problematika nusyus keluarga muslim (studi kasus pada pengadilan

advertisement
PROBLEMATIKA NUSYUS KELUARGA MUSLIM
(STUDI KASUS PADA PENGADILAN AGAMA
POLEWALI MANDAR)
Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Doktor (Dr.) dalam Bidang Sayriah Hukum Islam
pada Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Oleh
M. Sadik
NIM. 80100307012
PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2014
DAFTAR ISI
JUDUL.......................………………………………………………………………
I
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI...........................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………………………
iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………
iv
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................……………………………………
viii
ABSTRAK… ………………………………………………………………………..
xi
BAB I PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah .………………………………………………
1
B Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus.................................................
9
C Rumusan Masalah ……………………………………………………… 11
D Kajian Pustaka .....................................................................................
12
E Tujuan dan Kegunaan Penelitian...........................................................
16
BAB II TINJAUAN TEORETIS
A Pengertian, dan Langkah Penanganan Nusyus……………………….....
B Landasan Hidup Rumah Tangga ……………………………………....
C Talak (Perceraian) dalam Hukum Islam …………………………….....
D Kerangka Konseptual ..…………………………………………………
18
84
116
138
BAB III METODE PENELITIAN
A Jenis Penelitian dan Lokasi Penelitian……….…………........................
B Pendekatan Penelitian .............................................………………….
C Sumber Data …………………………………………………………...
D Metode Pengumpulan Data .................................................................
E Instrumen Penelitian..............................................................................
F Teknik Pengolahan dan Analisis Data ………………………………….
G Pengujian Keabsahan Data................................................................
144
146
147
149
150
150
151
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A Gambaran Umum tentang Peradilan Agama di Indonesia dan
Pengadilan Agama Polewali .................................................................
B Hasil Penelitian .....................................................................................
1. Faktor Penyebab Nusyus ................................................................
2. Bentuk Nusyus................................................................................
3. Solusi Nusyus..................................................................................
C Pembahasan ..........................................................................................
1. Faktor Penyebab Nusyus.................................................................
2. Bentuk Nusyus................................................................................
3. Model Solusi Nusyus............................................................
153
189
189
200
204
206
206
248
261
vi
BAB V PENUTUP
A Kesimpulan ….………………………………….. ……………………. 271
B Implikasi .........…………………………………………………………. 273
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………... 275
LAMPIRAN-LAMPIRAN
- Surat Izin Meneliti dari Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar
- Surat Keterangan Penelitian
- Pedoman Wawancara
- Daftar Tabel nusyus di Pengadilan Agama Polewali Tahun 2009
- Laporan Jumlah Kasus dan Alasan-alasan Perceraian dalam Setiap Bulannya Pada
Tahun 2009 di Pengadilan Agama Kabupaten Polewali Mandar
- Curriculum Vitae.
vii
ABSTRAK
Nama : M. Sadik
NIM : 80100307012
Judul : Problematika Nusyus Keluarga Muslim
(Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Polewali Mandar)
Peneletian ini bertujuan untuk: 1) mengungkap faktor-faktor penyebab
nusyus yang terdapat di Kabupaten Polewali Mandar, 2) mendiskripsikan dan
menganalisis bentuk-bentuk-bentuk nusyus yang dapat dialami oleh keluarga muslim
di Kabupaten Polewali Mandar, dan 3) Model solusi yang ditempuh oleh keluarga
muslim yang mengalami kasus nusyus di Kabupaten Polewali Mandar.
Pendekatan yang ditempuh dalam penelitian ini adalah pendekatan
multidisipliner, yaitu pendekatan teologis-normatif, yuridis, psikologis, sosiologis,
dan fenomenologis. Jenis data berupa data dokumentasi dan data wawancara
dianalisis melalui model Alir Miles dan Huberman yang terdiri atas empat tahap,
yakni : 1) pengumpulan data, 2) reduksi data, 3) penyajian data, dan 4) penarikan
kesimpulan dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan faktor penyebab dan bentuk tindakan nusyus
dapat berasal dari suami, maupun dari istri. Faktor penyebab dari suami adalah : 1)
faktor akhlak, 2) faktor berpisahnya tempat tinggal pasangan suami-istri, 3) faktor
campur tangan pihak ketiga, dan 4) faktor kecemburuan dan kecurigaan. Faktor
penyebab dari istri adalah : 1) faktor akhlak, 2) faktor ekonomi (ketidakpuasan
terhadap nafkah dari suami), 3) faktor kecemburuan dan kecurigaan, dan 4) faktor
suggesti tanpa sadar dari istri. Bentuk-bentuk nusyus yang dilakukan oleh suami
adalah: 1) menyakiti istri secara fisik, 2) menyakiti istri secara verbal, 3) mengusir
istri dari rumah, dan 4) tidak memberikan nafkah lahir batin. Sedangkan bentukbentuk nusyus yang dilakukan oleh istri adalah: 1) meninggalkan rumah tanpa izin
dari suami, 2) selingkuh, 3) mengusir suami, dan 4) merusak barang atau properti
suami. Secara eksteren, model solusi yang dapat ditempuh oleh keluarga muslim
yang mengalami kasus nusyus di Kabupaten Polewali Mandar adalah: 1) sebelum
sampai di tingkat pengadilan, maka pasangan yang bermasalah hendaknya
mengangkat hakam atau penengah dari masing-masing keluarga atau yang dituakan
untuk menempuh jalur kekeluargaan sehingga perdamaian dapat dicapai, 2) bila yang
pertama gagal, maka Badan Penasehatan Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian
(BP4) yang ada di kecamatan sebagai lembaga keagamaan yang terdepan perlu
dilibatkan, 3) jika yang kedua pun gagal, maka dapat diselesaikan melalui lembaga
mediasi di pengadilan, dengan catatan adanya rekomendasi dari BP4 sebagai bahan
pertimbangan dan masukan bagi mediator dan hakim pengadilan agama.
xi
Hasil penelitian ini berimplikasi pada pemberian rekomendasi; 1) penguatan
lembaga perkawinan dengan ilmu agama melalui lembaga-lembaga keagamaan, 2)
revitalisasi lembaga-lembaga hakam untuk penyelesaian perceraian, dan 3)
memaksimalkan kerja arbiter dalam memediasi pasangan bermasalah.
Kata kunci: nusyus, faktor-faktor nusyus, bentuk-bentuk nusyus, dan solusi nusyus
xii
‫اﻟﺘﺠﺮﻳـﺪ‬
‫‪ :‬ﳏﻤـﺪ ﺻﺎدق‬
‫اﻹﺳﻢ‬
‫‪80100307012 :‬‬
‫اﻟﺮﻗﻢ‬
‫اﳌﻮﺿﻮع ‪ :‬ﻣﺸﻜﻼت اﻟﻨﺸﻮز ﰱ اﻷﺳﺮة اﳌﺴﻠﻤﺔ‬
‫)دراﺳﺔ ﺧﺎﺻﺔ ﰱ ﳏﻜﻤﺔ اﻟﻘﻀﺎة ﺑﻔﻮﻟﻮاﱃ ﻣﻨﺪر(‬
‫ﻳﻬﺪف ﻫﺬا اﻟﺒﺤﺚ إﱃ أﻫﺪاف ‪ ( 1 :‬إﻛﺘﺸﺎف ﻋﻮاﻣﻞ ﻣﻈﺎﻫﺮ اﻟﻨﺸﻮز وأﺷﻜﺎﳍﺎ ﰱ ﻣﺪﻳﻨﺔ‬
‫ﻓﻮﻟﻮاﱃ ﻣﻨﺪار‪ ( 2 ،‬ﺗﺸﺮﻳﺢ أﺷﻜﺎل اﻟﻨﺸﻮز اﻟﱴ واﺟﻬﺘﻬﺎ اﻷﺳﺮة اﳌﺴﻠﻤﺔ ﰱ ﻣﺪﻳﻨﺔ ﻓﻮﻟﻮاﱃ ﻣﻨﺪار وﲢﻠﻴﻠﻬﺎ‪،‬‬
‫‪ (3‬اﻟﻮﺻﺎﻳﺎ ﻟﻸﺳﺮة ﰱ ﺣﻞ ﻣﺸﻜﻼت اﻟﻨﺸﻮز ﻣﺪﻳﻨﺔ ﻓﻮﻟﻮاﱃ ﻣﻨﺪار‪.‬‬
‫وﰱ ﲢﻠﻴﻞ ﻫﺬﻩ اﻟﻘﻀﻴﺔ ﻳﻌﺘﻤﺪ اﻟﺒﺎﺣﺚ ﻋﻠﻰ ﻋﺪة ﲢﺼﻴﺼﺎت وﻫﻲ اﻟﺪﻳﲏ واﻟﻘﺎﻧﻮﱐ واﻟﻄﺒﻴﻌﻲ‬
‫واﻹﺟﺘﻤﺎﻋﻲ وﻣﻈﺎﻫﺮ واﻗﻌﻴﺔ‪ .‬وﺟﻞ ﻣﺎﺿﻤﻨﻪ اﻟﺒﺤﺚ ﻳﺮﺟﻊ إﱃ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت اﻹﺳﺘﻘﺮاﺋﻴﺔ واﻟﺒﻴﺎﻧﺎت اﳊﻮارﻳﺔ ﰒ‬
‫ﺣﻞ ﺣﺴﺐ ﻃﺮﻳﻘﺔ أﻟﲑﻣﻴﻠﺲ وﻫﻮﺑﺮﻣﺎن‪ .‬وﻫﻲ ﺗﺘﻜﻮن ﻣﻦ أرﺑﻊ ﻣﺮاﺣﻞ ‪ (1 :‬ﲨﻊ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت‪ (2 ،‬ﲤﺤﻴﺺ‬
‫اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت ‪ (3 ،‬ﻋﺮض اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت ‪ (4 ،‬اﻹﺳﺘﻨﺒﺎط واﻹﺳﺘﺒﻴﺎن‪.‬‬
‫وﻣﻦ ﺧﻼل اﻟﺒﺤﺚ ﺗﺒﲔ أن ﻋﻮاﻣﻞ ﻣﻈﺎﻫﺮ اﻟﻨﺸﻮز ﻗﺪ ﻳﺼﺪر ﻣﻦ اﻟﺰوج ﻛﻤﺎ ﻳﺼﺪر ﻣﻦ اﻟﺰوﺟﺔ‪.‬‬
‫أﻣﺎ ﻋﻮاﻣﻞ ﻣﻈﺎﻫﺮ اﻟﻨﺸﻮز ﻣﻦ ﺟﻬﺔ اﻟﺰوج ﻓﻬﻲ ‪ (1 :‬اﻷﺧﻼق اﻟﺮدﻳﺌﺔ واﳌﻌﺎﻣﻠﺔ اﻟﺴﻴﺌﺔ ‪ (2 ،‬اﻟﺒﻴﻨﻮﻧﺔ ﰱ‬
‫اﻟﺴﻜﲎ ‪ (3‬وﺟﻮد ﻋﻮاﻣﻞ ﺧﺎرﺟﻲ )ﺗﺪﺧﻞ ﺷﺨﺺ آﺧﺮ(‪ (4 ،‬اﻟﻐﲑة‪ .‬وأﻣﺎ ﻋﻮاﻣﻞ ﻣﻈﺎﻫﺮ اﻟﻨﺸﻮز ﻣﻦ‬
‫ﺟﻬﺔ اﻟﺰوﺟﺔ ﻓﻬﻲ ‪ (1 :‬اﻷﺧﻼق اﻟﺮدﻳﺌﺔ واﳌﻌﺎﺷﺮة اﻟﺴﻴﺌﺔ‪ (2 ،‬ﻋﺪم اﻟﺮﺿﻰ ﺑﻨﻔﻘﺔ اﻟﺰوج‪ (3 ،‬اﻟﻐﲑة‪(4 ،‬‬
‫اﳊﺎﻟﺔ اﻟﻨﻔﺴﻴﺔ ﺑﺴﺒﺐ ﲢﺮﻳﺾ وﺗﺸﺠﻴﻊ ﻣﺘﻜﺮر ﰱ ﻃﻠﺐ اﻟﻄﻼق‪ .‬وﻇﺎﻫﺮ اﻟﻨﺸﻮز ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﻟﺰوج ﻳﻜﻮن ﰱ‬
‫إﻳﺬاء اﻟﺰوﺟﺔ ﺟﺴﻤﻴﺎ ‪ (2‬وإﻳﺬاء اﻟﺰوﺟﺔ ﻧﻔﺴﻴﺎ‪ (3 ،‬وإﺧﺮاج اﻟﺰوﺟﺔ ﻣﻦ اﻟﺒﻴﺖ‪ (4 ،‬وﻋﺪم اﻹﻧﻔﺎق ﻟﻠﺰوﺟﺔ‬
‫وﻋﺪم ﻗﻀﺎء ﺣﻮا ﺋﺠﻬﺎ اﻟﻨﻔﺴﻴﺔ‪ .‬وﻇﺎﻫﺮة اﻟﻨﺸﻮز ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﻟﺰوﺟﺔ ﻓﻬﻲ ‪ (1 :‬ﻳﻜﻮن ﰱ ﺧﺮوﺟﻬﺎ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ‬
‫زوﺟﻬﺎ ﺑﻐﲑ إذن اﻟﺰوج‪ (2 ،‬واﻟﻌﺸﻖ ﻟﺮﺟﻞ آﺧـﺮ‪ (3 ،‬وإﺧﺮاج اﻟﺰوج ﻣﻦ اﻟﺒﻴﺖ ‪ (4 ،‬إﻓﺴﺎد أﻣﻮال اﻟﺰوج‪.‬‬
‫ﺗﻮﺻﻴﺔ اﳊﻠﻮل اﻟﱴ ﳝﻜﻦ إﻋﺘﻤﺎدﻫﺎ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﻷﺳﺮة اﳌﺴﻠﻤﺔ اﻟﱴ ﺗﻌﺎن ﻣﻦ ﺣﺎﻟﺔ اﻟﻨﺸﻮز ﰱ ﻣﺪﻳﺮﻳﺔ ﻓﻮﻟﻮاﱃ‬
‫ﻣﻨﺪار ﻫﻲ ‪ (1 :‬ﻗﺒﻞ وﺻﻮﻟﻪ إﱃ ﻣﺴﺘﻮي اﶈﻜﻤﺔ ﻳﻨﺒﻐﻰ ﻟﻠﺰوﺟﲔ رﻓﻊ اﳊﻜﻢ ﻣﻦ ﻛﻠﻴﻬﻤﺎ ﲝﻴﺚ ﳝﻜﻦ‬
‫‪xiii‬‬
‫ﲢﻘﻴﻖ اﻟﺴﻼم ‪ (2 ،‬إذا ﻓﺸﻠﺖ اﻷوﱃ ‪ ،‬ﻳﻨﺒﻐﻰ ﻟﻠﺰوﺟﲔ أﺧﺬ اﻟﻮﻛﺎﻟﺔ ﺗﻘﺪﱘ اﳌﺸﻮرة واﻟﺘﺪرﻳﺐ واﳊﻔﺎظ‬
‫ﻋﻠﻰ اﻟﺰوج ‪ ( 3 ،‬إذا ﻓﺸﻠﺖ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ‪ ،‬ﳝﻜﻦ ﺣﻠﻬﺎ ﻣﻦ ﺧﻼل وﻛﺎﻟﺔ اﳊﻜﻢ ﰱ اﶈﻜﻤﺔ ﻣﻊ ﻣﻼﺣﻈﺔ أن‬
‫ﻳﺴﺄل اﻟﻨﺼﻴﺤﺔ ﻣﻦ ﳎﻠﺲ اﻟﺰواج إﻋﺘﺒﺎرا وإﻟﺘﻔﺎﺗﺎ ﻟﻠﺤﻜﻢ واﻟﻘﻀﺎة ﰱ اﶈﻜﻤﺔ‪.‬‬
‫وﻧﺘﻴﺠﺔ اﻟﺒﺤﺚ ﳝﻜﻦ أن ﻳﻌﺘﻤﺪ ﰱ إﻋﻄﺎء اﻟﺘﺰﻛﻴﺔ ﻟﻸﻣﻮر اﻵﺗﻴﺔ ‪ (1 :‬ﺗﻘﻮﻳﺔ اﳍﻴﺌﺎت ﻷﻣﻮر‬
‫اﻟﻨﻜﺎح ﺑﺘﻌﻠﻴﻢ ﻣﻔﺎﻫﻢ اﻟﺪﻳﻦ ﺑﻮاﺳﻄﺔ اﻟﻠﺠﺎن اﻟﺪﻳﻨﻴﺔ‪ ( 2 ،‬إﺳﺘﻌﺎدة أﳘﻴﺔ ﻫﻴﺌﺎت اﳊﻜﻢ ﻟﻘﻀﺎء ﻗﻀﺎﻳﺎ‬
‫اﻟﻄﻼق واﻟﻔﺮﻗـﺔ‪ (3 ،‬إﺳﺘﻔﺎدة ﻋﻤﻠﻴﺔ اﳌﺼﻠﺤﲔ ﰱ إﺻﻼح اﻟﻘﻀﺎﻳﺎ اﻟﺰوﺟﻴـﺔ‪.‬‬
‫‪xiv‬‬
ABSTRACT
Nama
NIM
Title
: M. Sadik
: 80100307012
: The Nusyus Problem Muslim Families
(a Case Study in Religion Court at Polewali Mandar)
This research aims : 1) to explore the causes fo nusyus by muslim
families in Polewali Mandar regency, 2) to explore and analyse the forms of
nusyus in Polewali Mandar regency, and 3) the solutions which are undergone
by Muslim families in Polewali Mandar regency.
There are number different approaches in this research namely:
normative
theology,
juridical,
psychological,
sociological
an
phenomenological approaches. The source of data is contains of
documentation and interview and then analyze by Miles and Huberman
models. There are four stages of this models; data collection, data reduction,
presentation, and conclusion and verifying.
The results showed that there are vorious factors and form of nusyus,
both from the wife and the husband. The causes of nusyus from the husband
are 1) moral factor, 2) not living together, 3) intervention from others, and 4)
jealous factor. While the causes of nusyus from the wife are 1) moral factor, 2)
economic factor, 3) jealous factor, 4) suggestion factor. The nusyus form were
made by husband are: 1) hurting wife phisically, 2) hurting wife verbally, 3)
expel wife, and 4) do not provide living need. Where as the nusyus form of
wife are: 1) living house without husband permission, 2) cheating, 3) expel
husnad, and 4) broking husband property. From externally, solutions that can
be adopted by muslim families who had nuFrom esternally, solutions that can
be adopted by muslim families who had nusyus cases in the district Polewali
Mandar ia; 1) before arriving at the court level, the troubled couple should
raise hakam or mediators from each family or elder to take the path of kinship
so that peace can be achieved; 2) if the first fails, the implementing agency and
preservation wedding organizer (BP4) that exist in the district as a leading
institution needs to be involved; 3) if the latter nevertheless fail, it can be
solved by mediation agency in court, with a note asking for recommendations
from BP4 for consideration and input for mediators and religious court judges.
xv
Those findings imply for some recommendation namely; 1)
strengthening marriage institution with religious knowledge through religious
institution, 2) revitalization of hakam (judge) institution to overcome divorce,
3) maximizing the arbitrator work in doing mediation for a couple with
problems.
Key words: nusyus, the underlying factors, the forms of nusyus, and solution
xvi
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di antara tanda-tanda keagungan dan kekuasaan Allah adalah bahwa
Dia menciptakan segala sesuatu di dunia ini berpasang-pasangan, termasuk di
dalamnya manusia.
Karena itu, adalah sunnatullāh bila setiap insan atau
individu mempunyai kecenderungan terhadap pasangannya, dan untuk
menyalurkan hasrat kecenderungan tersebut, Islam mensyari’atkan suatu
lembaga yang sakral, yaitu “perkawinan atau pernikahan”. 1
Secara umum, perkawinan adalah sarana perilaku turun temurun
manusia yang dipandang baik dan benar, untuk melanjutkan proses regenerasi
yang berkesinambungan. Perkawinan adalah perjanjian suci yang kokoh,
mīṡāqan qalīẓan, antara sepasang anak manusia yang berlainan jenis, yang
diharapkan dapat menjalin tali kasih dalam rangka menciptakan rumah tangga
sakīnah, mawaddah wa rahmah, bahagia lahir batin yang diridhai oleh Allah
swt.
Lebih dari itu, perkawinan merupakan sebuah kontrak yang sangat
penting karena di dalamnya Tuhan menjadi saksi utama. Ia dilakukan atas
1
Perkawinan atau pernikahan berasal dari kata kawin, nikah, yang berarti perjanjian antara
dua orang (laki-laki dan wanita) yang mau menjadi suami-isteri secara resmi dan sah. Lihat J.S.
Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. I; Pustaka Sinar Harapan:
2001), h. 943
1
2
nama Tuhan dan menurut ajaran-ajaran Ilahiah-Nya. Bahkan lebih jauh dari
itu, ia mendorong ke arah peningkatan spiritual, moralitas, integritas sosial,
kedamaian, cinta dan banyak lagi.2
Oleh karena itu, di antara tujuan
perkawinan adalah terjalinnya hubungan yang permanen atau kekalnya sebuah
perkawinan.
Perkawinan dalam Islam mengandung beberapa aspek, yakni aspek
ibadah,3 hukum, dan sosial. Dilihat dari aspek ibadah, perkawinan merupakan
ibadah kepada Allah swt, yang berarti menyempurnakan sebagian dari agama.
Dari aspek hukum, perkawinan adalah suatu perjanjian yang kuat, yang di
dalamnya mengandung komitmen bersama, yang menuntut adanya pemenuhan
hak dan kewajiban bagi keduanya. Dari aspek sosial, perkawinan bertujuan
membentuk keluarga yang saling mencintai dan saling mengasihi antara
sesama anggota keluarga, yang pada gilirannya dapat membentuk suatu
bangunan umat atau masyarakat yang dicita-citakan dalam agama Islam.4 Oleh
karena itu, setiap pribadi muslim dituntut untuk tidak hidup menyendiri, dan
bagi mereka yang sudah berkeluarga dituntut untuk mempertahankan keutuhan
2
Lihat Ali Hosein Hakeem, et al., Islam and Feminism: Theory, Modelling, and Applications.
Diterjemahkan oleh A.H. Jemala Gembala dengan judul Membela Perempuan Menakar Feminisme
dengan Nalar Agama. (Cet. I; Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 255
3
‫ رواﻩ اﻟﻄﱪاﱏ‬.‫ إذا ﺗﺰوج اﻟﻌﺒـﺪ ﻓﻘـﺪ إﺳﺘﻜﻤﻞ ﻧﺼﻒ اﻟﺪﻳﻦ ﻓﻠﻴﺘﻖ اﷲ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻘﻲ‬: ‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬: ‫ﻋﻦ أﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎل‬
Artinya: Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah saw bersabda: Jika seorang hamba telah kawin maka
dia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karena itu, hendaklah bertakwa kepada Allah swt
terhadap sisanya. Riwayat al-Ṭabrani.
4
Lihat Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Cet.III; Jakarta: Bulan
Bintang), h. 5 – 8. Dan lihat Nur Taufiq, Syikak Dalam Hukum Keluarga Islam. Disertasi h. 2
3
dan kelangsungan hidup rumah tangganya dengan menjauhi hal-hal yang
bersifat destruktif, seperti zina, mabuk-mabukan, selingkuh dan sebagainya.
Sejalan dengan maksud dan tujuan perkawinan yaitu kekalnya
perkawinan,
pemerintah membuat perundang-undangan yang menekankan
pentingnya perdamaian sebagai langkah awal dalam setiap perkara yang
diajukan ke lembaga peradilan, khususnya lembaga Peradilan Agama di
Indonesia. Ini berarti, meskipun huru-hara perkawinan sudah berada di tingkat
peradilan, namun upaya harmonisasi dan keutuhan sebuah rumah tangga tetap
menjadi prioritas utama oleh para hakim.
perceraian5 tidak dapat dibendung.
Akan tetapi kenyataannya,
Terbukti dengan banyaknya institusi
perkawinan yang hancur di tengah jalan, berakhir dengan perceraian di meja
pengadilan, yang tentunya melahirkan berbagai problem kemasyarakatan,
bahkan penderitaan bagi anak-anak mereka. Hal ini tampak misalnya pada
kasus kawin-cerai yang lagi trend dilakukan oleh para artis dan selebritis.
Selain itu, angka perceraian di Indonesia mencapai angka yang
fantastis. Setiap tahunnya kurang lebih seratus lima puluh ribu pasangan
berpisah, Badan Pusat Statistik Nasional mencatat bahwa pada tahun 2001
peristiwa cerai sebanyak 144. 821 kasus, dan yang rujuk kembali sebanyak 249
5
Perceraian: putus hubungan suami-istri, disebut juga dengan talak yaitu perceraian dalam
hukum Islam antara suami-istri yang dijatuhkan oleh suami, Lihat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet.I; Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 163 dan 888.
4
pasang dari 1. 813.493 peristiwa nikah. 6 Ini berarti, perceraian berjumlah
sebanyak 7,40 % dari total jumlah peristiwa nikah yang terjadi pada tahun
yang sama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam setiap kurang
lebih 12,5 peristiwa nikah, terdapat 1 pasangan cerai. Angka tersebut tampak
tidak terlalu signifikan, namun jika perceraian itu dilihat dari angka rata-rata
perbulan, maka angka tersebut cukup memprihatinkan, yaitu setiap bulan
jumlah rata-rata perceraian sebanyak kurang lebih 12. 068 pasangan cerai. Itu
juga berarti bahwa terdapat kurang lebih 402 pasangan cerai yang terjadi dalam
setiap harinya.
Pada tahun 2004, perceraian memang sedikit mengalami
penurunan yaitu tercatat sebanyak 141. 240 peristiwa. 7 Akan tetapi pada tahun
2005, perceraian kembali mengalami peningkatan sehingga mencapai angka
150. 395 peristiwa.8
Kemudian turun lagi sedikit pada tahun 2006, yaitu
sebanyak 148. 890 peristiwa.9 Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
angka perceraian di Indonesia, yang tercatat berkisar sebanyak 150.000
pasangan cerai. Namun, bila hal tersebut dihitung dengan pasangan cerai yang
tidak terdaftar, kemungkinan besarnya mencapai angka kurang lebih 200.000
pasangan cerai setiap tahunnya, meskipun penulis belum menemukan data
autentik mengenai hal tersebut.
6
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2002, h. 84
7
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2005/2006, h. 105
8
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2007, h. 103
9
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2008, h. 115
5
Di wilayah Sulawesi Barat,10 Polewali Mandar, selanjutnya disebut
Polman11 misalnya, tahun 2004/2005 sejumlah 123 pasangan bercerai, tahun
2009 meningkat menjadi 222 kasus perceraian yang telah diputus oleh
Pengadilan Agama Polewali, dengan kurang lebih 9 alasan atau faktor
perceraian.12
Ini berarti, angka perceraian pada tahun 2009 mengalami
peningkatan sebanyak
80,5% dibandingkan pada tahun 2004/2005. Faktor-
faktor tersebut, di antaranya adalah faktor yang dapat dikategorikan tindakan
nusyūz (selanjutnya ditulis nusyus), misalnya tidak bertanggung jawab dan
penganiayaan atau kekerasan dalam rumah tangga.
Selain data di atas, fakta lain menunjukkan bahwa kekerasan dalam
rumah tangga, umumnya dilakukan oleh para suami.
Karena itu, tidak
mengherankan bila kasus perceraian di Pengadilan Agama, yang terbanyak
adalah gugat cerai. Sebagai contoh, Pengadilan Agama Kota Makassar periode
Januari – Oktober 2008, gugat cerai yang sudah diputus sebanyak 627 kasus,
sementara cerai dari pihak suami atau cerai talak sebanyak 361 kasus. 13 Ini
10
Sulawesi Barat adalah salah satu propinsi dari 6 propinsi di Pulau Sulawesi. Propinsi ini
merupakan propinsi ke-33 di Negara Republik Indonesia, daerah pemekaran dari Propinsi Sulawesi
Selatan berdasarkan UU RI No. 26 Tahun 2004 tertanggal 5 Oktober 2004 yang diresmikan oleh
Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden RI tanggal 16 Oktober 2004. Terdiri atas 5 kabupaten, yaitu
: Kabupaten Polewali Mandar, Majene, Mamasa, Mamuju, dan Mamuju Utara. Lihat Abd. Kadir
Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, (Cet.I; Makassar: INDOBIS,
2006), h. 243
11
Sebelumnya bernama Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas). Perubahan nama terjadi
ketika kecamatan Mamasa memisahkan diri dari kabupaten induknya dan menjadi Kabupaten Mamasa.
12
Data diambil dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kab. Polman
13
Data diambil dari Pengadilan Agama Makassar pada tanggal 1 Desember 2008
6
berarti jumlah gugat cerai 27 % lebih banyak dari jumlah cerai talak. Selain
itu, Pengadilan Agama Polewali Sulawesi Barat, priode Januari – Desember
2009, gugat cerai yang sudah diputus sebanyak 150 kasus, sementara cerai
talak sebanyak 72 kasus.14 Artinya, gugat cerai 35,2 % lebih banyak dari cerai
talak. Angka ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya nusyus banyak dilakukan
oleh pihak suami, bukan istri. Demikian pula persepsi umumnya masyarakat
muslim, bahkan sebagian hakim berasumsi bahwa tindakan nusyus dilakukan
hanya oleh pihak istri dalam suatu rumah tangga.
Hal tersebut menunjukkan betapa seriusnya kasus dan problema dalam
rumah tangga muslim di Indonesia, yang nota bene mayoritas beragama Islam.
Agama yang mengatur dan menata sistem keluarga, agar berjalan dengan
penuh cinta dan kasih sayang di bawah naungan, bimbingan dan keridaan
Allah swt.
Berdasarkan data di atas, terdapat beberapa hal yang perlu dikaji lebih
mendalam.
Di antaranya; faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya
nusyus dalam keluarga muslim; bentuk-bentuk nusyus yang bagaimana yang
dialami oleh pasangan suami-istri sehingga mereka mengajukan perkaranya ke
Pengadilan Agama; dan bagaimana model solusi yang seharusnya ditempuh
oleh keluarga muslim yang mengalami kasus nusyus.
14
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kab. Polman tahun 2008
7
Dalam al-Qur’an sendiri, ayat yang berbicara tentang nusyus
disebutkan sebanyak dua kali, yaitu QS al-Nisā’/4: 34, dan QS al-Nisā’/4: 128.
َ‫ﺿ ِﺮﺑُ ْـﻮُﻫـ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌـﻨَـ ُﻜ ْﻢ ﻓـَﻼ‬
ْ ‫ﺎﺟـ ِﻊ َوا‬
ِ‫ﻀ‬
َ ‫ َواﻟﱠِْﱴ ﲣََﺎﻓـُ ْﻮ َن ﻧُ ُﺸ ْﻮَزﻫـُ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُْﻮُﻫـ ﱠﻦ َوا ْﻫ ُﺠ ُﺮْوُﻫـ ﱠﻦ ِﰱ اﻟْ َﻤ‬.....
. ( 34 ‫ ) اﻟﻨﺴﺎء‬.‫ﺗَـْﺒـﻐُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬـ ﱠﻦ َﺳﺒِـْﻴـﻼً إِ ﱠن اﷲَ َﻛﺎ َن َﻋﻠِﻴﺎ َﻛﺒِْﻴـًﺮا‬
Terjemahnya :
......Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.15
‫ﺻ ْﻠ ًﺤﺎ‬
ُ ‫ﺼﻠِ َﺤﺎ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬
ْ ُ‫ﺿﺎ ﻓَ َﻼ ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَْﻴ ِﻬ َﻤـﺎ أَ ْن ﻳ‬
ً ‫ـﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌﻠـِﻬـَﺎ ﻧُ ُﺸ ْـﻮًزا أَْوإِ ْﻋَﺮا‬
ْ َ‫َوإِ ِن ا ْﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ‬
‫ )اﻟﻨﺴﺎء‬.‫ﲢ ِﺴﻨُـ ْﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘ ْـﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﷲَ َﻛﺎ َن ﲟَِﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُ ْﻮ َن َﺧﺒِْﻴـًﺮا‬
ُْ ‫ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن‬
ُ ‫ت ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
ِ ‫ﻀَﺮ‬
ِ ‫ﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧْﻴـٌﺮ َوأُ ْﺣ‬
‫َواﻟ ﱡ‬
(128
Terjemahnya :
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir , dan jika kamu bergaul
dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyus dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.16
Ayat pertama merujuk pada nusyus istri, sementara ayat kedua
merujuk pada nusyus suami. Namun, kedua ayat tersebut tidak merinci tentang
15
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 123
16
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 143
8
bentuk-bentuk dan faktor-faktor apa saja yang kemungkinannya dapat
menimbulkan terjadinya nusyus dalam suatu rumah tangga. Hal ini dapat
dimengerti, karena al-Qur’an merupakan sebuah pedoman atau tuntunan, yang
sebagiannya masih bersifat umum. Namun demikian, ayat tentang nusyus
telah memberikan solusi, baik solusi internal maupun eksternal, jika
seandainya terjadi atau ada indikasi terjadinya nusyus tersebut, walaupun
solusi tersebut, masih menimbulkan berbagai penafsiran sesuai dengan tinjauan
dan paradigma yang digunakannya.
Atas dasar penjelasan tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji
lebih dalam tentang tema nusyus sebagai salah satu pemicu terjadinya
perceraian, khususnya dilihat dari segi faktor-faktor penyebab munculnya,
serta mengapa proses itu sampai berujung di meja pengadilan.
Penelitian ini lebih menarik lagi, ketika asumsi sebagian orang, bahkan
di antara hakim pengadilan agama sendiri mempersepsikan bahwa nusyus itu
hanya dilakukan oleh pihak istri, tidak oleh suami, sementara dalam al-Qur’an
secara jelas mengemukakan terjadinya nusyus oleh pihak suami. Lebih dari
itu, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa data di beberapa Pengadilan
Agama menunjukkan bahwa pengabaian tanggung jawab dan pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, umumnya dilakukan oleh pihak suami.
9
B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus
1. Fokus penelitian
Fokus yang diteliti pada penelitian ini yaitu problematika nusyus
keluarga muslim yang mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Polewali
Kabupaten Polewali Mandar tahun 2009, meliputi :
a. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya nusyus dalam keluarga muslim
di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polman Tahun 2009
b. Bentuk-bentuk nusyus yang dialami oleh pasangan suami-istri yang
mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polman
Tahun 2009
c. Model penyelesaian masalah nusyus oleh keluarga muslim di Kabupaten
Polman
2. Deskripsi fokus
Fokus yang diteliti pada penelitian ini, bila dikemukakan dalam bentuk
deskripsi fokus penelitian akan diuraikan sebagai berikut :
a. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya nusyus dalam keluarga
muslim di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polman Tahun 2009,
10
meliputi: faktor penyebab nusyus dari internal dan eksternal, baik dari
suami maupun dari istri.
b. Bentuk-bentuk nusyus yang dialami oleh pasangan suami-istri yang
mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polman
Tahun 2009, meliputi: bentuk nusyus yang dilakukan oleh suami dan
bentuk nusyus yang dilakukan oleh istri.
c. Model penyelesaian masalah nusyus oleh keluarga muslim di Kabupaten
Polman, meliputi: bentuk pembinaan terhadap pasangan suami-istri dan
pola penyelesaian masalah nusyus.
Deskripsi fokus penelitian seperti yang dikemukakan dapat dilihat
dalam uraian bentuk matriks, sebagai berikut:
Gambar 1.1
Matriks Fokus Penelitian
Masalah
Uraian
Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya nusyus dalam keluarga
muslim di Pengadilan Agama
Polewali Kabupaten Polman Tahun
2009
a. Faktor-faktor penyebab nusyus
dari internal pihak suami
b. Faktor-faktor penyebab dari
internal istri
c. Faktor-faktor eksternal yang
berasal dari pihak keluarga
kedua belah pihak, dan
d. Faktor –faktor lain yang
menjadi penyebab nusyus
Bentuk-bentuk nusyus yang dialami
oleh pasangan suami-istri yang
mengajukan
perkaranya
di
Pengadilan
Agama
Polewali
d. Bentuk nusyus yang dilakukan
oleh suami
e. Bentuk nusyus yang dilakukan
11
Kabupaten Polman Tahun 2009
Model penyelesaian masalah nusyus
oleh keluarga muslim di Kabupaten
Polman
oleh istri
f. Bentuk pembinaan
pasangan suami-istri
g. Pola penyelesaian
nusyus
terhadap
masalah
C. Rumusan Masalah
Pokok kajian dalam penelitian ini, setidaknya telah tergambar dalam
latar belakang masalah, namun untuk menfokuskan pembahasan perlu
dipertegas lagi agar permasalahan tidak melebar keluar dari inti persoalan yang
dimaksud sekaligus rumusan permasalahan yang akan dicari jawabannya
dalam penelitian ini.
Pokok masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perceraian yang
diakibatkan oleh tindakan nusyus dari suami-istri yang bercerai di Pengadilan
Agama Tingkat Pertama Kabupaten Polman tahun 2009. Dengan demikian,
penelitian dibatasi pada kasus-kasus perceraian yang terjadi, khususnya dengan
alasan nusyus, di Kabupaten Polman tahun 2009.
Kabupaten Polman Sulawesi Barat, dipilih sebagai wilayah penelitian
didasarkan atas beberapa pertimbangan, di antaranya : Pertama, Kabupaten
Polman adalah wilayah yang memiliki kepadatan dan laju pertumbuhan
penduduk yang tertinggi di Propinsi Sulawesi Barat; kedua, Penduduk
Kabupaten Polman mayoritas beragama Islam dan bersifat heterogen; dan
ketiga, Kabupaten Polman memiliki tingkat perkara dan perceraian yang
12
tertinggi di Propinsi Sulawesi Barat. 17
Di samping itu, kasus-kasus yang
dijadikan fokus penelitian adalah kasus-kasus yang diputuskan di sepanjang
tahun 2009.
Pertimbangannya, adalah bahwa data paling mutakhir yang
mungkin didapatkan secara utuh adalah data pada tahun tersebut, mengingat
tahun 2009 telah akan berakhir, sementara tahun berikutnya akan berlangsung.
Dari pokok masalah tersebut, kemudian dirinci ke dalam beberapa sub
permasalahan dicari jawabannya sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya nusyus dalam keluarga
muslim yang mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Polewali
Kabupaten Polman ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk nusyus yang dialami pasangan suami-istri yang
mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama Polewali Kabupaten
Polman ?
3. Bagaimana model penyelesaian masalah nusyus oleh keluarga muslim di
Kabupaten Polman ?
D. Kajian Pustaka
17
Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk menurut kabupaten di Propinsi Sulawesi
Barat pada tahun 2007, masing-masing : Majene sebanyak 133 232 penduduk, Polman sebanyak 361
202 penduduk, Mamasa sebanyak 123 786 penduduk, Mamuju sebanyak 296 828 penduduk, dan
Mamuju Utara sebanyak 101 615 penduduk. Banyaknya penduduk yang beragama Islam di Propinsi
Sulawesi Barat pada tahun 2007, masing-masing : Majene sebanyak 137 214 orang, Polman sebanyak
339 792 orang, Mamasa sebanyak 22 992 orang, Mamuju sebanyak 227 228 orang, dan Mamuju Utara
sebanyak 76 924 orang. Sementara perkara yang diterima dan diputuskan oleh Pengadilan Agama
menurut kabupaten di Sulawesi Barat tahun 2007, masing-masing : Majene, masuk sebanyak 111 dan
diputus sebanyak 110 perkara. Polman, masuk sebanyak 271 dan diputus sebanyak 274 perkara
(termasuk sisa perkara tahun sebelumnya). Lihat Badan Pusat Statistik, Sulawesi Barat Dalam Angka
2008, h. 52, 122, dan 131
13
Sejauh pengamatan dan penulusuran, belum ada literatur yang menulis
secara khusus kajian tentang faktor-faktor penyebab, bentuk-bentuk, dan upaya
penyelesaian yang berkaitan dengan masalah nusyus dalam realitas kehidupan
keluarga pada masyarakat muslim di Kabupaten Polman khususnya, dan pada
hukum keluarga muslim Indonesia secara umum.
Namun demikian, dari karya-karya yang terkait dengan tema
penelitian, ditemukan beberapa literatur yang menguraikan hal tersebut,
meskipun tidak secara khusus, di antaranya: Amir Syarifuddin, menulis buku
yang berjudul Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Buku ini tampak
merupakan buku perbandingan. Penulisnya mencoba memaparkan pandangan
ulama fikih dan undang-undang perkawinan tentang masalah-masalah
keluarga. Uraian tentang nusyus tak terlewatkan dalam buku ini, meskipun
masih sangat fikih sentris.
Baginya nusyus istri adalah kedurhakaan istri
terhadap suami dalam hal menjalankan apa yang diwajibkan Allah atasnya,
sedangkan nusyus suami adalah pendurhakaan suami kepada Allah karena
meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Selain itu, Amir Syarifuddin
juga menjelaskan tentang cara penyelesaiannya, baik nusyus istri maupun
nusyus suami, meski tidak terdapat perbedaan secara signifikan dengan apa
yang terdapat di dalam buku-buku fikih klasik.
Wahbah al-Zuhailī, juga menyinggung sepintas lalu tentang nusyus.
Istri nusyus baginya adalah kedurhakaan istri terhadap suaminya dalam hal apa
14
yang diwajibkan padanya karena adanya akad perkawinan.
Ulama
kontemporer ini juga menjelaskan tentang kapan seorang wanita dianggap
nusyus, di samping beberapa pandangan dari berbagai mazhab yang masyhur,
serta akibatnya yakni hilangnya atau gugurnya biaya hidup/ nafaqah bagi istri.
Namun demikian, ia tidak menyinggung sama sekali tentang tindakan nusyus
yang dilakukan oleh suami.
Ibn Quddāmah dalam ensiklopedi hukumnya, al-Mughnī, selain
menguraikan masalah-masalah fikih pada umumnya, juga tak melewatkan
pembahasan tentang nusyus.
Demikian pula, pembahasan tentang solusi
nusyus seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Namun, belum tampak uraian
yang mendetail tentang masalah nusyus tersebut.
Kajian lain yang berkaitan dengan Hukum Keluarga Islam Indonesia
adalah disertasi yang berjudul syikak dalam Hukum Keluarga Islam. Disertasi
yang belum terpublikasikan tersebut juga menguraikan masalah nusyus.
Namun penekanan utamanya pada masalah syikak. Nur Taufiq dalam disertasi
yang dipertahankannya di depan tim penguji UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menyimpulkan bahwa syikak adalah istilah yang menggambarkan kondisi yang
sudah pecah antara suami-istri, meskipun mereka masih berada dalam sebuah
ikatan perkawinan.
Dengan demikian, tulisan ini cenderung melakukan
redefinisi tentang syikak.
15
Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana, Studi Peradilan Kasus
Kekerasan terhadap Perempuan mendiskripsikan berbagai kasus yang dinilai
berbau kekerasan terhadap perempuan.
Buku ini, fokusnya adalah pada
persoalan bagaimana akses perempuan kepada keadilan yang disediakan oleh
negara, ketika dirinya menjadi korban kekerasan (domestik dan pablik). Di
antara kasus yang dideskripsikan adalah kasus nusyus. Meskipun demikian,
buku ini tidak melacak lebih jauh faktor-faktor apa yang menyebabkan
terjadinya nusyus. Berangkat dari penelitian lapangan, buku ini menyimpulkan
bahwa kekerasan terhadap perempuan “bersembunyi” dalam kasus perdata.
Jika demikian, lanjut penulisnya dikotomi secara klasik dan hegemonik antara
ruang perdata dan pidana tidak berlaku berdasarkan pengalaman dan perspektif
perempuan.
Literatur-literatur tersebut, sedikit banyak telah memberikan gambaran
tentang apa yang akan dikaji dalam penelitian ini. Namun perbedaannya
adalah bahwa penelitian ini berangkat dari kasus-kasus yang terjadi dalam
realitas masyarakat muslim di Sulawesi Barat, khususnya di Polman, yang
mengungkap fakta-fakta perceraian dari kasus-kasus nusyus yang diajukan
oleh masyarakat ke lembaga Peradilan Agama Polewali.
Dengan begitu,
penelitian ini cenderung berada pada jalur penelitian sosiologis yang sarat
dengan nuansa lokal, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
16
Walaupun demikian, harus diakui bahwa keseluruhan literatur di atas
tentunya akan memberikan kontribusi yang sangat berharga dalam membantu
penulis untuk melakukan pembahasan dan analisa yang lebih mendalam.
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan yang diajukan di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
a. Merumuskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya nusyus di
Kabupaten Polewali Mandar.
b. Mengungkap bentuk-bentuk nusyus yang dilakukan oleh keluarga muslim
yang bercerai di Kabupaten Polewali Mandar.
c. Menganalisis sulitnya pengadilan mendamaikan perkara perceraian karena
tindakan nusyus.
2. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan, maka hasil penelitian ini diharapkan berguna atau
bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai
berikut :
17
a. Menambah khazanah pengembangan ilmu hukum Islam, khususnya
problematika nusyus dalam hukum keluarga muslim.
b. Sebagai bahan informasi bagi kalangan akademisi atau calon peneliti
lainnya yang akan mengkaji perspektif serupa.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat
sebagai berikut :
a. Sebagai bahan masukan bagi para keluarga muslim Indonesia, khususnya
keluarga
muslim
di
Kabupaten
Polewali
Mandar,
bagaimana
mengantisipasi konflik rumah tangga yang dilatar belakangi oleh tindakan
nusyus.
b. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan lembaga peradilan di
Indonesia tentang kondisi dan pemahaman agama keluarga muslim di
Kabupaten Polewali Mandar, khususnya pemahaman tentang nusyus.
c. Sebagai bahan masukan bagi para penentu kebijakan, para tokoh dan
ulama bagaimana menyikapi dan mengantisipasi keretakan rumah tangga
yang diakibatkan oleh tindakan nusyus.
18
18
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
A. Pengertian dan Langkah Penanganan Kasus Nusyus
1. Pengertian dan dasar hukum nusyus
Di
antara
situasi
dalam
kehidupan
rumah
tangga
yang
mengindikasikan adanya keretakan pada rumah tangga yang dapat berujung
pada perceraian -selain syiqāq (syikak)1 dan perbuatan zina (fāhisyah) yang
mengakibatkan saling tuduh-menuduh antara keduanya- adalah nusyus.2
Kata “nusyus atau nusyūz” berasal dari kata bahasa arab : al-nasyz atau
al-nasyaz yang menunjuk pada arti ketinggian atau tempat yang tinggi. Jadi,
nasyaz berarti tinggi atau ketinggian.
‫ ﻧَ َﺸـَﺰ ﻓُﻼَ ٌن‬artinya seseorang yang ingin
tinggi, atau orang yang bangkit dari tempatnya. Karena itu istilah al-nasyaz
digunakan untuk sesuatu yang bermakna “al-iḥyā” (menghidupkan) karena
bergerak dari atas ke bawah atau dari suatu onggokan tanah kemudian bangkit
dan hidup seperti pada firman Allah swt QS al-Baqarah/2: 259 ‫ﻒ‬
َ ‫َواﻧْﻈُْﺮ إِ َﱃ اﻟْﻌِﻈَ ِﺎم َﻛْﻴ‬
1
Perbedaan syikak dengan nusyus adalah jika syikak merupakan perselisihan yang berawal
dan terjadi pada kedua belah pihak secara bersama-sama, maka nusyus perselisihannya hanya berawal
dan terjadi pada salah satu pihak, suami atau istri.
2
Terdapat empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat
memicu terjadinya perceraian, yaitu : Terjadinya nusyus dari pihak istri, terjadinya nusyus dari pihak
suami, terjadinya syiqāq, dan salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fāḥisyah), yang
menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pres, 1995), h. 269 - 272
19
‫ﻧـُْﻨ ِـﺸـُﺰﻫـَﺎ‬.3
Ibn Manẓūr sebagaimana ditulis ‘Ali al-Ṣābūni menyebutkan, nusyus
adalah kebencian seorang pasangan terhadap pasangannya. Terambil dari kata
“nasyaza” yang berarti apa yang tinggi di atas permukaan tanah. Nasyaza alrajul berarti seseorang yang duduk lalu berdiri, sebagaimana dalam firman
Allah QS al-Mujādilah/58: 11 “‫” َوإِذَا ﻗِْﻴ َﻞ اﻧْ ُﺸ ُﺰْوا ﻓَﺎﻧْ ُﺸ ُﺰْوا‬.4 Arti lain adalah mempersulit
pasangan dengan cara menjauhi dan memukuli pasangannya. 5 Ibn Jarīr dan
Ibn Zaid sebagaimana dikutip oleh al-Sayūṭi mengartikan nusyus dengan
“bugḍ” (kebencian), dan khilāf” (penentangan).6
Nusyus juga berarti “al-‘iṣyān” atau “ma’ṣiayat” (kedurhakaan).
Nasyazat al-mar-atu artinya istri durhaka kepada suaminya. Waḥbah al-Zuḥailī
mengartikan kata nusyus dengan “al-‘iṣyān” (durhaka atau tidak patuh)7, lawan
3
Terjemahnya, “dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami
menyusunnya kembali”. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 64. Lihat Al-Rāgib
al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt al-Fāz al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 514.
4
Terjemahnya: “Dan apabila dikatakan berdirilah kamu, maka berdirilah.” Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 910. Lihat ‘Ali al-Ṣābūni, Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ᾱyāt alAḥkām Min al-Qur’ān, vol. I, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, t.th.), h. 464. Lihat pula, Luwais
al-Ma’lūf, al-Munjid Fī al-Luqah wa al-A’lām, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1994), h. 809.
5
Ḥusain Aḥmad Ibn Fāris bin Zakariyyā, Mu’jam al-Maqāyīs Fī al-Lughah, (Beirut: Dār alFikr, 1994), h. 1028. ‫ ﺟﻔﺎﻫﺎ وﺿﺮ ـﺎ‬: ‫ ﻧﺸـﺰ ﺑﻌﻠﻬﺎ‬.‫ إﺳﺘﺼﻌﺒـﺖ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﻠﻬﺎ‬:‫ﻧﺸـﺰت اﳌﺮأة‬
6
Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol. II, (Beirut: Dār alFikr, 1993), h. 521
7
Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, vol. V,
(Beirut: Dār al-Fikr, 1991), h. 53
20
dari kata “al-ṭāi’ah” atau “al-qunūt” (taat).8 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, nusyus berarti “perbuatan tidak taat dan pembangkangan seorang
istri terhadap suami (tanpa alasan) yang dibenarkan oleh hukum (Islam)”. 9
Secara terminologi, para ulama memberikan pengertian yang dekat
dengan pengertian etimologisnya, meski dengan redaksi yang bervariasi. AlMarāgi mengartikan nusyus istri adalah kesombongan istri sehingga ia tidak
melaksanakan hak-hak suami menurut cara yang disenangi.10
Abdurrahman
al-Sayūṭi menulis nusyus istri adalah mengabaikan hak suami dan tidak
mentaati perintahnya.11 Wahbah al-Zuḥailī mengatakan bahwa nusyus istri
adalah kesombongan istri sehingga ia keluar dari ketentuan-ketentuan suamiistri, hak-hak, dan kewajiban-kewajibannya.12 Abū al-Qāsim al-Zamakhsyari
mengatakan bahwa nusyus istri adalah mendurhakai suami dan tidak
menyenangkannya yang mengakibatkan timbulnya kegelisahan. 13 Sedangkan
Rasyīd Riḍa menulis, istri dianggap nusyus bila ia keluar dari hak suami,
8
Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. IV, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1996),
h. 1353
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua,
(Jakarta: Balai Pustaka, t.th.), h. 619
10
Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgi, Tafsīr al-Marāgi, vol. V, (t.t.: Dār al-Fikr, t.th), h. 28
11
Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol. II, h. 521
12
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj,
vol. V, h. 56
13
Maḥmūd Ibn ‘Umar Ibn Muḥammad Abū al-Qāsim al-Zamakhsyarī, selanjutnya disingkat
al-Zamakhsyarī, Tafsir al-Kasysyāf, Juz I, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 496
21
menyombongkan diri terhadapnya dan berusaha agar berada di atas
pimpinannya, bahkan ia telah keluar dari tabiat alamiahnya dan tuntutan aturan
fitrah dalam interaksi sosial (ta’āmul).14
Ungkapan-ungkapan di atas, tampaknya memang berbeda satu sama
lain. Akan tetapi intinya adalah sama, yaitu keangkuhan seorang istri terhadap
suaminya dengan keengganan melakukan perintah dan kewajibannya yang
mengakibatkan kebencian suami terhadapnya.
Berbeda dengan nusyus istri, nusyus suami menurut al-Zuḥailī, alZamakhsyari, dan al-Marāgi, mereka mengatakan bahwa nusyus suami adalah
kesombongan suami atas istrinya dengan menahan diri dan nafkahnya, tidak
memperlakukannya dengan penuh cinta dan kasih sayang, atau menyakitinya
dengan makian, pukulan, dan sebagainya, ataukah berpaling dari padanya
dengan banyak diam karena berbagai faktor seperti umur, akhlak, bentuk yang
jelek, bosan, menginginkan wanita lain, dan sebagainya. 15
Amir Syarifuddin, ahli fikih Indonesia, juga membedakan pengertian
antara nusyus istri dan nusyus suami. Nusyus istri adalah “kedurhakaan istri
terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah
14
Muḥammad Rasyīd Riḍa, Ḥuqūq al-Nisā’ Fī al-Islām, diterjemahkan Abu ‘Amir, Memenuhi
Hak Sang Kekasih, (Yogyakarta: Absolut, 2002), h. 90
15
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj,
vol. V, h. 295. Dan al-Zamakhsyarī, Tafsir al-Kasysyāf, vol. I, h. 559, dan Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgi,
Tafsīr al-Marāgi, vol. V, h. 171
22
atasnya”, sedangkan nusyus suami adalah “pendurhakaan suami kepada Allah
karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya”.16
Perbedaan pengertian antara nusyus istri dan nusyus suami
sebagaimana ditulis oleh umumnya mufassir di atas, dinilai oleh kaum feminis
sebagai bias gender.
Bias
ini
menurut
mereka
berawal
dari
kesalahan
dalam
menerjemahkan kata “qānitāt” dalam arti “taat”, dan kemudian diasumsikan
bermakna “taat kepada suami”. Pengertian tersebut menunjukkan subordinasi
antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki superioritas dibandingkan
dengan kedudukan perempuan yang inferior, pada hal keduanya menurut
mereka memiliki kedudukan yang sama. “Qānitāt” menurut Aminah Wadud
lebih tepat diartikan dengan “baik”, yaitu suatu kata yang menggambarkan
karakteristik personalitas kaum yang beriman kepada Allah, yang cenderung
kooperatif satu sama lain dan tunduk di hadapan Allah.17
Alasannya, adalah karena al-Qur’an menggunakan kata “nusyus”, baik
untuk laki-laki (QS al-Nisā’/4: 128) maupun untuk perempuan (QS al-Nisā’/4:
34), sehingga kata tersebut tidak tepat bila diartikan dengan “ketidakpatuhan
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007), h. 190 - 193
17
Dalam konteks al-Qur’an, kata “qānit” digunakan, baik untuk laki-laki (QS 2:238, 3:17, dan
33:35) maupun wanita (QS 4:34, 33:34, 66:5, dan 66:12)
23
kepada suami”.
Karena itu, nusyus bagi mereka adalah “gangguan
keharmonisan perkawinan”. Untuk memperkuat pendapatnya, Aminah Wadud
mengutip pendapat Sayid Quṭb yang mengartikan “nusyus” sebagai suatu
keadaan kacau di antara pasangan perkawinan.18
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) meski tidak terdapat apa yang
dimaksud dengan nusyus, namun ketika merinci kewajiban istri terhadap
suami, mengisyaratkan bahwa tindakan nusyus adalah perbuatan yang melekat
pada istri, tidak kepada suami. Pasal-pasal itu adalah :
Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada
suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. (Pasal 83
ayat 1)
Istri dapat dianggap nusyus jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan
alasan yang sah. (Pasal 84 ayat 1).
Selama isteri dalam nusyus, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut
pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya. (Pasal 84 ayat 2)
Pasal-Pasal di atas menunjukkan kecenderungan KHI itu masih
bersifat fikih oriented, yaitu memandang bahwa tindakan nusyus dalam
kehidupan rumah tangga melekat pada istri, tidak kepada suami, sekali lagi,
suatu pemahaman yang dinilai bias jender oleh para kaum feminis. Pasal-pasal
18
Aminah Wadud, Qur’an and Women: Reading The Secred Text From a Woman’s
Perspective, diterjemahkan oleh Abdullah Ali dengan judul, Quran Menurut Perempuan, Meluruskan
Bias Gender dalam Tradisi Tafsir, (Jakarta: Serambi, 2001), h. 136 - 137
24
tersebut juga sekaligus meneguhkan kedudukan dan status suami setingkat di
atas istri, yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana secara tersurat
disebutkan pada pasal 79 ayat (1) KHI sama dengan bunyi Pasal 31 ayat (3)
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 19.
Menjawab pandangan para feminis di atas, penulis berpendapat bahwa
perintah “taat kepada suami” tidak hanya diambil dari kata “qānitāt” saja, tapi
justru disebutkan secara jelas diakhir ayat QS al-nisā’/4: 34 yang berbicara
tentang nusyus istri. Yaitu “jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya”.
Selain itu, al-Qur’an juga
membedakan langkah antisipasi nusyus antara suami dan istri. Bila hakekat
keduanya sama, maka tentu membedakan penanganannya adalah suatu
ketidakadilan.
19
Pasal 79 ayat (1) KHI dan Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan berbunyi : “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.” Terhadap
ketentuan Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 ini telah digugat oleh aliansi kaum perempuan
Indonesia, karena dinilai tidak mencerminkan asas kesetaraan jender. Namun demikian, jika
dihubungkan dengan Pasal 51 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, maka
dipandang sudah terdapat asas kesetaraan jender dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 1/1974 itu. Pasal 51
ayat (1) UU No.39/1999 berbunyi : “Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak
dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan
perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta
bersama.” Demikian pula, jika dihubungkan dengan budaya dan agama yang diyakini oleh mayoritas
masyarakat Indonesia, maka ketentuan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 1/1974 tersebut, dapat
dikategorikan sudah tepat. Seperti diketahui bahwa dalam masyarakat Patrilineal, perempuan
ditempatkan sebagai subordinat terhadap laki-laki. Laki-laki dominan dan menentukan daripada
perempuan. Dalam pandangan agama Kristen diyakini bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki, sehingga laki-laki harus melindungi kaum perempuan. Dalam agama Islam pada umumnya
diyakini bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Lihat Djaja S. Meliala, Kata Pengantar
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h.
v
25
Untuk menjembatani keragaman pengertian nusyus sebagaimana yang
telah diuraikan dan menggambarkan pengertian nusyus suami dan nusyus istri,
agaknya lebih tepat adalah pengertian yang diungkapkan oleh Kamil al-Hayāli
yang menyatakan bahwa nusyus adalah “keluarnya suami-istri atau salah
satunya dari tugas dan kewajibannya, dan tidak melaksanakan hal itu karena
keengganan dan ketidakpatuhannya.20
Bertitik tolak dari definisi di atas, seorang suami dianggap nusyus bila
ia meninggalkan kewajibannya, baik yang bersifat materi seperti nafkah
maupun yang bersifat non materi seperti perlakuan suami terhadap istrinya
dengan cara yang tidak baik.
Sebaliknya, istri dianggap nusyus, bila ia
meninggalkan kewajibannya yang bersifat non materi, seperti berkata sopan
atau lemah lembut, menjaga kehormatan, dan menjaga harta yang didapatkan
oleh suaminya.
Para ulama fikih menyebutkan beberapa perbuatan yang termasuk
kategori nusyus istri. Kategori itu antara lain: istri membangkang terhadap
suami; tidak patuh terhadap ajakan atau perintahnya; menolak hubungan intim
(hubungan suami istri) tanpa alasan yang jelas dan sah; atau istri keluar
meninggalkan rumah tanpa persetujuan atau izin suami, atau paling tidak
20
Kamil al-Hayāli, al-Khilafāt al-Zaujiyyah, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin, Solusi
Islam dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 40
26
diduga tidak disetujuinya.21
Senada dengan itu, Wahbah al-Zuḥailī juga
menyebutkan istri dinilai nusyus, apabila ia tidak taat kepada suami terhadap
apa yang seharusnya ditaati, begitu pun ia keluar dari rumah tanpa izin suami,
22
kecuali keluarnya itu untuk menemui hakim (ulama) untuk menanyakan
sesuatu yang hak.23 Tanda-tanda bahwa istri itu nusyus dapat dilihat dari dua
hal, yaitu : (a) dari segi perbuatan, ia berpaling, bermuka muram, dan merasa
berat untuk mengerjakan terhadap apa yang diperintahkan kepadanya; dan (b)
dari segi perkataan, ia menjawab dengan kata-kata yang kasar.24
Muḥammad Amīn al-Kurdī menyebutkan bahwa istri dinilai nusyus
bila menampakkan raut muka yang kasar/galak terhadap suami, yang biasanya
tidak seperti itu; dan keluar dari rumah tanpa suatu alasan yang dibenarkan
oleh syara’, seperti istri yang keluar untuk menanyakan sesuatu hukum
syara’.25
Sementara perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai nusyus suami
tidak banyak ditemukan dalam pembahasan ulama fikih. Tidak dibahasnya
21
Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, vol. VII, (Kairo: Maktabah al-Adab, 1966), h. 175
22
Pendapat ini didasarkan kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar bahwa dia
melihat seorang wanita datang kepada Nabi dan bertanya, apa hak suami terhadap istrinya. Nabi
menjawab : .‫ وﻣﻼﺋﻜﺔ اﻟﻐﻀﺐ ﺣﱴ ﺗﺘﻮب أوﺗﺮﺟـﻊ‬، ‫ ﻓﺈن ﻓﻌﻠﺖ ﻟﻌﻨﻬﺎ اﷲ وﻣﻼﺋﻜﺔ اﻟﺮﲪـﺔ‬، ‫ ﺣﻘﻪ ﻋﻠﻴﻬﺎ أﻻ ﲣﺮج ﻣﻦ ﺑﻴﺘﻬـﺎ إﻻ ﺑﺈذﻧﻪ‬Lihat Wahbah
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, (Damsyik: Dār al-Fikr, 1997), h. 6851 - 6852
23
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 6855
24
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol.IX, h. 6855
25
Lihat Muḥammad Amīn al-Kurdī, Tanwīr al-Qulūb, (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 322
27
nusyus suami dapat dimaklumi, karena pada prinsipnya nusyus bagi mereka
melekat pada si istri, bukan kepada suami. Selain itu, bentuk-bentuk nusyus
suami tidak perlu diuraikan secara rinci karena nusyus suami berkaitan dengan
perintah Allah secara langsung, sedang hukum-hukum Allah swt sudah jelas.26
Namun demikian, di sini dapat disebutkan perbuatan yang dapat dikategorikan
sebagai tindakan nusyus dari suami, yaitu mengabaikan hak istri atas dirinya;
dan menganggap sepi atau rendah terhadap istrinya.27
Dasar hukum nusyus dapat dilihat dari dua sumber utama ajaran Islam
yaitu al-Qur’an dan hadis Rasulullah. Dasar hukum tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Al-Qur’an
Ayat yang berbicara tentang persoalan rumah tangga yang berkaitan
dengan nusyus, dapat dijumpai dalam al-Qur’an sebagai berikut :
1) QS al-Nisā’/4: 34
‫ﺿ ِﺮﺑـُ ْﻮُﻫـ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ‬
ْ ‫ﺎﺟـ ِﻊ َوا‬
ِ‫ﻀ‬
َ ‫ َواﻟﱠِْﱴ ﲣََﺎﻓـُ ْﻮ َن ﻧُ ُﺸ ْﻮَزُﻫـ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُْﻮُﻫـ ﱠﻦ َوا ْﻫ ُﺠ ُﺮْوُﻫـ ﱠﻦ ِﰱ اﻟْ َﻤ‬.....
