Anshori_Penafsiran Ayat-ayat Jender Dalam Tafsir al

advertisement
PENAFSIRAN AYAT-AYAT JENDER
DALAM TAFSIR AL-MISHBAH
DISERTASI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Agama Islam
Konsentrasi Tafsir Hadis
Oleh
ANSHORI
NIM: 02.3.00.1.05.01.0021
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2006 M/1427 H
i
PENAFSIRAN AYAT-AYAT JENDER
DALAM TAFSIR AL-MISHBAH
DISERTASI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Agama Islam
Konsentrasi Tafsir Hadis
Oleh
ANSHORI
NIM: 02.3.00.1.05.01.0021
PROMOTOR
PROF.Dr.H.Nasaruddin Umar,MA
PROF.Dr.H.Ahmad Thib Raya,MA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2006 M/1427 H
ii
TIM PENGUJI DISERTASI
Disertasi ini telah diujikan pada sidang
Ujian Disertasi Tertutup Tanggal
24 Pebruari 2006
Tim Penguji Disertasi :
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA
Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA
Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA
Prof. Dr. Hj. Huzaemah T.Yanggo, MA
iii
PERSETUJUAN I
Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” yang ditulis oleh Drs. H.Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 0501.0021,
disetujui untuk dibawa ke sidang ujian disertasi tertutup.
Pembimbing I
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.
Tanggal:
iv
PERSETUJUAN I
Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” yang ditulis oleh Drs. H. Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 0501.0021,
disetujui untuk dibawa ke sidang ujian disertasi tertutup.
Pembimbing II
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A
Tanggal
v
PERSETUJUAN II
Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs.H. Anshori, MA., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir
Hadis, telah diperbaiki dan disetujui untuk dibawa pada ujian promosi
(terbuka).
Pembimbing I
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA
Tanggal:
vi
PERSETUJUAN II
Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs.H.Anshori, MA., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir
Hadis, telah diperbaiki dan disetujui untuk dibawa pada ujian promosi
(terbuka).
Pembimbing II
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya,MA
Tanggal:
vii
KETERANGAN
Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs. Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir
Hadis, telah diperbaiki sesuai dengan permintaan Tim Penguji Disertasi pada
tanggal 13 Nopember 2006. Demikian untuk dimaklumi
Anggota Tim Penguji
Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA
Tanggal:
viii
KETERANGAN
Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs. Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir
Hadis, telah diperbaiki sesuai dengan permintaan Tim Penguji Disertasi pada
tanggal 13 Nopember 2006. Demikian untuk dimaklumi
Anggota Tim Penguji
Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA
Tanggal:
ix
KETERANGAN
Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs. Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir
Hadis, telah diperbaiki sesuai dengan permintaan Tim Penguji Disertasi pada
tanggal 13 Nopember 2006 Demikian untuk dimaklumi
Anggota Tim Penguji
Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA
Tanggal:
x
KETERANGAN
Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir AlMishbah” atas nama Drs. Anshori, M.A., Nim: 02.3.00.1. 05.01.0021, peserta
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Tafsir
Hadis, telah diperbaiki sesuai dengan permintaan Tim Penguji Disertasi pada
tanggal 13 Nopember 2006. Demikian untuk dimaklumi
Anggota Tim Penguji
Dr. Yusuf Rahman, MA
Tanggal:
xi
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama
: Anshori
NIM
: 02.3.00.1. 0501.0021
Tempat/Tgl. Lahir : Indramayu, 6 April 1957
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Disertasi yang berjudul
“Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Mishbah” adalah benar
merupakan karya asli saya, kecuali kutipan yang disebutkan sumbernya.
Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya sepenuhnya adalah
tanggung jawab saya.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 11 Agustus 2006
Anshori
xii
ABSTRAKSI
Penelitian ini berjudul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender dalam Tafsir AlMishbah”. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bernuansa jender sering terdengar
sumbang dan penuh kontroversi diantara para mufassir, baik klasik maupun
kontemporer. Perbedaan pandangan tersebut, diakibatkan adanya perbedaan
instrumen di antara para mufassir. Sebagian mufassir menafsirkan ayat-ayat alQur’an berangkat dari teks ayat al-Qur’an kemudian mencari pembenaran ayat
tersebut dengan menggunakan hadis dan ilmu-ilmu yang lain. Instrumen ini oleh para
mufassir kontemporer disebut tekstual (sesuai dengan makna teks ayat) atau yang
oleh para mufassir klasik disebut dengan al-‘ibrah bi umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh
al-sabab. Sedangkan sebahagian mufassir lain menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
berangkat dari realitas sosial masyarakat. Teks ayat hanya merupakan pendukung.
Bila teks ayat bertentangan dengan realitas sosial masyarakat, maka teks ayat
dianggap tidak relevan. Instrumen ini oleh para mufassir kontemporer disebut dengan
kontekstual (sesuai dengan situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian) atau
yang oleh para mufassir klasik disebut dengan al-‘ibrah bi khushûsh al-sabab la bi
umûm al-lafdzi. Penelitian ini bertujuan untuk menyingkap pandangan Muhammad
Quraish Shihab tentang ayat-ayat yang bernuansa jender dan instrumen yang
digunakannya dalam menafsirkan ayat-ayat yang bernuansa jender dalam Tafsir alMishbah. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah
mengidentifikasi dan mengklasifikasi ayat-ayat jender dalam al-Qur’an, lalu dibatasi
pada ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia, kewarisan, persaksian,
kepemimpinan, dan poligami. Kemudian dilakukan analisis terhadap Tafsir alMishbah yang berkaitan dengan ayat-ayat yang bernuansa jender tersebut. Dari hasil
penelitian ditemukan bahwa pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang jender
adalah jenis kelamin. Dengan demikian, bias jender berarti penyimpangan yang
dilakukan oleh setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, muslim atau nonmuslim, dan ulama atau non ulama, dari masa lalu hingga masa sekarang. Misalnya,
seseorang yang memberikan hak-hak orang lain melebihi dari kodratnya, atau
seseorang tidak memberikan hak-hak orang lain sesuai dengan kodratnya disebut bias
jender. Pandangan Muhamad Quraish Shihab mengenai hak-hak perempuan dalam
tafsirnya sama dengan para mufassir klasik, yaitu kembali kepada teks. Namun
demikian, dia juga memperhatikan konteks sekarang. Itulah sebabnya dia terlihat
skripturalis moderat karena sangat menekankan usaha untuk mengembalikan
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat muslim kepada kitab suci al-Qur’an
dengan memperhatikan konteksnya. Jadi instrumen yang digunakan Muhammad
Quraish Shihab sama dengan para mufassir klasik yaitu sesuai dengan makna teks
ayat, atau al-‘ibrah bi umûm al-lafzhi la bi khushûsh al-sabab. Pada prinsipnya bagi
Muhamad Quraish Shihab secara kemanusiaan laki-laki dan perempuan tidak ada
perbedaan. Namun Muhamad Quraish Shihab tidak setuju laki-laki dan perempuan
disamakan secara mutlak, karena dengan menyamakan kedua jenis kelamin yang
xiii
berbeda, akan melahirkan makhluk ketiga, yang bukan laki-laki dan juga bukan
perempuan. Artinya perempuan ditempatkan sesuai dengan kodrat kewanitaannya,
karena dengan memberikan hak wanita melebihi kodratnya atau tidak memberikan
haknya sesuai kodratnya dianggap bias jender. Kemudian perbedaan antara
Muhammad Quraish Shihab dengan sebahagian mufassir klasik yaitu Muhammad
Quraish Shihab menafsirkan ayat al-Qur’an tidak parsial, sedangkan sebahagian
mufassir klasik mereka menafsirkan ayat al-Qur’an secara parsial. Sedangkan
perbedaan dengan sebahagian mufassir kontemporer yaitu disamping perbedaan
instrumen juga mereka sebahagian mufassir kontemporer menafsirkan ayat secara
parsial.
xiv
‫اﻟﻤﻠﺨﺺ‬
‫ﻫﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﺑﻌﻨﻮان " ﺗﻔﺴﯿﺮ آﯾﺎت اﻟﺠﻨﺪر ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح " اﺧﺘﻠﻒ اﻟﻤﻔﺴﺮون اﻟﻘﺪﻣﺎء‬
‫واﻟﻤﻌﺎﺻﺮون ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮ آﯾﺎت اﻟﺠﻨﺪرﻣﻤﺎ ﯾﻈﻬﺮ ﻟﻠﻤﻼﺣﻆ أن ﻫﺬه اﻟﺘﻔﺎﺳﯿﺮﺗﺘﻌﺎرض ﻓﯿﻤﺎ ﺑﯿﻨﻬﺎ وﻫﺬه‬
‫اﻻﺧﺘﻼﻓﺎت ﺗﺮﺟﻊ اﻟﻰ اﺧﺘﻼﻓﻬﻢ ﻓﻰ اﺗﺒﺎع وﺗﻄﺒﯿﻖ اﻟﻘﺎﻋﺪة ﺣﯿﺚ اﻟﺘﺰم اﻟﺒﻌﺾ ﺑﺘﻔﺴﯿﺮ اﻟﻘﺮآن‬
‫ﺑﺎﻟﻘﺮآن ﺛﻢ ﯾﻘﻮم ﺑﺎﻟﺒﺤﺚ ﻋﻦ ﻣﺴﺎﻧﺪه ﻓﻰ اﻻﺣﺎدﯾﺚ اﻟﻨﺒﻮﯾﺔ وﻋﻠﻮم اﺧﺮى‪ .‬ﻫﺬا اﻻﺳﻠﻮب ﯾﺴﻤﯿﻪ‬
‫اﻟﻤﻌﺎﺻﺮون ﺑﺎﺳﻠﻮب ﻣﻨﻄﻮق اﻟﻨﺺ ﻛﻤﺎﯾﺴﻤﯿﻪ اﻟﻘﺪﻣﺎء ب "اﻟﻌﺒﺮة ﺑﻌﻤﻮم اﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﺑﺨﺼﻮص‬
‫اﻟﺴﺒﺐ ‪.‬وﺑﺠﺎﻧﺐ اﺧﺮ اﻟﺘﺰم ﺑﻌﺾ اﻟﻤﻔﺴﺮﯾﻦ ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮآﯾﺎت اﻟﺠﻨﺪرﺑﺤﻘﺎﺋﻖ اﺟﺘﻤﺎﻋﯿﺔ وﻻ ﯾﻌﺘﺒﺮ ون‬
‫ﻧﺼﻮص اﻵﯾﺎت ﺳﻮى ﺗﻜﻤﯿﻠﯿﺔ ﻓﻘﻂ ﻓﻰ ﺣﺎﻟﺔ ﺗﺘﻌﺎرض ﻣﻊ ﺣﻘﺎﺋﻖ اﺟﺘﻤﺎﻋﯿﺔ ﻻ ﯾﻌﺘﺒﺮون ﺑﻬﺎ‬
‫ﻻﻧﻬﺎﻏﯿﺮﻣﻨﺎﺳﺒﺔ وﻫﺬا اﻻﺳﻠﻮب ﯾﺴﻤﯿﻪ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮون ﺑﺎﻟﻮاﻗﻌﯿﺔ ﻛﻤﺎ ﯾﺴﻤﯿﻪ اﻟﻘﺪﻣﺎء "اﻟﻌﺒﺮة‬
‫ﺑﺨﺼﻮص اﻟﺴﺒﺐ ﻻ ﺑﻌﻤﻮم اﻟﻠﻔﻆ‪ .‬واﻟﻬﺪف ﻣﻦ ﻫﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﻫﻮاﻟﻜﺸﻒ ﻋﻦ رأى ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب‬
‫ﺣﻮل آﯾﺎت اﻟﺠﻨﺪر واﻟﺘﻌﺮف ﻋﻠﻰ اﻻﺳﺎﻟﯿﺐ اﻟﺘﻰ اﺗﺒﻌﻬﺎ ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮاﻵﯾﺎت اﻟﻘﺮآﻧﯿﺔ اﻟﻤﺘﻌﻠﻘﺔ‬
‫ﺑﺎﻟﺠﻨﺪرﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮه"اﻟﻤﺼﺒﺎح" واﻟﺨﻄﻮات اﻟﺘﻰ اﺗﺒﻌﻬﺎاﻟﺒﺎﺣﺚ ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﻫﺬااﻟﺒﺤﺚ ﻫﻰ ﺗﺒﺪأ ﻣﻦ‬
‫ﺗﺸﺨﯿﺺ وﺗﺒﻮﯾﺐ وﺑﯿﺎن آﯾﺎت اﻟﺠﻨﺪر ﻓﻰ اﻟﻘﺮآن اﻟﻜﺮﯾﻢ ﺛﻢ ﺗﺤﺪﯾﺪﻫﺎ ﻓﯿﻤﺎ ﯾﺘﻌﻠﻖ ﺑﺨﻠﻖ اﻻﻧﺴﺎن‬
‫واﻟﻮراﺛﺔ واﻟﺸﻬﺎدة ‪ ,‬واﻟﻮﻻﯾﺔ ﺛﻢ ﺗﻌﺪد اﻟﺰوﺟﺎت وﺑﻌﺪ ذﻟﻚ ﯾﻘﻮم اﻟﺒﺎﺣﺚ ﺑﺘﺤﻠﯿﻞ ﻫﺬه اﻵﯾﺎت وﻓﻘﺎ‬
‫ﻟﻤﺎ ﺟﺎء ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح‪ .‬وﺑﻌﺪ اﻟﺘﺤﻠﯿﻼت و اﻟﺒﺤﻮث ﺗﺒﯿﻦ ﻟﻠﺒﺎﺣﺚ أن ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب‬
‫اﻋﺘﺒﺮﺟﻨﺪرﻧﻮﻋﺎ ﻣﻦ ﺟﻨﺲ ﺑﺸﺮى وﻣﻦ ﻫﻨﺎ رأى ان ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ ﺟﻨﺪرﯾﺔ ﻫﻰ ﻛﻞ اﻟﻤﺨﺎﻟﻔﺎت اﻟﺘﻰ‬
‫ارﺗﻜﺒﻬﺎ ﺷﺨﺺ ذﻛﺮا واﻧﺜﻰ ‪ ,‬ﻣﺴﻠﻤﺎ أوﻛﺎﻓﺮا ‪ ,‬ﻋﺎﻟﻤﺎ أوﺟﺎﻫﻼ ﻣﻦ ازﻣﻨﺔ ﻣﺎﺿﯿﺔ ﺣﺘﻰ اﻵن ﻟﺬﻟﻚ‬
‫ﯾﻌﺘﺒﺮون ﻣﻦ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ اﻟﺠﻨﺪر اﻋﻄﺎء ﺣﻖ اﻟﻰ ﻣﺴﺘﺤﻘﻪ اﻛﺜﺮﻣﻦ ﻗﺪره او ﻋﺪم اﻋﻄﺎء ﺣﻖ اﻟﻰ ﻣﺴﺘﺤﻘﻪ‬
‫وﻓﻘﺎ ﻟﻘﺪره ‪.‬وﻣﻦ اﻟﻤﻼﺣﻆ أن رأى ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب ﺣﻮل اﻟﻤﺮأة وﻓﻘﺎ ﻟﻤﺎﺟﺎء ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮه‬
‫"اﻟﻤﺼﺒﺎح" ﯾﺘﻮاﻓﻖ ﻣﻊ آراء اﻟﻤﻔﺴﺮﯾﻦ اﻟﻘﺪﻣﺎء وﻫﻮ اﻟﺮﺟﻮع اﻟﻰ اﻟﻨﺺ وﺑﺎﻟﺮﻏﻢ ﻣﻦ ذﻟﻚ اﻻ اﻧﻪ‬
‫ﯾﺒﺪوﻻﯾﻐﻔﻞ ﻋﻦ اﻟﻮاﻗﻊ ﻟﺬﻟﻚ اﻧﻪ ﻣﻦ ‪ skripturalis moderat‬ﺣﯿﺚ ﯾﺤﺎول اﻋﺎدة ﻗﻀﺎﯾﺎ‬
‫اﻟﻤﺴﻠﻤﯿﻦ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮة اﻟﻰ اﻟﻘﺮآن اﻟﻜﺮﯾﻢ ﻣﻊ ﻣﺮاﻋﺎة واﻗﻌﯿﺘﻬﻢ وﻣﻦ ﻫﻨﺎ ﯾﻤﻜﻨﻨﺎ اﻟﻘﻮل ﺑﺄن اﻻﺳﻠﻮب‬
‫اﻟﺬى اﺗﺒﻌﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب ﻓﻰ ﻣﻌﺎﻟﺠﺔ ﺗﻔﺴﯿﺮ اﻵﯾﺎت اﻟﻘﺮآﻧﯿﺔ ﯾﺘﻮاﻓﻖ ﺗﻤﺎﻣﺎ ﻣﻊ اﻻﺳﺎﻟﯿﺐ اﻟﺘﻰ‬
‫اﺗﺒﻌﻬﺎ اﻟﻤﻔﺴﺮون اﻟﻘﺪﻣﺎء وﻫﻰ اﻟﻌﺒﺮة ﺑﻌﻤﻮم اﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﺑﺨﺼﻮص اﻟﺴﺒﺐ ‪ .‬وﺑﺼﻔﺔ ﻋﺎﻣﺔ ﻻ ﯾﻔﺮق‬
‫ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب ﺑﯿﻦ اﻟﺮﺟﻞ واﻟﻤﺮأة ﻓﻰ اﻧﺴﺎﻧﯿﺘﻬﻤﺎ وﻣﻊ ذﻟﻚ ﯾﻌﺎرض اﻃﻼق اﻟﻤﺴﺎواة ﺑﯿﻨﻬﻤﺎ‬
‫وذﻟﻚ ﻻن اﻃﻼق اﻟﻤﺴﺎواة ﺑﯿﻦ اﻟﺮﺟﻞ واﻟﻤﺮأة ﯾﻮﻟﺪ ﻧﻮﻋﺎ آﺧﺮ ﻣﻦ اﻟﺒﺸﺮ ﻟﯿﺲ ﺑﺬﻛﺮوﻻاﻧﺜﻰ وﻫﺬا‬
‫ﯾﻌﻨﻰ وﺟﻮب وﺿﻊ اﻟﻤﺮأة وﻓﻘﺎ ﻻﻧﻮﺛﺘﻬﺎ ﻓﻼ ﺗﺴﺘﺤﻖ اﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺣﻘﻬﺎ وﻓﻘﺎ ﻟﻘﺪرﻫﺎاﻻﻧﺜﻮﯾﺔ‬
‫ﻛﻤﺎﻻﯾﺠﻮزﻣﻨﻌﻬﺎ ﻣﻦ ﺟﻤﯿﻊ ﻣﺴﺘﺤﻘﺎﺗﻬﺎ وﻓﻘﺎ ﻟﻘﺪرﻫﺎاﻻﻧﺜﻮﯾﺔ ‪ .‬وﯾﺘﻤﯿﺰﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮﯾﺶ ﺷﻬﺎب ﻣﻦ ﺑﻌﺾ‬
‫اﻟﻤﻔﺴﺮﯾﻦ اﻟﻘﺪﻣﺎء ﺑﺎﻧﻪ ﯾﻔﺴﺮاﻵﯾﺎت اﻟﻘﺮآﻧﯿﺔ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎرﻫﺎ ﺟﺰء ﻻ ﯾﺘﺠﺰأ ﻛﻤﺎ ﯾﺘﻤﯿﺰ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ‬
‫اﻟﻤﻔﺴﺮﯾﻦ اﻟﻤﻌﺎﺻﺮﯾﻦ ﻓﻰ اﺳﻠﻮب ﻣﻌﺎﻟﺠﺘﻪ ﻟﻶﯾﺎت اﻟﻘﺮآﻧﯿﺔ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﯿﺔ وﺑﺎﻋﺘﺒﺎر اﻵﯾﺎت اﻟﻘﺮآﻧﯿﺔ‬
‫ﺟﺰء ﻻ ﯾﺘﺠﺰأ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﯿﺔ اﺧﺮى‬
‫‪xv‬‬
ABSTRACT
This research paper is called “The Interpretation of Gender in al-Misbah
Interpretation”. The Al-Qur’an interpretation of gender verses often inaccurate and
bias among the mufassirs, whether they are classic or contemporary. The differences
of their views are caused by variance instruments among the mufassirs. Most of them
justify the Al-Qur’an interpretation based on the verses text of Al-Qur’an and search
for the truthful meaning by using hadists or scientific knowledge. This instrument, by
contemporary mufassirs is called textual (accurate with the meaning of verses text) or
by classic mufassirs is called al-‘ibrah bi umûm al-lafzhi la bi khushûsh al-sabab. For
the meantime, other mufassirs interpret the Al-Qur’an verses originated from real life
context. Verses text serve as sustainable supporting media, meanwhile verses text
which opposite with real life context is considered irrelevant. This instrument, by
contemporary mufassir is called contextual al-‘ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi
umûm al-lafzhi. The purpose of this research is to reveal the views of Muhammad
Quraish Shihab about gender verses and tools that he used in defining gender verses
in al- Mishbah interpretation. The steps taken in this research are: First, to identify
and clarify gender verses in Al-Qur’an. Second, restrict those verses which relate to
human re-creation, heritage, witness, leadership, and polygamy.Finally, carry out a
deeply analysis to al-Mishbah interpretation which relates to those gender verses.
This research discovered that the view of Muhammad Quraish Shihab about gender is
sexes. Therefore, gender bias is a deviation that carried out by everyone, man or
woman, Moslem or non Moslem, and Ulama or non Ulama, which has been
happening from the ancient times until today; for example: someone who gives the
right to other people more than his destiny, or someone who does not give other
people’s right as his destiny is called gender bias. Muhammad Quraish Shihab has the
same point of view with classic Mufassir about woman’s rights in his interpretation,
which is return to the text, he also pay attention to present context. That is why he
looks as if he is a moderate scriptural since he put a lot of effort to return to the
problems which is faced by Moslem people to the holly Al-Qur’an by carefully
examines the context. The media used by Muhammad Quraish Shihab is the same
with the classic mufassirs that is accurate with the meaning of verses text or al-‘ibrah
bi umûm al-lafzhi la bi khushûs al-sabab. According to Muhammad Quraish Shihab
beliefs, as a human being, there are no different between man and woman, because
making a comparison between two different sexes will create the third creature,
neither a man nor a woman. A woman should be positioned according to her fate,
because by giving woman’s more of her civil rights other than her destiny or not
giving her the rights as her destiny is considered gender bias. The outcome of this
research demonstrates that Muhammad Quraish Shihab interpret Al-Qur’an verses
entirely, meanwhile, the contemporary Mufassirs have been interpreting verses only
partially.
xvi
KATA PENGANTAR
‫ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ‬
‫ واﻟﺼﻼة و اﻟﺴﻼم ﻋﻠﻰ ﺳﯿﺪﻧﺎ‬, ‫اﻟﺤﻤﺪ ﷲ اﻟﺬى اﻧﻌﻤﻨﺎ ﺑﻨﻌﻤﺔ اﻻﯾﻤﺎن واﻻﺳﻼم وﻫﻰ اﻋﻈﻢ اﻟﻨﻌﻢ‬
.‫ﻣﺤﻤﺪ ﺧﺎﺗﻢ اﻟﻨﺒﯿﯿﻦ واﻣﺎم اﻟﻤﺘﻘﯿﻦ وﻋﻠﻰ آﻟﻪ و ﺻﺤﺒﻪ وﻣﻦ ﺗﺒﻌﻪ اﻟﻰ ﯾﻮم اﻟﺪﯾﻦ اﻣﺎ ﺑﻌﺪ‬
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. karena
atas rahmat, taufik , dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan
Disertasi dengan judul “Penafsiran Ayat-Ayat Jender dalam Tafsir AlMishbah”. Disertasi ini ditulis dalam rangka menyelesaikan studi jenjang S3
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya salawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah
kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad saw. beserta sahabat dan keluarganya.
Keberhasilan penulisan Disertasi ini tidak terlepas dari jasa, bantuan,
dan dorongan semua pihak, antara lain para dosen Pascasarjana UIN Jakarta,
khususnya dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk
membantu dan mengarahkan penulis terhadap semua masalah yang ada dalam
proses penulisan Disertasi ini.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyelesaian tugas
yang mulia ini, yaitu:
xvii
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Azyumardi Azra,
M.A. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
kuliah pada Program Pascasarjana (S3) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan juga telah memberikan bantuan moril dan materil.
2. Direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.
H. Komaruddin Hidayat, M.A. beserta para dosen yang dengan tulus dan
ikhlas berkenan memberikan ilmu sehingga mengantarkan penulis untuk
menyelesaikan penulisan disertasi ini.
3. Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. sebagai promotor yang telah banyak
mengarahkan penulis dalam merumuskan dan menyelesaikan persoalan
yang dihadapi.
4. Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A. sebagai promotor dan juga sebagai
ketua konsentrasi Tafsir Hadis di Program Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak mengarahkan penulis dalam
merumuskan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
5. Kepala Perpustakaan Pascasarjana dan Umum UIN Syrif Hidayatullah
Jakarta, IIQ, dan perpustakaan pribadi almarhum K.H. Ibrahim Hosen,
LML.
6. Kedua orang tua penulis, ayahanda Mungtamad (almarhum) dan ibunda
Fatimah (almarhumah) yang telah mendidik penulis diwaktu kecil.
xviii
7. Kedua orang tua asuh penulis, Bapak Prof.K.H.Ibrahim Hosen,LML
(almarhum) dan Ibunda Zatiah Ibrahim Hosen yang telah memberikan
bantuan baik materil maupun moril selama penulis ikut dirumahnya.
8. Istri tercinta, Yesmini Hasnul dan anak tercinta Raudhatul Azhar yang telah
sabar dan rela memberikan pengorbanan waktu, memberikan kelapangan
hati bahkan memberi dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
ini.
9. Teman, kolega, dan semua sahabat yang tidak mungkin disebutkan satu per
satu atas kebaikan dan kontribusi mereka baik dalam bentuk saran, gagasan,
bahkan ide-ide yang semuanya sangat mendukung untuk penyempurnaan
disertasi ini.
Akhirnya, penulis berdoa kepada Allah swt. semoga semua bantuan
dan partisipasi dari semua pihak tersebut, diberikan ganjaran yang berlipat
ganda dari Allah swt. Demikian pula semoga disertasi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Amin.
Jakarta,
Agustus 2006
Sya’ban 1427
Penulis
xix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam penulisan disertasi ini, penulis menggunakan pedoman transliterasi
sebagai berikut:
A.Konsonan
Arab
‫أ‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
Latin
a/’
b
t
ts
j
h
kh
d
dz
r
z
s
sy
sh
B. Vokal Pendek
a Contoh ‫ ﻗﺮأ‬ditulis qara’a
i
Contoh ‫ رﺣﻢ‬ditulis rahima
u Contoh ‫ ﻛﺘﺐ‬ditulis kutub
Arab
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
‫و‬
‫ه‬
‫ي‬
Latin
dh
th
zh
‘
g
f
q
k
l
m
n
w
h
y
C. Vokal Panjang
â Contoh ‫ ﻗﺎﻣﺎ‬ditulis qâmâ
î Contoh ‫ رﺣﯿﻢ‬ditulis rahîm
û Contoh ‫ ﻋﻠﻮم‬ditulis ‘ulûm
xx
PANITIA UJIAN PROMOSI
Ketua
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tim Penguji Disertasi :
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA
Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA
Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA
Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA
Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA
Dr. H. Yusuf Rahman, MA
xxi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………..
I
PROMOTOR ………………………………………………………….
ii
TIM PENGUJI DISERTASI…………………………………………
iii
PERSETUJUAN I .. ………….. …..…………………………………
iv
KETERANGAN PENGUJI …………………………………………
vi
PERSETUJUAN II ………………………………………………….
ix
SURAT PERNYATAAN PENULIS………………………………...
xi
ABSTRAKSI ……………………………………………………….....
xii
KATA PENGANTAR………………………………………………..
xvi
PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………………
xix
PANITIA UJIAN DISERTASI TERBUKA…………………………
xx
DAFTAR ISI………………………………………………………….
xxi
BAB I.
PENDAHULUAN …………………...…………………….
1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………….
1
B. Pokok Permasalahan …………………………………...
20
1. Identifikasi Masalah ………………………………..
20
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah…....................
20
C. Tinjauan Kepustakaan ……………………....................
21
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………...
29
E. Kerangka Teori ………………………………………...
30
xxii
BAB II.
F. Metodologi Penelitian ………………………………….
44
G. Sistematika Penelitian ……………………………….....
49
TAFSIR AL-MISHBAH DAN PENAFSIRNYA
50
A. Tafsir Al-Mishbah
50
1. Nama Yang Dipilih
50
2. Motivasi Yang Mendorong Penulisannya
51
3. Sumber Penafsiran Yang Dirujuk
52
4. Metode Penafsiran Yang Dipilih
53
5. Bentuk Dan Corak Tafsirnya
54
6. Sistematika Penulisannya
54
B Riwayat Hidup Muhammad Quraish Shihab
55
1. Latar Belakang Keluarga
55
2. Latar Belakang Pendidikan
56
3. Latar Belakang Karier dan Pengabdian
62
4. Karya Intelektual
65
BAB III. SEKILAS TENTANG TEORI JENDER ………………..
84
A. Pengertian Jender ………………………………………
84
B. Atribut dan Identitas Jender …………………………....
85
C. Biologi/Jender dan Perilaku Manusia ……………….....
87
D. Jender Menurut Muhammad Quraish Shihab ………….
104
BAB IV. ANALISIS PENAFSIRAN AYAT-AYAT JENDER
xxiii
BAB V.
DALAM TAFSIR AL-MISHBAH
109
A. Term-Term Jender Dalam al-Qur’an …………………..
109
B. Ayat-Ayat Penciptaan Manusia ………………………..
135
C. Ayat-Ayat Kewarisan ……………… …...….................
161
D. Ayat-Ayat Persaksian ………………………………….
175
E. Ayat-Ayat Kepemimpinan …………………………….
197
F. Ayat-Ayat Poligami ……………………………………
251
PENUTUP …………………………………………………
289
A. Kesimpulan ……………………………………………
289
B. Saran …………………………………………………..
299
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………... 301
xxiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penafsiran al-Qur'an masih sering dijadikan dasar untuk menolak
kesetaraan jender. Kitab-kitab tafsir dijadikan referensi dalam mempertahankan status quo dan melegalkan pola hidup patriarki, yang memberikan hak-hak
istimewa kepada laki-laki dan cenderung memojokkan perempuan.1
Kitab tafsir yang dimaksud menurut hemat penulis antara lain tafsir
Jâmi al-Bayân Fî Ta ’wîl al-Qur ’an karya al-Thabari, karena dia terkenal hanya
mengumpulkan hadis-hadis tanpa menyeleksi keshohehan hadis yang dia
kumpulkan, antara lain tentang hadis penciptaan perempuan yang dikutip alThabari dalam tafsirnya berbunyi :
‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺳﺒﺎﻁ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺪﻯ‬: ‫ ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﲪﺎﺩ ﻗﺎﻝ‬: ‫ﺣﺪﺛﲎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﻫﺮﻭﻥ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﺍﺳﻜﻦ ﺁﺩﻡ ﺍﳉﻨﺔ ﻓﻜﺎﻥ ﳝﺸﻰ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﺣﺸﺎ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺯﻭﺝ ﻳﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﺎﻡ ﻧﻮﻣﺔ‬:‫ﻗﺎﻝ‬
: ‫ﻓﺎﺳﺘﻴﻘﻆ ﻓﺎﺫﺍ ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺳﻪ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﺧﻠﻘﻬﺎ ﺍﷲ ﻣﻦ ﺿﻠﻌﻪ ﻓﺴﺄﳍﺎ ﻣﺎ ﺍﻧﺖ؟ ﻗﺎﻟﺖ‬
٢
‫ ﻭﳌﺎ ﺧﻠﻘﺖ ؟ ﻗﺎﻟﺖ " ﺗﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ‬: ‫ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻗﺎﻝ‬
Musa Bin Harun menceritakan kepada saya, dia berkata, ”Amr Bin
Hamad memberitakan kepada kami, dia berkata, 'Asbath dari al-Saddi
telah berkata, 'Adam bertempat tinggal di surga, lalu dia berjalan di
dalam surga dalam kondisi kesepian yang tidak punya istri yang dia
cenderung padanya, lalu dia tidur nyenyak, lalu bangun, tiba tiba di
atas kepala dia ada seorang perempuan yang sedang duduk yang
diciptakan Allah dari tulang rusuknya, lalu dia bertanya, 'Ada apa
engkau?' Dia menjawab, 'saya seorang perempuan. Adam bertanya,
1
Nasaruddin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran al-Qur'an, (selanjutnya tertulis Bias
Jender) (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Tafsir pada Fak.Ushuluddin IAIN Syahid
Jakarta, 2002), h.1
2
Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari/Jami al-Bayân fî Ta ’wîl alQur ’an,(selanjutnya tertulis Tafsir al-Thabari) (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Cet. III, Jilid
III, h. 566
١
2
'Untuk apa kamu diciptakan?', Dia menjawab, 'Agar kamu cenderung
kepadanya ".
‫ ﺍﻟﻘﻰ ﻋﻠﻰ ﺁﺩﻡ ﺻﻠﻌﻢ ﺍﻟﺴﻨﺔ‬: ‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﺳﺤﻖ ﻗﺎﻝ‬: ‫ﺣﺪﺛﻨﺎﺍﺑﻦ ﲪﻴﺪ ﻗﺎﻝ‬
‫– ﻓﻴﻤﺎﺑﻠﻐﻨﺎﻋﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺘﻮﺭﺍﺓ ﻭ ﻏﲑﻫﻢ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ‬
‫ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻭ ﻏﲑﻩ ﰒ ﺍﺧﺬ ﺿﻠﻌﺎ ﻣﻦ ﺿﻼﻋﻪ ﻣﻦ ﺷﻘﻪ ﺍﻻﻳﺴﺮ ﻭﻷﻡ ﻣﻜﺎﻧﻪ ﻭﺁﺩﻡ ﻧﺎﺋﻢ ﱂ‬
‫ﻳﻬﺐ ﻣﻦ ﻧﻮﻣﺘﻪ ﺣﱴ ﺧﻠﻖ ﺍﷲ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭ ﺗﻌﺎﱃ ﻣﻦ ﺿﻠﻌﻪ ﺗﻠﻚ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﺣﻮﺍﺀ ﻓﺴﻮﺍﻫﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓ‬
‫ ﻓﻴﻤﺎ‬: ‫ﻟﻴﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺸﻔﺖ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﻫﺐ ﻣﻦ ﻧﻮﻣﺘﻪ ﺭﺁﻫﺎ ﺍﱃ ﺟﻨﺒﻪ ﻓﻘﺎﻝ‬
٣
‫ﻳﺰﻋﻤﻮﻥ ﻭﺍﷲ ﺍﻋﻠﻢ ﳊﻤﻰ ﻭ ﺩﻣﻰ ﻭ ﺯﻭﺟﱴ ﻓﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ‬
”Ibnu Hamid telah berkata, 'Salmah dari Ibnu Ishak menceritakan
kepada kami. Dia berkata, 'Adam mengantuk, di mana berita itu
sampai kepada kami dari Ahlu al-Kitab dari Ahli Taurat dan Ahli Ilmu
lainnya. Dari Abdillah Bin al-Abbas dan yang lainnya. Kemudian
Allah mengambil salah satu tulang rusuk Adam dari sebelah kiri, di
mana Adam sedang tidur, yang belum bangun dari tidurnya, Allah swt.
menciptakan Istri Adam dari tulang rusuk Adam yaitu Hawa, lalu
Allah menyempurnakannya menjadi seorang perempuan, agar Adam
menjadi tenang hatinya kepadanya, ketika mengantuknya hilang,
Adam bangun dari tempat tidurnya, dia melihat perempuan itu berada
di sampingnya, lalu Adam berkata, 'Pada apa yang mereka duga Hanya
Allah yang tau, dagingku, darahku dan istriku, lalu dia menjadi
tentram bersamanya.'"
Dua hadis tersebut persis seperti cerita yang terdapat dalam Perjanjian
Lama yang diterbitkan oleh Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta tahun 1997
ayat 21-23 yang berbunyi,
Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia
tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu
menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil
Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan
lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu,
'Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan
dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.4
3
Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari…, h. 566
Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta, Al-Kitab (Perjanjian Lama), (Jakarta: Lembaga alKitab Indonesia, 1997), Cet. Ke-155, h. 2
4
3
Di dalam Islam ada beberapa isu kontroversi berkaitan dengan relasi
jender, antara lain tentang asal usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan,
persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak talak perempuan, serta peran
publik perempuan.5
Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa
masalah, baik dari segi subtansi kejadian maupun peran yang diemban dalam
masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan
tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena
ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan
seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis
kelamin inilah yang disebut jender.6
Penulis sepakat untuk meninjau kembali penafsiran ayat-ayat yang
bernuansa jender dalam rangka pemberdayaan perempuan dan sekaligus untuk
meluruskan pandangan negatif tentang perempuan yang selama ini telah
mendominasi pandangan kebanyakan masyarakat manusia. Namun kita harus
berhati-hati dalam menyimpulkan suatu penafsiran orang lain yang dianggap
keliru itu, bila kita hanya memahami ayat al-Qur’an bersifat parsial.
Bila kita memperhatikan secara cermat tentang makhluk Allah, maka
kita akan melihat semua ciptaan Allah di alam ini tidak ada yang sama,
khususnya manusia sebagai makhluk yang berakal. Pada hakikatnya manusia
tidak ada yang sama persis baik amal, rizki, IQ, tubuh, hak, dan kewajibannya
sesuai dengan fungsi dan kadar kualitas yang dimilikinya. Misalnya antara
sesama manusia mesti ada perbedaan, laki-laki berbeda dengan perempuan,
5
Nasaruddin Umar, Bias Jender…, h. 1
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an, (selanjutnya tertulis
Kesetaraan Jender) (Jakarta: Parama-dina, 2001), Cet.II., h.1
6
4
antara sesama laki-laki satu dengan yang lain ada perbedaan, bahkan amal
yang dikerjakan oleh seorang yang sama dengan waktu yang berbeda ada
perbedaan sesuai dengan kualitas dan keikhlasan mengerjakan amal tersebut
(Q.S. al-Nisâ’/4: 32 dan Q.S. al-Nisâ’/4: 34).
Contoh kongkrit dapat kita lihat adanya dua orang saudara kembar.
Secara fisik mungkin kelihatannya sama padahal bila diteliti secara cermat
suara dan sidik jari keduanya pasti berbeda.
Islam selalu menghargai sifat seorang perempuan dan menganggapnya
memainkan peran yang menyatu dengan peran laki-laki. Islam juga
menganggap laki-laki memainkan peran yang menyatu dengan peran
perempuan. Keduanya bukanlah musuh, lawan, atau saingan satu sama lain.
Justru keduanya saling menolong dalam mencapai kesempurnaannya masingmasing sebagai laki-laki dan perempuan maupun sebagai manusia secara
keseluruhan.7
Lelaki dan perempuan memiliki kekurangan yang tidak dapat ditutup
kecuali oleh lawan jenisnya. (Q.S.al-Taubah/9:71) dan (Q.S.al-Baqarah/2:187).
Perintah Allah kepada alam semesta menjadikan adanya pasangan
dalam segala hal di dalamnya. Prinsip ini terwujud dalam kehadiran laki-laki
dan perempuan dalam dunia kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan, dan
adanya positif dan negatif dalam dunia tak hidup dengan gejala magnet, listrik,
dan sebagainya. Bahkan dalam atom terdapat muatan positif dan negatif, yakni
proton dan elektron.8 Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an
(٤٩ : ٥١ /‫ﻭﻥﹶ)ﺍﻟﺬﺍﺭﻳﺎﺕ‬‫ﺬﹶﻛﱠﺮ‬‫ ﺗ‬‫ﻠﱠﻜﹸﻢ‬‫ﻦِ ﻟﹶﻌ‬‫ﻴ‬‫ﺟ‬‫ﻭ‬‫ﺯ‬
7
‫ﺎ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﺀٍ ﺧ‬‫ﻲ‬‫ ﻛﹸﻞﱢ ﺷ‬‫ﻣِﻦ‬‫ﻭ‬
Yusuf al-Qardhawi, Kedudukan Wanita Dalam Islam, (selanjutnya tertulis Kedudukan
Wanita) Terjemahan Melathi Adhi Damayanti dan Santi Indra Astuti, (Jakarta: PT.Global Media
Publishing, 2003), h. 39
8
Yusuf al-Qardhawi, Kedudukan Wanita …, h. 39
5
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah. (Q.S. al-Dzâriyât/52: 49).
Laki-laki dan perempuan seperti sebuah kaleng dengan tutupnya.
Sebuah kesatuan yang meliputi suatu benda dan suku cadangnya. Yang satu
tidak akan ada tanpa yang lain. Ketika Allah menciptakan jiwa manusia yang
pertama (Adam), Dia juga menciptakan pasangannya (Hawa), sehingga ia
dapat membangun dan menemukan kedamaian bersamanya.9
Perempuan tidak dilarang bekerja di luar rumah. Hal ini dapat dilihat
dalam kisah Nabi Musa a.s. pada saat Nabi Musa tiba di sumber air Madyan,
sebagaimana diceritakan dalam (Q.S.al-Qashash/28:23-25) :
‫ﺍﻥِ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬‫ﺬﹸﻭﺩ‬‫ﻦِ ﺗ‬‫ﻴ‬‫ﺃﺗ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻣ‬‫ﻭﻧِﻬِﻢ‬‫ ﺩ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺪ‬‫ﺟ‬‫ﻭ‬‫ﻘﹸﻮﻥﹶ ﻭ‬‫ﺴ‬‫ﺎﺱِ ﻳ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺔﹰ ﻣِﻦ‬‫ﻪِ ﺃﹸﻣ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺟ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻳ‬‫ﺪ‬‫ﺎﺀَ ﻣ‬‫ ﻣ‬‫ﺩ‬‫ﺭ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻟﹶﻤ‬‫ﻭ‬
‫ﻟﱠﻰ ﺇِﻟﹶﻰ‬‫ﻮ‬‫ ﺗ‬‫ﺎ ﺛﹸﻢ‬‫ﻤ‬‫ﻘﹶﻰ ﻟﹶﻬ‬‫ﻓﹶﺴ‬. ‫ ﻛﹶﺒِﲑ‬‫ﺦ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﺷ‬‫ﻮﻧ‬‫ﺃﹶﺑ‬‫ﺎﺀُ ﻭ‬‫ﻋ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺪِﺭ‬‫ﺼ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﻘِﻲ ﺣ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﻟﹶﺎ ﻧ‬‫ﺎ ﻗﹶﺎﻟﹶﺘ‬‫ﻜﹸﻤ‬‫ﻄﹾﺒ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ﻣ‬
ٍ‫ﺎﺀ‬‫ﻴ‬‫ﺘِﺤ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﺳ‬‫ﺸِﻲ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺪ‬‫ ﺇِﺣ‬‫ﻪ‬‫ﺎﺀَﺗ‬‫(ﻓﹶﺠ‬٢٤)‫ﺮٍ ﻓﹶﻘِﲑ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ ﺇِﻟﹶﻲ‬‫ﻟﹾﺖ‬‫ﺰ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﻲ ﻟِﻤ‬‫ ﺇِﻧ‬‫ﺏ‬‫ﺍﻟﻈﱢﻞﱢ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬
‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﺎ‬‫ﺺ‬‫ﻪِ ﺍﻟﹾ ﹶﻘﺼ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻗﹶﺺ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺀَﻩ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ﺎ ﻓﹶﻠﹶﻤ‬‫ ﻟﹶﻨ‬‫ﺖ‬‫ﻘﹶﻴ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺟ‬‫ﻚ‬‫ﺰِﻳ‬‫ﺠ‬‫ ﻟِﻴ‬‫ﻮﻙ‬‫ﻋ‬‫ﺪ‬‫ ﺇِﻥﱠ ﺃﹶﺑِﻲ ﻳ‬‫ﻗﹶﺎﻟﹶﺖ‬
( ٢٥-٢٣: ٢٨/‫ )ﺍﻟﻘﺼﺺ‬‫ﻡِ ﺍﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﲔ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﻮ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺕ‬‫ﻮ‬‫ﺠ‬‫ ﻧ‬‫ﻒ‬‫ﺨ‬‫ﺗ‬
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di
sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia
menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan yang
sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata, "Apakah maksudmu
(dengan berbuat begitu)?" Kedua perempuan itu menjawab, "Kami
tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembalapengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah
orang tua yang telah lanjut umurnya". Maka Musa memberi minum
ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke
tempat yang teduh lalu berdoa, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan
kepadaku". Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari
kedua perempuan itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata,
"Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan
terhadap (kebaikan) mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala
Musa mendatangi bapaknya (Syuaib) dan menceritakan kepadanya
9
Yusuf al-Qardhawi, Kedudukan Wanita…, h. 40
6
cerita (mengenai dirinya). Syuaib berkata, "Janganlah kamu takut.
Kamu telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu". (Q.S. alQashash/28: 23-25).
Ketinggian derajat seseorang tidak ditentukan berdasarkan jenis
kelaminnya, tapi berdasarkan kualitas takwanya
(Q.S. al-Hujurât/49: 13).
Karya laki-laki dan perempuan di sisi Allah diberi penilaian dan balasan yang
sama dan sedikitpun tidak dibedakan. Bila melakukan kebaikan, akan
diberikan kebaikan dan jika melakukan keburukan akan dibalas dengan
keburukan. (Q. S. al-Zalzalah/99: 7-8). Siapa yang beramal saleh baik laki-laki
maupun perempuan akan mendapat surga tanpa dikurangi sedikitpun
pahalanya. (Q.S. al-Nisâ’/4: 124). Begitu pula, baik laki-laki maupun
perempuan akan memperoleh kebaikan dan keburukan dari apa yang dilakukan
tanpa dizhalimi sedikitpun. (Q.S.al-Mu'min/40: 17). Begitu juga Nabi
Muhammad saw. Telah menetapkan prinsip persamaan antara laki-laki dan
perempuan dengan menegaskan :
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﲪﺎﺩ ﺑﻦ ﺧﺎﻟﺪ ﺍﳋﻴﺎﻁ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺍﻟﻌﻤﺮﻯ ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﷲ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ‬
‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ ﺳﺌﻞ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﳚﺪ ﺍﻟﺒﻠﻞ ﻭﻻ ﻳﺬﻛﺮ ﺍﺣﺘﻼﻣﺎ ﻗﺎﻝ‬
‫ﻳﻐﺘﺴﻞ ﻭ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻳﺮﻯ ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﺍﺣﺘﻠﻢ ﻭﻻ ﳚﺪ ﺍﻟﺒﻠﻞ ﻓﺎﻝ ﻻ ﻏﺴﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﺍﻡ ﺳﻠﻴﻢ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺗﺮﻯ‬
١٠
‫ﺫﻟﻚ ﺍﻋﻠﻴﻬﺎ ﻏﺴﻞ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﺍﳕﺎ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺷﻘﺎﺋﻖ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ‬
Artinya:”Qutaibah Bin Said telah menceritakan kepada kami, Hammâd Bin
Khalid al-Khayyâth telah menceritakan kepad kami, Abdullah al-‘Umari telah
menceritakan kepada kami dari ‘Ubaidillah, dari al-Qâsim dari ‘Aisyah telah
berkata:”Rasulullah saw. ditanya tentang seorang laki-laki menjumpai air
(kebasahan) padahal dia tidak mimpi, Rasulullah menjawab dia harus mandi
dan tentang laki-laki mimpi tapi tidak basah, Rasulullah menjawab dia tidak
perlu mandi Ummu Sulaim berkata:”Ada seorang perempuan melihat basah,
10
Abu Dawud Sulaiman Bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Bairut : Dâr al-Fikr,
1994), Jilid I., h. 66
7
apakah dia harus mandi, Rasulullah menjawab dia harus mandi, bahwa
perempuan adalah saudara kandung laki-laki.
Namun pada ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia,
kewarisan, persaksian, kepemimpinan, dan poligami terkesan diskriminatif
terhadap kaum perempuan, dan ayat-ayat ini pula yang sering digunakan para
mufassir klasik untuk memojokkan perempuan.
Uraian ayat-ayat di atas seolah-olah ada perbedaan satu ayat dengan
ayat yang lainnya, padahal ayat-ayat al-Qur'an itu semuanya bersumber dari
Allah yang tidak mungkin akan saling bertentangan satu ayat dengan ayat yang
lain. Jika makna suatu ayat seolah-olah bertentangan, maka perlu merujuk pada
ayat lain, sehingga tidak terkesan antara ayat itu bertentangan. Sebagaimana
firman Allah:
( ٨ : ٣٥/ ‫ﺎﺀُ )ﻓﺎﻃﺮ‬‫ﺸ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺪِﻱ ﻣ‬‫ﻬ‬‫ﻳ‬‫ﺎﺀُ ﻭ‬‫ﺸ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻀِﻞﱡ ﻣ‬‫ ﻳ‬‫ﻓﹶﺈِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬
Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya
dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya…(Q.S. Fâthir/35: 8)
Dengan pernyataan ini seolah-olah Allah menyesatkan dan memberi
petunjuk kepada hamba-Nya secara acak tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi
dugaan tersebut akan hilang jika membaca ayat lain yang berbunyi:
‫ﻳﻬﺪﻯ ﺑﻪ ﺍﷲ ﻣﻦ ﺍﺗﺒﻊ ﺭﺿﻮﺍﻧﻪ ﺳﺒﻞ ﺍﻟﺴﻠﻢ ﻭ ﳜﺮﺟﻬﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻈﻠﻤﺖ ﺍﱃ ﺍﻟﻨﻮﺭ ﺑﺎﺫﻧﻪ ﻭﻳﻬﺪﻳﻬﻢ ﺍﱃ ﺻﺮﺍﻁ‬
(١٦ :٥/‫ﻣﺴﺘﻘﻴﻢ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan (kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benerang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus.(Q.S.al-Mâidah/5:16)
Begitu pula pada ayat-ayat yang bernuansa jender harus dipahami tidak
parsial, salah satu contoh dalam (Q.S.al-Nisâ’/4: 11) menyatakan, bahwa
bagian waris seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Ayat
ini nampaknya tidak adil, karena bagian anak perempuan berbeda dengan
8
bagian anak laki-laki, padahal keduanya sama-sama anak kandung. Namun bila
kita memperhatikan (Q.S.al-Nisâ’/4:34) yang menyatakan bahwa kaum lakilaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan disebabkan kaum lelaki
diberikan Allah sifat kepemimpinan dan diwajibkan memberi nafkah kepada
kaum perempuan, maka perempuan mendapat setengah dari laki-laki justru
sudah adil. Sebab laik-laki bila dia menikah, maka harta warisan yang
diperoleh dari orang tuanya akan dipergunakan untuk membayar mahar dan
nafkah istrinya bahkan bila punya anak untuk membiayai anak-anaknya,
sedangkan anak perempuan jika dia menikah, maka harta warisan yang
diperoleh dari orang tuanya tidak terpakai karena dia mendapat nafkah dari
suaminya, bahkan dia mendapat mahar dari suaminya.11
Artinya,
jika
ayat-ayat
al-Qur'an
dipahami
secara
seimbang,
proporsional, dan terintegrasi satu sama lain, maka semua ayat yang tercantum
dalam al-Qur'an tidak akan saling bertentangan. Begitu juga masalah ayat-ayat
yang bernuansa jender, harus dipahami secara utuh, tidak parsial.
Tapi lain halnya jika menafsirkan ayat berangkat dari konteks ayat
sebagaimana yang dikatakan oleh Husein Muhammad:
Saya kira soal warisan adalah berkaitan dengan realitas dari
struktur hubungan suami istri. Selama laki-laki masih diposisikan
sebagai penanggungjawab nafkah keluarga, membayar maskawin,
membiayai ongkos-ongkos yang lain terhadap pihak lain yang menjadi
tanggung jawabnya, mut’ah (pemberian) dan sebagainya, maka
pembagian 2:1 adalah adil. Kalau relasi tersebut telah berubah, maka
ketentuan warisanpun bisa berubah. Sebab ketentuan warisan
merupakan logika lurus dari relasi suami istri. Justru sangat tidak adil,
jika 2:1 dipertahankan, sementara relasi suami istri telah mengalami
11
Lihat Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2, h.351, Lihat Tafsir Said
Hawa, al-Asâs Fî al-Tafsîr, Jilid II, h.1009, Lihat Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi,
Jilid IV, h.196, Lihat Zamakhsyari, al-Kasysyâf, Jilid I, h.469
9
perubahan yang menuju ke kesetaraan jender. Karena inti agama adalah
keadilan.12
Pada tataran konsep, laki-laki dan perempuan memang sama, tapi dalam
penerapannya tidak mungkin disamakan, karena al-Qur'an sendiri tidak akan
membebankan hukum kepada seseorang kecuali sesuai dengan kodrat, fungsi
dan tugas yang dibebankan kepadanya. (Q.S. al-Baqarah/2: 286). Untuk
mengetahui sisi perbedaan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan
tersebut seharusnya kembali kepada al-Qur'an dan Hadis. (Q.S. al-Nisâ’/4: 59).
Karena al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. sebagai petunjuk bagi orang
yang beriman untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. (Q.S. alBaqarah/2: 2), sedangkan Hadis merupakan penjelasan terhadap al-Qur’an
(Q.S. al-Nahl/16: 44). Al-Qur’an sendiri merupakan kebenaran yang mutlak
(Q.S. Ali Imrân/3: 60).
Al-Qur’an sebagai petunjuk tidak ada manfaatnya jika hanya sekadar
dibaca tanpa diketahui isi kandungannya. Oleh karena itu terhadap orang-orang
Yahudi yang diberi kitab Taurat kemudian tidak mengamalkannya,
diumpamakan Allah dengan keledai yang membawa Kitab Suci/Taurat (Q.S.
al-Jumu'ah/62: 5). Begitu juga dengan orang Islam yang diberi al-Qur’an, tapi
tidak mengamalkannya, ia bagaikan keledai yang membawa al-Qur’an. Untuk
itu penafsiran al-Qur’an (kitab tafsir al-Qur'an) sangat penting peranannya
dalam memahami kemurnian ajaran Islam dan untuk menggali serta
memahami kandungan al-Qur’an untuk diamalkan dalam kehidupan seharihari.
Sehubungan dengan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi
manusia, para mufassir berusaha memahami dan menjelaskan isi kandungan
12
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, (Yogyakarta:LkiS, 2004), h.129
10
al-Qur’an sesuai dengan kondisi yang ada, khususnya mengenai ayat-ayat
jender.
Perempuan memang merupakan sebaik-baik perhiasan di dunia,
sebagaimana ditegaskan Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
‫ﺣﺪﺛﻨﺎﻫﺸﺎﻡ ﺑﻦ ﻋﻤﺎﺭ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻴﺴﻰ ﺑﻦ ﻳﻮﻧﺲ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﺑﻦ ﺍﻧﻌﻢ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ‬
‫ﺎ‬‫ﻴ‬‫ﻧ‬‫ ﺇِﳕﺎﱠ ﺍﻟﺪ‬:َ ‫ ﻗﺎﻝ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﺍﷲ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ‬
١٣
‫ﺎ ﺷﻴﺊ ﺍﻓﻀﻞ ﻣﻦ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺍﻟﺼﺎﳊﺔ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻧ‬‫ﺎﻉِ ﺍﻟﺪ‬‫ﺘ‬‫ ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﻣ‬‫ﺎﻉ‬‫ﺘ‬‫ﻣ‬
Hisyam telah menceritakan kepada kami, Isa Bin Yunus telah
menceritakan kepada kami, Abdurrahman Bin Ziyâd Bin An’um telah
menceritakan kepada kami dari Abdullah Bin Yazîd, dari Abdullah Bin
Amr, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:”Bahwa dunia merupakan
perhiasan dan tidak ada sesuatu perhiasan di dunia yang lebih baik
daripada perempuan yang salehah. (H.R.Ibnu Majah).
Berbicara tentang perempuan memang indah, kendati nasib perempuan
dalam perjalanan sejarah tidak seindah dirinya, bahkan sering tidak menarik.
Perjalanan perempuan yang dikenal lembut, halus, dan luwes timbul tenggelam
antara harapan dan kenyataan. Perempuan sewaktu-waktu berada dalam posisi
di atas, namun sering pula tersungkur pada posisi di bawah tanpa ada yang
menaruh belas kasihan.
Kaum perempuan pada masa jahiliyah bagaikan barang atau harta yang
bisa diwarisi oleh keluarga yang ditinggalkan. Hal ini diungkapkan oleh Husen
Muhammad Yusuf dalam bukunya yang berjudul Ahdâf al-Usrah Fî al-Islâm.
Bahwa seorang perempuan pada masa jahiliyah dapat diwariskan
seperti harta warisan. Apabila suami sang istri meninggal dunia, maka
anak yang bukan dari istri yang ditinggalkan (anak tiri) dapat mewarisi
ibu tiri menjadi istrinya, bahkan boleh juga keluarga dekatnya yang
mewarisi ibu tersebut sebagai istrinya tanpa mahar (maskawin) atau
menikahkannya dengan orang lain, tapi maharnya diambil oleh keluarga
13
al-Hâfizh Abu Abdullah Muhammad Bin Yasin al-Quzweni, Sunan Ibnu Majah, (alQâhirah, Dâr al-Hadîs, 1998), Jilid II, h. 156
11
dekatnya tersebut, bila dia ingin membiarkannya, maka dia tidak
mempedulikannya dengan status tidak janda dan tidak menikah sampai
dia menebus dirinya dari harta warisan suaminya yang meninggal atau
dibiarkannya sampai meninggal, lalu dia mewarisi hartanya.14
Muhammad Quraish Shihab menyatakan,
Perempuan sering kali diperlakukan secara tidak wajar, baik karena
tidak mengetahui kadar dirinya maupun mengetahuinya namun terpaksa
menerima pelecehan. Ini terjadi dalam masyarakat modern, lebih-lebih
dalam masyarakat masa lalu. Pada zaman Yunani Kuno, dimana hidup
filosof-filosof kenamaan semacam Plato (427-347 SM), Aristotales
(384-322 SM) dan Demosthenes (384-322 SM), martabat perempuan
dalam pandangan mereka sungguh rendah. Perempuan hanya dipandang
sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga
serta pelepas nafsu seksual lelaki, karena itu perzinaan sangat
merajalela. Socratos (470-399 SM) berpendapat bahwa dua sahabt setia,
harus mampu meminjamkan istrinya kepada sahabatnya, sedangkan
Demosthenes (384-322 SM) berpendapat bahwa istri hanya berfungsi
melahirkan anak, filosof Arestotales menganggap perempuan sederajat
dengan hamba sahaya, sedang Plato menilai kehormatan lelaki pada
kemampuannya memerintah, sedangkan kehormatan perempuan
menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaanpekerjaan yang sederhana/hina sambil terdiam tanpa bicara.15
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menyatakan,
Sejarah mencatat betapa suatu ketika perempuan dinilai sebagai
makhluk kelas dua. Dalam masyarakat Hindu, istri harus mengabdi
kepada suaminya bagaikan mengabdi kepada Tuhan. Ia harus berjalan
dibelakangnya, tidak boleh berbicara dan tidak juga makan bersamanya,
tetapi memakan sisanya. Bahkan sampai abad XVII, seorang istri harus
dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar, atau kalau ingin
tetap hidup sang istri mencukur rambutnya, memperburuk wajahnya
agar terjamin bahwa ia tidak lagi akan diminati lelaki. Di Eropa –
khushusnya pada masa lalu- perempuan belum juga mendapat
tempatterhormat. Pada tahun 586 M, agamawan di Prancis masih
mendiskusikan apakah perempuan boleh menyembah Tuhan atau tidak ?
Apakah mereka juga dapat masuk surga ? Diskusi-diskusi itu berakhir
14
Husen Muhammad Yusuf, Ahdâf al-Usrah fî al-Islâm, (selanjutnya tertulis Ahdâf al-Usrah)
(Cairo: Dâr al-I'tishâm , 1977 ), h. 24
15
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (selanjutnya tertulis Perempuan), Ciputat: Lentera
Hati, 2005), h. 102
12
dengan kesimpulan bahwa perempuan memiliki jiwa, tetapi tidak kekal
dan dia bertugas melayani lelaki. Pada masa silam di Eropa, hubungan
seks dianggap sesuatu yang buruk walau hubungan itu didahului oleh
pernikahan yang sah.16
Dia juga menegaskan:”Bahwa Parlemen Skotlandia pada tahun 1567 M.
menetapkan bahwa perempuan tidak boleh diberi sdikit wewenangpun, bahkan
pada pemerintahan Henry VIII (1491-1547 M.) di Inggris, lahir keputusan
yang melarang peremuan membaca kitab Injil (Perjanjian Baru).”17
Selanjutnya dia menyatakan,
Kendati Eropa telah mengalami revolusi industri (1750 M.) dan
perbudakan telah dikumandangkan penghapusannya, namun harakah
dan martabat perempuan belum juga mendapat tempatnya yang wajar.
Mereka bekerja di pabrik-pabrik, namun gajinya lebih rendah daripada
lelaki, bahkan di Inggris sampai dengan tahun 1805 M., perundangundangan mereka mengakui hak suami untuk menjual istrinya. Bahkan
menurut Rasyid Ridha (1865-1935 M) dalam bukunya Nidâ ’ al-Jins alLathîf mengutif koran Inggris- di pedalaman Inggris (hingga masa itu)
masih ditemukan suami yang menjual istrinya dengan harga yang sangat
murah, sampai tahun 1882 M, perempuan di sana belum memiliki hak
kepemilikan harta benda secara penuh, tidak juga berhak menuntut ke
pengadilan. Sisa-sisa dari pandangan ini menjadikan seorang perempuan
hingga masa kita ini, harus menghapus nama ayahnya yang menyertai
namanya- sebelum ia menikah dan menggantinya dengan nama
suaminya- begitu ia menjadi istri dari seorang lelaki.18
Dia menambahkan,
Perempuan- di masa lampau- juga dinilai tidak wajar mendapat
pendidikan, Elizabeth Black Will, dokter perempuan pertama yang
menyelesaikan setudinya di Geneve University pada tahun 1849 M,
dibaikot oleh teman-temannya sendiri dengan dalih bahwa perempuan
tidak wajar memperoleh pelajaran, bahkan ketika sementara dokter
bermaksud mendirikan Institut Kedokteran Khusus perempuan di
Philadelphia Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengancam akan
membaikot semua dokter yang mengajar di Institut itu.19
16
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan,…h. 103
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan,… h. 104
18
Mhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 104
19
Mhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 105
17
13
Jadi bila kita melihat dari masa ke masa, perempuan tidak mendapat
perhatian yang serius. Namun
dalam ajaran Islam, justru perempuan itu
mendapatkan kedudukan yang layak dan terhormat.
Di masyarakat Islam masih ada praktik-praktik yang menyalahi aturan
Islam, seperti ada orang tua memaksa mengawinkan anak perempuannya
tanpa dikehendaki oleh anak tersebut. Ada juga orang tua yang membedabedakan anak laki-laki dan perempuan. Itu semua bukan ajaran Islam,
melainkan perbuatan adat-istiadat orang dahulu. Islam adalah sesuatu dan
perbuatan orang Islam adalah sesuatu yang lain.20 Jadi, kita sebagai ummat
Islam harus bisa membedakan antara ajaran Islam dan perbuatan orang Islam,
karena perbuatan orang Islam belum tentu sesuai dengan ajaran Islam.
Begitu juga ada sebagian orang menuntut persamaan hak secara
mutlak antara laki-laki dan perempuan dan tidak mau mengikuti aturan Islam,
padahal aturan Islam lebih adil daripada aturan yang dibuat oleh manusia.
Karena Allah yang menciptakan laki-laki dan perempuan, dan Allah pula yang
membuat peraturan untuk mereka yang tidak memihak kepada salah satu jenis
laki-laki dan perempuan, tidak ada kepentingan bagi Allah, tapi Allah Maha
Tahu terhadap kemaslahatan makhluk-Nya. (Q.S. al-Muluk/67: 14).21
Islam memperbaiki manusia berdasarkan kenyataan, maslahat umum
bagi masyarakat. Agar semuanya bagaikan satu tangan dan satu badan,
sehingga bila salah satu anggota merasakan sakit, maka seluruh anggota badan
merasakan sakit. Sedangkan keadilan pada masa sekarang beragam. Adil
menurut orang Timur berbeda dengan adil menurut orang Barat, begitu juga
adil menurut orang Barat berbeda dengan adil menurut kaum Zionis, akan
tetapi adil menurut Tuhan hanya satu, karena Allah hanya satu, maka aturanNya juga satu (Q.S. al-An’âm/6: 153). Islam memerintahkan bersikap adil
sekalipun terhadap musuh dan memerintahkan rasa belas kasihan kepada
20
21
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah…, h. 19
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah …, h. 48
14
mereka, jika mereka tidak mengangkat senjata melawan kaum muslimin. (Q.S.
al-Mumtahanah/60: 8 ).22
Nasib perempuan baru terbela setelah al-Qur'an diturunkan. Al-Qur'an
memposisikan perempuan pada tempat yang terhormat, karena al-Qur'an tidak
menjadikan perempuan sebagai tirai pemisah dan tidak menjadikan rendah
derajat seseorang perempuan. Al-Qur'an melihat tinggi rendahnya seseorang
dari segi takwanya bukan dari segi jenis kelaminnya. (Q.S. al-Hujurât/49: 13).
Berkaitan dengan hal ini Syekh Mahmud Syaltut menegaskan:
‫ﻭﻗﺪ ﺩﻟﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻌﻨﺎﻳﺔ ﻋﻠﻲ ﺍﳌﻜﺎﻧﺔ ﺍﻟﱵ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺍﻥ ﺗﻮﺿﻊ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﳌﺮﺍﺓ ﰲ ﻧﻈﺮ ﺍﻻﺳﻼﻡ‬
٢٣
‫ﺎﻣﻜﺎﻧﺔ ﱂ ﲢﻆ ﺍﳌﺮﺍﺓ ﲟﺜﻠﻬﺎ ﰲ ﺷﺮﻉ ﲰﺎﻭﻱ ﺳﺎﺑﻖ ﻭﻻ ﰲ ﺍﺟﺘﻤﺎﻉ ﺍﻧﺴﺎﱐ‬‫ﻭﺍ‬
"Perhatian ini menunjukkan atas kedudukan yang selayaknya
perempuan itu ditempatkan menurut pandangan Islam. Sungguh
kedudukan yang diberikan Islam kepada perempuan itu merupakan
kedudukan yang tidak pernah diperoleh pada syariat agama samawi
terdahulu dan tidak pula ditemukan dalam masyarakat manusia
manapun."
Islam datang untuk melepaskan perempuan dari belenggu-belenggu
kenistaan dan perbudakan terhadap sesama manusia. Islam memandang
perempuan sebagai makhluk yang mulia dan terhormat. Makhluk yang
memiliki beberapa hak yang telah disyariatkan oleh Allah. Di dalam Islam,
haram hukumnya berbuat aniaya dan memperbudak perempuan. Allah
mengancam orang yang melakukan perbuatan itu dengan siksa yang sangat
pedih. Dari aspek kemanusiaan, laki-laki dan perempuan adalah sama-sama
manusia (Q.S. al-Hujurât/49:13). Dari aspek mengemban keimanan keduanya
sama (Q.S. al-Burûj/85: 10). Dari aspek menerima balasan akhirat keduanya
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah …,h. 49
Muhammad Syaltut , Al-Islâm 'Aqidatan wa Syariatan, (Beirut: Dâr al-Qalam, 1966),
22
23
h. 227
15
sama (Q.S. al-Nisâ/4: 124). Dari aspek tolong-menolong keduanya sama (Q.S.
al-Taubah/9: 71), dan masih banyak hak-hak yang lainnya.24
Mahdi Mahrizi mengatakan bahwa,
Islam membagi wilayah kehidupan menjadi dua bagian, manusia
dan jenis kelamin. Wilayah manusia tidak membeda-bedakan antara
laki-laki dan perempuan, karena wilayah ini tidak pernah mengenal
jenis kelamin, tidak memperhatikan feminim atau maskulin, karena
keduanya–laki-laki dan perempuan–secara aktif
berusaha keras
mencari dan menuju kesempurnaan. Namun pada wilayah kedua,
perempuan mesti menjadi seorang perempuan, hanya melakukan
aktivitas-aktivitas keperempuanan dan mematuhi kebutuhan-kebutuhan
spesialnya, sebagaimana laki-laki dalam wilayah ini harus berperilaku
seperti seorang laki-laki, hanya melakukan aktivitas-aktivitas
kelelakiannya.25
Tak seorangpun dapat memungkiri bahwa perlu upaya keras untuk
mengenal dua makhluk Tuhan ini, laki-laki dan perempuan, sehingga mampu
mengkritisi berbagai budaya, aturan, etiket, formalitas, dan pandangan
tersebut. Dalam hal ini, kita harus benar-benar menggunakan teks-teks agama
yang qath’i (pasti) dan mutawâtir. Al-Qur’an dan as-Sunnah, disertai dengan
berbagai penyimpulan dan eksperimen intuitif serta pemikiran manusia.
Dengan kata lain, mencermati riset-riset berpengalaman dan mengenal
deduksi-deduksi pengetahuan yang tak terbantahkan, sangatlah berperan dalam
memahami teks- teks agama secara lebih baik.26
Mahdi Mahrizi menyatakan bahwa,
Perempuan adalah manusia yang memiliki semua bakat untuk
berkembang, tanpa memiliki cacat atau kesalahan apapun pada esensi
entitasnya. Dan kendati perempuan memiliki seluruh faktor
kesempurnaan dan kemajuan, sebagaimana lelaki, namun perempuan
24
Haya Binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Terjemahan Amir Hamzah
Fachruddin, (Jakarta: Darul Falah, 1421 H), Cet. VII, h. 11
25
Mahdi Mahrizi, Wanita Ideal Menurut Islam, (selanjutnya tertulis Wanita Ideal) (Jakarta:
Madani Grafika, 2004), h. 10
26
Mahdi Mahrizi, Wanita Ideal…, h. 11
16
memiliki karakter independen dan tidak pernah menjadi parasit atas
orang lain. Sebab Allah menciptakan dan membagi manusia menjadi
dua kelompok laki-laki dan perempuan adalah demi kelestarian
mereka. Dan mengelompokkan makhluk menjadi laki-laki dan
perempuan sejatinya merupakan tatanan umum di dunia materi ini.
(Q.S. al-Najm/53: 45). Karena itu, kelelakian dan keperempuanan
sebenarnya bukanlah semata-mata ciri khas manusia, melainkan ciri
eksistensi seluruh makhluk. Dan karena ciri khas ini sama sekali tak
dipandang sebagai suatu cacat atau keburukan pada segala sesuatu,
demikian halnya dengan manusia pada umumnya. Kesimpulan religius
ini berlaku pada banyak aspek dan respek ihwal kaum perempuan.27
Kita sebagai umat Islam harus berpedoman kepada al-Qur’an dalam
aktivitas sehari-harinya, khususnya dalam membina rumah tangga. Karena bila
kita berpedoman kepada keinginan hawa nafsu, langit dan bumi berikut isinya
akan hancur (Q.S. al-Mu'minûn/23: 71). Kenyataannya tidak semua manusia
sanggup mengambil manfaat petunjuk dari al-Qur’an, bahkan menentangnya
dan jumlahnya mayoritas. (Q.S. al-Anbiyâ/21: 24).
Al-Qur'an sendiri ada yang bersifat muhkamât atau disebut Qath'iy28 dan
ada juga yang bersifat mutasyâbihât atau disebut zhanny
29
(Q.S. Ali Imrân/3: 7).
Ayat-ayat yang bersifat muhkamât tidak berlaku bagi mujtahid untuk menafsirkan
sekehendak hatinya. Sesuai dengan kaidah ushul fikih
‫ ﻻ ﳎﺎﻝ ﳍﺎ ﻟﻼﺟﺘﻬﺎﺩ‬artinya
27
Mahdi Mahrizi, Wanita Ideal…, h. 16
Abdu al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Cairo : Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah
Syabab al-Azhar,1968) , h. 35 mengatakan ‫ ﻣﺎﺩﻝ ﻋﻠﻲ ﻣﻌﲏ ﻣﺘﻌﲔ ﻓﻬﻤﻪ ﻣﻨﻪ ﻭﻻ ﳛﺘﻤﻞ ﺗﺘﺎﻭﻳﻼ ﻭﻻ ﳎﺎﻝ ﻟﻔﻬﻢ ﻣﻌﲏ ﻏﲑﻩ ﻣﻨﻪ‬artinya
lafazd yang menunjukkan makna tertentu yang harus dipahami darinya, tidak mengandung
kemungkinan takwil serta tak ada tempat atau peluang memahaminya dengan ma'na lain selain ma'na
tersebut.
29
Abdu al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih…, h. 35 mengatakan, ‫ﻣﺎﺩﻝ ﻋﻠﻲ ﻣﻌﲏ ﻭﻟﻜﻦ ﳛﺘﻤﻞ ﺍﻥ ﻳﺆﻭﻝ‬
28
‫ﻭﻳﺼﺮﻑ ﻋﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﳌﻌﲏ ﻭ ﻳﺮﺍﺩ ﻣﻨﻪ ﻣﻌﲏ ﻏﲑﻩ‬, artinya lafadh yang menunjukkan atas suatu makna, tapi dapat
dimungkinkan untuk ditakwil dan dipalingkan dari makna tersebut dan dimaksudkan dari lafadh itu
makna yang lain.
17
tidak ada lapangan ijtihad terhadap ayat-ayat yang berstatus qath’iyu aldalâlah (ayat-ayat yang bersifat muhkamât).30
Namun penulis dalam hal ini tidak akan membahas masalah ayat-ayat
qath'iy atau zhanny secara mendetail karena penulis hanya memfokuskan pada
penafsiran ayat-ayat jender menurut Muhammad Quraish Shihab. Muhammad
Quraish Shihab sendiri cenderung untuk mengatakan bahwa, "Ayat al-Qur'an
baru disebut qath'iy bila didukung oleh ayat-ayat lain yang maksudnya sama
sehingga tidak bisa diartikan makna lain kecuali makna yang terkandung
dalam nashsh tersebut.31
Sedangkan ayat-ayat yang bersifat zhani al-dalâlah merupakan
lapangan para mujtahid untuk membahasnya. Seperti dalam al-Qur'an Surat alBaqarah/2 ayat 228. Para ulama tidak sepakat tentang makna qurû’ dalam ayat
tersebut. Sebagian ulama menafsirkan suci, dan sebahagian yang lain
menafsirkan haid. Kedua pendapat tersebut sifatnya zhani, maka tidak boleh
saling menyalahkan. Sesuai dengan Qâidah fiqhiyah yang dikutip oleh Ibrahim
Hosen
‫ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻻ ﻳﻨﻘﺾ ﺑﺎﻻﺟﺘﻬﺎﺩ‬
artinya hasil ijtihad seseorang tidak dapat
dibatalkan oleh hasil ijtihad orang lain. 32
Setiap ilmu memiliki metode yang dipergunakan oleh pengarangnya
dan setiap pengarang memiliki gaya dan sistematika tersendiri walaupun
mungkin ada sedikit kesamaan berdasarkan latar belakang pendidikan, budaya
30
Ahmad Munif
Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali, (Jakarta:Pustaka
Firdaus,2002), h. 177, Lihat juga Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, (Bairut:Dâr alQalam, 1994), h.417
31
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung : Mizan, 1992), h. 140
32
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2003), Jilid I,h.8 dan lihat
Muhammad Fauzi Faidhullah, al-Ijtihad Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (Kuwait: Maktabah Dâr alTurâts, 1984), h.100
18
negara, masa, dan lainnya. Begitu juga mengenai seorang mufasir tentu
mempunyai metode dan karakteristik tersendiri.
Indonesia memiliki banyak mubaligh, ulama, intelektual, dan birokrat.
Akan tetapi, yang menyatukan profesi itu pada satu kepribadian jelas tidak
banyak. Diantara yang sedikit itu adalah Muhammad Quraish Shihab. Dia
disebut muballig karena siraman rohani yang disampaikannya melalui media
televisi menyejukkan hati umatnya. Ia disebut ulama karena merupakan ahli
tafsir lulusan Universitas al-Azhar. Ia disebut intelektual karena pandanganpandangannya selalu didasarkan pada penalaran rasional, dan ia disebut
birokrat dan diplomat karena pernah menjabat Menteri Agama disamping
Rektor IAIN dan duta besar RI di Mesir. Setelah selesai tugas sebagai Duta
Besar RI untuk Mesir, tokoh yang dikenal santun ini mengembangkan
Lembaga Studi al-Qur'an. Satu-satunya lembaga studi swasta di Indonesia
yang secara spesifik menekuni kajian al-Qur'an sebagai fokus utamanya. 33
Perlu dicatat bahwa Muhammad Quraish Shihab merupakan orang
pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur'an
dari Universitas al-Azhar Cairo. Dalam Disertasinya Muhammad Quraish
Shihab memilih untuk membahas masalah korelasi antara ayat-ayat dan suratsurat al-Qur'an sebagai fokus penelitiannya. Sebagai kasus dia memilih kitab
Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-âyât wa al-Suwar karangan seorang mufasir
kenamaan yang tergolong kontroversial, yaitu Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa'i
(809 H/1406 M-885 H/1480 M). Muhammad Quraih Shihab mengatakan,
”Saya tertarik dengan tokoh ini karena dia hampir terbunuh gara-gara kitab
tafsirnya.” Al-Biqâ'i juga dinilai oleh banyak pakar sebagai ahli tafsir yang
33
Arief Subhan, Tafsir Yang Membmi, (selanjutnya tertulis Tafsir Yang Membumi) Majalah
Tsaqafah Vol. I.No.3, 2003 h. 81
19
berhasil menyusun suatu karya yang sempurna dalam masalah perurutan, atau
korelasi antara ayat-ayat dan surat-surat al-Qur'an. Ada juga yang menilai
bahwa kitab tafsirnya merupakan ensiklopedi dalam bidang keserasian ayatayat dan surat-surat al-qur'an.34
Muhammad Quraish Shihab menyatakan:”Mayoritas Ulama masa lalu
melupakan segi rahasia urutan lafazh, ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an.
Sekalipun ada seperti al-Imam Fahrurrazi, dia hanya lebih dominan
perhatiannya pada segi ilmiyah yang bersifat filosofis, sehingga belum
mencapai apa yang diharapkan.”35
Muhammad Quraish Shihab menambahkan:”Kemudian datang al-Imam
Abu Ja’far Bin al-Zabir dan al-Imam al-Suyuthi, namun keduanya terbatas
pada penjelasan munasabah surat-surat al-Qur’an, tanpa menyingkap rahasia
yang ada pada urutan ayat-ayat dan hubungannya antara lafazh-lafazh yang ada
pada surat satu dengan yang lainnya.”36
Kemudian datang Burhanuddin Abu al-Hasan Ibrahim Ibnu Umar alBiqa’i (809 H/1406 M-885 H/1480 M) memiliki perhatian khusus dalam
masalah korelasi antara ayat-ayat al-Qur’an, dia mengungkapkan kedetailan
rahasia urutan ayat dan lafazh al-Qur’an, hingga mencapai kesempurnaan dan
bahkan merupakan ensiklopedi yang dikhususkan dalam masalah korelasi
antara ayat-ayat al-Qur’an yang diberi judul “Nazhm al-Durar Fî Tanâsub al-
Ăyât Wa al-Suwar.37
34
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 86
Muhammad Quraish Shihab, Nazhm al-Durar Fi Tanâsub al-‘Ayât Wa al-Suwar,
(selanjutnya tertulis Nazhm al-Durar Fi Tanâsub al-Ayât) sebuah Disertasi Program Doktor
Universitas al-Azhar Cairo, 1982 Jilid I, h. ‫ﺏ‬
35
Muhammad Quraish Shihab, Nazhm al-Durar Fi Tanâsub al-Ayât…,h.‫ﺝ‬
Muhammad Quraish Shihab, Nazhm al-Durar Fi Tanâsub al-Ayât…,h. ‫ﺩ‬
36
37
20
Muhammad Quraish Shihab berpendapat, masalah korelasi antara ayatayat al-Qur'an ini layak mendapat perhatian khusus. Hal itu setidaknya
dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, salah satu isu tentang al-Qur'an yang
sering terdengar sumbang. Kedua, terjadinya penafsiran al-Qur'an yang bersifat
parsial. Implikasi dari model penafsiran seperti ini, seperti terlihat dalam
sejarah Islam, telah melahirkan konflik, khususnya dalam bidang teologi yang
cenderung tidak berkesudahan. Seperti golongan Sunni dan Mu'tazilah. Kedua
golongan itu seperti diketahui mempunyai kesimpulan yang bertentangan
secara diametral padahal mereka sama-sama mendasarkan diri pada al-Qur'an
bahkan pada ayat yang sama. Jadi melalui pembahasan tentang korelasi ayatayat ini akan didapatkan suatu pemahaman terhadap al-Qur'an sebagai
keutuhan yang saling terkait.38
Dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab, masalah metodologi
penafsiran al-Qur'an merupakan lapangan yang paling mendesak untuk
diadakan semacam pembaharuan, sebab sejauh ini para ulama masih
bertengkar dalam soal ini. Menurutnya para pembaharu membawa pemahaman
baru, tetapi kebanyakan tanpa dibarengi oleh metodologi yang jelas, bahkan
terkesan dalam memahami al-Qur'an masih parsial atau tidak utuh. Guna
mendapatkan pemahaman yang lengkap, menurut Muhammad Quraish Shihab,
paling tidak dibutuhkan metode maudhûi (tematik) dalam menafsirkan alQur'an. Meskipun cukup fanatik, metode ini tetap tidak bisa berdiri sendiri.
Karena sebelum diterapkan, ia membutuhkan masukan dari metode-metode
lain, seperti metode tahlîli atau tajzî’i untuk mengetahui makna, pesan-pesan
dan asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turun ayat) masing- masing. Namun demikian
38
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 87
21
Muhammad Quraish Shihab juga mengakui bahwa metode ini bukan yang
terbaik. Akhirnya memang tergantung kebutuhan. Kalau ingin menuntaskan
topik, maka jawabannya adalah metode maudhûi tapi jika ingin menerangkan
kandungan suatu ayat, maka jawabannya adalah metode tahlîli. 39
Gagasan dan pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang agama,
tampaknya boleh dikatakan tergolong skripturalisme moderat. Karena dia
menafsirkan ayat al-Qur’an berangkat dari teks ayat, namun dia juga selalu
memperhatikan konteks masyarakat yang ada sekarang.
Skripturalisme yang dikembangkan oleh Muhammad Quraish Shihab
jauh berbeda dengan skripturalisme yang dikembangkan oleh kalangan muslim
fundamentalis. Karena mereka hanya berpegang pada teks ayat tanpa
memperhatikan konteksnya
Skripturalisme Muhammad Quraish Shihab mengandung arti usaha
untuk mengembalikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Muslim
kepada kitab suci al-Qur'an. Muhammad Quraish Shihab sendiri menilai bahwa
pada masa modern sekarang ini antara kehidupan masyarakat Muslim dengan
al-Qur'an, sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan, terbentang jarak yang
jauh. Oleh karena itu, menurutnya umat Islam tidak hanya perlu didekatkan
kembali dengan kitab sucinya, lebih dari itu juga perlu diusahakan suatu
penafsiran al-Qur'an dengan memperhatikan konteksnya. Jadi, tepatlah kiranya
menempatkan Muhammad Quraish Shihab sebagai seorang skripturalis
moderat.40
Salah satu obsesi Muhammad Quraish Shihab adalah melakukan
penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Karena
39
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 88
40
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 89
22
dengan melibatkan sejumlah ilmuwan dari berbagai bidang spesialisasi ini,
menurutnya akan berhasil mengungkap lebih banyak petunjuk-petunjuk dari
dalam al-Qur'an.41
Maka tidak heran jika Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur'an, memiliki metode yang tidak dimiliki orang lain karena dia
menggabungkan berbagai metode dan ciri khasnya selalu menafsirkan ayat
dengan pendekatan bahasa dan munâsabah yaitu memulai dengan menarik
akar kata, lalu dihubungkan dengan ayat-ayat lain dan hadis Nabi serta ilmu
pengetahuan.
Diantara karya karya Muhammad Quraish Shihab adalah Tafsir alMishbah yang dapat dikatakan sebagai karya monumental. Tafsir yang terdiri
dari 15 volume ini mulai ditulis pada tahun 2000 sampai 2004. Kehadiran tafsir
ini kiranya semakin mengukuhkannya sebagai tokoh tafsir Indonesia, bahkan
Asia Tenggara.
Dari latar belakang diatas penulis ingin menyingkap pandangan
Muhammad Quraish Shihab tentang ayat-ayat jender yang terdapat pada Tafsir
al-Mishbah. Untuk itu penulis ingin menulis sebuah disertasi yang
berjudul”Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir al-Mishbah”
B. Pokok Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu "Penafsiran Ayat-Ayat Jender
Dalam Tafsir al-Mishbah," permasalahan yang akan dikembangkan dalam
disertasi ini adalah cara dan langkah-langkah yang ditempuh oleh Muhammad
41
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 85
23
Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam Tafsir alMishbah khususnya ayat-ayat jender.
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Ayat-ayat jender yang dimaksud dalam Disertasi ini adalah ayat-ayat
tentang perempuan yang ditafsirkan oleh sebahagian ulama tafsir tidak setara
dengan laki-laki. Melihat luasnya pembahasan ayat-ayat jender, maka penulis
membatasi pada ayat-ayat yang berkaitan dengan penciptaan manusia,
kewarisan, persaksian, kepemimpinan, dan poligami, karena masalah ini yang
sering disoroti oleh para pakar jender.
Dari pembatasan tersebut, maka masalah pokok dalam disertasi
ini
ialah bagaimana penafsiran ayat-ayat jender yang berkaitan dengan penciptaan
manusia, kewarisan, persaksian, kepemimpinan, dan poligami, menurut
Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah? Dari pokok
permasalahan tersebut akan dikembangkan beberapa sub permasalahan sebagai
berikut :
a. Bagaimana bentuk, metode, dan corak Tafsir al-Mishbah karya
Muhammad Quraish Shihab ?
b. Instrumen apa yang digunakan Muhammad Quraish Shihab dalam
menafsirkan ayat-ayat jender dalam Tafsir al-Mishbah ?
c. Apa perbedaan dan persamaan penafsiran ayat-ayat jender antara
Muhammad Quraish Shihab dengan mufassir lain ?
24
C. Tinjauan Kepustakaan
Sepanjang penelitian penulis, sudah banyak orang yang menulis tentang
penafsiran ayat-ayat jender, namun penulis berbeda dengan para penulis
terdahulu. Beberapa contoh tulisan ilmiah dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Karya Nasaruddin Umar.Hasil penelitiannya terhadap sejumlah ayat jender
mengesankan bahwa al-Qur’an cenderung mempersilahkan kepada
kecerdasan-kecerdasan manusia di dalam menata pembagian peran antara
laki-laki dan perempuan. Dengan menyadari bahwa persoalan ini cukup
penting tetapi tidak dirinci di dalam al-Qur’an, maka itu menjadi isyarat
adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya
dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling
menguntungkan.42
Prinsip-prinsip kesetaraan jender dalam al-Qur’an antara lain
mempersamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba
(‘âbid) Tuhan dan sebagai wakil Tuhan di bumi (khalîfah Allah fî al-ardh),
laki-laki dan perempuan diciptakan dari unsur yang sama, lalu keduanya
terlibat dalam drama kosmis, ketika Adam dan Hawa sama-sama bersalah
yang menyebabkannya jatuh ke bumi. Keduanya sama-sama berpotensi
meraih prestasi di bumi, dan sama-sama berpotensi untuk mencapai ridha
Tuhan di dunia dan akherat.43
Meskipun ditemukan sejumlah ayat yang kelihatannya lebih
memihak kepada laki-laki, seperti dalam soal kewarisan, persaksian,
poligami, dan hak-haknya sebagai suami atau sebagai ayah, ayat-ayat yang
42
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an, (Jakarta: Paramadina,
2001), Cet. II.
43
Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 306
25
berbicara tentang hal tersebut semuanya turun untuk menanggapi suatu
sebab khusus (khushûsh al-sabab), meskipun redaksinya menggunakan
lafazh umum (‘umûm al-lafazh). Hampir semua ayat jender turun dalam
suatu sebab khusus, tetapi hampir semua ayat-ayat tersebut menggunakan
bentuk (shîghah) lafazh umum. Jika demikian adanya maka pertanyaan
metodologis muncul, “apakah yang dijadikan pegangan sebab khusus atau
lafazh umum?.44
Ayat-ayat jender turun secara sistematis didalam suatu lingkup
budaya yang sarat dengan ketimpangan peran jender. Dengan dipandu oleh
pribadi seorang Nabi dan Rasul maka implementasi ayat-ayat jender dapat
disosialisasikan dalam waktu yang relatif cepat. Nabi Muhamad masih
sempat menyaksikan kaum perempuan menikmati beberapa kemerdekaan
yang tidak pernah dialami sebelumnya, seperti kemerdekaan menikmati
ruang publik dan memperoleh hak-hak pribadi seperti hak warisan, hak
menuntut talak, dan berbagai hak asasi lainnya. Hanya saja sering
ditemukan unsur budaya lokal lebih dominan di dalam menafsirkan ayatayat
al-Qur’an.
Termasuk
dalam
hal
terjadinya
maskulinisasi
epistemologis.45
Karya ini membahas kesetaraan jender dengan menggunakan
metode historical analysis (analisis sejarah), metode hermeneutical method
dan metode maudhû’i yang dipadukan dengan content analysis, disamping
metode induktif dan deduktif.46
44
Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 306
Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 309
46
Nasaruddin Umar, Bias Jender,…h. 30
45
26
2. Karya Ahmad Junaidi Ath-Thayyibi. Hasil penelitiannya yaitu solusi yang
ditawarkan oleh Islam hanya satu yaitu kepatuhan kaum laki-laki dan
perempuan terhadap hukum syara baik berupa perintah maupun
larangannya. Berupa perintah seperti menundukkan pandangan serta
memelihara kemaluannya, agar bertaqwa, tidak melakukan maksiat,
hubungan seksual hanya bisa dilakukan melalui akad nikah, sedangkan
berupa larangan seperti, dilarang melakukan berkhalwat dan khusus
kepada
perempuan
dilarang
bersolek
secara
berlebihan
dengan
menampakkan perhiasan dan kecantikannya dan perempuan tidak
melakukan pekerjaan diluar kadratnya 47
3. Karya Muhammad Anas Qasim Ja'far. Dalam kesimpulannya dia
mengemukakan hal ikhwal hak politik perempuan dalam peta pemikiran
Islam dan perundang-undangan kontemporer. Dia menyatakan sudah jelas
merupakan hak perempuan, atas dasar prinsip persamaan, untuk ikut
berpartisipasi
bersama
laki-laki,
membangun,
mengubah
dan
membebaskan energi-energi terendap dalam masyarakat, suatu upaya yang
wajib mengikutsertakan perempuan dalam kehidupan politik. Dalam Islam
tidak ditemukan aturan-aturan yang melarang perempuan menikmati hakhak tersebut, sebaliknya Islam justru mendukung perempuan untuk
memperoleh hak-haknya, sebagaimana halnya pada laki-laki. Begitu pula
hampir seluruh aturan perundang-undangan kontemporer mendukung
perempuan menggunakan hak-hak politiknya.48
47
Ahmad Junaidi Ath-Thayyibi, Tata Kehidupan Wanita dalam Syari'at Islam, (Jakarta:
Wahyu Press, 2003), Cet. I, h. 129
48
Muhammad Anas Qasim Ja'far, Mengembalikan Hak Hak Politik Perempuan sebuah
Perspektif Islam, (Jakarta: Daar al-Nahdhah al-Arabiyah, 2002), Cet. I, h. 154
27
4. Karya Faisar Ananda Arfa. Dalam kesimpulannya ada tiga yaitu pertama,
perempuan dalam pemikiran Islam modern digambarkan sebagai makhluk
yang sama kedudukannya dengan kaum laki-laki secara teologis di
hadapan Allah dan secara sosial dalam interaksi sesama manusia. Agenda
utama yang dikembangkan oleh para pemikir Islam modern tersebut adalah
memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam segala
bidang aspek kehidupan termasuk hak berpolitik, hak memilih dan dipilih
sebagai pemimpin. Dalam masalah fiqih terutama warisan dan kesaksian
peremppuan dihargai sama dengan laki-laki, kedua, para pakar modernis
menawarkan penafsiran baru dan segar terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
selama ini secara tradisional dipergunakan untuk mendiskriminasikan
kaum perempuan. Prinsip-prinsip yang dikembangkan, bahwa pintu ijtihad
terbuka lebar, ketiga, metode yang diterapkan adalah mereduksi kekuatan
qath’i. Artinya bila dalam pemahaman Islam tradisional ayat-ayat tersebut
bersifat muthlak dan wajib diamalkan tanpa interpretasi, maka dalam
pemikiran
Islam
modern,
ayat-ayat
tersebut
ditinjau
dengan
memperhatikan sebab turun ayat dengan memperhatikan kondisi sosial,
budaya dan ekonomi masyarakat ketika ayat tersebut diturunkan.49
5. Karya Istianah. Dalam kesimpulannya dia menyatakan, bahwa wawasan
al-Qur’an menggunakan metode maudhu’i (tematik), sama halnya dengan
yang ditempuh oleh al-Farmawi, namun ia agak berbeda dengan Farmawi.
Pertama, dalam menetapkan tema yang akan dibahas diprioritaskan pada
persoalan yang menyentuh dan dirasakan langsung oleh masyarakat yang
membutuhkan jawaban al-Qur’an. Kedua, menyusun runtutan ayat sesuai
49
Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004), Cet. I, h. 179
28
dengan masa turunnya dan itu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui
perkembangan petunjuk al-Qur’an menyangkut persoalan yang dibahas.
