BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Dalam menyusun sebuah karya ilmiah sangat diperlukan kajian pustaka. Kajian pustaka adalah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian, paparan atau konsep-konsep tersebut bersumber dari pendapat para ahli-ahli, emperisme (pengalaman penelitian), dokumentasi, dan nalar penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi ini, buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku tentang semiotik, salah satunya pendapat Pierce. Selain itu digunakan sumber bacaan lainnya. Adapun buku-buku sumber bacaan lain yang digunakan dalam memahami dan mendukungpenulisan proposal skripsiadalah : 1. Benny H. Hoed (2011) yang berjudul Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, dalam buku ini menjelaskan tentang pengertian Semiotika dan cakupancakupan ilmu semiotika menurut pendapat beberapa ahli/tokoh, salah satunya Ferdinand de Seasure, Roland Barthes, Julia Kristeva, Jacques Derida, Charles Sanders Pierce, Marcel Danesi & Paul Perron. Universitas Sumatera Utara 2. Jurgen Trabaut (1996) yang berjudul Elemente Der Semiotik, dalam buku ini memaparkan pengertian ilmu Semiotika dan juga menjelaskan beberapa teori tentang suatu tanda dalam ilmu Semiotik. 3. Tarigan Girson, skripsi (2012) upacara adat cawir metua pada masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat : Kajian Semiotik. Skripsi ini membahas tentang Upacara adat cawir metua, makna dang fungsi yang terkandung dalam upacara adat tersebut. 2.1.1 Pengertian Semiotika Semiotika yang diperbincangkan sejak era filsafat Yunani, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, semeion yang artinya tanda. Secara terminologis, menurut Eco, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pakar lainnya juga memberikan definisi untuk istilah semiotika atau semiologi. Dalam definisi Saussure, semiologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat. Dengan demikian, tanda dalam kajian semiotika dapat diartikan secara luas, baik itu yang dapat ditangkap oleh panca indera, maupun tanda yang sifatnya meta dan mempengaruhi dalam kehidupan sosial. Semiotika baru berkembang sejak awal abad ke-20, meskipun pada awal abad ke-18 dan ke-19 sudah banyak ahli teks (khususnya Jerman) yang berusaha mengurai berbagai masalah yang berkaitan dengan tanda. Untuk dapat memahami semiotika, maka perlu diketahui konsep semiotic menurut beberapa tokoh Universitas Sumatera Utara semiotika terkemuka, yaitu para semiotisan seperti Ferdinand de Saussure (18571913) di Swiss dan Charles Sanders Peirce (1834-1914) di Amerika Serikat. Secara etimologi semiotik berasal dari bahasa yunani yaitu semion yang berarti tanda. Jadi, jika dilihat dari kata asalnya maka semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Ilmu ini menganggap bahwa masyarakat dan kebudayaan adalah tanda yang mempunyai arti. Pokok perhatian semioik adalah tanda. Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu harus dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili, dan menyajikan. De Saussure dalam buku Benny H. Hoed (2011:3) menjelaskan menggunakan istilah signifiant (signifier, ing,; penanda ,ind.) untuk segi bentuk tanda, dan signifie (signified, ing,; petanda, ind.) untuk segi maknanya. Semiotik memiliki dua aspek, yaitu penanda (signfier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu sendiri yaitu artinya. 