(34) .‫اﷲَ َﻛﺎ َن َﻋﻠِﻴـﺎ َﻛﺒِْﻴـ ًﺮا‬
‫ﺗَـْﺒـﻐُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺳﺒِْﻴﻼً إِ ﱠن‬
Terjemahnya :
26
Berbeda dengan nusyus istri, selain berkaitan dengan Allah ia juga berkaitan dengan suami,
karena itu perlu dijelaskan secara rinci, sebab perintah suami bisa bermacam-macam.
27
Lihat Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4 (Jakarta: Ichtiar Baru,
1996), h. 1354
28
… wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.28
2) QS al-Nisā’/4: 128
‫ﺻ ْﻠ ًﺤـﺎ‬
ُ ‫ﺼﻠِ َﺤﺎ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬
ْ ُ‫ﺿﺎ ﻓَ َﻼ ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَْﻴ ِﻬ َﻤـﺎ أَ ْن ﻳ‬
ً ‫ﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ْﻮًزا أَْو إِ ْﻋَﺮا‬
ْ َ‫َوإِ ِن ا ْﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ‬
(128)
.‫ﺲ اﻟ ﱡﺸـ ﱠﺢ َوإِ ْن ُْﲢ ِﺴﻨُ ْـﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘ ْـﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﷲَ ﻛﺎَ َن ﲟَِﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُ ْـﻮ َن َﺧﺒِﻴـًْﺮا‬
ُ ‫ﻀَﺮ ِت ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
ِ ‫ﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧْﻴـٌﺮ َوأُ ْﺣ‬
‫َواﻟ ﱡ‬
Terjemahnya :
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir , dan jika kamu bergaul
dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyus dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”29
Dalam kitab-kitab tafsir dan fikih, kedua ayat di atas dikenal sebagai
ayat-ayat nusyus. Ayat pertama berbicara tentang nusyus istri, dan ayat kedua
berbicara tentang nusyus suami. Ayat-ayat tersebut turun menurut sebagian
ulama adalah dalam konteks masyarakat Arab ketika itu yang terbiasa dengan
28
29
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 123
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 143
29
kekerasan terhadap perempuan (istri).
Sebut misalnya pemukulan yang
dilakukan oleh Sa’ad Ibn al-Rabī’ terhadap istrinya Habībah binti Zaid.30
Pelecehan dan pemukulan adalah di antara bentuk kekerasan yang
paling sering dilakukan pada masa itu. Dengan demikian, ruh atau semangat
yang terkandung dalam kedua ayat yang dikemukakan di atas adalah bentuk
penghapusan atau pelarangan tindakan kekerasan dan pemukulan terhadap para
perempuan (istri).
Kondisi masyarakat Arab yang merupakan bagian dari sistem
kehidupan umat manusia yang didominasi oleh sistem patrilinial ketika itu,
menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua (the second human
being), ia berada di bawah superioritas laki-laki. Selanjutnya, kondisi tersebut
membawa dampak yang luas dalam kehidupan sosial masyarakat, yaitu
perempuan terkadang dianggap sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan
untuk kepentingan laki-laki.
Dari sini kemudian timbul berbagai bentuk
tindakan penyimpangan terhadap hak dan kewajiban, tindakan kekerasan,
pelecehan seksual dan sebagainya terhadap perempuan (istri).
Keadaan
tersebut kemudian dilegitimasi oleh pemahaman yang keliru terhadap teks-teks
keagamaan yang ditafsirkan secara parsial, termasuk di antaranya ayat tentang
nusyus istri yang membolehkan pemukulan.
30
Lihat Alā’ al-Dīn al-Kāsāni, Badāi’ al-Ṣanāi’, h. 53
30
b. Hadis
Hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah nusyus, di antaranya
adalah :
1) Hadis dari Hasan yang dikeluarkan oleh al-Faryābī
‫ﺎص‬
َ ‫ﺼ‬
َ ‫ﺲ اﻟْ ِﻘ‬
ُ ‫ت ﺗَـ ْﻠﺘَ ِﻤـ‬
ْ َ‫ ﻓَ َﺠﺎء‬، ُ‫ﺼﺎ ِر ﻟَﻄَ َﻢ ا ْﻣَﺮأَﺗَـﻪ‬
َ ْ‫ أَ ﱠن َر ُﺟﻼً ِﻣ َﻦ ْاﻷَﻧ‬: ‫أَ ْﺧَﺮ َج اﻟْ َﻔ ْﺮﻳَ ِﺎﰉ َﻋ ِﻦ اﳊَْ َﺴـ ِﻦ‬
‫ﺖ‬
َ ‫ﻚ َو ْﺣﻴُـﻪُ( ﻓَ َﺴ َﻜ‬
َ ‫ﻀﻰ إِﻟَْﻴ‬
َ ‫)وﻻَﺗَـ ْﻌ َﺠ ْﻞ ﺑِﺎﻟْ ُﻘ ْﺮآ ِن ِﻣ ْﻦ ﻗَـْﺒ ِﻞ أَ ْن ﻳـُ ْﻘ‬
َ ‫ﺖ‬
ْ َ‫ ﻓَـﻨَـَﺰﻟ‬.‫ﺎص‬
َ ‫ﺼ‬
َ ‫ﱯ ﺻﻢ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ اﻟْ ِﻘ‬
‫ﻓَ َﺠ َﻌ َﻞ اﻟﻨﱠِ ﱡ‬،
‫ أََرْدﻧَﺎ‬: ‫ﷲ ﺻﻢ‬
ِ ‫ﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل ا‬
َ ‫ﻓَـ َﻘ‬، ‫آﺧ ِﺮ ْاﻵﻳـَ ِﺔ‬
ِ ‫ﺎل ﻗَـ ﱠﻮا ُﻣ ْﻮ َن َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء إِ َﱃ‬
ُ ‫ اﻟﱢﺮ َﺟ‬: ‫ َوﻧـََﺰَل اﻟْ ُﻘ ْﺮآ ُن‬، ‫َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲِ ﺻﻢ‬
31
.ُ‫أَْﻣًﺮا َوأََرا َد اﷲُ َﻏْﻴـَﺮﻩ‬
Artinya :
Ditakhrij oleh al-Faryābī dari Hasan “bahwa seorang dari kaum ansar
menampar isterinya, lalu isterinya mengadu kepada Rasulullah untuk
menuntut balas, nabipun mengadakan qiṣās di antara keduanya, maka
turunlah ayat -dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an
sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu- sesudah itu nabipun
diam, kemudian turunlah ayat, laki-laki (suami) adalah pemimpin
terhadap perempuan (istri) dan seterusnya, lalu Rasulullah saw berkata :
kita menginginkan sesuatu tetapi keinginan Allah lain”.
Hadis ini menjadi latar belakang turunnya QS al-Nisā’/4: 34 yang
melegitimasi pemukulan terhadap istri. Akan tetapi pukulan yang sifatnya
tidak menyakiti, atau tidak meninggalkan bekas yang lama, atau tidak
menimbulkan cacat fisik, lebih-lebih membuatnya menderita dalam waktu
31
Lihat Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol. II, h. 512-
513.
31
yang lama. Pukulan ini dimaksudkan semata-mata sebagai bentuk “li alta’dīb”, penyadaran atau pendidikan untuk mengubah perilaku istri.
2) Hadis riwayat Aḥmad, Abū Dāwud dan Ibnu Mājah
‫ ﺗُﻄْﻌِ ُﻤﻬـَﺎ‬: ‫ﺎل‬
َ َ‫ َﻣﺎ َﺣ ﱡﻖ اﻟْ َﻤ ْﺮأَِة َﻋﻠَﻰ اﻟﱠﺰْو ِج ؟ ﻗ‬: ‫ﱯ ﺻﻢ َﺳﺄَﻟَﻪُ َر ُﺟـ ٌﻞ‬
‫ أَ ﱠن اﻟﻨﱠِ ﱠ‬: ‫ي‬
‫َو َﻋ ْﻦ ُﻣ َﻌﺎ ِوﻳَِﺔ اﻟْ ُﻘ َﺸ ِْﲑ ﱢ‬
‫)رواﻩ أﲪﺪ‬
.‫ـﺖ‬
ِ ‫ َوَﻻﺗَـ ْﻬ ُﺠ ْـﺮ إِﻻﱠ ِﰱ اﻟْﺒَـْﻴ‬، ‫ َوَﻻﺗـُ َﻘﺒﱢ ْﺢ‬، َ‫ﻀ ِﺮ ِب اﻟْ َﻮ ْﺟـﻪ‬
ْ َ‫ َوَﻻﺗ‬، ‫ـﺖ‬
َ ‫ َوﺗَ ْﻜ ُﺴ ْﻮَﻫﺎ إِذَا ا ْﻛﺘَ َﺴْﻴ‬، ‫ـﺖ‬
َ ‫إِذَا ﻃَﻌِ ْﻤ‬
32
(‫وأﺑﻮداود واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬
Artinya :
Dari Mu’āwiyah al-Qusyairī bahwa Nabi ditanya oleh seseorang: apa hak
seorang istri terhadap suaminya ? Nabi berkata : engkau memberi makan
jika engkau makan, engkau memberi pakaian jika engkau berpakaian,
jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan
memboikotnya kecuali masih di dalam rumah
Hadis di atas lebih mempertegas pengaturan pemukulan yang
dibolehkan agama, yaitu pukulan yang tidak menyakiti, seperti tidak boleh
memukul wajah, perut, dan daerah-daerah sensitif lainnya.
3) Hadis dari Ibn Abbās yang dikeluarkan oleh al-Ṭayālisī dan al-Tirmżī
sebagai berikut :
32
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh, vol. IX, h. 6834
32
، ‫ـﺖ َﺳ ْﻮَدةُ أَ ْن ﻳُﻄَﻠﱢ َﻘ َﻬﺎ َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲِ ﺻﻢ‬
ْ َ‫ َﺧ ِﺸﻴ‬: ‫ﺎل‬
َ َ‫ﺎس ﻗ‬
ٍ ‫ى َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒﱠ‬
‫أَ ْﺧَﺮ َج اﻟﻄﱠﻴَﺎﻟِ ِﺴ ﱡﻰ َواﻟﺘﱢـ ْﺮِﻣ ِﺬ ﱡ‬
‫ﺖ ِﻣ ْﻦ‬
ْ َ‫)وإِ ِن ا ْﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ‬
َ ُ‫ﺖ َﻫ ِﺬﻩِ ْاﻵﻳـَﺔ‬
ْ َ‫ ﻓَـ َﻔ َﻌ َﻞ َوﻧـََﺰﻟ‬، َ‫ ﻳَﺎ َر ُﺳ ْﻮ َل اﷲِ ﻻَ ﺗُﻄَﻠﱢ ْﻘ ِﲎ َوا ْﺟ َﻌ ْﻞ ﻳـَ ْﻮِﻣ ْﻰ ﻟِ َﻌﺎﺋِ َﺸـﺔ‬: ‫ﺖ‬
ْ َ‫ﻓَـ َﻘﺎﻟ‬
33
(.....‫ﺑـَ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ْﻮًزا‬
Artinya :
Saudah (istri Rasulullah) khawatir jika Rasulullah saw menceraikannya,
lalu dia berkata, ya Rasulallah janganlah ceraikan saya, dan jadikanlah
giliranku buat ‘Ᾱisyah. Rasulullah pun melakukannya lalu turunlah ayat:
(Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus dan seterusnya).
Hadis di atas menggambarkan kisah Saudah binti Zam’ah yang curiga
dan khawatir diceraikan oleh Rasulullah saw karena sudah tua. Untuk itu,
Saudah merelakan bagian dari giliran malamnya kepada ‘Ᾱisyah r.a. asalkan
Rasulullah tidak mentalaknya.
2. Akibat hukum nusyus
a. Akibat hukum nusyus istri
Jika dalam suatu rumah tangga berjalan normal dan harmonis, dalam
arti masing-masing melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya sesuai
dengan apa yang ditetapkan oleh agama
Islam, maka tidak ada masalah.
Namun, jika salah satu pihak mengabaikan kewajibannya, dalam arti bertindak
nusyus, maka bagaimana akibat atau efek yang ditimbulkan oleh tindakan
nusyus tersebut.
33
Lihat ‘Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol. II, h. 710
33
Dikaitkan
dengan
nusyus
tersebut,
bila
seorang
istri
tidak
melaksanakan kewajibannya seperti yang akan diuraikan dalam pembahasan
berikutnya,
maka
sebagai
konsekwensinya,
menurut
jumhur
ulama
sebagaimana dikutip Amir Syarifuddin, suami tidak lagi wajib memberi nafkah
dalam masa nusyusnya itu. Alasannya, adalah bahwa nafkah yang diterima
oleh istri merupakan imbalan dari ketaatan yang dipersembahkan kepada
suaminya. Istri yang nusyus, berarti hilang ketaatannya kepada suami, dan
karenanya si istri tidak berhak mendapatkan nafkah. Akan tetapi, bila istri
kembali menyadari kesalahan dan kekhilafan yang dilakukannya, sehingga ia
kembali melaksanakan kewajibannya seperti semula, maka ketika itu hak
nafkah baginya juga diperolehnya kembali. Demikian pandangan jumhur
ulama.34
Berbeda dengan jumhur ulama, ulama Ẓāhiriyah berpendapat
sebagaimana ditulis oleh al-Shiddieqy, bahwa istri yang nusyus, tidak gugur
haknya untuk menerima nafkah. Alasannya, adalah bahwa nafkah diwajibkan
bukan atas dasar istimtā’ (bersenang-senang) yang harus dipatuhi istri, tetapi
atas dasar akad nikah.35 Jika dalam perjalanan rumah tangga, suatu saat istri
34
Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 173 – 174
35
Lihat Hasbi al-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Semarang: Pustaka Rizki, 1997), h.
256
34
tidak menjalankan kewajibannya, artinya, istri dalam keadaan nusyus, maka
suami hanya berhak memberi nasehat atau pelajaran, seperti yang akan
diuraikan dalam pembahasan tentang konsep penyelesaian nusyus.36
Sejalan dengan pendapat jumhur ulama, Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa istri yang nusyus menyebabkan gugurnya kewajiban suami
terhadapnya berupa : nafkah, kiswah dan tempat kediaman; biaya rumah
tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan.37
b. Akibat hukum nusyus suami
Secara teoritis, para ulama fikih seperti dikemukakan sebelumnya,
menyimpulkan bahwa istilah nusyus, hanya melekat atau berkaitan dengan
istri, tidak kepada suami. Sejalan dengan itu, Kompilasi Hukum Islam juga
tidak menyinggung sama sekali tentang nusyus suami. Ini menunjukkan bahwa
nuansa kitab-kitab fikih yang telah ditulis oleh para ulama klasik -nota bene
dianggap oleh kaum feminis sebagai kitab fikih yang bersifat partriarkhimasih sangat kental dalam Kompilasi Hukum Islam. Sementara jika dicermati
ayat tentang nusyus seperti yang telah dikutipkan pada pembahasan tentang
36
Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 173 - 174
37
Lihat KHI Pasal 84 ayat (2) berbunyi : Selama istri nusyus, kewajiban suami terhadap
istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan
anaknya. Selanjutnya, Pasal 84 ayat (3) berbunyi : Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas
berlaku kembali sesudah istri tidak nusyus.
35
dasar hukum nusyus (QS al-Nisā’/4: 128), secara tersurat menyebutkan tentang
nusyus suami.
Meski secara tersurat disebutkan dalam al-Qur’an tentang nusyus
suami, namun di dalam kitab-kitab fikih, baik klasik maupun kontemporer,
tidak banyak ditemukan pembahasan tentang nusyus suami. Penyebabnya,
adalah karena di antara pengertian nusyus adalah “‫ﺼﻴَﺎ ُن‬
ْ ِ‫( ”اﻟْﻌ‬durhaka)
sebagaimana diuraikan sebelumnya. Jika kata durhaka tersebut dikaitkan
dengan QS al-Nisā’/4: 34 yang menegaskan suami sebagai pemimpin, dan
kepala keluarga,38 dan kemudian lebih dipertegas lagi dalam pembacaan ṣigat
ta’līq ṭalāk yang biasanya dibacakan ketika usai perkawinan dilangsungkan,
maka semua itu menunjukkan status dan kedudukan suami setingkat lebih
tinggi dari kedudukan istri dalam kehidupan berumah tangga.39 Jika logika
tersebut diterima, maka kata “durhaka” tidak tepat dilengketkan kepada sang
suami sebagai atasan atau orang yang kedudukannya setingkat lebih tinggi dari
38
KHI Pasal 79 ayat (1) menyebutkan : “suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah
tangga.” Pasal 80 ayat (1) berbunyi : “Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah
tangganya....”
39
Pembacaan sigat ta’līq ṭalāq biasanya dibacakan oleh suami setelah ijab kabul sebagai janji
setia kepada istri di hadapan Allah dan Rasul-Nya untuk menjalankan kewajibannya dengan baik dan
sungguh-sungguh. Sigat tersebut meliputi empat hal : (a) tidak meninggalkan istri selama dua tahun
berturut-turut; (b) tidak meninggalkan pemberian nafkah wajib kepada istri selama tiga bulan; (c) tidak
menyakiti badan/jasmani istri; dan (d) tidak membiarkan atau memperdulikan istri selama enam bulan.
Jika keempat hal ini diabaikan oleh suami sedang istri tidak rela dan mengadukannya kepada
Pengadilan Agama, kemudian pengaduan itu dibenarkan, maka talak satu dapat dijatuhkan oleh
Pengadilan. Dalam KHI dijelaskan ta’līq ṭalāq adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria
setelah akan nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada
suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
36
pada istri. Kata durhaka biasanya, diperuntukkan kepada mereka yang status
dan kedudukannya lebih rendah posisinya. Seperti halnya orang tua yang
statusnya lebih tinggi daripada anaknya, tidak pernah disebut “durhaka”
kepada anaknya sebesar apa pun kesalahan dan kelalaiannya. Sebaliknya,
seorang anak akan dicap sebagai anak durhaka bila enggan ataukah menentang
perintah kedua orang tuanya.
Jika demikian, perkataan atau tindakan mengabaikan kewajiban yang
menjadi hak bagi istri pada hakekatnya adalah perbuatan nusyus, meski secara
tersurat tidak dikatakan demikian. Oleh karena itu, seandainya suami
melakukan
nusyus,
dalam
arti
meninggalkan
kewajibannya,
maka
konsekwensinya adalah ia tidak lagi layak untuk dipatuhi oleh istri sebagai
seorang pimpinan. Di samping itu, bila istri tidak rela menerima perlakuan
suami yang dinilai nusyus, maka istri dapat melaporkannya kepada hakim atau
Pengadilan Agama dengan alasan nusyus. Atas dasar pengaduan tersebut, bila
hakim memandang laporan tersebut benar dan dapat mengarah kepada
kemudaratan, maka talak dapat dijatuhkan melalui cara khulu’.
3. Langkah-langkah penanganan kasus nusyus
a. Nusyus istri
37
Ayat yang berbicara tentang konsep penyelesaian konflik dalam rumah
tangga, ketika pihak istri enggan menjalankan kewajibannya adalah potongan
QS al-Nisā’/4: 34,40
َ‫ﺿ ِﺮﺑـُ ْﻮﻫـُ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَﻼ‬
ْ ‫ﺎﺟـ ِﻊ َوا‬
ِ‫ﻀ‬
َ ‫اﻟﻼﺗِ ْﻰ ﲣََﺎﻓـُ ْﻮ َن ﻧُ ُﺸ ْﻮَزُﻫـ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُْﻮُﻫ ﱠﻦ َوا ْﻫ ُﺠ ُﺮْوُﻫـ ﱠﻦ ِﰱ اﻟْ َﻤ‬
‫ َو ﱠ‬...
.‫ﺗَـْﺒـﻐُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬـ ﱠﻦ َﺳﺒِْﻴ َـﻼ إِ ﱠن اﷲَ َﻛﺎ َن َﻋﻠِﻴﺎ َﻛﺒِْﻴـًﺮا‬
‫ﲣﺎﻓﻮن‬
yang maknanya adalah “khawatir”,
diperselisihkan oleh para ulama.
Sebagian menafsirkan dengan “adanya
Penggunaan kata
indikasi terjadinya nusyus”. Artinya, baru tampak tanda-tanda yang mengarah
akan terjadinya nusyus, berbeda seandainya ayat ini menggunakan kata
ta’lamūna (mengetahui) atau wallatī yansyizna.
Sementara yang lain,
menafsirkan “telah nyata terjadinya nusyus”. Penggunaan kata ‫ ﲣﺎﻓﻮن‬tersebut,
dimaksudkan agar jangan sekali-kali sampai terjadi tindakan nusyus dalam
suatu rumah tangga, karena nusyus adalah sebuah penyimpangan dari aturan
40
QS al-Nisā’/4: 34 ini selain menjelaskan kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam
rumah tangga, juga menjelaskan tentang keadaan wanita dibawah kepemimpinan laki-laki. Ada wanita
yang ṣāliḥah dan taat, tapi ada pula yang durhaka dan keras hati. Wanita ṣāliḥah adalah wanita yang
taat kepada suaminya, memelihara perintah Allah, melaksanakan tanggung jawabnya, memelihara
dirinya dari perbuatan keji, dan memelihara harta suaminya. Sebaliknya ada pula wanita yang keras
hati, yaitu istri-istri yang sombong dan enggan untuk mentaati suaminya.
38
dasar yang dapat mengakibatkan terganggunya harmonisasi dalam kehidupan
rumah tangga.41
Sementara itu, kata yang digunakan adalah kata takhāfūn (‫ )ﲣﺎﻓﻮن‬yang
berarti “khawatir” merupakan kata yang sama digunakan pada ayat berikutnya
(ayat ke-35). Namun demikian, jika pada ayat berikutnya menggunakan
timbangan fi’il māḍi (lampau) yaitu khiftum
‫ﺧﻔـﺘـﻢ‬
, maka pada ayat ini
menggunakan timbangan fi’il muḍāri’ (sedang/akan datang) yaitu ‫ﲣﺎﻓﻮن‬.
Ayat berikutnya yang menggunakan kata khiftum menunjukkan tingkat
kekhawatiran yang sudah tinggi, karena tanda-tanda yang nampak sudah
terjadi dalam sebuah keluarga.
Konflik antara suami-istri sudah sangat
memuncak sehingga dibutuhkan keterlibatan dan bantuan orang lain untuk
mencegah konflik tersebut sampai pada kondisi perpecahan. Sedangkan dalam
ayat ini digunakan kata takhāfūn (‫ )ﲣﺎﻓﻮن‬yang berarti konflik suami-istri itu
belum begitu tinggi, mengingat tanda-tanda yang nampak masih terjadi secara
samar. Karena itu, sistem yang dianjurkan agar kekhawatiran itu tidak sampai
kepada puncaknya, “ cekcok terus menerus atau perceraian”, maka langkah
yang diperlukan disesuaikan dengan tingkat kekhawatiran itu sendiri. Diawali
41
Lihat Rasyid Riḍa, Huqūq al-Nisā’ fī al-Islām, diterjemahkan oleh Abu ‘Amir, Memenuhi
Hak Kekasih, (Yogyakarta: Absolut, 2002), h. 90 - 91
39
tingkatan yang paling ringan, sedang, dan terakhir yang paling tinggi,
berdasarkan tingkat kejelasan tanda-tanda yang sudah ada.42
Tingkat kekhawatiran itu adalah kondisi nusyus, yaitu kondisi ketika
salah satu pihak sudah mengabaikan atau enggan menunaikan kewajibannya,
yang kemungkinannya disebabkan oleh berbagai faktor dalam kehidupan
keluarga. Dalam kaitan ini, al-Qur’an meletakkan garis untuk menarik, dan
mengembalikan mereka pada posisi fitrah kewanitaannya dengan dua cara.
Pertama, adalah solusi internal. Kedua, solusi ekternal, yaitu berdamai dengan
perantaraan hakam (seorang yang bijak). Cara kedua ini dilakukan yaitu di saat
suami-istri
tidak
berhasil
mengatasi
kemelut
mereka
berdua,
yang
keputusannya dapat membawa kepada solusi yang memuaskan mereka. (lebih
lanjut akan diuraikan pada pembahasan tentang hakam).
Solusi internal yaitu diserahkan kepada suami, sebagai pemimpin dan
pelindung keluarga, untuk menjaga masalah mereka berdua agar tidak tersebar
ke mana-mana dan menjadi konsumsi publik. Solusi internal ini, acap kali
sukses menyelesaikan masalah, tanpa harus diketahui selain mereka berdua
(suami-istri).
Langkah pertama dari solusi internal yang mesti diambil dalam
perspektif ayat ini ialah, jika istri memperlihatkan tanda-tanda yang mengarah
42
Lihat Nur Taufiq, Syikak Dalam Hukum Keluarga Islam, h. 87
40
kepada kondisi nusyus tersebut ialah memberikan nasehat. Nasehat yang baik
yang dapat menyentuh perasaan halusnya sesuai dengan sifat dan tabiatnya.
Sebut misalnya, mengingatkan hukum-hukum Allah padanya dan membuatnya
takut dari siksa dan azab-Nya yang pedih.
Lalu, menjelaskan apa yang
menjadi kewajibannya untuk menghindari azab tersebut. Selanjutnya, jika ia
tidak mengindahkannya, maka peringatkan kepadanya tentang dosa besar yang
akan ditanggungnya dengan dalil-dalil yang begitu banyak dari al-Qur’an dan
hadis tentang masalah tersebut. Di samping itu, suami hendaknya memilih
momen yang tepat di saat istri tenang, misalnya sesudah shalat magrib, atau di
tempat rekreasi ataukah di waktu-waktu tenang lainnya, dengan sikap lemah
lembut dan budi bahasa yang luhur dan santun yang menunjukkan
penghormatan kita kepadanya. Dan yang lebih penting lagi adalah : sang
suami yang memberi peringatan atau nasehat harus menjadi teladan, terutama
dalam masalah yang menjadi kewajibannya.
Nasehat yang disampaikan kepada istri ini pun melalui beberapa
tahapan, yaitu mulai dari cara yang paling ringan hingga cara yang paling
keras. Sebagai misal, pertama-tama ia menggunakan cara-cara yang tidak
langsung
atau
frontal,
seperti
memberikan
penggambaran
dengan
menggunakan kasus orang lain atau mengambil kisah-kisah para sahabat atau
orang-orang terdahulu, pada hal yang dimaksud adalah istrinya sendiri, atau
41
dengan kalimat-kalimat yang simbolik yang halus, yang dapat menyentuh hati
pendengarnya. Jika cara ini gagal, maka dapat dipergunakan kata-kata yang
langsung tetapi secara bertahap juga, yaitu dengan menyampaikan pikiran atau
pandangan yang tepat, hingga ancaman secara frontal, yakni bahwa ia harus
berusaha mengubah sifat dan kekeliruannya, dan bahwa ia telah cukup lama
membuatnya marah dan akibatnya Allah pun akan marah kepadanya kalau
tidak segera kembali kepada tuntunan agama. Perlu pula dicatat bahwa nasehat
itu tak ada batasnya, kadangkala harus berulang dan kontinyu, dan karenanya
seorang suami dituntut untuk memiliki sifat kesabaran yang tinggi dalam
menyampaikan nasehat.
Memberikan nasehat dalam rangka penyelesaian konflik tentu saja
bukan berarti satu arah kepada yang diberi nasehat, tetapi juga dengan
mengajak
bermusyawarah
dan
menanyakan
faktor-faktor
apa
yang
menyebabkan dirinya berbuat seperti itu. Karena bisa jadi suatu tindakan,
bukan saja merupakan suatu aksi, tetapi juga merupakan suatu reaksi, atau
sebaliknya. Dengan demikian, jika seorang istri berbuat nusyus, maka suami
haruslah mengetahui lebih dahulu apa yang menyebabkan adanya tindakan
yang memperlihatkan tanda-tanda penentangan atau keengganan menunaikan
kewajibannya, apakah sebuah aksi ataukah sebuah reaksi.
42
Jika penentangan itu merupakan tindakan aksi yang muncul dari diri si
istri sendiri, maka langkah yang diperlukan adalah menasehati dengan cara
seperti yang dikemukakan di atas, yaitu mengingatkan kembali terhadap
kewajibannya dan sanksi dari Allah jika mengabaikannya.
Namun jika tindakan tersebut merupakan sebuah reaksi, maka langkah
yang diperlukan tentu saja tidak cukup memberi nasehat seperti yang
dijelaskan, tetapi mencari akar masalahnya sehingga bertindak demikian, agar
kedua belah pihak dapat mencari solusi, merenung dan saling introspeksi diri.
Langkah selanjutnya, jika cara memberi nasehat tidak berhasil, dan
istri tetap saja menunjukkan penentangan dan keengganan untuk menunaikan
kewajibannya, maka dapat ditempuh cara yang kedua, yaitu menunjukkan
ekspresi ketidaksenangan terhadap tindakan yang dilakukannya dengan cara
meninggalkannya di tempat tidur (‫)واﻫﺠﺮوﻫـﻦ ﰱ اﳌﻀﺎﺟـﻊ‬
Dalam Tafsir Jalālain, yang dimaksud meninggalkan istri di tempat
tidur ialah meninggalkan dan atau berpindah ke tempat tidur lainnya (pisah
ranjang).43 Namun demikian, kata “hajr” dalam ayat tersebut adalah kinayah
yang berarti tidak mencampurinya. Sejalan dengan arti tersebut, menurut Ibn
‘Abbās bahwa yang dimaksud dengan meninggalkan istri di tempat tidur ialah
43
Jalāl al-ddīn al-Maḥalli dan Jalāl al-ddīn al-Suyūṭi, Tafsīr Jalālain, (Damsyiq: Dār al-Jail,
1995), h. 84
43
“bukan hanya berpisah tempat tidur tapi juga membelakangi dan tidak
berhubungan badan” dengannya di atas tempat tidur ( ‫أن ﻳﻀﺎﺟﻌﻬـﺎ وﻳﻮﻟﻴﻬﺎ ﻇﻬﺮﻩ وﻻﳚﺎﻣﻌﻬـﺎ‬
).44
Senada dengan pendapat Ibn ‘Abbās di atas, M. Quraish Shihab
mengatakan bahwa kalimat wahjurūhunna berasal dari kata hajr, yang artinya
meninggalkan tempat atau keadaan yang tidak baik atau tidak disenangi ke
tempat dan atau keadaan yang baik, yaitu meninggalkan sikap dan perbuatan
dari istri yang tidak baik. Sedangkan tempat dan keadaan yang diharapkan
ialah agar istri bersedia mengubah sikap dan tindakannya yang tidak disenangi,
sehingga keadaan rumah tangga dapat menjadi lebih baik. 45
Penggunaan kata “fī (‫) ﰱ‬, bukan “min” ( ‫ ) ﻣـﻦ‬di sini menunjukkan
bahwa yang dimaksud meninggalkan mereka di tempat tidur, bukanlah berarti
mesti berpindah ke tempat tidur lainnya (pisah ranjang), apalagi harus
meninggalkan rumah. Karena jauh dari pasangan yang sedang bermasalah,
bukan berarti masalah akan selesai, bahkan bisa jadi justeru akan menambah
jurang perselisihan. Oleh karena itu, yang dimaksud meninggalkan mereka di
tempat tidur ialah tidak menyentuhnya, meninggalkan segala bentuk
kesenangan yang diperoleh di tempat tidur, seperti cumbu rayu dan hubungan
44
‘Ali al-Ṣābunī, Rawāi’ al-Bayān, h. 464
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.
II, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 431
45
44
suami-istri, agar ia dapat menyadari rasa ketidaksenangan suami atas sikapnya.
Dengan tindakan demikian, diharapkan sang istri bisa merenung dan
mengintrospeksi diri sehingga bersedia mengubah sikapnya terhadap suami,
agar tercipta kembali suasana yang lebih baik, sesuai maksud dari kata hajr itu
sendiri.
Cara ini merupakan tindakan psikologis yang dapat menyentuh
perasaan terdalam seorang perempuan, agar memahami bahwa ia sangat lemah
daya tawarnya bagi laki-laki, meski rayuan, kecantikan, dan lain-lain telah
dilakukannya.46
Dari sini dapat dipahami bahwa inti yang diinginkan dalam ayat
tersebut ialah agar suami dapat menunjukkan ekspresi ketidaksenangannya
terhadap sikap istri yang melalaikan kewajibannya. Ekspresi ini diharapkan
secara psikologis, istri dapat menyadari dan mengubah sikapnya. Meskipun
secara tersurat, ayat ini menyebutkan langkah-langkah yang bersifat biologis.
Redaksi “tinggalkan mereka di tempat tidur” adalah sebagai simbol di mana
seorang perempuan dapat memberikan kesenangan tertinggi terhadap laki-laki,
dalam hal ini hubungan badan/biologis.
Secara psikologis, kemampuan seorang istri untuk menyenangkan
suami menurut Nur Taufiq adalah menjadi sebuah kebanggaan atau
46
Lihat Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. II, h.
430
45
kebahagiaan tersendiri bagi seorang istri. Dengan demikian, meninggalkan
sesuatu, meskipun bersifat biologis, yang bisa mendatangkan kebahagiaan dan
kebanggaan bagi istri, akan sangat memukul dan berpengaruh terhadap
psikologi istri itu sendiri.47
Jika logika pemikiran di atas diterima, berarti meninggalkan segala
macam bentuk kesenangan yang dapat ditawarkan oleh seorang istri misalnya
makanan, minuman, atau apa saja yang menjadi sebuah kebanggaan dan
kebahagiaan tersendiri bagi mereka dalam rangka menyenangkan hati sang
suami, juga merupakan bagian dari langkah yang dapat diambil untuk
menunjukkan ekspresi ketidaksenangan terhadap sikap pembangkangan
seorang istri.
Pemahaman seperti di atas cukup beralasan, sebab jika yang
dimaksudkan oleh ayat itu hanya bernuansa “tempat tidur” atau “hubungan
suami-istri”, maka kemungkinannya dalam kondisi tertentu tidak menjadi
masalah bagi seorang istri, misalnya terhadap istri yang sudah
terbiasa
berpisah tidur atau terhadap istri yang sedang mengalami haid. Istri yang
terbiasa pisah tidur atau sedang haid, mungkin berpikir bahwa keengganan
suami untuk berhubungan dengannya disebabkan oleh kondisinya yang
sementara haid, sehingga psikologi istri tidak berarti atau bahkan tidak
47
Lihat Nur Taufiq, Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 90
46
berpengaruh sama sekali. Terutama bila keengganan menunaikan kewajiban
itu justru berkaitan dengan persoalan hubungan suami-istri yang bersifat
biologis, maka tentu langkah meninggalkan tempat tidur atau meninggalkan
kamar menjadi kurang atau bahkan tidak efektif sebagai suatu langkah untuk
mengembalikan kesadaran terhadap kewajibannya.
Adapun waktu yang diperbolehkan oleh agama untuk pisah ranjang
tidak ditentukan; ada yang berpendapat bahwa pisah ranjang maksimalnya
empat bulan, sebagaimana dalam kasus ila’48 ; QS al-Baqarah/2: 226 “Kepada
orang-orang yang meng-ilā’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.49
Namun, terdapat riwayat dari Rasulullah saw yang menyatakan bahwa
beliau tidak menyentuh semua istrinya selama satu bulan penuh. Karena, satu
bulan penuh sudah cukup, kecuali jika terdapat pertimbangan lain yang lebih
48
Meng-ila’ istrinya maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri istri. Sumpah ini
membuat seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Dengan
turunnya ayat ini, maka suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi istrinya lagi
dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan. Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, h. 55
49
‫ﻟﻠﺬﻳﻦ ﻳﺆﻟﻮن ﻣﻦ ﻧﺴﺎﺋﻬـﻢ ﺗﺮﺑﺺ أرﺑﻌـﺔ أﺷﻬـﺮ ﻓﺈن ﻓﺎءوا ﻓﺈن اﷲ ﻏﻔﻮر رﺣﻴﻢ‬
47
bijak dal am pandangan suami. Yang terpenting adalah bahwa pisah ranjang itu
adalah solusi, bukan malah problem yang mendatangkan kesengsaraan. 50
Sebagaimana pada cara pertama, cara kedua juga memiliki tahapantahapan; dari yang paling ringan hingga yang paling keras. Misalnya, tidak
menyentuhnya beberapa hari, selanjutnya membelakanginya di tempat tidur,
dan seterusnya. Yang terpenting tidak amat menyakiti hatinya, atau bahkan
mengusirnya dari rumah. Sebab, jika si istri diusir, maka persoalan interen pun
akan menyebar ke mana-mana dan sia-sialah upaya pisah ranjang yang
bertujuan untuk menyadarkannya.
Seandainya langkah kedua di atas belum berhasil mengubah kesadaran
istri terhadap keengganannya untuk menunaikan kewajibannya atau justru
memperlihatkan tanda-tanda nusyus yang semakin nyata, maka langkah
terakhir menurut petunjuk al-Qur’an adalah memberikan pendidikan berupa
sanksi fisik, yaitu “pukulan atau cambukan”. Pukulan tersebut hendaknya
tidak diketahui oleh siapapun juga kecuali dia dan istrinya, dan yang menjadi
saksi adalah Allah ketika melakukan pukulan dan bagaimana ia melakukannya.
Umumnya ulama menafsirkan kata wadribūhunna dalam QS alNisā’/4: 34 itu dengan makna “haqiqi”, yaitu memukul. Meski arti “haqiqi”
50
Lihat Kamil al-Hayāli, al-Khilāfāt al-Zaujiyyah, Diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin,
Solusi Islam dalam Konflik Rumah Tangga, h. 50
48
tersebut terjadi perbedaan pendapat tentang hukum pemukulan tersebut.
Apakah boleh atau makruh. Tetapi para ulama sepakat, bahwa pemukulan itu
dibolehkan, tapi meninggalkannnya adalah lebih utama.”51
Al-Qāḍi Ibn al-‘Arabī sebagaimana dikutip oleh Kamil al-Hayāli
menyebutkan bahwa “’Aṭā berkata : seorang suami tidak boleh memukul
istrinya, walaupun ketika dia menyuruh atau melarang sesuatu terhadap
istrinya ia tidak patuh. Dia hanya boleh memarahinya.52
Di dalam hadis disebutkan bahwa para suami dilarang memukul istriistri mereka sebagaimana sabda Rasulullah saw.
‫ ﰒُﱠ َﺷ َﻜ ْﻮُﻫ ﱠﻦ إِ َﱃ‬، ‫ب اﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء‬
ِ ‫ﺿ ْﺮ‬
َ ‫ﺎل ﻧـَ َﻬ ْﻮا َﻋ ْﻦ‬
ُ ‫ َﻛﺎ َن اﻟﱢﺮ َﺟ‬: ‫ﺖ‬
ْ َ‫ﺖ أَِﰉ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ ﻗَﺎﻟ‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ أُﱢم َﻛ ْﻠﺜـُ ْﻮٍم ﺑِْﻨ‬
‫أﺧﺮج إﺑﻦ‬
."‫ب ِﺧﻴَﺎ ُرُﻛ ْﻢ‬
َ ‫ﻀ ِﺮ‬
ْ َ‫"وﻟَ ْﻦ ﻳ‬
َ : ‫ﺎل‬
َ َ‫ﺿ ْﺮِِ ﱠﻦ ﰒُﱠ ﻗ‬
َ ‫ﲔ‬
َ ْ َ‫ ﻓَ َﺨﻠﱠﻰ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ َوﺑـ‬، ‫ﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
ِ ‫َر ُﺳ ْﻮِل ا‬
53
.‫ﺳﻌﺪ واﻟﺒﻴﻬﻘﻲ‬
Artinya :
Dari Ummu Kalṡūm binti Abi Bakr, ia berkata : para lelaki dilarang
memukul istri-istri mereka, kemudian hal itu diadukan kepada Rasulullah
saw, lalu Rasulullah menyerahkannya kepada mereka dan berkata :
orang-orang terbaikmu tidak akan memukul.
51
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqāid wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj,
vol. V, h. 57
52
Lihat Kamil al-Hayāli, al-Khilāfāt al-Zaujiyyah, Diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin,
Solusi Islam dalam Konflik Rumah Tangga, h. 53
53
Lihat ‘Abd al-Rahmān Jalāluddī al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡur, vol.II,
h. 523.
49
Hadis di atas menjelaskan bahwa meski seorang suami diperbolehkan
mengadakan tindakan pemukulan terhadap istrinya, namun itu tidaklah pantas
bagi seorang laki-laki atau suami terhormat yang menjadi pemimpin rumah
tangga.
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa meninggalkan cara yang terakhir,
yaitu pukulan adalah lebih utama, sebagaimana firman Allah QS al-Baqarah/2:
229
.‫ف أَْوﺗَ ْﺴ ِﺮﻳْ ٌﺢ ﺑِِﺈ ْﺣ َﺴـﺎ ٍن‬
ٍ ‫ﺎك ﲟَِْﻌ ُﺮْو‬
ٌ ‫ﻓَِﺈ ْﻣ َﺴ‬
Terjemahnya:
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik.54
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa meski memukul itu
dibolehkan, namun meninggalkannya adalah lebih baik dan lebih utama.
Dengan demikian, dalam perspektif akhlak atau budi pekerti, maka pisah
ranjang adalah cara terakhir untuk meluruskan penyimpangan dan kelalaian
istri.
Para ulama juga memahami kata ini dengan pukulan yang tidak
bertujuan menyakiti apalagi melukai atau mencederai, berdasarkan penjelasan
dan hadis-hadis Rasulullah saw. Hadis itu antara lain :
54
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55
50
‫ف‬
ِ ‫ﺼْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ ِﰱ اﻟْ َﻤ ْﻌ ُﺮْو‬
َ ‫ﺿ ِﺮﺑـُ ْﻮُﻫـ ﱠﻦ إِذَا َﻋ‬
ْ ِ‫ إ‬: ‫ﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
ِ ‫ﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل ا‬
َ َ‫ ﻗ‬: ‫ﺎل‬
َ َ‫َﻋ ْﻦ ِﻋ ْﻜ ِﺮَﻣ ٍﺔ ﻗ‬
55
‫أَ ْﺧَﺮ َج اﺑْ ُﻦ َﺟ ِﺮﻳْ ٍﺮ‬
.‫ﺿ ْﺮﺑًﺎ َﻏْﻴـَﺮ ُﻣﺒَـﱢﺮٍح‬
َ ،
Artinya :
Di takhrij oleh Ibn Jarīr dari ‘Ikrimah, dia berkata : Rasulullah saw
bersabda : Pukullah mereka (istrimu), jika mereka mendurhakai kalian
dalam kebaikan dengan pukulan yang tidak menyakiti (tidak
menimbulkan bekas).
Ibn ‘Abbās sebagaimana dikutip oleh al-Suyūṭi mengatakan bahwa
pukulan yang tidak menyakiti adalah pukulan dengan menggunakan kayu
siwak dan semacamnya.56 Berdasarkan pernyataan Ibn ‘Abbās tersebut, maka
pukulan sama sekali tidak boleh menggunakan cemeti atau tongkat, tidak
mengulang-ulang pada tempat yang sama, menghindari wajah, dan harus
dengan pukulan yang ringan sebagaimana ringannya kayu siwak.
Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah saw menjelaskan bahwa
memukul seorang istri tidak boleh mengenai wajah dan tidak boleh
mencederai.
Al-Sya’rawi dalam Nur Taufiq, menjelaskan bahwa yang
dimaksud tidak mencederai ialah pemukulan yang tidak sampai mengucurkan
darah, tidak meninggalkan bekas dan tidak meretakkan tulang. Intinya, adalah
55
Lihat ‘Abd al-Rahmān Jalāluddī al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡur, vol.II,
h. 522.
56
‫ﺑﺎﻟﺴﻮاك وﳓﻮﻩ‬: ‫ ﻣﺎ اﻟﻀﺮب ﻏﲑ اﳌﱪح ؟ ﻗﺎل‬: ‫ ﻗﻠﺖ ﻻﺑﻦ ﻋﺒﺎس‬: ‫ وأﺧﺮج اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﻋﻦ ﻋﻄﺎء ﻗﺎل‬Artinya : ditakhrij oleh Ibn
Jarīr dari ‘Ațā’ dia berkata : Saya berkata kepada Ibn ‘Abbās : apakah pukulan yang tidak menyakiti
(tidak menimbulkan bekas) ? Dia berkata : siwak dan sejenisnya. Lihat ‘Abd al-Rahmān Jalāluddī alSuyūṭī, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡur, vol.II, h. 523.
51
bahwa pemukulan itu berarti pemukulan dalam rangka menunjukkan rasa
ketidaksenangan suami terhadap perilaku istri, bukan pribadinya tetapi
sifatnya. Karena itu, tidak boleh dilakukan atas dasar kebencian, melainkan
dengan rasa kasih sayang yang bertujuan untuk mengubah perilaku
ketidaktaatan istri, sehingga mengubah sikapnya menjadi istri yang salihah.
Sebut misalnya pemukulan Nabi Ayyub a.s yang sebelumnya bersumpah akan
memukul istrinya seratus kali, tapi kemudian menggantinya dengan seratus
(seikat) rumput/jerami dan menggunakannya untuk memukul istrinya, 57
sebagaimana firman Allah swt, QS Ṣād/38: 44.
. ‫اب‬
ٌ ‫ﺻﺎﺑًِﺮا ﻧِ ْﻌ َﻢ اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ إِﻧﱠﻪُ أَﱠو‬
َ ُ‫ﺚ إِﻧﱠﺎ َو َﺟ ْﺪﻧَﺎﻩ‬
ْ َ‫ﺿ ِﺮب ﺑﱢِﻪ َوﻻَ َْﲢﻨ‬
ْ ‫َو ُﺧ ْﺬ ﺑِﻴَ ِﺪ َك ِﺿ ْﻐﺜًﺎ ﻓَﺎ‬
Terjemahnya:
Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan
itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati
dia (Ayyub) seorang yang sabar.
Dialah sebaik-baik hamba.
Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhannya). 58
Kisah Nabi Ayyub a.s. dalam QS Ṣād/38: 44 seperti yang tergambar
pada ayat di atas adalah melukiskan praktek pemukulan istri, bukan atas dasar
kebencian ataupun dendam. Tetapi pemukulan semata-mata sebagai bentuk
rasa kasih sayang terhadap istrinya dan dalam rangka mengimplementasikan
tuntutan sumpah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah swt.
57
Lihat Nur Taufiq, Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 92
58
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 738
52
Perasaan istri yang dipukul dengan seikat rumput/jerami, di samping
tidak akan menimbulkan luka sama sekali, juga bisa jadi membuat istri
menyadari bahwa dibalik pemukulan tersebut terdapat rasa kasih sayang yang
sangat dalam dari seorang suami. Karena hal ini tidak mungkin dilakukan oleh
suami yang bermaksud melukai istrinya. Dengan begitu, Istri yang dipukul
dengan seikat rumput/jerami, kemungkinan besar akan merasakan kasih sayang
suami
yang
mengantarkan
terhadap
perubahan
perilaku
dan
pembangkangannya terhadap suaminya.59
Pandangan dan kisah Nabi Ayyub di atas dimaksudkan untuk
menjelaskan sekali lagi bahwa langkah memukul istri, bukanlah langkah yang
bermaksud untuk melukai, menyakiti ataupun mencederai istri.
langkah yang
Tetapi,
dilakukan semata-mata untuk memberi pelajaran, yang
diharapkan munculnya perubahan pada diri seorang istri agar menjadi wanita
salihah, yakni taat dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.
Berdasarkan kisah itu juga dapat dipahami bahwa meski memukul
dalam ayat tersebut diartikan dalam makna ḥaqīqī (fisik), namun karena
didasarkan pada rasa kasih sayang suami, maka diharapkan bahwa
pengaruhnya bukan hanya pada jasmani semata, tetapi juga perasaan yang
59
Lihat Nur Taufiq, Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 93
53
terdalam, yakni cinta dan kasih sayang yang terdapat pada diri seorang istri
terhadap suaminya (psikis).
Selain makna hakiki, kata ḍaraba dalam ayat ini dapat juga diartikan
sebagai makna majāzi (non fisik), yaitu memukul dengan “sikap atau katakata” yang tegas.60 Ketegasan yang tidak menyebabkan hati istri terlukai.
Ketegasan yang bersifat “sok terapi” untuk mengubah keburukan-keburukan
istri. Dengan sikap yang tegas, bila benar si istri masih mencintai suami, maka
kemungkinan besar istri akan berubah dan akan menyadari kesalahankesalahannya, pepatah berbunyi: “kata-kata terkadang lebih tajam daripada
pedang.”
Nasaruddin Umar menyatakan bahwa pengertian “iḍribūhunna” yang
berarti “pukullah mereka” seperti dalam terjemahan Departemen Agama
tidaklah salah, namun baginya pengertian itu tidaklah mesti demikian. Dengan
mengutip pengertian etimologis dari kamus Lisān al-‘Arab, ia menyatakan
bahwa kata tersebut dapat berarti bersetubuh, melerai, mencampuri,
menjelaskan, dan menjauhi.
Yang lebih tepat menurutnya, kata tersebut
diartikan “gauli atau setubuhilah”, sesuai dengan fungsi dan tujuan perkawinan
60
Muḥammad Syahrur, al-Qur’an wa al-Kitāb, Qira’ah Mu’āṣirah, dikutip oleh Supi’ah, Bias
Jender dalam Pendidikan, Analisis Materi Fikih pada Madrasah Aliyah, Disertasi, h. 255
54
untuk menciptakan ketenteraman dan kasih sayang.61 Nasaruddin Umar juga
mengutip pandangan Muhammad ‘Abduh yang mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan “memukul” dalam ayat tersebut, bukanlah pukulan secara
harfiah, tetapi cenderung berkonotasi metaforis, yaitu mendidik atau memberi
pelajaran.62
Namun demikian, bagi penulis pengertian “pukullah’ seperti
yang dipahami oleh umumnya ulama masih relevan, asal saja sesuai dengan
aturan dan norma seperti yang dijelaskan di atas. Kenyataan menunjukkan
bahwa karakter wanita memang bermacam-macam. Ada wanita yang cukup
dengan nasehat yang lemah lembut, tetapi tidak sedikit pula wanita yang bebal
dan keras kepala, yang mengharuskan tindakan yang lebih keras.
Kedudukan sang suami dalam hal ini seperti seorang dokter yang ingin
menyembuhkan pasiennya dengan tidak melakukan operasi pembedahan
kecuali setelah melaksanakan upaya maksimal atau pengobatan terakhir
sebelumnya.
Maka, pemukulan sama dengan pisau bedah yang dianggap
sebagai cara yang paling manjur untuk mengeluarkan penyakit yang sulit
disembuhkan dengan cara-cara yang biasa. Pada saat yang demikian, tentu
meluruskan dengan melakukan pemukulan adalah cara yang lebih baik
daripada meluruskan dengan perceraian.
Sebab, derita perceraian, bukan
61
Lihat Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010),
h. 88 – 89
62
Lihat Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, h. 89
55
hanya berdampak pada diri si istri saja melainkan akan berdampak luas pada
anak-anak dan keluarganya.
Berbeda dengan perceraian, pemukulan
dampaknya terbatas pada penderitaan si istri saja. Selain itu, sanksi fisik
berupa pemukulan dibolehkan hanya karena sebagian perempuan mempunyai
watak yang berbeda dengan wanita lain yang bisa jadi harus diluruskan dengan
pemukulan tersebut.
Jika sanksi fisik diambil oleh suami sebagai tindakan pertama, maka
dia berarti telah berlebih-lebihan dalam menggunakan haknya dan salah dalam
kaidah umum pendidikan.
Bahkan, bisa jadi ia merugikan si istri, jika
seandainya kesalahannya itu kecil. Perasaan yang halus dari seorang istri,
biasanya yang dibutuhkan hanya sindiran yang lemah lembut pula, dan atau
dengan kata-kata halus.
Jika seandainya si istri telah menyadari kesalahannya dan segera taat,
maka suami tidak boleh lagi mengambil langkah berikutnya, yaitu melakukan
pemukulan. Oleh karena itu, Allah swt pada bagian akhir ayat tentang nusyus
mempertegas dengan ungkapan:
‫ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌـﻨَـ ُﻜ ْﻢ ﻓـَﻼَ ﺗَـْﺒـﻐُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬـ ﱠﻦ َﺳﺒِـْﻴـﻼً إِ ﱠن اﷲَ َﻛﺎ َن َﻋﻠِﻴﺎ َﻛﺒِْﻴـًﺮا‬
Terjemahnya :
Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha besar.
56
Ini berarti, ketika istri telah menyadari kesalahannya dan kembali
seperti semula, maka tidak boleh serta merta mengambil tindakan pemukulan.
Hal ini masuk dalam keumuman lafaz yang disebutkan di atas, dalam
pengertian: jangan mencari-cari cara untuk mengenakan sanksi terhadap
mereka, karena Allah telah mengancam dengan siksa yang akan ditimpakanNya, seperti yang terkandung dalam firman Allah swt : .........”Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”
Jika langkah terakhir ini dilakukan seorang suami dalam rumah
tangganya, terutama kalau dilakukan semata-mata dalam bingkai penyelamatan
rumah tangga yang nyaris karam, maka solusi yang ditawarkan oleh al-Qur’an
merupakan satu bentuk penyelesaian konflik yang sangat tepat. Namun sekali
lagi, menasehati istri dengan cara memukul adalah solusi terakhir dari yang
terakhir mengingat terdapat beberapa sabda Rasulullah yang mengindikasikan
pelarangan tersebut, misalnya hadis:
‫ب ا ْﻣَﺮأَﺗَـﻪُ َﻛ َﻤﺎ‬
َ ‫ﻀ ِﺮ‬
ْ َ‫ أََﻣﺎ ﻳَ ْﺴﺘَ ْﺤِﲕ أَ َﺣـ ُﺪ ُﻛ ْﻢ أَ ْن ﻳ‬: ‫ﺎل‬
َ َ‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ﱯ‬
‫َﻋ ْﻦ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔَ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠِ ﱢ‬
63
.‫ﱠاق‬
ِ ‫ أَ ْﺧَﺮ َج َﻋْﺒـ ُﺪ اﻟﱠﺮز‬. ُ‫آﺧ َﺮﻩ‬
ِ
‫ﺎﺟﻌُ َﻬﺎ‬
ِ‫ﻀ‬
َ ُ‫ﻀ ِﺮﺑـُ َﻬﺎ أَﱠو َل اﻟﻨﱠـ َﻬﺎ ِر ﰒُﱠ ﻳ‬
ْ َ‫ ﻳ‬، ‫ب اﻟْ َﻌْﺒـ َﺪ‬
ُ ‫ﻀ ِﺮ‬
ْ َ‫ﻳ‬
Artinya:
Dari ‘Ᾱisyah dari Nabi saw, dia berkata : Apakah salah seorang di antara
kalian tidak malu memukul istrinya seperti ia memukul hamba
63
Lihat ‘Abd al-Rahmān al-Suyūṭī, al-Dur al-Manẓūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, h. 523
57
sahayanya, di pagi hari ia memukulnya kemudian di malam hari ia
menidurinya. Ditakhrij oleh ‘Abd al-Razzāq
b. Nusyus suami.
Berbeda dengan nusyus istri, nusyus suami adalah sesuatu yang frontal
dan sangat berbahaya.
Setidaknya, ia akan berpengaruh buruk terhadap
kebahagiaan rumah tangga dan bahkan bisa meruntuhkannya.
Peristiwa-
peristiwa yang tidak diinginkan yang ditimbulkan oleh nusyus suami lebih
banyak daripada yang ditimbulkan oleh nusyus istri. Hal ini cukup beralasan,
mengingat suami seperti diketahui adalah kepala dan tiang penyangga rumah
tangga. Dialah yang mengatur roda keluarga dan dipundaknyalah terletak
tanggungjawab keluarga yang lebih besar.
Ayat yang berbicara tentang langkah penyelesaian nusyus yang
dilakukan oleh suami adalah firman Allah swt QS al-Nisā’/4: 128
‫ﺻ ْﻠ ًﺤﺎ‬
ُ ‫ﺼﻠِ َﺤﺎ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ‬
ْ ُ‫ﺿﺎ ﻓَ َﻼ ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَْﻴ ِﻬ َﻤﺎ أَ ْن ﻳ‬
ً ‫ﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ْﻮًزا أَْو إِ ْﻋَﺮا‬
ْ َ‫َوإِ ِن ا ْﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ‬
.‫ﲢ ِﺴﻨُـ ْﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘ ْﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﷲَ َﻛﺎ َن ﲟَِﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُ ْﻮ َن َﺧﺒِْﻴـ ًﺮا‬
ُْ ‫ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن‬
ُ ‫ﻀَﺮ ِت ْاﻷَﻧْـ ُﻔ‬
ِ ‫ﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧْﻴـٌﺮ َوأُ ْﺣ‬
‫َواﻟ ﱡ‬
Terjemahnya :
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul
dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyus) dan
58
sikap tak acuh, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.64
Para mufassir menyebutkan perbedaan pendapat tentang sebab
turunnya ayat di atas. Di antaranya :
1) Hadis dari ‘Ᾱisyah.
‫اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ﺗَ ُﻜ ْﻮ ُن‬: ‫ﺖ‬
ْ َ‫ ﻗَﺎﻟ‬.‫ ( اﻵﻳﺔ‬..‫ﺿﺎ‬
ً ‫ﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ْﻮًزا أَْو إِ ْﻋَﺮا‬
ْ َ‫)وإِ ِن ا ْﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ‬
َ َ‫َﻋ ْﻦ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔ‬
‫ﺖ َﻫ ِﺬ ِﻩ‬
ْ َ‫ ﻓَـﻨَـَﺰﻟ‬.‫ﱏ ِﰱ ِﺣ ﱟﻞ‬
ْ ِْ‫ﻚ ِﻣ ْﻦ َﺷﺄ‬
َ ُ‫ أَ ْﺟ َﻌﻠ‬: ‫ ﻓَـﺘَـ ُﻘ ْﻮ ُل‬، ‫ﺲ ُﻣ ْﺴﺘَ ْﻜﺜًِﺮا ِﻣْﻨـ َﻬﺎ ﻳُِﺮﻳْ ُﺪ أَ ْن ﻳـُ َﻔﺎ ِرﻗَـ َﻬﺎ‬
َ ‫ِﻋْﻨ َﺪﻩُ اﻟْ َﻤ ْﺮأَةُ ﻟَْﻴ‬
65
.‫ أﺧﺮج إﺑﻦ أﰉ ﺷﻴـﺒﺔ واﻟﺒﺨﺎرى واﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ واﺑﻦ اﳌﻨﺬر‬.ُ‫ْاﻻَﻳَﺔ‬
Artinya :
Dari ‘Āisyah, ayat ... ‫ وإن اﻣﺮأة ﺧﺎﻓﺖ ﻣﻦ ﺑﻌﻠﻬﺎ ﻧﺸﻮزا أو إﻋﺮاﺿﺎ‬dst, Dia berkata:
seorang laki-laki memiliki seorag istri, namun dia tidak terlalu
menginginkannya dan ingin berpisah dengannya, maka istrinya berkata,
aku menghalalkanmu dalam segala urusanku, maka turunlah ayat ini.
Ditakhrij oleh Ibn Abī Syaibah, Bukhāri, Ibn Jarīr, dan Ibn al-Munżir.
Hadis tersebut menjelaskan bahwa seorang laki-laki yang memiliki
seorang istri yang tidak diinginkannya lagi, lalu laki-laki itu bermaksud untuk
menceraikannya. Akan tetapi istrinya tidak menginginkan hal itu, lalu ia rela
melepaskan apa yang menjadi haknya dengan berkata kepada suaminya, kau
boleh melakukan apa saja terhadapku. Berdasarkan peristiwa tersebut lalu
turun ayat QS al-Nisā’/4: 128.
64
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 143
‘Abd al-Raḥmān Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol.II, h.
65
710
59
2) Hadis dari Ibn ‘Abbās.
َ‫ﷲ ﻻ‬
ِ ‫ ﻳَﺎ َر ُﺳ ْﻮ َل ا‬: ‫ﺖ‬
ْ َ‫ﻓَـ َﻘﺎﻟ‬، ‫ﷲ ﺻﻢ‬
ِ ‫ـﺖ َﺳ ْﻮَدةُ أَ ْن ﻳُﻄَﻠﱢ َﻘﻬـَﺎ َر ُﺳ ْﻮ ُل ا‬
ْ َ‫ َﺧ ِﺸﻴ‬: ‫ﺎل‬
َ َ‫ﺎس ﻗ‬
ٍ ‫َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒﱠ‬
‫أﺧﺮج‬
(....‫ﺖ َﻫ ِﺬﻩِ ْاﻵﻳـَﺔُ )وإن اﻣﺮأة ﺧﺎﻓﺖ ﻣﻦ ﺑﻌﻠﻬـﺎ ﻧﺸﻮزا‬
ْ َ‫ ﻓَـ َﻔﻌـَ َﻞ َوﻧـََﺰﻟ‬، َ‫ﺗُﻄَﻠﱢ ْﻘ ِﲎ َوا ْﺟ َﻌـ ْﻞ ﻳـَ ْﻮِﻣﻰ ﻟِ َﻌﺎﺋِﺸـَﺔ‬
66
.‫اﻟﻄﻴﺎﻟﺴﻰ واﻟﱰﻣﺬى واﻟﻄﱪاﱏ واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ ﰱ ﺳﻨﻨـﻪ‬
Artinya:
Dari Ibn ‘Abbās, dia berkata: Saudah khawatir jika Rasulullah saw
menceraikannya, kemudian ia berkata: ya Rasulullah janganlah engkau
menceraikanku, saya merelakan giliranku kepada ‘Āisyah, Rasulullah
pun mengikutinya, lalu turunlah ayat ini ... ‫ وإن اﻣﺮأة ﺧﺎﻓﺖ ﻣﻦ ﺑﻌﻠﻬﺎ ﻧﺸﻮزا‬.
Ditakhrij oleh al-Ṭayālisi, al-Tirmiżī, Ibn al-Munżir, al-Ṭabranī, dan
Bahaqī.
Hadis ibn ‘Abbās tersebut menjelaskan tentang kekhawatiran Saudah,
bahwa Rasulullah akan menceraikannya, maka ia berkata: “Ya Rasulallah,
janganlah kau menceraikanku ! Aku relakan bagian malamku untuk ‘Ᾱisyah.”
Lalu Rasulullah saw memenuhi permintaannya, dan turunlah ayat tersebut.
3) Hadis dari ‘Ᾱisyah.
‫ﺖ‬
ْ َ‫ﺖ َْﲢﺘَـﻪُ اِ ْﻣَﺮأَةٌ ﻗـَ ْﺪ ﻃَﺎﻟ‬
ْ َ‫ﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧْﻴـٌﺮ( ِﰱ َر ُﺟ ٍـﻞ َﻛﺎﻧ‬
‫)واﻟ ﱡ‬
َ ُ‫ﺖ َﻫ ِﺬ ِﻩ ْاﻵﻳـَﺔ‬
ْ َ‫ ﻧـََﺰﻟ‬: ‫ﺖ‬
ْ َ‫َﻋ ْﻦ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔَ ﻗَﺎﻟ‬
‫وأﺧﺮج‬
.‫ﺿﺘْـﻪُ َﻋﻠَﻰ أَ ْن ﻳُِﻘْﻴ َﻢ ِﻋْﻨ َﺪﻫـَﺎ َوَﻻ ﻳُِﻘْﻴ ُﻢ ﳍََـﺎ‬
َ ‫ ﻓَـَﺮا‬، ‫ ﻓَﺄََرا َد أَ ْن ﻳَ ْﺴﺘَْﺒـ ِﺪ َل َِﺎ‬، ‫ت ِﻣْﻨـﻪُ أَْوﻻَ ًدا‬
ْ ‫ﺻ ْﺤﺒَﺘُﻬـَﺎ َوَوﻟَ َﺪ‬
ُ
67
.‫اﺑﻦ ﻣﺎﺟـﺔ‬
66
‘Abd al-Raḥmān Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol.II, h.
710
711
67
‘Abd al-Raḥmān Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol.II, h.
60
Artinya :
Dari ‘Āisyah, dia berkata: ayat ini ‫ واﻟﺼﻠﺢ ﺧﲑ‬turun berkenaan dengan
seorang laki-laki yang memiliki seorang istri yang telah lama bersamanya
dan telah melahirkan anak yang banyak, lalu dia ingin menggantinya,
namun perempuan itu rela untuk tetap dijadikan sebagai istri, meski tidak
mendapatkan bagian atau giliran. Ditakhrij oleh Ibn Mājah.
