PROBLEMATIKA NUSYUS KELUARGA MUSLIM (STUDI KASUS PADA PENGADILAN AGAMA POLEWALI MANDAR) Disertasi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Doktor (Dr.) dalam Bidang Sayriah Hukum Islam pada Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Oleh M. Sadik NIM. 80100307012 PASCASARJANA UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2014 DAFTAR ISI JUDUL.......................……………………………………………………………… I PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI........................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………………… iii KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… iv DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… vi PEDOMAN TRANSLITERASI ........................…………………………………… viii ABSTRAK… ……………………………………………………………………….. xi BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah .……………………………………………… 1 B Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus................................................. 9 C Rumusan Masalah ……………………………………………………… 11 D Kajian Pustaka ..................................................................................... 12 E Tujuan dan Kegunaan Penelitian........................................................... 16 BAB II TINJAUAN TEORETIS A Pengertian, dan Langkah Penanganan Nusyus………………………..... B Landasan Hidup Rumah Tangga …………………………………….... C Talak (Perceraian) dalam Hukum Islam ……………………………..... D Kerangka Konseptual ..………………………………………………… 18 84 116 138 BAB III METODE PENELITIAN A Jenis Penelitian dan Lokasi Penelitian……….…………........................ B Pendekatan Penelitian .............................................…………………. C Sumber Data …………………………………………………………... D Metode Pengumpulan Data ................................................................. E Instrumen Penelitian.............................................................................. F Teknik Pengolahan dan Analisis Data …………………………………. G Pengujian Keabsahan Data................................................................ 144 146 147 149 150 150 151 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A Gambaran Umum tentang Peradilan Agama di Indonesia dan Pengadilan Agama Polewali ................................................................. B Hasil Penelitian ..................................................................................... 1. Faktor Penyebab Nusyus ................................................................ 2. Bentuk Nusyus................................................................................ 3. Solusi Nusyus.................................................................................. C Pembahasan .......................................................................................... 1. Faktor Penyebab Nusyus................................................................. 2. Bentuk Nusyus................................................................................ 3. Model Solusi Nusyus............................................................ 153 189 189 200 204 206 206 248 261 vi BAB V PENUTUP A Kesimpulan ….………………………………….. ……………………. 271 B Implikasi .........…………………………………………………………. 273 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………... 275 LAMPIRAN-LAMPIRAN - Surat Izin Meneliti dari Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar - Surat Keterangan Penelitian - Pedoman Wawancara - Daftar Tabel nusyus di Pengadilan Agama Polewali Tahun 2009 - Laporan Jumlah Kasus dan Alasan-alasan Perceraian dalam Setiap Bulannya Pada Tahun 2009 di Pengadilan Agama Kabupaten Polewali Mandar - Curriculum Vitae. vii ABSTRAK Nama : M. Sadik NIM : 80100307012 Judul : Problematika Nusyus Keluarga Muslim (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Polewali Mandar) Peneletian ini bertujuan untuk: 1) mengungkap faktor-faktor penyebab nusyus yang terdapat di Kabupaten Polewali Mandar, 2) mendiskripsikan dan menganalisis bentuk-bentuk-bentuk nusyus yang dapat dialami oleh keluarga muslim di Kabupaten Polewali Mandar, dan 3) Model solusi yang ditempuh oleh keluarga muslim yang mengalami kasus nusyus di Kabupaten Polewali Mandar. Pendekatan yang ditempuh dalam penelitian ini adalah pendekatan multidisipliner, yaitu pendekatan teologis-normatif, yuridis, psikologis, sosiologis, dan fenomenologis. Jenis data berupa data dokumentasi dan data wawancara dianalisis melalui model Alir Miles dan Huberman yang terdiri atas empat tahap, yakni : 1) pengumpulan data, 2) reduksi data, 3) penyajian data, dan 4) penarikan kesimpulan dan verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan faktor penyebab dan bentuk tindakan nusyus dapat berasal dari suami, maupun dari istri. Faktor penyebab dari suami adalah : 1) faktor akhlak, 2) faktor berpisahnya tempat tinggal pasangan suami-istri, 3) faktor campur tangan pihak ketiga, dan 4) faktor kecemburuan dan kecurigaan. Faktor penyebab dari istri adalah : 1) faktor akhlak, 2) faktor ekonomi (ketidakpuasan terhadap nafkah dari suami), 3) faktor kecemburuan dan kecurigaan, dan 4) faktor suggesti tanpa sadar dari istri. Bentuk-bentuk nusyus yang dilakukan oleh suami adalah: 1) menyakiti istri secara fisik, 2) menyakiti istri secara verbal, 3) mengusir istri dari rumah, dan 4) tidak memberikan nafkah lahir batin. Sedangkan bentukbentuk nusyus yang dilakukan oleh istri adalah: 1) meninggalkan rumah tanpa izin dari suami, 2) selingkuh, 3) mengusir suami, dan 4) merusak barang atau properti suami. Secara eksteren, model solusi yang dapat ditempuh oleh keluarga muslim yang mengalami kasus nusyus di Kabupaten Polewali Mandar adalah: 1) sebelum sampai di tingkat pengadilan, maka pasangan yang bermasalah hendaknya mengangkat hakam atau penengah dari masing-masing keluarga atau yang dituakan untuk menempuh jalur kekeluargaan sehingga perdamaian dapat dicapai, 2) bila yang pertama gagal, maka Badan Penasehatan Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) yang ada di kecamatan sebagai lembaga keagamaan yang terdepan perlu dilibatkan, 3) jika yang kedua pun gagal, maka dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi di pengadilan, dengan catatan adanya rekomendasi dari BP4 sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi mediator dan hakim pengadilan agama. xi Hasil penelitian ini berimplikasi pada pemberian rekomendasi; 1) penguatan lembaga perkawinan dengan ilmu agama melalui lembaga-lembaga keagamaan, 2) revitalisasi lembaga-lembaga hakam untuk penyelesaian perceraian, dan 3) memaksimalkan kerja arbiter dalam memediasi pasangan bermasalah. Kata kunci: nusyus, faktor-faktor nusyus, bentuk-bentuk nusyus, dan solusi nusyus xii اﻟﺘﺠﺮﻳـﺪ :ﳏﻤـﺪ ﺻﺎدق اﻹﺳﻢ 80100307012 : اﻟﺮﻗﻢ اﳌﻮﺿﻮع :ﻣﺸﻜﻼت اﻟﻨﺸﻮز ﰱ اﻷﺳﺮة اﳌﺴﻠﻤﺔ )دراﺳﺔ ﺧﺎﺻﺔ ﰱ ﳏﻜﻤﺔ اﻟﻘﻀﺎة ﺑﻔﻮﻟﻮاﱃ ﻣﻨﺪر( ﻳﻬﺪف ﻫﺬا اﻟﺒﺤﺚ إﱃ أﻫﺪاف ( 1 :إﻛﺘﺸﺎف ﻋﻮاﻣﻞ ﻣﻈﺎﻫﺮ اﻟﻨﺸﻮز وأﺷﻜﺎﳍﺎ ﰱ ﻣﺪﻳﻨﺔ ﻓﻮﻟﻮاﱃ ﻣﻨﺪار ( 2 ،ﺗﺸﺮﻳﺢ أﺷﻜﺎل اﻟﻨﺸﻮز اﻟﱴ واﺟﻬﺘﻬﺎ اﻷﺳﺮة اﳌﺴﻠﻤﺔ ﰱ ﻣﺪﻳﻨﺔ ﻓﻮﻟﻮاﱃ ﻣﻨﺪار وﲢﻠﻴﻠﻬﺎ، (3اﻟﻮﺻﺎﻳﺎ ﻟﻸﺳﺮة ﰱ ﺣﻞ ﻣﺸﻜﻼت اﻟﻨﺸﻮز ﻣﺪﻳﻨﺔ ﻓﻮﻟﻮاﱃ ﻣﻨﺪار. وﰱ ﲢﻠﻴﻞ ﻫﺬﻩ اﻟﻘﻀﻴﺔ ﻳﻌﺘﻤﺪ اﻟﺒﺎﺣﺚ ﻋﻠﻰ ﻋﺪة ﲢﺼﻴﺼﺎت وﻫﻲ اﻟﺪﻳﲏ واﻟﻘﺎﻧﻮﱐ واﻟﻄﺒﻴﻌﻲ واﻹﺟﺘﻤﺎﻋﻲ وﻣﻈﺎﻫﺮ واﻗﻌﻴﺔ .وﺟﻞ ﻣﺎﺿﻤﻨﻪ اﻟﺒﺤﺚ ﻳﺮﺟﻊ إﱃ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت اﻹﺳﺘﻘﺮاﺋﻴﺔ واﻟﺒﻴﺎﻧﺎت اﳊﻮارﻳﺔ ﰒ ﺣﻞ ﺣﺴﺐ ﻃﺮﻳﻘﺔ أﻟﲑﻣﻴﻠﺲ وﻫﻮﺑﺮﻣﺎن .وﻫﻲ ﺗﺘﻜﻮن ﻣﻦ أرﺑﻊ ﻣﺮاﺣﻞ (1 :ﲨﻊ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت (2 ،ﲤﺤﻴﺺ اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت (3 ،ﻋﺮض اﻟﺒﻴﺎﻧﺎت (4 ،اﻹﺳﺘﻨﺒﺎط واﻹﺳﺘﺒﻴﺎن. وﻣﻦ ﺧﻼل اﻟﺒﺤﺚ ﺗﺒﲔ أن ﻋﻮاﻣﻞ ﻣﻈﺎﻫﺮ اﻟﻨﺸﻮز ﻗﺪ ﻳﺼﺪر ﻣﻦ اﻟﺰوج ﻛﻤﺎ ﻳﺼﺪر ﻣﻦ اﻟﺰوﺟﺔ. أﻣﺎ ﻋﻮاﻣﻞ ﻣﻈﺎﻫﺮ اﻟﻨﺸﻮز ﻣﻦ ﺟﻬﺔ اﻟﺰوج ﻓﻬﻲ (1 :اﻷﺧﻼق اﻟﺮدﻳﺌﺔ واﳌﻌﺎﻣﻠﺔ اﻟﺴﻴﺌﺔ (2 ،اﻟﺒﻴﻨﻮﻧﺔ ﰱ اﻟﺴﻜﲎ (3وﺟﻮد ﻋﻮاﻣﻞ ﺧﺎرﺟﻲ )ﺗﺪﺧﻞ ﺷﺨﺺ آﺧﺮ( (4 ،اﻟﻐﲑة .وأﻣﺎ ﻋﻮاﻣﻞ ﻣﻈﺎﻫﺮ اﻟﻨﺸﻮز ﻣﻦ ﺟﻬﺔ اﻟﺰوﺟﺔ ﻓﻬﻲ (1 :اﻷﺧﻼق اﻟﺮدﻳﺌﺔ واﳌﻌﺎﺷﺮة اﻟﺴﻴﺌﺔ (2 ،ﻋﺪم اﻟﺮﺿﻰ ﺑﻨﻔﻘﺔ اﻟﺰوج (3 ،اﻟﻐﲑة(4 ، اﳊﺎﻟﺔ اﻟﻨﻔﺴﻴﺔ ﺑﺴﺒﺐ ﲢﺮﻳﺾ وﺗﺸﺠﻴﻊ ﻣﺘﻜﺮر ﰱ ﻃﻠﺐ اﻟﻄﻼق .وﻇﺎﻫﺮ اﻟﻨﺸﻮز ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﻟﺰوج ﻳﻜﻮن ﰱ إﻳﺬاء اﻟﺰوﺟﺔ ﺟﺴﻤﻴﺎ (2وإﻳﺬاء اﻟﺰوﺟﺔ ﻧﻔﺴﻴﺎ (3 ،وإﺧﺮاج اﻟﺰوﺟﺔ ﻣﻦ اﻟﺒﻴﺖ (4 ،وﻋﺪم اﻹﻧﻔﺎق ﻟﻠﺰوﺟﺔ وﻋﺪم ﻗﻀﺎء ﺣﻮا ﺋﺠﻬﺎ اﻟﻨﻔﺴﻴﺔ .وﻇﺎﻫﺮة اﻟﻨﺸﻮز ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﻟﺰوﺟﺔ ﻓﻬﻲ (1 :ﻳﻜﻮن ﰱ ﺧﺮوﺟﻬﺎ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ زوﺟﻬﺎ ﺑﻐﲑ إذن اﻟﺰوج (2 ،واﻟﻌﺸﻖ ﻟﺮﺟﻞ آﺧـﺮ (3 ،وإﺧﺮاج اﻟﺰوج ﻣﻦ اﻟﺒﻴﺖ (4 ،إﻓﺴﺎد أﻣﻮال اﻟﺰوج. ﺗﻮﺻﻴﺔ اﳊﻠﻮل اﻟﱴ ﳝﻜﻦ إﻋﺘﻤﺎدﻫﺎ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ اﻷﺳﺮة اﳌﺴﻠﻤﺔ اﻟﱴ ﺗﻌﺎن ﻣﻦ ﺣﺎﻟﺔ اﻟﻨﺸﻮز ﰱ ﻣﺪﻳﺮﻳﺔ ﻓﻮﻟﻮاﱃ ﻣﻨﺪار ﻫﻲ (1 :ﻗﺒﻞ وﺻﻮﻟﻪ إﱃ ﻣﺴﺘﻮي اﶈﻜﻤﺔ ﻳﻨﺒﻐﻰ ﻟﻠﺰوﺟﲔ رﻓﻊ اﳊﻜﻢ ﻣﻦ ﻛﻠﻴﻬﻤﺎ ﲝﻴﺚ ﳝﻜﻦ xiii ﲢﻘﻴﻖ اﻟﺴﻼم (2 ،إذا ﻓﺸﻠﺖ اﻷوﱃ ،ﻳﻨﺒﻐﻰ ﻟﻠﺰوﺟﲔ أﺧﺬ اﻟﻮﻛﺎﻟﺔ ﺗﻘﺪﱘ اﳌﺸﻮرة واﻟﺘﺪرﻳﺐ واﳊﻔﺎظ ﻋﻠﻰ اﻟﺰوج ( 3 ،إذا ﻓﺸﻠﺖ اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ،ﳝﻜﻦ ﺣﻠﻬﺎ ﻣﻦ ﺧﻼل وﻛﺎﻟﺔ اﳊﻜﻢ ﰱ اﶈﻜﻤﺔ ﻣﻊ ﻣﻼﺣﻈﺔ أن ﻳﺴﺄل اﻟﻨﺼﻴﺤﺔ ﻣﻦ ﳎﻠﺲ اﻟﺰواج إﻋﺘﺒﺎرا وإﻟﺘﻔﺎﺗﺎ ﻟﻠﺤﻜﻢ واﻟﻘﻀﺎة ﰱ اﶈﻜﻤﺔ. وﻧﺘﻴﺠﺔ اﻟﺒﺤﺚ ﳝﻜﻦ أن ﻳﻌﺘﻤﺪ ﰱ إﻋﻄﺎء اﻟﺘﺰﻛﻴﺔ ﻟﻸﻣﻮر اﻵﺗﻴﺔ (1 :ﺗﻘﻮﻳﺔ اﳍﻴﺌﺎت ﻷﻣﻮر اﻟﻨﻜﺎح ﺑﺘﻌﻠﻴﻢ ﻣﻔﺎﻫﻢ اﻟﺪﻳﻦ ﺑﻮاﺳﻄﺔ اﻟﻠﺠﺎن اﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ( 2 ،إﺳﺘﻌﺎدة أﳘﻴﺔ ﻫﻴﺌﺎت اﳊﻜﻢ ﻟﻘﻀﺎء ﻗﻀﺎﻳﺎ اﻟﻄﻼق واﻟﻔﺮﻗـﺔ (3 ،إﺳﺘﻔﺎدة ﻋﻤﻠﻴﺔ اﳌﺼﻠﺤﲔ ﰱ إﺻﻼح اﻟﻘﻀﺎﻳﺎ اﻟﺰوﺟﻴـﺔ. xiv ABSTRACT Nama NIM Title : M. Sadik : 80100307012 : The Nusyus Problem Muslim Families (a Case Study in Religion Court at Polewali Mandar) This research aims : 1) to explore the causes fo nusyus by muslim families in Polewali Mandar regency, 2) to explore and analyse the forms of nusyus in Polewali Mandar regency, and 3) the solutions which are undergone by Muslim families in Polewali Mandar regency. There are number different approaches in this research namely: normative theology, juridical, psychological, sociological an phenomenological approaches. The source of data is contains of documentation and interview and then analyze by Miles and Huberman models. There are four stages of this models; data collection, data reduction, presentation, and conclusion and verifying. The results showed that there are vorious factors and form of nusyus, both from the wife and the husband. The causes of nusyus from the husband are 1) moral factor, 2) not living together, 3) intervention from others, and 4) jealous factor. While the causes of nusyus from the wife are 1) moral factor, 2) economic factor, 3) jealous factor, 4) suggestion factor. The nusyus form were made by husband are: 1) hurting wife phisically, 2) hurting wife verbally, 3) expel wife, and 4) do not provide living need. Where as the nusyus form of wife are: 1) living house without husband permission, 2) cheating, 3) expel husnad, and 4) broking husband property. From externally, solutions that can be adopted by muslim families who had nuFrom esternally, solutions that can be adopted by muslim families who had nusyus cases in the district Polewali Mandar ia; 1) before arriving at the court level, the troubled couple should raise hakam or mediators from each family or elder to take the path of kinship so that peace can be achieved; 2) if the first fails, the implementing agency and preservation wedding organizer (BP4) that exist in the district as a leading institution needs to be involved; 3) if the latter nevertheless fail, it can be solved by mediation agency in court, with a note asking for recommendations from BP4 for consideration and input for mediators and religious court judges. xv Those findings imply for some recommendation namely; 1) strengthening marriage institution with religious knowledge through religious institution, 2) revitalization of hakam (judge) institution to overcome divorce, 3) maximizing the arbitrator work in doing mediation for a couple with problems. Key words: nusyus, the underlying factors, the forms of nusyus, and solution xvi xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di antara tanda-tanda keagungan dan kekuasaan Allah adalah bahwa Dia menciptakan segala sesuatu di dunia ini berpasang-pasangan, termasuk di dalamnya manusia. Karena itu, adalah sunnatullāh bila setiap insan atau individu mempunyai kecenderungan terhadap pasangannya, dan untuk menyalurkan hasrat kecenderungan tersebut, Islam mensyari’atkan suatu lembaga yang sakral, yaitu “perkawinan atau pernikahan”. 1 Secara umum, perkawinan adalah sarana perilaku turun temurun manusia yang dipandang baik dan benar, untuk melanjutkan proses regenerasi yang berkesinambungan. Perkawinan adalah perjanjian suci yang kokoh, mīṡāqan qalīẓan, antara sepasang anak manusia yang berlainan jenis, yang diharapkan dapat menjalin tali kasih dalam rangka menciptakan rumah tangga sakīnah, mawaddah wa rahmah, bahagia lahir batin yang diridhai oleh Allah swt. Lebih dari itu, perkawinan merupakan sebuah kontrak yang sangat penting karena di dalamnya Tuhan menjadi saksi utama. Ia dilakukan atas 1 Perkawinan atau pernikahan berasal dari kata kawin, nikah, yang berarti perjanjian antara dua orang (laki-laki dan wanita) yang mau menjadi suami-isteri secara resmi dan sah. Lihat J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. I; Pustaka Sinar Harapan: 2001), h. 943 1 2 nama Tuhan dan menurut ajaran-ajaran Ilahiah-Nya. Bahkan lebih jauh dari itu, ia mendorong ke arah peningkatan spiritual, moralitas, integritas sosial, kedamaian, cinta dan banyak lagi.2 Oleh karena itu, di antara tujuan perkawinan adalah terjalinnya hubungan yang permanen atau kekalnya sebuah perkawinan. Perkawinan dalam Islam mengandung beberapa aspek, yakni aspek ibadah,3 hukum, dan sosial. Dilihat dari aspek ibadah, perkawinan merupakan ibadah kepada Allah swt, yang berarti menyempurnakan sebagian dari agama. Dari aspek hukum, perkawinan adalah suatu perjanjian yang kuat, yang di dalamnya mengandung komitmen bersama, yang menuntut adanya pemenuhan hak dan kewajiban bagi keduanya. Dari aspek sosial, perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang saling mencintai dan saling mengasihi antara sesama anggota keluarga, yang pada gilirannya dapat membentuk suatu bangunan umat atau masyarakat yang dicita-citakan dalam agama Islam.4 Oleh karena itu, setiap pribadi muslim dituntut untuk tidak hidup menyendiri, dan bagi mereka yang sudah berkeluarga dituntut untuk mempertahankan keutuhan 2 Lihat Ali Hosein Hakeem, et al., Islam and Feminism: Theory, Modelling, and Applications. Diterjemahkan oleh A.H. Jemala Gembala dengan judul Membela Perempuan Menakar Feminisme dengan Nalar Agama. (Cet. I; Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 255 3 رواﻩ اﻟﻄﱪاﱏ. إذا ﺗﺰوج اﻟﻌﺒـﺪ ﻓﻘـﺪ إﺳﺘﻜﻤﻞ ﻧﺼﻒ اﻟﺪﻳﻦ ﻓﻠﻴﺘﻖ اﷲ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻘﻲ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: ﻋﻦ أﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎل Artinya: Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah saw bersabda: Jika seorang hamba telah kawin maka dia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karena itu, hendaklah bertakwa kepada Allah swt terhadap sisanya. Riwayat al-Ṭabrani. 4 Lihat Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Cet.III; Jakarta: Bulan Bintang), h. 5 – 8. Dan lihat Nur Taufiq, Syikak Dalam Hukum Keluarga Islam. Disertasi h. 2 3 dan kelangsungan hidup rumah tangganya dengan menjauhi hal-hal yang bersifat destruktif, seperti zina, mabuk-mabukan, selingkuh dan sebagainya. Sejalan dengan maksud dan tujuan perkawinan yaitu kekalnya perkawinan, pemerintah membuat perundang-undangan yang menekankan pentingnya perdamaian sebagai langkah awal dalam setiap perkara yang diajukan ke lembaga peradilan, khususnya lembaga Peradilan Agama di Indonesia. Ini berarti, meskipun huru-hara perkawinan sudah berada di tingkat peradilan, namun upaya harmonisasi dan keutuhan sebuah rumah tangga tetap menjadi prioritas utama oleh para hakim. perceraian5 tidak dapat dibendung. Akan tetapi kenyataannya, Terbukti dengan banyaknya institusi perkawinan yang hancur di tengah jalan, berakhir dengan perceraian di meja pengadilan, yang tentunya melahirkan berbagai problem kemasyarakatan, bahkan penderitaan bagi anak-anak mereka. Hal ini tampak misalnya pada kasus kawin-cerai yang lagi trend dilakukan oleh para artis dan selebritis. Selain itu, angka perceraian di Indonesia mencapai angka yang fantastis. Setiap tahunnya kurang lebih seratus lima puluh ribu pasangan berpisah, Badan Pusat Statistik Nasional mencatat bahwa pada tahun 2001 peristiwa cerai sebanyak 144. 821 kasus, dan yang rujuk kembali sebanyak 249 5 Perceraian: putus hubungan suami-istri, disebut juga dengan talak yaitu perceraian dalam hukum Islam antara suami-istri yang dijatuhkan oleh suami, Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet.I; Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 163 dan 888. 