PENDAHULUAN Latar belakang Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk terbesar keempat didunia yang jumlahnya diperkirakan mencapai 220 juta jiwa. Jumlah penduduk yang besar tersebut merupakan potensi yang luar biasa bagi pangsa pasar produk asal hewani karena kebutuhan pangan asal hewani (daging, susu, telur) merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Protein hewani asal ternak sebagai sumber protein diperlukan untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah pecah. Meskipun disadari pangan hewani kebutuhan primer, hingga kini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia sangat rendah. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya konsumsi telur di Indonesia yaitu 2,7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan Filipina 6,2 kg. Bila satu kg rata-rata 17 butir, maka konsumsi telur penduduk Indonesia 46 butir/kapita/tahun atau 1/8 butir telur per hari. Padahal penduduk Malaysia setiap tahunnya memakan 245 butir telur atau 2/3 butir telur per hari (Rusfidra dimuat Harian Sinar Pembaharuan tanggal 8 September 2005). Konsumsi daging, telur dan susu yang rendah menyebabkan target konsumsi protein hewani 6 gram/kapita/hari belum tercapai. Padahal untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, rata-rata konsumsi protein hewani yang ideal 26 gram/kapita/hari. Analisis oleh Prof. I.K Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak Universitas Nasional Seoul, Korea Selatan, yang dimuat dalam Asian Australian Journal of Animal Science (1999) menyatakan adanya kaitan positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan perkapita. Semakin tinggi konsumsi protein hewani penduduk semakin tinggi umur harapan hidup dan pendapatan domestik bruto (PDB) negara tersebut. Korea, Brazil, Cina, Fhilipina dan Afrika Selatan memiliki konsumsi protein hewani 20-40 gram/kapita/hari, UHH penduduknya berkisar 6575 tahun. AS, Prancis, Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi protein hewani masyarakatnya 50-80 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85 tahun. Negaranegara yang konsumsi protein hewani di bawah 10 gram/kapita/hari seperti Banglades, India dan Indonesia, UHH penduduknya hanya berkisar 55-65 tahun (Rusfidra dimuat Harian Sinar Pembaharuan tanggal 8 September 2005). 1 Protein hewani banyak mengandung gizi mikro seperti zat besi, iodium, vitamin B6, asam folat dan vitamin B12, sangat berperan dalam pembentukan aspek motorik dan kognitif pada anak usia 4-8 tahun, dan berpengaruh pada tingkat kecerdasan (Hardiansyah 2006). Semakin rendah konsumsi protein hewani akan semakin rendah pula tingkat kecerdasan dan kualitas hidup penduduk Indonesia. Malaysia yang pada tahun 1970-an mendatangkan guruguru dari Indonesia, sekarang jauh meninggalkan Indonesia dalam kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagaimana ditunjukkan oleh peringkat Human Development Indeks (HDI) tahun 2007-2008 yang dikeluarkan United Nation Development Program (UNDP), Indonesia berada pada peringkat ke-107, dua tingkat dibawah Vietnam (105), namun jauh di bawah negara ASEAN lainnya yaitu Singapura (peringkat 25), Malaysia (63), Thailand (78) dan Filipina (90). Tingkat konsumsi protein hewani asal unggas pun semakin menurun akibat adanya Avian Influenza. Penyakit Avian Influenza (AI) atau lebih dikenal flu burung muncul pertama kali di Indonesia pada bulan Agustus tahun 2003 di beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dalam kurun waktu yang singkat, penyakit ini menyebar ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Lampung, Bali, Sumatera dan Kalimantan (Data Dirjen Peternakan RI 2004). Jenis unggas yang terserang meliputi ayam ras petelur, ayam pedaging, ayam bibit, ayam buras, ayam arab, itik, burung puyuh, burung merpati, burung perkutut, dan burung merak. Menurut laporan Departemen Pertanian sejak tahun 2003 – 2008, wilayah tertular Avian Influenza 31 propinsi dari 33 propinsi dan 294 kabupaten/kota dari 498 kabupaten/kota dengan angka kematian 13 juta ekor unggas. Daerah yang tinggi kematian pada unggas dan manusia adalah Jawa Barat, DKI dan Banten (Soedjana Rakornas Komnas FBPI 2008). Selain itu, adanya kematian manusia oleh serangan flu burung lebih memperburuk situasi di Indonesia. Data dari WHO sampai bulan September 2008 menyatakan bahwa tahun 2003-2008 kasus flu burung pada manusia