Hadis ‘Āisyah tersebut berkaitan dengan keberadaan seorang laki-laki
yang telah lama hidup bersama istrinya yang juga telah melahirkan banyak
anak, lalu ia ingin menceraikannya kemudian kawin lagi dengan perempuan
lain yang diinginkannya. Akan tetapi istrinya rela untuk dipoligmi. Lalu ayat
ini turun dan mengatakan bahwa “perdamaian itu lebih baik”.
Meskipun hadis-hadis tersebut di atas mempunyai konteks yang
berbeda, namun semuanya terfokus pada satu wacana, yaitu berpalingnya
seorang suami terhadap istrinya, atau kurangnya perhatian terhadap sang istri,
karena satu dan lain hal, yang mengarah pada gelagat perceraian yang berasal
dari pihak suami.
Kata yang digunakan tentang nusyus suami dalam QS al-Nisā’/4: 128
di atas, berbeda dengan kata yang digunakan pada nusyus istri. Jika pada
nusyus istri digunakan kata takhāfūn
( ‫) ﲣﺎﻓﻮن‬, fi’il muḍāri’ (sedang/akan
datang), maka pada nusyus suami digunakan kata khāfat (‫) ﺧﺎﻓﺖ‬, fi’il māḍi
(lampau). Menurut al-Alūsī yang dimaksud dengan khāfat adalah bahwa apa
yang dikhawatirkan itu bisa berarti benar-benar terjadi, tapi juga bisa berarti
61
belum pasti terjadi namun istri memiliki perasaan khawatir hal itu akan terjadi.
Artinya, kepastiannya lebih kuat daripada keraguannya, karena adanya tandatanda yang cukup kuat dari kekhawatiran itu.68
Nusyūzan juga berbeda dengan i’rāḍan. Nusyūzan adalah suami tidak
melayani istrinya, tidak memberi nafkah dan kasih sayang, menyakiti istri
dengan memaki atau memukul. Sedangkan i’rāḍan adalah suami bersikap
dingin atau tidak mau berbicara, bersenda gurau, atau tindakan yang bersifat
romantis disebabkan oleh kondisi istri, baik karena usia, bentuk tubuh,
cenderung kepada wanita lain, akhlak, maupun yang lainnya.69
Penggunaan huruf penghubung “aw” (‫ )أو‬dalam ayat di atas,
menunjukkan substansi yang sama, sekaligus menunjukkan tingkatan derajat
antara kata yang satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan sikap yang
pada prinsipnya menggambarkan keengganan dalam menjalankan kewajiban,
tetapi meski kedua substansinya sama, namun nusyūzan lebih merupakan
sebuah aksi dari pihak suami, sedangkan i’rāḍan lebih condong kepada sikap
68
Lihat Syihāb al-Dīn al-Alūsī, Rūḥ al-Ma’ānī, vol. V, (t.t., Dār al-Fikr, t.th.), h. 236
69
Lihat Syihāb al-Dīn al-Alūsī, Rūḥ al-Ma’ānī, vol. V, h. 236. Lihat pula Aḥmad Muṣṭafā alMarāgī, Tafsīr al-Marāgī, vol. V, h. 171
62
re-aksi terhadap suatu kondisi yang tidak disenangi, dan lebih banyak bersifat
fisik.70
Jika i’rāḍan cenderung bersifat re-aksi terhadap sesuatu sebab yang
sebenarnya tidak diinginkan,
tingkatannya sebagai penyebab perpecahan
relatif lebih mudah. Solusinya cukup dengan berusaha menghilangkan sebab
yang tidak disenangi tersebut. Berbeda dengan i’rāḍan, nusyūzan sebagai
sebuah aksi, yang tingkatannya dalam perpecahan dan perceraian lebih tinggi,
mengharuskan adanya usaha penyelesaian konflik yang lebih tinggi pula.
Karena itu, jika seandainya istri sudah merasakan adanya indikasi yang
mengarah pada dua hal yang disebutkan “nusyus atau i’rāḍan”, ataukah
memang tanda-tanda tersebut sudah jelas baginya, maka Islam menawarkan
dua macam solusi bagi istri seperti halnya suami untuk ditempuh agar bahtera
rumah tangga dapat diselamatkan, yaitu solusi internal dan solusi ekternal.
Solusi internal yaitu mengajak suami untuk musyawarah atau
berdamai, sebagaimana dalam QS al-Nisā’/4: 128 di atas, walaupun nantinya
70
Sebagai misal penggunaan kata penghubung “‫ ”أو‬yang menggambarkan kondisi di atas
adalah QS. Al-Baqarah/2: 158 .‫ ﻓﻤﻦ ﺣﺞ اﻟﺒﻴﺖ أو اﻋﺘﻤﺮ ﻓﻼ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﻴﻪ أن ﻳﻄﻮف ﻤﺎ‬Terjemahnya: Sesungguhnya Safa
dan Marwah itu ialah sebahagian daripada syiar Agama Allah, maka barangsiapa yang menunaikan
ibadah Haji ke Baitullah atau mengerjakan ‘Umrah, maka tidak mengapa bagi mereka untuk bertawaf
(sa’i) di antara keduanya. Di sini disebutkan antara haji dan ‘umrah, substansinya adalah sama,
keduanya adalah perbuatan ibadah dan sama-sama berkunjung ke rumah Allah swt. Meski
substansinya sama, namun derajatnya berbeda, yaitu jika haji adalah ibadah wajib dan memiliki waktu
tertentu, maka ‘umrah adalah ibadah sunnah dan boleh dilakukan kapan saja.
Lihat Nur Taufiq,
Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 98 – 99.
63
memerlukan adanya pengorbanan dari pihak istri terhadap hak-hak yang
sebelumnya didapatkan.
Kata lā junāha dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa langkah itu
adalah bersifat anjuran (boleh/jāiz), bukan suatu kewajiban, yang bertujuan
bahwa jika kedua belah pihak antara suami dan istri benar-benar
mengharapkan perdamaian, maka hendaknya dilakukan dengan keikhlasan,
tanpa paksaan dari pihak manapun,71 meskipun keikhlasan itu muncul karena
adanya pengorbanan yang diberikan oleh istri yang umumnya bersifat “syuḥ”72
(kikir), atau dengan kata lain sifat “ego” berupa pemberian hak-haknya, baik
sepenuhnya maupun sebagiannya, seperti dalam riwayat Saudah yang
memberikan sebagian malamnya kepada ‘Ᾱisyah.
Bagi seorang suami yang baik, tentu sudah sepantasnya juga
memberikan pengorbanannya dengan menghilangkan sikap “ego” yang ada
pada dirinya, jika seorang istri sudah bersedia memberikan pengorbanan
terhadap apa yang sebelumnya menjadi haknya.
71
Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h.
604-605
72
Kata “syuḥ” mengandung makna ganda, yaitu : kikir dan ambisius. Dengan ungkapan
tersebut menunjukkan bahwa potensi kekikiran manusia sangat besar yang hampir tidak bisa
ditinggalkan, kecuali dengan penyembuhan yang intensif dan tekad yang kuat, Lihat, Muhammad
Rasyid Riḍa, huqūq al-Nisā’ fī al-Islam, diterjemahkan oleh Abu ‘Amir, Memenuhi Hak Kekasih, h.
102. Kata syuḥ/kikir semula digunakan dalam hal harta benda, namun di ayat ini makna kekikiran
digunakan bagi seseorang yang mengalah atau mengorbankan sedikit haknya. Lihat Quraish Shihab,
Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h. 605
64
Otoritas perempuan dalam menyelesaikan problem nusyus lebih lemah
dibandingkan dengan otoritas laki-laki, karena istri tidak memiliki otoritas
pisah ranjang atau memberikan sanksi fisik. Otoritas penyelesaian problem
penyelesaian kasus nusyus antara suami-istri ini berbeda, karena konsep
dasarnya adalah mengacu kepada kepemimpinan laki-laki.
Seorang suami
adalah pengatur dan pemimpin keluarga. Dalam hal ini, bunyi ayat tersebut
menyebut bahwa seorang suami adalah ba’āl, yang berarti “tuan”. Sebagai
tuan yang mengatur dan memimpin, memiliki hak untuk mendidik dan
menghardik, sedang hal itu tidak dimiliki oleh orang yang berada di bawah
perlindungan dan kekuasaannya. Jika tidak, maka kekacauan akan terjadi.
Berkaitan dengan solusi internal ini, tentu langkah pertama yang dapat
diambil oleh seorang istri jika suaminya bersikap nusyus, adalah mencari tahu
penyebab sikap nusyus suami.
Posisinya seperti seorang dokter yang
mendiagnosis suatu penyakit, dan selanjutnya menentukan apa obatnya.
Seorang istri dapat mendeteksi penyakit yang sedang menimpa suaminya
dengan berbagai teknik atau pendekatan yang kira-kira tidak melukai perasaan
suami. Misalnya, mempelajari apa yang menjadi keinginan suami, mencari
informasi tentang penyebab perubahan yang terjadi pada diri suami melalui
teman-temannya, ataukah menanyakan secara tidak langsung kepada suaminya
tentang apa yang dirasakannya.
65
Jika solusi internal atau perdamaian yang disertai dengan pengorbanan
ini juga mengalami jalan buntu, dan gagal mengubah sikap atau perilaku
suami, maka istri dapat menempuh solusi eksternal. Menurut Imam Malik, istri
dapat mengadukan suaminya kepada hakim dan hakimlah yang memberikan
nasehat kepada suaminya. Jika gagal menasehati suami, maka hakim dapat
melarang istri untuk taat kepadanya, meski suami tetap wajib memberi nafkah.
Hakim juga dapat membolehkan istri pisah ranjang, bahkan tidak kembali ke
rumah suaminya. Jika pisah ranjang pun gagal, maka hakim dapat menjatuhkan
hukuman pukulan kepada sang suami. Jika pukulan pun belum menyadarkan
suami, maka hakim boleh memutuskan perceraian atas persetujuan istri.
Langkah hakim ini, seimbang dengan sikap yang diambil oleh suami dalam
menghadapi istri nusyus sebagaimana QS al-Nisā’/4: 34.
Perbedaannya,
adalah untuk kasus nusyus suami, hakimlah yang melaksanakan tiga tahapan
itu, bukan istri.73
Selain solusi eksternal melalui hakim tersebut, istri juga dapat
menempuh cara lain, yaitu menunjuk hakam sebagai penengah untuk mencari
solusi dari masalah yang mereka hadapi berdua.
73
Lihat ‘Is al-Dīn Balīg, Minhāj al-Ṣāliḥīn min Aḥādīṡ wa al-Sunnah Khātam al-Anbiyā’ wa
al-Mursalīn, (Beirut: Dār al-Fikr, 1978. Lihat pula Nurjannah Islmail, Perempuan dalam Pasungan,
Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 279
66
Berdasarkan paparan di atas, dapat dijelaskan bahwa jika masingmasing pihak, baik istri maupun suami sudah tidak dapat menyelesaikan
masalah mereka secara internal, maka masih terbuka peluang untuk melakukan
perdamaian, yaitu mengangkat dua juru damai (ḥakamain)74 dari pihak
keluarga.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hakam merupakan
“mahkamah keluarga”.
Pengangkatan juru damai di sini adalah satu kesatuan yang tidak
terpisah dengan ayat sebelumnya, yaitu antara QS al-Nisā’/4: 34 dengan QS alNisā’/4: 35. Jika ayat ke 34 berkaitan dengan pola hubungan suami-istri secara
internal dalam menghadapi problema rumah tangga, maka ayat ke 35 ini
berkaitan dengan pihak eksternal untuk mengatasi pola hubungan internal
tersebut. Al-Qur’an surat al-Nisā’/4: 35 ini juga berarti tahap penyelesaian
yang sudah sampai ke tingkat syiqāq atau syikak.75 yaitu perselisihan suami
istri yang memuncak dan harus diselesaikan oleh ḥakamain (dua juru damai).76
74
Ḥakam adalah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak
keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian terhadap syikak. Penjelasan Pasal 76
ayat 2 UU Peradilan Agama.
75
Syikak dalam bahasa Arab “Syiqāq” berasal dari kata “syaqqa”. Syaqaqtuhu bi nisfaini
maksudnya, saya memecahnya menjadi dua bagian, ḍid al-ittiḥād (lawan dari persatuan), dan al-nizā’
(perselisihan). Lihat al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat al-Faz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.), h. 271. Lihat pula Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 733
76
Lihat Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), h. 173
67
Syikak sendiri diberi pengertian yang berbeda.
Syikak menurut
Rasyid Riḍa adalah perselisihan antara suami dan istri, yang kemungkinan
disebabkan istri nusyus atau mungkin juga karena suami berbuat kejam dan
aniaya terhadap istrinya.77 Dalam penjelasan UU No 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama Pasal 76 ayat (1) Syikak diartikan “perselisihan yang tajam
dan terus menerus antara suami dan istri”. Sementara dalam KHI Pasal 116
ayat (f) disebutkan bahwa:
Syikak adalah antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Beberapa pengertian di atas memiliki persamaan pokok tentang apa
yang dimaksud dengan syikak, yaitu terjadinya perselisihan yang tajam dan
terus menerus antara suami dan istri. Jika demikian, maka syikak mengandung
arti bahwa kedua belah pihak sudah tidak dapat lagi menjalankan
kewajibannya sebagai suami istri, bahkan sudah melahirkan kebencian antara
satu dengan yang lain. Oleh karena itu, perlu campur tangan atau keterlibatan
pihak ekseternal dalam rangka menjaga keutuhan pasangan suami istri yang
sedang dilanda prahara rumah tangga yang dinamakan dengan hakamain.
77
Lihat Rasyid Riḍa, Tafsīr al-Manār, Cet. Ke-2, V, (Beirut: Dār al-Fikr, 1973), h. 77
68
Hakam menurut para pengkaji hukum Islam sinonim dengan kata
arbitrator.78 Persamaan hakam dengan arbitrator (arbiter), dapat dilihat pada :
(a) penyelesaian sengketa secara voluntair;79 (b) di luar jalur peradilan yang
resmi; dan (c) untuk itu masing-masing pihak menunjuk salah seorang hakam
arbiter yang mereka anggap layak, jujur dan independen.
Secara historis, lembaga hakam atau taḥkīm telah dikenal jauh sebelum
masa Islam. Orang-orang Nasrani mengajukan perselisihan mereka kepada
Paus. Demikian pula orang-orang Arab, menggunakan lembaga taḥkīm untuk
menyelesaikan masalah jika terjadi pertikaian di antara mereka. Jika
perselisihan itu antar anggota suku, maka umumnya kepala suku bersangkutan
yang dipilih dan diangkat menjadi hakam. Tetapi, jika perselisihan itu terjadi
antarsuku, maka yang diangkat menjadi hakam adalah kepala suku lain yang
tidak terlibat dalam pertikaian atau perselisihan.80
Di antara peristiwa yang menggunakan lembaga taḥkīm adalah:
78
Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, diterjemahkan Hamid Ahmad, Hukum Islam
dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: P3M, 1987), h. 265. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di
luar pengadilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh
arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan untuk mengambil keputusan. Lihat Syahrizal Abbas,
Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2009), h. 7
79
Perkara voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan di dalamnya tidak terdapat
sengketa, sehingga tidak ada lawan. Perkara voluntair yang diajukan ke Pengadilan Agama seperti
penetapan pengangkatan wali; penetapan pengangkatan anak; penetapan pengesahan nikah (iṡbat
nikah); penetapan wali adhal, dsb.
80
Lihat Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. V, h. 1750
69
a. Perselisihan antara Alqamah dan Amr bin Tufail yang bersaing
memperebutkan jabatan kepala suku pada tahun 620 M. Untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut, mereka meminta kepala suku lain
untuk diangkat sebagai hakam.81
b. Peristiwa tahkim antara ‘Ali bin Abī Ṭālib dengan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan dalam perang ṣiffīn. Dalam peristiwa tersebut, ‘Ali bin Abī Ṭālib
diwakili Abū Mūsa al-Asy’arī, sedang Mu’āwiyah diwakili oleh ‘Amr bin
al-‘Ᾱṣ. Awalnya, kedua hakam ini sepakat untuk menurunkan mereka
berdua dari jabatan khalifah. Tetapi ‘Amr bin ‘Ᾱṣ sebagai orang yang licik
mengalahkan Abū Mūsa al-Asy’arī ketika itu, sehingga Mu’āwiyah
dikukuhkan sebagai khalifah.82
Secara bahasa, hakam berarti mencegah atau mencegah dari
kezaliman,83 wasit, pendamai, juru penengah.84 Dari segi istilah, hakam adalah
orang yang berwenang untuk menghukumi orang yang berselisih karena
adanya perpecahan di antara kedua belah pihak.85
81
Lihat Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. V, h. 1750
82
Lihat Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI Press, 1985), h. 5. Lihat pula Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. V, h. 1750
83
Lihat Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqayis Fi al-Lugah,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 277. Lihat pula al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat al-Faz alQur’an, h. 126
84
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 286
85
Lihat Muḥammad ‘Ali al-Ṣābūni, Ṣafwat al-Tafāsīr, Tafsīr li al-Qur’ān al-‘Aẓīm, vol. I,
(Libanon: Dār al-Fikr, 2001), h. 252
70
Menurut penjelasan UU RI No. 7/1989 tentang Peradilan Agama Pasal
76 ayat 2 :
Hakam adalah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak
keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya
penyelesaian terhadap syikak.
Apakah pengangkatan hakam tersebut hukumnya wajib atau tidak.
Dalam kaitan ini para ulama sepakat tentang perlunya pengangkatan ḥakamain
(dua juru damai) dalam perselisihan rumah tangga yang memuncak, tetapi
mereka berbeda pendapat tentang hukum mengangkat hakam itu sendiri.
Imām al-Syāfi’ī berpendapat bahwa hukum pengangkatan hakam adalah wajib.
Alasannya, adalah kata perintah / fi’il amr ‫( ﻓﺎﺑﻌﺜﻮا‬maka utuslah) dalam QS alNisā’/4: 35 tersebut adalah menunjukkan wajib,86 karena menghilangkan
perselisihan rumah tangga adalah bagian dari penghapusan kegelapan atau
penganiayaan yang merupakan kewajiban umum dan kewajiban utama atas
penguasa, qāḍi atau hakim.87
Muḥammad ‘Ali al-Ṣābūnī, sependapat dengan Imām al-Syāfi’ī,
dengan mengutip pendapatnya bahwa hakam adalah wajib demi menghindari
86
Berdasarkan kaidah uṣūl yang berbunyi : ‫( اﻷﻣـﺮ ﻟﻠﻮﺟﻮب‬perintah itu menunjukkan wajib).
87
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsir al-Munīr fī al-‘qīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, vol.
V, h. 59
71
kesulitan (maḍarrat).88 Berbeda dengan kedua ulama di atas, Ibn Rusyd
berpendapat bahwa pengangkatan dua hakam ini tidaklah wajib melainkan
hukumnya boleh (jāiz).89
Menanggapi perbedaan di atas, penulis sependapat dengan pendapat
yang terakhir. Sebab, tidak setiap perselisihan suami istri memenuhi unsur
syikak yang harus diputus melalui pola syikak sesuai ketentuan QS al-Nisā’/4:
35. Oleh karena itu, keberadaan hakam tidak selamanya wajib. Selain itu,
dengan pendekatan kebahasaan, ayat tersebut dimulai dengan kata “wain
khiftum” (jika kalian khawatir) yang berarti suatu syarat. “in” bermakna
“syarṭiyyah” artinya suatu syarat yang harus terpenuhi. Dalam kaitan ini,
syaratnya ialah takut atau khawatir. Dengan pengertian tersebut, berarti jika
kekhawatiran syikak itu tidak ada, maka tidak diperlukan adanya hakam.
Sebaliknya, kalau ada indikasi atau nyata adanya syikak, maka saat itu
diwajibkan adanya hakam.90
Sejalan dengan itu, UU RI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
mengikuti pendapat yang terakhir ini. Pasal 76 ayat (2) yang berbunyi: “...
antara suami istri dapat mengangkat seorang....”. Dengan kata “dapat”
88
Lihat ‘Ali al-Ṣābūni, Rawā’i al-Bayān, h. 471.
89
Ibn Rusyd, Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaṣid, vol. II, (t.t.: Dār al-Fikr, t.th.),
h.74
90
Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2010), h. 322
72
menunjukkan arti tidak wajib, tetapi dapat diangkat secara kasuistik atas
pertimbangan hakim dengan melihat mana yang lebih mendatangkan
maslahat.91
Pengangkatan hakam berdasarkan pengertian tekstual dari QS alNisā’/4: 35 tersebut disebutkan bahwa hakam hendaklah terdiri dari seorang
pihak suami dan seorang dari pihak istri (min ahlihī dan min ahlihā). Dari sini
dapat dipahami bahwa jumlah hakam sebanyak dua orang, satu dari pihak lakilaki dan satu dari pihak perempuan. Namun, tidak ditemukan di dalam kitabkitab tafsir ataupun kitab-kitab fikih tentang jumlah minimal hakam. Oleh
karena itu, penulis berkesimpulan bahwa dua hakam merupakan jumlah ideal.
Namun, ini tidak berarti bahwa kurang dari dua hakam atau lebih, berarti tidak
boleh. Pasal 76 ayat (2) UU RI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
tidak menyebutkan secara rinci tentang jumlah hakam, hanya menyebut
seorang atau lebih dari keluarga masing-masing suami istri atau boleh juga
orang lain yang ditunjuk menjadi hakam. Berdasarkan hal tersebut, jumlah
hakam menurut Undang-Undang ini, bila dipandang perlu dapat diwakili satu
orang saja, dengan pertimbangan semakin banyak orang yang ikut campur,
akan bertambah semakin rumit dan kacau.
91
Pasal tersebut selengkapnya berbunyi : Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi
tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga
masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.
73
Para ulama juga berbeda pendapat tentang siapa yang sebaiknya
menjadi juru damai. Imām Syāfi’i sebagaimana dikutip oleh Abd. Shomad
bahwa pengangkatan hakam sebagaimana perintah QS al-Nisā’/4: 35 adalah
hakam dalam perselisihan keluarga saja, sehingga perselisihan itu harus
diselesaikan secara kekeluargaan.
Seandainya melalui kekeluargaan sudah
mengalami jalan buntu, barulah diserahkan kepada qāḍi (hakim) atau
pengadilan.92
Wahbah al-Zuḥailī menulis bahwa hakam dari keluarga kedua belah
pihak adalah lebih utama, meskipun dibolehkan dari orang lain.
Namun
demikian, jika keluarga tidak ada, maka tetangga lebih baik dari pada yang
lainnya. Tetangga dinilai lebih mengetahui keadaan keluarga dan memiliki
kemampuan untuk mendamaikan pasangan yang mengalami masalah
dibandingkan dengan yang lainnya.93
Senada dengan itu, Sayyid Sābiq berpendapat bahwa hakam dari pihak
keluarga bukanlah merupakan syarat, karena perintah dalam QS al-Nisā’/4: 35
tersebut adalah bersifat sunnah.94 Jika demikian, maka pengangkatan hakam
92
Lihat Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, h.
324
93
Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 7061
94
Sayyid Sābiq, Fikih Sunnah VIII, terjemahan Moh. Tholib, (Bandung: al-Ma’ārif, 1993), h.
115
74
dari pihak keluarga hanyalah bersifat anjuran, karena mereka dinilai lebih
mengetahui akar permasalahannya.
Pertimbangan dipilihnya anggota keluarga sebagai hakam menurut alZamakhsyarī adalah karena keluarga dipandang lebih mengetahui hal-ihwal
yang paling dalam, lebih berhajat terhadap kerukunan suami istri, dan suami
istri merasa lebih tenang untuk mengungkapkan isi hati mereka kepada
keluarga sendiri daripada orang lain. 95
Keluarga pada dasarnya memang mempunyai hubungan emosional
yang sangat kuat dibandingkan dengan yang lainnya.
Hubungan antara
seorang anak dan keluarganya, terutama orang tua dan saudara-saudaranya
tidak akan pernah dapat diputus oleh ikatan apapun, karena ia merupakan
hubungan yang bersifat lahir dan batin, yang dimiliki oleh seorang manusia
sejak lahir.
Untuk itu, suami-istri yang dilanda prahara rumah tangga, sebaiknya
mencari pertama kali bantuan dari pihak keluarga untuk berusaha
mendamaikan keduanya, setelah perdamaian dan solusi secara internal tidak
tercapai, barulah kemudian mengadukannya kepada hakim atau Pengadilan
Agama.
95
Lihat al-Zamakhsyarī, Tafsīr al-Kasysyāf, vol. I, h. 497
75
Adapun fungsi hakam, al-Qur’an tidak menguraikannya secara detail.
Namun demikian, secara tegas disimpulkan bahwa tujuan utama dari juru
damai tersebut adalah mewujudkan perdamaian (ṣulḥ).
Dengan demikian,
fungsi utama kedua juru damai tersebut adalah berusaha semaksimal mungkin
mencari jalan keluar agar kedua pasangan itu kembali bersatu seperti semula,
sehingga perceraian tidak perlu terjadi. Ataukah perdamaian dalam arti tidak
ada lagi problem yang terjadi antara kedua belah pihak, meski pada akhirnya
terjadi perceraian antara keduanya.
Berkaitan dengan fungsi hakam tersebut, para ulama berbeda pendapat
tentang apakah hakam itu dapat pula menceraikan atau memisahkan suami istri
yang sedang dilanda konflik rumah tangga. Dalam hal ini ada dua pendapat.
Pertama, bahwa hakam tidak berwewenang untuk menceraikan suami istri.
Alasannya, adalah (a) bahwa Allah swt hanya memberi kewenangan kepada
kedua hakam untuk mendamaikan mereka, sehingga kewenangannya tidak
lebih dari pada itu, sesuai bunyi ayat ‫( إن ﻳﺮﻳﺪا إﺻﻼﺣﺎ‬Jika keduanya menginginkan
perdamaian); (b) hakam statusnya hanyalah sebagai wakil, dan wakil tidak
boleh memutuskan suatu hukum tanpa persetujuan orang yang diwakilinya. 96
Alasan lain menurut Amir Syarifuddin adalah bahwa kehormatan si istri
96
Lihat ‘Ali al-Ṣābūni, Rawā’i al-Bayān, vol. I, h. 472
76
menjadi hak bagi suami, sedangkan harta si suami menjadi hak bagi istri;
keduanya telah dewasa dan cerdas. Oleh karenanya, pihak lain tidak dapat
berbuat sesuatu kecuali atas izin keduanya.97 Sementara menurut Wahbah alZuhailī alasannya adalah bahwa hak talak berada di tangan suami, bukan pada
yang lainnya, dan juga bukan pada hakam itu sendiri. 98 Pendapat ini dianut
oleh jumhur ulama99, dalam hal ini mazhab Syafi’i, Ḥanbalī, dan Ḥanafī.
Karena
fungsinya
yang
demikian,
maka
hakam
berwenang
untuk
mendamaikan dan tidak berwenang menjatuhkan talak atau khulu’100 kecuali
atas persetujuan suami atau istri.
Oleh karena itu, jika kedua juru damai
misalnya berkesimpulan bahwa sebaiknya kedua suami istri tersebut diceraikan
atau dipisahkan, maka juru damai dari pihak laki-laki hendaknya meminta izin
kepada suami sebelum menjatuhkan talaknya, dan juru damai dari pihak istri
hendaknya pula meminta izin kepada istri untuk menjatuhkan talaknya dengan
cara khulu’.
Tetapi menurut penulis, meskipun kedua juru damai itu adalah wakil
dari suami istri dan tidak berhak untuk menceraikannya, namun para hakam itu
97
Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 196
98
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 7061
99
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 7061
100
Khulu’secara bahasa berarti mencabut, menanggalkan dan melepaskan. Secara istilah
khulu’ adalah perceraian antara suami istri dengan ganti rugi, baik dengan lafaz talak maupun dengan
lafaz khulu’. Lihat A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 361. Lihat pula Abd. Aziz Dahlan, ed.,
Ensiklopedi Hukum Islam, vol. III, h. 932
77
dapat merekomendasikan keputusan dan hasil pembicaraan mereka kepada
qāḍi atau hakim, kemudian hakimlah yang menceraikannya atas dasar
rekomendasi dari hakam.
Kedua, sebagian yang lain berpendapat bahwa hakam berwenang
menceraikan suami istri. Alasannya, adalah berdasarkan bunyi ayat ‫ﻓﺎﺑﻌﺜﻮا ﺣﻜﻤﺎ ﻣﻦ‬
‫( أﻫﻠﻪ وﺣﻜﻤﺎ ﻣﻦ أﻫﻠﻬـﺎ‬maka utuslah seorang hakam dari suami dan seorang hakam
dari istri), hakam bagi pendapat ini artinya hakim. Di antara tugas hakim
adalah menetapkan hukum tanpa memerlukan persetujuan atau kerelaan
terhukum atau terdakwa.101
Pendapat bahwa hakam dapat menceraikan suami-istri dikuatkan oleh
tindakan khalifah ‘Ali bin Abī Ṭālib yang pernah mengangkat hakam dengan
pemberian kekuasaan penuh kepadanya untuk mengambil keputusan yang
lebih bermanfaat dan maslahat, apakah mendamaikan atau menceraikan suamiistri yang berselisih itu.102 Pendapat ini dianut oleh mazhab Malikī. 103 Karena
fungsinya sebagai hakim, maka hakam dapat memutuskan dan bertindak apa
101
‫ اﳊﻜﻢ ﻫﻮ اﳊﺎﻛﻢ‬Lihat Muḥammad ‘Ali al-Ṣābūni, Rawā’i al-Bayān, vol. I, h. 472
102
‘Ali mengatakan : ‫ إﻟﻴﻬﻤﺎ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺑﲔ اﻟﺰوﺟﲔ واﳉﻤﻊ‬Artinya: diserahkan kepada suami-istri, apakah
berpisah ataukah berkumpul kembali. Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol.
IX, h. 7061
103
Lihat Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
(Yogyakarta: Liberty, 2007), h. 112. Lihat pula Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh,
vol. IX, h. 7061
78
yang dipandangnya lebih baik dan lebih maslahat bagi kedua suami istri yang
diwakilinya, tanpa memerlukan persetujuan dan kerelaannya, termasuk
menceraikan keduanya. Dengan demikian, yang menjatuhkan talak bukan
Pengadilan Agama, tetapi hakam atas nama suami. Sedangkan Pengadilan
Agama hanya menguatkan keputusan para hakam. 104
Alasan lain dari perbedaan pendapat di atas adalah bersumber dari
pemahaman mereka terhadap kalimat “in yurīdā iṣlāhan yuwaffiq Allāhu
bainahumā”. Bagi mereka yang berpendapat bahwa hakam adalah sebagai
wakil, memahami kata “iṣlāh” dalam ayat tersebut dengan kemaslahatan yang
bermakna tugas untuk musyawarah, menyelidiki akar perselisihan dan mencari
solusi untuk memperbaiki kembali hubungan internal suami-istri tersebut,
sehingga pemisahan perkawinan bukanlah menjadi wewenangnya. Sedangkan
bagi mereka yang berpendapat bahwa hakam adalah sebagai hakim,
memahami kata yang dimaksud dalam ayat ini dengan kemaslahatan yang
dicari, baik kemaslahatan itu dicapai dengan mempersatukan keduanya
kembali, maupun kemaslahatan itu dicapai dengan memutuskan ikatan
perkawinan mereka.105
104
Noto Susanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada, 1963), h. 30
105
Lihat Nur Taufiq Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif al-Qur’an dalam Mengelola
Konflik Menjadi Harmoni, (Depok, eLSAS, 2010), h. 114
79
Di Indonesia, praktik hakam mengalami pergeseran. Sebelum tahun
1930-an umumnya ulama dan pejabat agama berpegang pada pendapat yang
menilai hakam sebagai wakil. Namun setelah banyak wanita yang memilih
murtad dari Islam, meskipun pura-pura, hanya sekedar alasan untuk bercerai,106
dan hakim agama mulai pula mencari jalan keluar dalam menghadapi
perkawinan yang kacau, maka pada tahun 1938 dalam Muktamar Perhimpunan
Penghulu dan Pegawainya (PPDP) menyatakan persetujuannya dengan
pendapat yang menyatakan bahwa hakam mempunyai wewenang seperti
hakim.107
Soemiyati dalam salah satu karyanya yang ditulis sesudah berlakunya
UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan sebelum berlakunya UU RI
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menulis bahwa hakim-hakim
Pengadilan Agama banyak mengikuti pendapat kedua, yaitu hakam adalah
hakim, sehingga jika dalam usahanya mendamaikan suami istri itu tidak
berhasil, maka hakam berhak memutuskan hubungan perkawinan keduanya.
Pengadilan Agama tinggal memberikan kekuatan atas keputusan hakam
tersebut.
Jika kenyataannya kedua hakam itu tidak dapat mengambil
106
Dalam hukum Islam murtadnya salah satu pihak bisa melenyapkan keabsahan perkawinan.
107
Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, h. 329
80
keputusan, maka hakim Pengadilan Agama mengambil alih tugas itu dan
segera memberikan keputusan.108
Dalam perkembangan selanjutnya, fungsi hakam di Indonesia kembali
kepada pendapat pertama, yaitu hakam sebagai wakil, bukan sebagai hakim.
Hal ini, dapat dipahami dari penjelasan Pasal 76 ayat (2) UU RI No. 7/1989
Tentang Peradilan Agama yang menyebutkan, pengadilan setelah mendengar
keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami-istri dapat
mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun
orang lain untuk menjadi hakam.
Berdasarkan penjelasan tersebut, menunjukkan bahwa fungsi hakam
dalam UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama di atas adalah “terbatas”,
yaitu untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan. Fungsi hakam adalah
berkewajiban memberi laporan sejauh mana usaha dan hasil yang diperolehnya
selama menjalankan fungsinya sebagai hakam, tidak berwenang menjatuhkan
putusan. Dengan demikian, fungsi hakam sekedar usaha penjajakan
penyelesaian perselisihan antara suami istri, tanpa ada kewenangan mengambil
keputusan.
Dengan pemaparan di atas menunjukkan bahwa langkah yang dapat
ditempuh oleh hakam adalah sebagai berikut :
108
Lihat Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, h. 113
81
Pertama, kedua juru damai (ḥakamain) mencari tahu akar persoalan
sebenarnya dengan menemukan dan meneliti faktor-faktor konflik dan
ketegangan suami-istri.
Melalui pengaruh hubungan psikologi keluarga,
khususnya antara orang tua dan anak diharapkan kedua belah pihak lebih
terbuka dalam menyampaikan tabir persoalan, ketika hal itu bisa jadi tidak
sanggup ia sampaikan kepada pasangannya.
Kedua, bila akar persoalannya sudah ditemukan, maka kedua juru
damai tersebut berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan faktorfaktor ketegangan kedua belah pihak sehingga bangunan rumah tangga tidak
runtuh. Jika penyebabnya adalah karena nusyus istri, maka diselesaikan dengan
cara sebagaimana pada kasus nusyus istri. Tetapi, jika ternyata penyebabnya
karena nusyus suami, maka hakam menasehatinya dan menghentikan sikap
nusyusnya, ataukah istri bersedia melepaskan dan mengorbankan sebagian
hak-haknya sebagaimana sikap Saudah terhadap Nabi. Namun, bila keduanya
saling menuduh pihak lain sebagai perusak dan keduanya bersikap keras dan
tidak mau mendengar nasehat, maka hakam dapat mencari bantuan dari orang
lain yang disegani oleh keduanya untuk menasehatinya.
Ketiga, jika terjadi dead lock, bahkan pertengkaran kedua belah pihak
semakin tajam, maka hakam menyampaikan hasil penyelidikannya kepada
82
hakim atau Pengadilan Agama, untuk dicari penyelesaian yang lebih adil dan
lebih maslahat.
Praktek perdamaian dalam perkara perdata pada umumnya, diatur
dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 R.Bg, 109
Pasal-Pasal tersebut
mengandung pengertian bahwa pada setiap permulaan sidang, sebelum
pemeriksaan perkara, Ketua Majelis hakim diwajibkan mendamaikan antara
pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa. Jika usaha perdamaian dapat
dicapai, maka pada hari itu juga dibuatkan putusan perdamaian yang disebut
dengan Akta Perdamaian (acta van vergelijk). Isi Akta Perdamaian tersebut
adalah menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang
telah dibuat antara mereka di muka sidang. 110
Akta Perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat
dilaksanakan eksekusi, sama dengan putusan biasa yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Jika terdapat pihak yang tidak mau mentaati isi
109
Pasal 130 HIR dan Pasal 154 R.Bg dikemukakan bahwa jika pada hari persidangan yang
telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara hadir dalam persidangan, maka Ketua Majelis
Hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kecana, 2008), h. 152. HIR adalah
singktan dari Herziene Inlandsch Reglement, adalah hukum acara khusus yang dibuat oleh pemerintah
Hindia Belanda bagi golongan Bumi Putra untuk dipergunakan oleh hakim dalam melaksanakan tugastugasnya. Sedangkan R.Bg adalah singkatan dari Rechtsreglement Voor De Buitengewesten, adalah
hukum acara untuk daerah seberang, yang pada hakekatnya sama dengan apa yang telah diatur HIR
dengan sedikit perubahan dan pengurangan yang dianggap perlu. Lihat Abdul Manan, Penerapan
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 5
110
Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 5. Lihat pula Mukti
Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 95
83
perdamian, maka pihak yang dirugikan dapat memohon eksekusi kepada
Pengadilan Agama. Akta Perdamaian ini dicatat dalam Register Induk Perkara
yang bersangkutan pada kolom Putusan.
Dengan Akta Perdamaian juga,
perkara tidak dapat dimintakan banding, kasasi ataupun peninjauan kembali,
serta tidak dapat diajukan gugatan baru lagi.111
Dalam perkara perceraian, jika perdamaian di tingkat pertama itu
berhasil, maka perkara dicabut atas persetujuan kedua belah pihak. Untuk itu,
hakim membuat “penetapan” yang menyatakan perkara telah dicabut karena
perdamaian dan para pihak dinyatakan masih dalam ikatan perkawinan yang
sah berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan, tempat
mereka dahulu menikah. Dalam hal ini tidak ada Akta Perdamaian, sebab kalau
ketentuan tersebut dilanggar, putusan (Akta Perdamaian) tersebut tidak dapat
dieksekusi, karena akibat pelanggarannya tidak berakibat pada putusnya
perkawinan. Numun, jika dikemudian hari, salah satu pihak menghendaki
perceraian, maka yang dapat ditempuh ialah mengajukan perkara baru dengan
alasan yang berbeda dengan alasan sebelumnya, termasuk alasan yang
diketahui pada saat perdamaian itu terjadi.
111
Dengan demikian, perceraian
Lihat Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 95
84
hanya dapat diajukan kembali atas alasan-alasan baru yang terjadi setelah
perdamaian tersebut.112
Bila putusan perceraian itu dimintakan banding atau kasasi, maka
perdamaian di tingkat ini pun masih dapat dilakukan sebelum perkara diputus.
Seandainya perdamaian di tingkat ini berhasil, maka perkaranya dicabut atas
persetujuan suami-istri yang bersangkutan. Untuk itu, Pengadilan Tinggi
Agama membuat “Penetapan” yang berisi bahwa : mengizinkan pembanding
mencabut perkaranya, membatalkan putusan PA yang mengabulkan perceraian
itu, karena terjadi perdamaian sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum
tetap, dan menyatakan bahwa status suami-isteri tersebut masih dalam ikatan
perkawinan yang sah. Demikian pula, dalam hal putusan cerai yang dimintakan
kasasi, dan kemudian terjadi perdamaian
sebelum Mahkamah Agung
menjatuhkan putusannya, maka suami-istri dapat mencabut kasasinya itu
karena terjadi perdamaian. Untuk itu, Mahkamah Agung
membuat
“Penetapan” yang berisi bahwa : mengizinkan pemohon kasasi mencabut
perkaranya, membatalkan putusan cerai Pengadilan Tinggi Agama karena
terjadi perdamaian, dan menyatakan bahwa suami-istri tersebut masih dalam
ikatan perkawinan yang sah.113
112
Lihat Mukto Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 96
113
Lihat Mukto Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 97
85
Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan perdamaian yang dilakukan
oleh hakam (mediator), Mahkamah Agung mengeluarkan aturan yang disebut
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia No. 01 Tahun 2008.
Dalam perma Pasal 2 poin (4) disebutkan: “hakim dalam pertimbangan
putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah
diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator
untuk perkara yang bersangkutan.”
Dengan
Perma
ini,
wajib
bagi
hakim
mencantumkan
atau
menyebutkan dalam putusan perkara yang ditanganinya, nama mediator atau
hakam dalam perkara tersebut. Jika tidak, maka hakim dianggap bersalah dan
putusan perkaranya, batal demi hukum.
B. Landasan Hidup Rumah Tangga
Kehidupan rumah tangga, seandainya diibaratkan dengan suatu
bangunan, maka dibutuhkan pondasi yang kuat. Pondasi rumah tangga, tidak
lain adalah ajaran agama disertai dengan kesiapan fisik dan mental. 114 Oleh
karena itu, seperti dikemukakan sebelumnya bahwa pernikahan dalam
perspektif Islam disebut dengan “mīṡaqan galīẓan”.
Istilah tersebut
114
Bagi mereka yang belum siap fisik dan mental, dianjurkan bersabar dan tetap memelihara
kesucian diri agar selamat dari lembah kehinaan. Al-Qur’an menegaskan : ‫وﻟﻴﺴﺘﻌﻔﻒ اﻟﺬﻳﻦ ﻻﳚﺪون ﻧﻜﺎﺣﺎ ﺣﱴ‬
......‫ ﻳﻐﻨﻴﻬﻢ اﷲ ﻣﻦ ﻓﻀﻠﻪ‬Terjemahnya : Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya..... (QS al-Nur/24: 33)
86
menggambarkan bahwa pernikahan bukanlah sekedar kontrak biasa, melainkan
kontrak yang sarat dengan makna religiusitasnya.
Berdasarkan pemahaman bahwa pernikahan itu adalah mīṡaqan
galīẓan, maka pernikahan melahirkan sejumlah hak115 dan kewajiban116 yang
harus ditunaikan dan dipertanggung jawabkan, baik kepada pasangannya,
maupun terhadap Allah swt.
Seorang laki-laki yang menjadi suami
memperoleh berbagai hak dalam keluarga itu. Begitu pula seorang perempuan
yang mengikatkan diri menjadi istri dalam suatu pernikahan memperoleh
berbagai hak pula.
Di samping itu, mereka pun menyandang kewajiban-
kewajiban sebagai konsekwensi logis dari adanya sebuah ikatan pernikahan.
Hak dan kewajiban itu telah diatur dalam agama berdasarkan al-Qur’an dan
hadis.
Kewajiban masing-masing suami dan istri akan diuraikan sebagai
berikut.
1. Kewajiban suami dalam rumah tangga.
Secara umum kewajiban suami terhadap istri menurut agama Islam
dapat dibagi kepada 2 bagian, yaitu (a) kewajiban yang bersifat materi, dan (b)
115
Hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain. Dengan kata lain,
sesuatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperoleh dari hasil
perkawinannya. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, h. 87
116
Kewajiban adalah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari
suami-istri untuk memenuhi hak dari pihak lain. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UndangUndang Perkawinan, h. 87
87
kewajiban yang bersifat non materi.
Kewajiban materi biasanya disebut
dengan nafkah lahir (yang berwujud), yaitu mahar dan nafkah. Namun di sini
tidak dibahas tentang mahar, karena mahar berkaitan dengan kewajiban suami
yang harus ditunaikan di saat berlangsungnya akad nikah.
Sedangkan
kewajiban non materi biasanya disebut dengan kewajiban yang bersifat moril,
seperti sopan santun, perlakuan yang baik, dan bersikap adil.
a. Kewajiban materi/nafkah.
1) Pengertian nafkah
Nafkah merupakan kebutuhan fital dalam kehidupan suatu keluarga.
Dalam hal ini ia merupakan tanggung jawab suami terhadap isterinya. Nafkah
berasal dari bahasa Arab, nafaqah, yang berarti biaya, belanja, pengeluaran
uang, atau biaya hidup.117 Juga mengandung arti: ‫( ﻧﻘﺺ وﻗـﻞ‬berkurang) atau ‫ﻓﲎ‬
‫ وذﻫﺐ‬yang berarti hilang atau pergi.118 Bila dikaitkan dengan kehidupan rumah
tangga, maka nafkah secara terminologi berarti sesuatu yang dikeluarkan oleh
suami dari hartanya untuk kepentingan si istri yang berakibat hartanya menjadi
berkurang.
2) Dasar hukum nafkah
117
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 1449
118
Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 165
88
Kewajiban suami memberi nafkah kepada istri tidak didasarkan pada
kebutuhan istri dalam suatu rumah tangga, tetapi merupakan kewajiban yang
timbul dengan sendirinya tanpa melihat pada perlu tidaknya si istri terhadap
nafkah tersebut. Ini berarti, bahwa meskipun istri kaya dan tidak memerlukan
bantuan biasa dari suami, namun tetap suami berkewajiban membayar nafkah.
Kewajiban ini memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam, yaitu
berdasarkan al-Qur’an, dan hadis.
a) al-Qur’an
Dalam al-Qur’an, setidaknya dijumpai dua ayat yang menyatakan
kewajiban nafkah, yaitu :
(1) QS al-Baqarah/2: 233.
ٌ‫ﻀﺎ ﱠر َواﻟِ َﺪة‬
َ ُ‫ﺲ إِﱠﻻ ُو ْﺳ َﻌ َﻬﺎ َﻻﺗ‬
ٌ ‫ﻒ ﻧـَ ْﻔ‬
ُ ‫ف ﻻَ ﺗُ َﻜﻠﱠ‬
ِ ‫ َو َﻋﻠَﻰ اﻟْ َﻤ ْﻮﻟُْﻮِد ﻟَﻪُ ِرْزﻗـُ ُﻬـ ﱠﻦ َوﻛِ ْﺴ َﻮﺗـُ ُﻬ ﱠﻦ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌ ُﺮْو‬.....
... ‫ﺑَِﻮﻟَ ِﺪ َﻫﺎ َوَﻻ َﻣ ْﻮﻟُْﻮٌد ﻟَﻪُ ﺑَِﻮﻟَ ِﺪ ِﻩ‬
Terjemahnya :
... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya....119
(2) QS al-Ṭalāq/65: 6
... ‫ﻀﻴﱢـ ُﻘ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ‬
َ ُ‫ﻀﺎ ﱡرْوُﻫـ ﱠﻦ ﻟِﺘ‬
َ ُ‫ﺚ َﺳ َﻜْﻨﺘُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ُو ْﺟ ِﺪ ُﻛ ْﻢ َوَﻻﺗ‬
ُ ‫أَ ْﺳ ِﻜﻨُـ ْﻮُﻫـ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ َﺣْﻴ‬
119
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 57
89
Terjemahnya:
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka....120
b) Hadis
Dalam bentuk hadis setidaknya ditemukan juga beberapa dalil, di
antaranya:
(1) Hadis dari Abu Hurairah:
ُ‫ﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻟِْﻠ َﻤ ْﻤﻠُ ْﻮ ِك ﻃَ َﻌﺎ ُﻣـﻪ‬
َ َ‫ ﻗ‬:‫ﺎل‬
َ َ‫َﻋ ْﻦ أَِ ْﰉ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ َﻋْﻨﻪُ ﻗ‬
121
.‫ﻒ ِﻣ َﻦ اﻟْ َﻌ َﻤ ِﻞ إِﻻﱠ َﻣﺎﻳُ ِﻄْﻴ ُﻖ‬
ُ ‫َوﻛِ ْﺴ َﻮﺗـُﻪُ َوﻻَ ﻳُ َﻜﻠﱠ‬
Artinya :
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw bersabda : hak anak-anak untuk
mendapatkan makanan dan pakaian, dan tidak dibebani untuk berbuat
kecuali yang mampu ia perbuat.
(2) Hadis dari Ḥākim bin Mu’āwiyah al-Qusyairī:
‫ َﻣﺎ َﺣ ﱡﻖ‬: ‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ ‫ﱯ‬
‫ أَ ﱠن َر ُﺟﻼً َﺳﺄَ َل اﻟﻨﱠِ ﱠ‬:‫ﺎل‬
َ َ‫ َﻋ ْﻦ أَﺑِْﻴ ِﻪ ﻗ‬، َ‫َﻋ ْﻦ َﺣ ِﻜْﻴ ِﻢ ﺑْ ِﻦ ُﻣ َﻌﺎ ِوﻳَﺔ‬
‫ َوَﻻ‬.َ‫ب اﻟْ َﻮ ْﺟـﻪ‬
ُ ‫ﻀ ِﺮ‬
ْ َ‫ َوَﻻ ﻳ‬.‫ َوأَ ْن ﻳَ ْﻜ ُﺴ ْﻮَﻫﺎ إِذَا ا ْﻛﺘَ َﺴﻰ‬.‫ أَ ْن ﻳُﻄْﻌِ َﻤ َﻬﺎ إِذَا ﻃَﻌِ َﻢ‬: ‫ﺎل‬
َ َ‫اﻟْ َﻤ ْﺮأَةِ َﻋﻠَﻰ اﻟﱠﺰْو ِج ؟ ﻗ‬
‫ رواﻩ إﺑﻦ ﻣﺎﺟـﻪ‬.‫ﺖ‬
ِ ‫اﻟْﺒَـْﻴ‬
‫ َوَﻻﻳـَ ْﻬ ُﺠ ْـﺮ إِﱠﻻ ِﰱ‬.‫ﻳـُ َﻘﺒﱢ ْﺢ‬
Artinya :
Dari Ḥakīm bin Mu’āwiyah, dari Bapaknya, ia berkata: seseorang telah
bertanya kepada Nabi saw: apakah hak seorang istri atas suaminya ?
120
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 946
121
Lihat Muḥammad bin Ismā’īl al-Kaḥlānī, Subul al-Salām, (t.t., Maṭba’ah al-Bāb al-Ḥalabī,
1958), h. 221
90
Nabi berkata : “ia mesti memberi makan sesuai dengan apa yang ia
makan, memberi pakaian sesuai dengan apa yang ia pakai, tidak
memukul bagian mukanya, tidak mencela, dan tidak meninggalkannya
kecuali ia berada di dalam rumahnya (Riwayat Ibn Mājah).
(3) Hadis dari Ahwas
‫ﺻ ْﻮا ﺑِﺎﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء‬
ُ ‫ أَﻻَ َوا ْﺳﺘَـ ْﻮ‬: ‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَ ُﻘ ْﻮ ُل‬
َ ‫ﱯ‬
‫ص َر ِﺿ َﻲ اﷲُ َﻋْﻨﻪُ أَﻧﱠﻪُ َِﲰ َﻊ اﻟﻨﱠِ ﱠ‬
ِ ‫َﻋ ِﻦ ْاﻷَ ْﺣ َﻮ‬
‫ ﻓَِﺈ ْن‬، ‫ﺎﺣ َﺸ ٍﺔ ُﻣﺒَـﻴﱢـﻨَـ ٍﺔ‬
ِ ‫ﲔ ﺑَِﻔ‬
َ ِْ‫ إِﻻﱠ أَ ْن ﻳَﺄْﺗ‬،‫ﻚ‬
َ ِ‫ﺲ ﲤَْﻠِ ُﻜ ْﻮ َن ِﻣْﻨـ ُﻬ ﱠﻦ َﺷْﻴﺌًﺎ َﻏْﻴـَﺮ ذَﻟ‬
َ ‫ ﻓَِﺈﳕﱠَﺎ ُﻫ ﱠﻦ َﻋ َﻮا ٌن ِﻋْﻨ َﺪ ُﻛ ْﻢ ﻟَْﻴ‬، ‫َﺧْﻴـًﺮا‬
َ‫ أَﻻ‬، ً‫ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَـْﺒـﻐُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺳﺒِْﻴﻼ‬، ‫ﺿ ْﺮﺑًﺎ َﻏْﻴـَﺮ ُﻣﺒَـﱢﺮٍح‬
َ ‫ﺿ ِﺮﺑـُ ْﻮُﻫ ﱠﻦ‬
ْ ‫ َوا‬، ‫ﺎﺟـ ِﻊ‬
ِ‫ﻀ‬
َ ‫ﻓَـ َﻌ ْﻠ َﻦ ﻓَﺎ ْﻫ ُﺠ ُﺮْوُﻫ ﱠﻦ ِﰱ اﻟْ َﻤ‬
‫ ﻓَﺄَﱠﻣﺎ َﺣ ﱡﻘ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﻧِ َﺴﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ ﻓَﻼَ ﻳـُ ْﺆ ِﻃْﺌ َﻦ ﻓَـ ْﺮ َﺷ ُﻜ ْﻢ‬، ‫ َوﻟِﻨِ َﺴﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َﺣﻘ ﺎ‬، ‫إِ ﱠن ﻟَ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﻧِ َﺴﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ َﺣﻘ ﺎ‬
‫ أََﻻ َو َﺣ ﱡﻘ ُﻬ ﱠﻦ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ أَ ْن ُْﲢ ِﺴﻨُـ ْﻮا إِﻟَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ ِﰱ ﻛِ ْﺴ َﻮِِ ﱠﻦ‬، ‫ َوﻻَﻳَﺄْذَ ﱠن ِﰱ ﺑـُﻴُـ ْﻮﺗِ ُﻜ ْﻢ ﻟِ َﻤ ْﻦ ﺗَ ْﻜَﺮُﻫ ْﻮ َن‬، ‫َﻣ ْﻦ ﺗَ ْﻜَﺮُﻫ ْﻮ َن‬
‫رواﻩ اﻟﱰﻣﺬي‬
.‫َوﻃَ َﻌﺎ ِﻣ ِﻬ ﱠﻦ‬
Artinya :
Dari Aḥwas ra, ia mendengar Nabi bersabda : Ketahuilah agar kalian
(laki-laki) saling wasiat mewasiati tentang keharusan berbuat baik kepada
wanita (istri), sebab mereka adalah tahananmu. Kalian tidak memiliki
dari mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji
yang nyata. Jika demikian, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidurnya
dan pukullah dengan pukulan yang tidak menimbulkan bekas
(membahayakan). Jika mereka mentaatimu, maka janganlah mencari-cari
alasan atas mereka. Ketahuilah sungguh bagi kalian (suami) mempunyai
hak yang wajib ditunaikan wanita (istri). Demikian sebaliknya, istri
kalian juga mempunyai hak yang wajib ditunaikan oleh kalian (suami).
Hak-hak kalian dari istri adalah istri dilarang membiarkan orang yang
kamu tidak sukai menginjak tempat tidur kalian, dan tidak mengizinkan
masuk ke rumah orang yang kamu benci. Sedangkan hak para istri dari
kalian adalah berbuat baik kepada mereka dalam hal sandang dan
pangan. (riwayat al-Tirmiziy)
91
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut, meski disebutkan hanya tiga hal
pokok, yaitu makan-minum, pakaian, dan tempat tinggal. Namun para ulama
fikih menyimpulkan bahwa nafkah yang wajib bagi suami mencakup : makanminum, pakaian, tempat tinggal, pembantu (jika dibutuhkan), alat-alat untuk
membersihkan tubuhnya, dan perabot rumah tangga. 122
Imam al-Nawawī, mazhab Syāfi’i, berpendapat bahwa suami tidak
memiliki kewajiban menafkahi istrinya untuk biaya alat kecantikan mata,
kotek, minyak wangi, dan alat kecantikan lainnya yang semuanya bertujuan
untuk menambah gairah seksual.123 Selain itu, suami juga tidak menanggung
beban untuk biaya kesehatan berupa obat-obatan dan biaya pemeriksaan
dokter.
Alasannya
adalah
bahwa
istri
merupakan
pemilikan
untuk
dimanfaatkan (milk al-manfa’ah), statusnya sama seperti rumah kontrakan.
Alat-alat kecantikan dan kesehatan itu juga disamakan dengan bahan-bahan
yang dipakai untuk perbaikan rumah kontrakan tersebut (ka ‘imārah al-dār almusta’jarah). Semua keperluan untuk membiayai rumah tersebut adalah di luar
tanggung jawab penyewa, sedang yang dibebani adalah pemiliknya. Dalam hal
ini, ia menjadi tanggung jawab ayah atau keluarga. 124
122
Lihat Wahbah al-Zuḥaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. X, h. 7384 - 7385
123
Lihat Al-Khaṭīb Al-Syarbīnī, Mugni al-Muḥtāj, vol. III, (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṡ al‘Arabī, t.th), h. 431
124
Lihat Al-Khaṭīb Al-Syarbīnī, Mugni al-Muḥtāj, vol. III. Lihat pula, Muwaffaq al-Dīn Abū
Muḥammad ‘Abdullah bin Aḥmad al-Maqdisī Ibn Quddāmah selanjutnya disebut Ibn Quddāmah, al-
92
Wahbah al-Zuḥailī tampak tidak sependapat dengan pendapat para
ulama klasik di atas, al-Zuḥailī menulis bahwa pendapat para ulama klasik
tersebut didasarkan pada tradisi yang berkembang ketika itu, di mana obatobatan dan biaya kesehatan tidak dianggap sebagai kebutuhan dasar (ḥājat
asāsiyyah). Menurutnya, tentu hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat
sekarang yang menganggap kesehatan telah merupakan bagian dari kebutuhan
pokok, sama seperti makanan dan kebutuhan pokok lainnya, bahkan lebih
penting dari pada yang lainnya.125 Untuk mendukung pendapatnya, ulama
kontemporer ini menukilkan bahwa Undang-Undang Mesir tahun 1985 telah
memasukkan nafkah untuk keperluan kesehatan sebagai bagian dari kewajiban
suami.126
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa nafkah yang
menjadi tanggungan suami meliputi sebagai berikut :
(a) makan-minum dengan lauk pauknya (pangan);
(b) pakaian (sandang);
(c) tempat tinggal (papan);
(d) pembantu jika diperlukan;
Mugnī wa al-Syarḥ al-Kabīr, vol. VII, (Beirut: Dār al-Fikr, 1984), h. 568. Lihat pula Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS,
2001), h. 166 – 167
125
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh, vol. X, h. 7380-7381.
126
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh, vol. X, h. 7381
93
(e) alat-alat kebersihan dan perhiasan rumah;
(f) alat-alat kecantikan; dan
(g) keperluan untuk kesehatan.
Dengan tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan nafkah
istrinya seperti yang diuraikan, menunjukkan bahwa pada prinsipnya seorang
istri dibebaskan dari kewajiban bekerja dan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya atau keluarganya. Sebab semua keperluan dan kebutuhan
istri yang merupakan kebutuhan dasar atau primernya adalah kewajiban suami.
Istri berhak menuntut atau mengambil keperluan pokok yang dibutuhkannya,
meski tanpa seizin suami seandainya sang suami ternyata melalaikan atau tidak
memberikan apa yang menjadi haknya.
Dalam hal mengapa suami yang harus memikul tanggung jawab
nafkah dalam suatu rumah tangga, terdapat dua pandangan ulama fiqh.
Pertama, menurut ulama Ḥanafiyah, nafkah diwajibkan terhadap suami karena
dia mempunyai hak “menahan” istrinya.127 Sebagaimana hadis Nabi:
.‫ﻚ‬
َ ِ‫ﺲ ﲤَْﻠِ ُﻜ ْﻮ َن ِﻣْﻨـ ُﻬـ ﱠﻦ َﺷْﻴﺌـًﺎ َﻏْﻴـَﺮ ذَﻟ‬
َ ‫ ﻟَْﻴ‬، ‫ ﻓَِﺈﳕﱠَﺎ ُﻫ ﱠﻦ َﻋ َﻮا ٌن ِﻋْﻨ َﺪ ُﻛ ْﻢ‬، ‫ﺻ ْـﻮا ﺑِﺎﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء َﺧْﻴـًﺮا‬
ُ ‫أََﻻ َوا ْﺳﺘَـ ْﻮ‬
‫أﺧﺮﺟـﻪ اﻟﱰﻣﺬى‬
Artinya :
127
Lihat Wahbah al-Zuḥaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. X, h. 7373
94
Perhatikanlah istrimu sebaik-baiknya. Sebab mereka adalah tahananmu,
kamu tidak memiliki dari mereka kecuali itu.
Syekh Nawawi Banten sebagaimana dikutip oleh Husein Muhammad
berkata, ‘awānin adalah bentuk jamak/plural dari kata ‘āniyah yang berarti istri
adalah ‘āniyah, karena ia dipenjara sebagai tawanan atau tahanan suaminya.
Sebagai tahanan, seorang istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya selaku
orang yang memenjarakannya. Akan tetapi suami juga berkewajiban memberi
dia keperluan hidupnya.128
Husein
Muhammad
cenderung
tidak
sependapat
bila
lafaz
‘awānin/’āniyah diartikan dengan “tahanan”, karena istri bukanlah tahanan
dalam kerangkeng suami. Bagi kiai ini, tahanan dalam lafaz bahasa Arab
adalah al-asīr yang berarti tahanan perang. Merujuk kepada Kamus Lisān al‘Ᾱrab, ia mengatakan bahwa ‘awānin berarti ka al-asrā (seperti tawanan
perang), bukan tawanan yang sebenarnya. Pernyataan seperti itu bertujuan
untuk merujuk pada status perempuan-perempuan yang dizalimi oleh laki-laki
tanpa berdaya menghindarinya.
Dengan pengertian yang demikian, maka
hadis tersebut berarti : “ingatlah ! aku berpesan kebaikan terhadap perempuan
karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian. Pada hal
128
Lihat Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
h. 176
95
kalian sedikit pun tidak memiliki apa-apa dari mereka, kecuali untuk kebaikan
(yang aku pesankan itu).
Menurut penulis, bila redaksi awal hadis tersebut dicermati, di mana
hadis mempunyai spirit atau semangat agar memperlakukan istri dengan
sebaik-baiknya, maka pengertian yang ditulis oleh Husein Muhammad adalah
lebih tepat, tanpa perlu menyalahkan pengertian yang lain. Di samping ada
pula pendapat yang menyebutkan bahwa istri adalah ‘awārin (bentuk plural
dari āriyah), yang berarti pinjaman, karena suami mengambil mereka atas
dasar amanat Allah.
Kedua, pandangan jumhur (mayoritas) ulama. Beban nafkah terhadap
suami tersebut menurut pendapat mereka disebabkan oleh adanya hubungan
perkawinan, yaitu bahwa perempuan itu menjadi istrinya. 129
Tujuan dari kedua pandangan di atas, Ḥanafiyah dan jumhur ulama,
dimaksudkan agar sewaktu-waktu sang suami dapat menikmati tubuh istrinya,
yang merupakan tujuan utama (primer) dari sebuah perkawinan. Dan karena
itu, konpensasi atau imbangannya adalah nafkah. Bahasa yang populer dalam
fiqh adalah an-nafaqah fī muqābalat al-Istimtā’.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa untuk sesuatu yang
berkaitan dengan nafkah, posisi istri sangat kuat dan dominan. Sebaliknya,
129
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh, vol. X, h. 7374
96
sesuatu yang berkaitan dengan relasi seksual, suamilah
yang mempunyai
posisi dominan. Dengan demikian, istri berkewajiban memenuhi tuntutan seks
suami, sedang suami berkewajiban memenuhi tuntutan nafkah istri.
Selain dua argumentasi di atas, mengapa suami yang dibebani nafkah,
dapat pula dipahami dari redaksi al-Qur’an yang menjadikan suami sebagai
pemimpin rumah tangga seperti yang ditegaskan dalam QS al- Nisā’/4: 34.