4 pasang dari 1. 813.493 peristiwa nikah. 6 Ini berarti, perceraian berjumlah sebanyak 7,40 % dari total jumlah peristiwa nikah yang terjadi pada tahun yang sama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam setiap kurang lebih 12,5 peristiwa nikah, terdapat 1 pasangan cerai. Angka tersebut tampak tidak terlalu signifikan, namun jika perceraian itu dilihat dari angka rata-rata perbulan, maka angka tersebut cukup memprihatinkan, yaitu setiap bulan jumlah rata-rata perceraian sebanyak kurang lebih 12. 068 pasangan cerai. Itu juga berarti bahwa terdapat kurang lebih 402 pasangan cerai yang terjadi dalam setiap harinya. Pada tahun 2004, perceraian memang sedikit mengalami penurunan yaitu tercatat sebanyak 141. 240 peristiwa. 7 Akan tetapi pada tahun 2005, perceraian kembali mengalami peningkatan sehingga mencapai angka 150. 395 peristiwa.8 Kemudian turun lagi sedikit pada tahun 2006, yaitu sebanyak 148. 890 peristiwa.9 Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa angka perceraian di Indonesia, yang tercatat berkisar sebanyak 150.000 pasangan cerai. Namun, bila hal tersebut dihitung dengan pasangan cerai yang tidak terdaftar, kemungkinan besarnya mencapai angka kurang lebih 200.000 pasangan cerai setiap tahunnya, meskipun penulis belum menemukan data autentik mengenai hal tersebut. 6 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2002, h. 84 7 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2005/2006, h. 105 8 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2007, h. 103 9 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2008, h. 115 5 Di wilayah Sulawesi Barat,10 Polewali Mandar, selanjutnya disebut Polman11 misalnya, tahun 2004/2005 sejumlah 123 pasangan bercerai, tahun 2009 meningkat menjadi 222 kasus perceraian yang telah diputus oleh Pengadilan Agama Polewali, dengan kurang lebih 9 alasan atau faktor perceraian.12 Ini berarti, angka perceraian pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebanyak 80,5% dibandingkan pada tahun 2004/2005. Faktor- faktor tersebut, di antaranya adalah faktor yang dapat dikategorikan tindakan nusyūz (selanjutnya ditulis nusyus), misalnya tidak bertanggung jawab dan penganiayaan atau kekerasan dalam rumah tangga. Selain data di atas, fakta lain menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga, umumnya dilakukan oleh para suami. Karena itu, tidak mengherankan bila kasus perceraian di Pengadilan Agama, yang terbanyak adalah gugat cerai. Sebagai contoh, Pengadilan Agama Kota Makassar periode Januari – Oktober 2008, gugat cerai yang sudah diputus sebanyak 627 kasus, sementara cerai dari pihak suami atau cerai talak sebanyak 361 kasus. 13 Ini 10 Sulawesi Barat adalah salah satu propinsi dari 6 propinsi di Pulau Sulawesi. Propinsi ini merupakan propinsi ke-33 di Negara Republik Indonesia, daerah pemekaran dari Propinsi Sulawesi Selatan berdasarkan UU RI No. 26 Tahun 2004 tertanggal 5 Oktober 2004 yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden RI tanggal 16 Oktober 2004. Terdiri atas 5 kabupaten, yaitu : Kabupaten Polewali Mandar, Majene, Mamasa, Mamuju, dan Mamuju Utara. Lihat Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, (Cet.I; Makassar: INDOBIS, 2006), h. 243 11 Sebelumnya bernama Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas). Perubahan nama terjadi ketika kecamatan Mamasa memisahkan diri dari kabupaten induknya dan menjadi Kabupaten Mamasa. 12 Data diambil dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kab. Polman 13 Data diambil dari Pengadilan Agama Makassar pada tanggal 1 Desember 2008 6 berarti jumlah gugat cerai 27 % lebih banyak dari jumlah cerai talak. Selain itu, Pengadilan Agama Polewali Sulawesi Barat, priode Januari – Desember 2009, gugat cerai yang sudah diputus sebanyak 150 kasus, sementara cerai talak sebanyak 72 kasus.14 Artinya, gugat cerai 35,2 % lebih banyak dari cerai talak. Angka ini mengisyaratkan bahwa sebenarnya nusyus banyak dilakukan oleh pihak suami, bukan istri. Demikian pula persepsi umumnya masyarakat muslim, bahkan sebagian hakim berasumsi bahwa tindakan nusyus dilakukan hanya oleh pihak istri dalam suatu rumah tangga. Hal tersebut menunjukkan betapa seriusnya kasus dan problema dalam rumah tangga muslim di Indonesia, yang nota bene mayoritas beragama Islam. Agama yang mengatur dan menata sistem keluarga, agar berjalan dengan penuh cinta dan kasih sayang di bawah naungan, bimbingan dan keridaan Allah swt. Berdasarkan data di atas, terdapat beberapa hal yang perlu dikaji lebih mendalam. Di antaranya; faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya nusyus dalam keluarga muslim; bentuk-bentuk nusyus yang bagaimana yang dialami oleh pasangan suami-istri sehingga mereka mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama; dan bagaimana model solusi yang seharusnya ditempuh oleh keluarga muslim yang mengalami kasus nusyus. 14 Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kab. Polman tahun 2008 7 Dalam al-Qur’an sendiri, ayat yang berbicara tentang nusyus disebutkan sebanyak dua kali, yaitu QS al-Nisā’/4: 34, dan QS al-Nisā’/4: 128. َﺿ ِﺮﺑُ ْـﻮُﻫـ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌـﻨَـ ُﻜ ْﻢ ﻓـَﻼ ْ ﺎﺟـ ِﻊ َوا ِﻀ َ َواﻟﱠِْﱴ ﲣََﺎﻓـُ ْﻮ َن ﻧُ ُﺸ ْﻮَزﻫـُ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُْﻮُﻫـ ﱠﻦ َوا ْﻫ ُﺠ ُﺮْوُﻫـ ﱠﻦ ِﰱ اﻟْ َﻤ..... . ( 34 ) اﻟﻨﺴﺎء.ﺗَـْﺒـﻐُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬـ ﱠﻦ َﺳﺒِـْﻴـﻼً إِ ﱠن اﷲَ َﻛﺎ َن َﻋﻠِﻴﺎ َﻛﺒِْﻴـًﺮا Terjemahnya : ......Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.15 ﺻ ْﻠ ًﺤﺎ ُ ﺼﻠِ َﺤﺎ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ ْ ُﺿﺎ ﻓَ َﻼ ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَْﻴ ِﻬ َﻤـﺎ أَ ْن ﻳ ً ـﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌﻠـِﻬـَﺎ ﻧُ ُﺸ ْـﻮًزا أَْوإِ ْﻋَﺮا ْ ََوإِ ِن ا ْﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ )اﻟﻨﺴﺎء.ﲢ ِﺴﻨُـ ْﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘ ْـﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﷲَ َﻛﺎ َن ﲟَِﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُ ْﻮ َن َﺧﺒِْﻴـًﺮا ُْ ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُ ت ْاﻷَﻧْـ ُﻔ ِ ﻀَﺮ ِ ﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧْﻴـٌﺮ َوأُ ْﺣ َواﻟ ﱡ (128 Terjemahnya : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir , dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyus dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.16 Ayat pertama merujuk pada nusyus istri, sementara ayat kedua merujuk pada nusyus suami. Namun, kedua ayat tersebut tidak merinci tentang 15 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 123 16 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 143 8 bentuk-bentuk dan faktor-faktor apa saja yang kemungkinannya dapat menimbulkan terjadinya nusyus dalam suatu rumah tangga. Hal ini dapat dimengerti, karena al-Qur’an merupakan sebuah pedoman atau tuntunan, yang sebagiannya masih bersifat umum. Namun demikian, ayat tentang nusyus telah memberikan solusi, baik solusi internal maupun eksternal, jika seandainya terjadi atau ada indikasi terjadinya nusyus tersebut, walaupun solusi tersebut, masih menimbulkan berbagai penafsiran sesuai dengan tinjauan dan paradigma yang digunakannya. Atas dasar penjelasan tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang tema nusyus sebagai salah satu pemicu terjadinya perceraian, khususnya dilihat dari segi faktor-faktor penyebab munculnya, serta mengapa proses itu sampai berujung di meja pengadilan. Penelitian ini lebih menarik lagi, ketika asumsi sebagian orang, bahkan di antara hakim pengadilan agama sendiri mempersepsikan bahwa nusyus itu hanya dilakukan oleh pihak istri, tidak oleh suami, sementara dalam al-Qur’an secara jelas mengemukakan terjadinya nusyus oleh pihak suami. Lebih dari itu, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa data di beberapa Pengadilan Agama menunjukkan bahwa pengabaian tanggung jawab dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga, umumnya dilakukan oleh pihak suami. 9 B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus 1. Fokus penelitian Fokus yang diteliti pada penelitian ini yaitu problematika nusyus keluarga muslim yang mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polewali Mandar tahun 2009, meliputi : a. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya nusyus dalam keluarga muslim di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polman Tahun 2009 b. Bentuk-bentuk nusyus yang dialami oleh pasangan suami-istri yang mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polman Tahun 2009 c. Model penyelesaian masalah nusyus oleh keluarga muslim di Kabupaten Polman 2. Deskripsi fokus Fokus yang diteliti pada penelitian ini, bila dikemukakan dalam bentuk deskripsi fokus penelitian akan diuraikan sebagai berikut : a. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya nusyus dalam keluarga muslim di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polman Tahun 2009, 10 meliputi: faktor penyebab nusyus dari internal dan eksternal, baik dari suami maupun dari istri. b. Bentuk-bentuk nusyus yang dialami oleh pasangan suami-istri yang mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polman Tahun 2009, meliputi: bentuk nusyus yang dilakukan oleh suami dan bentuk nusyus yang dilakukan oleh istri. c. Model penyelesaian masalah nusyus oleh keluarga muslim di Kabupaten Polman, meliputi: bentuk pembinaan terhadap pasangan suami-istri dan pola penyelesaian masalah nusyus. Deskripsi fokus penelitian seperti yang dikemukakan dapat dilihat dalam uraian bentuk matriks, sebagai berikut: Gambar 1.1 Matriks Fokus Penelitian Masalah Uraian Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya nusyus dalam keluarga muslim di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polman Tahun 2009 a. Faktor-faktor penyebab nusyus dari internal pihak suami b. Faktor-faktor penyebab dari internal istri c. Faktor-faktor eksternal yang berasal dari pihak keluarga kedua belah pihak, dan d. Faktor –faktor lain yang menjadi penyebab nusyus Bentuk-bentuk nusyus yang dialami oleh pasangan suami-istri yang mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Polewali d. Bentuk nusyus yang dilakukan oleh suami e. Bentuk nusyus yang dilakukan 11 Kabupaten Polman Tahun 2009 Model penyelesaian masalah nusyus oleh keluarga muslim di Kabupaten Polman oleh istri f. Bentuk pembinaan pasangan suami-istri g. Pola penyelesaian nusyus terhadap masalah C. Rumusan Masalah Pokok kajian dalam penelitian ini, setidaknya telah tergambar dalam latar belakang masalah, namun untuk menfokuskan pembahasan perlu dipertegas lagi agar permasalahan tidak melebar keluar dari inti persoalan yang dimaksud sekaligus rumusan permasalahan yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini. Pokok masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perceraian yang diakibatkan oleh tindakan nusyus dari suami-istri yang bercerai di Pengadilan Agama Tingkat Pertama Kabupaten Polman tahun 2009. Dengan demikian, penelitian dibatasi pada kasus-kasus perceraian yang terjadi, khususnya dengan alasan nusyus, di Kabupaten Polman tahun 2009. Kabupaten Polman Sulawesi Barat, dipilih sebagai wilayah penelitian didasarkan atas beberapa pertimbangan, di antaranya : Pertama, Kabupaten Polman adalah wilayah yang memiliki kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk yang tertinggi di Propinsi Sulawesi Barat; kedua, Penduduk Kabupaten Polman mayoritas beragama Islam dan bersifat heterogen; dan ketiga, Kabupaten Polman memiliki tingkat perkara dan perceraian yang 12 tertinggi di Propinsi Sulawesi Barat. 17 Di samping itu, kasus-kasus yang dijadikan fokus penelitian adalah kasus-kasus yang diputuskan di sepanjang tahun 2009. Pertimbangannya, adalah bahwa data paling mutakhir yang mungkin didapatkan secara utuh adalah data pada tahun tersebut, mengingat tahun 2009 telah akan berakhir, sementara tahun berikutnya akan berlangsung. Dari pokok masalah tersebut, kemudian dirinci ke dalam beberapa sub permasalahan dicari jawabannya sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya nusyus dalam keluarga muslim yang mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polman ? 2. Bagaimana bentuk-bentuk nusyus yang dialami pasangan suami-istri yang mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polman ? 3. Bagaimana model penyelesaian masalah nusyus oleh keluarga muslim di Kabupaten Polman ? D. Kajian Pustaka 17 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk menurut kabupaten di Propinsi Sulawesi Barat pada tahun 2007, masing-masing : Majene sebanyak 133 232 penduduk, Polman sebanyak 361 202 penduduk, Mamasa sebanyak 123 786 penduduk, Mamuju sebanyak 296 828 penduduk, dan Mamuju Utara sebanyak 101 615 penduduk. Banyaknya penduduk yang beragama Islam di Propinsi Sulawesi Barat pada tahun 2007, masing-masing : Majene sebanyak 137 214 orang, Polman sebanyak 339 792 orang, Mamasa sebanyak 22 992 orang, Mamuju sebanyak 227 228 orang, dan Mamuju Utara sebanyak 76 924 orang. Sementara perkara yang diterima dan diputuskan oleh Pengadilan Agama menurut kabupaten di Sulawesi Barat tahun 2007, masing-masing : Majene, masuk sebanyak 111 dan diputus sebanyak 110 perkara. Polman, masuk sebanyak 271 dan diputus sebanyak 274 perkara (termasuk sisa perkara tahun sebelumnya). Lihat Badan Pusat Statistik, Sulawesi Barat Dalam Angka 2008, h. 52, 122, dan 131 13 Sejauh pengamatan dan penulusuran, belum ada literatur yang menulis secara khusus kajian tentang faktor-faktor penyebab, bentuk-bentuk, dan upaya penyelesaian yang berkaitan dengan masalah nusyus dalam realitas kehidupan keluarga pada masyarakat muslim di Kabupaten Polman khususnya, dan pada hukum keluarga muslim Indonesia secara umum. Namun demikian, dari karya-karya yang terkait dengan tema penelitian, ditemukan beberapa literatur yang menguraikan hal tersebut, meskipun tidak secara khusus, di antaranya: Amir Syarifuddin, menulis buku yang berjudul Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Buku ini tampak merupakan buku perbandingan. Penulisnya mencoba memaparkan pandangan ulama fikih dan undang-undang perkawinan tentang masalah-masalah keluarga. Uraian tentang nusyus tak terlewatkan dalam buku ini, meskipun masih sangat fikih sentris. Baginya nusyus istri adalah kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa yang diwajibkan Allah atasnya, sedangkan nusyus suami adalah pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Selain itu, Amir Syarifuddin juga menjelaskan tentang cara penyelesaiannya, baik nusyus istri maupun nusyus suami, meski tidak terdapat perbedaan secara signifikan dengan apa yang terdapat di dalam buku-buku fikih klasik. Wahbah al-Zuhailī, juga menyinggung sepintas lalu tentang nusyus. Istri nusyus baginya adalah kedurhakaan istri terhadap suaminya dalam hal apa 14 yang diwajibkan padanya karena adanya akad perkawinan. Ulama kontemporer ini juga menjelaskan tentang kapan seorang wanita dianggap nusyus, di samping beberapa pandangan dari berbagai mazhab yang masyhur, serta akibatnya yakni hilangnya atau gugurnya biaya hidup/ nafaqah bagi istri. Namun demikian, ia tidak menyinggung sama sekali tentang tindakan nusyus yang dilakukan oleh suami. Ibn Quddāmah dalam ensiklopedi hukumnya, al-Mughnī, selain menguraikan masalah-masalah fikih pada umumnya, juga tak melewatkan pembahasan tentang nusyus. Demikian pula, pembahasan tentang solusi nusyus seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Namun, belum tampak uraian yang mendetail tentang masalah nusyus tersebut. Kajian lain yang berkaitan dengan Hukum Keluarga Islam Indonesia adalah disertasi yang berjudul syikak dalam Hukum Keluarga Islam. Disertasi yang belum terpublikasikan tersebut juga menguraikan masalah nusyus. Namun penekanan utamanya pada masalah syikak. Nur Taufiq dalam disertasi yang dipertahankannya di depan tim penguji UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyimpulkan bahwa syikak adalah istilah yang menggambarkan kondisi yang sudah pecah antara suami-istri, meskipun mereka masih berada dalam sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian, tulisan ini cenderung melakukan redefinisi tentang syikak. 