Bagi mereka yang bermaksud menguraikan satu kisah, atau kejadian, maka
runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis pristiwa. Ketiga,
kesempurnaannya dapat dicapai apabila mufassir berusaha memahami arti
kosa kata dengan merujuk kepada penggunaan al-Qur’an. Kempat, tidak
mengabaikan asbâb al-nuzûl ayat, karena asbâb nuzûl ayat mempunyai
peranan yang sangat besar, yaitu sangat membantu dalam memahami suatu
ayat. Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah Quraish menggunakan metode
tahlîlî (runtutan ayat).50
Walaupun kedua karyanya termasuk kategori tafsir bi al-ra’yi, namun
ia tidak lepas menggunakan riwayat sebagai sumber utamanya, kalau tidak
dijumpai riwayat ia baru menggunakan nalarnya. Dalam kedua karyanya
tersebut, Quraish juga tidak lepas dari metode interteks. Yaitu selalu
mengutip pendapat dari pendahulunya seperti;Ibrahim Ibnu Umar alBiqa’i, Muhammad Thanthawi, Mutawalli al-Sya’rawi, Sayyid Quthub,
Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Muhammad Husain Thabathaba’i, alZamakhsyari dan beberapa pakar tafsir yang lain. Proses interteks ini
fungsinya
diposisikan
sebagai
penguat
dan
melegimitasi
dari
penafsirannya.51
6. Karya Istibsyarah. Dalam kesimpulannya, bahwa al-Sya’rawi lebih
moderat dalam beberapa hal, misalnya kebolehan perempuan bekerja di
luar rumah, sepanjang pekerjaan itu tidak menimbulkan fitnah, dapat
50
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab Dalam Menafsirkan al-Qur'an,
(selanjutnya tertulis Metodologi Quraish Shihab) sebuah Tesis Program Pascasarjana UIN Jakarta,
2002., h. 177
51
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab…,h.179
29
memelihara prinsip-prinsip ajaran agama, kesusilaan, sopan dan dapat
menjaga diri. Perbandingan kesaksian laki-laki dan perempuan 1:2 alSya’rawi menghubungkannya dengan kondisi obyektif masyarakat arab
ketika al-Qur’an diturunkan, ia melihat sebagai seruan yang bersifat
anjuran. Demikian pula konsep keterbatasan agama dan akal juga tidak
bersifat permanen dan universal. Ia memberi kesimpulan bahwa
perempuan dapat menjadi saksi sebagaimana halnya laki-laki, asal
perempuan melihat dengan mata kepala sendiri.52
Menurut al-Sya’rawi, poligami dibolehkan dalam keadaan darurat,
hak kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama dan keduanya
memang saling melengkapi satu sama lain guna memenuhi kebutuhan
hidup yang makin komplek, adanya pengakuan terhadap hak politik bagi
perempuan diantaranya jihad dan memegang jabatan, dalam rumah tangga
tidak ada yang superior dan inferior antara suami dan istri, hak
memperoleh pendidikan sama antara laki-laki dan perempuan, dalam
memilih pasangan hidup sama halnya dengan laki-laki, hak talak memang
hak laki-laki, namun perempuan dapat mengajukan gugat cerai dengan
berbagai pertimbangan yang matang.53
7. Karya Zaitunah Subhan. Inti kesimpulannya ada dua yaitu, pertama,
perbedaan kodrati (kodrat biologis) tidak punya pengaruh apapun dalam
menentukan derazat kemanusiaan, kecuali nilai iman dan taqwa. Akan
tetapi kesalah pahaman memahami kodrat perempuan akan menimbulkan
anggapan inferior (misalnya perempuan itu lemah akal dan agamanya,
52
Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan Dalam Relasi Jender Pada Tafsir al-Sya'rawi,
(selanjutnya tertulis Hak-Hak Perempuan) sebuah Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2004,
h.286.
53
Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan…, h.287
30
tempat yang pantas bagi perempuan adalah di rumah). Ini bertentangan
dengan
prinsip
Islam, karena
Islam
mengajarkan
keadilan
dan
keseimbangan terhadap laki-laki dan perempuan. Setatemen al-Qur’an
berangkat dari awal penciptaan segala sesuatu yang ada ini diawali dengan
berpasangan. 54
Kedua, laki-laki (suami) dan perempuan (istri) sebagai mitra dalam
sebuah rumah tangga; kemitrasejajaran bukan merupakan hubungan yang
satu mengungguli atau lebih rendah dari yang lain, bukan pula yang satu
mendominasi dan yang lain didominasi; tetapi kemitrasejajaran adalah
hubungan yang saling timbal balik. Adanya kesenjangan diakibatkan
karena pemahaman agama yang tidak proporsional dalam memberikan
makna kemitrasejajaran. Penafsiran yang ada sering kali berfungsi sebagai
penguat isu-isu yang tersebar di masyarakat. Hal ini akibat dari penafsiran
lama yang sulit diterima pada masa kini. Sumber Islam (al-Qur’an dan
hadis) tidak saja dapat dipahami secara normatif, tetapi juga harus
diperhatikan konteksnya. Oleh karena itu, pemahaman secara kontekstual
sangat diperlukan.55
8. Fathurrahman Djamil. Dia membahas pemikiran Muhammad Quraish
Shihab dari 3 sisi ;qath’i zhanni, nâsikh manshûkh dan fungsi hadis
terhadap al-Qur’an. Pertama, tentang qath’i zhanni. Suatu ayat al-Qur’an
disebut qath’i, jika ia hanya memiliki satu arti atau penafsiran tertentu, dan
disebut zdanni, jika ia terbuka untuk diberi berbagai macam makna.
Fathurrahman
Djamil melihat Muhammad
Quraish
54
Shihab tidak
Zaitunah Subhan, Kemitrasejajaran Pria dan Wanita dalam Perspektif Islam, (selanjutnya
tertulis Kemitrasejajaran Pria dan Wanita) sebuah Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 1998.
h. 239
55
Zaitunah Subhan, Kemitrasejajaran Pria dan Wanita…, h. 240
31
menyetujui adanya dikotomi ini. Kedua, nâsikh mansûkh, bila ada ayat
yang bertentangan maka salah satu ayat yang bertentangan tersebut sudah
dinyatakan tidak berlaku. Quraish dalam menyelesaikan masalah ini secara
berbeda. Dia tidak melihat bahwa satu ayat telah dinyatakan tidak berlaku
dan digantikan oleh ayat lainnya. Bagi dia yang terjadi adalah pemindahan
obyek hukum dari satu kondisi ke kondisi lain atau dengan kata penundaan
sementara berlakunya ayat tersebut. Jika kondisi yang mirip dengan
kondisi dimana ayat tersebut diturunkan kembali, ayat al-Qur’an yang
sudah diganti itu kembali berlaku. Ketiga, fungsi hadis terhadap al-Qur’an.
Apakah Nabi punya berwenang untuk menetapkan hukum baru yang tidak
ditetapkan al-Qur’an ? Dalam menjawab pertanyaan ini secara garis besar
masyarakat islam terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama
berpendapat, Nabi boleh membuat hukum baru, kelompok kedua
menolaknya. Quraish lebih condong pada penjelasan tambahan. Sehingga
Quraish dalam masalah hukum tidak hitam putih, tapi dia berusaha
menghadirkan keragaman pendapat, baik dari masa klasik maupun modern
dan mendorong penanya untuk memilih sendiri. Dia tidak mendasarkan
pada satu madhhab tertentu. Dia sangat menggaris bawahi pentingnya
aspek maslahah dalam penentuan hukum.56
9. Hamdani Anwar. Dalam kesimpulannya hanya membahas yang berkaitan
dengan motivasi penulisan, sumber yang digunakan, metode yang dipilih,
corak yang menjadi kecenderungan dan sistimatika yang dianut dalam
penulisannya.57
56
Fathurrahman Djamil ,Setudia Islamika, Volume 6, Number 2, 1999, h.171
Hamdani Anwar, Mimbar Agama & Budaya, Vol.X!X, NO.2. 2003, h. 188
57
32
10. Arief Subhan. Tulisan yang dia paparkan hanya berkisar “Biografi Sosial
Intelektual Muhammad Quraish Shihab” Dia memaparkan tentang
Muhammad Quraish Shihab mulai dari kelahiran, melanjutkan studi ke
Mesir, mengulas tentang tesis dan disertasi yang ditulisnya, dan
pandangan-pandangan serta gagasan-gagasan yang diinginkannya.58
11. Herman Heizer. Dia hanya menyampaikan tentang 2 latar belakang
terbitnya tafsir al-Mishbah, pertama, keprihatinan terhadap kenyataan
bahwa ummat Islam Indonesia mempunyai ketertarikan yang besar
terhadap al-Qur’an, tapi sebahagian hanya berhenti pada pesona bacaannya
ketika dilantunkan. Seakan-akan kitab suci ini hanya untuk dibaca. Padahal
menurut Quraish Shihab bacaan al-Qur’an hendaknya disertai dengan
kesadaran akan kegunaannya. Kedua, tidak sedikit ummat Islam yang
mempunyai ketertarikan luar biasa terhadap makna-makna al-Qur’an, tapi
menghadapi berbagai kendala, terutama waktu, ilmu-ilmu pendukung dan
kelangkaan buku rujukan yang memadai dari segi cakupan informasi, jelas
dan tidak bertele-tele.
Kajian dan bahasan buku-buku di atas sekalipun membahas jender tapi
tidak menyinggung pemikiran Muhammad Quraish Shihab, dengan pendekatan
yang berbeda-beda dan hasilnya memiliki kekhususan masing- masing. Ada
lima orang penulis kutip yang menyoroti Muhammad Quraish Shihab seperti
Istianah, Fathurrahman Djamil dan Hamdani Anwar, Arief Subhan dan
Herman Heizer, namun tidak menyoroti masalah jender. Sedangkan penulis
terfokus pada penafsiran ayat-ayat jender menurut Muhammad Quraish
58
Arief Subhan, Majalah Tsaqafah, Vol.1, No.3, 2003,h. 81
33
Shihab. Dengan demikian, penelitian ini bukan pengulangan dari apa yang
telah ditulis oleh peneliti lain sebelumnya.
Karena itu, penelitian penulis ini diharapkan akan menghasilkan hal-hal
baru yang belum terungkap oleh peneliti lain tentang penafsiran ayat-ayat yang
bernuansa jender. Penelitian ini akan berupaya mengungkap penafsiran ayatayat yang bernuansa jender menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir
al-Mishbah. Untuk menghasilkan kajian yang utuh, akan dipilih pendekatan
dan analisis tertentu yang akan dijelaskan pada bagian metodologi.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapat jawaban yang jelas dan
mendalam terhadap 3 pokok masalah yang telah dikemukakan di atas. Jawaban
yang berhasil nanti, tentu akan menambah khazanah ilmu pengetahuan penulis
dalam masalah penafsiran ayat-ayat jender menurut Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir al-Mishbah.
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bentuk, metode, corak, dan langkah-langkah yang
ditempuh Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat jender
2. Ingin memberikan sumbangan kepada para pembaca, tentang pemahaman
yang disampaikan oleh Muhammad Quraish Shihab khususnya mengenai
ayat-ayat jender
3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan penafsiran ayat-ayat jender
antara Muhammad Quraish Shihab dengan ulama klasik dan ulama
kontemporer
34
4. Untuk mengetahui instrumen yang digunakan Muhammad Quraish Shihab
dalam menafsirkan ayat-ayat jender
5. Di samping itu insya Allah hasil penelitian ini, sekecil apapun dapat
menyumbangkan pemikiran bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama dalam
bidang tafsir.
6. Kemudian dapat membuka cara pandang umat Islam agar selalu mencari
penafsiran ayat-ayat yang relevan dengan keadaan sekarang.
7. Terakhir, semoga hasil penelitian ini bisa menjadi langkah awal bagi
penelitian tentang
penafsiran ayat-ayat jender menurut Muhammad
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, dan akan dikembangkan hasil
penelitian ini pada penelitian-penilitian berikutnya.
E. Kerangka Teori
Al-Qur’an sebagai kalamullah yang terdapat di Lauh Makhfudz dengan
bentuk yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia dan tidak terbatas
dan bersifat muthlak.59 Ketika Allah menghendaki menurunkan kalamullah
kepada manusia, maka langkah awal, Allah merubah terlebih dahulu
kalamullah yang semula tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia
menjadi bentuk yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia yang terbatas
dan relatif yaitu dengan bahasa arab, karena al-Qur’an diturunkan kepada Nabi
Muhammad orang arab.60 Sebagaimana Firman Allah (Q.S.al-Zukhruf/43 :3) :
( ٣ : ٤٣/‫ﺍﻧﺎ ﺟﻌﻠﻨﺎﻩ ﻗﺮﺁﻧﺎ ﻋﺮﺑﻴﺎﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻌﻘﻠﻮﻥ )ﺍﻟﺰﺧﺮﻑ‬
Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya
kamu memahaminya.
Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’an Qirâ ’ah Mu’âshirah (selanjutnya tertulis alKitab Wa al-Qur ’an), (Damaskus : al-Ahâli Li Al-Thabâ’ah Wa al-Nasyar Wa al-Tauzî’, 1990), h. 44
60
Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’an…, 152
59
35
Kemudian al-Qur’an tersebut diturunkan sekaligus ke Samâ ’u alDunya (langit dunia) dengan bahasa arab yang dapat dijangkau oleh panca
indra manusia. (Q.S.Yusuf/12: 2).61 Kemudian diturunkan secara berangsur
kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril, kemudian Nabi
langsung menyampaikannya kepada manusia.62
Jadi kalamullah yang tak terbatas sebelum diubah menjadi bahasa
arab, manusia tidak dapat memahaminya, kemudia setelah diubah menjadi
bahasa arab juga mengandung ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât.
Kemudian manusia yang terbatas mencoba menggali maksud ayat-ayat alQur’an tersebut dengan makna qarîb (dekat/teks/dzahir) dan makna baîd
(jauh/konteks/ abstrak).
Hal ini sesuai dengan Khalid Abdurahman al-‘Ak yang mengatakan:”
Dalil yang dibentuk melalui ta’wil (penafsiran) ada yang mengutamakan
makna zhâhir atau makna qarîb dan ada yang mengutamakan makna tersirat
atau makna baîd.”63 Seperti kalimat ‫ﺍﷲ‬
‫ ﻳـﺪ‬makna qarîbnya tangan Allah, tapi
makna baîdnya adalah kekuasaan Allah.
Munawir Sjadzali menyatakan,
Diantara para ahli dari empat madzhab, meskipun mereka banyak
saling berbeda pendapat, namun terdapat semacam kesepakatan atau
konsensus bahwa hukum islam terbagi dalam dua katergori; hukum
yang bertalian dengan ibadah murni, dan hukum yang menyangkut
mu’amalah duniawiyah (kemasyarakatan). Dalam hal hukum yang
termasuk kategori pertama tidak banyak kesempatan bagi kita untuk
mempergunakan penalaran, tetapi dalam hal hukum dari kategori
kedua, lebih luas ruang gerak untuk penalaran intelektual, dengan
Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’an…, 152
Muhammad Syahrur, al-Kitâb Wa al-Qur ’an…, 153
63
Khalid Abdurrahman al-‘Ak, Ushûl al-Tafsîr Wa Qawâiduhu, (Bairut : Dâr al-Nafâis,
1986), h. 60
61
62
36
kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolok ukur
utama.64
Berbeda dengan Quraish Shihab yang menyatakan,
Bahwa ajaran yang dibebankan kewajibannya kepada seorang
mukallaf ada yang bersifat pengetahuan dan ada yang bersifat
pengamalan, maka ulama Islam membagi kewajiban tersebut kepada
‘aqîdah dan syarî’ah, atau dengan kata lain, ushûl dan furû’. Sesuatu
yang bersifat pengetahuan dan wajib diyakini karena berdasarkan
suatu yang qath’i atau ushûl al-dîn, sedangkan yang bersifat
pengamalan adalah syarî’ah. Dari sini- katanya- dapat disimpulkan,
bahwa segala keyakinan yang tidak bersumber kepada sesuatu yang
qath’i, bukan merupakan ushûl al-dîn, dan tidak mengakibatkan
kekufuran penganutnya, betapapun besarnya perbedaan tersebut.65
Kemudian dia juga mengutip pendapat Mahmûd Syaltût,
Pertama, dalam masalah akidah, penetapnnya haruslah
menggunakan argumentasi yang bersifat qath’i. Kedua, hal-hal yang
tidak bersifat qath’i, dan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya, tidak
dapat dianggap sebagai masalah akidah, dan tidak pula pendapat satu
kelompok tertentu dalam masalah tersebut merupakan pendapat yang
pasti benar, sedangkan yang lainnya salah. Ketiga, kitab-kitab yang
membahas teologi tidak semata-mata berisi masalah-masalah yang
diwajibkan oleh agama untuk dianut, tetapi juga berisi disamping halhal tersebut, beberapa teori ilmiah yang argumentasi-argumentasinya
saling bertentangan sehingga teori-teori tersebut merupakan ijtihad
para ulama.66
Kemudian dia juga mengutip pendapat Isa Mannun,
Ajaran-ajaran Islam yang berdasarkan argumentasi yang pasti dan
menyakinkan dan yang diterima berdasarkan tawâtur, serta dari
generasi kegenarasi sejak masa Nabi saw, sehingga pengetahuan tentang
hal tersebut telah demikian populer, atau yang disebut dengan istilah alma ’lûm min al-dîn bi al-dharûrah. Penolakan terhadap masalahmasalah tersebut mengakibatkan kekufuran. Dan ketetapan-ketetapan
agama yang disepakati oleh ulama-ulama (ijma ’), walaupun ketetapanketapan tersebut belum populer. Yanng menolak hal ini ada yang
menilainya kafir dan ada pula yang menilainya fasiq.67
64
Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta : PT.Temprint, 1995), h. 92
Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 354
66
Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 355
67
Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 356
65
37
Jadi ukuran boleh menggunakan nalar akal terhadap penafsiran ayatayat al-Qur’an berbeda antara Munawir Sjadzali dan Muhammad Quraish
Shihab, karena Munawir Sjadzali melihat dari sisi materinya (akidah atau
mu’amalah), sedangkan Muhammad Quraish Shihab dari sisi argumentasinya
(qath’i atau zhanninya).
Muahammad Quraish Shihab selanjutnya menyatakan,
Manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk memilih dan
menetapkan ajaran hidupnya, serta agama yang dianutnya. Tetapi
kebebasan ini bukan berarti kebebasan memilih ajaran-ajaran agama
pilihnnya itu, mana yang dianut dan mana yang ditolak. Karena Tuhan
tidak menurunkan suatu agama untuk dibahas oleh manusia dalam
rangka memilih yang dianggap-nya sesuai dan menolak yang tidak
sesuai. Agama pilihan adalah satu paket, penolakan terhadap satu
bagian mengakibatkan penolakan terhadap keseluruhan paket tersebut.
(Q.S.al-Baqarah/2:85). Dalam hal ini, agama Islam tidak memberikan
kepada seorang muslim kebebasan memilih dari keragaman pendapat
yang berkembang dalam bidang ushûl al-dîn, karena masalahnya sudah
demikian jelas dan pasti. Kebebasan memilih hanya diberikan dalam
bidang furû’ karena argumentasinya bersifat zhanni. 68
Sedangkan Ibrahim Hosen menyatakan,
Mengenai al-qur’an yang dapat kita baca dan kita dengarkan itu
adalah kalâm lafdhi yang menunjukkan kepada kalâm nafsi. Atas dasar
ini maka hukum islam itu sangat luas sekali yang hanya diketahui
melalui dalil, baik dalil-dalil yang disepakati kehujjahannya maupun
dalil-dalil yang diper-selisihkan kehujjahannya. Atas dasar itu pula
dapat diketahui bahwa hukum itu bersifah qadîm dan hanya Allahlah
yang berhak menetapkan hukum. Dengan demikian maka tergambarlah
bagi kita bahwa yang kita cari itu adalah hukum Allah. Jelas hal ini
sangat sulit, karena hukum Allah adalah khithâb-Nya yang berupa
kalâm nafsi yang tidak bersuara dan tidak berhuruf yang tidak dapat kita
cerna dan kita gambarkan, yang diluar jangkauan manusia. Untuk
mengetahui hal tersebut hendaklah kita mengetahui bahwa kalâmullah
itu mempunyai dua indikasi. Pertama, indikasi lafdhi dan kedua,
indikasi ma ’nawi. Indikasi lafdhi yaitu al-Qur’an dan indikasi ma ’nawi
adalah hadis, ijma, qiyas dan dalil-dalil lain. Dari sini dapat diketahui
68
Muhammad Quraish Shihab, Mimbar Agama & Budaya, Vol.22, No.4, 2005, h. 357
38
bahwa yang berperan itu adalah dalil hukum. Tampa dalil kita tidak
dapat mengetahui hukum dan hukum tanpa dalil adalah tahakkum
(membuat-buat hukum). Perbuatan ini haram dan dosanya lebih besar
daripada syirik. Sebab syirik itu yang sesat hanyalah yang bersangkutan,
sedangkan tahakkum, disamping pelakunya juga akan menyesatkan
banyak manusia.69
Pendapat Ibrahim Hosen sama dengan Muhammad Quraish Shihab,
karena dia membagi hukum Islam kepada dua yaitu syarî’ah/ushûl yang biasa
disebut dengan hukum qath’i atau dengan kata lain yaitu mâ ’ulima minaddin bi
al-dharurah dan hukum fiqh/furû yang biasa disebut hukum zhanni.
Apabila
kita
menemukan
ayat-ayat
al-qur’an
yang
konteks
pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu dan berkaitan dengan
suatu hukum maka ketentuan itu tidak terbatas pada kasus itu saja, tetapi
berlaku secara umum. Ini ditujukan kepada setiap kasus yang mempunyai
persamaan dengan kasus tersebut.70 Hal ini sesuai dengan pendapat mayoritas
ulama yang menayatakan
‫ ﺍﻟﻌﱪﺓ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟـﺴﺒﺐ‬, artinya penafsiran
ayat al-qur’an berdasarkan teks ayat, bukan dilihat dari latar belakang turun
ayat. 71
Dalam memahami kaidah diatas, yang perlu diingat ialah bahwa sebab
turunnya ayat pada hakikatnya hanyalah salah satu alat bantu berupa contoh
untuk menjelaskan makna redaksi-redaksi ayat al-qur’an, namun cakupannya
tidak terbatas pada ruang lingkup sebab turunnya suatu ayat.72
Bagaimana al-Qur’an bisa menjadi petunjuk segala zaman, bila
memahaminya hanya berlaku dalam satu kasus, tidak berlaku umum. Oleh
karena itu, menurut hemat penulis seorang mufassir yang akan menafsirkan al69
Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?, (Jakarta :LPPI IIQ, 1987), h. 6
Abdurahman Dahlan, Penafsiran al-Qur ’an…, h. 91
71
Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyân Fî Ulûm al-Qur ’an, (Cairo : Dâr al-Shâbuni, 1999),
70
h. 27
72
Abdul Rahman Dahlan,Penafsiran Al-Qur'an…, h. 91
39
Qur’an harus berpegang pada ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber utama untuk
mengkaji ajaran Islam dan hadis Nabi saw. Sebagai sumber kedua setelah alQur’an, karena salah satu fungsi hadis adalah untuk menjelaskan maksud ayatayat al-Qur’an.
Namun ada pendapat ulama yang jumlahnya minoritas menyebutkan
‫ ﺍﻟﻌﱪﺓ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﻻ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔـﻆ‬artinya penafsiran ayat al-Qur’an berdasarkan latar
belakang turunnya ayat, bukan hanya dilihat dari teks ayat.73
Pendapat ini berbeda dengan pendapat jumhur (mayoritas) ulama di
atas. Pendapat ini menggunakan pendekatan maqâsid al-syarî’ah (tujuan dari
penerapan hukum islam) yang antara lain melihatnya dari segi mashlahah
mursalah. Oleh karena itu, apabila ada pertentangan antara nash dan nalar
akal, maka nash diabaikan dan diambil nalar akal. Dengan demikian asbâb alnuzûl merupakan patokan utama dari teori ini.
Hal ini dapat dilihat pada pendapat tim penulis Paramadina yang
menulis buku berjudul Fiqih Lintas Agama menggunakan pendekatan
maqâshid al-syarî'ah yang mengutip pendapat al-Syathibi.
Menurutnya dalam syariat terdapat beberapa varian yang mesti
dipahami secara utuh, antara lain hukum, tujuan umum, dalil, dan
ijtihad. Hal ini menunjukkan bahwa syariat tidak hanya hukum belaka,
karena ada varian lain yang sangat penting yaitu tujuan-tujuan utama
(maqâshid al-syarî'ah)… dan inti dari maqâshid al-syarî’ah adalah
kemaslahatan, yang didefinisikan sebagai mengambil yang bermanfaat
dan menghindari yang rusak (jalb al-manâfi wadar'u al-mafâsid)…
Selanjutnya dia menegaskan, bahwa agama tidak hanya memuat yang
menekankan aspek ritual dan peribadatan (al-taabbudi), tetapi juga
membawa misi kemaslahatan bagi manusia (al-mashlahah alâmmah).74
Muhammad Abdul Azhim al-Zarqâni, Manâhilu al-‘Irfân Fî Ulûm al-Qur ’an, (Bairut
:Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), h. 75
74
Nurcholish Majid et. al., Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet.VI., h. 10.
73
40
Sejalan dengan kaidah di atas, Zuhairin Misrawi memberi kata
pengantar pada buku karya Verdiansyah mengatakan,
Manakala melihat perkembangan pemikiran keagamaan di atas,
sejatinya diupayakan langkah progresif guna melahirkan tafsir
keagamaan yang dapat menjawab kebutuhan kontekstual, terutama
menyangkut pembebasan masyarakat dari ketertindasan dan pencerahan
dari dogmatisme. Tafsir atas teks-teks suci sejatinya tidak hanya dalam
bingkai pembenaran terhadap teks atau pembelaan pada Tuhan semata,
melainkan harus menyentuh persoalan persoalan riil dalam masyarakat,
seperti pembebasan dari kemiskinan, pendidikan, pembusukan politik,
dan segala bentuk penindasan.75
Tafsir emansipatoris juga sejalan dengan kaidah di atas, maka tafsirnya
tidak lagi berangkat dari teks, akan tetapi berangkat dari realitas kemanusiaan.
Dalam tafsir emansipatoris, analisis sosial merupakan alat bantu guna
memahami problem-problem sentral kemanusiaan. Ini disadari, karena agama
dalam tataran sosiologi antropologis merupakan proses akulturasi dengan
budaya. Di satu sisi agama membentuk budaya, tapi disisi lain budaya juga
membentuk agama.76
Untuk itu perlu pemetaan dalam menganalisis pemikiran atau
penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat-ayat jender dalam Tafsir
Al-Mishbah. Oleh karena itu penulis berpendapat, orang yang memahami alQur’an berangkat dari qath’i dan zhanni, maka dalam penafsiran ayat-ayat alQur’an dia cenderung pada tekstual, dan sebaliknya orang yang memahami alQur’an berangkat dari akidah dan mu’amalah, maka dalam penafsiran ayatayat al-Qur’an dia cenderung menafsirkan ayat al-Qur’an secara kontekstual.
Kemudian perlu juga dalam analisis data ini menggunakan metodologi
tafsir yaitu :
75
Very Vedrdiansyah, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan,
(selajutnya tertulis Islam Emansipatoris) (Jakarta: P3M, 2004), h. xxiii
41
a. Metode ijmâli, yaitu metode global yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an
kepada makna gobal ( garis besar) yang berdasarkan urutan bacaan dan
susunan al-Qur'an.77
b. Metode tahlili, yaitu metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat-ayat
al-Qur'an dari seluruh aspeknya berdasarkan urutan ayat dalam al-Qur'an,
mulai dari mengemukakan arti kosakata, munasabah antar ayat, antar surat,
asbâb al-nuzûl, makna mufradât (kosa kata), dan lainnya.78
c. Metode maudlu'iy. Metode
ini mempunyai dua pengertian. Pertama,
penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur'an dengan menjelaskan
tujuan-tujuannya secara umum dan khusus serta hubungan persoalanpersoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan
lainnya. Dengan demikian semua persoalan tersebut kait-mengkait
bagaikan satu persoalan, sebagaimana metode yang ditempuh oleh
Muhammad Syaltut dalam kitab tafsirnya. Kedua, menghimpun ayat-ayat
al-Qur'an yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat al-Qur'an
kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh ayat-ayat tersebut
sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya. 79
d. Metode Muqâran (komparasi), yaitu membandingkan ayat-ayat al-Qur'an
yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang berbicara tentang
masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda
bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Yang termasuk
dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-
76
Very Vedrdiansyah, Islam Emansipatoris…, xxiii
Abdu al-Hay al-Farmawi, al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudhu'i (selanjutnya tertulis Tafsir
Maudhu’i) (Mesir: al-Hadhârah al-Arabiyah, 1977), h. 43
78
Abdu al-Hay al-Farmawi, Tafsir al-Maudhû'i…, h. 24
79
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur ’an…, h. 117
77
42
Qur'an dengan hadis-hadis Nabi saw. yang tampaknya bertentangan, serta
membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran
ayat-ayat al-Qur'an.80
Kerangka teori di atas akan dirujuk sebagai pisau analisis dalam
memaknai penafsiran Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah.
F. Metodologi Penelitian
1. Sumber Penelitian
Masalah yang akan dibahas dalam disertasi ini adalah penafsiran ayatayat jender menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah.
Untuk mendapatkan data dan fakta yang akurat dalam penelitian ini, penulis
menggunakan penelitian kepustakaan (library research).
Karena studi ini menyangkut Tafsir al-Mishbah secara langsung, maka
sumber data primernya
(pokoknya) adalah Tafsir al-Mishbah mulai dari
volume 1 sampai 15 yang dicetak tahun 2000–2004 karya Muhammad Quraish
Shihab dan karya karya beliau lainnya.
Adapun sumber data sekundernya (pendukungnya) adalah:
a. Buku-buku para pakar jender yang terkait dengan masalah antara lain:
"Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an," karya Nasaruddin
Umar, "Tata Kehidupan Wanita dalam Syari'at Islam," karya Ahmad Junaidi
Ath-Thayyibi, "Mengembalikan Hak-Hak Politik Perempuan, sebuah
Perspektif Islam," karya Muhammad Anas Qasim Ja'far,"Wanita dalam
Konsep Islam Modernis," karya Faisar Ananda Arfa, "Islam Emansipatoris
Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan," karya Very Verdiansyah,
"Memahami Keadilan dalam Poligami," karya Arij Abdurrahman As-Sanan,
80
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur ’an…, h. 118
43
"Kedudukan Wanita Dalam Islam," karya Yusuf Qardhawi, "Taaddud alZaujât fi al-Islâm," karya Abdullah Nashih Ulwan, "Gelombang Tantangan
Muslimah," karya Anwar Jundi, "Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam,"
karya Lembaga Daru al-Tauhid, "Islam Menggugat Poligami," karya Siti
Musdah Mulia, "Wanita dalam Al-Qur’an," karya Muhammad Mutawali
Sya’rawi, "Huqûq al-Mar’ah fi al-Mujtama al-Islâmy," karya Jamaluddin
Muhammad Mahmud.
b. Karya-karya yang berupa Tesis dan Disertasi yang terkait antara lain seperti,
"Metodologi Muhammad Quraish Shihab dalam Menafsirkan Al-Qur'an,"
karya Istianah, "Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender pada Tafsir AlSya'rawi," karya Istibsyarah, "Kemitrasejajaran Pria dan Wanita dalam
Perspektif Islam," karya Zaitunah Subhan.
c. Kitab kitab tafsir yang dianggap representatif yang terkait dengan masalah
antara lain :
1) Tafsir Jâmi' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an, karya Muhammad Ibnu Jarir
Ibnu Yaziz Ibnu Katsir Ibnu Ghalib Al-Thabari (224 H/839 M-310
H/925 M.) Mazhab Syafii dan Tafsir al-Qur'an al-Azhim karya Ismail
Ibnu Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi (W. 774 H.) yang lebih dikenal
dengan Ibnu Katsir yang bermazhab Syafii. Kedua tafsir ini mewakili
tafsîr bi al-ma'tsûr.
2) Tafsir al-Kasysyâf 'An Haqâiq Gowâmidh al-Tanzîl Wa Uyûn alAqâwil fi Wujûh al-Ta'wîl, karya Mahmud Ibnu Umar al-Zamakhsyari
(467H/1075M.- 538H/1144M.) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak
adabi, bermazhab Hanafi dan beraliran Mu'tazilah
3) Tafsir Nuzhum al-Durar fi Tanâsub al-âyât wa al-Suwar karya Burhan
al-Din abu al-Hasan Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa'I (809H/1406M—
44
885H/1480M) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak balaghi
bermazhab al-Asy'ari al-Syafii.
4) Tafsir al-Munîr karya Wahbah al-Zuhaily yang lahir pada 1351 H./
1932 M. termasuk tafsir al-'aqly al-ijtihâdy yang bermazhab Hanafi
5) Tafsir al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'an karya Muhammad Husen alThabathaba'i (1321 H./1903 M. – 1402 H./1981 M.) termasuk tafsir bi
al-ra'yi bermazhab al-Syi'I al-Itsna Asyar
6) Tafsir
al-Marâgi
karya
Ahmad
Ibnu
Mushthafa
al-Marâgi
(1300H/1883M-1371H/1952M) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang
bercorak adab ijtimâ'i bermazhab al-Syafi'i al-Asy'ari.
7) Tafsir al-Asâs fi al-Tafsîr karya Said Hawa (W. 1411 H./1990 M.)
termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak adab ijtimâ ’i bermazhab Sunny
8) Tafsir Fî Zhilal al-Qur'an karya Sayyid Ibnu Quthub Ibnu Ibrahim
(1326 H./1908 M. – 1386 H./1936 M.) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang
bercorak adab ijtimâ'i bermazhab sunny al-Asy'ari
9) Tafsir al-Manâr karya Muhammad Abduh (1266 H./1850 M. – 1323
H./1905 M.) dan Muhammad Rasyid Ridho (1282 H./1865 M. —1354
H./1935 M.) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak Adabi bermazhab
Syafi'i al-Asy'ary.
10) Tafsir Shafwah al-Tafâsir karya Muhammad Ali Ibnu Jamil al-Shabuny
(1347 H./1928 M.) termasuk tafsir bi al-ra'yi yang bercorak Adabi
bermazhab al-Sunny al-Asy'ari.
Jadi sumber yang digunakan dalam penulisan ini ada dua, yaitu sumber
primer dan sekunder. Sumber primer yaitu sumber yang ditulis langsung oleh
45
Muhammad Quraish Shihab sendiri seperti kitab Tafsir al-Mishbah dan karya
karya yang lainnya, sedangkan sumber sekunder yaitu sumber yang ditulis
oleh orang lain yang berkaitan dengan penulisan ini.
2. Langkah Langkah Penelitian
Setelah permasalahan dirumuskan, maka penulis melakukan beberapa
langkah yaitu:
a.
Langkah awal penulis mengumpulkan ayat-ayat tentang perempuan
dengan menggunakan tiga kitab yaitu:
٨١
‫ﺗﺒﻮﻳﺐ ﺍ ﻱ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺣﻴﺔ ﺍﳌﻮﺿﻮﻋﻴﺔ‬
٨٢
‫ﻣﻌﺠﻢ ﺍﻟﻔﺎﻅ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ‬
٨٣
‫ﺍﳌﻌﺠﻢ ﺍﳌﻔﻬﺮﺱ ﻻﻟﻔﺎﻅ ﺍﻟﻘﺮﺍﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ‬
Dari hasil penelitian tersebut penulis menemukan 110 kata dalam 107 ayat,
terdiri dari kata ‫ ﺍﻣﺮﺃﺓ‬sebanyak 25 ayat, dari kata ‫ﺍﻟﻨـﺴﺎﺀ‬/‫ ﻧﺴﻮﺓ‬sebanyak 55 ayat
dan dari kata ‫ ﺍﻧﺜــﻰ‬jamaknya ‫ ﺍﻧــﺎﺙ‬sebanyak 27 ayat. Kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan topik yang ada dalam penulisan ini.
b.
Kemudian untuk mengetahui ayat-ayat yang bernuansa jender yang ada
pada Tafsir al-Mishbah dapat dirujuk pada buku buku yang membahas
ayat-ayat jender.
c.
Untuk mengetahui perbedaan penafsiran antara Muhammad Quraish
Shihab dengan pakar lain, dapat dibandingkan antara ayat-ayat yang ada
81
Ahmad Ibrahim Mahna, Tabwîb Ay al-Qur'an al-Karîm Min al-Nâhiyah al-Maudhûiyah,
Cairo: Daar al-Sya'b, t.t. ), Jilid IV. h. 85-97
82
Ibrahim Madkur, Mu'jam al-Fâdh al-Qur'an al-Karîm, (Cairo: Majma' al-Lughah alArabiyah al-Idârah al-‘âmah lil Mu'jamât Wa Ihya al-Turats, 1988 ), jilid I & II
83
Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu'jam al-Mufahrasy li Alfâdh al-Qur'an al-Karîm,
(Cairo: Dâr al-Hadîts, 1986)
46
pada Tafsir al-Mishbah dengan kitab-kitab tafsir lain dan buku-buku yang
menulis tentang ayat-ayat jender.
d.
Untuk mengetahui latar belakang keluarga, pendidikan, karier dan karya
intelektual Muhammad Quraish Shihab dapat dirujuk melalui Tafsir alMishbah dan karya-karya beliau yang lain, dan wawancara tertulis dengan
beliau dan mengutip tulisan orang lain yang menulis tentang riwayat hidup
Muhammad Quraish Shihab.
e.
Untuk mengetahui metode dan instrumen penafsiran Muhammad Quraish
Shihab terhadap ayat ayat jender, dirujuk pada Tafsir Al-Mishbah yang
dikaitkan dengan kitab-kitab ulum al-Qur’an.
f.
Untuk mengetahui pemikiran yang murni dari Muhammad Quraish Shihab
dan pemikiran yang hanya menukil atau membandingkan antara para
mufasir, penulis membandingkan sedemikian rupa antara kitab Tafsir alMishbah dengan tafsir-tafsir yang lain.
g.
Langkah terakhir adalah mengambil kesimpulan (natijah) yang berkaitan
dengan rumusan masalah atau jawaban dari rumusan masalah.
Setiap ayat yang akan dianalisis diterjemahkan terlebih dahulu yang
diambil dari CD ROM al-Qur'an, setelah diterjemahkan baru diperbandingkan
antara kitab-kitab tafsir baik yang klasik maupun yang kontemporer dengan
Tafsir al-Mishbah karya Muhammad Quraish Shihab.
G. Sistematika Penelitian
Penulisan desertasi ini mengikuti pedoman penulisan ilmiah yang
dikeluarkan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sedangkan sistematikanya
adalah sebagai berikut:
Bab pendahuluan atau bab pertama, memuat pembahasan latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan
47
kepustakaan, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi
penelitian, dan sistematika penelitian
Bab kedua, tafsir al-Mishbah dan penafsirnya, memuat pembahasan
tafsir al-Mishbah mencakup (nama yang dipilih, motifasi yang mendorong
penulisannya, sumber penafsiran yang dirujuk, metode penafsiran yang dipilih,
corak penafsiran yang menjadi kecenderungannya dan sistematika penulisannya,
riwayat hidup Muhammad Quraish Shihab mencakup riwayat hidup Muhammad
Quraish Shihab mencakup (latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan,
latar belakang karier, dan pengabdian, dan karya-karya intelektual).
Bab ketiga, pembahasan sekilas tentang teori jender yang memuat
pengertian jender, atribut dan identitas jender, biologi/jender,
perilaku
manusia dan jender menurut Muhammad Quraish Shihab
Bab keempat, analisis penafsiran ayat-ayat jender dalam tafsir alMishbah yang memuat term-term jender dalam al-Qur'an, ayat-ayat penciptaan
manusia, ayat-ayat kewarisan, persaksian, ayat-ayat kepemimpinan, dan ayatayat poligami.
Bab kelima yaitu bab penutup, memuat kesimpulan dari penelitian dan
saran-saran yang dianggap perlu.
48
BAB II
TELAAH TENTANG TAFSIR AL-MISHBAH
A. Tafsir Al-Mishbah
Diantara karya-karya Muhammad Quraish Shihab adalah Tafsir alMishbah yang dapat dikatakan sebagai karya monumental. Tafsir yang terdiri
dari 15 volume ini mulai ditulis pada tahun 2000 sampai 2004. Dengan
terbitnya tafsir ini, semakin mengukuhkan Muhammad Quraish Shihab sebagai
tokoh tafsir Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Dalam tafsir tersebut penulis
ingin memaparkan beberapa hal antara lain :
1. Nama Yang Dipilih
Adapun penamaan tafsirnya dengan al-Mishbah, bila dilihat dari kata
pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Mishbah berarti lampu, pelita,
lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yang memberi penerangan bagi
mereka yang berada dalam kegelapan. Dengan memilih nama ini, dapat diduga
bahwa Muhammad Quraish Shihab dalam tafsirnya berharap dapat
memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama
bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an
secara langsung karena kendala bahasa.
Hamdani Anwar menyatakan:
Bahwa ada dua hal yang dapat dikemukakan sebagai alasan dari
pemilihan nama tersebut. Pertama, dari segi fungsinya yaitu al-Mishbah
berarti lampu yang gunanya untuk menerangi kegelapan. Dengan
memilih nama ini, penulisnya berharap agar karyanya itu dapat
dijadikan sebagai penerang bagi mereka yang berada dalam suasana
kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pedoman
hidup. Kedua, didasarkan pada awal kegiatan Muhammad Quraish
Shihab dalam hal tulis menulis di Jakarta. Pada saat dia tinggal di Ujung
48
49
Pandang, dia sudah aktif menulis dan banyak karya yang dihasilkannya,
namun produktifitasnya sebagai penulis dapat dinilai mulai mendapat
momentumnya setelah ia bermukim di Jakarta. Pada tahun 1980-an ia
diminta untuk menjadi pengasuh dari rubrik “Pelita Hati” pada harian
Pelita… pada tahun 1994 kumpulan dari tulisannya itu diterbitkan oleh
Mizan dengan judul “Lentera Hati” yang ternyata menjadi best seller
dan mengalami cetak ulang beberapa kali. Dari sinilah kata Hamdani
Anwar tampaknya pengambilan nama al-Mishbah itu berasal, bila
dilihat dari maknanya.1
2. Motivasi Yang Mendorong Penulisannya
Muhammad Quraish Shihab mengatakan:
Latar belakang terbitnya tafsir al-Mishbah ini adalah diawali oleh
penafsiran sebelumnya yang berjudul "Tafsir al-Qur'an al-Karim" pada
tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak, bahkan
sebahagian mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan
pengertian kosa kata atau kaiadah-kaidah yang disajikan. Akhirnya
Muhammad Quraish Shihab tidak melanjutkan upaya itu. Disisi lain
banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari alQur'an, seperti surah yasin, al-Waqi'ah, al-Rah'man dan lain lain
merujuk kepada hadis dhoif, misalnya bahwa membaca surat al-Waqi'ah
mengandung kehadiran rizki. Dalam Tafsir al-Mishbah selalu dijelaskan
tema pokok surah-surah al-Qur'an atau tujuan utama yang berkisar di
sekeliling ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan
kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar. 2
Sedangkan menurut Herman Heizer yang dimuat pada Majalah Tsaqafah
menyebutkan:
Bahwa latar belakang penulisan Tafsir al-Mishbah paling sedikit
ada dua alasan utama. Pertama, keprihatinan terhadap kenyataan bahwa
ummat islam Indonesia mempunyai ketertarikan yang besar terhadap alQur'an, tapi sebahagian hanya berhenti pada pesona bacaannya ketika
dilantunkan, seakan akan kitab suci ini hanya untuk dibaca. Padahal
menurut Muhammad Quraish Shihab bacaan al-Qur'an hendaknya
disertai dengan kesadaran akan keagungan-Nya disamping pemahaman
dan penghayatan yang disertai dengan tadzakkur dan tadabbur. Kedua,
tidak sedikit ummat islam yang mempunyai ketertarikan luar biasa
1
Hamdani Anwar, Mimbar Agama & Budaya, (selanjutnya tertulis Mimbar Agama) Vol.XIX,
No.2 ,2002 , h. 176
2
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Ciputat : Lentera Hati, 2000), Vol.I, h. ix
50
terhadap makna-makna al-Qur'an, tetapi menghadapi berbagai kendala,
terutama waktu, ilmu-ilmu yang mendukung dan kelangkaan buku-buku
rujukan yang memadai dari segi cakupan informasi, jelas, dan tidak
bertele-tele.3
Jadi jelaslah bahwa latar belakang terbitnya Tafsir al-Mishbah
dikernakan adanya antusias masyarakat terhadap al-Qur'an dengan cara
membaca dan melagukannya. Namun, dari segi pemahaman terhadap alQur'an masih jauh dari memadai karena faktor bahasa dan ilmu yang kurang
memadai. Sehingga tidak jarang orang membaca ayat-ayat tertentu untuk
mengusir hal-hal yang gaib sperti jin dan setan serta lainnya. Padahal yang
semestinya ayat-ayat itu harus dijadikan sebagai hudan (petunjuk) bagi
manusia.
3. Sumber Penafsiran Yang Dirujuk
Hamdani Anwar mengatakan:”Bahwa
sumber penafsiran yang
dipergunakan pada tafsir al-Mishbah ada dua, pertama, bersumber dari ijtihad
penulisnya. Sedang yang kedua, adalah bahwa dalam rangka menguatkan
ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari
pendapat dan fatwa para ulama, baik yang terdahulu maupun mereka yang
masih hidup dewasa ini.”4
Selanjutnya Hamdani Anwar mengatakan:
Sementara itu, selain dari mengutip pendapat para ulama,
Muhammad Quraish Shihab juga mempergunakan ayat-ayat al-Qur’an
dan Hadis Nabi saw. sebagai bagian dari penjelasan dari tafsir yang
dilakukannya. Biasanya rujukan dari ayat al-Qur’an dan Hadis ditulis
dalam bentuk italic (miring), sebagai upaya untuk membedakannya dari
rujukan yang berasal dari pendapat ulama atau ijtihadnya sendiri.5
3
Herman Heizer, Tafsir al-Mishbah, lentera bagi ummat islam Indonesia, Majalah Tsaqafah
Jakarta, Vol. I. No. 3, 2003, h. 91
4
Hamdani Anwar, Mimbar Agama…, Vol.XIX, No.2 ,2002 , h. 180
5
Hamdani Anwsar, Mimbar Agama…, Vol.XIX, No.2 ,2002 , h. 181
51
Tafsir al-Mishbah bukan semata-mata hasil ijtihad Muhammad Quraish
Shihab, hal ini diakui sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantarnya
mengatakan:
Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat
perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan di
sini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil karya ulama-ulama
terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka
sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir
Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i (w.885 H/1480 M) yang karya tafsirnya
ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan Disertasi penulis di
Universitas al-Azhar, Cairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian pula
karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad
Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan
Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad
Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain.6
4. Metode Penafsiran Yang Dipilih
Metode yang dipergunakan Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir
al-Mishbah yaitu gabungan dari beberapa metode, seperti tahlîli karena dia
menafsirkan berdasarkan urutan ayat yang ada pada al-Qur’an, muqâran
(komparatif) karena dia memaparkan berbagai pendapat orang lain, baik yang
klasik maupun pendapat kontemporer dan semi maudhû’i karena dalam Tafsir
al-Mishbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan
utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surah itu agar membantu
meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.
Hal tersebut dapat dilihat pada pengakuan Muhammad Quraish Shihab
dalam sambutan sekapur sirihnya menegaskan:
Dalam konteks memperkenalkan al-Qur’an, dalam buku ini, penulis
berusaha dan akan terus berusaha menghidangkan bahasan setiap surah
pada apa yang dinamai tujuan surat, atau tema pokok surat. Memang,
menurut para pakar, setiap surat ada tema pokoknya. Pada tema itulah
berkisar uraian ayat-ayatnya. Jika kita mampu memperkenalkan tema6
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, Vol.I, h. xii
52
tema pokok itu, maka secara umum kita dapat memperkenalkan pesan
utama setiap surah, dan dengan memperkenalkan ke 114 surah, kitab
suci ini akan dikenal lebih dekat dan mudah.7
5. Bentuk Dan Corak Tafsirnya
Bentuk Tafsir al-Mishbah termasuk tafsir bi al-ra ’yi karena di dalam
Tafsir al-Mishbah digunakan argumen akal disamping hadis-hadis Nabi.
Sedangkan
corak
(kecenderungan)
dalam
tafsirnya
adalah
sosial
kemasyarakatan (adab ijtimâ ’i).
Hamdani Anwar mengatakan:
Corak tafsir tafsir yang berorientasi pada kemasyarakatan akan
cenderung mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di
masyarakat. Penjelasan-penjelasan yang diberikan dalam banyak hal
selalu dikaitkan dengan persoalan yang sedang dialami ummat, dan
uraiannya diupayakan untuk memberikan solusi atau jalan keluar dari
masalah-masalah tersebut. Dengan demikian, diharapkan bahwa tafsir
yang telah ditulisnya mampu memberikan jawaban terhadap segala
sesuatu yang menjadi persoalan ummat, dan ketika itu dapat dikatakan
bahwa al-Qur’an memang sangat tepat untuk dijadikan sebagai
pedoman dan petunjuk.”8
6. Sistimatika Penulisannya
Setiap mufassir pada umumnya memiliki sistem atau pola penulisan
yang dipaparkannya. Hal ini untuk mempermudah para pembacanya. Dari data
yang berhasil dihimpun, dapat disebutkan bahwa Muhammad Quraish Shihab
dalam menulis tafsirnya menggunakan sistematika sebagai berikut :
a. Dimulai dengan penjelasan surat secara umum
b. Pengelompokkan ayat sesuai tema-tema tertentu lalu diikuti dengan
terjemahannya
c. Menguraikan kosakata yang dianggap perlu dalam penafsiran makna ayat
7
8
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, Vol.I, h.ix
Hamdani Anwar, Mimbar Agama…, Vol.XIX, No.2 ,2002 , h. 184
53
d. Penyisipan kata penjelas sebagai penjelasan makna atau sisipan tersebut
merupakan bagian dari kata atau kalimat yang digunakan al-Qur’an
e. Ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. yang dijadikan penguat atau bagian
dari tafsirnya hanya ditulis terjemahannya saja
f. Menjelaskan munasabah antara ayat-ayat al-Qur’an
B. Riwayat Hidup Muhammad Quraish Shihab
1. Latar Belakang Keluarga
Muhammad Quraish Shihab berasal dari keluarga keturunan Arab yang
terpelajar. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab (1905-1986 M.). Beliau
adalah tamatan Jami'at al-Khair Jakarta, yaitu sebuah lembaga pendidikan
Islam tertua di Indonesia yang ikut meletakkan fondasi modernisme Islam di
Indonesia. Jalinan kerjasama lembaga pendidikan ini dengan pusat-pusat
keilmuan Islam di Timur Tengah, baik Hadramaut, Haramain, maupun Cairo,
membawanya pada posisi penting dalam gerakan Islam di Indonesia. Lembaga
inilah yang mengundang guru-guru dari kawasan Timur Tengah untuk
mengajar. Diantaranya—yang kemudian sangat berpengaruh terhadap
perkembangan Islam di negeri ini—adalah Syekh Ahmad Syurkati, ulama asal
Sudan Afrika Utara, pendiri al-Irsyad sebuah organisasi sosial keagamaan yang
memiliki banyak pengaruh di kalangan keturunan Arab di Indonesia.9
Abdurahman Shihab pernah menjabat rektor IAIN Alaudin Makasar,
perguruan tinggi Islam yang mendorong tumbuhnya Islam moderat di
9
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi, (selanjutnya tertulis Tafsir Yang Membumi) Majalah
Tsaqafah, Jakarta Vol. I. No.3, 2003, h. 82
54
Indonesia. Ia juga salah seorang penggagas berdirinya UMI (Universitas
Muslim Indonesia), yaitu universitas Islam swasta terkemuka di Makasar.10
Ayah Muhammad Quraish Shihab juga dikenal sebagai ahli tafsir,
keahlian yang mensyaratkan kemampuan yang memadai dalam bahasa Arab.
Muhammad Quraish Shihab sendiri mengaku bahwa dorongan untuk
memperdalam studi al-Qur'an—terutama tafsir—datang dari ayahnya.
Ayahnya senantiasa menjadi motivator bagi Muhammad Quraish Shihab untuk
melanjutkan pendidikan lebih lanjut.11
Mengenang ayahnya Muhammad Quraish Shihab menuturkan:"Beliau
adalah pencinta ilmu. Walau sibuk berdagang, beliau selalu menyempatkan diri
untuk berdakwah dan mengajar. Bahkan beliau juga mengajar di mesjid.
Sebagaian hartanya benar-benar dipergunakan untuk kepentingan ilmu. Beliau
menyumbangkan buku-buku bacaan dan membiayai lembaga-lembaga
pendidikan Islam di wilayah Sulawesi."12
2. Latar Belakang Pendidikan
Muhammad Quraish Shihab adalah putra kelima dari dua belas
bersaudara. Dia lahir di Rappang Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari
1944. Kemudian Muhammad Quraish Shihab bercerita, "Sejak kecil, kira-kira
sejak umur 6-7 tahun saya sudah harus ikut mendengar ayah mengajar alQur'an. Pada saat-saat seperti itu, selain menyuruh mengaji (belajar membaca
al-Qur'an), ayah juga menjelaskan secara sepintas kisah-kisah dalam alQur'an."13
10
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi..., h. 83
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 83
12
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 83
13
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi…, h. 83
11
55
Dari sinilah benih kecintaan kepada studi al-Qur'an mulai tumbuh.
Dengan latar belakang seperti itu, tak heran jika minat Muhammad Quraish
Shihab terhadap studi Islam, khususnya al-Qur'an sebagai area of concern
mendapatkan lahan subur untuk tumbuh. Hal ini selanjutnya terlihat dari
pendidikan lanjutan yang dipilihnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia
melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil "nyantri" di Pondok
Pesantren Darul Hadits al-Fâqihiyah. Pada tahun 1958 dalam usia 14 tahun,
dia berangkat ke Kairo Mesir dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar dan
pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin jurusan
Tafsir dan Hadis Universitas al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan
pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada tahun 1969 dia meraih gelar
M.A. untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Qur'an dengan tesis berjudul Al-I'jâz
al-Tasyrî'iy li al-Qur'an al-Karîm.14
Pilihannya untuk menulis tesis mengenai mukjizat al-Qur'an ini bukan
sesuatu yang kebetulan, tetapi memang didasarkan pada hasil bacaan
Muhammad Quraish Shihab terhadap realitas masyarakat Muslim yang
diamatinya. Menurutnya, gagasan tentang kemukjizatan al-Qur'an di kalangan
masyarakat Muslim telah berkembang sedemikian rupa sehingga sudah tidak
jelas lagi mana yang mukjizat dan mana yang hanya merupakan keistimewaan.
Mukjizat dan keistimewaan menurut Muhammad Quraish Shihab merupakan
dua hal yang berbeda. Tetapi keduanya masih sering dicampuradukkan, bahkan
oleh kalangan ahli tafsir sekalipun.15
14
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (selanjutnya tertulis
Membumikan al-Qur ’an) (Bandung : Mizan, 1992), h. 6
15
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 84
56
Menurut Muhammad Quraish Shihab, mukjizat itu tidak ditujukan
kepada kaum Muslimin yang memang sudah percaya (iman). Mukjizat
merupakan bukti yang membungkamkan lawan, sebab tujuan mukjizat adalah
mengantarkan orang menjadi percaya. Mukjizat al-Qur'an pada masa modern
sekarang ini, menurut Muhammad Quraish Shihab ialah jika para pakar alQur'an mampu menggali dari al-Qur'an petunjuk-petunjuk yang bisa menjadi
alternatif guna memecahkan problem masyarakat. Hal ini sebenarnya sekaligus
menjadi tantangan bagi kaum Muslimin, terutama tertuju kepada kalangan
cendekiawan. Jadi mereka harus mampu merespon problematika masyarakat
modern sekaligus memberikan solusinya berdasarkan petunjuk-petunjuk dari
al-Qur'an. Di sinilah juga letak pentingnya ilmu-ilmu al-Qur'an itu.16
Mukjizat al-Qur'an harus mampu membungkam lawan dan membuat
mereka percaya. Dari pendapatnya ini dapat disimpulkan bahwa konsep
mukjizat merupakan sesuatu yang berkembang dan terus berkembang. Sesuatu
yang dulu merupakan mukjizat, sekarang dalam waktu dan konteks yang
berbeda hanya menjadi keistimewaan al-Qur'an. Muhammad Quraish Shihab
menunjuk bahasa al-Qur'an sebagai salah satu contohnya. Gagasan mukjizat
semacam itu, menurut Muhammad Quraish Shihab sejalan dengan klaim
universalitas al-Qur'an.17
Keinginan Muhammad Quraish Shihab belajar ke Kairo Mesir ini
terlaksana atas bantuan beasiswa dari pemerintah daerah Sulawesi (waktu itu
wilayah Sulawesi belum dibagi menjadi Sulawesi Utara dan Selatan). Mesir
dengan Universitas al-Azhar, seperti diketahui, selain merupakan pusat
gerakan pembaharuan Islam, juga merupakan tempat yang tepat untuk studi al16
17
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 84
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 84
57
Qur'an. Sejumlah tokohnya, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho
adalah Mufasir kenamaan. Pelajar Indonesia yang melanjutkan studinya ke
Mesir cukup banyak. Mesir bahkan menjadi saingan Haramain dalam studi
Islam.18
Sejak di Indonesia minat Muhammad Quraish Shihab adalah studi alQur'an. Oleh karena itu, ketika nilai bahasa Arab yang dicapai di tingkat
menengah dianggap kurang dan tak diizinkan melanjutkan ke Fakultas
Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar, Muhammad
Quraish Shihab bersedia mengulang satu tahun. Padahal dengan nilai yang
dicapainya itu, sejumlah jurusan lain di lingkungan al-Azhar bersedia
menerimanya. Bahkan menurut penuturannya, dia juga diterima di Universitas
Cairo (Darul Ulum). Belakangan Muhammad Quraish Shihab mengakui bahwa
pilihannya itu ternyata tepat. Selain merupakan minat pribadi, pilihan untuk
mengambil bidang studi al-Qur'an rupanya sejalan dengan besarnya
"kebutuhan umat manusia akan al-Qur'an dan penafsiran atasnya."19
Setelah meraih gelar magister untuk spesialisasi tafsir al-Qur’an, dia
kembali ke tanah air Indonesia dan langsung diberi kepercayaan untuk
menduduki berbagai jabatan.
Meskipun sudah menduduki sejumlah jabatan, semangat Muhammad
Quraish Shihab untuk melanjutkan pendidikannya tetap tinggi, karena ayahnya
selalu berpesan agar anaknya berhasil mencapai gelar doktor.20
Oleh karena itu ketika ada kesempatan untuk melanjutkan studi,
tepatnya pada tahun 1980, Muhammad Quraish Shihab kembali ke Kairo dan
18
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 82
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 83
20
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h.86
19
58
melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar.
Pada tahun 1982, dengan disertasi berjudul "Nazhm al-Durar li al-Biqâ'iy,
Tahqîq wa Dirâsah," dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu alQur'an dengan yudisium summa cum laude, disertasi penghargaan tingkat I
(mumtâz ma'a martabat al-syaraf al-‘ûla).21
Muhammad Quraish Shihab menulis judul tersebut karena dia tertarik
dengan seorang tokoh yang bernama Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa'i, pengarang
Tafsir Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-âyat wa al-Suwar. Alasannya karena
tokoh ini hampir terbunuh gara-gara kitab tafsirnya tersebut. Tokoh tersebut
dinilai oleh banyak pakar sebagai ahli tafsir yang berhasil menyusun suatu
karya yang sempurna dalam masalah perurutan atau korelasi antar ayat dan
surat-surat al-Qur'an. Sementara ahli tafsir bahkan menilai bahwa kitab
tafsirnya itu merupakan ensiklopedi dalam bidang keserasian ayat-ayat dan
surat-surat al-Qur'an.22
Melihat dari latar belakang penulisan disertasi di atas, maka sedikit
banyak Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an
tentunya dipengaruhi oleh tokoh yang dia kaguminya, yaitu Ibrahim Ibnu
Umar al-Biqa'i. Oleh karena itu tidak heran jika Tafsir al-Mishbah mempunyai
kemiripan dengan Tafsir Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-âyat wa al-Suwar.
Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh tafsir tersebut terhadap penafsiran
Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah,
penulis akan
mencermati dan menganalisisnya.
Di Mesir Muhammad Quraish Shihab tidak banyak melibatkan diri
dalam aktivitas kemahasiswaan. Namun demikian, dia sangat aktif memperluas
21
22
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an …, h. 6
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 86
59
pergaulannya, terutama dengan mahasiswa-mahasiswa dari negara-negara lain.
Karena dengan bergaul dengan mahasiswa asing ada dua manfaat yang dapat
diambil. Pertama dapat memperluas wawasan, terutama mengenai kebudayaan
bangsa-bangsa lain, dan kedua memperlancar bahasa Arab. 23
Belajar di Mesir, sangat menekankan aspek hafalan. Hal ini juga di
alami oleh Muhammad Quraish Shihab. Ia mengakui bahwa jika jawaban ujian
tidak persis dengan catatan (buku muqarrar), nilainya akan kurang. Fenomena
belajar di Mesir, dalam pengamatan Muhammad Quraish Shihab cukup unik.
Pada musim ujian, banyak orang yang belajar sambil berjalan-jalan. Suatu
fenomena unik yang tak ditemukan di Indonesia. Selain harus memahami teks
yang sedang dipelajari, mereka juga harus menghafalnya. Malam hari
membaca dan memahami teks, dan siang harinya menghafalnya. Hal yang
sama juga dilakukan Muhammad Qurash Shihab. Biasanya, setelah shalat
subuh dia memahami teks, selanjutnya berusaha menghafalnya sambil
berjalan-jalan.
Muhammad Quraish Shihab sangat mengagumi kuatnya hafalan orangorang Mesir, khususnya dosen-dosen al-Azhar. Dalam pandangan Muhammad
Quraish Shihab, belajar dengan cara menghafal semacam itu bernilai positif,
meskipun banyak mendapat kritik dari para ahli pendidikan modern. Bahkan
menurut dia nilai positif ini akan bertambah jika kemampuan hafalan itu
dibarengi dengan kemampuan analisis. Masalahnya adalah bagaimana
menggabungkan kedua hal ini.24
Muhammad Quraish Shihab juga pernah mengikuti pelatihan “Training
Program In Strategic Management For Upper Level Government Officials,
23
24
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 83
Arief Subhan, Tafsir Yang Membumi …, h. 83
60
Pada The Institute For Training And Development, Amherst Massachussets,
Amerika Serikat.
3. Latar Belakang Karier dan Pengabdian
Sekembalinya dari Mesir ke Ujung Pandang (1970), Muhammad
Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat wakil rektor bidang akademis
dan kemahasiswaan pada IAIN Alaudin, Ujung Pandang (1974-1980). Selain
itu dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti
Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur
(1967-1980), maupun di luar kampus seperti pembantu pimpinan kepolisian
Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental (1973-1975). Selama di
Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian antara lain,
penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia
Timur"(1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).25 Kemudian dia
kembali lagi ke Mesir untuk meneruskan studinya hingga meraih gelar Doktor
di bidang Tafsir.
Sekembalinya ke Indonesia setelah meraih Doktor dari Al-Azhar sejak
tahun 1984 Muhammad Quraish Shihab di tugaskan di Fakultas Ushuluddin
dan Fakultas Pascasarjana dan ahirnya menjadi Rektor IAIN yang sekarang
menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1992-1998). Selain itu, diluar
kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain
Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tahun (1985-1998), anggota
Lajnah Pentashhih Al-Qur'an Departemen Agama sejak tahun 1989 sampai
sekarang, anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional tahun (1988-
25
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an …, h. 6
61
1996).26 Anggota MPR RI 1982-1987, 1987-2002, anggota Badan Akreditasi
Nasional (1994-1998), Direktur Pengkaderan Ulama MUI (1994-1997),
anggota Dewan Riset Nasional (1994-1998), anggota Dewan Syari’ah Bank
Mu’amalat Indonesia (1992-1999) dan Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ)
Jakarta. Beliau juga pernah meraih Bintang Maha Putra.
Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional antara
lain: pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari'ah, pengurus Konsorsium IlmuIlmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang menjadi
Departemen Pendidikan Nasional, Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI) dan disela-sela kesibukannya, dia juga terlibat dalam
berbagai kegiatan ilmiyah di dalam maupun luar negri.27
Yang tidak kalah pentingnya, Muhammad Quraish Shihab juga aktif
dalam kegiatan tulis menulis seperti di surat kabar Pelita. Setiap hari Rabu dia
menulis dalam rubrik "Pelita Hati" Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir alAmanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta yaitu majalah
Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majlah
Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta.28
Disamping itu juga Muhammad Quraish Shihab tercatat dekat dengan
tampuk kekuasaan pada masa Orde Baru. Ketika acara tahlilan dalam rangka
memperingati meninggalnya Ibu Tien Soeharto ia ditunjuk menjadi
penceramah dan memimpin doa. Melalui relasi inilah membuatnya masuk ke
kancah politik praktis. Pada Pemilu 1997, ia disebut-sebut menjadi juru
kampanye untuk Partai Golkar. Setelah Golkar meraih kemenangan dalam
26
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an …, h. 6
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an …, h. 7
28
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an …, h. 7
27
62
struktur kementrian Kabinet pembangunan VII tercantum nama Muhammad
Quraish Shihab sebagai Menteri Agama RI, sehingga dia memegang jabatan
rangkap, yaitu sekaligus menjabat rektor UIN Jakarta. Namun tidak lebih dari
dua bulan, dia jatuh pada tanggal 21 Mei 1998, sehingga jabatan menteri
agama RI tersebut lepas dari tangannya seiring dengan angin reformasi yang
melanda Indonesia.
Dalam konteks nasional, nama Muhammad Quraish Shihab agaknya
tenggelam terbawa arus keluarga cendana yang mendapat stereotif negatif di
mata rakyat Indonesia pada umumnya. Kemudian pada tahun 1999, melalui
kebijakan pemerintahan transisional Habibie, Muhammad Quraish Shihab
mendapat jabatan baru sebagai duta besar Indonesia untuk Pemerintah Mesir,
Jibuti dan Somalia. Dan disinilah dia mulai menulis karya besarnya pada
tanggal 18 Juni 1999 dan selesai secara keseluruhan pada tahun 2004.29
4. Karya Intelektual
Muhammad Quraish Shihab salah seorang intelektual yang produktif
dalam dunia keilmuan. Dia banyak menulis, baik berupa buku maupun artikel
di berbagai surat kabar dan majalah, Republika, Pelita, majalah al-Amanah,
Ulumul Qur'an, Mimbar Ulama dan sebagainya. Dia juga sibuk melakukan
dakwah di masyarakat baik secara perorangan maupun lembaga bahkan di
berbagai Media elektronika seperti RCTI, Metro dan setasiun setasiun TV
Swasta lainnya. Kemudian hasilnya dicetak menjadi buku sebagai karyanya.
Kesuksesan Muhammad Quraish Shihab dalam kariernya tidak terlepas
dari dukungan dan motivasi keluarga, belaian kasih sayang istri tercinta
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab Dalam Menafsirkan al-Qur ’an
,(selanjutnya tertulis Metodologi Muhammad Quraish Shihab) (Jakarta : Tesis Program Pascasarjana
Jurusan Tafsir Hadis UIN Jakarta, 2002), h. 19
29
63
(Fatmawati) yang selalu mendampingi bahtera kehidupan rumah tangganya,
demikian pula dengan keempat orang putrinya, Najela Shihab, Najwa Shihab,
Nasywa Shihab, Nahla Shihab, dan seorang putranya Ahmad Shihab yang
mereka bina, dan kesemuanya turut andil dalam menempuh semangat untuk
meraih kesuksesan.30
Karya-karyanya diterbitkan dan disebarkan secara luas, bukan hanya di
Indonesia, tapi juga di negri tetangga, seperti Malaysia dan Brunai Darussalam.
Diantara karya-karya itu adalah sebagai berikut :
a. Karya-karya beliau yang belum penulis miliki antara lain :
1) Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang:
IAIN Alaudin,1984)
2)
Filsafat Hukum Islam (Jakarta : Depag, 1987)
3) Satu Islam Sebuah Dilema, (Bandung: Mizan, 1987)
4) Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI, Unisco,
1990)
5) Tafsir al-Amanah (Jakarta:Pustaka Kartini, 1992)
6) Tafsir al-Qur ’an al-Karim atas surat-surat pendek berdasarkan urutan
turunnya (Bandung :Pustaka Hidayah,1997)
7) Pengantin al-Qur ’an (Jakarta: Lentera Hati, 1999)
8) Sejarah dan Ulum al-Qur ’an (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999)
9) Fatwa-Fatwa Seputar al-Qur ’an dan Hadis (Bandung:Mizan, 1999)
10) Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah (Bandung:Mizan, 1999)
11) Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama (Bandung:Mizan, 1999)
12) Fatwa-Fatwa Seputar Tafsir al-Qur ’an (Bandung:Mizan, 1999)
30
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab …, h. 20
64
13) Menuju Haji Mabrur (Jakarta:Pustaka, Zaman, 1999)
14) Panduan
Puasa
Bersama
Muhammad
Quraish
Shihab
(Jakarta:Republika, 1999)
b. Karya-karya beliau yang sekarang ada di tangan penulis adalah sebagai
berikut :
1). Mahkota
Tuntunan
Ilahi;
Tafsir
Surah
al-Fatihah
(Jakarta:Untagama,1988) Kemudian dicetak ulang dengan judul
“Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil”(Jakarta:Lentera Hati, 1996)
Latar belakang penulisan buku ini di antaranya karena surah alFatihah merupakan mahkota tuntunan Ilahi. Dia adalah ummul Qur’an
atau induk al-Qur’an. Dari nama-namanya dapat diketahui betapa besar
dampak yang dapat diperoleh bagi para permbacanya. Tidak heran jika
doa dianjurkan untuk ditutup dengan al-Hamdulillah Rabbil ‘alaimin
atau bahkan ditutup dengan surat al-Fatihah. Al-Fatihah (pembuka yang
sangat sempurna), nama ini sebagai isyarat bahwa ia adalah pembuka alQur’an dan juga pembuka yang amat sempurna bagi segala macam
kebajikan. Surat ini dinamai pula al-Syâfiah (penyembuh) dan alRuqyah (mantera), sebagai isyarat bahwa pembacaan dan pengamalan
kandungannya dapat mengantarkan kepada kesembuhan dan dapat
dijadikan semacam mantera untuk segala persoalan. Dia juga al-Asas
(dasar), karena kandungan surah ini merupakan asas dan dasar bagi
segala sikap dan prilaku untuk meraih kebahagiaan duniawi dan
ukhrawi.31
31
1996), h. 1
Muhammad Quraish Shihab, Hidangan Ilahi (ayat-ayat tahlil), (Jakarta : Lentera Hati,
65
2) Membumikan Al-Qur'an (Bandung:Mizan, 1992)
Latar belakang terbitnya buku ini adalah ketika penerbit Mizan
Bandung menyampaikan maksudnya untuk menerbitkan makalah
makalah dan ceramah ceramah tertulis yang pernah disampaikan
Muhammad Quraish Shihab dalam berbagai kesempatan. Muhammad
Quraish Shihab sendiri menyambut maksud tersebut dengan sangat
gembira. Apalagi selama ini sudah banyak kumpulan makalah
cendekiawan yang diterbitkan oleh penerbit Mizan. Tetapi ketika
langkah dimulai, tampak bahwa pekerjaan itu tidak semudah yang
dibayangkan. Makalah-makalah dan ceramah-ceramah Muhammad
Quraish Shihab yang disampaikan dalam rentang waktu antara 1975
hingga sekarang (sebelum terbit buku), kemudian diseleksi. Dari
penyeleksian itu tampak bahwa sekian bahan yang dihimpun itu masih
harus disempurnakan, sekian catatan kaki yang kurang lengkap, dan
yang belum tercatat sama sekali, harus dirujuk ulang. Selain itu gaya
bahasa makalah-makalah dan ceramah- ceramah itu, banyak yang
menggunakan bahasa lisan, sehingga harus diluruskan. Masih banyak
lagi kesulitan lainya. Namun demikian, meskipun tidak sempurna secara
keseluruhan, ahirnya kesulitan kesulitan itu pun dapat diatasi sehingga
terbitlah buku ini.32
Buku tersebut terdiri dari dua bagian. Pertama, tentang gagasan
al-qur'an terdiri dari empat bab. Bab I tentang bukti kebenaran al-qur'an,
Bab II tentang sejarah perkembangan tafsir, Bab III tentang ilmu tafsir
dan problematiknya, Bab IV mengenai gagasan al-Qur'an tentang
32
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung : Mizan, 1992), h. 13
66
pembudayaannya. Kedua, tentang amalan al-qur'an terdiri dari empat
bab. Bab I tentang agama dan problematiknya, Bab II tentang islam
dan kemasyarakatan, Bab III tentang islam dan tuntunan ibadah, Bab IV
tentang islam dan peran ulama.
3) Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan,
1994)
Buku ini berisikan tulisan-tulisan pilihan Muhammad Quraish
Shihab yang pernah dimuat di harian Pelita, sejak tahun 1990 hingga
awal 1993. Tulisan-tulisan tersebut dimaksudkan sebagai lentera yang
menerangi pembacanya sehubungan dengan berbagai masalah aktual
yang dihadapi masyarakat pada saat rubrik tersebut dihidangkan. "Pelita
Hati" demikian nama rubrik yang dipilih oleh harian Pelita untuk
menampung tulisan-tulisan ini, dan juga tulisan teman-teman lain yang
ikut memperkaya rubrik "Pelita Hati".
Kata “Hati” sifatnya seperti yang diisyaratkan oleh kata
padanannya, "kalbu". “Kalbu” berasal dari bahasa arab yang berakar
dari kata kerja Qalaba yang artinya membalik berpotensi untuk
berbolak-balik yaitu di suatu saat merasa senang, di saat lain merasa
susah, suatu kali mau menerima dan suatu kali menolak. Memang hati
tidak konsisten kecuali yang mendapat bimbingan cahaya Ilahi. Dari
sinilah, lentera dibutuhkan bagi hati manusia. (Sekalipun tidak sama
dengan lentera Ilahi).33
Buku ini terbagi dalam tujuh bagian. Pertama, memahami
petunjuk agama. Kedua, memahami taqdir Allah. Ketiga, memahami
33
Muhammad Quraish Shihab, Lentera Hati, (Bandung : Mizan, 1994), h. 7
67
makna sholat. Keempat, memahami potensi ruhaniyah manusia. Kelima,
memahami masalah- masalah di sekitar kita. Keenam, memahami
kecendekiawanan dan kepemimpinan. Ketujuh, memahami kesatuan
sumber agama.
4) Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan
M.Rasyid Ridha (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994)
Buku yang ada pada tangan pembaca ini kata Muhammad Quraish
Shihab, berusaha mengetengahkan dua tokoh di bidang tafsir al-Qur’an,
metode dan prinsip-prinsip penafsirannya serta keistimewaan dan
kelemahan
masing-masing, dengan harapan
kiranya hasil-hasil
pemikiran mereka yang baik dapat lebih dipahami dan dimanfaatkan.
Muhammad Quraish Shihab tidak mengklaim bahwa apa yang
dikemukakan dalam buku ini merupakan hasil temuan atau analisisnya.
Catatan-catatan kaki yang menghiasi buku ini kiranya cukup berbicara
bahwa ia adalah kumpulan dari informasi dan analisis sekian pakar
terdahulu
yang
Muhammad
Quraish
Shihab
upayakan
untuk
diperkaya.34
Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi pada
sastra budaya dan kemasyarakatan; suatu corak penafsiran yang
menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian
redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam
suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya alQur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan kemudian
merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang
34
Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Mannâr, (selanjutnya tertulis Tafsir alMannâr) (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), h.10
68
berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Tokoh utama corak
penafsiranm ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah
Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid
sekaligus sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, dan dilanjutkan
oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad Mustafa al-Maraghi.35
5) Untaian Permata Buat Anakku ; Pesan al-Qur'an untuk mempelai
(Bandung: al-Bayan, 1995)
Latar belakang terbitnya buku ini adalah permintaan dari anak
putri
Muhammad
pernikahannya.
Quraish
Anak
Shihab
putrinya
yang
akan
mengharapkan
melangsungkan
agar
ayahnya
menggoreskan untuk mereka nasehat dan petuah yang berkaitan dengan
pristiwa bahagia yang mereka hadapi. Bahkan Muhammad Quraish
Shihab mengutip kata-kata putrinya secara langsung.
Abi, begitu mereka memanggil saya, tuliskanlah nasehat untuk
kami, agar menjadi bekal dan kenangan, dan biar didengar dan
dibaca orang banyak, sehingga ia semakin terpatri di hati kami."
Tentu saja harapan mereka tidak wajar saya abaikan, lebih lebih
karena sebentar lagi mereka akan mandiri. Bahkan bagaimana saya
abaikan, bukankah nasehat bisa lebih berharga daripada materi ?
Apalagi kandungan nasehat ini tidak lain kecuali petunjuk Ilahi
yang tersurat atau tersirat dalam al-Qur'an dan petuah petuah Nabi
saw yang bertaburan di kitab kitab hadis. Dua sumber yang tidak
pernah kering, tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan,
tidak pula tersesat yang mengikutinya… Kami penuhi harapan
mereka, sambil mempersembahkannya kepada semua yang
berkesempatan membacanya, terbuka pula pintu pintu rahmat serta
mengalir doa restu, bukan saja untuk anak anak kami, tetapi untuk
semua yang telah, sedang dan akan memasuki mahligai
pernikahan.36
35
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mannâr …, h. 11
Muhammad Quraish Shihab, Untaian Permata Buat Anakku; Pesan al-Qur'an Untuk
Mempelai, (Bandung : Mizan, 1998), Cet. IV.,h. 5
36
69
6) Wawasan al-Qur'an (Bandung:Mizan, 1996)
Buku ini sebagian besar merupakan kumpulan makalah yang
disajikan Muhammad Quraish Shihab dalam "pengajian istiqlal untuk
para eksekutif". Pengajian yang dilaksanakan sebulan sekali itu
dirancang untuk diikuti oleh para pejabat, baik yang berasal dari
kalangan pemerintah maupun swasta. Namun demikian tidak tertutup
bagi siapapun yang berminat, sebagaimana kenyataannya dalam setiap
kali pengajian berlangsung. Mengingat tujuan pengajian seperti yang
dikemukakan diatas dan menyadari pula kesibukan para pejabat yang
tentunya tidak memiliki cukup waktu untuk menerima aneka informasi
tentang berbagai disiplin ilmu keislaman, maka dipilihlah al-Qur'an
sebagai subyek kajian. Alasannya, karena kitab suci ini merupakan
sumber utama ajaran islam yang telah melahirkan sekian banyak disiplin
ilmu keislaman, sekaligus menjadi rujukan untuk penetapan bahkan
pembenaran sekian rincian ajaran.37
Buku tersebut berisi lima bagian. Pertama, wawasan al-qur'an
tentang pokok pokok keimanan. Kedua, wawasan al-qur'an tentang
kebutuhan pokok manusia dan soal-soal muamalah. Ketiga, wawasan alqur'an tentang manusia dan masyarakat. Keempat, wawasan al-qur'an
tentang aspek-aspek kegiatan manusia. Kelima, wawasan al-qur'an
tentang soal-soal penting ummat.
7) Mukjizat Al-Qur'an (Bandung :Mizan, 1997)
Ditulisnya buku ini bermula dari saran-saran dari sekian banyak
rekan agar Muhammad Quraish Shihab menulis buku yang mudah
37
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, (Bandung : Mizan, 1996), h. xi
70
dicerna menyangkut mukjizat dan keistimewaan al-Qur'an. Setiap saran
tersebut disampaikan, Muhammad Quraish Shihab selalu menyambutnya
dengan berkata:"Insya Allah pada waktunya akan saya penuhi."
Sebelumnya Muhammad Quraish Shihab maju mundur untuk
menyelesaikan penulisan buku ini.
Pada awal tahun 1995 serta bertepatan dengan bulan suci
Ramadhan 1415 H. Muhammad Quraish Shihab dan beberapa temannya
ditugaskan mengikuti studi dan latihan strategic management selama
sepuluh minggu di satu kota kecil, Amhers, di wilayah Massachussets,
Amerika Serikat. Untuk mengobati kerinduan kepada keluarga beliau
mengobati dengan cara membaca ayat-ayat al-Qur'an di malam hari.
Nikmat membaca ayat-ayat al-Qur'an serta ketenangan batin yang
dihasilkannya, mengingatkan kembali tentang saran rekan-rekannya di
atas. Setiap lidah membaca ayat yang demikian indah susunan, gaya, dan
nadanya, atau setiap nalar menampilkan keistimewaan dan atau mukjizat
al-Qur'an baik yang pernah penulis pelajari maupun yang lahir ketika itu,
setiap itu pula nalar dan hati bersepakat mendorong untuk menulis dan
menulis. Maka pada bulan suci Ramadhan itu mengalirkan ingatan dan
ide yang melahirkan puluhan halaman dari karya ini. Waktu itu masih
belum dalam bentuknya yang sekarang, karena ketika itu tidak ada
literatur yang dapat penulis jadikan rujukan konfirmasi atau pengayaan
materi kecuali" Mushhaf saku" al-Qur'an yang tercetak pula bersamanya
tafsir Jalalain, asbab al-Nuzul, dan mu'jam ayat ayatnya.
Sekembalinya ke tanah air, kesibukan sehari-harinya menghalangi
penyelesaian buku ini. Hingga ahirnya pada bulan Ramadhan 1417
71
H/1997M, kembali hati Muhammad Quraish Shihab tergugah bahkan
meronta agar tulisan ini segera diselesaikan. Maka penulis membuka
kembali lembaran-lembaran yang lama, melanjutkan apa yang pernah
ditulis sebelumnya. Pada tahun 1997 ahirnya buku ini terbit.38
8) Sahur Bersama Muhammad Quraish Shihab di RCTI
(Bandung:Mizan 1997)
Latar belakang terbitnya buku tersebut diungkapkan oleh
Muhammad Quraish Shihab:
Bahwa pada bulan Ramadhan 1417 H/1997 M. Saya bersama
saudara Dr. Arief Rahman mengasuh acara yang oleh Rajawali
Citra Televisi Indonesia dinamai Sahur Bersama M.Quraish
Shihab. Acara ini dinamakan demikian karena acara tersebut
ditayangkan pada saat kaum Muslimin menikmati sahur. Acara
tersebut rupanya mendapatkan sambutan positif dari berbagai
pihak dan tingkat masyarakat, mulai dari Ibu rumah tangga,
pelajar, mahasiswa, dan karyawan hingga pejabat tinggi. Itu antara
lain tercermin melalui penyampaian tertulis maupun lisan yang
kami terima dan yang diterima oleh RCTI. Ketika itu, tidak jarang
yang meminta rekaman kaset video atau mengusulkan penerbitan
uraian tersebut secara tertulis. Usul terahir ini, kami sambut dan
disambut juga oleh RCTI, Alhamdulillah, Yayasan Wakaf
Paramadina mengambil langkah selanjutnya untuk merealisasikannya.39
Buku ini memuat 20 topik yang semuanya berkaitan dengan puasa
dan dikemas dengan metode dialog
9) Haji Bersama Muhammad Quraish Shihab (Bandung:Mizan, 1998)
Buku ini terbit berdasarkan pengalaman Muhammad Quraish
Shihab saat berkali-kali pergi haji dan umrah serta berkali-kali pula
membimbing para jamaah haji dan bersama mereka pula melaksanakan
38
39
h. 5
Muhammad Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur'an, (Bandung : Mizan, 1997), Cet. I., h. 7
Muhammad Quraish Shihab, Sahur Bersama M.Quraish Shihab, (Bandung : Mizan, 1997),
72
rukun islam kelima itu. Banyak pengalaman yang Muhammad Quraish
Shihab lihat dan rasakan Muhammad Quraish Shihab bersama mereka,
dan banyak juga pertanyaan atau tanggapan yang diterimanya.40
Buku ini terdiri dari empat bagian. Pertama, pengertian
memahami makna kunjungan. Kedua, ibadah haji. Ketiga, tuntunan
praktis mengenai haji. Keempat, amalan setelah haji.
10) Menyingkap Tabir Ilahi (Asma al-Husna dalam Perspektif alQur'an) (Jakarta: Lentera Hati, 1998)
Later belakang terbitnya buku ini adalah ada seorang teman yang
meminta kepada Muhammad Quraish Shihab untuk menguraikan Asma
al-Husna di layar kaca secara berturut turut hingga tuntas. Permintaan
itulah yang menggerakkan pena penulis menggoreskan uraian ini.
Kandungan buku ini
telah dipersiapkan oleh Muhammad Quraish
Shihab jauh sebelum tayangan di layar kaca yang sebetulnya singkat
dan sederhana.
Motifasi penulisannya pun berbeda. Pertama, adanya kesan umum
yang dirasakan oleh Muhammad Quraish Shihab dan agaknya juga oleh
banyak orang adalah bahwa Allah Dzat yang cinta-Nya merupakan
samudra yang tidak bertepi, yang anugrah-Nya langit yang tidak
berujung, yang amarah-Nya dikalahkan oleh rahmat-Nya, serta pintu
ampunan-Nya terbuka lebar sepanjang saat. Kedua, karena selama ini
terkesan bahwa keberagaman sebagian kita, tidak sejalan dengan sifatsifat Allah, padahal keberagaman adalah upaya meneladani Tuhan
40
1998), h. 5
Muhammad Quraish Shihab, Haji Bersama Muhammad Quraish Shihab, (Bandung : Mizan,
73
dalam sifat-sifat-Nya. Seperti yang diucapkan oleh sementara pakar
bahwa ummat beragama tidak lagi menyembah Tuhan, tapi menyembah
agama. Mereka mempertuhankan agama, tidak mempertuhankan
Allah.41 Isi buku ini khusus menjelaskan pengertian Asma al-Husna
yang jumlahnya 99
11) Mahkota Tuntunan Ilahi; Tafsir Surah al-Fatihah (Jakarta :
Untagama, 1998)
Latar belakang terbitnya buku ini antara lain karena surah alFatihah sebagai ummu al-Qur'an yang mengandung pengakuan tauhid,
pengakuan atas ke Esaan Allah swt, pengakuan akan adanya hari
kemudian, dan semua pengabdian hanya tertuju kepada Allah swt.
Disamping itu al-Fatihah juga merupakan pembukaan yang sempurna
bagi segala macam kebaikan serta memuat pesan dan tuntunan yang
sangat berguna sebagai bekal di dalam kehidupan di dunia dan aherat.
Pengahayatan dan pengamalannya lebih mendalam untuk diserap,
mendorong hati ummat islam untuk menghayati dan mengamalkannya.42
Buku ini berupa tafsir surah al-Fatihah yang disajikan dengan metode
tahlili (analisis)
12) Fatwa Fatwa Seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan, 1999)
Buku ini merupakan hasil dari kumpulan jawaban atas pertanyaan
yang diajukan oleh pembaca harian Republika melalui rubrik "Dialog
41
42
h. 1-2
Muhammad Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi (Jakarta : Lentera Hati, 1998), h.viii
Muhammad Quraish Shihab, Mahkota Tuntunan Ilahi, (Jakarta : Untagama, 1998), Cet.I,
74
Jum'at" yang hadir sejak tahun 1992.
43
Buku tersebut berisi tentang
shalat, puasa, zakat, dan haji.
13) Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur'an (Bandung:
Mizan, 1999)
Buku
ini
merupakan
rangkuman
dari
ceramah-ceramah
Muhammad Quraish Shihab pada pengajian yang diselenggarakan di
Departemen Agama, Masjid Istiqlal, dan Forum Konsultasi dan
Komunikasi Badan Pembinaan Rohani Islam (FOKUS BAPINROHIS)
tingkat pusat untuk para eksekutif.44
14) Yang Tersembunyi : Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat (Jakarta:
Lentera Hati, 1999)
Ide ditulisnya buku ini muncul ketika Muhammad Quraish Shihab
mengikuti training tentang manajemen di Amerika Serikat. Pada waktu
luang Muhammad Quraish Shihab diminta untuk memberikan ceramah
di hadapan mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat dan dilanjutkan
dengan diskusi menyangkut agama dan kehidupan. Dalam diskusi
tersebut timbul permintaan dari sebahagian mahasiswa di Boston agar
penulis berbicara tentang pandangan Islam menyangkut makhluk halus
khususnya jin, iblis, dan setan.45
43
Muhammad Quraish Shihab, Fatwa Fatwa Seputar Ibadah Mahdah, (Bandung : Mizan,
1999),h.vii
44
Muhammad Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi :Hidup Bersama al-Qur'an, (Bandung :
Mizan, 1999), h.
45
Muhammad Quraish Shihab, Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat, (Jakarta :
Lentera Hati, 1999), Cet. I, h. vii
75
15) Tafsir al-Mishbah (Jakarta:Lentera Hati, 2000)
Penulisan tafsir ini diawali di Cairo pada tanggal 18 Juni 1999.
Acara peluncurannya diselenggarakan pada tanggal 29 Maret 2000 di
hotel Mandarin Jakarta. Tampil sebagai pembicara adalah Nurcholish
Majid dan Mar'i Muhammad.46 Tafsir ini baru dapat diselesaikan
sebanyak 15 Volume secara keseluruhan pada tahun 2004
Muhammad Quraish Shihab mengatakan:
Latar belakang terbitnya tafsir al-Mishbah ini adalah diawali
oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul "Tafsir al-Qur'an alKarim" pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat
orang banyak, bahkan sebahagian mereka menilainya bertele-tele
dalam menguraikan pengertian kosa kata atau kaiadah-kaidah yang
disajikan. Akhirnya Muhammad Quraish Shihab tidak melanjutkan
upaya itu. Disisi lain banyak kaum muslimin yang membaca surahsurah tertentu dari al-Qur'an, seperti surah yasin, al-Waqi'ah, alRah'man dan lain lain merujuk kepada hadis dhoif, misalnya
bahwa membaca surat al-Waqi'ah mengandung kehadiran rizki.
Dalam Tafsir al-Mishbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah
al-Qur'an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat
dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta
menciptakan kesan yang benar. 47
16) Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat ayat
Tahlil (Jakarta:Lentera Hati, 2001)
Latar belakang terbitnya buku ini berawal dari ide seseorang yang
dicintai (tidak disebutkan namanya). Buku Hidangan Ilahi dilengkapi
dan disempurnakan dengan uraian tentang doa-doa yang dibaca dalam
acara tahlilan, bahkan dilengkapi dengan uraian tentang maut.48
46
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab …, h. 38
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Ciputat : Lentera Hati, 2000), h. viii
48
Muhammad Quraish Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian Kematian, Surga, dan Ayat
Ayat Tahlil, (selanjutnya tertulis Ayat-Ayat Tahlil) (Jakarta : Lentera Hati, 2001), Cet. I., h. vi
47
76
Buku ini mengajak pembaca untuk membayangkan perjalanan
menuju keabadian dan menjelaskannya, tanpa menakut-nakuti, atau
melebih-lebihkan. Memang, hidup dan mati adalah wewenang muthlak
Allah swt. Apalagi dibalik kematian terdapat apa yang belum pernah
dilihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terjangkau oleh nalar.
Buku ini berbicara tentang alam sesudah adanya kematian, dan
mengajak pembaca untuk membayangkan perjalanan manusia menuju
keabadian yang dimulai dengan kamatian. Selain itu juga menguraikan
pesan ayat-ayat serta doa-doa tahlil.49
17) Menjemput Maut (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
Terbitnya buku ini diilhami oleh buku "bekal Perjalanan" yang
ditulis oleh Muhammad Quraish Shihab sendiri dalam rangka
peringatan wafatnya ayah salah seorang sahabatnya. Dalam buku ini ada
penambahan beberapa artikel guna lebih melengkapi bekal menuju
Allah swt. 50
18) Mistik Seks dan Ibadah (Jakarta: Republika, 2004)
Latar belakang terbitnya buku ini adalah karena keterlibatan
Muhammad Quiraish Shihab sebagai penulis di Harian Umum
Republika sejak awal berdirinya harian tersebut. Kegiatan tersebut terus
berlangsung hingga kini, bahkan disela-sela kesibukannya sebagai
rektor IAIN Syarif Hidayatullah, menteri agama atau duta besar di
Mesir, Muhammad Quraish Shihab masih menyempatkan untuk
49
50
Muhammad Quraish Shihab, Ayat-Ayat Tahlil,… h. viii
Muhammad Quraish Shihab, Menjemput Maut (Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), h. vi
77
menulis dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikirim ke redaksi
harian Republika.
Setelah penerbitan dua bukunya yang berjudul Panduan Puasa
dan Panduan Sholat mendapat sambutan yang sangat baik, terbitlah
buku ketiga yang diberi judul "Mistik Seks dan Ibadah" Judul ini
diambil mengingat begitu beragamnya pertanyaan yang diajukan dan
melihat ketika masalah tersebut (Mistik, Seks dan Ibadah ) selalu
menjadi pembicaraan yang tidak kunjung habis habisnya.51
19) Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta : Lentera Hati, 2004)
Latar belakang terbitnya buku ini adalah karena adanya
keinginan bahkan desakan untuk menulis persoalan ini yang sudah lama
terbetik dalam benak penulis. Desakan itu lahir bukan saja dari
banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada penulis menyangkut jilbab
yang merupakan busana muslimah ini, baik melalui media masa
maupun secara langsung dalam pertemuan dan ceramah agama. Selain
itu juga karena ada yang menyalahpahami pandangan Muhammad
Quraish Shihab menyangkut persoalan ini. Padahal yang selama ini
dikemukakan hanyalah aneka pendapat pakar tentang persoalan jilbab
tanpa menetapkan satu pilihan. Sampai terbitnya buku inipun
Muhammad Quraish Shihab belum mentarjih dari berbagai pendapat
tentang jilbab tersebut.52
51
Muhammad Quraish Shihab, Mistik, Seks dan Ibadah, (Jakarta : Penerbit Republika, 2004),
h.vii
52
h.4
Muhammad Quraish Shihab, Jilbab Pakean Wanita Muslimah, (Jakarta : Lentera Hati, 2004),
78
20) Dia Dimana Mana (Jakarta: Lentera Hati, 2004)
Muhammad Quraish Shihab setiap menulis buku selalu
menjelaskan latar belakang penulisannya. Namun, dalam buku yang
berjudul "Dia Dimana mana" dia tidak menyebutkan latar belaknag
penulisannya. Namun demikian, pada halaman sekapur sirih Quraish
Shihab mengatakan:"Kalau kita merenung dan berfikir secara tulus dan
benar, pasti kita akan menyadari bahwa Allah hadir dimana mana. Kita
dapat menemukan-Nya setiap saat dan di semua tempat. Pengetahuan
manusia dapat mengantarnya kepada pengakuan tentang wujud dan
kuasa-Nya. 53
21) Perempuan (Jakarta : Lentera Hati, 2005)
Dalam buku ini dijelaskan berbagai persoalan yang menjadi
bahan pembicaraan dan diskusi tentang perempuan. Muhammad
Quraish Shihab mengharap kiranya buku ini merupakan sumbangsih
yang dapat menyingkap sebagian kekhilafan atau kesalahpahaman yang
dulu dan sekarang terdengar menyangkut perempuan, khususnya dalam
kaitannya dengan ajaran islam. Dalam buku tersebut Muhammad
Quraish Shihab juga memohon taufik dan hidayah-Nya sambil berharap
kiranya jika terdapat manfaat dari tulisan ini. Dia juga berharap semoga
ganjaran yang diperoleh ibu bersama ayah penulis melebihi ganjaran
yang diperoleh. Selain itu juga akan semakin bertambah kesyukuran,
kekaguman dan kecintaannya kepada istri dan anak-anak 54
53
54
Muhammad Quraish Shihab, Dia Dimana Mana, (Ciputat : Lentera Hati, 2004), Cet.I, h. ix
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta : Lentera Hati, 2005), h. xiii
79
22) 40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta :Lentera Hati, 2005)
Buku ini merupakan terjemahan Muhammad Quraish Shihab dari
buku yang berjudul ‫ ﺍﻻﺭﺑﻌـﻮﻥ ﺍﻟﻘﺪﺳـﻴﺔ‬yang diambil dari judul asli “Forty
Hadith Qudsi” karya Ezzeddin Ibrahim.