‫ﺾ َوﲟَِﺎ أَﻧْـ َﻔ ُﻘ ْﻮا ِﻣ ْﻦ أَْﻣ َﻮاﳍِِ ْﻢ‬
ٍ ‫ﻀ ُﻬ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﺑـَ ْﻌ‬
َ ‫ﻀ َﻞ اﷲُ ﺑـَ ْﻌ‬
‫َﺎل ﻗَـﻮﱠاﻣ ُْﻮ َن َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱢﺴَﺎ ِء ﲟَِﺎ ﻓَ ﱠ‬
ُ ‫اﻟﱢﺮﺟ‬
(34) ...ُ‫اﷲ‬
‫ﺐ ﲟَِﺎ َﺣ ِﻔ َﻆ‬
ِ ‫ﺎت ﻟِْﻠﻐَْﻴ‬
ٌ َ‫ﺎت َﺣﺎﻓِﻈ‬
ٌ َ‫ﺎت ﻗَﺎﻧِﺘ‬
ُ َِ‫ﺼﺎﳊ‬
‫ﻓَﺎﻟ ﱠ‬
Terjemahnya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka)....130
Tidak ada perbedaan pendapat antara para mufassir klasik, seperti alṬabarī, al-Rāzī, dan ulama mutaakhkhirin seperti Muhammad ‘Abduh, dan
Rasyīd Riḍā dengan feminis muslim, seperti Asgar Ali Engineer dan Amina
Wadud Muhsin, bahwa yang dimaksud dengan pernyataan “‫” اﻟﺮﺟﺎل ﻗﻮاﻣﻮن ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺴـﺎء‬
dalam QS al- Nisā’/4: 34 adalah laki-laki sebagai pemimpin terhadap istri
130
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 123
97
dalam rumah tangganya.131
Karena itu, sebagai konsekwensi dari adanya
kepemimpinan itu, adalah jika suami sebagai pemimpin rumah tangga, maka
tentu saja berkewajiban melindungi keluarganya, baik secara fisik maupun
psikis, termasuk pemberian nafkah.
Kepemimpinan suami atas istri itu didasarkan pada kelebihan atau
keunggulan laki-laki atas wanita yang secara redaksional disebutkan oleh QS
al- Nisā’/4: 34, yaitu : Pertama, karena kelebihan yang diberikan oleh Allah
kepada laki-laki. Kedua, karena kewajiban laki-laki memberi nafkah keluarga.
Namun demikian, para pengkaji berbeda pendapat dalam menilai dua
keunggulan yang disebutkan oleh QS al- Nisā’/4: 34 tersebut.
Muhammad ‘Ali al-Ṣābūnī menyatakan bahwa kepemimpinan laki-laki
atas perempuan dalam rumah tangga didasarkan pada kelebihan intelektual,
kemampuan mengelola rumah tangga, dan kemampuan mencari nafkah dan
membiayai kehidupan keluarga.132 Senada dengan al-Ṣābūnī, al-Ṭaba’ṭaba’i,
penulis al-Mīzān, menyatakan bahwa keunggulan laki-laki dibanding
131
Meski mereka sepakat bahwa suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, namun para
penulis memiliki argumentasi yang berbeda-beda, mengapa suami yang dijadikan pemimpin keluarga.
Perbedaan terjadi, ketika mereka berbeda dalam menilai, apakah pernyataan al-Qur’an itu bersifat
normatif atau kontekstual. Bagi yang menilai sifatnya adalah normatif, maka kepemimpinan laki-laki
dalam rumah tangga adalah bersifat permanen, norma yang tetap dan tidak dapat ditawar lagi. Namun,
jika yang menilai bersifat kontekstual, maka kepemimpinan rumah tangga disesuaikan dengan konteks
sosial tertentu. Kalau konteks sosialnya berubah, maka doktrin itu akan turut berubah, yaitu bisa jadi
yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga adalah istri, bukan suami. Lihat Nurjannah Ismail,
Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 272
132
‘Ali al-Ṣābūnī, Ṣafwat al-Tafāsīr, vol. I, h. 274
98
perempuan adalah dalam kekuatan intelektualnya. Karenanya, laki-laki lebih
tahan dan tabah menghadapi tantangan dan kesusahan. Sedangkan kehidupan
perempuan adalah kehidupan emosional yang dibangun di atas sifat
kelembutan dan kehalusan.
Meski kebenaran assumsi al-Ṭaba’ṭaba’i yang
menyatakan bahwa perempuan lebih emosional dibandingkan dengan laki-laki
ini, masih perlu diuji secara empiris dilihat dari beberapa disiplin ilmu.
Untuk
memperkuat
argumentasi
kepemimpinan
laki-laki
atas
perempuan dalam rumah tangga. Para ulama mengurai beberapa potongan
ayat yang terdapat dalam QS al- Nisā’/4: 34 tersebut. Imam al-Ṭabarī
mengartikan kata qawwām, bagian dari potongan QS al- Nisā’/4: 34 ditafsirkan
oleh dengan “penanggung jawab”. Artinya, laki-laki bertanggung jawab dalam
mendidik dan membimbing istrinya dalam menjalankan kewajibannya, baik
kepada Allah maupun kepada suami.133 Abdullah Yusuf Ali mengartikannya
sebagai pelindung.134
Aḥmad bin Muḥammad mengartikan kata qawwām
dengan orang melaksanakan pemberian nafkah kepada istri (‫)ﻳﻘﻮﻣﻮن ﺑﺎﻟﻨﻔﻘـﺔ ﻋﻠﻴﻬـﻦ‬.135
Sedangkan Muḥammad ‘Ali al-Sābūni, mengartikan kata qawwām dengan
133
Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ᾱyāt al-Qur’an, vol. IVX, (Beirut: Dār alFikr, 1988), h. 57
134
Abdullah Yusuf Ali, Qur’an, Terjemah dan Tafsirnya, terj. Ali Audah, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993), h. 190
135
Lihat Aḥmad bin Muḥammad bin Ismā’īl Ibn al-Nuḥās, I’rāb al-Qur’an, Jilid I, (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), h. 212
99
mereka yang menegakkan perintah dan larangan, memberikan nafkah, dan
memberi arahan.136
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa suami adalah penjaga (baik
fisik maupun non fisik), penanggung jawab, pengarah, pembimbing, pelindung
(pengayom) yang kesemuanya menunjuk pada arti kepemimpinan laki-laki
(suami). Dengan demikian, secara otomatis, laki-laki atas nama suami dan
ayah berkewajiban memimpin keluarga.
Potongan lain dari bagian QS al- Nisā’/4:34, sebagai alasan
kepemimpinan laki-laki, adalah ‫ﲟﺎ ﻓﻀـﻞ اﷲ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ وﲟﺎ أﻧﻔﻘـﻮا ﻣﻦ أﻣﻮاﳍﻢ‬. alZamakhsyarī menyebutkan, bahwa alasan mengapa laki-laki dijadikan
pemimpin bagi perempuan adalah : Pertama, karena kelebihan laki-laki atas
perempuan berupa; akal, ketegasan, tekad yang kuat, dan kekuatan fisik.
Kedua, karena laki-laki yang membayar mahar dan memberi nafkah
keluarga.137
Rasyīd Riḍa sebagaimana juga ditulis Amiur Nuruddin
menyebutkan bahwa laki-laki memiliki kelebihan yang fiṭrī dan kasbī.
Kelebihan fiṭrī, laki-laki telah diberikan Allah quwwah (kekuatan) dan qudrah
(kemampuan) sejak diciptakan, sedangkan kelebihan kasbī ialah karena laki-
136
‘Ali al-Ṣābūnī, Ṣafwat al-Tafāsīr, vol. I, h. 274
137
Lihat al-Zamakhsyarī, Tafsīr al-Kasysyāf, vol. I, h. 495
100
laki mampu berusaha, mencari nafkah dan leluasa bergerak tanpa terhalang
oleh hal-hal yang sifatnya reproduksi (menstruasi, hamil dan melahirkan). 138
Di sisi lain, Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa Allah
memberikan keutamaan/kelebihan, baik fisik maupun psikis itu kepada
sebagian laki-laki saja atas sebagian lainnya.139 Ini artinya, bisa jadi laki-laki
akan kehilangan posisinya sebagai pemimpin rumah tangga, yakni di saat ia
tidak lagi memiliki keutamaan atau kelebihan tersebut. Kenyataan memang
menunjukkan bahwa dalam fakta hidup ternyata tidak sedikit perempuan atau
istri yang memiliki keistimewaan dari pada laki-laki atau suami dari sisi
keilmuan dan aktualisasinya, kekuatan badan dan kemampuan mencari
penghasilan, dan seterusnya. Bila ini dijadikan dasar dalam kehidupan suatu
rumah tangga, maka kepemimpinan itu dengan sendirinya tidak lagi berada
pada pihak laki-laki atau suami, kecuali bila istri mengikhlaskan dirinya berada
di bawah kepemimpinan laki-laki atau suami.
Semua ini tentunya tidak terlepas dari kelebihan kodrati yang dimiliki
oleh laki-laki, baik secara fisik maupun psikis. Meski hal ini banyak dibantah
oleh aktivis gerakan feminis dengan argumentasi bahwa sudah banyak
138
Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.
197
139
Muḥammad ‘Abduh, Tafsīr al-Manār, vol. V, h. 68, sebagaimana dikutip Nasaruddin
Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Cet. I (Jakarta: Paramadina, 1999), h.
xxix., catatan kaki no. 14, h. 151
101
perempuan yang memiliki kepandaian akal, ketegasan, tekad yang kuat,
kekuatan fisik, serta kemampuan mencari nafkah yang lebih dari pada lakilaki, namun alasan tersebut belum cukup mampu untuk membantah kenyataan
secara umum, yaitu bahwa laki-laki secara kodrati telah memiliki kelebihan
tersebut, sedang pengembangannya tergantung pada usaha laki-laki itu sendiri.
Sementara, kelebihan perempuan dalam hal sensitifitas perasaan, kemungkinan
besarnya dapat mempengaruhi aktifitas dan kinerja akal, khususnya ketegasan.
Demikian pula, bentuk serta fungsi kodrati dari perempuan secara anatomis
maupun secara biologis (fisik), juga dapat mempengaruhi kinerja yang
berkaitan dengan hubungan eksternal, khususnya yang berkaitan dengan
pencarian dan pemenuhan nafkah.
Kontak dengan dunia luar dan berinteraksi dengan berbagai karakter
yang
bermacam-macam
sebagai
konsekwensi
pencarian
nafkah,
memungkinkan terjadinya konflik, bukan hanya bersifat psikis, atau
kemampuan intelektual saja, tetapi juga konflik yang bersifat fisik adalah
sebuah kenyataan yang acap kali terjadi. Jika demikian, kewajiban mencari
nafkah dengan tuntutan yang tidak hanya psikis dan kemampuan intelektual
semata, tetapi juga kekuatan fisik dan ketegasan obyektif, masih lebih pantas
jika disandang oleh laki-laki berdasarkan kecenderungan kodrati-nya yang
memiliki keutamaan tersebut. Sementara dalam rumah tangga, fungsi seksual
102
perempuan dan kelebihan intuitifnya yang bersifat kodrati, diberikan kepada
perempuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui, sampai kepada
tugas pendidikan anak, sehingga menjadikan tugas tersebut lebih tepat
diemban oleh kaum perempuan.
Berdasarkan argumen tersebut, membebani perempuan dengan tugas
dan pekerjaan lain, seperti mencari nafkah dan pekerjaan lainnya berarti
“penzaliman”.
Hal ini disebabkan, karena di samping tugas dari sifat
kodratinya yang harus mereka terima, juga mereka dibebani dengan tugas
tambahan lain yang seharusnya tidak mereka lakukan. Ibarat seorang yang
menggendong bakul yang penuh dan berat, kemudian harus ditambah lagi,
sehingga ia berjalan terseok-seok.
Meski di sini perlu digarisbawahi bahwa bukan berarti perempuan
tidak boleh sama sekali mencari nafkah di luar, pembagian ini dimaksudkan
sebagai gambaran pembagian tugas dalam rumah tangga yang didasarkan pada
kecenderungan kodrati-nya. Selanjutnya tidak berarti, bahwa pembinaan anak
semata-mata dibebankan kepada perempuan atau istri saja, melainkan juga
menjadi beban laki-laki atau suami dalam rumah tangga. Dengan demikian, ini
sebuah konsep yang saling menunjang dan saling melengkapi satu sama lain.
Perlu dicatat, bahwa kedudukan laki-laki atas perempuan dalam suatu
rumah tangga bukanlah kedudukan yang bersifat superior atau kemuliaan ( ‫درﺟـﺔ‬
103
‫)اﻟﺘﻔﻀﻴـﻞ‬
laki-laki atas perempuan, sehingga suami dapat bertindak diktator,
melainkan kedudukan yang bersifat kepemimpinan (‫ )درﺟـﺔ اﻟﺮﻳﺎﺳـﺔ‬yang diberi
tanggung jawab sebagai pelindung, penanggung jawab, dan sebagainya. Oleh
karena itu, kepemimpinan itu hendaknya duduk di atas landasan musyawarah.
Dalam hal besarnya nafkah yang menjadi tanggungan suami terhadap
istrinya. Para ulama fiqh merincinya lebih jauh. Syams al-Dīn al-Sarakhsī,
mazhab Ḥanafī, menyebutkan bahwa jumlah sandang dan pangan yang wajib
ditunaikan suami adalah disesuaikan dengan kebiasaan tempat tinggal mereka,
yang juga mencakup; pembantu termasuk perlengkapan sandang dan
pangannya. Meskipun dalam mazhab ini terdapat perbedaan tentang jumlah
pembantu yang disiapkan. Menurut Abū Ḥanīfah dan Muḥammad al-Syaibāni
cukup satu orang. Sementara menurut Abū Yūsuf harus dua orang; satu untuk
mengurusi urusan domestik rumah, dan yang satunya lagi untuk urusan luar
rumah.140 Kewajiban nafkah ini menurut mereka adalah erat kaitannya dengan
hak bersenang-senang (istimtā) suami, sehingga seandainya istri tidak
meladeni suami (hubungan seks), baik karena pergi atau karena menghindar,
maka nafkah dari suami menjadi gugur.141
140
Lihat Syamsuddīn al-Sarakhsī, al-Mabsūṭ, vol. V, (Beirūt, Dār al-Ma’rūfah, 1989), h. 181
183
141
Lihat Syamsuddīn al-Sarakhsī, al-Mabsūṭ, vol. V, h. 186
104
Imām al-Syāfi’i menyebutkan bahwa kadar nafkah yang harus
diberikan suami kepada istrinya adalah sesuai dengan kemampuan dan kadar
kepantasan di tempat tinggal mereka.142
Demikian juga, nafkah kepada
pembantu berupa sandang dan pangan yang jumlahnya disesuaikan dengan
kebiasaan tempat tinggal keluarga.
Oleh karena itu menurut mereka, jika
suami tidak memberi nafkah selama satu tahun kemudian menceraikan
istrinya, maka suami harus membayar nafkah selama satu tahun tersebut di saat
menjatuhkan talaknya. Jika suami tidak mampu mencukupi nafkah keluarga,
maka tergantung istri; apakah akan bertahan ataukah berpisah. 143
Ibn
Quddāmah,
mazhab
Ḥanbalī,
dalam
karyanya
al-Mugnī
menjelaskan bahwa kadar nafkah yang wajib ditanggung suami adalah sesuai
dengan kemampuannya. Jika dalam kasus antara suami dan istri tidak ada
kesepakatan tentang kadar nafkah, maka kadar nafkah didasarkan pada
keputusan hakim.144
Jika suami tidak mampu membayar nafkah, maka
perkawinan dapat difasakh. Alasannya adalah jika suami lemah syahwat saja,
yang hanya mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan yang bersifat ekstra,
142
Lihat Muhammad bin Idrīs al-Syāfi’i, al-Umm, vol. V, (Beirut: Dār al-Kutub al’Ilmiah,
1993), h. 129. Dasarnya adalah : .... ‫ ﻟﻴﻨﻔﻖ ذو ﺳﻌـﺔ ﻣﻦ ﺳﻌﺘـﻪ وﻣﻦ ﻗـﺪر ﻋﻠﻴـﻪ رزﻗـﻪ ﻓﻠﻴﻨﻔﻖ ﳑﺎ آﺗﺎﻩ اﷲ‬Artinya: Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.... (al-Ṭalāq/65: 7)
143
Lihat Muhammad bin Idrīs al-Syāfi’i, al-Umm, vol. V, h. 133
144
Lihat Ibn Quddāmah, al-Mughnī wa al-Syarh al-Kabīr, vol, IX, h. 234
105
yaitu kesenangan (syahwat dan lażżāt), dalam hal ini tidak mengakibatkan
kematian.
Sedangkan, tanpa nafkah seseorang tidak akan dapat bertahan
hidup.145 Oleh karenanya, alasan fasakh karena tidak ada nafkah lebih kuat
daripada alasan lemah syahwat.
Berkaitan dengan nafkah ini, KHI merincinya secara lebih jelas dalam
beberapa poin, yaitu : (a) bahwa sesuai penghasilan suami, ia berkewajiban
memberi nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; dan (b) sesuai pula
penghasilan suami, ia berkewajiban memberi biaya rumah tangga, biaya
perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak (Pasal 80 ayat 4).146
Selanjutnya, pada ayat (6) disebutkan bahwa istri dapat membebaskan
suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b.147
Memperhatikan pandangan para ulama dan pasal-pasal dalam KHI
menggambarkan bahwa pemberian nafkah oleh suami terhadap istri, bukanlah
sesuatu yang mutlak. Suami boleh saja tidak memberi nafkah kepada istrinya
sepanjang istri itu ikhlas dan riḍa menerimanya.
145
Ukuran dapat fasakh karena tidak cukup nafkah adalah kebutuhan hidup sehari-hari. Lihat
Ibn Quddāmah, al-Mughnī wa al-Syarh al-Kabīr, vol, IX, h. 244, 247
146
Pasal 80 ayat (4) berbunyi : Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. nafkah,
kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan
bagi istri dan anak. c. biaya pendidikan bagi anak.
147
Pasal 80 ayat (6) berbunyi : Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
106
b. Kewajiban non materi
Sebelumnya telah diuraikan bahwa nafkah terbagi kepada dua jenis,
yaitu nafkah yang bersifat materi dan nafkah yang bersifat non materi. Nafkah
yang bersifat non materi adalah nafkah yang bersifat moril sebagai berikut :
1) Perlakuan yang baik
Mempergauli istri dengan baik dan patut. Hal ini berdasarkan pada
potongan ayat QS al-Nisā’/4: 19 :
.‫ف ﻓَِﺈ ْن َﻛ ِﺮْﻫﺘُ ُﻤ ْﻮُﻫ ﱠﻦ ﻓَـ َﻌ َﺴﻰ أَ ْن ﺗَ ْﻜَﺮُﻫ ْﻮا َﺷْﻴﺌًﺎ َوَْﳚ َﻌ َﻞ اﷲُ ﻓِْﻴ ِﻪ َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِْﻴـًﺮا‬
ِ ‫ﺎﺷ ُﺮْوُﻫ ﱠﻦ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌ ُﺮْو‬
ِ ‫َو َﻋ‬
Terjemahnya :
... Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak148
Potongan ayat di atas secara tegas memerintahkan keharusan
menghormati istri, memperlakukannya dengan wajar, bergaul secara baik, dan
bersikap menahan diri dari sikap yang tidak menyenangkan dari seorang istri.
Pergaulan yang baik dalam istilah al-Qur’an, “al-ma’rūf” tidak dijelaskan
secara khusus. Dalam hal ini, menurut para ulama fiqh diserahkan kepada
148
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 119
107
pertimbangan alur dan patut menurut pandangan adat dan lingkungan
setempat.149
Dalam relasi seksual dan kemanusiaan, mu’āsyarah bi al-ma’rūf antara
suami dan istri adalah bahwa keduanya harus saling memberi dan menerima,
saling menyayangi, dan tidak saling menyakiti atau saling mengabaikan hak
dan kewajibannya.
2) Menjaga istri dengan baik
Suami berkewajiban menjaga istri dan memeliharanya dari segala
sesuatu yang menodai kehormatannya, menjaga dari perbuatan dosa dan
maksiat atau dari sesuatu kesulitan dan marabahaya. Untuk itu, suami wajib
memberikan pendidikan agama kepada istri dan keluarganya. Hal ini dapat
dipahami dari keumuman ayat QS al-Taḥrīm/66: 6
(6) ...ُ‫ﺠﺎ َرة‬
َ ِْ‫س َواﳊ‬
ُ ‫ﻧَﺎ ًرا َوﻗـُ ْﻮ ُد َﻫﺎ اﻟﻨﱠﺎ‬
‫ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ آ َﻣﻨُـ ْﻮا ﻗـُ ْﻮا أَﻧْـ ُﻔ َﺴ ُﻜ ْﻢ َوأَ ْﻫﻠِْﻴ ُﻜ ْﻢ‬
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.... 150
Berkaitan dengan menjaga istri di sini, perlu digarisbawahi tentang
pemahaman umum apa yang dimaksud dengan nafkah batin yang merupakan
salah satu kewajiban suami terhadap istri.
149
Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 161
150
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 951
108
Pemahaman umum yang berkembang menganggap bahwa nafkah batin
adalah pemenuhan kebutuhan seksual atau biologis. Sementara kebutuhan
seksual atau biologis itu lebih dirasakan oleh anggota tubuh suami-istri, bukan
batinnya.
Berangkat dari pemahaman ini, penulis lebih cenderung untuk
mengatakan bahwa nafkah batin, bukan hubungan seksual atau biologis,
melainkan pendidikan dan pembinaan agama yang bersifat abstrak. Sejalan
dengan pandangan ini, al-Qur’an memerintahkan bagi setiap kepala keluarga
untuk mendidik dan menjaga keluarga dari api neraka, sebagaimana ayat yang
disebutkan di atas.
3) Mewujudkan keluarga mawaddah, rahmah, dan sakinah.
Suami wajib memberikan rasa cinta dan kasih sayang serta ketenangan
bagi istri dan keluarganya. Hal ini dapat dipahami dari QS al-Rūm/30: 21
... ً‫َﲪَـﺔ‬
ْ ‫َوِﻣ ْﻦ آﻳَﺎﺗـِ ِﻪ أَ ْن َﺧﻠَ َﻖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ أَﻧْـ ُﻔ ِﺴ ُﻜ ْﻢ أَْزَوا ًﺟﺎ ﻟِﺘَ ْﺴ ُﻜﻨُ ْـﻮا إِﻟَْﻴـﻬَـﺎ َو َﺟ َﻌ َﻞ ﺑـَْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ َﻣ َﻮﱠدةً َور‬
(21)
Terjemahnya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
dan sayang....151
Berkaitan dengan kewajiban suami terhadap istri, Kompilasi Hukum
Islam merincinya sebagai berikut :
151
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 644
109
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami isteri bersama.
(2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi
agama, dan bangsa.
(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung :
a)nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak;
c) biaya pendidikan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a
dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri
nusyus
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 81
Tentang Tempat Kediaman
Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya
atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama
dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya,baik
berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan
tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara
berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung
masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
110
(2) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya
dalam satu tempat kediaman.
2. Kewajiban istri dalam rumah tangga
Sebagai konsekwensi adanya kewajiban bagi seorang laki-laki dalam
kedudukannya sebagai seorang suami sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
maka ia melahirkan hak baginya dari perempuan yang dinikahinya, sekaligus
menjadi suatu kewajiban dari seorang perempuan dalam statusnya sebagai
seorang istri. Kewajiban istri terhadap suaminya dapat ditemukan dalam alQur’an dan hadis. Berkaitan dengan hal ini, maka tidak ada kewajiban yang
bersifat materi, tetapi semuanya merupakan kewajiban yang bersifat non
materi yang dapat dirinci sebagai berikut :
a. Memperlakukan suaminya secara baik.
potongan
ayat
QS
al-Nisā’/4:
19
Hal ini dapat dipahami dari
yang
menuntut
sang
suami
mempelakukan istrinya dengan baik.
(19)
... ِ‫ َو َﻋﺎ ِﺷ ُﺮوْ ھُﻦﱠ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌ ُﺮوْ ف‬...
Terjemahnya:
...Dan bergaullah dengan mereka secara patut...
b. Memberikan ketenangan, cinta, dan kasih sayang kepada suaminya sesuai
dengan kesanggupannya. Hal tersebut sejalan QS al-Rūm/30: 21.
111
‫ُﺴ ُﻜ ْﻢ أَزْوَاﺟًﺎ ﻟِﺘَ ْﺴ ُﻜﻨـُﻮْا إِﻟَْﻴـﻬَﺎ َو َﺟ َﻌ َﻞ ﺑـَْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ َﻣ َﻮﱠدةً َورَﲪَْﺔً إِ ﱠن‬
ِ ‫َوِﻣ ْﻦ آﻳَﺎﺗِِﻪ أَ ْن َﺧﻠَ َﻖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ أَﻧْـﻔ‬
(21)
.َ‫َﺎت ﻟِﻘَﻮٍْم ﻳـَﺘَـ َﻔ ﱠﻜﺮُْون‬
ٍ ‫ِﻚ ﻷََﻳ‬
َ ‫ِﰱ ذَﻟ‬
Terjemahnya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir.
c. Taat dan patuh kepada suaminya selama hal itu tidak bertentangan dengan
perintah Allah swt. Ketaatan kepada suami ini dapat dilihat dalam isyarat
yang terdapat dalam potongan ayat QS al- Nisā’/4: 34.
(34)
... ‫ْﺐ‬
ِ ‫َﺎت ﻟِْﻠﻐَﻴ‬
ٌ ‫َﺎت ﺣَﺎﻓِﻈ‬
ٌ ‫َِﺎت ﻗَﺎﻧِﺘ‬
ُ ‫ ﻓَﺎﻟﺼﱠﺎﳊ‬...
Terjemahnya :
...Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada...
Ketaatan dan kepatuhan kepada suami dalam arti mengikuti apa
yang dimintanya dan menghentikan apa yang dilarangnya, sepanjang hal
itu tidak bertentangan dengan ketentuan agama. Jika menyalahi dengan
aturan dan norma agama, maka tidak ada kewajiban istri untuk
mengikutinya, sejalan dengan hadis Nabi yang artinya: “tidak ada ketaatan
kepada makhluk dalam mendurhakai Allah swt”. 152
152
.‫ﻻطﺎﻋﺔ ﻟﻣﺧﻠوق ﻓﻰ ﻣﻌﺻﯾـﺔ اﻟﺧﺎﻟق‬
112
Mutawalli al-Sya’rāwī seperti ditulis Nur Taufiq menjelaskan
bahwa kata “qānitāt” berasal dari kata “qunūt” yang berarti panjang atau
berkesinambungan.
Jadi, “qunūt” adalah al-dawām al-ṭā’ah artinya
ketaatan yang berkesinambungan. Dengan demikian, qānitāt dalam ayat
ini adalah ketaatan yang berkesinambungan kepada perintah dan larangan
Allah swt, yang dalam konteks relasi suami-istri diwujudkan dengan
ketaatan yang berkesinambungan kepada suami yang qawwām, yang
merupakan wali (penanggung jawab) bagi mereka sebagaimana yang
diamanahkan dari ayah sang istri tatkala menikah, ketika sebelumnya ayah
merupakan wali (penanggung jawab) bagi anak-anaknya sebagai amanah
langsung dari Allah swt, baik duniawi maupun ukhrawi. 153
Umumnya ulama tafsir, mengartikan kata qānitāt sebagai ‫ﻣﻄﻴﻌﺎت‬
‫( ﻟﻸزواج‬ketaatan kepada suami)154. Quraish Shihab menambahkan bahwa
seorang istri wajib menaati suaminya dalam hal-hal yang tidak
bertentangan dengan agama, serta tidak bertentangan dengan hak pribadi
sang istri, bukan kewajiban secara mutlak.155
153
Lihat Nur Taufiq, Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 76
154
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsir al-Munīr fī al-‘qīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj,
vol. V, h. 53. Dan Muṣṭafā al-Marāgi, Tafsīr al-Marāgi, vol. V (t.t., Dār al-Fikr, t.th.), h. 28.
155
Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2,
h. 428 - 429
113
Kata qānitāt atau qānitīn atau qānitūn, digunakan untuk
menunjukkan suatu ketaatan maksimal atau senantiasa taat (‫ )دوام اﻟﻄﺎﻋـﺔ‬dan
hanya ditujukan kepada Allah swt, yang mencakup arti kesungguhan,
perhatian, dan pengabdian/penghormatan.
Karena itu, ketaatan kepada
suami adalah bagian dari rasa pengabdian kepada Allah swt, yang
mencakup kesungguhan, perhatian yang tinggi, sikap keikhlasan dan
penghormatan dalam pelaksanaannya.156
c. Menjaga diri dan harta suaminya bila suami sedang bepergian. Hal ini
sejalan dengan makna ḥāfiẓāt li al-gaib bimā ḥafiẓallāh (‫)ﺣﺎﻓﻈﺎت ﻟﻠﻐﻴﺐ ﲟﺎ ﺣﻔﻆ اﷲ‬
yakni bahwa seorang istri hendaklah menjaga dirinya dari zina dan harta
suaminya ketika suami sedang pergi.157 Menjaga di sini adalah apapun
yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab suami sebagai wujud
penjagaan Allah swt kepada istri, maka juga menjadi amanah yang harus
dipelihara oleh istri di saat suami tidak ada. Dengan demikian, potongan
ayat yang disebutkan di atas bermakna bahwa apa pun yang ditinggalkan
suami ketika ia tidak ada, maka hal itu menjadi tanggung jawab dan
kewajiban istri untuk memelihara dan menjaganya. Karena itu, jika suami
156
Lihat Nur Taufiq, Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 77
157
Al-Rāzī mengutip hadis Nabi yang berbunyi: ‫ﺧﲑ اﻟﻨﺴﺎء إن ﻧﻈﺮت إﻟﻴﻬﺎ ﺳﺮﺗﻚ وإن أﻣﺮ ـﺎ أﻃﺎﻋﺘﻚ وإن ﻏﺒﺖ ﻋﻨﻬﺎ ﰱ‬
.‫ ﻣﺎﻟﻚ وﻧﻔﺴـﻬـﺎ‬Lihat, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, Jilid V, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1990), h. 72
114
memiliki kewajiban menjaga semua kepentingan istri dan keluarga dari
hal-hal yang dapat mengganggu ataupun membahayakan kehidupan rumah
tangga, baik itu sifatnya duniawi maupun ukhrawi, maka kewajiban istri
pulalah untuk menjaganya di saat suami sedang pergi meninggalkan
rumah.
Jika suami berkewajiban mengatur dan memelihara jalannya roda
kehidupan rumah tangga, maka hal itu juga menjadi kewajiban istri untuk
menjaganya ketika suami sedang pergi, baik yang menyangkut dirinya
maupun harta dan keturunan mereka. Dan jika suami memiliki kewajiban
memberikan perhatian dan pembinaan kepada istri dan anak atas dasar
kasih sayang, maka seorang istri berkewajiban untuk memberikan
perhatian dan pembinaan, baik untuk diri, harta maupun keturunannya atas
dasar kasih sayang pula.
Demikian pula, jika suami berkewajiban
memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri, seperti makanan, pakaian,
pengobatan sesuai dengan kemampuannya, maka dalam hal ini istri
berkewajiban mengelola dan memelihara nafkah lahir yang diberikan oleh
suami.
e. Menjaga dirinya dari segala sesuatu yang tidak disenangi oleh suaminya.
f. Menjaga diri dengan tidak memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang
dan suara yang tidak enak didengar.
115
Kesemua hal ini dapat pula dilihat dari sabda Rasulullah saw sebagai
berikut:
‫ت إِﻟَْﻴـ َﻬﺎ‬
َ ‫ َﺧْﻴـ ُﺮ اﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء اﻟﱠِْﱴ إِذَا ﻧَﻈَْﺮ‬: ‫ﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
َ َ‫ ﻗ‬: ‫ﺎل‬
َ َ‫َﻋ ْﻦ أَِ ْﰉ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻗ‬
‫أﺧﺮج اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ واﺑﻦ اﳌﻨﺬر واﺑﻦ‬
.‫ﻟﻚ َوﻧـَ ْﻔ ِﺴ َﻬﺎ‬
َ ‫ﻚ ِﰱ َﻣِﺎ‬
َ ‫ﺖ َﻋْﻨـ َﻬﺎ َﺣ ِﻔﻈَْﺘ‬
َ ‫ َوإِذَا ِﻏْﺒ‬، ‫ﻚ‬
َ ‫ َوإِذَا أََﻣ ْﺮﺗَـ َﻬﺎ أَﻃَﺎ َﻋْﺘ‬، ‫ﻚ‬
َ ْ‫َﺳﱠﺮﺗ‬
158
.‫أﰉ ﺣﺎﰎ واﳊﺎﻛﻢ واﻟﺒﻴﻬﻘﻲ‬
Artinya:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda sebaik-baik
wanita (istri) adalah bila engkau memandangnya, ia menyenangkanmu;
bila engkau menyuruhnya, ia mematuhinya; dan bila engkau tidak ada ia
memelihara kehormatanmu dalam harta dan dirinya. Ditakhrij oleh Ibn
Jarīr, Ibn al-Munzir, Ibn Abī Ḥātim, al-Ḥākim, dan al-Baihaqī
Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa kedudukan dan
peran perempuan sebagai seorang istri dalam rumah tangga, adalah
pendamping sekaligus ma’mūm atas suaminya (‫)ﻗﺎﻧﺘﺎت‬. Di samping itu, seorang
istri selain berperan sebagai ibu rumah tangga, juga berperan sebagai parner
kerja dalam memelihara roda kehidupan rumah tangga (‫)ﺣﺎﻓﻈﺎت‬, terutama di saat
suami sedang tidak ada atau bepergian.
Terkait dengan hal tersebut, para ulama fiqh merinci lebih jauh tentang
kewajiban istri terhadap suaminya. Kewajiban tersebut menurut al-Kāsānī,
mazhab Ḥanafi, adalah sebagai berikut : (1) istri wajib menyerahkan diri
sepenuhnya untuk dinikmati oleh suami, karena suami adalah milk al-mut’ah
158
Lihat ‘Abd al-Rahman al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol. II, h. 514
116
(pemilik kesenangan), (2) istri tidak dibenarkan meninggalkan rumah, bila
suami melarangnya, karena suami memiliki hak tersebut, (3) istri wajib taat
kepada suami, jika sang suami menginginkan dirinya untuk memenuhi
kebutuhan biologisnya. Sedangkan imam al-Syāfi’i hanya menyebutkan satu
kewajiban istri terhadap suami, yaitu terpenuhinya kebutuhan seks (bersenangsenang) sebagai imbalan kewajiban suami mencukupi nafkah terhadapnya.
Ibnu Quddāmah menyebutkan dua kewajiban istri terhadap suami,
meski tidak secara tegas menyebutkan bahwa istri wajib patuh kepada suami,
namun ia mencatat hadis tentang kriteria istri yang baik, salah satu di antaranya
adalah taat kepada suami. Dengan mencatat hadis ini, menunjukkan bahwa Ibn
Quddāmah ingin mengatakan bahwa salah satu kewajiban istri adalah taat
kepada suami. Asumsi tersebut diperkuat oleh pandangan Ibn Quddāmah yang
mengatakan bahwa istri yang akan bepergian, pindah tempat tinggal,
melakukan tindakan selain tindakan kewajiban pokok syari’ah, haruslah
mendapatkan restu lebih dahulu dari suami,159 (2) istri wajib menjaga diri dan
harta suami. Kewajiban istri menjaga diri dan harta suami tersebut, sama
159
Ibn Quddāmah tidak menjelaskan, apa yang dimaksud dengan tindakan pokok syari’ah
yang boleh dilakukan tanpa restu suami. Tetapi ia menyebutkan bahwa mengganti puasa ramaḍan
(puasa wajib) kalau interval waktu bulan ramaḍan berikutnya masih lama, maka termasuk pokok
syari’ah. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kemungkinan yang ia maksudkan sebagai kewajiban
pokok syari’ah adalah kewajiban-kewajiban yang tidak boleh ditunda.
117
dengan asumsi kewajiban patuh dan menyenangkan suami sebagai kriteria
sebaik-baik istri sebagaimana teks hadis yang disebutkan.
Sementara dalam Undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyebutkan dua kewajiban istri terhadap suaminya yaitu : (1) istri wajib
berbakti kepada suami,160 (2) istri wajib mengatur rumah tangga.161
Dari paparan di atas terlihat bahwa kewajiban istri terhadap suami
yang juga sekaligus menjadi hak suami, tampak dengan jelas bahwa kewajiban
istri tersebut tidak ada yang bersifat materi.
Kewajiban istri terhadap
suaminya, hanya semata-mata berbentuk non materi.
3. Pendekatan non-hukum
Semua uraian yang dipaparkan di atas merupakan bentuk pengaturan
yang bersifat hukum, termasuk hukum fiqh. Hukum biasanya memandang
persoalan secara hitam-putih dan normatif. Cara pandang hitam-putih seperti
ini, kemungkinannya akan berimplikasi pada munculnya keteganganketegangan di antara mereka, meskipun kemungkinannya juga merupakan cara
penyelesaian yang terbaik bagi ketegangan-ketegangan yang muncul.
Ketegangan bisa terjadi jika kedua belah pihak saling menggunakan
160
Pasal 83 ayat (1) KHI berbunyi : “Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir
dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam”.
161
Pasal 34 ayat (2) UUP No. 1/1974 berbunyi : “isteri wajib mengatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya”; Pasal 83 ayat (2) KHI berbunyi : “Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya”.
118
otoritasnya, tanpa kompromi. Sebaliknya, ketegangan dapat dihindari jika
semua persoalan yang menyangkut hak dan kewajiban mereka didekati
melalui pendekatan akhlak karīmah. Pendekatan ini lebih menekankan pada
sikap-sikap
dan
pandangan-pandangan
demokratis,
kemanusiaan,
dan
kemaslahatan bersama. Pandangan ini pada akhirnya akan mengantarkan pada
suatu sikap bersama antara suami dan istri bahwa apa yang menjadi hak dan
kewajibannya tidak harus dipandang sebagai segalanya. Hak dan kewajiban
ini sebaiknya dipandang hanya sebagai salah satu sarana untuk membangun
keharmonisan rumah tangga.
Dengan pendekatan akhlak karīmah, sikap pergaulan antara suamiistri meliputi 4 hal, yaitu : (1) taḥabub, yaitu sikap saling mencintai, saling
mengasihi dan saling menghargai satu sama lain; (2) ta’āwun, yaitu sikap
saling tolong menolong, isi mengisi, dan saling melengkapi; (3) tasyāwur,
yaitu apabila suami-istri akan berbuat sesuatu, mereka hendaknya saling
terbuka dan musyawarah dengan akal yang sehat untuk mencari mufakat; dan
(4) ta’affi, yaitu apabila salah satu dari dua pasangan berbuat salah, maka
mereka saling memaafkan.162
Melalui pendekatan akhlak karīmah seperti di atas,
kerja sama,
gotong royong, dan saling pengertian antara suami dan istri dalam kerangka
162
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Membina Keluarga Sakinah Menurut al-Qur’an dan
al-Sunnah, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2002), h. 228
119
membina kebahagiaan rumah tangga akan dapat tercipta, karena apa yang
menjadi kewajiban suami sewaktu-waktu dapat diambil alih oleh istri,
sebaliknya apa yang menjadi kewajiban istri dapat dilaksanakan oleh suami.
Selanjutnya, apa yang menjadi hak suami tidak mesti dipenuhi sesuai dengan
keinginannya, dan apa yang menjadi hak istri pun tidak harus diikuti sesuai
dengan seleranya. Masing-masing suami dan istri akan berlapang dada dan
bersabar menerima segala keadaan, betapapun beratnya.
C.
Talak (Perceraian) dalam Hukum Islam
1. Talak dan dasar hukumnya.
Tujuan dari pernikahan adalah membangun sebuah keluarga dan
menciptakan kebahagiaan dengan keluarga tersebut.
Akan tetapi, di saat
kehidupan keluarga mengalami masalah yang dapat mengantarkan buyarnya
kebahagiaan ini, dan keadaannya telah sedemikian parah hingga batas yang
sangat sulit dalam menjalani kehidupan keluarga, maka tidak boleh tidak
terdapat suatu media untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Kehidupan keluarga yang demikian, tidak boleh dipaksakan agar tetap
berada dalam ikatan pernikahan, jika pada diri suami-istri sudah menyimpan
kebencian atau salah satu dari keduanya tidak bisa didamaikan. Untuk itu,
Allah mensyariatkan talak, dan menjadikannya “halal yang paling dibenci”.
120
Talak laksana obat yang paling pahit dan paling keras, yang mempunyai
dampak sangat luas.
Rumah tangga yang buyar membawa efek begitu luas dan dalam,
banyak jiwa yang menjadi sedih, orang tua, saudara, dan terutama anak-anak
akan menangis dan terlantar, bahkan bisa menimbulkan trauma dan
penderitaan yang berkepanjangan. Namun demikian, dalam kondisi yang tidak
memungkinkan lagi, bila seandainya perkawinan itu dipertahankan, dan
kemungkinan besar dapat menimbulkan bahaya atau kemudaratan bagi salah
satu pihak atau keduanya, maka cara yang terbaik untuk mengobatinya adalah
talak, ibarat suatu penyakit yang sudah kronis dalam tubuh seseorang, jalan
satu-satunya adalah operasi, meskipun kadangkala harus mengorbankan
sebagian dari anggota tubuh yang lain.
Bila tidak, justru akan membawa
kepada dampak yang lebih besar berupa kematian.
Dengan demikian,
memutuskan perkawinan melalui talak merupakan solusi terakhir dan jalan
121
keluar bagi kemelut yang terjadi dalam sebuah rumah tangga, 163 dan dibalik
talak tersebut mengandung hikmah yang besar dari ketentuan Islam ini. 164
Secara harfiah ṭalāq yang berasal dari kata ṭa-la-qa berarti lepas,
berpisah dan bercerai. Misalnya, nāqatun ṭāliqun (unta itu lepas).165 Secara
terminologi ‘Abd al-Raḥmān al-Jazīrī dalam kitab al-Fiqh ‘Alā Mażāhib alArba’ah memberikan definisi sebagai berikut:
166
.‫ص‬
ٍ ‫ﺼ ْﻮ‬
ُ َْ‫ﺼﺎ ُن َﺣﻠﱢ ِﻪ ﺑِﻠَ ْﻔ ٍﻆ ﳐ‬
َ ‫ﺎح أَْوﻧـُ ْﻘ‬
ِ ‫اﻟﻄﱠﻼَ ُق إَِزاﻟَﺔُ اﻟﻨﱢ َﻜ‬
Maksudnya:
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Senada dengan definisi al-Jazīrī di atas, Sayyid Sābiq menulis:
167
.‫اﻟﻄﱠﻼَ ُق َﺣ ﱡﻞ َراﺑِﻄَِﺔ اﻟﱢﺰَو ِاج َوإِﻧْـ َﻬﺎ ِء اﻟْ َﻌ َﻼﻗَـ ِﺔ اﻟﱠﺰْوِﺟﻴﱠـ ِﺔ‬
163
Putusnya perkawinan dilihat dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak terhadap
putusnya perkawinan itu, ada 4 kemungkinannya. (a) putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri
melalui kematian salah seorang dari suami istri, disebut cerai mati; (b) putusnya perkawinan atas
kehendak si suami dengan alasan dan ucapan tertentu, disebut talak; (c) putusnya perkawinan atas
kehendak si istri, sedang si suami tidak menghendakinya, disebut khulu’; dan (d) putusnya perkawinan
atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga, setelah hakim melihat bahwa perkawinan itu tidak dapat
dilanjutkan, disebut fasakh. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara
Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 197 – 198.
164
Di antara hikmah adanya talak adalah bahwa dinamika kehidupan rumah tangga terkadang
menjurus kepada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan perkawinan, jika kondisi demikian
dipaksakan, maka bisa jadi menimbulkan mudarat atau bahaya yang lebih besar, baik kepada suami
istri itu sendiri maupun kepada masyarakat.
165
Lihat Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 861. Lihat pula Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh
al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 6873
166
Abd al-Raḥmān al-Jazīrī, al-Fiqh ‘Alā Mażāhib al-Arba’ah, (Mesir: Dār al-Irsyād, t.th) h.
249.
122
Maksudnya:
Talak adalah sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami istri.
Sementara Abū Zakariya al-Anṣārī memberikan definisi talak sebagai
berikut:
168
.ِ‫ﺎح ﺑِﻠَ ْﻔ ِﻆ اﻟﻄﱠﻼَ ِق َوَْﳓ ِﻮﻩ‬
ِ ‫اﻟﻄﱠَﻼ ُق َﺣ ﱡﻞ َﻋ ْﻘ ِﺪ اﻟﻨﱢ َﻜ‬
Maksudnya:
Talak adalah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan
semacamnya.
Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa talak
adalah pembatalan perjanjian dan pelepasan ikatan perkawinan secara lahir
dan batin antara seorang suami dengan seorang istri, dengan menggunakan
lafaz talak dan yang semakna dengannya, sehingga tidak lagi halal bagi suami
apa yang sebelumnya halal baginya.
Lafaz ṭalāq telah dipakai pada zaman jahiliyah kemudian diadopsi oleh
Islam dengan pengertian yang spesifik, yaitu talak yang terbatas hingga sampai
tiga kali.
Talak di zaman jahiliyah bersifat zalim, karena pelaksanaannya
tergantung keinginan suami, kapan saja ia menginginkan untuk cerai dan kapan
ingin kembali, meskipun hingga berpuluh-puluh kali. Diriwayatkan, seorang
wanita mengadu kepada Rasulullah saw, ia berkata bahwa suaminya mentalak
167
Sayyid Sābiq, Fikih Sunnah, terjemahan Moh. Tholib, vol. II, h. 344
168
Zakariya al-Anṣārī, Fatḥ al-Wahhab, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t.th.), h. 72
123
dirinya sesuka hatinya.
Suaminya ruju’ kepadanya sebelum habis masa
iddahnya, dan hal ini dilakukannya hingga beberapa kali. Rasulullah terdiam
mendengarkan laporan tersebut, maka turunlah firman Allah: 169
(229) ...
‫ف أَْوﺗَ ْﺴ ِﺮﻳْ ٌﺢ ﺑِِﺈ ْﺣ َﺴـﺎ ٍن‬
ٍ ‫ﺎك ﲟَِْﻌ ُﺮْو‬
ٌ ‫اﻟﻄﱠﻼَ ُق َﻣﱠﺮﺗـَﺎ ِن ﻓَِﺈ ْﻣ َﺴ‬
Terjemahnya :
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik...170
Dengan demikian perceraian atau talak adalah sebuah institusi dalam
Islam yang digunakan untuk melepaskan ikatan perkawinan. Oleh karena itu,
meskipun perkawinan tersebut dipandang sakral atau suci, namun tidak boleh
dipandang mutlak atau tidak bisa dianggap tidak dapat diputuskan.
Perkawinan Islam tidak boleh dipandang sebagai sebuah sakramen
sebagaimana yang terdapat dalam agama Hindu dan Kristen, sehingga tidak
dapat diputuskan. Ikatan perkawinan harus dipandang sebagai sesuatu yang
alamiah, bisa bertahan dengan bahagia sampai ajal menjelang dan bisa juga
putus di tengah jalan.171
169
Lihat Muḥammad Rasyīd Riḍa, Ḥuqūq al-Nisā’ fī al-Islām, diterjemahkan oleh Abu ‘Amir,
Memenuhi Hak Sang Kekasih, h. 307. Lihat pula Abd Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam,
vol. V, h. 1776
170
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55.
Lihat Asgar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, diterjemahkan oleh Farid Wajidi
dan Cici Farkha Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
1994), h. 169
171
124
Adapun dasar hukum tentang talak dapat pula dilihat dari kedua
sumber utama ajaran Islam, al-Qur’an dan Hadis. Berkaitan dengan hal
tersebut, setidaknya terdapat tiga ayat yang dapat dikategorikan sebagai dasar
hukum talak, yaitu:
1) Al-Baqarah/2 : 226
. (226) .‫ﺺ أَْرﺑـَ َﻌـ ِﺔ أَ ْﺷ ُﻬـ ٍﺮ ﻓَِﺈ ْن ﻓَﺎءُ ْواﻓَِﺈ ﱠن اﷲَ َﻏ ُﻔ ْﻮٌر َرِﺣْﻴ ٌﻢ‬
ُ ‫ﻟِﻠﱠ ِﺬﻳْ َﻦ ﻳـُ ْﺆﻟُْﻮ َن ِﻣ ْﻦ ﻧِ َﺴﺎﺋِ ِﻬ ْﻢ ﺗَـَﺮﺑﱡ‬
Terjemahnya :
Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 172
2) Al-Baqarah/2: 228
(228) ...‫ُوٍء‬
ْ‫ُﺴ ِﻬ ﱠﻦ ﺛـَﻠَﺜَﺔَ ﻗـُﺮ‬
ِ ‫َﺎت ﻳـَﺘَـَﺮﺑﱠﺼْـ َﻦ ﺑِﺄَﻧْـﻔ‬
ُ ‫وَاﻟْ ُﻤﻄَﻠﱠﻘ‬
Terjemahnya
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.173
3) Al-Ṭalāq/65:1
‫ﺼﻮا اﻟْﻌِ ﱠﺪ َة َواﺗـﱠ ُﻘﻮا اﷲَ َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ﻻَﲣُْ ِﺮ ُﺟ ْﻮُﻫ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ‬
ُ ‫ﱯ إِذَا ﻃَﻠﱠ ْﻘﺘُ ُﻢ اﻟﻨﱢ َﺴﺎءَ ﻓَﻄَﻠﱢ ُﻘ ْﻮُﻫ ﱠﻦ ﻟِﻌِ ﱠﺪ ِِ ﱠﻦ َوأَ ْﺣ‬
‫ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﻨﱠِ ﱡ‬
ُ‫ﻚ ُﺣ ُﺪ ْو ُد اﷲِ َوَﻣ ْﻦ ﻳـَﺘَـ َﻌ ﱠﺪ ُﺣ ُﺪ ْوَد اﷲِ ﻓَـ َﻘ ْﺪ ﻇَﻠَ َﻢ ﻧـَ ْﻔ َﺴـﻪ‬
َ ‫ﺎﺣ َﺸ ٍﺔ ُﻣﺒَـﻴﱢـﻨَـ ٍﺔ َوﺗِْﻠ‬
ِ ‫ﲔ ﺑَِﻔ‬
َ ِْ‫ﺑـُﻴُـ ْﻮِِ ﱠﻦ َوﻻَﳜَُْﺮ ْﺟ َﻦ إِﻻﱠ أَ ْن ﻳَﺄْﺗ‬
( 1)
.‫ﻚ أَْﻣًﺮا‬
َ ِ‫ث ﺑـَ ْﻌ َﺪ ذَﻟ‬
ُ ‫َﻻﺗَ ْﺪ ِر ْى ﻟَ َﻌ ﱠﻞ اﷲَ ُْﳛ ِﺪ‬
Terjemahnya :
172
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55
173
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55
125
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
Kamu tidak mengetahui
barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. 174
b. Hadis :
.‫ﺾ اﳊَْ َﻼ ِل إِ َﱃ اﷲِ اﻟﻄﱠَﻼ ُق‬
ُ َ‫ﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أَﺑْـﻐ‬
َ َ‫َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ ﻋُ َﻤ ٍﺮ ﻗ‬
‫)رواﻩ أﺑﻮ داود‬
175
(‫واﺑﻦ ﻣﺎﺟـﻪ واﳊﺎﻛﻢ‬
Artinya:
Dari Ibn ‘Umar, Rasulullah saw bersabda, sesuatu yang halal yang paling
dibenci oleh Allah adalah talak
176
(‫)رواﻩ أﺑﻮداود واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ واﺑﻦ ﻣﺎﺟـﻪ‬
.‫ﺟ َﻌـ َﻬـﺎ‬
َ ‫ﰒُﱠ َرا‬
، َ‫ﺼـﺔ‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﺣ ْﻔ‬
َ ‫ﱯ‬
‫ ﻃَﻠﱠ َﻖ اﻟﻨﱠِ ﱡ‬:‫ﺎل ﻋُ َﻤـ ُﺮ‬
َ َ‫َوﻗ‬
Artinya:
‘Umar berkata: Nabi saw telah menceraikan Hafsah, kemudian
merujuknya kembali.
Beberapa ayat dari surah al-Baqarah, al-Ṭalāq, dan hadis di atas, pada
dasarnya tidaklah memerintahkan atau melarang eksistensi perceraian. Namun,
naṣ-naṣ tersebut selain sekedar menjelaskan tentang pengaturan perceraian
atau talak dan sesuatu yang berkaitan dengannya bila hal itu harus terjadi, juga
174
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 945
175
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Jāmi’ al-Ṣagīr, vol. I, (Bandung: al-Ma’ārif, t.th.), h. 5
176
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 6874
126
sekaligus menjadi dasar hukum tentang dibolehkannya tindakan perceraian
dalam Islam.
Di samping itu, suami hanya diperkenankan menceraikan istrinya
maksimal tiga kali, sesuai dengan QS al-Baqarah/2: 229
(229) ...‫ﺴـﺎ ٍن‬
َ ‫ﺑِِﺈ ْﺣ‬
‫ف أَْوﺗَ ْﺴـ ِﺮﻳْ ٌﺢ‬
ٍ ‫ـﺎك ﲟَِْﻌ ُﺮْو‬
ٌ ‫اﻟﻄﱠﻼَ ُق َﻣﱠﺮﺗَﺎ ِن ﻓَِﺈ ْﻣ َﺴ‬
Terjemahnya :
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. 177
Perlu pula dicatat, bahwa seorang suami yang telah mentalak istrinya
selain talak tiga, tetap mempunyai peluang untuk kembali (rujū’) kepada
istrinya pada masa ‘iddah, yang disebut dengan talak raj’i,178 ataukah
melakukan nikah baru jika masa ‘iddahnya telah habis dalam istilah fikih
disebut dengan bāin ṣugrā179. Namun, jika talak yang ketiga jatuh, maka
suami tidak dapat lagi ruju’ kepada istrinya, kecuali bila istri telah menikah
177
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55
178
Talak raj’i adalah talak dimana suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa
melalui nikah baru, selama isterinya itu masih dalam masa ‘iddah. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 220
179
Bāin sugrā adalah talak di mana suami tidak boleh kembali (ruju’) kepada mantan istrinya,
tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muḥallil. Talak seperti ini mempunyai tiga
bentuk, yaitu : (1). Talak yang dilakukan sebelum istri digauli oleh suami. Karena itu, tidak ada
kesempatan untuk kembali (ruju’) karena tidak ada masa ‘iddah, sebab ruju’ hanya dilakukan dalam
masa ‘iddah, (2). Talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri atau yang disebut khulu’,
dan (3). Perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau yang disebut fasakh. Lihat Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan, h. 221 - 222
127
lagi dengan lelaki lain, kemudian bercerai hingga habis masa iddahnya dari
suami yang kedua (bāin kubrā)180.
Dengan tahapan perceraian kesatu, kedua, dan yang ketiga
menunjukkan ketelitian Islam yang demikian tinggi. Meski di satu sisi Islam
sangat menghargai sebuah institusi ikatan pernikahan, dengan memberikan
kesempatan untuk kembali kepada orang yang “masih” dicintainya, namun di
sisi lain Islam juga memberi kesempatan untuk memulai kehidupan baru, tanpa
mengulangi usaha yang telah gagal sebelumnya. Lebih dari itu, ketentuan
talak sebagaimana yang disebutkan juga diharapkan dapat mewujudkan
kehidupan sosial yang bahagia dan harmonis.
Masa iddah wanita atau istri yang ditalak oleh suaminya telah
dijelaskan oleh QS al-Baqarah/2: 228181
‫ﺼـ َﻦ ﺑِﺄَﻧْـ ُﻔ ِﺴـ ِﻬـ ﱠﻦ ﺛَﻼَﺛـَﺔَ ﻗـُ ُﺮْوٍء‬
ْ ‫ﺎت ﻳـَﺘَـَﺮﺑﱠ‬
ُ ‫َواﻟْ ُﻤﻄَﻠﱠ َﻘ‬
Terjemahnya:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.
180
Bāin Kubrā adalah talak yang tidak memungkinkan suami ruju’ kepada mantan istrinya,
kecuali setelah isterinya kawin dengan lelaki lain kemudian ia bercerai dengan lelaki tersebut dan
habis pula masa ‘iddahnya. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara
Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 222
181
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55
128
Ayat di atas menjelaskan bahwa masa ‘iddah seorang wanita
ditetapkan selama tiga kali qurū’.
diperdebatkan oleh kalangan ulama.
Makna qurū’182 dalam ayat ini telah
Mazhab Abū Ḥanīfāh dan Hanbalī
mengartikannya dengan “al-ḥaīḍ” (masa haid). Alasannya, adalah karena
dengan haid dapat diketahui bersihnya rahim dari janin, yang merupakan
tujuan dari adanya iddah. Ini berarti, masa iddah-nya lebih lama dibandingkan
dengan yang mengartikan “masa suci”, yaitu berjalan kurang lebih 3 bulan.
Sementara mazhab Mālik dan Syāfi’i mengartikannya dengan “al-ṭuhr” (masa
suci). Alasannya, adalah karena ‘adad (bilangan) yang digunakan dalam
bentuk muannaṡ (bilangan yang menunjukkan perempuan), yaitu lafaz “‫”ﺛﻼﺛـﺔ‬.
Menurut kaidah Bahasa Arab, jika bilangannya muannaṡ, maka ma’dud (yang
dihitung) adalah bentuk muzakkar (menunjukkkan laki-laki). Dalam hal ini
adalah “al-ṭuhr” (masa suci). Jika demikian, menurut pendapat ini, maka yang
dihitung adalah mulai waktu sucinya sebelum dicampuri, sehingga masa
iddah-nya berjalan kurang lebih 2 bulan.183
Mencermati perbedaan di atas, cenderung yang lebih relevan dengan
perkembangan saat ini adalah pemahaman yang mengartikan dengan “masa
182
Lafaz “qurū’” adalah lafaz musytarak, yaitu lafaz yang mempunyai beberapa arti. Lafaz ini
berarti : al-ḥaiḍ (masa haid, masa kotor) dan al-ṭuhr (masa suci). Al-Ṭāhir Aḥmad al-Zāwī, Tartīb alQāmūs al-Muḥīṭ, Juz III, (Riyāḍ: Dār ‘Ᾱlim al-Kutub, 1996), h. 579
183
Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 8182-8183
129
haid”, yang berarti bahwa masa ‘iddah-nya lebih lama. Dengan pengertian ini
berarti, memberi kesempatan yang lebih luas kepada keduanya untuk
melakukan introspeksi diri, dan pendinginan suasana, yang boleh jadi ada
perubahan ke arah positif sehingga mereka mau berdamai, dan keruntuhan
rumah tangga masih dapat diselamatkan.
Jika wanita itu sudah tidak haid lagi, baik karena faktor usia ataupun
karena sakit, maka masa ‘iddah-nya adalah tiga bulan.184 Tetapi jika wanita itu
sedang hamil, maka masa ‘iddah-nya adalah sampai ia melahirkan.185
Sedangkan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa ‘iddah-nya
selama empat bulan sepuluh hari.186 Namun, jika wanita yang ditinggal mati
tersebut sedang hamil, maka di antara ulama berpendapat bahwa masa ‘iddahnya diambil waktu yang terlama.187 Misalnya, wanita yang sedang hamil dua
bulan lalu ditinggal mati oleh suaminya, -sementara biasanya umur kehamilan
adalah kurang lebih sembilan bulan- maka masa ‘iddah-nya sampai ia
184
Berdasarkan ...‫ واﻟﻼﺋﻰ ﻳ ﺌـﺴـﻦ ﻣﻦ اﶈﻴـﺾ ﻣﻦ ﻧﺴﺎﺋﻜﻢ إن ارﺗﺒﺘﻢ ﻓﻌﺪ ﻦ ﺛﻼﺛﺔ أﺷﻬـﺮ واﻟﻼﺋﻰ ﱂ ﳛﻀـﻦ‬QS al-Ṭalāq/65:4
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuanperempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan...
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 946
185
Berdasarkan QS al-Ṭalāq/65:4 ‫ وأوﻻت اﻷﺣﻤﺎل أﺟﻠﮭـﻦ أن ﯾﻀﻌـﻦ ﺣﻤﻠﮭـﻦ‬Artinya: Dan perempuanperempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 946
186
Berdasarkan QS al-Baqarah/2: 234 ‫واﻟﺬﯾﻦ ﯾﺘﻮﻓﻮن ﻣﻨﻜﻢ وﯾﺬرون أزواﺟﺎ ﯾﺘﺮﺑﺼـﻦ ﺑﺄﻧﻔﺴـﮭـﻦ أرﺑﻌـﺔ أﺷﮭـﺮ‬
‫ وﻋﺸـﺮا‬Artinya: orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 57
187
Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 311 – 312
130
melahirkan.
Tetapi bila umur kehamilannya sudah mencapai tujuh atau
delapan bulan, maka masa ‘iddah-nya adalah empat bulan sepuluh hari.
Adapun wanita yang masih dalam masa haid, namun ia tidak mendapat
haid ketika menjalani masa ‘iddah karena sesuatu hal seperti sakit, maka dia
harus menunggu selama sembilan bulan, dan seandainya setelah sembilan
bulan lalu ternyata ia tidak hamil, maka dia harus menjalani masa ‘iddah tiga
kali qurū’ setelah sembilan bulan tersebut. 188 Namun demikian, bila masa
‘iddah selama sembilan bulan kemudian ditambah lagi dengan masa tiga kali
quru’ didasarkan atas pertimbangan ada tidaknya kehamilan, maka tampaknya
perlu pengkajian ulang. Sebab, teknologi mutakhir telah mampu mendeteksi
kehamilan seseorang sejak dini.
Adapun QS al-Ṭalāq/65: 1 sebagaimana ditulis sebelumnya adalah
menjelaskan tentang keadaan istri waktu talak itu dijatuhkan oleh suami.
Berkaitan dengan keadaan istri ketika ditalak tersebut, selain terdapat talak
yang disebut dengan talak sunni189, terdapat pula talak yang disebut dengan
talak bid’i190. Yang termasuk talak sunni adalah talak yang dijatuhkan oleh
suami ketika si istri tidak dalam keadaan haid, atau dalam masa suci yang
188
Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 319
189
Talak sunni ialah talak yang pelaksanaannya telah sesuai dengan petunjuk agama dalam alQur’an dan sunnah Nabi.
190
Talak bid’i ialah talak yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan agama.
131
belum dicampuri oleh suaminya, sedangkan yang termasuk talak bid’i adalah
talak yang dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan
suci yang sudah digauli oleh suami.
2. Hukum talak (perceraian)
Hukum talak atau perceraian dalam Islam pada dasarnya adalah
makruh. Hukum makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha pencegahan
terjadinya talak, yaitu beberapa tahapan yang harus ditempuh seperti yang
terlihat dalam proses menghadapi kasus nusyus hingga syiqāq191, dan dilihat
dari adanya hadis yang mengatakan bahwa “talak adalah sesuatu hal yang
paling dibenci oleh Allah meskipun halal.” Tetapi, meski hukum asal talak ini
adalah makruh, namun dipandang dari situasi dan kondisi tertentu, maka
hukumnya dapat berubah sebagai berikut :
a. Nadab atau sunnah, yaitu di saat rumah tangga tidak dapat dipertahankan
lagi, dan jika dipertahankan, maka kemungkinan kemudaratan akan timbul
lebih banyak lagi.
b. Mubāḥ, yaitu boleh saja dilakukan bila diperlukan, tetapi sepanjang tidak
ada pihak yang dirugikan sedangkan tampaknya terdapat ada manfaatnya.
191
Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, h. 199
132
c. Wajib, yaitu perceraian yang mesti dilakukan, jika dipandang sudah tidak
mungkin dipersatukan lagi, dan bahkan justru akan mendatangkan mafsadat
yang lebih besar.
d. Haram, yaitu talak yang dilakukan tanpa alasan, sedangkan isteri dalam
keadaan haid, atau suci yang dalam masa itu ia telah dicampuri. 192
Karena kedudukan hukum dasar talak itu adalah makruh seperti yang
dikemukakan di atas, -suatu kedudukan hukum yang hampir setingkat dengan
haram-, maka talak itu hendaknya dilakukan dengan penuh pertimbangan yang
matang, baik perceraian itu karena keinginan suami, atau karena permintaan
isteri, maupun karena pemberian legitimasi hukum oleh Pengadilan Agama.
Sebab penjatuhan talak tanpa alasan agama yang benar adalah perbuatan dosa
yang diancam dengan siksa api neraka.
3. Sebab dan alasan perceraian
Dalam perceraian, biasanya Pengadilan Agamalah yang akan
memberikan kata akhir tentang terjadi atau tidaknya perceraian itu. Jika majelis
hakim berpendapat bahwa segala ketentuan hukum tentang perceraian telah
terpenuhi, setelah upaya perdamaian kedua belah pihak yang bertikai tidak
tercapai, maka majelis hakim akan memutus tali perkawinan itu melalui
perceraian.