di Indonesia mencapai 143 kasus positif (confirm)1 dengan 112 kasus meninggal. Dikhawatirkan dengan terus meningkatnya kasus kematian pada manusia akan terjadi pandemi flu burung di Indonesia seperti yang terjadi pada tahun 1918, jutaan orang di belahan dunia meninggal akibat pandemi flu burung (US Department of Health & Human Services 2006). Kabupaten Tangerang 1 Confirm : kasus tersangka yang didukung dengan hasil isolasi/identifikasi virus (Deptan 2005) 2 ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu wilayah endemis2 Avian Influenza. Data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang menyebutkan bahwa hingga bulan April tahun 2009 terdapat 19 (sembilan belas) kecamatan dari 36 (tiga puluh enam) kecamatan yang positif AI pada unggas. Selain itu, dari tahun 2005 hingga Maret 2009 terdapat 20 kasus konfirm AI pada manusia dengan 18 orang meninggal dunia. Meningkatnya kasus Flu burung menimbulkan serangkaian dampak yang merugikan bagi negara Indonesia. Pertama adalah keselamatan jiwa manusia terancam dan resiko akan terjadinya pandemi3 yang mengakibatkan kematian jutaan orang. Simulasi Pandemi (skenario moderat) menunjukkan bahwa jika terjadi pandemi diperkirakan akan terdapat 66 juta orang yang sakit dan 150.000 orang meninggal. Kedua, flu burung telah menimbulkan kerugian ekonomi. Sejak tahun 2004, flu burung telah menimbulkan kerugian dalam bentuk ayam yang musnah atau dimusnahkan, berkurangnya permintaan ayam, berkurangnya konsumsi ayam di restoran, tambahan biaya yang harus dikeluarkan peternak dan pemerintah dalam penanganan flu burung, serta dampak terhadap sektorsektor lain (terutama pariwisata). Nilai kerugian sejak tahun 2004 hingga 2007 (4 tahun) diperkirakan telah mencapai Rp. 4,1 trilyun. Nilai tersebut belum termasuk hilangnya kesempatan kerja dan kerugian akibat berkurangnya konsumsi protein masyarakat (Komnas FBPI 2008). Beberapa permasalahan dan hambatan yang dihadapi Indonesia terkait dengan komunikasi dalam upaya pengendalian dan penanganan flu burung adalah 1). kurangnya koordinasi antar sektor dalam perencanaan dan pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan dalam menghadapi pandemi influenza; 2). kurangnya pemahaman dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat terhadap flu burung dan resikonya; 3). adanya distorsi informasi yang diterima oleh masyarakat (RENSTRA AI 2005). Hasil riset Small scale pre-AI campaign measurement TNS-UNICEF tahun 2006, mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat menganggap flu burung bukan merupakan penyakit yang berbahaya. Selain itu, keberagaman materi komunikasi, tidak adanya prioritas pesan serta informasi yang diterima terkait flu Burung mengakibatkan masyarakat menjadi bingung (disampaikan pada Rakernas KOMNAS FBPI 2007). Pada tahun 2008, TNS UNICEF kembali mengadakan penelitian pada 1726 orang yang terdiri dari 2 3 Endemis : daerah yang ada kasus AI yang didiagnosa secara klinis, patologi anatomis, epidemiologis, dan dikonfirmasi secara laboratories (Deptan 2005) Pandemi : wabah influenza yang sangat besar, disebabkan oleh mutasi virus AI dan menular dari manusia ke manusia (Depkominfo 2006). 3 masyarakat, anak sekolah, wartawan, pemuka masyarakat, pekerja kesehatan pemimpin lokal dan kader kesehatan hasilnya hanya 33 % dari total sampel memahami akan pandemi AI. Mereka hanya memahami bahwa AI dapat menyebabkan kematian serta kepanikan massa, namun tidak memahami bahwa jika terjadi pandemi AI akan menyebar dengan sangat cepat. Mereka juga tidak memahami secara jelas arti pandemi influenza dan apa yang harus dilakukan ketika hal itu terjadi (CIDA 2008). Menanggapi banyaknya hambatan tersebut, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2007 mengenai strategi pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza kepada Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Kesehatan, Panglima TNI, para Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia untuk bersama-sama melakukan penanganan dan pengendalian flu burung sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya masing-masing. Strategi pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza bertujuan untuk memfasilitasi suatu respons nasional yang terkoordinasi, efektif disemua jenjang administrasi dalam menghadapi pandemi influenza, melalui kegiatan pencegahan dan pengendalian untuk mengurangi