ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻭﻟﻮ ... ﺣﺮﺻﺘﻢkalian tidak akan dapat berlaku adil diantara para istri, sekalipun kalian sudah berusaha semaksimal mungkin dalam masalah cinta yang berada dalam lubuk hati. Manusia tidak akan dapat berlaku adil dalam masalah cinta 341 Muhammad Bin Isa Abu Isa al-Turmudzi, Ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir , Sunan al-Turmudzi, (Bairut : Dâr Ihya al-Turâts, t.th.), Jilid III, h. 435 No. 1128 342 Abdullah Nashih Ulwan, Ta ’addud al-Zaujât …, h. 45 275 walaupun sudah berusaha semaksimal mungkin, karena di luar kemampuan manusia. Namun demikian walaupun cinta Nabi pada Aisyah r.a. melebihi cintanya dari istri-istri yang lainnya, namun Nabi saw. tetap berlaku adil diantara para istrinya dalam masalah materi. Beliau bersabda: ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻫﺬﺍﻗﺴﻤﻰ ﻓﻴﻤﺎﺍﻣﻠﻚ ﻓﻼ ﺗﺆﺍﺧﺬ ﱏ ﻓﻴﻤﺎﻻﺍﻣﻠﻚ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﰲ ﺻﺤﻴﺤﻪartinya, "Ya Allah ini adalah bagian (keadilan) yang berada dalam kemampuanku. Maka janganlah tuntut aku menyangkut (keadilan cinta) yang berada di luar kemampuanku."343 Para ahli fikih mendefinisikan adil terhadap istri beragam. Arij Abdurrahman as-Sanan mengutip beberapa pendapat ahli fikih antara lain: a. Al-Kasani (Ulama Mazhab Hanafi) menyatakan bahwa, ”Adil terhadap para istri adalah menyamakan para istri dalam semua hak-hak mereka, seperrti menggilir, nafkah, dan sandang.” b. Ibnu Abidin (Mazhab Hanafi) menambahkan definisi Al-Kasani. ”Adil terhadap para istri ialah tidak zalim (berat sebelah) dalam menggilir, pangan, sandang, dan keikutsertaan mereka ketika bepergian.” c. Al-Qurthubi (Mazhab Maliki) dalam bukunya al-Jami mengatakan menjelaskan bahwa,”Adil terhadap para istri adalah menyamakan mereka dalam menggilir dan menafkahi mereka.”344 Kemudian Arij juga mengutip dalam kitab al-Fatawa al-Hidayah yang menyebutkan bahwa, ”Keadilan dan perlakuan sama seorang suami kepada para istrinya dalam hal-hal yang sanggup dilakukannya, yaitu menginap, kebersamaan, dan kedekatan. Bukan dalam hal yang tidak sanggup ia lakukan seperti rasa cinta dan hubungan seksual.”345 343 Abdullah Nashih Ulwan, Ta ’addud al-Zaujât …, h. 45 Arij Abdurrahman As-Sanan, Keadilan Dalam Poligami…, h. 42 345 Arij Abdurrahman As-Sanan, Keadilan Dalam Poligami…, h. 45 344 276 Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa adil yang dimaksud adalah dalam hal yang dapat diukur dan dilakukan oleh suami secara manusiawi, seperti nafkah, giliran, sandang, dan tempat tinggal. Sedangkan cinta, jumlah hubungan seksual, jumlah ciuman dan sejenisnya yang sulit diukur dan dilaksanakan suami tidak diwajibkan harus adil. Sumbangan Islam yang paling berharga terhadap kaum perempuan adalah menganjurkan agar hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan hubungan yang terhormat dalam kerangka hubungan suami-istri yang disahkan dalam ikatan suatu pernikahan. Islam melarang keras seorang suami yang melakukan hubungan gelap, sebab hal itu sama saja dengan merendahkan perempuan. Akan tetapi, Islam memperkenankan seorang suami untuk melakukan poligami, dengan syarat harus bertanggung jawab dan bersikap adil terhadap anak dan istrinya. Dengan demikian kedudukan perempuan akan tetap terjaga dari kerendahan harkat dan martabatnya. Kemuliaan lainnya yang ditunjukkan di dalam Islam ialah hak perempuan dalam menentukan mahar ketika hendak dinikahi oleh seorang lelaki.346 Islam memperlakukan perempuan sesuai dengan keperempuannya yang halus, lembut, dan manja sebagaimana halnya Islam juga memperlakukan lakilaki sesuai dengan kejantanannya. Islam juga memperlakukan agar perempuan tidak mengubah diri menjadi laki-laki, atau laki-laki tidak mengubah diri menjadi perempuan, baik secara fisik maupun secara psikis yang diwujudkan melalui prilaku. Islam mengharamkan perempuan memamerkan bagian-bagian tubuhnya yang dinyatakan sebagai aurat atau melakukan maksiat dengan cara lesbian atau menjadi seorang pelacur.347 346 347 Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 35 Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 36 277 Poligami disyariatkan dengan maksud demi kemaslahatan pihak istri, suami, anak-anak, dan bahkan masyarakat secara keseluruhan. Kedudukan hukumnya di dalam ajaran Islam bersifat mubah, artinya diperbolehkan. Namun kenyataannya—diakui atau tidak—aturan poligami ini sering dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan, sebab sering dimanfaatkan oleh kaum laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, Islam memberi syaratsyarat tertentu bagi suami yang hendak melakukan poligami. Islam mensyariatkan bahwa suami harus mampu berlaku adil dan tidak ada kekhawatiran akan berlaku aniaya terhadap istri-istrinya kelak. Sebaliknya, jika dikhawatirkan suami akan berlaku tidak adil, maka poligami tidak diperkenankan.348 Kini timbul pertanyaan, manakah yang lebih baik antara mengharamkan poligami yang berarti membuka celah-celah untuk melakukan perzinaan, hubungan gelap, kumpul kebo, atau memperbolehkan poligami yang berfungsi sebagai langkah preventif terhadap tindakan amoral.349 Bahkan jika di suatu negara yang perempuannya lebih banyak dari lakilaki, maka menurut hemat penulis lebih baik dianjurkan kepada kaum lelaki untuk berpoligami, untuk memberi kesempatan para perempuan menikah, sebab bila tidak diberi jalan keluar dikhawatirkan akan terjadi kasus perzinahan dan kerusakan moral di kalangan masyarakat. Akhirnya ada pertanyaan, mengapa Islam membenarkan lelaki menghimpun dalam saat yang sama empat orang istri, sedang perempuan tidak diperbolehkan? Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa, ”Dalam masyarakat Jahiliyah di Jazirah Arab, dahulu dikenal juga apa yang dinamai 348 349 Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 51 Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 53 278 Nikah al-Istibdha. Dalam Nikah al-Istibdha seorang suami membiarkan istrinya digauli—untuk masa tertentu—oleh seorang lelaki, dengan harapan memperoleh keturunan yang berkualitas melalui lelaki pilihannya. Begitu istrinya hamil, hubungan tersebut segera dihentikan.350 Bentuk poliandri yang lain adalah “percampuran” seorang perempuan dengan sekelompok lelaki (tidak lebih dari sepuluh orang), lalu apabila dia melahirkan, perempuan itu menunjuk salah seorang dari anggota kelompok yang menggaulinya untuk dijadikan sebagai ayah dari anaknya, dan yang bersangkutan tidak dapat mengelak dari tanggung jawabnya sebagai ayah.351 Namun hal itu ahirnya ditinggalkan orang, karena poliandri bertentangan dengan kodrat lelaki dan perempuan sekaligus, serta karena kekaburan status anak yang lahir. (Lebih lanjut baca buku karya Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, halaman 182).352 Mengapa negara-negara yang membolehkan prostitusi, melakukan pemeriksaan kesehatan rutin bagi perempuan-perempuan yang berperilaku seks bebas, dan tidak melakukannya bagi pasangan yang sah? Ini karena kenyataan menunjukkan bahwa perempuan hanya diciptakan untuk disentuh oleh cairan yang bersih, yakni sperma satu orang lelaki. Begitu terlibat dua laki-laki dalam hubungan seksual dengan seorang perempuan. Ketika itu pula cairan yang merupakan benih anak itu tidak bersih lagi, dan sangat dihawatirkan 350 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 181 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 181 352 Manusia mendambakan anak yang jelas statusnya, sedang poliandri tidak menjamin kejelasan itu. Seorang perempuan jika telah dibuahi oleh seorang lelaki, ia tidak dapat lagi dibuahi oleh lelaki lain selama buah berada dalam kandungannya. Ini berbeda dengan lelaki yang dapat membuahi sekian banyak perempuan. Nah, jika poliandri dibenarkan, bagaimana diketahui ayah anak itu? Terlalu panjang jalan jika harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Kalaupun itu mungkin, pertanyaan lain yang muncul adalah siapakah yang menjadi kepala rumah tangga? Dan mereka harus bergiliran dalam hubungan seks. Binatang saja enggan bergiliran, apalagi manusia. Binatang saja memiliki kehormatan dan kecemburuan apalagi manusia terhormat. 