192
Lihat Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, h. 201
133
Dari data perceraian di Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam Departemen Agama RI tahun 1996, dapat diketahui bahwa terdapat 13
faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya perceraian, yaitu :
a. Poligami yang tidak sehat
b. Krisis Akhlak
c. Kecemburuan
d. Kawin Paksa
e. Krisis Ekonomi
f. Tidak bertanggung jawab
g. Kawin di bawah umur
h. Penganiayaan
i. Terkena kasus kriminal (dihukum)
j. Cacat biologis
k. Faktor politis
l. Gangguan pihak ketiga
m.Tidak ada kecocokan lagi (tidak harmonis) 193
Mengingat bahwa perceraian itu merupakan tindakan emergensi, yaitu
ketika tidak ada jalan lain, melainkan dengan talak, maka hal ini dapat
dilakukan dengan benar-benar dilandasi alasan yang kuat dan memiliki dasar
hukum yang dibenarkan oleh agama. Alasan-alasan tersebut yaitu :
a. Cerai karena cacat tubuh atau atau karena penyakit menular.
ْ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺗَ َﺰ ﱠو َج ا ْﻣ َﺮأَةً ِﻣﻦْ ﺑَﻨِﻲ‬
َ ِ‫ﺐ ْﺑ ِﻦ زَ ْﯾـ ٍﺪ أَنﱠ َر ُﺳﻮْ َل ﷲ‬
ٍ ‫َﻋﻦْ َﻛ ْﻌ‬
‫ﺿﺎ‬
ً ‫ﺼـ َﺮ ﺑِ َﻜ ْﺸ ِﺤﮭَﺎ ﺑَﯿَﺎ‬
َ ‫ش أَ ْﺑ‬
ِ ‫ﺿ َﻊ ﺛَﻮْ ﺑَـﮫُ َوﻗَ َﻌ َﺪ َﻋﻠَﻰ ا ْﻟﻔِ َﺮا‬
َ ‫ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َد َﺧ َﻞ َﻋﻠَ ْﯿﮭَﺎ ﻓَ َﻮ‬، ‫ِﻏﻔَﺎٍر‬
193
Hasbi Indra, et. al., Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 223
134
‫)رواه أﺣﻤـﺪ‬
‫ﻚ ﺛِﯿَﺎﺑَﻚِ َوﻟَ ْﻢ ﯾَﺄْ ُﺧـ ْﺬھَﺎ ِﻣ ﱠﻤﺎ أَﺗَﺎھَﺎ َﺷ ْﯿﺌـ ًﺎ‬
ِ ‫ ُﺧ ِﺬىْ َﻋﻠَ ْﯿ‬: ‫ش ﺛُ ﱠﻢ ﻗَﺎ َل‬
ِ ‫ﻓَﺎْﻧ َﺤﺎ َز َﻋ ِﻦ ا ْﻟﻔِ َﺮا‬
194
(‫واﻟﺒﯿﮭﻘﻰ‬
Artinya:
Dari Ka’ab bin Zaid ra. bahwasanya Rasulullah saw pernah menikahi
seorang perempuan dari Banī gifār, maka tatkal ia akan bersetubuh dan
perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk di atas pelaminan,
kelihatanlah putih (balak) di lambungnya, lalu Beliau berpaling (pergi
dari pelaminan itu) seraya berkata : ambillah kainmu, tutuplah badanmu,
dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah
diberikan kepada perempuan itu. (diriwayatkan oleh Aḥmad dan alBaihaqī).
‫ أَ ﱡﯾ َﻤﺎ َرﺟـ ُ ٍﻞ ﺗَ َﺰ ﱠو َج ﺑِﺈِ ْﻣ َﺮأَ ٍة وَ ھُ َﻮ‬: ‫ﺿ َﻰ ﷲُ َﻋ ْﻨـﮫُ ﻗَﺎ َل‬
ِ ‫ﺐ َر‬
ِ ‫ﻋَﻦْ َﺳ ِﻌ ْﯿـ ِﺪ ا ْﺑ ِﻦ ا ْﻟ ُﻤ َﺴﯿﱠـ‬
195
(‫)رواه ﻣﺎﻟﻚ‬
. ْ‫ﺿ َﺮ ٌر ﻓَﺈِﻧﱠﮭَﺎ ﺗُ َﺨﯿﱠـ ُﺮ ﻓَﺈِنْ َﺷﺎ َءتْ ﻗَ ﱠﺮتْ َوإِنْ َﺷﺎ َءتْ ﻓَﺎ َرﻗَـﺖ‬
َ ْ‫ُﺟﻨُﻮْ نٌ أَو‬
Artinya:
Dari Sa’īd bin al-Musayyab ra. berkata : “Barangsiapa di antara laki-laki
yang menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-laki itu ada
tanda-tanda gila, atau ada tanda-tanda yang membahayakan,
sesungguhnya perempuan itu boleh memilih jika mau ia tetap (dalam
perkawinannya) jika ia berkehendak cerai maka si perempuan itu boleh
bercerai.” (diriwayatkan oleh Mālik).
Hadis pertama tersebut, menjelaskan bahwa Rasulullah saw menikah
dengan seorang wanita dari Banī Ghifār tanpa sebelumnya mengetahui bahwa
ia mempunyai penyakit balak (penyakit belang kulit), dan setelah
mengetahuinya, Rasulullah pun menceraikannya tanpa mengambil apapun
194
Lihat Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 145
195
Lihat Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 146
135
yang telah diberikan kepadanya.
Sedang hadis kedua menjelaskan bahwa
Rasulullah membolehkan untuk bercerai dengan mereka yang memiliki
penyakit menular yang berbahaya, seperti sipilis, tbc, dan sebagainya. Oleh
karena itu, menjatuhkan talak karena alasan penyakit adalah dibolehkan,
sepanjang penyakit tersebut tidak diketahui sebelumnya.
Jika penyakit itu muncul setelah menikah, maka para ulama berbeda
pendapat tentang hal itu. Jumhur ulama, selain Ibn Hazm, berpendapat bahwa
boleh menjatuhkan talak atas penyakit yang menimpa si istri. Bentuk penyakit,
cacat yang dimaksud, menurut ‘Ali Ibn Abī Ṭālib dan ‘Umar Ibn al-Khaṭṭāb,
yaitu : lemah syahwat, gila, penyakit menular dan sopak. Sementara Imām
Syafi’i, Ahmad Ibn Hanbal, dan Mālik, menambahkan penyakit putus zakar
atau impoten bagi laki-laki, dan bagi wanita tumbuhnya tulang pada kemaluan,
kemaluannya buntu, kemaluannya tersumbat daging atau kemaluannya terlalu
basah. Tetapi, bagi Imām Ḥanafi, cacat tubuh yang dikategorikan penyakit
hanyalah putus zakar dan impotensi.196
Ibn al-Qayyim sebagaimana ditulis oleh Kamal Mukhtar berpendapat
bahwa semua penyakit atau cacat tubuh yang menyebabkan suami-istri saling
196
Muhammad ‘Abd al-Raḥmān al-Dimasyqī, Raḥmatul al-Ummah fi al-Ikhtilāf al-Aimmah,
diterjemahkan oleh ‘Abdullah Zāki al-Kāf, Fiqh Empat Mazhab, cet. II (Jakarta: Husyami Press,
2004), h. 354
136
menjauhi sehingga tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan, tidak ada kasih
sayang dan saling mencintai dapat dijadikan alasan untuk memilih apakah akan
tetap mempertahankan tali pernikahan ataukah bercerai. 197 Pendapat ini dinilai
lebih relevan karena bentuk dan jenis penyakit yang terus mengalami
perkembangan, maka merumuskan sifat penyakit adalah lebih penting daripada
merumuskan jenis-jenisnya. Meskipun demikian, surat keterangan ahli atau
keterangan dokter menjadi kunci utama untuk menilai kondisi penyakit itu.
b. Alasan karena pasangan melakukan zina.
‫ إِنﱠ‬: ‫ﺻﻠﻰَ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَﻘَﺎ َل‬
َ ‫ ﺟَ ﺎ َء َر ُﺟ ٌﻞ إِﻟَﻰ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ‬: ‫س ﻗَﺎ َل‬
ٍ ‫َﻋ ِﻦ ا ْﺑ ِﻦ َﻋﺒﱠﺎ‬
: ‫ ﻗَﺎ َل‬، ْ‫ أَ َﺧﺎفُ أَنْ ﺗَ ْﺘﺒَ ُﻌﮭَـﺎ ﻧَ ْﻔ ِﺴﻰ‬: َ‫ ﻗَﺎل‬، ‫ َﻏﺮﱢ ْﺑﮭَﺎ‬: ‫ﺲ ﻓَﻘَﺎ َل‬
ٍ ‫ا ْﻣ َﺮأَﺗِﻰْ ﻻَﺗَ ْﻤﻨـَ ُﻊ ﯾَـ َﺪ ﻻَ ِﻣ‬
198
(‫)رواه أﺑﻮ داود‬
‫ﻓَﺎ ْﺳﺘَ ْﻤﺘِـ ْﻊ ﺑِﮭَﺎ‬
Artinya:
Dari Ibn ‘Abbās berkata : telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw
kemudian berkata : sesungguhnya istriku tidak menolak akan tangan
(orang lain) yang menyentuhnya, maka Nabi saw berkata : ceraikanlah
dia, lalu laki-laki tersebut mengatakan, bahwa saya khawatir diriku
mengikutinya (tidak sanggup berpisah/menceraikannya), lalu Nabi saw
berkata : maka tinggallah dengannya/jagalah dia. (diriwayatkan oleh Abū
Dāwud).
197
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h. 215
198
Lihat Abū Dāwud Sulaiman al-Sajastāni, Sunan Abū Dāwud, vol. II (Beirut: Dār al-Fikr,
1994), h. 471
137
Hadis tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberikan hak
sepenuhnya kepada si suami apakah menceraikan atau tidak terhadap seorang
istri yang dinilai berzina. Dan dengan demikian, hadis ini dapat dijadikan
dasar sebagai alasan dan bolehnya menjatuhkan talak karena pasangan
melakukan perzinahan, meskipun itu tidak wajib.
Hadis ini juga mengandung arti, bahwa betapapun keadaan seorang
pasangan, namun bila pasangannya masih menerima kondisi tersebut, maka
ikatan pernikahan di antara mereka tidaklah mesti dipisahkan.
c. Alasan karena tindakan kekerasan terhadap pasangan.
‫س‬
ٍ ‫ﺲ ْﺑ ِﻦ َﺷ ﱠﻤﺎ‬
ٍ ‫ﺖ ْﺑﻦِ ﻗَ ْﯿ‬
ِ ِ‫ﺖ َﺳ ْﮭـ ٍﻞ َﻛﺎﻧَﺖْ ﻋِ ْﻨ َﺪ ﺛَﺎﺑ‬
ِ ‫ أَنﱠ َﺣﺒِ ْﯿﺒـَﺔَ ﺑِ ْﻨ‬: َ‫ﻋَـنْ َﻋﺎﺋِﺸـَﺔ‬
‫ ﻓَ َﺪ َﻋﺎ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ‬، ‫ﺢ‬
ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺑَ ْﻌـ َﺪ اﻟﺼﱡ ْﺒ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻀﮭَﺎ ﻓَﺄَﺗَﺖْ اﻟﻨﱠﺒِ ﱠ‬
َ ‫ﻀ َﺮﺑَﮭَﺎ ﻓَ َﻜ َﺴ َﺮ ﺑَ ْﻌ‬
َ َ‫ﻓ‬
199
(‫)رواه أﺑﻮ داود‬
....‫ ُﺧـ ْﺬ ﺑَ ْﻌﺾَ َﻣﺎﻟِﮭَﺎ َوﻓَﺎ ِر ْﻗﮭَﺎ‬: ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺛَﺎﺑِﺘًﺎ ﻓَﻘَﺎ َل‬
َ
Artinya:
Dari ‘Ᾱisyah r.a : bahwasanya Habibah Binti Sahal merupakan milik
(istri) Ṡābit bin Qais Ibn Syammāsi, lalu (suatu saat) Ṡābit memukulnya
hingga beberapa anggota tubuhnya terluka, maka Habibah pun
mendatangi Nabi setelah subuh, lalu Beliau memanggil Ṡābit dan berkata
: ambillah sebagian hartanya (dari mahar yang dibayarkan) lalu
ceraikanlah dia (diriwayatkan oleh Abū Dāwud).
199
Lihat Abū Dāwud Sulaiman al-Sajastāni, Sunan Abū Dāwud, vol. II, h. 244
138
Hadis
tersebut
menjelaskan
bahwa
tindakan
kekerasan
atau
penganiayaan terhadap pasangan dapat menjadi alasan untuk memutuskan tali
pernikahan. Dan hadis ini menjelaskan bahwa penjatuhan talak dalam
peristiwa ini ditetapkan langsung oleh Nabi sebagai pemegang otoritas
tertinggi dalam dunia hukum Islam. Hadis ini pula sejalan dengan perintah
Allah swt
yang
memerintahkan agar
setiap pasangan
mempergauli
pasangannya dengan cara yang baik (ma’rūf).
Sehubungan dengan hal ini, ke empat hadis yang diutarakan di atas,
tampak sejalan dengan alasan perceraian yang terdapat dalam Undang-Undang
No 1/1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Meskipun dalil-dalil di atas belum mencakup keseluruhan alasan yang
disebutkan dalam UU dan KHI tersebut, tetapi setidaknya unsur-unsur
substantif ketidakmampuan menunaikan kewajiban karena cacat fisik atau
penyakit, pidana zina, dan tidak memperlakukan secara baik, sebagian
besarnya telah tercantum dalam alasan-alasan lain yang terdapat pada PP No. 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 19 sebagai rincian dari Pasal 39 UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan dan
KHI Pasal 116.
Alasan-alasan tersebut adalah PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 point e
(tentang cacat badan atau penyakit), point a (tentang alasan zina), dan point d
139
(tentang alasan penganiayaan/kekejaman).
Kemudian diulangi lagi dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu pasal 116 point e (tentang alasan cacat
tubuh/penyakit), point a (tentang alasan zina), dan point d (tentang alasan
penganiayaan / saling menyakiti).
Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 secara rinci disebutkan alasan
perceraian sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
e. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Kemudian dalam KHI ditambah dengan alasan lain sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan. (sama dengan Pasal 19 PP No.
9/75);
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuanny. (sama dengan Pasal 19 PP No. 9/75);
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. (tambahan);
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain. (sama dengan Pasal 19 PP No. 9/75);
140
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-isteri. (sama dengan Pasal
19 PP No. 9/75);
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. (sama
dengan Pasal 19 PP No. 9/75)
g. Suami melanggar taklik talak. (tambahan);
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga. (tambahan).
Berkaitan alasan perceraian yang sejenis dengan Pasal 19 dan KHI,
Pasal 116 point d, yaitu : Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain dan ayat 3 dari sigat
Taklik Talak.200 M. Yahya Harahap sebagaimana dikutip Abdul Manan Pasal
19 huruf d PP Tahun 1975 tersebut pada dasarnya unsur-unsurnya sebagai
berikut :
a. berupa penganiayaan fisik;
b. tetapi dapat pula penganiayaan mental (mental cruelty);
c. kadar kualitasnya:
- membahayakan kehidupan jasmani;
- atau menyengsarakan jiwa / rohani.201
200
Rumusan sigat Taklik Talak berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun
1990 sebagai berikut : .......... Sewaktu-waktu saya : 1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut; 2.
Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya; 3. Atau saya menyakiti
badan/jasmani istri saya itu; 4. Atau saya membiarkan (tidak memedulikan) istri saya itu enam bulan
lamanya;............. Lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, h. 399
201
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 414
– 415
141
Berdasarkan unsur-unsur di atas, maka dapat dikatakan bahwa
penafsiran Pasal 19 d Peraturan Pemerintah tersebut bukan hanya sekedar
kekejaman atau penganiayaan fisik saja tetapi juga kekejaman jiwa/rohani.
Sejauhmana kekejaman dan penganiayaan itu dikategorikan sebagai
penganiayaan berat ? Menurut hemat penulis, penganiayaan yang tergolong
berat dapat dilihat pada dua hal:
Pertama, tujuan atau maksud suami melakukan “kekerasan atau
penganiayaan” istri tersebut, apakah dalam rangka melaksanakan perbuatan
ma’rūf atau tidak. Kedua, apakah melampaui batas atau tidak, sehingga
mengakibatkan cedera, dan atau cacat fisik. Dengan demikian, jika melampaui
batas, maka itu berarti telah melakukan pelanggaran berat yang dapat menjadi
alasan perceraian.
Tetapi, jika dilakukan masih dalam batas-batas yang
dibolehkan oleh syara’ (seperti yang sudah dijelaskan), maka tidak dapat
dikatakan telah melakukan pelanggaran yang dapat menjadi alasan perceraian.
Sebagai misal, suami yang memukul istrinya dengan rotan semacam siwak
yang dilapisi kain dengan maksud pendidikan (ta’dīb) agar istri merubah
kebiasaan buruknya yang menyalahi agama, maka hal semacam ini tidak dapat
dikategorikan sebagai penganiayaan berat.
Sayid Usman sebagaimana dikutip Abdul Manan menyebutkan bahwa
yang termasuk penganiayaan berat, meliputi : mendorong hingga sampai jatuh,
142
menjambak rambut, menendang dengan kaki, menyulut dengan api rokok,
menyikut yang dapat menimbulkan rasa sakit, melempar dengan sepatu, dan
semacamnya, meskipun kadar sakitnya sangat relatif dan bersifat kasuistik. 202
Sebab itu, bisa jadi suami menyatakan memukul istri dengan ringan sekali,
tetapi istri merasa telah disakiti secara kasar dan keras, ataukah suami
menyatakan bahwa ia hanya sekedar menangkis sebagai pembelaan diri, dan
seterusnya.
Dalam
menghadapi
pengadilan, yakni para
kasus-kasus
seperti
ini,
para
pemangku
hakim tentu dituntut agar memiliki kepekaan dan
kearifan yang tinggi, sehingga dapat memutus perkara dengan tepat. Sebab,
bila tidak, maka kemungkinan orang yang sudah terzalimi akan terzalimi lagi
untuk kedua kalinya, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
D. Kerangka Konseptual
Perceraian merupakan suatu fenomena sosial yang dipandang negatif
oleh masyarakat.
Ia merupakan tragedi terbesar dalam kehidupan rumah
tangga, karena secara umum menimbulkan masalah atau problem dalam
kehidupan bermasyarakat.
202
Dalam kaca mata Islam, perceraian adalah
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 417
143
“perbuatan halal yang sangat dibenci Allah” sebagaimana sabda Rasulullah
saw :
‫أَ ْﺑ َﻐـﺾُ ا ْﻟ َﺤﻼَلِ إِﻟَﻰ‬
: ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل‬
َ ‫َﻋ ِﻦ ا ْﺑ ِﻦ ُﻋ َﻤـ َﺮ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱢ‬
203
(‫)رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟـﮫ‬
.‫ق‬
ُ ‫ﷲِ َﻋ ﱠﺰ وَ َﺟ ﱠﻞ اﻟﻄﱠ َﻼ‬
Artinya:
Dari Ibnu ‘Umar dari Nabi saw, ia berkata : perbuatan halal yang paling
dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla ialah bercerai.
Namun demikian, dalam keadaan tertentu jika terdapat hal-hal yang
menghendaki putusnya perkawinan karena adanya kekhawatiran timbulnya
bahaya atau kemudaratan seandainya perkawinan itu dipertahankan, maka
Islam
membenarkan
perceraian
sebagai
solusi
terakhir
dari
usaha
mempertahankan rumah tangga. Hal tersebut didukung oleh kaidah fiqhiyyah
yang menyatakan bahwa kemudaratan harus dihapuskan :
204
‫ﻀـ َﺮ ُر ﯾُـ َﺰا ُل‬
‫اﻟ ﱠ‬
Maksudnya:
Kemudaratan itu harus dihilangkan
Kaidah tersebut, sejalan dengan sabda Rasulullah saw sebagaimana
dikutip oleh Ali al-Nadwī yang menyatakan :
203
Abū ‘Abdullah Muhammad bin Yazīd al-Qazwīniy Ibnu Mājah, Sunan Ibn Mājah, vol. I,
(t.t. : Dār Ihyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), h. 650. Hadis ini diriwayatkan dari Kaṡir bin ‘Ubaid alHamṣiy, dari Muhammad bin Khālid, dari ‘Ubaidullah bin al-Walīd al-Waṣṣāfiy, dari Muḥārib bin
Daṡṡār, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
204
Ali al-Nadwī, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, (Cet. V; Damsyik: Dār al-‘Ilmi, 2000 M), h. 287
144
‫ﺿـ َﺮرَ َو َﻻ‬
َ ‫ َﻻ‬: ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل‬
َ ِ‫ أَنﱠ رَ ُﺳﻮْ َل ﷲ‬: َ‫ﺻﺮْ َﻣﺔ‬
ِ ْ‫َﻋﻦْ أَﺑِﻲ‬
205
‫ رواه اﻟﺘﺮﻣﺬى‬.
‫ق َﺷﺎﻗﱠﮫُ ﷲَ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬
‫ َو َﻣﻦْ َﺷﺎ ﱠ‬، ُ‫ﺿﺎ ﱠرهُ ﷲ‬
َ ‫ﺿﺎ ﱠر‬
َ ْ‫ َﻣﻦ‬، ‫ﺿـ َﺮا َر‬
ِ
Artinya:
Dari Abu Sirmah, Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : tidak boleh
saling memudaratkan, siapa yang memberi mudarat, maka Allah pun
akan memudaratkannya, dan siapa yang mempersulit, maka Allah pun
akan mempersulitnya. (riwayat al-Timiziy).
Berdasarkan kaidah di atas, para fuqaha menetapkan bahwa jika dalam
kehidupan suami-istri terdapat keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan
kemudaratan pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita maḍarrat
dapat berinisiatif, mengambil prakarsa untuk memutuskan perkawinan,
kemudian hakim menceraikan perkawinan atas dasar penderitaan tersebut.
Perspektif keagaamaan dalam hal menjalangkan hak dan kewajiban,
keluarga muslim dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, mereka
yang menjalankan hak dan kewajiban.
Kedua, mereka yang kurang
memperdulikan hak dan kewajiban. Dan ketiga, mereka yang mengabaikan
hak dan kewajiban. Mereka yang melaksanakan hak dan kewajiban dinilai
dapat membina rumah tangga yang bahagia dan harmonis. Sementara mereka
205
Lihat Ali al-Nadwī, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, h. 287. Yang dimaksud al-ḍarar yakni ada
manfaat bagi diri sendiri, tapi bagi orang lain memudaratkan. Al-ḍirār yakni tidak ada manfaat bagi
diri sendiri, dan bagi orang lain memberi mudarat. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Cet.I; Jakarta:
Kencana, 2006), h. 16
145
yang kurang atau mengabaikan hak dan kewajiban dinilai melakukan tindakan
nusyus yang melahirkan percekcokan yang berkepanjangan, dan akhirnya
dapat mengantarkan ke lembaga peradilan, yang ujung-ujungnya adalah
perceraian.
Di antara yang dapat menimbulkan terjadinya perceraian adalah
tindakan nusyus, karena dengan tindakan tersebut orang lain, dalam hal ini
pasangan suami-isteri dapat jatuh ke dalam kemudaratan atau merugikan salah
satu pihak dari pasangan tersebut.
Dalil yang dijadikan dasar bolehnya
seseorang bercerai karena tindakan nusyus adalah :
‫س‬
ٍ ‫ﺲ ْﺑ ِﻦ َﺷ ﱠﻤﺎ‬
ٍ ‫ﺖ ْﺑ ِﻦ ﻗَ ْﯿ‬
ٍ ِ‫ﺖ َﺳ ْﮭـ ٍﻞ َﻛﺎﻧَﺖْ ِﻋـ ْﻨـ َﺪ ﺛَﺎﺑ‬
ِ ‫ أَنﱠ َﺣﺒِ ْﯿﺒَـﺔَ ﺑِ ْﻨـ‬: َ‫َﻋﻦْ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔ‬
ُ‫ﺢ )ﻓَﺎ ْﺷﺘَ َﻜـ ْﺘـﮫ‬
ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺑَ ْﻌـ َﺪ اﻟﺼﱡ ْﺒـ‬
َ ‫ﻀﮭَﺎ ﻓَﺄَﺗَـﺖْ اﻟﻨﱠﺒِ ﱠﻲ‬
َ ‫ﻀ َﺮﺑَﮭَـﺎ ﻓَ َﻜ َﺴـ َﺮ ﺑَ ْﻌ‬
َ َ‫ﻓ‬
......... ‫ ُﺧـ ْﺬ ﺑَ ْﻌﺾَ َﻣﺎﻟِﮭَﺎ َوﻓَﺎ ِر ْﻗﮭَـﺎ‬: َ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺛَﺎﺑِﺘًﺎ ﻓَﻘَﺎل‬
َ ‫إِﻟَ ْﯿ ِﮫ( ﻓَ َﺪ َﻋﺎ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ‬
206
(‫)رواه أﺑﻮ داود‬
Artinya:
Dari ‘Aisyah r.a. : sesungguhnya Habibah binti Sahal merupakan milik
(istri) Ṡābit bin Qais bin Syammās, lalu (suatu ketika) Ṡābit memukulnya
hingga beberapa anggota tubuhnya terluka, kemudian isterinya
mendatangi Nabi (melaporkan kejadian yang dialaminya), maka Nabi
memanggil Ṡābit dan berkata : ambillah sebagian hartanya dan
ceraikanlah.
206
Abū Dawud Sulaiman al-Sajastāni, Sunan Abū Dāwud, vol. II, h. 669
146
Oleh karena itu, tindakan nusyus hukumnya adalah haram. Alasannya,
adalah selain karena merugikan orang lain, juga karena menyalahi sesuatu
yang telah ditetapkan agama melalui al-Qur’an dan hadis Nabi.
Dalam
kaitannya dengan Allah, pelakunya dibebani dosa dari Allah, dan kaitannya
dengan rumah tangga merupakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan
suami-istri.
Nusyus selain dapat berbentuk perkataan, dapat pula berbentuk
perbuatan atau tindakan. Dalam bentuk perkataan dari pihak istri, seperti
menjawab secara tidak sopan terhadap pembicaraan suami yang lemah lembut.
Dalam bentuk perbuatan, seperti tidak mau pindah ke rumah yang telah
disediakan oleh suaminya; enggan melakukan apa yang diperintahkan oleh
suaminya dalam hal yang tidak bertentangan dengan agama; keluar rumah
tanpa seizin suami; tidak menjaga diri dan harta suaminya; dan tidak menjaga
dirinya dari perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya. Sementara dalam
bentuk perkataan dari pihak suami, seperti memaki-maki dan menghina istri.
Dalam bentuk perbuatan, seperti mengabaikan hak isteri atas dirinya, 207
207
Hak istri seperti nafkah batin, nafkah lahir, dan perlakuan yang penuh kasih sayang. Lihat
Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, vol. V, h. 295
147
menganggap rendah terhadap istrinya, 208 dan menyakiti istri dengan pukulan
atau semacamnya.209
Meskipun suatu perceraian dapat bersumber dari adanya tindakan
nusyus, namun ia bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan terdapat faktorfaktor lain yang menyebabkannya. Dengan demikian, nusyus dipengaruhi oleh
faktor independen lainnya, seperti ; pudarnya rasa cinta, kurangnya
pemahaman terhadap ajaran agama, adanya campur tangan pihak ketiga,
perselingkuhan salah satu pihak, tekanan ekonomi, lahirnya kesadaran tentang
gender, pengaruh media massa, dan sebagainya.
Dalam rangka mengantisipasi terjadinya runtuhnya bangunan rumah
tangga seperti yang diuraikan di atas, al-Qur’an dan hadis begitu pula hukum
Islam melalui Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan
kompilasi hukum Islam telah mengatur hak dan kewajiban suami-istri dalam
rumah tangga, agar tidak terjadi tindakan nusyus dan syikak yang mengarah
kepada perceraian.
Dengan demikian, jika suami atau istri menjalankan
kewajibannya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan hukum Islam, maka
diharapkan terwujudnya keluarga bahagia, atau setidaknya menjadi penangkal
dalam meminimalisir lajunya perceraian.
208
Lihat Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. IV, h. 1354
209
Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj,
vol. V, h. 295
148
Kerangka konseptual tersebut, dapat digambarkan dalam diagram atau
skema berikut :
Tidak bahagia
Faktor
Penyebab
Nusyus
Al-Qur’an
Hadis, Undang-Undang
No.1/1974 dan KHI
Syikak
Pengadilan
Tidak cerai
Bahagia
Cerai
144
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Lokasi Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif lapangan yang mengacu pada
penelitian
kasus,
yang
berusaha
mendiskripsikan,
menganalisis,
dan
menginterpretasikan data. Penelitian ini dikategorikan sebagai studi lapangan,
yang mengarah pada suatu masalah lapangan sebagai bahan penelitian yang
sesuai dengan materi kajian.
Selanjutnya, data yang telah dikumpulkan
dikelola secara kualitatif.
2. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Polewali Mandar. 1 Selain
keberadaan dan eksistensinya telah berkembang sejak lama, wilayah ini
merupakan bekas wilayah afdeling Mandar di zaman penjajahan Belanda.
Karena itu, tidak mengherankan jika penduduknya bersifat heterogen. Hampir
semua suku, khususnya yang ada di Sulawesi Selatan terdapat dalam wilayah
ini, akibatnya adalah terjadinya mobilisasi dan interaksi sosial yang tergolong
tinggi, dilihat dari aspek agama, sosial dan budaya.
1
Sebelumnya bernama Kabupaten Polewali Mamasa. Nama ini kemudian berubah menjadi
Kabupaten Polewali Mandar ketika Kecamatan Mamasa menjadi kabupaten tersendiri sebagai suatu
daerah pemekaran.
145
Pertimbangan utama pemilihan wilayah Kabupaten Polewali Mandar
menjadi lokasi penelitian adalah ; (1) Kabupaten Polewali Mandar adalah
kabupaten dengan tingkat perceraian tertinggi di Sulawesi Barat; (2)
heterogenitas
dari
Kabupaten
Polewali
Mandar
sangat
disebabkan
bervariasinya suku, bahasa, dan budaya; dan (3) peneliti sendiri berasal dari
daerah tersebut sehingga akan sangat membantu peneliti dalam melakukan
pengambilan data.
Untuk mempertajam penelitian, penulis akan menfokuskan penelitian
pada kasus-kasus perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Polewali
Kabupaten Polewali Mandar. Di samping itu, karena penelitian ini bersifat
kualitatif dengan pendekatan kasuistik dengan tujuan untuk memberikan
gambaran, dan hubungan antara faktor, bentuk dan solusi kasus nusyus, maka
dianggap cukup bila penelitian ini difokuskan pada kabupaten tersebut. Selain
itu, ini didasarkan pada pertimbangan adanya berbagai kendala yang mungkin
terjadi, seperti tidak adanya di tempat responden yang akan diteliti,
berhalangan untuk diwawancarai, dan kendala lainnya yang bersifat privat.
Hal ini tentunya dapat dimaklumi, karena penelitian ini bersifat sangat pribadi.
146
B. Pendekatan Penelitian
Sesuai masalah yang diangkat ke permukaan untuk diteliti, maka
pendekatan penelitian ini adalah gabungan dari beberapa pendekatan yang
relevan yaitu:
1. Pendekatan teologis normatif (syar’i).2
Pendekatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan landasan dan konsep
dasar dalam agama tentang tindakan nusyūz yang dilakukan dalam sebuah
rumah tangga. Selain itu, Pendekatan ini digunakan karena masalah-masalah
yang akan dibahas berkaitan dengan hukum-hukum syari’ah dan lain-lain yang
diatur dalam syari’at Islam.
2. Pendekatan yuridis.
Pendekatan tersebut digunakan karena penelitian ini berhubungan
dengan aturan dan kebijakan pemerintah tentang Undang-Undang Perkawinan
sebagai undang-undang Negara.
3. Pendekatan psikologi
Pendekatan tersebut digunakan untuk mengetahui secara faktual
mengenai karakteristik perilaku masyarakat yang secara empirik didapat dari
kegiatan observasi, baik kegiatan secara langsung maupun tidak langsung. 3
2
Tim Penyusun Pedoman Karya Ilmiyah, Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah, (Makalah,
Skripsi, Tesis, dan Disertasi), (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2008), h. 12
3
Lihat S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Cet.IV; Jakarta: Rineka Cipta, 1997),
h. 118
147
5. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis adalah pendekatan dengan menggunakan teoriteori sosiologis yang dijadikan landasan untuk mengungkap fenomenafenomena sosial yang terjadi pada keluarga muslim yang mengajukan
perkaranya di Pengadilan Agama Polewali yang berkaitan dengan penelitian.
6. Pendekatan fenomenologis
Fenomenologis adalah suatu pendekatan yang menempatkan kesadaran
manusia dan makna subyektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan
sosial. 4 Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh formulasi penelitian
yang obyektif. Autentisitas data akan disajikan seautentik mungkin. Dengan
pendekatan
ini,
data
akan
diformulasikan
berdasarkan
pemahaman,
pengalaman dan kesadaran subjek penelitian tentang objek penelitian.
C. Sumber Data
Sumber data yang dijadikan landasan dalam penelitian ini, terdiri dari
dua jenis data yakni data primer dan data sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data pada pengumpul data.5 Data primer dalam penelitian ini
4
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h.
20
5
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), h.
137
148
adalah bertumpu pada data yang didapatkan di lapangan. Data tersebut
diperoleh melalui wawancara terhadap sejumlah hakim dan sejumlah
pasangan suami-istri yang bercerai di Pengadilan Agama Polewali karena
tindakan nusyus.
b. Sumber data sekunder
Data
sekunder
merupakan
sumber
yang
tidak
langsung
memberikan data kepada pengumpul data.6 Sumber data sekunder dalam
hal ini berkaitan dengan sumber data autentik yang bertumpu pada data
yang didapatkan di lapangan melalui dokumen di Pengadilan Agama yang
berisi petikan putusan pengadilan Agama dan penelusuran berbagai
referensi, baik dari buku-buku yang berkaitan langsung dengan topik
permasalahan maupun yang menunjang terhadap kesempurnaan penelitian
ini. Sumber data sekunder ini berguna dalam kerangka analisis bagi potret
praktek nusyus yang terjadi di masyarakat.
Dari data konseptual dan
realitas lapangan tersebut diharapkan dapat dijadikan langkah antisipasi
kehancuran rumah tangga keluarga muslim di Kabupaten Polewali
Mandar, dan keluarga muslim umumnya.
6
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 137
149
D. Metode Pengumpulan Data
Sebagaimana umumnya penelitian lapangan, proses pengumpulan data
disesuaikan dengan penelitian yang akan dilakukan. Untuk itu, metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Dokumenter, yaitu metode yang digunakan untuk menelusuri data
historis. Fungsinya adalah sebagai sarana untuk mendapatkan data primer
dengan menginventarisir berbagai materi yang ada di lapangan sesuai
dengan objek penelitian.
Data-data tersebut diperoleh dari Pengadilan
Agama Polewali.
2. Wawancara, (opended interview), yaitu bentuk komunikasi antara dua
orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari orang
lain dengan mengajukan pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. Teknik
wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak
terstruktur.
Teknik wawancara ini dimaksudkan untuk memperoleh
informasi di bawah permukaan dan menemukan apa yang dipikirkan dan
dirasakan oleh subjek penelitian. Meskipun demikian, peneliti sebagai
instrumen penelitian tetap menggunakan pedoman sebagai panduan
wawancara.
150
E. Instrumen Penelitian
Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif lapangan, maka
instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Peneliti sebagai instrumen
penelitian menggunakan beberapa alat pelengkap sebagai berikut:
1. Pedoman wawancara yaitu berupa catatan pertanyaan yang akan
digunakan untuk menggali informasi dari informan dalam pengumpulan
data penelitian.
2. Alat dokumentasi yaitu berupa alat tulis, kamera, alat perekam suara
untuk merekam kegiatan atau barang yang ada kaitannya dengan sumber
data dan data itu sendiri.
F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data wawancara dan dokumenter di analisis melalui model Alir Miles
dan Huberman7 terdiri atas empat tahap,yakni: (1) identifikasi, (2) reduksi data,
(3) penyajian data, dan (4) penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Teknik
analisis data tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Identifikasi data
Tahap identifikasi dilakukan dengan melakukan pembacaan secara
menyeluruh untuk mendapatkan gambaran umum mengenai data penelitian
untuk selanjutnya diorganisasikan ke dalam bagian-bagian yang teratur
disesuaikan dengan masalah yang akan dipecahkan.
7
Miles & Huberman, Qualitative Data Analysis, Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi,
Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), h. 20
151
2. Reduksi data
Tahap reduksi data dilakukan dengan mereduksi/menghilangkan data
yang tidak relevan, memilih data yang dibutuhkan. Data diseleksi dan
dikelompokkan sesuai dengan fokus masalah penelitian.
3. Display atau penyajian data
Tahap penyajian dilakukan dalam matrik kategori yang diwujudkan
dalam bentuk diagram. Data yang disajikan dilengkapi dengan narasi untuk
memberikan penjelasan komprehensif.
4. Verifikasi dan kesimpulan
Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi mencakup langkahlangkah berikut. Pertama, generalisasi dari data awal yang memiliki
keteraturan ditetapkan sebagai kesimpulan sementara. Kesimpulan sementara
tersebut diverifikasi kembali dengan data yang ada untuk menghasilkan
kesimpulan yang akurat. Dalam tahap verifikasi, jika data kurang sesuai
dengan generalisasi, maka akan dilakukan penyesuaian. Sebaliknya, jika data
mendukung generalisasi, maka generalisasi tersebut ditetapkan sebagai
kesimpulan akhir.
G. Pengujian Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif lapangan penting untuk mengecek
keabsahan data untuk menghindari data yang tidak valid. Hal ini untuk
menghindari adanya jawaban dari informan yang tidak jujur. Pengecekan data
152
dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi yakni teknik pengecekan
keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang ada
untuk
kepentingan
pengecekan
keabsahan
data
atau
sebagai
bahan
perbandingan terhadap data yang ada. Triangulasi dilakukan dan digunakan
untuk mengecek keabsahan data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan
berbagai sumber data.8
1. Triangulasi dengan menggunakan teknik dan cara membandingkan data
dokumentasi dan hasil wawancara untuk sumber data yang sama sehingga
menjadi data yang autentik dengan masalah penelitian.
2. Triangulasi dengan menggunakan sumber yaitu dengan membandingkan
dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
dari lapangan penelitian melalui sumber yang berbeda dengan teknik yang
sama.
8
Lihat Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 83
BAB IV
NUSYUS DAN PROBLEMATIKANYA DI KABUPATEN
POLEWALI MANDAR
A. Gambaran Umum Tentang Peradilan Agama di Indonesia dan
Peradilah Agama Polewali
Sebelum mamasuki inti pembahasan perlu dikemukakan deskripsi
tentang lembaga Peradilan1 Agama di Indonesia dilihat dari beberapa aspek.
Yaitu aspek historis, dan aspek pengajuan serta pemeriksaan perkara.
Deskripsi historis tersebut diperlukan agar diperoleh gambaran dinamika
perkembangannya terkait dengan kewenangan dan kompetensi Peradilan
Agama.
Demikian pula, gambaran tentang Pengadilan Agama Polewali
sebagai bagian dari lembaga Peradilan Agama di Indonesia perlu pula
dideskripsikan sehingga diketahui dinamika, perkara yang masuk serta
mekanisme penanganan kasus di Pengadilan Agama Polewali.
1
Peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan; lembaga hukum bertugas
memperbaiki. Sementara pengadilan mempunyai banyak arti, yaitu : dewan atau majelis yang
mengadili perkara; mahkamah; proses mengadili; keputusan hakim; sidang hakim ketika mengadili
perkara; rumah (bangunan) tempat mengadili perkara. Pengadilan Agama adalah badan peradilan
khusus untuk orang yang beragama Islam yang memeriksa dan memutus perkara tentang
perceraian, talak, dan lain-lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 7. Menurut Mahadi,
peradilan adalah suatu proses yang berakhir dengan memberi keadilan dalam suatu keputusan.
Proses ini diatur dalam suatu peraturan hukum acara. Sedangkan pengadilan menunjuk kepada
suatu susunan instansi yang memutus perkara. Dalam melaksanakan tugasnya pengadilan
menjalankan peradilan. Jadi, peradilan tidak bisa lepas dari hukum acara. Lihat, Mahadi,
Kedudukan Peradilan Agama, (Jakarta: Departemen Agama, 1985), h. 99.
149
150
1. Deskripsi
Historis
Kompetensinya.
Lembaga
Peradilan
Agama
dan
a. Peradilan Agama Masa Kerajaan Islam Nusantara
Dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, maka lambat laun
tata hukum di Indonesia mengalami perubahan dan pergeseran. Hukum
Islam bukan saja menggeser hukum Hindu, yang di antaranya berwujud
dalam hukum Pradata,2 tetapi juga memasukkan pengaruhnya ke dalam
aspek-aspek kehidupan masyarakat pada umumnya, yang tentunya hal ini
berpengaruh terhadap proses pembentukan dan pengembangan institusi
Peradilan Islam pada masa-masa berikutnya.
Proses Islamisasi kepulauan Indonesia melalui jalur perdagangan
dan
perkawinan,
secara
tidak
langsung
memberikan
andil
bagi
tersosialisasinya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat.3 Interaksi dan
asimilasi antara para saudagar yang beragama Islam dengan penduduk asli
Indonesia adalah titik tolak awal keberhasilan pembumian hukum Islam.
Pendekatan lewat perdagangan dengan sendirinya dapat mengakses warga
2
Sebelum Islam masuk, di Indonesia terdapat dua macam peradilan, yaitu Peradilan
Pradata dan Peradilan Padu. Peradilan Pradata mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi
urusan raja, sedangkan Peradilan Padu mengurus masalah di luar wewenang raja. Materi hukum
Peradilan Pradata bersumber dari ajaran Hindu yang terdapat dalam Papakem atau kitab hukum
sehingga menjadi hukum tertulis, sementara Peradilan Padu menggunakan hukum materil
berdasarkan pada hukum Indonesia asli yang tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan
masyarakat. Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan
Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), h. 50
3
Naquib al-Attas, Islam Sekularisme, (Bandung: Pustaka, 1981), h. 247
151
yang secara ekonomis membutuhkan bahan pokok seperti sandang pangan
dan kebutuhan lainnya.4
Dalam perkembangannya, ikatan perkawinan yang terjalin antara
pedagang muslim dengan penduduk asli setempat merupakan transmisi
penyebaran Islam pertama, dan kegiatan perdagangan adalah media dakwah
yang tidak kalah pentingnya terhadap peresapan ajaran Islam. Misalnya,
jika seorang saudagar muslim ingin menikahi perempuan pribumi, maka
secara sukarela perempuan itu diislamkan dan pernikahan dilangsungkan
secara Islam. Dari sini kemudian tumbuh keluarga yang mempunyai relasi
antara anggota-anggotanya dengan kaidah-kaidah hukum Islam, ataukah
kaidah-kaidah lama yang diadaptasikan dengan nilai-nalai Islam, Jika salah
satu anggota keluarga itu meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi
menurut hukum kewarisan Islam.5
Posisi sentral saudagar kemudian secara formal beralih kepada
peran para ulama. 6 Misalnya, Nuruddin al-Raniri 7 menulis buku hukum
4
Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h.
45
5
Lihat, Mohammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di
Indonesia”, dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Taufiq Abdullah dan Sharon
Shiddique (ed), (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 210
6
Mohammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia”,
dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Taufiq Abdullah dan Sharon Shiddique
(ed), h. 210
7
Nūruddīn Muhammad bin ‘Ᾱli bin Hasanja bin Muhammad Ḥāmid al-Raniri al-Qusyairy
al-Syāfī’i, lahir di Rani (Rander) Gujarat, wafat pada 1068 H/1658. Mufti kerajaan pada masa
Sultan Iskandar II. Penganut tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah, dan al-Audarusiyah. Lihat, Mahsud
Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta:
LkiS, 2005), h. 36 -37
152
Islam yang berjudul “Ṣirāṭal Mustaqīm” pada tahun 1628.
Dalam
pandangan Hamka, karya al-Raniri ini adalah kitab hukum Islam pertama
yang disebarkan ke seluruh Indonesia.
Kemudian kitab ini diperluas
dengan syarah, oleh Muhammad Arsyad al-Banjari8 yang berjudul “Sabīl
al-Muhtadīn” 9 melalui bahasa melayu.
Karya ini kemudian dijadikan
rujukan dalam penyelesaian perkara atau sengketa antara umat Islam di
wilayah kesultanan Banjar.
Dalam hal yang sama, muncul pula kitab ‘Uqūd al-Lujain, yang
ditulis oleh Syeikh Nawawi al-Bantani. 10 Kitab ini dijadikan pegangan
dalam menangani berbagai masalah yang dihadapi, termasuk kerajaankerajaan seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Mataram.11
Sejalan dengan perkembangan masyarakat muslim ketika itu,
mereka menjadikan tradisi perdamaian (taḥkim) sebagai suatu solusi hukum
antara mereka, yang biasanya diberikan oleh para ulama/muballigh, di
8
Seorang ulama Syafi’iyyah di Kalimantan Selatan. Hidup pada 1710–1812 M.
Sebagaimana direportasikan oleh Steenbriknk, Al-Banjari bukan saja tokoh yang ahli dalam
memberikan fatwa hukum yang “humanis” dan emansipatoris, melainkan ia juga seorang pakar
ilmu falak. Di antara jasanya adalah memperbaiki arah kiblat Masjid Jembatan Lima Jakarta, yang
dilakukannya di saat ia baru pulang dari Makkah pada 1186 H/1773 M. Lihat, Mahsun Fuad,
Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, h. 42
9
Judul lengkap buku ini ialah Sabīl al-Muhtadīn Littafaqquhi fī amri al-Dīn. Ditulis pada
1193 H/1779 M-1195 H/1781 M, tepatnya ketika kesultanan Banjar diperintah oleh Taḥmīdullāh
bin Sulṭān Tamjīdullāh. Karya ini memuat masalah-masalah seputar hak perempuan dalam fikih
Islam. Lihat, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, h. 41
10
Nawawi al-Bantani lahir di Serang Banten pada 1230 H/1813 M-1316 H/1898 M.
Karya-karyanya mencakup tafsir, sejarah, tauhid, akhlak, hadis, dan bahasa Arab. Selain itu, ia
juga member komentar (ḥāsyiah), di antaranya komentar atas kitab Fatḥ al-Qarīb karya Ibn Qāsim
al-Gāzi. Lihat, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, h. 45-46
11
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), h. 69
153
samping tradisi fatwa. Misalnya, seorang wanita yang tidak mempunyai
wali bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak
menikahkannya dengan pria idamanny.12 Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa lembaga peradilan pertama di Indonesia adalah lembaga “taḥkim.”
Dari lembaga taḥkim kemudian disusul lembaga ahlu al-ḥalli wa al’aqdi,
yaitu pengangkatan orang-orang yang ahli di bidang hukum Islam oleh
masyarakat dalam bentuk Peradilan Adat, yang mana para hakimnya
diangkat oleh rapat dan persetujuan marga, negeri, atau semacamnya.13
Kemajuan Islam dibidang politik, yaitu setelah terbentuknya
kerajaan-kerajaan Islam, maka lembaga ahlu al-ḥalli wa al’aqdi menjadi
lembaga Peradilan Swapraja, 14 yang dikenal dengan Peradilan Serambi,
Peradilan Surambi, Peradilan Masjid dan semacamnya.15
Peradilan Surambi dapat dilihat pada masa Sultan Agung berkuasa
di Mataram,16 Raja membuat kebijakan berkaitan dengan penyelenggaraan
peradilan. Menurut Gunaryo, kebijakan yang merupakan langkah awal,
12
Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 47
13
Lihat, Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA TAZZAFA,
2009), h. 17
14
Swapraja adalah daerah yang berpemerintah sendiri, seperti daerah Yogyakarta dan
Surakarta. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 877
15
Peradilan Surambi adalah proses peradilan yang dilaksanakan di Serambi masjid
(Agung), Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan
Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, h. 52
16
Mataram adalah kerajaan yang muncul pada pertengahan abad ke-16. Kemampuan
ekspansinya luar biasa, yaitu mampu menaklukkan seluruh kerajaan-kerajaan yang berada di
pesisir Pantai Utara Pulau Jawa, termasuk kerajaan besar Hindu-Jawa, Majapahit, pada permulaan
abad ke-17. Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan
Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, h. 51
154
yaitu memasukkan ahli-ahli agama Islam untuk duduk dalam proses
Peradilan Pradata, yang pada akhirnya Peradilan Pradata ini dihapus dan
diganti dengan Peradilan Surambi. 17 Meski berbeda dengan Gunaryo,
Sultan Hamengku Buwono X sebagaimana dikutip Khoiruddin menulis
bahwa
Peradilan
berdampingan
Pradata
dengan
tidaklah
Peradilan
dihapus,
Surambi.
melainkan
Jika
maka
Peradilan
Pengadilan
berjalan
Pradata
menangani
masalah-masalah
kriminal,
Surambi
menangani
masalah-masalah
yang bersifat kemasyarakatan, seperti
perkawinan, wasiat, warisan, hibah, dan sebagainya.18
Meski terdapat perbedaan sebagaimana disebutkan, namun perlu
dicatat bahwa pada masa Sultan Agung berkuasa di Mataram, maka
terbentuk pulalah lembaga Peradilan Surambi.
Memang diakui oleh
Gunaryo bahwa Pengadilan Agama mengalami pasang surut. Sepeninggal
Sultan Agung, Peradilan Pradata dihidupkan kembali oleh Amangkurat I
sebagai pewaris tahta kerajaan. Dengan demikian, perbedaan pendapat
antara Gunaryo dan Sultan Hamengku Buwono X tentang dihapusnya
Peradilan Pradata dapat dimaklumi dan logis.19
17
Tidak ada alasan yang jelas tentang penggantian dan penghapusan Peradilan Pradata
tersebut. Namun sebagai dugaan spekulatif adalah Islam dipandang sebagai satu-satunya alternatif
yang tersedia karena memiliki konsep hukum yang jelas. Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan
Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju
Peradilan yang Sesungguhnya, h. 51
18
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, h. 18
19
Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan
Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, h. 57
155
Di Aceh, yang dikenal hanya Peradilan Agama dan dilaksanakan
secara berjenjang. Pengadilan yang paling bawah, pengadilan tingkat desa
yang dipimpin oleh seorang keucik. Kompetensinya adalah perkara-perkara
ringan, sedang perkara yang lebih berat diserahkan kepada Balai Hukum
Mukim. Di tingkat Banding disebut uleebalang. Pengadilan yang paling
puncak adalah Mahkamah Agung yang diketuai oleh Sultan. Anggota
Mahkamah Agung adalah Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka, Orang
Kaya Raja Bandhara, dan Fakih.20
Di Sulawesi pada masa kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan
Gowa yang berada di bawah kekuasaan Raja Tallo, I Malingkaang Daeng
Manyonri dengan gelar Sultan Abdullah Awwal al-Islam. Disusul Raja
Gowa I, Mangngerangi Daeng Manrabi’a mengikuti Raja Tallo masuk
Islam dengan gelar Sultan Alauddin. Kemudian berturut-turut Raja Bone,
Raja Wajo, Raja Soppeng, dan Raja Sidenreng masuk pula ke dalam agama
Islam. Peralihan agama oleh raja-raja yang disebutkan mempercepat proses
Islamisasi di Sulawesi, dan agama Islam serta seluruh perangkat dan
kelembagaannya, seperti peradilan berkembang dengan pesat. Di bidang
peradilan, hakim tertinggi dipimpin langsung oleh raja sendiri. Namun,
dalam perkembangannya, ketika Sultan Mālik al-Sa’īd berkuasa di Gowa, ia
tidak lagi bertindak sebagai ketua pengadilan, melainkan mengangkat
20
Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan
Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, h. 59
156
pejabat syari’at yang disebut parewa syara’, berdampingan dengan pejabat
adat yang disebut parewa ade’. Parewa syara’ ini dipimpin oleh seorang
qāḍi yang berkedudukan di pusat pemerintahan dengan tugas antara lain
menyelenggarakan pernikahan.21
Uraian di atas sebagaimana diakui oleh Lev bahwa Pengadilan
Islam yang menggunakan hukum Islam dapat dijumpai di daerah-daerah
yang penerimaan Islamnya kuat, meski bentuk dan keadaan berbeda antara
satu tempat dengan tempat yang lain. Hakim-hakim agama di beberapa
daerah seperti Aceh, Jambi, Kalimantan Selalatan dan Timur, Sulawesi
Selatan, dan beberapa daerah lain diangkat oleh penguasa setempat.
Sedangkan daerah-daerah yang tidak memiliki Peradilan Agama seperti
Sulawesi Utara, Tapanuli di Sumatera Utara, Gayo, Alas di Aceh, dan
Sumatera Selatan, ulama-ulama yang menguasai hukum Islam ditugasi oleh
penguasa setempat untuk melaksanakan tugas-tugas peradilan.22
Fakta yang disebutkan di atas, memperkuat dugaan bahwa sebelum
kolonial Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam
telah hidup dan berkembang, bahkan beradaptasi dengan kebiasaankebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia.
b. Peradilan Agama Masa Penjajahan Belanda.
21
Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan
Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, h. 60
22
Lihat, Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, h. 19
157
Secara sosiologis, kolonialisme menjalankan misi ganda; yaitu misi
ekonomi dan misi agama, tetapi kepentingan agama jauh lebih besar
bobotnya, meskipun dibungkus dengan kegiatan ekonomi. Hal itu ditandai
dalam setiap misi dagang dan ekonominya, di mana Belanda selalu
melibatkan pastor-pastor agama Kristen.23
Pada awalnya, VOC dengan berbagai pertimbangan, tidak serta
merta
menghapus
lembaga-lembaga
asli
yang
ada,
melainkan
membiarkannya tumbuh dalam masyarakat sebagaimana sebelumnya.
Langkah ini diambil, untuk meminimalisir perlawanan dari masyarakat
dengan memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam
kehidupan sehari-hari. 24
Di samping lembaga-lembaga asli yang ada,
Belanda juga tetap mengakui hukum yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, seperti
hukum keluarga Islam; perkawinan, waris, dan wakaf.
Lebih dari itu, pemerintah Belanda pada pertengahan abad ke-18
berusaha menyusun buku-buku hukum Islam sebagai pegangan hakimhakim
pengadilan
(landraad)
dan
pejabat
pemerintahan.
Hukum
kekeluargaan dalam statuta Jakarta 1642 diakui dan diterapkan dengan
23
Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 49
24
Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 50
158
peraturan Resolutie der Indiesche Regeering pada 25 Mei 1760, sebagai
aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.25
Sejalan dengan itu, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda,
sejak tahun 1800 mengakui bahwa di sebagian besar kalangan masyarakat
Indonesia, Islam merupakan agama yang dijunjung tinggi pemeluknya.
Bila terjadi masalah yang dihadapi oleh umat Islam dalam bidang
kemasyarakatan, baik yang bersifat ibadah, politik, ekonomi maupun
kemasyarakatan lainnya, maka mereka senantiasa kembali merujuk kepada
ajaran agama Islam. Atas dasar kenyataan itu Van den Berg (1845 – 1927),
seorang sarjana Belanda, berkesimpulan bahwa pada masa awal penjajahan
Belanda, bagi yang beragama Islam berlaku teori receptio in complexu
artinya orang-orang muslim Indonesia menerima dan memberlakukan
syariat Islam secara kesuluruhan.26
Menurut H.J. Benda sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim, bahwa
meskipun pengakuan itu ada, namun pada abad ke-19, banyak orang
Belanda, berharap dan menginginkan untuk menghilangkan pengaruh Islam
di nusantara, di antaranya melalui proses Kristenisasi. Karena itu, tidak
mengherankan bila sikap pemerintahan kolonial terhadap Islam dan
penganutnya bersifat misi politik yang bernuansa ganda sebagaimana
25
Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 50
26
Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 51
159
disebutkan sebelumnya, yakni misi penjajahan secara politik dan ekonomi,
dan misi keagamaan.27
Untuk membendung kekuatan umat Islam, Belanda melakukan
tindakan: Pertama, mengawasi secara ketat aktivitas umat Islam. Sejumlah
penelitian dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan kaum
agama, dan selanjutnya memberikan nasehat kepada pemerintah Belanda
tentang apa yang harus dilakukan, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Dr. Van Ronkel. Selain penelitian, kegiatan mata-mata (spionase-spionase)
juga dilakukan untuk menyelidiki aktivitas kaum agama yang dianggap
membahayakan posisi dan kedudukan kolonial.
Kedua, mengalihkan
perhatian umat Islam dari persoalan kemasyarakatan kepada Islam ibadah.
Cara yang ditempuh adalah mendekati, membujuk dan memuji-muji
kedudukan para guru tarekat, dengan harapan agar umat Islam lebih
memusatkan perhatian mereka kepada suluk dan zikir dan membenci
kehidupan dunia. Di samping itu, Belanda juga memberikan tawarantawaran politik, seperti jabatan-jabatan penting kepada ulama yang menjadi
panutan masyarakat, sebut saja sebagai misal, Syeikh Jalāludīn Fāqih Ṣāqir
yang kemudian bergelar Tuanku Sami’, diangkat oleh Belanda menjadi
Regen (Bupati) pertama di Luhak Agam. Dengan cara ini, dapat diduga
bahwa keinginan untuk memberontak dan melawan kaum penjajah menjadi
27
Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 51
160
surut, sehingga dengan begitu, Belanda dapat lebih leluasa mengembangkan
pengaruh dan kekuasaannya.28
Dalam bidang hukum, Belanda beranggapan bahwa hukum dan
perundang-undangannya lebih baik dari sistem hukum daerah jajahan.
Hukum yang terdapat di Indonesia adalah warisan jahiliah sebagai warisan
bangsa Arab yang sudah kuno dan terbelakang.
Atas persepsi bahwa
hukum Indonesia adalah warisan jahiliah, Belanda memberlakukan hukum
Barat (Belanda) untuk semua golongan penduduk, yang disebut dengan
teori unifikasi hukum.
Karena kurang strategis, teori unifikasi ini
digagalkan oleh pakar-pakar hukum Belanda sendiri, dipimpin oleh
Christian Snouck Hugronje. Langkah Hugronje adalah membentuk image
orang-orang Islam dengan melahirkan teori receptie. Sasaran akhir teori
tersebut adalah agar terjadi benturan antara adat, hukum Islam, dan hukum
Barat. Jika itu terjadi, maka hukum Belanda didukung dengan kekuatan
politik dan sarjana hukum hasil pendidikan Belanda bertambah kuat,
sedangkan hukum Islam dengan sendirinya akan lemah.29
Melalui usahanya yang gigih dan sistematis, lambat laun akhirnya
berhasil menggantikan teori receptio in complexu menjadi teori receptie.
28
Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 53
29
Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 54 - 59
161
Teori yang menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku bila telah
diresepsi atau diterima oleh hukum adat.30
Berdasarkan pemapan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum
Belanda datang, hukum Islam telah berlaku di Indonesia, kemudian oleh
Belanda telah berhasil melikuidasinya, yang akhirnya hanya berlaku untuk
kasus-kasus yang sangat terbatas.
c. Peradilan Agama di Era kemerdekaan.
Kemerdekaan adalah suatu anugrah dari Allah swt yang disertai
dengan perjuangan panjang bangsa Indonesia, dan makna kemerdekaan itu
di antaranya adalah terbebasnya bangsa Indonesia dari pengaruh hukum
Belanda.
Hazairin berpendapat bahwa setelah Indonesia merdeka,
meskipun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih
berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh
peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak
berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori ini
harus keluar (exit) karena bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis.
Hazairin menyebut teori receptie ini sebagai teori iblis.
Karena itu,
Hazairin mengembangkan suatu teori yang kemudian dikenal sebagai teori
receptie exit. Pokok-pokok pikiran Hazairin adalah: (a) teori receptie telah
patah, tidak berlaku dan keluar (exit) dari hukum ketatanegaraan Indonesia
30
Ismail Suny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam
Amrullah Ahmad, ed., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), h. 132
162
sejak tahun 1945 dengan berlakunya UUD 1945; (b) sesuai dengan UUD
1945 Pasal 29 ayat 1, negara Republik Indonesia berkewajiban, membentuk
hukum nasional yang bersumber dari hukum agama; dan (c) hukum agama
yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia bukan hukum Islam
saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain. Hukum
agama, baik perdata, maupun pidana diserap menjadi hukum nasional
Indonesia.31
Ismail Suny berpendapat bahwa dengan proklamasi kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945 sebagai dasar
negara, meskipun tidak mencantumkan ketujuh kata dari Piagam Jakarta,
maka teori receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan dasar
hukumnya. 32 Selanjutnya, hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia
yang beragama Islam sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945.
Periode ini
disebut oleh Sunny sebagai era Penerimaan Hukum Islam sebagai sumber
persuasif (persuasive source).33
31
Lihat, Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam, Dinamika dan
Perkembangannya di Indonesia, (Jogjakarta: Kreasi Total Media, 2008), h. 110
32
Dasar hukum teori resepsi adalah IS (Indische Staatsregeling), suatu UUD Hindia
Belanda yang baru yang menganut “asas hukum adat”, dan dengan berlakunya UUD 1945, maka
IS tidak berlaku lagi. Lihat, Ismail Suny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad, ed., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
h. 133.
33
Dalam hukum konstitusi dikenal persuasive source dan authoritative source. Sumber
persuasif ialah sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya, sedang sumber
otoritatif ialah sumber yang mempunyai kekuatan (authority). Lihat, Ismail Suny, “Kedudukan
Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad, ed., Dimensi
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 133.
163
Perkembangan hukum Islam di Indonesia setelah
Republik
Indonesia,
setidaknya
ditandai
dengan
kemerdekaan
berdirinya
Departemen/Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946. Keberadaan
Depag ini merupakan tonggak awal bagi perjalanan hukum Islam di
Indonesia. Sejak berdirinya Depag, maka sejak itu kewenangan Peradilan
Agama Islam telah dipindahkan dari menteri Hukum kepada menteri
Agama, dan penataan hukum Islam, baik yang bersifat administrasi maupun
bersifat kelembagaan hukum Islam yang mengatur masalah perkawinan,
rujuk, talak, dan wakaf
telah dilakukan dibawah pengawasan Menteri
Agama.34
UU pertama yang lahir mengatur tentang perkawinan pada era
kemerdekaan ini adalah UU RI No. 22 Tahun 1946. UU ini diperluas
wilayah berlakunya untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 Tahun
1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. UU No. 22 ini adalah
sebagai kelanjutan Stbl No. 198 Tahun 1895, dan sebagai pengganti dari
Huwelijks Ordonantie Stbl. No. 348 Tahun 1929 jo. Stbl. No. 467 Tahun
1931, dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl. No. 98 Tahun 1933.35
34
Lihat, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
h. 21 - 22
35
Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978) h. 21. Lihat pula Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam
Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA
Tazzafa, 2009), h. 30
164
Menurut Aulawi, sedianya UU RI No. 22 Tahun 1946 ini berlaku
untuk seluruh Indonesia, tetapi karena keadaan belum memungkinkan,
maka pemberlakuannya terbatas untuk Jawa dan Madura. Nanti pada tahun
1954 barulah diberlakukan di seluruh Indonesia, dengan disahkannya UU
RI No. 32 Tahun 1954 oleh DPR, yang intinya memperlakukan UU RI No.
22 Tahun 1946 di seluruh Indonesia.36 Alasan penundaan berlakunya UU
RI No. 22 Tahun 1946 pada tahun 1946 sekaligus diseluruh tanah air
Indonesia, tidak secara jelas disebutkan oleh Aulawi, namun ia
menyebutkan bahwa pada tanggal 21 Nopember 1946, bangsa Indonesia
sedang menghadapi Belanda yang berniat menjajah kembali tanah air.
Dengan pernyataan ini, penulis berpendapat bahwa agaknya inilah alasan
utama mengapa terjadi penundaan pelaksanaan Undang-Undang ini.
Sebagaimana diketahui bahwa tentu keadaan seperti itu tidak akan cukup
kondusif dan mengalihkan perhatian pemerintah serta menguras tenaga
untuk menghadapi agresi dari luar, sehingga tidak dapat dipikirkan
bagaimana penataan kenegaraan, termasuk penataan hukum.