2.1.2 Pengertian Upacara Adat Sulang-sulang Pahompu Secara umum pengertian upacara Sulang-sulang Pahompu adalah pengukuhan upacara adat Pernikahan pada etnik Batak Toba. Yang membedakan upacara Sulang-sulang pahompu dengan Upacara adat pernikahan ialah upacara Sulang-sulang Pahompu dilaksanakan setelah memiliki keturunan dan sebelumnya sudah menikah secara agama atau pemberkatan yang dilaksanakan di Universitas Sumatera Utara gereja akan tetapi upacara Mangadati/Adat Nagok belum dilaksanakan. Sedangkan upacara adat pernikahan adalah upacara adat yang dilaksanakan secara keseluruhan, mulai dari tahap awal hingga akhir. Dalam upacara pernikahan itu ada beberapa tahap yang harus dilaksanakan. Adapun tahap-tahap upacara parnikahan seperti, Marhusip, Marhata sinamot/ Marsukkun utang, Martoggo raja, Martumpol, Mangadati/acara puncak, Maningkir tangga. Upacara Pasahat Sulang Pahompu (Pesta Pernikahan Adat yang tertunda) sifatnya hampir sama dengan acara adat “Marunjuk” yaitu mengukuhkan pernikahan secara adat Batak atas mempelai seperti pesta Marunjuk. Bedanya, pesta marunjuj harus melewati beberapa tahapan adat yang cukup panjang, sedangkan yang mangadati hanya menjalani beberapa tahapan adat berskala kecil.(https://id-id.facebook Pasahat sualang-sulang pahompu Batak Shop.com) Yang dimaksut berskala kecil contohnya adalah ”acara doa syukur menyambut pengantin” yang biasanya dilanjutkan dengan acara manuruk-nuruk atau “permintaan maaf” kepada keluarga istri karena putrinya sudah dibawa kawin lari tanpa prosedur adat. Orang dahulu menyebutnya “patuduhon natinangko” atau memperlihatkan hasil curian dengan membawa kurban adat oleh rombongan keluargan pengantin.(https://id-id.facebook Pasahat Sualang-sulang Pahompu Batak Shop.com) 2.2 Teori yang Digunakan Secara etimologi, teori berasal dari bahasa yunani theoria yang berarti kebetulan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah Universitas Sumatera Utara teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian. Subagyo (1991:20), mendefinisikan bahwa teori adalah sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematika dalam gejala sosial maupun nature yang ingin diteliti. Teori merupakan abstraks dari pengertian tau hubungan dari proposisi atau dalil. Ada pendapat lain, FN Kerlinger dalam bukunya Foundations of Behavioral Research (1993) teori adalah sebuah set konsep atau contruct yang hubungan satu dengan yang lainnya, suatu set dari proposisi yang mengandung suatu pandangan sistematis dari fenomena. Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberi jawaban terhadap masalah yang digarap, dengan landasan teori ini maka segala masalah yang timbul dalam skripsiini akan terjawab. Penulis menggunakan teori semiotik dalam penulisan skripsi ini. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. Morris (1946:3), mendefinisikan semiotik adalah ilmu mengenai tanda, baik itu bersifat manusiawi maupun hewani, berhubungan dengan suatu bahasa tertentu atau tidak mengandung unsur kebenaran atau kekeliruan, bersifat sesuai atau tidak sesuai, bersifat wajar atau mengandung unsur yang dibuat-buat. Saussure (1916:2), mengatakan kita dapat menerima suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam kehidupan sosial. Kehidupan sosial tersebut Universitas Sumatera Utara merupakan bagian dari psikologi sosial dan sebagai akibat dari psikologi umum, yang kemudian kita sebut sebagai semiologi. Semiologi mengajarkan kita suatu tanda terdiri dari apa saja dan kaidah-kaidah apa yang mengaturnya. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Menurut Peirce (1958:1), tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain-lain. Hal yang dapat menjadi tanda bukan hanya bahasa, melainkan berbagai hal yang dapat melingkupi kehidupan di sekitar kita. Tanda dapat berupa bentuk tulisan, karya seni, sastra, lukisan, dan patung. Sudjiman (1983:3), mengatakan semiotika mulanya dari konsep tanda, istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani semion yang berarti tanda-tanda terdapat dimana-mana, kata adalah tanda, demikian juga gerak, isyarat, bendera, dan sebagainya. Menurut Danesi dan Perron (1996: 68-70) dalam buku Benny H. Hoed yang berjudul Semiotik & Dinamika Sosial Budaya mengatakan bahwa penelitian semiotik mencakup tiga ranah yang berkaitan dengan apa yang diserap manusia dari lingkungannya (the world), yakni yang bersangkutan dengan “tubuh”-nya, “pikiran”-nya, dan “kebudayaan”-nya. Semisis pada dasarnya menyangkut segi “tubuh” (fisik), setidak tidaknya pada tahap awal. Kemudianmelalui representasi berkembang kegiatan di dalam “pikiran” dan selanjutnya, bila dilakukan dalam Universitas Sumatera Utara rangka kehidupan sosial, menjadi sesuatu yang hidup dalam “kebudayaan” sebagai signifying order. Dari sini, kita akan memahami bahwa ada hubungan yang erat antara “semiosis”, “representasi”, dan “signifying order”, yakni antara kemampuan sejak lahir manusia untuk memproduksi dan memahami tanda (semiosis), kegiatan dalam kognisi manusia untuk mengaitkan representamen dengan pengetahuan dan pengalamannya(representasi), serta sistem tanda yang hidup dan diketahui bersama kebudayaan masyarakatnya (signifying order). Ketiga ranah tersebut sejajar dengan teori Peirce tentang proses representasi dan representamen. Representasi tanda menyangkut hubungan antara representamen dan objeknya. Dalam teori semiotik Peirce, representasi tanda tidak sama kadarnya. Pada tahap awal, tanda baru hanya dilihat sifatnya saja-yakni bahwa itu adalah tanda-dan disebut “qualisign”. Pandangan Danesi dan Perron ini bersangkutan dengan “tubuh” atau “sesiosis dasar”. Kemudian pada tahap yang lebih lanjut, representasi tanda sudah berlaku untuk tempat dan waktu tertentu, misalnya, menunjukkan sesuatu dengan jari: disini, disana) yang disebut “sin(gular) sign”. Dalam pandangan Danesi dan Perron ini sudah berkaitan dengan “pikiran” manusia. Akhirnya sejumlah tanda berfungsi berdasarkan konvensi dalam suatu masyarakat yang disebut dengan “legisign”. Yang terakhir ini disebut oleh Danesi dan Perron sebagai “the signifiying order”. Proses pemaknaan standa sudah berlaku secara sosial. Dalam melihat kebudayaan sebagai signifiying order, kita dapat membedakan empat faktor yang berkaitan satu sama lain dan perlu diperhatikan, yaitu : Universitas Sumatera Utara 1. Jenis tanda (ikon, indeks, dan lambang); 2. Jenis sistem tanda (bahasa, musik, gerakan tubuh, dan lukisan); 3. Jenis teks (percakapan, grafik, lagu/lirik, komik, dan lukisan), dan 4. Jenis konteks/situasi yang mempengaruhi makna tanda (psikologis, sosial, historis, dan kultural). Jenis- jenis Tanda Ditinjau dari relasinya, Charles Sanders Pierce dalam buku Benny H. Hoed (2011:24) membedakan tanda sebagai berikut : 1. Ikon (icon), adalah tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan, tanpatergantung pada adanya sebuah denotatum (penanda), tetapi dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimilikinya. Definisi ini mengimplikasikan bahwa segala sesuatu merupakan ikon, karena semua yang ada dalam kenyataan dapat dikaitkan dengan suatu yang lain. Sehinga dapat dipahami ikon juga merupakan tanda yang menyerupai objek (benda) yang diwakilinya atau tanda yang menggunakan kesamaan ciri-ciri yang sama dengan yang dimaksudkan. 2. Indeks (index), adalah sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari adanya sebuah denotatum (penanda). Dengan kata lain tanda yang sifatnya tergantung pada keberadaan suatu penanda. Tanda ini memiliki kaitan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya. Universitas Sumatera Utara 3. Simbol/ Lambang (symbol), adalah tanda dimana hubungan antara tanda dengan denotatum (penanda) ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum atau kesepakatan bersama (konvensi). Tanda bahasa dan matematika merupakan contoh simbol. Simbol juga dapat menggambarkan suatu ide abstrak dimana tidak ada kemiripan antara bentuk tanda dan arti.(http//googleweblight.2014.catatadkv.blogshop.com) Kajian ini dilihat berdasarkan penandaan dan pemaknaan di mana penandaan (konsep Charles Sanders Pierce) dikaji lewat jenis ikon, indeks, dan simbol. Sedangkan berdasarkan konsep Roland Barthes, pemaknaan tanda yang dikaji dengan menggunakan : 1.Makna Denotatif Kata denotatif berasal dari kata denotasi (denostation) yang berarti tanda, petunjuk atau menunjukkan ataupun arti/makna yang langsung dari suatu tanda, yang telah disepakati bersama atau sudah menjadi pengertian yang sama. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, tanda yang dimaksud adalah tanda-tanda visual, baik yang non-verbal (garis, bidang, warna, tekstur, dan lain-lain), maupun bersifat verbal atau sudah berwujud (menggambarkan manusia, binatang, dan bentuk representatif lainnya). 2. Makna Konotatif Kata konotatif berasal dari kata konotasi (connotation) yang berarti pengertian tambahan atau arti kedua yang tersirat diluar arti denotatif tadi. Serta konotasi adalah merupakan istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan Universitas Sumatera Utara signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca (subjek) serta nilai-nilai dari kebudayaannya.(http//googleweblight.2014.arifbudi.lecture.ub.ac.id) Berdasarkan skripsi ini, maka teori yang digunakan untuk mengkajiUpacara Sulang-sulang pahompu pada masyarakat Batak Toba adalah teori semiotika.Saussure (1974:1) mengatakan bahwa tanda memiliki tiga aspek yaitu : 1. Aspek itu sendiri 2. Aspek material dan tanda. Aspek material ini dapat berupa bunyi, tautan huruf menjadi kata, gambar warna dan atribut-atribut lainnya ini disebut dengan signifier 3. Konsep ini sangat berperan dalam mengkontruksikan makna suatu denotataum atau objek yang disebut dengan signified. Tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Yang dapat menjadi tanda bukan hanya bahasa, melainkan berbagai hal yang dapat melingkupi kehidupan sehari-hari kita. Tanda dapat berupa bentuk tulisan, karya seni, sastra, lukisan dan patung. Berdasarkan objeknya Pierce merumuskan suatu tanda selalu merujuk pada suatu acuan. Setiap tanda selalu memiliki fungsi dan memiliki makna yang sesuai dengan tanda itu sediri. Universitas Sumatera Utara Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta menyebutkan simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang menyatakan sesuatau hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna putih melambangkan kesucian, warna merah melambangkan keberanian, dan padi melambangkan kemakmuran. Dengan demikian, dalam konsep Pierce simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) yang sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya dapat menafsirkan ciri dan hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Pierce juga membagi klasifikasi simbol menjadi tiga jenis yaitu: 1. Rhematic symbol atau Symbolik rheme 2. Dicent symbol atau proposition (proposisi) 3. Argumen 1. Rhematic symbol atau Symbolic rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi nilai umum. Misalnya, di jalan kita melihat lampu merah lantas kita katakan berhenti. Mengapa kita katakan demikian, ini terjadi karena adanya asosiasi dengan benda yang kita lihat. Universitas Sumatera Utara 2. Dicent symbol atau proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang mengatakan “Pergi!” penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak dan serta merta kita pergi. Padahal dari ungkapan tersebut yang kita kenal hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafsirkan proposisi itu dan seseorang segera dapat menitipkan pilihan atau sikap. 3. Argumen yakni tanda yang merupakan kesamaan seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu.(http//googleweblight.2014klasifikasi symbol blog shop.com) Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Peirce. Di mana setiap tanda memiliki makna yang bersifat arbitrer atau mana suka.Sesuai dengan teori di atas masyarakat Batak Toba juga memberi makna pada setiap tanda bersifat arbitrer. Artinya mereka menentukan makna dari sebuah tanda sesuai dengan situasi dan apa yang ingin mereka utarakan yang sesuai dengan adat istiadatnya. Masyarakat Batak Toba menyesuaikannya dengan bentuk dan kebiasaan mereka sehari-hari. Universitas Sumatera Utara