351 279 menjangkitkan penyakit. Kenyataan ini menjadi bukti yang sangat jelas menyangkut hal ini.353 Poligami boleh jadi dinilai sebagai keistimewaan bagi lelaki, adapun poliandri, sedikit atau banyak tidak dapat dinilai sebagai keistimewaan perempuan, karena lelaki cenderung menginginkan jasad perempuan, sedang perempuan mendambakan hati lelaki. (Untuk lebih jelasnya lihat buku karya Muhammad Quraish Shihab yang berjudul, Perempuan, halaman 183).354 Pada ahirnya kita dapat berkata bahwa poliandri merugikan, bukan saja lelaki tetapi juga perempuan. Sedang poligami tidak mutlak merugikan lelakiselama dia mampu memenuhi syarat-syaratnya—dan tidak juga merugikan perempuan, baik secara individu lebih-lebih perempuan secara kolektif. Secara individu— antara lain—pada saat istri tidak dapat melaksanakan fungsinya— ketika itu ia lebih baik dimadu daripada dicerai—dan secara kolektif seandainya jumlah perempuan lebih banyak daripada lelaki.355 Sedangkan dalil disyariatkannya poligami, yaitu al-Qur'an Surat alNisâ’/4 ayat 3, banyak hadis Nabi sebagaimana yang disebutkan di atas dan juga ijma ulama, sebagaimana Arij Abdurrahman as-Sanan yang mengutip kitab Ahkam al-Syar’iyah fi Ahwal al-Syakhsyiah karya Umar Abdullah 353 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 183 Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Murtadho Muthahhari dalam bukunya Nizham Huquq al-Mar ’ah yang menjelaskan bahwa, ”Banyak lelaki apabila telah menguasai jasad perempuan, tidak terlalu membutuhkan hatinya, karena itu dalam berpoligami seorang suami sering kali tidak memperdulikan hati istrinya yang lain, sedang perempuan sebaliknya. Memang ada dua unsur utama pernikahan, jasmani dan rohani. Yang jasmani tercermin dalam dorongan seksual yang meluap pada masa muda, dan berangsur menurun menjelang tua, sedang unsur rohani tercermin dalam perasaan cinta dan kasih sayang yang mestinya dari hari ke hari menguat dan menguat. Nah, salah satu perbedaan antara lelaki dan perempuan adalah lelaki biasanya memperhatikan unsur jasmani atau paling tidak seimbang—pada masa mudanya—antara unsur jasmani dan rohani itu, sedang perempuan selalu mementingkan unsur rohani, cinta, dan kasih sayang. Itu pula sebabnya ada sekian banyak perempuan dewasa ini yang rela membiarkan suaminya “melacur” asal dia jangan dimadu, karena dimadu dapat menjadi bukti pudar atau berkurangnya cinta. 355 Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 185 354 280 menyatakan, ”Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa Rasulullah saw sampai hari ini. Seperti para Sahabat utama Nabi melakukan poligami antara lain Umar Bin Khatthab, Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah Bin Abi Sufyan, dan Mu’az Bin Jabal radiyallah anhum. Poligami juga dilakukan oleh para ahli fikih tabiin (generasi pasca sahabat Nabi), dan lain-lain yang terbilang tidak banyak. Mereka mengakui orang yang menikah lebih dari satu istri. Kesimpulannya bahwa generasi salaf (terdahulu) dan khallaf (sekarang) dari ummat Islam telah bersepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.356 Zakiah Daradjat ketika diwawancarai Masdar F. Mas’udi mengatakan, Pada prinsipnya, seharusnya tidak ada seorang pun yang melakukan poligami. Akan tetapi ada pengecualian bagi mereka yang karena istrinya mempunyai kelemahan tertentu atau disebabkan oleh kondisi yang sangat mendesak. Untuk masalah-masalah tertentu terbuka pintu bagi mereka. Akan tetapi ini hanya merupakan sesuatu kasus force majure. Observasi saya sebagai seorang psikoterapis menunjukkan bahwa memang terdapat banyak lelaki yang mempunyai libido tertentu yang sangat tinggi dan banyak pula lelaki yang normal. Laki-laki yang berlobido tinggi ini disebut sebagai hyper dan sering kali istrinya tidak mampu memuaskan mereka. Karena itu, Islam membuka sedikit pintu, hanya sebesar lubang jarum jahit. Bisa juga apabila istrinya sakit atau tidak dapat sepenuhnya melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Islam sangat keras dalam membahas hal ini. Perempuan harus memberikan izin bagi suaminya dalam kasus-kasus tertentu. Misalnya saya mengenal seorang perempuan yang meminta suaminya menikah lagi karena dia tidak dapat memuaskan kebutuhan suaminya sendirian. Dia mencarikan istri kedua untuk suaminya dengan sepenuh hati, karena dia merasa takut bahwa suaminya akan melakukan perbuatan zina.357 356 357 240 Arij Abdurrahman As-Sanan, Keadilan Dalam Poligami…, h. 29 Abdurahman Wahid, at. al., Menakar Harga Perempuan, (Bandung: Mizan, 1999), h. 281 Zakiyah Daradjat pada prinsipnya mengakui kebolehan poligami menurut Islam, bahkan dia menganjurkan untuk orang-orang tertentu sebagaimana yang dialami oleh beberapa pasiennya. Sementara Amina Wadud sejalan dengan Muhammad Shahrur, dia mengatakan, Akhirnya, tentang tiga pembenaran umum terhadap poligami, tidak ada persetujuan langsung dalam al-Qur’an. Pertama adalah finansial, dalam konteks masalah ekonomi seperti pengangguran, seorang laki-laki yang mampu secara finansial hendaknya mengurus lebih dari satu istri. Lagilagi, pola pikir ini mengasumsikan bahwa semua perempuan adalah beban finansial, pelaku reproduksi, tapi bukan produsen. Di dunia zaman sekarang banyak perempuan yang tidak memiliki maupun membutuhkan sokongan laki-laki… Poligami bukan solusi yang sederhana untuk masalah perekonomian yang kompleks. 358 Kemudian dasar pemikiran lain untuk berpoligami difokuskan pada perempuan yang tidak dapat mempunyai anak. Lagi lagi, tidak ada penjelasan tentang hal ini sebagai alasan untuk berpoligami dalam al-Qur’an. Namun demikian, keinginan untuk mempunyai anak memang alami. Jadi kemandulan laki-laki dan kemandulan istri seharusnya tidak meniadakan kesempatan bagi salah satunya untuk menikah, maupun mengurus dan mendidik anak. Apakah solusi yang mungkin untuk keduanya bila istri atau suami steril sehingga pasangan itu tidak dapat mempunyai anak? Lalu dia menawarkan untuk mengambil anak yatim Muslim maupun non-Muslim di negara yang terjadi perang. 359 Akhirnya alasan ketiga untuk berpoligami selain tidak mempunyai sandaran dalam al-Qur’an, juga jelas jelas tidak Qur’ani karena berusaha untuk menyetujui nafsu laki-laki yang tidak terkendali, yakni jika kebutuhan seksual 358 359 Amina Wadud, Qur ’an Menurut Perempuan…,h. 150 Amina Wadud, Qur ’an Menurut Perempuan…,h. 151 282 seorang laki-laki tidak dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus mempunyai dua. Barangkali, jika nafsunya lebih besar daripada dua, maka dia harus mempunyai tiga, dan terus sampai dia mempunyai empat. Baru setelah empat, prinsip al-Qur’an tentang pengendalian diri, kesederhanaan, dan kesetiaan akhirnya dijalankan. Karena pada awalnya istri disyaratkan untuk mengendalikan diri dan setia, kebijakan moral ini juga penting untuk suami. 