Achmad Roestandi menulis bahwa UU RI No. 22 Tahun 1946
memperoleh persetujuan DPR untuk diberlakukan di seluruh Indonesia
pada tahun 1954. 37 Dengan demikian, secara umum ditulis, terdapat dua
36
A. Wasit Aulawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia”, dalam
Amrullah Ahmad, ed., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 57
37
Achmad Roestandi, “Prospek Peradilan Agama (Suatu Tinjauan Sosiologis)” dalam
Amrullah Ahmad, ed., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 210
165
tahapan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1946, yaitu : (a) tanggal 1
Pebruari 1947 untuk wilayah Jawa dan Madura; dan (b) tanggal 2
Nopember 1954 untuk wilayah lainnya.38
UU No. 22 Tahun 1946 berisi 7 pasal, dan secara umum terdiri dari
dua hal, yaitu (a) keharusan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk;
(b) penetapan pegawai yang ditugasi melakukan pencatatan perkawinan,
perceraian dan rujuk.
Masih berkaitan dengan UU RI No. 22 Tahun 1946. Pasal-pasal
yang ada dalam Undang-Undang ini, menurut Aulawi seperti dicatat oleh
Khoiruddin hanya mengatur pencatatan perkawinan, talak dan rujuk, yang
berarti hanya menyangkut hukum acara, bukan materi hukum perkawinan.
Tetapi dengan adanya fungsi mengawasi dan menilai perkawinan sebagai
tugas PPN, yang berarti juga termasuk materi hukum perkawinan.39
Dari paparan di atas, di sini tampak bahwa pemerintah setelah
kemerdekaan dicapai dalam hal ini Departemen/Kementerian Agama,
melihat bahwa dalam pembangunan hukum yang perlu segera dibenahi dan
diatur adalah masalah perkawinan dan perceraian. Hal ini adalah logis,
mengingat sebelumnya (sebelum kemerdekaan) terjadi kesimpangsiurang
dalam hal hukum keluarga, di antaranya : angka perceraian yang sangat
38
Lihat, Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, h. 31
39
Lihat, Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, h. 32
166
tinggi, perkawinan usia sangat muda, kawin paksa, poligami, talak yang
semena-mena, dan lain-lain. Ini semua terjadi akibat tidak adanya aturan
formal yang mengatur hukum keluarga. Seperti dicatat oleh Gunaryo bahwa
di antara pembagian penduduk oleh Belanda, hanya muslim pribumilah
yang tidak memiliki aturan formal dalam hal hukum perkawinan, pada hal
merekalah merupakan penduduk terbesar negeri ini.40
2. Pengadilan Agama Polewali, dan Mekanisme Pengajuan dan
Pemeriksaan Perkara
a. Pengadilan Agama Polewali
Pengadilan Agama Polewali kelas II yang menjadi bagian dari studi
ini terbentuk secara formal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jawa
dan Madura.
Dikukuhkan beberapa ketetapan dan keputusan Menteri
Agama RI antara lain Nomor 5 Tahun 1958 dan terakhir dikuatkan dengan
ketentuan Pasal 106 Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama Junto Pasal 210 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 14
Tahun 1970 diubah dan disesuaikan dengan Pasal 2 Undang-Undang RI
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
40
Bagi golongan Eropa dan Tionghoa, berlaku BW (Burgerlijk Wetboek), copy dari BW
Belanda. Bagi golongan Arab dan Timur Asing berlaku ordonansi 9 Desember 1924. Bagi
golongan Kristen Pribumi berlaku HOCI (Huwelijk Ordonantie Christen voor Indonesiers). Dan
bagi mereka yang termasuk dalam tiga golongan yang tidak disebutkan berlaku GHR (Regeling op
de gemengde Huwelijken). Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam,
Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang
Sesungguhnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 125 – 127.
167
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dinyatakan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Untuk menjalankan tugas-tugas Peradilan Agama, maka susunan,
kedudukan dan kekuasaan serta hukum acara badan Peradilan Agama ini
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Sedangkan organisasi, administrasi dan financial Peradilan Agama
berada di bawah pengawasan dan kekuasaan Departemen Agama.
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 13 ayat (1), maka
organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya termasuk Pengadilan Agama berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung.
Dalam Pasal 106 Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dinyatakan bahwa :
a. Semua badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai
badan Peradilan Agama menurut undang-undang ini.
b. Susunan peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai
Pengadilan Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan
baru berdasarkan undang-undang ini belum dikeluarkan,
sepanjang peraturan ini tidak bertentangan dengan undang-undang
ini.
168
Sejak diundangkannya Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, penyebutan nama yang berbeda-beda untuk
Pengadilan Agama, misalnya Kerapatan Qāḍi di sebagian Kalimantan
Selatan, Mahkamah Syari’ah di sebagian timur Indonesia dan daerah
Sumatera, diseragamkan menjadi Pengadilan Agama yang merupakan
pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama yang merupakan
pengadilan banding, Mahkamah Agung merupakan puncak pengadilan
tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung.
Personil Pengadilan Agama Polewali saat ini berdasarkan data di
Pengadilan Agama Polewali tahun 2009 terdiri dari :
a. Hakim termasuk Wakil Ketua
b. Pejabat struktural
c. Panitera Pengganti
d. Jurusita
e. Bendahara/staf
Jumlah
9
10
9
2
1
31
orang
orang
orang
orang
orang
orang
Setiap perkara yang diajukan akan diproses sesuai dengan
ketentuan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Perkara atau
dikenal dengan Pola Bindalmin yaitu tiga kelompok meja yang disebut
meja I, meja II, meja III dan kasir. Selanjutnya berkas perkara diserahkan
kepada Ketua Pengadilan untuk penentuan majelis hakim, lalu ketua majelis
169
menentukan
hari
sidang
untuk
pemeriksaan
dan
terakhir
putusan/penetapan.41
Kinerja Pengadilan Agama Polewali, terutama dalam menjabarkan
sebagian ketentuan hukum Islam dalam bidang perkara perdata agama dan
hukum keluarga selama ini relatif berhasil. Keberhasilan ini ditunjang oleh
dukungan masyarakat, di mana antara ketentuan hukum Islam dengan
hukum adat berjalan seiring, bahkan ketentuan hukum adat memberikan
penghargaan terhadap nilai-nilai hukum Islam. Meskipun demikian, tidak
seluruh persoalan hukum tentang masalah perkawinan dan perceraian dapat
terselesaikan secara baik.42
b. Keadaan Perkara di Pengadilan Agama Polewali
Dalam tahun 2009 jumlah perkara yang diterima di Pengadilan
Agama Polewali adalah sebanyak 432 perkara yang secara lengkap dan
terperinci dalam tabel berikut :
Tabel 3
Keadaan Perkara yang Diterima Tahun 2009
No
41
Jenis Perkara
Perkara
%
01.
Cerai Gugat
202
46,8
02.
Cerai Talak
91
21,1
03.
Kewarisan
15
3,5
Wawancara dengan Drs. M. As’ad, panitera pengganti Pengadilan Agama Polewali
pada tanggal 7 Pebruari 2010
42
Wawancara dengan Drs. Suryadi, Ketua Pengadilan Agama Polewali pada tanggal 9
Pebruari 2010
170
04.
Isbat Nikah
94
21,8
05.
Wali Adhal
3
0,7
06.
Harta Bersama
3
0,7
07.
Izin Kawin
1
0,2
08.
Penguasaan Anak
09.
Pengesahan Anak
8
1,9
10.
Hibah
11.
P3HP
6
1,4
12.
Lain-Lain
9
2,1
432
100.00
Jumlah
Sumber data : Diolah dari data yang diperoleh dari Kantor
Pengadilan Agama Polewali tahun 2009
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa perkara perceraian
(baik cerai gugat maupun cerai talak) menempati posisi paling tinggi
dengan jumlah 293 perkara atau 67,8 %. Yang masuk dalam perkara iṡbat
nikah 94 perkara atau 21,8 %, kewarisan 15 perkara atau 3,5 %, wali adhal
3 perkara atau 0,7 %, dan perkara lainnya termasuk harta bersama, izin
kawin, pengesahan anak, P3 HP, dan lain-lain dengan 27 perkara atau 6,3 %
dengan rata-rata perbulan 36 perkara.
Seluruh perkara yang diterima tersebut berdasarkan wawancara 43
dan pendataan di Pengadilan Agama Polewali. Khusus perkara perceraian
diperoleh perbandingan yang cukup signifikan antara perkara yang
43
Wawancara dengan Dra. Najmiah, staf Pengadilan Agama Polewali
171
dicabut/ditolak/digugurkan dengan perkara yang telah diputus sebagai
berikut :
Tabel 4.
Keadaan Perkara Perceraian yang Diterima dan Diputus (biasa)
tahun 2009
No
01.
Tahun
2009
Diterima
Diputus (biasa)
Dicabut
Ditolak/gugur
Jum
Biasa
Persentase
Jumlah
Persentase
Jum
Persentase
293
222
38,6
21
3,7
39
6,8
Sumber data: diolah dari data yang diperoleh dari Kantor Pengadilan
Agama Polewali tahun 2009
Berdasarkan tabel 4 di atas dapat diperoleh perbandingan yang
sangat mencolok antara perkara yang diputus dengan putus biasa dan
perkara yang dicabut, digugurkan dan ditolak, yaitu dari keseluruhan
perkara yang diterima berjumlah 293 perkara. 222 perkara yang diputus
atau 38,6 %, dan hanya 21 perkara atau 3,7 % saja yang dicabut, sedangkan
sisanya 39 perkara atau 6,8 % adalah perkara yang ditolak atau digugurkan.
Selanjutnya keseluruhan perkara yang diterima Pengadilan Agama Polewali
tersebut, diperiksa dan diputus oleh beberapa hakim.
c. Mekanisme Pengajuan dan Pemeriksaan Perkara di Lembaga Peradilan
Agama Polewali.
1) Pengajuan Perkara.
Dalam persidangan perkara perdata, hakim memberi kesempatan
penuh kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan sendiri duduk
172
perkaranya, hakim bersifat pasif. Karena itu, hakim akan memanggil kedua
belah pihak untuk datang menghadap di muka hakim, pada waktu yang
ditentukan.
Jika waktu yang ditentukan, penggugat tidak datang
menghadap pada hal sudah dipanggil secara patut dan tidak juga
menguasakan kepada orang lain untuk menghadap, maka gugatannya
dianggap gugur. Meskipun demikian, ia dapat mengajukan gugatan baru
berdasarkan pasal 124 HIR dan 148 R.Bg. Sebaliknya, jika tergugat tidak
menghadap dan juga sudah dipanggil secara patut dan tidak pula
menguasakan kepada orang lain untuk menghadap, maka gugatan dapat
dikabulkan dengan putusan verstek (putusan tanpa kehadiran tergugat),
kecuali bila gugatan melawan hak atau tidak beralasan.
Karena Pengadilan Agama (PA) adalah pengadilan tingkat pertama
dalam lingkungan Peradilan Agama, maka Pengadilan Agama adalah satuan
(unit) penyelenggara Peradilan Agama.
Tugas pokoknya, sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, adalah menerima,
memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang
diajukan kepadanya. Perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan
Agama adalah perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama
Islam demi tegaknya hukum dan keadilan.
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama
mengacu pada hukum acara perdata pada umumnya, kecuali yang diatur
173
secara khusus, yaitu dalam memeriksa perkara sengketa perkawinan.
Dengan demikian, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkup Peradilan Agama adalah hukum acara perdata pada umumnya dan
hukum acara khusus yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama.
Secara administrasi pengajuan perkara Tingkat Pertama di
Pengadilan Agama ditempuh melalui beberapa proses, yaitu (1) proses
pendaftaran, (2) proses pembayaran panjar perkara, (3) proses penyerahan
kelengkapan berkas, (4) proses pemanggilan para pihak, (5) proses
pemeriksaan perkara, (6) proses eksekusi, dan (7) proses hasil pemeriksaan.
Proses pendaftaran perkara disampaikan kepada Pengadilan Agama
melalui petugas kepaniteraan di Meja I.44 Meja I akan menerima gugatan,
permohonan, perlawanan (verzet),
45
pernyataan banding,
46
kasasi,
47
44
Pengertian Meja di sini merupakan kelompok (unit) pelaksana teknis yang harus dilalui
oleh suatu perkara di Pengadilan Agama, mulai dari penerimaan sampai perkara tersebut
diselesaikan.
45
Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek (perkara yang diputus pengadilan
tanpa kehadiran tergugat atau kuasa hukumnya) yang telah dijatuhkan Pengadilan Agama. Verzet
diajukan oleh tergugat yang diputus verstek tersebut dalam waktu tertentu kepada Pengadilan
Agama yang memutus perkara tersebut.
46
Banding (appel) adalah permohonan pemeriksaan kembali putusan atau penetapan
Pengadilan Agama karena ada ketidakpuasan para pihak yang bersengketa. Banding diajukan ke
Pengadilan Tinggi Agama yang mewilayahi Pengadilan Agama yang bersangkutan. Banding
diajukan melalui Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut dalam tenggang waktu
tertentu, dengan syarat-syarat tertentu pula.
47
Kasasi artinya permohonan pembatalan putusan/penetapan Pengadilan Agama (PA)
atau Pengadilan Tinggi Agama (PTA) yang diajukan kepada Mahkamah Agung. Kasasi diajukan
melalui Pengadilan Agama yang dahulunya memutus perkara yang bersangkutan, karena adanya
alasan tertentu. Diajukan dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula.
174
permohonan peninjauan kembali (PK),
48
eksekusi, penjelasan dan
penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi.
Selanjutnya, proses
pembayaran panjar perkara di bagian pemegang Kas, yang merupakan
bagian dari Meja I.
Setelah itu, perkara didaftar dan biaya panjarnya
dibayar, pihak yang berperkara kemudian melengkapi berkas perkara sesuai
ketentuan dan menyerahkannya kepada petugas di Meja II.
Proses
berikutnya, adalah pemanggilan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk
menghadiri sidang sesuai dengan hari, tanggal, jam, dan tempat yang
ditunjuk dalam Penetapan Hari Sidang (PHS).
2) Pemeriksaan Perkara
Setelah proses di atas selesai, maka proses berikutnya adalah proses
pemeriksaan perkara, dalam hal ini Jurusita atau Jurusita Pengganti atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama akan melakukan
panggilan kepada pihak-pihak ke muka sidang menurut hari/tanggal/jam/
tempat yang telah ditentukan di dalam PHS tersebut. Pemeriksaan perkara
ini dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama melalui beberapa tahapan
sebagai berikut :
48
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum yang dilakukan para pihak dan diajukan
kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Agama yang dahulunya memutus, dengan alasan
dan syarat tertentu, tetapi tidak terikat kepada waktu tertentu.
175
a) Tahap sidang pertama. 49 Tahap ini terdiri dari : (a) hakim membuka
sidang, (b) hakim menanyakan identitas para pihak, (c) pembacaan
surat gugatan atau permohonan oleh penggugat/pemohon, dan (d)
anjuran untuk berdamai.50 Dalam pembacaan gugatan, penggugat bisa
saja mencabut gugatannya atau mengubah gugatan dalam pemeriksaan
perkara, sepanjang tidak mengubah atau menambah petitum (tuntutan
pokok).
Jika penggugat mempertahankan gugatannya, maka sidang
dilanjutkan pada tahap berikutnya, yaitu jawaban tergugat.51
b)
Tahap
jawab-berjawab
(replik-duplik).
Setelah
pembacaan
gugatan/permohonan, kemudian upaya damai gagal, ketua majelis akan
bertanya kepada tergugat atau termohon, apakah ia akan menjawab
lisan atau tertulis. Jika akan menjawab tertulis, maka ditanya kembali,
apakah sudah siap. Jika belum siap, maka akan ditanya lagi kapan
tergugat/termohon memiliki kesiapan.
Sejak itulah, proses jawab-
menjawab akan berlangsung, baik antara pihak dengan pihak, maupun
49
Hal-hal pokok yang sangat menentukan dalam sidang pertama adalah : (1) Jika tergugat
atau termohon sudah dipanggil dengan patut, tetapi ia atau kuasanya tidak hadir pada sidang
pertama, maka akan diputus verstek, (2) jika penggugat atau pemohon sudah dipanggil dengan
patut, tetapi ia atau kuasanya tidak datang pada sidang pertama, maka akan diputus dengan
menggugurkan perkaranya, (3) sanggahan atau eksepsi relatif hanya boleh diajukan pada sidang
pertama. Jika diajukan setelah waktu itu, maka tidak akan diperhatikan lagi, dan (4) gugat balik
(reconventie) hanya boleh diajukan pada sidang pertama. Lihat, Roihan A. Rasyid, Hukum Acara
Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 93
50
Anjuran damai pada tahap ini bersifat “mutlak” atau “wajib” dilakukan dan
dicantumkan dalam Berita Acara Sidang (BAP). Lihat, Ujang Suyatman, Proses Penyelesaian
Perkara di Pengadilan Agama, dalam Jaih Mubarok, ed., Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung
: Bani Quraisy, 2004), h. 80
51
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008) h. 99
176
antara hakim dengan para pihak.52 Jawaban tergugat dapat berupa : (1)
pengakuan,
yaitu
membenarkan
isi
gugatan,
sebagian
atau
keseluruhannya, (2) bantahan, yaitu penyangkalan terhadap pokok
perkara. Adapun replik (jawaban penggugat atas jawaban tergugat),
penggugat dapat menyampaikan dalil-dalil tambahan untuk menguatkan
dalil-dalil dalam gugatan sebelumnya.
Sedangkan duplik (jawaban
kembali dari tergugat atas jawaban penggugat dalam repliknya) akan
diberikan oleh hakim kepada tergugat untuk menguatkan jawaban
tergugat sebelumnya sebagai jawaban penggugat dalam repliknya.
c) Tahap pembuktian.53 Tahap ini dimulai setelah tidak ada lagi yang akan
dikemukakan oleh para pihak, dan tidak ada lagi pertanyaan hakim.
Setelah itu, hakim memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak
berperkara.
Pembuktian
mempunyai
peranan
penting
dalam
pemeriksaan perkara di persidangan pengadilan. Dengan pembuktian
ini, hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang
menjadi sengketa di pengadilan. Dengan demikian, pembuktian
bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang
diajukan kepada hakim.
52
Ujang Suyatman, loc. c it.
53
Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan
kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alatalat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Lihat, Abdul Manan, op.cit., h. 227
177
Dalam hal pembuktian, perlu diuraikan tentang apa yang harus
dibuktikan, siapa yang seharusnya dibebani pembuktian, dan hal-hal yang
tidak perlu dibuktikan lagi dalam penyelesaian perkara.
(1) Apa yang harus dibuktikan.
Untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya
peristiwa tertentu, maka yang perlu dibuktikan adalah peristiwa atau
kejadian yang disampaikan oleh para pihak dalam hal sesuatu yang belum
jelas atau yang menjadi sengketa.
Peristiwa atau kejadian yang
dikemukakan oleh para pihak belum tentu semuanya penting bagi hakim
untuk dijadikan dasar pertimbangan hukum putusannya. Oleh karena itu,
hakim dalam persidangan harus menyaring mana hal-hal yang relevan bagi
hukum dan mana yang tidak relevan, kemudian peristiwa atau kejadian
yang relevan itulah yang harus dibuktikan oleh hakim dalam persidangan
untuk dijadikan dasar putusannya.
Di samping itu, hal-hal yang
menyangkut hak harus pula dibuktikan hak-hak yang menjadi sengketa.
Hal ini sejalan dengan pasal 1685 KUH Perdata, pasal 163 HIR dan pasal
283 R.Bg, bahwa barangsiapa yang mengaku mempunyai hak maka ia
harus membuktikannya, dan sudah menjadi pendapat umum, dan
yurisprudensi bahwa hal-hal yang menyangkut hak dapat pula dibuktikan di
depan sidang pengadilan. Dalam praktek Peradilan Agama, hal-hal yang
178
menyangkut pembuktian dalam perkara voluntair
54
tetap dibebani
pembuktian sebagaimana yang terdapat pada perkara kontentius, 55 seperti
permohonan pengesahan (iṡbat) nikah, penetapan asal-usul anak, dan cerai
talak.
(2) Siapa yang dibebani beban pembuktian.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, maka yang
harus membuktikan atau dibebani pembuktian adalah para pihak yakni
pihak yang berkepentingan di dalam suatu perkara, khususnya Penggugat
yang mengajukan dalil-dalil gugatannya, sedangkan Tergugat berkewajiban
untuk membuktikan bantahannya.
Penggugat tidak berkewajiban
membuktikan kebenaran bantahan Tergugat, dan sebaliknya Tergugat tidak
berkewajiban membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh
Penggugat. Dalam hal beban pembuktian ini sejalan dengan pasal 163
HIR, 56 pasal 283 R.Bg, 57 dan pasal 1865 KUH Perdata yang mempunyai
pengertian yang sama, yang pada prinsipnya bahwa barangsiapa yang
mengaku mempunyai hak, maka ia harus membuktikan adanya hak itu atau
peristiwa yang didalilkan itu. Dengan demikian, jika Penggugat tidak dapat
54
Voluntair adalah perkara permohonan
55
Kontentius adalah perkara gugatan
56
Pasal 163 HIR menyebutkan bahwa barangsiapa yang mengaku mempunyai hak, atau ia
menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang
lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.
57
Pasal 283 R.Bg mengemukakan bahwa barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak
atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak orang lain, maka ia harus
membuktikan hak atau keadaan itu.
179
membuktikan peristiwa yang diajukannya, maka ia harus dikalahkan,
sedangkan Tergugat tidak dapat membuktikan kebenaran bantahannya,
maka ia harus pula dikalahkan.
(3) Peristiwa yang tidak perlu dibuktikan.
Peristiwa yang dianggap tidak perlu diketahui oleh hakim atau
dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, seperti dalam putusan
verstek dengan tidak hadirnya Tergugat setelah dipanggil secara patut,
maka segala peristiwa yang didalilkan oleh Penggugat dengan sendirinya
dianggap benar. Demikian pula misalnya, jika Tergugat mengakui dalil
gugat dari Penggugat, maka gugatan Penggugat itu tidak perlu dibuktikan
lagi.
Dalam hal pembuktian, yang tidak kalah pentingnya adalah alat
bukti. Alat bukti yang diakui oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg, dan Pasal 1866 KUH
Perdata, sebagai berikut : (a). Alat bukti surat (tulisan), 58 (b) alat bukti
58
Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan
untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan
sebagai pembuktian. Ia dibedakan menjadi akta dan surat bukan akta. Akta dalam hal ini
mempunyai dua jenis yaitu : (1). akta autentik, seperti akta cerai yang dibuat dan ditandatangani
oleh Panitera Pengadilan Agama, akta nikah yang dibuat dan ditandatangani oleh Pegawai
Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama. Kekuatannya sempurna dan mengikat. (2). Akta di bawah
tangan. Kekuatannya sama dengan bukti autentik jika diakui oleh pihak lawan, tetapi bila
disangkal, maka kekuatannya adalah sebagai bukti permulaan. Sedangkan surat bukan akta, seperti
surat biasa/koresponden, catatan harian dan sebagainya. Kekuatannya tergantung pada penilaian
hakim, setidak-tidaknya dapat dijadikan sebagai bukti permulaan. Lihat, Ibid., h. 240 - 247
180
saksi, 59 (c) alat bukti persangkaan (dugaan), 60 (d) alat bukti pengakuan,61
dan (d) alat bukti sumpah.62
d) Tahap konklusi. Pada tahap ini, sebelum majelis bermusyawarah, pihakpihak diperbolehkan mengajukan konklusi atau pendapat akhir yang
merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung,
menurut pihak yang bersangkutan. Sifat dari konklusi di sini adalah
untuk membantu majelis mengambil kesimpulan.
e) Musyawarah Majelis Hakim. Musyawarah majelis ini berlangsung
tertutup dan bersifat rahasia.
Ruangan sidang dikosongkan untuk
umum kecuali panitera sidang bila diizinkan oleh majelis. Hasil
musyawarah majelis ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera
sidang. Ini adalah lampiran Acara Sidang yang kelak akan dituangkan
ke dalam dictum keputusan.
59
Saksi adalah orang yang mengalami, mendengar, merasakan, dan melihat sendiri suatu
peristiwa atau kejadian dalam perkara yang sedang dipersengketakan. Seorang saksi tidak
dianggap sebagai pembuktian yang cukup kecuali bila disertai dengan alat bukti lainnya. Ibid., h.
249
60
Pasal 1915 KUH Perdata menjelaskan bahwa persangkaan-persangkaan adalah
kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa
yang terkenal kea rah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Petunjuk mempergunakan persangkaan
disebutkan dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 R.Bg, yaitu bahwa apabila hakim hendak
menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang disidangkan, jika ia menganggap bahwa
persangkaan-persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan ada persesuaian satu sama lain, maka
persangkaan-persangkaan itu dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim.
61
Pengakuan, menurut MR. A. Pitlo sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan adalah
keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, di mana ia mengakui apa-apa yang
dikemukakan oleh pihak lawan.
62
Sumpah ada dua macam, yaitu : (1) sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang disebut dengan sumpah promissoir, dan (2) sumpah untuk memberikan
keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak, yang disebut dengan
sumpah assertoir atau confirmatoir. Sumpah yang terakhir inilah sebagai suatu alat bukti karena
fungsinya adalah untuk meneguhkan suatu peristiwa atau kejadian yang disengketakan.
181
f) Tahap Pengucapan Keputusan. Putusan hakim adalah pernyataan hakim
yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum guna
menyelesaikan atau mengakhiri perkara antara para pihak. Pada tahap
ini hakim merumuskan duduknya perkara dan pertimbangan hukum
(pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasannya
dan dasar-dasar hukumnya, yang diakhiri dengan putusan hakim. Bila
selesai pengucapan keputusan, maka ketua majelis akan menanyakan
kepada pihak-pihak, apakah menerima atau tidak, keputusan tersebut.
Bagi pihak yang menyatakan menerima, maka tertutuplah baginya
untuk melakukan upaya banding. Bagi pihak yang menyatakan tidak
menerima atau pikir-pikir dulu, maka masih terbuka baginya untuk
melakukan upaya hukum.
Putusan hakim tersebut, selain mempunyai kekuatan yang mengikat
kedua belah pihak, juga mempunyai kekuatan pembuktian. Kekuatan
pembuktian dalam arti dapat dipergunakan untuk alat bukti jika dilakukan
banding, kasasi atau pelaksanaannya.
Dengan selesainya proses pemeriksaan dan pembacaan keputusan,
maka langkah selanjutnya adalah proses pelaksanaan putusan (eksekusi)
oleh Jurusita yang ditunjuk. Putusan hakim dapat dilaksanakan dengan dua
cara, yaitu : (1) secara sukarela, dan (2) secara paksa dengan menggunakan
alat negara.
182
Berdasarkan UU No. 7/1989, Pengadilan Agama telah dapat
melaksanakan sendiri segala putusan yang dijatuhkannya tanpa harus
melalui bantuan Pengadilan Negeri. Diktum putusan yang dapat dieksekusi
hanyalah yang bersifat condemnatoir. 63 Condemnatoir ini haruslah jelas
dan rinci, seperti wujudnya, bentuknya, batas-batasnya, dan sebagainya.
Untuk jaminan pelaksanaan putusan (eksekusi), penggugat biasanya
mengajukan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) bersamaan
dengan pengajuan gugatan atau disusulkan.
Dalam hal putusan hakim tentang perceraian, jika telah berkekuatan
hukum tetap, maka panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya dalam
waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan itu mengeluarkan Akta Cerai sebagai
bukti adanya perceraian (pasal 84 ayat (4) UU No. 7/1989. Dalam perkara
cerai gugat, maka akta cerai didasarkan atas putusan Pengadilan
Agama/Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa perkawinan putus
karena perceraian terhitung sejak putusan tersebut mempunyai kekuatan
hukum tetap (pasal 81 ayat (2) UU No. 7/1989). Selain itu, dalam waktu
paling lambat 30 hari, panitera atau pejabat yang ditunjuk berkewajiban
untuk mengirimkan salinan putusan/penetapan cerai tersebut yang telah
berkekuatan hukum tetap kepada PPN/KUA Kecamatan di tempat tinggal
63
Condemnatoir artinya berwujud menghukum pihak untuk membayar sesuatu,
menyerahkan sesuatu, atau melepaskan sesuatu dan sejenisnya.
183
suami dan isteri yang bersangkutan serta PPN/KUA Kecamatan yang
dahulu
mencatat
perkawinan
mereka,
untuk
diadakan
pencatatan
perkawinan itu.
Proses terakhir yang dilalui oleh sebuah perkara tingkat pertama
yang diajukan kepada Pengadilan Agama adalah proses hasil pemeriksaan
perkara yang berada di meja III sebagai suatu satuan unit kerja. Meja III
bertugas : menyerahkan salinan Putusan Pengadilan Agama atau Pengadilan
Tinggi Agama atau Mahkamah Agung kepada pihak yang berkepentingan,
menyerahkan
salinan
Penetapan
Pengadilan
Agama
kepada
yang
berkepentingan, menerima memori/kontra memori banding, memori/kontra
memori kasasi, jawaban/tanggapan peninjauan kembali dan lain-lain,
menyusun dan menjahit serta mempersiapkan berkas.
Namun perlu ditambahkan, bahwa khusus dalam sengketa perkara
perceraian, sebelum proses pemeriksaan perkara sampai pada putusan
terakhir dari majelis hakim, hakim tetap terlebih dahulu berusaha untuk
menawarkan perdamaian bagi para pihak yang berperkara. 64 Atau dapat
dikatakan, bahwa selama proses perkara berlangsung di Pengadilan Agama,
masih terbuka lebar kesempatan untuk mengupayakan perdamaian oleh
pihak-pihak yang berperkara, dan perdamaian itu dilakukan di depan hakim.
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 130 HIR ayat (1), yang mengatakan
64
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 164
184
bahwa hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut harus berusaha
untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Khusus upaya perdamaian dalam sengketa perceraian menurut
penulis, memiliki arti penting. Selain mempunyai nilai luhur, juga berarti
menyelamatkan keutuhan rumah tangga dan menyelamatkan pemeliharaan
anak, bahkan menyelamatkan generasi bangsa dari kehancuran secara
keseluruhan.
Oleh karena itu, hakim dituntut berusaha semaksimal
mungkin untuk mencapai perdamaian tersebut, tidak hanya dilakukan
sampai sebatas formalitas atau sepintas lalu saja. 65 Untuk itu, seorang
hakim harus bisa menemukan hal-hal yang melatarbelakangi atau penyebab
dari persengketaan yang terjadi. Dengan mengetahui penyebabnya, maka
para hakim dengan mudah mengajak, membujuk, dan mengarahkan para
pihak yang berselisih itu untuk berdamai dan rukun kembali seperti semula.
Dalam upaya hakim melaksanakan perdamaian yang maksimal,
hakim dapat meminta bantuan kepada pihak lain atau lembaga lain yang
dianggap perlu, berdasarkan maksud pasal 31 ayat (2) Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 beserta penjelasannya, yang mengemukakan bahwa
65
Kecuali karena alasan zina, cacat badan atau sakit jiwa yang berakibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya. Dalam hal ini, perdamaian yang dilakukan hakim tidak dituntut
secara optimal. Ia dilakukan hanya merupakan kewajiban moral, bukan kewajiban hukum
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 82 ayat (4) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal
31 Peraturan Pemerintah No. 9 1975 di mana dalam pasal-pasal tersebut hanya dicantumkan
“dapat” yaitu usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Karena itu,
setiap perkara perceraian atas alasan perselisihan dan percekcokan terus menerus, lalu oleh hakim
belum mengadakan usaha perdamaian secara optimal, maka putusan yang dijatuhkan oleh hakim
dalam perkara tersebut, batal demi hukum dan atau dapat dibatalkan. Lihat, Abdul Manan, h. 164 165
185
selama perkara belum diputus, maka usaha perdamaian para pihak yang
berperkara dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Berbeda dengan perdamaian dalam perkara perdata pada umumnya,
yaitu jika perdamaian dicapai dalam perkara perdata, maka dibuatlah Akta
Perdamaian (Acta van vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak
untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.66 Tetapi
jika perdamaian dalam perkara perceraian dicapai, maka perkaranya dicabut
dengan persetujuan kedua belah pihak, dan untuk itu hakim membuat
“Penetapan” yang menyatakan bahwa perkara telah dicabut karena
perdamaian.
Apabila salah satu pihak menghendaki perceraian setelah
perdamaian tersebut, maka satu-satunya jalan ialah mengajukan perkara
baru dengan alasan yang lain atau alasan yang baru, yaitu selain alasan yang
diajukan pada permohonan/gugatan cerai atau alasan lain yang telah
diketahui pada saat perdamaian itu terjadi.
Demikian mekanisme pemeriksaan perkara dan hal-hal lain yang
berkaitan dengannya di Pengadilan Agama.
Setelah putusan hakim di
pengadilan tingkat pertama ini, pihak yang merasa tidak puas dengan
putusan tersebut, masih terdapat langkah atau upaya hukum yang dapat
66
Akta perdamaian, kekuatan hukumnya sama dengan putusan hakim dan dapat
dieksekusikan. Jika ada pihak yang melanggar isi perdamaian, maka pihak yang dirugikan dapat
memohon eksekusi kepada Pengadilan Agama. Akta perdamaian hanya bisa dibuat dalam sengketa
yang bersifat kebendaan saja yang memungkinkan untuk dieksekusi. Akta perdamaian dicatat
dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan pada kolom putusan, tidak dapat dimintakan
banding, kasasi ataupun peninjauan kembali, dan tidak dapat diajukan gugatan baru lagi. Lihat,
Mukti Arto, h. 95
186
dilakukannya, seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK).
Namun, karena penelitian ini berkaitan dengan perkara yang diajukan dan
diproses pada Pengadilan Agama tingkat pertama, maka upaya hukum
tersebut tidak diuraikan dan dijelaskan lebih lanjut.
B. Hasil Penelitian tentang Faktor, bentuk, dan Solusi Nusyus
1. Faktor Penyebab
Hasil penelitian menunjukkan ada berbagai faktor penyebab
terjadinya nusyus pada keluarga muslim di Kabupaten Polewali Mandar.
Faktor itu antara lain adalah masalah “akhlak” dari istri.
tergambar dalam kutipan tentang Putusan hakim
Hal tersebut
Pengadilan Agama
Polewali berikut ini :
MR, umur 29 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMA,
pekerjaan tenaga harian lepas Dinas Kesehatan Kabupaten
Polewali Mandar, bertempat tinggal di Kampung Tangnga,
Kelurahan Matakali, Kecamatan Polewali, Kabupaten Polewali
Mandar, selanjutnya disebut pemohon.
melawan
HF, umur 27 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SD,
pekerjaan urusan rumah tangga, bertempat tinggal di Dusun LenaLena Rea Barat, Desa Patampanua, Kecamatan Matakali, Kabupaten
Polewali Mandar, selanjutnya disebut termohon
Kronologis
Bahwa pemohon dan istri termohon, menikah pada hari Ahad tanggal
16 Maret 2003. Pemohon dengan termohon telah terikat dalam
pernikahan selama 6 tahun. Pada awalnya dalam membina rumah tangga
pemohon dengan termohon hidup rukun dan damai serta telah dikaruniai
dua orang anak. Beberapa tahun kemudian rumah tangga pemohon dan
termohon sering diwarnai perdebatan dan pertengkaran, penyebabnya
adalah karena termohon sering keluar bersama dengan lelaki lain disaat
pemohon ke kantor. (1a)
187
Pada kutipan 1a di atas, tergambar bahwa faktor penyebab nusyus
istri adalah akhlak dari istri itu sendiri. Terlepas dari kekurangan dari suami
yang tidak dijelaskan dalam putusan hakim, namun seharusnya istri yang
mengerti tentang agama tidak akan melakukan tindakan yang tidak
seharusnya ia lakukan, yaitu keluar rumah tanpa izin suami, bahkan pergi
dengan lelaki lain yang bukan mahramnya.
Tindakan istri yang selalu meninggalkan rumah menunjukkan
bagaimana akhlak dari istri yang tidak setia dan berpeluang menimbulkan
fitnah di masyarakat. Ketidaksetiaan ini dapat menjerumuskan seseorang
pada tindakan asusila yang mengarah ke perzinaan.
Faktor ketidakpuasan terhadap materi juga merupakan faktor
penyebab nusyus istri terhadap suami. Hal ini terungkap dalam kasus 2a
berikut ini :
Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara
perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan
dalam perkara cerai talak yang diajukan oleh :
SS, umur 26 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SD,
pekerjaan buruh bangunan, bertempat tinggal di Rea Timur (samping
Sekolah SPP Rea Timur), Kelurahan Ammasangan, Kecamatan
Binuang, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut sebagai
pemohon.
Me1awan
SJ, umur 25 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMA,
pekerjaan ibu rumah tangga, dahulu bertempat tinggal di Rea Timur
(samping Sekolah SPP Rea Timur), Kelurahan Ammasangan,
Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar, sekarang tidak
188
diketahui dengan jelas alamatnya di Wilayah Republik Indonesia,
selanjutnya disebut sebagai termohon.
Pada awalnya rumah tangga pemohon dengan termohon hidup rukun
dan damai, namun kemudian sering diwarnai dengan perselisihan dan
pertengkaran disebabkan karena termohon selalu tidak puas
dengan penghasilan pemohon sebagai seorang buruh (2a).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa kehidupan rumah tangga
pasangan suami istri ini yang pada awalnya berlangsung dengan baik yang
kemudian berubah setelah si istri melakukan nusyus. Ketidakpuasan terhadap
materi merupakan faktor yang menyebabkan masalah dalam keluarga. Istri
tidak puas dengan penghasilan suami yang sehari-hari bekerja sebagai buruh
kasar.
Faktor lain yang dapat menyebabkan istri nusyus adalah faktor
kecemburuan dan kecurigaan yang berlebihan dari istri. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan 3a berikut ini :
Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara
perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan atas
perkara antara :
HH, umur 29 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir D.2, pekerjaan
Pegawai Negeri Sipil ( guru SDN No. 2 Kampung Baru Majene),
bertempat tinggal di Jl. Masjid Taqwa Nomor 115 Pambusuang,
Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya
disebut pemohon konvensi / tergugat rekonvensi ;
Melawan
FR, umur 31 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir S.1,
pekerjaan tenaga harian lepas (guru honorer SD), bertempat tinggal di
J1.Poros Majene, Dusun Pambusuang, Desa Pambusuang, Kecamatan
Balanipa, Kabupaten Bone Polewali Mandar, selanjutnya disebut
termohon konvensi / penggugat rekonvensi
189
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Pada awalnya rumah tangga pemohon dengan termohon hidup rukun dan
damai dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki bernama MH, umur 1
tahun;
Bahwa selama pemohon dengan termohon membina rumah tangga sering
terjadi perselisihan dan percekcokan disebabkan termohon sering marah
jika pemohon terlambat datang dari tempat tugas di Kabupaten Majene
yang sangat jauh dari tempat kediaman bersama di Pambusuang ;
Bahwa, di samping itu termohon sangat tidak mengerti tugas pemohon
sebagai seorang pendidik sehingga pada bulan Januari 2009, pemohon
lambat tiba di rumah, termohon marah dan meminta diceraikan saja dan
mengatakan "tidak mau ikut lagi sama pemohon sebab termohon tidak mau
berpisah dengan orang tua termohon " (3a)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa faktor cemburu dan
kecurigaan yang berlebihan istri terhadap suami yang menjadi penyebab
nusyusnya istri. Hasil analisis kasus menunjukkan bahwa kemarahan istri
tersebut disebabkan karena istri curiga suami selingkuh yang didasarkan
pada seringkali istri melihat tanda merah seperti bekas kecupan pada leher
suami dan pakaian dalam (celana) suami basah yang dicurigai sebagai
bekas air sperma pada saat suami pulang dari tempat kerjanya. Dugaan ini
dikuatkan dengan seringkalinya suami terlambat dari kantor.
Faktor suggesti tanpa sadar dari istri juga dapat menyebabkan
suami menjadi nusyus. Hal ini dialami oleh AN, umur 34 tahun, pekerjaan
PNS dan AW, 37 tahun pekerjaan pengusaha. Berita acara persidangan
menyebutkan pasangan suami-istri ini selalu bertengkar setiap hari yang
disebabkan karena keegoisan mereka berdua. Pada setiap pertengkaran, istri
190
selalu menyuruh suami untuk kawin lagi dengan perempuan lain. Kalimat
tersebut selalu diucapkan pada saat istri marah di saat keadaan emosi intens
suami yang juga tinggi, yang membuat kalimat tersebut menjadi suggesti
tersendiri kepada suami untuk menikah lagi. Berikut ini adalah kutipan
berita acara persidangan :
Hakim: apakah betul saudara pada awalnya hidup rukun dan
kemudian sering terjadi pertengkaran?
Tergugat: ya , betul sering teradi pertengkaran penyebabnya bukan
karena saya telah menikah dengan perempuan lain, melainkan antara
penggugat dan tergugat saling mempertahankan egoisnya masingmasing dan penggugat kurang memberikan pelayanan terhadap
tergugat sebagai suami
Hakim: apakah tergugat betul telah menikah dengan perempuan lain?
Tergugat: ya betul, saya telah menikah lagi, namun karena perintah
penggugat yaitu disetiap terjadi pertengkaran penggugat mengatakan
bahwa kamu kawin saja dengan perempuan lain.
Hakim: apakah betul telah terjadi pisah tempat tinggal?
Tergugat: ya betul, namun tidak betul bila sudah tidak ada
komunikasai sebab tergugat sering dapat ke rumah penggugat, namun
penggugat sengaja menghindar dan bahkan tergugat diusir. (4a)
Selain faktor dari istri, faktor dari suami juga yang dapat
menyebabkan terjadinya nusyus, baik dari isteri maupun nusyus suami.
Kutipan 5a berikut ini menunjukkan bahwa terjadinya nusyus yang
disebabkan oleh akhlak dari suami.
Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara
perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan atas
perkara yang diajukan oleh :
HB; umur 31 agama Islam, pendidikan terkhir SMP, Pekerjaan
urusan rumah tangga, bertempat tinggal di .11 A. Passinringan
bertempat tinggal, di J1 A.Passinringi (dekat pekuburan), Kecamatan
Binuang, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut penggugat.
191
Melawan
DG; umur 37 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMA,
pekerjaan tukang ojek, dahulu bertempat tinggal di Desa
Tonyamang, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar,
sekarang tidak
Pada awalnya rumah tangga penggugat dan tergugat hidup rukun dan
damai,namun kemudian sering diwarnai dengan perselisihan dan
pertengkaran disebabkan karena tabiat tergugat yang pemarah, pencemburu
dan kalau sedang marah suka memukul penggugat pakai tangan. (5a)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa nusyus yang dilakukan oleh suami
disebabkan oleh faktor akhlak dari suami yang buruk. Kebiasaan suami yang suka
menyakiti istri secara verbal maupun fisik, menunjukkan gambaran dari akhlak
dari seorang suami yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Akhlak buruk suami juga tercermin pada perilaku suami yang suka
minum minuman keras, suka main judi dan suka keluar malam tanpa alasan yang
jelas. Hal ini tergambar dalam kasus berikut ini :
Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili
perkara perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan
putusan atas perkara yang diajukan oleh :
RA; umur 26 tahun, agama Islam, pekerjaan tenun, bertempat
tinggal di Dusun Karama, Desa Karama, Kecamatan Tinambung,
Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut penggugat.
Melawan
TM; umur 24 tahun, agama Islam, pekerjaan nelayan,
bertempat tinggal di Dusun Mojopahit, Desa Karama,
Kecamatan Tinambung,Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya
disebut tergugat.
TENTANG DUDUK PERKARANYA
…penggugat dengan tergugat telah terikat dalam - ikatan
perkawinan selama dua tahun empat bulan, dalam membina
192
rumah tangga hidup rukun, namun setelah bulan Juli 2008 sudah
mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan
tergugat peminum dan penjudi, uang yang didapat dan hasil
nelayan habis dipakai main judi.(6a)
Selain faktor akhlak suami, faktor lokasi juga dapat menjadi penyebab
nusyusnya istri atau Suami. Kasus berikut menggambarkan hal tersebut.
Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara
perdata pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam
perkara cerai gugat yang diajukan oleh :
AM; umur 26 tahun, agatna Islam, pendidikan terakhir SD, pekerjaan
urusan rumah tangga, bertempat tinggal di Dusun Ambo Padang, Desa Ambo
Padang, Kecamatan Tubbi Taramanu, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya
disebut penggugat.
M e l aw a n
JY; umur 36 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMP, pekerjaan tani,
dahulu bertempat tinggal di di Dusun Ambo Padang, Desa Ambo Padang,
Kecamatan Tubbi Taramanu, Kabupaten Polewali Mandar, sekarang tidak
diketahui dengan jelas alamatnya yang jelas di Wilayah Republik Indonesia
atau dimana saja berada, selanjutnya disebut tergugat.
Kronologis
…pada bulan Oktober tahun 2006, tergugat minta izin kepada
penggugat untuk pergi mencari nafkah dirantau orang, namun
sejak kepergian tergugat tersebut, tergugat tidak pemah mengirim
berita dan tidak pernah pula mengirim nafkah kepada penggugat dan
kedua anaknya, Bahwa penggugat sangat merasakan penderitaan lahir
batin sebab tidak ada harta yang ditinggalkan tergugat untuk
dijadikan nafkah, sehingga penggugat mengajukan gugatan cerai ke
Pengadilan Agama Polewali agar ikatan pemikahannya dengan tergugat
diputuskan dengan perceraian. (7a)
Kasus di atas menunjukkan bahwa faktor berpisahnya tempat
tinggal suami istri dapat menyebabkan munculnya masalah dalam keluarga.
Kasus tersebut mengungkapkan bahwa pada saat suami istri masih bersama,
mereka hidup dengan rukun, namun masalah kemudian muncul pada saat
193
suami berangkat ke tempat lain untuk tinggal dan bekerja yang jauh dari
keluarganya. Si suami semenjak itu tidak mengirimi nafkah untuk
keluarganya.
Berpisahnya tempat tinggal suami dan istri tentu saja bisa
menimbulkan banyak masalah. Masalah yang paling rentan adalah ikut
campurnya pihak ke tiga yang mungkin memang diberikan peluang oleh
suami atau istri. Akibatnya adalah perhatian dari salah satu pasangan akan
menjadi berkurang atau malah tidak ada lagi.
Selain faktor internal suami atau istri, nusyus yang terjadi pada
suami atau istri juga dapat disebabkan oleh pihak luar. Kasus berikut ini
mengungkapkan hal tersebut.
Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara
perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam
perkara cerai gugat yang diajukan oleh :
MS; umur 24 tahun, agama Islam, pekerjaan urusan rumah tangga.
bertempat tinggal di Dusun Puppuring, Desa Puppuring,
Kecamatan Alu. Kabupaten Polewali Mandar dalam hal ini diwakili
oleh kuasanya TK, S.H, Advokat / penasehat hukum, beralamat di
Jalan Kartini No. 14 Polewali, Kecamatan Polewali, Kabupaten
Polewali Mandar, berdasarkan surat kuasa khusus Nomor 19 /SK / VII
2009 tanggal 14 Juli 2009, selanjutnya disebut penggugat.
Melawan
NH; umur
tahun, agama Islam, pekerjaan petani, bertempat
tinggal di Salulisu Dusun Tanete Baha Desa Batu Patigi, Kecamatan
Tobada 4, Kabupaten Mamuju, selanjutnya disebut tergugat
Kronologis
bahwa selama kurang lebih tiga tahun menjalani hidup sebagai suami
isteri tergugat tidak mampu menjadi kepala rumah tangga yang
senatiasa membiarkan kedua orang tua tergugat mencampuri urusan
rumah tangga penggugat dan tergugat, sebagai istri yang baik
194
penggugat senantiasa mengingatkan kepada tergugat untuk mencari
jalan keluar guna memecahkan masalah ini namun ternyata
semua usaha penggugat sia-sia belaka sebab tergugat tidak
memiliki sikap tegas dan cenderung mengikuti semua kehendak
orang tuanya.
Bahwa pada puncaknya, pada sekitar pertengahan bulan Januari
2009, tergugat dengan kasar dan tanpa berperasaan mengusir
penggugat dari tempat kediaman bersama atas dukungan kedua orang
tua tergugat dimana tergugat menyuruh membawa semua barang
milik penggugat dan melarang. penggugat untuk kembali lagi kepada
tergugat (8a)
Kasus di atas menggambarkan bagaimana terjadinya nusyus istri
pada suami. Sejak pasangan ini menikah, pihak istri merasa tidak
mempunyai peran dalam mengatur rumah tangganya termasuk dalam hal
keuangan yang disebabkan oleh intervensi dari mertua.
Suami sebagai
kepala rumah tangga tidak mampu berbuat apa-apa walaupun sudah
diingatkan oleh istrinya.
Independensi sikap suami terhadap kehidupan
istrinya sangat dipengaruhi oleh orang tuanya. Sebagai kepala rumah tangga
seharusnya suami mampu memberikan solusi terhadap masalah ini. Namun
suami mengambil tindakan yang bisa saja dikategorikan sebagai nusyus
suami terhadap istri.
Selain faktor-faktor di atas, faktor cemburu juga dapat menjadi penyebab
nusyus suami. Kasus berikut menggambarkan hal tersebut.
Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara
perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam
perkara cerai gugat yang diajukan oleh :
MT: umur 26 tahun, agama Islam, Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan
Guru Honor TK.HS. Muhdar Riso, bertempat tinggal Dusun 1 Riso,
195
Desa Riso, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar,
selanjutnya disebut penggugat.
Melawan
Udin bin Sahe, umur 26 tahun, Agama Islam, Pendidikan terakhir
SMP, Pekerjaan Tani, bertempat tinggal di Dusun 2 Riso, Desa Riso,
Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar.
TENTANG DUDUK PERKARANYA
… penggugat dan tergugat telah terikat dalam ikatan pernikahan
selama lima tahun sepuluh bulan, awalnya hidup rukun dan damai,
kemudian rumah tangga penggugat dengan tergugat diwarnai
perselisihan dan pertengkaran, karena tergugat sering curiga dan
cemburu kepada penggugat ketika ke luar dari wilayah Riso untuk
mengurus urusan sekolah Taman Kanak-kanak. (9a)
Kasus di atas menunjukkan bahwa faktor cemburu dari suami dapat
pula menjadi pemicu terjadinya tindakan nusyus suami atau istri.
Kasus
tersebut menyebutkan bahwa suami sering curiga dan cemburu kepada
istrinya, bila istrinya keluar dari kampung mereka, Riso. Pada hal si istri
telah bekerja di luar yang sewaktu-waktu keluar dari kampung tersebut.
2. Bentuk Nusyus
Faktor-faktor penyebab di atas menimbulkan bermacam-macam
bentuk nusyus yang dapat dilakukan oleh istri maupun suami. Bentukbentuk nusyus tersebut tergambar dalam kutipan-kutipan putusan hakim
Pengadilan Agama Polewali berikut ini :
Bahwa pemohon dan istri termohon, menikah pada hari Ahad tanggal
16 Maret 2003. Pemohon dengan termohon telah terikat dalam
pernikahan selama 6 tahun , pada awalnya dalam membina rumah tangga
pemohon dengan termohon hidup rukun dan damai serta telah dikaruniai
dua orang anak beberapa kemudian rumah tangga pemohon dan termohon
sering diwarnai perdebatan dan pertengkaran, penyebabnya adalah karena
196
termohon sering keluar bersama dengan lelaki lain disaat pemohon ke
Kantor. (1b)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa istri telah melakukan nusyus dengan
tidak mematuhi suami. Salah satu kewajiban istri adalah mematuhi suami dan tidak
meninggalkan rumah pada saat tidak ada izin dari suami. Nusyus yang dilakukan
oleh istri sudah melampaui batas, bahkan batasan agama yang dilanggar yaitu
keluarnya istri dengan pria lain yang bukan mahramnya.
Walaupun faktor penyebab secara spesifik berbeda, namun bentuk nusyus
yang dilakukan oleh istri juga sama. Hal ini ditunjukkan pada kasus berikut ini :
..., termohon tanpa izin dari pemohon pergi meninggalkan rumah
membawa anaknya dan sampai sekarang tidak diketahui
keberadaannya. … (2b)
Nusyus yang dilakukan oleh istri adalah ketidakpatuhan pada suami
dengan meninggalkan rumah tanpa izin dengan membawa anak mereka.
Bentuk nusyus yang dilakukan oleh istri adalah perlakuan tidak
menyenangkan istri terhadap suami secara visual. Hal ini tergambar dalam kutipan
berikut:
…disebabkan termohon sering marah jika pemohon terlambat datang dari
tempat tugas di Kabupaten Majene yang sangat jauh dari tempat kediaman
bersama di Pambusuang ;
Bahwa, di samping dari pada itu termohon sangat tidak mengerti tugas
pemohon sebagai seorang pendidik sehingga pada bulan Januari 2009
pemohon lambat tiba di rumah, termohon marah dan meminta diceraikan
saja dan mengatakan "tidak mau ikut lagi sama pemohon sebab termohon
tidak mau berpisah dengan orang tua termohon " (3b)
197
Perlakuan istri terhadap suami dalam bentuk seringnya istri marah pada
suami dengan alasan yang tidak jelas dan mengeluarkan kata-kata yang tidak
menyenangkan sudah menunjukkan bahwa istri sudah melakukan nusyus. Katakata yang tidak menyenangkan yang keluar dari mulut istri mungkin disebabkan
oleh kondisi emosi istri yang tidak terkontrol pada saat marah.
Nusyus tidak hanya selalu dilakukan oleh istri. Suami juga dapat
melakukan nusyus yang dapat berujung pada perceraian. Nusyus yang dilakukan
suami dapat berbentuk perlakuan kasar dan meninggalkan kewajiban memberikan
nafkah lahir dan batin kepada istri. Hal ini terungkap dalam kasus berikut ini:
…sering diwarnai dengan perselisihan dan pertengkaran disebabkan
karena tabiat tergugat yang pemarah, pencemburu dan kalau sedang marah
suka memukul penggugat pakai tangan. Bahwa puncak perselisihan dan
pertengkaran antara penggugat dan tergugat terjadi tahun 2007 yang lalu,
tergugat kembali marah mencekik penggugat karena curiga kalau penggugat
selingkuh dengan laki-laki lain, padahal tuduhan itu tidak pernah terbukti.
penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal selama 2 tahun
lebih. dan sejak saat itu antara penggugat dan tergugat sudah tidak
saling memperdulikan lagi. (4b)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa suami seringkali melakukan
kekerasan verbal dan kekerasan fisik kepada istri dan bahkan tidak
melakukan kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada istri selama
lebih dari 2 tahun. Kekerasan verbal, kekerasan fisik dan tidak memberikan
nafkah kepada istri merupakan bentuk nusyus yang dilakukan oleh suami
terhadap istri. Bentuk nusyus ini menyebabkan ketidakharmonisan dalam
keluarga yang berujung pada perceraian.
198
Bentuk nusyus suami terhadap istri yang lain adalah pengusiran
suami terhadap istri. Hal tersebut diungkapkan oleh kasus berikut ini.
…bahwa selama kurang lebih tiga tahun menjalani hidup sebagai suami
istri tergugat tidak mampu menjadi kepala rumah tangga yang
senatiasa membiarkan kedua orang tua tergugat mencampuri urusan
rumah tangga penggugat dan tergugat, sebagai istri yang baik
penggugat senantiasa mengingatkan kepada tergugat untuk mencari
jalan keluar guna memecahkan masalah ini namun ternyata
semua usaha penggugat sia-sia belaka sebab tergugat tidak
memiliki sikap tegas dan cenderung mengikuti semua kehendak
orang tuanya.
Bahwa pada puncaknya, pada sekitar pertengahan bulan Januari
2009, tergugat dengan kasar dan tanpa berperasaan mengusir
penggugat dari tempat kediaman bersama atas dukungan kedua orang
tua tergugat dimana tergugat menyuruh membawa semua barang
milik penggugat dan melarang. penggugat untuk kembali lagi kepada
tergugat. (5b)
Kasus di atas mengungkapkan perlakuan suami terhadap istri yang dapat
dikategorikan sebagai nusyus. Suami mengusir istrinya dari rumah dan
melarangnya kembali. Tentu saja hal ini menyakiti istri baik secara fisik maupun
secara psikis. Pengusiran tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor campur tangan
orang tua suami dalam kehidupan keluarga mereka.
Pengusiran suami terhadap istrinya bisa saja bentuk dari ketaatan suami
terhadap orang tuanya. Alasan ini didasarkan pada kenyataan yang diungkapkan
dalam kasus di atas tentang bagaimana orang tua dari suami yang selalu mengatur
kehidupan keluarga anaknya sampai pada pengaturan keuangannya. Perasaan tidak
dihargai yang dimiliki oleh istri bisa saja menjadi pemicu percekcokan dalam
rumah tangga yang berujung pada pengusiran terhadap istri.
199
Nusyus dalam bentuk pengusiran tidak hanya dilakukan oleh suami, tetapi
juga dapat dilakukan oleh istri. Hal ini tergambar dalam kasus pada kutipan 6b,
berikut ini adalah kutipannya:
......Hakim: apakah tergugat betul telah menikah dengan perempuan
lain?
Tergugat(suami): ya betul, saya telah menikah lagi, namun karena
perintah penggugagt yaitu disetiap terjadi pertengkaran penggugat
mengatakan bahwa kamu kawin saja dengan perempuan lain.
Hakim: apakah betul telah terjadi pisah tempat tinggal?
Tergugat(suami) : ya betul, namun tidak betul bila sudah tidak ada
komunikasai sebab tergugat sering dapat ke rumah penggugat, namun
penggugat sengaja menghindar dan bahkan tergugat diusir.
(6b)
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana istri mengusir suami setelah
mengetahui bahwa suaminya menikah lagi. Walaupun pengusiran ini dilakukan di
rumah sang istri, tetapi tetap dianggap istri telah melakukan tindakan nusyus.
Bentuk nusyus istri yang lain adalah merusak barang atau properti
suami, seperti yang tergambar dalam pengakuan istri, selaku termohon
sebagai berikut :
…. karena bingung dan kalut malam itu termohon pulang ke rumah
orang tua termohon dan membawa anak kami, sampai di rumah
termohon tidak sanggup mengendalikan emosi dan menyileti beberapa
pakaian pemohon…
(7b)
Pengakuan istri di atas kemudian dikuatkan dengan pengakuan
saksi yang mengatakan …”bahwa mereka sering bertengkar dan ada
pakaian pemohon yang telah dirobek dengan gunting oleh termohon”.
200
Kutipan di atas menggambarkan bahwa di saat emosi istri sedang
intens, mengantarkannya untuk berbuat sesuatu yang berada di luar
kewajaran dan kesadarannya, sehingga melakukan tindakan yang disebut
dengan nusyus.
Seluruh pemaparan di atas, menggambarkan bahwa terdapat berbagai
kemungkinan terjadinya beberapa bentuk nusyus dalam satu faktor. Kemungkinan
satu faktor menimbulkan satu bentuk nusyus, tapi pada saat yang sama
kemungkinan satu faktor memunculkan dua, atau bahkan tiga bentuk
nusyus yang lain.
3. Solusi yang ditempuh.
Kutipan-kutipan putusan hakim Pengadilan Agama Polewali yang peneliti
dapatkan, menunjukkan bahwa tidak ada solusi yang ditempuh oleh pasangan
suami istri untuk kembali rujuk atau damai pada saat mereka mengajukan gugatan
perceraian. Walaupun ada usaha yang dilakukan oleh pihak keluarga untuk
mendamaikan pasangan yang bermasalah, tetapi semuanya gagal. Begitu pula,
semua pasangan bercerai tersebut, sebelumnya tidak pernah menempuh cara-cara
untuk mengantisipasi tindakan nusyus seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an
dan hadis, baik dari suami maupun dari istri.
Berikut ini adalah salah satu kutipan putusan hakim Pengadilan Agama
Polewali tentang langkah yang ditempuh oleh pasangan suami-istri untuk
menyelesaikan masalah dalam keluarga.
201
… Puncak perselisihan dan pertengkaran pemohon dan termohon
terjadi pada bulan Oktober 2008, sebab pemohon melarang termohon
meninggalkan rumah disaat pemohon ke Kantor, tetapi termohon
marah dan langsung pulang ke rumah orang tua termohon tanpa seizin
pemohon. Sejak itu, pemohon dan termohon telah pisah tempat tinggal
selama enam bulan lamanya dan sejak itu Pula ayah pemohon telah
berusaha untuk merukunkan pemohon dan termohon, tetapi tidak berhasil.
pemohon sudah tidak sanggup lagi mempertahankan rumah
tangganya dengan termohon, sehingga pemohon mengajukan permohonan
talak ke Pengadilan Agama Polewali, agar ikatan perkawinannya dengan
termohon diputuskan dengan perceraian ( talak ). (1c)
Pasangan suami istri seperti yang tergambarkan di atas menunjukkan pihak
keluarga dari istri yang berusaha untuk memediasi pasangan suami istri untuk berdamai,
namun usaha tersebut tidak berhasil.
Analisis yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa usaha yang
dilakukan oleh pihak mediasi dari Pengadilan Agama Polewali untuk mendamaikan
pasangan suami istri belum maksimal.
Seluruh Laporan Hasil Mediasi Pengadilan Agama Polewali Kabupaten
Polewali Mandar yang didapatkan oleh Peneliti menunjukkan bahwa seluruh hasil
mediasi gagal. Hal yang tidak terungkap dalam mediasi tersebut adalah bagimana
langkah-langkah yang dilakukan oleh pihak mediasi Pengadilan Agama Polewali untuk
memberikan solusi damai pada pasangan suami-istri yang bermasalah. Namun
demikian, menurut beberapa hakim Pengadilan Agama Polewali menyatakan bahwa
langkah pertama yang diambil oleh mediator adalah memanggil para pihak yang
berperkara. Jika kedua belah pihak hadir, maka mediator menyampaikan agar mereka
202
yang berperkara bersedia untuk berdamai. Namun jika pihak tergugat tidak hadir, maka
mediasi tidak dapat dilakukan. 67
C. Pembahasan Tentang Faktor, Bentuk dan Solusi Nusyus
Hasil penelitian yang diperoleh di lapangan seperti yang diuraikan
sebelumnya ditemukan beberapa faktor penyebab, bentuk, dan solusi
nusyus yang ditempuh oleh keluarga muslim di Kabupaten Polman.
1. Faktor Penyebab Nusyus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada berbagai faktor penyebab
terjadinya nusyus pada keluarga muslim di Kabupaten Polewali Mandar.
Faktor-faktor tersebut berasal dari suami maupun istri.
a. Faktor Nusyus Istri
1) Faktor Akhlak68
Hasil penelitian menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab
nusyus istri adalah faktor dari akhlak si istri itu sendiri. Dalam hal ini, istri
sering meninggalkan rumah tanpa izin suami, istri pergi dengan lelaki lain
yang bukan mahramnya, istri marah dan langsung pulang ke rumah orang
tuanya tanpa izin (kasus 1a). Kasus yang sama dialami pasangan SB (lihat
tabel nomor urut 1), bahkan istri dalam pasangan ini sering bermalam di luar
67
Wawancara di antaranya: Drs. Suryadi, SH,MH, Ketua Pengadilan Agama Polewali pada
tanggal 5 April 2010
68
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “akhlāk”. Bentuk plural dari kata “khuluq”
artinya : tabiat, budi pekerti, kebiasaan, dan harga diri. Identik dengan kata moral yang berasal dari
bahasa Latin, mores atau mos yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Lihat, A.W.
Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 364. Lihat pula, Luwais al-Ma’lūf, al-Munjid, (Beirut: Dār
al-Masyriq, t.th), h. 194. Lihat pula, Burhanuddin Salam, Etika Individual, Pola Dasar Filsafat
Moral, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 2
203
tanpa izin suami. Lebih dari itu, istri telah menikah lagi dengan lelaki lain.
Dalam perspektif hukum Islam, istri dalam kasus ini telah melakukan
tindakan nusyus, yaitu melakukan pembangkangan kepada suami, bahkan
telah melukai perasaan suami. Dalam perspektif undang-undang, istri telah
melanggar UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 33 yang
mewajibkan agar setiap pasangan saling mencintai, saling menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir dan batin.