kesakitan, kematian dan dampak sosial ekonomi. Dalam pelaksanaannya rencana strategis ini dikoordinir oleh Kementerian Kordinator kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) dibawah komando Presiden Republik Indonesia. Komnas FBPI mengemban tugas melaksanakan koordinasi dalam upaya penanganan dan pengendalian Flu Burung. Banyak program yang disusun oleh KOMNAS FBPI, salah satu programnya adalah KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) pada masyarakat (KOMNAS FBPI 2007). Walaupun banyak program yang dijalankan sampai kurun waktu tahun 2008, pengendalian dan penanganan Avian Influenza harus tetap ditingkatkan mengingat masih adanya korban, pemahaman tentang penyakit Avian Influenza yang belum tuntas serta sistem penanganan yang belum sempurna (Komnas FBPI 2008). Kaitannya dalam mengatasi hambatan – hambatan yang terjadi serta sebagai upaya untuk mempercepat pengendalian flu burung, diperlukan langkah-langkah komprehensif dan keterpaduan semua pihak yang terkait. Salah satunya adalah dengan melakukan komunikasi yang terbuka dan penuh empati 4 untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada saat masa-masa krisis (Reynold & Sandra 2008). Prinsip – prinsip komunikasi tersebut merupakan prinsip komunikasi resiko yang harus diintegrasikan dalam setiap perencanaan ataupun strategi pengendalian sebagai bagian dari upaya pencegahan dan respon terhadap kewaspadaan pandemi influenza (Elledge et al. 2008). Komunikasi resiko pada saat krisis ditujukan untuk mendidik, menginformasikan, dan himbauan untuk melakukan pencegahan terhadap adanya resiko. Komunikasi sangat penting pada saat krisis terjadi dan bertujuan untuk mendampingi masyarakat dan menyediakan informasi seputar kesehatan berupa rekomendasi yang dapat dilakukan melalui media komunikasi (PAHO 1995). Komunikasi resiko merupakan satu kesatuan bentuk keahlian khusus dan ketrampilan yang dapat membantu para komunikator kesehatan (Sandman & Jody Lanard 2005). Leiss (1994) mendefinisikan komunikasi resiko sebagai proses pertukaran informasi antara pihak-pihak yang terlibat mengenai kesehatan maupun lingkungan. Definisi lain adalah proses pertukaran informasi dan opini tentang resiko dan faktor penyebabnya antara penaksir resiko, manager resiko dan pihak yang berkepentingan (FAO 1995). Dalam konteks ini komunikasi resiko dilakukan oleh pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dunia usaha, organisasi profesi, organisasi non pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga internasional serta pihak-pihak terkait seperti Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya. Komunikasi resiko bertujuan untuk memberikan informasi tentang sebuah resiko yang bermakna, relevan dan akurat dalam istilah yang jelas dan mudah dipahami kepada khalayak tertentu (FAO 1995). Berbagai hasil studi menunjukkan pentingnya komunikasi resiko dilakukan terutama dalam upaya penanganan krisis atau masalah mengenai kesehatan (Edward & Elwyn 1999; Edward 2000; Reynold & Quinn, 2008; Thomas et al. 2008; Elledge et al. 2008; Quinn 2008; Freimuth 2008). Berdasarkan teori motivasi diri, dengan melakukan komunikasi resiko masyarakat akan lebih berdaya dan berhasil melewati sebuah resiko (Barr 1994). Komunikasi resiko menarik dikaji lebih dalam performanya karena komunikasi resiko sebagai salah satu alat dalam upaya penanganan dan pengendalian Avian Influenza. 5 Perumusan masalah Banyaknya permasalahan serta hambatan yang dihadapi dalam upaya penanganan dan pengendalian flu burung di Indonesia hendaknya perlu mendapatkan perhatian khusus. Upaya penanganan dan pengendalian flu burung harus merupakan upaya terpadu dari semua pihak yang bersangkutan seperti pemerintah, dunia usaha, media (pers), dan masyarakat sendiri. Komunikasi memahami, antara pihak-pihak menginformasikan, terkait diperlukan melakukan dengan tujuan untuk pencegahan serta upaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya penyakit (PAHO 1995). Kasus flu burung dilaporkan sudah terjadi di 31 (tiga puluh satu) propinsi dari total 33 (tiga puluh tiga) propinsi di Indonesia. Namun tetap saja masyarakat tidak merasa flu burung dapat berjangkit di daerah mereka. Walaupun pengetahuan masyarakat tentang flu burung tinggi, tetapi masyarakat merasa bahwa flu burung bukan ancaman yang serius. Selain itu, dipihak lain yaitu keberagaman materi komunikasi terkait