360 Dengan demikian ada tiga faktor yang memang tidak tercantum dalam al-Qur’an sebagai alasan bolehnya berpoligami, seperti dapat membantu perempuan dari segi finansial, jika istri mandul, atau karena nafsu seks suami lebih besar sehingga istri kewalahan jika ditanggung sendirian. Hal ini memang tidak diungkap dalam al-Qur’an, namun kenyataan itu telah dialami oleh suami istri, sehingga mendesak untuk melakukan poligami. Sebenarnya tiga hal ini hanya merupakan sebagian hikmah dibolehkannya poligami, bukan syarat kebolehan poligami yang ditentukan Allah. Lembaga Darut Tauhid menyatakan bahwa hasil penelitian para ilmuwan menunjukkan bahwa jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki di dunia ini. Peperangan dan permusuhan antara umat manusia meninggalkan sejumlah besar kaum perempuan, sehingga melebihi jumlah kaum laki-laki. Disebutkan pula bahwa sejumlah perempuan ada yang mandul dan tidak diminati oleh seorangpun, atau boleh jadi sebagian istri mengidap penyakit yang menghalangi sang suami untuk menyalurkan nafsu seksualnya. Atau dapat juga terjadi ada sebagian perempuan yang belum ingin melakukan hubungan seksual bersama suaminya. Kondisi seperti itu, tidak mungkin diselamatkan kecuali dengan melaksanakan poligami. Jadi poligami adalah 360 Amina Wadud, Qur ’an Menurut Perempuan…, h. 151 283 satu-satunya solusi yang benar dan paling selamat untuk menghindarkan jatuhnya kaum laki-laki dan perempuan dalam perzinaan, pelacuran, penindasan seksual, dan perbuatan haram. Secara realistis, masyarakat yang tidak mempercayai peranan poligami, dan malah melakukan kebebasan dan kehancuran moral, seperti masyarakat Eropa, Amerika, Rusia, atau lainnya, akan dilanda perzinahan dan pelacuran yang menurut mereka merupakan perbuatan yang biasa dan dianggap sebagai suatu tradisi. Dari kenyataan di atas, jelaslah bahwa Islam telah mengangkat perempuan setinggi- tingginya.361 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa poligami menurut pandangan Islam hukumnya mubah artinya tidak dianjurkan dan tidak ditutup rapat, tapi hanya sekedar pintu darurat yang hanya dapat dibuka pada saat dibutuhkan dengan syarat yang ketat dan tidak boleh melebihi dari 4 istri . Dalam masalah poligami, Muhammad Quraish Shihab menggunakan instrumen ﺍﻟﻌﱪﺓ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐkarena ayat itu berlaku secara umum, tidak hanya bagi seorang suami yang ditinggalkan istrinya dan juga tidak harus dengan janda yang memiliki anak yatim. Kemudian dapat dilihat pula ketika dia menjelaskan ayat perbudakan, dia tidak setuju jika ayat tentang perbudakan tidak berlaku sama sekali. Yang benar adalah pada saat tertentu ayat perbudakan memang tidak relevan, tapi mungkin saja pada abad mendatang pada saat kondisi sama seperti ayat perbudakan turun, maka ayat perbudakan dapat dijadikan pedoman sebagai pelaksanaan hukum. Muhammad Quraish Shihab—untuk menghindari penafsiran ayat alQur’an secara parsial—dia menggunakan metode munasabah ayat. Misalnya masalah poligami dia mengkaitkan antara al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 3 361 1990), h. 159 Lembaga Darut Tauhid, Kiprah Muslimah Dalam Keluarga Islam, (Bandung: Mizan, 284 dengan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129. Quraish Shihab juga tidak mengakui adanya ayat-ayat bias jender, tetapi mengakui adanya para mufasir yang dalam menerjemahkan ayat-ayat menunjukkan adanya bias jender, baik mufasir klasik maupun kontemporer. Dalam penerjemahan dan penafsirannya ulama klasik berpegang teguh pada teks. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penafsiran Muhammad Quraish Shihab. Hanya saja Muhammad Quraish Shihab memperhatikan kondisi sekarang. Adapun para pakar kontemporer, dalam penerjamahan dan penafsirannya pada umumnya berangkat dari realita sosial masyarkat, atau yang biasa disebut dengan kontekstual, atau yang biasa dikenal dengan ﺍﻟﻌﱪﺓ ( ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﻻ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆayat al-qur’an itu harus dilihat kontek turunnya ayat, bukan dilihat dari umumnya lafazh atau teks lafazhnya) Karena perbedaan instrumen, maka akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, yang satu berangkat dari teks yang suci, lalu mencari pembenaran, sedangkan yang lain, berangkat dari realita sosial masyarkat dan teks yang suci itu hanya sebagai pendukung. Menurut hemat penulis perbedaan penafsiran itu dapat ditolerir, selama tidak keluar dari ajaran dasar Islam, karena perbedaan itu merupakan keniscayaan karena disamping al-Qur’an itu masih global, juga banyak katakata yang terdapat dalam al-Qur’an mengandung makna yang beragam seperti kata qurû mengandung dua makna yaitu haid dan suci. Bila perbedaan itu masih bersifat individual seperti kunut dan tidak kunut dalam sholat subuh, tidak perlu ada campur tangan pemerintah, namun jika perbedaan itu menyangkut sosial masyarkat maka perlu ada campur tangan 285 pemerintah untuk menghilangkan perbedaan pendapat sesuai dengan tugas yang diamanatkan oleh Allah yaitu taat pada Allah, Rasul dan pemerintah (Q.S.al-Nisâ’/4:59) Permasalahan yang timbul di masyarakat, yaitu para pimpinan diluar pemerintah ikut campur pemerintah seperti kasus penetapan awal ramadhan dan satu sawal ummat Islam dibingungkan oleh para pimpinan diluar pemerintahan seperti pimpinan Muhammadiyah, NU dan lainnya, padahal kesemuanya itu hanya merupakan hukum fiqih (hasil ijtihad seseorang) yang kebenarannya relatif, maka ada Qâidah fiqhiyah yang dikutip oleh Ibrahim ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻻ ﻳﻨﻘﺾ ﺑﺎﻻﺟﺘﻬﺎﺩ Hosen artinya hasil ijtihad seseorang tidak dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad orang lain. 362 Namun ada kode etik para ulama mengenai hukum fiqih, yaitu harus ada campur tangan pemerintah jika menyangkut masalah masyarakat banyak karena ada kaidah fiqhiyah yang populer : ﺣﻜﻢ ﺍﳊﺎﻛﻢ ﺍﻟﺰﺍﻡ ﻭﻳﺮﻓﻊ ﺍﳋﻼﻑ Keputusan pemerintah/hakim mengikat dan dapat menghilangkan perbedaan pendapat. Semestinya para pimpinan kita harus arif agar ummat tidak menjadi bingung. Seperti halnya dalam masalah saksi perkawinan ada perselisihan diantara ulama fiqih, namun pemerintah mengambil pendapat bahwa saksi dalam perkawinan harus laki-laki sehingga tidak membingungkan dan berjalan dengan baik. Jika pemerintah tidak membuat Undang-Undang dalam hal saksi perkawinan harus laki-laki, tentu akan kacau tidak ada penyelesaian hukum, karena perbedaan pendapat tersebut. 362 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2003), Jilid I,h.8 dan lihat Muhammad Fauzi Faidhullah, al-Ijtihad Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (Kuwait: Maktabah Dâr alTurâts, 1984), h.100 286 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa Tafsir Al-Mishbah termasuk tafsir bi al-ra ’yi (menggunakan akal pikiran) karena di dalam Tafsir al-Mishbah digunakan argumen akal di samping hadis-hadis Nabi. Sedangkan metode yang digunakan Muhammad Quraish Shihab yaitu gabungan dari beberapa metode, seperti, tahlîli karena dia menafsirkan berdasarkan urutan ayat yang ada pada al-Qur’an, muqâran (komparatif) karena dia memaparkan berbagai pendapat orang lain, baik yang klasik maupun pendapat kontemporer dan semi maudhû’i karena dalam Tafsir al-Mishbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar, di samping menunjuk ayat-ayat lain yang berkaitan dengan ayat yang dibahas. Sedangkan corak tafsirnya yaitu sosial kemasyarkatan (adab ijtimâ ’i). 2. Instrumen yang digunakan Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam Tafsir al-Mishbah khususnya ayat-ayat yang bernuansa jender dimulai dari teks ayat lalu mencari pembenaran ayat dengan hadis dan berbagai ilmu lainnya yang berkaitan dengan ayat tersebut dengan ungkapan yang populer di kalangan mufassir yaitu, اﻟﻌﺒﺮة ﺑﻌﻤ ﻮم اﻟﻠﻔ ﻆ ﻻ ﺑﺨ ﺼﻮص اﻟ ﺴﺒﺐartinya bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu dilihat dari umumnya lafazh atau teks ayat, bukan dilihat dari sebab turun ayat atau konteksnya. 