Dalam ajaran Islam, betapapun kekurangan suami, namun
seharusnya istri yang setia atau saleh tidak akan melakukan tindakan seperti
yang terdapat pada kasus di atas, yaitu keluar rumah tanpa izin suami,
bahkan pergi dengan lelaki lain yang bukan mahramnya. Sebagai istri yang
baik (ṣāliḥah) hendaknya berusaha menunjukkan kesetiaan kepada
suaminya. Kesetiaan yang dibangun di atas landasan cinta dan kasih sayang
sebagaimana kesetiaan Khadijah dan ‘Aisyah kepada Rasulullah saw.
Kesetiaan Khadijah kepada Rasulullah saw dijelaskan dalam sebuah hadis
sebagai berikut :
ْ‫ َﻣﺎ َﺗذْ ُﻛ ُر ِﻣنْ َﻋ ُﺟ ْوزٍ ِﻣن‬: ُ‫ َﻓﻘُـ ْﻠت‬. ُ‫ َﻓ ِﻐـرْ ت‬: ‫َﺗﻘُ ْو ُل أ ُ ﱡم ْاﻟ ُﻣ ْؤ ِﻣ ِﻧ ْﯾنَ َﻋﺎ ِﺋ َﺷـ ُﺔ‬
.‫ك ﷲ ُ ﺧَ ْﯾرً ا ِﻣ ْﻧ َﮭﺎ‬
َ َ‫ َﻗـدْ أَ ْﺑ َدﻟ‬، ِ‫ َھﻠَ َﻛتْ ِﻓﻰ اﻟ ﱠدھْ ـر‬، ‫َﻋﺟَ ﺎ ِﺋزِ ﻗُرَ ْﯾشٍ ُﺣ َﻣرَ ا َء اﻟ ﱠﺷ َد َﻗ ْﯾـ ِن‬
َ‫َﻓرَ ﱠد َﻋﻠَ ْﯾ َﮭﺎ اﻟ ﱠﻧ ِﺑﻲﱡ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم َو ُھ َو اﻟزﱠ ْو ُج ا ْﻟ َو ِﻓﻲﱡ اﻟﱠ ِذىْ َﻻ َﯾ ْﻧ َﺳﻰ َﻣﺣَ ﺎﺳِ ن‬
ْ‫ َﻗـدْ آ َﻣ َﻧتْ ِﺑﻰ إِذ‬، ‫ َﻣﺎ أَ ْﺑدﻟَ ِﻧﻰ ﷲ ُ َﻋزﱠ َوﺟَ ﱠل ﺧَ ْﯾرً ا ِﻣ ْﻧ َﮭﺎ‬: ‫ﺧَ ِد ْﯾﺟَ ـ َﺔ َو َﺳﺎ َﺑقَ َﻓﺿْ ﻠ ُ َﮭﺎ‬
204
، ُ‫ َو َوا َﺳ ْﺗ ِﻧﻰْ ِﺑ َﻣﺎﻟِ َﮭﺎ إِذْ ﺣَ رَ َﻣ ِﻧﻰ اﻟ ﱠﻧﺎس‬، ُ‫ﺻ ﱠد َﻗ ْﺗ ِﻧﻰ إِذْ َﻛ ﱠذ َﺑ ِﻧﻰ اﻟ ﱠﻧﺎس‬
َ ‫ َو‬، ُ‫َﻛ َﻔرَ ِﺑﻰ اﻟ ﱠﻧﺎس‬
69
‫أﺧرﺟـﮫ اﻟﺑﺧﺎرى وﻣﺳﻠم‬
.‫َورَ زَ َﻗ ِﻧﻰ ﷲ ُ َﻋزﱠ َوﺟَ ﱠل َو َﻟ َد َھﺎ إِذْ ﺣَ رَ َﻣ ِﻧﻰ أَ ْو َﻻ ُد اﻟ ﱢﻧ َﺳﺎ ِء‬
Artinya : ‘Aisyah, ummul mukminin berkata : saya cemburu, lalu saya
berkata, apa yang engkau ingat (Nabi) dari nenek Quraisy yang sudah
kemerah-merahan pipinya, telah sirna oleh masa (Khadijah), Allah
telah menggantikannya dengan yang lebih daripadanya. Nabi, sebagai
suami yang setia, yang tidak pernah melupakan kebaikan dan
keutamaan Khadijah menjawab : Allah tidak menggantikannya
dengan yang lebih baik daripadanya. Ia (Khadijah) telah beriman
kepadaku ketika manusia mengkafirkanku, membenarkan ketika
manusia mendustakanku, menyantuni aku dengan hartanya ketika
manusia enggan memberikan hartanya kepadaku, dan Allah
memberikan aku anak melalui Khadijah ketika wanita lain tidak
memberikanku anak. (ditakhrij oleh Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas menjelaskan bahwa kesetiaan Khadijah kepada
Rasulullah saw ditunjukkan dalam tiga hal yaitu : (1) beriman kepada Nabi
di saat semua orang menolak seruannya; (2) membenarkan Nabi di saat
orang mendustakannya: (3) mengorbankan hartanya di saat orang tidak
memperdulikannya. Sementara kesetiaan ‘Aisyah kepada Rasulullah saw
digambarkan sebagai berikut :
‫َو ِﻓﻰ رِ َوا َﯾ ٍﺔ أَنﱠ َﻋﺎ ِﺋ َﺷـ َﺔ أَدْ رَ َﻛتْ َو َﻓﺎ َء اﻟ ﱠﻧ ِﺑﻲﱢ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم َو َﻣﺣَ ﱠﺑ َﺗـ ُﮫ‬
‫أﺧرﺟـﮫ‬
. ٍ‫ك ِﺑﺎ ْﻟﺣَ ـقﱢ َﻻ أَذْ ُﻛ ُر َھﺎ َﺑﻌْ ـ َد َھ َذا إِﻻﱠ ِﺑﺧَ ـ ْﯾر‬
َ ‫ َواﻟﱠ ِذى َﺑﻌَ َﺛ‬: ْ‫ﻟِزَ ْو ِﺟـ ِﮫ اﻟرﱠ ا ِﺣﻠَ ِﺔ َﻓ َﻘﺎﻟَت‬
70
69
.‫أﺣﻣـد واﻟطﺑراﻧﻰ‬
Munqiż Mahmūd al-Saffār, al-Dīn al-Mu’āmalah, Shafahāt min Hadyi al-Uswat alḥasanah sallallahu alaihi wa sallam, (t.t. Rābitah, 2009), h. 126
70
Munqiż Mahmūd al-Saffār, al-Dīn al-Mu’āmalah, Shafahāt min Hadyi al-Uswat alḥasanah sallallahu alaihi wa sallam, h. 126
205
Artinya :
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika ‘Āisyah mengetahui
kesetiaan dan kecintaan Nabi kepada istrinya yang sudah tiada,
“Khadijah”, ‘Aisyah berkata : Demi Allah yang mengutus engkau
(Muhammad) dengan benar, saya tidak akan menyebutnya sesudah
ini, kecuali kebaikan Khadijah. (ditakhrij oleh Ahmad dan Tabrani).
Hadis yang disebutkan di atas melukiskan kesetiaan ‘Āisyah kepada
Rasulullah saw yaitu tidak menyebut dan menceriterakan kecuali kebaikan
orang yang dicintai oleh suaminya, yaitu Khadijah, meskipun sebagai
manusia biasa tersimpan kecemburuan yang tinggi dalam lubuk hatinya.
Dalam riwayat ini pula diketahui bahwa sikap atau tindakan ‘Āisyah
tersebut dilakukan dalam rangka untuk menyenangkan hati kekasih yang
dicintainya, yakni Rasulullah saw.
Di samping itu, istri juga berkewajiban untuk melayani kebutuhan
seksual suami, mendampingi dan mengatur rumah tangga suaminya.
Berkaitan dengan hal ini, para ulama sepakat bahwa tugas-tugas pelayanan
dan pengaturan rumah tangga merupakan tugas/kewajiban utama seorang
istri. Oleh karena itu, meninggalkan rumah tanpa izin suami seperti dalam
kasus di atas, dapat dipastikan bahwa kewajiban utama tersebut akan
terabaikan. Dari sini, Syaikh al-Ghazali, pembela hak-hak perempuan dari
kalangan ulama Mesir kontemporer, sebagaimana ditulis oleh Husein
Muhammad menyatakan :
“Betapapun juga, prinsip dasar yang harus kita ikuti atau kita upayakan
agar selalu dekat padanya ialah “rumah”. Saya benar-benar merasa
gelisah pada kebiasaan para ibu rumah tangga yang meninggalkan
206
(membiarkan) anak-anaknya tinggal dan diasuh oleh para pembantu
atau diserahkan pada tempat penitipan anak. Nafas seorang ibu
memiliki pengaruh yang luar biasa dalam menumbuhkan dan
memelihara perilaku kebajikan dalam diri anak-anaknya.”71
Sejalan dengan pendapat al-Gazali di atas, dalam QS al-Ahzāb/33:
33 - 34 disebutkan :
َ‫ﺼﻠَﻮةَ َو َءاﺗِ ْﯿﻦ‬
‫َوﻗَﺮْ نَ ﻓِﻰ ﺑُﯿُﻮْ ﺗِ ُﻜﻦﱠ َوﻻَﺗَﺒَ ﱠﺮﺟْ ﻦَ ﺗَﺒَﺮﱡ َج ا ْﻟ َﺠ ِﮭﻠِﯿﱠ ِﺔ ْاﻷُوْ ﻟَﻰ َوأَﻗِ ْﻤﻦَ اﻟ ﱠ‬
‫ﺖ‬
ِ ‫اﻟ ﱠﺰ َﻛﻮةَ َوأَ ِط ْﻌﻦَ ﷲَ َورَ ُﺳـﻮْ ﻟَﮫُ إِﻧﱠ َﻤﺎ ﯾُ ِﺮ ْﯾ ُﺪ ﷲُ ﻟِﯿُ ْﺬ ِھﺐَ َﻋ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱢﺮﺟْ ﺲَ أَ ْھ َﻞ ا ْﻟﺒَ ْﯿ‬
َ‫ﺖ ﷲِ َوا ْﻟ ِﺤ ْﻜ َﻤـ ِﺔ إِنﱠ ﷲَ َﻛﺎن‬
ِ ‫ َوا ْذ ُﻛﺮْ نَ َﻣﺎ ﯾُ ْﺘﻠَﻰ ﻓِﻰ ﺑُﯿُﻮْ ﺗِ ُﻜﻦﱠ ِﻣﻦْ َءاﯾَـ‬.‫ﻄ ِﮭ ْﯿ ًﺮا‬
ْ َ‫َوﯾُﻄَﮭﱢﺮَ ُﻛ ْﻢ ﺗ‬
(34 -33) .‫ﻟَ ِﻄ ْﯿﻔًﺎ ﺧَ ﺒِ ْﯿـ ًﺮا‬
Artinya:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’tilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut
lagi Maha Mengetahui.72
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa istri ṣāliḥah sebagaimana
istri-istri Rasulullah saw adalah istri yang lebih banyak menghabiskan
waktunya di rumah bersama dengan anak-anaknya. Sebagai madrasah dan
universitas terbesar, mereka membimbing, mendidik, dan membesarkan
anak-anaknya sehingga anak-anak tersebut tumbuh menjadi anak-anak yang
saleh, dewasa dan berguna bagi agama dan masyarakatnya.
71
Meski hal ini
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 169
72
Tim Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 672
207
tidak berarti bahwa istri tidak boleh keluar sama sekali dari rumahnya dalam
rangka ibadah, tugas luar dan tugas-tugas kemasyarakatan lainnya.73
Sejalan dengan QS al-Ahzāb/33: 33 dan 34 tersebut, Rasulullah saw
bersabda :
‫ ﻓَﺈ ِ َذا‬، ٌ‫ إِنﱠ ا ْﻟ َﻤﺮْ أَةَ َﻋـﻮْ َرة‬:‫ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨـﮫُ ﻗَﺎ َل‬
ِ ‫َﻋـﻦْ َﻋﺒـْ ِﺪ ﷲِ ْﺑ ِﻦ َﻣ ْﺴـ ُﻌـﻮْ ٍد َر‬
‫ َو ِھ َﻲ‬، ‫ َرﺣْ َﻤـ ِﺔ – َرﺑﱢﮭَﺎ‬- ‫ َوأَ ْﻗ َﺮبُ َﻣﺎ ﺗَ ُﻜﻮْ نُ ﺑِ َﺮوْ ﺣـ َ ِﺔ‬، ُ‫َﺧ َﺮ َﺟـﺖْ إِ ْﺳﺘَـ ْﺸ َﺮﻓَﮭَـﺎ اﻟ ﱠﺸ ْﯿﻄَﺎن‬
.‫ أﺧﺮﺟﮫ اﻟﺘﺮﻣﺬي واﻟﺒﺰار‬.‫ﺑَ ْﯿﺘِﮭَـﺎ‬
‫ﻓِﻰ ﻗَ ْﻌـ ِﺮ‬
Artinya :
Dari Abdullah ibn Mas’ud ra, dari Nabi saw bersabda : “sesungguhnya
wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar dari rumahnya, maka ia diintai
oleh setan. Wanita itu lebih dekat kepada naungan Rahmat Tuhannya,
di saat ia berada di dalam rumahnya yang terdalam. (ditakhrij oleh alTirmiziy dan al-Bazzār).
Pada hadis lain, Rasulullah saw bersabda :
ُ ‫ﺻﻼَة‬
َ :‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل‬
َ ‫ص َﻋﻦْ َﻋ ْﺒـ ِﺪ ﷲِ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠﺒ ﱢﻲ‬
ِ ‫َﻋﻦْ أَﺑِﻰ ْاﻷَﺣْ َﻮ‬
.‫ رواه أﺑﻮ داود‬...
‫ﺻﻼَﺗِﮭَﺎ ﻓِﻰ ﺑَ ْﯿﺘِﮭَﺎ‬
َ ْ‫ﻀ ُﻞ ِﻣﻦ‬
َ ‫ا ْﻟ َﻤﺮْ أَ ِة ﻓِﻰ َﻣﺨْ َﺪ ِﻋﮭَﺎ أَ ْﻓ‬
Artinya :
Dari Abu al-Ahwas dari Abdullah dari Nabi saw bersabda : salatnya
wanita di dalam biliknya lebih baik baginya dari pada di
rumahnya…. (riwayat Abū Dāwud).
Wahbah al-Zuhailiy mengomentari ayat dan hadis tersebut dengan
mengatakan bahwa wanita diperbolehkan pergi ke mesjid, kecuali wanita
yang masih muda. 74 Meskipun demikian, kebolehan wanita keluar dari
dalam rumahnya, hendaknya memakai pakaian yang sopan. Yaitu, memakai
73
Sejarah kehidupan wanita di zaman Nabi membuktikan bahwa mereka bekerja
diberbagai sektor kehidupan, di antaranya bekerja sebagai babby sister (menyesui dan memelihara
bayi orang lain), berdagang, memelihara ternak, bertani, home industri, juru rawat, guru, pembantu
rumah tangga, dan sebagainya. Lihat, Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas
Wacana Agama dan Gender, h. 170
74
Lihat, Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsīr……(Juz 22, Beirut: Dār al-Fikr, 1991), h. 10
208
pakaian yang tidak menampakkan dada dan leher, sehingga tidak tampak
leher, anting-anting, dan kalungnya, dalam istilah al-Qur’an “tidak bertabarruj”.
Lebih jauh QS al-Aḥzāb/33: 33 dan 34 tersebut menyebutkan bahwa
istri ṣāliḥah itu, selain lebih banyak tinggal di rumah, juga lemah lembut
dalam bertutur kata, banyak melakukan kebajikan, seperti salat dan memberi
zakat, serta banyak memberikan pendidikan dan pengajaran tentang alQur’an dan sunnah Rasulullah saw di dalam rumahnya.
Jika setiap rumah tangga muslim mengamalkan QS al-Ahzāb/33: 33
dan 34 tersebut, diharapkan dapat terbentuk anak-anak dan generasi muda
yang berakhlak mulia, sebagaimana para salaf al- ṣāliḥ.
Seorang istri seharusnya menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia dan
menjauhi segala sifat yang tercela. Jika istri memiliki akhlak yang buruk
seperti sering keluar rumah tanpa izin suami dan tuntutan nafkah yang
berlebihan, maka suami akan semakin mudah terpancing emosinya sehingga
pertikaian tak terelakkan, dan bahkan mengantarkan kepada jurang
perceraian. Namun, sebaliknya jika istri berakhlak mulia, sopan dan hormat
kepada suaminya, maka lambat atau cepat tentu sang suami akan berubah
dan sayang kepadanya seandainya benar sang suami sebelumnya tidak lagi
memperdulikannya.
209
Di antara akhlak terpuji yang seharusnya menjadi kepribadian
seorang istri yang ṣāliḥah, terutama dalam rangka menghindari pertengkaran
dan perceraian adalah sifat bijaksana dan sabar.75 Rasulullah saw bersabda :
‫ﺻﻠ ﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻟِ ْﻸَ َﺷ ﱢﺞ‬
َ ِ‫ ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮْ ُل ﷲ‬: ‫ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨـﮫ ُ ﻗَﺎ َل‬
ِ ‫َﻋﻦْ ُﻣ َﻌﺎ ٍذ َر‬
‫ رواه‬.76ُ ‫اﻷَﻧَﺎة‬
ْ ‫َو‬
‫ ا ْﻟ ِﺤ ْﻠ ُﻢ‬: ُ‫ﻚ ﻟَ َﺨﺼْ ﻠَﺘَ ْﯿـ ِﻦ ﯾُ ِﺤﺒﱡﮭُ َﻤﺎ ﷲُ َو َر ُﺳﻮْ ﻟ ُـﮫ‬
َ ‫ أَنﱠ ﻓِ ْﯿ‬: .‫ﺲ‬
ِ ‫– أَ َﺷ ﱢﺞ َﻋ ْﺒـ ِﺪ ا ْﻟﻘَ ْﯿ‬
.‫ﻣﺴـﻠﻢ‬
Artinya :
Dari Mu’āż ra. ia berkata : Rasulullah saw berkata kepada al-Asyajj
‘Abd al-Qais : Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni sifat bijaksana dan sabar.
(riwayat Muslim)
Bagaimanapun harus diakui bahwa memiliki sifat bijaksana dan
sabar, terutama jika menghadapi suami yang mempunyai karakter emosional
dan diktator, ditambah dengan berkurangnya cinta sang suami, maka bisa
jadi perkataan dan perbuatan terbaik sang istri, justru keliru dalam
pandangan suami.
Akan tetapi, seandainya pihak istri mampu bersabar
menghadapi suami yang demikian itu, maka kemungkinan besarnya tidak
akan terjadi pertengkaran dan perceraian. Bahkan bisa jadi, suatu saat suami
akan menyadari kesalahan dan kekhilafannya, lalu meminta maaf dan tidak
75
Sabar menurut Ẓunnun al-Misry, ialah “menjauhi larangan, tenang ketika menenggak
musibah, dan menampakkan dirinya orang yang cukup meski ia bukan orang berada.” Lihat,
Ahmad Hadi Yasin, Dahsyatnya Sabar, (Jakarta: QultumMedia, 2010), h. 11
76
Al-anāt, adalah taṡabbut wa tarku ‘ajalah. artinya : sabar dan tidak tergesa-gesa. Lihat,
Muhammad Yūsuf al-Kandahlāwi, al-Aḥādīṡ al-Muntakhabah, (New Delhi: Jami’ Nagar, 2003), h.
244
210
akan mengulangi lagi perbuatannya untuk selama-lamanya.77 Selain itu, istri
muslimah yang ṣāliḥah dan sabar, akan mendapatkan pahala yang sangat
besar dari sisi Allah. Bahkan dengan kesabarannya, bisa jadi sang suami
akan meridhainya, dan dengan itu kelak ia akan dimasukkan ke dalam
syurga. Rasulullah bersabda :
ُ‫ َﺳ ِﻤ ْﻌـﺖ‬: ‫ َﺳ ِﻤ ْﻌـﺖُ أ ُ ﱠم َﺳﻠَ َﻤﺔ ﺗَﻘُﻮْ ُل‬: ْ‫ ﻗَﺎﻟَﺖ‬، ‫ َﻋﻦْ أ ُ ﱢﻣـ ِﮫ‬، ‫ي‬
‫َﻋﻦْ ُﻣ َﺴﺎ ِو ٍر ا ْﻟ ِﺤ ْﻤﯿَ ِﺮ ﱢ‬
‫ض‬
ٍ ‫ أَﯾﱡ َﻤﺎ ا ْﻣ َﺮأَ ٍة َﻣﺎﺗَﺖْ َو َزوْ ُﺟﮭَـﺎ َﻋ ْﻨﮭَﺎ َرا‬: ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﯾَﻘُﻮْ ُل‬
َ ِ‫َر ُﺳﻮْ َل ﷲ‬
‫ رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟـﮫ‬.َ‫ﺠﻨﱠـﺔ‬
َ ‫ﺖ ا ْﻟ‬
ِ ‫َد َﺧﻠَـ‬
Artinya :
Dari Musāwir al-ḥimyāriy, dari ibunya, ia berkata : saya mendengar
Ummu Salamah berkata : Saya mendengar Rasulullah saw bersabda :
perempuan mana saja yang meninggal sedang suaminya rida padanya,
maka ia pasti dimasukkan ke dalam syurga. (riwayat Ibn Mājah)
2) Faktor Kecemburuan Istri.
77
Beberapa tahun yang lalu di Bulukumba, penulis bertemu seorang mantan preman yang
bernama Anwar yang selalu menyiksa isterinya dengan pukulan dan makian hampir setiap malam
setelah pulang menenggak minuman keras. Namun, berkat ketabahan dan kesabaran, dan tentu
saja doa sang istri, setelah bertahun-tahun tiba-tiba sang suami berubah seratus delapan puluh
derajat. Suatu hari suami datang minta maaf sambil menangis, berlutut di hadapan isterinya
meminta agar ia memaafkan semua kesalahan yang pernah dibuatnya. Selanjutnya, menjadi suami
yang penyayang kepada istrinya, terbukti suami rela mencuci piring dan bahkan mencucikan
pakaian istrinya. Itulah bukti kekuasaan Allah, mampu mengubah hati yang keras menjadi lembut,
sebagaimana Allah merubah hati Fir’aun melihat bayi Musa, padahal ia amat bengis dan kejam
terhadap setiap bayi yang dilahirkan dikala itu. Sebagaimana firman Allah : ‫وأﻟﻘﯿﺖ ﻋﻠﯿﻚ ﻣﺤﺒـﺔ ﻣﻨﻰ‬
‫ وﻟﺘﺼﻨـﻊ ﻋﻠﻰ ﻋﯿﻨﻰ‬Artinya: ....”Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang
dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS Ṭāhā/20: 39).
211
Kecemburuan 78 dan kecurigaan berlebihan atau cemburu buta dari
istri merupakan bagian dari akhlak buruk yang berkaitan dengan kondisi
emosional seseorang. Dalam hal ini, dapat pula menimbulkan kebencian yang
mengakibatkan terjadinya tindakan nusyus istri.
Meski kecemburuan itu
sifatnya adalah reaksi dari aksi sang suami seperti pada kasus 3a di atas, yang
diakui dalam konvensi dan rekonvesi pada kasus ini yaitu “sering pulang
terlambat, celana dalam yang basah, nampak seperti bekas sperma, dan
benjolan yang berbekas seperti bekas kecupan bibir di leher atau pipi suami”, dalam hal ini suami telah “i’rād” (berpaling) atau telah nampak tanda-tanda
nusyus sang suami- namun bila istri itu seorang yang berakhlak tentu tidak
akan menghadapinya dengan cara-cara reaktif dalam bentuk marah yang
berlebihan, melukai hati suami, dan bahkan pergi meninggalkan rumah.
Kecemburuan yang timbul dalam kasus ini, nampak telah mengaburkan
pandangan istri kepada suaminya sedemikian rupa, mendorong timbulnya
sikap kekerasan salah satu pihak. Dalam hal ini, istri sering marah, bahkan
menghancurkan pakaian suami dengan silet. Lebih dari itu, istri sering
meninggalkan rumah tanpa izin suami. Dalam hal ini, istri telah melakukan
tindakan nusyus, yaitu melakukan tindakan yang tidak “ma’ruf” atau tidak
menyenangkan suami. Sementara dalam perspektif undang-undang, istri telah
melanggar UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 33 yang
78
Cemburu atau kecemburuan adalah perasaan benci apabila ada orang lain yang ikut
“memiliki” orang yang telah menjadi haknya. Lihat, Ummu ‘Abdullah al-Wādi’iyyah, Nasīhatī li
al-Nisa’, (t.t., Dār al-Haramain, 2000), h. 155
212
mewajibkan agar setiap pasangan saling mencintai, saling menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir dan batin.
Tidak sedikit rumah tangga yang karam di tengah gelombang
kehidupan rumah tangga akibat kecemburuan berlebihan, kecurigaan dan
prasangka buruk.
Kecemburuan sifatnya adalah manusiawi, cemburu
merupakan bukti cinta dan kasih sayang atau buah dari cinta, dan karenanya
tidak ada cemburu kalau tidak ada cinta. Namun bila kecemburuan itu
berlebihan, apalagi tanpa dasar yang jelas, maka bahtera rumah tangga berada
diambang pintu kehancuran.
Cemburu ada yang bersifat mahmūdah (terpuji) dan ada yang
bersifat mażmūdah (tercela). Cemburu yang positif yaitu Lā tatajāwaz alsyar’ (yang sesuai dengan hukum-hukum agama). Sedang cemburu yang
negatif yaitu “tatajāwaz al-syar’” (yang tidak sesuai dengan hukum-hukum
agama).
Sebagai contoh cemburu yang bersifat negatif yaitu hadis sebagai
berikut :
‫ﺿ َﻊ ﻧَ ْﻌﻠَ ْﯿ ِﮫ‬
َ ‫ ﻟَ ﱠﻤﺎ َﻛﺎﻧَﺖْ ﻟَ ْﯿﻠَﺘِﻰْ اﻟﱠﺘِﻰ ھُ َﻮ ِﻋ ْﻨـ ِﺪى اِ ْﻧﻘَﻠَﺐَ ﻓَ َﻮ‬: ْ‫َﻋﻦْ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖ‬
ُ‫ِﻋ ْﻨـ َﺪ ِرﺟْ ﻠَ ْﯿ ِﮫ وَ ﺑَ َﺴﻂَ طَﺮْ فَ إِ َزا ِر ِه َﻋﻠَﻰ ﻓِ َﺮا ِﺷ ِﮫ ﻓَﻠَ ْﻢ ﯾَ ْﻠﺒَﺚْ إِ ﱠﻻ رَ ْﯾﺜَ َﻤﺎ ظَﻦﱠ أَﻧﱢﻰ ﻗَـ ْﺪ َرﻗَ ْﺪت‬
ُ‫ﺛُ ﱠﻢ إِ ْﻧﺘَ َﻌ َﻞ ُر َو ْﯾـ ًﺪا َوأَ َﺧـ َﺬ ِر َدا َءهُ ُر َو ْﯾـ ًﺪا ﺛُ ﱠﻢ ﻓَﺘَ َﺢ ا ْﻟﺒَﺎبَ ُروَ ْﯾـ ًﺪا وَ َﺧ َﺮ َج ُروَ ﯾـْ ًﺪا ﺟَ َﻌ ْﻠﺖ‬
‫َدرْ ِﻋﻰ ﻓِﻰ َر ْأ ِﺳﻰْ َواﺧْ ﺘَ َﻤﺮْ تُ َوﺗَـﻘَـﻨﱠ ْﻌـﺖُ إِ َزا ِرىْ َوا ْﻧﻄَﻠَ ْﻘـﺖُ ﻓِﻰ إِ ْﺛ ِﺮ ِه َﺣﺘﱠﻰ َﺟﺎ َء ا ْﻟﺒَﻘِﯿـْ َﻊ‬
213
ُ ‫ﺖ ﻓَﺄ َ ْﺳ َﺮ ْﻋـﺖُ َو َد َﺧ ْﻠﺖُ ا ْﻟﺒَ ْﯿـﺖَ ﻗَ ْﺒﻠَﮫ‬
ِ ‫ت ﻓَﺄ َطَﺎ َل ﺛُ ﱠﻢ رَ َﺟـ َﻊ إِﻟَﻰ ا ْﻟﺒَ ْﯿـ‬
ٍ ‫ﻓَ َﺮﻓَـ َﻊ ﯾَـ َﺪ ْﯾ ِﮫ ﺛَ َﻼثَ َﻣ ﱠﺮا‬
ُ‫ﺖ أَنْ ﯾَ ِﺤ ْﯿـﻒَ ﷲ‬
ِ ‫ﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ُﻣ َﻌﺎﺗِﺒـ ًﺎ أَظَﻨَ ْﻨـ‬
‫َوﺗَﺼَ ﻨـ ﱠ ْﻌﺖُ اﻟﻨﱠﻮْ َم ﻓَﻘَﺎ َل ﻟَﮭَﺎ اﻟﻨﱠﺒِ ﱠ‬
.‫ رواه أﺣﻤـﺪ‬.ُ‫ﻚ وَ َر ُﺳـﻮْ ﻟُﮫ‬
ِ ‫َﻋﻠَ ْﯿ‬
Artinya:
Dari ‘Aisyah ra. berkata : ketika malam itu bagian gilaranku, nabi
datang dan meletakkan kedua sandal disisi kakinya, lalu
membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidurnya. Tidak
berapa lama ia menyangka aku telah tertidur, kemudian ia (nabi)
memakai sandal pelan-pelan, mengambil pakaiannya pelan-pelan,
membuka pintu pelan-pelan, dan keluar pelan-pelan. Saya pun
mengambil mantel dan meletakkan di kepalaku untuk menutupinya,
sambil menutupi mukaku dengan sarungku. Saya berjalan di
belakangnya hingga tiba di Baqi’. Kemudian Nabi mengangkat
tangannya berdoa tiga kali dengan panjang, lalu pulang ke rumah.
Saya pun bergegas pulang dan masuk rumah terlebih dahulu, lalu
pura-pura tidur. Nabi pun berkata kepadanya dengan nada celaan,
apakah Allah dan rasul-Nya telah berlaku curang kepadamu ? (riwayat
Ahmad)
Kecemburuan dan kecurigaan istri terhadap suami seharusnya disikapi
dengan arif, baik yang bersifat negatif maupun cemburu yang bersifat positif.
Dalam menyikapi kedua kecemburuan tersebut, si istri dapat melakukan
beberapa hal, yaitu ; (1) bersabar;79 (2) meminta orang yang berwibawa, orang
yang dihormati oleh suami untuk menasihatinya; (3) mencari momen yang
tepat untuk menyampaikan masalahnya kepada suami; (4) meningkatkan
pelayanan kepada suami; (5) jangan mencari-cari bukti atas dugaan yang
belum tentu kebenarannya; dan (6) introspeksi diri.
79
Sabar artinya tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak
lekas patah hati). Tenang; tidak tergesa-gesa; tidak terburu nafsu. Lihat, Tim Penyusun Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1990), h. 763
214
Dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang memerintahkan kita
bersabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi, di antaranya : QS alBaqarah/2: 155, 156, 157, 177, 214, al-‘Imrān/3: 186, al-A’rāf/7: 125, 126, alNahl/16: 42, dan al-Kahfi/18: 69.
Ayat-ayat di atas menjelaskan janji-janji
keberkatan yang sempurna, rahmat, petunjuk, dan pertolongan dari Allah swt
bagi orang-orang yang sabar.
Selain sabar, dapat pula meminta orang yang berwibawa atau orang
yang
dihormati
oleh
suami
untuk
menasihatinya,
“bukan
dengan
membeberkannya kepada orang lain, atau bahkan menyebarkannya kepada
media cetak dan media elektronik”.80 Sebab bisa jadi, bila disampaikan secara
langsung atau membeberkannya secara luas, justru semakin menambah
kebencian sang suami kepada istri. Berbeda, jika masalahnya disampaikan
kepada orang yang dihormati dan dianggap dapat menasihati sang suami,
maka sang suami akan menyadari bahwa kecemburuan si istri adalah bagian
dari kecintaannya yang dalam terhadap dirinya, sehingga bisa jadi akan
menyadari kekeliruan dan kesalahannya. Kasus pengaduan kepada orang yang
dianggap mampu menyelesaikan masalah interen keluarga telah terjadi di
zaman Rasulullah saw . Dalam hal ini, berkaitan dengan sebab turunnya QS
al-Mujādilah/58, yaitu Khaulah binti Ṡa’labah yang mengadukan keadaan
80
Membeberkan secara luas hal-hal yang bersifat negatif dari suami berarti telah
membuka aib seseorang kepada orang lain. Hal ini jelas bertentangan dengan hadis yang melarang
membuka aib bagi orang lain. ‫ وﻣﻦ ﻛﺸﻒ ﻋﻮرة أﺧﯿﮫ اﻟﻤﺴﻠﻢ ﻛﺸﻒ ﷲ ﻋﻮرﺗﮫ‬.... : ‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل‬
.‫ رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟـﮫ‬.‫ ﺣﺘﻰ ﯾﻔﻀﺤـﮫ ﺑﮭﺎ ﻓﻰ ﺑﯿﺘـﮫ‬Artinya : dari Ibn ‘Abbās ra. dari Nabi saw bersabda : …. Dan
barangsiapa yang membuka aib saudaranya yang muslim maka pasti Allah akan membuka aibnya,
sehingga Allah mempermalukan dia di rumahnya karena aibnya. (riwayat Ibn Mājah)
215
rumah tangganya kepada Rasulullah saw bahwa suaminya Aus bin Ṣamit telah
menziharnya. 81
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mencari momen-momen
penting, misalnya, ketika suami sedang tenang, rileks atau istirahat. Di saat
seperti itulah disampaikan kepada sang suami tentang keadaan yang dirasakan
oleh si istri, mengingatkannya agar memperhatikan perintah-perintah Allah
dan tidak melalaikan tanggung jawabnya terhadap istri dan keluarganya
sebagai seorang suami serta banyak berdoa kepada Allah agar suaminya
disadarkan dan dikembalikan kepada jalan yang benar. Sebagai contoh, meski
bukan dalam konteks relasi suami-istri, kisah tentang Ummu Salamah dengan
Abu Thalhah menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan saat yang tepat
atau tidak tergesa-gesa untuk menyampaikan sesuatu kepada suami, terutama
jika suami dalam keadaan letih dan banyak masalah yang dihadapinya. Dalam
riwayat diceriterakan, bahwa meski anak satu-satunya telah meninggal dunia,
namun ketika Abu Thalhah menanyakan keadaan anaknya. Ummu Salamah
menjawabnya dengan tenang bahwa anaknya biasa-biasa saja, sehingga malam
itu mereka berdua telah melakukan hubungan sebagaimana suami-istri, dan di
saat yang tenang barulah Ummu Salamah menyampaikan kepada suaminya
bahwa anaknya telah diambil oleh pemilik-Nya.
Namun, sebelumnya ia
bertanya kepada suaminya, bagaimana jika suatu barang titipan diambil oleh
81
Zihar adalah menyamakan punggung isteri dengan punggung ibu dengan maksud tidak
boleh lagi menggauli isteri.
216
pemiliknya. Abu Thalhah menjawab bahwa kita tidak boleh menahan barang
titipan, jika pemiliknya telah menghendakinya.
Tidak kalah pentingnya adalah “istri meningkatkan pelayanannya
kepada suami”. Ini, merupakan isyarat yang terkandung dari potongan ayat
yang berbicara tentang sikap istri dalam menghadapi nusyus suami. yaitu :
“melakukan shulh (perdamaian)” QS al-Nisā’/4: 128. Pelayanan yang terbaik
adalah melakukan apa saja yang disenangi suami meski bertentangan dengan
keinginan istri, sebagaimana Saudah ra, istri Rasulullah, yang merelakan
bahagian malamnya kepada ‘Aisyah. 82 Pelayanan yang terbaik meskipun
berat,
-karena umumnya manusia menuntut agar orang lain menunaikan
kewajibannya, tapi ia berat melepaskan hak-haknya- akan memberi kesan
tersendiri kepada sang suami. Bahkan dalam sejarah dan fakta hidup seharihari tidak sedikit suami mengenang istri karena pelayanannya. Lebih dari itu,
kenangan pelayanan itu akan dibawanya seumur hidup meskipun kubur telah
memisahkan mereka berdua, sebagaimana kenangan Rasulullah saw kepada
Khadijah ra. Termasuk dalam pengertian yang terkandung dalam hadis bahwa
istri yang baik adalah istri yang menampakkan kegembiraan di hadapan
suaminya, meski sebenarnya hatinya telah bersedih, (iżā nazarta ilaihā
sarratka).
82
Suatu kisah yang pernah penulis dengar dan dapat diambil
، ‫ ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ ﻻﺗﻄﻠﻘﻨﻰ‬: ‫ ﺧﺸﯿـﺖ ﺳﻮدة أن ﯾﻄﻠﻘﮭﺎ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻟﺖ‬: ‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل‬
.‫ واﺟﻌﻞ ﯾﻮﻣﻰ ﻟﻌﺎﺋﺸـﺔ ﻓﻔﻌـﻞ‬Artinya : dari Ibn ‘Abbās berkata : Saudah ra telah khawatir jika Rasulullah
saw menceraikannya, lalu dia berkata : ya Rasulallah, janganlah engkau menceraikanku, dan aku
telah memberikan bahagian hariku kepada ‘Aisyah, maka Rasulullah pun melakukannya.
217
hikmahnya, yaitu seorang suami yang telah kawin lagi untuk kedua kalinya,
istri pertama pun curiga melihat tanda-tanda perubahan pada diri suami, dan
naluri kewanitaannya meyakinkan dirinya bahwa suaminya telah kawin lagi.
Tetapi si istri tidak pernah menyinggung atau bertanya kepada suaminya
tentang kecurigaannya, ia memperlakukan suaminya seperti biasa, seolah-olah
tidak ada sesuatu yang terjadi, bahkan si istri berusaha meningkatkan
pelayanan kepada suaminya sehingga kehidupan rumah tangga mereka
berjalan harmonis hingga suaminya meninggal dunia. Selesai pemakaman
suaminya, maka istri pertama pun mengantarkan bagian warisan kepada istri
kedua dari almarhum suaminya, yaitu seperdelapan dibagi dua. Namun apa
yang terjadi, istri keduanya berkata kepada istri pertama bahwa dirinya telah
diceraikan oleh suaminya sekitar dua tahun lalu.
Hikmah yang dapat diambil dari ceritera tersebut adalah bahwa betapa
tinggi nilai-nilai pelayanan istri kepada suaminya, betapa kuatnya kesan yang
ditimbulkan pelayanan istri sehingga ia mampu meruntuhkan dan
membentengi cinta suami kepada orang lain. Seandainya dalam kasus ini, istri
melakukan hal yang sama dengan ceritera di atas, maka bisa jadi tidak akan
terjadi tindakan nusyus, kecuali jika suami itu sudah tidak normal lagi.
Selain langkah-langkah di atas, juga tidak kalah pentingnya adalah
istri tidak perlu mencari-cari bukti untuk membenarkan kecurigaan yang
218
dialaminya. 83 Sebab apa untungnya, istri menyelidiki suami. Seandainya
tidak terbukti apa yang menjadi kecurigaannya, maka ia telah rugi waktu dan
rugi tenaga. Sebaliknya, jika benar apa yang menjadi kecurigaannya, maka
istri tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya benci dan sakit hati. Karena itu,
tidak ada nilai positifnya jika istri berusaha membuktikan kecurigaan yang
dialaminya. Yang terpenting adalah suami tetap menyayangi, menghormati,
dan tidak meninggalkan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap dirinya.
Bagaimana pun, Allah tidak akan pernah menzalimi hambanya. Jika Allah
masih menginginkan bahwa rumah tangga tersebut selamat dari kehancuran,
maka Allah akan menyembunyikan aib rumah tangga tersebut. Sebaliknya,
bila Allah ingin memisahkan mereka dalam rumah tangga, maka Allah pun
akan menampakkan aib dan kekurangan di antara mereka berdua. Karena itu,
Rasulullah saw bersabda :
‫ ﻗِ ْﯿ َﻞ ﻓَ َﻤﺎ‬.‫ اﻟﻄﱠ ْﯿﺮةُ وَ اﻟﻈﱠﻦﱡ َوا ْﻟ َﺤ َﺴـ ُﺪ‬: ‫َﻋﻦْ َﻣ ْﻌ َﻤ ٍﺮ ﺛَﻼَثٌ َﻻ ﯾَ ْﺴﻠَ ُﻢ ِﻣ ْﻨﮭَﺎ أَ َﺣـ ٌﺪ‬
‫ َوإِ َذا‬، ‫ظﻨَ ْﻨﺖَ ﻓَﻼَ ﺗُ َﺤﻘﱢ ْﻖ‬
َ ‫ َوإِ َذا‬، ‫ﻄﯿﱠﺮْ تَ ﻓَ َﻼ ﺗَﺮْ ِﺟ ْﻊ‬
َ َ‫ إِ َذا ﺗ‬: َ‫ا ْﻟ َﻤﺨْ ﺮَ ُج ِﻣ ْﻨﮭَﺎ ﯾَﺎ َر ُﺳﻮْ لَ ﷲِ ؟ ﻗَﺎل‬
84
‫َﺣ َﺴ ْﺪتَ ﻓَﻼَ ﺗَ ْﺒـ ِﻎ‬
Artinya:
Dari Ma’mar : tiga hal seseorang tidak akan selamat, yaitu : ramalan
buruk, buruk sangka atau curiga, dan dengki. Rasulullah ditanya,
83
Mencari-cari bukti terhadap sesuatu yang masih bersifat dugaan adalah termasuk bagian
“tajassus” yang dilarang oleh al-Qur’an. Lihat, QS al-hujurāt/49:12. “Tajassus” artinya : al-bahṡu
‘an al-syai’ (mencari sesuatu). Lihat, Ismā’īl bin ‘Umar, al-Misbāh al-Munīr, (Riyad: Dār alSalām, 2000), h.1304
84
Ahmad bin Ḥajar al-‘Asqalāniy, Fatḥ al-Bāri, vol. x, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, t.th.), h.
482
219
bagaimana jalan keluarnya ? Rasul menjawab : Jika engkau meramal
buruk, maka jangan ulangi. Jika engkau curiga, maka janganlah engkau
berusaha membuktikannya. Dan jika engkau iri, maka janganlah engkau
keterlaluan.
Hal terakhir yang penting diperhatikan oleh istri di saat terdapat hal
yang tidak menyenangkan dari suami adalah agar istri melakukan perenungan
dan introspeksi diri. Introspeksi diri perlu dilakukan, sebab sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur’an QS al-syūrā/42: 30 85 bahwa Allah akan
membalas setiap perbuatan seseorang. Jika perbuatan baik, maka akan dibalas
dengan kebaikan.
Sebaliknya, jika perbuatan buruk, maka akan diganjar
dengan keburukan pula. Berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh suami
terhadap dirinya, berupa hilangnya perhatian dan kepedulian, atau bahkan
menyakitinya adalah balasan dari Allah swt atas kekeliruan dan dosa yang
dilakukannya. Dalam keadaan yang demikian, seharusnya istri lebih banyak
berdoa dan bermunajat kepada Allah swt, sehingga Allah mengampuni dan
memberikan jalan keluar dari permasalahan yang dialaminya.
Di sisi lain, menghadapi istri yang curiga atau cemburu, suami pun
dituntut untuk tidak membuka peluang bertambah besarnya kecurigaan istri.
Seperti menghindari apa yang menjadi sumber dan pokok kecurigan istri, di
samping menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi, sebagaimana Rasulullah
85
‫ وﻣﺎ أﺻﺎﺑﻜﻢ ﻣﻦ ﻣﺼﯿﺒـﺔ ﻓﺒﻤﺎ ﻛﺴﺒﺖ أﯾﺪﻛﻢ وﯾﻌﻔﻮا ﻋﻦ ﻛﺜﯿﺮ‬Artinya : Dan apa saja musibah yang
menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan
sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Tim Penterjemah, Terjemah al-Qur’an, h. 788
220
saw menjelaskan kepada ‘Aisyah dalam peristiwa Bagi’ yang dikemukakan
dalam foot not 35 di atas.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat sekian banyak
penyebab dan motif tersembunyi yang dapat memunculkan sifat kecemburuan,
di antaranya egoisme, penyakit kejiwaan, dan faktor luar.
Egoisme sebagian pasangan muda bersifat kekanak-kanakan. Karena
itu mereka acapkali bertindak tanpa arah yang jelas.
Mereka hanya
membayangkan sesuatu berdasarkan fantasinya semata. Di samping itu, dalam
diri mereka penuh sifat egoisme yang selalu ingin menang sendiri. Untuk
menutupi kekurangan masing-masing, mereka pun kemudian saling
bertengkar, dan berselisih.
Penyakit kejiwaan yang mungkin diakibatkan oleh gangguan saraf,
trauma masa kecil, atau sejenisnya. Penyakit kejiwaan ini terkadang
menimbulkan perasaan was-was yang menyerang kehidupan suami atau istri.
Sementara perasaan itu hanya bersifat illusi yang bersifat semu, tetapi siap
menyeret kehidupan bersama ke dalam jurang pertikaian dan kesengsaraan.
Kecurigaan atau prasangka buruk muncul, karena campur tangan
pihak luar, terutama orang-orang yang menyamar sebagai teman atau sahabat,
pada hal di balik itu mereka adalah musuh dan penebar issu. Mereka tidak
senang melihat kebahagiaan dan ketenteraman orang lain. Karena itu, dengan
segala daya upaya akan dicarinya demi menghancurkan keluarga-keluarga
bahagia.
221
Dengan demikian, meski terjadi perubahan pada diri suami setelah
kemesraan pengantin baru berlalu. Namun perubahan itu, mesti dihadapi oleh
sang istri dengan bijaksana, tidak dengan emosi atau bahkan menempuh caracara reaktif seperti marah, berteriak, membentak, memukul, mengamuk, dan
semacamnya.
Istri yang arif memahami, bahwa semua itu justeru
menyebabkan hati suami semakin hancur, dendam, dan bahkan benci. Bila
dendam dan kebencian telah memenuhi hati kedua pasangan suami-istri,
menggeser cinta dan kasih sayang, maka itu alamat kehancuran rumah tangga.
Bagaimanapun cinta dan kasih sayang adalah pondasi rumah tangga yang
sangat urgen. Cinta dan kasih sayang melandasi segala hubungan dalam
kehidupan berkeluarga, baik dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban suamiistri, maupun dalam hal mencegah terjadinya pertengkaran, perselisihan, atau
perdebatan yang tidak berguna.86
Di antara pengamatan penulis menunjukkan bahwa kadang terdapat
suami yang tampaknya sabar dan pendiam dalam menghadapi sifat istri
yang mudah emosi, cemburu berlebihan, atau bahkan istri yang menguasai
suaminya. Namun, di balik sikapnya yang pendiam itu justru menyimpan
dendam dan dengki yang sewaktu-waktu dapat meledak, sehingga di saatsaat suami sudah merasa mampu dan mandiri, maka di saat itulah ia tidak
86
Lihat, Muhammad Muhyiddin, Bangga Menjadi Muslimah, (Bandung: Rosdakarya,
2007), h. 189
222
segan-segan melampiaskan kebenciannya, baik dengan cara menyakiti istri
(fisik atau non fisik), meninggalkan, dan bahkan menceraikannya.
Dalam kaitan ini, apapun bentuk konflik suami dan istri, namun yang
perlu diwaspadai adalah di saat salah satu di antara keduanya, atau bahkan
kedua-duanya tidak ada lagi rasa cinta, dan kasih sayang, karena faktor
kecurigaan, cemburu yang berlebihan, dan berbagai faktor lain yang
menyebabkan tidak berjalannya pelaksanaan kewajiban masing-masing pihak,
dengan kata lain telah terjadi tindakan nusyus.
Kita tentu tidak bisa
membayangkan bagaimana jadinya jika cinta dan kasih sayang telah pupus,
apakah pasangan suami-istri itu dapat bertahan terhadap gelombang kehidupan
rumah tangga pada masa-masa awal perkawinan mereka, baik pada tahun
pertama maupun pada tahun kelima dari usia perkawinan mereka, yang
biasanya merupakan anti klimaks dalam siklus perjalanan kehidupan rumah
tangga itu.
Dalam hubungannya dengan cinta dan kasih sayang suami-istri,
terdapat tiga hal kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu :
a) Jika suami secara terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak lagi mencintai
dan menyayangi istrinya, di saat istri mencintai dan menyayangi suaminya,
maka perkataan tersebut mengandung dua pukulan telak: satu pukulan akan
menghancurkan hati dan perasaan istri, dan satu pukulan akan merobohkan
bangunan kehidupan rumah tangga.
223
b) Jika istri secara terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak lagi mencintai
dan
menyayangi suaminya, di saat suami mencintai dan menyayangi
istrinya, maka perkataan tersebut hanya mengandung satu pukulan saja,
yaitu sedikit melukai hati dan perasaan suami, tanpa merobohkan bangunan
rumah tangga.
c) Jika api cinta dan kasih sayang telah padam dari kedua belah pihak karena
satu dan lain hal, maka struktur kehidupan rumah tangga secara psikis
sebenarnya telah roboh dan hancur, meski secara fisik dan formal tampak
masih utuh. Kehidupan rumah tangga seperti ini di satu sisi tentu amat
menyedihkan dan mengecewakan, dan di sisi lain tentu tidak dapat lagi
dipertahankan.
Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah kata
“perceraian.”
Pemaparan di atas menggambarkan pentingnya menjaga dan
memupuk rasa cinta dan kasih sayang kedua belah pihak, dalam bahasa alQur’an “mawaddah wa raḥmah”.
Demikian pula menghindari kecurigaan
dan prasangka buruk, mencabutnya sampai ke akar-akarnya. Karena itu, Islam
menghendaki agar suami dan istri berusaha melanggengkan kehidupan rumah
tangga dalam suasana tenteram, dengan sikap menghindari saling curiga
mencurigai, dan saling berperasangka buruk, sebagaimana yang terkandung
dalam makna umum QS al-ḥujurāt/49: 12 yang berbunyi :
224
ْ‫ﯾَﺎأَ ﱡﯾﮭَﺎ اﻟﱠ ِﺬ ْﯾﻦَ آ َﻣﻨُﻮْ ا اﺟْ ﺘَﻨِﺒُﻮْ ا َﻛﺜِ ْﯿ ًﺮا ِﻣﻦَ اﻟﻈﱠﻦﱢ إِنﱠ ﺑَ ْﻌﺾَ اﻟﻈﱠﻦﱢ إِ ْﺛ ٌﻢ وَ ﻻَﺗَ َﺠ ﱠﺴ ُﺴـﻮْ ا وَ ﻻَﯾَ ْﻐﺘَـﺐ‬
.....‫ﻀﺎ‬
ً ‫ﻀ ُﻜ ْﻢ ﺑَ ْﻌ‬
ُ ‫ﺑَ ْﻌ‬
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain....87
Sabda Nabi :
‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬
َ ِ‫ ﻗَﺎ َل رَ ُﺳﻮْ ُل ﷲ‬: َ‫ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨـﮫُ ﻗَﺎل‬
ِ َ‫َﻋﻦْ أَﺑِﻰ ﺑَﺮْ َزةَ ْاﻷَ ْﺳﻠَ ِﻤﻲ ر‬
َ‫اﻹ ْﯾ َﻤﺎنُ ﻗَ ْﻠﺒَـﮫُ ! َﻻﺗَ ْﻐﺘـ َﺎﺑُﻮْ ا ا ْﻟ ُﻤ ْﺴﻠِ ِﻤ ْﯿﻦ‬
ِ ْ ِ‫ ﯾَﺎ َﻣ ْﻌ َﺸﺮَ َﻣﻦْ آ َﻣﻦَ ﺑِﻠِ َﺴﺎﻧِـ ِﮫ َوﻟَ ْﻢ ﯾَ ْﺪ ُﺧﻞ‬: ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
ُ‫ وَ َﻣﻦْ ﯾَﺘﱠـﺒِ ِﻊ ﷲ‬، ُ‫ ﻓَﺈِﻧﱠـﮫُ َﻣ ِﻦ اﺗﱠﺒَـ َﻊ َﻋﻮْ َراﺗِ ِﮭ ْﻢ ﯾَﺘﱠﺒـ ِ ُﻊ ﷲُ َﻋﻮْ رَ ﺗـ َﮫ‬، ‫وَ َﻻﺗَﺘﱠﺒِ ُﻌـﻮْ ا َﻋﻮْ َراﺗِ ِﮭـ ْﻢ‬
‫ رواه أﺑﻮ داود‬. ‫ﻀـﺤْ ـﮫُ ﻓِﻰ ﺑَ ْﯿـﺘِـ ِﮫ‬
َ ‫َﻋﻮْ رَ ﺗـ َﮫُ ﯾَ ْﻔ‬
Artinya :
Dari Abu Barzah al-Aslamiy ra berkata : Rasulullah saw bersabda : “Hai
sekalian orang yang mengaku beriman dengan lidahnya sedang iman itu
belum masuk ke dalam hatinya, janganlah mencari-cari aib orang-orang
muslim dan menyebarkannya, karena siapa yang berbuat demikian, maka
Allah akan membuka aibnya. Jika Allah membuka aib seseorang, maka
Allah akan mempermalukannya meskipun berada di dalam rumahnya.”
(Diriwayatkan oleh Abu Dāwud )
‘Umar bin Khaṭṭāb juga berkata :
‫ َوأَ ْﻧـﺖَ ﺗَ ِﺠـ ُﺪ ﻟَﮭَـﺎ ﻓِﻰ‬، ‫ﻻَﺗَﻈُﻨﱡـﻦﱠ ﺑِ َﻜﻠِ َﻤ ٍﺔ ﺧَ ﺮَ ﺟـ َﺖْ ِﻣﻦْ أَﺧِ ْﯿﻚَ ا ْﻟ ُﻤﺆْ ِﻣﻦِ إِﻻﱠ ﺧَ ﯿـْ ًﺮا‬
88
.ً‫ا ْﻟﺨَ ْﯿـ ِﺮ ُﻣﺤْ َﻤـﻼ‬
Artinya :
87
Tim Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 847
‘Ali al-Ṣābūnī, Ṣafwat al-Tafāsīr, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, t.th.), h. 235.
88
225
“Janganlah kamu berperasangka terhadap suatu perkataan yang keluar
dari mulut saudaramu yang beriman, kecuali itu adalah kebaikan.
Sementara engkau mendapati jalan untuk membawanya kepada
kebaikan.”
3) Faktor ekonomi atau Ketidakpuasan Terhadap Materi
Faktor lain dari nusyusnya seorang istri sebagaimana ditemukan
dalam hasil penelitian adalah faktor ekonomi atau ketidakpuasan terhadap
materi. Ketidakpuasan terhadap penghasilan suami, menuntut hal-hal yang
lebih dari makan dan minum, padahal penghasilan suami sebagai buruh
lepas seperti pada kasus 2a dalam penelitian ini adalah pas-pasan,
menunjukkan kehidupan emosional istri yang belum dewasa dan pada
hakekatnya dapat dikategorikan sebagai akhlak yang buruk. Tetapi sebagai
manusia sering bernafsu punya televisi, kulkas, dan sebagainya sebagaimana
layaknya sebuah keluarga mapan. Karena suami belum sanggup memenuhi
tuntutan istri akan kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan, maka timbullah
pertengkaran suami-istri yang berimplikasi tidak berfungsinya pelaksanaan
hak dan kewajiban, dengan kata lain telah terjadi nusyus di kalangan suami
atau istri, yang selanjutnya mengantar keduanya ke meja pengadilan.
Istri yang baik, meski penghasilan suaminya sedikit, namun ia akan
tetap menerima dan mensyukuri pendapatan suaminya.
Materi diakui
merupakan penunjang kebahagiaan rumah tangga, tetapi bagi istri yang baik,
materi bukan segala-galanya. Kemiskinan tidak dapat dijadikan dasar atau
pembenaran terhadap terjadinya pertengkaran dalam hidup berkeluarga,
226
sebagaimana Asma’ ra. Dalam suatu riwayat yang dinukil oleh Zakariyya
al-Kandahlawi dari hadis riwayat Bukhari diceriterakan bahwa Asma’ ra.
telah menceriterakan keadaan hidupnya, ia berkata : “ketika pernikahan
saya dengan Zubair ra., dia tidak memiliki harta apapun, tidak mempunyai
tanah, tidak ada seorang pembantu pun untuk membantu pekerjaan, dan
juga tidak memiliki sesuatu pun. Hanya ada satu unta milik saya yang biasa
digunakan sebagai pembawa air. Juga, ada seekor kuda. Saya yang
menumbuk kurma untuk makanan hewan-hewan tersebut.
Saya yang
memenuhi tempat air sendirian, apabila embernya pecah, maka saya
perbaiki sendiri.
Pekerjaan merawat kuda saya yang mengurusnya,
mencarikan rumput dan memberinya makan.
Semua pekerjaan rumah
tangga, saya kerjakan sendiri. Semua pekerjaan yang sangat sulit bagi saya
ialah memberi makan untuk kuda-kuda. Saya kurang pandai membuat roti,
biasanya saya hanya mencampurkan gandum dengan air. Kemudian, saya
bawa kepada tetangga saya,
yaitu seorang wanita ansār
untuk
memasakkannya, ia adalah seorang wanita yang sangat ikhlas, dialah
memasakkan roti untuk saya. 89
Kisah Asma di atas menunjukkan bahwa betapapun kekurangan dan
kemisikinannya,
ia
tetap
memperlihatkan
kesetiaannya
dan
tidak
meninggalkan suaminya. Meninggalkan suami di saat miskin merupakan
89
Zakariyya al-Kandahlawi, Hikāyah al-Ṣahābah, diterjemahkan oleh Abdul Wahib,
Kisah-Kisah Sahabat, (Bandung: Pustaka Da’i, 1999), h. 204
227
tindakan yang tidak manusiawi, kecuali kalau si suami memang pemalas dan
tidak mau bekerja. Kemiskinan bukan merupakan kehinaan dan bukan pula
sesuatu yang dapat diramalkan kapan datang dan berakhirnya. Karena itu,
seseorang harus bersikap optimis dalam hidupnya.
Kewajiban suami adalah memenuhi kebutuhan dasar istri dan
keluarganya, seperti pangan, sandang, dan papan, sesuai dengan tingkat
kemampuan suami berdasarkan hadis nabi :
‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل‬
َ ِ‫َﻋﻦْ َﺟ ﱢﺪ ِه ُﻣ َﻌﺎ ِوﯾَﺔَ ا ْﻟﻘُ َﺸ ْﯿ ِﺮيﱡ ﻗَﺎ َل أَﺗَ ْﯿﺖُ َر ُﺳﻮْ َل ﷲ‬
َ‫ط ِﻌ ُﻤﻮْ ھُﻦﱠ ِﻣ ﱠﻤﺎ ﺗَﺄْ ُﻛﻠُﻮْ نَ َوا ْﻛ ُﺴﻮْ ھ ُـﻦﱠ ِﻣ ﱠﻤﺎ ﺗَ ْﻜ ُﺴﻮْ ن‬
ْ َ‫ أ‬:‫ﻓَﻘ ُ ْﻠﺖُ َﻣﺎﺗَﻘُﻮْ ُل ﻓِﻰ ﻧِ َﺴﺎﺋِﻨَﺎ ﻗَﺎ َل‬
‫ رواه أﺑﻮ داود‬. ‫ﺤﻮْ ھ ُـﻦﱠ‬
ُ ‫َو َﻻﺗُﻘَﺒﱢ‬
‫َو َﻻﺗَﻀْ ِﺮﺑُﻮْ ھُﻦﱠ‬
Artinya :
Dari kakeknya Mu’awiyah al-Qusyairiy berkata: saya mendatangi
Rasulullah saw, dia berkata, lalu saya bertanya apa yang menjadi
kewajiban kami kepada istri-istri kami. Nabi menjawab memberi
makan apa yang kamu makan, memberi pakaian apa yang kamu pakai,
jangan memukul, dan mencela mereka. (riwayat Abu Dawud).
Tidak terpenuhinya kewajiban suami seperti yang dijelaskan dalam
hadis di atas, tidak berarti bahwa seorang istri serta merta harus
meninggalkan suaminya dan bersikap nusyus.
Ia tentu dituntut untuk
bersabar, kecuali bila suaminya itu pemalas atau menghambur-hamburkan
uang di luar lingkungan rumah tangganya.
Selain itu, seorang istri dituntut untuk pandai-pandai menyesuaikan
diri dengan kondisi ekonomi suami. Melakukan penyeimbangan antara
228
pengeluaran dan pendapatan.
sebuah
keluarga,
dalam
Penyeimbangan anggaran rumah tangga
perwujudannya
relatif
bertingkat-tingkat.
Perwujudan makna hidup sederhana bagi “the have” (kaum berada), praktis
jauh berbeda dengan perwujudan makna hidup sederhana bagi “the have
not” (kelompok miskin). Sederhananya konglomerat, jelas akan berbeda
dengan sederhananya orang miskin.
Usaha penyeimbangan anggaran
pengeluaran dan pendapatan keluarga harus mendapatkan perhatian yang
serius dari setiap keluarga muslim.
Penyeimbangan
anggaran
keluarga,
masuk
dalam
kategori
pengertian keumuman lafaz QS al-ṭalāq/65: 790 yang memerintahkan agar
suami
memberikan
nafkah
kepada
keluarganya
sesuai
dengan
kemampuannya. Selain QS al-ṭalāq/65: 7 tersebut, terdapat pula ayat lain,
yaitu QS al-A’rāf/7:3191 yang memerintahkan untuk tidak berlebih-lebihan
dalam hal makan minum, ditambahkan oleh hadis dalam hal bersedekah dan
berpakaian. 92 Dari sini kemudian dapat dipahami bahwa keserderhanaan
yang dimaksudkan bukan hanya dalam hal seperti yang tersurat dalam teks
ayat dan hadis, yaitu makan, minum, bersedekah, dan berpakaian, tetapi juga
90
... ‫ ﻟﯿﻨﻔـﻖ ذو ﺳﻌـﺔ ﻣﻦ ﺳﻌـﺘﮫ وﻣﻦ ﻗﺪر ﻋﻠﯿﮫ رزﻗـﮫ ﻓﻠﯿﻨﻔﻖ ﻣﻢ ءاﺗ ﮫ ﷲ‬Artinya: “Hendaklah orang yang
mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya... Tim Penterjemah alQur’an, op. cit., h. 946
91
‫وﻛﻠﻮا واﺷﺮﺑﻮا وﻻﺗﺴـﺮﻓﻮا إﻧﮫ ﻻ ﯾﺤﺐ اﻟﻤﺴـﺮﻓﯿﻦ‬... Artinya: makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Ibid., h.
225
92
‫ ﻛﻠﻮا واﺷﺮﺑﻮا وﺗﺼـﺪﻗﻮا واﻟﺒﺴـﻮا ﻣﺎ ﻟﻢ ﯾﺨﺎﻟﻄـﮫ إﺳﺮاف أوﻣﺨﯿﻠـﺔ‬Artinya: “Makan dan minumlah,
bersedekah dan berpakaianlah, tanpa berlebih-lebihan atau sombong.”
229
dalam semua aspek kehidupan. Menyadari hal ini, para isteri muslimah
pantang menuntut pemberian nafkah di luar kemampuan maksimal suami,
lebih-lebih lagi ia akan pantang meminta cerai karena kurangnya nafkah
keluarga.
Kurangnya nafkah dari suami tidak dapat dijadikan sumber
pertengkaran, dan dasar pembenaran untuk menuntut cerai, sebagaimana
ditunjukkan dalam kehidupan para isteri nabi yang jauh di bawah standar,
yaitu mereka hidup berbulan-bulan tanpa makanan yang cukup, melainkan
“aswadāin” (air dan kurma), namun mereka tidak meminta cerai dari nabi.93
Istri yang baik adalah mereka yang meyakini bahwa seberapa besar
nafkah yang diterima dari suaminya, itulah kadar rezki yang diberikan Allah
kepadanya. Karena itu, ia akan membelanjakannya tidak lebih dari besarnya
nafkah yang ia terima. Seandainya hanya kebutuhan primer saja yang dapat
terpenuhi, meski dengan kadar di bawah standar minimal misalnya, ia tetap
menerimanya dengan penuh keikhlasan, ketabahan, dan berpuas diri
terhadap pemberian Sang Maha Pemberi Rezki, Allah swt. Ia juga pantang
memperturutkan keinginan nafsunya dan tidak mudah untuk mencari
“pinjaman.”