flu burung juga menimbulkan kebingungan diantara khalayak karena tidak adanya prioritas pesan serta informasi yang diterima membingungkan. Hal ini berdasarkan hasil riset Small scale pre-AI campaign measurement TNS-UNICEF tahun 2006 disampaikan pada Rakernas KOMNAS FBPI tahun 2007. Reynold 2007 yang diacu dalam (Quinn 2008) mengemukakan bahwa pada kelompok – kelompok masyarakat tertentu terkadang tidak dapat menangkap pesan yang disampaikan melalui saluran komunikasi massa secara efektif. Hal ini disebabkan perbedaan tingkat pengetahuan, bahasa, kekhawatiran mengenai bahaya, akses terhadap media massa, faktor sosial maupun politik. Melihat banyaknya permasalahan dalam upaya penanganan dan pengendalian flu burung di Indonesia, maka perlu kajian mengenai performa komunikasi yang telah dilakukan. Komunikasi resiko mempunyai tujuan pokok untuk memberikan informasi terkait resiko yang bermakna, relevan dan akurat dalam istilah yang jelas dan mudah dipahami kepada khalayak tertentu. Komponen paling penting dalam komunikasi resiko adalah upaya membangun kepercayaan dan persepsi. Dengan membangun kepercayaan dan persepsi akan menentukan bagaimana individu-individu masyarakat bereaksi terhadap suatu resiko (Chartier & Gabler 2001). Sandmann (2004) mengungkapkan kunci utama dalam komunikasi resiko yang paling penting adalah keterbukaan, empati, sharing kekuasaan. 6 Ping Yan Lam (2008) mengemukakan untuk membangun kepercayaan serta mendapatkan dukungan dari masyarakat pada saat krisis harus menerapkan prinsip keterbukaan, ketepatan, keakuratan, konsisten dan merupakan informasi terkini. Komunikasi resiko yang efektif sangat penting untuk membangun dan menjamin kesiapan masyarakat dalam menghadapi pandemi. Reynolds & Barbara (2008) menambahkan bahwa dengan melakukan komunikasi yang terbuka dan penuh empati akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan pada akhirnya mendorong mereka melakukan tindakantindakan positif untuk menghindari bahaya. Pada kasus mengkomunikasikan resiko Flu Burung, tugas berat dari komunikasi resiko adalah bagaimana menyampaikan pengetahuan tentang Flu Burung serta resikonya kepada masyarakat umum. Karena masyarakat yang beresiko adalah masyarakat awam, maka informasi ini harus dikemas dengan baik agar mudah dimengerti. Sumber informasi ini tentu adalah ilmuan, peneliti, atau ahli yang berkompeten di bidangnya. Sering sekali, informasi yang diproduksi oleh ahli ini sangat rumut dan sulit dimengerti oleh awam. Fokus komunikasi kemudian adalah bagaimana menyamakan persepsi tentang resiko yang dipersepsi oleh masyarakat dengan resiko yang benar secara teknis. Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat dalam penelitian adalah untuk menjelaskan sejauh manakah faktor-faktor komunikasi resiko berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam upaya menghadapi ancaman bahaya AI? Selain itu, untuk menganalisis sejauh mana faktor-faktor lain selain faktor komunikasi resiko berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam upaya menghadapi ancaman bahaya AI?. 7 Tujuan penelitian Sejalan dengan permasalahan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisa faktor komunikasi resiko yang mempengaruhi perilaku masyarakat terkait dengan upaya penanganan dan pengendalian flu burung. 2. Menganalisa faktor-faktor lain selain komunikasi resiko flu burung yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat terkait dengan upaya penanganan dan pengendalian flu burung. Kegunaan penelitian Komunikasi merupakan elemen terpenting dalam upaya mendukung program penganganan dan pengendalian penyakit Avian Influenza. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai : 1. Rekomendasi bagi pemerintah dan pihak terkait dalam upaya penyusunan program komunikasi yang tepat dalam upaya diseminasi informasi terkait dengan penanganan dan pengendalian penyakit Avian influenza. 2. Masukan bagi pengambil kebijakan di level Pemerintah Pusat, Lokal dan Regional dalam melibatkan masyarakat terkait dengan penanganan dan pengendalian penyakit Avian influenza. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji performa komunikasi resiko pada aras masyarakat. Faktor-faktor yang dikaji dalam penelitian ini meliputi karakteristik individu, keberfungsian elemen komunikasi resiko, penerapan prinsip komunikasi resiko, aspek lingkungan dan perilaku masyarakat. 8