3. Perbedaan dan persamaan penafsiran ayat-ayat jender antara Muhammad Quraish Shihab dengan mufasir lainnya yaitu : ٢٨٨ 289 Pertama Pemahaman tentang jender, menurut Muhammad Quraish Shihab adalah seks (jenis kelamin). Dia berpijak dari sifat kelelakian dan keperempuanan. Dari perbedaan sifat tersebut muncul perbedaan peran dan status antara laki-laki dan perempuan dan pada akhirnya terjadi perbedaan hak dan kewajiban antara kaum laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodratnya masing-masing. Bias jender menurut Muhammad Quraish Shihab adalah memberi kepada seseorang melebihi kodratnya atau tidak memberi kepada seseorang sesuai kodratnya. Maka menyamakan perempuan secara penuh dengan lelaki, menjadikan mereka menyimpang dari kodratnya, dan ini adalah pelecehan terhadap perempuan atau disebut bias jender. Sedangkan menurut sebagian mufassir kontemporer, bahwa jender adalah interpretasi budaya dan sosial masyarakat terhadap perbedaan jenis kelamin. Kedua ,Bahwa Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ayat alQur’an cenderung tidak parsial, maka dia selalu menjelaskan munasabah ayat, karena menurutnya bahwa al-Qur’an harus dipandang secara utuh (tidak parsial), sedangkan sebahagian mufassir baik klasik maupun kontemporer menafsirkan ayat al-Qur’an secara parsial (tidak utuh) sehingga terjadi bias dalam penafsirannya. Ketiga, Muhammad Quraish Shihab cenderung bahwa semua ayat tetap berlaku sebagai payung hukum, kendati objek hukumnya sudah tidak ada. Namun tidak menutup kemungkinan, jika objek hukum tersebut muncul, maka ayat tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman pelaksanaan hukum. Sebagai contoh adalah ayat tentang perbudakan. 290 Secara resmi perbudakan tidak dikenal lagi oleh umat manusia dewasa ini. Namun demikian menurut Muhammad Quraish Shihab bukan berarti ayat perbudakan dinilai tidak relevan lagi, karena al-Qur’an tidak hanya diturunkan untuk putra-putri abad ini, tetapi ia diturunkan untuk umat manusia sejak abad VI hingga akhir zaman. Kita tidak tahu, kata Muhammad Quraish Shihab, perkembangan masyarakat pada abad-abad yang akan datang, boleh jadi mereka mengalami perkembangan yang belum dapat kita duga dewasa ini. Ayat-ayat ini atau jiwa petunjuknya dapat mereka jadikan rujukan dalam kehidupan mereka. Sedangkan menurut sebahagian mufassir kontemporer, bahwa bila ayat tidak sesuai dengan realitas sosial masyarakat, maka ayat itu dianggap tidak relevan dan tidak perlu diamalkan. Keempat, Muhammad Quraish Shihab memandang bahwa ayatayat al-Qur’an itu dibagi pada dua kategori yaitu zhanni dan qath’i, ayat-ayat pada kategori pertama boleh berbeda diantara para pakar, namun pada kategori kedua para pakar tidak boleh berbeda, dan jika berbeda dengan qath’i, menurutnya dapat dikategorikan kafir. Sedangkan sebahagian para pakar kontemporer berbeda dengan Muhammad Quraish Shihab, mereka memandang bahwa ayat-ayat alQur’an itu dibagi dua kategori yaitu aqîdah dan mu’âmalat. Ayat-ayat pada kategori pertama ulama tidak banyak menggunakan nalar akalnya, sedangkan pada ayat-ayat kategori kedua yaitu mu’âmalah, mereka dapat menggunakan nalar akalnya sekalipun harus bertentangan dengan teks ayat. 291 Konsekwensinya akan berbeda memandang Umar Bin Khaththab tidak menerapkan ayat qath’i, kelompok yang berpatokan qath’i dan zhanni, memandang Umar tidak melanggar ayat qath’i, tapi dikernakan obyek/wadah hukumnya yang tidak ada, sedangkan yang berpatokan aqîdah dan mu’âmalat, memandang Umar melanggar ayat qath’i, namun dibolehkan karena urusan mu’âmalat (sosial masyarakat). Untuk mengetahui lebih jelasnya, berikut akan disebutkan beberapa penafsiran Muhammad Quraish Shihab tentang ayat-ayat yang bernuansa jender. a. Penciptaan wanita Ketika Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ayat tentang penciptaan perempuan, dia cenderung pada penafsiran mufasir kontemporer sekalipun dia tidak menafikan hadis shahih seperti, hadis riwayat Turmudzi, Bukhari, dan Muslim tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk, dia cenderung untuk menafsirkannya secara metaforis. Bahkan dia cenderung untuk mengabaikan hadis shahih tersebut, dengan mengutip pendapat mufassir minoritas seperti Muhammad Abduh, al-Qasimi, dan Thabathaba’i yang memahaminya bahwa perempuan diciptakan dari spesies yang sama atau jenis yang sama. Kemudian dia juga mengutip pendapat Sayyid Muhammad Ridha yang menyatakan bahwa cerita itu datang dari Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22), bahkan kata Muhammad Rasyid Ridho, ”Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam dalam Perjanjian Lama tersebut, niscaya 292 pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim." Semestinya Muhammad Quraish Shihab menolak secara tegas hadis yang menyatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam dengan tiga alasan. Pertama, tidak ada hadis sahih yang menyandarkan kata ﺿﻠﻊkepada Adam secara langsung. Kedua, tidak ada satu hadis tentang penciptaan perempuan dengan menyebut kata Hawa, tapi semuanya menggunakan kata اﻟﻤﺮأة. Ketiga, hadis-hadis tentang penciptaan perempuan termasuk mukhtalaf al-hadîs karena banyak hadis sahih lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut menggunakan huruf tasybih (penyerupaan). Oleh karena itu penulis cenderung untuk mentarjih hadis-hadis tentang penciptaan perempuan, yakni perempuan tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan perempuan diciptakan bagaikan tulang rusuk. Artinya teks hadis yang menggunakan اﻟﻤﺮأة ﺧﻠﻘﺖ ﻣﻦ ﺿﻠﻊdianggap tidak ada. b. Kewarisan Ketika Muhammad Quraish Shihab menafsirkan masalah waris yang menyatakan bahwa seorang laki-laki berbanding dua orang perempuan, dia bersikukuh tidak bisa diartikan lain, dan orang yang menafsirkan lain dianggap mufassirnya yang bias. Karena menurut dia hal tersebut merupakan kehendak Allah yang tidak bisa ditawartawar. Alasannya karena laki-laki bila dia berumah tangga, maka dia 293 harus memberi nafkah anak dan istrinya disamping dirinya. Lakilaki juga harus membayar mahar kepada istrinya. Sedangkan perempuan jika dia berumah tangga, harta warisannya utuh, karena segala kehidupannya ditanggung oleh suaminya. Bahkan Muhammad Quraish Shihab tidak dapat menerima pendapat pemikir kontemporer yang mengatakan bahwa, "Ketetapan warisan, bukan ketetapan final, karena Allah telah berfirman dalam (Q.S.al-Mâidah/5:3). Namun Muhammad Quraish Shihab memberi solusi, bila orang tua khawatir kepada anak perempuannya dengan jalan menghibahkan sebagian hartanya kepada siapapun termasuk anak perempuannya selama masih sehat. Karena bila sakit-sakitan, dia hanya tinggal sepertiga dari hartanya untuk dihibahkan, bahkan jika sudah meninggal dunia, maka harta itu kembali kepada Allah untuk dibagi sesuai dengan aturan Allah dalam al-Qur’an. Perbedaan penerimaan waris menurut penulis tidak mengacu kepada jenis laki-laki dan perempuan, justru mengacu kepada perbedaan beban materi dan tanggung jawab bagi penerima waris. Seperti anak-anak lebih besar bagiannya dari kedua orang tuanya, karena kedua orang tua usianya sudah lanjut sehingga beban memberi nafkah akan beralih pada anak-anaknya yang sudah dewasa, atau karena anak itu masih kecil sehingga masih panjang beban hidupnya. Di samping perlu untuk membiayai perkawinan dia juga memerlukan biaya hidup di masa tuanya yang masih panjang.Untuk itu ayah dan ibu masing-masing keduanya hanya 294 mendapat 1/6 jika anaknya yang meninggal punya anak. Kenyataan ini dapat memperjelas, bahwa besar kecilnya bagian waris tidak didasarkan pada jenis kelaminnya, tapi dari segi beban tanggung jawab yang diembannya semasa hidupnya. c. Persaksian Ketika Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ayat persaksian dalam masalah transaksi utang piutang (bisnis), dia tetap memperlakukan dua orang laki-laki diseimbangkan dengan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Persoalan ini kata dia harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama perempuan dan fungsi utama yang dibebankan padanya. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut memberi perhatian utama dalam menyediakan kecukupan nafkah untuk anak-anak dan istrinya, sedangkan tugas utama perempuan atau istri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya, walaupun pembagian kerja tersebut katanya tidak ketat. Tampaknya Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya yang terbaru yang terbit Juli 2005 yang berjudul “Perempuan”, banyak mengalami kemajuan untuk berijtihad dibanding dengan karya-karya sebelumnya. Dia sudah mulai memasuki wilayah Ushul Fiqh karena menetapkan bahwa persoalan saksi berkaitan dengan ‘illat (motif penetapan hukum), maka bisa saja kini—kata Muhammad Quraish 295 Shihab—kesaksian seorang perempuan yang terlibat langsung dalam bidang keuangan, dinilai sama dengan kesaksian seorang lelaki. Hanya saja Muhammad Quraish Shihab masih mempertanyakan ‘illat tersebut, apakah ‘illat itu permanen atau tidak? Karena sebagaimana terlihat dalam (Q.S.Thâha/20 : 117) mengisyaratkan bahwa tugas pokok Adam selaku suami adalah memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedang tugas utama perempuan atau istri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. ‘illat semacam ini dianggap oleh sebahagian ulama merupakan ‘illat yang permanen yang tidak bisa diubah-ubah dalam kondisi apapun. Penulis tidak sependapat dengan Quraish Shihab tentang illat itu ada yang permanent atau tidak, karena illat itu harus permanent, yang tidak permanent itu adalah hikmah. Oleh karena itu penulis justru cenderung pada membedakan antara kata pendapat Muhammad Imarah yang ( اﻻﺷﻬﺎدmemberi kesaksian di luar pengadilan) dan kata ( اﻟﺸﻬﺎدةsaksi sebagai alat bukti di hadapan hakim di pengadilan), karena Al-Qur’an menghendaki dua orang saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, bukan berarti hakim tidak boleh memutuskan hukum dengan cara lebih sedikit dari yang ditetapkan, karena Rasulullah menerima kesaksian seorang Baduwi ketika melihat awal bulan Ramadhan dan Rasulullah juga menerima kesaksian seorang perempuan dalam masalah menyusui. Begitu juga Rasulullah menerima kesaksian seorang perempuan yang diperkosa, yang berarti Nabi menerima 296 kesaksian seorang perempuan sekalipun dalam masalah hudûd. Jadi saksi di hadapan Hakim di pengadilan tidak harus laki-laki dan tidak berdasarkan jumlah tertentu, tapi harus sesuai dengan profesionalisme saksi itu sendiri. d. Kepemimpinan Ketika Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ayat kepemimpinan, dia membedakan kepemimpinan rumah tangga dengan kepemimpinan masyarakat. Menurutnya kepemimpinan rumah tangga sudah ditetapkan Allah yaitu laki-laki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu keistimewaaan yang menunjang kepemimpinan dan disebabkan suami diwajibkan memberi nafkah. Pendapat Muhammad Quraish Shihab ini sejalan dengan para mufasir klasik sebelumnya. Sementara sebagian mufasir kontemporer menganggap ayat kepemimpinan ini bersifat kondisional dan merupakan cerminan dari masyarakat Arab ketika ayat tersebut diturunkan. Oleh karena itu ayat tersebut tidak mengikat kaum muslimin sepanjang masa dan di berbagai tempat pelosok dunia. Menurut Muhammad Quraish Shihab pendapat ini juga termasuk bias jender, karena menyalahi kehendak Allah swt. Namun Muhammad Quraish Shihab dalam buku terbarunya yang terbit bulan juli 2005 yang berjudul “Perempuan”lebih jelas menegaskan bahwa suami menjadi pemimpin di rumah tangga karena ada dua faktor, yaitu keistimewaan yang dimiliki suami untuk tugas kepemimpinan dan diwajibkannya suami untuk 297 memberi nafkah. Jika kedua hal tersebut tidak dimiliki suami, maka boleh saja kepemimpinan rumah tangga beralih pada istri. Jika suami tidak mampu memberi nafkah, namun tidak mengalami gangguan dari segi fisik seperti sakit-sakitan, maka istri belum berhak mengambil alih kepemimpinan suami. Sedangkan berkaitan dengan kepemimpinan di masyarakat, Muhammad Quraish Shihab tidak menggunakan (Q.S. al- Nisâ’/4:34), tetapi menggunakan (Q.S.al-Taubah/9 :71) yang intinya perempuan dapat melakukan pekerjaan apapun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan beliau. ”Harus diakui bahwa memang ulama dan pemikir masa lalu tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan kepala Negara. Tetapi hal ini lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, antara lain kondisi perempuan sendiri yang belum siap untuk menduduki jabatan. Jangankan kepala negara, menteri atau kepala daerah pun tidak. Perubahan fatwa dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi. Oleh karena itu tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis atau memimpin negara. Penulis justru cenderung pada pendapat Muhammad Imarah karena argumentasinya lebih kuat, dia mengatakan bahwa, ”Fikih moderent tidak membicarakan al-imâmah al-‘uzdmâ dan khilâfah alâmmah, karena hal itu sudah hilang sejak jatuhnya Khilafah Usmaniyah (1342 H./1924 M.) sampai sekarang. Kemudian 298 pemahaman al-wilâyah al-âmmah pada masa kita sekarang, sudah berubah dari ( ﺳﻠﻄﺎن اﻟﻔﺮدkekuasaan individu) kepada ﺳﻠﻄﺎن اﻟﻤﺆﺳﺴﺔ (kekuasaan kolektif) yang di dalamnya melibatkan semua yang memiliki kepemimpinan dan keahlian. Sedangkan seorang pemimpin hanya sekadar pelaksana undang-undang yang sudah dibuat oleh pemerintah secara kolektif. Dengan demikian kepala negara yang ada saat ini bagaikan boneka yang hanya merupakan simbul, karena semua keputusannya sudah diatur bersama. Jadi perempuan boleh menjadi hakim dan kepala negara bukan karena ada ayat al-Qur’an atau hadis, tapi karena ada perubahan sistem kenegaraan. e. Poligami Ketika Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ayat poligami, sikap dia cukup jelas, yaitu mubah (boleh) tapi tidak dianjurkan dan tidak boleh ditutup rapat. Ia hanya merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. Sebagian pakar jender kontemporer menjadikan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129 sebagai argumen untuk menolak poligami, sedangkan Muhammad Quraish Shihab justru mengkritik orang yang tidak merestui poligami dengan menggunakan ayat ini. Pendapat ini tidak dapat diterima, bukan saja karena Nabi saw. dan sekian banyak 299 sahabat beliau melakukan poligami, tapi juga karena ayat ini tidak berhenti di tempat para penganut pendapat ini berhenti, melainkan berlanjut dengan menyatakan karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai. Penggalan ayat ini menunjukkan kebolehan poligami walau keadilan mutlak dalam hal cinta tidak dapat diwujudkan. Kebolehan melakukan poligami selain berdasarkan ayat alQur’an dan hadis Nabi saw., juga berdasarkan ijma kaum muslimin baik melalui ucapan, juga perbuatan sejak masa Rasulullah saw. sampai hari ini. Nabi sendiri mempunyai istri sebanyak sembilan. Sahabat utama Nabi saw. Juga melakukan poligami, seperti Umar Bin Khaththab, Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah Bin Abi Sufyan, dan Mu’az Bin Jabal. Untuk lebih jelasnya penulis memetakan penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat-ayat yang bernuansa jender antara lain : Ayat Jender Zhanni Penciptaan V Qath’i Tekstual Kontekstual V Wanita Kewarisan V V V V Kepemimpinan Rumah tangga Masyarakat V