93
: ‫ وﷲ ﯾﺎاﺑن أﺧﺗﻰ إن ﻛﻧﺎ ﻧﻧظر إﻟﻰ اﻟﮭﻼل ﺛم اﻟﮭﻼل‬: ‫وﻋن ﻋروة ﻋن ﻋﺎﺋﺷﺔ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻧﮭﺎ أﻧﮭﺎ ﻛﺎﻧت ﺗﻘول‬
‫ اﻷﺳودان‬: ‫ ﯾﺎﺧﺎﻟﺔ ﻓﻣﺎ ﻛﺎن ﯾﻌﯾﺷﻛم ؟ ﻗﺎﻟت‬: ‫ ﻗﻠت‬.‫ﺛﻼﺛﺔ أھﻠﺔ ﻓﻰ ﺷﮭرﯾن وﻣﺎ أوﻗـد ﻓﻰ أﺑﯾﺎت رﺳول ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم ﻧﺎر‬
.‫ ﻣﺗﻔق ﻋﻠﯾﮫ‬....... .‫ اﻟﺗﻣر واﻟﻣﺎء‬Artinya: Dari ‘Urwah dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Demi Allah wahai
anak saudaraku, jika kami memandang bulan hilal, kemudian bulan hilal: hingga tiga hilal dalam
dua bulan, tidaklah asap atau api menyala di rumah-rumah Rasulullah saw, saya bertanya: wahai
bibiku, dengan apa Rasulullah saw hidup ? dia berkata: al-Aswadān, yaitu kurma dan air…. Lihat,
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Cet. II, Juz XXXXI,(t.t, Muassasah al-Risālah, 1999), h.
115. Lihat pula, Muhyiddin, Riyādussalihin, Cet. I, (Kairo: Matba’ah al-Istiqāmah, 1939), h. 223
230
Dalam era seperti saat ini, lembaga atau badan usaha bagaikan
jamur di musim hujan yang siap melayani “pinjaman”. Jika pinjaman yang
bersifat produktif misalnya, niscaya dampaknya lebih positif dibandingkan
dengan hutang yang bersifat konsumtif. Meskipun demikian, menghindari
pinjaman atau kredit (baik produktif maupun konsumtif), tentu akan lebih
baik lagi. Karena dengan berhutang, sebenarnya adalah memaksakan diri
menanggung beban ekonomis yang berada di luar kemampuan seseorang.
Karena itu, nabi senantiasa berdoa agar dijauhkan dari himpitan dan beban
utang kepada orang lain.94
4) Faktor Suggesti Bawah sadar
Faktor suggesti bawah sadar dapat menjadi penyebab suami atau
istri menjadi nusyus. Hal ini sesuai dengan pendapat ahli pemrograman
pikiran bawah sadar salah satunya adalah Ericson (1901-1980). Menurut
Ericson dalam Ja’faruddin 95 , Suggesti bawah sadar terjadi
pada lima
kondisi yaitu suggesti dari orang yang sangat berpengaruh yang ia hormati,
kata-kata yang selalu diulang-ulang, kata-kata yang diucapkan dalam
keadaan emosi yang sangat intens, pengaruh kelompok/lingkungan/media,
dan terakhir adalah dengan menggunakan metode Hypnosis.
94
‫ اﻟﻠﮭم إﻧﻰ أﻋوذ ﺑك ﻣن ﻏﻠﺑـﺔ اﻟدﯾن وﻗﮭـر اﻟرﺟﺎل‬: ‫ ﻗﺎل رﺳول ﷲ ﺻم‬: ‫ ﻋن أﺑﻰ أﻣﺎﻣﺔ‬artinya : dari Abū
Umāmah, Rasulullah saw bersabda : ya Allah aku berlindung kepadamu dari kekuasaan utang
95
Ja’faruddin,Unconscious Mind Program dalam Pembelajaran Matematika, Makassar:
Tesis tahun 2010
231
Kata-kata istri yang selalu berulang dan dalam kondisi suami istri
sangat intens menjadikan kata-kata tersebut menjadi suggesti bawah sadar
oleh suami.
Pengulangan kata-kata tertentu seperti “Kawin saja”, atau
“Cerai” menyebabkan terjadinya kejenuhan pada pikiran kritis suami,
sehingga pada saat tertentu kata-kata tersebut akan menetap dalam pikiran
bawah sadar suami yang pada gilirannya akan membuat suami betul-betul
melaksanakan suggesti tesebut.
Kondisi emosi suami pada saat kata-kata ini diucapkan adalah pada
kondisi emosi suami dalam keadaan sangat intens. Emosi intens ini sangat
dipengaruhi oleh terjadinya syikak suami dan istri. Kondisi emosi ini juga
menjadi penguat akan dilaksanakannya suggesti dari istri yang sebenarnya
juga sudah diucapkan secara berulang-ulang setiap kali terjadi syikak.
b. Faktor Nusyus dari Suami.
1) Faktor Akhlak
Nusyus selain bisa bersumber dari faktor istri, juga bisa berasal
dari faktor suami seperti yang terlihat dari hasil penelitian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nusyus yang dilakukan oleh suami disebabkan oleh faktor
akhlak yang buruk. (lihat kasus 5a). Kebiasaan suami yang suka menyakiti istri,
baik secara verbal maupun fisik, “pencemburu”,96 menunjukkan gambaran dari
96
Umumnya, sifat “pencemburu” dimaknai secara deskruktif. Namun di sini perlu
ditegaskan bahwa cemburu sesuai dengan norma-norma bukanlah sesuatu yang negatif, bahkan
diperlukan atau diwajibkan. Sebagai kepala rumah tangga hendaknya selalu menjaga kemuliaan
232
akhlak seorang suami yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Akhlak buruk
suami juga tercermin pada perilaku suami yang suka minum minuman keras dan
suka bermain judi.
Suami sebagai kepala rumah tangga, pembimbing, dan pengayom
istri dan keluarganya, tidak sepantasnya melakukan hal-hal yang destruktif
yang bertentangan dengan norma agama seperti memukul, minum minuman
keras, main judi, dan berbagai larangan lainnya. Karena, semua perilaku
menyimpang tersebut, selain bertentangan dengan agama yang diancam
siksa, juga berpengaruh pada psikis atau kejiwaan yang bersangkutan.
Alex Karl mengatakan: “Manusia tidak mengetahui jeleknya akibat
dari sebuah dosa, pengaruhnya tidak akan bisa diobati secara umum”. 97
Socrates juga mengatakan “Kriminalis biasanya lebih menderita dari
korbannya. Siapapun perilaku kriminal lantas ia tidak dihukum, maka ia
akan menjadi manusia yang paling menderita.”98
dan kehormatan rumah tangganya. Karena itu, suami sebagai penjaga kehormatan dalam
kehidupan rumah tangga mesti cemburu bila isteri dan anak perempuannya dekat atau bercanda
yang melewati batas dengan lelaki lain. Rasulullah bersabda : ‫أﺗﻌﺠﺒـﻮن ﻣﻦ ﻏﯿﺮة – أﻧﺎ وﷲ أﻏﯿـﺮ ﻣﻨـﮫ وﷲ‬
‫ أﻏﯿﺮ ﻣﻨﻰ‬Artinya: apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad ? Demi Allah, aku lebih
pencemburu daripada dia dan Allah lebih pencemburu daripada aku. Lihat, Syekh Muhammad
Kan’an, Mabādi’ al-Mu’āsyarah al-Zaujiyyah, diterjemahkan oleh Ali Muhdi Amnur, Kado Indah
Untuk Mempelai, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2009), h. 65. Lihat pula, Mahmud Muhammad alJauhari dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal, al-Akhawāt al-Muslimāt wa Binā’ al-Usrah alQur’āniyyah, diterjemahkan oleh Kamran As’ad Irsyady dan Mufliha Wijayati, Membangun
Keluarga Qur’ani, Panduan Untuk Wanita Muslimah, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 192
97
Azhar Arsyad, et. al., Memahami Kebahagiaan antara Impian dan Kenyataan, Suatu
Upaya Pengembangan Inner Capacity, (Makassar: Alauddin Press, 2006), h. 24
98
Ibid.
233
Bagaimana pun suami adalah teladan bagi isteri.
Jika suami
berakhlak mulia, maka kesannya bukan hanya kepada dirinya semata,
melainkan akan berimplikasi kepada istri dan keluarganya. Akhlak mulia
tersebut di antaranya adalah : takwa kepada Allah swt, memelihara kesucian
dan kebersihan diri, ikhlas, mampu mengendalikan emosi, pemaaf,
bertindak adil, sabar, dan syukur.
diupayakan
oleh
masing-masing
Semua sifat-sifat ini hendaknya
suami
istri,
sehingga
menjadi
kepribadiannya.
Tindakan menyakiti istri, baik verbal maupun fisik, selain menunjukkan
krisis akhlak, juga berarti suami telah mengabaikan mu’āsyarah bi al-ma’rūf
dalam relasi suami-istri yang diperintahkan oleh Allah swt. Dalam hal ini suami
telah nusyus.
Mu’āsyarah bi al-ma’rūf
yang merupakan perintah Allah,
bermakna saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi,
saling menyenangkan, saling menghargai dan menghormati, tidak saling
menyakiti, dan tidak saling memperlihatkan kebencian. Masing-masing harus
berlaku sopan terhadap pasangannya. Rasulullah saw bersabda :
‫ ﺧَ ْﯿ ُﺮ ُﻛ ْﻢ‬: ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ ِ‫ ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮْ ُل ﷲ‬: ْ‫َﻋﻦْ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔَ َرﺿِ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨﮫُ ﻗَﺎﻟَﺖ‬
99
‫ أﺧﺮﺟـﮫ اﻟﺘﺮﻣﺬي‬. ْ‫ھﻠِﻰ‬
ْ َ‫ َوأَﻧَﺎ ﺧَ ْﯿ ُﺮ ُﻛ ْﻢ ِﻷ‬، ‫ﻷ ْھـﻠِـ ِﮫ‬
َ ِ ‫ﺧَ ْﯿـ ُﺮ ُﻛ ْﻢ‬
Artinya :
99
Lihat, Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmi....... Juz IX, h. 6844
234
Dari ‘Ᾱisyah r.a. Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang
terbaik kepada keluarganya, dan saya adalah yang terbaik terhadap
keluargaku” (H.R. al-Tirmiżiy)
Dalam kaitan relasi suami istri itu, yang perlu diperhatikan adalah bahwa
antara mereka berdua hendaknya mempunyai pandangan yang sama tentang
kesetaraan hamba-hamba Allah, sehingga suami tidak mensubordinasi istrinya,
dan begitupun sebaliknya. Dalam hal ini, Allah swt tegaskan dalam QS alḥujurāt/49: 13.
‫ﯾَﺎأَ ﱡﯾﮭَﺎ اﻟﻨﱠﺎسُ إِﻧﱠﺎ َﺧﻠَ ْﻘﻨَ ُﻜ ْﻢ ِﻣﻦْ َذ َﻛ ٍﺮ َوأ ُ ْﻧﺜَﻰ َوﺟَ َﻌ ْﻠﻨَـ ُﻜ ْﻢ ُﺷ ُﻌﻮْ ﺑًﺎ َوﻗَﺒَﺎﺋِﻞَ ﻟِﺘَ َﻌﺎ َرﻓُﻮْ ا إِنﱠ‬
‫أَ ْﻛﺮَ َﻣ ُﻜ ْﻢ ﻋِ ﻨـْ َﺪ ﷲِ أَ ْﺗﻘَ ُﻜ ْﻢ إِنﱠ ﷲَ َﻋﻠِ ْﯿ ٌﻢ ﺧَ ﺒِ ْﯿـ ٌﺮ‬
Artinya :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”100
2) Faktor Lokasi
Selain faktor akhlak, faktor lokasi juga dapat menjadi penyebab
nusyusnya istri atau suami. Hasil penelitian menunjukkan sebagaimana pada
kasus 7a, bahwa faktor terpisahnya tempat tinggal suami-istri dapat
menyebabkan munculnya masalah dalam keluarga. 101 Perbedaan tempat
tinggal, selain akan berakibat pada berkurang atau hilangnya cinta dan kasih
100
Tim Penterjemah al-Qur’an, loc. cit.
Pada kasus yang sama, seorang mahasiswa S3 pada salah satu perguruan tinggi di
Jawa, karena terpisahnya tempat tinggal mereka yang menyebabkan perselingkuhan isteri dengan
adik iparnya, akhirnya berakhir dengan perceraian di Meja Pengadilan Agama Kota Palu.
101
235
sayang antara suami dan istri, juga secara otomatis berimplikasi pada
terabaikannya pelaksanaan kewajiban kedua belah pihak, baik berbentuk
pelayanan, perlindungan, pembinaan, maupun pemberian nafkah secara
baik.
Dalam kaitan ini, terdapat dua pelanggaran atau nusyus suami
sekaligus, yaitu di samping meninggalkan istri dalam waktu yang relatif
lama, juga tidak memberikan belanja atau nafkah.
Meski para ulama fikih tidak menyebutkan berapa lama seorang
suami diperkenankan meninggalkan istrinya, dalam arti berpisah tempat
tinggal antara suami dan istri. Namun, dalam riwayat disebutkan bahwa
‘Umar Ibn al-Khaṭṭāb tidak menahan tentara di luar daerah melebihi masa
enam atau empat bulan, sebagaimana riwayat al-Baihaqī dari jalur Mālik.
Tindakan ‘Umar tersebut didasarkan pada pernyataan Ḥafṣah (istri
Rasulullah) yang mengatakan bahwa kemampuan seorang wanita bertahan
dan bersabar ditinggal oleh suaminya adalah “enam atau empat” bulan. 102
Riwayat tersebut disebutkan sebagai berikut :
‫ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨـﮫُ ِﻣﻦَ اﻟﻠﱠ ْﯿ ِﻞ‬
ِ ‫ب َر‬
ِ ‫ ﺧَ َﺮ َج ُﻋ َﻤـ ُﺮ ا ْﺑ ِﻦ ا ْﻟﺨَ ﻄﱠﺎ‬: َ‫َﻋ ِﻦ ا ْﺑﻦِ ُﻋ َﻤـ َﺮ ﻗَﺎل‬
َ‫ ﺗَﻄَﺎ َو َل ھَ َﺬا اﻟﻠﱠ ْﯿ ُﻞ َوا ْﺳـ َﻮ ﱠد َﺟﺎﻧِﺒُـﮫُ * َوأَ َرﻗﱠﻨِﻰ أَنْ ﻻَ ﺣَ ﺒِ ْﯿـﺐ‬: ‫ﻓَ َﺴ ِﻤـ َﻊ ا ْﻣ َﺮأَةً ﺗَﻘُـﻮْ ُل‬
َ‫ َﻛ ْﻢ أَ ْﻛﺜَﺮ‬: ‫ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨﮭُﻤـ َﺎ‬
ِ ‫ﺖ ُﻋ َﻤـ َﺮ َر‬
ِ ‫ﺼـﺔَ ﺑِ ْﻨ‬
َ ‫ب ﻟِ َﺤ ْﻔ‬
ِ ‫ ﻓَﻘَﺎ َل ُﻋ َﻤـ ُﺮ ْﺑﻦِ ا ْﻟ َﺨﻄﱠﺎ‬.ُ‫أ ُﻻَ ِﻋﺒُـﮫ‬
102
Lihat, Yūsuf al-Kandahlawī, Ḥayāt al-Ṣaḥābah, (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 2004),
h. 241.
236
: ‫ ﻓَﻘَﺎ َل ُﻋ َﻤـ ُﺮ‬.‫ ِﺳـﺘﱠـﺔَ أَوْ أَرْ ﺑَ َﻌـﺔَ أَ ْﺷﮭُـ ٍﺮ‬: ْ‫َﻣﺎ ﺗَﺼْ ﺒِ ُﺮ ا ْﻟ َﻤﺮْ أَةُ َﻋﻦْ زَ وْ ِﺟـﮭَـﺎ ؟ ﻓَﻘَﺎﻟَﺖ‬
. ‫َﻻأَﺣْ ﺒِﺲُ ا ْﻟﺠَ ْﯿـﺶَ أَ ْﻛﺜَـ َﺮ ِﻣﻦْ ھَـ َﺬا‬
Artinya :
Dari Ibn ‘Umar, ia berkata, ‘Umar pada suatu malam keluar lalu
mendengar seorang wanita bersenandung : “Malam ini begitu panjang
dan tepi langit begitu hitam * Namun aku tak bisa tidur karena tak ada
kekasih yang aku cumbui. ‘Umar pun bertanya kepada Ḥafṣah binti
‘Umar : berapa lama seorang wanita dapat bersabar di tinggal oleh
suaminya. ? Ḥafṣah menjawab enam atau empat bulan. ‘Umar berkata
: Saya tidak menahan tentara lebih dari masa ini.
Jika didasarkan kepada tindakan ‘Umar di atas, maka suami dan istri
sebaiknya tidak berpisah lebih dari masa enam bulan. Dengan demikian,
perjanjian taklik talak103 yang biasanya dibacakan sesudah akad nikah, yang
mana suami berjanji tidak akan meninggalkan istri selama dua tahun
berturut-turut, dapat diubah dari masa dua tahun menjadi enam bulan.
Selain itu, dengan berpisahnya secara berjauhan tempat tinggal
suami-istri, maka dapat dipastikan bahwa pelayanan kebutuhan biologis
suami-istri telah terabaikan. Jika kebutuhan biologis ini tidak tersalurkan,
terutama bagi perkawinan usia muda, maka bahayanya jauh lebih besar
daripada kebutuhan lainnya.
Kebutuhan biologis merupakan salah satu
kewajiban utama bagi istri untuk memenuhinya, di samping kebutuhan istri
itu sendiri. Pemenuhan kebutuhan biologis, akan menambah cinta kasih
103
Lebih tepat bila dikatakan perjanjian atau sumpah. Sebab sumpah bila dilanggar
konsekwensinya adalah kaffarah (denda). Sedangkan taklik talak akan mengakibatkan jatuhnya
talak dengan sendirinya, jika taklik talak tersebut dilanggar. Dengan begitu, akan mengakibatkan
jatuhnya talak berkali-kali.
237
antara suami-istri. Di samping itu, akan membentengi kedua pasangan dari
hal-hal destruktif yang tidak diinginkan dalam agama.
Akibat tidak terpenuhinya kebutuhan biologis ini, karena mereka
berpisah tempat tinggal, maka tidak sedikit istri atau suami melakukan
perselingkuhan atau kawin di bawah tangan. Ketika rahasia perselingkuhan
mereka terbuka, maka pertengkaran dan percekcokan pun semakin
bertambah, yang kemudian berakhir dengan perceraian di meja Pengadilan
Agama.
3) Faktor eksternal/faktor luar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa campur tangan pihak luar,
seperti mertua dalam suatu rumah tangga, juga dapat menjadi faktor
nusyusnya istri atau suami.
Kasus 8a di atas menggambarkan bagaimana terjadinya nusyus
suami pada istri. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa sejak
pasangan ini menikah, pihak istri merasa tidak mempunyai peran dalam
mengatur rumah tangganya termasuk dalam hal keuangan yang disebabkan
oleh intervensi dari mertua.
Suami sebagai kepala rumah tangga tidak
mampu berbuat apa-apa walaupun sudah diingatkan oleh istrinya.
Independensi sikap suami terhadap kehidupan istrinya sangat dipengaruhi
oleh orang tuanya. Sebagai kepala rumah tangga seharusnya suami mampu
238
memberikan solusi terhadap masalah ini. Namun suami mengambil tindakan
yang dapat dikategorikan sebagai nusyus, yaitu mengusir istri dari tempat
kediamannya atas dukungan orang tua suami.
Campur tangan oleh pihak luar dalam suatu rumah tangga memang
acapkali membawa masalah, terutama bila mempunyai mertua yang egois,
cerewet, suka mengatur, dan sebagainya. Hal-hal yang sepele dapat menjadi
besar, bila pasangan suami-istri tidak arif dan sabar dalam menyikapinya.
Oleh karena itu, suatu rumah tangga akan lebih baik bila tidak serumah
dengan orang tua atau mertua.
Rumah tangga yang independen dan mandiri, meski dengan rumah
sewa yang terjangkau dan ekonomi yang pas-pasan, jauh akan lebih baik
bila dibandingkan dengan pasangan suami-istri yang serumah dengan orang
tua atau mertua, meski dengan rumah yang mewah dan ekonomi yang lebih.
Dalam pengamatan penulis sepintas terlihat, bahwa ketahanan
keluarga yang dibangun di atas kesusahan dan penderitaan bersama, jauh
lebih bertahan dibandingkan dengan pasangan perkawinan yang dibangun di
atas kemewahan dan kenikmatan. Terbukti, melalui acara inforteinment di
beberapa media televisi kita menyaksikan bagaimana para kaum yang
dinamakan “selebriti” dengan mudahnya melakukan kawin cerai. Pada hal
dari sisi materi tidak ada yang kurang dari mereka, bahkan kehidupan
239
mereka memperlihatkan kehidupan yang sangat fulgar, penuh kemewahan
dan kenikmatan duniawi.
4) Faktor cemburu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu pemicu terjadinya
perceraian dari suami adalah cemburu.
Kemungkinan terjadinya
kecemburuan oleh suami mempunyai persamaan dengan
terjadinya
kecemburuan oleh istri, yaitu (1) cemburu yang tidak beralasan, dan (2)
cemburu yang beralasan.
Kecemburuan yang terdapat dalam hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ternyata kecemburuan suami terhadap istrinya tidaklah beralasan
sebagaimana pada kasus 9a. Kecemburuan ini kemudian memicu tindakan
suami untuk berkata kasar, bahkan menerlantarkan istrinya selama kurang
lebih satu tahun, pada hal mereka baru membina rumah tangga sembilan
bulan lamanya.
Seandainya seorang suami yang baik dan bertanggungjawab, maka
tentu akan mengambil tindakan yang bijaksana, yaitu menempuh cara yang
disebutkan dalam al-Qur’an ketika terdapat tanda-tanda terjadinya nusyus
dari istri, yaitu menasehatinya dengan baik, memberikan pukulan psikologis
dengan berpisah tempat tidur, “bukan pergi dari rumah”, dan bila ini juga
gagal, maka tidak mengapa memberi teguran keras dengan pukulan yang
240
tidak menimbulkan bekas yang lama, seperti pukulan dengan lidi atau
semacamnya dengan niat menyadarkan dan mengembalikan kepada hukumhukum Allah. Meskipun tentu yang lebih bijaksana adalah bersabar dan
berdoa agar Allah memberikan kesadaran kepada istrinya.
Sikap kesabaran terhadap istri pernah ditunjukkan oleh ‘Umar bin
Khattab, yaitu di saat seseorang mengadu kepada ‘Umar tentang keburukan
akhlak istrinya yang suka marah, maka beliaupun menjawab bahwa istrinya
pun sering marah, tetapi ia mensikapinya dengan penuh kesabaran, dan
mengatakan bahwa para istri adalah wajar bila mereka marah, sebab
pekerjaan rumah yang mereka lakukan sesungguhnya bukanlah tugasnya,
melainkan tugas suami.
2. Bentuk Nusyus
a. Bentuk Nusyus Istri
1) Meninggalkan Rumah Tanpa Izin Suami
Faktor–faktor penyebab di atas menimbulkan bermacam-macam
bentuk nusyus yang dapat dilakukan oleh isteri maupun suami. Kasus 1b di
atas menunjukkan bahwa istri telah melakukan nusyus dengan meninggalkan
rumah tanpa izin suami, bahkan telah melampaui batas agama, yaitu keluar
bersama pria lain yang bukan mahramnya.
Sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, bahwa salah satu kewajiban istri adalah mematuhi suami dan tidak
meninggalkan rumah pada saat tidak ada izin daripadanya.
241
Meninggalkan rumah tanpa izin suami terlebih lagi bila suami
melarangnya, tentu bukanlah tindakan yang terpuji. Selain melanggar perintah
Allah karena tidak mentaati aturan dan norma dalam relasi suami-istri, juga dapat
menyakiti hati dan perasaan suami.
Jika hati dan perasaan suami telah dilukai,
maka tentu dapat membawa efek negatif. Meski pada mulanya sakit hati dan
perasaan itu tidak terlalu besar, namun bila terakumulasi sedemikian rupa, maka
lambat laun tidak mustahil dikemudian hari akan menggumpal lalu meledak di saat
terjadinya pertengkaran kedua belah pihak. Oleh karena itu, seyogiyanya istri itu
memperhatikan apa yang menjadi kewajibannya, meskipun tampaknya kewajiban
itu merupakan hal-hal yang bersifat sepele.
2) Istri Selingkuh104
Perselingkuhan yang dilakukan oleh istri adalah bentuk pelanggaran yang
amat mengerikan dalam suatu rumah tangga. Selain melanggar norma agama, juga
sangat menyakitkan hati sang suami, terutama di saat suami masih sangat mencintai
dan menyayanginya. Perselingkuhan istri dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
yang sulit dimaafkan, bagaimanapun sabar dan penyayangnya seorang suami.
Umumnya kasus perselingkuhan yang terjadi di Indonesia, pada akhirnya
berujung dengan perceraian di Pengadilan Agama. Oleh karena itu, suatu rumah
tangga hendaknya berusaha semaksimal mungkin untuk menghindarinya.
104
Selingkuh artinya : tidak berterus terang; tidak jujur; suka menyembunyikan sesuatu
untuk kepentingan sendiri; curang; dan serong. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 802
242
Perselingkuhan, terutama jika istri telah melakukan hubungan perzinahan
dengan lelaki lain, maka ancaman hukumannya sangatlah berat. Bagi laki-laki atau
perempuan yang gairu muḥṣan atau al-bikr, hukumannya adalah seratus kali
cambuk/dera, berdasarkan QS al-Nūr/24: 2 disebutkan :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang
beriman.”105
Adapun perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki/perempuan yang muḥṣan,
maka para ulama sepakat bahwa hukumannya adalah dirajam sampai mati,
berdasarkan hadis Rasulullah, berasal dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid alJuhami yang mengatakan: “Teliti ya Unais, apabila wanita ini (isteri seseorang)
mengaku, maka rajamlah dia.” Hadis lain, menyebutkan tentang “kasus Ma’iz
yang mengadu kepada Rasulullah saw bahwa ia telah melakukan perzinaan, maka
Rasulullah ketika itu merajamnya.”106
Berdasarkan keterangan di atas, maka pasangan suami-istri hendaknya
benar-benar menjaga hal-hal yang dapat menjerumuskan ke dalam perzinaan, salah
satunya adalah perselingkuhan.
Perselingkuhan dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, di antaranya :
105
Tim Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 543
Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6 (Jakarta: Ichtiar Baru,
1997), h. 2029
106
243
1) membebaskan pandangan mata. Menjaga pandangan dari hal-hal yang
bertentangan dengan agama, misalnya menahan pandangan dengan pandangan
nafsu merupakan antisipasi pertama yang dapat mencegah seseorang dari
perselingkuhan. Karena itu, Allah swt memerintahkan agar setiap pribadi
muslim, laki-laki atau perempuan agar menundukkan pandangannya (gaḍḍu albaṣar) sebagaimana diungkapkan dalam QS al-Nūr/24: 30 – 31
‫ﻗﻞ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﯿﻦ ﯾﻐﻀﻮا ﻣﻦ أﺑﺼﺎرھﻢ وﯾﺤﻔﻈﻮا ﻓﺮوﺟﮭﻢ ذﻟﻚ أزﻛﻰ ﻟﮭﻢ إن ﷲ‬
‫ وﻗﻞ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﺎت ﯾﻐﻀﻀﻦ ﻣﻦ أﺑﺼﺎرھﻦ وﯾﺤﻔﻈﻦ ﻓﺮوﺟﮭﻦ وﻻ ﯾﺒﺪﯾﻦ‬.‫ﺧﺒﯿﺮ ﺑﻤﺎ ﯾﺼﻨﻌﻮن‬
...‫زﯾﻨﺘﮭﻦ إﻻ ﻣﺎظﮭـﺮ ﻣﻨﮭﺎ‬
Artinya :
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman; “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya”......
Berdasarkan ayat yang memerintahkan untuk menjaga pandangan di atas,
maka setiap muslim tidak boleh menganggap ringan perkara pandangan.
Pandangan seringkali menjadi kunci terjadinya malapetaka. Tidak sedikit
perempuan yang kabur dari rumah suaminya, pergi bersama laki-laki lain yang
dicintainya. Begitu pula, tidak sedikit laki-laki menceraikan istrinya, atau
keharmonisan rumah tangga menjadi terganggu karena suami melihat perempuan
244
lain dan tertarik kepadanya. Dari sini, kemudian Rasulullah mengingatkan tentang
“masalah pandangan” agar memalingkannya. Nabi bersabda :
‫ﻋﻦ ﺟﺮﯾﺮ ﺑﻦ ﻋﺒـﺪ ﷲ ﺳـﺄﻟﺖ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﻧﻈﺮ اﻟﻔﺠﺎءة‬
‫ رواه ﻣﺴﻠﻢ وداود واﻟﺘﺮﻣﺬي‬.‫ إﺻﺮف ﺑﺼﺮك‬: ‫ﻓﻘﺎل‬
Artinya :
Dari Jarīr bin ‘Abdullah, ia berkata : saya bertanya kepada Rasulullah saw
tentang pandangan yang tiba-tiba. Nabi menjawab: “Palingkanlah
pandanganmu”.
Hadis di atas menunjukkan agar setiap muslim tidak mempertajam atau
mempercermat pandangan yang tiba-tiba (pandangan sekilas). Tetapi yang harus
dilakukan adalah bagaimana pandangan pertama yang sekilas, -tanpa ada niat atau
kesengajaan untuk memandang- secepatnya dialihkan.
2) khalwat (menyepi) yang diharamkan. Khalwat dapat mengantarkan kepada
perselingkuhan yang dapat menyebabkan runtuhnya bangunan rumah tangga.
Khalwat dapat menggerakkan rasa senang dan nafsu syahwat dalam diri laki-laki
dan perempuan. Setan akan menyelinap di antara keduanya dengan cara merayu
dan memperdaya. Rasulullah bersabda :
‫ ﺳﻤﻌﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬: ‫ ﺳﻤﻌﺖ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﯾﻘﻮل‬: ‫ ﻗﺎل‬.‫ﻋﻦ ﻣﻌﺒـﺪ‬
107
.‫ ﻻ ﯾﺨﻠﻮن رﺟﻞ ﺑﺎﻣﺮأة إﻻ وﻣﻌﮭﺎ ذو ﻣﺤﺮم‬: ‫ﯾﺨﻄﺐ ﯾﻘﻮل‬
Artinya :
Dari Ma’bad, ia berkata, saya mendengar Ibn ‘Abbās berkata, saya
mendengar Nabi berkhutbah, ia berkata : Janganlah laki-laki dan perempuan
107
Abu al-Ḥusain al-Naisabūri, Ṣaḥiḥ Muslim, vol. II, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th.), h. 978
245
berkhalwat (berdua menyepi) dengan seorang perempuan kecuali terdapat
mahramnya.
Berdasarkan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa larangan menyepi
seorang laki-laki dengan seorang wanita tanpa mahram adalah bersifat umum.
Karena itu, seorang suami atau istri dituntut untuk menghindari keadaan menyepi
tersebut sehingga terhindar dari perselingkuhan.
Jika seandainya istri tidak lagi mencintai dan menyayangi suaminya,
karena mungkin suami telah mengabaikannya, maka jalan yang terbaik ditempuh
oleh istri adalah seperti petunjuk Imam Malik, yaitu mengadukan suaminya kepada
hakim (pengadilan). Hakimlah yang akan memberikan nasehat kepada sang suami.
Jika tidak dapat dinasehati, maka hakim dapat melarang istri untuk taat kepada
suami, tetapi suami tetap wajib memberikan nafkah. Hakim juga membolehkan
sang istri pisah ranjang, bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. Jika cara ini pun
gagal menyadarkan suami, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pukulan
kepada sang suami. Kalau dengan pukulan ini pun, suami belum juga memperbaiki
diri, maka hakim boleh memutuskan perceraian atas persetujuan istri. Langkah
hakim ini, seimbang dengan sikap yang diambil oleh suami dalam menghadapi istri
nusyus, sebagaimana QS al-Nisā’/4: 34. Perbedaannya, adalah untuk kasus nusyus
suami, yang melaksanakan tiga tahapan itu adalah hakim, bukan oleh istri itu
sendiri.108
108
Lihat, ‘Iz al-Dīn Balīg, Minhāj al-Ṣāliḥīn min Aḥādīṡ wa al-Sunnah Khātam al-Anbiyā’
wa al-Mursalīn, (Beirut: Dār al-Fikr, 1978), h. 345. Lihat pula, Nurjannah Ismail, Perempuan
dalam Pasungan, Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 279
246
Di samping itu, dapat pula dilakukan seperti petunjuk QS al-Nisā’/4: 128,
yaitu istri menasehati suami bersamaan dengan musyawarah, ketika kasusnya
belum diajukan kepada hakim atau pengadilan. Tidakkah saling memberi nasehat
antara sesama muslim itu dianjurkan oleh al-Qur’an dan hadis, lebih lagi antara
suami-istri ?. Meski demikian, jika nasehat istri tidak diperdulikan oleh suami dan
musyawarah pun gagal menghasilkan perubahan dan perbaikan, maka di saat itulah
istri mengadukan kasusnya kepada hakim atau pengadilan.
3) Merusak Properti milik Suami
Merusak barang suami sebagaimana pada kasus 7b di atas, seperti
menggunting baju dan sebagainya, jelas tidak dapat dibenarkan dalam agama,
meskipun itu merupakan reaksi dari aksi suami yang dicurigai telah selingkuh, atau
bahkan telah kawin. Seorang istri yang baik, dituntut untuk menyikapi setiap
permasalahan yang dihadapinya dengan cara-cara yang bijaksana, seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya, seperti menyikapi dengan ketabahan, kesabaran,
dan sebagainya. Sebab menyikapi dengan cara-cara anarkis, justeru akan membuat
hati suami semakin hancur, yang pada gilirannya berujung di meja pengadilan.
4) Mengusir Suami
Kasus 6b, mengusir suami adalah bentuk nusyus istri yang tidak kalah
bahayanya dibandingkan bentuk-bentuk nusyus yang lain. Betapa tidak, mengusir
suami merupakan pukulan psikologis yang sangat telak bagi seorang suami,
sekaligus menunjukkan keangkuhan dan ego dari seorang istri, meskipun terdapat
kemungkinan bahwa tindakannya itu merupakan reaksi dari aksi suami sendiri.
247
Tindakan istri mengusir suami menunjukkan superioritas istri dalam kasus
ini. Istri merasa punya kemandirian dan kemampuan di bandingkan dengan
suaminya. Dari sini dapat dipahami, bahwa dalam suatu perkawinan setidaknya
harus ada kafāah (kesejajaran atau keselarasan suami dengan istri), baik dari segi
umur, pendidikan, status sosial, maupun ekonomi, sehingga isteri tidak merasa lebih
unggul, lebih dominan, dan lebih hebat di bandingkan dengan status suaminya. Dari
sini pula menunjukkan bahwa suami seharusnya memiliki derajat setingkat di atas
istri dalam struktur keluarga muslim.
Dalam kaitan ini, al-Qur’an QS al-Nisā’/4: 5 menjelaskan bahwa untuk
menjaga status suami di mata istri sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga,
maka harta merupakan salah satu sarana untuk menegakkan kepemimpinan
tersebut, sebagaimana kandungan ayat “allatī ja’alallāhu lakum qiyāman” (harta
yang dijadikan oleh Allah sebagai pokok kehidupan bagi kamu, yaitu suami).
Karena itu, harta suami tidak boleh berada di bawah penguasaan istri. Ayat tersebut
selengkapnya berbunyi :
‫َوﻻَ ﺗُﺆْ ﺗُﻮا اﻟ ﱡﺴﻔَﮭَﺎ َء أَ ْﻣ َﻮاﻟَ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠﺘِﻰ ﺟَ َﻌ َﻞ ﷲُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻗِﯿَـ ًﻤﺎ َوارْ ُزﻗُﻮْ ھُ ْﻢ ﻓِ ْﯿﮭَﺎ َوا ْﻛ ُﺴﻮْ ھُ ْﻢ َوﻗُﻮْ ﻟُﻮْ ا ﻟَﮭُ ْﻢ‬
. ‫ﻗَﻮْ ﻻً َﻣ ْﻌ ُﺮوْ ﻓًﺎ‬
Artinya :
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, 109 harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
109
Dalam terjemah Departemen Agama disebutkan bahwa orang yang belum sempurna
akalnya ialah anak yatim yang belum baligh atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta
bendanya.
248
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik.
Al-ḍahhāq mengutip pendapat Ibn ‘Abbās mengatakan bahwa “alsufahā’” dalam ayat tersebut adalah anak dan istri, pendapat ini diikuti oleh Ibn
Mas’ud, Hakam bin ‘Uyainah, dan Hasan. Diikuti pula kalangan ulama tabi’in
seperti Mujāhid, ‘Ikrimah, dan Qatadah. Dengan demikian, ayat ini bermakna
janganlah kamu serahkan hartamu kepada istrimu.110 Meski Imam al-Ṭabariy
sebagaimana dikutip oleh Muhammad ‘Ali al-Sāyis
111
lebih memilih
pengertian umum lafaz “al-sufahā’”, sehingga kata tersebut berarti bahwa siapa
saja yang dianggap tidak mampu mengelola harta dengan baik, maka ia tidak
layak diberikan dan dipercayakan untuk men-tasarruf-kan harta.
Dari kedua pendapat tersebut, penulis memilih arti pertama.
Setidaknya ada dua alasan : (1) terdapat hadis yang mendukung pendapat
pertama, yaitu sabda Rasulullah saw yang berbunyi :
‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ إِنﱠ أَﺑَﺎ‬
َ ِ‫َﻋﻦْ َﻋﺎﺋِ َﺸﺔَ أَنﱠ ِھ ْﻨ ًﺪا أ ُ ﱠم ُﻣ َﻌﺎ ِوﯾَ ٍﺔ َﺟﺎ َءتْ َر ُﺳﻮْ لَ ﷲ‬
‫ﻰ ُﺟﻨَﺎ ٌح أَنْ آ ُﺧ َﺬ ِﻣﻦْ َﻣﺎﻟِ ِﮫ‬
‫ﻲ ﻓَﮭَﻞْ َﻋﻠَ ﱠ‬
‫ُﺳ ْﻔﯿَﺎنَ َر ُﺟ ٌﻞ َﺷ ِﺤ ْﯿ ٌﺢ َوإِﻧﱠﮫُ ﻻَﯾُ ْﻌﻄِ ْﯿﻨِﻰ َﻣﺎ ﯾَ ْﻜﻔِ ْﯿﻨِﻰ َوﺑَﻨِ ﱠ‬
.‫ رواه أﺑﻮ داود‬. ِ‫ﺮوْ ف‬
ُ ‫ﻚ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌ‬
ِ ‫ﻚ َوﺑَﻨِ ْﯿ‬
ِ ‫َﻣﺎﯾُ ْﻜﻔِ ْﯿ‬
ْ‫َﺷ ْﯿﺌًﺎ ؟ ﻗَﺎ َل ُﺧ ِﺬى‬
Artinya :
Dari ‘Aisyah ra bahwa Hindun, ibu Mu’awiyah datang kepada
Rasulullah saw, ia berkata bahwa Abu Sufyan adalah suami yang kikir,
110
Lihat, Ismā’il bin ‘Umar, al-Misbāh al-Munir, (Riyad: Dār al-Salām, 2000), h. 273
Lihat, Muhammad ‘Ali al-Sāyis, Tafsīr Ayāt al-Ahkām, (t.t. Muhammad ‘Ali Sabih,
111
t.th), h. 30
249
dan tidak memberi harta yang cukup untukku dan untuk anakku.
Apakah aku berdosa jika aku mengambil hartanya ? Nabi menjawab,
ambillah secukupnya untuk kamu dan anakmu dengan cara yang
ma’ruf.
Hadis di atas menunjukkan bahwa istri tidak boleh mengambil harta
suami sesuai dengan keinginannya, ia hanya boleh mengambil sekedar
mencukupi kebutuhan diri dan anaknya. Ini, menunjukkan bahwa istri tidak
boleh memanfaatkan harta suaminya sesuai dengan keinginan pribadinya
sendiri.
Alasan (2), Islam telah mengatur pembagian harta warisan dalam
sistem faraid. Yaitu, jika seandainya suami meninggal dunia, maka istri
mendapat seperdelapan bila ada anak, dan seperempat bila tidak ada anak. Ini,
menunjukkan bahwa harta suami adalah milik suami, bukan milik istri. Karena
itu istri tidak boleh menguasai harta suami karena ia bukan pemiliknya.
Berdasarkan dua alasan tersebut, penulis berkesimpulan bahwa harta
suami bukanlah harta istri. Dengan demikian, suami tidak berkewajiban untuk
memberitahukan istri, berapa jumlah penghasilan suami. Lebih dari itu, suami
tidak berkewajiban untuk menyerahkan seluruh penghasilannya kepada
istrinya. Namun demikian, tidak berarti suami mesti menyembunyikan harta
dan penghasilannya, atau tidak menyerahkannya kepada istri. Ini sangat
tergantung kepada kondisi masing-masing keluarga. Walaupun demikian,
seandainya
suami
memberitahukan
atau
menyerahkan
harta
dan
250
penghasilannya kepada istri, maka itu hanya merupakan sikap dan tindakan
yang “ma’ruf”.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa kewajiban utama suami terhadap
istri adalah memberikan kebutuhan minimal (primer) terhadap istri dan
keluarganya. Lebih dari itu, suami juga dituntut untuk bersikap ma’ruf. Yaitu
memberikan kebutuhan sekunder, bahkan kebutuhan kemewahan.
b. Bentuk Nusyus Suami
1) Menyakiti Istri Secara Fisik
Nusyus tidak hanya selalu dilakukan oleh istri. Suami juga dapat
melakukan nusyus yang dapat berujung pada perceraian. Nusyus yang
dilakukan suami dapat berbentuk tindakan kasar yang dapat dikategorikan
sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu memukul dengan tangan,
bahkan mencekik leher istrinya.
Dalam perspektif hukum Islam, tindakan memukul dan mencekik, jelas
tidak dapat dibenarkan. Bahkan perbuatan ini bertentangan dengan perintah
Allah yang memerintahkan untuk memperlakukan istri secara ma’ruf.
Seandainya istri telah melakukan kesalahan atau tidak menjalankan
kewajibannya sesuai dengan ajaran Islam, nusyus, maka tentu cara yang
terbaik untuk meluruskannya adalah cara yang ditunjukkan oleh al-Qur’an
seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan Bab II, yaitu langkah pertama,
menasehatinya dengan cara yang santun, yang dilandasi oleh kasih sayang
251
yang dalam. Bila gagal, maka langkah ke dua adalah pemisahan tempat tidur
atau tidak menggaulinya di tempat tidur. Jika cara ini pun gagal, maka dapat
dilakukan pukulan ringan sebagai langkah terakhir, namun dalam batas tidak
menyakiti fisik dan perasaannya, meski sanksi fisik ini harus dihindari
semaksimal mungkin.
Dalam perspektif undang-undang, maka perbuatan memukul dengan
tangan, dan mencekik istri adalah bagian dari pelanggaran terhadap UU RI No.
1 Tahun 1994 pasal 33 yang mewajibkan agar setiap pasangan saling
mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin.
Bahkan dapat dimasukkan pelanggaran UU RI No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 5 huruf a
yang ancaman hukumannya penjara 5 tahun dan denda Rp. 15.000.000
(lima belas juta rupiah).
2) Menyakiti Istri Secara Verbal
Menyakiti istri secara verbal, pada hakekatnya tidak kalah
menyakitkan dibandingkan dengan menyakiti istri secara fisik. Bila
memukul dengan tangan atau kayu, maka yang luka adalah bagian luar,
meski bagian dalam juga turut merasakannya. Tetapi memukul dengan
kata-kata atau lidah, maka yang luka adalah hati dan perasaannya. Bila
perasaan telah luka terkadang sangat sulit untuk disembuhkan. Pepatah
Arab mengatakan : “Jika kecintaan dalam hati telah luka, maka ia
252
laksana cermin, yang pecahnya tidak dapat dipulihkan.”112 Karena itu,
hendaknya masing-masing pasangan bisa menahan diri untuk tidak
sembarangan dalam berkata-kata apabila marah atau emosi, sebab
dampaknya sangat besar.
Dalam perspektif hukum Islam, tindakan
menyakiti isteri secara verbal juga bagian dari pelanggaran terhadap
“mu’asyarah bi al-ma’ruf” bersikap lemah lembut kepada pasangan.
Sedangkan dari perspektif undang-undang adalah pelanggaran terhadap
UU RI No. 1 Tahun 1994 pasal 33 yang mewajibkan agar setiap pasangan
saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
dan batin. Juga dapat dimasukkan pelanggaran UU RI No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 5 huruf b
yang ancaman hukumannya penjara 3 tahun dan denda Rp. 9.000.000
(sembilan juta rupiah).
3) Meninggalkan Tanggung Jawab
Kutipan 4b di atas menunjukkan bahwa suami, di samping
seringkali melakukan kekerasan verbal dan kekerasan fisik kepada istri,
juga tidak memberikan nafkah kepada istri selama lebih dari 2 tahun.
Dalam perspektif hukum Islam, perbuatan tidak memberi nafkah kepada
istri juga merupakan tindakan nusyus.
Suami dalam hal ini, jelas
menunjukkan bahwa ia tidak bertanggung jawab dalam kehidupan
112
‫إن اﻟﻘﻠﻮب إذا ﺗﻨﺎﻓﺮ ودھـﺎ * ﻣﺜﻞ اﻟﺰﺟﺎﺟﺔ ﻛﺴـﺮھـﺎ ﻻﯾﺠـﺒـﺮ‬
253
rumah tangganya. Seperti diketahui bahwa di antara kewajiban pokok
seorang suami adalah memberikan nafkah, baik lahir maupun batin
kepada keluarganya. Dalam perspektif undang, suami yang demikian,
juga melanggar UU RI No. 1 Tahun 1994 pasal 33 yang mewajibkan agar
setiap pasangan saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir dan batin. Juga dapat dimasukkan pelanggaran UU RI No.
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
pasal 9 ayat 1 yang ancaman hukumannya penjara 3 tahun dan denda Rp.
15.000.000 (lima belas juta rupiah).
4) Mengusir Istri
Bentuk nusyus suami terhadap istri yang lain, adalah pengusiran
suami terhadap istri. Dalam perspektif hukum Islam, pengusiran istri
seperti yang dialami oleh istri pada kasus 7a, jelas merupakan tindakan
nusyus yang tak dapat dibenarkan.
Selain bertentangan dengan nilai-
nilai kemanusiaan, juga bertentangan dengan perintah Allah yang
menyuruh untuk memperlakukan istri secara ma’ruf (baik), dan juga
sekaligus sebagai kewajiban suami terhadap istrinya.
Betapapun kesalahan istri, namun bila suami itu baik dan bertanggung
jawab, tentu akan mengembalikan istrinya kepada kedua orang tuanya, atau
menceraikannya dengan cara-cara yang santun, tidak dengan pengusiran.
Dapat dibayangkan perasaan seorang wanita yang diusir oleh suaminya, hati
254
dan perasaannya akan hancur, terutama seandainya ia tidak lagi mempunyai
orang tua atau pelindung.
Dalam perspektif undang-undang, bentuk
pengusiran isteri adalah bentuk kekerasan psikis yang diancam dengan
hukuman penjara 3 tahun dan denda Rp. 9.000.000 (sembilan juta rupiah).
3. Solusi yang ditempuh.
Kutipan-kutipan putusan hakim Pengadilan Agama Polewali yang
peneliti dapatkan menunjukkan bahwa tidak ada solusi yang ditempuh oleh
pasangan suami istri untuk kembali rujuk atau damai pada saat mereka
mengajukan gugatan perceraian, kecuali putusan cerai. Walaupun ada usaha
yang dilakukan oleh pihak keluarga untuk mendamaikan pasangan yang
bermasalah, tetapi semuanya gagal.
Kegagalan dalam perdamaian di tingkat pengadilan ini, adalah logis
dan dapat dimaklumi, mengingat mereka yang sudah membawa kasusnya di
Pengadilan Agama, berarti mereka sudah mempunyai niat dan kebulatan tekad
untuk mengakhiri perkawinan mereka dengan perceraian. Di samping itu,
usaha yang dilakukan oleh pihak mediasi dari Pengadilan Agama Polewali untuk
mendamaikan pasangan suami isteri cenderung sebatas formalitas yang belum
maksimal. Hal ini tampak, pada Seluruh Laporan Hasil mediasi Pengadilan
Agama Polewali yang didapatkan oleh Peneliti menunjukkan, bahwa seluruh hasil
mediasi yang dilakukan dinyatakan gagal. Hal yang tidak terungkap dalam mediasi
tersebut adalah bagimana langkah-langkah yang dilakukan oleh pihak mediasi
255
Pengadilan Agama Polewali untuk memberikan solusi damai pada pasangan suami
istri yang bermasalah.
Menurut hasil wawancara penulis dengan salah seorang Hakim
Pengadilan Agama Polewali113 menyatakan, bahwa proses perdamaian
biasanya dilakukan di salah satu ruangan pengadilan, yang khusus
disiapkan untuk maksud tersebut. Karena belum ada petugas khusus
yang mendapat sertifikat arbiter, maka yang bertindak sebagai hakam
atau arbiter adalah salah seorang Hakim Pengadilan Agama yang tidak
menangani kasus yang bersangkutan. Hakam tersebut dipilih oleh
pasangan yang sedang berperkara dari beberapa nama yang ditawarkan
kepada mereka oleh Ketua Pengadilan Agama.
Dengan pernyataan tersebut, menunjukkan belum maksimalnya
kerja hakam. Seyogiyanya, para arbiter lebih progresif dan aktif untuk
terjun ke lapangan, mendatangi rumah-rumah mereka yang mengajukan
perkaranya di Pengadilan Agama, tidak melakukannya di Kantor
Pengadilan Agama. Dengan begitu, mungkin ada faktor psikologis dan
sosiologis yang berbeda bila dilakukan di Kantor Pengadilan Agama,
sehingga tujuan hakam itu tercapai, yaitu perdamaian.
4. Skema Alur Masalah Nusyus Dalam Keluarga Muslim di Kabupaten
Polewali Mandar
113
Wawancara dengan Drs. Rahmat (Hakim Pengadilan Agama Polewali)
256
Kajian penelitian terhadap masalah nusyus yang terjadi dalam
keluarga muslim di Kabupaten Polewali Mandar menujukkan sebuah pola
yang menarik mulai dari faktor penyebab, bentuk nusyus sampai pada
terjadinya perceraian. Temuan penelitian menunjukkan bahwa dalam
permasalahan yang terjadi dalam keluarga muslim, kadang kadang tidak
hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja yang dapat menyebabkan suami
atau istri nusyus. Misalnya saja faktor ekonomi yang juga sangat
dipengaruhi oleh faktor akhlak dari istri atau dari suami.
Bentuk-bentuk nusyus yang dilakukan oleh suami atau istri yang
kadang diperparah oleh bentuk nusyus yang lain, misalnya saja suami
menyakiti istri secara fisik yang biasanya juga diikuti oleh kata-kata yang
menyakiti istri secara verbal. Hubungan antara faktor penyebab nusyus dan
nusyus itu sendiri kadang dikuatkan oleh interaksi emosi negatif yang
intens yang membuat nusyus terjadi pada istri atau pada suami. Syikak
salah satu interaksi emosi negatif yang menjadi penguat terjadinya nusyus
pada suami atau istri. Faktor penyebab yang mungkin saja sepele, akan
tetapi diperkuat dengan interaksi negatif seperti syikak menyebabkan
masalah dalam rumah tangga semakin membesar dan menyulut terjadinya
nusyus.
Berikut ini adalah bagan alur interaksi faktor, bentuk nusyus dan
penyelsaiannya.
Diagram 1 (bagan alur faktor penyebab, dan bentuk nusyus)
KECEMBURUAN
ISTRI
EKTERNAL
(CAMPUR
TANGAN
ORANG TUA
AKHLAK
SUAMI
KECEMBURUAN
SUAMI
EKONOMI
sUAMI
SUAMI)
AKHLAK
ISTRI
TERPISAH
TEMPAT
TINGGAL
SUAMI MENIKAH
SYIKAK
sUAMI
MERUSAK
PROPERTI
SUAMI
ISTRI
SELINGKUH
MENINGGALKAN
RUMAH TANPA
IZIN SUAMI
•
Ket:
•
istri
meninggalka
n rumah
tanpa izin
suami
mengusir
istri
Faktor Penyebab
•
Menyakiti
Bentuk Nusyus
Istri secara
fisik
•
Menyakiti
Istri secara
Verbal
SUGESTI
BAWAH
SADAR
OLEH ISTRI
sUAMI
MENAMPAKKAN
KEMARAHAN
MENYAKITI
ISTRI SECARA
VERBAL
MENGUSIR
ISTRI
MENYAKITI
ISTRI SECARA
FISIK
MENGUSIR
SUAMI
MENINGGALKAN
TANGGUNG
JAWAB
Pisah rumah
CERAI
279
Pada diagam (1) di atas tergambar bagaimana alur terjadinya nusyus
dalam keluarga muslim. Diagram (1) menunjukkan bawah faktor akhlak
dari istri dapat menjadi penyebab terjadinya pertengkaran diantara suami
istri (syikak) yang selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya nusyus istri
dalam bentuk meninggalkan rumah tanpa izin dari suami. Faktor akhlak ini
juga menjadi penyebab terjadinya perbuatan yang sangat tercela yaitu
terjadinya perselingkuhan istri dengan lelaki lain yang kemudian berujung
pada terjadinya perceraian.
Faktor
ekonomi,
yang
menyebabkan
suami
tidak
dapat
menjalangkan kewajibannya dalam menafkahi rumah tangganya, yang
menjadi pemicu terjadinya syikak terus menerus, yang kemudian berujung
pada perceraian.
Faktor akhlak suami juga dapat menyebabkan terjadinya nusyus.
Diagram (1) menggambarkan faktor akhlak suami dapat menyebabkan
terjadinya syikak dalam rumah tangga yang kemudian memicu suami
melakukan nusyus dengan tidak menjalangkan kewajibannya sebagai suami
dan sebagai kepala rumah tangga.
Faktor akhlak ini juga yang
menyebabkan suami melakukan nusyus dengan menyakiti istri secara fisik.
Faktor lokasi tempat tinggal suami istri yang berbeda dapat menjadi
pemicu terjadinya nusyus suami terhadap istri. Faktor lokasi tempat tinggal
ini biasanya dipicu oleh faktor ekonomi keluarga dan juga dipengaruhi oleh
280
281
faktor akhlak dari suami. Perbedaan tempat tinggal suami dan istri tidak
akan menjadi penyebab terjadinya nusyus suami terhadap istri, jika suami
bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.
Faktor suggesti bawah sadar oleh istri dapat menjadi salah satu
penyebab terjadinya nusyus suami terhadap istri dalam bentuk suami
meninggalkan kewajibannya dan nusyus istri terhadap suami dalam bentuk
mengusir suami.
Diagram 1 dan hasil penelitian menunjukkan bahwa
suggesti bawah sadar oleh istri terhadap suami dengan kata-kata “kawin
saja” terjadi pada saat keduanya terlibat interaksi emosi yang intens pada
saat terjadinya syikak. Walaupun demikian faktor akhlak suami dan istri
juga sangat mempengaruhi terjadinya hal tersebut. Faktor akhlak suami dan
istri memicu terjadinya syikak yang selanjutnya menyebabkan istri
mengeluarkan kata-kata yang mensuggesti suami untuk melakukan sesuatu
yang bisa saja istri tidak menyukainya seperti
kata-kata “cerai” atau
“kawin saja.” Diagram 1 di atas menunjukkan suami menikah lagi karena
selalu disuggesti oleh istri pada saat terjadinya syikak selanjutnya terjadi
nusyus oleh istri dengan melakukan pengusiran pada suami dan nusyus
yang dilakukan oleh suami dengan meninggalkan kewajibannya sebagai
suami dan kepala rumah tangga.
Faktor kecemburuan baik dari istri maupun suami dapat menjadi
penyebab terjadinya nusyus. Kecemburuan yang berlebihan suami terhadap
282
istri dapat menyebabkan terjadinya nusyus dalam bentuk menyakiti istri
baik secara verbal maupun secara fisik dan bahkan suami dapat
meninggalkan kewajibannya sebagai suami dan kepala rumah tangga.
Nusyus juga dapat dilakukan oleh istri karena kecemburuan yang
berlebihan terhadap suami dalam bentuk merusak property suami, dan
bahkan bisa meninggalkan rumah tanpa izin suami.
Diagram 1 di atas juga menunjukkan bahwa suami dapat saja
melakukan nusyus dengan tidak menjalangkan kewajibannya, menyakiti
istri secara verbal dan bahkan mengusir istri dari rumah yang disebabkan
oleh faktor ekternal berupa campur tangan orang tua suami dalam rumah
tangga anaknya.
Hal lain yang ditunjukkan oleh diagram 1 di atas adalah terdapat
kemungkinan satu faktor penyebab, dapat menyebabkan satu, dua bahkan
tiga bentuk nusyus. Faktor kecemburuan suami, kecemburuan istri dan
faktor eksternal menyebabkan tiga bentuk nusyus. Faktor akhlak istri dan
suami mengakibatkan dua bentuk nusyus, sedangkan faktor lokasi, ekonomi
dan faktor suggesti tanpa sadar oleh isteri masing-masing satu bentuk
nusyus.
Selain itu, diagram 1 juga menunjukkan
bahwa bentuk nusyus
tertentu dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda, misalnya suami
meninggalkan tanggung jawabnya, dapat disebabkan oleh faktor lokasi,
283
ekonomi, suggesti tanpa sadar oleh isteri, faktor eksternal, kecemburuan
suami dan akhlak suami. Menyakiti istri secara fisik dapat dipengaruhi
oleh akhlak suami dan kecemburuan suami yang berlebihan. Menyakiti istri
secara verbal dapat dipengaruhi faktor eksternal (campur tangan orang tua
suami) dan kecemburuan suami. Dan istri meninggalkan rumah tanpa izin
suami dapat dipengaruhi oleh faktor kecemburuan istri dan faktor eksternal.
Secara umum, pola alur dari faktor penyebab sampai pada terjadinya
perceraian mempunyai alur yang sama. Dimulai dari faktor penyebab,
kemudian terjadinya percekcokan yang intens oleh suami istri (syikak)
yang kemudian menyebakan terjadinya nusyus baik oleh suami maupun
istri.
Selanjutnya terjadi pisah rumah antara pasangan yang berselisih
dengan lama waktu yang bervariasi yang kemudian berujung pada
terjadinya perceraian pada pasangan tersebut.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan
pada bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor penyebab nusyus dalam keluarga muslim Kabupaten
Polewali Mandar adalah faktor akhlak suami, faktor akhlak istri, faktor
ekonomi, faktor eksternal atau campur tangan pihak ketiga, faktor lokasi
tempat tinggal yang berbeda, faktor kecemburuan dan faktor suggesti
bawah sadar dari istri.
2. Bentuk-bentuk nusyus dalam keluarga muslim kabupaten Polewali
Mandar, adalah suami meninggalkan tanggung jawab, suami mengusir
istri, istri mengusir suami, suami menyakiti istri secara fisik dan secara
verbal, istri meninggalkan rumah tanpa izin suami, merusak properti suami
dan istri selingkuh.
a. Bentuk nusyus tertentu dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang
berbeda.
Nusyus suami dengan meninggalkan tanggung jawabnya,
dapat disebabkan oleh faktor lokasi, ekonomi, suggesti tanpa sadar dari
istri, faktor eksternal, kecemburuan suami dan akhlak suami.
Menyakiti istri secara fisik dapat dipengaruhi oleh akhlak suami dan
271
kecemburuan suami yang berlebihan. Menyakiti istri secara verbal
dapat dipengaruhi faktor eksternal (campur tangan orang tua suami)
dan kecemburuan suami. Dan istri meninggalkan rumah tanpa izin
suami dapat dipengaruhi oleh faktor kecemburuan istri
dan faktor
eksternal.
b. Alur dari faktor penyebab sampai pada terjadinya perceraian: dimulai
dari faktor penyebab, kemudian terjadinya percekcokan yang intens oleh
suami istri (syikak) yang kemudian menyebabkan terjadinya nusyus
baik oleh suami maupun istri. Selanjutnya terjadi pisah rumah antara
pasangan yang berselisih dengan lama waktu yang bervariasi yang
kemudian berujung pada terjadinya perceraian pada pasangan tersebut.
3. Tidak ada solusi yang ditempuh oleh keluarga muslim kabupaten Polman
untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga muslim, kecuali
cerai. Para Hakim Pengadilan Agama Polewali sulit mendamaikan
pasangan suami-istri yang mengajukan kasusnya di Pengadilan Agama
Polewali, karena sejak semula mereka sudah mempunyai niat dan tekad
untuk mengakhiri perkawinan mereka.
Model solusi yang dapat ditempuh oleh keluarga muslim yang
mengalami kasus nusyus di Kabupaten Polewali Mandar adalah; pertama,
sebelum sampai di tingkat pengadilan, maka pasangan yang bermasalah
hendaknya mengangkat hakam atau penengah dari masing-masing
272
keluarga atau yang dituakan untuk menempuh jalur kekeluargaan sehingga
perdamaian dapat dicapai; kedua, bila yang pertama gagal, maka Badan
Penasehatan Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) yang ada di
tingkat kecamatan perlu dilibatkan. Artinya, proses pradilan tidak dapat
berjalan tanpa pengantar atau keterangan dari BP4; ketiga, jika yang kedua
pun gagal, maka dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi di pengadilan
dengan memperhatikan keterangan dari BP4 sebagai bahan pertimbangan
dan masukan bagi mediator dan hakim pengadilan agama.
Selain kesimpulan di atas, didapatkan pula temuan lain, yaitu
pemahaman
para
hakim
Pengadilan
Agama
Polewali
yang
menyatakan bahwa tindakan atau perbuatan nusyus hanya dilakukan
oleh pihak istri, seperti yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan
lainnya.
B. IMPLIKASI
Berdasarkan
hasil
penelitian
ini,
dikemukakan
beberapa
rekomedasi sebagai berikut :
1. Kepada pasangan suami-istri. Hendaknya lebih meningkatkan pemahaman
tentang pembentukan keluarga bahagia, khususnya pemahaman tentang
hak dan kewajiban berumah tangga.
Demikian pula, hendaknya lebih
meningkatkan akhlak dan moral, terutama akhlak berumah tangga dalam
bentuk saling menghargai, menerima perbedaan, dan bersabar dalam
273
menghadapi semua tantangan yang sewaktu-waktu dapat menimpa bahtera
rumah tangga, termasuk menerima dengan penuh kerelaan penghasilan
suami yang merupakan pemberian dari Allah SWT. Menghindari kata-kata
kasar yang dapat melukai hati dan perasaan pasangan, dan menghindari
pula kata-kata yang propokatif secara berulang pada saat
terjadinya
pertengkaran.
2. Kepada Lembaga Peradilan Agama Polewali.
Hendaknya membentuk
lembaga mediasi yang representatif yang mampu secara serius membantu
pasangan suami-istri untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam rumah
tangga sebelum sampai di Pengadilan Agama.
3. Jika selama ini dalam “perjanjian lebih tepat” dari pada “taklik talak”
disebutkan bahwa istri dapat mengajukan perceraian kepada Pengadilan
Agama apabila suami meninggalkan istrinya selama dua tahun berturutturut, maka bunyi perjanjian tersebut diubah menjadi 6 bulan berturutturut.
4. Kepada peneliti selanjutnya. Disarankan agar penelitian lanjutan tentang
kasus nusyus perlu dilakukan untuk mengungkap hal-hal yang belum
terungkap dalam penelitian ini.
274
Download