23) Logika Agama (Jakarta : Lentera Hati, 2005)
Buku ini berasal dari satu karya Muhammad Quraish Shihab
yang berjudul al-Khawâthir dikala dia sedang belajar pada Fakultas
Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo. Karya ini ditulis dengan bahasa
Arab, kemudian beberapa teman dan juga anak-anak beliau
menganjurkan agar karya lama itu diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, karena menurut mereka kandungannya masih sangat relevan
pada masa kini, disebabkan perubahan yang melanda seluruh dunia
dengan membawa nilai-nilai baru dan menjungkirbalikkan banyak nilai
lama. Tidak sedikit orang yang menuntut perubahan segala hal,
termasuk nilai-nilai dasar agama. Padahal tidak semua hal berubah.
Sekian banyak hal yang tetap langgeng walau telah lama tetapi belum
usang bahkan belum atau tidak ada gantinya yang sepadan sehingga
masih harus dipertahankan. Karya Muhammad Quraish Shihab inimenurut
sebahagian
temannya-
walau
telah
lama
tetapi
ia
membicarakan masalah yang kini sedang ramai diperbincangkan,
disamping karya ini berbicara tentang hubungan agama dengan akal. 55
Mendudukkan persoalan agama dengan akal dewasa ini sangat
penting, karena penggunaan rasio dan pengaguman terhadap akal
demikian besarnya sehingga bukan saja terjadi desakralisasi tetapi juga
55
Muhammad Quraish Shihab, Logika Agama, (selanjutnya tertulis Logika Agama) (Jakarta :
Lentera Hati, 2005), h. 11
80
melampaui sehingga muncul despiritualisasi yang mengingkari atau
paling sedikit merasionalkan yang supra-rasional dan mengabaikan atau
paling tidak sangat meminggirkan peranan kalbu manusia. Rasio kini
telah mengambil tempat melebihi porsinya, sehingga kalbu terpojok,
metafisika tersingkirkan, bahkan Tuhan pun nyaris terabaikan, kalau
enggan berkata seperti Nietzsche (1844-1900) “Tuhan telah mati” yang
juga dikenal sebagai filosof yang bertujuan melahirkan “Superman”
Rasio yang diberi peranan melebihi fungsinya dapat membinasakan
manusia, karena itu dari waktu ke waktu mereka harus diingatkan.
Begitulah beberapa teman Muhammad Quraish Shihab berusaha
meyakinkan Muhammad Quraish Shihab untuk menerbitkan buku ini.
Kemudian ahirnya buku ini diterbitkan pada bulan Oktober 2005 56
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan, bahwa
Muhammad Quraish Shihab adalah seorang yang produktif dalam tulis
menulis dan konsisten menekuni ilmu al-Qur’an sejak kecil hingga
sekarang. Hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya dan juga pendidikan
yang beliau pedroleh, dan pengabdian yang beliau tekuni seperti
mendirikan Pusat Setudi al-Qur’an (PSQ) yang dibangun dua lantai di
daerah Ciputat.
56
Muhammad Quraish Shihab, Logika Agama …, h. 13
BAB III
SEKILAS TENTANG TEORI JENDER
A. Pengertian Jender
Kata "jender" diambil dari bahasa Inggris yaitu gender yang berarti
jenis kelamin.1 Menurut Nasaruddin Umar arti ini kurang tepat, karena dengan
demikian gender disamakan pengertiannya dengan sex yang berarti jenis
kelamin. Persoalannya karena kata jender termasuk kosa kata baru sehingga
pengertiannya belum ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.2
Siti Musda Mulia menegaskan bahwa, "Jender adalah seperangkat sikap,
peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri lakilaki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat
tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan.” 3
Kemudian Siti Musda Mulia menyimpulkan bahwa, "Jender adalah
suatu konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki
dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai
dengan perubahan zaman.”4
Sedangkan Nasaruddin Umar menyimpulkan bahwa, "Jender adalah
suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi sosial budaya."5
1
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia,
1994), Cet. XIII, h. 265
2
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an, (selanjutnya tertulis
Kesetaraan Jender) (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. II., h. 33
3
Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Kesetaraan Gender Perspektif Islam, (selanjutnya
tertulis Keadilan Jender) (Jakarta: LKAJ, 2003), Cet. II, h. viii
4
Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Jender…, h. ix
5
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 35
٨١
82
Dari beberapa pengertian jender di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
jender adalah kedudukan laki-laki dan perempuan ditinjau dari segi sosial
budaya, ekonomi, politik dan kebijakan suatu negara, bukan dari segi jenis
kelamin atau ajaran agama. Maka seks dan jender tentu tidak sama, karena
seks adalah ketentuan Allah yang tidak bisa diubah karena sudah merupakan
kodrat, sedangkan jender dibuat oleh kesepakatan masyarakat setempat yang
sewaktu-waktu akan berubah.
B. Atribut dan Identitas Jender
Sejak seorang anak dilahirkan, maka seorang anak itu sudah dapat
diketahui identitasnya. Jika anak yang dilahirkan memiliki alat kelamin penis,
maka disebut anak laki-laki, dan jika memiliki alat kelamin vagina, maka
disebut anak perempuan.
Setelah identitas seorang anak diketahui, maka masyarakat langsung
memberikan atribut yang melekat pada identitas kelaminnya. Orang tuanya
mulai membentuk sifat-sifat yang harus dimiliki oleh anaknya sesuai jenis
kelaminnya. Jika yang dilahirkan anak laki-laki maka orang tuanya setelah
anak mulai mau bermain akan membelikan mobil-mobilan, sedangkan
perempuan orang tuanya akan membelikan boneka.
Masyarakat memandang bahwa segala kelembutan dan kesabaran
adalah kodrat yang harus dijalani seorang perempuan. Anak perempuan yang
main tembak-tembakan atau memanjat pohon dikatakan menyimpang.
Demikian pula dengan laki-laki, orang tua selalu mewanti-wanti pada mereka
untuk tidak gampang menangis, walaupun ditimpa kesedihan atau kekesalan
seberat apapun. Penampilan anak laki-laki harus pemberani, kuat, tidak
83
cengeng, rasional, dan selalu harus ada di depan, karena anak laki-laki kelak
akan menjadi seorang pemimpin.6
Begitu seorang anak dilahirkan, maka pada saat yang sama ia
memperoleh tugas dan beban jender (gender assignment) dari lingkungan
budaya masyarakatnya. Jadi beban jender seseorang tergantung dari nilai-nilai
budaya yang berkembang di dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat
patrilineal dan androsentris, sejak awal beban jender seorang anak laki-laki
lebih dominan dibanding anak perempuan.7
Perbedaan jender telah melahirkan perbedaan peran sosial. Kadangkala
peran sosial tersebut dibakukan oleh masyarakat, sehingga tidak ada
kesempatan bagi perempuan atau laki-laki untuk berganti peranan.8
Dari sini kita dapat melihat tradisi orang arab Saudi Arabia yang
membatasi peran perempuan hanya di rumah, sehingga seluruh kehidupannya
habis untuk melayani suami dan anak-anaknya di rumah bahkan belanja ke
pasarpun dilakukan oleh kaum laki-laki atau suami.
Beban kerja yang berat dan jam kerja yang banyak semakin dirasakan
oleh perempuan, jika suaminya gagal memperoleh pekerjaan tetap atau
diberhentikan dari pekerjaan tetapnya. Suami tidak dapat menjalankan
perannya sebagai pencari nafkah, padahal kelangsungan rumah tangga harus
tetap di jaga (dapur harus ngebul). Kondisi ini telah memaksa banyak
perempuan mengambil alih tugas sebagai pencari nafkah. Namun celakanya
alih tugas ini bukan berarti alih tanggung jawab tugas-tugas rumah tangga
6
7
8
Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Jender…, h. 56
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 37
Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Jender…, h. 60
84
(tidak mengerjakan urusan rumah tangga), karena tugas-tugas ini tetap menjadi
beban perempuan.9
Selanjutnya Siti Musda Mulia juga mengakui bahwa "Sumber-sumber
ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat Islam tidak berasal dari
ajaran dasar agama, tetapi lebih pada salah tafsir terhadap agama, seperti yang
diperlihatkan sebahagian besar ulama Islam selama berabad abad."10
Penulis sependapat bahwa bias jender itu bukan diakibatkan oleh teks
al-Qur'an, tapi akibat penafsiran seorang mufasir. Karena seorang mufasir akan
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, budaya, sosial, politik, ekonomi
dan lingkungannya.
Namun demikian tidak semua mufasir klasik keliru menafsirkan ayatayat al-Qur'an, sekalipun menurut para mufasir kontemporer sebagian mufasir
klasik dianggap bias jender.
C. Biologi, Jender, dan Perilaku Manusia
Setiap makhluk hidup dapat dikelompokkan pada dua jenis yaitu lakilaki dan perempuan, termasuk didalamnya buah-buahan sebagaimana diungkap
dalam (Q.S.al-Ra’d/13:3)
ِ‫ﻦ‬‫ـﻴ‬‫ﺟ‬‫ﻭ‬‫ﺎ ﺯ‬‫ﻞﹶ ﻓِﻴﻬ‬‫ﻌ‬‫ﺍﺕِ ﺟ‬‫ﺮ‬‫ ﻛﹸﻞﱢ ﺍﻟﺜﱠﻤ‬‫ﻣِﻦ‬‫ﺍ ِ ﻭ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻬ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺳِﻲ‬‫ﻭ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻞﹶ ﻓِﻴﻬ‬‫ﻌ‬‫ﺟ‬‫ ﻭ‬‫ﺭﺽ‬ ‫ ﺍﻟﹾﺄﹶ‬‫ﺪ‬‫ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ﻭ‬
( ٣ : ١٣/‫ﻭﻥﹶ ) ﺍﻟﺮﻋﺪ‬‫ﻔﹶﻜﱠﺮ‬‫ﺘ‬‫ﻡٍ ﻳ‬‫ﺎﺕٍ ﻟِﻘﹶﻮ‬‫ ﻟﹶﺂﻳ‬‫ ﺇِﻥﱠ ﻓِﻲ ﺫﹶﻟِﻚ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻬ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﻨ‬‫ﺸِﻲ ﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ﻐ‬‫ﻦِ ﻳ‬‫ﻴ‬‫ﺍﺛﹾﻨ‬
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan
gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya
semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam
kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.(Q.S.alRa'd/13:3).
9
10
Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Jender…, h. 62
Siti Musdah Mulia at. al Keadilan Jender…,h. 89
85
( ٤٩ : ٥١/‫ﻭﻥﹶ ) ﺍﻟﺬﺍﺭﻳﺎﺕ‬‫ﺬﹶﻛﱠﺮ‬‫ ﺗ‬‫ﻠﱠﻜﹸﻢ‬‫ﻦِ ﻟﹶﻌ‬‫ﻴ‬‫ﺟ‬‫ﻭ‬‫ﺎ ﺯ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﺀٍ ﺧ‬‫ﻲ‬‫ ﻛﹸﻞﱢ ﺷ‬‫ﻭَﻣِﻦ‬
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah. (Q.S. al-Dzariyat/51: 49)
( ٤٥ : ٥٣/‫ﺜﹶﻰ )ﺍﻟﻨﺠﻢ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹸﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻦِ ﺍﻟﺬﱠﻛﹶﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺟ‬‫ﻭ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻠﹶﻖ‬‫ ﺧ‬‫ﻪ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ﻭ‬
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan lakilaki dan perempuan. (Q.S. al-Najm/53: 45)
Berdasarkan ayat-ayat di atas Muhammad Quraish Shihab mengatakan
bahwa, ”Allah swt. menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan.
Keberpasangan mengandung persamaan sekaligus perbedaan. Persamaan dan
perbedaan itu harus diketahui agar manusia dapat bekerja sama menuju citacita kemanusiaan."11
Lelaki dan perempuan keduanya berkewajiban menciptakan situasi
harmonis dalam masyarakat. Tentu saja situasi ini harus sesuai dengan kodrat
dan kemampuan masing-masing. Ini berarti bahwa kita dituntut untuk
mengetahui keistimewaan dan kekurangan masing-masing, serta perbedaan
keduanya. Karena tanpa mengetahui hal-hal tersebut, maka orang bisa
mempersalahkan dan menzalimi banyak pihak. Dia bisa mempersalahkan
interpretasi agama dan menganiaya perempuan karena mengusulkan hal-hal
yang justru bertentangan dengan kodratnya.12
Dalam suasana maraknya tuntutan hak asasi manusia serta seruan
keadilan dan persamaan, sering kali tanpa disadari, hilang hak asasi dan sirna
keadilan lagi kabur makna persamaan yang dituntut itu.13
Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Anis Manshur yang
menyatakan bahwa, ”Tidak ada satu masyarakat di seluruh persada dunia ini
11
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (selanjutnya tertulis Perempuan) (Jakarta :
Lentera Hati, 2005), h. 2
12
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan,…, h. 3
13
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 3
86
yang mempersamakan lelaki dan perempuan dalam segala hal, tidak pada
masyarakat yang sangat maju, tidak juga pada masyarakat yang sangat
terbelakang. Memang, lelaki dan perempuan masing-masing mempunyai lima
indera, tetapi terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat jelas, dalam dan
tajam.”14
Ada tidaknya pengaruh biologi terhadap perilaku manusia para pakar
berbeda pendapat, antara lain Nasaruddin Umar mengutip pendapat Unger
tentang perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan
sebagai berikut :
Laki-laki
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Sangat agresif
Independen
Tidak emosional
Dapat menyembunyikan emosi
Lebih objektif
Tidak mudah terpengaruh
Tidak submisif
Sangat menyukai penget. eksakta
Tidak mudah goyah terhadap krisis
Lebih aktif
Lebih kompetitif
Lebih logis
Lebih mendunia
Lebih terampil berbisnis
Lebih berterus terang
Memahami perkembangan dunia
Berperasaan tak mudah tersinggung
Lebih suka berpetualang
Mudah menghadapi persoalan
Jarang menangis
Umumnya terampil memimpin
Penuh rasaperscaya diri
Lebih banyak mendukung sikap
14
Perempuan
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Tidak terlalu agresif
Tidak terlalu independen
Lebih emosional
Sulit menyembunyikan emosi
Lebih subjektif
Mudah terpengaruh
Lebih submisip
Kurang menyukai eksakta
Mudah goyah menghadapi krisis
Lebih pasif
Kurang kompetitif
Kurang logis
Berorientasi ke rumah
Kurang terampil berbisnis
Kurang berterus terang
Kurang memahami perkemb.dunia
Berperasaan mudah tersinggung
Kurang suka berpetualang
Sulit mengatasi persoalan
Lebih sering menangis
Tidak umum terampil memimpin
Kurang percaya diri
Kurang senang terhadap sikap
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 5
87
Agresif
• Lebih ambisi
• Lebih mudah membedakan antara
rasa dan rasio
• Lebih merdeka
• Tidak canggung dalam penampilan
• Pemikiran lebih unggul
• Lebih bebas berbicara
agresif
• Kurang ambisi
• Sulit membedakan antara rasa dan
rasio
• Kurang merdeka
• Lebih canggung dalam penampilan
• Pemikirang kurang unggul
• Kurang bebas berbicara 15
Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Murtadha Muthahari,
seorang ulama terkemuka Iran dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Abu
al-Zahra al-Najafi ke dalam bahasa Arab dengan judul Nizhâm Huqûq alMar ’ah yang intinya adalah bahwa lelaki secara umum lebih besar dan lebih
tinggi dari perempuan, suara lelaki dan telapak tangannya kasar, berbeda
dengan suara dan telapak tangan perempuan,… pertumbuhan perempuan lebih
cepat dari laki-laki. Namun perempuan lebih mampu membentengi diri dari
penyakit dibanding lelaki Lebih cepat berbicara bahkan dewasa dari lelaki.
Rata-rata bentuk kepala lelaki lebih besar dari perempuan, tetapi jika
dibandingkan dari segi bentuk tubuhnya, maka sebenarnya perempuan lebih
besar. Kemampuan paru-paru lelaki menghirup udara lebih besar/banyak dari
perempuan, dan denyut jantung perempuan lebih cepat dari denyut lelaki.16
Kemudian Quraish Shihab menjelaskan perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi psikis.
Secara umum, lelaki lebih cenderung kepada olah raga, berburu,
dan pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding perempuan. Lelaki
secara umum cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan
perempuan cenderung kepada kedamaian dan keramahan, lelaki lebih
agresif dan suka ribut, sementara perempuan lebih tenang dan tentram.
Perempuan menghindari penggunaan kekerasan terhadap dirinya atau
orang lain, karena itu jumlah perempuan yang bunuh diri lebih sedikit
15
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 43
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (selanjutnya tertulis al-Mishbah Vol. 2)
(Ciputat: Lentera Hati, 2000) Vol. 2, h. 405
16
88
dari jumlah lelaki. Caranyapun berbeda, biasanya lelaki menggunakan
cara yang lebih keras—pistol, tali gantungan, atau meloncat dari
ketinggian—sementara perempuan menggunakan obat tidur, racun, dan
semacamnya.17
Perasaan perempuan lebih cepat bangkit dari lelaki, sehingga sentimen
dan rasa takutnya segera muncul, berbeda dengan lelaki yang biasanya lebih
berkepala dingin. Perempuan biasanya lebih cenderung kepada upaya
menghiasi diri, kecantikan, dan mode yang beraneka ragam, serta berbeda
bentuk. Di sisi lain, perasaan perempuan secara umum kurang konsisten
dibanding dengan lelaki. Perepmuan lebih berhati-hati, lebih tekun beragama,
cerewet, takut, dan lebih banyak berbasa-basi. Perasaan perempuan lebih
keibuan, ini jelas tampak sejak anak-anak. Cintanya kepada keluarga serta
kesadarannya tentang kepentingan lembaga keluarga lebih besar dari lelaki.18
Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Prof. Reek, pakar
psikologi Amerika, yang telah bertahun-tahun melakukan penelitian tentang
lelaki dan perempuan menguraikan keistimewaan lelaki dan perempuan dari
segi kejiwaannya, antara lain sebagai berikut:
1. Lelaki biasanya merasa jemu untuk tinggal berlama-lama di
samping kekasihnya. Berbeda dengan perempuan, ia merasa nikmat
berada sepanjang saat bersama kekasihnya.
2. Pria senang tampil dalam wajah yang sama setiap hari. Berbeda
dengan perempuan yang setiap hari ingin bangkit dari
pembaringannya dengan wajah yang baru. Itu sebabnya mode
rambut dan pakaian perempuan sering berubah, berbeda dengan
lelaki.
3. Sukses di mata lelaki adalah kedudukan sosial terhormat serta
penghormatan dari lapisan masyarakat, sedangkan bagi perempuan
adalah menguasai jiwa raga kekasihnya dan memilikinya sepanjang
hayat. Karena itu, lelaki—disaat tuanya—merasa sedih, karena
sumber kekuatan mereka telah tiada, yakni kemampuan untuk
17
18
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 406
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 406
89
bekerja, sedang perempuan merasa senang dan rela karena
kesenangannya adalah di rumah bersama suami dan anak cucu.
4. Kalimat yang paling indah didengar oleh perempuan dari lelaki,
menurut Prof. Reek adalah ”Kekasihku, sungguh aku cinta
padamu.” Sedang kalimat yang indah diucapkan oleh perempuan
kepada lelaki yang dicintainya adalah ”Aku bangga padamu.”.19
Kemudian M.Quraish Shihab mengutip pendapat Psikolog perempuan,
Cleo Dalon, yang menemukan dua hal penting pada perempuan sebagaimana
dikutip oleh Murtadha Muthahari dalam bukunya Nizhâm Huqûq al-Mar ’ah :
. Pertama, perempuan lebih suka bekerja di bawah pengawasan
orang lain. Kedua, perempuan ingin merasakan bahwa ekspresi mereka
mempunyai pengaruh terhadap orang lain serta menjadi kebutuhan
orang lain. Kemudian Psikolog perempuan itu menyatakan bahwa
Menurut hemat saya, kedua kebutuhan psikis ini bersumber dari
kenyataan bahwa perempuan berjalan di bawah pimpinan perasaan,
sedang lelaki di bawah pertimbangan akal, walaupun kita sering
mengamati bahwa perempuan bukan saja menyamai lelaki dalam hal
kecerdasan, bahkan terkadang melebihinya. Kelemahan utama
perempuan adalah pada perasaannya yang sangat halus. Lelaki berpikir
secara praktis, menetapkan, mengatur, dan mengarahkan. Perempuan
harus menerima kenyataan bahwa mereka membutuhkan kepemimpinan
lelaki atasnya.20
Menurut Muhammad Quraish Shihab:”Ada perbedaan tertentu antara
lelaki dan perempuan baik fisik maupun psikis. Mempersamakannya dalam
segala hal berarti melahirkan jenis ketiga, bukan jenis laki-laki dan bukan juga
perempuan.”21
Muhammad Quraish Shihab selanjutnya menjelaskan:
Kita perlu menggarisbawahi bahwa laki-laki dan perempuan
keduanya adalah manusia yang sama, karena keduanya bersumber dari
ayah dan ibu yang sama. Keduanya berhak memperoleh penghormatan
sebagai manusia. Tetapi akibat adanya perbedaan, maka persamaan
dalam bidang tertentu tidak menjadikan keduanya sepenuhnya sama.
19
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 406
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 407
21
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 407
20
90
Namun ketidaksamaan ini tidak mengurangi kedudukan satu pihak dan
melebihkan yang lain. Maka persamaan di sini harus diartikan
kesetaraan, dan bila kesetaraan dalam hal tersebut telah terpenuhi, maka
keadilan pun telah tegak, karena keadilan tidak selalu berarti persamaan.
Anda telah berlaku adil terhadap dua anak yang berbeda umur, jika anda
memberikan keduanya bahan baju yang sama dalam kualitasnya, walau
ukurannya berbeda akibat perbedaan badan mereka.22
Di sisi lain, tidaklah adil bila anda menugaskan seorang anak yang
masih kecil untuk menyelesaikan pekerjaan yang hanya dapat
diselesaikan oleh orang dewasa. Tidak juga adil bila anda menuntut dari
seorang dokter untuk membangun jembatan, dan dari seorang petani
untuk membelah pasien. Yang adil adalah menugaskan masing-masing
sesuai kemam-puannya.23
Perbedaan-perbedaan yang ada itu dirancang Allah swt. agar tercipta
kesempurnaan kedua belah pihak, karena masing-masing tidak dapat berdiri
sendiri dalam mencapai kesempurnaannya tanpa keterlibatan yang lain.24
Muhammad Quraish Shihab lebih lanjut mengutip pernyataan Anis
Manshur yang mengatakan:”Bahwa apakah perbedaan-perbedaan itu adalah
dampak perlakuan masyarakat atau memang lahir dari tabiat masing-masing
jenis kelamin laki-laki dan perempuan? Ada pendapat, di Taman KanakKanak, anak laki-laki dan perempuan umumnya dididik oleh perempuan,
karena hampir semua guru TK adalah perempuan.”25 Ini merupakan indikator,
bahwa perbedaan-perbedaan tersebut lahir dari tabiat masing-masing.
Nasaruddin Umar menyatakan:”Bahwa kalangan feminis dan ilmuan
Marxis menolak anggapan di atas dan menyebutnya hanya sebagai bentuk
stereotip jender. Mereka membantah adanya skematisasi perilaku manusia
berdasarkan perbedaan jenis kelamin.”26
22
23
24
25
26
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 5
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 6
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 7
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 18
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 44
91
Kalangan feminis dan Marxis berkeyakinan bahwa perbedaan jender
tersebut bukan karena kodrat atau faktor biologis (divine creation), tetapi
karena faktor budaya (cultural contruction).27
Faisar Ananda Arfa mengatakan:”Bila kita membuka teks book
sosiologi apa saja pada saat sekarang ini, maka akan ditemukan bagaimana
lapangan sosiologi terbagi kepada dua kubu yang berbeda yakni teori
fungsionalis dan teori konflik. Kedua teori tersebut—teori struktural fungsional
dan teori sosial konflik—kelihatannya juga diterapkan dalam kajian
perempuan.”28
1. Teori Struktural Fungsional
Faisar Ananda Arfa mengutip pendapat Soerjono Soekanto yang
mengatakan:
Pendekatan struktural fungsional ini mengakui adanya keragaman di
dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber utama dari adanya
struktur masyarakat dan keragaman pada fungsi sesuai dengan posisi
seseorang pada struktur sebuah sistem. Metode fungsionalisme
bertujuan untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan
dan struktur sosial di masyarkat. Metode ini berprinsip bahwa unsurunsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbal balik
yang saling mempengaruhi; masing-masing mempunyai fungsi
tersendiri terhadap masyarakat. 29
Selanjutnya Faisar Ananda Arfa mengutip pendapat August Comte yang
menyatakan:”Bahwa perempuan secara
konstitusional bersifat inferior
terhadap laki-laki, sebab kedewasaan mereka berakhir pada masa kanak-kanak.
Oleh sebab itu August Comte percaya bahwa perempuan menjadi subordinat
27
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 44
Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, (selanjutnya tertulis Wanita
Islam Modernis) (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) , h. 42
29
Faisar Ananda Arfa, WanitaIslam Modernis…, h. 43
28
92
laki-laki begitu mereka menikah. Perempuan tidak punya hak untuk bercerai,
sebab mereka adalah semata mata budak laki-laki manja.”30
Berkaitan dengan hal ini, Nasaruddin Umar berpendapat:”Bahwa,teori
ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian
yang saling mempengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang
berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur,
dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut di dalam
masyarkat."31
Walaupun penulis kurang sependapat dengan teori ini untuk dijadikan
sebagai tolok ukur perbedaan dan persamaan laki-laki dan perempuan, namun
penulis setuju dari segi bahwa fungsi yang berbeda, tentu tugasnyapun
berbeda.
Hal ini sejalan dengan Muhammad Quraish Shihab yang mengatakan,
Sangat sulit untuk menyatakan bahwa perempuan sama dengan lakilaki, baik atas nama ilmu pengetahuan maupun agama. Adanya
perbedaan antara kedua jenis manusia itu harus diakui, suka atau tidak.
Mempersamakan hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan
laki-laki dan bukan perempuan. Kaidah yang menyatakan
fungsi/peranan utama yang diharapkan menciptakan alat' masih tetap
relevan untuk dipertahankan. Tajamnya pisau dan halusnya bibir gelas,
karena fungsi dan peranan yang diharapkan darinya berbeda. Kalau
merujuk kepada teks keagamaan baik al-Qur'an maupun Sunnah
ditemukan tuntunan dan ketentuan hukum yang disesuaikan dengan
kodrat, fungsi dan tugas yang dibebankan kepada mereka.32
Pernyataan di atas sejalan dengan Q.S.Ali Imrân/3:36 :
‫ﺜﹶﻰ‬‫ ﻛﹶﺎﻟﹾـﺄﹸﻧ‬‫ ﺍﻟﺬﱠﻛﹶﺮ‬‫ﺲ‬‫ﻟﹶﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﺿ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ ﺑِﻤ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺜﹶﻰ ﻭ‬‫ﺎ ﺃﹸﻧ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ﺿ‬‫ﻲ ﻭ‬‫ ﺇِﻧ‬‫ﺏ‬‫ ﺭ‬‫ﺎ ﻗﹶﺎﻟﹶﺖ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ﺿ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻓﹶﻠﹶﻤ‬
( ٣٦ : ٣/‫ﺟِﻴﻢِ )ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬‫ﻄﹶﺎﻥِ ﺍﻟﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﺎ ﻣِﻦ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻳ‬‫ﺫﹸﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺎ ﺑِﻚ‬‫ﻲ ﺃﹸﻋِﻴﺬﹸﻫ‬‫ﺇِﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻲ ﺳ‬‫ﺇِﻧ‬‫ﻭ‬
30
Faisar Ananda Arfa, WanitaIslam Modernis…, h. 43
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 51
32
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah Vol. 2…, h. 351
31
93
Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan;
dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak lakilaki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai
dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak
keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang
terkutuk."
Begitu juga mencari akhirat banyak jalan yang harus ditempuh sesuai
dengan apa yang Allah berikan padanya. Orang kaya dengan kekayaannya,
orang berilmu dengan ilmunya, pejabat dengan jabatannya, kaum buruh
dengan tenaganya, dan lain lain. Hal ini sesuai dengan Firman Allah
( ٧٧ : ٢٨/‫ﺓﹶ )ﺍﻟﻘﺼﺺ‬‫ ﺍﻟﹾﺂﺧِﺮ‬‫ﺍﺭ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎﻙ‬‫ﺎ ﺀَﺍﺗ‬‫ﻎِ ﻓِﻴﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺑ‬‫ﻭ‬
Artinya: "Carilah akhirat dengan apa yang Allah berikan pada
kamu…" (Q.S. al-Qashash/28 : 77).
Jadi perbedaan peran diantara manusia tidak mengurangi kesempatan
untuk memperoleh pahala di akhirat. Untuk itu kaum perempuan tidak perlu
iri hati terhadap kaum laki-laki apabila perannya berbeda dengannya.
2. Teori Konflik
Nasaruddin Umar menegaskan bahwa,
Dalam soal jender, teori konflik terkadang diidentikkan dengan
teori Marx karena begitu kuatnya pengaruh Karl Marx di dalamnya.
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa dalam susunan di dalam suatu
masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan
pengaruh dan kekuasaan. Siapa yang memiliki dan menguasai sumbersumber produksi dan distribusi merekalah yang memiliki peluang
untuk memainkan peran utama di dalamnya. 33
Lebih lanjut dijelaskan bahwa teori konflik ini menjadi anutan dari
feminisme radikal yang melihat tidak ada perbedaan antara tujuan personal dan
politik, unsur-unsur seksual atau biologis, sehingga dalam melaksanakan
33
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 61
94
analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki,
mereka beranggapan berasal dari idiologi partriarki jenis kelamin. Karena itu
secara biologis dan politis laki-laki merupakan bagian dari permasalahan. 34
Dalam penjelasan berikutnya Nasarudin Umar menjelaskan:”Bahwa
aliran ini juga beranggapan penguasaan laki-laki terhadap fisik perempuan
dalam bentuk hubungan seksual, misalnya merupakan bentuk dasar dari
penindasan terhadap perempuan, sehingga partriarki merupakan dasar idiologi
dari penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual ketika laki-laki
memiliki kekuasaan superior dan keistimewaan ekonomi.”35
Faisar Ananda Arfa mengatakan:”Bahwa Feminisme Marxis juga
menganut teori konflik, namun mereka menolak biologi adalah dasar
pembedaan jender. Menurut mereka, penindasan perempuan adalah bagian
penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan kerap
diletakkan pada kerangka kritik atas kapitalisme.”36
Letak perbedaan kedua teori tersebut yaitu bahwa teori struktural
fungsional melihat bahwa setiap unsur harus berfungsi menurut fungsinya,
sehingga laki-laki dan perempuan masing masing harus menjalankan perannya
masing masing. Sedangkan teori konflik menekankan pada pembagian kelas
berdasarkan ekonomi bukan berdasarkan biologis.
Pada prinsipnya penulis kurang sependapat bahwa menafsirkan alQur'an sebagai kebenaran mutlak menggunakan kedua teori tersebut yang
sifatnya relatif. Bila penafsiran ayat tidak diketemukan dalam hadis Nabi, baru
boleh berijtihad yang instrumennya juga menggunakan ayat al-Qur'an dan
34
35
36
Faisar Ananda Arfa, WanitaIslam Modernis…, h. 54
Faisar Ananda Arfa, WanitaIslam Modernis…, h. 55
Faisar Ananda Arfa, WanitaIslam Modernis…, h. 55
95
hadis. Karena bila kebenaran mutlak mengikuti keinginan manusia, maka
langit dan bumi berikut isinya akan hancur. Sesuai firman Allah
‫ﻢ‬‫ ﻓﹶﻬ‬‫ ﺑِﺬِﻛﹾﺮِﻫِﻢ‬‫ﻢ‬‫ﺎﻫ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻞﹾ ﺃﹶﺗ‬‫ ﺑ‬‫ ﻓِﻴﻬِﻦ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﻭﺍﻻﺭﺽ ُ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ﺕِ ﺍﻟﺴ‬‫ﺪ‬‫ ﻟﹶﻔﹶﺴ‬‫ﻢ‬‫ﺍﺀَﻫ‬‫ﻮ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﻖ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻊ‬‫ﺒ‬‫ﻟﹶﻮِ ﺍﺗ‬‫ﻭ‬
( ٧١: ٢٣/‫ﻮﻥﹶ)ﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥ‬‫ﺮِﺿ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ ﺫِﻛﹾﺮِﻫِﻢ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah
langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya
Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi
mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.S. al-Mu’minûn/23: 71)
Sedangkan menafsirkan ayat dengan hadis karena hadis sebagai tibyân
(penjelasan) terhadap ayat-ayat al-Qur'an. Sesuai firman Allah
( ٤٤ : ١٦/‫ﻭﻥﹶ)ﺍﻟﻨﺤﻞ‬‫ﻔﹶﻜﱠﺮ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻠﱠﻬ‬‫ﻟﹶﻌ‬‫ ﻭ‬‫ﻬِﻢ‬‫ﻝﹶ ﺇِﻟﹶﻴ‬‫ﺰ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ﺎﺱِ ﻣ‬‫ ﻟِﻠﻨ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﻟِﺘ‬‫ ﺍﻟﺬﱢﻛﹾﺮ‬‫ﻚ‬‫ﺎ ﺇِﻟﹶﻴ‬‫ﻟﹾﻨ‬‫ﺰ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ﻭ‬
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan. (Q.S. al-Nahl/16: 44)
Selain merupakan penjelasan dari ayat-ayat al-Qur'an, hadis juga
memiliki posisi kedua setelah al-Qur'an. Sesuai dengan ayat al-Qur'an
ٍ‫ﺀ‬‫ـﻲ‬‫ ﻓِـﻲ ﺷ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻋ‬‫ﺎﺯ‬‫ﻨ‬‫ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺗ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺮِ ﻣِﻨ‬‫ﺃﹸﻭﻟِﻲ ﺍﻻﹶﻣ‬‫ﻮﻝﹶ ﻭ‬‫ﺳ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﺮ‬‫ﺃﹶﻃِﻴﻌ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﺍ ﺃﹶﻃِﻴﻌ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﻳﺎﻳﻬﺎﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬
‫ـﺄﻭِﻳﻼ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ـﺴ‬‫ﺃﹶﺣ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻡِ ﺍﻟﹾﺂﺧِﺮِ ﺫﹶﻟِﻚ‬‫ﻮ‬‫ﺍﻟﹾﻴ‬‫ﻮﻥﹶ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﻭ‬‫ﻣِﻨ‬‫ﺆ‬‫ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻮﻝِ ﺇِﻥﹾ ﻛﹸﻨ‬‫ﺳ‬‫ﺍﻟﺮ‬‫ ﺇِﻟﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭ‬‫ﻭﻩ‬‫ﺩ‬‫ﻓﹶﺮ‬
( ٥٩ : ٤/‫)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Q.S. al-Nisâ’/4: 59)
Kemudian ditegaskan pula pada ayat-ayat lain seperti surat al-Nisâ’/4
ayat 69-80 dan Ali Imrân/3 ayat 32-132, dan masih banyak ayat yang lain yang
menjelaskan tentang posisi hadis sebagai posisi kedua setelah al-Qur'an.
96
Selain kedua teori di atas, Nasaruddin Umar menyatakan bahwa dalam
studi jender dikenal beberapa teori yang cukup berpengaruh dalam
menjelaskan latar belakang perbedaan dan persamaan peran jender laki-laki
dan perempuan antara lain sebagai berikut :
1. Teori Psikoanalisa/Identifikasi
Menurut
Nasaruddin
Umar:”Bahwa
teori
ini
pertama
kali
diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini mengungkapkan
bahwa perilaku dan kepribadian laki laki dan perempuan sejak awal ditentukan
oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan bahwa kepribadian
seseorang tersusun di atas tiga struktur yaitu id, ego, dan super ego. Tingkah
laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu.”37
Pertama, id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis seseorang
sejak lahir, termasuk nafsu seksual dan insting yang cenderung selalu agresif.
Kedua ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan
keinginan agresif dari id. Ketiga super ego berfungsi sebagai aspek moral
dalam kepribadian, berupaya mewujudkan kesempurnaan hidup, lebih dari
sekedar mencari kesenangan dan kepuasan. Super ego juga selalu
mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id.38
Nasaruddin selanjutnya mengatakan:”Bahwa menurut Freud sejak
tahap phallic, yaitu anak usia antara 3-6 tahun, perkembangan kepribadian
anak laki- laki dan anak perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan
37
38
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 45
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 46
97
pembedaan formasi sosial berdasarkan identitas jender, yakni bersifat laki-laki
dan perempuan.”39
Tentu saja pendapat Freud tersebut menimbulkan protes keras dari
kalangan feminis, terutama karena tanpa rasa malu ia mengungkapkan
kekurangan alat kelamin perempuan.40
2. Teori-Teori Feminis
Nasaruddin Umar mengatakan bahwa:"Dalam dua dekade terakhir
kelompok feminis memunculkan beberapa teori yang secara khusus menyoroti
kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Kelompok feminis
berupaya menggugat kemapanan patriarki dan berbagai bentuk stereotip jender
lainnya yang berkembang luas di dalam masyarakat.”41
Adapun teori-teori yang lahir dari kelompok-kelompok feminis
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Feminisme Liberal
Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia, laki-laki dan
perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi
penindasan antara satu dengan lainnya.42
Meskipun dikatakan feminisme liberal, kelompok ini tetap menolak
persamaan secara menyeluruh laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal—
terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi—aliran ini masih tetap
memandang perlu adanya pembedaan (distinction) laki-laki dan perempuan.
39
40
41
42
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 47
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 50
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 64
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 64
98
Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa
konsekwensi logis di dalam kehidupan bermasyarakat.43
b. Feminisme Marxis Sosialis
Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan di Rusia dengan
menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa
Luxemburg (1871-1919). Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas
dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa
ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih
disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional
dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki karena
faktor biologis dan latar belakang sejarah.44
c. Feminisme Radikal
Menurut kelompok ini, perempuan tidak harus tergantung kepada lakilaki, bukan saja dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan tetapi juga
pemenuhan kebutuhan seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan,
kemesraan dan kepuasan seksual kepada sesama perempuan. Kepuasan seksual
dari laki-laki adalah masalah psikologis. Melalui berbagai latihan dan
pembiasaan kepuasan itu dapat terpenuhi dari sesama perempuan.45
Aliran ini mendapat tantangan luas, bukan saja dari kalangan sosiolog
tetapi juga di kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal yang banyak
berpikir realistis tidak setuju sepenuhnya dengan pendapat ini. Persamaan
secara total pada akhirnya akan merepotkan dan merugikan perempuan itu
43
44
45
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 64
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 65
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 67
99
sendiri. Laki-laki yang tanpa beban organ reproduksi secara umum akan sulit
diimbangi oleh perempuan.46
Mastuhu mengutip surat kabar Easter Mail yang terbit di Kopenhagen
Denmark, Mei 1975 yang memuat protes keras mahasiswi Universitas
Kopenhagen terhadap pernyataan pemerintah Denmark yang menghina dan
menjatuhkan derajat perempuan. Mereka (para mahasiswi) mengatakan, "Kami
tak mau dijadikan barang-barang. Kami ingin tetap berdiam di rumah.
Kembalikan sifat-sifat kewanitaan kami. Kami menolak hidup bebas tanpa
kendali."47
Mastuhu selanjutnya mengutip Abdurahman al-Baghdadi (1990)
menyatakan bahwa
Ana Rode seorang penulis perempuan Denmark berkomentar,
Masyarakat saat ini selalu menuntut mode dan hidup dengan mode
tersebut. Aku tak sudi menuntut mode, aku ingin menjadi perempuan,
bukan sebagai benda…. Sesungguhnya, aktivitas-aktivitas yang
menjengkelkanku saat ini adalah apa yang menamakan diri sebagai
gerakan kebebasan perempuan. Padahal gerakan-gerakan semacam itu
tak akan berhasil mengubah suatu kenyataan. Laki-laki selamanya
tetap laki-laki dan perempuan selamanya tetap perempuan.48
Sedangkan konsep Islam tentu sangat berbeda dengan konsep-konsep
yang lainnya karena Islam menempatkan posisi perempuan pada tempat yang
terhormat, seperti aurat perempuan berbeda dengan laki-laki, sehingga
pakaiannyapun tentu harus berbeda. Namun dari segi lain banyak
kesamaannya, seperti melaksanakan shalat, puasa, zakat, menuntut ilmu,
berdakwah, berdagang, menjadi pejabat pemerintahan seperti menjadi hakim,
dan lainnya.
46
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 67
Mastuhu, Peran Serta IIQ dalam Membentuk Ulama Wanita Menyongsong Abad XXI,
(selanjutnya tertulis Peran Serta IIQ Dalam Membentuk Wanita) Majalah al-Furqan, h. 6
48
Mastuhu, Peran Serta IIQ dalam Membentuk Wanita…, h. 7
47
100
3. Teori Sosio Biologis
Nasaruddin Umar menyatakan:
Teori ini dikembangkan oleh Pierre Van dan Berghe, Lionel Tiger,
dan Robin Fox. Teori ini intinya menyatakan bahwa semua pengaturan
peran jenis kelamin tercermin dari biogram dasar yang diwarisi manusia
modern dari nenek moyang primat dan hominid mereka. Intensitas
keunggulan laki-laki tidak saja ditentukan oleh faktor biologis tetapi
oleh elaborasi kebudayaan atas biogram manusia. Teori ini disebut bio
sosial karena melibatkan faktor biologis dan sosial dalam menjelaskan
relasi jender.49
Kemudian Nasaruddin Umar mengutip pendapat J.C. Friedrich yang
menggambarkan secara jelas pengaruh sindrom menjelang menstruasi (pre
menstruation syndrome), yaitu suatu masa menjelang menstruasi seorang
perempuan senantiasa mengalami depresi dan berbagai bentuk stres.50
Sedangkan kita semua sama-sama mengetahui bahwa semua perempuan
akan mengalami menstruasi, maka bila pendapat di atas itu benar, tentu lakilaki tidak bisa disamakan perannya dengan perempuan. Dan sekaligus
memperkuat anggapan bahwa faktor biologis dapat berpengaruh pada perilaku
manusia.
Pada prinsipnya Islam menyamakan antara laki-laki dan perempuan
dalam kemanusiaan, sesuai dengan al-Qur'an Surat al-Nisâ/4 ayat 1. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sejarah sejak Adam hingga sekarang
terdapat perbedaan-perbedaan diantara manusia seperti ada yang kaya dan ada
yang miskin, ada yang rajin dan ada yang malas, ada yang kuat dan ada yang
lemah, ada yang sehat dan ada yang sakit. Perbedaan semacam ini memiliki
pengaruh perbedaan, karena Allah yang menciptakan kesemuanya itu dan Dia
mengetahui karakter, watak, dan kemampuan makhluknya. Untuk itu Allah
49
50
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 68
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 69
101
membuat aturan sesuai dengan fitrah dan kemampuannya. Perbedaan diantara
manusia, dijadikan Allah agar saling mengenal dan saling ketergantungan
(Q.S. al-Hujurât/49: 13). Perbedaan ini seharusnya tidak menjadikan sebab
yang satu merasa lebih tinggi daripada yang lain, dan tidak menjadikan adanya
kelas-kelas atau tingkat-tingkat keistimewaan di masyarakat, karena
keistimewaan itu hanya terletak pada ketakwaan seseorang. (Q.S. alHujurât/49: 13). Keunggulan seseorang tidak terlepas dari perbedaan hak dan
kewajiban, bahkan keunggulan tersebut merupakan dasar tanggung jawab.
Perbedaan harta, menyebabkan perbedaan kemampuan, maka tidak mungkin
orang yang rajin disamakan dengan orang malas.51
Allah telah membedakan rizki seseorang satu dengan yang lainnya (Q.S.
al-Nahl/16: 71). Tetapi keunggulan ini yang menyebabkan perbedaan
kewajiban dan tanggung jawab antara yang kaya dengan yang miskin. Orang
kaya wajib zakat sedangkan yang miskin wajib menerima zakat.
Perbedaan laki-laki dan perempuan disebabkan oleh adanya perbedaan
fungsi, misalnya laki-laki berfungsi menjadi pemimpin dan memberi nafkah
dalam keluarga. Fungsi ini tidak lahir dari kesepakatan kedua belah pihak, tapi
sudah ditetapkan Allah (Q.S. al-Nisâ/4: 34). Untuk itu laki-laki dan perempuan
tidak boleh saling iri (Q.S. al-Nisâ/4: 32).
D. Jender menurut Muhammad Quraish Shihab
Kata jender menurut bahasa diambil dari bahasa Inggris yaitu gender
yang berarti jenis kelamin.52 Sedangkan bias artinya menyimpang tata nilai,
51
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Baina al-Islâm wa al-Qawânîn al-‘âlamiyah, (selanjutnya
tertulis al-Mar ’ah Baina al-Islâm) (Kuwait: Daar al-Wafa, 2001), h. 143
52
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, h. 265
102
ukuran dari yang sebenarnya.53 Jadi bias jender
menurut istilah adalah
penyimpangan hak disebabkan perbedaan jenis kelamin.
Sedangkan bias jender menurut istilah Muhammad Quraish Shihab
berarti penyimpangan terhadap kaum perempuan dan kaum laki-laki. Hal ini
sesuai dengan pernyataannya,
Tidak dapat disangkal juga adanya bias terhadap perempuan oleh
lelaki dan perempuan, Muslim atau non-Muslim, ulama, cendekiawan
maupun bukan, dari masa lalu hingga masa kini. Bias tersebut bukan
saja mengakibatkan peremehan terhadap perempuan, karena
mempersamakan mereka secara penuh dengan lelaki, menjadikan
mereka menyimpang dari kodratnya, dan ini adalah pelecehan.
Sebaliknya, tidak memberi hak-hak mereka sebagai manusia yang
memiliki kodrat dan kehormatan yang tidak kalah dengan apa yang
dianugerahkan Allah kepada lelaki, juga merupakan pelecehan.54
Yang tidak memberi perempuan hak-haknya sebagai mitra yang sejajar
dengan lelaki, dan meremehkannya- tidak jarang menggunakan dalih
keagamaan serta memberi interpretasi terhadap teks—interpretasi yang lahir
dari kesan atau pandangan lama ketika perempuan masih dilecehkan oleh
dunia masa lalu.55
Sebaliknya yang memberi hak-hak yang melebihi kodrat mereka,
tidak jarang juga mengalami bias ketika berhadapan dengan teks-teks
keagamaan dengan menggunakan logika baru yang keliru lagi tidak
sejalan dengan teks, atau jiwa dan tuntunan agama. Memang sementara
orang, bahkan ulama atau cendekiawan karena menggebu–gebunya
meluruskan kekeliruan, kesalah pahaman dan pengalaman umat tentang
ajaran agama – sementara mereka – sering kali melampaui batas,
sehingga lahir pandangan yang justru tidak sejalan dengan ajaran
agama. Mereka beralih dari satu kesalahan ke kesalahan yang lain, dan
berpindah dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain.56
53
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990) Cet. III, h. 113
54
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 31
55
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 32
56
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 32
103
Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ada dua
kelompok yang sangat rawan melakukan bias dan pelecehan terhadap
perempuan. Kelompok pertama dari yang telah ada sejak masa lalu. Ini tidak
terbatas dalam masyarakat Arab pada masa Jahiliyah saja, tetapi menyeluruh di
seluruh penjuru dunia di Timur dan Barat, dan bekas-bekasnya masih terasa
hingga kini. Sedang kelompok kedua adalah yang menggebu-gebu menampik
bias masa lalu itu, sehingga terjerumus pula dalam bias baru, yang belum
dikenal kecuali masa kini."57
Muhammad Quraish Shihab juga mengakui bahwa dalam literatur
agama ditemukan sekian banyak riwayat atau interpretasi dan pandangan yang
dinilai lahir dari sisa-sisa pandangan lama terhadap perempuan. Sekian banyak
riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. atau Sahabat-sahabat
beliau yang diterima sebagai kebenaran, padahal Nabi dan sahabatnya tidak
pernah bermaksud seperti apa yang mereka pahami. Boleh jadi riwayat dan
pandangan-pandangan sementara ulama itu diterima secara luas dan dianggap
benar, karena ia sejalan dengan apa yang terdapat di bawah sadar masyarakat
yang belum lagi terkikis habis.58
Muhammad Quraish Shihab menyatakan:
Memang apa yang dinisbatkan kepada Nabi dan sahabatnya terdapat
ratusan ribu riwayat yang nilainya beragam, ada yang sahih, hasan, dan
ada yang dhaif. Bermacam-macam pula motif para periwayatnya. Ada
yang baik, dan ada diantara mereka yang sengaja membuat-buat riwayat
mengatasnama kan Nabi saw. atau sahabat guna mendorong orang lain
melakukan kebaikan, atau mencegah terjerumus dalam kedurhakaan.
Ada juga yang motifnya buruk, yakni untuk kepentingan pribadi atau
kelompok, bahkan untuk menodai agama Islam.59
57
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 36
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 37
59
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 38
58
104
Di sisi lain kata Quraish:
Bahwa kualitas pengetahuan dan ingatan para perawipun
bertingkat-tingkat. Diperparah lagi dengan adanya sikap sementara
ulama yang merasa hanya bertugas menghimpun riwayat yang
didengar/dibacanya tanpa menyeleksinya, lalu menyerahkan kepada
pembaca atau pendengarnya untuk menyeleksi sendiri kebenarannya.
Imam al-Thabari (w. 923 H.) salah seorang ulama yang menempuh cara
ini dan mengakuinya ketika menulis Tarikhnya. Begitu juga Imam
Jalaluddin al-Suyuthi (1445 – 1505 M).60
Adapun sebagian contoh bias jender ulama dahulu yang disampaikan
Muhammad Quraish Shihab adalah :
‫ﺧﺎﻟﻔﻮﺍ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻓﺎﻥ ﰱ ﺧﻼﻓﻬﻦ ﺑﺮﻛﺔ‬
Berbeda pendapatlah dengan perempuan, karena dalam perbedaan
dengan mereka terdapat keberkahan. (HR.al-Askari melalui Umar ra.)
‫ﻃﺎﻋﺔ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻧﺪﺍﻣﺔ‬
Menaati saran perempuan berahir dengan penyesalan. (HR.al-Ajluni)
‫ﺿﻴﺎﻉ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﲔ ﻓﺨﺬﻯ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
Ilmu hilang di antara kedua paha perempuan. (HR. Al-Ajluni dan Ibnu
Thulun)
Muhammad Quraish Shihab menilai riwayat- riwayat di atas dan
semacamnya sangat lemah, baik dari segi sanad, lebih-lebih matan (kandungan
informasinya). Bukankah dalam al-Qur’an diuraikan bahwa putri Nabi Syu’aib
as. mengajukan saran kepada ayahnya yang Nabi itu, dan sarannya diterima,
bahkan diabadikan oleh al-Qur’an sebagai petunjuk dan pelajaran bagi ummat
manusia (Q.S.al-Qashash/28:26). Bukankah Nabi Muhammad saw. sendiri
sering kali berdiskusi dan menerima saran-saran dari istri-istri beliau.61
Sementara itu ada juga karena terdorong oleh semangat yang
menggebu-gebu telah melahirkan pemikiran-pemikiran baru, tetapi perlu untuk
didiskusikan, bahkan disempurnakan agar benar-benar sejalan dengan ajaran
60
61
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 38
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 46
105
Islam serta sesuai dengan kodrat perempuan. Mereka itu terkesan berupaya
untuk mempersamakan perempuan dengan laki-laki secara mutlak, padahal
upaya mempersamakan kedua jenis kelamin yang berbeda itu, tidak akan
melahirkan apa-apa kecuali jenis makhluk ketiga, yang bukan laki-laki dan
bukan juga perempuan.62
Mereka menemukan sekian banyak riwayat yang sebenarnya sahih,
tetapi karena kandungan teksnya mereka rasakan tidak adil, atau karena
penafsirannya yang populer selama ini tidak menggambarkan persamaan
mutlak tersebut, maka teks itu mereka abaikan. Bahkan mereka menilai Islam
telah melecehkan perempuan melalui teks-teks tersebut. Persoalan-persoalan
yang mereka ketengahkan antara lain adalah:
1. Bagian anak lelaki dalam warisan dua kali bagian anak perempuan
2. Kesaksian perempuan setengah dari kesaksian lelaki
3. Keharusan adanya wali bagi perempuan dalam pernikahan
4. Kewajiban iddah bagi perempuan
5. Izin memukul istri
6. Hak perceraian berada di tangan suami
7. Kewajiban nafkah hanya atas suami.63
Jadi, jender menurut Muhammad Quraish Shihab adalah seks (jenis
kelamin) yang berpijak dari sifat kelelakian dan keperempuanan. Lalu dari
perbedaan sifat tersebut menimbulkan perbedaan peran dan status laki-laki dan
perempuan yang pada ahirnya terjadi perbedaan hak dan kewajiban keduanya
sesuai dengan kodrat masing-masing. Oleh karena itu wajar jika laki-laki
karena tanggungjawabnya lebih besar mendapat fasilitas yang lebih daripada
perempuan. Seperti bagian waris laki-laki dua kali bagian perempuan dalam
beberapa kondisi.
62
63
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 257
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 258
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN AYAT-AYAT JENDER
DALAM TAFSIR AL-MISHBAH
A. Term-Term Jender dalam Al-Qu’an
Term menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya istilah.1 Jadi term
term jender dalam al-Qur'an artinya istilah-istilah yang berkaitan dengan jender
dalam al-Qur'an.
Istilah-istilah jender yang dimaksud dalam karya tulis ini, yaitu simbolsimbol kalimat dalam al-Qur'an yang dijadikan ukuran oleh para pakar jender.
Atau dengan kata lain membahas shigah mudzakar (kata untuk makna lakilaki) dan mu'annats (kata untuk makna perempuan) dalam al-Qur'an.
Adapun shigah-shigah mudzakar dan mu'annats yang biasa digunakan
oleh para pakar jender dalam al-Qur'an sangat banyak antara lain dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
1. Istilah-Istilah yang Menunjuk kepada Laki-Laki dan Perempuan
Beberapa istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Kata al-Rijâl dan al-Nisâ’
Kata al-rijâl merupakan bentuk jamak dari kata al-rajul yang diambil
dari akar kata
‫ ﺭ ﺝ ﻝ‬kemudian membentuk beberapa makna seperti ‫ﺭﺟﻠﻪ ﺭﺟـﻼ‬
artinya ‫ ﺍﺻﺎﺏ ﺭﺟﻠﻪ‬melukai kakinya. ‫ ﺭﺟﻞ ﺍﻟﺸﺎﺓ‬artinya ‫ ﻋﻘﻠﻬﺎ ﺑﺮﺟﻠﻴﻬﺎ‬mengikat kedua
kaki kambing. ‫ ﺭﺟﻠﺖ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﻭ ﻟﺪﻫﺎ‬artinya ‫ﻭﺿﻌﺘﻪ ﲝﻴﺚ ﺧﺮﺟـﺖ ﺭﺟـﻼﻩ ﻗﺒـﻞ ﺭﺃﺳـﻪ‬seorang
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (selanjutnya
tertulis Kamus Bahasa Indonesia) (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 938
108
perempuan melahirkan anaknya dimana kedua kakinya lebih dahulu daripada
‫ ﺭﺟﻞ‬artinya ‫ ﻣﺸﻲ ﻋﻠﻰ ﺭﺟﻠﻴـﻪ‬berjalan dengan kedua kakinya atau
diartikan , ‫ ﻗﻮﻱ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺸﻲ‬kuat berjalan, ‫ ﺷﻜﺎ ﺭﺟﻠﻪ‬mengeluh terhadap kakinya.
‫ﺭﺟﻞ ﺍﳊﻴﻮﺍﻥ‬artinya ‫ ﻛﺎﻥ ﰱ ﺍﺣﺪﻯ ﺭﺟﻠﻴﻪ ﺑﻴـﺎﺽ‬binatang itu salah satu dari kedua
kepalanya.
kakinya ada warna putih.
‫ ﺭﺟﻞ ﺍﻟﺸﻌﺮ‬artinya ‫ ﻛﺎﻥ ﺑﲔ ﺍﻟﺴﺒﻮﻃﺔ ﻭ ﺍﳉﻌﻮﺩﺓ‬rambutnya
antara lurus dan keriting.2
Abu Husen Ahmad bin Faris bin Zakaria dalam kamusnya
menyatakan:
‫ﺎ ﻻ ﺗﻨﺒﺖ ﺍﻻ ﰱ ﻣﺴﻴﻞ ﻣـﺎﺀ ﻭ ﻗـﺎﻝ‬‫ﺍﻟﺮﺟﻠﺔ ﻫﻰ ﺍﻟﱴ ﻳﻘﺎﻝ ﳍﺎ ﺍﻟﺒﻘﻠﺔ ﺍﳊﻤﻘﺎﺀ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻭﺍﳕﺎ ﲰﻴﺖ ﺍﳊﻤﻘﺎﺀ ﻻ‬
٣
. ‫ﺎ ﺭﺟﻠﺔ‬‫ﻗﻮﻡ ﺑﻞ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻣﺴﺎﻳﻞ ﺍﳌﺎﺀ ﻭﺍﺣﺪ‬
Kata al-rijlah disebut al-baqalah al-hamqâ ’, mereka mengatakan,
"Disebut al-hamqâ ’, karena sayuran itu hanya tumbuh pada aliran
air." Bahkan satu kaum mengatakan, "Kata al-rijalu yang artinya
sayuran yang ada pada aliran air mufradnya rijlah."
‫ ﺍﻟﺮﺟـﻞ‬dibaca fathah huruf ‫ ﺭ‬dan dibaca dhommah
huruf ‫ ﺝ‬artinya ‫ ﺍﻟـﺬﻛﺮ ﺍﻟﺒـﺎﻟﻎ ﻣـﻦ ﺑـﲎ ﺍﺩﻡ‬seorang laki laki yang baligh dari
keturunan Nabi Adam. Sedangkan kalimat ‫ ﺍﻟﺮﺍﺟﻞ ﺧﻼﻑ ﺍﻟﻔﺎﺭﺱ‬artinya pejalan
Sedangkan kata
kaki bukan penunggang kuda sebagaimana yang ditegaskan al-Qur'an.4
:٢ /‫)ﺍﻟﺒﻘـﺮﺓ‬
‫ـﻮﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ﻮﺍ ﺗ‬‫ﻜﹸﻮﻧ‬‫ ﺗ‬‫ﺎ ﻟﹶﻢ‬‫ ﻣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ ﻛﹶﻤ‬‫ﻭﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻓﹶﺎﺫﹾﻛﹸﺮ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﻓﹶﺈِﺫﹶﺍ ﺃﹶﻣِﻨ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻛﹾﺒ‬‫ ﺭ‬‫ﺎﻟﹰﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ ﻓﹶﺮِﺟ‬‫ﻢ‬‫ﻓﺎِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘ‬
(٢٣٩
Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah
(shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 239)
2
Ibrahim Anis at. al., al-Mu'jam al-Wasîth, (selanjutnya tertulis al-Wasîth) (Mesir: Majma
al-Lughah al-Arabiyah, 1980), Jilid I, h. 332
3
Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, Mu'jam al-Maqâyis fî Lughah, (selanjutnya
tertulis al- Maqâyis fî Lughah) (Bairut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 444
4
Ibrahim Anis at, .al, al-Wasith …, jilid I, h. 332
109
Kemudian kata
‫ـﺎﻝ‬
‫ ﺭﺟـ‬dan ‫ـﺔ‬
‫ ﺭﺟﻠـ‬sebagai kata jamak, kemudian
‫ ﲨﻊ ﺍﳉﻤـﻊ‬menjadi ‫ ﺭﺟـﺎﻻﺕ‬yang artinya
orang-orang terhormat. Ketika kalimat ‫ ﺍﻣـﺮﺃﺓ ﺭﺟﻠـﺔ‬maka artinya berubah
menjadi ‫ ﺗﺸﺒﻬﺖ ﺑﺎﻟﺮﺟﺎﻝ ﰱ ﺍﻟﺮﺃﻱ ﻭ ﺍﳌﻌﺮﻓـﺔ‬seorang perempuan yang menyerupai
dijamakkan lagi yang biasa disebut
laki laki dalam pikirannya dan pengetahuannya. Hal ini sesuai dengan hadis
‫ ﻛﺎﻧﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺭﺟﻠـﺔ ﺍﻟـﺮﺃﻱ‬Aisyah r.a. pikirannya menyerupai
laki-laki. Sedangkan kata ‫ ﺍﻟﺮﺟﻮﻟﺔ ﻭ ﺍﻟﺮﺟﻮ ﻟﻴـﺔ‬artinya sifat yang sempurna yang
Nabi
terdapat pada seorang laki-laki. 5 Jadi kata Rajul kesemuanya menunjukkan arti
kuat, perkasa dan memiliki ketangguhan.
Dari pengertian di atas, Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa, "Semua
orang yang masuk dalam kategori al-rajul termasuk juga kategori al-dzakar
tetapi tidak semua al-dzakar masuk dalam kategori al-rajul. Kategori al-rajul
menuntut sejumlah kriteria tertentu yang bukan hanya mengacu kepada jenis
kelamin, tetapi juga kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat-sifat kejantanan
(masculinity)."6
Akar kata
‫ ﺭ ﺝ ﻝ‬dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 73 kali
dalam al-Qur'an.7 Namun kata al-rajul jamaknya al-rijâl yang artinya kaum
laki-laki terdapat 55 kali disebut dalam al-Qur'an, yaitu 24 kali dalam bentuk
mufrad (makna tunggal), 5 kali dalam bentuk mutsanna (makna dua) dan 26
kali dalam bentuk jamak (banyak).
Dari 55 kata tersebut Nasaruddin Umar membagi ke dalam 5
kecenderungan pengertian dan maksud sebagai berikut:
5
Ibrahim Anis at al, al-Wasith…,Jilid I h. 332
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur'an, (selanjutnya tertulis
Kesetaraan Jender) (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet.II, h. 145
7
Ibrahim Madkur, Mu'jam alfâdh al-qur'an al-karîm, (selanjutnya tertulis Al-fâdh alQur ’an) (Cairo: Majma al-lughah al-arabiyah al-Idârah al-âmmah lil Mu'jamât wa Ihya al-Turâts,
1988), Jilid. I, h. 477-479
6
110
1) Al-Rajul dalam arti jender laki-laki seperti terdapat pada surat alBaqarah/2: 282, 228, surat al-Nisâ’/4: 34, 32.
2) Al-Rajul dalam arti orang, baik laki-laki maupun perempuan seperti
terdapat pada surat al-A'râf/7: 46, al-Ahzâb/33: 23.
3) Al-Rajul dalam arti nabi atau rasul seperti terdapat pada surat alAnbiyâ/21: 7, Saba/34: 7.
4) Al-Rajul dalam arti tokoh masyarakat antara lain terdapat pada surat
Yâsîn/36: 20, al-A'râf/7: 48, alQashash/28: 20, al-Mu'min/40: 28, AlA'râf/7: 48, 155, al-Kahfi/18: 32, 37, al-Qashash/28: 15, al-Jin/72: 6, dan
al-Ahzâb/33: 40, 23, al-Nahl/16: 76
5) Al-Rajul dalam arti budak seperti terdapat pada surat al-Zumar/39: 29, alNisâ’/4: 1, dan al-Naml/27: 55.8
Sedangkan kata al-nisâ ’ menurut etimologi diambil dari kata nasia
( ‫ )ﻥ ﺱ ﻱ‬yang artinya ada dua yaitu melupakan sesuatu dan meninggalkan
sesuatu.9 Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah :
( ٦٧ : ٩/‫ )ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ‬... ‫ﻧﺴﻮﺍ ﺍﷲ ﻓﻨﺴﻴﻬﻢ‬
Mereka melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka…(Q.S. atTaubah/9: 67)
Begitu juga terdapat dalam firman Allah
(١١٥ : ٢٠/‫ﺎ )ﻃﻪ‬‫ﻣ‬‫ﺰ‬‫ ﻋ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﺠِﺪ‬‫ ﻧ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ ﻭ‬‫ﺴِﻲ‬‫ﻞﹸ ﻓﹶﻨ‬‫ ﻗﹶﺒ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻡ‬‫ﺎ ﺇِﻟﹶﻰ ﺀَﺍﺩ‬‫ﻧ‬‫ﻬِﺪ‬‫ ﻋ‬‫ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ﻭ‬
Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka
ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan
yang kuat. (Q.S. Taha/20: 115)
١٠
8
. ‫ﺎ ﺣﺒﻠﻰ‬‫ ﺗﺎﺧﺮ ﺣﻴﻀﻬﺎ ﻋﻦ ﻭﻗﺘﻪ ﻓﺮﺟﻰ ﺍ‬: ‫ﻧﺴﺌﺖ ﺍﳌﺮﺍﺓ‬
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 147-158
Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah… h. 1024
10
Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah… h. 1025
9
111
Seorang perempuan tertunda haidnya pada waktunya, maka diharap
bahwa perempuan itu hamil.
Dan terdapat pula dalam ayat yang lain
‫ﺍﻃِﺌﹸـﻮﺍ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﻟِﻴ‬‫ﺎﻣ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ﻮﻧ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﻳ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺎﻣ‬‫ ﻋ‬‫ﻪ‬‫ﺤِﻠﱡﻮﻧ‬‫ﻭﺍ ﻳ‬‫ ﻛﹶﻔﹶﺮ‬‫ﻞﱡ ﺑِﻪِ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬‫ﻀ‬‫ﺓﹲ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻜﹸﻔﹾﺮِ ﻳ‬‫ﺎﺩ‬‫ﺴِﻲﺀُ ﺯِﻳ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻤ‬‫ﺇِﻧ‬
‫ﻡ‬‫ـﺪِﻱ ﺍﻟﹾﻘﹶـﻮ‬‫ﻬ‬‫ ﻟﹶـﺎ ﻳ‬‫ﺍﻟﻠﱠـﻪ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻟِﻬِﻢ‬‫ﻤ‬‫ﻮﺀُ ﺃﹶﻋ‬‫ ﺳ‬‫ﻢ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﻦ‬‫ﻳ‬‫ ﺯ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻡ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﺤِﻠﱡﻮﺍ ﻣ‬‫ ﻓﹶﻴ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻡ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﺓﹶ ﻣ‬‫ﻋِﺪ‬
(٣٧ : ٩/‫)ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ‬‫ﺍﻟﹾﻜﹶﺎﻓِﺮِﻳﻦ‬
Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah
menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan
mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun
dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat
menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka
mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (setan) menjadikan
mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S. alTaubah/9: 37)
Sedangkan Ibnu Mandur dalam kamus Lisân al-Arab menyatakan:
١١
. ‫ ﻧﺴﻮﺍ ﺍﷲ ﻓﺎﻧﺴﺎﻫﻢ ﺍﻧﻔﺴﻬﻢ‬: ‫ﺍﻟﺘﺮﻙ ﻟﻠﻌﻤﻞ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ‬: ‫ﺍﻟﻨﺴﻮﺓ‬
Kata niswah artinya meninggalkan untuk bekerja, sebagaimana yang
ditegaskan dalam firman Allah: "Mereka melupakan Allah, maka
Allah melupakan mereka terhadap diri mereka."
Jadi kata al-Nisâ ’ memiliki arti lemah, menunda, lupa, meninggalkan
dan mengulur-ulur waktu. Sedangkan menurut terminologi kata al-nisâ ’, alniswan, dan al-niswah merupakan kata jamak dari kata al-mar'ah (perempuan)
yang bukan dari lafadhnya seperti kata al-kaum merupakan jamak dari kata almar'u.12 Sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya
11
Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, (selanjutnya tertulis Lisân al-Arab) (Mesir: Daar al-Fikr,
t.t.) Jilid. VI, h. 4417
12
Al-Raghib al-Ashfihani, Mu'jam Mufradât al-Fâdh al-Qur'an, (selanjutnya tertulis
Mufradât al-fâdh al-Qur ’an) (Bairut: Daar al-Fikr, t.t.), h.513
112
ٍ‫ﺎﺀ‬‫ ﻧِـﺴ‬‫ﺎﺀٌ ﻣِﻦ‬‫ﻟﹶﺎ ﻧِﺴ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺍ ﻣِﻨ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻮﺍ ﺧ‬‫ﻜﹸﻮﻧ‬‫ﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺴ‬‫ﻡٍ ﻋ‬‫ ﻗﹶﻮ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ ﻗﹶﻮﻡ‬‫ﺮ‬‫ﺨ‬‫ﺴ‬‫ﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﻳ‬‫ﻳ‬
‫ﺪ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﻮﻕ‬‫ ﺍﻟﹾﻔﹸﺴ‬‫ﻢ‬‫ ﺍﻟِﺎﺳ‬‫ﻭﺍ ﺑِﺎﻟﹾﺄﹶﻟﹾﻘﹶﺎﺏِ ِﺑﺌﹾﺲ‬‫ﺰ‬‫ﺎﺑ‬‫ﻨ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﻭﺍ ﺃﹶﻧ‬‫ﻠﹾﻤِﺰ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻬ‬‫ﺍ ﻣِﻨ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻜﹸﻦ‬‫ﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺴ‬‫ﻋ‬
(١١: ٣٣/‫ﻮﻥﹶ)ﺍﳊﺠﺮﺍﺕ‬‫ ﺍﻟﻈﱠﺎﻟِﻤ‬‫ﻢ‬‫ ﻫ‬‫ ﻓﹶﺄﹸﻭﻟﹶﺌِﻚ‬‫ﺐ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ ﻟﹶﻢ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﺎﻥِ ﻭ‬‫ﺍﻟﹾﺈِﳝ‬
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih
baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula kaum
perempuan (mengolok-olok) kaum perempuan lain (karena) boleh jadi
kaum perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan
(yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman
dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim. (Q.S. al-Hujurat/33: ayat 11).
Kata al-nisâ ’ menurut Nasaruddin Umar berarti jender perempuan,
sepadan dengan kata al-rijâl yang berarti jender laki-laki.13 Kata al-nisâ ’
dalam berbagai bentuknya terdapat dalam 55 ayat dan terulang sebanyak 59
kali dalam al-Qur'an. Dari 59 kata al-nisâ ’ menurut
Nasaruddin Umar
memiliki kecenderungan pengertian dan maksud sebagai berikut:
1) Al-nisâ ’ dalam arti jender perempuan terdapat dalam al-Qur'an
‫ﺎ ﻗﹶﻞﱠ‬‫ﻮﻥﹶ ﻣِﻤ‬‫ﺑ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹶﻗﹾﺮ‬‫ﺍﻥِ ﻭ‬‫ﺍﻟِﺪ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ ﻣِﻤ‬‫ﺼِﻴﺐ‬‫ﺎﺀِ ﻧ‬‫ﺴ‬‫ﻟِﻠﻨ‬‫ﻮﻥﹶ ﻭ‬‫ﺑ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹶﻗﹾﺮ‬‫ﺍﻥِ ﻭ‬‫ﺍﻟِﺪ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ ﻣِﻤ‬‫ﺼِﻴﺐ‬‫ﺎﻝِ ﻧ‬‫ﺟ‬‫ﻟِﻠﺮ‬
(٧ : ٤/‫ﺎ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻭﺿ‬‫ﻔﹾﺮ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺼِﻴﺒ‬‫ ﻧ‬‫ ﻛﹶﺜﹸﺮ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﻪ‬‫ﻣِﻨ‬
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan. (Q.S. al-Nisâ’/4: 7)
Begitu juga terdapat dalam ayat yang lain
13
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 159
113
ِ‫ﺎﺀ‬‫ﺴ‬‫ﻟِﻠﻨ‬‫ﻮﺍ ﻭ‬‫ﺒ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺍﻛﹾﺘ‬‫ ﻣِﻤ‬‫ﺼِﻴﺐ‬‫ﺎﻝِ ﻧ‬‫ﺟ‬‫ﺾٍ ﻟِﻠﺮ‬‫ﻌ‬‫ﻠﹶﻰ ﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻀ‬‫ﻌ‬‫ ﺑِﻪِ ﺑ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﻓﹶﻀ‬‫ﺍ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﻨ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻭ‬
: ٤/‫ﺎ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻠِﻴﻤ‬‫ﺀٍ ﻋ‬‫ﺷﻲ‬
 ‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺑِﻜﹸﻞﱢ‬‫ﻠِﻪِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻓﹶﻀ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺄﹶﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﺒ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺍﻛﹾﺘ‬‫ ﻣِﻤ‬‫ﺼِﻴﺐ‬‫ﻧ‬
(٣٢
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang
laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para
perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Nisâ’/4: 32)
Kata al-nisâ ’ menurut Nasaruddin Umar menunjukkan jender
perempuan. Porsi pembagian hak dalam ayat ini tidak semata-mata
ditentukan oleh realitas biologis sebagai perempuan atau laki-laki,
melainkan berkaitan erat dengan realitas jender yang ditentukan oleh
faktor budaya yang bersangkutan. Ada atau tidaknya warisan ditentukan
oleh keberadaan seseorang. Begitu seseorang lahir dari pasangan muslim
yang sah, apapun jenis kelaminnya, dengan sendirinya langsung menjadi
ahli waris. Sementara itu besar kecilnya porsi pembagian peran ditentukan
oleh faktor eksternal, atau menurut istilah ayat ini ditentukan oleh usaha
yang bersangkutan.14
2) Al-nisâ ’ dalam arti istri-istri, seperti terdapat dalam al-Qur'an
‫ﻥﹶ‬‫ـﺮ‬‫ﻄﹾﻬ‬‫ﻰ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ﻮﻫ‬‫ﺑ‬‫ﻘﹾﺮ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﺤِﻴﺾ ﻭ‬‫ﺎﺀَ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺴ‬‫ﺰِﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﻨ‬‫ﺘ‬‫ ﺃﹶﺫﹰﻯ ﻓﹶﺎﻋ‬‫ﻮ‬‫ﺤِﻴﺾِ ﻗﹸﻞﹾ ﻫ‬‫ﻦِ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬‫ﺴ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬
: ٢/‫ )ﺍﻟﺒﻘـﺮﺓ‬‫ﺮِﻳﻦ‬‫ﻄﹶﻬ‬‫ﺘ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬
‫ﺤِﺐ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺑِﲔ‬‫ﻮ‬‫ ﺍﻟﺘ‬‫ﺤِﺐ‬‫ ﻳ‬‫ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﺚﹸ ﺃﹶﻣ‬‫ﻴ‬‫ ﺣ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻦ‬‫ﻮﻫ‬‫ﻥﹶ ﻓﹶﺄﹾﺗ‬‫ﺮ‬‫ﻄﹶﻬ‬‫ﻓﹶﺈِﺫﹶﺍ ﺗ‬
(٢٢٢
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, "Haid itu adalah
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan
di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesung-guhnya Allah menyukai
14
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 161
114
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(Q.S. al-Baqarah/2: 222)
Dalam ayat yang lain juga disebutkan
‫ﻠﹶﺎﻗﹸﻮﻩ‬‫ ﻣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻮﺍ ﺃﹶﻧ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﺍﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻔﹸﺴِﻜﹸﻢ‬‫ﻮﺍ ﻟِﺄﹶﻧ‬‫ﻣ‬‫ﻗﹶﺪ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻰ ِﺷﺌﹾﺘ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﺛﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻮﺍ ﺣ‬‫ ﻓﹶﺄﹾﺗ‬‫ﺙﹲ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ ﺣ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺎﺅ‬‫ﻧِﺴ‬
(٢٢٣ : ٢/‫)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﻣِﻨِﲔ‬‫ﺆ‬‫ﺮِ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺸ‬‫ﺑ‬‫ﻭ‬
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
(Q.S. al-Baqarah/2: 223 )
Kata al-nisâ ’ dalam kedua contoh di atas diartikan dengan istri-istri,
sebagaimana halnya kata al-mar'ah sebagai bentuk mufrad dari kata alnisâ ’, hampir seluruhnya berarti istri. Misalnya imra'ah Lûth (Q.S. alTahrîm/66:10) imra'ah Fir'aun (Q.S. al-Tahrîm/66: 11) dan imra'ah Nûh
(Q.S. al-Tahrîm/66: 10). Kata al-nisâ ’ yang berarti istri-istri ditemukan
pada sejumlah ayat. (Q.S. al-Baqarah/2: 187, 223, 226, 231, dan 236;
Q.S. al-Nisâ’/4: 15; dan 23, Q.S. al-Ahzâb/33:30, 32, dan 52; Q.S. Ali
Imrân/3: 61; Q.S. al-Thalaq/65: 4; Q.S. al-Mujâdilah/58: 2 dan 3).15
b. Al-Dzakar dan al-Untsa
Menurut kamus al-Maqâyis fî al-Lugah, bahwa kata dzakar berasal
dari akar kata
lupa seperti
‫ ﺫ ﻙ ﺭ‬yang secara harfiyah/etimologi artinya ingat lawan dari
‫ ﺫﻛﺮﺕ ﺍﻟﺸﺊ‬artinya (aku telah mengingat sesuatu).16
Sedangkan menurut kamus al-Wasîth, bahwa kata ‫ ﺫﻛﺮ‬mashdarnya
‫ﺫﻛﺮﺍ‬
‫ ﻭ ﺗﺬﻛﺎﺭﺍ‬, ‫ ﺫﻛﺮﻯ‬, ‫ ﺫﻛﺮﺍ‬, artinya ‫( ﺣﻔﻈﻪ‬menghafalnya/ menjaganya). Dapat juga
diartikan meminang seperti dalam hadis Ali yang berbunyi
15
16
‫ﺍﻥ ﻋﻠﻴﺎ ﻳﺬﻛﺮ ﻓﺎﻃﻤﺔ‬
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h.163
Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah…, h. 388
115
(Bahwa Ali melamar Fatimah). Juga bisa diartikan memuji seperti
‫ﺫﻛﺮ ﺍﷲ ﺍﻱ ﺍﺛﲎ‬
‫ ﻋﻠﻴﻪ‬juga bisa diartikan mensyukuri seperi kalimat ‫ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻨﻌﻤﺔ‬artinya seseorang
telah mensyukuri nikmat. Bisa juga diartikan menyerupai seperti ‫ﺫﻛﺮﺕ ﻓﻼﻧﺔ ﺍﻱ‬
‫ ﺗﺸﺒﻬﺖ ﰱ ﴰﺎﺋﻠﻬﺎ ﺑﺎﻟﺮﺟﻞ‬artinya Fulanah menyerupai laki-laki dalam
perangainya."17
Sedangkan menurut terminologi kata al-dzakar artinya lawan dari kata
al-untsâ (perempuan) yang dikaitkan dengan kelamin.18 Sebagaimana
ditegaskan dalam al-Qur'an
‫ﻧﺜﹶﻰ‬‫ ﻛﹶﺎﻟﹾﺄﹸ‬‫ ﺍﻟﺬﱠﻛﹶﺮ‬‫ﺲ‬‫ﻟﹶﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﺿ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ ﺑِﻤ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ ﺃﹶﻋ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻧﺜﹶﻰ ﻭ‬‫ﺎ ﺃﹸ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ﺿ‬‫ﻲ ﻭ‬‫ ﺇِﻧ‬‫ﺏ‬‫ ﺭ‬‫ﺎ ﻗﹶﺎﻟﹶﺖ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ﺿ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻓﹶﻠﹶﻤ‬
(٣٦ : ٣/‫ﺟِﻴﻢِ)ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬‫ﻄﹶﺎﻥِ ﺍﻟﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﺎ ﻣِﻦ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻳ‬‫ﺫﹸﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺎ ﺑِﻚ‬‫ﻲ ﺃﹸﻋِﻴﺬﹸﻫ‬‫ﺇِﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ﻲ ﺳ‬‫ﺇِﻧ‬‫ﻭ‬
Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, diapun berkata, "Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan,
dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak lakilaki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah
menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta
anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan
yang terkutuk." (Q.S. Ali Imran/3: 36)
Adapun kata al-untsâ diambil dari akar kata
‫ ﺍﻧﺚ‬yang berarti lembut,
lunak dan halus. Sedangkan kata al-untsâ (perempuan) adalah lawan dari kata
al-dzakar (laki-laki) dari segala jenis (binatang, tumbuh-tumbuhan dan
manusia). Sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Manzhur dalam kamus Lisân alArab :
. ‫ ﺍﻻﻧﺜﻰ ﺧﻼﻑ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﺊ ﻭ ﺍﳉﻤﻊ ﺍﻧﺎﺙ ﻭ ﺍﻧﺚ ﲨﻊ ﺍﻧﺎﺙ ﻛﺤﻤﺎﺭ ﻭ ﲪﺮ‬: ‫ﺍﻧﺚ‬
١٩
.‫ﲰﻴﺖ ﺍﳌﺮﺍﺓ ﺍﻧﺜﻰ ﻟﻠﻴﻨﻬﺎ‬
Kata al-untsâ (perempuan) diambil dari kata anatsa yang artinya
lawan dari laki-laki dari segala jenis (binatang, tumbuh tumbuhan dan
17
18
19
Ibrahim Anis at. al., al-Wasîth…, h. 313
Ibrahim Anis at. al., al-Wasîth…, h. 213
Ibnu Manzhur, Lisan al –Arab…, Jilid I, h. 145
116
manusia) dan jama dari kata al-untsâ adalah inâts. Dan unuts jamak
dari kata inâts seperti kata humur jamanya himâr, kata al-mar'ah
disebut untsâ karena lembut dan halusnya.
Sedangkan al-Raghib al-Ashfihani dalam kamusnya menyatakan
٢٠
. ‫ ﺍﻻﻧﺜﻰ ﺧﻼﻑ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭﻳﻘﺎﻻﻥ ﰱ ﺍﻻﺻﻞ ﺍﻋﺘﺒﺎﺭﺍ ﺑﺎﻟﻔﺮﺟﲔ‬: ‫ﺍﻧﺚ‬
Kata al-untsâ (perempuan) diambil dari kata unuts yang artinya lawan
dari laki-laki dan keduanya (kata al-dzakar dan al-untsâ) pada
mulanya digunakan untuk makna dua jenis kelamin.
Hal ini sesuai dengan firman Allah:
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻈﹾﻠﹶﻤ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﺔﹶ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻠﹸﻮﻥﹶ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺧ‬‫ﺪ‬‫ ﻳ‬‫ ﻓﹶﺄﹸﻭﻟﹶﺌِﻚ‬‫ﻣِﻦ‬‫ﺆ‬‫ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬‫ﻧﺜﹶﻰ ﻭ‬‫ ﺃﹸ‬‫ ﺫﹶﻛﹶﺮٍ ﺃﹶﻭ‬‫ﺎﺕِ ﻣِﻦ‬‫ﺎﻟِﺤ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻞﹾ ﻣِﻦ‬‫ﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
(١٢٤ : ٤/‫ﺍ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻘِﲑ‬‫ﻧ‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu
masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.
(Q.S. al-Nisâ’/4: 124)
Kemudian dalam kamus Al-Maurid disebutkan:
٢١
. ‫ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭ ﺍﻻﻧﺜﻰ ﻣﻦ ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ ﺍﻭ ﺍﳊﻴﻮﺍﻥ ﺍﻭ ﺍﻟﻨﺒﺎﺕ‬
Kata al-dzakar dan al-untsâ dipergunakan untuk jenis manusia,
binatang, dan tumbuh tumbuhan.
Sedangkan kata al-rajul, al-nisâ dan al-mar'ah dalam al-Qur'an hanya
dipergunakan untuk manusia. Kata al-untsâ dalam berbagai bentuknya dalam
al-Qur'an terulang sebanyak 30 kali kesemuanya diartikan jenis kelamin
perempuan.22
c. Al-Mar'u/al-Imru'u dan al-Mar'atu/al-Imra'atu
20
Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…, h.23
Munir al-Ba’labakka, al-Maurid, (Bairut: Dâr al-Ilmi Lilmalayin,1986), h. 553
22
Majma' al-Lughah al-Arabiyah al-Idârah al-âmmah li al-Mu'jamât wa Ihya al-Turâts,
Mu'jam alfâdh al-Qur'an al-Karîm, (selanjutnya tertulis alfâdh al-Qur ’an al-Karîm) (Cairo: Majma alLughah al-Arabiyah, 1988), h. 93
21
117
Kata al-Imru'u/al-Mar'u terulang dalam al-Qur'an sebanyak 11 kali
yang diartikan seorang laki-laki atau seseorang.23 Kata al-imru'u/al-mar'u
diambil dari kata
‫ ﻣﺮﺃ‬yang artinya baik, bermanfaat, dan lezat.24 Kemudian
dibentuk shîgah mubâlagah yang artinya sangat baik atau sangat lezat
sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an
٤/‫ﺮِﻳﺌﹰﺎ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻨِﻴﺌﹰﺎ ﻣ‬‫ﻫ‬
‫ﺎ ﻓﹶﻜﹸﻠﹸﻮﻩ‬‫ﻔﹾﺴ‬‫ ﻧ‬‫ﻪ‬‫ﺀٍ ﻣِﻨ‬‫ﻲ‬‫ ﺷ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻦ‬‫ﻠﹶﺔﹰ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻃِﺒ‬‫ ﻧِﺤ‬‫ﻗﹶﺎﺗِﻬِﻦ‬‫ﺪ‬‫ﺎﺀَ ﺻ‬‫ﺴ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﻨ‬‫ﺀَﺍﺗ‬‫ﻭ‬
(٤ :
Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya. (Q.S. al-Nisâ’/4: 4)
Sedangkan al-Ragib al-Ashfihani dalam kamusnya menegaskan
٢٥
. ‫ﻣﺮﺃ ﻳﻘﺎﻝ ﻣﺮﺀ ﻭ ﻣﺮﺃﺓ ﻭ ﺍﻣﺮﺅ ﻭﺍﻣﺮﺃﺓ‬
"Kata mar'un, mar'atun, imru'u, dan imra'atun diambil dari satu akar
kata yaitu ‫ ﻣﺮﺃ‬."
Kemudian kata al-mar'u dan imru'un berarti laki-laki atau seseorang
(laki-laki atau perempuan) sedangkan kata mar'ah dan imra'ah artinya
perempuan. Kata imra'ah dalam al-Qur'an terulang sebanyak 26 kali, 4 kali
diartikan seorang perempuan dan 22 kali diartikan istri.26
2. Gelar Status yang Berhubungan dengan Jenis Kelamin
23
Majma' al-Lughah al-Arabiyah al-Idârah al-âmmah li al-Mu'jamât wa Ihya al-Turâts,
alfâdh al-Qur'an al-Karîm…, h. 1038
24
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 1322
25
Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…, h. 485
26
Majma' al-Lughah al-Arabiyah al-Idârah al-âmmah li al-Mu'jamât wa Ihya al-Turâts,
alfâdh al-Qur'an al-Karîm…, h. 1039
118
Gelar status yang berhubungan dengan jenis kelamin dapat disebutkan
antara lain:
a. Suami (al-Zawj) dan istri (al-Zawjah)
Menurut Abu Husen Ahmad Ibnu Faris Ibnu Zakaria dalam kamusnya
menyatakan :
‫ ﺍﻟﺰﺍﺀ ﻭ ﺍﻟﻮﺍﻭ ﻭﺍﳉﻴﻢ ﺍﺻﻞ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺎﺭﻧﺔ ﺷﺊ ﻟﺸﺊ ﻣﻦ ﺫ ﻟﻚ )ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺯﻭﺝ ﺍﳌﺮﺃﺓ‬: ‫ﺯﻭﺝ‬
٢٧
. ‫ﻭ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺯﻭﺝ ﺑﻌﻠﻬﺎ‬
Kata za wj yang terdiri dari huruf za, wawu, dan jim asalnya
menunjukkan kepada pendamping sesuatu terhadap sesuatu seperti,
suami pendamping istri, dan istri pendamping keluarganya.
Sesuai dengan ayat al-Qur'an
‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ﺠ‬‫ﺬِﻩِ ﺍﻟﺸ‬‫ﺎ ﻫ‬‫ﺑ‬‫ﻘﹾﺮ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﺚﹸ ِﺷﺌﹾﺘ‬‫ﻴ‬‫ﺍ ﺣ‬‫ﻏﹶﺪ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻬ‬‫ﻛﹸﻠﹶﺎ ﻣِﻨ‬‫ﺔﹶ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﻚ‬‫ﺟ‬‫ﻭ‬‫ﺯ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻜﹸﻦ‬‫ ﺍﺳ‬‫ﻡ‬‫ﺎﺁﺩ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻗﹸﻠﹾﻨ‬‫ﻭ‬
(٣٥ :٢/‫)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ ﺍﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﲔ‬‫ﺎ ﻣِﻦ‬‫ﻜﹸﻮﻧ‬‫ﻓﹶﺘ‬
Dan Kami berfirman, "Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu
surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik
di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini,
yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zhalim. (Q.S. alBaqarah/2: 35)
Dan ayat yang lain
‫ﺎ‬‫ﻜﹸﻮﻧ‬‫ﺓﹶ ﻓﹶﺘ‬‫ﺮ‬‫ﺠ‬‫ﺬِﻩِ ﺍﻟﺸ‬‫ﺎ ﻫ‬‫ﺑ‬‫ﻘﹾﺮ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﺚﹸ ِﺷﺌﹾﺘ‬‫ﻴ‬‫ ﺣ‬‫ﺔﹶ ﻓﹶﻜﹸﻠﹶﺎ ﻣِﻦ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﻚ‬‫ﺟ‬‫ﻭ‬‫ﺯ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻜﹸﻦ‬‫ ﺍﺳ‬‫ﻡ‬‫ﺎ ﺁﺩ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬
(١٩ : ٧/‫)ﺍﻻﻋﺮﺍﻑ‬‫ ﺍﻟﻈﱠﺎﻟِﻤِﲔ‬‫ﻣِﻦ‬
(Dan Allah berfirman), "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan
istrimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana
saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon
ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zhâlim".
(Q.S.al-A'râf/7: 19)
Sedangkan al-Ragib al-Ashfihani dalam kamusnya menyatakan:
27
Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah…, h. 464
119
‫ﺯﻭﺝ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻜﻞ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﻳﻨﲔ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻛﺮ ﻭ ﺍﻻﻧﺜﻰ ﰱ ﺍﳊﻴﻮﺍﻧﺎﺕ ﺍﳌﺘﺰﻭﺟﺔ ﺯﻭﺝ ﻭﻟﻜﻞ‬
‫ﻗﺮﻳﻨﲔ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﰱ ﻏﲑﻫﺎ ﺯﻭﺝ ﻛﺎﳋﻒ ﻭ ﺍﻟﻨﻌﻞ ﻭﻟﻜﻞ ﻣﺎ ﻳﻘﺘﺮﻥ ﺑﺎﺧﺮ ﳑﺎﺛﻼ ﻟﻪ ﺍﻭ ﻣﻀﺎﺩ ﺯﻭﺝ‬
٢٨
.
Kata zawj ada yang mengatakan artinya setiap patner/ pasangan lakilaki dan perempuan dalam jenis binatang yang berkawin adalah zawj
dan setiap pasangan dalam binatang dan selainnya disebut juga zawj
seperti sepasang sepatu, sepasang sandal, dan setiap pasangan satu
dengan yang lain baik sejenis atau lawannya juga disebut zawj."
Seperti dalam al-Qur'an
(٣٩ : ٧٥/‫ﺜﹶﻰ)ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹸﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻦِ ﺍﻟﺬﱠﻛﹶﺮ‬‫ﻴ‬‫ﺟ‬‫ﻭ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﻪ‬‫ﻞﹶ ﻣِﻨ‬‫ﻌ‬‫ﻓﹶﺠ‬
Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki laki dan
perempuan. (Q.S. al-Qiyâmah/75: 39)
Sedangkan menurut Ibnu Manzhur dalam kamus Lisân al-Arab
dinyatakan
٢٩
. ‫( ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺧﻼﻑ ﺍﻟﻔﺮﺩ‬Kata zawj/pasangan beda dengan tunggal).
Kemudian dia menjelaskan, bahwa kata zawj bisa diartikan pasangan, baik dua
laki-laki, atau dua perempuan, kanan kiri, dua jenis yang berbeda seperti putih
hitam, manis masam, langit bumi, musim panas dan dingin, malam, dan
siang.30
Sedangkan kata zawjah dalam kamus Arab hanya digunakan untuk
makna perempuan, sebagaimana dinyatakan oleh Ibrahim Anis dalam kamus
al-Wasîth
٣١
. ‫ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺍﻟﺮﺟﻞ‬: ‫( ﺍﻟﺰﻭﺟﺔ‬zawjah adalah istri seorang laki-laki).
Konsep berpasang-pasangan dalam al-Qur'an menurut Nasaruddin
Umar adalah "lebih bersifat fungsional, holistik, sakral, dan didasari oleh
kasih sayang yang penuh rahmat (mawaddah wa rahmah)."32
28
29
30
31
32
Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…, h. 220
Ibnu Manzhur, Lisân al-Arab…, h. 1884
Ibnu Manzhur, Lisân al-Arab…, h. 1885
Ibrahim Anis at. al., al-Wasîth…, h. 406
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 179
120
b. Ayah (al-Ab) dan Ibu (al-Umm)
Kata ‫ ﺍﻻﺏ‬diambil dari kata ‫ ﺍﺑﻮ‬yang artinya pendidikan dan makanan.
‫ ﺍﺑﻮﺕ ﺍﻟﺸﺊ‬artinya saya telah memakan sesuatu. Kemudian kata
‫ ﺍﻻﺏ‬diartikan ayah dan jamaknya ‫ ﺍﺑﺎﺀ ﻭﺍﺑﻮﺓ‬.33
Seperti kalimat
Al-Ragib al-Ashfihani mendefinisikan kata ‫ ﺍﻻﺏ‬yaitu:
‫ﺍﻻﺏ = ﺍﻟﻮﺍﻟﺪ ﻭﻳﺴﻤﻰ ﻛﻞ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺳﺒﺒﺎ ﰱ ﺍﳚﺎﺩ ﺷﺊ ﺍﻭ ﺍﺻﻼﺣﻪ ﺍﻭ ﻇﻬﻮﺭﻩ ﺍﺑﺎ ﻭﻟﺬﺍﻟﻚ‬
٣٤
. ‫ﻳﺴﻤﻰ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻌﻢ ﺍﺑﺎ ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ‬
"Kata ‫ ﺍﻻﺏ‬diartikan ayah, dan semua orang yang menjadi sebab
terwujudnya sesuatu atau memperbaiki sesuatu, atau menampakkannya
disebut ayah. Untuk itu Nabi Muhammad saw. disebut ayah orangorang beriman."
Ada juga yang mengatakan:
‫ ﻭﲰﻰ ﻣﻌﻠﻢ‬...‫ﻭﻳﺴﻤﻰ ﺍﻟﻌﻢ ﻣﻊ ﺍﻻﺏ ﺍﺑﻮﻳﻦ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﻻﻡ ﻣﻊ ﺍﻻﺏ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﺍﳉﺪ ﻣﻊ ﺍﻻﺏ‬
٣٥
. ‫ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ ﺍﺑﺎﻩ‬
Paman dan ayah, Ibu dan ayah, kake dan ayah disebut ‫( ﺍﺑﻮﻳﻦ‬dua orang
tua)… dan pendidik manusia disebut juga ayah manusia.
Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah
(٢٢: ٤٣/‫ﻭﻥﹶ)ﺍﻟﺰﺧﺮﻑ‬‫ﺪ‬‫ﺘ‬‫ﻬ‬‫ﻣ‬
‫ﻠﹶﻰ ﺀَﺍﺛﹶﺎﺭِﻫِﻢ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺇِﻧ‬‫ﺔٍ ﻭ‬‫ﻠﹶﻰ ﺃﹸﻣ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺎﺀَﻧ‬‫ﺎ ﺀَﺍﺑ‬‫ﻧ‬‫ﺪ‬‫ﺟ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻞﹾ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺇِﻧ‬‫ﺑ‬
Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak
kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang
yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka." (Q.S. alZukhruf/43: 22)
Dalam kamus Lisân al-Arab disebutkan:
‫ﺍﻻﺏ ﺍﺻﻠﻪ ﺍﺑﻮ ﺑﺎﻟﺘﺤﺮﻳﻚ ﻻﻥ ﲨﻌﻪ ﺍﺑﺎﺀ ﻣﺜﻞ ﻗﻔﺎﺀ ﺍﻗﻔﺎﺀ ﻭﺭﺣﻰ ﺍﺭﺣﺎﺀ ﻓﺎﻟﺬﺍﻫﺐ ﻣﻨﻪ ﻭﺍﻭ‬
٣٦
33
34
35
.
‫ﻻﻧﻚ ﺗﻘﻮﻝ ﰱ ﺍﻟﺘﺜﻨﻴﺔ ﺍﺑﻮﺍﻥ‬
Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah…, h. 53
Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…, h. 3
Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…., h. 3
121
Kata ‫ ﺍﻻﺏ‬asalnya dari kata ‫ ﺍﺑﻮ‬dengan memfathahkan huruf ba karena
jamaknya ‫ ﺍﺑﺎﺀ‬seperti kata ‫ ﻭﺭﺣﻰ ﻭﺍﺭﺣﺎﺀ‬, ‫ ﻗﻔﺎ ﻭﺍﻗﻔﺎﺀ‬maka yang dibuang
adalah huruf wa wu karena ketika kamu membuat kata itu menjadi
mutsanna (makna dua) menjadi ‫ ﺍﺑﻮﺍﻥ‬.
Kata ‫ ﺍﻻﺏ‬dengan berbagai bentuknya dalam al-Qur'an menurut kamus
alfâzh Al-Qur'an Al-Karîm terulang 117 kali.37 Kata
‫ ﺍﻻﺏ‬mengandung
beberapa makna antara lain:
1)
Mengandung makna orang tua, kakek, atau paman terulang 64 kali yaitu
dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah/2: 133, 170, 170, 200; al-Nisâ’/4:11, 22;
al-Mâidah/5: 104, 104; al-An'âm/6: 87, 91, 148; al-A'râf/7: 28, 70, 71, 95,
173; al-Taubah/9: 23, 24, Yûnus/10: 78; Hûd/11: 62, 87, 109; Yûsuf/12:
38, 40; al-Ra'du/13: 23; Ibrahîm/14: 10; al-Nahl/16: 35; al-Kahfi/18: 5; alAnbiyâ’/21: 44, 53, 54; al-Mu'minûn/23: 24, 68, 83; al-Nûr/24: 31, 31, 61;
al-Furqân/25:18; al-Syu'arâ’/26: 26, 74, 76); al-Naml/27: 67, 68; alQashash/28: 36; Lukmân/31: 21; al-Ahzâb/33: 5, 5, 55; Saba/34: 43;
Yâsîn/36: 6; al-Shafât/37: 17, 69, 126; Gâfir/40: 8; al-Zukhruf/43: 22, 23,
24, 29; al-Dukhân/44: 8, 36; al-Jâsyiah/45: 25; al-Najm/53: 23; alWâqi'ah/56: 48; al-Mujâdalah/58: 22. 38
2) Diartikan ayah kandung terulang 27 kali yaitu dalam al-Qur'an Surat
Yûsuf/12: 4, 8, 9,11,16, 17,59, 61, 63, 65, 78, 80,80, 81, 81, 93, 97, 100;
Maryam/19: 42, 43, 44, 45; al-Syu'arâ/26: 86; al-Qashash/28: 25,26; alAhzâb/33: 40; al-Shafât/37: 102.39
3) Diartikan Adam dan Hawa pada al-Qur'an Surat al-A'râf/7: 27
36
Ibnu Manzhur, Lisân al-Arab…, h.15
Ibrahim Madkur, alfâdh al-qur'an…, h.4-7
38
Ibrahim Madkur, alfâdh al-qur'an …, h. 4-5
39
Ibrahim Madkur, alfâdh al-qur'an…, h. 5-7
37
122
4) Sebagai kunyah (panggilan) untuk Abdu al-Uzza paman Nabi yaitu Abu
Lahab yang tercantum dalam al-Qur'an Surat al-Lahab/111: 1
5) Diartikan kakek
terdapat pada al-Qur'an Surat al-An'âm/6: 74; al-
Taubah/9: 114; Yûsuf/12: 4, 8, 63; Maryam/19: 42; al-Anbiyâ’/2: 52; alHaj/22: 78; al-Syuarâ/26: 70; al-Shafât/37: 85; al-Zukhruf/43: 26, alMumtahinah/60: 4; Abasa/80: 35.
6) Bila dijadikan mutsannâ (makna dua) diartikan ayah dan ibu, terulang 11
kali yaitu pada al-Qur'an Surat al-Nisâ/4:11; Yûsuf/12: 6, 68, 94, 99, 100;
al-Kahfi/18: 80, 82; Maryam/19: 28; al-Qashash/28: 23).40
Dari klasifikasi makna di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
kata
‫ ﺍﻻﺏ‬yang berbentuk mufrad diartikan ayah kandung, sedangkan bila
berbentuk jamak diartikan orang tua, nenek moyang (kakek), atau paman.
Sedangkan bila bentuk mutsanna (makna dua) diartikan ayah dan ibu,
atau paman dan ayah atau ayah dan kakek. Kecuali dalam al-Qur'an Surat alA'râf/7 ayat 27 diartikan Adam dan Hawa, dan di dalam al-Qur'an Surat alLahab/111 ayat 1 diartikan kunyah (sebutan) untuk Abdu al-Uzza paman Nabi
dengan sebutan Abû Lahab.
Menurut Nasaruddin Umar, bahwa hampir semua kata
‫ ﺍﻻﺑﺎﺀ‬bentuk
jamak dari kata ‫ ﺍﻻﺏ‬menunjuk kepada pengertian nenek moyang atau leluhur.
Kata
‫ ﺍﻻﺏ‬dalam arti nenek moyang atau leluhur tidak mesti harus mengambil
jalur laki laki, tetapi juga pada jalur perempuan. Sehingga istilah nenek
‫ ﺍﻻﺑﺎﺀ‬lebih cenderung menekankan pada kualitas jender daripada
moyang
identitas jenis kelamin. Berbeda dengan kata
menekankan aspek jenis kelamin (sex).41
40
41
Ibrahim Madkur, alfâdh al-qur'an…, h. 6-7
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 181
‫( ﺍﻟﻮﺍﻟﺪ‬ayah) yang cenderung
123
Sedangkan kata
‫ﺍﻷﻡ‬
bisa juga digunakan dengan kata
‫ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﺓ‬
sebagaimana diungkapkan dalam al-Qur'an
‫ﻟﹸﻮﺩِ ﻟﹶﻪ‬‫ﻮ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻋ‬‫ﺔﹶ ﻭ‬‫ﺎﻋ‬‫ﺿ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﺘِﻢ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺍﺩ‬‫ ﺃﹶﺭ‬‫ﻦ‬‫ﻦِ ﻟِﻤ‬‫ﻦِ ﻛﹶﺎﻣِﻠﹶﻴ‬‫ﻟﹶﻴ‬‫ﻮ‬‫ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ﻫ‬‫ﻟﹶﺎﺩ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﻦ‬‫ﺿِﻌ‬‫ﺮ‬‫ ﻳ‬‫ﺍﺕ‬‫ﺍﻟِﺪ‬‫ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﻭ‬
‫ﻪ‬ ‫ ﻟﹶ‬‫ﻟﹸﻮﺩ‬‫ﻮ‬‫ﻟﹶﺎ ﻣ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻟﹶﺪِﻫ‬‫ﺓﹲ ﺑِﻮ‬‫ﺍﻟِﺪ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻀ‬‫ﺎ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻬ‬‫ﻌ‬‫ﺳ‬‫ ﺇِﻟﱠﺎ ﻭ‬‫ﻔﹾﺲ‬‫ ﻧ‬‫ﻜﹶﻠﱠﻒ‬‫ﻭﻑِ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ ﺑِﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻬ‬‫ﺗ‬‫ﻮ‬‫ﻛِﺴ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻗﹸﻬ‬‫ﺭِﺯ‬
‫ﺎ‬‫ﻬِﻤ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﺡ‬‫ﻨ‬‫ﺭٍ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺟ‬‫ﺎﻭ‬‫ﺸ‬‫ﺗ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺍﺽٍ ﻣِﻨ‬‫ﺮ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ﺎﻟﹰﺎ ﻋ‬‫ﺍ ﻓِﺼ‬‫ﺍﺩ‬‫ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺃﹶﺭ‬‫ﺍﺭِﺙِ ِﻣﺜﹾﻞﹸ ﺫﹶﻟِﻚ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﻋ‬‫ﻟﹶﺪِﻩِ ﻭ‬‫ﺑِﻮ‬
ِ‫ﻭﻑ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ ﺑِﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﺀَﺍﺗ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ ﺇِﺫﹶﺍ ﺳ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﺡ‬‫ﻨ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺟ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﻟﹶﺎﺩ‬‫ﻮﺍ ﺃﹶﻭ‬‫ﺿِﻌ‬‫ﺮ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺗ‬‫ﺩ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺃﹶﺭ‬‫ﻭ‬
(٢٣٣ : ٢/‫)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﺼِﲑ‬‫ﻠﹸﻮﻥﹶ ﺑ‬‫ﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ ﺑِﻤ‬‫ﻮﺍ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﺍﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍﺗ‬‫ﻭ‬
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. (Q.S. al-Baqarah/2: 233)
Kata
‫ ﺍﻷﻡ‬dalam al-Qur'an terulang 35 kali yaitu 24 kali bentuk mufrad
dan 11 kali berbentuk jamak.42 Dari 35 kata tersebut tidak selalu artinya Ibu,
tapi mempunyai makna yang berbeda antara lain:
1) Kata
‫ ﺍﻷﻡ‬disandarakan kepada ‫ ﺍﻟﻘﺮﻯ‬artinya kota Mekkah yang terulang
dua kali (Q.S. al-An'âm/6 : 92; dan Q.S. al-Syu'arâ/26: 7)
2) Kata
‫ ﺍﻷﻡ‬yang disandarkan kepada ‫ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ‬artinya inti/pokok kitab yang
terulang 3 kali (Q.S. Ali Imrân/3 : 7; Q.S. al-Ra'du/13 : 39; dan Q.S. alZukhruf/43: 4)
42
Muhammad Fuad Abdu al-Baqi, Mu’jam al-Mufahrasy Li alfâdh al-Qur ’an al-Karîm,
(selanjutnya tertulis al-Mufahrasy Li alfâdh al-Qur ’an) (Cairo : Dâr al-Hadîts, 1986), h. 79
124
3) Kata
‫ ﺍﻷﻡ‬disandarkan kepada ‫ ﻣﻮﺳﻰ‬artinya Ibu Musa yang terulang 2 kali
(Q.S. al-Qashash/28 : 7 dan 10)
4) Diartikan tempat kembali atau tempat tinggal (Q.S. al-Qâri'ah/101 : 9)
5) Diartikan ibu kota (Q.S. al-Qashash/28 : 59)
6) Diartikan orang yang tidak pandai tulis baca terulang 6 kali (Q.S. alA'râf/7: 157, 158: Q.S. al-Baqarah/2: 78; Q.S. Ali Imrân/3: 20, 75; dan
Q.S. al-Jumu'ah/62: 2).43
Sedangkan 20 kata yang lainnya bisa diartikan ibu kandung dan makna
lainnya. Nasaruddin Umar mengatakan, "Adapun dalam bentuk jama (‫ﺃﻣﻬﺎﺕ‬
)
di dalam al-Qur'an pada umumnya digunakan khusus untuk pengertian ibu-ibu.
Hanya saja ada dalam pengertian ibu dalam garis lurus ke atas mencakup
nenek, ibu susuan, dan ibu dari istri (al-Nisâ’/4 : 23). 44
Kata
‫ ﺃﻣﻬﺎﺕ‬juga digunakan untuk menyebut istri-istri Nabi sebagai
"ibu kehormatan umat Islam yang tidak dibenarkan untuk dikawini (Q.S. alAhzâb/33: 6).45
Kata
‫ ﺍﻻﺏ‬dan ‫ ﺍﻷﻡ‬tidak selamanya menjadi simbul identitas jender
sebagaimana yang lazim ditemukan dalam kitab fikih yang berarti bapak atau
ibu. Bapak dan ibu masing-masing mempunyai peran penting dalam
pembinaan anak. Urusan keamanan dan tanggung jawab sosial ekonomi lebih
banyak diperankan ayah (‫) ﺍﻻﺏ‬, seperti tercermin dalam kisan Nabi Yusuf
bersaudara dengan ayahnya (Ya'qub), Nabi Ismail dan Nabi Ishaq dengan
ayahnya, Ibrahim. Adapun ibu (‫ ) ﺍﻷﻡ‬dalam arti ibu lebih banyak dihubungkan
dengan tanggung jawab reproduksi dan pembinaan internal rumah tangga
43
44
45
Ibrahim Madkur, alfâdh al-qur'an…, h. 82
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 188
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 189
125
seperti mengandung bayi (Q.S. Luqmân/31: 14) dan menyusui bayi (Q.S. alQashash/28: 7).46
c. Anak Laki-Laki (‫ ) ﺍﻻﺑﻦ‬dan Anak Perempuan (‫) ﺍﻟﺒﻨﺖ‬
Kata
‫ ﺍﻻﺑﻦ‬diambil dari kata ‫ ﺑﻨﻮ‬diartikan oleh abu Husen Ahmad bin
Faris Bin Zakaria dalam kamus Al-Maqâyis fî al-Lugah :
٤٧
.
‫ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺸﺊ ﻳﺘﻮﻟﺪ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺊ ﻛﺎﺑﻦ ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ ﻭ ﻏﲑﻩ‬
"Sesuatu yang dilahirkan dari sesuatu seperti anak manusia dan
lainnya."
Sedangkan menurut al-Ragib al-Ashfihani dalam kamus Mufradât
alfâzh al-Qur'an mengatakan:
‫ ﻭﲰﻰ ﺑﺬﻟﻚ ﻟﻜﻮﻧﻪ ﺑﻨﺎﺀ ﻟﻼﺏ ﻓﺎﻥ‬... ‫ﺍﺑﻦ ﺍﺻﻠﻪ ﺑﻨﻮ ﻟﻘﻮﳍﻢ ﺍﳉﻤﻊ ﺍﺑﻨﺎﺀ ﻭ ﰱ ﺍﻟﺘﺼﻐﲑ ﺑﲎ‬
‫ﺍﻻﺏ ﻫﻮﺍﻟﺬﻯ ﺑﻨﺎﻩ ﻭ ﺟﻌﻠﻪ ﺍﷲ ﺑﻨﺎﺀ ﰱ ﺍﳚﺎﺩﻩ ﻭ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻜﻞ ﻣﺎﳛﺼﻞ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ ﺷﻴﺊ ﺍﻭ ﻣﻦ‬
‫ﺗﺮﺑﻴﺘﻪ ﺍﻭ ﺑﺘﻔﻘﺪﻩ ﺍﻭ ﻛﺜﲑﺓ ﺧﺪﻣﺘﻪ ﻟﻪ ﺍﻭ ﻗﻴﺎﻣﻪ ﺑﺎﻣﺮﻩ ﻫﻮ ﺍﺑﻨﻪ ﳓﻮ ﻓﻼﻥ ﺍﺑﻦ ﺣﺮﺏ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞ‬
٤٨
. ‫ﻟﻠﻤﺴﺎﻓﺮ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ‬
Kata ‫ ﺍﺑﻦ‬diambil dari kata ‫ ﺑﻨﻮ‬lalu mereka mengatakan bahwa jama dari
kata ‫ ﺍﺑﻦ‬adalah ‫ ﺍﺑﻨﺎﺀ‬dan tashgirnya ‫ … ﺑﲎ‬dinamakan demikian karena
anak itu dibentuk/ dididik oleh ayah, maka ayah yang mendidik
anaknnya dan Allah menjadikan ayah sebagai pendidik dalam
memperbaiki anak. Dan ada yang mengatakan, "Seluruh yang
dihasilkan dari pengarahan, pendidikan terhadap sesuatu, atau hasil
dari pencarian sesuatu, atau hasil dari banyak pelayanan terhadap
sesuatu, atau dari hasil melakukan urusan sesuatu disebut anaknya.
Seperti ‫( ﻓﻼﻥ ﺍﺑﻦ ﺣﺮﺏ‬Fulan adalah seorang pemberani), ‫( ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞ‬seorang
yang melakukan perjalanan jauh), ‫( ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻠﻴﻞ‬seorang pencuri), ‫ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ‬
(seorang pelajar)."
Sedangkan menurut kamus Al-Wasîth, kata
tapi orang arab menjadikan kata
46
47
48
‫ ﺍﺑﻦ‬artinya anak laki-laki,
‫ ﺍﺑﻦ‬menjadi kunyah (sebutan) terhadap
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender…, h. 190
Abu Husen Ahmad Bin Faris Bin Zakaria, al-Maqâyis fî Lughah…, h. 156
Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…., h. 60
126
sesuatu. Seperti
‫ ﺍﺑﻦ ﺍﳊﺮﺏ‬digunakan untuk seorang pembrani, ‫ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﺍﻭ ﺍﺑﻦ‬
‫ ﺍﻟﻠﻴﻞ‬digunakan untuk seorang pencuri, ‫ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞ‬digunakan untuk seorang yang
melakukan perjalanan jauh. Adapun jama dari kata ‫ ﺍﺑﻦ‬ada dua yaitu ‫ ﺍﺑﻨﺎﺀ‬dan
‫ ﺑﻨﻮﻥ‬. 49
Kata ‫ ﺍﻟﺒﻨﺖ‬artinya anak perempuan, jamaknya ‫ ﺑﻨﺎﺕ‬nasabnya ‫ ﺑﻨﱴ‬atau
‫ﺍﺑﲎ‬
‫ ﺑﻨﻴﺔ‬namun orang arab menggunakan kata ‫ ﺑﻨﺖ‬untuk kunyah
(sebutan) seperti ‫ ﺑﻨﺎﺕ ﺍﻟﺼﺪﺭ‬digunakan untuk orang kesusahan, ‫ﺑﻨﺎﺕ ﺍﻟﺪﻫﺮ‬
dan tashgirnya
‫ ﺑﻨﺎﺕ ﻧﻌﺶ ﰱ ﺍﻟﻔﻠﻚ‬digunakan untuk
dua kelompok bintang yang satu kecil dan yang satunya besar, ‫ﺑﻨﺎﺕ ﺍﻻﺭﺽ‬
digunakan untuk tempat persembunyian pengembala, dan ‫ ﺑﻨﺎﺕ ﺍﻟﻠﻴﻞ‬digunakan
digunakan untuk orang yang sangat susah,
untuk wanita pelacur. 50
‫ ﺍﺑﻦ‬dijadikan makna
perempuan menjadi ‫ ﺍﺑﻨﺔ‬atau ‫ ﺑﻨﺖ‬dan jamaknya menjadi ‫ ﺑﻨﺎﺕ‬.51 Dari pengertian
Al-Ragib al-Ashfihani menyebutkan, bahwa kata
pengertian diatas, maka Nasaruddin Umar menyatakan:"Bahwa bentuk jama
dari kata
‫ ﺍﺑﻦ‬yakni ‫ ﺍﺑﻨﺎﺀ‬atau ‫ ﺑﻨﲔ‬,‫ ﺑﻨﻮﻥ‬menunjuk kepada pengertian anak-anak
atau anak cucu tanpa dibedakan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan.52
Sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an
‫ ﻣِﻦ‬‫ ﺫﹶﻟِﻚ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻯ ﺫﹶﻟِﻚ‬‫ﻘﹾﻮ‬‫ ﺍﻟﺘ‬‫ﺎﺱ‬‫ﻟِﺒ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺭِﻳﺸ‬‫ ﻭ‬‫ﺁﺗِﻜﹸﻢ‬‫ﻮ‬‫ﺍﺭِﻱ ﺳ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺎﺳ‬‫ ﻟِﺒ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻟﹾﻨ‬‫ﺰ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ ﻗﹶﺪ‬‫ﻡ‬‫ﻨِﻲ ﺁﺩ‬‫ﺎﺑ‬‫ﻳ‬
(٢٦: ٧/‫ﻭﻥﹶ )ﺍﻻﻋﺮﺍﻑ‬‫ﺬﱠﻛﱠﺮ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﻠﱠﻬ‬‫ﺎﺕِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻟﹶﻌ‬‫ﺁﻳ‬
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan
kepadamu pakaian untuk menutupi `auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian
itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudahmudahan mereka selalu ingat. (Q.S. al-A'râf/7: 6)
49
50
51
52
Ibrahim Anis at. al., al-Wasîth…, h. 72
Ibrahim Anis at. al., al-Wasîth…, h. 72
Al-Raghib al-Ashfihani, Mufradât al-Fâdh al-Qur'an…., h. 60
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 192
127
Begitu juga kata
‫ ﺍﻟﻮﻟﺪ‬yang jamaknya ‫ ﺍﻭﻻﺩ‬kadang-kadang diartikan
anak laki-laki dan kadang-kadang juga menunjukkan kepada pengertian anak
tanpa membedakan anak laki-laki dan perempuan dan ini yang lebih banyak
diungkap dalam al-Qur'an. 53 Seperti dalam al-Qur'an
‫ﻢ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﺎ ﻓﹶﺄﹸﻭﹶﻟﺌِﻚ‬‫ﺎﻟِﺤ‬‫ﻤِﻞﹶ ﺻ‬‫ﻋ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻟﹾﻔﹶﻰ ﺇِﻟﱠﺎ ﻣ‬‫ﺎ ﺯ‬‫ﻧ‬‫ﺪ‬‫ ﻋِﻨ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺑ‬‫ﻘﹶﺮ‬‫ ﺑِﺎﻟﱠﺘِﻲ ﺗ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﻟﹶﺎﺩ‬‫ﻟﹶﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﻟﹸﻜﹸﻢ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﺃﹶﻣ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
(٣٧ : ٣٤/‫ﻮﻥﹶ )ﺳﺒﺎ‬‫ﻓﹶﺎﺕِ ﺀَﺍﻣِﻨ‬‫ﺮ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻐ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﻤِﻠﹸﻮﺍ ﻭ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻒِ ﺑِﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺍﺀُ ﺍﻟﻀ‬‫ﺰ‬‫ﺟ‬
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang
mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang
memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah
mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang
tinggi (dalam surga). (Q.S.Saba/34: 37)
Berbeda dengan bentuk jamak kata
‫ ﺑﻨﺖ‬yakni ‫ ﺑﻨﺎﺕ‬yang secara khusus
menunjuk kepada anak-anak perempuan. Seperti terdapat dalam al-Qur'an alNisâ/4 ayat 23 dan Surat al-Ahzâb/33 ayat 59.54
3. Kata Ganti (Dhomir) Berkaitan Dengan Jenis Kelamin
Dhomir menurut Fuad Ni’mah adalah
٥٥
. ‫ﺍﻟﻀﻤﲑ ﺍﺳﻢ ﻣﺒﲏ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻲ ﻣﺘﻜﻠﻢ ﺍﻭ ﳐﺎﻃﺐ ﺍﻭ ﻏﺎﺋﺐ‬
”Kata ganti adalah isim (kata) yang mabni (tidak berubah) yang
menunjukkan pada orang pertama, kedua atau ketiga.”
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ganti dalam bahasa
Arab sama halnya dengan bahasa Indonesia, ada tiga macam.
a. Kata ganti untuk orang pertama
53
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 193
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 192
55
Fuad Ni’mah, Mulakhash Qowaid al-Lughah al-Arabiyah, (Bairut: Daar al-Tsaqafah alIslamiyah, t.t. ), h. 113
54
128
Kata ganti untuk orang pertama ada dua yaitu:
1) Kata ganti orang pertama tunggal dengan menggunakan
‫( ﺍﻧﺎ‬saya)
digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Sebagaimana dalam firman
Allah dalam al-Qur'an yang berbunyi
‫ﺎ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﻣ‬‫ ﺇِﺫﹰﺍ ﻭ‬‫ﻠﹶﻠﹾﺖ‬‫ ﺿ‬‫ ﻗﹶﺪ‬‫ﺍﺀَﻛﹸﻢ‬‫ﻮ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﺒِﻊ‬‫ﻭﻥِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻗﹸﻞﹾ ﻟﹶﺎ ﺃﹶﺗ‬‫ ﺩ‬‫ﻮﻥﹶ ﻣِﻦ‬‫ﻋ‬‫ﺪ‬‫ ﺗ‬‫ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻋ‬‫ﻬِﻴﺖ‬‫ﻲ ﻧ‬‫ﻗﹸﻞﹾ ﺇِﻧ‬
( ٥٦ : ٦/‫ﺪِﻳﻦ )ﺍﻻﻧﻌﺎﻡ‬‫ﺘ‬‫ﻬ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻣِﻦ‬
Katakanlah, "Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang
kamu sembah selain Allah". Katakanlah, "Aku tidak akan mengikuti
hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan
tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk."
(Q.S. al-An’âm/6: 56)
2) Kata ganti untuk orang pertama lebih dari satu dengan menggunakan ‫ﳓﻦ‬
(kami) dapat digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah di dalam al-Qur'an
( ١٣٨ : ٢/‫ﻭﻥﹶ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﺎﺑِﺪ‬‫ ﻋ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻧ‬‫ﺔﹰ ﻭ‬‫ﻐ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻِﺒ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ﺔﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭ‬‫ﻐ‬‫ﺻِﺒ‬
Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada
Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah. (Q.S. alBaqarah/2:138).
b. Kata ganti untuk orang kedua
Kata ganti untuk orang kedua ada 5 yaitu:
1) Kata ganti orang kedua tunggal untuk laki-laki menggunakan kata
‫ﺍﻧﺖ‬
(kamu) dengan memfathahkan huruf ta-nya (kamu seorang laki-laki)
atau huruf
‫ ﻙ‬yang dibaca fathah. Seperti firman Allah di dalam al-
Qur'an Surat al-Mâidah/5 ayat 116 yang berbunyi:
‫ﻭﻥِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬‫ ﺩ‬‫ﻦِ ﻣِﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﺇِﻟﹶﻬ‬‫ﻲ‬‫ﺃﹸﻣ‬‫ﺨِﺬﹸﻭﻧِﻲ ﻭ‬‫ﺎﺱِ ﺍﺗ‬‫ ﻟِﻠﻨ‬‫ ﻗﹸﻠﹾﺖ‬‫ﺖ‬‫ ﺀَﺃﹶﻧ‬‫ﻢ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺍﺑ‬‫ﺎﻋِﻴﺴ‬‫ ﻳ‬‫ﺇِﺫﹾ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻭ‬
‫ﻔﹾﺴِﻲ‬‫ﺎ ﻓِﻲ ﻧ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻪ‬‫ﺘ‬‫ﻠِﻤ‬‫ ﻋ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺪ‬‫ﻪ‬‫ ﻗﹸﻠﹾﺘ‬‫ﺖ‬‫ ﺇِﻥﹾ ﻛﹸﻨ‬‫ﻖ‬‫ ﻟِﻲ ﺑِﺤ‬‫ﺲ‬‫ﺎ ﻟﹶﻴ‬‫ﻜﹸﻮﻥﹸ ﻟِﻲ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻗﹸﻮﻝﹶ ﻣ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺎﻧ‬‫ﺤ‬‫ﺒ‬‫ﺳ‬
(١١٦ : ٥/‫ﻮﺏِ)ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﻐ‬‫ﻠﱠﺎﻡ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﻚ‬‫ ﺇِﻧ‬‫ﻔﹾﺴِﻚ‬‫ﺎ ﻓِﻲ ﻧ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ﻟﹶﺎ ﺃﹶﻋ‬‫ﻭ‬
129
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Hai Isa putera Maryam, adakah
kamu mengatakan kepada manusia, 'Jadikanlah aku dan ibuku dua orang
tuhan selain Allah?' Isa menjawab, "Maha Suci Engkau, tidaklah patut
bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku
pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya.
Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui
apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha
Mengetahui perkara yang gaib-gaib."
2) Kata ganti orang kedua tunggal untuk perempuan menggunakan kata ‫ﺍﻧﺖ‬
dengan mengkasrahkan huruf ta (kamu seorang perempuan) atau
menggunakan kata ‫ ﻙ‬yang dibaca kasrah. Seperti firman Allah dalam alQur'an yang berbunyi:
(٣٣ : ٢٧/‫)ﺍﻟﻨﻤﻞ‬‫ﺮِﻳﻦ‬‫ﺄﹾﻣ‬‫ﺎﺫﹶﺍ ﺗ‬‫ﻈﹸﺮِﻱ ﻣ‬‫ﻚِ ﻓﹶﺎﻧ‬‫ ﺇِﻟﹶﻴ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹶﻣ‬‫ﺪِﻳﺪٍ ﻭ‬‫ﺄﹾﺱٍ ﺷ‬‫ﺃﹸﻭﻟﹸﻮ ﺑ‬‫ﺓٍ ﻭ‬‫ ﺃﹸﻭﻟﹸﻮ ﻗﹸﻮ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻧ‬
Mereka menjawab, "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan
dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan
keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan
kamu perintahkan". (Q.S. al-Namal/27: 33)
3) Kata ganti orang kedua untuk dua orang laki-laki atau dua orang
perempuan menggunakan kata (‫( ﺍﻧﺘﻤﺎ)ﻛﻤﺎ‬kamu dua orang laki-laki atau
dua perempuan) seperti dalam al-Qur'an yang berbunyi:
‫ﺎ‬‫ﻜﹸﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﻦِ ﺍﺗ‬‫ﻣ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﺎﺗِﻨ‬‫ﺎ ﺑِﺂﻳ‬‫ﻜﹸﻤ‬‫ﺼِﻠﹸﻮﻥﹶ ﺇِﻟﹶﻴ‬‫ﺎ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﻳ‬‫ﻠﹾﻄﹶﺎﻧ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﻞﹸ ﻟﹶﻜﹸﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬‫ ﺑِﺄﹶﺧِﻴﻚ‬‫ﻙ‬‫ﺪ‬‫ﻀ‬‫ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺸ‬‫ﻨ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ‬
(٣٥ : ٢٨/‫ﻮﻥﹶ)ﺍﻟﻘﺼﺺ‬‫ﺎﻟِﺒ‬‫ﺍﻟﹾﻐ‬
Allah berfirman, "Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan
Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka
tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa
mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang
menang." (Q.S. al-Qashosh/28: 35)
4) Kata ganti orang kedua lebih dari dua orang untuk laki-laki digunakan
kata
(‫( ﻛﻢ )ﺍﻧﺘﻢ‬kalian laki-laki) seperti firman Allah dalam Al-Qur'an
Surat Ali Imrân/3 ayat 71 yang berbunyi:
(٧١ : ٣/‫ﻮﻥﹶ)ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻖ‬‫ﻮﻥﹶ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻤ‬‫ﻜﹾﺘ‬‫ﺗ‬‫ﺎﻃِﻞِ ﻭ‬‫ ﺑِﺎﻟﹾﺒ‬‫ﻖ‬‫ﻮﻥﹶ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻠﹾﺒِﺴ‬‫ ﺗ‬‫ﺎﺏِ ﻟِﻢ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﹾﻜِﺘ‬‫ﺎﺃﹶﻫ‬‫ﻳ‬
130
Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan
yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu
mengetahui?
5) Kata ganti orang kedua lebih dari dua orang untu perempuan digunakan
kata
‫ ﺍﻧﱳ‬atau ‫( ﻛﻦ‬kalian perempuan) seperti firman Allah dalam al-
Qur'an yang berbunyi:
‫ﻪ‬ ‫ ﺍﻟﻠﱠ‬‫ﻦ‬‫ﺃﹶﻃِﻌ‬‫ﻛﹶﺎﺓﹶ ﻭ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﺀَﺍﺗِﲔ‬‫ﻠﹶﺎﺓﹶ ﻭ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻦ‬‫ﺃﹶﻗِﻤ‬‫ﺔِ ﺍﻟﹾﺄﹸﻭﻟﹶﻰ ﻭ‬‫ﺎﻫِﻠِﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺗِﻜﹸﻦ‬‫ﻴ‬‫ﻥﹶ ﻓِﻲ ﺑ‬‫ﻗﹶﺮ‬‫ﻭ‬
‫ﻠﹶﻰ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻥﹶ ﻣ‬‫ﺍﺫﹾﻛﹸﺮ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﻄﹾﻬِﲑ‬‫ ﺗ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻄﹶﻬ‬‫ﻳ‬‫ﺖِ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﺲ‬‫ﺟ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﺬﹾﻫِﺐ‬‫ ﻟِﻴ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺮِﻳﺪ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ ﺇِﻧ‬‫ﻮﻟﹶﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬‫ﻭ‬
( ٣٤-٣٣ : ٣٣/‫ﺍ )ﺍﻻﺣﺰﺍﺏ‬‫ﺒِﲑ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻄِﻴﻔﹰﺎ ﺧ‬‫ﺔِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍﻟﹾﺤِﻜﹾﻤ‬‫ﺎﺕِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭ‬‫ ﺀَﺍﻳ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻮﺗِﻜﹸﻦ‬‫ﻴ‬‫ﻓِﻲ ﺑ‬
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut
lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Ahzâb/33: 33 -34)
c. Kata ganti orang ketiga
Kata ganti orang ketiga ada 5 macam yaitu :
1) Kata ganti orang ketiga tunggal untuk laki laki, digunakan kata ‫ ﻫﻮ‬atau
huruf ha (dia laki laki) seperti firman Allah di dalam al-Qur'an yang
berbunyi:
ِ‫ﻓﱢﻖ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻠﹶﺎﺣ‬‫ﺍ ﺇِﺻ‬‫ﺮِﻳﺪ‬‫ﺎ ﺇِﻥﹾ ﻳ‬‫ﻠِﻬ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﺎ ﻣِﻦ‬‫ﻜﹶﻤ‬‫ﺣ‬‫ﻠِﻪِ ﻭ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﺎ ﻣِﻦ‬‫ﻜﹶﻤ‬‫ﻌﺜﹸﻮﺍ ﺣ‬ ‫ﺎ ﻓﹶﺎﺑ‬‫ﻨِﻬِﻤ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ ﺷِﻘﹶﺎﻕ‬‫ﻢ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘ‬‫ﻭ‬
(٣٥ : ٤/‫ﺍ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﺒِﲑ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ﻠِﻴﻤ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ‬‫ﺎ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suamiistri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(Q.S. al-Nisâ’/4 : 35)
131
2) Kata ganti orang ketiga tunggal untuk perempuan digunakan kata
atau
‫ﻫﻰ‬
‫( ﻫﺎ‬dia perempuan) seperti firman Allah di dalam al-Qur'an Surat
al-Tahrîm/66 ayat 12 yang berbunyi:
‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺑ‬‫ﺎﺕِ ﺭ‬‫ ﺑِﻜﹶﻠِﻤ‬‫ﻗﹶﺖ‬‫ﺪ‬‫ﺻ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻭﺣِﻨ‬‫ ﺭ‬‫ﺎ ﻓِﻴﻪِ ﻣِﻦ‬‫ﻨ‬‫ﻔﹶﺨ‬‫ﺎ ﻓﹶﻨ‬‫ﻬ‬‫ﺟ‬‫ ﻓﹶﺮ‬‫ﺖ‬‫ﻨ‬‫ﺼ‬‫ﺍﻥﹶ ﺍﻟﱠﺘِﻲ ﺃﹶﺣ‬‫ﺮ‬‫ ﻋِﻤ‬‫ﺖ‬‫ﻨ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻢ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
(١٢ : ٦٦/‫)ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ‬‫ ﺍﻟﹾﻘﹶﺎﻧِﺘِﲔ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺖ‬‫ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﺒِﻪِ ﻭ‬‫ﻛﹸﺘ‬‫ﻭ‬
Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka
Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami;
dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya;
dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.
3)
Kata ganti orang ketiga untuk dua orang baik laki-laki maupun
perempuan digunakan kata yang sama yaitu
‫( ﳘﺎ‬dia laki laki atau dia
perempuan) seperti firman Allah dalam al-Qur'an yang berbunyi:
‫ﻜِﻴﻢ‬‫ ﺣ‬‫ﺰِﻳﺰ‬‫ ﻋ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭ‬‫ﻜﹶﺎﻟﹰﺎ ﻣِﻦ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻛﹶﺴ‬‫ﺍﺀً ﺑِﻤ‬‫ﺰ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺪِﻳ‬‫ﻮﺍ ﺃﹶﻳ‬‫ﺎﺭِﻗﹶﺔﹸ ﻓﹶﺎﻗﹾﻄﹶﻌ‬‫ﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺭِﻕ‬‫ﺍﻟﺴ‬‫ﻭ‬
(٣٨ : ٥/‫)ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. al-Mâidah/5: 38)
4) Kata ganti orang ketiga lebih dari dua orang untuk laki laki digunakan
kata ‫( ﻫﻢ‬mereka laki laki) seperti firman Allah dalam al-Qur'an Surat
al-Ahzâb/23 ayat 12 yang berbunyi:
‫ ﺇِﻟﱠﺎ‬‫ﻮﻟﹸﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺎ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻧ‬‫ﺪ‬‫ﻋ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ ﻣ‬‫ﺽ‬‫ﺮ‬‫ ﻣ‬‫ ﻓِﻲ ﻗﹸﻠﹸﻮﺑِﻬِﻢ‬‫ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬‫ﺎﻓِﻘﹸﻮﻥﹶ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻘﹸﻮﻝﹸ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺇِﺫﹾ ﻳ‬‫ﻭ‬
(١٢ : ٣٣/‫ﺍ)ﺍﻻﺣﺰﺍﺏ‬‫ﻭﺭ‬‫ﻏﹸﺮ‬
Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang
berpenyakit dalam hatinya berkata, "Allah dan Rasul-Nya tidak
menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya."
5)
Kata ganti orang ketiga lebih dari 2 orang untuk perempuan digunakan
kata
‫( ﻫﻦ‬mereka kaum perempuan) seperti firman Allah dalam al-
Qur'an yang berbunyi:
132
‫ﺎ‬‫ﺾِ ﻣ‬‫ﻌ‬‫ﻮﺍ ﺑِﺒ‬‫ﺒ‬‫ﺬﹾﻫ‬‫ ﻟِﺘ‬‫ﻦ‬‫ﻠﹸﻮﻫ‬‫ﻀ‬‫ﻌ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻫ‬‫ﺎﺀَ ﻛﹶﺮ‬‫ﺴ‬‫ﺮِﺛﹸﻮﺍ ﺍﻟﻨ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﺤِﻞﱡ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﻳ‬‫ﻳ‬
‫ﻰ ﺃﹶﻥﹾ‬‫ﺴ‬‫ ﻓﹶﻌ‬‫ﻦ‬‫ﻮﻫ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻭﻑِ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹶﺮِﻫ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ ﺑِﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻭﻫ‬‫ﺎﺷِﺮ‬‫ﻋ‬‫ﺔٍ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﺔٍ ﻣ‬‫ ﺑِﻔﹶﺎﺣِﺸ‬‫ﺄﹾﺗِﲔ‬‫ ﺇِﻟﱠﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻮﻫ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﺀَﺍﺗ‬
(١٩ : ٤/‫ﺍ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﺍ ﻛﹶﺜِﲑ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﻓِﻴﻪِ ﺧ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ﻳ‬‫ﻴﺌﹰﺎ ﻭ‬‫ﻮﺍ ﺷ‬‫ﻫ‬‫ﻜﹾﺮ‬‫ﺗ‬
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. (Q.S. al-Nisâ’/4: 19)
Sekalipun penjelasan mengenai dhamîr sudah dipaparkan di atas,
namun demikian perlu memperhatikan catatan mengenai masalah dhamîr
(kata ganti) baik munfashil (terpisah), muttashil (bersambung), maupun
mustatirah (tersembunyi), karena menurut kaidah bahasa Arab bahwa bila
terkumpul mudzakar dan muannats maka cukup digunakan dengan dhamîr
mudzakar dan tidak sebaliknya.
Nasaruddin Umar mengutip pendapat ulama dari golongan Mu'tazilah:
‫ ﺍﻥ ﻣﺮﺍﺩﻫﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﺍﻥ ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ ﺍﺫﺍ ﺍﺭﺍﺩ ﺍﻟﺘﻌﺒﲑ ﻋﻦ ﺍﻟﺆﻧﺚ ﻭ ﺍﳌﺬﻛﺮ ﺑﻠﻔﻆ ﻭﺟﺐ ﺍﻥ‬: ‫ﻭﺍﳉﻮﺍﺏ‬
‫ﻳﻌﱪ ﻋﻨﻪ ﺑﻠﻔﻆ ﺍﳌﺬﻛﺮ ﻻ ﻣﺆﻧﺚ ﻭ ﻟﻴﺲ ﰲ ﻫﺬﺍ ﻣﺎﻳﺪﻝ ﻋﻠﻲ ﺍﻥ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻳﻔﻴﺪ ﻇﺎﻫﺮﻩ ﺍﳌﺆﻧﺚ‬
"Jawabnya, 'Sesungguhnya yang dimaksud masalah tersebut ialah jika
yang dikehendaki seseorang adalah penyebutan perempuan dan laki-laki
di dalam satu lafazh, maka harus menggunakan lafazh mudzakar,
bukannya lafazh muannats. Dan tidak berarti bahwa zhâhîr lafazh itu
menunjukkan muannats.'"56
B. Ayat-Ayat Penciptaan Manusia
56
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 204
133
Sampai saat ini ada sebagian orang yang mempercayai teori evolusi
Darwin yang menyebutkan bahwa manusia itu berasal dari kera. Padahal teori
ini bertentangan dengan firman Allah
ِ‫ﻦ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠﹶﻰ ﺭِﺟ‬‫ﺸِﻲ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻣِﻨ‬‫ﻄﹾﻨِﻪِ ﻭ‬‫ﻠﹶﻰ ﺑ‬‫ﺸِﻲ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺎﺀٍ ﻓﹶﻤِﻨ‬‫ ﻣ‬‫ﺔٍ ﻣِﻦ‬‫ﺍﺑ‬‫ ﻛﹸﻞﱠ ﺩ‬‫ﻠﹶﻖ‬‫ ﺧ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻭ‬
(٤٥ : ٢٤/‫ )ﺍﻟﻨﻮﺭ‬‫ﺀٍ ﻗﹶﺪِﻳﺮ‬‫ﻲ‬‫ﻠﹶﻰ ﻛﹸﻞﱢ ﺷ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﺀُ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺸ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻠﹸﻖ‬‫ﺨ‬‫ﻊٍ ﻳ‬‫ﺑ‬‫ﻠﹶﻰ ﺃﹶﺭ‬‫ﺸِﻲ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻣِﻨ‬‫ﻭ‬
Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka
sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan
sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain)
berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendakiNya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Q.S. alNur/24: 45)
Dari ayat ini jelaslah bahwa Allah sudah membedakan antara satu
makhluk dengan makhluk lainnya, khususnya manusia dengan kera. Keduanya
tentu berbeda karena manusia berjalan dengan kedua kakinya, sedangkan kera
berjalan dengan empat kakinya.
Begitu juga bertentangan dengan firman Allah
‫ﺎ‬‫ ﻓِﻴﻬ‬‫ﻔﹾﺴِﺪ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻞﹸ ﻓِﻴﻬ‬‫ﻌ‬‫ﺠ‬‫ﻠِﻴﻔﹶﺔﹰ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺃﹶﺗ‬‫ﺽِ ﺧ‬‫ﺎﻋِﻞﹲ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭ‬‫ﻲ ﺟ‬‫ﻠﹶﺎﺋِﻜﹶﺔِ ﺇِﻧ‬‫ ﻟِﻠﹾﻤ‬‫ﻚ‬‫ﺑ‬‫ﺇِﺫﹾ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬‫ﻭ‬
:٢/‫)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ ﻣ‬‫ﻠﹶﻢ‬‫ﻲ ﺃﹶﻋ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇِﻧ‬‫ ﻟﹶﻚ‬‫ﺱ‬‫ﻘﹶﺪ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺪِﻙ‬‫ﻤ‬‫ ﺑِﺤ‬‫ﺢ‬‫ﺒ‬‫ﺴ‬‫ ﻧ‬‫ﻦ‬‫ﺤ‬‫ﻧ‬‫ﺎﺀَ ﻭ‬‫ﻣ‬‫ ﺍﻟﺪ‬‫ﻔِﻚ‬‫ﺴ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬
(٣٠
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman,
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
(Q.S.al-Baqarah/2 :30)
Manusia pada hakikatnya diciptakan dari tanah dan al-Qur'an telah
menceritakan kepada kita tentang asal kejadian manusia sejak Nabi Adam
sampai saat kita sekarang ini. Hal ini banyak disebutkan pada beberapa ayat al-
134
Qur'an (Q.S.al-Sajadah/32: 7; Q.S.al-Rahmân/55:14; Q.S.al-Hajar/15 :26; Q.S.
al-Mu'minûn/23:12; Q.S. al-An'âm/6: 2; Q.S. al-Shâfât/37: 11; Q.S. Shâd/38:
71; Q.S. al-Haj/22: 5; dan Q.S. al-Rûm/30: 20). 57
Penciptaan manusia pada dasarnya dibagi pada dua tahap yaitu:
1. Penciptaan manusia pertama (Adam dan Hawa)
Penciptaan manusia pertama dapat dirujuk pada firman Allah
‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺚﱠ ﻣِﻨ‬‫ﺑ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﺟ‬‫ﻭ‬‫ﺎ ﺯ‬‫ﻬ‬‫ ﻣِﻨ‬‫ﻠﹶﻖ‬‫ﺧ‬‫ﺓٍ ﻭ‬‫ﺍﺣِﺪ‬‫ﻔﹾﺲٍ ﻭ‬‫ ﻧ‬‫ﻢ ﻣِﻦ‬ ‫ﻠﹶﻘﹶﻜﹸ‬‫ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﺧ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺑ‬‫ﻘﹸﻮﺍ ﺭ‬‫ ﺍﺗ‬‫ﺎﺱ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﻳ‬‫ﻳ‬
‫ﺎ‬‫ﻗِﻴﺒ‬‫ ﺭ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ‬‫ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺣ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹶﺭ‬‫ﺎﺀَﻟﹸﻮﻥﹶ ﺑِﻪِ ﻭ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﺗ‬‫ﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍﺗ‬‫ﺎﺀً ﻭ‬‫ﻧِﺴ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﺎﻟﹰﺎ ﹶﻛﺜِﲑ‬‫ﺭِﺟ‬
(١ : ٤/‫)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. alNisâ’/4: 1)
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa surat al-Nisâ’
mengajak agar senantiasa menjalin hubungan kasih sayang antara seluruh
manusia. Karena itu ayat ini walau turun di Madinah yang biasanya panggilan
ditujukan kepada orang beriman, (
‫) ﻳﺎﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﻣﻨﻮﺍ‬, namun demi persatuan dan
kesatuan, ayat ini mengajak semua manusia yang beriman dan yang tidak
beriman. (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah, Vol.2, h.313.58
57
Amir Abdul Aziz, al-Insan fi al-Islam, (Bairut: Daar al-Furqan, 1986), h. 11
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu
dari yang satu, yakni Adam atau jenis yang sama, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara
seorang manusia dengan yang lain, dan Allah menciptakan darinya, yakni dari diri yang satu itu
pasangannya, dan dari keduanya yakni dari Adam dan istrinya. Allah memperkembangbiakkan lakilaki yang banyak dan perempuanpun demikian. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya
kamu saling meminta dan pelihara pula hubungan silaturahim. Jangan putuskan hubungan tersebut,
karena apapun yang terjadi. Sesungguhnya Allah terus menerus sebagaimana dipahami dari kata (‫) ﻛﺎﻥ‬
Maha pengawas terhadap kamu.
58
135
Ketika Muhammad Quraish Shihab menerjemahkan kata
‫ﻣﻦ ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬
beliau memaparkan pendapat para ulama tafsir. Menurutnya bahwa mayoritas
ulama memahaminya dalam arti Adam a.s. Ada juga pendapat minoritas yang
memahaminya dalam arti jenis manusia lelaki dan perempuan, seperti
Muhammad Abduh, al-Qasimi dan beberapa ulama kontemporer lainnya,
sehingga ayat ini sama dengan maksud firman Allah dalam al-Qur'an Surat alHujurât/49 ayat 13 yang intinya berbicara tentang asal kejadian manusia yang
sama dari seorang ayah dan ibu, yakni seperma ayah dan ovum/indung telur
ibu. Tapi tekanannya pada persamaan hakikat kemanusiaan orang perorang,
karena setiap orang walau berbeda-beda ayah dan ibunya, tetapi unsur dan
proses kejadian mereka sama. Oleh karena itu tidak wajar seseorang menghina
atau merendahkan orang lain.59
Selanjutnya
memahami kata
Muhammad
Quraish
Shihab
menjelaskan
bahwa
‫ ﻧﻔﺲ ﻭ ﺍﺣﺪﺓ‬sebagai Adam a.s. Menjadikan kata ‫ ﺯﻭﺟﻬﺎ‬yang
secara harfiyah bermakna pasangannya, adalah istri Adam a.s. Yang populer
bernama Hawa. Agaknya karena ayat itu menyatakan bahwa pasangan itu
diciptakan dari
‫ ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬yang berarti Adam a.s., maka para ulama tafsir
terdahulu memahami bahwa istri Adam a.s. diciptakan dari Adam sendiri.
Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan
dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. 60
Banyak penafsir menyatakan bahwa pasangan Adam itu diciptakan
dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok, kemudian Muhammad
Quraish Shihab mengutip pendapat Qurthubi dalam tafsirnya. ”Oleh karena itu
59
60
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 314
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 315
136
perempuan bersifat
‫ ﻋﻮﺟﺎﺀ‬artinya bengkok. Pandangan ini mereka perkuat
dengan hadis Rasul saw. yang menyatakan:
‫ ﹶﺓ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﺓﹶ ﻋ‬‫ﺍﺋِﺪ‬‫ ﺯ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻠِﻲ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺍﻡٍ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺣ‬‫ ﺣِﺰ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻮﺳ‬‫ﻣ‬‫ﺐٍ ﻭ‬‫ﻳ‬‫ﻮ ﻛﹸﺮ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
ِ‫ﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ ﻗﹶﺎ ﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺿِﻲ‬‫ﺓﹶ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺯِﻡٍ ﻋ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻌِﻲ‬‫ﺠ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹶﺷ‬
‫ ﻓﹶﺈِﻥﹾ‬‫ﻠﹶﺎﻩ‬‫ﻠﹶﻊِ ﺃﹶﻋ‬‫ﺀٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻀ‬‫ﻲ‬‫ ﺷ‬‫ﺝ‬‫ﻮ‬‫ﺇِﻥﱠ ﺃﹶﻋ‬‫ ﺿِﻠﹶﻊٍ ﻭ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻠِﻘﹶﺖ‬‫ﺃﹶﺓﹶ ﺧ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺀِ ﻓﹶﺈِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺴ‬‫ﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻨ‬‫ﺻ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﺳ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻭ‬
٦١
‫ﺎﺀِ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬‫ﺴ‬‫ﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻨ‬‫ﺻ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ ﻓﹶﺎﺳ‬‫ﺝ‬‫ﻮ‬‫ﻝﹾ ﺃﹶﻋ‬‫ﺰ‬‫ ﻳ‬‫ ﻟﹶﻢ‬‫ﻪ‬‫ﻛﹾﺘ‬‫ﺮ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﺗ‬‫ﺮ‬‫ ﻛﹶﺴ‬‫ﻪ‬‫ﻘِﻴﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﺫﹶﻫ‬
"Abu Kuraib dan Musa Ibnu Hizam menceritakan kepada kami,
keduanya berkata, "Husain Ibnu Ali menceritakan kepada kami dari
Zaidah, dari Maisarah al-Asyja’i, dari Abi Hazim, dari Abi Hurairah
r.a. Berkata, 'Rasulullah saw. telah bersabda, 'Berwasiatlah kepada
para perempuan. Sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang
rusuk yang bengkok, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah
tulang rusuk yang ada paling atas, jika kamu ingin meluruskannya,
maka kamu akan mematahkannya, dan jika kamu biarkan, maka tulang
rusuk itu tetap bengkok, maka berwasiatlah kepada para perempuan."
(H.R. Bukhari)
Hadis ini dipahami oleh ulama-ulama terdahulu dalam arti harfiyah,
namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya dalam arti metafora,
bahkan ada yang menolak kesahehan hadis tersebut. Yang memahami secara
metafora menyatakan bahwa hadis itu mengingatkan para laki-laki agar
menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan
mereka yang berbeda dengan laki-laki, sehingga bila tidak disadari akan
mengantar laki-laki bersikap tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah
kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka akibatnya akan fatal
seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.62
Kemudian Quraish Shihab mengutip Thabathaba’î dalam tafsirnya
yang menyatakan, ”Perempuan (istri Adam a.s.) diciptakan dari jenis yang
61
CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab
al-Bukhari, Nomor. 3084
137
sama dengan Adam. Ayat tersebut sedikitpun tidak mendukung paham yang
beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Memang
tidak ada petunjuk dari al-Qur’an yang mengarah ke sana, atau bahkan
mengarah kepada penciptaan pasangan Adam dari unsur yang lain."63
Muhammad Quraish Shihab juga mengutip pendapat Sayyid
Muhammad Rasyid Ridho, bahwa hal tersebut timbul dari apa yang termaktub
dalam Perjanjian Lama (Kejadian II:21-22) yang menyatakan, ”Bahwa ketika
Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu
ditutupkannya pada tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah
dikeluarkan dari Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.” Rasyid Ridha
menjelaskan, ”Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa
dalam Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang
menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah
akan terlintas dalam benak seorang muslim.”64
Muhammad Quraish Shihab mengatakan
Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari
tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan kaum
perempuan selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding
dengan lelaki. Ini karena semua laki-laki dan perempuan anak cucu Adam
yang lahir dari gabungan antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana
bunyi surah al-Hujurât di atas, dan sebagaimana penegasan-Nya,
”Sebagian kamu dari sebagian yang lain” (Q.S.Ali Imrân/3: 195). Lelaki
lahir dari pasangan laki-laki dan perempuan, begitu juga perempuan.
62
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah …,Vol. 2. h. 315
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 315
64
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 315
63
138
Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya,
kekuatan lelaki dibutuhkan oleh perempuan dan kelemahlembutan
perempuan didambakan oleh laki-laki. Jarum harus lebih kuat dari kain,
dan kain harus lebih lembut dari jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan
berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan
tercipta pakaian yang indah, serasi dan nyaman.65
Muhammad
Quraish
Shihab
dalam
bukunya
yang
berjudul
Membumikan Al-Qur ’an justru agak jelas sikapnya tentang hadis yang
menjelaskan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, dia
menegaskan, ”Al-Qur’an menolak pandangan-pandangan yang membedakan
(lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu
jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan
mengembangbiakan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan."
Memang Muhammad Quraish Shihab tidak mengingkari adanya hadis
yang artinya ”Saling memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan,
karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Karena
diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan Tirmidzi dari Sahabat Abu Hurairah.
Namun tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi
(kiasan). 66
Penegasan-Nya bahwa ‫ﺯﻭﺟﻬﺎ‬
dari
‫ ﺧﻠﻖ ﻣﻨﻬﺎ‬Allah menciptakan darinya yakni
‫ ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬itu pasangannya mengandung makna bahwa pasangan suami
istri hendaknya menyatu sehingga menjadi diri yang satu, yakni menyatu
dalam perasaan dan pikirannya, dalam cita dan harapannya, dalam gerak dan
langkahnya, bahkan dalam menarik dan menghembuskan nafasnya. Itu
sebabnya perkawinan dinamai
65
‫ ﺯﻭﺍﺝ‬yang berarti keberpasangan di samping
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 316
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur ’an, (selanjutnya tertulis Membumikan
al-Qur ’an) (Bandung: Mizan, 1992), h. 270
66
139
dinamai
‫ ﻧﻜﺎﺡ‬yang berarti penyatuan ruhani dan jasmani. Suami dinamai ‫ﺯﻭﺝ‬
dan istri pun demikian.67
Beberapa pakar tafsir yang belum disebut dalam tafsir al-Mishbah,
tampaknya telah disebut oleh Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya
Wa wasan Al-Qur'an yang menyatakan, "Banyak sekali pakar tafsir yang
memahami kata nafs dengan Adam, seperti Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir,
Al-Qurthubi, Al-Biqa'i , Abu As-Su'ud, dan lain lain. Bahkan At-Tabarsi, salah
seorang ulama tafsir bermazhab Syi'ah (Abad ke-6 H.) mengemukakan dalam
tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan
Adam."68
Dalam buku karya terbaru Muhammad Quraish Shihab yang berjudul
Perempuan, dia mengakui ada bias jender bagi mufasir klasik seperti yang
disebutkannya,
Bahwa asal kejadian perempuan berbeda dari asal kejadian lelaki.
Pandangan ini bersumber dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori,
Muslim dan al-Turmudzi melalui Abu Hurairah yang intinya, ”Saling
memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.” Hadis ini dipahami oleh
ulama terdahulu secara harfiah, namun tidak sedikit ulama
kontemporer memahaminya secara metaforis, bahkan ada yang
menolak kesahehannya.69
Dalam buku ini sikap Muhammad Quraish Shihab persis sama seperti
yang diungkapkan dalam buku Membumikan Al-Qur ’an dan juga dalam Tafsir
al-Mishbah. Dari sini kita dapat melihat bahwa Muhammad Quraish Shihab
menggunakan metode muqaran yaitu membandingkan antara para mufasir
67
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 316
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, (selanjutnya tertulis Wawasan alQur ’an ) (Bandung: Mizan, 1996), h. 299
69
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, (selanjutnya tertulis Perempuan) (Ciputat:
Ledntera Hati, 2005), h. 40
68
140
klasik dan kontemporer, lalu dia cenderung
pada penafsiran mufasir
kontemporer, walaupun dia tetap mengakui hadis penciptaan perempuan
tersebut. Artinya Muhammad Quraish Shihab mengakui adanya penyimpangan
penafsiran ayat-ayat jender, tapi bukan berarti ayat-ayat al-Qur’an itu bias
jender, tapi mufasirnya yang bias jender.
Penulis setuju dengan pernyataan Rasyid Ridha yang dikutip oleh
Muhammad Quraish Shihab di atas, karena antara hadis tentang penciptaan
perempuan dari tulang rusuk Adam, mirip dengan cerita yang terdapat dalam
Perjanjian Lama dalam Kitab Kejadian II ayat 21-22 di atas.
Namun, penulis melihat Muhammad Quraish Shihab kurang tegas
sikapnya terhadap hadis yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang
rusuk Adam. Dari satu sisi dia menolak dengan merujuk pendapat Sayyid
Muhammad Ridho di atas, dari sisi lain dia menerima hadis yang menyatakan
bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Namun demikian, dia tidak
setuju dengan penafsiran secara harfiyah, tapi dia menghendaki dengan
penafsiran metaforis.
Kemudian penulis mencoba merujuk kitab Perjanjian Lama yang
diterbitkan oleh Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta tahun 1997 ayat 21-23
yang berbunyi,
Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia
tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu
menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan
Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan lalu dibawaNya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu, 'Inilah dia, tulang
dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan,
sebab ia diambil dari laki-laki.70
70
Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta, Al-Kitab (Perjanjian Lama), (Jakarta: Lembaga alKitab Indonesia, 1997), Cet. Ke-155, h. 2
141
Cerita tersebut mirip dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Thabari
dalam kitab tafsirnya:
‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺳﺒﺎﻁ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺪﻯ‬: ‫ ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﲪﺎﺩ ﻗﺎﻝ‬: ‫ﺣﺪﺛﲎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﻫﺮﻭﻥ ﻗﺎﻝ‬
‫ ﺍﺳﻜﻦ ﺁﺩﻡ ﺍﳉﻨﺔ ﻓﻜﺎﻥ ﳝﺸﻰ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﺣﺸﺎ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺯﻭﺝ ﻳﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻓﻨﺎﻡ ﻧﻮﻣﺔ‬:‫ﻗﺎﻝ‬
‫ ﺍﻣﺮﺃﺓ‬: ‫ﻓﺎﺳﺘﻴﻘﻆ ﻓﺎﺫﺍ ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺳﻪ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻗﺎﻋﺪﺓ ﺧﻠﻘﻬﺎ ﺍﷲ ﻣﻦ ﺿﻠﻌﻪ ﻓﺴﺄﳍﺎ ﻣﺎ ﺍﻧﺖ؟ ﻗﺎﻟﺖ‬
٧١
‫ ﻭﳌﺎ ﺧﻠﻘﺖ ؟ ﻗﺎﻟﺖ " ﺗﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ‬: ‫ﻗﺎﻝ‬
Musa Bin Harun menceritakan kepada saya, dia berkata, ”Amr Bin
Hamad memberitakan kepada kami, dia berkata, 'Asbath dari alSaddi telah berkata, 'Adam bertempat tinggal di surga, lalu dia
berjalan di dalam surga dalam kondisi kesepian yang tidak punya istri
yang dia cenderung padanya, lalu dia tidur nyenyak, lalu bangun, tiba
tiba di atas kepala dia ada seorang perempuan yang sedang duduk
yang diciptakan Allah dari tulang rusuknya, lalu dia bertanya, 'Ada
apa engkau?' Dia menjawab, 'saya seorang perempuan. Adam
bertanya, 'Untuk apa kamu diciptakan?', Dia menjawab, 'Agar kamu
cenderung kepadanya ".
– ‫ ﺍﻟﻘﻰ ﻋﻠﻰ ﺁﺩﻡ ﺻﻠﻌﻢ ﺍﻟﺴﻨﺔ‬: ‫ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﺳﺤﻖ ﻗﺎﻝ‬: ‫ﺣﺪﺛﻨﺎﺍﺑﻦ ﲪﻴﺪ ﻗﺎﻝ‬
‫ﻓﻴﻤﺎﺑﻠﻐﻨﺎﻋﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺘﻮﺭﺍﺓ ﻭ ﻏﲑﻫﻢ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ‬
‫ﻭ ﻏﲑﻩ ﰒ ﺍﺧﺬ ﺿﻠﻌﺎ ﻣﻦ ﺿﻼﻋﻪ ﻣﻦ ﺷﻘﻪ ﺍﻻﻳﺴﺮ ﻭﻷﻡ ﻣﻜﺎﻧﻪ ﻭﺁﺩﻡ ﻧﺎﺋﻢ ﱂ ﻳﻬﺐ ﻣﻦ ﻧﻮﻣﺘﻪ‬
‫ﺣﱴ ﺧﻠﻖ ﺍﷲ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭ ﺗﻌﺎﱃ ﻣﻦ ﺿﻠﻌﻪ ﺗﻠﻚ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﺣﻮﺍﺀ ﻓﺴﻮﺍﻫﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻟﻴﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻓﻠﻤﺎ‬
‫ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﺰﻋﻤﻮﻥ ﻭﺍﷲ ﺍﻋﻠﻢ ﳊﻤﻰ‬: ‫ﻛﺸﻔﺖ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﻫﺐ ﻣﻦ ﻧﻮﻣﺘﻪ ﺭﺁﻫﺎ ﺍﱃ ﺟﻨﺒﻪ ﻓﻘﺎﻝ‬
٧٢
‫ﻭ ﺩﻣﻰ ﻭ ﺯﻭﺟﱴ ﻓﺴﻜﻦ ﺍﻟﻴﻬﺎ‬
”Ibnu Hamid telah berkata, 'Salmah dari Ibnu Ishak menceritakan
kepada kami. Dia berkata, 'Adam mengantuk, di mana berita itu
sampai kepada kami dari Ahlu al-Kitab dari Ahli Taurat dan Ahli Ilmu
lainnya. Dari Abdillah Bin al-Abbas dan yang lainnya. Kemudian
Allah mengambil salah satu tulang rusuk Adam dari sebelah kiri, di
mana Adam sedang tidur, yang belum bangun dari tidurnya, Allah swt.
menciptakan Istri Adam dari tulang rusuk Adam yaitu Hawa, lalu
Allah menyempurnakannya menjadi seorang perempuan, agar Adam
71
Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari/Jami al-Bayân fî Ta ’wîl
al-Qur ’an,(selanjutnya tertulis Tafsir al-Thabari) (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Cet. III,
Jilid III, h. 566
72
Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari…, h. 566
142
menjadi tenang hatinya kepadanya, ketika mengantuknya hilang,
Adam bangun dari tempat tidurnya, dia melihat perempuan itu berada
di sampingnya, lalu Adam berkata, 'Pada apa yang mereka duga Hanya
Allah yang tau, dagingku, darahku dan istriku, lalu dia menjadi
tentram bersamanya.'"
Berdasarkan cerita yang terdapat dalam Perjanjian Lama dengan hadis
tentang penciptaan perempuan khususnya yang diriwayatkan oleh al-Thabari di
atas, penulis mencoba untuk mengkritisi hadis-hadis tentang penciptaan
perempuan.
Muhammad Abduh dan Abu Muslim mengkritik hadis-hadis tentang
perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam dengan mengatakan, ”Bahwa
Allah mampu menciptakan Adam dan Hawa dari tanah, lalu apa manfaatnya,
bahwa Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam.73
Semestinya Muhammad Quraish Shihab mengkritisi hadis-hadis tentang
penciptaan perempuan, atau karena hadis itu diriwayatkan oleh Bukhori yang
terkenal ketat dalam persyaratan kesahihan hadis sehingga para ulama hadis
menilai kitab Bukhori sebagai peringkat pertama dalam kitab-kitab hadis sahih,
sehingga Muhammad Quraish Shihab menganggap tidak perlu diteliti.
Namun demikian seyogyanya dia harus membandingkan antara hadishadis sahih yang berkaitan dengan penciptaan perempuan. Karena banyak
hadis- hadis sahih yang maknanya berbeda dalam satu masalah, seperti tentang
penulisan hadis. Dalam satu riwayat Nabi melarang menulis hadis, sedangkan
pada riwayat lain Nabi memerintahkan untuk menulis hadis. Dalam ilmu hadis
hal seperti ini disebut Mukhtalaf al-Hadis. Begitu juga hadis tentang
penciptaan perempuan beragam redaksinya dan berbeda maknanya. Contoh
73
Al-Imam Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir al-Qur'an al-Hakim (Tafsir al-Mannar),
(Bairut: Daar al-Ilmiyah, 1999), Cet. I, Jilid 4, h. 270
143
hadis-hadis sahih yang maknanya menyebutkan bahwa perempuan diciptakan
dari tulang rusuk Adam yaitu:
‫ﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ﺴ‬‫ﻴ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﺓﹶ ﻋ‬‫ﺍﺋِﺪ‬‫ ﺯ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻠِﻲ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺍﻡٍ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺣ‬‫ ﺣِﺰ‬‫ﻦ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻮﺳ‬‫ﻣ‬‫ﺐٍ ﻭ‬‫ﻳ‬‫ﻮ ﻛﹸﺮ‬‫ﺎ ﺃﹶﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ ِﻪ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ ﻗﹶﺎ ﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬‫ﻪ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺿِﻲ‬‫ﺓﹶ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺯِﻡٍ ﻋ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﻌِﻲ‬‫ﺠ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹶﺷ‬
‫ ﻓﹶﺈِﻥﹾ‬‫ﻠﹶﺎﻩ‬‫ﻠﹶﻊِ ﺃﹶﻋ‬‫ﺀٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻀ‬‫ﻲ‬‫ ﺷ‬‫ﺝ‬‫ﻮ‬‫ﺇِﻥﱠ ﺃﹶﻋ‬‫ ﺿِﻠﹶﻊٍ ﻭ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻠِﻘﹶﺖ‬‫ﺃﹶﺓﹶ ﺧ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺀِ ﻓﹶﺈِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺴ‬‫ﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻨ‬‫ﺻ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﺳ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻭ‬
٧٤
‫ﺎﺀِ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬‫ﺴ‬‫ﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻨ‬‫ﺻ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ ﻓﹶﺎﺳ‬‫ﺝ‬‫ﻮ‬‫ﻝﹾ ﺃﹶﻋ‬‫ﺰ‬‫ ﻳ‬‫ ﻟﹶﻢ‬‫ﻪ‬‫ﻛﹾﺘ‬‫ﺮ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ﺗ‬‫ﺮ‬‫ ﻛﹶﺴ‬‫ﻪ‬‫ﻘِﻴﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﺫﹶﻫ‬
"Abu Kuraib dan Musa Ibnu Hizam menceritakan kepada kami,
keduanya berkata, "Husain Ibnu Ali menceritakan kepada kami dari
Zaidah, dari Maisarah al-Asyja’i, dari Abi Hazim, dari Abi Hurairah
r.a. Berkata, 'Rasulullah saw. telah bersabda, 'Berwasiatlah kepada
para perempuan. Sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang
rusuk yang bengkok, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah
tulang rusuk yang ada paling atas, jika kamu ingin meluruskannya,
maka kamu akan mematahkannya, dan jika kamu biarkan, maka tulang
rusuk itu tetap bengkok, maka berwasiatlah kepada para perempuan."
(H.R. Bukhari)
ِ‫ﺎﺩ‬‫ﻧ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ﺎﻥﹸ ﻋ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ ﺣ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﻦِ ﺃﹶﺑِﻲ ﻋ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻔﹾﻆﹸ ﻟِﺎﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺍﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻗِﺪ‬‫ﻭ ﺍﻟﻨ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﻦ‬ ِ‫ ﻣ‬‫ﻠِﻘﹶﺖ‬‫ﺃﹶﺓﹶ ﺧ‬‫ﺮ‬‫ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻪِ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ﺝِ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺫﹶﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﺝ‬‫ﺎ ﻋِﻮ‬‫ﺑِﻬ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ ﺑِﻬ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﺳ‬‫ ﺑِﻬ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﻠﹶﻰ ﻃﹶﺮِﻳﻘﹶﺔٍ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺍﺳ‬‫ ﻋ‬‫ ﻟﹶﻚ‬‫ﻘِﻴﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﺗ‬‫ﺿِﻠﹶﻊٍ ﻟﹶﻦ‬
٧٥
‫ﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬‫ﺎ ﻃﹶﻠﹶﺎﻗﹸﻬ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﻛﹶﺴ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﺗ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﻛﹶﺴ‬‫ﻬ‬‫ﻘِﻴﻤ‬‫ﺗ‬
”Amr al-Naqid dan Ibnu Abi Umar menceritakan kepada kami
sedangkan lafazhnya dari Ibnu Abi Umar keduanya telah berkata,
”Sufyan telah menceritakan kepada kami dari Abi al-Zinad dari al‘Araj dari Abi Hurairah telah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda,
”Bahwa perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok
yang kamu tidak akan bisa meluruskannya hanya dengan satu cara,
maka jika kamu meminta untuk menikmati perempuan itu, maka kamu
dapat menikmatinya dengan kondisi bengkok, dan jika kamu berusaha
meluruskan tulang rusuk yang bengkok itu, maka kamu akan
74
CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab
al-Bukhari, Nomor. 3084
75
CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab
Muslim, Nomor. 2670
144
mematahkannya, mematahkan tulang rusuk artinya menceraikan
perempuan itu." (H.R. Muslim)
‫ﻦ‬‫ﺝِ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ﻦِ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋ‬‫ﺎﺩِ ﻋ‬‫ﻧ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ﺎﻥﹸ ﻋ‬‫ﻔﹾﻴ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﺎﺭِﻱ‬‫ﻦِ ﺍﻟﺬﱢﻣ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ﺪِ ﺍﻟﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻠِﻚِ ﺑ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﻠﹶﻰ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻘِﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﺿِﻠﹶﻊٍ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﻠِﻘﹾﻦ‬‫ﺎﺀَ ﺧ‬‫ﺴ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻪِ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺒِﻲ‬‫ﺓﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺃﹶﺑِﻲ ﻫ‬
٧٦
‫ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪ‬‫ﺝ‬‫ﺎ ﻋِﻮ‬‫ﻓِﻴﻬ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ ﺑِﻬ‬‫ﺘِﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻛﹾﻬ‬‫ﺮ‬‫ﺘ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻫ‬‫ﻜﹾﺴِﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻬ‬‫ﻘِﻤ‬‫ﻠِﻴﻘﹶﺔٍ ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ﺧ‬
Artinya: ”Abdu al-Malik Ibnu Abdi al-Rahman al-Dimari
menceritakan kepada kami, Sufyan memebritahukan kepada kami dari
Abi al-Zinad, dari al-‘Araj dari Abi Hurairah, bahwa Nabi saw. telah
bersabda, ”Bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok yang tidak dapat diluruskan sesuai dengan bentuknya, jika
kamu berusaha meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya, dan
jika kamu biarkannya, maka kamu akan menikmatinya dalam kondisi
bengkok." (H.R.Ahmad)
‫ﻦ‬ ‫ﻠﹶﺎﺀِ ﻋ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺮِﻱ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺭِﺙِ ﺣ‬‫ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﻗﹶﺎﺷِﻲ‬‫ﺪِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺍﻟﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬
‫ ﻣِﻦ‬‫ﻠِﻘﹶﺖ‬‫ﺃﹶﺓﹶ ﺧ‬‫ﺮ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻪِ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ ﺃﹶﻥﱠ ﺭ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﺫﹶﺭ‬‫ﻦ‬‫ﺐٍ ﻋ‬‫ﻨ‬‫ﻦِ ﻗﹶﻌ‬‫ﻢِ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﻌ‬‫ﻧ‬
٧٧
‫ﺔﹰ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻰ‬‫ﻠﹾﻐ‬‫ﺑ‬‫ﺍ ﻭ‬‫ﺩ‬‫ﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ﺎ ﻓﹶﺈِﻥﱠ ﻓِﻴﻬ‬‫ﺍﺭِﻫ‬‫ﺎ ﻓﹶﺪ‬‫ﻬ‬‫ﺗ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﻛﹶﺴ‬‫ﻬ‬‫ﻘِﻤ‬‫ﺿِﻠﹶﻊٍ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺗ‬
”Muhammad Bin Abdullah al-Raqasyi telah memberitakan kepada
kami, Abdu al-Warits menceritakan kepada kami, al-Jurairiy
menceritakan kepada kami dari Abi al-‘Ala, dari Nuaim Bin Qa’nab,
dari Abi Dar, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, ”Bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, jika kamu
meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya, maka biarkanlah
dia, sesungguhnya kebengkokan itu sudah melekat padanya." (H.R.
Darimi)
Keempat hadis tersebut dan juga hadis hadis sahih lainya yang
berkaitan dengan penciptaan perempuan tidak ada satu hadispun menyebut
langsung tulang rusuk Adam, tapi hanya menyebut tulang rusuk, dan tidak ada
76
CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab
Musnad Ahmad Bin Hanbal , Nomor. 10044
77
CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab
al-Dârimi, Nomor. 2124
145
satu hadispun tentang penciptaan perempuan menyebutkan nama Hawa, tapi
hanya menyebut kata ‫ﺍﳌﺮﺃﺓ‬
Begitu juga tidak ada petunjuk al-Qur’an yang mengarah kepada
tulang rusuk Adam, bahkan penulis menemukan beberapa hadis sahih yang
redaksinya berbeda dengan hadis yang biasa disampaikan para ulama selama
ini yaitu:
‫ ﺃﹶﺑِﻲ‬‫ﻦ‬‫ﺝِ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺩِ ﻋ‬‫ﻧ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﻟِﻚ‬‫ﺛﹶﻨِﻲ ﻣ‬‫ﺪ‬‫ﺪِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺣ‬‫ﺒ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺰِﻳﺰِ ﺑ‬‫ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﺇِﻥﹾ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﺗ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﻛﹶﺴ‬‫ﻬ‬‫ﺘ‬‫ﻠﹶﻊِ ﺇِﻥﹾ ﺃﹶﻗﹶﻤ‬‫ﺃﹶﺓﹸ ﻛﹶﺎﻟﻀ‬‫ﺮ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻪِ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ﺓﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﻫ‬
٧٨
(‫ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬‫ﺝ‬‫ﺎ ﻋِﻮ‬‫ﻓِﻴﻬ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ ﺑِﻬ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﺳ‬‫ ﺑِﻬ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺳ‬
”Abdul Aziz bin Abdullah menceritakan kepada kami, dia
berkata:”Malik menceritakan kepada saya dari Abi al-Zinad dari al‘Araj dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw telah bersabda,
”Perempuan itu bagaikan tulang rusuk yang bengkok, jika kamu
luruskan tulang rusuk itu, maka kamu akan mematahkannya, dan jika
kamu meminta untuk menikmatinya, maka kamu akan menikmatinya
perempuan itu dalam kondisi bengkok." (H.R.al-Bukhari)
‫ﺛﹶﻨِﻲ‬‫ﺪ‬‫ﺎﺏٍ ﺣ‬‫ﻦِ ﺷِﻬ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺲ‬‫ﻮﻧ‬‫ﻧِﻲ ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺐٍ ﺃﹶﺧ‬‫ﻫ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻰ ﺃﹶﺧ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻠﹶﺔﹸ ﺑ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺛﹶﻨِﻲ ﺣ‬‫ﺪ‬‫ﻭ ﺣ‬
‫ﺃﹶﺓﹶ‬‫ﺮ‬‫ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻪِ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ﺐِ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﺍﺑ‬
ِ‫ﺛﹶﻨِﻴﻪ‬‫ﺪ‬‫ ﻭ ﺣ‬‫ﺝ‬‫ﺎ ﻋِﻮ‬‫ﻓِﻴﻬ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ ﺑِﻬ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﺳ‬‫ﻬ‬‫ﻛﹾﺘ‬‫ﺮ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﺗ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﻛﹶﺴ‬‫ﻬ‬‫ﻘِﻴﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﻠﹶﻊِ ﺇِﺫﹶﺍ ﺫﹶﻫ‬‫ﻛﹶﺎﻟﻀ‬
‫ﻦِ ﺃﹶﺧِﻲ‬‫ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ﺪٍ ﻋ‬‫ﻌ‬‫ﻦِ ﺳ‬‫ ﺑ‬‫ﺍﻫِﻴﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻦِ ﺇِﺑ‬‫ ﺑ‬‫ﻘﹸﻮﺏ‬‫ﻌ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ﺪٍ ﻛِﻠﹶﺎﻫ‬‫ﻴ‬‫ﻤ‬‫ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﻋ‬‫ﺏٍ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻫ‬‫ﺯ‬
٧٩
(‫ﺍﺀً )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬‫ﻮ‬‫ ﺳ‬‫ﺎﺩِ ﻣِﺜﹾﻠﹶﻪ‬‫ﻨ‬‫ﺬﹶﺍ ﺍﻟﹾﺈِﺳ‬‫ﻪِ ﺑِﻬ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺮِﻱ‬‫ﻫ‬‫ﺍﻟﺰ‬
”Harmalah Bin Yahya telah menceritakan kepada saya, Ibnu Wahab
telah memberitahukan kepada kami, Yunus telah memberitakan
kepada saya dari Ibnu Syihab, Ibnu Musayyab menceritakan kepada
saya dari Abi Hurairah telah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda,
”Bahwa perempuan itu bagaikan tulang rusuk yang bengkok, jika
78
CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab
al-Bukhari , Nomor. 4786
79
CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab
Shaheh Muslim, Nomor. 2669
146
kamu berusaha meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya, jika
kamu biarkannya, maka kamu akan menikmati perempuan itu dalam
kondisi bengkok. Dan Zuhair Bin Harb dan Abdu Bin Humaid
keduanya menceritakan kepada saya dari Ya’qub Bin Ibrahim Bin
Saad dari anak saudaraku yaitu al-Zuhri dari pamannya dengan sanad
yang sama.'" (H.R.Muslim)
ٍ ‫ﺎ‬‫ﻦِ ﺷِﻬ‬‫ ﺃﹶﺧِﻲ ﺍﺑ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﺍﺑ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺪٍ ﺣ‬‫ﻌ‬‫ﻦِ ﺳ‬‫ ﺑ‬‫ﺍﻫِﻴﻢ‬‫ﺮ‬‫ ﺇِﺑ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﻘﹸﻮﺏ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺎﺩٍ ﺣ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﺯِﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﺒ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﺏ‬
‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻪِ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ﺐِ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ﺴ‬‫ﻦِ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻌِﻴﺪِ ﺑ‬‫ ﺳ‬‫ﻦ‬‫ﻪِ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
‫ﺝٍ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﻠﹶﻰ ﻋِﻮ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ ﺑِﻬ‬‫ﺖ‬‫ﻌ‬‫ﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺎ ﺍﺳ‬‫ﻬ‬‫ﻛﹾﺘ‬‫ﺮ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﺗ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﻛﹶﺴ‬‫ﻬ‬‫ﻘِﻴﻤ‬‫ ﺗ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﻠﹶﻊِ ﺇِﻥﹾ ﺫﹶﻫ‬‫ﺃﹶﺓﹶ ﻛﹶﺎﻟﻀ‬‫ﺮ‬‫ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻤ‬
‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ﺪِﻳﺚﹲ ﺣ‬‫ﺓﹶ ﺣ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ﺪِﻳﺚﹸ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫ‬‫ﻰ ﺣ‬‫ﻮ ﻋِﻴﺴ‬‫ﺔﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑ‬‫ﺎﺋِﺸ‬‫ﻋ‬‫ﺓﹶ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻤ‬‫ﺳ‬‫ ﻭ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﺫﹶﺭ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺏ ﻋ‬‫ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ﻭ‬
٨٠
(‫ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ‬‫ﺪ‬‫ﻴ‬‫ ﺟ‬‫ﻩ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻨ‬‫ﺇِﺳ‬‫ﻪِ ﻭ‬‫ﺟ‬‫ﺬﹶﺍ ﺍﻟﹾﻮ‬‫ ﻫ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ ﻏﹶﺮِﻳﺐ‬‫ﺤِﻴﺢ‬‫ﺻ‬
”Abdullah Bin Abi Ziyad telah menceritakan kepada kami, Ya’qub
Bin Ibrahim Bin Saad telah menceritakan kepada kami, anak
saudaraku Ibnu Syihab menceritakan kepada kami dari pamannya, dari
Sa’id Bin al-Musayyab dari Abi Hurairah telah berkata, Rasulullah
saw. telah bersabda, ”Bahwa perempuan bagaikan tulang rusuk yang
bengkok, jika kamu meluruskannya, maka kamu akan
mematahkannya, jika kamu biarkannya, kamu akan menikmatinya
dalam kondisi bengkok. Dia mengatakan pada suatu bab dari Abi Dar,
Samrah, dan Aisyah. Abu Isa mengatakan, 'Hadis Abu Hurairah ini
termasuk hadis hasan shohih garib dari segi ini, dan sanadnya jayyid.'"
(H.R.al-Turmudzi)
‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ﺙﹸ ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺤ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﻳ‬‫ﺖ‬‫ﻤِﻌ‬‫ﻠﹶﺎﻥﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳ‬‫ﺠ‬‫ﻦِ ﻋ‬‫ﻦِ ﺍﺑ‬‫ﻰ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
ِ‫ ﺑِﻪ‬‫ﺘِﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﺗ‬‫ﻛﹾﻪ‬‫ﺮ‬‫ﺘ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻩ‬‫ﻜﹾﺴِﺮ‬‫ﺘِﻪِ ﺗ‬‫ﻠﹶﻰ ﺇِﻗﹶﺎﻣ‬‫ ﻋ‬‫ﺮِﺹ‬‫ﺤ‬‫ﻠﹶﻊِ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺗ‬‫ﺃﹶﺓﹸ ﻛﹶﺎﻟﻀ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻪِ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺻ‬
٨١
( ‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﲪﺪ‬‫ﺝ‬‫ﻓِﻴﻪِ ﻋِﻮ‬‫ﻭ‬
”Yahya menceritakan kepada kami dari Ibnu ‘Ajlan telah
berkata:”Saya telah mendengar Ayahku menceritakan dari Abu
Hurairah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, perempuan itu
bagaikan tulang rusuk yang bengkok, jika kamu berusaha keras untuk
meluruskannya, kamu akan mematahkannya, jika kamu biarkannya,
80
CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab
Sunan al-Turmudzi , Nomor. 1109
81
CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab
Musnad Ahmad Bin Hanbal , Nomor. 9159
147
maka kamu akan dapat menikmatinya dalam kondisi bengkok.'" (H.R.
Ahmad)
‫ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻳ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﻫ‬‫ﻦ‬‫ﺝِ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ ﺍﻟﹾﺄﹶﻋ‬‫ﻦ‬‫ﺎﺩِ ﻋ‬‫ﻧ‬‫ ﺃﹶﺑِﻲ ﺍﻟﺰ‬‫ﻦ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﻟِﻚ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻠﹶﺪٍ ﺣ‬‫ﺨ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﻟِﺪ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ﻧ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﺃﹶﺧ‬
‫ﺘِﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻫ‬‫ﻜﹾﺴِﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻬ‬‫ﻘِﻤ‬‫ﻠﹶﻊِ ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ﺃﹶﺓﹸ ﻛﹶﺎﻟﻀ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻤ‬‫ﻢ ﺇِﻧ‬ ‫ﻠﱠ‬‫ﺳ‬‫ﻪِ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﻝﹸ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬
٨٢
(‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻰ‬‫ﺝ‬‫ﺎ ﻋِﻮ‬‫ﻓِﻴﻬ‬‫ ﻭ‬‫ﺘِﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ﺗ‬
”Khalid Bin Makhlad telah menceritakan kepada kami, Malik telah
menceritakan kepada kami dari Abi al-Jinad, dari al-‘Araj dari Abi
Hurairah telah berkata, Rosulullah saw. telah bersabda, Bahwa
perempuan itu bagaikan tulang rusuk, jika kamu meluruskannya, maka
kamu akan mematahkannya, dan jika kamu meminta untuk
menikmatinya, maka kamu akan menikmatinya dalam kondisi
bengkok.'" (H.R. Darimi).
Kelima hadis di atas semuanya hadis sahih, karena para perawinya
cukup berkualitas dan tidak ada yang jarh (cacat), kemudian sanadnya
bersambung sampai Rasulullah, karena tidak ada yang putus.
Kelima hadis tersebut tidak menyebutkan, bahwa perempuan (Hawa)
diciptakan dari tulang rusuk Adam, tapi hanya menyebutkan, bahwa
perempuan bagaikan tulang rusuk. Artinya bahwa perempuan itu memiliki
sifat-sifat yang ada pada tulang rusuk. Karena 5 hadis tersebut dalam ilmu
bahasa disebut tasybîh (penyerupaan). Sedangkan tasybîh menurut ilmu
balaghah adalah
‫ﺍﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ﺍﺻﻄﻼﺣﺎ ﻋﻘﺪ ﳑﺎﺛﻠﺔ ﺑﲔ ﺍﻣﺮﻳﻦ ﺍﻭ ﺍﻛﺜﺮ ﻗﺼﺪ ﺍﺷﺘﺮﺍﻛﻬﻤﺎ ﰱ ﺻﻔﺔ ﺍﻭ ﺍﻛﺜﺮ ﺑﺄﺩﺍﺓ‬
83
‫ﻟﻐﺮﺽ ﻳﻘﺼﺪﻩ ﺍﳌﺘﻜﻠﻢ‬
”Tasybih menurut istilah adalah melakukan penyerupaan antara dua
hal atau lebih, dimaksudkan ada kesamaan diantara keduanya dalam
82
CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab
Sunan al-Dârimi , Nomor. 2125
83
Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah Fî al-Ma ’âni Wa al-Bayân Wa al-Badî’,
(Bairut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 214
148
satu sifat atau lebih dengan menggunakan huruf tasybih untuk tujuan
yang dikehendaki oleh orang yang berbicara."
Jadi, penulis sangat setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa
"Hadis yang mengatakan, bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk,
harus diartikan secara metaforis, bukan makna hakiki. Bahkan hadis-hadis
tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam dianggap kurang tepat
matannya."
Karena hadis tersebut termasuk mukhtalaf al-hadîst, sehingga para
ulama hadis, jika menemukan dua atau lebih hadis sahih yang berbeda
matannya, maka harus ditempuh 4 cara yaitu:
1. Jika mungkin dapat dikompromikan, maka perlu dikompromikan dan
keduanya dapat diterapkan.
2. Jika dapat diketahui mana yang dahulu dan mana yang belakangan, maka
yang datang belakangan dapat menghapus hukum sebelumnya.
3. Jika tidak diketahui mana yang dahulu dan mana yang belakangan, maka
dapat dilakukan tarjîh
4. Jika tidak dapat dilakukan dengan tiga cara tersebut, maka kita tawaqquf
(tidak diamalkan keduanya). 84
Mengenai hadis-hadis penciptaan perempuan di atas, penulis
cenderung untuk mentarjîh, yaitu perempuan tidak diciptakan dari tulang rusuk
Adam, melainkan perempuan diciptakan bagaikan tulang rusuk. Karena bila
keempat hadis di atas diartikan dengan harfiah (teks), maka kelima hadis di
atas tidak dapat diterapkan, tapi bila diartikan secara metaforis, maka antara
keempat dan kelima hadis tersebut dapat diterapkan.
84
Mahmud al-Thahhan, Taisîr Mushthalah al-Hadîs, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 47
149
Hal ini sejalan dengan Abdulkarim al-Khathab yang menyatakan,
”Manusia baik yang ada sekarang maupun yang akan muncul adalah buah dari
benih yang satu. Kemudian Allah meniupkan ruh pada benih tersebut, lalu
benih itu menumbuhkan buah yang banyak yang bermacam-macam bentuk.
Dari benih atau materi yang sama diciptakan istrinya untuk Adam dalam
rangka menyempurnakan keberadaan Adam.85
Sebuah cerita yang mengatakan bahwa, ”Hawa diciptakan dari tulang
rusuk Adam adalah cerita fiktif, namun sebahagian besar ulama tafsir
mengutipnya, lalu mereka memahami ayat ini dari cerita tersebut. Padahal ayat
itu tidak memberi pemahaman ini."
Bila kita melihat kata ‫ ﻭﺧﻠﻖ ﻣﻨﻬﺎ ﺯﻭﺟﻬﺎ‬maka kita akan menjumpai dhamir
(kata ganti) pada kata ‫ ﻣﻨﻬﺎ‬yang menunjuk pada kata ‫ ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬tidak bermaksud
bentuk manusia seperti Adam, melainkan merujuk pada materi yang tersedia
untuk menciptakan manusia. Dari materi itu Adam diciptakan dan dari materi
itu juga istrinya Hawa diciptakan untuk menyempurnakan keberadaan Adam
(Q.S. al-Naba/78: 8).
Hal ini bukan hanya menciptakan manusia semata, melainkan untuk
menciptakan makhluk hidup semuanya, seperti binatang dan tumbuhtumbuhan, dan siapa tahu juga untuk menciptakan benda mati (Q.S.alDzâriyât/51: 49 dan Q.S. al-Qaf/50: 7)… Apakah dari tulang rusuk laki-laki
perempuan diciptakan, tentu tidak masuk akal. Sesungguhnya ayat al-Qur’an
yang berbicara tentang laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan asal
penciptan diantara keduanya, bahkan menjadikan keduanya satu tabiat. Seperti
dipahami dari al-Qur'an Surat Ali Imrân/3 ayat 195 dan al-Qur'an Surat alQiyâmah/75 ayat 36-39. Ini isyarat yang nyata, bahwa manusia pada
85
Abdulkarim al-Khaththab, al-Tafsir al-Qur ’an Li al-Qur ’an, (selanjutnya tertulis alTafsir al-Qur ’an) (Bairut: Daar al-Fikr, t.t.), Jilid II., h 682
150
bentuknya diberi tabiat laki-laki dan perempuan artinya materi yang sama
untuk menciptakan laki-laki dan perempuan.86
Di atas terbaca kata lelaki disusul dengan kata banyak, sedang
perempuan tidak disertai dengan kata banyak. Aneka ragam kesan yang
diperoleh ulama dari redaksi itu. Kemudian Muhammad Quraish Shihab
mengutip Al-Biqa’i yang menyatakan bahwa,
"Walaupun sebenarnya
perempuan lebih banyak dari laki-laki, tetapi kata banyak yang menyusul kata
lelaki itu untuk mengisyaratkan bahwa lelaki memiliki derajat lebih tinggi.
(Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol.2, h.317)."87
Kemudian
Muhammad
Quraish
Shihab
mengutip
pendapat
Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, ”Sedang perempuan tinggal di rumah dan
mengurusnya agar rumah menjadi tempat yang tenang, sedang lelaki yang giat
bergerak di bumi ini, dan dengan demikian perempuan telah melaksanakan
tugasnya."88 Hal ini juga yang memperkuat bahwa kepemimpinan rumah
tangga ada di tangan suami yang akan dibicarakan pada sub bab berikutnya.
Memang kata
‫ ﺑـﺚ‬telah mengandung makna banyak, sehingga wajar
apabila dipertanyakan mengapa ada lagi kata banyak dan hanya dirangkaikan
dengan lelaki, tetapi kesan yang diperoleh oleh para ulama itu—sebagaimana
86
Abdulkarim al-Khaththab, al-Tafsir al-Qur ’an …,Jilid.II h. 682
Mereka lebih kuat dan lebih jelas kehadirannya di tengah masyarakat dibanding
perempuan. Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Fakhruddin al-Razi, sebelum
al-Biqa’i juga berpendapat serupa. Kata banyak yang menyifati lelaki- dan bukan kata wanita- karena
lelaki lebih populer, sehingga jumlah banyak mereka lebih jelas. Ini juga memberi peringatan tentang
apa yang wajar bagi lelaki yaitu keluar rumah menampakkan diri dan menjadi populer, sedang yang
wajar buat wanita adalah ketersembunyian dan kelemahlembutan. Begitu tulis al-Razi dan dikutip juga
oleh Muhammad Sayyid Thantawi. Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Syekh
Muhammad Mutawali al-Sya’rawi mempertegas pendapat di atas. Tulisnya, ”Penyebaran di bumi
seharusnya hanya khusus buat lelaki, karena Allah berfirman
( ١٠ :٦٢/ ‫ﻓﺎﺫﺍ ﻗﻀﻴﺖ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﺎﻧﺘﺸﺮﻭﺍ ﰱ ﺍﻻﺭﺽ ﻭﺍﺑﺘﻐﻮﺍ ﻣﻦ ﻓﻀﻞ ﺍﷲ ﻭﺍﺫﻛﺮﻭﺍ ﺍﷲ ﻛﺜﲑﺍ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮﻥ )ﺍﳉﻤﻌﺔ‬
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (Q.S. al-Jumu’ah/62: 10)
87
88
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah …, Vol.2. h. 317
151
halnya semua kesan—bersifat subjektif. Kita dapat menerima atau
menolaknya, apabila pakar-pakar bahasa menetapkan bahwa al-Qur’an
cenderung kepada penyingkatan redaksi. Karena kata mereka, walau di sini
tidak disebut kata banyak setelah penyebutan perempuan, tetapi sebenarnya
mereka pun banyak. Bahwa lelaki yang disifati demikian, karena lelaki yang
terlebih dahulu disebut. Penyebutannya lebih dahulu adalah wajar, karena dia
yang tercipta lebih dahulu, dan jenis kelamin anak cucunya akibat
pengembang-biakan itu ditentukan oleh gen lelaki. Baca tafsir ayat berikut:89
‫ﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻔﹸﺴِﻜﹸﻢ‬‫ﻮﺍ ﻟِﺄﹶﻧ‬‫ﻣ‬‫ﻗﹶﺪ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻰ ﺷِﺌﹾﺘ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﺛﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻮﺍ ﺣ‬‫ ﻓﹶﺄﹾﺗ‬‫ﺙﹲ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ ﺣ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺎﺅ‬‫ﻧِﺴ‬
(٢٢٣ :٢/‫ ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﻣِﻨِﲔ‬‫ﺆ‬‫ﺮِ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺸ‬‫ﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻠﹶﺎﻗﹸﻮﻩ‬‫ ﻣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻮﺍ ﺃﹶﻧ‬‫ﻠﹶﻤ‬‫ﺍﻋ‬‫ﻭ‬
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja
kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,
dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak
akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang
beriman. (Q.S. al-Baqarah/2: 223).