V 300 Poligami Kesaksian V V V V Dari pemetaan penafsiran ayat-ayat jender Muhammad Quraish Shihab diatas, penulis dapat menyimpulkan, bahwa ukuran qath’i Muhammad Quraish Shihab, tidak sama dengan para mufassir umumnya, karena menurut Muhammad Quraish Shihab, ayat-ayat qath’i itu adalah ayat yang didukung oleh ayat lain yang maknanya sama dan tidak saling bertentangan. Sedangkan para ulama pada umumnya dalam masalah ayat-ayat qath’i sudah diketahui sejak awal sekalipun tidak didukung oleh ayat lain, sehingga kelihatannya dalam pemetaan diatas Muhammad Quraish Shihab tidak konsisten. B. Saran-saran Berdasarkan kajian dan temuan dari penelitian ini, perlu disampaikan beberapa saran yang berkaitan dengan penulisan disertasi ini yaitu: 1. Tafsir al-Mishbah tampaknya ingin mengembalikan penafsiran al-Qur’an kepada teks aslinya. Untuk itu bila ada ayat al-Qur’an yang tampaknya tidak relevan dengan kondisi sosial masyarkat, tidak lalu terburu-buru menganggap ayat al-Qur’an sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, tapi harus dicari ayat lain yang terdapat dalam al-Qur’an, sehingga penafsiran ayat al-Qur’an tidak parsial. 2. Mengingat objek yang dikaji adalah al-Qur’an, maka ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an harus menggunakan metode tafsir. Metode yang lain bisa digunakan sebagai pendukung, bukan sebagai pokok. 301 3. Mengingat perkembangan zaman yang sangat cepat, maka perlu meninjau kembali penafsiran al-Qur’an klasik, kepada penafsiran modern dengan syarat tidak keluar dari ajaran dasar al-Qur’an itu sendiri. Tulisan ini baru merupakan penelitian awal, tentu banyak kekurangan dan kekhilafan, untuk itu kritikan dan masukan yang konstruktif dari para pembaca sangat dibutuhkan untuk lebih mendekati kepada kebenaran yang hakiki (kehendak Allah). 302 DAFTAR PUSTAKA Abdu al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu'jam al-Mufahrasy Lialfâdh al-Qur'an al-Karîm, Cairo: Dâr al-Hadîts, 1986 Abu Zaid, Nashar Hamid, Al-Ittijâh al-Aqli fî al-Tafsîr, Bairut: Dâr al-Tanwir, 1993 al-‘Ak, Khalid Abdu al-Rahman, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâiduhû, Bairut: Dâr al-Nafâis, 1986 Ananda Arfa, Faisar, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004 Anis, Ibrahim at.al., Mu’jam al-Wasîth, Mesir: Majma al-Lughah al-Arabiyah, 1980 al-Asfihani, Al-Raghib, Mu’jam Mufradât alfâdh al-Qur ’an, Bairut: Dâr alFikr, t.t. al-‘Ashbahi, Malik Bin Anas Abu Abdillah, Muwatha Imam Malik, Mesir:Dâr Ihya al-Turats Ayazi, Muhammad Ali, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, Teheran: Muassasah al-Thabâ’ah wa al-Hasyar Wijâr al-Tsaqâfah wa al-Irsyâd al-Islâmi, t.t. Aziz , Abdul, Amir, Al-Insân fî al-Islâm, Bairut: Dâr al-Furqan, 1986 al-Bahnasawi, Salim, al-Mar ’ah Baina al-Islâm wa al-Qawânîn al-Alamiyah, Kuwait: Dâr al-Wafâ, 2003 Ba’labaki, Munir, al-Maurid, Bairut: Dâr al-Ilmi Li al-Malâyin, 1986 al-Barik, Haya Binti Mubarak, al-Maushû'ah al-Mar'ah al-Muslimah diterjemahkan oleh Amin Hamzah dengan judul Ensiklopedi Wanita Muslimah, Jakarta: Dâr al-Falah, t.t. 303 al-Biqa’i, Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Ibnu Umar, Nudzum al-Durar fî Tanâsub al-âyat wa al-Suwar, Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995 al-Bukhari, Abdullah Muhammad Bin Ismail, Bukhari, Bairut :Dâr al-Fikr, 1995 Dahlan, Abdu al-Rahman, Kaidah Kaidah Penafsiran al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1997 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990 Dowling, Collet, The Cinderella Complex diterjemahkan oleh Santi W.E. Soekanto dengan judul Tantangan Wanita Modern, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1992 Echolis, John M., et al. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1984 Faidullah, Muhammad, Fauzi, al-Ijtihad Fi Syari’ah al-Islamiyah, Kuwait: Maktabah Dâr al-Turâts, 1984 al-Fanisan, Saud Bin Abdullah, Ikhtilâf al-Mufassirîn Asbâbuhû wa Atsaruhû, Riyâdh: Dâr Isybilia, 1997 al-Farmawi, Abdu al-Hay, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû'i, Mesir: alHadhârah al-Arabiyah, 1977 Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-Hadis Sahih, Yogyakarta: Pilar Regilia, 2005 al-Gathani, Islam dan Potret Wanita di Balik Citra Modern, Terjemahan Saleh Mahfoud, Surabaya: Pustaka Progresif, 1991 al-Ghazali, Muhammad, Nahwa Tafsîr Maudhûi li Suwar al-Qur ’an al-Karîm, Cairo: Dâr al-Syuruq, t.t. 304 Goldziher, Ignaz, diterjemahkan oleh al-Hajar, Abdu al-Halim, Mazâhib alTafsîr al-Islâmi, Bairut: Dâr al-Iqra, 1954 al-Hasyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma ’âni wa al-Bayân wa alBadî’, Bairut: Dâr al-Fikr, 1994 Hawa, Said, Al-Asâs fî al-Tafsîr, Cairo: Dâr al-Salâm, 1985 Hosen, Ibrahim, Apakah Judi Itu ?, Jakarta:LPPI IIQ, 1987 ___________, Fiqih Perbandingan, Jakarta:Pustaka Firdaus, 2003, Jilid I Ibnu Arabi, Ahkâm al-Qur ’an, Cairo: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1988 Ibnu Hanbal, Abu Abdillah al-Syaibani, Ahmad, Musnad Imam Ahmad, alQâhirah:Muassasah Qurtubah, t.th Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur ’an al-Adzîm, Bairut: Dâr al-Fikr, 1992 Ibnu Taimiyah, yang ditahqiq oleh Dr.Adnan Zarzur, Muqaddimah fî Ushûl alTafsîr, Kuwait: Dâr al-Qur’an al-Karîm, 1971 Ibnu Zakaria, Abu Husen, Ahmad Ibnu Faris, , Mu’jam al-Maqâyis fî alLughah, Bairut: Dâr al-Fikr, 1994 Ibrahim Mahna, Ahmad, Tabwîb Ay al-Qur'an al-Karîm min al-Nâhiyah alMaudhûiyah, Cairo: Dâr al-Sya'b, t.t. Imarah, Muhammad, al-Tahrîr al-Islâmi li al-Mar ’ah al-Rad alâ Syubuhât alGhulat, Cairo: Dâr al-Syuruq, 1968 Ismail, Yahya, Manhaj al-Sunnah fî al-Alâqah baina al-Hakîm wa Mahkûm, Cairo: Dâr al-Wafâ, 1986 Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab dalam Menafsirkan alQur'an, sebuah Tesis Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2002 Istibsyarah, Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender pada Tafsir alSya'râwi, sebuah Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2004 305 al-Jabary, Abdu al-Muta'ali Muhammad, Al-Mar'ah fî al-Tashawwur al-Islâm, Cairo: Maktabah Wahbah, t.t. Ja’far, Ali, Said Muslim Abdullah, Atsar al-Tathawwur al-Fikri fî al-Tafsîr fî al-Ashri al-Abbâsi, Bairut: Muassasah al-Risâlah, 1984 Ja'far, Muhammad Anas Qasim, Mengembalikan Hak-Hak Politik Perempuan Sebuah Perspektif Islam, Jakarta: Dâr al-Nahdhah al-Arabiyah, 2002, Cet. I al-Jakni al-Syanqithi, Muhammad al-Amin Ibnu Muhammad al-Mukhtar, Adwâ al-Bayân, Riyâdh: Mathba’ah al-Ahliyah, t.t. Jundi, Anwar, Gelombang Tantangan Muslimah, Terjemahan Ahsin Wijaya, Solo: CV Pustaka Mantiq, 1991, Cet. III Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III, Pengantar Teknik Analisa Jender, 1992 Khalaf, Abdu al-Wahab, Ilmu Ushûl al-Fiqh, Cairo: Maktabah al-Da'wah alIslamiyah Syabâb al-Azhar, 1968 al-Khaththab, Abdu al-Karim, Al-Tafsîr al-Qur ’an li al-Qur ’an, Bairut: Dâr alFikr, t.t. Lembaga Dâr al-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Bandung: Mizan, 1990 Madjid, Nurcholish, et.al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2004 Madkur, Ibrahim, Mu'jam al-Fâdh al-Qur'an al-Karîm, Cairo: Majma' alLughah al-Arabiyah al-Idârah al-Ammah Lil Mu'jamât Wa Ihyâ alTurâts, 1988 Jilid I & II Mahmud, Muhammad, Jamaluddin, Huqûq al-Mar ’ah fî Mujtama ’ al-Islâm, Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah Li al-Kitâb, 1986 306 Mahrizi, Mahdi, Wanita Ideal Menurut Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004 Majma al-Lughah al-Arabiyah, Mu’jam Alfâdh al-Qur ’an al-Karîm, Mesir: alHai’ah al-Ammah Lisyûni al-Mathâbi’ al-Amîriyah, 1989 al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsîr al-Maraghi, Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba'ah Mushthafa al-Bâbi al-Halabi Wa Aulâdihi,1974 al-Mawardi al-Bashari, Abu al-Hasan Ali Bin Muhammad Bin Habib, AlNukat wa al-Uyûn Tafsîr al-Mawardi, Bairut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, t.t. Muhammad, Husein, Islam Agama Ramah Perempuan, Yogyakarta :LKiS, 2004 Muhammad Saba’i, Taufiq, Wâqiiyah al-Manhaj al-Qur ’an, Cairo: al-Haiah al-Ammah Li Syûn al-Mathâbi al-Amîrah, 1973 al-Muhtasib, Abdu al-Majid Abdu al-Salam, Ittijâhât al-Tafsîr fi Ashri alHadîts, Bairut: Dâr al-Fikr, 1973 Mulia, Siti Musdah Dkk, Keadilan Kesetaraan Gender Perspektif Islam, Jakarta: LKAJ, 2003, Cet. II Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004 Munawir, Ahmad Warson, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997 al-Nadawi, Ali Ahmad, al-Qawâid al-Fiqhiyah, Bairut :Dâr al-Qalam, 1994 Ni’mah, Fuad, Mulakhkhash Qawâid al-Lughah al-Arabiyah, Bairut: Dâr alTsaqâfah al-Islâmiyah, t.t. Qardhawi, Yusuf, Kedudukan Wanita dalam Islam, Terjemahan Melati Adhi Damayanti, Jakarta: PT Global Media Cipta Publishing, 2003 307 al-Qaththan, Manna Kalil, Mabâhits Ulûm al-Qur ’an, t.t., tp., t.th. Qazam, Shahal, Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, Terjemahan Khazin Abu Fakih, Surakarta: Era Intermedia, 2001 al-Quraisyi al-Dimasqa Al-Imam al-Hafidh Imaduddin Abu al-Fida Ismail Bin Katsir, Tafsîr al-Qur ’an al-Adhîm, Cairo: Dâr al-Turâts al-Arabi, t.t. al-Quthni, al-Dâr, Ali Ibnu Umar, Sunan al-Quthni, Bairut : Dâr al-Fikr, 1994 Qutub, Sayyid, Fi Dzilâl al-Qur'an, Cairo: Dâr al-Syuruq, 1981 al-Quzweni, Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, alQâhirah, Dâr al-Hadîts, 1998 al-Razi, Muhammad, Tafsîr al- Fahru al-Razi, Bairut: Dâr al-Fikr, t.t. Ridho, Muhammad Rasyid, Tafsîr al-Qur ’an al-Hakîm/Tafsir Al-Mannâr, Bairut: Dâr al-Ilmiyah, 1999 al-Sahmarani, As'ad, Al-Mar'ah fî al-Târikh wa al-Syar'iyah, Bairut: Dâr alNafâis, 1989 al-Sanan, Arij Abdurrahman, Memahami Keadilan dalam Poligami, Jakarta: PT Global Media Cipta Publishing, 2003 al-Shabuni, Muhammad Ali, Mukhtashor Tafsîr Ibnu Katsîr, Cairo: Dâr alShabuni, 1999 _______, Rawâ ’i al-Bayân Tafsîr Ayat-Al-Ahkâm min al-Qur ’an, Cairo: Dâr al-Shabuni, 1999 _______, Shafwah al-Tafâsir, Bairut: Dâr al-Qur’an al-Karîm, 1981 Shihab, Muhammad Quraish, Menyingkap Tabir Ilahi, Jakarta: Lentera Hati, 1998 ______, Membumikan al-Qur ’an, Bandung: Mizan, 1992 308 ______, Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat Tahlil, Jakarta: Lentera Hati, 2001 ______, Wa wasan al-Qur ’an, Bandung: Mizan, 1996 ______, Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1999 ______, Lentera Hati, Bandung: Mizan, 1994 ______, Fatwa Fatwa Seputar Ibadah Mahdah, Bandung: Mizan, 1999 ______, Sahur Bersama Quraish Shihab, Bandung: Mizan, 1997 ______, Mukjizat al-Qur ’an, Bandung: Mizan, 1997 ______,Untaian Permata Buat Anakku: Pesan al-Qur'an untuk Mempelai, Bandung: Mizan, 1998 _____, Haji Bersama Quraish Shihab, Bandung: Mizan, 1999 _____, Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil, Jakarta: Lentera Hati, 1996 _____, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2001 ______, Dia di Mana-Mana, Jakarta: Lentera Hati, 2004 ______, Yang Tersembunyi Jin, Iblis, Setan, & Malaikat, Jakarta: Lentera Hati, 2003 ______, Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surah al-Fatihah, Jakarta: Untagama, 1998 ______, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2005 ______, Logika Agama, Jakarta: Lentera Hati, 2005 ______, Nazhm al-Durar Fi Tanâsub al-‘Ayât Wa al-Suwar, Disertasi Doktor Universitas al-Azhar Cairo, 1982 al-Sijistani al-Azadi, Abu Dawud Sulaiman Bin al-Asy’asy, Sunan Abî Dâwud, Cairo: Dâr al-Hadîs, 1999 309 Sjadzali, Munawir, Kontektualisasi Ajaran Islam, Jakarta: P.T.Temprint,1995 Subhan, Zaitunah, Kemitrasejajaran Pria dan Wanita dalam Perspektif Islam, sebuah Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 1998 _______, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tasfir Qur ’an, Yogyakarta: LkiS, 1999 Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali, Jakarta :Pustaka Firdaus, 2002 Syahrur, Muhammad, diterjemahkan oleh Sahiran Syamsudin,MA, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Jakarta: ELSAQ Press, 2004 Syaltut, Muhammad, Al-Islâm 'Aqîdatun wa Syarîatun, Bairut: Dâr al-Qalam, 1966 Sya’rawi, Muhammad Mutawalli, Makânah al-Mar ’ah fî al-Islâm Terjemahan Abu Abdillah Al-Manshur, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 al-Syaukani, Al-Imam Muhammad Bin Ali Bin Muhammad (w.1250 H), Fathu al-Qadhîr, Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 al-Syirazi al-Baidhowi, Al-Qadhi Nashiruddin Abi Said Abdullah Bin Umar Bin Muhammad, Tafsîr al-Baidhawi/Anwar al-Tanzîl wa Asrâr alTa ’wîl, Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 Tarabishi, Georges, Woman Against Her Sex diterjemah oleh Ihsan Ali Fauzi dan Rudi Harisyah Alam dengan judul Wanita Versus Wanita, Bandung: Mizan, 2001 al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir (w.310 H), Tafsîr al-Thabari, Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999 al-Thabarsi, Abu Ali al-Fadhal Bin Hasan Bin al-Fadhal, Majma al-Bayân fî Tafsîr al-Qur ’an, Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1997 310 al-Thahhan, Mahmud, Taisîr Mushthalah al-Hadîs, Bairut: Dâr al-Fikr, t.t. Ath-Thayyibi, Ahmad Junaidi, Tata Kehidupan Wanita dalam Syari'at Islam, Jakarta: Wahyu Press, 2003, Cet. I Tsaqâfah Membangun Budaya Cerdas Menjawab Tantangan Zaman, Vol.I No. 3 tahun 2003 Ulwan, Nashih, Abdullah, Adab al-Khithbah wa al-Zafâf wa Huqûq alZaujaini, Cairo: Dâr al-Salâm, 1985 ______, Taaddud al-Zaujat fî al-Islâm, Cairo: Dâr al-Salâm, 1984 ______, Uqubât al-Zawâj wa Thuruq Mu’âlajatihâ alâ Dhaui al-Islâm, Cairo: Dâr al-Salâm, 1985, Cet. V Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur ’an, Jakarta: Paramadina, 2001 Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, Jakarta: P3M, 2004 Wadud, Amina , Qur'an and Woman, diterjemahkan oleh Abdullah Ali dengan judul Qur'an Menurut Perempuan, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001 Wahid, Abdu al-Rahman, at.al. Menakar Harga Perempuan, Bandung: Mizan, 1999 Ya’qub, Ali Mushthafa, Imam Perempuan dalam Persepektif Hadis, Makalah Diskusi Dosen IIQ, 2005 Yusuf, Muhammad, Husen, Ahdf al-Usrah fî al-Islâm, Cairo: Dâr I'tishâm, 1977 al-Zahabi, Muhammad Husen, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Cairo: Maktabah Wahbah, 1985 311 al-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Jarullah Mahmud Bin Umar Bin Muhammad (467–538 H.), Al-Kasysyâf ‘An Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta ’wîl, Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995 ______, Fathu al-Rahmân Bikasyfi Mâ Yaltabisu fî al-Qur ’an, Bairut: Dâr alQur’an al-Karîm, 1402 al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr, Bairut: Dâr al-Fikr, 1998 RIWAYAT HIDUP PENULIS A. Identitas Diri dan Keluarga : 1. Nama : Anshori 2. NIP/KARPEG : 150271246/G.132764 3. Tempat dan Tgl lahir : Indramayu,6 April 1957 4. Jenis Kelamin : Laki-laki 5. Agama : Islam 6. Pekerjaan : Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Syarif : Hidayatullah Jakarta 7. Pangkat/Golongan : Penata Tk.I (III/d) 8. Jabatan Fungsional : Lektor 9. Alamat : Jln.Jalak II No.126 E Rt.003/05 Kampung : Sawah,Ciputat, Tangerang,Banten 10.Ayah Kandung : Mungtamad (almarhum) 11.Ibu Kandung : Fatimah (almarhumah) 12.Istri : Yesmini 13.Anak : Raudhotul Azhar B. Riwayat Pendidikan: Formal 1. SDN Sudimampir tahun 1970 2. M.TsN.Sliyeg tahun 1973 3. PGA 4 th. Mathlaul Anwar Jakarta tahun 1975 4. PGA 6 th. Mathlaul Anwar Jakarta tahun 1977 5. SI IKIP Jakarta Jurusan Bhs.Arab tahun 1982 6. SI Universitas Al-Azhar Cairo Jurusan Bhs.Arab tahun 1986 7. S2 IIQ Jakarta Konsentrasi Ulumul Qur’an dan Hadits tahun 2002 8. S3 UIN Syahid Jakarta, Konsentrasi Tafsir Hadis tahun 2006 Non Formal 1. Mengikuti penataran Khatib selama 72 jam tahun 1975 2. Mengikuti Penataran Pembina Mahir Bagian Dasar selama 96 jam Pada tahun 1975 3. Mengikuti Penataran guru-guru Madrasah Tsanawiyah dalam Bidang studi IPA selama 72 jam tahun 1978 4. Mengikuti Penataran guru-guru Madrasah Tsanawiyah dalam Bidang studi Matematika selama 100 jam tahun 1979 5. Mengikuti penataran guru-guru Tsanawiyah dalam bidang studi Bahasa Indonesia selama 90 jam tahun 1979 6. Mengikuti penataran Pembina Generasi Muda Islam di Kanwil Depag DKI Jakarta selama 60 jam 1980 7. Mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa IKIP Jakarta Selama 60 jam tahun 1980. 