15 Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana, Studi Peradilan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan mendiskripsikan berbagai kasus yang dinilai berbau kekerasan terhadap perempuan. Buku ini, fokusnya adalah pada persoalan bagaimana akses perempuan kepada keadilan yang disediakan oleh negara, ketika dirinya menjadi korban kekerasan (domestik dan pablik). Di antara kasus yang dideskripsikan adalah kasus nusyus. Meskipun demikian, buku ini tidak melacak lebih jauh faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya nusyus. Berangkat dari penelitian lapangan, buku ini menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan “bersembunyi” dalam kasus perdata. Jika demikian, lanjut penulisnya dikotomi secara klasik dan hegemonik antara ruang perdata dan pidana tidak berlaku berdasarkan pengalaman dan perspektif perempuan. Literatur-literatur tersebut, sedikit banyak telah memberikan gambaran tentang apa yang akan dikaji dalam penelitian ini. Namun perbedaannya adalah bahwa penelitian ini berangkat dari kasus-kasus yang terjadi dalam realitas masyarakat muslim di Sulawesi Barat, khususnya di Polman, yang mengungkap fakta-fakta perceraian dari kasus-kasus nusyus yang diajukan oleh masyarakat ke lembaga Peradilan Agama Polewali. Dengan begitu, penelitian ini cenderung berada pada jalur penelitian sosiologis yang sarat dengan nuansa lokal, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. 16 Walaupun demikian, harus diakui bahwa keseluruhan literatur di atas tentunya akan memberikan kontribusi yang sangat berharga dalam membantu penulis untuk melakukan pembahasan dan analisa yang lebih mendalam. E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan yang diajukan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: a. Merumuskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya nusyus di Kabupaten Polewali Mandar. b. Mengungkap bentuk-bentuk nusyus yang dilakukan oleh keluarga muslim yang bercerai di Kabupaten Polewali Mandar. c. Menganalisis sulitnya pengadilan mendamaikan perkara perceraian karena tindakan nusyus. 2. Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan, maka hasil penelitian ini diharapkan berguna atau bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut : 17 a. Menambah khazanah pengembangan ilmu hukum Islam, khususnya problematika nusyus dalam hukum keluarga muslim. b. Sebagai bahan informasi bagi kalangan akademisi atau calon peneliti lainnya yang akan mengkaji perspektif serupa. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut : a. Sebagai bahan masukan bagi para keluarga muslim Indonesia, khususnya keluarga muslim di Kabupaten Polewali Mandar, bagaimana mengantisipasi konflik rumah tangga yang dilatar belakangi oleh tindakan nusyus. b. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan lembaga peradilan di Indonesia tentang kondisi dan pemahaman agama keluarga muslim di Kabupaten Polewali Mandar, khususnya pemahaman tentang nusyus. c. Sebagai bahan masukan bagi para penentu kebijakan, para tokoh dan ulama bagaimana menyikapi dan mengantisipasi keretakan rumah tangga yang diakibatkan oleh tindakan nusyus. 18 18 BAB II TINJAUAN TEORETIS A. Pengertian dan Langkah Penanganan Kasus Nusyus 1. Pengertian dan dasar hukum nusyus Di antara situasi dalam kehidupan rumah tangga yang mengindikasikan adanya keretakan pada rumah tangga yang dapat berujung pada perceraian -selain syiqāq (syikak)1 dan perbuatan zina (fāhisyah) yang mengakibatkan saling tuduh-menuduh antara keduanya- adalah nusyus.2 Kata “nusyus atau nusyūz” berasal dari kata bahasa arab : al-nasyz atau al-nasyaz yang menunjuk pada arti ketinggian atau tempat yang tinggi. Jadi, nasyaz berarti tinggi atau ketinggian. ﻧَ َﺸـَﺰ ﻓُﻼَ ٌنartinya seseorang yang ingin tinggi, atau orang yang bangkit dari tempatnya. Karena itu istilah al-nasyaz digunakan untuk sesuatu yang bermakna “al-iḥyā” (menghidupkan) karena bergerak dari atas ke bawah atau dari suatu onggokan tanah kemudian bangkit dan hidup seperti pada firman Allah swt QS al-Baqarah/2: 259 ﻒ َ َواﻧْﻈُْﺮ إِ َﱃ اﻟْﻌِﻈَ ِﺎم َﻛْﻴ 1 Perbedaan syikak dengan nusyus adalah jika syikak merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua belah pihak secara bersama-sama, maka nusyus perselisihannya hanya berawal dan terjadi pada salah satu pihak, suami atau istri. 2 Terdapat empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu : Terjadinya nusyus dari pihak istri, terjadinya nusyus dari pihak suami, terjadinya syiqāq, dan salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fāḥisyah), yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 1995), h. 269 - 272 19 ﻧـُْﻨ ِـﺸـُﺰﻫـَﺎ.3 Ibn Manẓūr sebagaimana ditulis ‘Ali al-Ṣābūni menyebutkan, nusyus adalah kebencian seorang pasangan terhadap pasangannya. Terambil dari kata “nasyaza” yang berarti apa yang tinggi di atas permukaan tanah. Nasyaza alrajul berarti seseorang yang duduk lalu berdiri, sebagaimana dalam firman Allah QS al-Mujādilah/58: 11 “” َوإِذَا ﻗِْﻴ َﻞ اﻧْ ُﺸ ُﺰْوا ﻓَﺎﻧْ ُﺸ ُﺰْوا.4 Arti lain adalah mempersulit pasangan dengan cara menjauhi dan memukuli pasangannya. 5 Ibn Jarīr dan Ibn Zaid sebagaimana dikutip oleh al-Sayūṭi mengartikan nusyus dengan “bugḍ” (kebencian), dan khilāf” (penentangan).6 Nusyus juga berarti “al-‘iṣyān” atau “ma’ṣiayat” (kedurhakaan). Nasyazat al-mar-atu artinya istri durhaka kepada suaminya. Waḥbah al-Zuḥailī mengartikan kata nusyus dengan “al-‘iṣyān” (durhaka atau tidak patuh)7, lawan 3 Terjemahnya, “dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali”. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 64. Lihat Al-Rāgib al-Aṣfahānī, Mu’jam Mufradāt al-Fāz al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 514. 4 Terjemahnya: “Dan apabila dikatakan berdirilah kamu, maka berdirilah.” Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 910. Lihat ‘Ali al-Ṣābūni, Rawāi’ al-Bayān Tafsīr Ᾱyāt alAḥkām Min al-Qur’ān, vol. I, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, t.th.), h. 464. Lihat pula, Luwais al-Ma’lūf, al-Munjid Fī al-Luqah wa al-A’lām, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1994), h. 809. 5 Ḥusain Aḥmad Ibn Fāris bin Zakariyyā, Mu’jam al-Maqāyīs Fī al-Lughah, (Beirut: Dār alFikr, 1994), h. 1028. ﺟﻔﺎﻫﺎ وﺿﺮ ـﺎ: ﻧﺸـﺰ ﺑﻌﻠﻬﺎ. إﺳﺘﺼﻌﺒـﺖ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﻠﻬﺎ:ﻧﺸـﺰت اﳌﺮأة 6 Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol. II, (Beirut: Dār alFikr, 1993), h. 521 7 Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, vol. V, (Beirut: Dār al-Fikr, 1991), h. 53 20 dari kata “al-ṭāi’ah” atau “al-qunūt” (taat).8 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nusyus berarti “perbuatan tidak taat dan pembangkangan seorang istri terhadap suami (tanpa alasan) yang dibenarkan oleh hukum (Islam)”. 9 Secara terminologi, para ulama memberikan pengertian yang dekat dengan pengertian etimologisnya, meski dengan redaksi yang bervariasi. AlMarāgi mengartikan nusyus istri adalah kesombongan istri sehingga ia tidak melaksanakan hak-hak suami menurut cara yang disenangi.10 Abdurrahman al-Sayūṭi menulis nusyus istri adalah mengabaikan hak suami dan tidak mentaati perintahnya.11 Wahbah al-Zuḥailī mengatakan bahwa nusyus istri adalah kesombongan istri sehingga ia keluar dari ketentuan-ketentuan suamiistri, hak-hak, dan kewajiban-kewajibannya.12 Abū al-Qāsim al-Zamakhsyari mengatakan bahwa nusyus istri adalah mendurhakai suami dan tidak menyenangkannya yang mengakibatkan timbulnya kegelisahan. 13 Sedangkan Rasyīd Riḍa menulis, istri dianggap nusyus bila ia keluar dari hak suami, 8 Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. IV, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1996), h. 1353 9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, t.th.), h. 619 10 Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgi, Tafsīr al-Marāgi, vol. V, (t.t.: Dār al-Fikr, t.th), h. 28 11 Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol. II, h. 521 12 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, vol. V, h. 56 13 Maḥmūd Ibn ‘Umar Ibn Muḥammad Abū al-Qāsim al-Zamakhsyarī, selanjutnya disingkat al-Zamakhsyarī, Tafsir al-Kasysyāf, Juz I, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), h. 496 21 menyombongkan diri terhadapnya dan berusaha agar berada di atas pimpinannya, bahkan ia telah keluar dari tabiat alamiahnya dan tuntutan aturan fitrah dalam interaksi sosial (ta’āmul).14 Ungkapan-ungkapan di atas, tampaknya memang berbeda satu sama lain. Akan tetapi intinya adalah sama, yaitu keangkuhan seorang istri terhadap suaminya dengan keengganan melakukan perintah dan kewajibannya yang mengakibatkan kebencian suami terhadapnya. Berbeda dengan nusyus istri, nusyus suami menurut al-Zuḥailī, alZamakhsyari, dan al-Marāgi, mereka mengatakan bahwa nusyus suami adalah kesombongan suami atas istrinya dengan menahan diri dan nafkahnya, tidak memperlakukannya dengan penuh cinta dan kasih sayang, atau menyakitinya dengan makian, pukulan, dan sebagainya, ataukah berpaling dari padanya dengan banyak diam karena berbagai faktor seperti umur, akhlak, bentuk yang jelek, bosan, menginginkan wanita lain, dan sebagainya. 15 Amir Syarifuddin, ahli fikih Indonesia, juga membedakan pengertian antara nusyus istri dan nusyus suami. Nusyus istri adalah “kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah 14 Muḥammad Rasyīd Riḍa, Ḥuqūq al-Nisā’ Fī al-Islām, diterjemahkan Abu ‘Amir, Memenuhi Hak Sang Kekasih, (Yogyakarta: Absolut, 2002), h. 90 15 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, vol. V, h. 295. Dan al-Zamakhsyarī, Tafsir al-Kasysyāf, vol. I, h. 559, dan Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgi, Tafsīr al-Marāgi, vol. V, h. 171 22 atasnya”, sedangkan nusyus suami adalah “pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya”.16 Perbedaan pengertian antara nusyus istri dan nusyus suami sebagaimana ditulis oleh umumnya mufassir di atas, dinilai oleh kaum feminis sebagai bias gender. Bias ini menurut mereka berawal dari kesalahan dalam menerjemahkan kata “qānitāt” dalam arti “taat”, dan kemudian diasumsikan bermakna “taat kepada suami”. Pengertian tersebut menunjukkan subordinasi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki superioritas dibandingkan dengan kedudukan perempuan yang inferior, pada hal keduanya menurut mereka memiliki kedudukan yang sama. “Qānitāt” menurut Aminah Wadud lebih tepat diartikan dengan “baik”, yaitu suatu kata yang menggambarkan karakteristik personalitas kaum yang beriman kepada Allah, yang cenderung kooperatif satu sama lain dan tunduk di hadapan Allah.17 Alasannya, adalah karena al-Qur’an menggunakan kata “nusyus”, baik untuk laki-laki (QS al-Nisā’/4: 128) maupun untuk perempuan (QS al-Nisā’/4: 34), sehingga kata tersebut tidak tepat bila diartikan dengan “ketidakpatuhan 16 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007), h. 190 - 193 17 Dalam konteks al-Qur’an, kata “qānit” digunakan, baik untuk laki-laki (QS 2:238, 3:17, dan 33:35) maupun wanita (QS 4:34, 33:34, 66:5, dan 66:12) 23 kepada suami”. Karena itu, nusyus bagi mereka adalah “gangguan keharmonisan perkawinan”. Untuk memperkuat pendapatnya, Aminah Wadud mengutip pendapat Sayid Quṭb yang mengartikan “nusyus” sebagai suatu keadaan kacau di antara pasangan perkawinan.18 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) meski tidak terdapat apa yang dimaksud dengan nusyus, namun ketika merinci kewajiban istri terhadap suami, mengisyaratkan bahwa tindakan nusyus adalah perbuatan yang melekat pada istri, tidak kepada suami. Pasal-pasal itu adalah : Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. (Pasal 83 ayat 1) Istri dapat dianggap nusyus jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. (Pasal 84 ayat 1). Selama isteri dalam nusyus, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (Pasal 84 ayat 2) Pasal-Pasal di atas menunjukkan kecenderungan KHI itu masih bersifat fikih oriented, yaitu memandang bahwa tindakan nusyus dalam kehidupan rumah tangga melekat pada istri, tidak kepada suami, sekali lagi, suatu pemahaman yang dinilai bias jender oleh para kaum feminis. Pasal-pasal 18 Aminah Wadud, Qur’an and Women: Reading The Secred Text From a Woman’s Perspective, diterjemahkan oleh Abdullah Ali dengan judul, Quran Menurut Perempuan, Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir, (Jakarta: Serambi, 2001), h. 136 - 137 24 tersebut juga sekaligus meneguhkan kedudukan dan status suami setingkat di atas istri, yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana secara tersurat disebutkan pada pasal 79 ayat (1) KHI sama dengan bunyi Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 19. Menjawab pandangan para feminis di atas, penulis berpendapat bahwa perintah “taat kepada suami” tidak hanya diambil dari kata “qānitāt” saja, tapi justru disebutkan secara jelas diakhir ayat QS al-nisā’/4: 34 yang berbicara tentang nusyus istri. Yaitu “jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya”. Selain itu, al-Qur’an juga membedakan langkah antisipasi nusyus antara suami dan istri. Bila hakekat keduanya sama, maka tentu membedakan penanganannya adalah suatu ketidakadilan. 19 Pasal 79 ayat (1) KHI dan Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berbunyi : “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.” Terhadap ketentuan Pasal 31 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974 ini telah digugat oleh aliansi kaum perempuan Indonesia, karena dinilai tidak mencerminkan asas kesetaraan jender. Namun demikian, jika dihubungkan dengan Pasal 51 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, maka dipandang sudah terdapat asas kesetaraan jender dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 1/1974 itu. Pasal 51 ayat (1) UU No.39/1999 berbunyi : “Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.” Demikian pula, jika dihubungkan dengan budaya dan agama yang diyakini oleh mayoritas masyarakat Indonesia, maka ketentuan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 1/1974 tersebut, dapat dikategorikan sudah tepat. Seperti diketahui bahwa dalam masyarakat Patrilineal, perempuan ditempatkan sebagai subordinat terhadap laki-laki. Laki-laki dominan dan menentukan daripada perempuan. Dalam pandangan agama Kristen diyakini bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga laki-laki harus melindungi kaum perempuan. Dalam agama Islam pada umumnya diyakini bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Lihat Djaja S. Meliala, Kata Pengantar Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. v 25 Untuk menjembatani keragaman pengertian nusyus sebagaimana yang telah diuraikan dan menggambarkan pengertian nusyus suami dan nusyus istri, agaknya lebih tepat adalah pengertian yang diungkapkan oleh Kamil al-Hayāli yang menyatakan bahwa nusyus adalah “keluarnya suami-istri atau salah satunya dari tugas dan kewajibannya, dan tidak melaksanakan hal itu karena keengganan dan ketidakpatuhannya.20 Bertitik tolak dari definisi di atas, seorang suami dianggap nusyus bila ia meninggalkan kewajibannya, baik yang bersifat materi seperti nafkah maupun yang bersifat non materi seperti perlakuan suami terhadap istrinya dengan cara yang tidak baik. Sebaliknya, istri dianggap nusyus, bila ia meninggalkan kewajibannya yang bersifat non materi, seperti berkata sopan atau lemah lembut, menjaga kehormatan, dan menjaga harta yang didapatkan oleh suaminya. Para ulama fikih menyebutkan beberapa perbuatan yang termasuk kategori nusyus istri. Kategori itu antara lain: istri membangkang terhadap suami; tidak patuh terhadap ajakan atau perintahnya; menolak hubungan intim (hubungan suami istri) tanpa alasan yang jelas dan sah; atau istri keluar meninggalkan rumah tanpa persetujuan atau izin suami, atau paling tidak 20 Kamil al-Hayāli, al-Khilafāt al-Zaujiyyah, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin, Solusi Islam dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 40 26 diduga tidak disetujuinya.21 Senada dengan itu, Wahbah al-Zuḥailī juga menyebutkan istri dinilai nusyus, apabila ia tidak taat kepada suami terhadap apa yang seharusnya ditaati, begitu pun ia keluar dari rumah tanpa izin suami, 22 kecuali keluarnya itu untuk menemui hakim (ulama) untuk menanyakan sesuatu yang hak.23 Tanda-tanda bahwa istri itu nusyus dapat