Zaitunah Subhan menyatakan,
Dari beberapa pandangan mufasir atau intelektual kontemporer di
atas dapat dianalisis bahwa pandangan pertama sepakat menyatakan
bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam karena berdasarkan kata
nafsun wahidah yang diyakini dengan makna Adam, sehingga kata minha
kembali pada kata ganti (dhomir) ha kepada Adam. Demikian pula kata
zaujaha, diyakini sebagai istri Adam yaitu Hawa, sedangkan Adam
sebagai penciptaan pertama. Walaupun dari segi bahasa kata nafsun
bersifat umum (bisa pria dan wanita). Jenis kata nafs ini, termasuk
muannats (dengan sifat yang muannats yaitu wahidah). Dhomir ha yang
merujuk muannats (artinya wanita), mengapa kembali ke Adam yang
diyakini pria.90
89
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah …,Vol. 2. h. 317
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur ’an, (selanjutnya
tertulis Tafsir Kebencian) (Yogyakarta: LKIS, 1999),h. 49
90
152
Pertanyaan Zaitunah Subhan adalah mengapa kembali ke Adam yang
diyakini pria, kurang tepat alasannya, karena ha dhamir itu memang tidak
langsung kepada Adam, tapi kepada kata nafs yang semua orang ahli bahasa
sepakat bahwa kata tersebut adalah muannats majâzi. Tentu tidak salah ha
dhamir tersebut kembali kepada kata nafs. Namun, jika yang dimaksud dengan
kata nafs itu adalah jiwa Adam, hal itu tidak terlalu salah, karena ha dhamir
pada kata zaujaha menunjuk kepada Adam, sebab para ulama sepakat bahwa
Hawa adalah istri Adam.
Analisis Zaitunah terhadap hadis Bukhari tentang Hawa diciptakan
dari tulang rusuk Adam tidak harus dipahami secara harfiah, dapat penulis
terima. Tetapi ketika dia menyatakan bahwa matan hadis Bukhari belum tentu
qath’iy wurud dalalahnya sehingga dia menolak hadis tersebut, juga kurang
bijaksana karena dia baru menduga tapi belum menelitinya.
Penulis menyimpulkan bahwa penafsiran Quraish Shihab tentang kata
‫ ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬cenderung pada pendapat minoritas ulama yang menyatakan bahwa
kata ‫ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬, adalah Adam dan kata ‫ ﺯﻭﺟﻬﺎ‬adalah Hawa. Tetapi dia tidak
sepakat bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam diartikan secara
harfiah, melainkan harus dipahami secara metaforis. Kemudian dia
menggunakan metode muqâran dengan memaparkan para ulama tafsir, baik
ulama klasik maupun ulama kontemporer. Dia juga menilai pendapat yang
menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari diri Adam adalah pendapat mayoritas
ulama, sedangkan yang berpendapat, bahwa Hawa diciptakan dari jenis yang
sama dengan Adam adalah pendapat minoritas. Kemudian dia juga
mengingatkan kepada pembaca, bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam, bukan berarti bahwa kedudukan kaum perempuan selain Hawa lebih
153
rendah dibanding lelaki, karena semua laki-laki dan perempuan lahir dari
gabungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Quraish
Shihab tidak menafikan hadis sahih tersebut, walaupun ada catatan-catatan.
Seperti tidak sependapat terhadap pernyataan, bahwa perempuan bagian dari
laki-laki, juga tidak sependapat bila hadis tersebut diartikan secara harfiah.
Ditinjau dari segi kemanusiaan lelaki dan perempuan tidak ada
bedanya. Tetapi Quraish Shihab memandang bahwa keduanya berbeda dari
segi fungsinya. Oleh karena itu Quraish Shihab menggambarkan lelaki dan
perempuan bagaikan jarum dan kain. Jarum harus lebih kuat dari pada kain dan
kain harus lebih lembut daripada jarum, agar kain dapat terjahit dengan baik.
Kemudian penulis mencoba membandingkan dengan tafsir yang belum
dirujuk oleh Quraish Shihab antara lain:
a. Tafsir al-Kasysyâf karya Zamakhsyari yang terkenal rasional dan beraliran
Mu'tazilah. Dia cenderung menafsirkan kata
‫ ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬adalah Adam dan
Adam diciptakan dari tanah, sedangkan Allah menciptakan istrinya (Hawa)
dari tulang rusuk Adam.91
b. Tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr karya Said Hawa sama halnya dengan pendapat
Zamakhsyari yang menafsirkan kata
‫ ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬yaitu Adam, sedangkan
Hawa, istri Adam, diciptakan dari tulang rusuk kiri Adam ketika Adam
sedang tidur. Pada saat Adam bangun, Adam melihat Hawa yang membuat
Adam kagum. Lalu Adam dan Hawa menjalin cinta kasih sehingga
melahirkan laki laki dan perempuan yang banyak.92
91
Abu al-Qaasim Jaru Allah Mahmud Bin Umar Bin Muhammad al-Zamakhsyari, alKasysyâf, (selanjutnya tertulis al-Kasysyâf) (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), Jilid I., h.451
92
Said Hawa , al-Asâs Fî al-Tafsîr, (selanjutnya tertulis al-Asâs Fî al-Tafsîr) (Cairo: Dâr
al-Salam, 1985), Jilid II., h. 984
154
c. Tafsir al-Marâghi karya Ahmad Mushthafa al-Maraghi tidak sejalan
dengan Zamakhsyari dan Said Hawa. Al-Maraghi mengutip pendapat
jumhur bahwa kata
‫ ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬adalah Adam. Mereka tidak mengambil ayat
ini, akan tetapi didasarkan pada pemahaman bahwa Adam adalah Abu alBasyar (bapak manusia)…Dia juga mengutip pendapat al-Ustadz al-Imam
(Muhammad Abduh), ”Bahwa zahir ayat menolak maksud kata
‫ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬
adalah Adam dengan dua alasan. Pertama, pembahasan ilmiyah dan
sejarah bertentangan dengan pendapat tersebut. Kedua,
menyebutkan kata
bahwa Allah
‫ ﺭﺟﺎﻻﻛﺜﲑﺍ ﻭ ﻧﺴﺎﺀ‬tidak mengatakan ‫ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬, akan
tetapi al-Qur’an tidak menafikan keyakinan ini dan tidak menetapkan
secara pasti tanpa adanya jalan takwil.93
Kemudian al-Maraghi mengambil kesimpulan, bahwa Allah telah
memperbanyak kalian dari satu jenis yang Allah ciptakan dari tanah dan
diciptakan dari tanah itu istrinya bernama Hawa. Hal ini didukung oleh
pendapat Abu Muslim al-Ashfihani, ”Bahwa makna
‫ ﻣﻨﻬﺎ‬adalah dari jenis
yang sama sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Rûm/30 ayat 21; Q.S. alTaubah/9: 128; dan Q.S.Ali Imrân/3: 164. Oleh karena itu tidak ada
perbedaan antara uslub-uslub ayat ini dan uslub-uslub ayat-ayat lain karena
makna semuanya adalah sama yaitu dari jenis yang sama. Orang yang
menetapkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam bukan
bersumber dari al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 1 dan ayat yang lainnya.94
d. Al-Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-Zuhaily. Al-Zuhaily sejalan dengan
para mufasir sebelumnya. Dia menjelaskan bahwa, ”Kata
93
‫ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî (selanjutnya tertulis Tafsir al-Maraghii)
(Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Halabi wa Awlâdih, 1974), Jilid IV, h. 175
94
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, al-Tafsîr al-Marâghî…, Jilid.IV. h. 177
155
adalah hanya Adam yang satu. Jika ada pendapat ada Adam-Adam yang
lain tentu bertentangan dengan al-Qur’an. Begitu juga maksud kata
‫ﺯﻭﺟﻬﺎ‬
adalah Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk kiri Adam."95
Orang yang menganggap Hawa diciptakan dari jenis yang sama
bertentangan dengan hadis sahih, karena Allah mampu menciptakan
makhluk hidup dari makhluk hidup tanpa melalui proses kelahiran
sebagaimana Allah mampu menciptakan makhluk hidup dari benda mati
(tanah).96
e. Tafsir Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-âyât Wa al-Suwar karya
Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Bin Umar al-Biqa’i. Al-Biqa'i tidak
Dia menyatakan bahwa, ”Kata
sejalan dengan al-Maraghi.
‫ﻧﻔﺲ ﻭﺍﺣﺪﺓ‬
adalah Adam sebagai jenis laki-laki yang diciptakan tanpa laki-laki dan
perempuan, kemudian kata
‫ ﺯﻭﺟﻬﺎ‬adalah Hawa sebagai jenis perempuan
yang diciptakan dari laki-laki tanpa perempuan, dan Isa dilahirkan dari
perempuan tanpa laki-laki."97
2. Penciptaan manusia setelah Adam dan Hawa
Penciptaan manusia setelah Adam dan Hawa dapat dirujuk pada
firman Allah
‫ﺍ ٍﺭ‬‫ﻄﹾﻔﹶﺔﹰ ﻓِﻲ ﻗﹶﺮ‬‫ ﻧ‬‫ﺎﻩ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﻌ‬‫ ﺟ‬‫(ﺛﹸﻢ‬١٢)ٍ‫ ﻃِﲔ‬‫ﻠﹶﺎﻟﹶﺔٍ ﻣِﻦ‬‫ﻦ ﺳ‬ ِ‫ﺎﻥﹶ ﻣ‬‫ﺴ‬‫ﺎ ﺍﻹِﻧ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ ﺧ‬‫ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ﻭ‬
‫ﺎ‬‫ﺔﹶ ﻋِﻈﹶﺎﻣ‬‫ﻐ‬‫ﻀ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﺔﹰ ﻓﹶﺨ‬‫ﻐ‬‫ﻀ‬‫ﻠﹶﻘﹶﺔﹶ ﻣ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﻠﹶﻘﹶﺔﹰ ﻓﹶﺨ‬‫ﻄﹾ ﹶﻔﺔﹶ ﻋ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ ﺧ‬‫(ﺛﹸﻢ‬١٣)ٍ‫ﻜِﲔ‬‫ﻣ‬
95
Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsîr al-Munîr, (selanjutnya tertulis al-Munîr) (Bairut: Dâr alFikr al-Mu’âshir, 1998), Juz 5, h. 223
96
Wahbah al-Zuhaily, al-Munîr…, Juz 5. h. 224
97
Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Bin Umar al-Biqa’i , Nudzum al-Durar fî Tanâsub alâyât wa al-Suwar, (selanjutnya tertulis Nudzum al-Durar) (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), Juz
2, h. 206
156
‫ﺎﻟِﻘِﲔ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻦ‬‫ﺴ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻙ‬‫ﺎﺭ‬‫ﺒ‬‫ ﻓﹶﺘ‬‫ﺮ‬‫ﻠﹾﻘﹰﺎ ﺀَﺍﺧ‬‫ ﺧ‬‫ﺎﻩ‬‫ﺄﹾﻧ‬‫ﺸ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﺎ ﺛﹸﻢ‬‫ﻤ‬‫ ﻟﹶﺤ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﻌِﻈﹶﺎﻡ‬‫ﻧ‬‫ﻮ‬‫ﻓﹶﻜﹶﺴ‬
(١٤ -١٢: ٢٣/‫)ﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥ‬
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Q.S.alMu'minûn/23:12-14) :
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Quraish Shihab menyebutkan ada
tujuh tahap proses kejadian manusia sehingga ia lahir di pentas bumi ini. Ayat
ini lebih kurang menyatakan bahwa,
Dan sesungguhnya Kami bersumpah bahwa Kami telah menciptakan
manusia, yakni jenis manusia yang kamu saksikan. Bermula dari suatu
saripati yang berasal dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya yakni
saripati itu nuthfah yang disimpan dalam tempat yang kokoh yakni rahim
ibu. Kemudian Kami ciptakan yakni jadikan nuthfah itu 'alaqah lalu Kami
ciptakan yakni jadikan 'alaqah itu mudhgah yang merupakan sesuatu yang
kecil sekerat daging, lalu Kami ciptakan yakni jadikan mudhghah itu
tulang belulang, lalu Kami bungkus tulang-belulang itu dengan daging,
kemudian Kami mewujudkannya yakni tulang yang terbungkus daging itu
menjadi—setelah Kami meniupkan ruh ciptaan Kami kepadanya—
makhluk lain daripada yang lain yang sepenuhnya berbeda dengan unsurunsur kejadiannya yang tersebut diatas bahkan berbeda dengan makhlukmakhluk lain. Maka Maha banyak lagi mantap keberkahan yang tercurah
dari Allah, Pencipta Yang Terbaik. Kemudian sesungguhnya kamu wahai
anak cucu Adam sekalian sesudah itu, yakni sesudah melalui proses
tersebut dan ketika kamu berada di pentas bumi ini dan melalui lagi proses
dari bayi, anak kecil, remaja, dewasa, tua, dan pikun, benar-benar kamu
akan mati baik pada masa pikun maupun sebelumnya. Kemudian setelah
kamu mati dan dikuburkan, sesunguhnya kamu sekalian pada hari kiamat
nanti akan dibangkitkan dari kubur kamu untuk dimintai
pertanggungjawaban, lalu masing-masing Kami beri balasan dan
ganjaran.98
98
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. IX., h. 165-166
157
Kemudian Quraish Shihab menjelaskan bahwa,
Berbeda-beda pendapat ulama tentang siapa yang dimaksud kata ‫ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ‬
pada ayat 12 di atas. Banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud
adalah Adam. Memang ayat selanjutnya menyatakan Kami menjadikannya
nuthfah, bukan Kami menjadikan keturunannya nuthfah. Ini—menurut
penganut pendapat diatas—tidak menjadi halangan, karena sudah demikian
populer bahwa anak keturunan Adam meliputi proses nuthfah, bagi yang
tidak menerima pendapat di atas, ada yang menyatakan bahwa kata ‫ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ‬
dimaksud adalah jenis manusia. Al-Biqa’i misalnya menulis bahwa kata
‫ ﺳﻼﻟﺔ ﻣﻦ ﻃﲔ‬adalah saripati dari tanah, merupakan tanah yang menjadi bahan
penciptaan Adam. Thaba Thaba’i juga berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan ‫ ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ‬tidak mungkin Adam. Sedangkan Thahir Ibnu Asyur,
walaupun membuka kemungkinan memahami kata ‫ ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ‬dalam arti Adam,
cenderung berpendapat bahwa kata ‫ ﺍﻻﻧﺴﺎﻥ‬yang dimaksud adalah putra putri
Adam as.Sari pati dari tanah itu menurutnya adalah apa yang diproduksi
oleh alat pencernaan dari bahan makanan yang kemudian menjadi darah,
yang kemudian berproses hingga ahirnya menjadi sperma ketika terjadi
hubungan seks. Nah, inilah yang dimaksud dengan saripati tanah karena ia
berasal dari makanan manusia—baik tumbuhan maupun hewan yang
bersumber dari tanah.99
Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa,
Apapun pendapat yang anda kuatkan, yang jelas kata ‫ ﺳﻼﻟﺔ‬terambil dari
kata ‫ ﺳﻞ‬yang antara lain berarti mengambil, mencabut. Patron kata ini
mengandung makna sedikit, sehingga kata ‫ ﺳﻼﻟﺔ‬berarti mengambil sedikit
dari tanah dan yang diambil itu adalah saripatinya. Kemudian kata ‫ﻧﻄﻔﺔ‬
dalam bahasa Arab berarti setetes yang dapat membasahi. Ada juga yang
memahami kata itu dalam arti hasil pertemuan seperma dan ovum.
Penggunaan kata ini menyangkut proses kejadian manusia sejalan dengan
penemuan ilmiah yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang
menyembur dari alat kelamin laki-laki mengandung sekitar dua ratus juta
benih manusia, sedangkan yang berhasil bertemu dengan indung telur
perempuan hanya satu saja. Kata ‫ ﻋﻠﻘﺔ‬terambil dari kata ‫ ﻋﻠﻖ‬dalam kamuskamus bahasa, kata itu diartikan dengan (a) segumpal darah yang
membeku, (b) sesuatu yang seperti cacing berwarna hitam, terdapat dalam
99
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. IX., h. 166
158
air, yang bila air itu diminum, cacing tersebut menyangkut di
kerongkongan, dan (c) sesuatu yang bergantung atau berdempet.100
Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa,
Dahulu kata tersebut dipahami dalam arti segumpal darah, tetapi
setelah kemajuan ilmu pengetahuan serta maraknya penelitian, para
embriolog enggan menafsirkannya dalam arti tersebut. Mereka lebih
cenderung memahaminya dalam arti sesuatu yang bergantung atau
berdempet di dinding rahim. Menurut mereka, setelah terjadi pembuahan
(nuthfah yang berada dalam rahim itu), maka terjadi proses di mana hasil
pembuahan itu menghasilkan zat baru, yang kemudian terbelah menjadi
dua, lalu yang dua menjadi empat, empat menjadi delapan, demikian
seterusnya berkelipatan dua, dan dalam proses itu, ia bergerak menuju ke
dinding rahim dan ahirnya bergantung atau berdempet di sana. Nah, inilah
yang dinamai 'alaqah oleh al-Qur'an. Dalam priode ini—menurut para
pakar embriologi—sama sekali belum ditemukan unsur-unsur darah, dan
karena itu tidak tepat menurut mereka, mengartikan 'alaqah atau 'alaq
dalam arti segumpal darah. Kata ‫ ﻣﻀﻐﺔ‬terambil dari kata ‫ ﻣﻀﻎ‬yang berarti
mengunyah. ‫ ﻣﻀﻐﺔ‬adalah sesuatu yang kadarnya kecil sehingga dapat
dikunyah.101
Lebih lanjut Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa,
Kata ‫ ﻛـﺴﻮﻧﺎ‬terambil dari kata ‫ ﻛـﺴﻰ‬yang berarti membungkus. Daging
diibaratkan pakaian yang membungkus tulang. Sayyid Qutub menulis
bahwa di sini seseorang berdiri tercengang dan kagum di hadapan apa
yang diungkap al-Qur’an menyangkut hakekat pembentukan janin yang
tidak diketahui secara teliti kecuali baru-baru ini setelah kemajuan yang
dicapai oleh Embriologi. Kekaguman itu lahir antara lain setelah diketahui
bahwa sel-sel daging berbeda dengan sel-sel tulang dan juga setelah
terbukti bahwa sel-sel tulang tercipta sebelum sel-sel daging, dan bahwa
tidak terdeteksi adanya satu sel daging sebelum terlihat sel-sel tulang,
persis seperti yang diinformasikan ayat di atas, ”Lalu Kami ciptakan
mudhgah itu tulang-belulang, lalu Kami bungkus tulang-belulang itu
dengan daging. Maha suci Allah Yang Maha Mengetahui yang umum dan
yang rinci.102
100
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. IX., h. 166
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. IX., h. 167
102
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 9, h. 167
101
159
Dalam hal ini Muhammad Quraish Shihab mengacu kepada akar kata
bahasa, lalu dibandingkan dengan ilmu pengetahuan melalui pendapat pakar
Embriologi. Mengingat metode tafsir al-Mishbah itu berbentuk tahlîli, maka
untuk mengetahui penafsiran ayat-ayat jender yang ada padanya harus
membaca tafsirnya secara keseluruhan, sehingga memahaminya tidak parsial
yang memang dianjurkan penulisnya.
C. Ayat Ayat Kewarisan
Untuk membahas masalah kewarisan dapat merujuk kepada firman
Allah
‫ ﺛﹸﻠﹸﺜﹶﺎ‬‫ﻦ‬‫ﻦِ ﻓﹶﻠﹶﻬ‬‫ﻴ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﺛﹾﻨ‬‫ﻮﻕ‬ ‫ﺎﺀً ﻓﹶ‬‫ ﻧِﺴ‬‫ﻦِ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹸﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺜﹶﻴ‬‫ﻆﱢ ﺍﻟﹾﺄﹸﻧ‬‫ ﻟِﻠﺬﱠﻛﹶﺮِ ﻣِﺜﹾﻞﹸ ﺣ‬‫ﻟﹶﺎﺩِﻛﹸﻢ‬‫ ﻓِﻲ ﺃﹶﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﺻِﻴﻜﹸﻢ‬‫ﻳ‬
‫ ﺇِﻥﹾ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ ﻣِﻤ‬‫ﺱ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﺍﻟﺴ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺍﺣِﺪٍ ﻣِﻨ‬‫ﻪِ ﻟِﻜﹸﻞﱢ ﻭ‬‫ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻟِﺄﹶﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻒ‬‫ﺼ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﺓﹰ ﻓﹶﻠﹶﻬ‬‫ﺍﺣِﺪ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ﻣ‬
ِ‫ﻪ‬‫ﺓﹲ ﻓﹶﻠِﺄﹸﻣ‬‫ﻮ‬‫ ﺇِﺧ‬‫ﻪِ ﺍﻟﺜﱡﻠﹸﺚﹸ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻪ‬‫ ﻓﹶﻠِﺄﹸﻣ‬‫ﺍﻩ‬‫ﻮ‬‫ ﺃﹶﺑ‬‫ﺭِﺛﹶﻪ‬‫ﻭ‬‫ ﻭ‬‫ﻟﹶﺪ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻪ‬‫ﻜﹸﻦ‬‫ ﻳ‬‫ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻟﹶﻢ‬‫ﻟﹶﺪ‬‫ ﻭ‬‫ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻪ‬
‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺏ‬‫ ﺃﹶﻗﹾﺮ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻭﻥﹶ ﺃﹶﻳ‬‫ﺭ‬‫ﺪ‬‫ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺎﺅ‬‫ﻨ‬‫ﺃﹶﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺎﺅ‬‫ﻦٍ ﺀَﺍﺑ‬‫ﻳ‬‫ ﺩ‬‫ﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ﻮﺻِﻲ ﺑِﻬ‬‫ﺔٍ ﻳ‬‫ﺻِﻴ‬‫ﺪِ ﻭ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺱ‬‫ﺪ‬‫ﺍﻟﺴ‬
(١١ : ٤/‫ﺍ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻜِﻴﻢ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﻠِﻴﻤ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺔﹰ ﻣِﻦ‬‫ﺎ ﻓﹶﺮِﻳﻀ‬‫ﻔﹾﻌ‬‫ﻧ‬
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.
Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan. Jika yang meninggal itu
mempunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Nisâ’/4: 11)
160
Muhammad Shahrur memandang ayat
di atas bias jender. Dia
menyatakan bahwa, "Ayat ini dianggap bersifat kondisional, karena menurut
dia Allah menunjukkan bahwa jatah laki-laki menjadi dua kali lipat dari jatah
perempuan dalam satu kasus saja, yaitu ketika adanya dua perempuan
berbanding dengan satu laki-laki. Hal ini berarti bahwa dalam wilayah
himpunan, jatah laki laki adalah dua kali lipat jatah perempuan ketika jumlah
perempuan dua kali lipat jumlah laki laki."103
Begitu juga dalam buku Keadilan Kesetaraan Gender Perspektif Islam
yang disusun oleh Tim Lembaga Kajian Agama dan Jender tersirat bahwa ayat
tersebut bias jender. Dengan mengutip seorang mufasir dari anak benua India,
Parves, dalam buku tersebut dijelaskan, "Anak perempuan memperoleh separo
dari laki-laki setelah ayahnya meninggalkan wasiat dan memberi anak
perempuannya sebanyak yang ia sukai… sehingga mereka mendapat bagian
yang sama dengan saudara laki-lakinya. Hukum waris Islam baru bisa
dilaksanakan ketika wasiatnya tersebut telah dilaksanakan secara benar."104
Penulis tidak sependapat dengan Muhammad Shahrur dan Siti Musdah
Mulia diatas, karena tidak ada petunjuk al-qur’an dan hadis yang diungkapkan
oleh kedua orang tersebut, bahkan yang ada adalah wasiat Allah untuk
membagi waris sesuai dengan ketentuan Allah (Q.S.al-Nisâ’/4:11)
Para mufasir pada umumnya berbeda dengan pendapat Muhammad
Syahrur dan Siti Musdah Mulia. Said Hawa misalnya, menyatakan :”Bahwa
Q.S.al-Nisâ’/4:11 Allah memerintahkan untuk berbuat adil pada anak laki-laki
103
Muhammad Syahrur, Dirâsah Islâmiyah Mu'âshirah Nahwa Ushûl Jadîdah lil Fiqhi alIslâmi, yang diterjemahkan oleh Sahiron Syamsudin yang diberi judul Metodologi Fiqih Islam
Kontemporer, (selanjutnya tertulis Metodologi Fiqih) (Jakarta: ELSAQ Press, 2004), h. 342
104
Siti Musdah Mulia at.al., Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam,
(selanjutnya tertulis Keadilan Jender) (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 2003), Cet. II, h.
102
161
dan perempuan dalam asal waris walaupun berbeda jumlah bagian dari
masing-masing, seperti laki-laki dua kali bagian perempuan karena laki-laki
diwajibkan memberi nafkah dan diberi beban untuk usaha."105
Ahmad Mushthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa,
Kaum laki-laki mendapat dua bagian perempuan, tidak
menggunakan perempuan setengah dari laki-laki apabila ada laki-laki
dan perempuan…. Hikmah dari laki-laki mendapat dua bagian
perempuan, karena laki-laki memerlukan untuk membayar nafkah pada
dirinya dan pada istrinya, maka dia mendapat dua bagian, sedangkan
perempuan dia hanya membayar nafkah untuk dirinya sendiri, bahkan
bila dia kawin, maka nafkah dirinya ditanggung suaminya.106
Zamakhsyari (467-538 H.) berpendapat bahwa,
Jika kamu bertanya apakah laki-laki mendapat dua bagian
perempuan, maka jawabannya adalah karena laki-laki mempunyai
keutamaan…. Ini jika terkumpulnya laki-laki dan perempuan,
sedangkan jika terjadi hanya satu jenis saja, seperti seorang anak lakilaki, maka anak laki-laki itu mengambil harta warisan secara
keseluruhan, sedangkan jika hanya dua perempuan, maka keduanya
mengambil 2/3 harta warisan.107
Sehubungan dengan hal ini Muhammad Quraish Shihab menjelaskan
bahwa ayat tersebut tidak bias jender bila mufasir menerjemahkan ayat-ayat alQur'an secara utuh, tidak secara parsial. Oleh karena itu ketika menafsirkan
ayat tersebut (Q.S. al-Nisâ’/4: 13-14) Quraish Shihab menegaskan, "Setelah
Allah menjelaskan rincian bagian untuk masing-masing ahli waris, kedua ayat
di atas memberi dorongan, peringatan, janji dan ancaman dengan menegaskan
bahwa bagian-bagian yang ditetapkan di atas, itu adalah batas-batas Allah,
105
Said Hawa , al-Asâs Fî al-Tafsîr …, Jilid. II., h. 1009
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, Jilid.IV. h. 196
107
Abu al-Qaasim Jaru Allah Mahmud Bin Umar Bin Muhammad al-Zamakhsyari, alKasysyaf…, Jilid.I, h.469
106
162
yakni ketentuan ketentuan-Nya yang tidak boleh dilanggar. (Lebih lanjut lihat
Tafsir al-Mishbah, Vol.2, h. 350).108
Perlu dicatat bahwa setiap peradaban menciptakan hukum sesuai dengan
pandangan dasarnya tentang wujud, alam, dan manusia. Setiap peradaban
membandingkan sekian banyak nilai kemudian memilih atau menciptakan apa
yang dinilainya terbaik. Oleh karena itu, merupakan kekeliruan besar
memisahkan antara satu hukum syara ’ yang bersifat juz'i dengan pandangan
dasarnya yang menyeluruh. Siapa yang menafsirkan satu teks keagamaan atau
memahami ketentuan hukum agama terpisah dari pandangan menyeluruh
agama itu tentang Tuhan, alam, dan manusia—laki-laki dan perempuan—pasti
akan terjerumus dalam kesalahpahaman penilaian, dan ketetapan hukum
parsial yang keliru. Termasuk dalam hal ini pandangan Islam tentang waris,
khususnya menyangkut hak laki-laki dan perempuan.109
Sangat sulit untuk menyatakan bahwa perempuan sama dengan lakilaki, baik atas nama ilmu pengetahuan maupun agama. Adanya perbedaan
antara
kedua
jenis
manusia
itu
harus
diakui,
suka
atau
tidak.
Mempersamakannya hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan lakilaki dan bukan perempuan. Kaidah yang menyatakan bahwa fungsi/peranan
utama yang diharapkan menciptakan alat, masih tetap relevan untuk
dipertahankan. Tajamnya pisau dan halusnya bibir gelas, karena fungsi dan
108
Siapa yang taat kepada Allah dan Rasulnya dengan mengindahkan batas batas itu,
niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalannya sungai-sungai,
sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah keberuntungan yang besar. Dan siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasulnya dengan mempersekutukan-Nya dan melanggar ketentuan ketentuanNya di atas, niscaya Allah memasukkanya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya, dan
yang mendurhakai Allah tapi tidak mempersekutukan-Nya, maka baginya siksa yang menghinakan,
setimpal dengan sikap mereka melecehkan ketentuan Allah dan meremehkan orang orang yang mereka
halangi hak haknya.
109
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 351
163
peranan yang diharapkan darinya berbeda! Kalau merujuk kepada teks
keagamaan—baik al-Qur'an maupun Sunnah—ditemukan tuntunan dan
ketentuan hukum yang disesuaikan dengan kodrat, fungsi, dan tugas yang
dibebankan kepada mereka.110
Laki-laki dibebankan oleh agama membayar mahar, membelanjai istri,
dan anak-anaknya, sedangkan perempuan tidak demikian. Maka bagaimana
mungkin, al-Qur'an dan Sunnah akan mempersamakan bagian mereka?
Bahkan—boleh jadi—tidak keliru pendapat asy-Sya'rawi yang menyatakan
bahwa jika berbicara tentang kepemihakan, maka sebenarnya al-Qur'an lebih
berpihak kepada perempuan yang lemah itu daripada lelaki (lebih lanjut lihat
Tafsir al-Mishbah Vol.2,h. 352).111
Dalam hal waris, Muhammad Quraish Shihab tetap berpedoman pada
instrumen
‫ﺍﻟﻌﱪﺓ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ‬, artinya ayat tersebut berlaku umum
tidak kondisional. Sedangkan sebagian mufasir menggunakan instrumen
‫ﺍﻟﻌﱪﺓ‬
‫ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﻻ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ‬, artinya ayat ini bersifat kondisional tidak berlaku
secara umum. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa waris mewaris itu
termasuk mu’âmalat, maka tidak harus mengikuti teks ayat. Sedangkan
kelompok pertama beranggapan, bahwa ayat waris mewaris termasuk ayat-ayat
110
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 351
Lelaki membutuhkan istri tetapi dia yang harus membiayainya. Wanita juga
membutuhkan suami tetapi dia tidak wajib membelanjainya, bahkan dia yang harus dicukupi
kebutuhannya. Kalau kita berkata bahwa lelaki harus membelanjai wanita sebenarnya ditetapkan Allah
untuk dirinya dan istrinya. Seandainya ia tidak wajib membelanjainya maka setengah dari yang
seharusnya ia terima itu dapat mencukupinya. Di sisi lain, bagian wanita yang satu itu, sebenarnya
cukup untuk dirinya sebagaimana kecukupan satu bagian buat pria seandainya dia tidak kawin. Tetapi
jika wanita itu kawin, maka keperluan hidupnya ditanggung oleh suami, sedang bagiannya yang satu
dia dapat simpan tanpa dia belanjakan. Nah siapakah yang habis dan siapa pula yang utuh bagiannya
jika dia kawin? Jelas lelaki akan habis, karena dua bagian yang dimilikinya harus dibagi dua, sedang
apa yang dimiliki oleh wanita tidak digunakannya sama sekali. Jika demikian–dalam soal waris
mewarisi ini—keberpihakan Allah kepada perempuan lebih berat daripada keberpihakan-Nya kepada
lelaki.
111
164
qath’i, maka sekalipun ayat-ayat waris itu termasuk mu’âmalat, maka wajib
diikuti tidak boleh dilanggar dan yang melanggarnya akan berdosa besar
bahkan dikatakan kafir.
Muhammad Quraish Shihab menyatakan dalam bukunya yang berjudul
“Perempuan” ,
Ayat di atas berbicara tentang hak anak perempuan dan lelaki dalam
kewarisan, bukan hak semua perempuan atau semua lelaki, dan bukan
dalam segala persoalan. Hal ini perlu digarisbawahi, karena tidak semua
ketentuan agama dalam bidang kewarisan membedakan antara
perempuan dan lelaki. Ibu dan ayah apabila ditinggal mati oleh anaknya,
sedang sang anak meninggalkan juga anak-anak lelaki atau anak-anak
lelaki dan perempuan, maka ketika itu sang ayah dan ibu masing-masing
memperoleh bagian yang sama, yakni 1/6 (baca lanjutan ayat di atas).112
Bahkan Muhammad Quraish Shihab tidak dapat menerima pendapat
sementara pemikir kontemporer yang menduga bahwa ketetapan warisan
tersebut bukan ketetapan final. Maka ia dapat saja direvisi dan dikembangkan
dengan menetapkan kesamaan bagian anak perempuan dengan anak lelaki
dalam perolehan hak waris. Pendapat yang antara lain dikemukakan oleh Nashr
Abu Zaid ini, sulit diterima karena bukankah Allah telah menetapkan
kesempurnaan agama, dalam arti tuntunan-Nya telah final (Q.S. al-Mâidah/5:
3), dan bukankah setelah menjelaskan rincian perolehan masing-masing ahli
waris dinyatakan-Nya, bahwa siapa yang taat pada Allah dan Rasul-Nya, akan
mendapat surga, dan siapa yang mendurakai Allah dan Rasul-Nya, akan
dimasukkan ke neraka. (Q.S. al-Nisâ’/4: 13-14).113
Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan:
Bila ada orang tua merasa bahwa ketetapan Tuhan di atas tidak adil
apabila dia telah memenuhi banyak kebutuhan anak laki-lakinya. Untuk
112
113
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 261
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 264
165
kasus semacam ini, Muhammad Quraish Shihab memberi solusi dengan
cara memberi anak perempuan—semasa hidup sehatnya—sejumlah
yang dianggapnya dapat menghasilkan keadilan di antara anak-anaknya.
Karena Allah telah memberi wewenang kepada siapapun untuk
menghadiahkan hartanya selama yang bersangkutan masih sehat, tetapi
begitu dia sakit-sakitan, maka wewenangnya dalam menghibahkan
hartanya tinggal sepertiga. Bila dia meninggal dunia, maka ia tidak lagi
memiliki wewenang dan harta tersebut kembali menjadi milik Allah.
Hanya Dialah yang berwenang penuh membaginya sebagaimana
ditetapkan-Nya dalam ketentuan hukum waris.114
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mahmud Syaltut yang
mengatakan, ”Bagian perempuan setengah dari bagian laki-laki dalam masalah
waris. Islam tidak menjadikan dasar bahwa kemanusiaan perempuan lebih
sedikit daripada kemanusiaan laki-laki, tapi dikarenakan faktor lain yaitu
suami dibebani memberi nafkah keluarga, yaitu istri, anak dan keluarga dekat,
begitu juga dibebani membayar mahar kepada istri sebagai tanda kecintaan
suami pada istrinya. Sedangkan istri dibebani untuk mengatur rumah dan
urusan hamil, melahirkan, mengasuh anak-anaknya."115
Begitu juga ketika perempuan itu dicerai, maka perempuan itu berhak
mendapatkan nafkah iddah sebagaimana layaknya hidup suami-istri, dan
berhak mendapat hadiah selain nafkah iddah. Sebagaimana ditegaskan dalam
al-Qur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 241. Sedangkan suami dituntut membiayai
dirinya, anak-anaknya, dan istrinya yang baru, bahkan kedua orang tuanya dan
keluarga dekatnya yang miskin.116
Ketika menafsirkan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 32, Muhammad
Quraish Shihab juga menegaskan:”Bahwa ayat ini berpesan agar tidak
berangan-angan dan berkeinginan yang dapat mengantar kepada pelanggaran114
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 266
Mahmud Syaltut, al-Islâm Aqîdah wa al-Syarî’ah, (selanjutnya tertulis Aqîdah Wa alSyarî’ah) (Bairut: Daar al-Qalam, 1966), h. 247
116
Mahmud Syaltut, Aqîdah wa al-Syarî’ah…, h. 248
115
166
pelanggaran ketentuan-ketentuan Allah, termasuk ketentuan-Nya menyangkut
pembagian waris, yang menetapkan bahwa laki-laki mendapat bagian lebih
banyak dari perempuan.”117
Dapat juga dikatakan bahwa lelaki dan perempuan, masing-masing telah
mendapatkan bagian dari ganjaran Ilahi berdasarkan amal mereka. Maka tidak
ada gunanya perempuan berangan-angan untuk melakukan pekerjaanpekerjaan yang ditetapkan Allah buat lelaki, dan sebaliknya pun demikian,
karena ganjaran bukannya terbatas pada amalan tertentu saja. Banyak cara
untuk memperoleh ganjaran, sehingga tidak pada tempatnya perempuan iri hati
dan merasa tidak senang terhadap laki-laki dalam warisan dua kali lipat dari
perolehan anak perempuan. Mereka tidak perlu iri hati, karena perolehan
perempuan bukan hanya bersumber dari harta warisan, tetapi juga dari
suaminya yang harus membayar mahar dan mencukupkan kebutuhan
hidupnya.118
Kemudian ketika M.Quraish Shihab menafsirkan al-Qur'an Surat alNisâ’/4 ayat 34 dia juga menegaskan bahwa, "Ayat ini menjelaskan
keistimewaan yang dianugerahkan Allah itu antara lain karena masing-masing
mempunyai fungsi yang harus diembannya dalam masyarakat sesuai dengan
potensi dan kecenderungan jenisnya. Karena itu pula, surat al-Nisâ’ ayat 32
mengingatkan bahwa Allah telah menetapkan bagian masing-masing
menyangkut harta warisan, yang di dalamnya terlihat adanya perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Kini, fungsi dan kewajiban masing masing jenis
kelamin, serta latar belakang perbedaan itu disinggung oleh ayat ini dengan
menyatakan bahwa para lelaki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami adalah
117
118
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 396
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 398
167
Qawwâmûn, pemimpin dan penanggung jawab atas para perempuan. Oleh
karena itu, Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain
dan karena mereka yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri
dan anak-anaknya." 119
Jadi Islam membagikan warisan kepada perempuan setengah dari
bagian laki-laki. Ini sesuai dengan kehormatannya, yakni ia lepas dari
tanggung jawab untuk memberikan nafkah. Dari bagian itu, ia tidak
berkewajiban untuk mengeluarkan nafkah sekalipun untuk dirinya sendiri
ataupun untuk anak- anaknya, melainkan hartanya itu menjadi miliknya
sendiri.120
Muhammad Mutawalli Sya’rawi sejalan dengan Muhammad Quraish
Shihab, mengatakan bahwa
Apabila kita membahas suatu masalah yang sukar dicari
penyelesaiannya oleh akal, sebaiknya kita mencari hal-hal yang ada
persamaannya sebagai bahan perbandingan. Seperti perempuan dan lakilaki, di mana persamaan dan perbedaannya? Persamaannya adalah bahwa
keduanya sama-sama manusia. Perbedaannya adalah bahwa yang satu
berjenis perempuan dan yang satu lagi berjenis lelaki. Pembagian jenis itu
semata-mata hanyalah pembagian tugas, karena setiap jenis punya
kekhususan, punya fungsi, kedudukan dan tugas masing-masing. Apabila
tugas dan kepentingan keduanya sama tentu cukup hanya satu jenis saja.121
Sebagai contoh, waktu dan zaman yang meliputi malam dan siang yang
sebagian orang mengira bahwa malam dan siang adalah berlawanan. Yang satu
terang dan yang satu lagi gelap. Bukan begitu, kata Sya’rawi. Keduanya tidak
119
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 402
Anwar Jundi, Gelombang Tantangan Muslimah, Terjemahan Ahsin Wijaya,
(selanjutnya tertulis Tantangan Muslimah) (Solo: CV Pustaka Mantiq, 1989), Cet.III, h. 36
121
Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Wanita Dalam al-Qur ’an, terjemahan Abu Abdillah
al-Mansur, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 8
120
168
berlawanan. Siang bukan untuk melawan malam begitu juga sebaliknya.
Keduanya tidak bisa dicari perbandingannya. Masing-masing melaksanakan
tugas yang tidak bisa dilakukan oleh yang lain. Keduanya punya tugas sendiri,
ada tugas siang hari dan ada yang tugas malam hari.122
Hal ini sesuai dengan Firman Allah
ٍ‫ﻡ‬‫ـﺎﺕٍ ﻟِﻘﹶـﻮ‬‫ ﻟﹶﺂﻳ‬‫ﺍ ﺇِﻥﱠ ﻓِـﻲ ﺫﹶﻟِـﻚ‬‫ـﺼِﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﻣ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻬ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ﻮﺍ ﻓِﻴﻪِ ﻭ‬‫ﻜﹸﻨ‬‫ﺴ‬‫ﻞﹶ ﻟِﺘ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ﻞﹶ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻌ‬‫ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﺟ‬‫ﻮ‬‫ﻫ‬
(٦٧ : ١٠/‫ﻮﻥﹶ)ﻳﻮﻧﺲ‬‫ﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺴ‬‫ﻳ‬
Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat
padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu
mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.
(Q.S.Yûnus/10: 67)
Dari sini jelas, bila kita memaksakan untuk menyamakan dua jenis lakilaki dan perempuan, berarti kita mengabaikan tugas pokok dari kedua jenis
tersebut.
Ketetapan Allah yang menjadikan siang dan malam adalah persoalan
semesta yang tidak bisa dicampuri oleh manusia. Ketentuan itu mirip dengan
adanya laki-laki dan perempuan, tidak ada makhluk yang dapat menentang
kehendak Allah swt.123
Hal ini sesuai dengan Firman Allah
٩٢/‫)ﺍﻟﻠﻴﻞ‬
‫ﻰ‬‫ﺘ‬‫ ﻟﹶﺸ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻴ‬‫ﻌ‬‫ﺜﹶﻰ ﺇِﻥﱠ ﺳ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹸﻧ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﺬﱠﻛﹶﺮ‬‫ﻠﹶﻖ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ﻣ‬‫ﻠﱠﻰ ﻭ‬‫ﺠ‬‫ﺎﺭِ ﺇِﺫﹶﺍ ﺗ‬‫ﻬ‬‫ﺍﻟﻨ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﺸ‬‫ﻐ‬‫ﻞِ ﺇِﺫﹶﺍ ﻳ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻴ‬‫ﻭ‬
( ٤-١:
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang
benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya
usaha kamu memang berbeda-beda. (Q.S. al-Lail/92: 1- 4)
122
123
Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Wanita Dalam al-Qur ’an…, h. 8
Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Wanita Dalam al-Qur ’an…, h. 11
169
Allah juga memperingatkan kepada semua manusia agar tidak saling iri
satu dengan yang lainnya (Q.S. al-Nisâ’/4: 32) Perbedaan jenis tentu
dimaksudkan agar tidak terjadi benturan kepentingan. Sebab bila keduanya
berebut fungsi dan tugas, maka akan merusak kelestarian alam semesta.
Terhadap ayat tersebut Ibnu Katsir berkomentar,
Allah memerintahkan kepada kalian untuk berbuat adil pada mereka,
karena orang-orang jahiliyah dahulu menjadikan seluruh warisan hanya
untuk kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan tidak mendapatkan
sama sekali, lalu Allah memerintahkan untuk menyamakan di antara
mereka dalam masalah asal waris, walaupun kedua belah pihak berbeda
jumlah penerimaannya, seperti laki-laki mendapat dua bagia perempuan,
hal itu disebabkan laki-laki diberi beban membari nafkah.124
Al-Syanqithi berpendapat bahwa, "Dalam ayat tersebut tidak disebutkan
hikmah laki-laki lebih banyak dari perempuan dalam menerima waris, padahal
keduanya sama dalam kedekatannya. Namun hal itu ada isyarat pada ayat lain
yaitu al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 34, yaitu karena laki-laki mempunyai
kelebihan fisik dan memberi nafkah."125
Menurut Muhammad Imarah, bahwa dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4
ayat 11 yang menyatakan bahwa,
Laki-laki mendapat dua bagian perempuan, bukan kaidah yang
diperlakukan semua keadaan dalam masalah waris, melainkan
diperlakukan pada hal-hal tertentu dan terbatas. Perbedaan penerimaan
waris tidak mengacu kepada ukuran laki-laki dan perempuan, tapi
mengacu pada kondisi penerima waris, seperti kedekatan hubungan antara
pewaris dengan yang meninggal, kedudukan generasi pewaris yang masih
panjang menerima beban hidup, menerima beban materi yang diharuskan
oleh syar’i.126
124
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur ’an al-‘Adzîm, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1992), Jilid I, h. 565. Lihat
Muhammad al-Razi, Tafsir al-Fakhru al-Razi, (Bairut: Dâr al-Fikr,t.t.), jilid IX, h.213 Lihat
Abdulkarim al-Khaththab, Tafsir al-Qur ’an Li al-Qur ’an, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid.II, h. 709
125
Muhammad al-Amin Ibnu Muhammad al-Mukhtar al-Jakni al-Syanqithi, Adwâ alBayân, (Riyadh: Mathba’ah al-Ahliyah, t.t.) Jiid. I, h. 370
126
Muhamad Imarah, al-Tahrîr al-Islâmi li al-Mar ’ah, (selanjutnya tertulis Tahrîr alMar ’ah) (Cairo: Dar al-Syuruq, 1968), h. 68
170
Sedangkan Salim al-Bahnasawi menjelaskan bahwa "Perbedaan bagian
waris tidak berkaitan dengan laki-laki dan perempuan, melainkan karena
perbedaan beban materi dan semacamnya yang tidak dapat dijangkau/diketahui
oleh manusia. Hal ini dapat dilihat pada beberapa pembagian warisan menurut
al-Qur’an yaitu:
a. Bagian perempuan sama persis dengan bagian laki-laki seperti bagian
Ayah dan Ibu. Keduanya sama-sama mendapat 1/6 dari seluruh harta
warisan jika ada anak
( ١١: ٤/‫ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻟﹶﺪ‬‫ ﻭ‬‫ ﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻪ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ ﻣِﻤ‬‫ﺱ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﺍﻟﺴ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺍﺣِﺪٍ ﻣِﻨ‬‫ﻪِ ﻟِﻜﹸﻞﱢ ﻭ‬‫ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻟِﺄﹶﺑ‬‫ﻭ‬
Dan untuk dua orang tua (ayah dan ibu) masing-amsing mendapat 1/6 dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meningggal itu punya anak. (Q.S.alNisâ’/4: 11)
b. Bagian perempuan sama dengan bagian laki-laki seperti jika seorang
meninggal baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan juga tidak meninggalkan anak, tapi mempunyai seorang saudara
laki-laki seibu saja atau mempunyai seorang saudara perempuan seibu saja.
Bagian mereka masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapat 1/6
dari harta warisan. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam 1/3 harta warisan.
‫ﻮﺍ‬‫ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﺱ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﺍﻟﺴ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺍﺣِﺪٍ ﻣِﻨ‬‫ ﻓﹶﻠِﻜﹸﻞﱢ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ ﺃﹸﺧ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ ﺃﹶﺥ‬‫ﻟﹶﻪ‬‫ﺃﹶﺓﹲ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺙﹸ ﻛﹶﻠﹶﺎﻟﹶﺔﹰ ﺃﹶﻭِ ﺍﻣ‬‫ﻮﺭ‬‫ﻞﹲ ﻳ‬‫ﺟ‬‫ﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺭ‬‫ﻭ‬
( ١٢ :٤/‫ﻛﹶﺎﺀُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺜﱡﻠﹸﺚِ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﺮ‬‫ ﺷ‬‫ﻢ‬‫ ﻓﹶﻬ‬‫ ﺫﹶﻟِﻚ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺃﹶ ﹾﻛﺜﹶﺮ‬
Jika seorang meninggal baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
seibu atau seorang saudara perempuan seibu, maka bagi mereka masingmasing laki-laki maupun perempuan mendapat 1/6 dari harta warisan.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam bagian sepertiga itu. (Q.S. al-Nisâ’/4: 12)
171
c. Jika Anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (dua ke atas) maka
mereka mendapat 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan
itu hanya seorang saja maka ia mendapat setengah dari seluruh harta waris.
Untuk dua orang tua (ayah dan ibu) bagi mereka masing-masing mendapat
1/6 dari harta yang ditinggalkan.
ٍ‫ﺍﺣِﺪ‬‫ﻪِ ﻟِﻜﹸﻞﱢ ﻭ‬‫ﻳ‬‫ﻮ‬‫ﻟِﺄﹶﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻒ‬‫ﺼ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﺓﹰ ﻓﹶﻠﹶﻬ‬‫ﺍﺣِﺪ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ ﺛﹸﹸﻠﺜﹶﺎ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻦِ ﻓﹶﻠﹶﻬ‬‫ﻴ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﺛﹾﻨ‬‫ﻕ‬‫ﺎﺀً ﻓﹶﻮ‬‫ ﻧِﺴ‬‫ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹸﻦ‬
( ١١ :٤/‫ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻟﹶﺪ‬‫ ﻭ‬‫ ﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﹶﻪ‬‫ﻙ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺗ‬‫ ﻣِﻤ‬‫ﺱ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﺍﻟﺴ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﻣِﻨ‬
Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, dan jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta. Dan untuk dua orang
tua (ayah dan ibu) masing-masing mendapat seperenam dari harta yang
ditiggalkannya, jika yang meninggal itu mempunyai anak. (Q.S.alNisâ’/:11)
d. Anak perempuan mendapat setengah anak laki-laki.
( ١١ : ٤/‫ﻦِ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻴ‬‫ﺜﹶﻴ‬‫ﻆﱢ ﺍﻟﹾﺄﹸﻧ‬‫ ﻟِﻠﺬﱠﻛﹶﺮِ ﻣِﺜﹾﻞﹸ ﺣ‬‫ﻟﹶﺎﺩِﻛﹸﻢ‬‫ ﻓِﻲ ﺃﹶﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻮﺻِﻴﻜﹸﻢ‬‫ﻳ‬
”Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian waris untuk anakanakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang perempuan.” (Q.S. al-Nisâ’/4:11)
e. Perbedaan ini mempunyai sebab yang tidak bisa dijangkau oleh
sebahagian akal manusia.127
‫ﺎ‬‫ﻜِﻴﻤ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﻠِﻴﻤ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺔﹰ ﻣِﻦ‬‫ﺎ ﻓﹶﺮِﻳﻀ‬‫ﻔﹾﻌ‬‫ ﻧ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺏ‬‫ ﺃﹶﻗﹾﺮ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻭﻥﹶ ﺃﹶﻳ‬‫ﺭ‬‫ﺪ‬‫ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺎﺅ‬‫ﻨ‬‫ﺃﹶﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺎﺅ‬‫ﺁﺑ‬
( ١١ :٤/‫)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
Para orang tuamu dan anak-anakmu, kalian tidak mengetahui siapa
diantara mereka yang lebih dekat banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (Q.S.al-Nisâ’/4 : 11)
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa, ”Bagian waris laki-laki dua kali
lipat perempuan disebabkan laki-laki dituntut memberi nafkah, bekerja,
127
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Baina al-Islâm Wa al-Qawânîn al-Alamiyah,
(selanjutnya tertulis al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn) (Kuwait: Dâr al-Wafa, 2003), h. 185
172
mencari rizki, dan membayar mahar istrinya. Sedangkan perempuan baik
anak perempuan, saudara perempuan, ibu, istri, atau bibi tidak dituntut
seperti laki-laki, kecuali jika sudah besar dia menafkahi dirinya selama
belum nikah."128
Sedangkan ayah dan ibu jika ada anak mendapatkan sama karena hanya
untuk memberikan kemuliaan kepada keduanya. Tetapi, kedua orang tua
bagiannya lebih kecil daripada anak, karena keduanya sudah tua sehingga
tidak berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anak-anaknya
melainkan anak-anaknya yang dewasa itulah yang harus memberi nafkah
kedua orang tuanya. Sedangkan anak-anaknya masih membutuhkan nafkah
yang banyak disebabkan masih kecil, atau karena perlu biaya untuk
menikah dan banyak menanggung beban hidup ketika dewasa.129
Wahbah al-Zuhaili menentang orang yang melakukan pembagian waris
tidak dengan ketentuan Allah, bahkan berdasarkan adat istiadat masyarakat
setempat, atau dengan mengadopsi antara peraturan orang-orang Barat dan
peraturan manusia. Menurutnya, ”Tidak ada keadilan setelah keadilan
Allah, dan tidak ada rahmat di atas rahmat Allah. Hal ini sesuai dengan alQur'an Surat al-Nisâ’/4:11.130
Adanya perbedaan penafsiran antara Muhammad Quraish Shihab
dengan pakar yang lain tentang al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 11, karena
adanya perbedaan instrumen masing-masing mufassir. Muhammad
Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat waris, beranjak dari teks ayat,
128
Wahbah al-Zuhaily, al-Munîr… , h. 273
Wahbah al-Zuhaily, al-Munîr…, h. 275
130
Wahbah al-Zuhaily, al-Munîr…, h. 280
129
173
sedangkan para mufasir kontemporer beranjak dari konteks sosial
masyarakat.
D. Ayat-Ayat Persaksian
1. Pengertian saksi
Saksi menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu pristiwa
(kejadian), orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk
mengetahuinya agar suatu ketika apabila diperlukan dapat memberikan
keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.
Orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan
pendakwa atau terdakwa. Orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan penuntutan.131
Sedangkan saksi menurut istilah Muhammad Quraish Shihab
Saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi, walaupun
ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara
aktual telah menjadi saksi. Jika anda melihat suatu pristiwa—
katakanlah tabrakan—maka ketika itu anda telah berpotensi memikul
tugas kesaksian, sejak saat itu anda dapat dinamai saksi walaupun
belum lagi melaksanakan kesaksian itu di pengadilan. Ayat ini dapat
berarti. Janganlah orang orang yang berpotensi menjadi saksi enggan
menjadi saksi apabila mereka diminta. Memang banyak orang, sejak
dahulu apalagi sekarang yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai
faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya
terganggu. Karena itu mereka perlu dihimbau. Perintah ini adalah
anjuran, apalagi jika sudah ada orang lain yang memberi keterangan,
dan wajib hukumnya bila kesaksiannya muthlak untuk menegakkan
keadilan. 132
2. Pendapat para pakar muslim tentang saksi laki-laki dan perempuan
Ayat persaksian yang sering disoroti oleh para pakar jender adalah alQur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 282, yaitu
131
132
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia…, h. 770
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.,I, h.568
174
ِ‫ﻝ‬‫ﺪ‬‫ ﺑِﺎﻟﹾﻌ‬‫ ﻛﹶﺎﺗِﺐ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﺐ‬‫ﻜﹾﺘ‬‫ﻟﹾﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﻩ‬‫ﺒ‬‫ﻰ ﻓﹶﺎﻛﹾﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺴ‬‫ﻞٍ ﻣ‬‫ﻦٍ ﺇِﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟ‬‫ﻳ‬‫ ﺑِﺪ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ﺍﻳ‬‫ﺪ‬‫ﻮﺍ ﺇِﺫﹶﺍ ﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﻳ‬‫ﻳ‬
‫ﻪ‬ ‫ﺑ‬‫ ﺭ‬‫ﻖِ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺘ‬‫ﻟﹾﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﻖ‬‫ﻪِ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻠِﻞِ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻋ‬‫ﻤ‬‫ﻟﹾﻴ‬‫ ﻭ‬‫ﺐ‬‫ﻜﹾﺘ‬‫ ﻓﹶﻠﹾﻴ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻪ‬‫ﻠﱠﻤ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ ﻛﹶﻤ‬‫ﺐ‬‫ﻜﹾﺘ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ ﻛﹶﺎﺗِﺐ‬‫ﺄﹾﺏ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻭ‬
‫ﻮ‬‫ﻤِﻞﱠ ﻫ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﻄِﻴﻊ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻌِﻴﻔﹰﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ ﺿ‬‫ﺎ ﺃﹶﻭ‬‫ﻔِﻴﻬ‬‫ ﺳ‬‫ﻖ‬‫ﻪِ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺌﹰﺎ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻋ‬‫ﻴ‬‫ ﺷ‬‫ﻪ‬‫ ﻣِﻨ‬‫ﺲ‬‫ﺨ‬‫ﺒ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻭ‬
ِ‫ﺎﻥ‬‫ﺃﹶﺗ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻣ‬‫ﻞﹲ ﻭ‬‫ﺟ‬‫ﻦِ ﻓﹶﺮ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺟ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻜﹸﻮﻧ‬‫ ﻳ‬‫ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻟﹶﻢ‬‫ﺎﻟِﻜﹸﻢ‬‫ ﺭِﺟ‬‫ﻦِ ﻣِﻦ‬‫ﻳ‬‫ﻬِﻴﺪ‬‫ﻭﺍ ﺷ‬‫ﻬِﺪ‬‫ﺸ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺳ‬‫ﻝِ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ ﺑِﺎﻟﹾﻌ‬‫ﻪ‬‫ﻟِﻴ‬‫ﻠِﻞﹾ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻓﹶﻠﹾﻴ‬
‫ﺍ ُﺀ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﺄﹾﺏ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻯ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﺄﹸﺧ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺪ‬‫ ﺇِﺣ‬‫ﺬﹶﻛﱢﺮ‬‫ﺎ ﻓﹶﺘ‬‫ﻤ‬‫ﺍﻫ‬‫ﺪ‬‫ﻀِﻞﱠ ﺇِﺣ‬‫ﺍﺀِ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﻥﹶ ﻣِﻦ‬‫ﻮ‬‫ﺿ‬‫ﺮ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ﻣِﻤ‬
‫ﻡ‬‫ﺃﹶﻗﹾﻮ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭ‬‫ﺪ‬‫ﻂﹸ ﻋِﻨ‬‫ ﺃﹶﻗﹾﺴ‬‫ﻠِﻪِ ﺫﹶﻟِﻜﹸﻢ‬‫ﺍ ﺇِﻟﹶﻰ ﺃﹶﺟ‬‫ ﻛﹶﺒِﲑ‬‫ﺍ ﺃﹶﻭ‬‫ﻐِﲑ‬‫ ﺻ‬‫ﻮﻩ‬‫ﺒ‬‫ﻜﹾﺘ‬‫ﻮﺍ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﺄﹶﻣ‬‫ﺴ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻮﺍ ﻭ‬‫ﻋ‬‫ﺎ ﺩ‬‫ﺇِﺫﹶﺍ ﻣ‬
‫ﺎﺡ‬‫ﻨ‬‫ ﺟ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺲ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻴ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﻬ‬‫ﻭﻧ‬‫ﺪِﻳﺮ‬‫ﺓﹰ ﺗ‬‫ﺎﺿِﺮ‬‫ﺓﹰ ﺣ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻜﹸﻮﻥﹶ ﺗِﺠ‬‫ﻮﺍ ﺇِﻟﱠﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﺎﺑ‬‫ﺗ‬‫ﺮ‬‫ﻰ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗ‬‫ﻧ‬‫ﺃﹶﺩ‬‫ﺓِ ﻭ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻬ‬‫ﻟِﻠﺸ‬
‫ ﺑِﻜﹸﻢ‬‫ﻮﻕ‬‫ ﻓﹸﺴ‬‫ﻪ‬‫ﻠﹸﻮﺍ ﻓﹶﺈِﻧ‬‫ﻔﹾﻌ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻬِﻴﺪ‬‫ﻟﹶﺎ ﺷ‬‫ ﻭ‬‫ ﻛﹶﺎﺗِﺐ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻀ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ﺎﻳ‬‫ﺒ‬‫ﻭﺍ ﺇِﺫﹶﺍ ﺗ‬‫ﻬِﺪ‬‫ﺃﹶﺷ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻮﻫ‬‫ﺒ‬‫ﻜﹾﺘ‬‫ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗ‬
( ٢٨٢ : ٢/‫ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﻠِﻴﻢ‬‫ﺀٍ ﻋ‬‫ﻲ‬‫ ﺑِﻜﹸﻞﱢ ﺷ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻠﱢﻤ‬‫ﻌ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺍﺗ‬‫ﻭ‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis. Hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya. Janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya
jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar
sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di
sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu),
kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
175
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Amina Wadud berpendapat
Bahwa maksud ayat tersebut adalah bahwa dua perempuan tidak
disebut saksi. Satu perempuan ditunjuk untuk mengingatkan satunya
lagi dia bertindak sebagai teman kerja sama (kolaborator). Meskipun
perempuan itu ada dua, masing-masing berbeda fungsinya. Kemudian
dia merujuk Fazlur Rahman yang keberatan penerapan ayat ini secara
harfiah dalam semua transaksi di kemudian hari… Dengan demikian,
ayat ini penting bagi keadaan tertentu yang bisa, dan sudah menjadi
usang.133
Pembatasan mengenai transaksi finansial ini tidak berlaku pada
persoalan lain. Permintaan akan dua perempuan dan satu laki-laki untuk
menjadi saksi perjanjian finansial bukanlah peraturan umum untuk partisipasi
perempuan, bahkan tidak untuk semua kesaksian. Permintaan lain untuk saksi
hendaknya tidak untuk jender tertentu. Jadi siapa saja yang dianggap mampu
menjadi saksi berhak menjadi saksi.134
Pendapat Aminah Wadud yang menyatakan bahwa dua orang
perempuan dalam ayat tersebut bukan sebagai saksi kurang jelas alasannya,
karena dia berangkat bukan dari teks, tapi dari kondisi sosial masyarakat.
Tampaknya Aminah Wadud menggunakan instrumen kontekstual yang
sejalan dengan tafsir emansipatoris yang mengubah strategi ala tafsir teosentris
menjadi kontekstual yang penafsirannya tidak lagi berangkat dari teks, akan
tetapi berangkat dari realitas kemanusiaan.135
133
Amina Wadud, Qur ’an Menurut Perempuan, terjemahan Abdullah Ali, (selanjutnya
tertulis Qur ’an Menurut Perempuan) (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 152
134
Amina Wadud, Qur ’an Menurut Perempuan …, h. 154
135
Zuhairi Misrawi dalam kata pengantar buku karya Very Verdiansyah, Islam
Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, (Jakarta: P3M, 2004), h. xxiii
176
Sedangkan para mufasir pada umumnya menafsirkan ayat al-Qur’an
mulai dari teks, lalu mencari hikmah melalui ilmu-ilmu lainnya. Perhatikan
terjemahan al-Thabari untuk terjemahan ayat berikut:
‫ﻥﹶ ﻣِﻦ‬‫ﻮ‬‫ﺿ‬‫ﺮ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ﺎﻥِ ﻣِﻤ‬‫ﺃﹶﺗ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻣ‬‫ﻞﹲ ﻭ‬‫ﺟ‬‫ﻦِ ﻓﹶﺮ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺟ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻜﹸﻮﻧ‬‫ ﻳ‬‫ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻟﹶﻢ‬‫ﺎﻟِﻜﹸﻢ‬‫ ﺭِﺟ‬‫ﻦِ ﻣِﻦ‬‫ﻳ‬‫ﻬِﻴﺪ‬‫ﻭﺍ ﺷ‬‫ﻬِﺪ‬‫ﺸ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺳ‬‫ﻭ‬
( ٢٨٢ : ٢/‫ﺍﺀِ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﺍﻟﺸ‬
Mintalah dua saksi laki laki muslim yang merdeka, bukan budak dan
orang kafir, jika tidak ada dua laki-laki, maka boleh seorang laki-laki
dan dua orang perempuan sebagai saksi dalam utang piutang.136 (Q.S.
al-Baqarah/2: 282)
Menurut Zaitunah Subhan ”Saksi merupakan salah satu alat bukti
untuk dijadikan pertimbangan hukum dalam memutuskan suatu perkara. Maka
al-Qur’an berbicara mengenai persaksian ini secara gamblang. Namun di
kalangan ulama masih ada saja perbedaan pendapat dalam masalah persaksian
ini, sebagaimana dijelaskan Zaitunah Subhan bahwa jika yang dimaksudkan alQur’an bahwa dua orang perempuan diperlakukan sejajar dengan satu lelaki, di
manapun masalah kesaksian ada (muncul), al-Qur’an akan memperlakukan
perempuan dengan cara yang sama. Namun, kenyataan yang ada tidak
demikian. Dalam al-Qur’an terdapat tujuh ayat yang berkenaan dengan
pencatatan kesaksian ini, yaitu Q.S. al-Baqarah/2:282; Q.S. al-Nisâ’/4: 15;
136
Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir al-Thabari (w.310 H.), Tafsir al-Thabari, ( Bairut :
Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Jilid. III, h. 123. Lihat al-Qadhi Nashir al-Din Abi Said Abdullah Bin
Umar Bin Muhammad al-Syirazi al-Baidhowi, Tafsir al-Baidhowi, (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah,
2003), Jilid. I.,h. 144 , Lihat al-Imam Muhammad Bin Ali Bin Muhammad al-Syaukani (w.1250 H.),
Fathu al-Qadir, (Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), Jilid. I, h. 246. Lihat Muhammad Ali alShabuni, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, (Cairo: Daar al-Shabuni, 1999), Jilid. I., h. 254. Lihat Abu
Ali al-Fadhal Bin Hasan Bin al-Fadhal al-Thabarsyi, Majma al-Bayan Fi Tafsir al-Qur ’an, (Bairut:
Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), Jilid II., h. 172. Lihat al-Imam al-Hafidh Imaduddin Abu al-Fida
Ismail Bin Katsir al-Quarasyi al-Dimasqa, Tafsir al-Qur ’an al-Adhim, (Cairo: Daar al-Turats al-Arabi,
t,t.), Jilid I, h. 335. Lihat Abu al-Hasan Ali Bin Muhammad Bin Habib al-Mawardi al-Bashari, al-Nikat
wa al-Uyun Tafsir al-Mawardi, (Bairut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), Jilid.I.h.356. Lihat Abu Qasim
JarullahMahmud Bin Umar Bin Muhammad al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, (Bairut : Daar al-Kutub alIlmiyah, 1995), Jilid.I,h.321. Lihat Said Hawa, al-Asaas Fi al-Tafsir, (Cairo: Daar al-Salam, 1985),
Jilid.I, h.661
177
Q.S. al-Mâidah/5:106; Q.S. al-Nûr/24: 4, 6 dan 13; dan Q.S. al-Thalâq/65: 2,
tetapi tidak satupun yang menetapkan bahwa dua orang saksi perempuan
sebagai pengganti satu saksi laki-laki.137
Selanjutnya dia juga mengatakan bahwa karena lelaki dan perempuan
itu punya status yang sama, maka menjadi saksi itu boleh lelaki atau
perempuan. Formula satu lelaki dan dua perempuan merupakan suatu
pengecualian khusus untuk transaksi bisnis, tidak dapat diperluas pada
kesaksian kesaksian yang lain. Di samping juga kini sudah banyak kaum
perempuan yang ahli di bidang bisnis. Masihkah ayat ini relevan? Apakah
masih diinterpretasikan dan diterapkan seperti zaman dahulu? Kesaksiankesaksian yang disebutkan al-Qur’an tidak menentukan bahwa para saksi itu
harus laki-laki. Misalnya dalam al-Qur'an Surat al-Mâidah/5 ayat 106, tentang
kesaksian dalam wasiat. Kemudian al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 15, alQur'an Surat al-Nûr/24 ayat 4, dan al-Qur'an Surat al-Thalâq/65 ayat 2 tentang
kesaksian dalam pembuktian perzinaan. 138
Penulis sepakat dengan pernyataan Zaitunah Subhan yang menyatakan
bahwa tidak semua persaksian dua perempuan dipersamakan dengan satu lakilaki, tapi penulis tidak sepakat ketika Zaitunah mempertanyakan relevansi Q.S.
al-Baqarah/2: 282 dengan konteks sekarang. Karena sama halnya dengan
menolak firman Allah.
Padahal Allah sudah jelas menegaskan dalam
persaksian utang-piutang itu harus 2 orang laki-laki atau satu orang laki-laki
dan 2 orang perempuan.
137
138
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian …, h. 119
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian …, h. 119
178
Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad Quraish Shihab yang
menyatakan:
Kata saksi yang digunakan ayat ini ‫ ﺷﻬﻴﺪﻳﻦ‬bukan ‫ ﺷﺎﻫﺪﻳﻦ‬Ini berarti bahwa
saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal
kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas
tersebut. Dengan demikian tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya.
Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan
anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada yakni kalau bukan dua
orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, yakni yang disepakati oleh yang
melakukan transaksi.139
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab melontarkan pertanyaan,
Mengapa kesaksian dua orang laki-laki, diseimbangkan dengan
satu laki-laki dan dua orang perempuan, yakni seorang laki-laki
diseimbangkan dengan dua orang perempuan? Apakah karena kemampuan
intelektualnya kurang seperti diduga sementara ulama, atau karena
emosinya sering tidak terkendali ? menurut Muhammad Quraish Shihab
tidak ini dan tidak itu. Persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar
Islam tentang tugas utama perempuan dan fungsi utama yang dibebankan
atasnya, yaitu membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi
pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Atas dasar itulah
tuntunan di atas ditetapkan. 140
Muhammad Quraish Shihab selanjutnya menegaskan bahwa al-Qur’an
dan as-Sunah mengatur pembagian kerja antara perempuan dan lelaki, suami
dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberi perhatian
utama yaitu menyediakan kecukupan nafkah untuk anak-anak dan istrinya.
Sedang tugas utama perempuan atau istri adalah membina rumah tangga dan
memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anakanaknya.141
139
140
141
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. I . h. 566
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. I . h. 567
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. I . h. 567
179
Namun perlu dicatat bahwa pembagian kerja itu tidak ketat. Hal ini
dapat dirujuk pada Tafsir al-Mishbah Vol.1 halaman 567.142 Kemudian kata
‫ ﺍﻟﻔﺎﺣﺸﺔ‬dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 15 bukan berarti berzina, atau
orang yang melakukan homo seksual, tapi mereka yang mendatangi tempattempat yang sangat buruk. Perempuan-perempuan yang mengunjungi tempattempat tidak terhormat hendaknya ditahan di rumah sampai mati, atau Allah
memberi jalan keluar baginya berupa perkawinan. Perempuan ditahan
sedangkan laki-laki tidak ditahan, tapi dicemoohkan, karena perempuan tidak
berkewajiban
bertebaran
di
bumi
mencari
rizki.
Dengan
demikian
keberadaannya di rumah tidak membawa dampak negatif bagi diri atau
keluarganya. Berbeda dengan lelaki yang harus keluar mencari rizki.143
Namun demikian Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat
mazhab Maliki dan Hanafi,
Bahwa kesaksian perempuan dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan
dengan harta benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, cerai dan rujuk.
Mazhab Hanafi lebih luas dan lebih sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan kodrat perempuan. Mereka membenarkan kesaksian
perempuan dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta, persoalan rumah
tangga seperti pernikahan, talak dan rujuk bahkan segala sesuatu kecuali
dalam soal kriminal.144
142
Tidak jarang istri para Sahabat Nabi Muhammad saw. ikut bekerja mencari nafkah,
karena suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang
melakukan aktivitas di rumah serta mendidik anak-anaknya. Pembagian kerja yang disebut di atas, dan
perhatian berbeda yang dituntut terhadap tiap-tiap jenis kelamin, menjadikan kemampuan dan ingatan
mereka menyangkut objek perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tangga, pastilah
lebih kuat dari pria yang perhatiannya lebih banyak atau seharusnya lebih banyak tertuju kepada kerja,
perniagaan termasuk hutang piutang. Ingatannya pasti juga lebih kuat dari wanita yang perhatian
utamanya tidak tertuju atau tidak diharapkan tertuju kesana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah
tuntunan di atas ditetapkan. Dan karena al-Qur’an menghendaki wanita memberi perhatian lebih
banyak kepada rumah tangga, atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini, wanita-wanita
tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutang-piutang, baik karena suami tidak mengizinkan
keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih besar dari
kemungkinannya oleh pria. Oleh arena itu demi menguatkan persaksian dua orang wanita di
seimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
143
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2 h. 355
144
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 1 h. 566
180
Kemudian pernyataan Zaitunah bahwa formula satu lelaki dan dua
perempuan hanya berlaku khusus pada transaksi bisnis, justru pada al-Qur'an
Surat al-Nisâ’ ayat 15 tidak menyebutkan perempuan sama sekali, tapi
menyebutkan 4 saksi laki-laki. Hal ini kata Muhammad Quraish Shihab,
Terlihat dari kata ‫ ﺍﺭﺑﻌﺔ‬dipahami, bahwa saksi itu laki-laki, karena bila
yang dimaksud saksi itu perempuan, tentu menggunakan kata ‫ ﺍﺭﺑﻊ‬tanpa
ada huruf ta al-marbuthah , karena dalam kaidah bahasa Arab, bila yang
dihitung adalah perempuan, maka bilangan harus menggunakan
mudzakar (bilangan untuk makna laki-laki), dan sebaliknya jika yang
dihitung adalah mudzakar, maka bilangan harus menggunakan muannats
(bilangan untuk makna perempuan), sedangkan dalam ayat di atas
menggunakan bilangan muannats, berarti yang dihitung adalah mudzakar
(laki-laki).145
Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip perkataan al-Zuhri,
”Telah berlalu masa Rasulullah saw. dan kedua khalifah sesudah beliau,
kebiasaan tidak menerima persaksian perempuan dalam sanksi-sanksi yang
bersifat hudud. Ini karena sejak semula al-Qur’an dan as-Sunnah bermaksud
menghindarkan perempuan dari tempat tempat mesum, apalagi menyaksikan
kedurhakaan yang sangat buruk."146
Begitu juga dalam al-Qur'an Surat al-Nûr/24 ayat 13 mengenai para
penyebar isu juga menggunakan kata
‫ ﺍﺭﺑﻌﺔ‬yang tentunya saksi itu bukan
perempuan, tapi laki- laki, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Sedangkan al-Qur'an Surat al-Mâidah/5 ayat 106 menurut sebab nuzul
ayat ini adalah kasus Tamim al-Dari dan Adi Ibnu Badda, keduanya adalah
laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada Tafsir al-Mishbah Vol. 3 halaman 229.147
145
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 357
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 . h. 357
147
Mereka berdua sering mondar-mandir ke Makkah. Suatu ketika mereka berdua ditemani
oleh seorang pemuda dari Bani Sahm, bernama Budail Ibnu Abi Maryam menuju ke Syam. Dalam
perjalanan, pemuda itu jatuh sakit dan meninggal dunia, di suatu daerah yang tidak berpenduduk
muslim. Sebelum wafatnya ia berwasiat kepada Tamim dan Adi agar menyerahkan harta
146
181
Juga pada al-Qur'an Surat al-Nûr/24 ayat 4, mengenai tuduhan berbuat
zina menggunakan kata
‫ ﺍﺭﺑﻌﺔ‬tidak dengan kata ‫ ﺍﺭﺑﻊ‬yang berarti saksinya
adalah laki-laki. Maka menurut hemat penulis semua ayat yang diungkapkan
Zaitunah di atas tidak ada indikasi menyamakan saksi laki-laki dan perempuan,
bahkan terkesan pada ayat-ayat tersebut semua saksi itu kaum lelaki.
Sedangkan pernyataan Zaitunah di atas dia masih bimbang. Dari satu
sisi dia meralat pernyatannya di atas, tetapi dari sisi lain meyakini adanya
perbedaan laki-laki dan perempuan dalam persaksian walaupun
hanya
memberlakukan dalam masalah transaksi bisnis. Tetapi dalam kesimpulannya
tetap dia mempertanyakan relevan dan tidaknya surat al-Baqarah/2 ayat 282
untuk diterapkan seperti dahulu kala.
Penulis meragukan pernyataan Zaitunah yang membingungkan karena
dia masih mempertanyakan relevansi ayat tersebut dengan kondisi sekarang,
tapi tidak didukung dengan argumen yang kuat. Penulis justru khawatir bila
kebenaran mutlak itu diukur dengan hawa nafsu (keinginan seseorang) bukan
mengacu kepada al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya
‫ﻢ‬‫ ﻓﹶﻬ‬‫ ﺑِﺬِﻛﹾﺮِﻫِﻢ‬‫ﻢ‬‫ﺎﻫ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻞﹾ ﺃﹶﺗ‬‫ ﺑ‬‫ ﻓِﻴﻬِﻦ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺭﺽ‬ ‫ﺍﻟﹾﺄﹶ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺕ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ﺕِ ﺍﻟﺴ‬‫ﺪ‬‫ ﻟﹶﻔﹶﺴ‬‫ﻢ‬‫ﺍﺀَﻫ‬‫ﻮ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﻖ‬‫ ﺍﻟﹾﺤ‬‫ﻊ‬‫ﺒ‬‫ﻟﹶﻮِ ﺍﺗ‬‫ﻭ‬
( ٧١: ٢٣/‫ﺍﳌﺆﻣﻨﻮﻥ‬.)‫ﻮﻥﹶ‬‫ﺮِﺿ‬‫ﻌ‬‫ ﻣ‬‫ ﺫِﻛﹾﺮِﻫِﻢ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah
langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya
peninggalannya kepada keluarganya, dengan menyertakan sepucuk surat yang menjelaskan barang
barang yang ditinggalkannya. Salah satu diantaranya adalah wadah yang terbuat dari ukiran perak
berwarna-warni. Tamim dan Adi yang tidak mengetahui tentang surat itu menjual wadah tersebut dan
menyerahkan sisa harta wasiat Budail kepada keluarganya. Ketika keluarga Budail menanyakan
tentang wadah yang terbuat dari perak itu, Tamim dan Adi mengingkarinya, maka Nabi saw.
menyumpah keduanya. Tidak lama kemudian yang hilang itu ditemukan pada seorang yang mengaku
membelinya dari Tamim dan Adi. Keluarga Budail datang kepada Nabi saw. dan bersumpah bahwa
kesaksian mereka lebih wajar diterima dari sumpah Tamim dan Adi. Maka Rasul saw. membenarkan
dan memberi wadah tersebut kepada keluarga yang meninggal itu. Dalam riwayat lain diinformasikan
bahwa Adi mengembalikan uang harga wadah yang dijualnya kepada ahli waris yang berhak
menerimanya.
182
Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi
mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q.S. al-Mukminûn/23: 71)
Memang dalam teks para ahli fikih terdapat permasalahan yang cukup
hanya disaksikan oleh seorang perempuan, seperti masalah yang tidak boleh
dilihat oleh kaum lelaki seperti melahirkan anak, keperawanan perempuan dan
aib-aib perempuan yang lainnya yang tidak bisa dilihat oleh kaum lelaki.148
Ada juga yang mempersamakan kesaksian laki-laki dan perempuan,
seperti persaksian dalam masalah li’an sebagaimana firman Allah
ٍ ‫ﺍ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ﻊ‬‫ﺑ‬‫ ﺃﹶﺭ‬‫ﺪِﻫِﻢ‬‫ﺓﹸ ﺃﹶﺣ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻬ‬‫ ﻓﹶﺸ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﺍﺀُ ﺇِﻟﱠﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ﻢ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﻜﹸﻦ‬‫ ﻳ‬‫ﻟﹶﻢ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺍﺟ‬‫ﻭ‬‫ﻮﻥﹶ ﺃﹶﺯ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ ﻳ‬‫ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬‫ﻭ‬
‫ﺕ‬
‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﺃﹸ ﻋ‬‫ﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻳ‬‫(ﻭ‬٧)‫ ﺍﻟﹾﻜﹶﺎﺫِﺑِﲔ‬‫ﻪِ ﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣِﻦ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺔﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻋ‬‫ﻨ‬‫ﺔﹸ ﺃﹶﻥﱠ ﻟﹶﻌ‬‫ﺎﻣِﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺨ‬‫(ﻭ‬٦)‫ﺎﺩِﻗِﲔ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ ﻟﹶﻤِﻦ‬‫ﻪ‬‫ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﺇِﻧ‬
‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻋ‬‫ﺐ‬‫ﺔﹶ ﺃﹶﻥﱠ ﻏﹶﻀ‬‫ﺎﻣِﺴ‬‫ﺍﻟﹾﺨ‬‫(ﻭ‬٨)‫ ﺍﻟﹾﻜﹶﺎﺫِﺑِﲔ‬‫ ﻟﹶﻤِﻦ‬‫ﻪ‬‫ﺍﺕٍ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﺇِﻧ‬‫ﺎﺩ‬‫ﻬ‬‫ ﺷ‬‫ﻊ‬‫ﺑ‬‫ ﺃﹶﺭ‬‫ﺪ‬‫ﻬ‬‫ﺸ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﺬﹶﺍﺏ‬‫ﺍﻟﹾﻌ‬
( ٩-٦ : ٢٤/‫ )ﺍﻟﻨﻮﺭ‬‫ﺎﺩِﻗِﲔ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣِﻦ‬
Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka
tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan
(sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk
orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu
benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang
kelima, bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orangorang yang benar. (Q.S. al-Nûr/24 ayat 6-9)
Kemudian Zaitunah Subhan mengatakan, ”Jika kita melihat dari segi
penggunaan bahasa, kata mudzakar tidak secara otomatis menunjuk pria, tanpa
adanya pengkhususan, karena dalam bahasa Arab kata mudzakar berlaku untuk
lelaki dan perempuan."149
148
149
Mahmud Syaltut, Aqîdah wa al-Syarî’ah…, h. 250
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian …, h. 120
183
Tapi sayangnya Zaitunah tidak mencontohkan kata mudzakar yang
berkaitan dengan kesaksian yang diartikan perempuan, karena dalam tata
bahasa Arab semua kata mudzakar hanya dipergunakan untuk makna laki-laki,
begitu juga setiap kata dzakar hanya diartikan lelaki. Lain halnya dengan kata
‫ ﺭﺟﻞ‬memang bisa diartikan dengan tokoh atau nenek moyang yang tidak
terbatas pada laki-laki, melainkan bisa juga perempuan.
Zaitunah menyimpulkan pendapat tiga tafsir/mufassir (Hamka,
Mahmud Yunus, dan Tafsir Depag) mengenai kesaksian yang ada pada surat
al-Baqarah/2 ayat 282 dengan format satu laki-laki dibanding dua perempuan,
ada 3 kategori penyebab yaitu:
a. Sebab yang bersifat kodrati, yaitu perempuan pelupa, emosional,
pemikirannya kurang daripada laki-laki
b. Sebab yang ada pada diri perempuan, yaitu kemungkinan adanya kekuatan
luar yang akan memaksanya untuk memberikan kesaksian palsu
c. Kurang berpengalaman dalam transaksi bisnis.150
Penulis juga kurang sependapat bila format satu laki-laki dibanding
dua perempuan disebabkan tiga faktor tersebut, karena tidak ada penyebutan
tiga faktor itu dalam ayat al-qur’an, tapi penulis sependapat bila ketiga faktor
itu hanya sebagai pembenaran ketika ayat itu turun, untuk meyakinkan
kebenaran mutlak, yaitu al-Qur’an Surat al-Baqarah/2 ayat 282.
Anwar Jundi mengatakan bahwa, "Persaksian dua perempuan sama
dengan persaksian satu orang laki-laki. Hal ini karena mempertimbangkan sifat
kewanitaannya yang lemah-lembut dan halus.”151
150
151
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian …, h. 120
Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 36
184
Muhammad Quraish Shihab belum mengambil sikap yang tegas,
walaupun
ada
kecenderungan
tidak
mempermasalahkan
kesaksian perempuan dalam masalah
membanding-bandingkan
pendapat
para
transaksi
ulama
bisnis,
baik
menyamakan
karena
klasik
baru
maupun
kontemporer.
Adapun saksi dalam masalah rujuk dan cerai, sikap Muhammad
Quraish Shihab cukup jelas, dia menyatakan:”Bahwa printah mempersaksikan
dua orang saksi dalam masalah rujuk atau cerai diperselisihkan oleh para
ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i –dalam satu riwayatmemahaminya printah itu sunnah. Sementara ulama kontemporer dari
golongan sunni secara tegas menyatakannya wajib bahkan menjadikannya
syarat. Pendapat Abduh sejalan dengan pendapat aliran syi’ah sebagaimana
dikemukakan oleh al-Thabarsi dalam tafsirnya dan pendapat inilah yang
diberlakukan oleh Undang-Undang perkawinan di Indonesia.152
Setelah penulis membaca karya Muhammad Quraish Shihab yang
terbaru berjudul Perempuan penulis mulai menemukan titik terang. Dia
mengatakan,
Al-Qur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 282 berbicara tentang persaksian di
bidang keuangan. Karena ayat ini berbicara tentang utang-piutang, dalam
sekian bidang lainnya, kesaksian seorang perempuan dinilai sama dengan
kesaksian seorang lelaki. Misalnya kesaksiannya dalam melihat bulan guna
menentukan awal Ramadhan dan Syawal, dalam hal penyusuan anak,
kelahiran, atau hal-hal yang biasanya diketahui secara jelas oleh
perempuan.153
Jika demikian halnya, maka yang perlu dibahas adalah mengapa
kesaksian perempuan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan keuangan
152
153
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, Vol.14, h. 296
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 266
185
dinilai setengah dari kesaksian seorang lelaki? Secara umum dapat dikatakan
bahwa ketika turunnya ayat ini, keterlibatan perempuan dalam persoalanpersoalan perdagangan belumlah sepesat dewasa ini. Lebih-lebih jika
dikatakan bahwa ayat ini turun menyangkut tuntunan dalam perjalanan, seperti
terbaca pada lanjutan ayat di atas. 154
Dengan demikian, jika pesan ayat ini merupakan bagian dari lapangan
ijtihad dan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Quraish Shihab di atas
merupakan ‘illat (motif penetapan hukum), maka bisa saja kini—kata
Muhammad Quraish Shihab—kesaksian perempuan yang terlibat langsung
dalam bidang keuangan, dinilai sama dengan kesaksian lelaki, yakni kesaksian
seorang perempuan yang telah terlibat begitu banyak dalam soal keuangan
sama dengan kesaksian seorang lelaki.155
Persoalan di atas, jika demikian, maka di sini kita bertemu dengan
aneka pendapat yang berbeda walau semua sepakat menggunakan kaidah yang
menyatakan bahwa, ”Ketetapan hukum berkisar pada 'illatnya; selama ‘illat itu
ada, maka hukum tetap berlaku, dan bila ‘illat telah tiada, maka gugur pula
keberlakuan hukum.”156
Permasalahannya adalah, apakah ‘illat itu permanen atau tidak?
Karena tugas pokok perempuan adalah di rumah, sedangkan tugas pokok
Adam, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur'an Surat Thâha/20 ayat 117
adalah sebagai suami yang memenuhi kebutuhan keluarganya. Tugas utama
perempuan atau istri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian
besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. ‘illat
154
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 267
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 268
156
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 268
155
186
semacam ini dianggap oleh sebagian ulama merupakan ‘illat yang permanen
yang tidak bisa diubah-ubah dalam kondisi apapun.157
Pertanyaannya kemudian adalah apakah pandangan menyangkut
pembagian kerja di atas merupakan pandangan dasar yang mengantar kepada
tidak direstuinya perempuan untuk terlalu banyak berkecimpung dalam bidang
perniagaan dan keuangan dan dengan demikian, tidak pula wajar menyamakan
kesaksian perempuan dalam bidang keuangan sama dengan laki-laki?
Sementara pakar berpendapat demikian, dan membuktikan betapa kerja
perempuan telah berdampak negatif terhadap kehidupan bermasyarkat.158
Muhammad Quraish Shihab enggan berkata demikian selama tugastugas pokok mereka tidak terabaikan. Sekali lagi ini adalah lapangan ijtihad
yang dapat melahirkan aneka pandangan. Yang jelas kenyataannya pada masa
turunnya ayat ini, perempuan-perempuan tidak memberi perhatian yang cukup
terhadap utang piutang, baik karena suami tidak mengizinkan keterlibatan
mereka, maupun oleh sebab lain. Kemungkinan mereka lupa lebih besar
daripada kemungkinannya oleh lelaki. Oleh karena itu, demi menguatkan
persaksian dua orang perempuan diseimbangkan dengan seorang lelaki, supaya
jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya.159
Dalam hal ini Muhammad Quraish Shihab tampak agak jelas sikapnya.
Namun dia masih belum tegas, karena dia menyatakan, bahwa ayat kesaksian
merupakan lapangan ijtihad yang tentu para ulama belum sepakat mengenai
status hukumnya. Untuk itu penulis lebih cenderung pada pendapat
Muhammad
157
Imarah
yang
mengatakan
bahwa
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 270
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 272
159
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 272
158
pembicaraan
di
atas
187
mencampuradukkan antara
‫ ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺓ‬dan kata ‫ﺍﻻﺷﻬﺎﺩ‬. Kata ‫ ﺍﻟﺸﻬﺎﺩﺓ‬adalah alat
bukti yang dijadikan pegangan oleh hakim dalam menyingkap keadilan yang
didasarkan pada alat bukti kesaksian. Untuk melepaskan tuduhan tidak bisa
alat bukti kesaksian itu ukuran diterima dan tidaknya diambil dari laki-laki atau
perempuan, melainkan ukurannya adalah terpenuhinya keyakinan hakim untuk
membenarkan bukti kesaksian itu, tanpa melihat jenis orang yang menjadi
saksi, apakah dia laki-laki atau perempuan. Demikian juga
tanpa melihat
jumlah saksi. Sehingga apabila hakim sudah yakin hatinya bahwa bukti itu
sudah jelas, apakah dia berpegang pada kesaksian dua orang laki-laki, atau dua
orang perempuan, atau seorang laki dan seorang perempuan, seorang laki-laki
dan dua orang perempuan, seorang perempuan dan dua orang laki-laki, atau
seorang laki-laki atau seorang perempuan, tidak terpengaruh laki-laki atau
perempuan dalam kesaksian yang digunakan hakim, melainkan adalah bukti
yang nyata.160
Sedangkan dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 282 berbicara
tentang masalah lain. Tidak membicarakan tentang kesaksian di hadapan
hakim, melainkan berbicara tentang
‫ ﺍﻻﺷﻬﺎﺩ‬memberi kesaksian pada pemilik
hutang untuk mengukuhkan ingatan atas hutangnya, bukan bukti kesaksian
yang dipegang teguh oleh hakim dalam memutuskan persengketaan kedua
belah pihak. Ayat tersebut hanya ditujukan kepada pemilik hutang, bukan
kepada hakim, bahkan tidak ditujukan kepada semua pemilik hutang dan juga
tidak mensyaratkan harus sama jumlahnya dalam segala hal utang piutang,
melainkan hanya ditujukan kepada pemilik hutang secara khusus.161
160
161
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah…, h. 71
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah…, h. 72
188
Kata
‫ ﺍﻻﺷﻬﺎﺩ‬memberi kesaksian dalam masalah hutang-piutang harus
dilakukan 2 orang laki-laki beriman, atau satu laki-laki dan dua orang
perempuan. Persyaratan ini tidak diminta dalam perdagangan modern.
Pemahaman yang demikian dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H./12631328 M), oleh muridnya Ibnu al-Qoyyim (691-751 H./1292-1350 M.),
Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M.) dan Mahmud Syaltut (13101383 H./1893-1963).162
Alat bukti yang dijadikan pegangan hakim mengacu kepada hadis Nabi
saw. yang berbunyi:
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺃﻧﺒﺄﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﻣﺴﻬﺮ ﻭﻏﲑﻩ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﷲ ﻋﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ‬
‫ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﰱ ﺧﻄﺒﺘﻪ ﺍﻟﺒﻴﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺪﻋﻰ‬
١٦٣
‫ﻭﺍﻟﻴﻤﲔ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺪﻋﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ‬
Ali Bin Hujr telah menceritakan kepada kami, Ali Bin Mushir dan
lainnya telah memberitakan kepada kami dari Muhammad Bin
‘Ubaidillah dari Amr Bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakenya, bahwa
Nabi saw. telah bersabda dalam khuthbahnya :"Bukti itu bagi orang
yang menuduh dan sumpah bagi orang yang terduduh." (H.R.alTurmudzi)
Muhammad Imarah mengutip perkataan Ibnu Taimiyah yang
menjelaskan bahwa,
Al-Qur’an tidak menyebut dua saksi laki-laki atau satu laki-laki dan
dua perempuan dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh hakim,
melainkan al-Qur’an menyebutkan dua macam pembuktian (Q.S.alBaqarah/2: 282). Dalam ayat ini Allah memerintahkan mereka dalam
rangka menjaga hak mereka dengan dua cara. Pertama ditulis, dan kedua
dengan cara kesaksian dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan
dua orang perempuan.164
162
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …, h. 73
CD Program Hadits ‘Mausu’ah al-Hadits Asy-Syarif al-Kutub al-Tis’ah Versi, 2.00 Kitab
Sunan al-Turmudzi, Nomor. 1261
164
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …, h. 74
163
189
Semua ini merupakan nasihat untuk mereka, dan mendidik serta
petunjuk bagi mereka yang ingin menjaga hak-haknya. Menjaga hak
merupakan sesuatu dan hakim memutuskan hukum dengan sesuatu merupakan
hal yang lain pula. Maka cara memutuskan hukum lebih luas dari kesaksian
dua orang laki-laki atau dua orang perempuan.165
Seorang hakim dibolehkan memutuskan hukum dengan kesaksian
seorang laki-laki, jika seorang laki-laki itu diyakini benar dalam masalah selain
pidana. Allah mewajibkan hakim agar memutuskan hukum hanya dengan dua
saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Ini bukan
berarti hakim tidak boleh memutuskan hukum dengan cara lebih sedikit dari
yang ditetapkan. Karena Rasulullah—sebagai hakim—memutuskan hukum
dengan seorang saksi laki-laki dan sumpah, bahkan dengan seorang saksi lakilaki saja. Hal itu tidak dianggap menyalahi kitab Allah bagi yang mengerti,
karena hukum Allah dan hukum Rasulullah tidak bertentangan. Misalnya
ketika Nabi saw. menerima kesaksian seorang Baduwi melihat bulan di dalam
bulan Ramadhan (ru’yah al-hilal), begitu juga ketika Nabi saw. menerima
seorang saksi laki-laki dalam masalah perhiasan orang yang terbunuh, dan
kesaksian seorang dokter yang adil dalam masalah kena luka dapat diterima.166
Nabi saw. menerima kesaksian seorang perempuan dalam masalah
menyusui yang bersaksi atas perbuatannya sendiri dalam kasus Uqbah Ibnu alHaris yang mengawini Ummu Yahya Binti Abi Iahab. Lalu datang seorang
budak perempuan hitam dan berkata, "Saya telah menyusui anda berdua." Hal
itu diadukan kepada Nabi saw. Nabi meminta memaparkan kepadanya.