8. Mengikuti Pelatihan Keterampilan Generasi Muda Islam di Kanwil Depag DKI selama 60 jam tahun 1981. 9. Mengikuti Pelatihan Kependudukan untuk guru-guru Aliyah Selama 84 jam tahun 1982. 10. Mengikuti Pelatihan Dasar-Dasar Penelitian Bagi Dosen selama 164 jam 1990 11. Mengikuti acara Konsultasi Nasional Rektor PTAIS se Indonesia selama 30 jam 1999 12. Mengikuti Pelatihan Dosen-Dosen Pendidikan Pencegahan HIV/AIDS selama 30 jam tahun 1997 13. Mengikuti Pelatihan Penelitian Tenaga Edukatif Tingkat Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam selama 100 jam tahun 1994 C. Pengalaman Mengajar : 1. Guru M.Ts.Mathlaul Anwar Jakarta (1977-1982) 2. Guru Aliyah Mathlaul Anwar Jakarta (1980-1982) 3. Guru SMEA al-Irsyad Jakarta (1980-1982) 4. Dosen IIQ Jakarta (1988 sampai sekarang) 5. Dosen STMT Trisakti Jakarta (1990 sampai sekarang) 6. Dosen UIN Syahid Jakarta (1996 sampai sekarang) D. Pengalaman Kerja : 1. Kepala Sekolah M.Ts.Mathalaul Anwar Citayam (1979-1982) 2. Sekpri Rektor IIQ Jakarta (1987-1990) 3. Sekretaris LPPI IIQ Jakarta (1987-1991) 4. Kepala Pengajaran IIQ Jakarta tahun (1988-1990) 5. Dekan Fakultas Tarbiyah IIQ Jakarta (1992-2003) 6. Pjs. Purek II IIQ Jakarta tahun 2000 7. Ketua Program Akta IV IIQ Jakarta (2000-2004) 8. Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan (2004-2005) 9. Ketua LPPI IIQ Jakarta tahun 2006-2010 E. Pengalaman Organisasi : 1. Sekretaris KMAPBS Supersemar IKIP Jakarta (1979-1982) 2. Wakil Bendahara BKS PTAIS DKI Jakarta (1989-1992) 3. Sekjen BKS PTAIS DKI Jakarta (1993-2006) 4. Wakil Sekretaris ICMI Orsat Ciputat (1995-2000) 5. Sekjen ICMI Orsad Ciputat (2000-2005) 6. Ketua II Mathlaul Anwar DKI Jakarta (1998-2003) 7.Ketua KAMACA di Cairo (1984-1986) 8.Pengurus bidang pendidikan alumni Timur Tengah (1988-1993) 9.Sekretaris Ta’mir Masjid al-Husaini tahun (1989-1993) 10.Bendahara Masjid Raudhatul Qur’an (2000-2005) F. Karya Ilmiyah : 1. Hasil Penelitian 1). Prestasi Bahasa Arab Mahasiswa Fak.Syari’ah dan Ushuluddin di IIQ dan Kopertais Wil.I DKI Jakarta (30 September 1990) penelitian individual 2). Persepsi SLTA DKI Jakarta terhadap PTAIS Jakarta (1991) penelitian kolektif 3). Pengaruh kegiatan Da’wah Majlis Ta’lim Terhadap Sikap bersih dan Penghijauan Pada Jama’ah di DKI Jakarta (April 1995) penelitian kolektif 4). Hubungan Prestasi Tahfidh al-Qur’an Terhadap Prestasi Mata Kuliah Mahasiswi IIQ Jakarta tahun 2000 penelitian kolektif 2. Tulisan yang Diterbitkan Dalam Jurnal/Majalah a. Peranan Wanita Muslimah Dalam Pembangunan Nasional, Media alFurqan,No.I , Th.I-IIQ/1993 b. Meminang Wanita dan Problematikanya Dalam Islam, Majalah Suara Masjid No.240 September 1994 c. Pelaksanaan Aqiqah dan Qurban Menurut ajaran Islam.Media al-Furqon, No.6 Th IV/1995 d. Kemiskinan dan Penanggulangannya Menurut Ajaran Islam, Majalah AKRAB No.153-XII 1996 e. Pendidikan Menurut Pandangan Islam, Media al-Furqon N0.8 tahun VI 1998 f. Isim Fa’il dan Permasalahannya, Jurnal Didaktika Islamika Vol.I No.2 Nopember 1999 g. Ibdal dan ‘Ilal al-Dhoruri dan Ghairu al-Dhoruri Dalam Pandangan Shorof, Jurnal Didaktika Islamika Vol.III,No.8 Mei 2002 h. Shalat Lima Waktu Tidak Dapat Ditinggalkan Dalam Kondisi Apapun, Majalah Dewasn Masjid Indonesia , No.5 September 2002 i. Dampak Taubat Nasuha Terhadap Ketenangan Jiwa, Majalah Dewan Masjid Indonesia No.4 Agustus 2002 y. Rahasia Puasa Terhadap Kesehatan, Majalah Dewan Masjid Indonesia, NO.06 Desember 2002 k.. Al-Zhulm menurut al-Qur’an, Majalah Dewan Masjid Indonesia No.11 Aguetus 2003 l. Al-Qira’ah al-Syadzdzah dan pengaruhnya Dalam Hukum Islam, Jurnal Nida al-Qur’an, Vol.11, No.1 Juni 2004 m. Penggunaan Nisbah dan Cara Pembuatannya Dalam Ilmu Sharaf, Jurnal Didaktika Islamika Vo.V, No2. Desember 2004 n. Kepemimpinan Lelaki Dan Perempuan Dalam Keluarga dan Masyarakat Menurut Islam, Majalah Transpor Trisakti, Vol.23, Nomor 4 Tahun 2005 o. Sabar Menurut Al-Qur’an Dan Hadis, Majalah Transpor Trisakti. Vol.23 Nomor 2 April 2005 p.. Poligami Menurut Pandangan Islam, Jurnal Nida al-Qur’an Vol. tahun 2005 q. Menterjemah buku Bahasa Arab yang diterbitkan oleh Dina Utama Semarang (Toha Putra Group) dengan judul Tanggung Jawab Dalam Islam tahun 1995 r. Saksi Perempuan Dalam Persepektif Para Mufassir, Jurnal Agama & Budaya Vol.23.No.2,2006 3. Pemakalah/Nara Sumber antara lain : a. Kelenturan Hukum Islam Dalam Menghadapai Tantangan Zaman disampaikan pada Keluarga dan Alumni Mathlaul Anwar Jakarta Raya Tahun 1988 b. Sistem Pendidikan SKS dan Konsekwensinya di IIQ Jakarta disampaikan pada Mahasiswa IIQ Jakarta tahun 1990 c. Agama Islam Agama Persatuan dan Persaudaraan disampaikan pada diskusi Dosen IIQ Jakarta 5 Januari 1997 d. Dampak Taubat Nasuha Terhadap Ketenangan Jiwa disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta 23 Agustus 1997 e. Meminang Wanita Dan Problematikanya Dalam Islam disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta 27 Desember 1997 f. Pengajaran Praktis Menentukan Kedudukan Kalimat dan Tandanya di Asrama Putri IIQ Jakarta disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta, 7 Juni 1997 g. Ibdal dan I’lal al-Dharuri dan Ghairu al-Dharuri dalam Pandangan Ilmu Sharaf, disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta , 27 Juni 2002 h. Cara Mentakhrij Hadis , disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta, 5 Desember 1998 i. Al-Zhulm menurut pandangan al-Qur’an disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta 20 Juni 1996 y. Nisbah dan Permasalahannya Dalam Ilmu Sharaf disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta 23 Januari 1997 k. Peranan Wanita Muslimah Dalam Pembangunan Nasional disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta 27 Juli 1996 l. Shalat Lima Waktu Tidak Dapat ditinggalkan Dalam Kondisi Apapun , disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta 22 Maret 1995 m. Studi Kritis Tafsir al-Kasysyaf, disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta 31 Desember 2002 n. Hukum Fiqih Dapat Menjawab Tantangan Zaman disampaikan pada Diskusi Guru-Guru MAN 7 Jakarta tahun 1996 o. Halal Bi Halal Perspektif Ajaran Islam, disampaikan pada Diskusi Alumni Mesir Jakarta tahun 1989 G. Pengabdian Pada Masyarakat 1. Memberi kuliah extra kurikuler di Asrama Putri IIQ Jakarta (1987-2005) 2. Memberikan Khuthbah Jum’at, Idul Adha dan Idul Fitri di masyarakat Jakarta dan sekitarnya (1980 sampai sekarang) 3. Ceramah Umum selama satu minggu di PT.Pupuk Kaltim tahun 1987 4. Ceramah umum bulan Ramadhan selama 26 hari di KBRI Abudabi tahun 1995 5. Ceramah Ramadhan Rutin di KBRI Cairo Mesir (1983-1986) 6. Ceramah di Pengajian Ibu-Ibu Panglima Polim (1988-1989) Ciputat, Penulis 2006