dilihat dari dua hal, yaitu : (a) dari segi perbuatan, ia berpaling, bermuka muram, dan merasa berat untuk mengerjakan terhadap apa yang diperintahkan kepadanya; dan (b) dari segi perkataan, ia menjawab dengan kata-kata yang kasar.24 Muḥammad Amīn al-Kurdī menyebutkan bahwa istri dinilai nusyus bila menampakkan raut muka yang kasar/galak terhadap suami, yang biasanya tidak seperti itu; dan keluar dari rumah tanpa suatu alasan yang dibenarkan oleh syara’, seperti istri yang keluar untuk menanyakan sesuatu hukum syara’.25 Sementara perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai nusyus suami tidak banyak ditemukan dalam pembahasan ulama fikih. Tidak dibahasnya 21 Sayid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, vol. VII, (Kairo: Maktabah al-Adab, 1966), h. 175 22 Pendapat ini didasarkan kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar bahwa dia melihat seorang wanita datang kepada Nabi dan bertanya, apa hak suami terhadap istrinya. Nabi menjawab : . وﻣﻼﺋﻜﺔ اﻟﻐﻀﺐ ﺣﱴ ﺗﺘﻮب أوﺗﺮﺟـﻊ، ﻓﺈن ﻓﻌﻠﺖ ﻟﻌﻨﻬﺎ اﷲ وﻣﻼﺋﻜﺔ اﻟﺮﲪـﺔ، ﺣﻘﻪ ﻋﻠﻴﻬﺎ أﻻ ﲣﺮج ﻣﻦ ﺑﻴﺘﻬـﺎ إﻻ ﺑﺈذﻧﻪLihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, (Damsyik: Dār al-Fikr, 1997), h. 6851 - 6852 23 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 6855 24 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol.IX, h. 6855 25 Lihat Muḥammad Amīn al-Kurdī, Tanwīr al-Qulūb, (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 322 27 nusyus suami dapat dimaklumi, karena pada prinsipnya nusyus bagi mereka melekat pada si istri, bukan kepada suami. Selain itu, bentuk-bentuk nusyus suami tidak perlu diuraikan secara rinci karena nusyus suami berkaitan dengan perintah Allah secara langsung, sedang hukum-hukum Allah swt sudah jelas.26 Namun demikian, di sini dapat disebutkan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan nusyus dari suami, yaitu mengabaikan hak istri atas dirinya; dan menganggap sepi atau rendah terhadap istrinya.27 Dasar hukum nusyus dapat dilihat dari dua sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadis Rasulullah. Dasar hukum tersebut adalah sebagai berikut: a. Al-Qur’an Ayat yang berbicara tentang persoalan rumah tangga yang berkaitan dengan nusyus, dapat dijumpai dalam al-Qur’an sebagai berikut : 1) QS al-Nisā’/4: 34 ﺿ ِﺮﺑـُ ْﻮُﻫـ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ْ ﺎﺟـ ِﻊ َوا ِﻀ َ َواﻟﱠِْﱴ ﲣََﺎﻓـُ ْﻮ َن ﻧُ ُﺸ ْﻮَزُﻫـ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُْﻮُﻫـ ﱠﻦ َوا ْﻫ ُﺠ ُﺮْوُﻫـ ﱠﻦ ِﰱ اﻟْ َﻤ..... (34) .اﷲَ َﻛﺎ َن َﻋﻠِﻴـﺎ َﻛﺒِْﻴـ ًﺮا ﺗَـْﺒـﻐُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺳﺒِْﻴﻼً إِ ﱠن Terjemahnya : 26 Berbeda dengan nusyus istri, selain berkaitan dengan Allah ia juga berkaitan dengan suami, karena itu perlu dijelaskan secara rinci, sebab perintah suami bisa bermacam-macam. 27 Lihat Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 4 (Jakarta: Ichtiar Baru, 1996), h. 1354 28 … wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.28 2) QS al-Nisā’/4: 128 ﺻ ْﻠ ًﺤـﺎ ُ ﺼﻠِ َﺤﺎ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ ْ ُﺿﺎ ﻓَ َﻼ ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَْﻴ ِﻬ َﻤـﺎ أَ ْن ﻳ ً ﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ْﻮًزا أَْو إِ ْﻋَﺮا ْ ََوإِ ِن ا ْﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ (128) .ﺲ اﻟ ﱡﺸـ ﱠﺢ َوإِ ْن ُْﲢ ِﺴﻨُ ْـﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘ ْـﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﷲَ ﻛﺎَ َن ﲟَِﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُ ْـﻮ َن َﺧﺒِﻴـًْﺮا ُ ﻀَﺮ ِت ْاﻷَﻧْـ ُﻔ ِ ﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧْﻴـٌﺮ َوأُ ْﺣ َواﻟ ﱡ Terjemahnya : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir , dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyus dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”29 Dalam kitab-kitab tafsir dan fikih, kedua ayat di atas dikenal sebagai ayat-ayat nusyus. Ayat pertama berbicara tentang nusyus istri, dan ayat kedua berbicara tentang nusyus suami. Ayat-ayat tersebut turun menurut sebagian ulama adalah dalam konteks masyarakat Arab ketika itu yang terbiasa dengan 28 29 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 123 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 143 29 kekerasan terhadap perempuan (istri). Sebut misalnya pemukulan yang dilakukan oleh Sa’ad Ibn al-Rabī’ terhadap istrinya Habībah binti Zaid.30 Pelecehan dan pemukulan adalah di antara bentuk kekerasan yang paling sering dilakukan pada masa itu. Dengan demikian, ruh atau semangat yang terkandung dalam kedua ayat yang dikemukakan di atas adalah bentuk penghapusan atau pelarangan tindakan kekerasan dan pemukulan terhadap para perempuan (istri). Kondisi masyarakat Arab yang merupakan bagian dari sistem kehidupan umat manusia yang didominasi oleh sistem patrilinial ketika itu, menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua (the second human being), ia berada di bawah superioritas laki-laki. Selanjutnya, kondisi tersebut membawa dampak yang luas dalam kehidupan sosial masyarakat, yaitu perempuan terkadang dianggap sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan untuk kepentingan laki-laki. Dari sini kemudian timbul berbagai bentuk tindakan penyimpangan terhadap hak dan kewajiban, tindakan kekerasan, pelecehan seksual dan sebagainya terhadap perempuan (istri). Keadaan tersebut kemudian dilegitimasi oleh pemahaman yang keliru terhadap teks-teks keagamaan yang ditafsirkan secara parsial, termasuk di antaranya ayat tentang nusyus istri yang membolehkan pemukulan. 30 Lihat Alā’ al-Dīn al-Kāsāni, Badāi’ al-Ṣanāi’, h. 53 30 b. Hadis Hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah nusyus, di antaranya adalah : 1) Hadis dari Hasan yang dikeluarkan oleh al-Faryābī ﺎص َ ﺼ َ ﺲ اﻟْ ِﻘ ُ ت ﺗَـ ْﻠﺘَ ِﻤـ ْ َ ﻓَ َﺠﺎء، ُﺼﺎ ِر ﻟَﻄَ َﻢ ا ْﻣَﺮأَﺗَـﻪ َ ْ أَ ﱠن َر ُﺟﻼً ِﻣ َﻦ ْاﻷَﻧ: أَ ْﺧَﺮ َج اﻟْ َﻔ ْﺮﻳَ ِﺎﰉ َﻋ ِﻦ اﳊَْ َﺴـ ِﻦ ﺖ َ ﻚ َو ْﺣﻴُـﻪُ( ﻓَ َﺴ َﻜ َ ﻀﻰ إِﻟَْﻴ َ )وﻻَﺗَـ ْﻌ َﺠ ْﻞ ﺑِﺎﻟْ ُﻘ ْﺮآ ِن ِﻣ ْﻦ ﻗَـْﺒ ِﻞ أَ ْن ﻳـُ ْﻘ َ ﺖ ْ َ ﻓَـﻨَـَﺰﻟ.ﺎص َ ﺼ َ ﱯ ﺻﻢ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ اﻟْ ِﻘ ﻓَ َﺠ َﻌ َﻞ اﻟﻨﱠِ ﱡ، أََرْدﻧَﺎ: ﷲ ﺻﻢ ِ ﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل ا َ ﻓَـ َﻘ، آﺧ ِﺮ ْاﻵﻳـَ ِﺔ ِ ﺎل ﻗَـ ﱠﻮا ُﻣ ْﻮ َن َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء إِ َﱃ ُ اﻟﱢﺮ َﺟ: َوﻧـََﺰَل اﻟْ ُﻘ ْﺮآ ُن، َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲِ ﺻﻢ 31 .ُأَْﻣًﺮا َوأََرا َد اﷲُ َﻏْﻴـَﺮﻩ Artinya : Ditakhrij oleh al-Faryābī dari Hasan “bahwa seorang dari kaum ansar menampar isterinya, lalu isterinya mengadu kepada Rasulullah untuk menuntut balas, nabipun mengadakan qiṣās di antara keduanya, maka turunlah ayat -dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu- sesudah itu nabipun diam, kemudian turunlah ayat, laki-laki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (istri) dan seterusnya, lalu Rasulullah saw berkata : kita menginginkan sesuatu tetapi keinginan Allah lain”. Hadis ini menjadi latar belakang turunnya QS al-Nisā’/4: 34 yang melegitimasi pemukulan terhadap istri. Akan tetapi pukulan yang sifatnya tidak menyakiti, atau tidak meninggalkan bekas yang lama, atau tidak menimbulkan cacat fisik, lebih-lebih membuatnya menderita dalam waktu 31 Lihat Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol. II, h. 512- 513. 31 yang lama. Pukulan ini dimaksudkan semata-mata sebagai bentuk “li alta’dīb”, penyadaran atau pendidikan untuk mengubah perilaku istri. 2) Hadis riwayat Aḥmad, Abū Dāwud dan Ibnu Mājah ﺗُﻄْﻌِ ُﻤﻬـَﺎ: ﺎل َ َ َﻣﺎ َﺣ ﱡﻖ اﻟْ َﻤ ْﺮأَِة َﻋﻠَﻰ اﻟﱠﺰْو ِج ؟ ﻗ: ﱯ ﺻﻢ َﺳﺄَﻟَﻪُ َر ُﺟـ ٌﻞ أَ ﱠن اﻟﻨﱠِ ﱠ: ي َو َﻋ ْﻦ ُﻣ َﻌﺎ ِوﻳَِﺔ اﻟْ ُﻘ َﺸ ِْﲑ ﱢ )رواﻩ أﲪﺪ .ـﺖ ِ َوَﻻﺗَـ ْﻬ ُﺠ ْـﺮ إِﻻﱠ ِﰱ اﻟْﺒَـْﻴ، َوَﻻﺗـُ َﻘﺒﱢ ْﺢ، َﻀ ِﺮ ِب اﻟْ َﻮ ْﺟـﻪ ْ َ َوَﻻﺗ، ـﺖ َ َوﺗَ ْﻜ ُﺴ ْﻮَﻫﺎ إِذَا ا ْﻛﺘَ َﺴْﻴ، ـﺖ َ إِذَا ﻃَﻌِ ْﻤ 32 (وأﺑﻮداود واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ Artinya : Dari Mu’āwiyah al-Qusyairī bahwa Nabi ditanya oleh seseorang: apa hak seorang istri terhadap suaminya ? Nabi berkata : engkau memberi makan jika engkau makan, engkau memberi pakaian jika engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan memboikotnya kecuali masih di dalam rumah Hadis di atas lebih mempertegas pengaturan pemukulan yang dibolehkan agama, yaitu pukulan yang tidak menyakiti, seperti tidak boleh memukul wajah, perut, dan daerah-daerah sensitif lainnya. 3) Hadis dari Ibn Abbās yang dikeluarkan oleh al-Ṭayālisī dan al-Tirmżī sebagai berikut : 32 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh, vol. IX, h. 6834 32 ، ـﺖ َﺳ ْﻮَدةُ أَ ْن ﻳُﻄَﻠﱢ َﻘ َﻬﺎ َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲِ ﺻﻢ ْ َ َﺧ ِﺸﻴ: ﺎل َ َﺎس ﻗ ٍ ى َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒﱠ أَ ْﺧَﺮ َج اﻟﻄﱠﻴَﺎﻟِ ِﺴ ﱡﻰ َواﻟﺘﱢـ ْﺮِﻣ ِﺬ ﱡ ﺖ ِﻣ ْﻦ ْ َ)وإِ ِن ا ْﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ َ ُﺖ َﻫ ِﺬﻩِ ْاﻵﻳـَﺔ ْ َ ﻓَـ َﻔ َﻌ َﻞ َوﻧـََﺰﻟ، َ ﻳَﺎ َر ُﺳ ْﻮ َل اﷲِ ﻻَ ﺗُﻄَﻠﱢ ْﻘ ِﲎ َوا ْﺟ َﻌ ْﻞ ﻳـَ ْﻮِﻣ ْﻰ ﻟِ َﻌﺎﺋِ َﺸـﺔ: ﺖ ْ َﻓَـ َﻘﺎﻟ 33 (.....ﺑـَ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ْﻮًزا Artinya : Saudah (istri Rasulullah) khawatir jika Rasulullah saw menceraikannya, lalu dia berkata, ya Rasulallah janganlah ceraikan saya, dan jadikanlah giliranku buat ‘Ᾱisyah. Rasulullah pun melakukannya lalu turunlah ayat: (Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus dan seterusnya). Hadis di atas menggambarkan kisah Saudah binti Zam’ah yang curiga dan khawatir diceraikan oleh Rasulullah saw karena sudah tua. Untuk itu, Saudah merelakan bagian dari giliran malamnya kepada ‘Ᾱisyah r.a. asalkan Rasulullah tidak mentalaknya. 2. Akibat hukum nusyus a. Akibat hukum nusyus istri Jika dalam suatu rumah tangga berjalan normal dan harmonis, dalam arti masing-masing melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh agama Islam, maka tidak ada masalah. Namun, jika salah satu pihak mengabaikan kewajibannya, dalam arti bertindak nusyus, maka bagaimana akibat atau efek yang ditimbulkan oleh tindakan nusyus tersebut. 33 Lihat ‘Abd al-Raḥmān al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol. II, h. 710 33 Dikaitkan dengan nusyus tersebut, bila seorang istri tidak melaksanakan kewajibannya seperti yang akan diuraikan dalam pembahasan berikutnya, maka sebagai konsekwensinya, menurut jumhur ulama sebagaimana dikutip Amir Syarifuddin, suami tidak lagi wajib memberi nafkah dalam masa nusyusnya itu. Alasannya, adalah bahwa nafkah yang diterima oleh istri merupakan imbalan dari ketaatan yang dipersembahkan kepada suaminya. Istri yang nusyus, berarti hilang ketaatannya kepada suami, dan karenanya si istri tidak berhak mendapatkan nafkah. Akan tetapi, bila istri kembali menyadari kesalahan dan kekhilafan yang dilakukannya, sehingga ia kembali melaksanakan kewajibannya seperti semula, maka ketika itu hak nafkah baginya juga diperolehnya kembali. Demikian pandangan jumhur ulama.34 Berbeda dengan jumhur ulama, ulama Ẓāhiriyah berpendapat sebagaimana ditulis oleh al-Shiddieqy, bahwa istri yang nusyus, tidak gugur haknya untuk menerima nafkah. Alasannya, adalah bahwa nafkah diwajibkan bukan atas dasar istimtā’ (bersenang-senang) yang harus dipatuhi istri, tetapi atas dasar akad nikah.35 Jika dalam perjalanan rumah tangga, suatu saat istri 34 Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 173 – 174 35 Lihat Hasbi al-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Semarang: Pustaka Rizki, 1997), h. 256 34 tidak menjalankan kewajibannya, artinya, istri dalam keadaan nusyus, maka suami hanya berhak memberi nasehat atau pelajaran, seperti yang akan diuraikan dalam pembahasan tentang konsep penyelesaian nusyus.36 Sejalan dengan pendapat jumhur ulama, Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa istri yang nusyus menyebabkan gugurnya kewajiban suami terhadapnya berupa : nafkah, kiswah dan tempat kediaman; biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan.37 b. Akibat hukum nusyus suami Secara teoritis, para ulama fikih seperti dikemukakan sebelumnya, menyimpulkan bahwa istilah nusyus, hanya melekat atau berkaitan dengan istri, tidak kepada suami. Sejalan dengan itu, Kompilasi Hukum Islam juga tidak menyinggung sama sekali tentang nusyus suami. Ini menunjukkan bahwa nuansa kitab-kitab fikih yang telah ditulis oleh para ulama klasik -nota bene dianggap oleh kaum feminis sebagai kitab fikih yang bersifat partriarkhimasih sangat kental dalam Kompilasi Hukum Islam. Sementara jika dicermati ayat tentang nusyus seperti yang telah dikutipkan pada pembahasan tentang 36 Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 173 - 174 37 Lihat KHI Pasal 84 ayat (2) berbunyi : Selama istri nusyus, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. Selanjutnya, Pasal 84 ayat (3) berbunyi : Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyus. 35 dasar hukum nusyus (QS al-Nisā’/4: 128), secara tersurat menyebutkan tentang nusyus suami. Meski secara tersurat disebutkan dalam al-Qur’an tentang nusyus suami, namun di dalam kitab-kitab fikih, baik klasik maupun kontemporer, tidak banyak ditemukan pembahasan tentang nusyus suami. Penyebabnya, adalah karena di antara pengertian nusyus adalah “ﺼﻴَﺎ ُن ْ ِ( ”اﻟْﻌdurhaka) sebagaimana diuraikan sebelumnya. Jika kata durhaka tersebut dikaitkan dengan QS al-Nisā’/4: 34 yang menegaskan suami sebagai pemimpin, dan kepala keluarga,38 dan kemudian lebih dipertegas lagi dalam pembacaan ṣigat ta’līq ṭalāk yang biasanya dibacakan ketika usai perkawinan dilangsungkan, maka semua itu menunjukkan status dan kedudukan suami setingkat lebih tinggi dari kedudukan istri dalam kehidupan berumah tangga.39 Jika logika tersebut diterima, maka kata “durhaka” tidak tepat dilengketkan kepada sang suami sebagai atasan atau orang yang kedudukannya setingkat lebih tinggi dari 38 KHI Pasal 79 ayat (1) menyebutkan : “suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.” Pasal 80 ayat (1) berbunyi : “Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya....” 39 Pembacaan sigat ta’līq ṭalāq biasanya dibacakan oleh suami setelah ijab kabul sebagai janji setia kepada istri di hadapan Allah dan Rasul-Nya untuk menjalankan kewajibannya dengan baik dan sungguh-sungguh. Sigat tersebut meliputi empat hal : (a) tidak meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut; (b) tidak meninggalkan pemberian nafkah wajib kepada istri selama tiga bulan; (c) tidak menyakiti badan/jasmani istri; dan (d) tidak membiarkan atau memperdulikan istri selama enam bulan. Jika keempat hal ini diabaikan oleh suami sedang istri tidak rela dan mengadukannya kepada Pengadilan Agama, kemudian pengaduan itu dibenarkan, maka talak satu dapat dijatuhkan oleh Pengadilan. Dalam KHI dijelaskan ta’līq ṭalāq adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akan nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. 36 pada istri. Kata durhaka biasanya, diperuntukkan kepada mereka yang status dan kedudukannya lebih rendah posisinya. Seperti halnya orang tua yang statusnya lebih tinggi daripada anaknya, tidak pernah disebut “durhaka” kepada anaknya sebesar apa pun kesalahan dan kelalaiannya. Sebaliknya, seorang anak akan dicap sebagai anak durhaka bila enggan ataukah menentang perintah kedua orang tuanya. Jika demikian, perkataan atau tindakan mengabaikan kewajiban yang menjadi hak bagi istri pada hakekatnya adalah perbuatan nusyus, meski secara tersurat tidak dikatakan demikian. Oleh karena itu, seandainya suami melakukan nusyus, dalam arti meninggalkan kewajibannya, maka konsekwensinya adalah ia tidak lagi layak untuk dipatuhi oleh istri sebagai seorang pimpinan. Di samping itu, bila istri tidak rela menerima perlakuan suami yang dinilai nusyus, maka istri dapat melaporkannya kepada hakim atau Pengadilan Agama dengan alasan nusyus. Atas dasar pengaduan tersebut, bila hakim memandang laporan tersebut benar dan dapat mengarah kepada kemudaratan, maka talak dapat dijatuhkan melalui cara khulu’. 3. Langkah-langkah penanganan kasus nusyus a. Nusyus istri 37 Ayat yang berbicara tentang konsep penyelesaian konflik dalam rumah tangga, ketika pihak istri enggan menjalankan kewajibannya adalah potongan QS al-Nisā’/4: 34,40 َﺿ ِﺮﺑـُ ْﻮﻫـُ ﱠﻦ ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَﻼ ْ ﺎﺟـ ِﻊ َوا ِﻀ َ اﻟﻼﺗِ ْﻰ ﲣََﺎﻓـُ ْﻮ َن ﻧُ ُﺸ ْﻮَزُﻫـ ﱠﻦ ﻓَﻌِﻈُْﻮُﻫ ﱠﻦ َوا ْﻫ ُﺠ ُﺮْوُﻫـ ﱠﻦ ِﰱ اﻟْ َﻤ َو ﱠ... .ﺗَـْﺒـﻐُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬـ ﱠﻦ َﺳﺒِْﻴ َـﻼ إِ ﱠن اﷲَ َﻛﺎ َن َﻋﻠِﻴﺎ َﻛﺒِْﻴـًﺮا ﲣﺎﻓﻮن yang maknanya adalah “khawatir”, diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menafsirkan dengan “adanya Penggunaan kata indikasi terjadinya nusyus”. Artinya, baru tampak tanda-tanda yang mengarah akan terjadinya nusyus, berbeda seandainya ayat ini menggunakan kata ta’lamūna (mengetahui) atau wallatī yansyizna. Sementara yang lain, menafsirkan “telah nyata terjadinya nusyus”. Penggunaan kata ﲣﺎﻓﻮنtersebut, dimaksudkan agar jangan sekali-kali sampai terjadi tindakan nusyus dalam suatu rumah tangga, karena nusyus adalah sebuah penyimpangan dari aturan 40 QS al-Nisā’/4: 34 ini selain menjelaskan kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga, juga menjelaskan tentang keadaan wanita dibawah kepemimpinan laki-laki. Ada wanita yang ṣāliḥah dan taat, tapi ada pula yang durhaka dan keras hati. Wanita ṣāliḥah adalah wanita yang taat kepada suaminya, memelihara perintah Allah, melaksanakan tanggung jawabnya, memelihara dirinya dari perbuatan keji, dan memelihara harta suaminya. Sebaliknya ada pula wanita yang keras hati, yaitu istri-istri yang sombong dan enggan untuk mentaati suaminya. 38 dasar yang dapat mengakibatkan terganggunya harmonisasi dalam kehidupan rumah tangga.41 Sementara itu, kata yang digunakan adalah kata takhāfūn ( )ﲣﺎﻓﻮنyang berarti “khawatir” merupakan kata yang sama digunakan pada ayat berikutnya (ayat ke-35). Namun demikian, jika pada ayat berikutnya menggunakan timbangan fi’il māḍi (lampau) yaitu khiftum ﺧﻔـﺘـﻢ , maka pada ayat ini menggunakan timbangan fi’il muḍāri’ (sedang/akan datang) yaitu ﲣﺎﻓﻮن. Ayat berikutnya yang menggunakan kata khiftum menunjukkan tingkat kekhawatiran yang sudah tinggi, karena tanda-tanda yang nampak sudah terjadi dalam sebuah keluarga. Konflik antara suami-istri sudah sangat memuncak sehingga dibutuhkan keterlibatan dan bantuan orang lain untuk mencegah konflik tersebut sampai pada kondisi perpecahan. Sedangkan dalam ayat ini digunakan kata takhāfūn ( )ﲣﺎﻓﻮنyang berarti konflik suami-istri itu belum begitu tinggi, mengingat tanda-tanda yang nampak masih terjadi secara samar. Karena itu, sistem yang dianjurkan agar kekhawatiran itu tidak sampai kepada puncaknya, “ cekcok terus menerus atau perceraian”, maka langkah yang diperlukan disesuaikan dengan tingkat kekhawatiran itu sendiri. Diawali 41 Lihat Rasyid Riḍa, Huqūq al-Nisā’ fī al-Islām, diterjemahkan oleh Abu ‘Amir, Memenuhi Hak Kekasih, (Yogyakarta: Absolut, 2002), h. 90 - 91 39 tingkatan yang paling ringan, sedang, dan terakhir yang paling tinggi, berdasarkan tingkat kejelasan tanda-tanda yang sudah ada.42 Tingkat kekhawatiran itu adalah kondisi nusyus, yaitu kondisi ketika salah satu pihak sudah mengabaikan atau enggan menunaikan kewajibannya, yang kemungkinannya disebabkan oleh berbagai faktor dalam kehidupan keluarga. Dalam kaitan ini, al-Qur’an meletakkan garis untuk menarik, dan mengembalikan mereka pada posisi fitrah kewanitaannya dengan dua cara. Pertama, adalah solusi internal. Kedua, solusi ekternal, yaitu berdamai dengan perantaraan hakam (seorang yang bijak). Cara kedua ini dilakukan yaitu di saat suami-istri tidak berhasil mengatasi kemelut mereka berdua, yang keputusannya dapat membawa kepada solusi yang memuaskan mereka. (lebih lanjut akan diuraikan pada pembahasan tentang hakam). Solusi internal yaitu diserahkan kepada suami, sebagai pemimpin dan pelindung keluarga, untuk menjaga masalah mereka berdua agar tidak tersebar ke mana-mana dan menjadi konsumsi publik. Solusi internal ini, acap kali sukses menyelesaikan masalah, tanpa harus diketahui selain mereka berdua (suami-istri). Langkah pertama dari solusi internal yang mesti diambil dalam perspektif ayat ini ialah, jika istri memperlihatkan tanda-tanda yang mengarah 42 Lihat Nur Taufiq, Syikak Dalam Hukum Keluarga Islam, h. 87 40 kepada kondisi nusyus tersebut ialah memberikan nasehat. Nasehat yang baik yang dapat menyentuh perasaan halusnya sesuai dengan sifat dan tabiatnya. Sebut misalnya, mengingatkan hukum-hukum Allah padanya dan membuatnya takut dari siksa dan azab-Nya yang pedih. Lalu, menjelaskan apa yang menjadi kewajibannya untuk menghindari azab tersebut. Selanjutnya, jika ia tidak mengindahkannya, maka peringatkan kepadanya tentang dosa besar yang akan ditanggungnya dengan dalil-dalil yang begitu banyak dari al-Qur’an dan hadis tentang masalah tersebut. Di samping itu, suami hendaknya memilih momen yang tepat di saat istri tenang, misalnya sesudah shalat magrib, atau di tempat rekreasi ataukah di waktu-waktu tenang lainnya, dengan sikap lemah lembut dan budi bahasa yang luhur dan santun yang menunjukkan penghormatan kita kepadanya. Dan yang lebih penting lagi adalah : sang suami yang memberi peringatan atau nasehat harus menjadi teladan, terutama dalam masalah yang menjadi kewajibannya. Nasehat yang disampaikan kepada istri ini pun melalui beberapa tahapan, yaitu mulai dari cara yang paling ringan hingga cara yang paling keras. Sebagai misal, pertama-tama ia menggunakan cara-cara yang tidak langsung atau frontal, seperti memberikan penggambaran dengan menggunakan kasus orang lain atau mengambil kisah-kisah para sahabat atau orang-orang terdahulu, pada hal yang dimaksud adalah istrinya sendiri, atau 41 dengan kalimat-kalimat yang simbolik yang halus, yang dapat menyentuh hati pendengarnya. Jika cara ini gagal, maka dapat dipergunakan kata-kata yang langsung tetapi secara bertahap juga, yaitu dengan menyampaikan pikiran atau pandangan yang tepat, hingga ancaman secara frontal, yakni bahwa ia harus berusaha mengubah sifat dan kekeliruannya, dan bahwa ia telah cukup lama membuatnya marah dan akibatnya Allah pun akan marah kepadanya kalau tidak segera kembali kepada tuntunan agama. Perlu pula dicatat bahwa nasehat itu tak ada batasnya, kadangkala harus berulang dan kontinyu, dan karenanya seorang suami dituntut untuk memiliki sifat kesabaran yang tinggi dalam menyampaikan nasehat. Memberikan nasehat dalam rangka penyelesaian konflik tentu saja bukan berarti satu arah kepada yang diberi nasehat, tetapi juga dengan mengajak bermusyawarah dan menanyakan faktor-faktor apa yang menyebabkan dirinya berbuat seperti itu. Karena bisa jadi suatu tindakan, bukan saja merupakan suatu aksi, tetapi juga merupakan suatu reaksi, atau sebaliknya. Dengan demikian, jika seorang istri berbuat nusyus, maka suami haruslah mengetahui lebih dahulu apa yang menyebabkan adanya tindakan yang memperlihatkan tanda-tanda penentangan atau keengganan menunaikan kewajibannya, apakah sebuah aksi ataukah sebuah reaksi. 42 Jika penentangan itu merupakan tindakan aksi yang muncul dari diri si istri sendiri, maka langkah yang diperlukan adalah menasehati dengan cara seperti yang dikemukakan di atas, yaitu mengingatkan kembali terhadap kewajibannya dan sanksi dari Allah jika mengabaikannya. Namun jika tindakan tersebut merupakan sebuah reaksi, maka langkah yang diperlukan tentu saja tidak cukup memberi nasehat seperti yang dijelaskan, tetapi mencari akar masalahnya sehingga bertindak demikian, agar kedua belah pihak dapat mencari solusi, merenung dan saling introspeksi diri. Langkah selanjutnya, jika cara memberi nasehat tidak berhasil, dan istri tetap saja menunjukkan penentangan dan keengganan untuk menunaikan kewajibannya, maka dapat ditempuh cara yang kedua, yaitu menunjukkan ekspresi ketidaksenangan terhadap tindakan yang dilakukannya dengan cara meninggalkannya di tempat tidur ()واﻫﺠﺮوﻫـﻦ ﰱ اﳌﻀﺎﺟـﻊ Dalam Tafsir Jalālain, yang dimaksud meninggalkan istri di tempat tidur ialah meninggalkan dan atau berpindah ke tempat tidur lainnya (pisah ranjang).43 Namun demikian, kata “hajr” dalam ayat tersebut adalah kinayah yang berarti tidak mencampurinya. Sejalan dengan arti tersebut, menurut Ibn ‘Abbās bahwa yang dimaksud dengan meninggalkan istri di tempat tidur ialah 43 Jalāl al-ddīn al-Maḥalli dan Jalāl al-ddīn al-Suyūṭi, Tafsīr Jalālain, (Damsyiq: Dār al-Jail, 1995), h. 84 43 “bukan hanya berpisah tempat tidur tapi juga membelakangi dan tidak berhubungan badan” dengannya di atas tempat tidur ( أن ﻳﻀﺎﺟﻌﻬـﺎ وﻳﻮﻟﻴﻬﺎ ﻇﻬﺮﻩ وﻻﳚﺎﻣﻌﻬـﺎ ).44 Senada dengan pendapat Ibn ‘Abbās di atas, M. Quraish Shihab mengatakan bahwa kalimat wahjurūhunna berasal dari kata hajr, yang artinya meninggalkan tempat atau keadaan yang tidak baik atau tidak disenangi ke tempat dan atau keadaan yang baik, yaitu meninggalkan sikap dan perbuatan dari istri yang tidak baik. Sedangkan tempat dan keadaan yang diharapkan ialah agar istri bersedia mengubah sikap dan tindakannya yang tidak disenangi, sehingga keadaan rumah tangga dapat menjadi lebih baik. 45 Penggunaan kata “fī () ﰱ, bukan “min” ( ) ﻣـﻦdi sini menunjukkan bahwa yang dimaksud meninggalkan mereka di tempat tidur, bukanlah berarti mesti berpindah ke tempat tidur lainnya (pisah ranjang), apalagi harus meninggalkan rumah. Karena jauh dari pasangan yang sedang bermasalah, bukan berarti masalah akan selesai, bahkan bisa jadi justeru akan menambah jurang perselisihan. Oleh karena itu, yang dimaksud meninggalkan mereka di tempat tidur ialah tidak menyentuhnya, meninggalkan segala bentuk kesenangan yang diperoleh di tempat tidur, seperti cumbu rayu dan hubungan 44 ‘Ali al-Ṣābunī, Rawāi’ al-Bayān, h. 464 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. II, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 431 45 44 suami-istri, agar ia dapat menyadari rasa ketidaksenangan suami atas sikapnya. Dengan tindakan demikian, diharapkan sang istri bisa merenung dan mengintrospeksi diri sehingga bersedia mengubah sikapnya terhadap suami, agar tercipta kembali suasana yang lebih baik, sesuai maksud dari kata hajr itu sendiri. Cara ini merupakan tindakan psikologis yang dapat menyentuh perasaan terdalam seorang perempuan, agar memahami bahwa ia sangat lemah daya tawarnya bagi laki-laki, meski rayuan, kecantikan, dan lain-lain telah dilakukannya.46 Dari sini dapat dipahami bahwa inti yang diinginkan dalam ayat tersebut ialah agar suami dapat menunjukkan ekspresi ketidaksenangannya terhadap sikap istri yang melalaikan kewajibannya. Ekspresi ini diharapkan secara psikologis, istri dapat menyadari dan mengubah sikapnya. Meskipun secara tersurat, ayat ini menyebutkan langkah-langkah yang bersifat biologis. Redaksi “tinggalkan mereka di tempat tidur” adalah sebagai simbol di mana seorang perempuan dapat memberikan kesenangan tertinggi terhadap laki-laki, dalam hal ini hubungan badan/biologis. Secara psikologis, kemampuan seorang istri untuk menyenangkan suami menurut Nur Taufiq adalah menjadi sebuah kebanggaan atau 46 Lihat Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. II, h. 430 45 kebahagiaan tersendiri bagi seorang istri. Dengan demikian, meninggalkan sesuatu, meskipun bersifat biologis, yang bisa mendatangkan kebahagiaan dan kebanggaan bagi istri, akan sangat memukul dan berpengaruh terhadap psikologi istri itu sendiri.47 Jika logika pemikiran di atas diterima, berarti meninggalkan segala macam bentuk kesenangan yang dapat ditawarkan oleh seorang istri misalnya makanan, minuman, atau apa saja yang menjadi sebuah kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi mereka dalam rangka menyenangkan hati sang suami, juga merupakan bagian dari langkah yang dapat diambil untuk menunjukkan ekspresi ketidaksenangan terhadap sikap pembangkangan seorang istri. Pemahaman seperti di atas cukup beralasan, sebab jika yang dimaksudkan oleh ayat itu hanya bernuansa “tempat tidur” atau “hubungan suami-istri”, maka kemungkinannya dalam kondisi tertentu tidak menjadi masalah bagi seorang istri, misalnya terhadap istri yang sudah terbiasa berpisah tidur atau terhadap istri yang sedang mengalami haid. Istri yang terbiasa pisah tidur atau sedang haid, mungkin berpikir bahwa keengganan suami untuk berhubungan dengannya disebabkan oleh kondisinya yang sementara haid, sehingga psikologi istri tidak berarti atau bahkan tidak 47 Lihat Nur Taufiq, Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 90 46 berpengaruh sama sekali. Terutama bila keengganan menunaikan kewajiban itu justru berkaitan dengan persoalan hubungan suami-istri yang bersifat biologis, maka tentu langkah meninggalkan tempat tidur atau meninggalkan kamar menjadi kurang atau bahkan tidak efektif sebagai suatu langkah untuk mengembalikan kesadaran terhadap kewajibannya. Adapun waktu yang diperbolehkan oleh agama untuk pisah ranjang tidak ditentukan; ada yang berpendapat bahwa pisah ranjang maksimalnya empat bulan, sebagaimana dalam kasus ila’48 ; QS al-Baqarah/2: 226 “Kepada orang-orang yang meng-ilā’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.49 Namun, terdapat riwayat dari Rasulullah saw yang menyatakan bahwa beliau tidak menyentuh semua istrinya selama satu bulan penuh. Karena, satu bulan penuh sudah cukup, kecuali jika terdapat pertimbangan lain yang lebih 48 Meng-ila’ istrinya maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri istri. Sumpah ini membuat seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Dengan turunnya ayat ini, maka suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi istrinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan. Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55 49 ﻟﻠﺬﻳﻦ ﻳﺆﻟﻮن ﻣﻦ ﻧﺴﺎﺋﻬـﻢ ﺗﺮﺑﺺ أرﺑﻌـﺔ أﺷﻬـﺮ ﻓﺈن ﻓﺎءوا ﻓﺈن اﷲ ﻏﻔﻮر رﺣﻴﻢ 47 bijak dal am pandangan suami. Yang terpenting adalah bahwa pisah ranjang itu adalah solusi, bukan malah problem yang mendatangkan kesengsaraan. 50 Sebagaimana pada cara pertama, cara kedua juga memiliki tahapantahapan; dari yang paling ringan hingga yang paling keras. Misalnya, tidak menyentuhnya beberapa hari, selanjutnya membelakanginya di tempat tidur, dan seterusnya. Yang terpenting tidak amat menyakiti hatinya, atau bahkan mengusirnya dari rumah. Sebab, jika si istri diusir, maka persoalan interen pun akan menyebar ke mana-mana dan sia-sialah upaya pisah ranjang yang bertujuan untuk menyadarkannya. Seandainya langkah kedua di atas belum berhasil mengubah kesadaran istri terhadap keengganannya untuk menunaikan kewajibannya atau justru memperlihatkan tanda-tanda nusyus yang semakin nyata, maka langkah terakhir menurut petunjuk al-Qur’an adalah memberikan pendidikan berupa sanksi fisik, yaitu “pukulan atau cambukan”. Pukulan tersebut hendaknya tidak diketahui oleh siapapun juga kecuali dia dan istrinya, dan yang menjadi saksi adalah Allah ketika melakukan pukulan dan bagaimana ia melakukannya. Umumnya ulama menafsirkan kata wadribūhunna dalam QS alNisā’/4: 34 itu dengan makna “haqiqi”, yaitu memukul. Meski arti “haqiqi” 50 Lihat Kamil al-Hayāli, al-Khilāfāt al-Zaujiyyah, Diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin, Solusi Islam dalam Konflik Rumah Tangga, h. 50 48 tersebut terjadi perbedaan pendapat tentang hukum pemukulan tersebut. Apakah boleh atau makruh. Tetapi para ulama sepakat, bahwa pemukulan itu dibolehkan, tapi meninggalkannnya adalah lebih utama.”51 Al-Qāḍi Ibn al-‘Arabī sebagaimana dikutip oleh Kamil al-Hayāli menyebutkan bahwa “’Aṭā berkata : seorang suami tidak boleh memukul istrinya, walaupun ketika dia menyuruh atau melarang sesuatu terhadap istrinya ia tidak patuh. Dia hanya boleh memarahinya.52 Di dalam hadis disebutkan bahwa para suami dilarang memukul istriistri mereka sebagaimana sabda Rasulullah saw. ﰒُﱠ َﺷ َﻜ ْﻮُﻫ ﱠﻦ إِ َﱃ، ب اﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء ِ ﺿ ْﺮ َ ﺎل ﻧـَ َﻬ ْﻮا َﻋ ْﻦ ُ َﻛﺎ َن اﻟﱢﺮ َﺟ: ﺖ ْ َﺖ أَِﰉ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ ﻗَﺎﻟ ِ َﻋ ْﻦ أُﱢم َﻛ ْﻠﺜـُ ْﻮٍم ﺑِْﻨ أﺧﺮج إﺑﻦ ."ب ِﺧﻴَﺎ ُرُﻛ ْﻢ َ ﻀ ِﺮ ْ َ"وﻟَ ْﻦ ﻳ َ : ﺎل َ َﺿ ْﺮِِ ﱠﻦ ﰒُﱠ ﻗ َ ﲔ َ ْ َ ﻓَ َﺨﻠﱠﻰ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ ْﻢ َوﺑـ، ﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ِ َر ُﺳ ْﻮِل ا 53 .ﺳﻌﺪ واﻟﺒﻴﻬﻘﻲ Artinya : Dari Ummu Kalṡūm binti Abi Bakr, ia berkata : para lelaki dilarang memukul istri-istri mereka, kemudian hal itu diadukan kepada Rasulullah saw, lalu Rasulullah menyerahkannya kepada mereka dan berkata : orang-orang terbaikmu tidak akan memukul. 51 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqāid wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, vol. V, h. 57 52 Lihat Kamil al-Hayāli, al-Khilāfāt al-Zaujiyyah, Diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin, Solusi Islam dalam Konflik Rumah Tangga, h. 53 53 Lihat ‘Abd al-Rahmān Jalāluddī al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡur, vol.II, h. 523. 