Mendengar hal itu Nabi bersabda, "Bagaimana dia sudah mengakui, bahwa dia
165
166
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …, h. 75
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah…, h. 76
190
telah menyusui kamu berdua."167
Nabi menerima kesaksian perempuan
tersebut.
Nabi Muhammad juga menerima kesaksian seorang perempuan dalam
masalah hudud (pidana) seperti kasus seorang perempuan diperkosa oleh
seorang laki-laki, sebagaimana ditegaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud
yang berbunyi:
ٍ ‫ﺮ‬‫ ﺣ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺎﻙ‬‫ﺎ ﺳِﻤ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺍﺋِﻴﻞﹸ ﺣ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺇِﺳ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ ﺣ‬‫ﺎﺑِﻲ‬‫ﻳ‬‫ﺎ ﺍﻟﹾﻔﱢﺮ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﻦِ ﻓﹶﺎﺭِﺱٍ ﺣ‬‫ﻰ ﺑ‬‫ﻴ‬‫ﺤ‬‫ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ ﺑ‬‫ﺪ‬‫ﻤ‬‫ﺤ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﺛﹶﻨ‬‫ﺪ‬‫ﺣ‬
‫ﺏ‬
‫ﺮِﻳﺪ‬‫ ﺗ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻪِ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺒِﻲ‬‫ﺪِ ﺍﻟﻨ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻰ ﻋ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ﺃﹶﺓﹰ ﺧ‬‫ﺮ‬‫ ﺃﹶﺑِﻴﻪِ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻣ‬‫ﻦ‬‫ﺍﺋِﻞٍ ﻋ‬‫ﻦِ ﻭ‬‫ﺔﹶ ﺑ‬‫ﻠﹾﻘﹶﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻦ‬‫ﻋ‬
‫ﻞﹲ ﻓﹶﻘﹶﺎﻟﹶﺖ‬‫ﺟ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺮ‬‫ ﻓﹶﻤ‬‫ﻄﹶﻠﹶﻖ‬‫ﺍﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺖ‬‫ﺎﺣ‬‫ﺎ ﻓﹶﺼ‬‫ﻬ‬‫ ﻣِﻨ‬‫ﻪ‬‫ﺘ‬‫ﺎﺟ‬‫ﻰ ﺣ‬‫ﺎ ﻓﹶﻘﹶﻀ‬‫ﻠﱠﻠﹶﻬ‬‫ﺠ‬‫ﻞﹲ ﻓﹶﺘ‬‫ﺟ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻠﹶﻘﱠﺎﻫ‬‫ﻠﹶﺎﺓﹶ ﻓﹶﺘ‬‫ﺍﻟﺼ‬
‫ﻞﹶ ﺑِﻲ‬‫ﻞﹶ ﻓﹶﻌ‬‫ﺟ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ ﺇِﻥﱠ ﺫﹶﻟِﻚ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻟﹶﺖ‬‫ﺎﺟِﺮِﻳﻦ‬‫ﻬ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺔﹲ ﻣِﻦ‬‫ﺎﺑ‬‫ ﻋِﺼ‬‫ﺕ‬‫ﺮ‬‫ﻣ‬‫ﻛﹶﺬﹶﺍ ﻭ‬‫ﻞﹶ ﺑِﻲ ﻛﹶﺬﹶﺍ ﻭ‬‫ ﻓﹶﻌ‬‫ﺇِﻥﱠ ﺫﹶﺍﻙ‬
‫ﺬﹶﺍ‬‫ ﻫ‬‫ﻮ‬‫ ﻫ‬‫ﻢ‬‫ﻌ‬‫ ﻧ‬‫ﺎ ﺑِﻪِ ﻓﹶﻘﹶﺎﻟﹶﺖ‬‫ﻫ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﻓﹶﺄﹶﺗ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻗﹶﻊ‬‫ ﻭ‬‫ﻪ‬‫ ﺃﹶﻧ‬‫ﺖ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻇﹶﻨ‬‫ﺟ‬‫ﺬﹸﻭﺍ ﺍﻟﺮ‬‫ﻄﹶﻠﹶﻘﹸﻮﺍ ﻓﹶﺄﹶﺧ‬‫ﻛﹶﺬﹶﺍ ﻓﹶﺎﻧ‬‫ﻛﹶﺬﹶﺍ ﻭ‬
‫ﻮﻝﹶ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻳ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻗﹶﻊ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻭ‬‫ﻬ‬‫ﺎﺣِﺒ‬‫ ﺻ‬‫ ﺑِﻪِ ﻗﹶﺎﻡ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺃﹶﻣ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﻤ‬‫ﻠﱠﻢ‬‫ﺳ‬‫ﻪِ ﻭ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺻ‬‫ﺒِﻲ‬‫ﺍ ﺑِﻪِ ﺍﻟﻨ‬‫ﻮ‬‫ﻓﹶﺄﹶﺗ‬
‫ﺩ‬‫ﺍﻭ‬‫ﻮ ﺩ‬‫ﺎ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑ‬‫ﻨ‬‫ﺴ‬‫ﻟﹰﺎ ﺣ‬‫ﻞِ ﻗﹶﻮ‬‫ﺟ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟِﻠﺮ‬‫ ﻟﹶﻚِ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻏﹶﻔﹶﺮ‬‫ﺒِﻲ ﻓﹶﻘﹶﺪ‬‫ﺎ ﺍﺫﹾﻫ‬‫ﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻬ‬‫ﻬ‬‫ﺎﺣِﺒ‬‫ﺎ ﺻ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺃﹶﻧ‬
‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺎﺑ‬‫ ﺗ‬‫ﺔﹰ ﻟﹶﻮ‬‫ﺑ‬‫ﻮ‬‫ ﺗ‬‫ﺎﺏ‬‫ ﺗ‬‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﻟﹶﻘﹶﺪ‬‫ﻮﻩ‬‫ﻤ‬‫ﺟ‬‫ﺎ ﺍﺭ‬‫ﻬ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻗﹶﻊ‬‫ﻞِ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻭ‬‫ﺟ‬‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻟِﻠﺮ‬‫ﻮﺫﹶ ﻭ‬‫ﺄﹾﺧ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺟ‬‫ﻨِﻲ ﺍﻟﺮ‬‫ﻌ‬‫ﻳ‬
168
ٍ‫ﺎﻙ‬‫ ﺳِﻤ‬‫ﻦ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻀ‬‫ﺮٍ ﺃﹶﻳ‬‫ﺼ‬‫ ﻧ‬‫ﻦ‬‫ﺎﻁﹸ ﺑ‬‫ﺒ‬‫ ﺃﹶﺳ‬‫ﺍﻩ‬‫ﻭ‬‫ﺩ ﺭ‬‫ﺍﻭ‬‫ﻮ ﺩ‬‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﺑ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺔِ ﻟﹶﻘﹸﺒِﻞﹶ ﻣِﻨ‬‫ﺪِﻳﻨ‬‫ﻞﹸ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺃﹶﻫ‬
”Muhammad bin Yahya bin Faris menceritakan kepada kami, alFaryabi menceritakan kepada kami, Israil menceritakan kepada kami,
Simak bin Harb menceritakan kepada kami dari Alqamah bin Wail dari
Ayahnya, ”Bahwa seorang perempuan pada masa Nabi saw. keluar
rumah untuk menunaikan shalat, lalu seorang laki-laki bertemu dengan
perempuan tersebut, lalu seorang laki-laki itu memperdayakannya dan
menodai perempuan tersebut, lalu perempuan itu berteriak kemudian
laki-laki itu lari. Ketika laki-laki itu melewati perempuan tersebut,
perempuan itu berkata, ”Bahwa orang itu yang menodai saya beginibegitu. Lalu sekelompok kaum Muhajirin lewat, maka perempuan itu
mengadu kepada kaum Muhajirin tersebut, bahwa laki laki itu yang
167
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah…, h. 77
Abu Dawud Sulaiman Bin al-Asy’ats al-Sujistani al-Azadi, Sunan Abi Dawud, (Cairo:
Daar al-Hadits, 1999), Jilid IV, h. 1872
168
191
menodai saya begini-begitu. Lalu kaum Muhajirin itu mengejar dan
menagkap laki-laki yang diduga bahwa dia pelaku pemerkosaan, lalu
mereka membawanya kepada perempuan tersebut, dan perempuan itu
mengatakan, ”Benar bahwa dia ini pelakunya." Kemudian mereka
membawanya kepada Rasulullah saw. Ketika Rasulullah
memerintahkan untuk dirajam, pelaku pemerkosaan yang sebenarnya
berdiri sambil mengatakan, ”Wahai Rasulullah, (bukan dia) pelakunya.
Sayalah pelakunya". Lalu Rasulullah bersabda, ”Pergilah wahaiperempuan, mudah mudahan Allah mengampuni kamu," Rasulullah
saw. bersabda kepada laki-laki itu, "Kamu telah mengatakan dengan
baik.". Abu Dawud mengatakan, ”Yang dimaksud adalah laki-laki
yang dibawa". Dan Rasulullah saw. mengatakan kepada laki-laki yang
melakukan pemerkosaan, "Rajamlah dia." Lalu bersabda, ”Sungguh
dia bertaubat, seandainya penduduk Madinah menerima taubatnya,
maka dia akan diterima oleh mereka.” Abu Dawud mengatakan,
”Asbath bin Nashr juga meriwayatkannya dari Simak.”
Muhammad Imarah mengutip Ibnu Taimiyah yang mengomentari alQur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 282 yang intinya menjelaskan bahwa dua orang
perempuan sebagai pengganti seorang laki-laki agar jika perempuan yang satu
lupa, maka perempuan yang lain mengingatkannya. Ini bukan tabiat
perempuan secara keseluruhan dan bukan keharusan dalam segala kesaksian,
melainkan suatu masalah yang mempunyai hubungan dengan keahlian dan
akan mengalami perkembangan dan perubahan. Dengan demikian, jika seorang
perempuan memiliki keahlian dalam kesaksian tertentu, kesaksian perempuan
tidak selalu setengah dari kesaksian laki laki.169
Muhammad Imarah mengutip perkataan Muhammad Abduh yang
mengatakan bahwa,
Kesaksian dua orang perempuan, dengan alasan bahwa perempuan itu
lupa, kurang tepat. Yang benar adalah karena perempuan dalam bidang
bisnis pada umumnya ingatannya lemah. Lain halnya dalam bidang rumah
tangga, perempuan adalah bidangnya. Perempuan lebih kuat ingatannya
dalam bidang rumah tangga dibanding kaum laki-laki. Artinya bahwa
169
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 78
192
tabiat manusia baik laki-laki maupun perempuan, dia akan kuat ingatannya
terhadap masalah yang memang bidangnya.170
Perbedaan kesaksian antara laki-laki dan perempuan dalam masalah
utang-piutang dan perdagangan (bisnis) ditegaskan dalam al-Qur'an Surat alBaqarah/2 ayat 282 dengan alasan tabiat perempuan dalam masalah bisnis
cepat lupa, bukan tabiat umumnya perempuan, tapi perempuan-perempuan
tertentu saja. Dan dalam permasalahan tertentu yaitu masalah bisnis, sebagai
bukti:
a. Persaksian dalam masalah bisnis terdapat dalam al-Qur'an Surat
al-
Baqarah/2 ayat 282 untuk mencegah perselisihan dan persengketaan dibuat
2 sarana, yaitu ditulis dan disaksikan oleh 2 orang laki-laki atau seorang
laki-laki dan dua orang perempuan.
b. Persaksian dalam masalah selain bisnis, tidak ada perbedaan antara lakilaki dan perempuan (Q.S. al-Thalâq/65: 2 dan Q.S. al-Mâidah/5:106).
Saksi dalam masalah talak dan wasiat tidak dipersyaratkan seperti dalam
masalah bisnis, namun dipersyaratkan adil. Sedangkan adil dalam
kesaksian mencakup laki-laki dan perempuan. Begitu juga jumlah dua
orang merupakan lafazh umum yang mencakup laki-laki dan perempuan.
c. Kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang
perempuan dalam masalah bisnis, oleh Mahmud Syaltut
merupakan
petunjuk pada waktu transaksi bisnis, bukan kapasitas sebagai saksi di
pengadilan.
d. Bahwa saksi itu hanya untuk mengukuhkan dan menjaga hak, maka ketika
tidak terpenuhi jumlah yang dikehendaki al-Qur’an, seorang saksi sudah
cukup seperti yang dilakukan Rasulullah.
170
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 80
193
e. Perbedaan dalam kesaksian antara laki-laki dan perempuan tidak berarti
memberikan keistimewaan kepada laki-laki, karena dalam kondisi tertentu
syariat Islam menerima kesaksian perempuan semata, seperti untuk
mengukuhkan kelahiran anak dari ibunya.
f.
Perbedaan kesaksian antara laki-laki dan perempuan dalam bisnis bukan
untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Ketika Allah menjadikan
saksi dalam masalah perzinaan adalah 4 orang laki-laki, bukan berarti
menurunkan derajat laki-laki, melainkan untuk menjaga kehormatan
perempuan dan menjaga kemuliaannya
g. Syariat Islam ketika membedakan laki-laki dan perempuan dalam
kesaksian, maka perbedaan keduanya didasarkan kepada kekhususan tabiat
masing-masing. Jika syariat Islam menyamakan laki-laki dan perempuan
dalam satu masalah, hal itu dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan
dan keadilan manusia, bukan untuk kemaslahatan perempuan saja.171
Dalam masalah persaksian, Muhammad Quraish Shihab menggunakan
instrumen ‫ﺍﻟﺴﺒﺐ‬
‫ﺍﻟﻌﱪﺓ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﲞﺼﻮﺹ‬. Hal ini dapat dilihat ketika Quraish
Shihab menafsirkan ayat persaksian. Dia menafsirkan secara tekstual tanpa
melihat dalam konteks apa ayat itu berbicara. Bahkan dia berusaha merujuk
pada para mufasir lain sebagai perbandingan yang mendukung pendapatnya.
Walaupun dalam buku terbarunya yang berjudul Perempuan, dia dapat
menerima dengan kondisi yang berbeda dapat berubah. Namun dia tetap pada
pendapatnya bahwa bila dalam kondisi seperti ayat itu turun, maka ayat itu
berlaku kembali. Sedangkan para mufasir kontemporer mereka memahami teks
melalui kekhususan sebab, bukan melalui keumuman lafazh yang biasa
171
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 182-184
194
disebutkan
‫ ﺍﻟﻌﱪﺓ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﻻ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ‬Mereka berpendapat bahwa bila
teks ayat itu tidak sesuai dengan kondisi realitas sosial masyarakat, maka teks
ayat itu dianggap tidak relevan dan tidak perlu diamalkannya.
Namun demikian, ada sebagian pakar kontemporer tidak menggunakan
metodologi yang benar, sehingga mereka mudah saja mengatakan ayat alQur’an sudah tidak relevan, yang berarti tidak mengakui keberadaan ayat alQur’an. Sementara Muhammad Quraish Shihab, menganggap semua ayat tetap
eksis sampai hari kiamat. Sebab, sekalipun ayat itu sudah tidak relevan, seperti
ayat perbudakan, mungkin saja dikemudian hari ayat itu diberlakukan kembali.
Hal ini sejalan dengan almarhum Ibrahim Hosen ketika menanggapi tulisan
almarhum Munawir Syadzali yang mengatakan bahwa, ”Umar Bin Khathab
dianggap melanggar ayat, karena menghilangkan bagian muallaf dalam
masalah zakat.”
Menurut Ibrahim Hosen Umar bin Khathab tidak melanggar ayat,
namun wadah hukum yang dianggap tidak ada oleh Umar. Sehingga jika
muallaf timbul kembali, maka bagian muallaf harus ditimbulkan kembali.
Dan berangkat dari sini pula Munawir Sjadzali berkeyakinan, bahwa al-Qur’an
terbagi dua kategori yaitu akidah dan mu’amalat. Ayat-ayat yang masuk
kategori mu’amalat boleh tidak diamalkan sebagaimana yang dilakukan oleh
Umar Bin Khaththab. Sementara Muhammad Quraish Shihab dan Ibrahim
Hosen menyatakan, bahwa Umar Bin Khaththab tidak melanggar ayat, tapi
umar tidak melaksanakannya karena obyek /wadah hukumnya yang dianggap
tidak ada.
Jadi ayat al-Qur’an menurut Quraish dan Ibrahim Hosen seluruhnya
tetap eksis, sekalipun obyek/wadah hukumnya tidak ada, maka keduanya
195
membagi hukum dalam al-Qur’an kepada dua kategori yaitu qath’i dan zhanni.
Maka sekalipun ayat itu masuk dalam kategori mu’amalat, tapi jika masuk
dalam kategori qath’i, maka tidak boleh dilanggar bahkan wajib diamalkannya.
E. Ayat-Ayat Kepemimpinan
Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hubungan satu sama
lain, kemudian membuat kelompok-kelompok, baik dalam lingkup kecil
maupun besar. Setiap kelompok apapun memerlukan seorang pemimpin. Islam
mengatur sedemikian rupa yang berkaitan dengan kepemimpinan, baik yang
berkaitan dengan kepemimpinan rumah tangga, kepemimpinan masyarakat,
kepemimpinan
negara,
dan
sejenisnya.
Untuk
membahas
masalah
kepemimpinan, perlu dikelompokkan kepada dua macam kepemimpinan.
1. Kepemimpinan dalam rumah tangga
Diantara ayat yang mengatur kepemimpinan rumah tangga adalah
‫ﻢ‬ ِ‫ﺍﻟِﻬ‬‫ـﻮ‬‫ ﺃﹶﻣ‬‫ﻔﹶﻘﹸﻮﺍ ﻣِـﻦ‬‫ﺎ ﺃﹶﻧ‬‫ﺑِﻤ‬‫ﺾٍ ﻭ‬‫ﻌ‬‫ﻠﹶﻰ ﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻀ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﻓﹶﻀ‬‫ﺎﺀِ ﺑِﻤ‬‫ﺴ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﻨ‬‫ﻮﻥﹶ ﻋ‬‫ﺍﻣ‬‫ﺎﻝﹸ ﻗﹶﻮ‬‫ﺟ‬‫ﺍﻟﺮ‬
‫ﻦ‬‫ ﻓﹶﻌِﻈﹸـﻮﻫ‬‫ﻦ‬‫ﻫ‬‫ﻮﺯ‬‫ـﺸ‬‫ﺎﻓﹸﻮﻥﹶ ﻧ‬‫ﺨ‬‫ﺍﻟﻠﱠﺎﺗِﻲ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻔِﻆﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﺣ‬‫ﺐِ ﺑِﻤ‬‫ﻴ‬‫ ﻟِﻠﹾﻐ‬‫ﺎﻓِﻈﹶﺎﺕ‬‫ ﺣ‬‫ﺎﺕ‬‫ ﻗﹶﺎﻧِﺘ‬‫ﺎﺕ‬‫ﺎﻟِﺤ‬‫ﻓﹶﺎﻟﺼ‬
‫ﺎ‬‫ﻠِﻴ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ‬‫ﺒِﻴﻠﹰﺎ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺳ‬‫ﻬِﻦ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻮﺍ ﻋ‬‫ﻐ‬‫ﺒ‬‫ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺗ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺃﹶﻃﹶﻌ‬‫ﻦ‬‫ﻮﻫ‬‫ﺮِﺑ‬‫ﺍﺿ‬‫ﺎﺟِﻊِ ﻭ‬‫ﻀ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻦ‬‫ﻭﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺠ‬‫ﺍﻫ‬‫ﻭ‬
(٣٤ : ٤/‫ﺍ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻛﹶﺒِﲑ‬
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, janganlah
196
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S. al-Nisâ’/4: 34)
Sifat kejantanan merupakan unsur pokok dalam kepemimpinan, maka
suami adalah kepala rumah tangga menurut semua peraturan yang ada di
dunia. Oleh karena itu anak-anak dinisbatkan kepada ayah walaupun seorang
ibu yang banyak dibebani oleh seorang anak sejak dalam kandungan sampai
melahirkan, bahkan sampai besar. Namun Islam berbeda dengan peraturan
yang ada di dunia, karena Islam menjadikan suami menjadi pemimpin dengan
dua alasan yaitu, karena memiliki sifat kejantanan dan memberi nafkah. (Q.S.
al-Nisâ’/4: 34).172
Jika kewajiban laki-laki memberi nafkah kepada keluarganya dijadikan
alasan bahwa laki-laki berhak menjadi pemimpin, maka bagaimana jika
perempuan yang mencari nafkah? Apakah kepemimpinan dapat berpindah
kepada sang istri? Salim al-Bahnasawi menjawab, ”Memberi nafkah semata
bukan menjadikan sebab kepemimpinan di tangan suami. Sebab yang paling
prinsip adalah fisik yang dimiliki laki-laki.”173
Muhammad Shahrur tidak sependapat bila kepemimpinan laki-laki
dikaitkan dengan faktor fisik, yakni bahwa kaum laki-laki secara alami adalah
pemimpin bagi kaum perempuan. Mereka memahami firman Allah Bimâ
faddhalallah ba ’dhohum alâ ba ’dhin dengan pengertian bahwa Allah telah
melebihkan kaum laki-laki di atas kaum perempuan dengan ilmu, agama, akal,
dan kekuasaan. Pendapat demikian tidak berarti sedikitpun baginya.
Seandainya Allah menghendaki arti demikian, seharusnya Allah akan
berfirman, Adzukûru qawwâmûna ‘alâ al-inâts.174
172
173
174
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 2001
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 2002
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 448
197
Muhammad Shahrur berpendapat bahwa, ”Arti firman Allah Bimâ
fadhlallah ba ’dhohum ‘lâ Ba ’dhin mencakup laki-laki maupun perempuan
sekaligus. Karena seandainya kata ba ’dhohum hanya menunjuk kaum laki-laki
saja, maka yang masuk di dalamnya adalah sebagian kaum laki-laki, bukan
seluruh kaum laki-laki. Selain itu, seharusnya firman selanjutnya adalah ‘alâ
ba ’dhihinna yang menunjuk kepada sebagian kaum perempuan, bukan
seluruhnya, sehingga keseluruhannya berarti bahwa Allah telah melebihkan
sebagian kaum laki-laki di atas sebahagian kaum perempuan. Lalu apa yang
terjadi dengan bagian sisanya? Apakah sama-sama memiliki kelebihan? Di
manakah dengan kaum perempuan yang memiliki kelebihan di atas kaum lakilaki yang ada di berbagai bidang dan zaman? Dari sinilah kami memahami
bahwa kalimat Ba ’dhohum ‘alâ ba ’dhin mencakup kaum laki-laki dan kaum
perempuan sekaligus, sehingga firman di atas berarti karena Allah telah
melebihkan sebagian laki-laki dan perempuan di atas sebagian laki-laki dan
perempuan yang lainnya. Arti demikian mengacu pada firman Allah 175
: ١٧/‫ )ﺍﻻﺳﺮﺍﺀ‬.‫ﻔﹾﻀِﻴﻠﹰﺎ‬‫ﺗ‬
‫ﺮ‬‫ﺃﹶﻛﹾﺒ‬‫ﺎﺕٍ ﻭ‬‫ﺟ‬‫ﺭ‬‫ ﺩ‬‫ﺮ‬‫ﺓﹸ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬‫ﻟﹶﻠﹾﺂﺧِﺮ‬‫ﺾٍ ﻭ‬‫ﻌ‬‫ﻠﹶﻰ ﺑ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻀ‬‫ﻌ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ ﻓﹶﻀ‬‫ﻒ‬‫ ﻛﹶﻴ‬‫ﻈﹸﺮ‬‫ﺍﻧ‬
( ٢١
Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas
sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi
tingkatnya dan lebih besar keutamaannya. (Q.S.al-Isrâ’/17 : 21)
Kemudian Muhammad Shahrur beralih pada aspek kedua, yaitu aspek
harta benda. Dalam firman-Nya, Wabimâ anfaqû min amwâlihim, seorang
pemilik harta benda pasti memiliki kepemimpinan (al-qiwâmah) tanpa harus
melihat kecakapan dan ketinggian kesadaran dan kebudayaannya. Oleh karena
itu, seorang pemilik pabrik yang berpendidikan rendah, misalnya, bisa
175
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 449
198
menunjuk seorang direktur yang berijazah tinggi untuk menjalankan
pabriknya. Sang direktur akan tunduk terhadap seluruh kebijakan sang pemilik
pabrik karena ia memiliki kekuasaan untuk menyalurkan harta (qiwwâmât alInfâq). Kekuasaan/kepemimpinan dalam bidang ekonomi ini tampak jelas pada
individu-individu, keluarga, dan negara-negara maju dan tidak berkaitan sama
sekali dengan tingkat kebudayaan dan kecakapan.176
Adapun ulama yang berpendapat bahwa kepemimpinan kaum laki-laki
atas kaum perempuan disebabkan adanya faktor alami (penciptaan) yang
dimiliki kaum laki-laki. Imam al-Suyuthi misalnya, menisbatkan pendapatnya
kepada beberapa sabda Nabi, diantaranya:
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺍﳍﻴﺜﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻮﻑ ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﺍﰉ ﺑﻜﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻟﻘﺪ ﻧﻔﻌﲏ ﺍﷲ ﺑﻜﻠﻤﺔ‬
‫ﲰﻌﺘﻬﺎﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻳﺎﻡ ﺍﳉﻤﻞ ﺑﻌﺪ ﻣﺎﻛﺪﺕ ﺍﻥ ﺍﳊﻖ ﺑﺎﺻﺤﺎﺏ‬
‫ﺍﳉﻤﻞ ﻓﺎﻗﺎﺗﻞ ﻣﻌﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﳌﺎ ﺑﻠﻎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﺍﻫﻞ ﻓﺎﺭﺱ ﻗﺪ ﻣﻠﻜﻮﺍ‬
١٧٧
‫ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﻨﺖ ﻛﺴﺮﻯ ﻗﺎﻝ ﻟﻦ ﻳﻔﻠﺢ ﻗﻮﻡ ﻭ ﻟﻮ ﺍﻣﺮﻫﻢ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ‬
Usman Bin al-Haitsam telah menceritakan kepada kami, Auf telah
menceritakan kepada kami dari al-Hasan, dari Abi Bakrah telah
berkata, "Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku pada
waktu perang jamal dengan kalimat yang saya dengar dari Rasulullah
saw. setelah aku hampir bergabung dengan pasukan unta untuk
bertempur bersama mereka, Abu Bakrah berkata, 'Ketika ada berita
sampai kepada Rasulullah, bahwa penduduk Persi telah mengangkat
putri Kisra menjadi Ratu, maka Rasulullah bersabda 'Tidak akan
sukses suatu kaum jika masalah pemerintahan diserahkan kepada
perempuan.'" (H.R. al-Bukhari).
Kaum perempuan adalah kurang dalam akal dan agamanya."
(Bukhari: 293), "Persaksian seorang dari kaum perempuan adalah seperti
separuh persaksian dan inilah yang dimaksud kurang akal, dan karena mereka
176
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 449
Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari, (selanjutnya tertulis alBukhari) (Bairut: Dâr al-Fikr, 1995), Julid III, h. 89
177
199
berhaid sehingga mereka dilarang melaksanakan shalat, dan itulah yang
dimaksud kurang dalam agama," dan sabda Nabi, ”Yang menggugurkan shalat
adalah perempuan, himar (keledai) dan anjing hitam.” (Turmudzi: 310).
Keseluruan hadis-hadis tersebut, bagi Muhammad Shahrur tidaklah berarti
sama sekali.178
Kaum laki-laki memiliki kekuasaan dalam kekayaan, pendidikan, budi
pekerti dan kemampuan memimpin. Kaum perempuan juga demikian. Tidak
diragukan lagi bahwa kebaikan sebuah keluarga dan masyarakat akan tercapai
jika kepemimpinan berada di tangan orang yang memiliki kelebihan, baik lakilaki ataupun perempuan. Inilah maksud dari ayat 34 surat al-Nisâ di atas. Ayat
tersebut diawali dengan pernyataan bahwa kepemimpinan kaum laki-laki atas
kaum perempuan, Al-Rijâlu qawwâmûna 'alâ al-nisâ. Selanjutnya beralih
kepada isyarat tentang adanya kesamaan antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan, dan tentang kelebihan yang dianugerahkan oleh Allah kepada
sebagian orang laki-laki dan perempuan atas sebagian yang lainnya. Ayat
tersebut kemudian diakhiri dengan uraian tentang kepemimpinan kaum
perempuan atas kaum laki-laki, Fa al-shâlihâtu qânitâtun, hâfidhâtun lii algaibi bimâ hafizha Allahu. Kata al-hâfidhât di sini berarti bahwa kaum
perempuan yang pantas untuk memimpin, karena kepemimpinan merupakan
tema pokok dalam ayat ini.179
Dengan demikian, ayat 34 surat al-Nisâ’ di atas
berisi tentang
penjelasan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang perempuan yang diberi
anugerah hak kepemimpinan, berupa kekayaan, pendidikan, ataupun kadar
intelektual. Sifat-sifat tersebut adalah patuh dan menjaga aib suami. Apabila ia
178
179
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 450
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 452
200
memiliki sifat-sifat demikian, maka ia pantas untuk memimpin. Akan tetapi
jika ia tidak memiliki sifat-sifat tersebut, maka ia telah keluar dari garis
kelayakan sebagai pemimpin, yang dalam ayat di atas disebut nâsiz: wallâti
takhâfûna nusyûzahunna…(perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan
nusyuznya…) yakni keluar dari sifat rendah hati dan menjaga aib suami. 180
Sampailah kepada kesimpulan Muhammad Shahrur, bahwa nusyuz di
sini tidaklah berkaitan sama sekali baik dengan kesalehan dalam pengertian
mendirikan shalat dan puasa, maupun dengan pelanggaran etika dan
kedurhakaan yang mengharuskannya diberi pendidikan dan pukulan tangan,
sebagaimana dikemukakan oleh al-Suyuthi dan ulama lainnya. Akan tetapi,
kata tersebut berarti keluar dari garis kepemimpinan dengan kasih dan sayang,
yakni otoriter dan kesewenang-wenangan pendapat. Lawan katanya adalah
qunut yang berarti kerendahhatian, kesabaran dan berlapang dada. Sampailah
pada penghujung ayat tentang langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
keadaan munculnya tanda-tanda nusyuz seorang perempuan yang memiliki hak
kepemimpinan, apakah ia seorang istri, saudara perempuan, anak perempuan,
ataupun seorang ibu.181
Hal di atas berkenan dengan nusyuz dan perbedaan ketika hak
kepemimpinan berada di tangan perempuan. Jika hak kepemimpinan berada di
tangan laki-laki, kemudian ia berbuat sewenang-wenang, lalim, dan nusyuz,
maka ayat 128 dalam surat yang sama memberikan penjelasan tentangnya serta
menetapkan cara penyelesaiannya. Allah berfirman 182
180
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 453
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 453
182
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 455
181
201
‫ﺎ‬‫ـﻠﹾﺤ‬‫ﺎ ﺻ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﺑ‬‫ﻠِﺤ‬‫ﺼ‬‫ﺎ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﻬِﻤ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺎﺡ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ﻓﹶﻠﹶﺎ ﺟ‬‫ﺍﺿ‬‫ﺮ‬‫ ﺇِﻋ‬‫ﺍ ﺃﹶﻭ‬‫ﻮﺯ‬‫ﺸ‬‫ﺎ ﻧ‬‫ﻠِﻬ‬‫ﻌ‬‫ ﺑ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺎﻓﹶﺖ‬‫ﺃﹶﺓﹲ ﺧ‬‫ﺮ‬‫ﺇِﻥِ ﺍﻣ‬‫ﻭ‬
‫ﻠﹸـﻮﻥﹶ‬‫ﻤ‬‫ﻌ‬‫ـﺎ ﺗ‬‫ ﻛﹶـﺎﻥﹶ ﺑِﻤ‬‫ﻘﹸﻮﺍ ﻓﹶﺈِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺘ‬‫ﺗ‬‫ﻮﺍ ﻭ‬‫ﺴِﻨ‬‫ﺤ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﺢ‬‫ ﺍﻟﺸ‬‫ﻔﹸﺲ‬‫ﺕِ ﺍﻟﹾﺄﹶﻧ‬‫ﻀِﺮ‬‫ﺃﹸﺣ‬‫ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ ﺧ‬‫ﻠﹾﺢ‬‫ﺍﻟﺼ‬‫ﻭ‬
( ١٢٨ : ٤/‫)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬.‫ﺍ‬‫ﺒِﲑ‬‫ﺧ‬
Dan jika seorang perempuan khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika
kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyûz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Nisâ’/4: 128).
Menurut hemat penulis pendapat Muhammad Shahrur yang
menghendaki kepemimpinan berada pada orang yang memiliki materi baik
laki-laki maupun perempuan sekalipun dia tidak pandai dan lemah, kurang
tepat. Hal itu dikarenakan di dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 34 tidak
berbicara tentang sebuah perusahaan. Ayat tersebut berbicara tentang rumah
tangga yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah, yaitu bahwa
kepemimpinan dalam rumah tangga ada pada suami, karena Allah sudah
memberikan 2 hal pada seorang suami, yaitu kelebihan dari segi fisik dan
kewajiban memberi nafkah. Demikian pula Rasulullah saw. telah mengatur
masalah kepemimpinan dalam rumah tangga secara berjenjang, sebagaimana
beliau bersabda:
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﺍﻥ ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻣﻮﺳﻰ ﺑﻦ ﻋﻘﺒﺔ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿـىﺎﷲ‬
‫ ﻛﻠﻜﻢ ﺭﺍﻉ ﻭﻛﻠﻜﻢ ﻣﺴﺆﻭﻝ ﻋﻦ ﺭﻋﻴﺘـﻪ‬: ‫ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ‬
‫ﻭﺍﻻﻣﲑ ﺭﺍﻉ ﻭ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺭﺍﻉ ﻋﻠﻰ ﺍﻫﻞ ﺑﻴﺘﻪ ﻭﺍﳌﺮﺃﺓ ﺭﺍﻋﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺑﻴـﺖ ﺯﻭﺟﻬـﺎﻭ ﻭﻟـﺪﻩ‬
١٨٣
( ‫ﻓﻜﻠﻜﻢ ﺭﺍﻉ ﻭﻛﻠﻜﻢ ﻣﺴﺆﻭﻝ ﻋﻦ ﺭﻋﻴﺘﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬
183
Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari, …, Jilid III. h. 277
202
Abdân telah menceritakan kepada kami, Abdullah telah
memberitahukan kepada kami, Musa Bin ‘Uqbah telah
memberitahukan kepada kami dari Nâfi’ dari Ibnu Umar ra. dari Nabi
saw. telah bersabda, ”Kalian semuanya adalah pemimpin dan setiap
pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya, seorang Raja
adalah pemimpin, seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya,
seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan anaknya
maka semua kalian adalah pemimpin dan semua kalian bertanggung
jawab atas kepemimpinannya.'" (H.R.Al-Bukhari)
Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad Quraish Shihab yang
mengatakan bahwa fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta
latar belakang perbedaan itu disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan
bahwa para lelaki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami adalah qawwâmûn,
pemimpin dan penaggung jawab atas para perempuan, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka
yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak anaknya.
Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah dan juga
kepada suaminya, setelah mereka bermusyawarah bersama dan atau bila
perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah serta tidak mencabut
hak-hak pribadi istrinya. Disamping itu, ia juga memelihara diri, hak-hak
suami dan rumah tangga ketika suaminya tidak berada di tempat, karena Allah
telah memelihara mereka. Pemeliharaan Allah terhadap para istri antara lain
dalam bentuk memelihara cinta suaminya ketika suami tidak berada di tempat
dengan cinta yang lahir dari kepercayaan suami terhadap istrinya.184
184
Muhammad .Quraish Shihab, al-Misbah…, Vol. 2, h. 402
203
Kemudian Allah memberi petunjuk kepada para suami dalam rangka
mengatur dan mengantisipasi terjadinya pembangkangan para istri terhadap
suaminya. Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol. 2, h. 403.185
Kata
‫ ﺍﻟﺮﺟــﺎﻝ‬adalah bentuk jamak dari kata ‫ ﺭﺟــﻞ‬yang biasa
diterjemahkan laki-laki. Walaupun al-Qur'an tidak selalu menggunakannya
dalam arti tersebut. Banyak ulama yang memahami kata ‫ ﺍﻟﺮﺟـﺎﻝ‬dalam ayat ini
dalam arti para suami. Penulis tadinya ikut mendukung pendapat itu. Dalam
buku Wawasan al-Qur'an, Muhammad Quraish Shihab mengemukakan bahwa
‫ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻗﻮﺍﻣـﻮﻥ ﻋﻠـﻰ ﺍﻟﻨـﺴﺎﺀ‬bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran
pernyataan di atas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat, adalah karena mereka
(para suami) menafkahkan sebagian harta mereka untuk istri-istri mereka.186
Kemudian
Muhammad
Quraish
Shihab
menemukan
tulisan
Muhammad Thahir Ibnu Asyur dalam tafsirnya yang mengemukakan
pendapatnya yang amat perlu dipertimbangkan yaitu bahwa kata ‫ ﺍﻟﺮﺟـﺎﻝ‬tidak
digunakan oleh bahasa Arab, bahkan bahasa al-Qur'an, dalam arti suami.
Berbeda dengan kata ‫ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬atau ‫ ﺍﻣﺮﺍﺓ‬yang digunakan untuk makna istri.187
Kata
‫ ﻗﻮﺍﻣﻮﻥ‬adalah bentuk jamak dari kata ‫ ﻗﻮﺍﻡ‬yang terambil dari kata
‫ ﻗﺎﻡ‬Kata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat misalnya, juga menggunakan
akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi
185
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan yakni sebelum terjadi nusyuz mereka, yaitu
pembangkangan terhadap hak hak yang dianugerahkan Allah kepada kamu, wahai para suami, maka
nasihatilah mereka pada saat yang tepat dan dengan kata kata yang menyentuh, tidak menimbulkan
kejengkelan, dan bila nasihat belum mengahiri pembangkangannya maka tinggalkanlah mereka bukan
dengan keluar dari rumah, tetapi di tempat pembaringan kamu berdua, dengan memalingkan wajah dan
membelakangi mereka. Kalau perlu tidak mengajak berbicara paling lama tiga hari berturut turut untuk
menunjukkan rasa kesal dan ketidakbutuhanmu kepada mereka—ika sikap mereka berlanjut—dan
kalau inipun belum mempan, maka demi memelihara kelanjutan rumah tanggamu, maka pukullah
mereka, tetapi pukulan yang tidak menyakitkan agar tidak mencendrainya namun menunjukkan sikap
tegas.
186
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h.403
187
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h.404
204
melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun, dan
sunnah-sunnahnya.188
Sering kali kata
‫ ﺍﻟﺮﺟــﺎﻝ‬diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi
agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang
dikehendaki. Walaupun harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu
aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain, dalam pengertian
"kepemimpinan" tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan,
pembelaan dan pembinaan…Nah siapakah yang harus memimpin? Allah swt.
menetapkan lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok.
Pertama,
‫ ﲟﺎﻓﻀﻞ ﺍﷲ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌـﺾ‬karena Allah melebihkan sebagian mereka
atas sebagian yang lain, yakni masing-masing memiliki keistimewaankeistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimilki lelaki lebih menunjang tugas
kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Di sisi lain,
keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai
pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya
dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.189
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa fungsi menciptakan bentuk,
atau bentuk disesuaikan dengan fungsi. Mengapa pisau diciptakan lancip dan
tajam? Mengapa bibir gelas tebal dan halus? Mengapa tidak sebaliknya?
Jawabannya adalah ungkapan di atas. Yakni pisau diciptakan demikian, karena
ia berfungsi untuk memotong, sedangkan gelas untuk minum. Kalau bentuk
gelas sama dengan pisau, maka ia berbahaya dan gagal dalam fungsinya. Kalau
188
189
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 404
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 404
205
pisau dibentuk seperti gelas, maka sia-sialah kehadirannya dan gagal pula ia
dalam fungsinya.190
Kedua,
‫ ﲟﺎﺍﻧﻔﻘﻮﺍﻣﻦ ﺍﻣﻮﺍﳍﻢ‬disebabkan karena mereka telah menafkahkan
sebagian harta mereka. Bentuk kata kerja past tense/masa lampau yang
digunakan ayat ini telah menafkahkan, menunjukkan bahwa memberi nafkah
kepada perempuan telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan
umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian
lumrah hal tersebut, sehingga langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja
masa lalu yang menunjukkan terjadinya sejak dahulu. Penyebutan konsideran
itu oleh ayat ini menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga
kini. Dalam konteks kepemimpinan dalam keluarga, alasan kedua agaknya
cukup logis. Bukankah dibalik setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang
membayar memperoleh fasilitas? Tetapi pada hakikatnya, ketetapan ini bukan
hanya atas pertimbangan materi.191
Perempuan secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami,
bahkan kekasihnya. Di sisi lain, lelaki malu jika ada yang mengetahui bahwa
kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu, agama Islam yang
tuntunann- tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia mewajibkan suami untuk
menanggung biaya hidup istri dan anak-anaknya. Lebih lanjut lihat Tafsir alMisbah Vol. 2,.h. 407.192
190
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 405
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 407
192
Kewajiban itu diterima dan menjadi kebanggaan suami, sekaligus menjadi kebanggaan
istri yang dipenuhi kebutuhan dan permintaannya oleh suami, sebagai tanda cinta kepadanya. Dalam
konteks pemenuhan kebutuhan istri secara ekstrem dan berlebihan, pakar hukum Islam, Ibnu Hazm,
berpendapat bahwa wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suaminya dalam hal
menyediakan makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban
menyiapkan untuk istri dan anak anaknya pakaian jadi, dan makanan yang siap dimakan.
191
206
Nah dari kedua faktor yang disebutkan di atas—keistimewaan fisik
dan psikis, serta kewajiban memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak—lahir
hak- hak suami yang harus pula dipenuhi oleh istri. Suami wajib ditaati oleh
istrinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta
tidak bertentangan dengan hak pribadi sang istri. Ini bukan kewajiban taat
secara mutlak. Jangankan terhadap suami, terhadap ibu bapakpun kebaktian
kepada mereka tidak boleh mencabut hak- hak pribadi seorang anak.193
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menyatakan perlunya digaris
bawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami tidak
boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Al-Qur'an menganjurkan
untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap persoalan. Termasuk di
dalamnya persoalan yang dihadapi keluarga. Sepintas terlihat bahwa tugas
kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan derajat/tingkat yang lebih
tinggi dari perempuan. Bahkan ada ayat al-Qur'an yang menegaskan derajat
tersebut.194
‫ﺎﻣِﻬِﻦ‬‫ﺣ‬‫ ﻓِﻲ ﺃﹶﺭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻠﹶﻖ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ ﻣ‬‫ﻦ‬‫ﻤ‬‫ﻜﹾﺘ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﻦ‬‫ﺤِﻞﱡ ﻟﹶﻬ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻭﺀٍ ﻭ‬‫ ﺛﹶﻠﹶﺎﺛﹶﺔﹶ ﻗﹸﺮ‬‫ﻔﹸﺴِﻬِﻦ‬‫ ﺑِﺄﹶﻧ‬‫ﻦ‬‫ﺼ‬‫ﺑ‬‫ﺮ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﻄﹶﻠﱠﻘﹶﺎﺕ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻭ‬
‫ـﻦ‬‫ﻟﹶﻬ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻠﹶﺎﺣ‬‫ﻭﺍ ﺇِﺻ‬‫ﺍﺩ‬‫ ﺇِﻥﹾ ﺃﹶﺭ‬‫ ﻓِﻲ ﺫﹶﻟِﻚ‬‫ﻫِﻦ‬‫ﺩ‬‫ ﺑِﺮ‬‫ﻖ‬‫ ﺃﹶﺣ‬‫ﻦ‬‫ﻬ‬‫ﻮﻟﹶﺘ‬‫ﻌ‬‫ﺑ‬‫ﻡِ ﺍﻟﹾﺂﺧِﺮِ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﺍﻟﹾﻴ‬‫ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﻭ‬‫ﻣِﻦ‬‫ﺆ‬‫ ﻳ‬‫ﺇِﻥﹾ ﻛﹸﻦ‬
( ٢٢٨ : ٢/‫ ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﻜِﻴﻢ‬‫ ﺣ‬‫ﺰِﻳﺰ‬‫ ﻋ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺔﹲ ﻭ‬‫ﺟ‬‫ﺭ‬‫ ﺩ‬‫ﻬِﻦ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺎﻝِ ﻋ‬‫ﺟ‬‫ﻟِﻠﺮ‬‫ﻭﻑِ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ ﺑِﺎﻟﹾﻤ‬‫ﻬِﻦ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ِﻣﺜﹾﻞﹸ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻋ‬
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki
ishlah. Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan
193
194
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 408
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 408
207
kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Baqarah/2: 228)
Quraish Shihab mengutip perkataan Imam Fakhruddin al-Razi yang
menyatakan bahwa keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua
belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak,
antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah/pengembala, dan dalam
kedudukannya seperti itu, ia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan
kepentingan rakyatnya (istrinya). Istripun berkewajiban untuk mendengar dan
mengikutinya. Tetapi di sisi lain, perempuan mempunyai hak terhadap
suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi.”195
Kalau
titik
temu
tidak
diperoleh
dalam
musyawarah,
dan
kepemimpinan suami yang harus ditaati dihadapi oleh istri dengan nusyuz,
keangkuhan, dan pembangkangan, maka ada tiga langkah yang dianjurkan di
atas untuk ditempuh suami untuk mempertahankan mahligai perkawinan.
(Selanjutnya lihat Tafsir al-Mishbah Vol. 2. h. 409).196
Firman-Nya ‫ ﺍﻫﺠﺮﻭﻫﻦ‬yang diterjemahkan dengan tinggalkanlah mereka
adalah perintah kepada suami untuk meninggalkan istri, didorong oleh rasa
tidak senang pada kelakuannya. (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol. 2
.h.409).197
195
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 409
Ketiga langkah tersebut adalah nasihat, menghindari hubungan seks, dan memukul.
Ketiganya dihubungkan satu dengan yang lain dengan menggunakan huruf wawu (‫ ) ﻭ‬yang biasa
diterjemahkan dengan dan. Huruf itu tidak mengandung makna perurutan, sehingga dari segi tinjauan
kebahasaan dapat saja yang kedua di dahulukan sebelum yang pertama. Namun demikian, penyusunan
langkah langkah itu sebagaimana bunyi teks memberi kesan bahwa itulah perurutan langkah yang
sebaiknya ditempuh.
196
197
Ini dipahami dari kata hajar yang berarti meninggalkan tempat, atau keadaan yang tidak
baik, atau tidak disenangi menuju ke tempat dan atau keadaan yang baik atau lebih baik. Jelasnya, kata
ini tidak digunakan untuk sekedar meninggalkan sesuatu, tetapi di samping itu ia juga mengandung
dua hal lain. Yang pertama, bahwa sesuatu yang ditinggalkan itu buruk atau tidak disenangi, dan yang
208
Kata
‫ ﻓىﺎﳌﻀﺎﺟﻊ‬yang diterjemahkan dengan di tempat pembaringan, di
samping menunjukkan bahwa suami tidak meninggalkan mereka di rumah,
bahkan tidak juga di kamar, tetapi di tempat tidur. (Lebih lanjut lihat Tafsir alMishbah Vol. 2. h. 410).198 Kata ‫ ﻭﺍﺿﺮﺑﻮﻫﻦ‬yang diterjemahkan dengan pukullah
diambil dari kata ‫ ﺿﺮﺏ‬yang mempunyai banyak arti.199
Sementara ulama memahami perintah menempuh langkah pertama dan
kedua di atas ditujukan kepada suami. Sedang langkah ketiga—yakni
memukul—ditujukankepada penguasa. (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah
Vol. 2. h.172).200
kedua, ia ditinggalkan untuk menuju ke tempat dan keadaan yang lebih baik. Jika demikian, melalui
perintah ini, suami dituntut untuk melakukan dua hal pula. Pertama, menunjukkan ketidaksenangan
atas sesuatu yang buruk dan telah dilakukan oleh istrinya, dalam hal ini adalah nusuz dan kedua, suami
harus berusaha untuk meraih di balik pelaksanaan perintah itu sesuatu yang baik atau lebih baik dari
keadaan semula.
Ini karena ayat tersebut menggunakan kata fi ( ‫ ) ﰱ‬yang berarti di tempat tidur, bukan
kata ‫ ﻣﻦ‬yang berarti dari tempat tidur, yang berarti meninggalkan dari tempat tidur. Jika demikian,
suami hendaknya jangan meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar tempat suami-istri
biasanya tidur. Kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda kesalahpahaman dapat memperlebar
jurang perselisihan. Perselisihan hendaknya tidak diketahui oleh orang lain, bahkan anak anak dan
anggota keluarga di rumah sekalipun. Karena semakin banyak yang mengetahui, maka semakin sulit
memperbaiki. Kalaupun kemudian ada keinginan untuk meluruskan benang kusut, boleh jadi harga diri
di hadapan mereka yang mengetahuinya akan menjadi aral penghalang.
199
Bahasa, ketika menggunakan dalam arti memukul, tidak selalu dipahami dalam arti
menyakiti atau melakukan sesuatu tindakan keras dan kasar. Orang yang berjalan kaki atau musafir
dinamai oleh bahasa dan oleh al-Qur’an yadhribuna fi al-ardhi, yang secara harfiyah berarti memukul
di bumi. Karena itu, perintah di atas dipahami oleh ulama berdasarkan penjelasan Rasul saw. bahwa
yang dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakitkan. Perlu dicatat bahwa ini adalah
langkah terakhir bagi pemimpin rumah tangga (suami) dalam upaya memelihara kehidupan rumah
tangganya.
198
200
Memang, tidak jarang ditemukan dua pihak yang diperintah dalam satu ayat (baca
kembali penjelasan tentang ayat 229 dari surat al-Baqarah). Atas dasar ini, ulama besar Atha’
berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istrinya, paling tinggi hanya memarahinya.”
Pemahamannya itu berdasar adanya kecaman Nabi saw. kepada suami yang memukul istrinya, seperti
sabda beliau yang artinya, ”Orang orang terhormat tidak memukul istrinya.” Sejumlah ulama
sependapat dengan Atha’ dan menolak atau memahami secara metafora hadis-hadis yang
membolehkan suami memukul istrinya. Betapapun, kalau ayat ini dipahami sebagai izin memukul istri
oleh suami, maka harus dikaitkan dengan hadis hadis Rasul saw. di atas, yang menyaratkan tidak
menciderainya, tidak juga pukulan itu ditujukan kepada kalangan yang menilai pemukulan sebagai
suatu penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat. Agaknya untuk masa kini, dan di kalangan
keluarga terpelajar, pemukulan bukan lagi satu cara yang tepat. Kemudian Quraish Shihab mengutip
209
Bila ketiga langkah tersebut tidak berhasil, maka langkah berikut
adalah sebagaimana yang diperintahkan Allah (Q.S.Al-Nisâ’/4 : 35) :
ِ‫ﻓﱢﻖ‬‫ ﻮ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻠﹶﺎﺣ‬‫ﺍ ﺇِﺻ‬‫ﺮِﻳﺪ‬‫ﺎ ﺇِﻥﹾ ﻳ‬‫ﻠِﻬ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﺎ ﻣِﻦ‬‫ﻜﹶﻤ‬‫ﺣ‬‫ﻠِﻪِ ﻭ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﺎ ﻣِﻦ‬‫ﻜﹶﻤ‬‫ﻌﺜﹸﻮﺍ ﺣ‬ ‫ﺎ ﻓﹶﺎﺑ‬‫ﻨِﻬِﻤ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ ﺷِﻘﹶﺎﻕ‬‫ﻢ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘ‬‫ﻭ‬
( ٣٥ : ٤/‫) ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬. ‫ﺍ‬‫ﺒِﲑ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ﻠِﻴﻤ‬‫ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻋ‬‫ﺎ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suamiistri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Berkaitan dengan kepemimpinan dalam rumah tangga, ada hal yang
menarik dari pernyataan Muhammad Quraish Shihab yang tidak dituangkan
dalam Tafsir al-Mishbah, tapi dituangkan dalam buku karya beliau yang
berjudul Perempuan.
Bila dua syarat kepemimpinan suami dalam rumah tangga yakni
kemampuan qawwâmah dan kemampuan memberi nafkah tidak dimiliki
oleh seorang suami, atau kemampuan istri melebihi kemampuan suami
dalam hal keistimewaan—misalnya karena suami sakit—maka bisa saja
kepemimpinan rumah tangga beralih kepada istri. Tetapi ini dengan syarat
kedua faktor yang di sebut di atas tidak dimiliki suami. Jika suami tidak
mampu memberi nafkah, namun tidak mengalami gangguan dari segi
keistimewaan yang dibutuhkan dalam kepemimpinan, maka istri belum
boleh mengambil alih kepemimpinan itu.201
Tapi sayangnya dalam buku Muhammad Quraish Shihab tersebut tidak
menjelaskan alasan secara rinci tentang kebolehan istri mengambil alih
kepemimpinan suaminya.
tulisan Muhamad Thahir Ibnu Asyur, ”Pemerintah, jika mengetahui bahwa suami tidak dapat
menempatkan sanksi- sanksi agama ini di tempatnya yang semestinya, dan tidak mengetahui batas
batas yang wajar, maka dibenarkan bagi pemerintah untuk menghentikan sanksi ini dan
mengumumkan bahwa siapa yang memukul istrinya, maka dia akan dijatuhi hukuman. Ini agar tidak
berkembang luas tindakan-tindakan yang merugikan istri, khususnya di kalangan mereka yang tidak
memiliki moral.”200
201
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h.334
210
Tampaknya Muhammad Quraish Shihab sudah mulai masuk pada
wilayah ijtihad dengan menggunakan methode ushul fiqih yang menyatakan
٢٠٢
.‫ﻗﺮﺭ ﺍﻻﺻﻮﻟﻴﻮﻥ ﺍﻥ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺗﺪﻭﺭ ﻭﺟﻮﺩﺍ ﻭ ﻋﺪﻣﺎ ﻣﻊ ﻋﻠﻠﻬﺎ ﻻ ﻣﻊ ﺣﻜﻤﻬﺎ‬
”Para pakar ushul al-fiqh menetapkan bahwa hukum-hukum syariat
(hukum Islam) itu berputar bersama ‘illatnya, ada maupun tiadanya,
bukan bersama hikmahnya.”
Suami dijadikan pemimpin dalam rumah tangga oleh Allah, karena ada
2 ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu memiliki kelebihan fisik dan kewajiban
memberi nafkah. Oleh karena itu maka jika kedua hal tersebut tidak ada, maka
dapat diambil alih kepemimpinan rumah tangga itu oleh istrinya yang memang
memiliki kedua hal tersebut.
Wahbah al-Zuhaily dalam menafsirkan al-Qur'an Surat al-Nisâ/4 ayat
34 sejalan dengan Quraish Shihab. Dalam tafsirnya ditegaskan bahwa
penafsiran
ayat
di
atas
adalah
suami/laki-laki
adalah
pemimpin
istri/perempuan. Suami/laki-laki sebagai kepala rumah tangga, hakim dalam
rumah tangga, dan sebagai pendidik istri bila istri menyimpang. Dia sebagai
pemelihara dan pengelola rumah tangga. Oleh karena itu dia wajib berusaha
dengan sungguh sungguh. dia berhak mendapatkan waris lebih besar dari istri
karena dia yang diberi beban untuk memberi nafkah kepada istri dan anak
anaknya. Adapun sebab seorang suami menjadi kepala rumah tangga ada dua,
yaitu:
a. Adanya kekuatan fisik. Dia sempurna fisiknya, kuat akalnya, perasaannya
stabil. Seorang suami lebih unggul daripada istri/perempuan, baik dari segi
akal, pendapat, ide, dan kekuatan fisiknya. Untuk itu Allah memberikan
risalah, kenabian, kepemimpinan, penyebaran agama kepada para laki-laki
202
Abdu al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah
Syabab al-Azhar, 1968), h. 66
211
seperti azan, iqamah, khuthbah, shalat Jumat, dan jihad. Begitu juga talak
ada di tangan mereka (suami), dan mereka dibolehkan memiliki banyak istri.
Saksi dalam pidana dikhususkan pada kaum lelaki, serta bagian waris lebih
banyak daripada wanita.
b. Wajib memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Wajib memberi
mahar, karena mahar merupakan lambang penghormatan terhadap
perempuan. Sedangkan selain tersebut di atas hak dan kewajibannya sama
antara laki laki dan perempuan.203 Ini merupakan bagian dari kebaikan Islam
sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 228.
Ahmad Mushthafa al-Maraghi juga sejalan dengan Quraish Shihab. AlMaraghi menegaskan bahwa
Suami memimpin istri, karena suami yang melaksanakan urusan istri,
dan memperhatikan untuk menjaganya, sebab suami dilebihkan
daripada istri, karena dua hal. Pertama, secara alami laki-laki itu
diciptakan Allah kuat dan sempurna fisiknya seperti kuat akalnya,
pemandangannya jernih dalam menghadapi permasalahan sejak awal
sampai ahir permasalahan. Kedua, dari segi usaha, laki-laki memiliki
kekuatan untuk usaha dan mengatur segala urusan. Oleh karena itu
laki-laki dibebani untuk memberi nafkah kepada istri dan melakukan
kepemimpinan dalam rumah tangga.204
Begitu juga Zamakhsyari,205 Sayyid Qutub,206 Said Hawa,207
mempunyai pandangan yang sama, yaitu bahwa kepemimpinan itu berada di
tangan kaum lelaki (suami) disebabkan dua faktor. Pertama, kaum laki-laki
203
Wahbah al-Zuhaily, al-Munîr… , Juz 5, h. 54
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, Jilid. V., h. 26 Lihat Muhammad
Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân Tafsir Ayat al-Ahkâm Min al-Qur ’an, (Cairo: Dâr al-Shabuni, 1999),
Jilid.I. h. 332 Lihat Abi al-Hasan Ali Muhammad Bin Habib al-Mawardi al-Bashari, al-Naktu Wa alUyûn Tafsir al-Mawardi, (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), Jilid.I, h. 480 Lihat Tafsir
Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Bin Umar al-Biqa’i , Nudzum al-Durar…, Juz 2, h. 251
205
Abu al-Qaasim Jaru Allah Mahmud Bin Umar Bin Muhammad al-Zamakhsyari, alKasysyaf…, Jilid.I, h. 495
206
Sayyid Qutub, Fi Dhilâl al-Qur ’an, (Cairo: Daar al-Syuruq, 1981), Jilid. II, h.649
207
Said Hawa , al-Asâs Fî al-Tafsîr …, Jilid. II. h. 1052
204
212
diberi kelebihan oleh Allah seperti akal, ide, cita-cita, kekuatan fisik,
kesempurnaan puasa, shalat, kenabian, kepemimpian, menjadi imam, azan
dalam shalat, khuthbah, saksi dalam hukum pidana, qishash, mendapat waris
yang berlipat, memiliki nikah, dan talak. Kedua, disebabkan kaum lelaki
diwajibkan memberi nafkah dan mahar pada sang istrinya dan anak-anaknya.
Faisar Ananda Arfa menyimpulkan bahwa dari diskursus di atas
terlihat perbedaan interpretasi antara kelompok Islam tradisional dan modern
dalam melihat soal kepemimpinan perempuan dalam Islam. Bagi kelompok
Islam tradisional berpandangan bahwa kepemimpinan berada di tangan lakilaki dengan asumsi bahwa Allah telah melebihkan laki-laki dari perempuan
secara fisik maupun mental yang merupakan prasyarat mutlak bagi
kepemimpinan yang baik. Pembebanan kewajiban nafkah kepada laki-laki
menambah kesan bahwa yang kuat bahwa Tuhan mempercayakan laki-laki
sebagai pemimpin. Ketentuan Allah ini merupakan harga mati yang tidak dapat
ditawar dalam kondisi dan situasi apapun.208
Sebaliknya bagi kelompok Islam modern berpandangan bahwa ajaran
Islam diklasifikasikan dalam dua bagan besar, yakni ajaran dasar dan ajaran
bukan dasar. Masalah kepemimpinan dimasukkan ke dalam bagian ajaran
bukan dasar, yang bersifat interpretatif dan karenanya sangat mungkin berubah
sesuai dangan perkembangan zaman dan perkembangan kehidupan manusia.
Mereka kelihatanya memandang bahwa kepemimpinan dalam Islam bukan
sesuatu yang given, namun merupakan ajang kompetisi terbuka yang dapat
diperebutkan baik oleh laki-laki dan perempuan. 209
208
Faisar Ananda Arfa, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, (selanjutnya tertulis Wanita
Modernis) (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 111
209
Faisar Ananda Arfa, Wanita Modernis…, h. 112
213
Nampaknya
Faisar Ananda Arfa mengikuti paradigma yang
dikembangkan oleh Munawir Sjadzali yang mengatakan, bahwa al-Qur’an
dikelompokkan pada dua kelompok yaitu aqîdah dan mu’âmalat. Ayat dalam
kategori mu’âmalat akal boleh berperan sekalipun bertentangan dengan teks
ayat al-Qur’an. Dan masalah kepemimpinan termasuk kategori mu’âmalat,
maka wajar dia menyimpulkan bahwa ayat tentang kepemimpinan bersifat
kondisional.
Hal tersebut dapat dilihat dalam pernyataannya:
Ayat-ayat al-Quran tentang kepemimpinan dipandang sebagai ayat
yang bersifat kondisional, dan merupakan cerminan dari masyarakat Arab
ketika ayat tersebut diturunkan. Oleh karena itu ayat-ayat itu tidak
merupakan ayat yang mengikat kaum muslimin sepanjang masa dan di
berbagai tempat di pelosok dunia. Jadi dasar pemikiran yang
dikembangkan oleh kelompok Islam modern dalam masalah ini adalah
bahwa dalam soal ajaran yang bukan dasar dan bersifat muamalah seperti
soal kepemimpinan ini, Islam tidak memberikan aturan yang ketat dan
kaku, namun dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan
perubahan tempat.210
Penulis tidak sependapat dengan pernyataan Faisar Ananda Arfa yang
menyatakan bahwa perbedaan masalah kepemimpinan dalam al-Qur'an Surat
al-Nisâ’/4 ayat 34 di kelompokkan pada penafsiran para mufasir klasik dan
modern, tapi yang jadi pokok masalah adalah kepemimpinan dalam rumah
tangga atau kepemimpinan dalam masyarakat, karena kepemimpinan dalam
rumah tangga mayoritas ulama baik ulama klasik maupun modern telah
sepakat bahwa suami adalah pemimpin tertinggi dalam keluarga. Namun
terhadap masalah kepemimpinan dalam masyarkat, para ulama berbeda
pendapat dan semuanya mengacu pada al-Qur'an Surat al-Taubah/9 ayat 71.
Untuk itu dalam masalah kepemimpinan penulis membagi dalam dua hal, yaitu
210
Faisar Ananda Arfa, Wanita Modernis…, h. 112
214
kepemimpinan dalam rumah tangga sebagaimana dijelaskan di atas dan
kepemimpinan dalam masyarakat/pemerintahan yang akan dijelaskan berikut
ini.
2. Kepemimpinan dalam masyarakat/pemerintahan
Hak-hak politik dianggap sebagai ukuran/barometer yang amat penting
yang harus diperhatikan ketika melihat masyarakat tertentu untuk mengetahui
kemajuan kehidupan sosial masyarakat. Sehingga individu yang mendapat
kesempatan melakukan hak-hak politik dalam masyarakat tertentu, dia akan
ikut serta dengan orang-orang lain dalam membangun masyarakat ini dan
dapat memudahkan urusan pribadinya serta perkembangannya ke tingkat yang
lebih unggul.211
Berkaitan dengan hal tersebut, ada hal yang lebih penting lagi untuk
diperhatikan yaitu hak-hak politik perempuan, yaitu hak menyatakan pendapat,
kebebasan pendapat, kebebasan sosial, hak memilih, dan dipilih untuk anggota
MPR/DPR, kebebasan menyatakan pendapat di pengadilan, dan hak menjadi
pimpinan pada lembaga pelayanan umum.212
Islam mengajak kepada kaum laki-laki maupun perempuan untuk
menyatakan pendapatnya dalam berbagai hal sebagaimana yang ditegaskan
dalam al-Qur'an, yaitu:
a. Kaum perempuan bebas berpendapat dan berfikir
Allah telah berfirman dalam beberapa ayat tentang musyawarah antara
lain:
211
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah Fî
al-Mujtama al-Islâm,
(selanjutnya tertulis Huqûq al-Mar ’ah) (Mesir: al-Haiah al-Mishriyah al-âmmah Li al-Kitâb, 1986), h.
51
212
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah .., h. 52
215
‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﻒ‬‫ ﻓﹶﺎﻋ‬‫ﻟِﻚ‬‫ﻮ‬‫ ﺣ‬‫ﻮﺍ ﻣِﻦ‬‫ﻔﹶﻀ‬‫ﺎ ﻏﹶﻠِﻴﻆﹶ ﺍﻟﹾﻘﹶﻠﹾﺐِ ﻟﹶﺎﻧ‬‫ ﻓﹶﻈ‬‫ﺖ‬‫ ﻛﹸﻨ‬‫ﻟﹶﻮ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﺖ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻟِﻨ‬‫ﺔٍ ﻣِﻦ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻓﹶﺒِﻤ‬
‫ )ﺍﻝ‬‫ﻛﱢﻠِﲔ‬‫ﻮ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺤِﺐ‬‫ ﻳ‬‫ﻠﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻛﱠﻞﹾ ﻋ‬‫ﻮ‬‫ ﻓﹶﺘ‬‫ﺖ‬‫ﻣ‬‫ﺰ‬‫ﺮِ ﻓﹶﺈِﺫﹶﺍ ﻋ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﻣ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺎﻭِﺭ‬‫ﺷ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﻔِﺮ‬‫ﻐ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺳ‬‫ﻭ‬
(١٥٩ : ٣/‫ﻋﻤﺮﺍﻥ‬
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. (Q.S. Ali Imrân/3:159)
‫ﻔِﻘﹸﻮﻥﹶ‬‫ﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻢ‬‫ﺎﻫ‬‫ﻗﹾﻨ‬‫ﺯ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ﻣِﻤ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻯ ﺑ‬‫ﻮﺭ‬‫ ﺷ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺃﹶﻣ‬‫ﻠﹶﺎﺓﹶ ﻭ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﺼ‬‫ﺃﹶﻗﹶﺎﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻬِﻢ‬‫ﺑ‬‫ﻮﺍ ﻟِﺮ‬‫ﺎﺑ‬‫ﺠ‬‫ﺘ‬‫ ﺍﺳ‬‫ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬‫ﻭ‬
(٣٨ :٤٢/‫)ﺍﻟﺸﻮﺭﻱ‬
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari
rizki yang Kami berikan kepada mereka. (Q.S. al-Syurâ/42: 38)
Tidak ada perbedaan dalam mendiskusikan masalah-masalah umum
dalam masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Perempuan pada permulaan
Islam selalu ikut serta dalam urusan sosial dan tidak dipencilkan/diasingkan
dari aktivitas masyarakat di tengah-tengah keberadaan Nabi saw. Begitu juga
pada masa al-Khulafa al-Rasyidin. Bahkan tidak ada seorangpun yang
mengingkari hak bersekutu bagi kaum perempuan dalam masalah-masalah
umum di masyarkat.213
Jamaluddin
Muhammad
Mahmud
mengatakan:"Bahwa
Islam
mengajak kepada semua pakar baik laki-laki maupun perempuan di masyarkat
untuk menyatakan pendapatnya demi kebaikan di masyarkat.”214 Sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah
213
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah…, h.53
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah … , h. 53
214
216
‫ﻢ‬‫ ﻫ‬‫ﺃﹸﻭﻟﹶﺌِﻚ‬‫ﻜﹶﺮِ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻦِ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻥﹶ ﻋ‬‫ﻮ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ﻭﻑِ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ﻭﻥﹶ ﺑِﺎﻟﹾﻤ‬‫ﺮ‬‫ﺄﹾﻣ‬‫ﻳ‬‫ﺮِ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ﻮﻥﹶ ﺇِﻟﹶﻰ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻋ‬‫ﺪ‬‫ﺔﹲ ﻳ‬‫ ﺃﹸﻣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ ﻣِﻨ‬‫ﻜﹸﻦ‬‫ﻟﹾﺘ‬‫ﻭ‬
(١٠٤: ٣/‫ﻮﻥﹶ )ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬‫ﻔﹾﻠِﺤ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.(Q.S. Ali
Imran/3: 104)
Ayat ini mengajak untuk menyatakan pendapat dan mengambil sikap
positif dalam memperbaiki masyarakat melalui ceramah atau mengeluarkan
pendapat, baik laki-laki maupun perempuan dalam kapasitas yang sama.
Ada sekelompok perempuan pergi menghadap Nabi saw. mereka
menuntut untuk berbaiat (janji setia). Lalu Nabi membaiat mereka,
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah
 ِ‫ﻧ‬‫ﺰ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﺮِﻗﹾﻦ‬‫ﺴ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﺌﹰﺎ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪِ ﺷ‬‫ﺮِﻛﹾﻦ‬‫ﺸ‬‫ﻠﹶﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﻨ‬‫ﺎﻳِﻌ‬‫ﺒ‬‫ ﻳ‬‫ﺎﺕ‬‫ﻣِﻨ‬‫ﺆ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺎﺀَﻙ‬‫ ﺇِﺫﹶﺍ ﺟ‬‫ﺒِﻲ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﻳ‬‫ﻳ‬
‫ﲔ‬
ٍ‫ﻭﻑ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ ﻓِﻲ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺼِﻴﻨ‬‫ﻌ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻠِﻬِﻦ‬‫ﺟ‬‫ﺃﹶﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﺪِﻳﻬِﻦ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ ﺑ‬‫ﻪ‬‫ﺮِﻳﻨ‬‫ﻔﹾﺘ‬‫ﺎﻥٍ ﻳ‬‫ﺘ‬‫ﻬ‬‫ ﺑِﺒ‬‫ﺄﹾﺗِﲔ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻫ‬‫ﻟﹶﺎﺩ‬‫ ﺃﹶﻭ‬‫ﻠﹾﻦ‬‫ﻘﹾﺘ‬‫ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻭ‬
(١٢ : ٦٠/‫ )ﺍﳌﻤﺘﺤﻨﺔ‬‫ﺣِﻴﻢ‬‫ ﺭ‬‫ ﻏﹶﻔﹸﻮﺭ‬‫ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻦ‬‫ ﻟﹶﻬ‬‫ﻔِﺮ‬‫ﻐ‬‫ﺘ‬‫ﺍﺳ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻬ‬‫ﺎﻳِﻌ‬‫ﻓﹶﺒ‬
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan
mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak
akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat
dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan
tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah
janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Q.S. al-Mumtahanah/60:12)
Ayat ini merupakan bukti, bahwa perempuan dapat menyatakan hakhaknya dalam masalah akidah, pemikiran, dan mengembangkan agama yang
dia pilihnya. Ini merupakan contoh nyata tentang kebebasan kaum perempuan
dalam akidah, menyatakan pendapat dan mengambil keputusan. Dengan
217
demikian bukan hal yang aneh jika masyarakat menganut prinsip persamaan
antara laki-laki dan perempuan dalam masalah menyatakan pendapat.215
Begitu juga Nabi sebagai hakim agung, mufti yang paling alim, dan
hakim yang bijak, mau mendengar pengaduan perempuan terhadap suaminya,
sebagaimana ditegaskan Allah
‫ﺎ ﺇِﻥﱠ‬‫ﻛﹸﻤ‬‫ﺭ‬‫ﺎﻭ‬‫ﺤ‬‫ ﺗ‬‫ﻊ‬‫ﻤ‬‫ﺴ‬‫ ﻳ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻜِﻲ ﺇِﻟﹶﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﻭ‬‫ﺘ‬‫ﺸ‬‫ﺗ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺟِﻬ‬‫ﻭ‬‫ ﻓِﻲ ﺯ‬‫ﺎﺩِﻟﹸﻚ‬‫ﺠ‬‫ﻝﹶ ﺍﻟﱠﺘِﻲ ﺗ‬‫ ﻗﹶﻮ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻤِﻊ‬‫ ﺳ‬‫ﻗﹶﺪ‬
(١: ٥٨/‫ﺎﺩﻟﺔ‬‫ )ﺍ‬‫ﺼِﲑ‬‫ ﺑ‬‫ﻤِﻴﻊ‬‫ ﺳ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang
mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan
(halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu
berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
(Q.S. al-Mujâdalah/58: 1)
Ayat ini menunjukkan bahwa istri tidak dilarang mengajukan gugatan
suaminya kepada penguasa yang tertinggi dalam masyarakat. Begitu juga
perempuan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, karena Nabi saw.
mengizinkan kaum perempuan ke luar rumah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Begitu juga Nabi mengizinkan pergi ke masjid untuk menunaikan
shalat.
Ketika Islam meletakkan kaum perempuan di belakang kaum laki-laki
dalam shalat, bukan berarti perempuan memiliki kekurangan, tetapi sebaliknya
dalam rangka menjaga kesucian dan kehormatan perempuan itu sendiri, sebab
jika kaum perempuan diletakkan di baris depan kaum lelaki, maka kaum lelaki
akan melihat ruku dan sujud kaum perempuan sehingga akan menimbulkan
fitnah.216
Banyak diantara perempuan yang menjadi penyair seperti al-Khansa,
Rabiah al-Adawiyah. Begitu juga banyak kaum perempuan yang mengemban
215
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h. 54
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah…, h. 55
216
218
amanah periwayatan hadis dari Nabi saw. seperti Aisyah, Asma Binti Abi
Bakar, Hafshah Biti Umar, Ummu Hani Binti Abi Thalib, Fathimah alNaisaburiyah, Nafisah Binti Hasan al-Anwar, Asma binti Asad Ibnu al-Furat
dari Qairuwan. Banyak para ulama mengambil hadis yang diriwayatkan oleh
kaum perempuan tersebut. Dari sini jelaslah bahwa perempuan pada masa awal
Islam sudah ikut serta dalam bidang sastra dan pemikiran.217
b. Kaum perempuan berhak memilih dan dipilih
Diantara peraturan yang prinsip dalam syariat Islam adalah
menetapkan prinsip musyawarah, sedangkan musyawarah harus diputuskan
oleh orang yang ahlinya (pakar), maka dalam musyawarah tidak memandang
laki-laki atau perempuan. Yang penting dia mampu dan cakap untuk
menyelesaikannya.218
Sebahagian ulama berpendapat bahwa Islam tidak mengharamkan
perempuan untuk berpolitik sebagaimana dinyatalan dalam al-Qur'an Surat alBaqarah/2 ayat 228 dan Surat al-Taubah/9 ayat 71. Ikut sertanya Aisyah dalam
menyelesaikan sengketa politik antara Ali dan Muawiyah dan juga peran yang
dimainkan oleh Nailah istri Usman Bin Affan, menunjukkan adanya
pengakuan ajaran Islam terhadap kebolehan perempuan untuk berpolitik,
Selain itu juga karena tidak adanya nash yang jelas yang melarang hak-hak
perempuan
untuk
berpolitik.
Dengan
bolehnya
para
perempuan
mengemukakan pendapat dalam musyawarah, berarti perempuan boleh
memilih dan dipilih menjadi anggota DPR/MPR.219
c. Kaum perempuan Berhak Menjdi Pemimpin dalam Masyarakat Umum
217
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h. 59
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h. 61
219
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h. 64
218
219
Kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan yang terkandung dalam
Q.S. al-Nisâ’/4:34 adalah kepemimpinan dalam keluarga, itu hak yang tidak
diragukan lagi, karena itu hukum syar'i dan realitas kehidupan dalam segala
zaman. Namun perempuan itu harus di rumah jangan kita menjadikan dia
selalu ada di rumah, tetapi dia harus ditujukan ke tempat pekerjaannya dan
tempat dia menyampaikan misinya yang mulia dalam kehidupan. Apabila dia
ikut serta dalam urusan masyarakat, maka dia harus keluar dari rumahnya
untuk menyempurnakan risalahnya.220
Untuk itu tidak ada yang membatasi hak perempuan dalam mengurus/
menguasai seluruh kepentingan umum. Hanya saja perlu disesuaikan dengan
kemampuan dan kehormatan perempuan itu sendiri. Untuk itu perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Perempuan yang melaksanakan pekerjaannya di luar rumah perlu menjaga
kode etik ajaran Islam yang bertujuan untuk menjaga kehormatan
perempuan, seperti menjaga kehormatan dirinya dari kaum laki-laki yang
tidak baik.
2) Perempuan seyogyanya tidak dibebani dengan pekerjaan yang berat yang
biasa dilakukan kaum laki-laki
3) Perempuan dapat menjabat sebagai karyawan biasa atau pejabat tinggi di
Pemerintahan sesuai dengan kemampuan baik fisik dan kecerdasannya.221
Perempuan dibolehkan mengendalikan urusan peradilan (menjabat
sebagai qadhi atau hakim), karena seorang qadhi bukan merupakan bagian dari
jajaran pejabat pemerintah. Qadhi adalah orang yang mengatasi persengketaan
di tengah-tengah masyarakat serta memberikan penjelasan kepada pihak-pihak
220
221
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h. 65
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah …, h.67
220
yang bersengketa tentang hukum syariat yang bersifat memaksa. Karena ada
riwayat yang menyatakan bahwa Umar Bin Khatthab pernah mengangkat
seorang perempuan bernama Syifa untuk menjabat qadhi hisbah (hakim yang
menyangkut pelanggaran terhadap hak masyarakat) di pasar. Dengan demikian
tidak menjadi masalah jika perempuan menjabat sebagai qadhi (hakim) 222
Hal ini juga sejalan dengan Ibnu Jarir yang dikutip oleh Jamaluddin
Muhammad Mahmud dalam bukunya mengatakan bahwa Ibnu Jarir atau
dikenal dengan Imam al-Thabari membolehkan perempuan memimpin
peradilan atau menjadi hakim tanpa ada batasan masalah, baik perdata,
maupun pidana.223
Ada sebagian ulama yang mengharamkan perempuan sebagai
pemimpim dengan alasan sebuah hadis riwayat Bukhari
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺍﳍﻴﺜﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻮﻑ ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﺍﰉ ﺑﻜﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻟﻘﺪ ﻧﻔﻌﲏ ﺍﷲ ﺑﻜﻠﻤﺔ‬
‫ﲰﻌﺘﻬﺎﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻳﺎﻡ ﺍﳉﻤﻞ ﺑﻌﺪ ﻣﺎﻛﺪﺕ ﺍﻥ ﺍﳊﻖ ﺑﺎﺻﺤﺎﺏ‬
‫ﺍﳉﻤﻞ ﻓﺎﻗﺎﺗﻞ ﻣﻌﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﳌﺎ ﺑﻠﻎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﺍﻫﻞ ﻓﺎﺭﺱ ﻗﺪ ﻣﻠﻜﻮﺍ‬
٢٢٤
‫ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﻨﺖ ﻛﺴﺮﻯ ﻗﺎﻝ ﻟﻦ ﻳﻔﻠﺢ ﻗﻮﻡ ﻭ ﻟﻮ ﺍﻣﺮﻫﻢ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ‬
Usman Bin al-Haitsam telah menceritakan kepada kami, Auf telah
menceritakan kepada kami dari al-Hasan, dari Abi Bakrah telah
berkata, "Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku pada
waktu perang jamal dengan kalimat yang saya dengar dari Rasulullah
saw. setelah aku hampir bergabung dengan pasukan unta untuk
bertempur bersama mereka, Abu Bakrah berkata, 'Ketika ada berita
sampai kepada Rasulullah, bahwa penduduk Persi telah mengangkat
putri Kisra menjadi Ratu, maka Rasulullah bersabda 'Tidak akan
sukses suatu kaum jika masalah pemerintahan diserahkan kepada
perempuan.'" (H.R. Bukhari).
222
Achmad Junaidi Ath-Thayyibiy, Tata Kehidupan perempuan Dalam Syariat Islam,
(Jakarta: Wahyu Press, 2003), h. 81
223
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Huqûq al-Mar ’ah…, h. 70
224
Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari…, Jilid.III, h. 89
221
Jika kita menelaah hadis di atas, maka celaan Rasulullah terhadap
orang-orang yang menyerahkan urusan pemerintahannya kepada seorang
perempuan merupakan respon beliau terhadap informasi yang didengarnya,
yaitu bahwa bangsa Persia dipimpin oleh seorang perempuan. Hadis ini tentu
dikhususkan untuk topik ini, tidak terkait dengan persoalan yang lain. Artinya
tidak semua persoalan dapat digeneralisasi.
Apalagi bila dilihat dari latar belakang pengungkapan Rasulullah yang
terdapat pada kitab Imam Bukhari yaitu:
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﺳﺤﺎﻕ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳﻌﻘﻮﺏ ﺑﻦ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﰉ ﻋﻦ ﺻﺎﱀ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﻗﺎﻝ‬
‫ﺃﺧﱪﱏ ﻋﺒﻴﺪ ﺍﷲ ﺃﻥ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺃﺧﱪﻩ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻌﺚ ﺑﻜﺘﺎﺑﻪ‬
‫ﺍﱃ ﻛﺴﺮﻯ ﻣﻊ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺣﺬﺍﻓﺔ ﺍﻟﺴﻬﻤﻰ ﻓﺄﻣﺮﻩ ﺍﻥ ﻳﺪﻓﻌﻪ ﺍﱃ ﻋﻈﻴﻢ ﺍﻟﺒﺤﺮﻳﻦ ﺍﱃ‬
‫ﻛﺴﺮﻯ ﻓﻠﻤﺎﻗﺮﺃﻩ ﻣﺰﻗﻪ ﻓﺤﺴﺒﺖ ﺃﻥ ﺍﺑﻦ ﺍﳌﺴﻴﺐ ﻗﺎﻝ ﻓﺪﻋﺎ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ‬
٢٢٥
‫ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﳝﺰﻗﻮﺍ ﻛﻞ ﳑﺰﻕ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬
Ishaq menceritakan kepada kami, Ya’kub ibn Ibrahim menceritakan
kepada kami, Bapakku menceritakan kepada kami dari Shaleh dari
Ibnu syihab, ia mengatakan ‘Ubaidillah ibn ‘Abdillah menceritakan
kepadaku bahwa Ibnu ‘Abbas memberi tahukannya bahwa Rasulullah
SAW. telah mengirim surat kepada Kisra melalui ‘Abdillah Ibnu
Khuzafah al-sahmi. Rasulullah saw. memerintahkannya untuk
menyerahkan surat tersebut kepada pembesar bahrain, lalu diserahkan
kepada Kisra. Ketika Kisra membaca surat tersebut, maka surat itu
disobek-sobeknya. Lalu saya mengira bahwa Ibnu al-Musayyab
mengatakan, ”Maka Rasulullah mendoakan agar mereka disobeksobek seperti sobekan surat tersebut." (H.R.Bukhari)
Ahmad Fudhaili mengutip perkataan al-Asqallany dalam kitab Fathu
al-Bari yang mengatakan
Kisra yang telah menyobek-nyobek surat Nabi dibunuh oleh anak lakilakinya. Sebelum matinya, Kisra mengetahui bahwa ia dibunuh oleh
225
Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari,… Jilid.III, h. 89
222
anaknya sendiri, Syairuwiyah. Maka ia memerintahkan kepada
pembantunya yang setia untuk membunuh anaknya setelah ia mati.
Berselang enam bulan sejak kematian bapaknya, Syairuwiyahpun mati
diracun. Pada saat itu tidak ada yang menggantikan kedudukan raja,
karena selain membunuh ayahnya, Syairuwiyah juga membunuh
saudara-saudaranya yang lain karena ambisi untuk menduduki tahta
kerajaan, kecuali anak perempuannya, Buran bint Syairuwiah ibn Kisra
bin Barwiz. Anak perempuan inilah yang kemudian menduduki tahta
kerajaan. Tidak lama kemudian kekuasaannya hancur berantakan,
sebagaimana sumpah Nabi kepada mereka.226
Kemudian Ahmad Fudhaili mengutip perkataan Husen Muhammad
yang mengatakan, ”Dalam konteks inilah Nabi bersabda, 'Tidak akan pernah
beruntung bangsa yang diperintahkan oleh perempuan'”. Hadits ini
diungkapkan dalam kerangka pemberitahuan, hanya sebuah informasi yang
disampaikan Nabi dan bukan dalam kerangka legitimasi hukum dan tidak
memiliki relevansi hukum.227
Penulis setuju bahwa perempuan mempunyai kewenangan publik
seperti menjadi anggota parlemen (DPR), menjadi Hakim, bahkan menjadi
Presiden, selama perempuan itu memiliki kemampuan dalam hal tersebut.
Sesuai dengan salah satu riwayat yang berbunyi
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻨﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻓﻠﻴﺢ ﻭﺣﺪﺛﲎ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﺍﳌﻨﺬﺭ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻓﻠﻴﺢ‬
‫ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﲎ ﺍﰉ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﲎ ﻫﻼﻝ ﺑﻦ ﻋﻠﻰ ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﺑﻦ ﻳﺴﺎﺭ ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﺑﻴﻨﻤﺎ ﺍﻟﻨﱯ‬
‫ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﰱ ﳎﻠﺲ ﳛﺪﺙ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺟﺎﺀﻩ ﺍﻋﺮﺍﰊ ﻓﻘﺎﻝ ﻣﱴ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻓﻤﻀﻰ ﺭﺳﻮﻝ‬
‫ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﳛﺪﺙ ﻓﻘﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﲰﻊ ﻣﺎﻗﺎﻝ ﻓﻜﺮﻩ ﻣﺎﻗﺎﻝ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﻞ‬
‫ﱂ ﻳﺴﻤﻊ ﺣﱴ ﺍﺫﺍ ﻗﻀﻰ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻳﻦ ﺍﺭﺍﻩ ﺍﻟﺴﺎﺋﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻗﺎﻝ ﻫﺎ ﺍﻧﺎ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ‬
‫ﻓﺎﺫﺍ ﺿﻴﻌﺖ ﺍﻻﻣﺎﻧﺔ ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﻗﺎﻝ ﻛﻴﻒ ﺍﺿﺎﻋﺘﻬﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﺫﺍ ﻭﺳﺪ ﺍﻻﻣﺮ ﺍﱃ ﻏﲑ ﺍﻫﻠﻪ‬
٢٢٨
‫ﻓﺎﻧﺘﻈﺮ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬
226
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci Kritik Atas Hadis-Hadis Sahih,
(selanjutnya tertulis Perempuan di Lembaran Suci) (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), h. 228
227
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci…, h. 228
228
Abu Abdillah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari,… Jilid.I, h.24
223
Muhammad Bin Sinan telah menceritakan kepada kami dia berkata,
Fulaih telah menceritakan kepada kami dan Ibrahim Bin al-Mundzir
telah menceritakan kepada saya dia berkata, Muhammad Bin Fulaih
telah menceritakan kepada kami dia berkata, ayahku telah
menceritakan kepada saya dia berkata, Hilal Bin Ali telah
menceritakan kepada saya dari ‘Atha Bin Yasar dari Abi Hurairah dia
berkata, ketika Nabi saw berada di suatu majlis membicarakan suatu
kaum, tiba-tiba seorang Arab Badui mendatanginya dia
bertanya:”Kapan terjadi kehancuran, Rasulullah meneruskan
pembicaraan itu, lalu sebahagian kaum berkata dan mendengar apa
yang dikatakan Rasulullah, dia memikirkan apa yang dikatakannya dan
sebahagian yang lain berkata bahkan belum pernah dia dengar
sehingga apabila pembicaraan itu berlangsung Rasulullah bertanya :”
Mana saya melihat orang yang bertanya tentang kehancuran, orang
tersebut menjawab, saya wahai Rasulullah, Rasulullah mmenjawab:”
Apabila amanat disia-siakan, maka tunggu kehancurannya, orang
tersebut balik bertanya, apa yang dimaksud orang yang menyianyiakan amanat itu, Rasulullah menjawab:”Apabila suatu masalah
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya.”(H.R.al-Bukhari)
Kemampuan untuk memimpin tidak hanya dimiliki oleh kaum lakilaki, tapi juga kaum perempuan. Jadi tidak benar misalnya ada seorang
perempuan yang lebih pandai memimpin daripada laki-laki, lalu diangkat
seorang laki-laki yang bodoh sebagai pemimpim.
Menurut Muhamad Anas Qasim Ja’far, bahwa orang yang tidak
membolehkan perempuan sebagai pemimpin didasarkan pada argumen antara
lain:
al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 34, al-Baqarah/2 ayat 228, dan al-
Ahzâb/33 ayat 33. Selain itu juga didasarkan pada hadis yang maknanya,
“Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan pemerintahannya
kepada perempuan.” Hadis yang maknanya, “Perempuan itu kurang akal dan
agamanya.” Ijma Ulama pada kurun waktu tertentu yang tidak membolehkan
perempuan menjadi pemimpin. Qiyas yaitu upaya memasukan sesuatu perkara
yang tidak terdapat status hukumnya—baik dalam al-Qur’an, sunnah maupun
224
ijma—dengan perkara yang status hukumnya telah tercatat dalam salah satu
sumber hukum tersebut karena adanya persamaan illat hukum.229
Kemudian Muhammad Anas Qasim Ja’far menanggapi alasan-alasan
di atas sebagai berikut :
Pertama, kami berpandangan, bahwa maksud hak kepemimpinan
dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 34 adalah hak suami untuk memberi
pelajaran kepada istri yang membangkang. Dia menyimpulkan, bahwa ayat di
atas diturunkan dengan sebab khusus. Ia secara khusus menanggapi kejadian
tertentu, yakni urusan keluarga, dan tidak ada hubungannya dengan soal hak
politik perempuan.230
Penulis sependapat dengan pendapat Muhammad Anas Qasim Ja’far,
karena kepemimpinan dalam masyarakat tidak ada kaitan dengan kewajiban
memberi nafkah antara pemimpin dan yang dipimpin, yang ada hanya
menegakkan keadilan terhadap masyarakat yang dipimpinnya.
Kedua, begitu juga dengan maksud al-Qur'an Surat al-Baqarah/2 ayat
228 adalah derajat laki-laki tersebut bukanlah derajat keunggulan dan
keistimewaan, melainkan derajat kepemimpinan sejauh disebutkan dalam ayat
terdahulu (Q.S. al-Nisâ’/4: 34), yaitu dalam masalah rumah tangga.231
Penulis sependapat dengan Muhammad Anas Qasim Ja’far, karena
kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan dalam rumah tangga,
maka wajar kalau suami yang berhak memimpin, karena dalam rumah tangga
yang berkewajiban memberi nafkah adalah suami, begitu juga wajar bila lakilaki memiliki derajat lebih dibanding perempuan.
229
Muhammad Anas Qasim Ja’far, Mengembalikan Hak Hak Politik Perempuan Sebuah
Perspektif Islam, (selanjutnya tertulis Hak-Hak Politik Perempuan) (Jakarta: Azan, 2001), h. 37-41
230
Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 42
231
Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 43
225
Ketiga, begitu juga maksud al-Qur'an Surat al-Ahzâb/33 ayat 33.
Ayat ini mengandung makna bahwa al-Qur’an mengharuskan perempuan
selalu berada di dalam rumah. Perempuan tidak diperbolehkan ke luar rumah
untuk bergelut dengan kehidupan publik dan ikut serta dalam kehidupan
politik. Padahal ayat ini merupakan salah satu ayat yang diturunkan khusus
untuk istri-istri Nabi. Karena itu lingkup hukumnya terbatas pada istri-istri
Nabi.232
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Muhammad Quraish Shihab yang
mengatakan, ”Tidak semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani,
sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan
terlarang pula bagi umatnya. Bukankah beliau wajib bangun shalat malam dan
tidak boleh menerima zakat.”?233
Tentunya istri-istri nabi tidak boleh keluar rumah untuk bergelut
dengan kehidupan publik dan ikut serta dalam kehidupan politik, tidak mutlak
harus diikuti oleh istri-istri selain Nabi saw. walaupun kenyataannya ada istriistri Nabi yang ikut dalam kehidupan politik seperti Aisyah ketika melawan Ali
Bin Abi Thalib, ketika Ali tidak bertanggung jawab atas kematian Usman Bin
Affan.
Keempat, hadis yang menyatakan, ”Bahwa tidak akan sejahtera suatu
kaum yang menyerahkan urusan pemerintahannya kepada perempuan.” Ini
merupakan salah satu hadis yang keluar secara khusus untuk merespon
kenyataan bahwa putri Kisra, Raja Persia, memegang kepemimpinan negara.
Ini disebabkan tidak adanya laki-laki yang memimpin kerajaan akibat perang
saudara dan pristiwa bunuh-bunuhan antara kaum laki-laki satu sama lain.
232
233
Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 45
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2. h. 326
226
Sehingga kerajaan diserahkan kepada seorang perempuan. Hadis ini khusus
untuk masyarakat Persia akibat tidak adanya laki-laki yang layak memimpin
kerajaan. Juga khusus dalam konteks dikabulkannya doa Rasulullah saw.
ketika Kisra menyobek-nyobek surat kiriman Nabi. Ketika itu, Rasulullah saw.
berdoa kepada Allah agar dihancur leburkan kerajaan itu, dan Allah
mengabulkannya.234
Memang kita harus menyadari bahwa di antara hadis-hadis, ada yang
berasal dari Rasulullah saw. dalam kapasitas sebagai utusan Tuhan, ada juga
hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah saw. dalam kapasitas sebagai
pemimpin dan pemegang pemerintahan komunitas Muslim. Hadis semacam ini
bukan merupakan perundang-undangan yang bersifat umum, sebab putusannya
mengacu pada kemaslahatan yang ada pada masa itu. Ia tidak menjadi
keharusan mutlak bagi seluruh umat manusia, karena terlahir dari Rasul saw.
dalam kapasitas sebagai manusia biasa, bukan sebagai utusan Allah.235
Contoh paling jelas untuk kategori ini adalah ketika peristiwa perang
Badar, ketika Nabi saw. ingin menurunkan sepasukan tentara pada suatu
tempat, lantas sebagian sahabat mengatakan, ”Apakah ini wahyu yang
diturunkan Allah kepadamu yang tidak bisa kita tawar-tawar, atau merupakan
pendapat, taktik, dan strategi perang?” Salah seorang sahabat berujar, “Ini
sesungguhnya
bukanlah
wahyu.”
Kemudian
salah
seorang
sahabat
mengusulkan agar pasukan diturunkan di tempat lain dengan alasan yang
dijelaskannya kepada Rasulullah. Rasulullah lalu melaksanakan usulan-usulan
itu.236
234
Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 48
Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 50
236
Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h. 50
235
227
Mengingat hadis di atas ada kaitannya dengan pemerintahan Persia,
maka tentu tidak mutlak harus diikuti dalam segala zaman, sebab hadis
tersebut berkaitan dengan Ratu dari negara Persia.
Kelima, hadis yang menyatakan kaum perempuan kurang akal dan
kurang agama, jangan ditafsirkan bahwa perempuan makhluk yang tidak
sempurna, buktinya saat sekarang banyak kaum perempuan yang lebih cerdas
dari kaum laki-laki.