49 Hadis di atas menjelaskan bahwa meski seorang suami diperbolehkan mengadakan tindakan pemukulan terhadap istrinya, namun itu tidaklah pantas bagi seorang laki-laki atau suami terhormat yang menjadi pemimpin rumah tangga. Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa meninggalkan cara yang terakhir, yaitu pukulan adalah lebih utama, sebagaimana firman Allah QS al-Baqarah/2: 229 .ف أَْوﺗَ ْﺴ ِﺮﻳْ ٌﺢ ﺑِِﺈ ْﺣ َﺴـﺎ ٍن ٍ ﺎك ﲟَِْﻌ ُﺮْو ٌ ﻓَِﺈ ْﻣ َﺴ Terjemahnya: Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.54 Pemaparan di atas menunjukkan bahwa meski memukul itu dibolehkan, namun meninggalkannya adalah lebih baik dan lebih utama. Dengan demikian, dalam perspektif akhlak atau budi pekerti, maka pisah ranjang adalah cara terakhir untuk meluruskan penyimpangan dan kelalaian istri. Para ulama juga memahami kata ini dengan pukulan yang tidak bertujuan menyakiti apalagi melukai atau mencederai, berdasarkan penjelasan dan hadis-hadis Rasulullah saw. Hadis itu antara lain : 54 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55 50 ف ِ ﺼْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ ِﰱ اﻟْ َﻤ ْﻌ ُﺮْو َ ﺿ ِﺮﺑـُ ْﻮُﻫـ ﱠﻦ إِذَا َﻋ ْ ِ إ: ﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ِ ﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل ا َ َ ﻗ: ﺎل َ ََﻋ ْﻦ ِﻋ ْﻜ ِﺮَﻣ ٍﺔ ﻗ 55 أَ ْﺧَﺮ َج اﺑْ ُﻦ َﺟ ِﺮﻳْ ٍﺮ .ﺿ ْﺮﺑًﺎ َﻏْﻴـَﺮ ُﻣﺒَـﱢﺮٍح َ ، Artinya : Di takhrij oleh Ibn Jarīr dari ‘Ikrimah, dia berkata : Rasulullah saw bersabda : Pukullah mereka (istrimu), jika mereka mendurhakai kalian dalam kebaikan dengan pukulan yang tidak menyakiti (tidak menimbulkan bekas). Ibn ‘Abbās sebagaimana dikutip oleh al-Suyūṭi mengatakan bahwa pukulan yang tidak menyakiti adalah pukulan dengan menggunakan kayu siwak dan semacamnya.56 Berdasarkan pernyataan Ibn ‘Abbās tersebut, maka pukulan sama sekali tidak boleh menggunakan cemeti atau tongkat, tidak mengulang-ulang pada tempat yang sama, menghindari wajah, dan harus dengan pukulan yang ringan sebagaimana ringannya kayu siwak. Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah saw menjelaskan bahwa memukul seorang istri tidak boleh mengenai wajah dan tidak boleh mencederai. Al-Sya’rawi dalam Nur Taufiq, menjelaskan bahwa yang dimaksud tidak mencederai ialah pemukulan yang tidak sampai mengucurkan darah, tidak meninggalkan bekas dan tidak meretakkan tulang. Intinya, adalah 55 Lihat ‘Abd al-Rahmān Jalāluddī al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡur, vol.II, h. 522. 56 ﺑﺎﻟﺴﻮاك وﳓﻮﻩ: ﻣﺎ اﻟﻀﺮب ﻏﲑ اﳌﱪح ؟ ﻗﺎل: ﻗﻠﺖ ﻻﺑﻦ ﻋﺒﺎس: وأﺧﺮج اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﻋﻦ ﻋﻄﺎء ﻗﺎلArtinya : ditakhrij oleh Ibn Jarīr dari ‘Ațā’ dia berkata : Saya berkata kepada Ibn ‘Abbās : apakah pukulan yang tidak menyakiti (tidak menimbulkan bekas) ? Dia berkata : siwak dan sejenisnya. Lihat ‘Abd al-Rahmān Jalāluddī alSuyūṭī, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡur, vol.II, h. 523. 51 bahwa pemukulan itu berarti pemukulan dalam rangka menunjukkan rasa ketidaksenangan suami terhadap perilaku istri, bukan pribadinya tetapi sifatnya. Karena itu, tidak boleh dilakukan atas dasar kebencian, melainkan dengan rasa kasih sayang yang bertujuan untuk mengubah perilaku ketidaktaatan istri, sehingga mengubah sikapnya menjadi istri yang salihah. Sebut misalnya pemukulan Nabi Ayyub a.s yang sebelumnya bersumpah akan memukul istrinya seratus kali, tapi kemudian menggantinya dengan seratus (seikat) rumput/jerami dan menggunakannya untuk memukul istrinya, 57 sebagaimana firman Allah swt, QS Ṣād/38: 44. . اب ٌ ﺻﺎﺑًِﺮا ﻧِ ْﻌ َﻢ اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ إِﻧﱠﻪُ أَﱠو َ ُﺚ إِﻧﱠﺎ َو َﺟ ْﺪﻧَﺎﻩ ْ َﺿ ِﺮب ﺑﱢِﻪ َوﻻَ َْﲢﻨ ْ َو ُﺧ ْﺬ ﺑِﻴَ ِﺪ َك ِﺿ ْﻐﺜًﺎ ﻓَﺎ Terjemahnya: Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at (kepada Tuhannya). 58 Kisah Nabi Ayyub a.s. dalam QS Ṣād/38: 44 seperti yang tergambar pada ayat di atas adalah melukiskan praktek pemukulan istri, bukan atas dasar kebencian ataupun dendam. Tetapi pemukulan semata-mata sebagai bentuk rasa kasih sayang terhadap istrinya dan dalam rangka mengimplementasikan tuntutan sumpah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah swt. 57 Lihat Nur Taufiq, Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 92 58 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 738 52 Perasaan istri yang dipukul dengan seikat rumput/jerami, di samping tidak akan menimbulkan luka sama sekali, juga bisa jadi membuat istri menyadari bahwa dibalik pemukulan tersebut terdapat rasa kasih sayang yang sangat dalam dari seorang suami. Karena hal ini tidak mungkin dilakukan oleh suami yang bermaksud melukai istrinya. Dengan begitu, Istri yang dipukul dengan seikat rumput/jerami, kemungkinan besar akan merasakan kasih sayang suami yang mengantarkan terhadap perubahan perilaku dan pembangkangannya terhadap suaminya.59 Pandangan dan kisah Nabi Ayyub di atas dimaksudkan untuk menjelaskan sekali lagi bahwa langkah memukul istri, bukanlah langkah yang bermaksud untuk melukai, menyakiti ataupun mencederai istri. langkah yang Tetapi, dilakukan semata-mata untuk memberi pelajaran, yang diharapkan munculnya perubahan pada diri seorang istri agar menjadi wanita salihah, yakni taat dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya. Berdasarkan kisah itu juga dapat dipahami bahwa meski memukul dalam ayat tersebut diartikan dalam makna ḥaqīqī (fisik), namun karena didasarkan pada rasa kasih sayang suami, maka diharapkan bahwa pengaruhnya bukan hanya pada jasmani semata, tetapi juga perasaan yang 59 Lihat Nur Taufiq, Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 93 53 terdalam, yakni cinta dan kasih sayang yang terdapat pada diri seorang istri terhadap suaminya (psikis). Selain makna hakiki, kata ḍaraba dalam ayat ini dapat juga diartikan sebagai makna majāzi (non fisik), yaitu memukul dengan “sikap atau katakata” yang tegas.60 Ketegasan yang tidak menyebabkan hati istri terlukai. Ketegasan yang bersifat “sok terapi” untuk mengubah keburukan-keburukan istri. Dengan sikap yang tegas, bila benar si istri masih mencintai suami, maka kemungkinan besar istri akan berubah dan akan menyadari kesalahankesalahannya, pepatah berbunyi: “kata-kata terkadang lebih tajam daripada pedang.” Nasaruddin Umar menyatakan bahwa pengertian “iḍribūhunna” yang berarti “pukullah mereka” seperti dalam terjemahan Departemen Agama tidaklah salah, namun baginya pengertian itu tidaklah mesti demikian. Dengan mengutip pengertian etimologis dari kamus Lisān al-‘Arab, ia menyatakan bahwa kata tersebut dapat berarti bersetubuh, melerai, mencampuri, menjelaskan, dan menjauhi. Yang lebih tepat menurutnya, kata tersebut diartikan “gauli atau setubuhilah”, sesuai dengan fungsi dan tujuan perkawinan 60 Muḥammad Syahrur, al-Qur’an wa al-Kitāb, Qira’ah Mu’āṣirah, dikutip oleh Supi’ah, Bias Jender dalam Pendidikan, Analisis Materi Fikih pada Madrasah Aliyah, Disertasi, h. 255 54 untuk menciptakan ketenteraman dan kasih sayang.61 Nasaruddin Umar juga mengutip pandangan Muhammad ‘Abduh yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “memukul” dalam ayat tersebut, bukanlah pukulan secara harfiah, tetapi cenderung berkonotasi metaforis, yaitu mendidik atau memberi pelajaran.62 Namun demikian, bagi penulis pengertian “pukullah’ seperti yang dipahami oleh umumnya ulama masih relevan, asal saja sesuai dengan aturan dan norma seperti yang dijelaskan di atas. Kenyataan menunjukkan bahwa karakter wanita memang bermacam-macam. Ada wanita yang cukup dengan nasehat yang lemah lembut, tetapi tidak sedikit pula wanita yang bebal dan keras kepala, yang mengharuskan tindakan yang lebih keras. Kedudukan sang suami dalam hal ini seperti seorang dokter yang ingin menyembuhkan pasiennya dengan tidak melakukan operasi pembedahan kecuali setelah melaksanakan upaya maksimal atau pengobatan terakhir sebelumnya. Maka, pemukulan sama dengan pisau bedah yang dianggap sebagai cara yang paling manjur untuk mengeluarkan penyakit yang sulit disembuhkan dengan cara-cara yang biasa. Pada saat yang demikian, tentu meluruskan dengan melakukan pemukulan adalah cara yang lebih baik daripada meluruskan dengan perceraian. Sebab, derita perceraian, bukan 61 Lihat Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 88 – 89 62 Lihat Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, h. 89 55 hanya berdampak pada diri si istri saja melainkan akan berdampak luas pada anak-anak dan keluarganya. Berbeda dengan perceraian, pemukulan dampaknya terbatas pada penderitaan si istri saja. Selain itu, sanksi fisik berupa pemukulan dibolehkan hanya karena sebagian perempuan mempunyai watak yang berbeda dengan wanita lain yang bisa jadi harus diluruskan dengan pemukulan tersebut. Jika sanksi fisik diambil oleh suami sebagai tindakan pertama, maka dia berarti telah berlebih-lebihan dalam menggunakan haknya dan salah dalam kaidah umum pendidikan. Bahkan, bisa jadi ia merugikan si istri, jika seandainya kesalahannya itu kecil. Perasaan yang halus dari seorang istri, biasanya yang dibutuhkan hanya sindiran yang lemah lembut pula, dan atau dengan kata-kata halus. Jika seandainya si istri telah menyadari kesalahannya dan segera taat, maka suami tidak boleh lagi mengambil langkah berikutnya, yaitu melakukan pemukulan. Oleh karena itu, Allah swt pada bagian akhir ayat tentang nusyus mempertegas dengan ungkapan: ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌـﻨَـ ُﻜ ْﻢ ﻓـَﻼَ ﺗَـْﺒـﻐُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬـ ﱠﻦ َﺳﺒِـْﻴـﻼً إِ ﱠن اﷲَ َﻛﺎ َن َﻋﻠِﻴﺎ َﻛﺒِْﻴـًﺮا Terjemahnya : Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. 56 Ini berarti, ketika istri telah menyadari kesalahannya dan kembali seperti semula, maka tidak boleh serta merta mengambil tindakan pemukulan. Hal ini masuk dalam keumuman lafaz yang disebutkan di atas, dalam pengertian: jangan mencari-cari cara untuk mengenakan sanksi terhadap mereka, karena Allah telah mengancam dengan siksa yang akan ditimpakanNya, seperti yang terkandung dalam firman Allah swt : .........”Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” Jika langkah terakhir ini dilakukan seorang suami dalam rumah tangganya, terutama kalau dilakukan semata-mata dalam bingkai penyelamatan rumah tangga yang nyaris karam, maka solusi yang ditawarkan oleh al-Qur’an merupakan satu bentuk penyelesaian konflik yang sangat tepat. Namun sekali lagi, menasehati istri dengan cara memukul adalah solusi terakhir dari yang terakhir mengingat terdapat beberapa sabda Rasulullah yang mengindikasikan pelarangan tersebut, misalnya hadis: ب ا ْﻣَﺮأَﺗَـﻪُ َﻛ َﻤﺎ َ ﻀ ِﺮ ْ َ أََﻣﺎ ﻳَ ْﺴﺘَ ْﺤِﲕ أَ َﺣـ ُﺪ ُﻛ ْﻢ أَ ْن ﻳ: ﺎل َ َﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ َ ﱯ َﻋ ْﻦ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔَ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠِ ﱢ 63 .ﱠاق ِ أَ ْﺧَﺮ َج َﻋْﺒـ ُﺪ اﻟﱠﺮز. ُآﺧ َﺮﻩ ِ ﺎﺟﻌُ َﻬﺎ ِﻀ َ ُﻀ ِﺮﺑـُ َﻬﺎ أَﱠو َل اﻟﻨﱠـ َﻬﺎ ِر ﰒُﱠ ﻳ ْ َ ﻳ، ب اﻟْ َﻌْﺒـ َﺪ ُ ﻀ ِﺮ ْ َﻳ Artinya: Dari ‘Ᾱisyah dari Nabi saw, dia berkata : Apakah salah seorang di antara kalian tidak malu memukul istrinya seperti ia memukul hamba 63 Lihat ‘Abd al-Rahmān al-Suyūṭī, al-Dur al-Manẓūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, h. 523 57 sahayanya, di pagi hari ia memukulnya kemudian di malam hari ia menidurinya. Ditakhrij oleh ‘Abd al-Razzāq b. Nusyus suami. Berbeda dengan nusyus istri, nusyus suami adalah sesuatu yang frontal dan sangat berbahaya. Setidaknya, ia akan berpengaruh buruk terhadap kebahagiaan rumah tangga dan bahkan bisa meruntuhkannya. Peristiwa- peristiwa yang tidak diinginkan yang ditimbulkan oleh nusyus suami lebih banyak daripada yang ditimbulkan oleh nusyus istri. Hal ini cukup beralasan, mengingat suami seperti diketahui adalah kepala dan tiang penyangga rumah tangga. Dialah yang mengatur roda keluarga dan dipundaknyalah terletak tanggungjawab keluarga yang lebih besar. Ayat yang berbicara tentang langkah penyelesaian nusyus yang dilakukan oleh suami adalah firman Allah swt QS al-Nisā’/4: 128 ﺻ ْﻠ ًﺤﺎ ُ ﺼﻠِ َﺤﺎ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎ ْ ُﺿﺎ ﻓَ َﻼ ُﺟﻨَﺎ َح َﻋﻠَْﻴ ِﻬ َﻤﺎ أَ ْن ﻳ ً ﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ْﻮًزا أَْو إِ ْﻋَﺮا ْ ََوإِ ِن ا ْﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ .ﲢ ِﺴﻨُـ ْﻮا َوﺗَـﺘﱠـ ُﻘ ْﻮا ﻓَِﺈ ﱠن اﷲَ َﻛﺎ َن ﲟَِﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُ ْﻮ َن َﺧﺒِْﻴـ ًﺮا ُْ ﺲ اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ َوإِ ْن ُ ﻀَﺮ ِت ْاﻷَﻧْـ ُﻔ ِ ﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧْﻴـٌﺮ َوأُ ْﺣ َواﻟ ﱡ Terjemahnya : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyus) dan 58 sikap tak acuh, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.64 Para mufassir menyebutkan perbedaan pendapat tentang sebab turunnya ayat di atas. Di antaranya : 1) Hadis dari ‘Ᾱisyah. اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ﺗَ ُﻜ ْﻮ ُن: ﺖ ْ َ ﻗَﺎﻟ. ( اﻵﻳﺔ..ﺿﺎ ً ﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑـَ ْﻌﻠِ َﻬﺎ ﻧُ ُﺸ ْﻮًزا أَْو إِ ْﻋَﺮا ْ َ)وإِ ِن ا ْﻣَﺮأَةٌ َﺧﺎﻓ َ ََﻋ ْﻦ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔ ﺖ َﻫ ِﺬ ِﻩ ْ َ ﻓَـﻨَـَﺰﻟ.ﱏ ِﰱ ِﺣ ﱟﻞ ْ ِْﻚ ِﻣ ْﻦ َﺷﺄ َ ُ أَ ْﺟ َﻌﻠ: ﻓَـﺘَـ ُﻘ ْﻮ ُل، ﺲ ُﻣ ْﺴﺘَ ْﻜﺜًِﺮا ِﻣْﻨـ َﻬﺎ ﻳُِﺮﻳْ ُﺪ أَ ْن ﻳـُ َﻔﺎ ِرﻗَـ َﻬﺎ َ ِﻋْﻨ َﺪﻩُ اﻟْ َﻤ ْﺮأَةُ ﻟَْﻴ 65 . أﺧﺮج إﺑﻦ أﰉ ﺷﻴـﺒﺔ واﻟﺒﺨﺎرى واﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ واﺑﻦ اﳌﻨﺬر.ُْاﻻَﻳَﺔ Artinya : Dari ‘Āisyah, ayat ... وإن اﻣﺮأة ﺧﺎﻓﺖ ﻣﻦ ﺑﻌﻠﻬﺎ ﻧﺸﻮزا أو إﻋﺮاﺿﺎdst, Dia berkata: seorang laki-laki memiliki seorag istri, namun dia tidak terlalu menginginkannya dan ingin berpisah dengannya, maka istrinya berkata, aku menghalalkanmu dalam segala urusanku, maka turunlah ayat ini. Ditakhrij oleh Ibn Abī Syaibah, Bukhāri, Ibn Jarīr, dan Ibn al-Munżir. Hadis tersebut menjelaskan bahwa seorang laki-laki yang memiliki seorang istri yang tidak diinginkannya lagi, lalu laki-laki itu bermaksud untuk menceraikannya. Akan tetapi istrinya tidak menginginkan hal itu, lalu ia rela melepaskan apa yang menjadi haknya dengan berkata kepada suaminya, kau boleh melakukan apa saja terhadapku. Berdasarkan peristiwa tersebut lalu turun ayat QS al-Nisā’/4: 128. 64 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 143 ‘Abd al-Raḥmān Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol.II, h. 65 710 59 2) Hadis dari Ibn ‘Abbās. َﷲ ﻻ ِ ﻳَﺎ َر ُﺳ ْﻮ َل ا: ﺖ ْ َﻓَـ َﻘﺎﻟ، ﷲ ﺻﻢ ِ ـﺖ َﺳ ْﻮَدةُ أَ ْن ﻳُﻄَﻠﱢ َﻘﻬـَﺎ َر ُﺳ ْﻮ ُل ا ْ َ َﺧ ِﺸﻴ: ﺎل َ َﺎس ﻗ ٍ َﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ َﻋﺒﱠ أﺧﺮج (....ﺖ َﻫ ِﺬﻩِ ْاﻵﻳـَﺔُ )وإن اﻣﺮأة ﺧﺎﻓﺖ ﻣﻦ ﺑﻌﻠﻬـﺎ ﻧﺸﻮزا ْ َ ﻓَـ َﻔﻌـَ َﻞ َوﻧـََﺰﻟ، َﺗُﻄَﻠﱢ ْﻘ ِﲎ َوا ْﺟ َﻌـ ْﻞ ﻳـَ ْﻮِﻣﻰ ﻟِ َﻌﺎﺋِﺸـَﺔ 66 .اﻟﻄﻴﺎﻟﺴﻰ واﻟﱰﻣﺬى واﻟﻄﱪاﱏ واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ ﰱ ﺳﻨﻨـﻪ Artinya: Dari Ibn ‘Abbās, dia berkata: Saudah khawatir jika Rasulullah saw menceraikannya, kemudian ia berkata: ya Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, saya merelakan giliranku kepada ‘Āisyah, Rasulullah pun mengikutinya, lalu turunlah ayat ini ... وإن اﻣﺮأة ﺧﺎﻓﺖ ﻣﻦ ﺑﻌﻠﻬﺎ ﻧﺸﻮزا. Ditakhrij oleh al-Ṭayālisi, al-Tirmiżī, Ibn al-Munżir, al-Ṭabranī, dan Bahaqī. Hadis ibn ‘Abbās tersebut menjelaskan tentang kekhawatiran Saudah, bahwa Rasulullah akan menceraikannya, maka ia berkata: “Ya Rasulallah, janganlah kau menceraikanku ! Aku relakan bagian malamku untuk ‘Ᾱisyah.” Lalu Rasulullah saw memenuhi permintaannya, dan turunlah ayat tersebut. 3) Hadis dari ‘Ᾱisyah. ﺖ ْ َﺖ َْﲢﺘَـﻪُ اِ ْﻣَﺮأَةٌ ﻗـَ ْﺪ ﻃَﺎﻟ ْ َﺼ ْﻠ ُﺢ َﺧْﻴـٌﺮ( ِﰱ َر ُﺟ ٍـﻞ َﻛﺎﻧ )واﻟ ﱡ َ ُﺖ َﻫ ِﺬ ِﻩ ْاﻵﻳـَﺔ ْ َ ﻧـََﺰﻟ: ﺖ ْ ََﻋ ْﻦ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔَ ﻗَﺎﻟ وأﺧﺮج .ﺿﺘْـﻪُ َﻋﻠَﻰ أَ ْن ﻳُِﻘْﻴ َﻢ ِﻋْﻨ َﺪﻫـَﺎ َوَﻻ ﻳُِﻘْﻴ ُﻢ ﳍََـﺎ َ ﻓَـَﺮا، ﻓَﺄََرا َد أَ ْن ﻳَ ْﺴﺘَْﺒـ ِﺪ َل َِﺎ، ت ِﻣْﻨـﻪُ أَْوﻻَ ًدا ْ ﺻ ْﺤﺒَﺘُﻬـَﺎ َوَوﻟَ َﺪ ُ 67 .اﺑﻦ ﻣﺎﺟـﺔ 66 ‘Abd al-Raḥmān Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol.II, h. 710 711 67 ‘Abd al-Raḥmān Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Dur al-Manṡur fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol.II, h. 60 Artinya : Dari ‘Āisyah, dia berkata: ayat ini واﻟﺼﻠﺢ ﺧﲑturun berkenaan dengan seorang laki-laki yang memiliki seorang istri yang telah lama bersamanya dan telah melahirkan anak yang banyak, lalu dia ingin menggantinya, namun perempuan itu rela untuk tetap dijadikan sebagai istri, meski tidak mendapatkan bagian atau giliran. Ditakhrij oleh Ibn Mājah. Hadis ‘Āisyah tersebut berkaitan dengan keberadaan seorang laki-laki yang telah lama hidup bersama istrinya yang juga telah melahirkan banyak anak, lalu ia ingin menceraikannya kemudian kawin lagi dengan perempuan lain yang diinginkannya. Akan tetapi istrinya rela untuk dipoligmi. Lalu ayat ini turun dan mengatakan bahwa “perdamaian itu lebih baik”. Meskipun hadis-hadis tersebut di atas mempunyai konteks yang berbeda, namun semuanya terfokus pada satu wacana, yaitu berpalingnya seorang suami terhadap istrinya, atau kurangnya perhatian terhadap sang istri, karena satu dan lain hal, yang mengarah pada gelagat perceraian yang berasal dari pihak suami. Kata yang digunakan tentang nusyus suami dalam QS al-Nisā’/4: 128 di atas, berbeda dengan kata yang digunakan pada nusyus istri. Jika pada nusyus istri digunakan kata takhāfūn ( ) ﲣﺎﻓﻮن, fi’il muḍāri’ (sedang/akan datang), maka pada nusyus suami digunakan kata khāfat () ﺧﺎﻓﺖ, fi’il māḍi (lampau). Menurut al-Alūsī yang dimaksud dengan khāfat adalah bahwa apa yang dikhawatirkan itu bisa berarti benar-benar terjadi, tapi juga bisa berarti 61 belum pasti terjadi namun istri memiliki perasaan khawatir hal itu akan terjadi. Artinya, kepastiannya lebih kuat daripada keraguannya, karena adanya tandatanda yang cukup kuat dari kekhawatiran itu.68 Nusyūzan juga berbeda dengan i’rāḍan. Nusyūzan adalah suami tidak melayani istrinya, tidak memberi nafkah dan kasih sayang, menyakiti istri dengan memaki atau memukul. Sedangkan i’rāḍan adalah suami bersikap dingin atau tidak mau berbicara, bersenda gurau, atau tindakan yang bersifat romantis disebabkan oleh kondisi istri, baik karena usia, bentuk tubuh, cenderung kepada wanita lain, akhlak, maupun yang lainnya.69 Penggunaan huruf penghubung “aw” ( )أوdalam ayat di atas, menunjukkan substansi yang sama, sekaligus menunjukkan tingkatan derajat antara kata yang satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan sikap yang pada prinsipnya menggambarkan keengganan dalam menjalankan kewajiban, tetapi meski kedua substansinya sama, namun nusyūzan lebih merupakan sebuah aksi dari pihak suami, sedangkan i’rāḍan lebih condong kepada sikap 68 Lihat Syihāb al-Dīn al-Alūsī, Rūḥ al-Ma’ānī, vol. V, (t.t., Dār al-Fikr, t.th.), h. 236 69 Lihat Syihāb al-Dīn al-Alūsī, Rūḥ al-Ma’ānī, vol. V, h. 236. Lihat pula Aḥmad Muṣṭafā alMarāgī, Tafsīr al-Marāgī, vol. V, h. 171 62 re-aksi terhadap suatu kondisi yang tidak disenangi, dan lebih banyak bersifat fisik.70 Jika i’rāḍan cenderung bersifat re-aksi terhadap sesuatu sebab yang sebenarnya tidak diinginkan, tingkatannya sebagai penyebab perpecahan relatif lebih mudah. Solusinya cukup dengan berusaha menghilangkan sebab yang tidak disenangi tersebut. Berbeda dengan i’rāḍan, nusyūzan sebagai sebuah aksi, yang tingkatannya dalam perpecahan dan perceraian lebih tinggi, mengharuskan adanya usaha penyelesaian konflik yang lebih tinggi pula. Karena itu, jika seandainya istri sudah merasakan adanya indikasi yang mengarah pada dua hal yang disebutkan “nusyus atau i’rāḍan”, ataukah memang tanda-tanda tersebut sudah jelas baginya, maka Islam menawarkan dua macam solusi bagi istri seperti halnya suami untuk ditempuh agar bahtera rumah tangga dapat diselamatkan, yaitu solusi internal dan solusi ekternal. Solusi internal yaitu mengajak suami untuk musyawarah atau berdamai, sebagaimana dalam QS al-Nisā’/4: 128 di atas, walaupun nantinya 70 Sebagai misal penggunaan kata penghubung “ ”أوyang menggambarkan kondisi di atas adalah QS. Al-Baqarah/2: 158 . ﻓﻤﻦ ﺣﺞ اﻟﺒﻴﺖ أو اﻋﺘﻤﺮ ﻓﻼ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﻴﻪ أن ﻳﻄﻮف ﻤﺎTerjemahnya: Sesungguhnya Safa dan Marwah itu ialah sebahagian daripada syiar Agama Allah, maka barangsiapa yang menunaikan ibadah Haji ke Baitullah atau mengerjakan ‘Umrah, maka tidak mengapa bagi mereka untuk bertawaf (sa’i) di antara keduanya. Di sini disebutkan antara haji dan ‘umrah, substansinya adalah sama, keduanya adalah perbuatan ibadah dan sama-sama berkunjung ke rumah Allah swt. Meski substansinya sama, namun derajatnya berbeda, yaitu jika haji adalah ibadah wajib dan memiliki waktu tertentu, maka ‘umrah adalah ibadah sunnah dan boleh dilakukan kapan saja. Lihat Nur Taufiq, Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 98 – 99. 63 memerlukan adanya pengorbanan dari pihak istri terhadap hak-hak yang sebelumnya didapatkan. Kata lā junāha dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa langkah itu adalah bersifat anjuran (boleh/jāiz), bukan suatu kewajiban, yang bertujuan bahwa jika kedua belah pihak antara suami dan istri benar-benar mengharapkan perdamaian, maka hendaknya dilakukan dengan keikhlasan, tanpa paksaan dari pihak manapun,71 meskipun keikhlasan itu muncul karena adanya pengorbanan yang diberikan oleh istri yang umumnya bersifat “syuḥ”72 (kikir), atau dengan kata lain sifat “ego” berupa pemberian hak-haknya, baik sepenuhnya maupun sebagiannya, seperti dalam riwayat Saudah yang memberikan sebagian malamnya kepada ‘Ᾱisyah. Bagi seorang suami yang baik, tentu sudah sepantasnya juga memberikan pengorbanannya dengan menghilangkan sikap “ego” yang ada pada dirinya, jika seorang istri sudah bersedia memberikan pengorbanan terhadap apa yang sebelumnya menjadi haknya. 71 Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h. 604-605 72 Kata “syuḥ” mengandung makna ganda, yaitu : kikir dan ambisius. Dengan ungkapan tersebut menunjukkan bahwa potensi kekikiran manusia sangat besar yang hampir tidak bisa ditinggalkan, kecuali dengan penyembuhan yang intensif dan tekad yang kuat, Lihat, Muhammad Rasyid Riḍa, huqūq al-Nisā’ fī al-Islam, diterjemahkan oleh Abu ‘Amir, Memenuhi Hak Kekasih, h. 102. Kata syuḥ/kikir semula digunakan dalam hal harta benda, namun di ayat ini makna kekikiran digunakan bagi seseorang yang mengalah atau mengorbankan sedikit haknya. Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h. 605 64 Otoritas perempuan dalam menyelesaikan problem nusyus lebih lemah dibandingkan dengan otoritas laki-laki, karena istri tidak memiliki otoritas pisah ranjang atau memberikan sanksi fisik. Otoritas penyelesaian problem penyelesaian kasus nusyus antara suami-istri ini berbeda, karena konsep dasarnya adalah mengacu kepada kepemimpinan laki-laki. Seorang suami adalah pengatur dan pemimpin keluarga. Dalam hal ini, bunyi ayat tersebut menyebut bahwa seorang suami adalah ba’āl, yang berarti “tuan”. Sebagai tuan yang mengatur dan memimpin, memiliki hak untuk mendidik dan menghardik, sedang hal itu tidak dimiliki oleh orang yang berada di bawah perlindungan dan kekuasaannya. Jika tidak, maka kekacauan akan terjadi. Berkaitan dengan solusi internal ini, tentu langkah pertama yang dapat diambil oleh seorang istri jika suaminya bersikap nusyus, adalah mencari tahu penyebab sikap nusyus suami. Posisinya seperti seorang dokter yang mendiagnosis suatu penyakit, dan selanjutnya menentukan apa obatnya. Seorang istri dapat mendeteksi penyakit yang sedang menimpa suaminya dengan berbagai teknik atau pendekatan yang kira-kira tidak melukai perasaan suami. Misalnya, mempelajari apa yang menjadi keinginan suami, mencari informasi tentang penyebab perubahan yang terjadi pada diri suami melalui teman-temannya, ataukah menanyakan secara tidak langsung kepada suaminya tentang apa yang dirasakannya. 65 Jika solusi internal atau perdamaian yang disertai dengan pengorbanan ini juga mengalami jalan buntu, dan gagal mengubah sikap atau perilaku suami, maka istri dapat menempuh solusi eksternal. Menurut Imam Malik, istri dapat mengadukan suaminya kepada hakim dan hakimlah yang memberikan nasehat kepada suaminya. Jika gagal menasehati suami, maka hakim dapat melarang istri untuk taat kepadanya, meski suami tetap wajib memberi nafkah. Hakim juga dapat membolehkan istri pisah ranjang, bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. Jika pisah ranjang pun gagal, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pukulan kepada sang suami. Jika pukulan pun belum menyadarkan suami, maka hakim boleh memutuskan perceraian atas persetujuan istri. Langkah hakim ini, seimbang dengan sikap yang diambil oleh suami dalam menghadapi istri nusyus sebagaimana QS al-Nisā’/4: 34. Perbedaannya, adalah untuk kasus nusyus suami, hakimlah yang melaksanakan tiga tahapan itu, bukan istri.73 Selain solusi eksternal melalui hakim tersebut, istri juga dapat menempuh cara lain, yaitu menunjuk hakam sebagai penengah untuk mencari solusi dari masalah yang mereka hadapi berdua. 73 Lihat ‘Is al-Dīn Balīg, Minhāj al-Ṣāliḥīn min Aḥādīṡ wa al-Sunnah Khātam al-Anbiyā’ wa al-Mursalīn, (Beirut: Dār al-Fikr, 1978. Lihat pula Nurjannah Islmail, Perempuan dalam Pasungan, Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 279 66 Berdasarkan paparan di atas, dapat dijelaskan bahwa jika masingmasing pihak, baik istri maupun suami sudah tidak dapat menyelesaikan masalah mereka secara internal, maka masih terbuka peluang untuk melakukan perdamaian, yaitu mengangkat dua juru damai (ḥakamain)74 dari pihak keluarga. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hakam merupakan “mahkamah keluarga”. Pengangkatan juru damai di sini adalah satu kesatuan yang tidak terpisah dengan ayat sebelumnya, yaitu antara QS al-Nisā’/4: 34 dengan QS alNisā’/4: 35. Jika ayat ke 34 berkaitan dengan pola hubungan suami-istri secara internal dalam menghadapi problema rumah tangga, maka ayat ke 35 ini berkaitan dengan pihak eksternal untuk mengatasi pola hubungan internal tersebut. Al-Qur’an surat al-Nisā’/4: 35 ini juga berarti tahap penyelesaian yang sudah sampai ke tingkat syiqāq atau syikak.75 yaitu perselisihan suami istri yang memuncak dan harus diselesaikan oleh ḥakamain (dua juru damai).76 74 Ḥakam adalah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian terhadap syikak. Penjelasan Pasal 76 ayat 2 UU Peradilan Agama. 75 Syikak dalam bahasa Arab “Syiqāq” berasal dari kata “syaqqa”. Syaqaqtuhu bi nisfaini maksudnya, saya memecahnya menjadi dua bagian, ḍid al-ittiḥād (lawan dari persatuan), dan al-nizā’ (perselisihan). Lihat al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat al-Faz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 271. Lihat pula Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 733 76 Lihat Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 173 67 Syikak sendiri diberi pengertian yang berbeda. Syikak menurut Rasyid Riḍa adalah perselisihan antara suami dan istri, yang kemungkinan disebabkan istri nusyus atau mungkin juga karena suami berbuat kejam dan aniaya terhadap istrinya.77 Dalam penjelasan UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 76 ayat (1) Syikak diartikan “perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri”. Sementara dalam KHI Pasal 116 ayat (f) disebutkan bahwa: Syikak adalah antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Beberapa pengertian di atas memiliki persamaan pokok tentang apa yang dimaksud dengan syikak, yaitu terjadinya perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri. Jika demikian, maka syikak mengandung arti bahwa kedua belah pihak sudah tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya sebagai suami istri, bahkan sudah melahirkan kebencian antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, perlu campur tangan atau keterlibatan pihak ekseternal dalam rangka menjaga keutuhan pasangan suami istri yang sedang dilanda prahara rumah tangga yang dinamakan dengan hakamain. 77 Lihat Rasyid Riḍa, Tafsīr al-Manār, Cet. Ke-2, V, (Beirut: Dār al-Fikr, 1973), h. 77 68 Hakam menurut para pengkaji hukum Islam sinonim dengan kata arbitrator.78 Persamaan hakam dengan arbitrator (arbiter), dapat dilihat pada : (a) penyelesaian sengketa secara voluntair;79 (b) di luar jalur peradilan yang resmi; dan (c) untuk itu masing-masing pihak menunjuk salah seorang hakam arbiter yang mereka anggap layak, jujur dan independen. Secara historis, lembaga hakam atau taḥkīm telah dikenal jauh sebelum masa Islam. Orang-orang Nasrani mengajukan perselisihan mereka kepada Paus. Demikian pula orang-orang Arab, menggunakan lembaga taḥkīm untuk menyelesaikan masalah jika terjadi pertikaian di antara mereka. Jika perselisihan itu antar anggota suku, maka umumnya kepala suku bersangkutan yang dipilih dan diangkat menjadi hakam. Tetapi, jika perselisihan itu terjadi antarsuku, maka yang diangkat menjadi hakam adalah kepala suku lain yang tidak terlibat dalam pertikaian atau perselisihan.80 Di antara peristiwa yang menggunakan lembaga taḥkīm adalah: 78 Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, diterjemahkan Hamid Ahmad, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: P3M, 1987), h. 265. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan untuk mengambil keputusan. Lihat Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 7 79 Perkara voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan di dalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Perkara voluntair yang diajukan ke Pengadilan Agama seperti penetapan pengangkatan wali; penetapan pengangkatan anak; penetapan pengesahan nikah (iṡbat nikah); penetapan wali adhal, dsb. 80 Lihat Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. V, h. 1750 69 a. Perselisihan antara Alqamah dan Amr bin Tufail yang bersaing memperebutkan jabatan kepala suku pada tahun 620 M. Untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, mereka meminta kepala suku lain untuk diangkat sebagai hakam.81 b. Peristiwa tahkim antara ‘Ali bin Abī Ṭālib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dalam perang ṣiffīn. Dalam peristiwa tersebut, ‘Ali bin Abī Ṭālib diwakili Abū Mūsa al-Asy’arī, sedang Mu’āwiyah diwakili oleh ‘Amr bin al-‘Ᾱṣ. Awalnya, kedua hakam ini sepakat untuk menurunkan mereka berdua dari jabatan khalifah. Tetapi ‘Amr bin ‘Ᾱṣ sebagai orang yang licik mengalahkan Abū Mūsa al-Asy’arī ketika itu, sehingga Mu’āwiyah dikukuhkan sebagai khalifah.82 Secara bahasa, hakam berarti mencegah atau mencegah dari kezaliman,83 wasit, pendamai, juru penengah.84 Dari segi istilah, hakam adalah orang yang berwenang untuk menghukumi orang yang berselisih karena adanya perpecahan di antara kedua belah pihak.85 81 Lihat Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. V, h. 1750 82 Lihat Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1985), h. 5. Lihat pula Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. V, h. 1750 83 Lihat Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqayis Fi al-Lugah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 277. Lihat pula al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat al-Faz alQur’an, h. 126 84 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 286 85 Lihat Muḥammad ‘Ali al-Ṣābūni, Ṣafwat al-Tafāsīr, Tafsīr li al-Qur’ān al-‘Aẓīm, vol. I, (Libanon: Dār al-Fikr, 2001), h. 252 70 Menurut penjelasan UU RI No. 7/1989 tentang Peradilan Agama Pasal 76 ayat 2 : Hakam adalah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian terhadap syikak. Apakah pengangkatan hakam tersebut hukumnya wajib atau tidak. Dalam kaitan ini para ulama sepakat tentang perlunya pengangkatan ḥakamain (dua juru damai) dalam perselisihan rumah tangga yang memuncak, tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum mengangkat hakam itu sendiri. Imām al-Syāfi’ī berpendapat bahwa hukum pengangkatan hakam adalah wajib. Alasannya, adalah kata perintah / fi’il amr ( ﻓﺎﺑﻌﺜﻮاmaka utuslah) dalam QS alNisā’/4: 35 tersebut adalah menunjukkan wajib,86 karena menghilangkan perselisihan rumah tangga adalah bagian dari penghapusan kegelapan atau penganiayaan yang merupakan kewajiban umum dan kewajiban utama atas penguasa, qāḍi atau hakim.87 Muḥammad ‘Ali al-Ṣābūnī, sependapat dengan Imām al-Syāfi’ī, dengan mengutip pendapatnya bahwa hakam adalah wajib demi menghindari 86 Berdasarkan kaidah uṣūl yang berbunyi : ( اﻷﻣـﺮ ﻟﻠﻮﺟﻮبperintah itu menunjukkan wajib). 