Keenam, ijma ulama mengenai tidak diperbolehkannya perempuan
turun berperan dalam aktivitas politik suatu negara bertentangan dengan
Rasulullah yang pernah sebelum perang mengumpulkan para sahabat untuk
bermusyawarah dan bertukar pendapat yang pada saat itu. Para Sahabat
perempuan
menghadiri
menyumbangkan
pertemuan-pertemuan
pendapatnya.
Kemudian
sejenis
Umar
Bin
dan
turut
al-Khatthab
mempercayakan jabatan pengawas pasar kepada seorang perempuan yang
bernama al-Syifa Binti Abdullah. Kemudian Aisyah r.a. pernah mengomandani
angkatan perang dengan 3.000 pasukan dari Makkah menuju Bashrah untuk
menuntut kematian Usman Bin Affan dan menolak Baiat terhadap Ali bin Abi
Thalib, serta menuntut dikembalikannya urusan pemerintahan melalui proses
musyawarah kaum muslimin.237
Ketujuh, pendapat yang menyatakan bahwa tidak diperbolehkannya
perempuan mengimami shalat berjamaah kaum lelaki, tidak memliki hak cerai,
dan tidak diperbolehkannya perempuan bepergian sendirian tanpa didampingi
mahram atau teman sesama jenis yang dapat dipercaya, lalu diqiyas kaum
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Ini namanya qiyas al-fariq (qiyas
237
Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…, h.56-59
228
yang tidak sepadan). Padahal, dalam qiyas disyaratkan adanya persamaan
kausa hukum (‘illat hukum) antara perkara ashal dengan perkara yang hendak
dicari hukumnya. Seperti mengqiyas masalah politik dengan masalah ibadah
keagamaan, maka tidak sah. Karena shalat memiliki syarat rukun, sedangkan
masalah politik tidak ada syarat rukunnya.238
Perselisihan sekitar masalah kebolehan perempuan menjadi anggota
DPR/MPR terfokus pada dua hal yaitu:
1) Sejauh mana adanya percampuran yang tidak Islami antara laki-laki dan
perempuan dalam parlemen. Ini sebenarnya tidak terbatas pada pekerjaan
di parlemen, percampuran yang diharamkan lebih banyak di tempat-tempat
pekerjaan selain parlemen, justru perempuan di parlemen lebih mudah
untuk menghindari berkhalwat dengan laki-laki di banding di tempattempat selainnya.
2) Sejauh mana pekerjaan di parlemen itu dari segi wilayah ammah yang
memang dilarang oleh hadis.239
Namun Salim al-Bahnasawi mengomentarinya, ”Bekerja di parlemen
adalah pekerjaan yang baru yang belum pernah ada pada masa khulafa alrasyidun dan juga pada masa para fuqaha yang terkenal, sehingga komisi fatwa
di al-Azhar al-Syarif mengeluarkan fatwa keharaman perempuan menjadi
DPR/MPR. Kemudian komisi ini mencabut fatwanya setelah Jamal Abdu alNashir memasukkan perempuan di parlemen.240
Untuk itu perlu dibedakan dua wilayah yaitu:
238
Muhammad Anas Qasim Ja’far, Hak Hak Politik Perempuan…., h. 60
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 120
240
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 120
239
229
1) Al-Wilâyah al-khâshah, yaitu kekuasaan yang pemiliknya dapat
menerapkan dalam masalah-masalah khusus seperti masalah jual beli,
hibah, wakaf, wasiat, dan semacamnya. Dalam masalah ini tidak ada
perbedaan antara laki- laki dan perempuan.
2) Al-Wilâyah al-ammah, yaitu kekuasaan yang ditetapkan dalam urusan
kolektif, seperti menyelesaikan
pertikaian, melaksanakan hukum,
kepemimpinan negara, kepemimpinan departemen, mewakili pemerintah
di luar negeri, anggota parlemen, atau dengan kata lain tiga kekuasaan
yaitu legislatif, ekskutif, dan yudikatif.241
Para ulama fikih sepakat bahwa perempuan tidak boleh menjabat
sebagai kepala negara dengan alasan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari,
Ahmad dan al-Turmudzi, yaitu
‫ ﻟﻦ ﻳﻔﻠﺢ ﻗﻮﻡ ﻭﻟﻮﺍ ﺍﻣﺮﻫﻢ ﺍﻣﺮﺃﺓ‬adapun selain kepala
negara, para ulama fikih berbeda pendapat.242
Salim al-Bahnasawi mengutip pendapat Imam Hanafi, Ibnu Hazam,
dan Ibnu al-Jarir al-Thabari, ”Menurut Imam Hanafi bahwa perempuan boleh
menjabat sebagai hakim selain masalah pidana dan qishosh. Sedangkan
menurut Ibnu Hazam dan Ibnu Jarir boleh secara mutlak. Sebagian yang lain
berpendapat, bahwa perempuan berhak menjabat di berbagai bidang selain
kepala negara jika perempuan memiliki keahlian dibidang yang dia tekuni
dengan alasan hijrah para perempuan dari Makkah ke Habsyah, kemudian dari
Makkah ke Madinah, adanya kaum perempuan ikut perang di masa Rasulullah,
dan lain lain.243
241
242
243
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 121
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 121
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 122
230
Sedangkan Muhammad Imarah menyatakan, ”Jumhur ulama fikih
tidak ada perbedaan tentang al-Imâmah al-Uzhmâ dan Khilâfah al-âmmah
(kepala negara) harus laki-laki. Sedangkan fikih modern tidak membicarakan
al-Imâmah al-Uzhmâ dan Khilâfah al-âmmah, karena hal itu sudah hilang
sejak jatuhnya khilafah Usmaniyah (1342 H/1924 M) sampai sekarang."244
Pemahaman al-wilâyah al-âmmah pada masa kita sekarang sudah
berubah dengan perubahan
‫( ﺳﻠﻄﺎﻥ ﺍﻟﻔﺮﺩ‬kekuasaan individu) kepada ‫ﺳـﻠﻄﺎﻥ‬
‫( ﺍﳌﺆﺳﺴﺔ‬kekuasaan kolektif) yang di dalamnya ikut serta semua yang memiliki
kepemimpinan dan keahlian. Begitu juga hakim individu kepada hakim
kolektif yang di dalamnya terkumpul para hakim. Maka ikut serta perempuan
sebagai hakim di pengadilan, bukan karena adanya hadis yang membolehkan
perempuan menjadi hakim.Artinya karena memang sudah ada pada fikih
klasik. Sebab kepemimpinan sekarang baik laki-laki maupun perempuan di
lembaga apapun adalah kepemimpinan kolektif bukan individu.Hakim
sekarang tidak berijtihad dalam memutuskan hukum, tapi hanya sebagai
pelaksana undang- undang yang sudah dibuat oleh pemerintah secara
kolektif.245
Dengan adanya perubahan ijtihad dari individu kepada kolektif, maka
keikut sertaan perempuan dalam pengadilan, bukan karena ada hadis yang
membolehkan perempuan menjadi hakim, melainkan juga karena adanya
perubahan kepemimpinan dari kepemimpinan individu kepada kepemimpinan
kolektif.
Al-Qur’an berbicara tentang Ratu Saba, lalu al-Qur’an memuji ratu
dan kepemimpinannya dalam wilâyah âmmah (kepala negara) karena dia
244
245
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 103
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 104
231
melakukan prinsip musyawarah, bukan prinsip individu. (Q.S. al-Namal/27:
32), dan al-Qur’an mencela Firaun, Raja Mesir, karena dia menggunakan
prinsip kekuasaan individu. (Q.S. Ghâfir/40: 29) kedua ayat itu tidak berbicara
laki-laki atau perempuan dalam wilâyah âmmah (kepala negara), tapi berbicara
tentang prinsip individu atau kolektif.246
Penulis sependapat dengan Nasaruddin Umar yang menegaskan
bahwa, ”Tampilnya Balqis dan Sulaiman adalah representasi kepemimpinan
ratu dan raja dalam al-Qur’an. Balqis dilukiskan sebagai pemilik tahta kerajaan
superpower atau Lahâ ‘arsyun ‘azhîm (Q.S. al-Namal/27: 23), Tidak pernah
ada kata lahû ‘arsyun ‘azhîm, sementara Sulaiman mempunyai beberapa
kemampuan, seperti menguasai dirgantara dengan perantaraan burung (Q.S. alNamal/27: 16), kemampuan melakukan mobilisasi sangat cepat, karena ia
dapat merekayasa angin (Q.S. al-Anbiyâ’/21: 81), kemampuan untuk
melakukan eksplorasi di dasar laut (S.al-Anbiyâ’/21: 82), kemampuan untuk
bekerja sama dengan jin dan burung (Q.S. al-Namal/27: 17), berkomunikasi
dengan hewan dan serangga (Q.S. al-Namal/27: 18), termasuk kemampuan
untuk menguasai setan (Q.S. al-Anbiyâ’/21: 82). Dalam menghadapi kekuatan
Balqis, Sulaiman terpaksa harus mengerahkan segenap potensi tersebut.247
Dari dua cerita kepemimpinan di atas, semestinya tidak ada perbedaan
antara kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Namun yang perlu diperhatikan
adalah perbedaan antara kepemimpinan di rumah tangga dan kepemimpinan di
masyarakat, karena merupakan dua hal yang berbeda.
246
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 105
Muhammad Anas Qasim Ja’far, (Kata Pengantar Nasaruddin Umar), Hak Hak Politik
Perempuan…, h. xii
247
232
Untuk
menghilangkan
ketidakjelasan
masalah
kepemimpinan
perempuan dapat diajukan beberapa hal:
a. Perempuan menjabat sebagai hakim, merupakan buah hukum fikih, bukan
hukum agama yang diciptakan Allah. Artinya al-Qur’an maupun hadis
tidak menunjukkan hal tersebut. Sedangkan ijtihad ulama dapat berubah
disebabkan perubahan waktu, tempat, dan mashlahah mursalah. Maka
perempuan menjadi hakim merupakan masalah fiqhiyah, tentu pintu ijtihad
tidak dapat ditutup.
b. Ijtihad para ulama fikih klasik yang membicarakan masalah perempuan
menjadi hakim adalah beragam dan banyak mazhab. Ijtihad mereka dalam
masalah ini terus berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya. Tidak ada
ijma fikih dalam masalah ini, walaupun ada ketetapan ulama-ulama
sekarang tentang adanya ijma orang-orang dahulu. Ketetapan para ulama
sekarang dengan ijma ulama-ulama dahulu adalah ijma yang bukan pada
tempatnya. Banyak ulama mengingkari kemungkinan terjadinya ijma
dalam masalah furu. Diantaranya Ahmad bin Hambal (164-241 H/780-855
M.) yang mengatakan
‫( ﻣﻦ ﺍﺩﻋﻰ ﺍﻻﲨﺎﻉ ﻓﻘﺪ ﻛﺬﺏ‬siapa yang mengakui ijma
berarti dia telah berdusta) maka pintu ijtihad baik sekarang, akan datang
dalam masalah ini masih terbuka, kecuali para ulama semuanya telah
sepakat, sesuai dengan kaidah ushul fiqih
‫ﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﻣﻦ ﺍﳌﻌﻠﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟـﺪﻳﻦ ﺑـﺎ‬‫ﻻ‬
‫ ﺍﻟـﻀﺮﻭﺭﺓ‬yaitu masalah yang tidak akan terjadi perselisihan di antara para
mazhab ummat, dan para ulama serta cendekiawan Muslim.
c. Berlangsungnya adat-istiadat pada masa-masa yang lalu terhadap ketidak
bolehan perempuan menjadi hakim, bukan berarti agama mengharamkan
perempuan menjadi hakim. Ajakan perempuan untuk perang adalah
233
kebiasaan yang belum dilakukan pada masa-masa Islam yang lalu. Hal itu
bukan berarti haram kalau perempuan ikut berperang dan berjihad perang
ketika diperlukan dan mampu. Diwajibkannya jihad berperang bagi setiap
Muslimah, karena perempuan melakukan dan ikut serta dalam peperangan
pada masa Nabi dan khulafah al-Rasyidun mulai dari perang uhud (3 H /
625 M) sampai perang al-Yamamah (12 H / 633 M) melawan kemurtadan
Musailamah al-Kadzdzab (12 H/633 M). Kebiasaan itu berkaitan dengan
keperluan yang berubah disebabkan perubahan kemashlahatan dan situasi,
dan ini bukan sumber halal dan haram.
d. Bahwa alasan perbedaan para ahli fikih sekitar bolehnya perempuan
menjadi hakim tanpa adanya teks agama (al-Qur’an dan hadis) yang
membahas masalah ini, maka perbedaan para ahli fiqih dalam hukum yang
mereka qiyas, yaitu perempuan boleh menjadi hakim, berarti orang yang
mengqiyas jabatan hakim itu termasuk al-imâmah al-uzhmâ yaitu alkhilâfah al-âmmah bagi ummat Islam. Seperti para ahli fikih mazhab
Syafii, mereka melarang perempuan menjadi hakim berdasarkan ittifaq
jumhur ulama fikih—selain sebagian Khawarij—bahwa laki-laki itu
menjadi syarat dari syarat-syarat khalifah dan imam. Selanjutnya mereka
mensyaratkan laki-laki untuk menjadi hakim, adalah mengqiyas kepada
khilâfah dan imâmah al-uzhmâ. Qiyas ini merupakan qiyas hukum fikih
bukan ijma dan bukan qiyas terhadap teks qoth’i al-dalâlah.
e. Laki-laki bukan satu-satunya syarat yang masih diperselisihkan oleh para
ulama fikih bagi orang yang mau menjadi hakim. Begitu juga mereka
berselisih pada syarat hakim itu karyawan bukan semata-mata pandai
menurut hukum empat, yaitu al-qur’an, hadis, ijma dan qiyas. Hal ini
234
dipersyaratkan oleh Syafii dan oleh yang lainnya tidak dipersyaratkannya.
Begitu juga Abu Hanifah mensyaratkan hakim itu harus orang Arab
Quraisy. Maka syarat laki-laki untuk menjadi hakim adalah salah satu
syarat dari syarat-syarat yang masih diperselisihkan oleh para ahli fikih,
dikarenakan
sebagian
mensyaratkan
dalam
sebagian
masalah,
sedangkankan yang lain tidak. Oleh karena itu di dalamnya tidak ada ijma
.Sebagamana di dalamnya tidak ada teks agama yang melarang atau
membatasi ijtihad para mujtahid.
f.
Bahwa jabatan hakim dan jabatan politik lainnya telah berubah dari
kepemimpinan individu kepada kepemimpinan kolektif. Oleh karena itu
dianggap tidak ada wilayah laki-laki dan perempuan, sebab laki-laki
merupakan bagian dari kepemimpinan kolektif. Begitu juga perempuan
merupakan bagian kepemimpinan kolektif. Dari sini permasalahan itu
menjadi baru sehingga memerlukan ijtihad baru yang dapat mengubah
seluruh jabatan antara lain perempuan menjadi hakim.248
Orang yang tidak membolehkan perempuan bekerja di luar rumah
mengacu pada firman Allah
‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻦ‬‫ﺃﹶﻃِﻌ‬‫ﻛﹶﺎﺓﹶ ﻭ‬‫ ﺍﻟﺰ‬‫ﺀَﺍﺗِﲔ‬‫ﻠﹶﺎﺓﹶ ﻭ‬‫ ﺍﻟﺼ‬‫ﻦ‬‫ﺃﹶﻗِﻤ‬‫ﺔِ ﺍﻟﹾﺄﹸﻭﻟﹶﻰ ﻭ‬‫ﺎﻫِﻠِﻴ‬‫ ﺍﻟﹾﺠ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬‫ﻦ‬‫ﺟ‬‫ﺮ‬‫ﺒ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻮﺗِﻜﹸﻦ‬‫ﻴ‬‫ﻥﹶ ﻓِﻲ ﺑ‬‫ﻗﹶﺮ‬‫ﻭ‬
:٣٣/
‫ﺍ )ﺍﻻﺣﺰﺍﺏ‬‫ﻄﹾﻬِﲑ‬‫ ﺗ‬‫ﻛﹸﻢ‬‫ﺮ‬‫ﻄﹶﻬ‬‫ﻳ‬‫ﺖِ ﻭ‬‫ﻴ‬‫ﻞﹶ ﺍﻟﹾﺒ‬‫ ﺃﹶﻫ‬‫ﺲ‬‫ﺟ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﺬﹾﻫِﺐ‬‫ ﻟِﻴ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺮِﻳﺪ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻤ‬‫ ﺇِﻧ‬‫ﻮﻟﹶﻪ‬‫ﺳ‬‫ﺭ‬‫ﻭ‬
(٣٣
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu, dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Q.S. alAhzâb/33: 33)
248
Muhamad Imarah, Tahrîr al-Mar ’ah …., h. 106-110
235
Kata
‫ ﺍﻟﺒﻴﺖ‬secara harfiyah berarti rumah, yaitu rumah tempat tinggal
istri-istri Nabi Muhammad saw. Rumah tersebut dibangun berdampingan
dengan masjid. Bangunan tersebut terdiri dari sembilan kamar yang sangat
sederhana.249
Ulama berbeda pendapat tentang siapa saja yang dicakup oleh ahl albait pada ayat tersebut. Dengan melihat konteks ayat tersebut, maka istri-istri
Nabi Muhammad saw. termasuk di dalamnya, bahkan merekalah yang pertama
dituju oleh konteks ayat ini. Ayat ini turun di rumah Ummu Salamah, istri Nabi
saw.
Ketika itu Nabi saw. memanggil Fathimah, putri beliau, bersama
suaminya, yakni Ali Ibnu Abi Thalib dan kedua putra mereka (cucu Nabi
saw.), yakni Hasan dan Husain. Nabi saw. menyelubungi mereka dengan
kerudung sambil berdoa, "Ya Allah mereka itulah ahl al-baitku, bersihkanlah
mereka dari dosa dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya." Ummu Salamah
yang melihat pristiwa ini berkata, "Aku ingin bergabung ke dalam kerudung
itu." Tetapi Nabi saw. mencegahku sambil bersabda, ”Engkau dalam
kebajikan… engkau dalam kebajikan" (H.R.Thabrani dan Ibnu Katsir melalui
Ummu Salamah ra.).250
Agaknya Nabi saw. menolak memasukkan Ummu Salamah ke dalam
kerudung itu bukan karena beliau bukan ahl al-bait, tetapi karena yang masuk
di kerudung itu adalah yang didoakan Nabi saw. secara khusus. Sedangkan
Ummu Salamah sudah termasuk sejak awal dalam kelompok ahl al-bait
melalui konteks ayat ini. Atas dasar inilah ulama-ulama salaf berpendapat
bahwa ahl al-bait adalah seluruh istri Nabi saw. bersama Fathimah, Ali Ibn
Abi Thalib, serta Hasan dan Husain. Ulama Syi’ah kenamaan, Thabathaba’i
249
250
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 265
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 265
236
membatasi pengertian ahl al–bait pada ayat ini hanya pada lima orang yang
masuk ke dalam kerudung itu, yaitu Nabi Muhammad saw, ‘Ali Ibn Abi
Thalib, Fathimah az-Zahra, serta Hasan dan Husain. Sedang pembersihan
mereka dari dosa dan penyucian mereka dipahaminya dalam arti ‘ishmat, yakni
keterpeliharaan mereka dari perbuatan dosa.
Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ahl al-bait adalah
semua anggota keluarga Nabi Muhammad saw. yang bergaris keturunan
sampai kepada Hasyim, yaitu ayah kakek Nabi Muhammad saw., putra
Abdullah, putra Abdul Muthtalib, putra Hasyim.251
Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Maududi, pemikir
Muslim Pakistan kontemporer yang menyatakan,
Tempat perempuan adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari
pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan
tenang dan terhormat, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban
rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk ke luar, maka
boleh saja mereka ke luar rumah dengan syarat memperhatikan segi
kesucian diri dan memelihara rasa malu. Terbaca bahwa Maududi tidak
menggunakan kata “darurat” tetapi kebutuhan atau keperluan. Hal serupa
dikemukakan oleh tim yang menyusun tafsir yang diterbitkan oleh
Departemen Agama RI.252
Kemudian Muhammad Quraish Shihab juga mengutip pendapat
Thahir Ibnu Asyur yang menggarisbawahi:” Bahwa perintah ayat ini ditujukan
kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sedang bagi perempuan-perempuan
muslimah selain mereka sifatnya adalah kesempurnaan. Yakni tidak wajib,
tetapi
sangat
baik
dan
menjadikan
perempuan-perempuan
mengindahkannya, menjadi lebih sempurna.”253
251
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 266
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 266
253
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 267
252
yang
237
Shahal Qazan mengutip komentar Yusuf Qardhawi yang mengatakan:”
Bahwa ayat tersebut ditujukan kepada para istri Nabi saw. Mereka memang
berhak mendapat perlakuan khusus yang tidak dilakukan kepada selain
mereka, di samping juga berlaku aturan berat yang tidak dibebankan kepada
perempuan lain. Meskipun demikian, ayat ini tidak menghalangi Aisyah ummu
al-mu’minîn, untuk pergi ke luar dalam perang Jamal dan menuntut sesuatu
yang diyakininya sebagai hal yang benar dalam masalah politik. Beliau disertai
oleh dua orang sahabat besar yang dicalonkan untuk menjadi khalifah dan
keduanya termasuk sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga.254
Muhammad Quraish Shihab tampaknya sependapat dengan Yusuf
Qardhawi yang tidak setuju ayat di atas dijadikan sebagai dalil ketidakbolehan
perempuan bekerja di luar rumah dengan mengatakan, "Perintah di atas
sebagaimana terbaca ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad saw. 255
Kemudian batas kebolehan bekerja menurut Muhammad Quraish
Shihab dengan mengutip pendapat Muhammad Quthub dalam bukunya
Ma'rakah al-Taqâlid adalah bahwa, "Ayat itu bukan berarti bahwa wanita tidak
boleh bekerja (ke luar rumah) karena Islam tidak melarang perempuan bekerja
(di luar rumah). Hanya saja Islam tidak senang dan tidak mendorong hal
tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak
menjadikannya sebagai dasar."256
Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Sa'id Hawa
yang menjelaskan bahwa, "Yang dimaksud dengan kebutuhan seperti
mengunjungi orang tua dan belajar yang sifatnya fardhu ain atau kifayah, dan
254
Shahal Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, Terjemahan
Khazin Abu Fakih, (Surakarta: Era Intermedia, 2001), h. 54
255
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. Vol. 11, h. 266
256
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 267
238
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang dapat
menanggungnya."257
Berkaitan dengan hal ini Muhammad Quraish Shihab memaparkan
bukti kebolehan perempuan bekerja di luar rumah di masa Nabi saw. dan para
Sahabat, seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila al-Ghaffariyah,
Ummu Sinan al-Aslamiyah, dan lain-lain yang tercatat sebagai tokoh-tokoh
yang terlibat dalam peperangan. Di samping itu, para perempuan pada masa
Nabi saw. dan para sahabat aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada
yang berkerja sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim Binti Huyay (istri
Nabi Muhammad saw.), serta ada juga yang menjadi perawat, bidan, dan
sebagainya.258
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah
Binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat sukses.
Raithah, istri Sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibnu Mas'ud, juga sangat
aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi
kebutuhan hidup keluarga ini. Demikian juga Syifa, adalah seorang perempuan
yang pandai menulis ditugaskan oleh khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang
menangani pasar kota Madinah.259
Anwar Jundi mengatakan bahwa Islam mengarahkan aktivitas
perempuan terutama menyangkut kepada pekerjaan-pekerjaan yang berkenaan
untuk mengatur dirinya dan keluarga. Bila perempuan terpaksa harus bekerja,
maka ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan. Diantaranya pekerjaan
tersebut harus sesuai dengan kodrat keperempuannya, pekerjaan tersebut
257
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 11. h. 267
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an…, h. 306
259
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an…, h. 306
258
239
adalah untuk membantu suami, pekerjaan tersebut akan membawa
kemaslahatan bagi kehidupan rumah tangga, dan pekerjaan tersebut tidak akan
membawa fitnah bagi dirinya maupun bagi rumah tangganya.260
Kemudian Anwar Jundi mengutip perkataan Isa Abduh bahwa,
"Menyamakan pekerjaan perempuan dengan pekerjaan yang harus dilakukan
oleh seorang laki-laki merupakan penganiayaan. Hal tersebut hanya akan
mencampur adukkan ketentuan tugas yang telah diciptakan oleh al-Khaliq."261
Islam tidak melarang perempuan bekerja di luar rumah, namun Islam
membatasi pekerjaan untuk kemaslahatan perempuan pekerja itu sendiri,
keluarga, suami dan masyarakat. Untuk itu perempuan dilarang berkhalwat di
dalam pekerjaannya untuk menjaga kehormatan perempuan, keluarga, dan
masyarakat. Perempuan dilarang bekerja jika pekerjaannya itu mengganggu
kamaslahatan anak dan keluarga, atau akan menimbulkan penyimpangan
seksual atau menjadikan perempuan sebagai alat kesenangan kaum laki laki,
karena tanggung jawab nafkah adalah suami, bukan istri.262
Ketika Islam melarang perempuan bekerja, bukan berarti perempuan
bekerja itu haram, tapi dikhawatirkan akan timbul mudharat bagi perempuan,
anak, keluarga, dan masyarakat.
Kekeliruan yang dijumpai saat ini yaitu ada beberapa organisasi
perempuan melanggar aturan yang dibuat Allah, seperti:
a. Persamaan hak dengan mewajibkan perempuan bekerja
b. Persamaan hak dengan menghilangkan kewajiban nafkah bagi suami,
bahkan laki-laki wajib mendapat nafkah
260
Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 61
Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 62
262
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 96
261
240
c. Persamaan hak dengan menghilangkan peraturan perempuan berada di
rumah
d. Persamaan hak dengan cara mewajibkan perempuan menjadi militer.263
Kemudian mengenai hadis, "Tidak beruntung satu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan" Perlu digarisbawahi bahwa
hadis ini tidak bersifat umum. Ini terbukti dari redaksi hadis tersebut secara
utuh:
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺍﳍﻴﺜﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻮﻑ ﻋﻦ ﺍﳊﺴﻦ ﻋﻦ ﺍﰉ ﺑﻜﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻟﻘﺪ ﻧﻔﻌﲏ ﺍﷲ ﺑﻜﻠﻤﺔ‬
‫ﲰﻌﺘﻬﺎﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻳﺎﻡ ﺍﳉﻤﻞ ﺑﻌﺪ ﻣﺎﻛﺪﺕ ﺍﻥ ﺍﳊﻖ ﺑﺎﺻﺤﺎﺏ‬
‫ﺍﳉﻤﻞ ﻓﺎﻗﺎﺗﻞ ﻣﻌﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﳌﺎ ﺑﻠﻎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﺍﻫﻞ ﻓﺎﺭﺱ ﻗﺪ ﻣﻠﻜﻮﺍ‬
٢٦٤
‫ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﻨﺖ ﻛﺴﺮﻯ ﻗﺎﻝ ﻟﻦ ﻳﻔﻠﺢ ﻗﻮﻡ ﻭ ﻟﻮ ﺍﻣﺮﻫﻢ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ‬
Usman Bin al-Haitsam telah menceritakan kepada kami, Auf telah
menceritakan kepada kami dari al-Hasan, dari Abi Bakrah telah
berkata, "Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku pada
waktu perang jamal dengan kalimat yang saya dengar dari Rasulullah
saw. setelah aku hampir bergabung dengan pasukan unta untuk
bertempur bersama mereka, Abu Bakrah berkata, 'Ketika ada berita
sampai kepada Rasulullah, bahwa penduduk Persi telah mengangkat
putri Kisra menjadi Ratu, maka Rasulullah bersabda 'Tidak akan
sukses suatu kaum jika masalah pemerintahan diserahkan kepada
perempuan.'" (H.R. Bukhari).
Dari hadis di atas, Muhammad Quraish Shihab menegaskan bahwa
hadis tersebut di atas ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan
terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan. Kita dapat
berkesimpulan bahwa tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat
dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau
ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki. Di
263
264
Salim al-Bahnasawi, al-Mar ’ah Wa al-Qawânîn…, h. 98
Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, al-Bukhari…, Jilid.III, h. 89
241
sisi lain, cukup banyak ayat dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman
untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut.265 Antara lain ditegaskan dalam
(Q.S. al-Taubah/9: 71), (Q.S. al-Syurâ’/42: 38), dan (Q.S. al-Mumtahanah/60:
12)
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak perempuan yang
terlibat pada persoalan politik praktis. Ummu Hani, misalnya dibenarkan
sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan
kepada sebagian orang musyrik. Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri,
yakni Aisyah r.a. memimpin langsung peperangan melawan Ali Bin Abi
Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu tersebar
dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terbunuhnya Khalaifah
ketiga Usman r.a. Peperangan ini dikenal dalam sejarah islam dengan nama
Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat
Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau
bersama para pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang
politik praktis sekalipun.266
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan
pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam
membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para perempuan boleh
bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara
mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta,
selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta
265
266
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an…, h. 314
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an…, h. 316
242
selama mereka dapat memelihara agamanya dan dapat menghindari dampakdampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.267
Namun
kepemimpinan
di
rumah
tangga
berbeda
dengan
kepemimpinan di masyarakat, karena ayatnya sudah jelas, bahwa laki laki yang
berhak memimpin karena dua alasan, yaitu kewajiban memberi nafkah dan
faktor fisik. Tetapi jangan diartikan seperti tuan dengan budaknya, karena
kepemimpinan suami di rumah tangga hanya merupakan pembagian tugas
semata.
Berkaitan dengan kebolehan perempuan menjabat sebagai kepala
negara, Muhammad Quraish Shihab—baik dalam Tafsir al-Mishbah dan
karya-karya sebelumnya—belum mengambil sikap tegas. Namun dalam tulisan
terbarunya yang berjudul Perempuan tampaknya beliau sudah mengambil
sikap yang tegas.
Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya,
Harus diakui bahwa memang ulama dan pemikir masa lalu, tidak
membenarkan perempuan menduduki jabatan Kepala Negara, tetapi hal ini
lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, antara lain kondisi
perempuan sendiri yang belum siap untuk menduduki jabatan, jangankan
Kepala Negara, menteri atau kepala daerah pun tidak. Perubahan fatwa dan
pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi, dan karena
itu tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis
atau memimpin negara. 268
Penulis sangat setuju dengan pernyataan Muhammad Quraish Shihab
di atas. Namun sayang beliau tidak memberikan argumen yang meyakinkan
tentang kebolehan perempuan menjadi kepala negara tersebut. Justru
Muhammad Imarah lebih jelas argumentasinya mengenai kebolehan
perempuan menjadi kepala negara, yaitu disebabkan kepemimpinan sekarang
267
268
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an…, h. 275
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 350
243
ini bukan kepemimpinan individu, melainkan kepemimpinan kolektif, jadi
kepala negara yang ada saat ini bagaikan boneka yang hanya merupakan
simbol, karena semua keputusannya sudah diatur bersama.
Sekalipun perempuan boleh jadi pemimpin dalam masyarakat, namun
jangan dijadikan alasan bahwa perempuan boleh menjadi imam kaum laki laki
dalam shalat.
Berkaitan dengan hal ini Ali Mustafa Ya’qub mengatakan,
Selama 15 abad tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat bahwa
perempuan dibolehkan menjadi imam shalat berjamaah di mana
makmumnya terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan, kecuali Abu Tsaur
(w. 240H.) murid Imam syafi’i yang kemudian mendirikan madzhab
sendiri. Abu Tsaur melandaskan pendapatnya pada sebuah hadis yang
diriwayatkan antara lain oleh Imam Abu Dawud, Imam Ahmad dan Imam
Hakim. Hadis ini dikenal dengan hadits Ummu Waraqah, karena awalnya
seorang sahabat perempuan bernama Ummu Waraqah menghadap
Rasulullah saw., meminta beliau agar menunjuk seorang muadzin di
rumahnya. Beliau kemudian menunjuk seorang muadzin dan
memerintahkan
Ummu Waraqah untuk mejadi imam shalat bagi penghuni
rumahnya.269
Adapun bunyi hadis yang dimaksud adalah :
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﳊﺴﻦ ﺑﻦ ﲪﺎﺩ ﺍﳊﻀﺮﻣﻰ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻓﻀﻴﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﲨﻴﻊ ﻋـﻦ ﻋﺒـﺪ‬
‫ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﺧﻼﺩ ﻋﻦ ﺍﻡ ﻭﺭﻗﺔ ﺑﻨﺖ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻗﺎﻝ ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﻳﺰﻭﺭﻫﺎ‬
٢٧٠
‫ﰱ ﺑﻴﺘﻬﺎ ﻭﺟﻌﻞ ﳍﺎ ﻣﺆﺫﻧﺎ ﻳﺆﺫﻥ ﳍﺎ ﻭ ﺍﻣﺮﻫﺎ ﺍﻥ ﺗﺆﻡ ﺍﻫﻞ ﺩﺍﺭﻫﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ‬
Artinya:”al-Hasan Bin Hamad al-Hadhrami telah menceritakan kepada
kami, Muhammad Bin Fudhail dari al-Walid Bin Jami dari Abdu alRahman Bin Khalad dari Umu Waraqah Bintu Abdullah Bin al-Harits
telah berkata:”Pada suatu hari Rasulullah mengunjungi rumah Ummu
Waraqah dan Rasulullah mengizinkan azan dan memerintahkan Ummu
Waraqah untuk menjadi Imam bagi penghuni rumahnya (H.R.Abu
Dawud )
Hadis ini kuwalitasnya sahih (valid), tetapi dari sisi istidlal (sumber
hukum) untuk membolehkan perempuan menjadi imam shalat secara umum di
269
Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan Dalam Perspektif Hadis,(selanjutnya tertulis
Imam Perempuan) sebuah makalah yang disampaikan pada diskusi dosen, 21 Mei 2005, h. 1
270
al- Imam al-Hâfizh Abu Dawud Sulaiman Bin al-‘Asy’ats al-Sijistani al-Azadi, Sunan
Abu Dawud, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 1999), Jilid. I, h. 284
244
antara makmumnya kaum laki-laki, hal itu perlu ditinjau ulang, karena dalam
hadis tersebut tidak ada kejelasan siapa yang menjadi makmum Ummu
Waraqah. Kemungkinan semua makmumnya adalah perempuan, semuanya
laki-laki, atau campuran antara laki-laki dan perempuan. Kaidah ushul fikih
menyatakan, apabila sebuah dalil mengandung banyak kemungkinan, maka
dalil itu tidak dapat dijadikan sumber hukum. Karenanya hadis Ummu
Waraqah itu kendati sahih, ia gugur sebagai dalil.271
Sementara itu, ada pendekatan lain untuk memahami hadis tersebut,
yaitu bahwa hadis Ummu Waraqah itu bersifat umum, sementara dalam versi
lain yang diriwayatkan Imam Darulquthni dalam kitab sunannya berbunyi:
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﲪﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺍﻟﺒﻐﻮﻯ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺷﺒﺔ ﺍﺑﻮ ﺍﲪﺪ ﺍﻟﺰﺑﲑﻯ ﺍﺧﱪﻧﺎ ﺍﻟﻮﻟﻴﺪ ﺑﻦ ﲨﻴﻊ‬
‫ﻋﻦ ﺍﻣﻪ ﻋﻦ ﺍﻡ ﻭﺭﻗﺔ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ ﺃﺫﻥ ﳍﺎ ﺍﻥ ﻳﺆﺫﻥ ﳍﺎ ﻭ ﻳﻘﺎﻡ ﻭﺗﺆﻡ ﻧﺴﺎﺀﻫﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺩﺍﺭ‬
٢٧٢
‫ﺍﻟﻘﻄﲎ‬
Artinya:”Ahmad Bin al-Abbas al-Baghawi telah menceritakan kepada
kami, Umar Bin Syabah Abu Ahmad al-zubairi telah menceritakan
kepada kami, al-Walid Bin Jami dari Ibunya, dari Umu Waraqah
Bahwa Rasulullah mengizinkan Ummu Waraqah untuk menjadi Imam
bagi kaum perempuan (H.R.al-Darulquthni).
Berdasarkan kaidah pemahamamn hadis, jika terdapat dua buah hadis
yang masing-masing memberikan pengertian umum dan khusus, maka
pengertian yang umum harus diartikan dengan pengertian yang khusus. Atau
dengan kata lain, hadis yang memberikan pengertian umum tidak dipakai, dan
hadis yang memberian pengertian khusus itulah yang dipakai sebagai dalil.
Metode ini dikenal dengan metode takhshish.273
Dalam kasus hadis Ummu Waraqah ini, kendati riwayat yang
memberikan pengertian umum jumlahnya lebih banyak, namun karena ada
271
Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan…, h. 1
al-Imam al-Kabir Ali Bin Umar al-Dâr al-Quthni, Sunan Dâr al-Quthni, (Bairut : Dâr alFikr, 1994), Jilid.I, h. 223
272
245
riwayat yang memberikan pengertian khusus, maka hadis yang memberikan
pengertian umum itu di-takhshish (diartikan secara khusus) dengan hadis yang
memberikan pengertian khusus. Oleh karena itu, yang berlaku adalah hadis
yang memberikan pengertian bahwa Rasulullah mengizinkan Ummu Waraqah
menjadi imam shalat bagi perempuan-perempuan yang menjadi penghuni
rumahnya.274
Pengertian ini didukung oleh hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam
Ibnu Majah yang berbunyi :
‫ﺣﺪﺛﺎ ﺍﲪﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪﺓ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﻋﻦ ﺍﻟﻌﻼﺀ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳـﺮﺓ ﻭﻋـﻦ‬
‫ﺧﲑ ﺻﻔﻮﻑ ﺍﻟﻨـﺴﺎﺀ ﺁﺧﺮﻫـﺎ ﻭ‬: ‫ﺳﻬﻴﻞ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ‬
٢٧٥
‫ﺷﺮﻫﺎ ﺍﻭﳍﺎ ﻭﺧﲑ ﺻﻔﻮﻑ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﺍﻭﳍﺎ ﻭﺷﺮﻫﺎ ﺁﺧﺮﻫﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬
Artinya:”Ahmad Bin Abdah telah menceritakan kepada kami, Abdul
Aziz Bin Muhammad telah menceritakan kepada kami dari al-‘Ala dari
ayahnya dari Abu Hurairah dan dari Suhail dari ayahnya dari Abu
Hurairah telah berkata:”Rasulullah telah bersabda, Sebaik-baik Shaf
(barisan) wanita adalah paling ahir, dan sejelek-jelek barisan wanita
adalah barisan pertama, dan sebaik-baik barisan kaum lelaki adalah
barisan pertama dan sejelek-jelek barisan kaum lelaki adalah barisan
belakang (H.R.Ibnu Majah)
Seandainya dibolehkan perempuan menjadi imam kaum laki laki,
tentunya Aisyah istri Nabi saw. pantas menjadi imam shalat berjamaah dengan
kaum laki-laki. Kenyataannya tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan
bahwa Aisyah pernah menjadi imam shalat berjamaah bagi makmum laki laki
dan perempuan, atau makmum laki-laki saja.276
Istri-istri Nabi saw. seperti Aisyah dan Ummu Salamah pernah
menjadi imam shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Tapi mereka
273
Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan…, h. 2
Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan …, h. 2
275
al-Hâfizh Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid al-Quzwaini , Sunan Ibnu Majah,
(selanjutnya tertulis Ibnu Majah) (Cairo : Dâr al- Hadîts, 1998) Jilid I, h. 386
276
Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan …, h..2
274
246
hanya menjadi imam untuk makmum perempuan saja. Shalat adalah bagian
dari ibadah yang acuannya harus mengikuti petunjuk dari Allah dan RasulNya. Oleh karena itu intervensi akal dalam masalah ibadah, termasuk di
dalamnya shalat, tidak dapat dibenarkan. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﳌﺜﲎ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻳﻮﺏ ﻋﻦ ﺍﰉ ﻗﻼﺑﺔ ﻗـﺎﻝ ﺣـﺪﺛﻨﺎ‬
‫ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﺍﺗﻴﻨﺎ ﺍﱃ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﳓﻦ ﺷﺒﺒﺔ ﻣﺘﻘﺎﺭﺑﻮﻥ ﻓﺎﻗﻤﻨﺎ ﻋﻨﺪﻩ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ‬
‫ﻭﻟﻴﻠﺔ ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭﺣﻴﻤﺎ ﺭﻓﻴﻘﺎ ﻓﻠﻤﺎ ﻇﻦ ﺍﻧﺎ ﻗﺪ ﺍﺷﺘﻬﻴﻨﺎ ﺍﻫﻠﻨﺎ – ﺍﻭ‬
‫ﻗﺪ ﺍﺷﺘﻘﻨﺎ – ﺳﺄﻟﻨﺎ ﻋﻤﻦ ﺗﺮﻛﻨﺎ ﺑﻌﺪﻧﺎ ﻓﺎﺧﱪﻧﺎﻩ ﻗﺎﻝ ﺍﺭﺟﻌﻮﺍ ﺍﱃ ﺍﻫﻠـﻴﻜﻢ ﻓـﺎﻗﻴﻤﻮﺍ ﻓـﻴﻬﻢ ﻭ‬
‫ﻋﻠﻤﻮﻫﻢ ﻭ ﻣﺮﻭﻫﻢ – ﻭﺫﻛﺮ ﺍﺷﻴﺎﺀ ﺍﺣﻔﻈﻬﺎ ﺍﻭ ﻻ ﺍﺣﻔﻈﻬﺎ – ﻭﺻﻠﻮﺍ ﻛﻤﺎ ﺭﺍﻳﺘﻤﻮﱏ ﺍﺻـﻠﻰ‬
٢٧٧
‫ﻓﺎﺫﺍ ﺣﻀﺮﺕ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻠﻴﺆﺫﻥ ﻟﻜﻢ ﺍﺣﺪﻛﻢ ﻭﻟﻴﺆﻣﻜﻢ ﺍﻛﱪﻛﻢ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬
Muhammad Bin al-Matsna telah menceritakan kepada kami dia
berkata, Abdulwahab telah menceritakan kepada kami dia berkata,
Ayyub telah menceritakan kepada kami dari Ayahku Qilâbah dia
berkata, Malik telah menceritakan kepada kami dia berkata:”Kami
telah datang kepada Nabi saw. dan kami pemuda yang dekat
Rasulullah saw. kami berada disamping Rasulullah saw. selama 20
hari malam dan siang, dan Rasulullah seorang yang penyayang dan
santun, ketika dia menduga bahwa kami rindu/ingin berjumpa dengan
keluarga kami, dia menanyakan kepada kami tentang orang yang kami
tinggalkan setelah kami, lalu kami memberitahukannya kepada Nabi
saw. lalu Nabi saw. bersabda:” Pulanglah kalian untuk menjumpai
keluarga kalian, dan bertempat tinggallah bersama mereka, didiklah
mereka, dan printahkanlah mereka dan Nabi telah mengajarkan
beberapa hal ada yang aku hafal dan ada yang tidak-dan Nabi
memerintahkan :”Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat,
apabila shalat telah tiba, maka salah seorang diantara kalian hendaknya
adzan dan orang yang paling tua diantara kalian hendaklah menjadi
Imam kalian. (H.R.al-Bukhari)
Mengapa perempuan tidak boleh menjadi imam kaum laki-laki, karena
akan timbul fitnah. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi :
277
Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail, al-Bukhari, …Jilid I., h. 145
247
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺍﺣﺰﻡ ﺍﺑﻮ ﻃﺎﻟﺐ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﰉ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﺯﺭﺍﺭﺓ ﺑﻦ ﺍﻭﰱ‬
‫ ﻳﻘﻄﻊ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﳌـﺮﺃﺓ‬: ‫ﻋﻦ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ‬
٢٧٨
‫ﻭﺍﻟﻜﻠﺐ ﻭﺍﳊﻤﺎﺭ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ‬
Zaid Bin Ahzam Abu Thalib telah menceritakan kepada kami, Mu’ad
Bin Hisyam telah menceritakan kepada kami, Ayahku telah
menceritakan kepada kami dari Qatadah dari Zararah Bin Aufa dari
Sa’ad Bin Hisyam dari Abi Hurairah, dari Nabi saw. bersabda:”Shalat
dapat terganggu oleh perempuan, anjing dan himar (H.R.Ibnu Majah)
Kemudian di dukung oleh hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
:
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻭﻛﻴﻊ ﻋﻦ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻘﻴﻞ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑـﻦ‬
‫ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧﲑ ﺻﻔﻮﻑ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻣﻘـﺪﻣﻬﺎ ﻭﺷـﺮﻫﺎ‬: ‫ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﻗﺎﻝ‬
٢٧٩
‫ﻣﺆﺧﺮﻫﺎ ﻭﺧﲑ ﺻﻔﻮﻑ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻣﺆﺧﺮﻫﺎ ﻭﺷﺮﻫﺎ ﻣﻘﺪﻣﻬﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ‬
Ali Bin Muhammad telah menceritakan kepada kami, Waqî’ telah
menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari Abdullah Bin Muhammad
Bin ‘Aqîl dari Jabir Bin Abdullah telah berkata Rasulullah saw. telah
bersabda:”Barisan dalam salat berjamaah terbaik untuk laki-laki adalah
barisan pertama (depan) dan barisan terburuk bagi mereka adalah
barisan terahir (belakang), sedangkan barisan terbaik untuk perempuan
adalah barisan terahir (belakang) dan barisan terburuk bagi mereka
adalah barisan pertama (depan).
Berdasarkan hadis-hadis tersebut diatas penulis sependapat dengan
keputusan
Fatwa
MUI
NO:9/MUNAS
VII/MUI/13/2005
yang
menyatakan:”Bahwa perempuan menjadi imam salat berjamaah yang diantara
makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah, dan
perempuan menjadi imam salat berjamaah yang makmumnya perempuan,
278
279
al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Bin Yazid al-Quzweni, Ibnu Majah,… Jilid.I., h.370
al-Hâfizh Abu Abdullah Muhammad Bin Yazid al-Quzweni, Ibnu Majah…Jilid.I., h.386
248
hukumnya mubah.”
280
Alasannya bila shalat perempuan diletakkan di depan
kaum lelaki, tentu shalat kaum lelaki tidak khusu’ bahkan timbul fitnah dan
ahirnya perempuan tidak terhormat lagi yang smestinya harus dihormati.
E. Ayat Poligami
1. Pengertian Poligami
Poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Ikatan
perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan
jenisnya di waktu yang bersamaan.”281 Sedangkan poliandri adalah
”Perempuan yang memiliki suami lebih dari satu di waktu yang bersamaan.”282
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa poligami adalah suami
memiliki istri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan
poliandri adalah istri memiliki suami lebih dari satu dalam waktu yang
bersamaan.
2. Pendapat para pakar muslim tentang poligami
Ayat tentang poligami yang biasa dirujuk oleh para pakar gender adalah
‫ ﻓﹶﺈِ ﻥﹾ‬‫ﺎﻉ‬‫ﺑ‬‫ﺭ‬‫ﺛﹸﻠﹶﺎﺙﹶ ﻭ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﺜﹾﻨ‬‫ﺎﺀِ ﻣ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺎ ﻃﹶﺎﺏ‬‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﻜِﺤ‬‫ﻰ ﻓﹶﺎﻧ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﻘﹾﺴِﻄﹸﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻴ‬‫ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘ‬‫ﻭ‬
(٣: ٤/‫ﻮﻟﹸﻮﺍ)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻌ‬‫ﻰ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗ‬‫ﻧ‬‫ ﺃﹶﺩ‬‫ ﺫﹶﻟِﻚ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻠﹶﻜﹶﺖ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ ﻣ‬‫ﺓﹰ ﺃﹶﻭ‬‫ﺍﺣِﺪ‬‫ﺪِﻟﹸﻮﺍ ﻓﹶﻮ‬‫ﻌ‬‫ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺧِﻔﹾﺘ‬
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. alNisâ’/4: 3 )
280
MUNAS MUI VII di Jakarta tahun 2005 , h. 3
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia…, h. 693
282
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia…, h. 693
281
249
Muhammad.Quraish Shihab menyatakan bahwa
Penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakikatnya adalah dalam rangka
tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan
ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan
untuk menguatkan larangan itu dikatakannya, 'jika Anda khawatir akan
sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang
ada di hadapan Anda.' Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu
hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak
makan makanan tertentu itu.283
Perlu digarisbawahi bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang
poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut
berbagai syariat agama serta adat-istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat
ini. Sebagaimana ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya,
ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu
kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dan dengan syarat
yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam
pandangan al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan
buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam
aneka kondisi yang mungkin terjadi.284
Sikap Muhammad Quraish Shihab dalam masalah hukum poligami
cukup jelas yaitu mubah (boleh) tapi tidak dianjurkan dan tidak boleh ditutup
rapat, dan tidak dilihat dari sisi baik dan buruknya. Tetapi harus dilihat dari
penetapan hukum Allah dalam kondisi yang mungkin terjadi. Allah membuat
peraturan dalam al-Qur’an tentu dalam rangka mewujudkan kemaslahatan
manusia. Bahkan Muhammad Quraish Shihab dalam berbagai kesempatan
menyatakan bahwa poligami bagaikan pintu darurat yang ada pada pesawat
terbang. Pintu darurat itu dirancang karena diduga setiap pesawat akan
283
284
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 , h. 324
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 , h. 324
250
mengalami kecelakaan. Pada saat terjadi kecelakaan yang tidak mungkin bagi
para penumpang hanya melalui satu pintu biasa, maka pintu darurat dapat
dimanfaatkan. Pintu darurat tidak boleh dibuka sembarang waktu.
Muhammad Quraish Shihab mengatakan,
Adalah wajar bagi suatu perundang-undangan, apalagi agama yang
bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat, untuk
mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada satu ketika.
Walaupun kejadian itu baru merupakan kemungkinan. Bukankah
kenyataan menunjukkan bahwa jumlah lelaki bahkan jantan binatang lebih
sedikit dari jumlah perempuan atau betinanya? Perhatikanlah sekeliling
anda, bukankah rata-rata usia perempuan lebih panjang dari usia laki- laki,
sedang potensi membuahi, lelaki lebih lama dari potensi perempuan, bukan
saja karena perempuan mengalami masa haid, tetapi juga karena
perempuan mengalami menopous sedang laki-laki tidak mengalami
keduanya.285
Selanjutnya, Bukankah kemandulan atau penyakit parah merupakan satu
kemungkinan yang tidak aneh dan dapat terjadi di mana-mana? Apakah jalan
keluar yang dapat diusulkan kepada suami yang mengalami kasus demikian?
Bagaimanakah seharusnya ia menyalurkan kebutuhan biologisnya atau
memperoleh dambaannya pada keturunan? Poligami ketika itu adalah jalan
keluar yang paling tepat, apalagi berarti kewajiban. Seandainya ia anjuran,
pastilah Allah menciptakan perempuan lebih banyak empat kali lipat dari
jumlah laki-laki, karena tidak ada artinya anda—apalagi Allah—menganjurkan
sesuatu kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi
wadah bagi mereka yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau
285
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 , h. 325
251
kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contohnya di atas. (Lebih lanjut lihat
Tafsir al-Mishbah Vol.2.h.325).286
Namun penulis melihat Muhammad Quraish Shihab tidak memberi
jalan keluar, bila kondisi tersebut terjadi sebaliknya, seperti suami mandul,
laki-laki lebih banyak daripada perempuan, suami sakit parah dan
semacamnya. Sehingga kesan penulis dan para pembaca Tafsir al-Mishbah,
bahwa Muhammad Quraish Shihab hanya membela kepentingan kaum lakilaki saja.
Menurut hemat penulis, bila terjadi sebaliknya, maka kaum perempuan
berhak melakukan seperti yang dilakukan kaum laki-laki selain poliandri,
karena poliandri haram hukumnya menurut ajaran Islam. Dia hanya bisa minta
cerai atau menggugat suami untuk memberikan talak kepada istri dengan
membayar tebusan sebagai ‘iwad kepada suami yang biasa disebut thalaq bain
shugra.
Kemudian Muhammad Quraish Shihab juga mengingatkan kepada kita
semua dengan menyatakan, ”Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasul saw.
kawin lebih dari satu, dan perkawinan semacam itu hendaknya diteladani,
karena tidak semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani. Sebagaimana
tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula
bagi ummatnya." (Lebih lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol.2. h.326).287
286
Tentu saja masih banyak kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan
alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat
ini dengan syarat yang tidak ringan itu. Kita tidak dapat membenarkan orang yang berkata bahwa
poligami adalah anjuran, dengan alasan bahwa perintah di atas dimulai dengan bilangan dua, tiga, atau
empat, baru kemudian kalau khawatir tidak berlaku adil, maka nikahilah seorang saja dengan alasan
yang telah dikemukakan di atas, baik dari makna redaksi ayat, maupun dari segi kenyataan sosiologis
di mana perbandingan perempuan dan laki laki tidak mencapai empat banding satu, bahkan dua
banding satu.
287
Bukankah Rasul saw. antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak menerima zakat?
Bukankah tidak batal wudu beliau bila tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna
252
Persyaratan
dan
ketentuan
poligami
yang
dikemukakan
oleh
Muhammad Quraish Shihab berbeda dengan persyaratan dan ketentuan yang
dikemukakan oleh Muhammad Shahrur. Muhammad Shahrur lebih ketat
daripada Muhammad Quraish Shihab. Muhammad Shahrur berpendapat
bahwa,
Sesungguhnya Allah swt. tidak hanya sekadar membolehkan poligami,
akan tetapi Dia sangat menganjurkannya, dengan dua syarat. Pertama,
bahwa istri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki
anak yatim. Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil
kepada anak-anak yatim, sehingga perintah poligami akan menjadi gugur
ketika tidak terdapat dua syarat di atas. 288
Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ‫ ﻣﺎﻃﺎﺏ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬dengan "maka
kawinilah apa yang kamu senangi," bukan "siapa yang kamu senangi,"
agaknya disebabkan kata tersebut
bermaksud menekankan tentang sifat
perempuan, bukan orang tertentu, nama, atau keturunannya. Bukankah jika
anda bertanya, ”Siapa yang dia kawini?" Maka anda menanti jawaban tentang
perempuan tertentu, namanya, dan anak siapa dia. Sedang bila anda bertanya
dengan menggunakan kata apa, maka jawaban yang anda nantikan adalah sifat
dari yang ditanyakan itu, misalnya janda atau gadis, cantik atau tidak dan
sebagainya.289Artinya perempuan yang dikawininya tidak perlu harus janda
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Muhammad Shahrur di atas.
Kemudian Muhammad Shahrur menegaskan,
mensukseskan misinya? Atau apakah mereka yang menyatakan itu benar benar ingin meneladani Rasul
dalam perkawinannya? Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadar bahwa semua perempuan
yang beliau kawini, kecuali Aisyah r.a. adalah janda-janda, dan kesemuanya untuk tujuan
mensukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami itu,
yang pada umumnya bukanlah perempuan-perempuan yang dikenal memiliki daya tarik yang
memikat.
288
289
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 428
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 h. 322
253
khithab perintah dalam ayat poligami tersebut ditujukan kepada orangorang yang telah menikah dengan seorang perempuan dan memiliki anak,
sehingga tidak dikatakan poligami bagi laki-laki bujangan yang mengawini
janda yang memiliki anak yatim, dengan alasan bahwa ayat tersebut
diawali dengan dua dan diakhiri dengan empat, berarti sudah punya satu
sebelum-nya. 290
Selanjutnya Muhammad Shahrur mengatakan,
Karena konteks ayat poligami adalah berkisar tentang anak-anak yatim
yang belum dewasa yang ditinggalkan ayahnya, sementara ibunya masih
hidup menjanda, maka anak yang kehilangan kedua orang tuanya (yatim
piatu) atau kehilangan ibunya (piatu) menjadi gugur masalah poligami,
seperti suami ditinggalkan istrinya, lalu dia kawin lagi, maka istri
keduanya tidak disebut poligami.291
Kemudian
Muhammad
Shahrur
juga
mengatakan,
"Dia
tidak
sependapat, bila adil dikaitkan dengan hubungan suami istri (senggama),
karena konteks ayat tersebut berbicara tentang poligami dalam kaitannya
dengan pemahaman sosial kemasyarakatan, bukan konsep biologis (senggama)
dan berkisar masalah anak yatim dan berbuat baik kepadanya serta berlaku adil
terhadapnya.”292
Dia juga tidak sependapat jika jumlah perempuan lebih banyak dari
laki-laki, istri mandul, syahwat laki-laki lebih besar, dan kelemahan seorang
istri
menjalankan
fungsi
sebagai
seorang
istri
karena
sakit
yang
berkepanjangan dijadikan alasan bagi suami berpoligami. Bahkan dia balik
bertanya, bagaimana bila kejadian itu menimpa sang suami.293
Muhammad Shahrur dalam mengahiri pembicaraan mengenai poligami
menyatakan, ”Suatu yang haram tidak mungkin dihalalkan, akan tetapi sesuatu
290
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 428
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 427
292
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 429
291
293
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 430
254
yang halal mungkin dilarang, tapi pelarangannya tidaklah mengandung sifat
abadi dan umum. Apabila pelarangan ini mengandung sifat abadi dan umum,
berarti sesuatu yang haram, dan ia merupakan hak khusus Allah semata,
bahkan para Nabi dan Rasulpun tidak berhak untuk mengharamkannya.”294
Siti Musdah Mulia justru bertentangan pendapatnya dengan Muhammad
Shahrur dengan mengutip pendapat Muhammad Syaltut (w.1963) yang
mengatakan, ”Dia secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran
Islam, dan juga menolak bahwa poligami diterapkan oleh syari’ah.”295
Setelah penulis merujuk kepada kitab aslinya, tampaknya kesimpulan
Musdah Mulia bertolak belakang dengan maksud Muhammad Syaltut, karena
beliau menyatakan sebagai berikut:
‫ﻭﺍﻻﺳﻼﻡ ﱂ ﻳﻜﻦ ﰱ ﺷﺮﻉ ﺗﻌﺪﺩ ﺍﻟﺰﻭﺟﺎﺕ ﻭﻻ ﰱ ﺷﺮﻉ ﺍﺻﻞ ﺍﻟﺰﻭﺍﺝ ﻣﺒﺘﻜﺮﺍ ﻟﺸﻴﺊ ﱂ ﻳﻜﻦ‬
‫ﺎ‬ ‫ﻣﻌﺮﻭﻓﺎ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﻭﻫﺬﺍ ﺷﺄﻧﻪ ﰱ ﻛﺜﲑ ﻣﻦ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﳌﻌﺎﻣﻼﺕ ﻭﺍﻻﺭﺗﺒﺎﻃﺎﺕ ﺍﻟﺒﺸﺮﻳﺔ ﺍﻟﱴ ﺗﻘﻀﻰ‬
‫ﻃﺒﻴﻌﺔ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﻭﺍﳕﺎﻛﺎﻥ ﻣﻘﺮﺭﺍ ﻣﺎﺗﻘﺘﻀﻴﻪ ﺍﻟﻄﺒﻴﻌﺔ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻣﻌﺪﻻ ﻓﻴﻬﺎﲟﺎ ﻳﺮﻯ ﻣﻦ ﺟﻬﺎﺕ‬
‫ﺍﻟﺘﻬﺬﻳﺐ ﺍﻟﱴ ﺗﻜﻔﻞ ﺍﻟﻄﺒﻴﻌﺔ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﰱ ﺍﳊﺪﺍﻟﻮﺳﻂ ﻭﺗﻘﻴﻬﺎ ﺷﺮ ﺍﻻﳓﺮﺍﻑ ﻭ ﺍﳌﻴﻞ ﻭﲢﻔﻆ‬
٢٩٦
. ‫ﻟﻼﺟﺘﻤﺎﻉ ﺧﲑ ﻣﻘﺘﻀﻴﺎﺕ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻄﺒﻴﻌﺔ‬
”Islam—dalam penetapan hukum poligami, dan penetapan hukum asal
perkawinan—tidak menciptakan untuk sesuatu yang belum dikenal
sebelumnya. Inilah peranan Islam pada umumnya dalam masalah
muamalat (perdata) dan hubungan antara sesama manusia yang
dikehendaki oleh watak sosial. Bahkan Islam menetapkan hal itu untuk
kepentingan tabiat (watak/karakter) tersebut, untuk menyeimbangkan
hal-hal yang dianggap perlu dari segi pendidikan yang dapat menjamin
tabiat agar berada pada batas keadilan (moderat), dan menjaganya dari
kejahatan dan kecenderungan adanya penyimpangan serta memelihara
kehendak tabiat/watak yang terbaik untuk kepentingan masyarakat."
294
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 434
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (selanjutnya tertulis Menggugat
Poligami) (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.44
296
Muhammad Syaltut, Aqîdah wa al-Syarî’ah…, h. 186
295
255
Pernyataan Mahmud Syaltut di atas menunjukkan bahwa Islam tidak
menolak poligami. Mahmud Syaltut hanya mengatakan, bahwa poligami yang
ditetapkan Islam bukan hal yang baru, tapi sudah ada sebelum Islam lahir.
Hal ini sejalan dengan Muhammad Quraish Shihab yang mengatakan,
”Poligami telah dikenal oleh masyarakat manusia, dengan jumlah yang tidak
sedikit dari perempuan yang berhak digauli. (Lebih lanjut lihat karya
Muhammad Quraish Shihab “Perempuan” h. 159)"297
Poligami—menurut Siti Musdah Mulia—pada hakikatnya adalah
selingkuh yang dilegalkan, dan karenanya jauh lebih menyakitkan perasaan
istri. Islam menuntun manusia agar menjahui selingkuh, dan sekaligus
menghindari poligami. Islam menuntun pengikutnya, laki-laki dan perempuan,
agar mampu menjaga organ-organ reproduksinya dengan benar sehingga tidak
terjerumus pada segala bentuk pemuasan syahwat yang dapat mengantarkan
pada kejahatan terhadap kemanusiaan.298
Membolehkan poligami berdasarkan kasus-kasus yang ada justru
bertentangan dengan akal sehat yang berarti juga bertentangan dengan ajaran
agama. Solusinya bukan membolehkan poligami. Sebaliknya justru melarang
poligami secara mutlak.299
Penulis tidak sependapat bila poligami dikatakan selingkuh yang
dilegalkan, karena sangat berbeda antara selingkuh dengan poligami.
297
Dalam Perjanjian Lama misalnya disebutkan bahwa Nabi Sulaiman as. memiliki tujuh
ratus istri bangsawan dan tiga ratus gundik (Perjanjian Lama, Raja-Raja I-11-4). Poligami meluas, di
samping masyarakat Arab Jahiliyah, juga pada bangsa Ibrani dan Sicilia yang kemudian melahirkan
sebagian besar bangsa Rusia, Lithuania, Polandia, Cekoslowakia dan Yugoslavia, serta sebahagian
penduduk Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris. Greja di Eropa
pun mengakui Poligami hingga akhir abad XVII atau awal abad XVII. (M. Quraish Shihab,
Perempuan, h. 159)
298
Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 62
299
Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 66
256
Selingkuh sudah jelas haram hukumnya dan tidak ada seorang pun yang berhak
menghalalkannya, bahkan para Nabi sekalipun. Karena hal itu merupakan hak
preogatif Allah. Sebaliknya tidak ada seorangpun yang berhak mengharamkan
apa yang dihalalkan Allah, sebagaimana ditegaskan Allah dalam beberapa
firman-Nya
. ‫ﺣِﻴﻢ‬‫ ﺭ‬‫ ﻏﹶﻔﹸﻮﺭ‬‫ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺟِﻚ‬‫ﻭ‬‫ﺎﺓﹶ ﺃﹶﺯ‬‫ﺿ‬‫ﺮ‬‫ﻐِﻲ ﻣ‬‫ﺘ‬‫ﺒ‬‫ ﺗ‬‫ ﻟﹶﻚ‬‫ﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ ﻣ‬‫ﻡ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ ﺗ‬‫ ﻟِﻢ‬‫ﺒِﻲ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﻳ‬‫ﻳ‬
( ١: ٦٦\‫)ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ‬
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah
menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu?
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Tahrîm/66:
1)
. ‫ﺪِﻳﻦ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺤِﺐ‬‫ ﻟﹶﺎ ﻳ‬‫ﻭﺍ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺪ‬‫ﺘ‬‫ﻌ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ﺎﺕِ ﻣ‬‫ﺒ‬‫ﻮﺍ ﻃﹶﻴ‬‫ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﻳ‬‫ﻳ‬
( ٨٧ : ٥\‫)ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.
(Q.S. al-Mâidah/5: 87).
Melarang poligami secara mutlak bertentangan dengan kehendak Allah
yang memang sudah dirancang hukumnya walaupun dengan persyaratan yang
ketat. Sama halnya dengan seorang arsitiktur yang merancang pintu darurat
untuk pesawat terbang. Karena kemungkinan akan terjadi di luar kemampuan
manusia bahwa pada saat terbang pesawat tersebut akan rusak, sehingga para
penumpang harus diselamatkan melalui pintu darurat. Apalagi Allah yang
memang sudah mengetahui persis akan terjadi suatu yang tidak diinginkan oleh
pasangan suami istri, maka harus menempuh pintu darurat dengan jalan
poligami.
Siti Musdah Mulia selanjutnya mengatakan,
257
Kalaupun dibenarkan berdalil pada satu ayat saja (meski ini sangat tidak
logis), maka sesungguhnya pemahaman kelompok yang pro poligami
terhadap teks ayat tersebut juga tidak utuh. Pertama, mari kita (kata Siti
Musdah Mulia) lihat bunyi teksnya, 'Maka kawinilah perempuanperempuan yang kamu senangi. Dua, tiga, empat,… Atau budak-budak
perempuan yang kamu miliki.' Secara jelas teks ayat itu membolehkan
perbudakan. Akan tetapi, mengapa para pendukung bunyi literal teks
tersebut memegang teguh kebolehan poligami, namun mengabaikan
kebolehan menggauli budak-budak perempuan? 300
Kemudian Siti Musdah Mulia mengutip perkataan Nasr Hamid Abu
Zayd yang menyatakan bahwa, "Jika perbudakan dapat dihapuskan dari
kehidupan masyarakat secara bertahap, maka poligami juga seharusnya seperti
itu."301
Menurut hemat, penulis poligami dan perbudakan sangat berbeda.
Sekalipun
ayat
tersebut
membolehkan
perbudakan
dalam
rangka
menghapuskan perbudakan secara bertahap sebagaimana ayat-ayat yang
lainnya, sedangkan ayat poligami tidak ada ayat lain selain al-Qur'an SuratalNisâ’/4: 3).
Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan potongan ayat
‫ﻣﺎﻣﻠﻜﺖ‬
‫ ﺍﳝﺎﻧﻜﻢ‬yang diterjemahkan dengan "budak-budak perempuan yang kamu
miliki," menunjuk kepada satu kelompok masyarakat yang ketika itu
merupakan salah satu fenomena umum masyarkat manusia di seluruh dunia.
Dapat dipastikan, Allah dan Rasul-Nya tidak merestui perbudakan, walau
dalam saat yang sama harus pula diakui bahwa al-Qur'an dan sunnah tidak
mengambil langkah drastis untuk menghapuskannya sekaligus. Al-Qur'an dan
sunnah menutup semua pintu untuk lahir dan berkembangnya perbudakan,
kecuali satu pintu yaitu tawanan yang diakibatkan oleh peperangan dalam
300
301
Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 50
Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 51
258
rangka mempertahankan diri dan akidah. Itupun disebabkan karena ketika itu
demikianlah perlakuan manusia terhadap tawanan perangnya. Namun kendati
tawanan perang diperkenankan untuk diperbudak, tapi perlakuan terhadap
mereka sangat manusiawi. Bahkan al-Qur'an memberi peluang kepada
penguasa Muslim untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa
tebusan. Berbeda dengan sikap umat manusia ketika itu.302
Islam menempuh cara bertahap dalam pembebasan perbudakan antara
lain disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak yang ditemuinya. Para
budak ketika itu hidup bersama tuan-tuan mereka, sehingga kebutuhan
sandang, pangan, dan papan mereka terpenuhi. Anda dapat membayangkan
bagaimana jadinya jika perbudakan dihapus sekaligus. Pasti akan terjadi
problema sosial yang jauh lebih parah dari Pemutusan Hubungan Kerja. (Lebih
lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vo. 2. h. 322).303
Di sisi lain, walau perbudakan secara resmi tidak dikenal lagi oleh umat
manusia dewasa ini, namun itu bukan berarti bahwa ayat ini dan semacamnya
tidak relevan lagi. Ini karena al-Qur'an tidak hanya diturunkan untuk putraputri abad ini, tetapi diturunkan untuk umat manusia sejak abad ke-6 hingga
ahir zaman. (Lebih lanjut dapat dilihat dalam Tafsir al-Mishbah, Vol. 2.
h.323.)304
302
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol. 2 h. 322
Ketika itu—para budak bila dibebaskan— bukan saja pangan yang harus mereka siapkan
sendiri, tetapi juga papan. Atas dasar itu kiranya dapat dimengerti jika al-Qur'an dan as-Sunnah
menempuh jalan bertahap dalam menghapus perbudakan. Dalam konteks ini, dapat juga kiranya
dipahami perlunya ketentuan-ketentuan hukum bagi para budak tersebut. Itulah yang mengakibatkan
adanya tuntutan agama baik dari segi hukum atau moral yang berkaitan dengan perbudakan. Salah satu
tuntutan itu adalah izin mengawini budak perempuan. Ini bukan saja kerena mereka juga adalah
manusia yang mempunyai kebutuhan biologis tetapi juga merupakan salah satu cara menghapus
perbudakan.
303
304
Semua diberi petunjuk dan semua dapat menimba petunjuk sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan zamannya. Masyarakat abad ke-6 menemukan budak budak perempuan, dan bagi
merekalah tuntunan itu diberikan. Al-Qur'an akan terasa kurang oleh mereka, jika petunjuk ayat ini
259
Menurut penulis Muhammad Quraish Shihab cenderung bahwa ayat itu
tetap berlaku sebagai payung hukum, kendati objek hukumnya sudah tidak ada.
namun tidak menutup kemungkinan, jika objek hukum tersebut muncul, ayat
tersebut dapat dijadikan pedoman sebagai pelaksanaan hukum. Sama halnya
dengan Umar Bin al-Khatthab yang melarang memberikan zakat pada muallaf
karena Umar Bin Khatthab menganggap muallaf tidak ada, tapi bukan berarti
Umar Bin al-Khatthab menghapus ayat tentang muallaf.
Siti Musdah Mulia menyatakan bahwa,
Setelah Allah menyuruh setiap pasangan untuk produktif membangun
keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan keluarga melalui sikap
dan perilaku yang senantiasa adil, maka pada ayat selanjutnya Allah
mengecam para suami yang berpoligami dan menyatakan bahwa mereka
tidak akan pernah mampu berbuat adil terhadap para istri, dalam al-Qur'an
Surat al-Nisâ’/4 ayat 129.305
Bahkan dia menegaskan bahwa Islam sudah menutup rapat pintu
poligami melalui ayat tersebut.306
Kemudian Siti Musdah Mulia menyimpulkan bahwa, ”Menjadikan surat
al-Nisâ’/4 ayat 3 sebagai dalil pembenar bagi kebolehan poligami, seperti
dipahami di masyarakat, sesungguhnya tidak signifikan dan sangat keliru,
mengingat ayat itu bukan diturunkan dalam konteks pembicaraan poligami,
melainkan dalam konteks pembicaraan anak yatim dan perlakuan tidak adil
yang menimpa mereka."307
Menurutnya melalui ayat tersebut Allah mengingatkan kepada para
suami akan dua hal. Pertama, jangan menikahi anak yatim perempuan yang
tidak mereka temukan. Di lain segi kita tidak tahu perkembangan masyarakat pada abad-abad yang
akan datang. Boleh jadi mereka mengalami perkembangan yang belum dapat kita duga dewasa ini.
Ayat-ayat ini atau jiwa petunjuknya dapat mereka jadikan rujukan dalam kehidupan mereka.
305
Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 110
Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 131
307
Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 116
306
260
berada dalam perwalian mereka kalau tidak mampu berlaku adil. Kedua,
jangan poligami kalau tidak mampu berlaku adil. Faktanya dalam dua hal
tersebut manusia hampir-hampir mustahil dapat berlaku adil. Kesimpulannya
ayat
ini
lebih
berat
mengandung
ancaman
berpoligami
ketimbang
membolehkannya.308
Pernyataan Siti Musdah Mulia tersebut bertentangan dengan pendapat
Muhammad Shahrur yang mengatakan bahwa
Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian
khusus dari Allah swt. Sehingga tidak mengherankan kalau Allah
meletakannya pada awal surat al-Nisâ dalam kitab-Nya yang mulia.
Seperti yang kita lihat bahwa poligami terdapat pada ayat ketiga dan
merupakan satu-satunya ayat dalam al-Tanzil yang membicarakan
masalah ini. Akan tetapi para mufassir dan para ahli fikih, seperti
biasanya, telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan
keterkaitan erat yang ada di antara masalah poligami dengan para janda
yang memiliki anak-anak yatim.309
Sebagaimana ditegaskan Allah
‫ ﻓﹶﺈِﻥﹾ‬‫ﺎﻉ‬‫ﺑ‬‫ﺭ‬‫ﺛﹸﻠﹶﺎﺙﹶ ﻭ‬‫ﻰ ﻭ‬‫ﺜﹾﻨ‬‫ﺎﺀِ ﻣ‬‫ﺴ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ﺎ ﻃﹶﺎﺏ‬‫ﻮﺍ ﻣ‬‫ﻜِﺤ‬‫ﻰ ﻓﹶﺎﻧ‬‫ﺎﻣ‬‫ﺘ‬‫ﻘﹾﺴِﻄﹸﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻴ‬‫ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺇِﻥﹾ ﺧِﻔﹾﺘ‬‫ﻭ‬
( ٣ : ٤/‫ﻮﻟﹸﻮﺍ) ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬‫ﻌ‬‫ﻰ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗ‬‫ﻧ‬‫ ﺃﹶﺩ‬‫ ﺫﹶﻟِﻚ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻠﹶﻜﹶﺖ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ ﻣ‬‫ﺓﹰ ﺃﹶﻭ‬‫ﺍﺣِﺪ‬‫ﺪِﻟﹸﻮﺍ ﻓﹶﻮ‬‫ﻌ‬‫ ﺃﹶﻟﱠﺎ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺧِﻔﹾﺘ‬
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. alNisâ’/4: 3)
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa laki-laki tidak berhak
melakukan poligami. Poligami dinilai sebagai bentuk kezaliman terhadap
perempuan (istri) karena suami tidak mungkin dapat berlaku adil terhadap para
308
309
Siti Musdah Mulia, Menggugat Poligami…, h. 116
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih…, h. 425
261
istrinya. Hal itu mengacu pada al-Qur'an Suratal-Nisâ’/4 ayat 3 dan al-Qur'an
Surat al-Baqarah/2 ayat 129.
Arij Abdurrahman As-Sanan mengatakan bahwa, ”Pendapat ini jelas
keliru, karena ayat pertama mewajibkan berlaku adil pada hal yang menjadi
kesanggupan suami, yaitu adil dalam bermalam, nafkah, dan pergaulan.
Sedang ayat kedua menafikan keadilan yang memang berada di luar
kesanggupan suami, yaitu cinta dan hubungan badan."310
Ada sebagian masyarakat yang menganggap poligami merupakan
penghinaan terhadap perempuan, karena dia dijadikan alat pemuas nafsu
seksual kaum laki laki. Menurut penulis justru memberikan kepuasan seksual
kaum perempuan, karena hubungan badan laki-laki dan perempuan akan samasama mendapatkan kepuasan/kenikmatan kedua belah pihak.
Poligami justru merupakan pemuliaan bagi perempuan, karena
poligami menjaganya dari zina. Pernikahan adalah satu-satunya jalan yang sah
untuk menyalurkan libido seksual. Poligami menjaga laki-laki dari
penyimpangan perilaku zina, yaitu memiliki kekasih gelap atau perempuan
simpanan.311
Adapun akibat negatif dari poligami yang terjadi di masyarakat, seperti
ketidakadilan suami atas istri-istrinya, hal ini bukan lahir dari syariat poligami
itu sendiri. Tetapi diakibatkan oleh tidak diterapkannya syariat pologami itu
dengan benar.312
Ada
sebagian orang berpendapat bahwa
hanya
Islam yang
membolehkan poligami. Pendapat ini tidak benar dan merupakan kebohongan
310
Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, (selanjutnya
tertulis Keadilan Dalam Poligami) (Jakarta: PT Global Media Cipta Publishing, 2003), h. 26
311
Arij Abdurrahman As-Sanan, Keadilan Dalam Poligami…, h. 26
312
Arij Abdurrahman As-Sanan, Keadilan Dalam Poligami…, h. 27
262
sejarah. Banyak bangsa dan agama sebelum Islam yang telah mengizinkan
menikahi banyak perempuan, sepuluh, bahkan seratus tanpa persyaratan atau
pembatasan apapun. Perjanjian Lama menyebutkan bahwa Dawud memiliki
tiga ratus perempuan dan Sulaiman memiliki tujuh ratus perempuan, beberapa
diantaranya adalah istrinya, sementara lainnya Cuma gundik.313
Islam adalah kata kata terakhir dari Allah yang menyimpulkan/
menyegel seluruh pesan pesan-Nya. Oleh karena itu Islam datang dengan
hukum yang umum dan abadi untuk merangkul seluruh bangsa, usia, dan
masyarakat. Islam tidak membuat hukum untuk penduduk kota tanpa
memandang masyarakat pedesaan, juga tidak hanya untuk kawasan dingin atau
panas, atau sebaliknya dan juga tidak untuk usia tertentu dan mengabaikan
kelompok usia lainnya serta generasi-generasi lainnya. Islam menghormati
pentingnya pribadi maupun masyarakat.314
Wahbah al-Zuhaily menyimpulkan bahwa, ”Poligami dalam Islam
adalah masalah darurat, memperbaiki kerusakan dalam poligami lebih utama
daripada menghilangkan poligami. Tidak boleh seorangpun membatalkan
poligami, karena nash syar ’inya secara jelas membolehkannya. Menghentikan
atau mengeluarkan nash berarti mengingkari ayat Allah dan haram menurut
syariat dan agama Allah."315
Islam membolehkan poligami karena dharurat dengan syarat mampu
memberi nafkah, adil diantara istri-istrinya, berlaku baik, atau karena suatu hal
313
Yusuf Qardhawi, Kedudukan Perempuan Islam, terjemahan Melati Adhi Damayanti,
(selanjutnya tertulis Kedudukan Perempuan) (Jakarta: PT Global Media Publishing, 2003), h. 123
314
Yusuf Qardhawi, Kedudukan Perempuan …, h. 126
315
Wahbah al-Zuhaily, al-Munir…, Juz 5. h. 244
263
seperti istri mandul, jumlah perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki, atau
fisik perempuan yang tidak dapat melayani suami karena sakit.316
Sistem poligami menurut hukum Islam adalah suatu sistem yang
manusiawi dan bermoral. Disebut bermoral karena Islam tidak membolehkan
laki-laki untuk melakukan hubungan seksual dengan perempuan manapun
yang dikehendakinya pada waktu kapanpun ia kehendaki tanpa melalui
pernikahan yang sah. Laki-laki juga tidak diizinkan untuk melakukan
hubungan seksual dengan lebih dari tiga perempuan di samping istri
pertamanya. Poligami tidak dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi,
melainkan harus dilangsungkan dengan sebuah akad nikah dan diumumkan
walau di antara khalayak terbatas.317
Sedangkan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129 yang dijadikan
argumen oleh orang orang yang menolak poligami karena manusia tidak akan
mampu berbuat adil pada para istri sekalipun berusaha keras. Wahbah alZuhaily justru memandang ayat ini sebagai dukungan terhadap ayat poligami
di atas. Karena adil yang dituntut oleh para istri adalah adil dalam masalah
materi seperti giliran (tidur bersamanya), nafkah, pakaian, dan tempat tinggal.
Sedangkan keadilan dalam masalah nonmateri (masalah hati), seperti cinta
Allah tidak menuntut kecuali sesuai dengan kemampuan, karena cinta memang
sulit untuk disamakan. Oleh karena itu adalah sesuatu yang bisa dipahami jika
Rasulullah mencintai Aisyah lebih besar dibanding pada istri selainnya.318
Ironisnya, sementara kalangan menghendaki berkembangnya paham
Barat di negara-negara Arab, dan Islam lainnya telah memanfaatkan apa yang
316
Wahbah al-Zuhaily, al-Munir…, Juz 5. h 242
Wahbah al-Zuhaily, al-Munir…, Juz 5. h. 129
318
Wahbah al-Zuhaily, al-Munir…, Juz 5. h. 302
317
264
terjadi akibat pelanggaran yang dilakukan beberapa orang Islam. Mereka
makin gigih menyuarakan agar poligami dihapuskan sepenuhnya. Siang dan
malam kelemahan poligami terus diulas sementara mereka justru membisu jika
menyangkut akibat merugikan perzinahan dan perselingkuhan, yang sayangnya
dibolehkan oleh hukum setempat yang mengatur negara-negara Muslim
dewasa ini.319
Bila ada orang mengatakan bahwa poligami lebih banyak mudharatnya
daripada kemaslahatannya, jangan lalu disalahkan ayat al-Qur’annya, tapi
orang yang melakukan poligami itu sendiri. Karena al-Qur’an telah melarang
orang yang berpoligami yang tidak mengikuti tuntunan al-Qur’an yaitu berbuat
adil. Islam juga melarang sesuatu yang akan menjadikan mudharat kepada diri
sendiri dan orang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam Firman-Nya
‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺄﹾﻣ‬‫ﺠِﻴﻞِ ﻳ‬‫ﺍﻟﹾﺈِﻧ‬‫ﺍﺓِ ﻭ‬‫ﺭ‬‫ﻮ‬‫ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺪ‬‫ﺎ ﻋِﻨ‬‫ﻮﺑ‬‫ﻜﹾﺘ‬‫ ﻣ‬‫ﻪ‬‫ﻭﻧ‬‫ﺠِﺪ‬‫ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻳ‬‫ﻲ‬‫ ﺍﻟﹾﺄﹸﻣ‬‫ﺒِﻲ‬‫ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻨ‬‫ﺳ‬‫ﻮﻥﹶ ﺍﻟﺮ‬‫ﺒِﻌ‬‫ﺘ‬‫ ﻳ‬‫ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬
‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ ﻋ‬‫ﻊ‬‫ﻀ‬‫ﻳ‬‫ﺎﺋِﺚﹶ ﻭ‬‫ﺒ‬‫ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ﻬِﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﻡ‬‫ﺮ‬‫ﺤ‬‫ﻳ‬‫ﺎﺕِ ﻭ‬‫ﺒ‬‫ ﺍﻟﻄﱠﻴ‬‫ﻢ‬‫ﺤِﻞﱡ ﻟﹶﻬ‬‫ﻳ‬‫ﻜﹶﺮِ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻦِ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﻋ‬‫ﻢ‬‫ﺎﻫ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ﻭﻑِ ﻭ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ﺑِﺎﻟﹾﻤ‬
‫ ﺍﻟﱠﺬِﻱ‬‫ﻮﺭ‬‫ﻮﺍ ﺍﻟﻨ‬‫ﻌ‬‫ﺒ‬‫ﺍﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﻭﻩ‬‫ﺮ‬‫ﺼ‬‫ﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻭﻩ‬‫ﺭ‬‫ﺰ‬‫ﻋ‬‫ﻮﺍ ﺑِﻪِ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ ﻓﹶﺎﻟﱠﺬِﻳﻦ‬‫ﻬِﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ ﻋ‬‫ﺖ‬‫ﺍﻟﹾﺄﹶﻏﹾﻠﹶﺎﻝﹶ ﺍﻟﱠﺘِﻲ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﻢ‬‫ﻫ‬‫ﺮ‬‫ﺇِﺻ‬
(١٥٧ : ٧/‫ﻮﻥﹶ)ﺍﻻﻋﺮﺍﻑ‬‫ﻔﹾﻠِﺤ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻢ‬‫ ﻫ‬‫ ﺃﹸﻭﹶﻟﺌِﻚ‬‫ﻪ‬‫ﻌ‬‫ﺰِﻝﹶ ﻣ‬‫ﺃﹸﻧ‬
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan
melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggubelenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orangorang yang beruntung. (Q.S. al-Baqarah/2: 219)
319
Wahbah al-Zuhaily, al-Munir…, Juz 5. h. 134
265
Dalam ajaran Islam, semua yang dilarang al-Qur’an pasti lebih banyak
kerugian daripada keuntungannya. Demikian pula sebaliknya segala yang
diperintahkan
dalam
al-Qur’an
pasti
lebih
banyak
keuntungannya
dibandingkan kerugiannya. Seperti mengenai khamar dan judi Allah berfirman
‫ﺎ‬‫ﻔﹾﻌِﻬِﻤ‬‫ ﻧ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺮ‬‫ﺎ ﺃﹶﻛﹾﺒ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﺇِﺛﹾﻤ‬‫ﺎﺱِ ﻭ‬‫ ﻟِﻠﻨ‬‫ﺎﻓِﻊ‬‫ﻨ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ ﻛﹶﺒِﲑ‬‫ﺎ ﺇِﺛﹾﻢ‬‫ﺴِﺮِ ﻗﹸﻞﹾ ﻓِﻴﻬِﻤ‬‫ﻴ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﺮِ ﻭ‬‫ﻤ‬‫ﻦِ ﺍﻟﹾﺨ‬‫ ﻋ‬‫ﻚ‬‫ﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬‫ﺴ‬‫ﻳ‬
: ٢/
‫ﻭﻥﹶ)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬‫ﻔﹶﻜﱠﺮ‬‫ﺘ‬‫ ﺗ‬‫ﻠﱠﻜﹸﻢ‬‫ﺎﺕِ ﻟﹶﻌ‬‫ ﺍﻟﹾﺂﻳ‬‫ ﻟﹶﻜﹸﻢ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻦ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﻳ‬‫ ﻛﹶﺬﹶﻟِﻚ‬‫ﻔﹾﻮ‬‫ﻔِﻘﹸﻮﻥﹶ ﻗﹸﻞِ ﺍﻟﹾﻌ‬‫ﻨ‬‫ﺎﺫﹶﺍ ﻳ‬‫ ﻣ‬‫ﻚ‬‫ﺄﹶﻟﹸﻮﻧ‬‫ﺴ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬
(٢١٩
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah,
"Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah,
"Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayatayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (Q.S. al-Baqarah/2 : 219)
Ahmad Mushthafa al-Maraghi senada dengan Wahbah al-Zuhaili
mengatakan bahwa poligami dibolehkan karena dharurat dengan syarat dia
yakin dapat menegakkan keadilan. Namun keadilan yang sesuai dengan
kemampuan manusia adalah yang bersifat materi seperti tempat tinggal,
pakaian dan semacamnya. Sedangkan yang bersifat nonmateri seperti cinta
sulit untuk menyamakannya, maka manusia tidak dituntut maksimal
sebagaimana Nabi mencintai Aisyah melebihi cintanya pada istri-istri yang
lainnya.320
Begitu juga Said Hawa,321 Sayyid Qutub, Jalaluddin Muhammad Bin
Ahmad dan Jalaluddin Abdu al-Rahman Bin Abi Bakar al-Suyuthi,
322
ketiga
mufasir tersebut memandang poligami itu adalah rukhshah (dispensasi) yang
320
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, Jilid IV.h.180
Said Hawa, Al-Asâs Fî al-Tafsîr…, Jilid.II, h.992
322
Jalaluddin Muhammad Bin Ahmad dan Jalaluddin Abdu al-Rahman Bin Abi Bakar alSuyuthi, Tafsir al-Jalâlain, (Bandung: Syarikah al-Ma’arif Bandung Indonesia, t.t.), Jilid. I., h.70
321
266
memang tidak dapat dihindari di dalam kehidupan manusia, dengan syarat
tidak lebih dari empat dan berlaku adil. Karena Islam adalah undang-undang
untuk kepentingan manusia, maka undang-undangnya harus sesuai dengan
fitrah manusia, sesuai dengan realitas kehidupan manusia yang berubah dalam
berbagai tempat, waktu, dan keadaan.323
Sedangkan Muhammad al-Shabuni dan Ibnu Katsir
menjelaskan
bahwa,
Al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 3 menegaskan, jika ada anak yatim
berada dalam naungan seseorang, dan dia takut tidak dapat membayar
mahar mitsli, maka dia tidak boleh mengawini anak yatim tersebut.
Kawinilah perempuan selain anak yatim tersebut, karena perempuan
selain anak yatim masih banyak. Alasan tidak boleh mengawini anak
yatim, karena anak yatim itu lemah sehinga perlu perhatian dan
bimbingan, sedangkan orang yang berbuat aniaya pada orang lemah
merupakan dosa besar di sisi Allah. Untuk itu Allah memerintahkan
untuk mengawini perempuan selain anak yatim dua, tiga, atau emapat.
Namun jika khawatir tidak dapat berbuat adil diantara istri-istrinya, maka
cukup seorang istri saja atau menikahi budak, karena dengan hanya
seorang baik perempuan biasa atau budak lebih mendekati tidak berbuat
aniaya. 324
Kemudian kedua mufasir tersebut ketika menerjemahkan al-Qur'an
Surat al-Nisâ’/4 ayat 129 menjelaskan bahwa,
Kalian wahai laki-laki tidak akan dapat merealisasikan keadilan dalam
masalah cinta dan seksual, walaupun kalian sudah berusaha maksimal,
karena menyamakan cinta dan kecenderungan hati di luar kemampuan
manusia. Namun jangan karena perbedaan kecenderungan lalu tidak
berbuat adil dalam masalah lainnya yang dapat diukur oleh kemampuan
manusia.325
323
Sayyid Quthub, Fi Dhilâl al-Qur ’an, (Cairo: Daar al-Syuruq, 1982), Jilid.1, h.579
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafâsir, (Bairut: Dâr al-Qur’an al-Karîm,
1981), Juz 4 , h. 259 Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur ’an al-‘Adzîm, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1992), Juz 1,
h. 555
324
267
Istibsyarah menyatakan bahwa adanya persyaratan berlaku adil kepada
istri-istri sebenarnya merupakan suatu tekanan psikologis terhadap laki-laki
yang berpoligami pada masa itu, agar tidak seenaknya saja melakukan
poligami yang dapat berakibat pada buruknya perlakuan terhadap istri-istri
mereka. Hal ini diperkuat dengan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129. Ayat ini
menurutnya dapat dipahami sebagai penolakan terhadap poligami atau
setidaknya lebih memperketat pelaksanaan poligami, karena syarat dari
poligami adalah kesanggupan berlaku adil. Sedangkan ayat ini menegaskan
ketidakmampuan seseorang berlaku adil terhadap istri-istrinya.326
Kemudian dia mengutip pendapat al-Sya’rawi yang mengatakan bahwa,
Adil dalam hal kecenderungan kepada salah satu istrinya merupakan
beban yang tidak akan dapat ditanggung oleh manusia, karena hal ini
berkaitan erat dengan hati. Islam tidak mensyaratkan berlaku adil dalam
hal yang berkaitan dengan hati, tapi hanya mensyaratkan bersikap adil
dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. Islam membolehkan praktik
poligami ketika pihak laki-laki yakin bahwa dirinya tidak akan
memarjinalkan dan menyepelekan perempuan.327
Menurut
hemat
penulis
kutipan
Istibsyaroh
dari
al-Sya’rawi
menggugurkan pendapatnya sendiri yang mengatakan bahwa al-Qur'an Surat
al-Nisâ’/4 ayat 129 merupakan penolakan terhadap poligami. Menurut alSya’rawi ayat itu justeru dijadikan sebagai pendukung kebolehan poligami.
Begitu juga dengan kutipannya dari Ahmad Mushthafa al-Maraghi
membatalkan pendapatnya sendiri. Seperti dikatakannya,
Memang ada sebagian penafsir, seperti al-Maraghi, yang memahami
potongan ayat ‫ ﻓﻼﲤﻴﻠﻮﺍ ﻛﻞ ﺍﳌﻴﻞ‬sebagai penolakan pemustahilan poligami.
Menurutnya, bagian ayat tersebut seolah-olah ditujukan kepada mereka
yang tidak mampu berlaku adil. Sedangkan mereka yang mampu berlaku
325
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafâsir…, h. 308, Lihat Ibnu Katsir, Tafsir alQur ’an…, jilid. 1, h. 696
326
Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan Dalam Relasi Jender Pada Tafsir Al-Sya ’rawi,
(selanjutnya tertulis Hak-Hak Perempuan) (Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2004), h. 210
327
Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan …, h. 211
268
adil dengan sendirinya potongan ayat ini tidak berlaku. Jadi potongan ayat
ini memberikan penjelasan terhadap potongan ayat sebelumnya yang
mengeliminir kemampuan berlaku adil terhadap perempuan, dan dengan
demikian penjelasan ini menafikan pemustahilan untuk berpoligami.328
Nasaruddin Umar mengutip pernyataan Muhammad Ali al-Shabuni
dalam tafsir ayat ahkam yang menafsirkan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 3
sebagai berikut
Ayat ini menggunakan shigah umum, yaitu menggunakan kata ganti
jamak (‫ ﺧﻔﺘﻢ ﻭ ﺗﻌﻮﻟﻮﺍ‬, ‫ ﺗﻘﺴﻄﻮﺍ‬, ‫ ﻓﺎﻧﻜﺤﻮﺍ‬, ‫ )ﺍﳝﺎﻧﻜﻢ‬padahal ayat ini turun untuk
menanggapi suatu sebab khusus, yaitu Urwah Bin Zubair, sebagaimana
hadis yang diriwayatkan Bukhari yang bersumber dari Aisyah, bahwa ia
mempunyai seorang anak yatim yang hidup di dalam pengawasannya.
Selain cantik anak yatim itu juga memiliki harta sehingga Urwah
bermaksud mengawininya, maka ayat ini menjadi petunjuk bagi Urwah
dalam melangsungkan niatnya.329
Metode tahlîli menyimpulkan bahwa teks ayat tersebut (Q.S.alNisâ’/4: 3) di atas mengizinkan poligami, yaitu seorang laki-laki boleh kawin
lebih dari satu sampai empat, asal yang bersangkutan mampu berlaku adil.
Akan tetapi metode maudhûi bisa menyimpulkan lain, karena adanya ayat di
tempat lain yang seolah-olah memustahilkan syarat adil itu dapat dilakukan
manusia sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129.
Ayat ini kata Nasaruddin Umar dapat diartikan menolak poligami, atau paling
tidak lebih memperketat pelaksanaan poligami. Syarat poligami adalah
kesanggupan
untuk
berlaku
adil,
sementara
ayat
ini
menegaskan
ketidakmampuan seseorang berlaku adil di antara istri-istrinya. Kata ‫ﻓﻼ ﲤﻴﻠﻮﺍ ﻛﻞ‬
‫( ﺍﳌﻴﻞ‬janganlah kalian terlalu cenderung pada setiap kecenderungan) dalam ayat
328
329
Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan …, h. 213
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h. 282
269
di atas dipahami oleh sebagian mufasir sebagai penolakan pemustahilan
berpoligami.330
Menurut hemat penulis kurang tepat bila al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4
ayat 129 dijadikan alasan untuk menolak poligami karena yang dimaksud
bahwa kalian tidak akan dapat berbuat adil diantara istri-istri sekalipun kalian
berusaha keras, adalah adil dalam masalah mahabbah (cinta) yang memang
tidak perlu harus sama persis, karena sulit mengukurnya. Hanya saja tidak
boleh karena perbedaan kecintaan kepada satu istri mengakibatkan perbedaan
dalam nafkah, pakaian, dan giliran pada istri yang lainnya. Kemudian penulis
tidak sependapat bila kata ‫ ﻛﻞ ﺍﳌﻴﻞ‬diartikan segala/setiap kecenderungan, karena
kata ‫ ﻛﻞ‬yang disandarkan kepada mashdar fiilnya disebut nâib mafûl muthlaq
(pengganti mafûl muthlaq) yang diartikan untuk menta ’kidkan/menguatkan
makna fiilnya, maka kata ‫ ﻛﻞ ﺍﳌﻴﻞ‬harus diartikan betul-betul cenderung/sangat
cenderung, bukan segala kecenderungan.
Muhammad Quraish Shihab justru mengkritik orang yang tidak
merestui poligami, sebagaimana katakannya
Ayat ini sering dijadikan alasan oleh sementara orang yang tidak
mengerti bahwa Islam tidak merestui poligami, karena kalau izin
berpoligami bersyarat dengan berlaku adil berdasar firman-Nya, “Jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang, atau
budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya (Q.S.al-Nisâ’/4:3). Sedangkan di sini
dinyatakannya bahwa kamu sekali kali tidakakan dapat berlaku adil di
antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
maka hasilnya—kata mereka—adalah bahwa poligami tidak mungkin
direstui. Pendapat ini tidak dapat diterima, bukan saja karena Nabi saw.
dan sekian banyak sahabat beliau melakukan poligami, tetapi juga karena
ayat ini tidak berhenti di tempat para penganut pendapat ini berhenti,
tetapi berlanjut dengan menyatakan karena itu janganlah kamu terlalu
330
Nasaruddin Umar, Kesetaraan Jender …, h..283
270
cenderung (kepada yang kamu cintai). Penggalan ayat ini menunjukkan
kebolehan poligami walau keadilan mutlak tidak dapat diwujudkan.331
Seperti terbaca di atas, keadilan yang tidak dapat diwujudkan itu
adalah dalam hal cinta. Bahkan cinta atau suka pun dapat di bagi, yakni suka
yang lahir atas dorongan perasaan dan suka yang lahir atas dorongan akal.
Obat yang pahit tidak disukai oleh siapapun. Ini berdasarkan perasaan setiap
orang. Tetapi obat yang sama akan disukai, dicari, dan diminum karena akal si
sakit mendorongnya menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian juga suka
atau cinta dalam diri seseorang dapat berbeda. (Lebih lanjut dapat dilihat pada
Tafsir al-Mishbah Vol.2, h.582).332
Istibsyaroh mengutip beberapa hadis sebagai dasar untuk mengurangi
terjadinya poligami secara pelan-pelan.333 Adapun hadis yang dikutip adalah:
‫ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﻫﻨﺎﺩ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﻩ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﰊ ﻋﺮﺑﺔ ﻋﻦ ﻣﻌﻤﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻫﺮﻯ ﻋﻦ ﺳﺎﱂ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ‬
‫ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻏﻤﺮ ﺍﻥ ﻏﻴﻼﻥ ﺑﻦ ﺳﻠﻤﺔ ﺍﻟﺜﻘﻔﻰ ﺍﺳﻠﻢ ﻭﻟﻪ ﻋﺸﺮ ﻧﺴﻮﺓ ﰱ ﺍﳉﺎﻫﻠﻴﺔ ﻓﺎﺳﻠﻤﻦ ﻣﻌﻪ ﻓﺎﻣﺮﻩ‬
٣٣٤
‫ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﻳﺘﺨﲑ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﻣﻨﻬﻦ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ‬
Artinya: Hunad menceritakan kepada kami, Abduh menceritakan
kepada kami dari Said Bin Abi Urwah dari Ma’mar, dari al-Zuhri, dari
Salim Bin Abdullah dari Ibnu Ghamar, bahwa Ghailan Bin Salmah alTsaqafi masuk Islam dan ia memiliki 10 istri pada masa Jahiliyah,
mereka masuk Islam bersama dia. Lalu Nabi saw. memerintahkan
Ghailan untuk memilih 4 dari 10 diantara mereka. (Diriwayatkan oleh
al-Turmudzi).
331
Muhammad Quraish Shihab, al-Mishbah…, Vol.2. h. 581
Yang tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah keadilan dalam cinta atau suka
berdasar perasaan. Sedang suka yang berdasar akal dapat diusahakan manusia, yakni memperlakukan
istri dengan baik, membiasakan diri untuk menerima kekurangan-kekurangannya, memandang semua
aspek yang ada padanya, bukan hanya aspek keburukannya ataupun kebaikannya. Inilah yang
dimaksud dengan janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) dan jangan juga terlalu
cenderung mengabaikan yang kamu kurang cintai.
332
333
Istibsyaroh, Hak Hak Perempuan …, h. 207
Muhammad Bin Isa Abu Isa al-Turmudzi, Ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir ,
Sunan al-Turmudzi, (Bairut : Dâr Ihya al-Turâts, t.th.), Jilid III, h. 435 No. 1128
334
271
‫ﺣﺪﺛﻨﺎﺍﲪﺪ ﺑﻦ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﺪﻭﻗﻰ ﺣﺪﺛﻨﺎﻫﺸﻴﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﰉ ﻟﻴﻠﻰ ﻋﻦ ﲪﻴﻀﺔ ﺑﻨﺖ ﺍﻟﺸﻤﺮﺩﻝ ﻋﻦ‬
‫ﻗﻴﺲ ﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻗﺎﻝ ﺍﺳﻠﻤﺖ ﻭﻋﻨﺪﻯ ﲦﺎﻥ ﻧﺴﻮﺓ ﻓﺎﺗﻴﺖ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﻠﺖ‬
٣٣٥
‫ﺫﻟﻚ ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﺧﺘﺮ ﻣﻨﻬﻦ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬
Artinya: Ahmad Bin Ibrahim al-Durqi menceritakan kepada kami,
Hasyim menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Laila dari Humaidhah
Binti al-Symardal dari Qais Bin al-Harits telah berkata, ”Saya telah
masuk Islam dan memiliki 8 istri, lalu saya datang kepada Nabi saw.
Lalu saya katakan hal itu kepada Nabi. Lalu Nabi mengatakan, ”Pilihlah
4 diantara 8 dari mereka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺴﺪﺩ ﺣﺪﺛﻨﺎﻫﺸﻴﻢ ﻭﺣﺪﺛﻨﺎﻭﻫﺐ ﺑﻦ ﺑﻘﻴﻪ ﺍﺧﱪﻧﺎ ﻫﺸﻴﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﰉ ﻟﻴﻠﻰ ﻋﻦ ﲪﻴﻀﺔ‬
‫ﺑﻦ ﺍﻟﺸﻤﺮﺩﻝ ﻋﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﺑﻦ ﻗﻴﺲ ﻗﺎﻝ ﻣﺴﺪﺩ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﲑﺓ ﻭﻗﺎﻝ ﻭﻫﺐ ﺍﻻﺳﺪﻯ ﻗﺎﻝ ﺍﺳﻠﻤﺖ ﻭ‬
‫ﻋﻨﺪﻯ ﺗﺴﻌﺔ ﻧﺴﻮﺓ ﻓﺬﻛﺮﺕ ﺫﻟﻚ ﻟﻠﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
٣٣٦
‫ﺍﺧﺘﺮ ﻣﻨﻬﻦ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮﺩﺍﻭﺩ‬
Artinya: Musaddad menceritakan kepada kami, Hasyim menceritakan
kepada kami, Wahab Bin Buqyah menceritakan kepada kami, Hasyim
menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Laila dari Humaidhah Bin alSyamardal dari al-Harits Bin Qais, Musaddad Ibnu Umairah telah
berkata dan Wahab al-Asady telah berkata, ”Saya telah masuk Islam dan
saya memiliki 9 istri. Lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi saw. Nabi
telah bersabda, ”Pilihlah 4 dari 9 diantara mereka." (Diriwayatkan oleh
Abu Dawud).
Menurut hemat penulis 3 hadis di atas justru mengukuhkan bolehnya
poligami dengan syarat maksimal 4 istri. Kalau Nabi saw. saja tidak berani
menyalahi al-Qur’an yang membolehkan kawin lebih dari satu sampai 4 istri
walaupun dengan syarat yang ketat, mengapa para cendikiawan sekarang
berani mendahului Nabi yang melarang poligami. Hal ini bertentangan dengan
firman Allah
335
Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid al-Quzweni, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abdu alBâqi, Sunan Ibnu Majah, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid I, h. 628, No. 1952
336
Sulaiman Bin al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistani al Azadi, ditahqiq oleh Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid, Sunan Abu Dawud, (Bairut : Dâr al-Fikr, t.th.), Jilid II, h. 272, No. 2241
272
‫ﻀِﻜﹸﻢ‬‫ﻌ‬‫ﺮِ ﺑ‬‫ﻬ‬‫ﻝِ ﻛﹶﺠ‬‫ ﺑِﺎﻟﹾﻘﹶﻮ‬‫ﻭﺍ ﻟﹶﻪ‬‫ﺮ‬‫ﻬ‬‫ﺠ‬‫ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ ﻭ‬‫ﺒِﻲ‬‫ﺕِ ﺍﻟﻨ‬‫ﻮ‬‫ ﺻ‬‫ﻕ‬‫ ﻓﹶﻮ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﺍﺗ‬‫ﻮ‬‫ﻮﺍ ﺃﹶﺻ‬‫ﻓﹶﻌ‬‫ﺮ‬‫ﻮﺍ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻨ‬‫ ﺀَﺍﻣ‬‫ﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﻳ‬‫ﻳ‬
( ٢: ٤٩\‫)ﺍﳊﺠﺮﺍﺕ‬. ‫ﻭﻥﹶ‬‫ﺮ‬‫ﻌ‬‫ﺸ‬‫ ﻟﹶﺎ ﺗ‬‫ﻢ‬‫ﺘ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻟﹸﻜﹸﻢ‬‫ﻤ‬‫ﻂﹶ ﺃﹶﻋ‬‫ﺒ‬‫ﺤ‬‫ﺾٍ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ‬‫ﻌ‬‫ﻟِﺒ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu
lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan
suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap
sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan
kamu tidak menyadari. (Q.S. al-Hujurât/49: 2)
Sedangkan poligami yang dilakukan oleh Rasulullah tidak harus
diteladani baik jumlahnya maupun orang yang akan dijadikan istri kedua,
ketiga, dan kempat, karena hal tersebut merupakan kekhushusan Rasulullah
sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an
‫ﻪ‬ ‫ﺎ ﺃﹶﻓﹶﺎﺀَ ﺍﻟﻠﱠ‬‫ ﻣِﻤ‬‫ﻚ‬‫ﻤِﻴﻨ‬‫ ﻳ‬‫ﻠﹶﻜﹶﺖ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻦ‬‫ﻫ‬‫ﻮﺭ‬‫ ﺃﹸﺟ‬‫ﺖ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﺎﺗِﻲ ﺀَﺍﺗ‬‫ﻚ‬‫ﺍﺟ‬‫ﻭ‬‫ ﺃﹶﺯ‬‫ﺎ ﻟﹶﻚ‬‫ﻠﹶﻠﹾﻨ‬‫ﺎ ﺃﹶﺣ‬‫ ﺇِﻧ‬‫ﺒِﻲ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻬ‬‫ﺎﹶﻳ‬‫ﻳ‬
‫ﺃﹶﺓﹰ‬‫ﺮ‬‫ﺍﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﻌ‬‫ﻥﹶ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﺎﺟ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﺎﺗِﻲ ﻫ‬‫ﺎﻟﹶﺎﺗِﻚ‬‫ﺎﺕِ ﺧ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻟِﻚ‬‫ﺎﺕِ ﺧ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺗِﻚ‬‫ﻤ‬‫ﺎﺕِ ﻋ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﻤ‬‫ﺎﺕِ ﻋ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬‫ ﻭ‬‫ﻚ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻋ‬
‫ﺪ‬ ‫ ﻗﹶ‬‫ﻣِﻨِﲔ‬‫ﺆ‬‫ﻭﻥِ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ ﺩ‬‫ ﻣِﻦ‬‫ﺔﹰ ﻟﹶﻚ‬‫ﺎﻟِﺼ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ﻬ‬‫ﻜِﺤ‬‫ﻨ‬‫ﺘ‬‫ﺴ‬‫ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ‬‫ﺒِﻲ‬‫ ﺍﻟﻨ‬‫ﺍﺩ‬‫ ﺇِﻥﹾ ﺃﹶﺭ‬‫ﺒِﻲ‬‫ﺎ ﻟِﻠﻨ‬‫ﻬ‬‫ﻔﹾﺴ‬‫ ﻧ‬‫ﺖ‬‫ﺒ‬‫ﻫ‬‫ﺔﹰ ﺇِﻥﹾ ﻭ‬‫ﻣِﻨ‬‫ﺆ‬‫ﻣ‬
‫ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ ﻭ‬‫ﺝ‬‫ﺮ‬‫ ﺣ‬‫ﻚ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﻜﹸﻮﻥﹶ ﻋ‬‫ﻠﹶﺎ ﻳ‬‫ ﻟِﻜﹶﻴ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺎﻧ‬‫ﻤ‬‫ ﺃﹶﻳ‬‫ﻠﹶﻜﹶﺖ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻣ‬‫ ﻭ‬‫ﺍﺟِﻬِﻢ‬‫ﻭ‬‫ ﻓِﻲ ﺃﹶﺯ‬‫ﻬِﻢ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻨ‬‫ﺿ‬‫ﺎ ﻓﹶﺮ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻨ‬‫ﻠِﻤ‬‫ﻋ‬
( ٥٠ : ٣٣\‫ )ﺍﻻﺣﺰﺍﺏ‬. ‫ﺎ‬‫ﺣِﻴﻤ‬‫ﺍ ﺭ‬‫ﻏﹶﻔﹸﻮﺭ‬
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu
yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu
miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang
dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari
saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara lakilaki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu
yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang
menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya,
sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada
mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki
supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Ahzab/33: 50)
Hal ini diungkap oleh Muhammad Quraish Shihab yang menjelaskan
bahwa, ”Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasul saw. kawin lebih dari satu,
dan perkawinan semacam itu hendaknya diteladani, karena tidak semua apa
273
yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib
atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya." (Lebih
lanjut lihat Tafsir al-Mishbah Vol.2, h.326). 337
Sedangkan untuk umatnya maksimal hanya 4 istri sebagaimana hadis
yang dikutip oleh Abdullah Nashih Ulwan 338 yaitu:
‫ ﻭﺣﺪﺛﲎ ﳛﲕ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﺑﻠﻐﲎ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬-١
‫ﻗﺎﻝ ﻟﺮﺟﻞ ﻣﻦ ﺛﻘﻴﻒ ﺍﺳﻠﻢ ﻭ ﻋﻨﺪﻩ ﻋﺸﺮ ﻧﺴﻮﺓ ﺣﲔ ﺍﺳﻠﻢ ﺍﻟﺜﻘﻔﻰ ﺍﻣﺴﻚ ﻣﻨﻬﻦ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﻭ‬
٣٣٩
‫ﻓﺎﺭﻕ ﺳﺎﺋﺮﻫﻦ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺎﻟﻚ‬
Yahya telah menceritakan kepada saya dari Malik, dari Ibnu
Syihab, bahwa dia telah berkata, telah sampai berita kepada saya,
bahwsa Rasulullah saw. telah bersabda kepada seorang laki-laki
bernama Ghailan al-Tsaqafi dari Tsaqif, dia masuk Islam dan
memiliki 10 istri, ketika Ghailan al-Tsaqafi masuk islam Rasulullah
memerintahkan pegang 4 istri dan selainnya ceraikan (H.R.Imam
Malik).
‫ ﺣﺪﺛﻨﺎﺍﲪﺪ ﺑﻦ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﺪﻭﻗﻰ ﺣﺪﺛﻨﺎﻫﺸﻴﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﺍﰉ ﻟﻴﻠﻰ ﻋﻦ ﲪﻴﻀﺔ ﺑﻨﺖ ﺍﻟﺸﻤﺮﺩﻝ‬-٢
‫ﻋﻦ ﻗﻴﺲ ﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻗﺎﻝ ﺍﺳﻠﻤﺖ ﻭﻋﻨﺪﻯ ﲦﺎﻥ ﻧﺴﻮﺓ ﻓﺎﺗﻴﺖ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
٣٤٠
‫ﻓﻘﻠﺖ ﺫﻟﻚ ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﺧﺘﺮ ﻣﻨﻬﻦ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬
Artinya: Ahmad Bin Ibrahim al-Durqi menceritakan kepada kami,
Hasyim menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi Laila dari
Humaidhah Binti al-Symardal dari Qais Bin al-Harits telah berkata,
”Saya telah masuk Islam dan memiliki 8 istri, lalu saya datang
337
Bukankah Rasul saw. antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima
zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang
pemimpin guna menyukseskan misinya? Atau apakah mereka yang menyatakan itu benar-benar ingin
meneladani Rasul dalam perkawinannya? Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadar bahwa
semua perempuan yang beliau kawini, kecuali Aisyah r.a., adalah janda-janda, dan kesemuanya untuk
tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan para perempuan yang kehilangan
suami itu, yang pada umumnya bukanlah perempuan-perempuan yang dikenal memiliki daya tarik
yang memikat.
338
Abdullah Nashih Ulwan, Ta ’addud al-Zaujât Fî al-Islâm, (selanjutnya tertulis Ta ’addud
al-Zaujât) (Saudi Arabia: Dâr al-Salâm, 1984) Cet.II, h. 42
339
Malik Bin Anas Abu Abdillah al-Ashbahi ditahqiq oleh Fuad Abdu al-Bâqi, Muwatha
Imam Malik, (Mesir : Dâr Ihya al-Tutrâts, t.th. ), Jilid II, h. 586, No. 1218
340
Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid al-Quzweni, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Abdu alBâqi, Sunan Ibnu Majah, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid I, h. 628, No. 1952
274
kepada Nabi saw. Lalu saya katakan hal itu kepada Nabi. Lalu Nabi
mengatakan, ”Pilihlah 4 diantara 8 dari mereka. (H.R.Ibnu Majah).
‫ ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﻫﻨﺎﺩ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪﻩ ﻋﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﰊ ﻋﺮﺑﺔ ﻋﻦ ﻣﻌﻤﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻫﺮﻯ ﻋﻦ ﺳﺎﱂ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ‬-٣
‫ﺍﷲ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻏﻤﺮ ﺍﻥ ﻏﻴﻼﻥ ﺑﻦ ﺳﻠﻤﺔ ﺍﻟﺜﻘﻔﻰ ﺍﺳﻠﻢ ﻭﻟﻪ ﻋﺸﺮ ﻧﺴﻮﺓ ﰱ ﺍﳉﺎﻫﻠﻴﺔ ﻓﺎﺳﻠﻤﻦ‬
٣٤١
‫ﻣﻌﻪ ﻓﺎﻣﺮﻩ ﺍﻟﻨﱮ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﻥ ﻳﺘﺨﲑ ﺍﺭﺑﻌﺎ ﻣﻨﻬﻦ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ‬
Artinya: Hunad menceritakan kepada kami, Abduh menceritakan
kepada kami dari Said Bin Abi Urwah dari Ma’mar, dari al-Zuhri,
dari Salim Bin Abdullah dari Ibnu Ghamar, bahwa Ghailan Bin
Salmah al-Tsaqafi masuk Islam dan ia memiliki 10 istri pada masa
Jahiliyah, mereka masuk Islam bersama dia. Lalu Nabi saw.
memerintahkan Ghailan untuk memilih 4 dari 10 diantara mereka.
(Diriwayatkan oleh al-Turmudzi).
Poligami dipersyaratkan harus adil, namun yang dimaksud adil oleh
Nashih Ulwan adalah bahwa, "Para ulama telah sepakat, mendukung
penafsiran Rasul dan perbuatannya yang menyatakan bahwa, ”Maksud adil
yang dipersyaratkan adalah adil dari segi materi, seperti tempat tinggal,
pakaian, makanan, minuman, dan giliran. Semua itu memungkinkan untuk
direalisasikannya, karena masuk dalam jangkauan manusia."342
Sedangkan adil dalam masalah cinta (kecenderungan) di antara para
istri di luar jangkauan kemampuan manusia. Sebagaimana yang ditegaskan
dalam al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129. Ayat ini menjelaskan bahwa,
seorang suami tidak boleh sangat cenderung kepada salah satu istri lalu
mengabaikan istri yang lain dalam masalah materi. Hal ini dapat dipahami oleh
Nabi ketika menafsirkan ayat yang berbunyi
‫ﻭﻟﻦ ﺗﺴﺘﻄﻴﻌﻮﺍ ﺍﻥ ﺗﻌﺪﻟﻮﺍ ﺑﲔ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻭﻟﻮ‬
... ‫ ﺣﺮﺻﺘﻢ‬kalian tidak akan dapat berlaku adil diantara para istri, sekalipun
kalian sudah berusaha semaksimal mungkin dalam masalah cinta yang berada
dalam lubuk hati. Manusia tidak akan dapat berlaku adil dalam masalah cinta
341
Muhammad Bin Isa Abu Isa al-Turmudzi, Ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir ,
Sunan al-Turmudzi, (Bairut : Dâr Ihya al-Turâts, t.th.), Jilid III, h. 435 No. 1128
342
Abdullah Nashih Ulwan, Ta ’addud al-Zaujât …, h. 45
275
walaupun sudah berusaha semaksimal mungkin, karena di luar kemampuan
manusia. Namun demikian walaupun cinta Nabi pada Aisyah r.a. melebihi
cintanya dari istri-istri yang lainnya, namun Nabi saw. tetap berlaku adil
diantara para istrinya dalam masalah materi. Beliau bersabda:
‫ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻫﺬﺍﻗﺴﻤﻰ‬
‫ ﻓﻴﻤﺎﺍﻣﻠﻚ ﻓﻼ ﺗﺆﺍﺧﺬ ﱏ ﻓﻴﻤﺎﻻﺍﻣﻠﻚ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﰲ ﺻﺤﻴﺤﻪ‬artinya, "Ya Allah ini adalah
bagian (keadilan) yang berada dalam kemampuanku. Maka janganlah tuntut
aku menyangkut (keadilan cinta) yang berada di luar kemampuanku."343
Para ahli fikih mendefinisikan adil terhadap istri beragam. Arij
Abdurrahman as-Sanan mengutip beberapa pendapat ahli fikih antara lain:
a. Al-Kasani (Ulama Mazhab Hanafi) menyatakan bahwa, ”Adil terhadap
para istri adalah menyamakan para istri dalam semua hak-hak mereka,
seperrti menggilir, nafkah, dan sandang.”
b. Ibnu Abidin (Mazhab Hanafi) menambahkan definisi Al-Kasani. ”Adil
terhadap para istri ialah tidak zalim (berat sebelah) dalam menggilir,
pangan, sandang, dan keikutsertaan mereka ketika bepergian.”
c. Al-Qurthubi (Mazhab Maliki) dalam bukunya al-Jami mengatakan
menjelaskan bahwa,”Adil terhadap para istri adalah menyamakan mereka
dalam menggilir dan menafkahi mereka.”344
Kemudian Arij juga mengutip dalam kitab al-Fatawa al-Hidayah yang
menyebutkan bahwa, ”Keadilan dan perlakuan sama seorang suami kepada
para istrinya dalam hal-hal yang sanggup dilakukannya, yaitu menginap,
kebersamaan, dan kedekatan. Bukan dalam hal yang tidak sanggup ia lakukan
seperti rasa cinta dan hubungan seksual.”345
343
Abdullah Nashih Ulwan, Ta ’addud al-Zaujât …, h. 45
Arij Abdurrahman As-Sanan, Keadilan Dalam Poligami…, h. 42
345
Arij Abdurrahman As-Sanan, Keadilan Dalam Poligami…, h. 45
344
276
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa adil yang dimaksud
adalah dalam hal yang dapat diukur dan dilakukan oleh suami secara
manusiawi, seperti nafkah, giliran, sandang, dan tempat tinggal. Sedangkan
cinta, jumlah hubungan seksual, jumlah ciuman dan sejenisnya yang sulit
diukur dan dilaksanakan suami tidak diwajibkan harus adil.
Sumbangan Islam yang paling berharga terhadap kaum perempuan
adalah menganjurkan agar hubungan antara laki-laki dan perempuan
merupakan hubungan yang terhormat dalam kerangka hubungan suami-istri
yang disahkan dalam ikatan suatu pernikahan. Islam melarang keras seorang
suami yang melakukan hubungan gelap, sebab hal itu sama saja dengan
merendahkan perempuan. Akan tetapi, Islam memperkenankan seorang suami
untuk melakukan poligami, dengan syarat harus bertanggung jawab dan
bersikap adil terhadap anak dan istrinya. Dengan demikian kedudukan
perempuan akan tetap terjaga dari kerendahan harkat dan martabatnya.
Kemuliaan lainnya yang ditunjukkan di dalam Islam ialah hak perempuan
dalam menentukan mahar ketika hendak dinikahi oleh seorang lelaki.346
Islam memperlakukan perempuan sesuai dengan keperempuannya yang
halus, lembut, dan manja sebagaimana halnya Islam juga memperlakukan lakilaki sesuai dengan kejantanannya. Islam juga memperlakukan agar perempuan
tidak mengubah diri menjadi laki-laki, atau laki-laki tidak mengubah diri
menjadi perempuan, baik secara fisik maupun secara psikis yang diwujudkan
melalui prilaku. Islam mengharamkan perempuan memamerkan bagian-bagian
tubuhnya yang dinyatakan sebagai aurat atau melakukan maksiat dengan cara
lesbian atau menjadi seorang pelacur.347
346
347
Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 35
Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 36
277
Poligami disyariatkan dengan maksud demi kemaslahatan pihak istri,
suami, anak-anak, dan bahkan masyarakat secara keseluruhan. Kedudukan
hukumnya di dalam ajaran Islam bersifat mubah, artinya diperbolehkan.
Namun kenyataannya—diakui atau tidak—aturan poligami ini sering dianggap
sebagai sesuatu yang membahayakan, sebab sering dimanfaatkan oleh kaum
laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, Islam memberi syaratsyarat tertentu bagi suami yang hendak melakukan poligami. Islam
mensyariatkan bahwa suami harus mampu berlaku adil dan tidak ada
kekhawatiran akan berlaku aniaya terhadap istri-istrinya kelak. Sebaliknya,
jika dikhawatirkan suami akan berlaku tidak adil, maka poligami tidak
diperkenankan.348
Kini timbul pertanyaan, manakah yang lebih baik antara mengharamkan
poligami yang berarti membuka celah-celah untuk melakukan perzinaan,
hubungan gelap, kumpul kebo, atau memperbolehkan poligami yang berfungsi
sebagai langkah preventif terhadap tindakan amoral.349
Bahkan jika di suatu negara yang perempuannya lebih banyak dari lakilaki, maka menurut hemat penulis lebih baik dianjurkan kepada kaum lelaki
untuk berpoligami, untuk memberi kesempatan para perempuan menikah,
sebab bila tidak diberi jalan keluar dikhawatirkan akan terjadi kasus
perzinahan dan kerusakan moral di kalangan masyarakat.
Akhirnya ada pertanyaan, mengapa Islam membenarkan lelaki
menghimpun dalam saat yang sama empat orang istri, sedang perempuan tidak
diperbolehkan? Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa, ”Dalam
masyarakat Jahiliyah di Jazirah Arab, dahulu dikenal juga apa yang dinamai
348
349
Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 51
Anwar Jundi, Tantangan Muslimah…, h. 53
278
Nikah al-Istibdha. Dalam Nikah al-Istibdha seorang suami membiarkan
istrinya digauli—untuk masa tertentu—oleh seorang lelaki, dengan harapan
memperoleh keturunan yang berkualitas melalui lelaki pilihannya. Begitu
istrinya hamil, hubungan tersebut segera dihentikan.350
Bentuk poliandri yang lain adalah “percampuran” seorang perempuan
dengan sekelompok lelaki (tidak lebih dari sepuluh orang), lalu apabila dia
melahirkan, perempuan itu menunjuk salah seorang dari anggota kelompok
yang menggaulinya untuk dijadikan sebagai ayah dari anaknya, dan yang
bersangkutan tidak dapat mengelak dari tanggung jawabnya sebagai ayah.351
Namun
hal itu
ahirnya
ditinggalkan
orang, karena
poliandri
bertentangan dengan kodrat lelaki dan perempuan sekaligus, serta karena
kekaburan status anak yang lahir. (Lebih lanjut baca buku karya Muhammad
Quraish Shihab, Perempuan, halaman 182).352
Mengapa negara-negara yang membolehkan prostitusi, melakukan
pemeriksaan kesehatan rutin bagi perempuan-perempuan yang berperilaku seks
bebas, dan tidak melakukannya bagi pasangan yang sah? Ini karena kenyataan
menunjukkan bahwa perempuan hanya diciptakan untuk disentuh oleh cairan
yang bersih, yakni sperma satu orang lelaki. Begitu terlibat dua laki-laki dalam
hubungan seksual dengan seorang perempuan. Ketika itu pula cairan yang
merupakan benih anak itu tidak bersih lagi, dan sangat dihawatirkan
350
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 181
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 181
352
Manusia mendambakan anak yang jelas statusnya, sedang poliandri tidak menjamin
kejelasan itu. Seorang perempuan jika telah dibuahi oleh seorang lelaki, ia tidak dapat lagi dibuahi oleh
lelaki lain selama buah berada dalam kandungannya. Ini berbeda dengan lelaki yang dapat membuahi
sekian banyak perempuan. Nah, jika poliandri dibenarkan, bagaimana diketahui ayah anak itu? Terlalu
panjang jalan jika harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Kalaupun itu mungkin, pertanyaan lain
yang muncul adalah siapakah yang menjadi kepala rumah tangga? Dan mereka harus bergiliran dalam
hubungan seks. Binatang saja enggan bergiliran, apalagi manusia. Binatang saja memiliki kehormatan
dan kecemburuan apalagi manusia terhormat.
351
279
menjangkitkan penyakit. Kenyataan ini menjadi bukti yang sangat jelas
menyangkut hal ini.353
Poligami boleh jadi dinilai sebagai keistimewaan bagi lelaki, adapun
poliandri, sedikit atau banyak tidak dapat dinilai sebagai keistimewaan
perempuan, karena lelaki cenderung menginginkan jasad perempuan, sedang
perempuan mendambakan hati lelaki. (Untuk lebih jelasnya lihat buku karya
Muhammad Quraish Shihab yang berjudul, Perempuan, halaman 183).354
Pada ahirnya kita dapat berkata bahwa poliandri merugikan, bukan saja
lelaki tetapi juga perempuan. Sedang poligami tidak mutlak merugikan lelakiselama dia mampu memenuhi syarat-syaratnya—dan tidak juga merugikan
perempuan, baik secara individu lebih-lebih perempuan secara kolektif. Secara
individu— antara lain—pada saat istri tidak dapat melaksanakan fungsinya—
ketika itu ia lebih baik dimadu daripada dicerai—dan secara kolektif
seandainya jumlah perempuan lebih banyak daripada lelaki.355
Sedangkan dalil disyariatkannya poligami, yaitu al-Qur'an Surat alNisâ’/4 ayat 3, banyak hadis Nabi sebagaimana yang disebutkan di atas dan
juga ijma ulama, sebagaimana Arij Abdurrahman as-Sanan yang mengutip
kitab Ahkam al-Syar’iyah fi Ahwal al-Syakhsyiah karya Umar Abdullah
353
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 183
Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat Murtadho Muthahhari dalam bukunya
Nizham Huquq al-Mar ’ah yang menjelaskan bahwa, ”Banyak lelaki apabila telah menguasai jasad
perempuan, tidak terlalu membutuhkan hatinya, karena itu dalam berpoligami seorang suami sering
kali tidak memperdulikan hati istrinya yang lain, sedang perempuan sebaliknya. Memang ada dua
unsur utama pernikahan, jasmani dan rohani. Yang jasmani tercermin dalam dorongan seksual yang
meluap pada masa muda, dan berangsur menurun menjelang tua, sedang unsur rohani tercermin dalam
perasaan cinta dan kasih sayang yang mestinya dari hari ke hari menguat dan menguat. Nah, salah satu
perbedaan antara lelaki dan perempuan adalah lelaki biasanya memperhatikan unsur jasmani atau
paling tidak seimbang—pada masa mudanya—antara unsur jasmani dan rohani itu, sedang perempuan
selalu mementingkan unsur rohani, cinta, dan kasih sayang. Itu pula sebabnya ada sekian banyak
perempuan dewasa ini yang rela membiarkan suaminya “melacur” asal dia jangan dimadu, karena
dimadu dapat menjadi bukti pudar atau berkurangnya cinta.
355
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan…, h. 185
354
280
menyatakan, ”Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin
tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak
masa Rasulullah saw sampai hari ini. Seperti para Sahabat utama Nabi
melakukan poligami antara lain Umar Bin Khatthab, Ali Bin Abi Thalib,
Muawiyah Bin Abi Sufyan, dan Mu’az Bin Jabal radiyallah anhum. Poligami
juga dilakukan oleh para ahli fikih tabiin (generasi pasca sahabat Nabi), dan
lain-lain yang terbilang tidak banyak. Mereka mengakui orang yang menikah
lebih dari satu istri. Kesimpulannya bahwa generasi salaf (terdahulu) dan
khallaf (sekarang) dari ummat Islam telah bersepakat melalui ucapan dan
perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.356
Zakiah Daradjat ketika diwawancarai Masdar F. Mas’udi mengatakan,
Pada prinsipnya, seharusnya tidak ada seorang pun yang melakukan
poligami. Akan tetapi ada pengecualian bagi mereka yang karena istrinya
mempunyai kelemahan tertentu atau disebabkan oleh kondisi yang sangat
mendesak. Untuk masalah-masalah tertentu terbuka pintu bagi mereka.
Akan tetapi ini hanya merupakan sesuatu kasus force majure. Observasi
saya sebagai seorang psikoterapis menunjukkan bahwa memang terdapat
banyak lelaki yang mempunyai libido tertentu yang sangat tinggi dan
banyak pula lelaki yang normal. Laki-laki yang berlobido tinggi ini disebut
sebagai hyper dan sering kali istrinya tidak mampu memuaskan mereka.
Karena itu, Islam membuka sedikit pintu, hanya sebesar lubang jarum
jahit. Bisa juga apabila istrinya sakit atau tidak dapat sepenuhnya
melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Islam sangat keras dalam
membahas hal ini. Perempuan harus memberikan izin bagi suaminya
dalam kasus-kasus tertentu. Misalnya saya mengenal seorang perempuan
yang meminta suaminya menikah lagi karena dia tidak dapat memuaskan
kebutuhan suaminya sendirian. Dia mencarikan istri kedua untuk suaminya
dengan sepenuh hati, karena dia merasa takut bahwa suaminya akan
melakukan perbuatan zina.357
356
357
240
Arij Abdurrahman As-Sanan, Keadilan Dalam Poligami…, h. 29
Abdurahman Wahid, at. al., Menakar Harga Perempuan, (Bandung: Mizan, 1999), h.
281
Zakiyah Daradjat pada prinsipnya mengakui kebolehan poligami
menurut Islam, bahkan dia menganjurkan untuk orang-orang tertentu
sebagaimana yang dialami oleh beberapa pasiennya.
Sementara Amina Wadud sejalan dengan Muhammad Shahrur, dia
mengatakan,
Akhirnya, tentang tiga pembenaran umum terhadap poligami, tidak ada
persetujuan langsung dalam al-Qur’an. Pertama adalah finansial, dalam
konteks masalah ekonomi seperti pengangguran, seorang laki-laki yang
mampu secara finansial hendaknya mengurus lebih dari satu istri. Lagilagi, pola pikir ini mengasumsikan bahwa semua perempuan adalah beban
finansial, pelaku reproduksi, tapi bukan produsen. Di dunia zaman
sekarang banyak perempuan yang tidak memiliki maupun membutuhkan
sokongan laki-laki… Poligami bukan solusi yang sederhana untuk masalah
perekonomian yang kompleks. 358
Kemudian dasar pemikiran lain untuk berpoligami difokuskan pada
perempuan yang tidak dapat mempunyai anak. Lagi lagi, tidak ada penjelasan
tentang hal ini sebagai alasan untuk berpoligami dalam al-Qur’an. Namun
demikian, keinginan untuk mempunyai anak memang alami. Jadi kemandulan
laki-laki dan kemandulan istri seharusnya tidak meniadakan kesempatan bagi
salah satunya untuk menikah, maupun mengurus dan mendidik anak. Apakah
solusi yang mungkin untuk keduanya bila istri atau suami steril sehingga
pasangan itu tidak dapat mempunyai anak? Lalu dia menawarkan untuk
mengambil anak yatim Muslim maupun non-Muslim di negara yang terjadi
perang. 359
Akhirnya alasan ketiga untuk berpoligami selain tidak mempunyai
sandaran dalam al-Qur’an, juga jelas jelas tidak Qur’ani karena berusaha untuk
menyetujui nafsu laki-laki yang tidak terkendali, yakni jika kebutuhan seksual
358
359
Amina Wadud, Qur ’an Menurut Perempuan…,h. 150
Amina Wadud, Qur ’an Menurut Perempuan…,h. 151
282
seorang laki-laki tidak dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus
mempunyai dua. Barangkali, jika nafsunya lebih besar daripada dua, maka dia
harus mempunyai tiga, dan terus sampai dia mempunyai empat. Baru setelah
empat, prinsip al-Qur’an tentang pengendalian diri, kesederhanaan, dan
kesetiaan akhirnya dijalankan. Karena pada awalnya istri disyaratkan untuk
mengendalikan diri dan setia, kebijakan moral ini juga penting untuk suami. 360
Dengan demikian ada tiga faktor yang memang tidak tercantum dalam
al-Qur’an sebagai alasan bolehnya berpoligami, seperti dapat membantu
perempuan dari segi finansial, jika istri mandul, atau karena nafsu seks suami
lebih besar sehingga istri kewalahan jika ditanggung sendirian. Hal ini
memang tidak diungkap dalam al-Qur’an, namun kenyataan itu telah dialami
oleh suami istri, sehingga mendesak untuk melakukan poligami. Sebenarnya
tiga hal ini hanya merupakan sebagian hikmah dibolehkannya poligami, bukan
syarat kebolehan poligami yang ditentukan Allah.
Lembaga Darut Tauhid menyatakan bahwa hasil penelitian para
ilmuwan menunjukkan bahwa jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki di
dunia ini. Peperangan dan permusuhan antara umat manusia meninggalkan
sejumlah besar kaum perempuan, sehingga melebihi jumlah kaum laki-laki.
Disebutkan pula bahwa sejumlah perempuan ada yang mandul dan tidak
diminati oleh seorangpun, atau boleh jadi sebagian istri mengidap penyakit
yang menghalangi sang suami untuk menyalurkan nafsu seksualnya. Atau
dapat juga terjadi ada sebagian perempuan yang belum ingin melakukan
hubungan seksual bersama suaminya. Kondisi seperti itu, tidak mungkin
diselamatkan kecuali dengan melaksanakan poligami. Jadi poligami adalah
360
Amina Wadud, Qur ’an Menurut Perempuan…, h. 151
283
satu-satunya solusi yang benar dan paling selamat untuk menghindarkan
jatuhnya kaum laki-laki dan perempuan dalam perzinaan, pelacuran,
penindasan seksual, dan perbuatan haram. Secara realistis, masyarakat yang
tidak mempercayai peranan poligami, dan malah melakukan kebebasan dan
kehancuran moral, seperti masyarakat Eropa, Amerika, Rusia, atau lainnya,
akan dilanda perzinahan dan pelacuran yang menurut mereka merupakan
perbuatan yang biasa dan dianggap sebagai suatu tradisi. Dari kenyataan di
atas, jelaslah bahwa Islam telah mengangkat perempuan setinggi- tingginya.361
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa poligami menurut
pandangan Islam hukumnya mubah artinya tidak dianjurkan dan tidak ditutup
rapat, tapi hanya sekedar pintu darurat yang hanya dapat dibuka pada saat
dibutuhkan dengan syarat yang ketat dan tidak boleh melebihi dari 4 istri .
Dalam masalah poligami, Muhammad Quraish Shihab menggunakan
instrumen
‫ ﺍﻟﻌﱪﺓ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻻ ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ‬karena ayat itu berlaku secara
umum, tidak hanya bagi seorang suami yang ditinggalkan istrinya dan juga
tidak harus dengan janda yang memiliki anak yatim. Kemudian dapat dilihat
pula ketika dia menjelaskan ayat perbudakan, dia tidak setuju jika ayat tentang
perbudakan tidak berlaku sama sekali. Yang benar adalah pada saat tertentu
ayat perbudakan memang tidak relevan, tapi mungkin saja pada abad
mendatang pada saat kondisi sama seperti ayat perbudakan turun, maka ayat
perbudakan dapat dijadikan pedoman sebagai pelaksanaan hukum.
Muhammad Quraish Shihab—untuk menghindari penafsiran ayat alQur’an secara parsial—dia menggunakan metode munasabah ayat. Misalnya
masalah poligami dia mengkaitkan antara al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 3
361
1990), h. 159
Lembaga Darut Tauhid, Kiprah Muslimah Dalam Keluarga Islam, (Bandung: Mizan,
284
dengan al-Qur'an Surat al-Nisâ’/4 ayat 129. Quraish Shihab juga tidak
mengakui adanya ayat-ayat bias jender, tetapi mengakui adanya para mufasir
yang dalam menerjemahkan ayat-ayat menunjukkan adanya bias jender, baik
mufasir klasik maupun kontemporer.
Dalam penerjemahan dan penafsirannya ulama klasik berpegang teguh
pada teks. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penafsiran Muhammad Quraish
Shihab. Hanya saja Muhammad Quraish Shihab memperhatikan kondisi
sekarang.
Adapun
para
pakar
kontemporer,
dalam
penerjamahan
dan
penafsirannya pada umumnya berangkat dari realita sosial masyarkat, atau
yang biasa disebut dengan kontekstual, atau yang biasa dikenal dengan
‫ﺍﻟﻌﱪﺓ‬
‫( ﲞﺼﻮﺹ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﻻ ﺑﻌﻤﻮﻡ ﺍﻟﻠﻔﻆ‬ayat al-qur’an itu harus dilihat kontek turunnya
ayat, bukan dilihat dari umumnya lafazh atau teks lafazhnya)
Karena perbedaan instrumen, maka akan menghasilkan kesimpulan
yang berbeda, yang satu berangkat dari teks yang suci, lalu mencari
pembenaran, sedangkan yang lain, berangkat dari realita sosial masyarkat dan
teks yang suci itu hanya sebagai pendukung.
Menurut hemat penulis perbedaan penafsiran itu dapat ditolerir, selama
tidak keluar dari ajaran dasar Islam, karena perbedaan itu merupakan
keniscayaan karena disamping al-Qur’an itu masih global, juga banyak katakata yang terdapat dalam al-Qur’an mengandung makna yang beragam seperti
kata qurû mengandung dua makna yaitu haid dan suci.
Bila perbedaan itu masih bersifat individual seperti kunut dan tidak
kunut dalam sholat subuh, tidak perlu ada campur tangan pemerintah, namun
jika perbedaan itu menyangkut sosial masyarkat maka perlu ada campur tangan
285
pemerintah untuk menghilangkan perbedaan pendapat sesuai dengan tugas
yang diamanatkan oleh Allah yaitu taat pada Allah, Rasul dan pemerintah
(Q.S.al-Nisâ’/4:59)
Permasalahan yang timbul di masyarakat, yaitu para pimpinan diluar
pemerintah ikut campur pemerintah seperti kasus penetapan awal ramadhan
dan satu sawal ummat Islam dibingungkan oleh para pimpinan diluar
pemerintahan seperti pimpinan Muhammadiyah, NU dan lainnya, padahal
kesemuanya itu hanya merupakan hukum fiqih (hasil ijtihad seseorang) yang
kebenarannya relatif, maka ada Qâidah fiqhiyah yang dikutip oleh Ibrahim
‫ﺍﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻻ ﻳﻨﻘﺾ ﺑﺎﻻﺟﺘﻬﺎﺩ‬
Hosen
artinya hasil ijtihad seseorang tidak dapat
dibatalkan oleh hasil ijtihad orang lain. 362
Namun ada kode etik para ulama mengenai hukum fiqih, yaitu harus ada
campur tangan pemerintah jika menyangkut masalah masyarakat banyak karena ada
kaidah fiqhiyah yang populer :
‫ﺣﻜﻢ ﺍﳊﺎﻛﻢ ﺍﻟﺰﺍﻡ ﻭﻳﺮﻓﻊ ﺍﳋﻼﻑ‬
Keputusan pemerintah/hakim mengikat dan dapat menghilangkan
perbedaan pendapat.
Semestinya para pimpinan kita harus arif agar ummat tidak menjadi
bingung. Seperti halnya dalam masalah saksi perkawinan ada perselisihan
diantara ulama fiqih, namun pemerintah mengambil pendapat bahwa saksi
dalam perkawinan harus laki-laki sehingga tidak membingungkan dan berjalan
dengan baik. Jika pemerintah tidak membuat Undang-Undang dalam hal saksi
perkawinan harus laki-laki, tentu akan kacau tidak ada penyelesaian hukum,
karena perbedaan pendapat tersebut.
362
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2003), Jilid I,h.8 dan lihat
Muhammad Fauzi Faidhullah, al-Ijtihad Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (Kuwait: Maktabah Dâr alTurâts, 1984), h.100
286
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa Tafsir Al-Mishbah termasuk tafsir bi al-ra ’yi (menggunakan
akal pikiran) karena di dalam Tafsir al-Mishbah digunakan argumen
akal di samping hadis-hadis Nabi. Sedangkan metode yang digunakan
Muhammad Quraish Shihab yaitu gabungan dari beberapa metode,
seperti, tahlîli karena dia menafsirkan berdasarkan urutan ayat yang ada
pada al-Qur’an,
muqâran (komparatif) karena dia memaparkan
berbagai pendapat orang lain, baik yang klasik maupun pendapat
kontemporer dan semi maudhû’i karena dalam Tafsir al-Mishbah selalu
dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang
berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surah itu agar membantu
meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar, di samping
menunjuk ayat-ayat lain yang berkaitan dengan ayat yang dibahas.
Sedangkan corak tafsirnya yaitu sosial kemasyarkatan (adab ijtimâ ’i).
2. Instrumen yang digunakan Muhammad Quraish Shihab dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dalam Tafsir al-Mishbah khususnya
ayat-ayat yang bernuansa jender dimulai dari teks ayat lalu mencari
pembenaran ayat dengan hadis dan berbagai ilmu lainnya yang
berkaitan dengan ayat tersebut dengan ungkapan yang populer di
kalangan mufassir yaitu, ‫ اﻟﻌﺒﺮة ﺑﻌﻤ ﻮم اﻟﻠﻔ ﻆ ﻻ ﺑﺨ ﺼﻮص اﻟ ﺴﺒﺐ‬artinya bahwa
ayat-ayat al-Qur’an itu dilihat dari umumnya lafazh atau teks ayat,
bukan dilihat dari sebab turun ayat atau konteksnya.
3. Perbedaan dan persamaan penafsiran ayat-ayat jender antara
Muhammad Quraish Shihab dengan mufasir lainnya yaitu :
٢٨٨
289
Pertama Pemahaman tentang jender, menurut Muhammad
Quraish Shihab adalah seks (jenis kelamin). Dia berpijak dari sifat
kelelakian dan keperempuanan. Dari perbedaan sifat tersebut muncul
perbedaan peran dan status antara laki-laki dan perempuan dan pada
akhirnya terjadi perbedaan hak dan kewajiban antara kaum laki-laki dan
perempuan sesuai dengan kodratnya masing-masing.
Bias jender menurut Muhammad Quraish Shihab adalah
memberi kepada seseorang melebihi kodratnya atau tidak memberi
kepada seseorang sesuai kodratnya. Maka menyamakan perempuan
secara penuh dengan lelaki, menjadikan mereka menyimpang dari
kodratnya, dan ini adalah pelecehan terhadap perempuan atau disebut
bias jender.
Sedangkan menurut sebagian mufassir kontemporer, bahwa
jender adalah interpretasi budaya dan sosial masyarakat terhadap
perbedaan jenis kelamin.
Kedua ,Bahwa Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ayat alQur’an cenderung tidak parsial, maka dia selalu menjelaskan
munasabah ayat, karena menurutnya bahwa al-Qur’an harus dipandang
secara utuh (tidak parsial), sedangkan sebahagian mufassir baik klasik
maupun kontemporer menafsirkan ayat al-Qur’an secara parsial (tidak
utuh) sehingga terjadi bias dalam penafsirannya.
Ketiga, Muhammad Quraish Shihab cenderung bahwa semua
ayat tetap berlaku sebagai payung hukum, kendati objek hukumnya
sudah tidak ada. Namun tidak menutup kemungkinan, jika objek hukum
tersebut muncul, maka ayat tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman
pelaksanaan hukum. Sebagai contoh adalah ayat tentang perbudakan.
290
Secara resmi perbudakan tidak dikenal lagi oleh umat manusia dewasa
ini. Namun demikian menurut Muhammad Quraish Shihab bukan
berarti ayat perbudakan dinilai tidak relevan lagi, karena al-Qur’an tidak
hanya diturunkan untuk putra-putri abad ini, tetapi ia diturunkan untuk
umat manusia sejak abad VI hingga akhir zaman. Kita tidak tahu, kata
Muhammad Quraish Shihab, perkembangan masyarakat pada abad-abad
yang akan datang, boleh jadi mereka mengalami perkembangan yang
belum dapat kita duga dewasa ini. Ayat-ayat ini atau jiwa petunjuknya
dapat mereka jadikan rujukan dalam kehidupan mereka. Sedangkan
menurut sebahagian mufassir kontemporer, bahwa bila ayat tidak sesuai
dengan realitas sosial masyarakat, maka ayat itu dianggap tidak relevan
dan tidak perlu diamalkan.
Keempat, Muhammad Quraish Shihab memandang bahwa ayatayat al-Qur’an itu dibagi pada dua kategori yaitu zhanni dan qath’i,
ayat-ayat pada kategori pertama boleh berbeda diantara para pakar,
namun pada kategori kedua para pakar tidak boleh berbeda, dan jika
berbeda dengan qath’i, menurutnya dapat dikategorikan kafir.
Sedangkan sebahagian para pakar kontemporer berbeda dengan
Muhammad Quraish Shihab, mereka memandang bahwa ayat-ayat alQur’an itu dibagi dua kategori yaitu aqîdah dan mu’âmalat. Ayat-ayat
pada kategori pertama ulama tidak banyak menggunakan nalar akalnya,
sedangkan pada ayat-ayat kategori kedua yaitu mu’âmalah, mereka
dapat menggunakan nalar akalnya sekalipun harus bertentangan dengan
teks ayat.
291
Konsekwensinya akan berbeda memandang Umar Bin Khaththab
tidak menerapkan ayat qath’i, kelompok yang berpatokan qath’i dan
zhanni, memandang Umar tidak melanggar ayat qath’i, tapi dikernakan
obyek/wadah hukumnya yang tidak ada, sedangkan yang berpatokan
aqîdah dan mu’âmalat, memandang Umar melanggar ayat qath’i,
namun dibolehkan karena urusan mu’âmalat (sosial masyarakat).
Untuk mengetahui lebih jelasnya, berikut akan disebutkan
beberapa
penafsiran Muhammad Quraish Shihab tentang ayat-ayat
yang bernuansa jender.
a. Penciptaan wanita
Ketika Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ayat tentang
penciptaan perempuan, dia cenderung pada penafsiran mufasir
kontemporer sekalipun dia tidak menafikan hadis shahih seperti,
hadis riwayat Turmudzi, Bukhari, dan Muslim tentang penciptaan
perempuan dari tulang rusuk, dia cenderung untuk menafsirkannya
secara metaforis. Bahkan dia cenderung untuk mengabaikan hadis
shahih tersebut, dengan mengutip pendapat mufassir minoritas
seperti Muhammad Abduh, al-Qasimi, dan Thabathaba’i yang
memahaminya bahwa perempuan diciptakan dari spesies yang sama
atau jenis yang sama. Kemudian dia juga mengutip pendapat Sayyid
Muhammad Ridha yang menyatakan bahwa cerita itu datang dari
Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22), bahkan kata Muhammad
Rasyid Ridho, ”Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Hawa
dari tulang rusuk Adam dalam Perjanjian Lama tersebut, niscaya
292
pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang
rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang
muslim."
Semestinya Muhammad Quraish Shihab menolak secara tegas
hadis yang menyatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam
dengan tiga alasan. Pertama, tidak ada hadis sahih yang
menyandarkan kata ‫ ﺿﻠﻊ‬kepada Adam secara langsung. Kedua, tidak
ada satu hadis tentang penciptaan perempuan dengan menyebut kata
Hawa, tapi semuanya menggunakan kata ‫اﻟﻤﺮأة‬. Ketiga, hadis-hadis
tentang penciptaan perempuan termasuk mukhtalaf al-hadîs karena
banyak hadis sahih lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut
menggunakan huruf tasybih (penyerupaan). Oleh karena itu penulis
cenderung
untuk
mentarjih
hadis-hadis
tentang
penciptaan
perempuan, yakni perempuan tidak diciptakan dari tulang rusuk
Adam, melainkan perempuan diciptakan bagaikan tulang rusuk.
Artinya teks hadis yang menggunakan ‫ اﻟﻤﺮأة ﺧﻠﻘﺖ ﻣﻦ ﺿﻠﻊ‬dianggap
tidak ada.
b. Kewarisan
Ketika Muhammad Quraish Shihab menafsirkan masalah waris
yang menyatakan bahwa seorang laki-laki berbanding dua orang
perempuan, dia bersikukuh tidak bisa diartikan lain, dan orang yang
menafsirkan lain dianggap mufassirnya yang bias. Karena menurut
dia hal tersebut merupakan kehendak Allah yang tidak bisa ditawartawar. Alasannya karena laki-laki bila dia berumah tangga, maka dia
293
harus memberi nafkah anak dan istrinya disamping dirinya. Lakilaki juga harus membayar mahar kepada istrinya. Sedangkan
perempuan jika dia berumah tangga, harta warisannya utuh, karena
segala kehidupannya ditanggung oleh suaminya.
Bahkan Muhammad Quraish Shihab tidak dapat menerima
pendapat
pemikir
kontemporer
yang
mengatakan
bahwa,
"Ketetapan warisan, bukan ketetapan final, karena Allah telah
berfirman dalam (Q.S.al-Mâidah/5:3). Namun Muhammad Quraish
Shihab memberi solusi, bila orang tua khawatir kepada anak
perempuannya dengan jalan menghibahkan sebagian hartanya
kepada siapapun termasuk anak perempuannya selama masih sehat.
Karena bila sakit-sakitan, dia hanya tinggal sepertiga dari hartanya
untuk dihibahkan, bahkan jika sudah meninggal dunia, maka harta
itu kembali kepada Allah untuk dibagi sesuai dengan aturan Allah
dalam al-Qur’an.
Perbedaan penerimaan waris menurut penulis tidak
mengacu
kepada jenis laki-laki dan perempuan, justru mengacu kepada
perbedaan beban materi dan tanggung jawab bagi penerima waris.
Seperti anak-anak lebih besar bagiannya dari kedua orang tuanya,
karena kedua orang tua usianya sudah lanjut sehingga beban
memberi nafkah akan beralih pada anak-anaknya yang sudah
dewasa, atau karena anak itu masih kecil sehingga masih panjang
beban hidupnya. Di samping perlu untuk membiayai perkawinan dia
juga memerlukan biaya hidup di masa tuanya yang masih
panjang.Untuk itu ayah dan ibu masing-masing keduanya hanya
294
mendapat 1/6 jika anaknya yang meninggal punya anak. Kenyataan
ini dapat memperjelas, bahwa besar kecilnya bagian waris tidak
didasarkan pada jenis kelaminnya, tapi dari segi beban tanggung
jawab yang diembannya semasa hidupnya.
c. Persaksian
Ketika Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ayat persaksian
dalam masalah transaksi utang piutang (bisnis), dia tetap
memperlakukan dua orang laki-laki diseimbangkan dengan satu
orang laki-laki dan dua orang perempuan. Persoalan ini kata dia
harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama
perempuan dan fungsi utama yang dibebankan padanya. Suami
bertugas mencari nafkah dan dituntut memberi perhatian utama
dalam menyediakan kecukupan nafkah untuk anak-anak dan istrinya,
sedangkan tugas utama perempuan atau istri adalah membina rumah
tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan
perkembangan jiwa anak-anaknya, walaupun pembagian kerja
tersebut katanya tidak ketat.
Tampaknya Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya yang
terbaru yang terbit Juli 2005 yang berjudul “Perempuan”, banyak
mengalami kemajuan untuk berijtihad dibanding dengan karya-karya
sebelumnya. Dia sudah mulai memasuki wilayah Ushul Fiqh karena
menetapkan bahwa persoalan saksi berkaitan dengan ‘illat (motif
penetapan hukum), maka bisa saja kini—kata Muhammad Quraish
295
Shihab—kesaksian seorang perempuan yang terlibat langsung dalam
bidang keuangan, dinilai sama dengan kesaksian seorang lelaki.
Hanya saja Muhammad Quraish Shihab masih mempertanyakan
‘illat tersebut, apakah ‘illat itu permanen atau tidak? Karena
sebagaimana terlihat dalam (Q.S.Thâha/20 : 117) mengisyaratkan
bahwa tugas pokok Adam selaku suami adalah memenuhi kebutuhan
keluarganya. Sedang tugas utama perempuan atau istri adalah
membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi
pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. ‘illat
semacam ini dianggap oleh sebahagian ulama merupakan ‘illat yang
permanen yang tidak bisa diubah-ubah dalam kondisi apapun.
Penulis tidak sependapat dengan Quraish Shihab tentang illat itu
ada yang permanent atau tidak, karena illat itu harus permanent,
yang tidak permanent itu adalah hikmah. Oleh karena itu penulis
justru
cenderung pada
membedakan antara kata
pendapat
Muhammad
Imarah
yang
‫( اﻻﺷﻬﺎد‬memberi kesaksian di luar
pengadilan) dan kata ‫( اﻟﺸﻬﺎدة‬saksi sebagai alat bukti di hadapan
hakim di pengadilan), karena Al-Qur’an menghendaki dua orang
saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan,
bukan berarti hakim tidak boleh memutuskan hukum dengan cara
lebih sedikit dari yang ditetapkan, karena Rasulullah menerima
kesaksian seorang Baduwi ketika melihat awal bulan Ramadhan dan
Rasulullah juga menerima kesaksian seorang perempuan dalam
masalah menyusui. Begitu juga Rasulullah menerima kesaksian
seorang perempuan yang diperkosa, yang berarti Nabi menerima
296
kesaksian seorang perempuan sekalipun dalam masalah hudûd. Jadi
saksi di hadapan Hakim di pengadilan tidak harus laki-laki dan tidak
berdasarkan
jumlah
tertentu,
tapi
harus
sesuai
dengan
profesionalisme saksi itu sendiri.
d. Kepemimpinan
Ketika
Muhammad
Quraish
Shihab
menafsirkan
ayat
kepemimpinan, dia membedakan kepemimpinan rumah tangga
dengan kepemimpinan masyarakat. Menurutnya kepemimpinan
rumah tangga sudah ditetapkan Allah yaitu laki-laki sebagai
pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu keistimewaaan
yang menunjang kepemimpinan dan disebabkan suami diwajibkan
memberi nafkah. Pendapat Muhammad Quraish Shihab ini sejalan
dengan para mufasir klasik sebelumnya. Sementara sebagian mufasir
kontemporer
menganggap
ayat
kepemimpinan
ini
bersifat
kondisional dan merupakan cerminan dari masyarakat Arab ketika
ayat tersebut diturunkan. Oleh karena itu ayat tersebut tidak
mengikat kaum muslimin sepanjang masa dan di berbagai tempat
pelosok dunia. Menurut Muhammad Quraish Shihab pendapat ini
juga termasuk bias jender, karena menyalahi kehendak Allah swt.
Namun Muhammad Quraish Shihab dalam buku terbarunya yang
terbit bulan juli 2005 yang berjudul “Perempuan”lebih jelas
menegaskan bahwa suami menjadi pemimpin di rumah tangga
karena ada dua faktor, yaitu keistimewaan yang dimiliki suami
untuk tugas kepemimpinan dan
diwajibkannya suami untuk
297
memberi nafkah. Jika kedua hal tersebut tidak dimiliki suami, maka
boleh saja kepemimpinan rumah tangga beralih pada istri. Jika
suami tidak mampu memberi nafkah, namun tidak mengalami
gangguan dari segi fisik seperti sakit-sakitan, maka istri belum
berhak mengambil alih kepemimpinan suami.
Sedangkan berkaitan dengan kepemimpinan di masyarakat,
Muhammad
Quraish
Shihab
tidak
menggunakan
(Q.S. al-
Nisâ’/4:34), tetapi menggunakan (Q.S.al-Taubah/9 :71) yang intinya
perempuan
dapat melakukan pekerjaan apapun selama ia
membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama
norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
Hal ini dapat dilihat dari pernyataan beliau. ”Harus diakui bahwa
memang ulama dan pemikir masa lalu tidak membenarkan
perempuan menduduki jabatan kepala Negara. Tetapi hal ini lebih
disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu, antara lain kondisi
perempuan sendiri yang belum siap untuk menduduki jabatan.
Jangankan kepala negara, menteri atau kepala daerah pun tidak.
Perubahan fatwa dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan
kondisi dan situasi. Oleh karena itu tidak relevan lagi melarang
perempuan terlibat dalam politik praktis atau memimpin negara.
Penulis justru cenderung pada pendapat Muhammad Imarah
karena argumentasinya lebih kuat, dia mengatakan bahwa, ”Fikih
moderent tidak membicarakan al-imâmah al-‘uzdmâ dan khilâfah alâmmah, karena hal itu sudah hilang sejak jatuhnya Khilafah
Usmaniyah (1342 H./1924 M.) sampai sekarang. Kemudian
298
pemahaman al-wilâyah al-âmmah pada masa kita sekarang, sudah
berubah dari ‫( ﺳﻠﻄﺎن اﻟﻔﺮد‬kekuasaan individu) kepada ‫ﺳﻠﻄﺎن اﻟﻤﺆﺳﺴﺔ‬
(kekuasaan kolektif) yang di dalamnya melibatkan semua yang
memiliki
kepemimpinan
dan
keahlian.
Sedangkan
seorang
pemimpin hanya sekadar pelaksana undang-undang yang sudah
dibuat oleh pemerintah secara kolektif. Dengan demikian kepala
negara yang ada saat ini bagaikan boneka yang hanya merupakan
simbul, karena semua keputusannya sudah diatur bersama. Jadi
perempuan boleh menjadi hakim dan kepala negara bukan karena
ada ayat al-Qur’an atau hadis, tapi karena ada perubahan sistem
kenegaraan.
e. Poligami
Ketika Muhammad Quraish Shihab menafsirkan ayat poligami,
sikap dia cukup jelas, yaitu mubah (boleh) tapi tidak dianjurkan dan
tidak boleh ditutup rapat. Ia hanya merupakan pintu kecil yang
hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dan dengan syarat
yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami
dalam pandangan al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal
atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang
penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.
Sebagian pakar jender kontemporer menjadikan al-Qur'an Surat
al-Nisâ’/4 ayat 129 sebagai argumen untuk menolak poligami,
sedangkan Muhammad Quraish Shihab justru mengkritik orang yang
tidak merestui poligami dengan menggunakan ayat ini. Pendapat ini
tidak dapat diterima, bukan saja karena Nabi saw. dan sekian banyak
299
sahabat beliau melakukan poligami, tapi juga karena ayat ini tidak
berhenti di tempat para penganut pendapat ini berhenti, melainkan
berlanjut dengan menyatakan karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung
kepada
yang
kamu cintai. Penggalan
ayat
ini
menunjukkan kebolehan poligami walau keadilan mutlak dalam hal
cinta tidak dapat diwujudkan.
Kebolehan melakukan poligami selain berdasarkan ayat alQur’an dan hadis Nabi saw., juga berdasarkan ijma kaum muslimin
baik melalui ucapan, juga perbuatan sejak masa Rasulullah saw.
sampai hari ini. Nabi sendiri mempunyai istri sebanyak sembilan.
Sahabat utama Nabi saw. Juga melakukan poligami, seperti Umar
Bin Khaththab, Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah Bin Abi Sufyan, dan
Mu’az Bin Jabal.
Untuk lebih jelasnya penulis memetakan penafsiran Muhammad
Quraish Shihab terhadap ayat-ayat yang bernuansa jender antara lain
:
Ayat Jender
Zhanni
Penciptaan
V
Qath’i
Tekstual
Kontekstual
V
Wanita
Kewarisan
V
V
V
V
Kepemimpinan
Rumah tangga
Masyarakat
V
V
300
Poligami
Kesaksian
V
V
V
V
Dari pemetaan penafsiran ayat-ayat jender Muhammad Quraish Shihab
diatas, penulis dapat menyimpulkan, bahwa ukuran qath’i Muhammad Quraish
Shihab, tidak sama dengan para mufassir umumnya, karena menurut
Muhammad Quraish Shihab, ayat-ayat qath’i itu adalah ayat yang didukung
oleh ayat lain yang maknanya sama dan tidak saling bertentangan. Sedangkan
para ulama pada umumnya dalam masalah ayat-ayat qath’i sudah diketahui
sejak awal sekalipun tidak didukung oleh ayat lain, sehingga kelihatannya
dalam pemetaan diatas Muhammad Quraish Shihab tidak konsisten.
B. Saran-saran
Berdasarkan kajian dan temuan dari penelitian ini, perlu disampaikan
beberapa saran yang berkaitan dengan penulisan disertasi ini yaitu:
1. Tafsir al-Mishbah tampaknya ingin mengembalikan penafsiran al-Qur’an
kepada teks aslinya. Untuk itu bila ada ayat al-Qur’an yang tampaknya
tidak relevan dengan kondisi sosial masyarkat, tidak lalu terburu-buru
menganggap ayat al-Qur’an sudah tidak relevan lagi dengan kondisi
saat ini, tapi harus dicari ayat lain yang terdapat dalam al-Qur’an,
sehingga penafsiran ayat al-Qur’an tidak parsial.
2. Mengingat objek yang dikaji adalah al-Qur’an, maka ketika menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an harus menggunakan metode tafsir. Metode yang
lain bisa digunakan sebagai pendukung, bukan sebagai pokok.
301
3. Mengingat perkembangan zaman yang sangat cepat, maka perlu
meninjau kembali penafsiran al-Qur’an klasik, kepada penafsiran
modern dengan syarat tidak keluar dari ajaran dasar al-Qur’an itu
sendiri.
Tulisan ini baru merupakan penelitian awal, tentu banyak kekurangan dan
kekhilafan, untuk itu kritikan dan masukan yang konstruktif dari para pembaca
sangat dibutuhkan untuk lebih mendekati kepada kebenaran yang hakiki
(kehendak Allah).
302
DAFTAR PUSTAKA
Abdu al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu'jam al-Mufahrasy Lialfâdh al-Qur'an
al-Karîm, Cairo: Dâr al-Hadîts, 1986
Abu Zaid, Nashar Hamid, Al-Ittijâh al-Aqli fî al-Tafsîr, Bairut: Dâr al-Tanwir,
1993
al-‘Ak, Khalid Abdu al-Rahman, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâiduhû, Bairut: Dâr
al-Nafâis, 1986
Ananda Arfa, Faisar, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004
Anis, Ibrahim at.al., Mu’jam al-Wasîth, Mesir: Majma al-Lughah al-Arabiyah,
1980
al-Asfihani, Al-Raghib, Mu’jam Mufradât alfâdh al-Qur ’an, Bairut: Dâr alFikr, t.t.
al-‘Ashbahi, Malik Bin Anas Abu Abdillah, Muwatha Imam Malik, Mesir:Dâr
Ihya al-Turats
Ayazi, Muhammad Ali, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, Teheran:
Muassasah al-Thabâ’ah wa al-Hasyar Wijâr al-Tsaqâfah wa al-Irsyâd
al-Islâmi, t.t.
Aziz , Abdul, Amir, Al-Insân fî al-Islâm, Bairut: Dâr al-Furqan, 1986
al-Bahnasawi, Salim, al-Mar ’ah Baina al-Islâm wa al-Qawânîn al-Alamiyah,
Kuwait: Dâr al-Wafâ, 2003
Ba’labaki, Munir, al-Maurid, Bairut: Dâr al-Ilmi Li al-Malâyin, 1986
al-Barik, Haya Binti Mubarak, al-Maushû'ah al-Mar'ah al-Muslimah
diterjemahkan oleh Amin Hamzah dengan judul Ensiklopedi Wanita
Muslimah, Jakarta: Dâr al-Falah, t.t.
303
al-Biqa’i, Burhanuddin Abu Hasan Ibrahim Ibnu Umar, Nudzum al-Durar fî
Tanâsub al-âyat wa al-Suwar, Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995
al-Bukhari, Abdullah Muhammad Bin Ismail, Bukhari, Bairut :Dâr al-Fikr,
1995
Dahlan, Abdu al-Rahman, Kaidah Kaidah Penafsiran al-Qur'an, Bandung:
Mizan, 1997
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1990
Dowling, Collet, The Cinderella Complex diterjemahkan oleh Santi W.E.
Soekanto dengan judul Tantangan Wanita Modern, Jakarta: PT Gelora
Aksara Pratama, 1992
Echolis, John M., et al. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1984
Faidullah, Muhammad, Fauzi, al-Ijtihad Fi Syari’ah al-Islamiyah, Kuwait:
Maktabah Dâr al-Turâts, 1984
al-Fanisan, Saud Bin Abdullah, Ikhtilâf al-Mufassirîn Asbâbuhû wa Atsaruhû,
Riyâdh: Dâr Isybilia, 1997
al-Farmawi, Abdu al-Hay, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû'i, Mesir: alHadhârah al-Arabiyah, 1977
Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-Hadis
Sahih, Yogyakarta: Pilar Regilia, 2005
al-Gathani, Islam dan Potret Wanita di Balik Citra Modern, Terjemahan Saleh
Mahfoud, Surabaya: Pustaka Progresif, 1991
al-Ghazali, Muhammad, Nahwa Tafsîr Maudhûi li Suwar al-Qur ’an al-Karîm,
Cairo: Dâr al-Syuruq, t.t.
304
Goldziher, Ignaz, diterjemahkan oleh al-Hajar, Abdu al-Halim, Mazâhib alTafsîr al-Islâmi, Bairut: Dâr al-Iqra, 1954
al-Hasyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma ’âni wa al-Bayân wa alBadî’, Bairut: Dâr al-Fikr, 1994
Hawa, Said, Al-Asâs fî al-Tafsîr, Cairo: Dâr al-Salâm, 1985
Hosen, Ibrahim, Apakah Judi Itu ?, Jakarta:LPPI IIQ, 1987
___________, Fiqih Perbandingan, Jakarta:Pustaka Firdaus, 2003, Jilid I
Ibnu Arabi, Ahkâm al-Qur ’an, Cairo: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1988
Ibnu Hanbal, Abu Abdillah al-Syaibani, Ahmad, Musnad Imam Ahmad, alQâhirah:Muassasah Qurtubah, t.th
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur ’an al-Adzîm, Bairut: Dâr al-Fikr, 1992
Ibnu Taimiyah, yang ditahqiq oleh Dr.Adnan Zarzur, Muqaddimah fî Ushûl alTafsîr, Kuwait: Dâr al-Qur’an al-Karîm, 1971
Ibnu Zakaria, Abu Husen, Ahmad Ibnu Faris, , Mu’jam al-Maqâyis fî alLughah, Bairut: Dâr al-Fikr, 1994
Ibrahim Mahna, Ahmad, Tabwîb Ay al-Qur'an al-Karîm min al-Nâhiyah alMaudhûiyah, Cairo: Dâr al-Sya'b, t.t.
Imarah, Muhammad, al-Tahrîr al-Islâmi li al-Mar ’ah al-Rad alâ Syubuhât alGhulat, Cairo: Dâr al-Syuruq, 1968
Ismail, Yahya, Manhaj al-Sunnah fî al-Alâqah baina al-Hakîm wa Mahkûm,
Cairo: Dâr al-Wafâ, 1986
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab dalam Menafsirkan alQur'an, sebuah Tesis Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2002
Istibsyarah, Hak-Hak Perempuan dalam Relasi Jender pada Tafsir alSya'râwi, sebuah Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2004
305
al-Jabary, Abdu al-Muta'ali Muhammad, Al-Mar'ah fî al-Tashawwur al-Islâm,
Cairo: Maktabah Wahbah, t.t.
Ja’far, Ali, Said Muslim Abdullah, Atsar al-Tathawwur al-Fikri fî al-Tafsîr fî
al-Ashri al-Abbâsi, Bairut: Muassasah al-Risâlah, 1984
Ja'far, Muhammad Anas Qasim, Mengembalikan Hak-Hak Politik Perempuan
Sebuah Perspektif Islam, Jakarta: Dâr al-Nahdhah al-Arabiyah, 2002,
Cet. I
al-Jakni al-Syanqithi, Muhammad al-Amin Ibnu Muhammad al-Mukhtar,
Adwâ al-Bayân, Riyâdh: Mathba’ah al-Ahliyah, t.t.
Jundi, Anwar, Gelombang Tantangan Muslimah, Terjemahan Ahsin Wijaya,
Solo: CV Pustaka Mantiq, 1991, Cet. III
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III, Pengantar Teknik
Analisa Jender, 1992
Khalaf, Abdu al-Wahab, Ilmu Ushûl al-Fiqh, Cairo: Maktabah al-Da'wah alIslamiyah Syabâb al-Azhar, 1968
al-Khaththab, Abdu al-Karim, Al-Tafsîr al-Qur ’an li al-Qur ’an, Bairut: Dâr alFikr, t.t.
Lembaga Dâr al-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Bandung:
Mizan, 1990
Madjid, Nurcholish, et.al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2004
Madkur, Ibrahim, Mu'jam al-Fâdh al-Qur'an al-Karîm, Cairo: Majma' alLughah al-Arabiyah al-Idârah al-Ammah Lil Mu'jamât Wa Ihyâ alTurâts, 1988 Jilid I & II
Mahmud, Muhammad, Jamaluddin, Huqûq al-Mar ’ah fî Mujtama ’ al-Islâm,
Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah Li al-Kitâb, 1986
306
Mahrizi, Mahdi, Wanita Ideal Menurut Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004
Majma al-Lughah al-Arabiyah, Mu’jam Alfâdh al-Qur ’an al-Karîm, Mesir: alHai’ah al-Ammah Lisyûni al-Mathâbi’ al-Amîriyah, 1989
al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsîr al-Maraghi, Mesir: Syarikah Maktabah
wa Mathba'ah Mushthafa al-Bâbi al-Halabi Wa Aulâdihi,1974
al-Mawardi al-Bashari, Abu al-Hasan Ali Bin Muhammad Bin Habib, AlNukat
wa al-Uyûn Tafsîr al-Mawardi, Bairut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyah, t.t.
Muhammad, Husein, Islam Agama Ramah Perempuan, Yogyakarta :LKiS,
2004
Muhammad Saba’i, Taufiq, Wâqiiyah al-Manhaj al-Qur ’an, Cairo: al-Haiah
al-Ammah Li Syûn al-Mathâbi al-Amîrah, 1973
al-Muhtasib, Abdu al-Majid Abdu al-Salam, Ittijâhât al-Tafsîr fi Ashri alHadîts, Bairut: Dâr al-Fikr, 1973
Mulia, Siti Musdah
Dkk, Keadilan Kesetaraan Gender Perspektif Islam,
Jakarta: LKAJ, 2003, Cet. II
Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2004
Munawir, Ahmad Warson, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997
al-Nadawi, Ali Ahmad, al-Qawâid al-Fiqhiyah, Bairut :Dâr al-Qalam, 1994
Ni’mah, Fuad, Mulakhkhash Qawâid al-Lughah al-Arabiyah, Bairut: Dâr alTsaqâfah al-Islâmiyah, t.t.
Qardhawi, Yusuf, Kedudukan Wanita dalam Islam, Terjemahan Melati Adhi
Damayanti, Jakarta: PT Global Media Cipta Publishing, 2003
307
al-Qaththan, Manna Kalil, Mabâhits Ulûm al-Qur ’an, t.t., tp., t.th.
Qazam, Shahal, Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan,
Terjemahan Khazin Abu Fakih, Surakarta: Era Intermedia, 2001
al-Quraisyi al-Dimasqa Al-Imam al-Hafidh Imaduddin Abu al-Fida Ismail Bin
Katsir, Tafsîr al-Qur ’an al-Adhîm, Cairo: Dâr al-Turâts al-Arabi, t.t.
al-Quthni, al-Dâr, Ali Ibnu Umar, Sunan al-Quthni, Bairut : Dâr al-Fikr, 1994
Qutub, Sayyid, Fi Dzilâl al-Qur'an, Cairo: Dâr al-Syuruq, 1981
al-Quzweni, Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, alQâhirah, Dâr al-Hadîts, 1998
al-Razi, Muhammad, Tafsîr al- Fahru al-Razi, Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.
Ridho, Muhammad Rasyid, Tafsîr al-Qur ’an al-Hakîm/Tafsir Al-Mannâr,
Bairut: Dâr al-Ilmiyah, 1999
al-Sahmarani, As'ad, Al-Mar'ah fî al-Târikh wa al-Syar'iyah, Bairut: Dâr alNafâis, 1989
al-Sanan, Arij Abdurrahman, Memahami Keadilan dalam Poligami, Jakarta:
PT Global Media Cipta Publishing, 2003
al-Shabuni, Muhammad Ali, Mukhtashor Tafsîr Ibnu Katsîr, Cairo: Dâr alShabuni, 1999
_______, Rawâ ’i al-Bayân Tafsîr Ayat-Al-Ahkâm min al-Qur ’an, Cairo: Dâr
al-Shabuni, 1999
_______, Shafwah al-Tafâsir, Bairut: Dâr al-Qur’an al-Karîm, 1981
Shihab, Muhammad Quraish, Menyingkap Tabir Ilahi, Jakarta: Lentera Hati,
1998
______, Membumikan al-Qur ’an, Bandung: Mizan, 1992
308
______, Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat
Tahlil, Jakarta: Lentera Hati, 2001
______, Wa wasan al-Qur ’an, Bandung: Mizan, 1996
______, Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama al-Qur'an, Bandung: Mizan,
1999
______, Lentera Hati, Bandung: Mizan, 1994
______, Fatwa Fatwa Seputar Ibadah Mahdah, Bandung: Mizan, 1999
______, Sahur Bersama Quraish Shihab, Bandung: Mizan, 1997
______, Mukjizat al-Qur ’an, Bandung: Mizan, 1997
______,Untaian Permata Buat Anakku: Pesan al-Qur'an untuk Mempelai,
Bandung: Mizan, 1998
_____, Haji Bersama Quraish Shihab, Bandung: Mizan, 1999
_____, Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil, Jakarta: Lentera Hati, 1996
_____, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2001
______, Dia di Mana-Mana, Jakarta: Lentera Hati, 2004
______, Yang Tersembunyi Jin, Iblis, Setan, & Malaikat, Jakarta: Lentera Hati,
2003
______, Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surah al-Fatihah, Jakarta: Untagama,
1998
______, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2005
______, Logika Agama, Jakarta: Lentera Hati, 2005
______, Nazhm al-Durar Fi Tanâsub al-‘Ayât Wa al-Suwar, Disertasi Doktor
Universitas al-Azhar Cairo, 1982
al-Sijistani al-Azadi, Abu Dawud Sulaiman Bin al-Asy’asy, Sunan Abî Dâwud,
Cairo: Dâr al-Hadîs, 1999
309
Sjadzali, Munawir, Kontektualisasi Ajaran Islam, Jakarta: P.T.Temprint,1995
Subhan, Zaitunah, Kemitrasejajaran Pria dan Wanita dalam Perspektif Islam,
sebuah Disertasi Program Pascasarjana UIN Jakarta, 1998
_______, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tasfir Qur ’an,
Yogyakarta: LkiS, 1999
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali, Jakarta
:Pustaka Firdaus, 2002
Syahrur, Muhammad, diterjemahkan oleh Sahiran Syamsudin,MA, Metodologi
Fiqih Islam Kontemporer, Jakarta: ELSAQ Press, 2004
Syaltut, Muhammad, Al-Islâm 'Aqîdatun wa Syarîatun, Bairut: Dâr al-Qalam,
1966
Sya’rawi, Muhammad Mutawalli, Makânah al-Mar ’ah fî al-Islâm Terjemahan
Abu Abdillah Al-Manshur, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
al-Syaukani, Al-Imam Muhammad Bin Ali Bin Muhammad (w.1250 H), Fathu
al-Qadhîr, Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2003
al-Syirazi al-Baidhowi, Al-Qadhi Nashiruddin Abi Said Abdullah Bin Umar
Bin Muhammad, Tafsîr al-Baidhawi/Anwar al-Tanzîl wa Asrâr alTa ’wîl, Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2003
Tarabishi, Georges, Woman Against Her Sex diterjemah oleh Ihsan Ali Fauzi
dan Rudi Harisyah Alam dengan judul Wanita Versus Wanita,
Bandung: Mizan, 2001
al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir (w.310 H), Tafsîr al-Thabari,
Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999
al-Thabarsi, Abu Ali al-Fadhal Bin Hasan Bin al-Fadhal, Majma al-Bayân fî
Tafsîr al-Qur ’an, Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1997
310
al-Thahhan, Mahmud, Taisîr Mushthalah al-Hadîs, Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.
Ath-Thayyibi, Ahmad Junaidi, Tata Kehidupan Wanita dalam Syari'at Islam,
Jakarta: Wahyu Press, 2003, Cet. I
Tsaqâfah Membangun Budaya Cerdas Menjawab Tantangan Zaman, Vol.I No.
3 tahun 2003
Ulwan, Nashih, Abdullah, Adab al-Khithbah wa al-Zafâf wa Huqûq alZaujaini, Cairo: Dâr al-Salâm, 1985
______, Taaddud al-Zaujat fî al-Islâm, Cairo: Dâr al-Salâm, 1984
______, Uqubât al-Zawâj wa Thuruq Mu’âlajatihâ alâ Dhaui al-Islâm, Cairo:
Dâr al-Salâm, 1985, Cet. V
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur ’an, Jakarta:
Paramadina, 2001
Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris Menafsir Agama untuk Praksis
Pembebasan, Jakarta: P3M, 2004
Wadud, Amina , Qur'an and Woman, diterjemahkan oleh Abdullah Ali dengan
judul Qur'an Menurut Perempuan, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2001
Wahid, Abdu al-Rahman, at.al. Menakar Harga Perempuan, Bandung: Mizan,
1999
Ya’qub, Ali Mushthafa, Imam Perempuan dalam Persepektif Hadis, Makalah
Diskusi Dosen IIQ, 2005
Yusuf, Muhammad, Husen, Ahdf al-Usrah fî al-Islâm, Cairo: Dâr I'tishâm,
1977
al-Zahabi, Muhammad Husen, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Cairo: Maktabah
Wahbah, 1985
311
al-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Jarullah Mahmud Bin Umar Bin Muhammad
(467–538 H.), Al-Kasysyâf ‘An Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzîl wa Uyûn
al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta ’wîl, Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1995
______, Fathu al-Rahmân Bikasyfi Mâ Yaltabisu fî al-Qur ’an, Bairut: Dâr alQur’an al-Karîm, 1402
al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsîr al-Munîr, Bairut: Dâr al-Fikr, 1998
RIWAYAT HIDUP PENULIS
A.
Identitas Diri dan Keluarga :
1. Nama
: Anshori
2. NIP/KARPEG
: 150271246/G.132764
3. Tempat dan Tgl lahir
: Indramayu,6 April 1957
4. Jenis Kelamin
: Laki-laki
5. Agama
: Islam
6. Pekerjaan
: Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Syarif
: Hidayatullah Jakarta
7. Pangkat/Golongan
: Penata Tk.I (III/d)
8. Jabatan Fungsional
: Lektor
9. Alamat
: Jln.Jalak II No.126 E Rt.003/05 Kampung
: Sawah,Ciputat, Tangerang,Banten
10.Ayah Kandung
: Mungtamad (almarhum)
11.Ibu Kandung
: Fatimah (almarhumah)
12.Istri
: Yesmini
13.Anak
: Raudhotul Azhar
B. Riwayat Pendidikan:
Formal
1. SDN Sudimampir tahun 1970
2. M.TsN.Sliyeg tahun 1973
3. PGA 4 th. Mathlaul Anwar Jakarta tahun 1975
4. PGA 6 th. Mathlaul Anwar Jakarta tahun 1977
5. SI IKIP Jakarta Jurusan Bhs.Arab tahun 1982
6. SI Universitas Al-Azhar Cairo Jurusan Bhs.Arab tahun 1986
7. S2 IIQ Jakarta Konsentrasi Ulumul Qur’an dan Hadits tahun 2002
8. S3 UIN Syahid Jakarta, Konsentrasi Tafsir Hadis tahun 2006
Non Formal
1. Mengikuti penataran Khatib selama 72 jam tahun 1975
2. Mengikuti Penataran Pembina Mahir Bagian Dasar selama 96 jam Pada
tahun 1975
3. Mengikuti Penataran guru-guru Madrasah Tsanawiyah dalam Bidang studi
IPA selama 72 jam tahun 1978
4. Mengikuti Penataran guru-guru Madrasah Tsanawiyah dalam Bidang studi
Matematika selama 100 jam tahun 1979
5. Mengikuti penataran guru-guru Tsanawiyah dalam bidang studi Bahasa
Indonesia selama 90 jam tahun 1979
6. Mengikuti penataran Pembina Generasi Muda Islam di Kanwil Depag
DKI Jakarta selama 60 jam 1980
7. Mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa IKIP Jakarta Selama
60 jam tahun 1980.
8. Mengikuti Pelatihan Keterampilan Generasi Muda Islam di Kanwil Depag
DKI selama 60 jam tahun 1981.
9. Mengikuti Pelatihan Kependudukan untuk guru-guru Aliyah Selama 84
jam tahun 1982.
10. Mengikuti Pelatihan Dasar-Dasar Penelitian Bagi Dosen selama 164 jam
1990
11. Mengikuti acara Konsultasi Nasional Rektor PTAIS se Indonesia selama
30 jam 1999
12. Mengikuti Pelatihan Dosen-Dosen Pendidikan Pencegahan HIV/AIDS
selama 30 jam tahun 1997
13. Mengikuti Pelatihan Penelitian Tenaga Edukatif Tingkat Nasional
Perguruan Tinggi Agama Islam selama 100 jam tahun 1994
C. Pengalaman Mengajar :
1. Guru M.Ts.Mathlaul Anwar Jakarta (1977-1982)
2. Guru Aliyah Mathlaul Anwar Jakarta (1980-1982)
3. Guru SMEA al-Irsyad Jakarta (1980-1982)
4. Dosen IIQ Jakarta (1988 sampai sekarang)
5. Dosen STMT Trisakti Jakarta (1990 sampai sekarang)
6. Dosen UIN Syahid Jakarta (1996 sampai sekarang)
D. Pengalaman Kerja
:
1. Kepala Sekolah M.Ts.Mathalaul Anwar Citayam (1979-1982)
2. Sekpri Rektor IIQ Jakarta (1987-1990)
3. Sekretaris LPPI IIQ Jakarta (1987-1991)
4. Kepala Pengajaran IIQ Jakarta tahun (1988-1990)
5. Dekan Fakultas Tarbiyah IIQ Jakarta (1992-2003)
6. Pjs. Purek II IIQ Jakarta tahun 2000
7. Ketua Program Akta IV IIQ Jakarta (2000-2004)
8. Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan (2004-2005)
9. Ketua LPPI IIQ Jakarta tahun 2006-2010
E. Pengalaman Organisasi :
1. Sekretaris KMAPBS Supersemar IKIP Jakarta (1979-1982)
2. Wakil Bendahara BKS PTAIS DKI Jakarta (1989-1992)
3. Sekjen BKS PTAIS DKI Jakarta (1993-2006)
4. Wakil Sekretaris ICMI Orsat Ciputat (1995-2000)
5. Sekjen ICMI Orsad Ciputat (2000-2005)
6. Ketua II Mathlaul Anwar DKI Jakarta (1998-2003)
7.Ketua KAMACA di Cairo (1984-1986)
8.Pengurus bidang pendidikan alumni Timur Tengah (1988-1993)
9.Sekretaris Ta’mir Masjid al-Husaini tahun (1989-1993)
10.Bendahara Masjid Raudhatul Qur’an (2000-2005)
F. Karya Ilmiyah :
1. Hasil Penelitian
1). Prestasi Bahasa Arab Mahasiswa Fak.Syari’ah dan Ushuluddin di IIQ dan
Kopertais Wil.I DKI Jakarta (30 September 1990) penelitian individual
2). Persepsi SLTA DKI Jakarta terhadap PTAIS Jakarta (1991) penelitian
kolektif
3). Pengaruh kegiatan Da’wah Majlis Ta’lim Terhadap Sikap bersih dan
Penghijauan Pada Jama’ah di DKI Jakarta (April 1995) penelitian kolektif
4). Hubungan Prestasi Tahfidh al-Qur’an Terhadap Prestasi Mata Kuliah
Mahasiswi IIQ Jakarta tahun 2000 penelitian kolektif
2. Tulisan yang Diterbitkan Dalam Jurnal/Majalah
a. Peranan Wanita Muslimah Dalam Pembangunan Nasional, Media alFurqan,No.I , Th.I-IIQ/1993
b. Meminang Wanita dan Problematikanya Dalam Islam, Majalah Suara
Masjid No.240 September 1994
c. Pelaksanaan Aqiqah dan Qurban Menurut ajaran Islam.Media al-Furqon,
No.6 Th IV/1995
d. Kemiskinan dan Penanggulangannya Menurut Ajaran Islam, Majalah
AKRAB No.153-XII 1996
e. Pendidikan Menurut Pandangan Islam, Media al-Furqon N0.8 tahun VI
1998
f. Isim Fa’il dan Permasalahannya, Jurnal Didaktika Islamika Vol.I No.2
Nopember 1999
g. Ibdal dan ‘Ilal al-Dhoruri dan Ghairu al-Dhoruri Dalam Pandangan Shorof,
Jurnal Didaktika Islamika Vol.III,No.8 Mei 2002
h. Shalat Lima Waktu Tidak Dapat Ditinggalkan Dalam Kondisi Apapun,
Majalah Dewasn Masjid Indonesia , No.5 September 2002
i. Dampak Taubat Nasuha Terhadap Ketenangan Jiwa, Majalah Dewan
Masjid Indonesia No.4 Agustus 2002
y. Rahasia Puasa Terhadap Kesehatan, Majalah Dewan Masjid Indonesia,
NO.06 Desember 2002
k.. Al-Zhulm menurut al-Qur’an, Majalah Dewan Masjid Indonesia No.11
Aguetus 2003
l. Al-Qira’ah al-Syadzdzah dan pengaruhnya Dalam Hukum Islam, Jurnal
Nida al-Qur’an, Vol.11, No.1 Juni 2004
m. Penggunaan Nisbah dan Cara Pembuatannya Dalam Ilmu Sharaf, Jurnal
Didaktika Islamika Vo.V, No2. Desember 2004
n. Kepemimpinan Lelaki Dan Perempuan Dalam Keluarga dan Masyarakat
Menurut Islam, Majalah Transpor Trisakti, Vol.23, Nomor 4 Tahun 2005
o. Sabar Menurut Al-Qur’an Dan Hadis, Majalah Transpor Trisakti. Vol.23
Nomor 2 April 2005
p.. Poligami Menurut Pandangan Islam, Jurnal Nida al-Qur’an Vol. tahun
2005
q. Menterjemah buku Bahasa Arab yang diterbitkan oleh Dina Utama
Semarang (Toha Putra Group) dengan judul Tanggung Jawab Dalam
Islam tahun 1995
r. Saksi Perempuan Dalam Persepektif Para Mufassir, Jurnal Agama &
Budaya Vol.23.No.2,2006
3. Pemakalah/Nara Sumber antara lain :
a.
Kelenturan Hukum Islam Dalam Menghadapai Tantangan Zaman
disampaikan
pada Keluarga dan Alumni Mathlaul Anwar Jakarta Raya
Tahun 1988
b. Sistem Pendidikan SKS dan Konsekwensinya di IIQ Jakarta disampaikan
pada Mahasiswa IIQ Jakarta tahun 1990
c. Agama Islam Agama Persatuan dan Persaudaraan disampaikan pada diskusi
Dosen IIQ Jakarta 5 Januari 1997
d. Dampak Taubat Nasuha Terhadap Ketenangan Jiwa disampaikan pada
Diskusi Dosen IIQ Jakarta 23 Agustus 1997
e. Meminang Wanita Dan Problematikanya Dalam Islam disampaikan pada
Diskusi Dosen IIQ Jakarta 27 Desember 1997
f. Pengajaran Praktis Menentukan Kedudukan Kalimat dan Tandanya di
Asrama Putri IIQ Jakarta disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta, 7
Juni 1997
g. Ibdal dan I’lal al-Dharuri dan Ghairu al-Dharuri dalam Pandangan Ilmu
Sharaf, disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta , 27 Juni 2002
h. Cara Mentakhrij Hadis , disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta, 5
Desember 1998
i. Al-Zhulm menurut pandangan al-Qur’an disampaikan pada Diskusi Dosen
IIQ Jakarta 20 Juni 1996
y. Nisbah dan Permasalahannya Dalam Ilmu Sharaf disampaikan pada Diskusi
Dosen IIQ Jakarta 23 Januari 1997
k. Peranan Wanita Muslimah Dalam Pembangunan Nasional disampaikan pada
Diskusi Dosen IIQ Jakarta 27 Juli 1996
l. Shalat Lima Waktu Tidak Dapat ditinggalkan Dalam Kondisi Apapun ,
disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta 22 Maret 1995
m. Studi Kritis Tafsir al-Kasysyaf, disampaikan pada Diskusi Dosen IIQ Jakarta
31 Desember 2002
n. Hukum Fiqih Dapat Menjawab Tantangan Zaman disampaikan pada Diskusi
Guru-Guru MAN 7 Jakarta tahun 1996
o. Halal Bi Halal Perspektif Ajaran Islam, disampaikan pada Diskusi Alumni
Mesir Jakarta tahun 1989
G. Pengabdian Pada Masyarakat
1. Memberi kuliah extra kurikuler di Asrama Putri IIQ Jakarta (1987-2005)
2. Memberikan Khuthbah Jum’at, Idul Adha dan Idul Fitri di masyarakat
Jakarta dan sekitarnya (1980 sampai sekarang)
3. Ceramah Umum selama satu minggu di PT.Pupuk Kaltim tahun 1987
4. Ceramah umum bulan Ramadhan selama 26 hari di KBRI Abudabi tahun
1995
5. Ceramah Ramadhan Rutin di KBRI Cairo Mesir (1983-1986)
6. Ceramah di Pengajian Ibu-Ibu Panglima Polim (1988-1989)
Ciputat,
Penulis
2006
Download