87 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsir al-Munīr fī al-‘qīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, vol. V, h. 59 71 kesulitan (maḍarrat).88 Berbeda dengan kedua ulama di atas, Ibn Rusyd berpendapat bahwa pengangkatan dua hakam ini tidaklah wajib melainkan hukumnya boleh (jāiz).89 Menanggapi perbedaan di atas, penulis sependapat dengan pendapat yang terakhir. Sebab, tidak setiap perselisihan suami istri memenuhi unsur syikak yang harus diputus melalui pola syikak sesuai ketentuan QS al-Nisā’/4: 35. Oleh karena itu, keberadaan hakam tidak selamanya wajib. Selain itu, dengan pendekatan kebahasaan, ayat tersebut dimulai dengan kata “wain khiftum” (jika kalian khawatir) yang berarti suatu syarat. “in” bermakna “syarṭiyyah” artinya suatu syarat yang harus terpenuhi. Dalam kaitan ini, syaratnya ialah takut atau khawatir. Dengan pengertian tersebut, berarti jika kekhawatiran syikak itu tidak ada, maka tidak diperlukan adanya hakam. Sebaliknya, kalau ada indikasi atau nyata adanya syikak, maka saat itu diwajibkan adanya hakam.90 Sejalan dengan itu, UU RI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengikuti pendapat yang terakhir ini. Pasal 76 ayat (2) yang berbunyi: “... antara suami istri dapat mengangkat seorang....”. Dengan kata “dapat” 88 Lihat ‘Ali al-Ṣābūni, Rawā’i al-Bayān, h. 471. 89 Ibn Rusyd, Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaṣid, vol. II, (t.t.: Dār al-Fikr, t.th.), h.74 90 Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 322 72 menunjukkan arti tidak wajib, tetapi dapat diangkat secara kasuistik atas pertimbangan hakim dengan melihat mana yang lebih mendatangkan maslahat.91 Pengangkatan hakam berdasarkan pengertian tekstual dari QS alNisā’/4: 35 tersebut disebutkan bahwa hakam hendaklah terdiri dari seorang pihak suami dan seorang dari pihak istri (min ahlihī dan min ahlihā). Dari sini dapat dipahami bahwa jumlah hakam sebanyak dua orang, satu dari pihak lakilaki dan satu dari pihak perempuan. Namun, tidak ditemukan di dalam kitabkitab tafsir ataupun kitab-kitab fikih tentang jumlah minimal hakam. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa dua hakam merupakan jumlah ideal. Namun, ini tidak berarti bahwa kurang dari dua hakam atau lebih, berarti tidak boleh. Pasal 76 ayat (2) UU RI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak menyebutkan secara rinci tentang jumlah hakam, hanya menyebut seorang atau lebih dari keluarga masing-masing suami istri atau boleh juga orang lain yang ditunjuk menjadi hakam. Berdasarkan hal tersebut, jumlah hakam menurut Undang-Undang ini, bila dipandang perlu dapat diwakili satu orang saja, dengan pertimbangan semakin banyak orang yang ikut campur, akan bertambah semakin rumit dan kacau. 91 Pasal tersebut selengkapnya berbunyi : Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam. 73 Para ulama juga berbeda pendapat tentang siapa yang sebaiknya menjadi juru damai. Imām Syāfi’i sebagaimana dikutip oleh Abd. Shomad bahwa pengangkatan hakam sebagaimana perintah QS al-Nisā’/4: 35 adalah hakam dalam perselisihan keluarga saja, sehingga perselisihan itu harus diselesaikan secara kekeluargaan. Seandainya melalui kekeluargaan sudah mengalami jalan buntu, barulah diserahkan kepada qāḍi (hakim) atau pengadilan.92 Wahbah al-Zuḥailī menulis bahwa hakam dari keluarga kedua belah pihak adalah lebih utama, meskipun dibolehkan dari orang lain. Namun demikian, jika keluarga tidak ada, maka tetangga lebih baik dari pada yang lainnya. Tetangga dinilai lebih mengetahui keadaan keluarga dan memiliki kemampuan untuk mendamaikan pasangan yang mengalami masalah dibandingkan dengan yang lainnya.93 Senada dengan itu, Sayyid Sābiq berpendapat bahwa hakam dari pihak keluarga bukanlah merupakan syarat, karena perintah dalam QS al-Nisā’/4: 35 tersebut adalah bersifat sunnah.94 Jika demikian, maka pengangkatan hakam 92 Lihat Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, h. 324 93 Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 7061 94 Sayyid Sābiq, Fikih Sunnah VIII, terjemahan Moh. Tholib, (Bandung: al-Ma’ārif, 1993), h. 115 74 dari pihak keluarga hanyalah bersifat anjuran, karena mereka dinilai lebih mengetahui akar permasalahannya. Pertimbangan dipilihnya anggota keluarga sebagai hakam menurut alZamakhsyarī adalah karena keluarga dipandang lebih mengetahui hal-ihwal yang paling dalam, lebih berhajat terhadap kerukunan suami istri, dan suami istri merasa lebih tenang untuk mengungkapkan isi hati mereka kepada keluarga sendiri daripada orang lain. 95 Keluarga pada dasarnya memang mempunyai hubungan emosional yang sangat kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Hubungan antara seorang anak dan keluarganya, terutama orang tua dan saudara-saudaranya tidak akan pernah dapat diputus oleh ikatan apapun, karena ia merupakan hubungan yang bersifat lahir dan batin, yang dimiliki oleh seorang manusia sejak lahir. Untuk itu, suami-istri yang dilanda prahara rumah tangga, sebaiknya mencari pertama kali bantuan dari pihak keluarga untuk berusaha mendamaikan keduanya, setelah perdamaian dan solusi secara internal tidak tercapai, barulah kemudian mengadukannya kepada hakim atau Pengadilan Agama. 95 Lihat al-Zamakhsyarī, Tafsīr al-Kasysyāf, vol. I, h. 497 75 Adapun fungsi hakam, al-Qur’an tidak menguraikannya secara detail. Namun demikian, secara tegas disimpulkan bahwa tujuan utama dari juru damai tersebut adalah mewujudkan perdamaian (ṣulḥ). Dengan demikian, fungsi utama kedua juru damai tersebut adalah berusaha semaksimal mungkin mencari jalan keluar agar kedua pasangan itu kembali bersatu seperti semula, sehingga perceraian tidak perlu terjadi. Ataukah perdamaian dalam arti tidak ada lagi problem yang terjadi antara kedua belah pihak, meski pada akhirnya terjadi perceraian antara keduanya. Berkaitan dengan fungsi hakam tersebut, para ulama berbeda pendapat tentang apakah hakam itu dapat pula menceraikan atau memisahkan suami istri yang sedang dilanda konflik rumah tangga. Dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, bahwa hakam tidak berwewenang untuk menceraikan suami istri. Alasannya, adalah (a) bahwa Allah swt hanya memberi kewenangan kepada kedua hakam untuk mendamaikan mereka, sehingga kewenangannya tidak lebih dari pada itu, sesuai bunyi ayat ( إن ﻳﺮﻳﺪا إﺻﻼﺣﺎJika keduanya menginginkan perdamaian); (b) hakam statusnya hanyalah sebagai wakil, dan wakil tidak boleh memutuskan suatu hukum tanpa persetujuan orang yang diwakilinya. 96 Alasan lain menurut Amir Syarifuddin adalah bahwa kehormatan si istri 96 Lihat ‘Ali al-Ṣābūni, Rawā’i al-Bayān, vol. I, h. 472 76 menjadi hak bagi suami, sedangkan harta si suami menjadi hak bagi istri; keduanya telah dewasa dan cerdas. Oleh karenanya, pihak lain tidak dapat berbuat sesuatu kecuali atas izin keduanya.97 Sementara menurut Wahbah alZuhailī alasannya adalah bahwa hak talak berada di tangan suami, bukan pada yang lainnya, dan juga bukan pada hakam itu sendiri. 98 Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama99, dalam hal ini mazhab Syafi’i, Ḥanbalī, dan Ḥanafī. Karena fungsinya yang demikian, maka hakam berwenang untuk mendamaikan dan tidak berwenang menjatuhkan talak atau khulu’100 kecuali atas persetujuan suami atau istri. Oleh karena itu, jika kedua juru damai misalnya berkesimpulan bahwa sebaiknya kedua suami istri tersebut diceraikan atau dipisahkan, maka juru damai dari pihak laki-laki hendaknya meminta izin kepada suami sebelum menjatuhkan talaknya, dan juru damai dari pihak istri hendaknya pula meminta izin kepada istri untuk menjatuhkan talaknya dengan cara khulu’. Tetapi menurut penulis, meskipun kedua juru damai itu adalah wakil dari suami istri dan tidak berhak untuk menceraikannya, namun para hakam itu 97 Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 196 98 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 7061 99 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 7061 100 Khulu’secara bahasa berarti mencabut, menanggalkan dan melepaskan. Secara istilah khulu’ adalah perceraian antara suami istri dengan ganti rugi, baik dengan lafaz talak maupun dengan lafaz khulu’. Lihat A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 361. Lihat pula Abd. Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. III, h. 932 77 dapat merekomendasikan keputusan dan hasil pembicaraan mereka kepada qāḍi atau hakim, kemudian hakimlah yang menceraikannya atas dasar rekomendasi dari hakam. Kedua, sebagian yang lain berpendapat bahwa hakam berwenang menceraikan suami istri. Alasannya, adalah berdasarkan bunyi ayat ﻓﺎﺑﻌﺜﻮا ﺣﻜﻤﺎ ﻣﻦ ( أﻫﻠﻪ وﺣﻜﻤﺎ ﻣﻦ أﻫﻠﻬـﺎmaka utuslah seorang hakam dari suami dan seorang hakam dari istri), hakam bagi pendapat ini artinya hakim. Di antara tugas hakim adalah menetapkan hukum tanpa memerlukan persetujuan atau kerelaan terhukum atau terdakwa.101 Pendapat bahwa hakam dapat menceraikan suami-istri dikuatkan oleh tindakan khalifah ‘Ali bin Abī Ṭālib yang pernah mengangkat hakam dengan pemberian kekuasaan penuh kepadanya untuk mengambil keputusan yang lebih bermanfaat dan maslahat, apakah mendamaikan atau menceraikan suamiistri yang berselisih itu.102 Pendapat ini dianut oleh mazhab Malikī. 103 Karena fungsinya sebagai hakim, maka hakam dapat memutuskan dan bertindak apa 101 اﳊﻜﻢ ﻫﻮ اﳊﺎﻛﻢLihat Muḥammad ‘Ali al-Ṣābūni, Rawā’i al-Bayān, vol. I, h. 472 102 ‘Ali mengatakan : إﻟﻴﻬﻤﺎ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺑﲔ اﻟﺰوﺟﲔ واﳉﻤﻊArtinya: diserahkan kepada suami-istri, apakah berpisah ataukah berkumpul kembali. Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 7061 103 Lihat Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2007), h. 112. Lihat pula Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 7061 78 yang dipandangnya lebih baik dan lebih maslahat bagi kedua suami istri yang diwakilinya, tanpa memerlukan persetujuan dan kerelaannya, termasuk menceraikan keduanya. Dengan demikian, yang menjatuhkan talak bukan Pengadilan Agama, tetapi hakam atas nama suami. Sedangkan Pengadilan Agama hanya menguatkan keputusan para hakam. 104 Alasan lain dari perbedaan pendapat di atas adalah bersumber dari pemahaman mereka terhadap kalimat “in yurīdā iṣlāhan yuwaffiq Allāhu bainahumā”. Bagi mereka yang berpendapat bahwa hakam adalah sebagai wakil, memahami kata “iṣlāh” dalam ayat tersebut dengan kemaslahatan yang bermakna tugas untuk musyawarah, menyelidiki akar perselisihan dan mencari solusi untuk memperbaiki kembali hubungan internal suami-istri tersebut, sehingga pemisahan perkawinan bukanlah menjadi wewenangnya. Sedangkan bagi mereka yang berpendapat bahwa hakam adalah sebagai hakim, memahami kata yang dimaksud dalam ayat ini dengan kemaslahatan yang dicari, baik kemaslahatan itu dicapai dengan mempersatukan keduanya kembali, maupun kemaslahatan itu dicapai dengan memutuskan ikatan perkawinan mereka.105 104 Noto Susanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada, 1963), h. 30 105 Lihat Nur Taufiq Sanusi, Fikih Rumah Tangga Perspektif al-Qur’an dalam Mengelola Konflik Menjadi Harmoni, (Depok, eLSAS, 2010), h. 114 79 Di Indonesia, praktik hakam mengalami pergeseran. Sebelum tahun 1930-an umumnya ulama dan pejabat agama berpegang pada pendapat yang menilai hakam sebagai wakil. Namun setelah banyak wanita yang memilih murtad dari Islam, meskipun pura-pura, hanya sekedar alasan untuk bercerai,106 dan hakim agama mulai pula mencari jalan keluar dalam menghadapi perkawinan yang kacau, maka pada tahun 1938 dalam Muktamar Perhimpunan Penghulu dan Pegawainya (PPDP) menyatakan persetujuannya dengan pendapat yang menyatakan bahwa hakam mempunyai wewenang seperti hakim.107 Soemiyati dalam salah satu karyanya yang ditulis sesudah berlakunya UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan sebelum berlakunya UU RI No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menulis bahwa hakim-hakim Pengadilan Agama banyak mengikuti pendapat kedua, yaitu hakam adalah hakim, sehingga jika dalam usahanya mendamaikan suami istri itu tidak berhasil, maka hakam berhak memutuskan hubungan perkawinan keduanya. Pengadilan Agama tinggal memberikan kekuatan atas keputusan hakam tersebut. Jika kenyataannya kedua hakam itu tidak dapat mengambil 106 Dalam hukum Islam murtadnya salah satu pihak bisa melenyapkan keabsahan perkawinan. 107 Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, h. 329 80 keputusan, maka hakim Pengadilan Agama mengambil alih tugas itu dan segera memberikan keputusan.108 Dalam perkembangan selanjutnya, fungsi hakam di Indonesia kembali kepada pendapat pertama, yaitu hakam sebagai wakil, bukan sebagai hakim. Hal ini, dapat dipahami dari penjelasan Pasal 76 ayat (2) UU RI No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama yang menyebutkan, pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami-istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam. Berdasarkan penjelasan tersebut, menunjukkan bahwa fungsi hakam dalam UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama di atas adalah “terbatas”, yaitu untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan. Fungsi hakam adalah berkewajiban memberi laporan sejauh mana usaha dan hasil yang diperolehnya selama menjalankan fungsinya sebagai hakam, tidak berwenang menjatuhkan putusan. Dengan demikian, fungsi hakam sekedar usaha penjajakan penyelesaian perselisihan antara suami istri, tanpa ada kewenangan mengambil keputusan. Dengan pemaparan di atas menunjukkan bahwa langkah yang dapat ditempuh oleh hakam adalah sebagai berikut : 108 Lihat Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, h. 113 81 Pertama, kedua juru damai (ḥakamain) mencari tahu akar persoalan sebenarnya dengan menemukan dan meneliti faktor-faktor konflik dan ketegangan suami-istri. Melalui pengaruh hubungan psikologi keluarga, khususnya antara orang tua dan anak diharapkan kedua belah pihak lebih terbuka dalam menyampaikan tabir persoalan, ketika hal itu bisa jadi tidak sanggup ia sampaikan kepada pasangannya. Kedua, bila akar persoalannya sudah ditemukan, maka kedua juru damai tersebut berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan faktorfaktor ketegangan kedua belah pihak sehingga bangunan rumah tangga tidak runtuh. Jika penyebabnya adalah karena nusyus istri, maka diselesaikan dengan cara sebagaimana pada kasus nusyus istri. Tetapi, jika ternyata penyebabnya karena nusyus suami, maka hakam menasehatinya dan menghentikan sikap nusyusnya, ataukah istri bersedia melepaskan dan mengorbankan sebagian hak-haknya sebagaimana sikap Saudah terhadap Nabi. Namun, bila keduanya saling menuduh pihak lain sebagai perusak dan keduanya bersikap keras dan tidak mau mendengar nasehat, maka hakam dapat mencari bantuan dari orang lain yang disegani oleh keduanya untuk menasehatinya. Ketiga, jika terjadi dead lock, bahkan pertengkaran kedua belah pihak semakin tajam, maka hakam menyampaikan hasil penyelidikannya kepada 82 hakim atau Pengadilan Agama, untuk dicari penyelesaian yang lebih adil dan lebih maslahat. Praktek perdamaian dalam perkara perdata pada umumnya, diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 R.Bg, 109 Pasal-Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa pada setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara, Ketua Majelis hakim diwajibkan mendamaikan antara pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa. Jika usaha perdamaian dapat dicapai, maka pada hari itu juga dibuatkan putusan perdamaian yang disebut dengan Akta Perdamaian (acta van vergelijk). Isi Akta Perdamaian tersebut adalah menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka di muka sidang. 110 Akta Perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dilaksanakan eksekusi, sama dengan putusan biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jika terdapat pihak yang tidak mau mentaati isi 109 Pasal 130 HIR dan Pasal 154 R.Bg dikemukakan bahwa jika pada hari persidangan yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara hadir dalam persidangan, maka Ketua Majelis Hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kecana, 2008), h. 152. HIR adalah singktan dari Herziene Inlandsch Reglement, adalah hukum acara khusus yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda bagi golongan Bumi Putra untuk dipergunakan oleh hakim dalam melaksanakan tugastugasnya. Sedangkan R.Bg adalah singkatan dari Rechtsreglement Voor De Buitengewesten, adalah hukum acara untuk daerah seberang, yang pada hakekatnya sama dengan apa yang telah diatur HIR dengan sedikit perubahan dan pengurangan yang dianggap perlu. Lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 5 110 Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 5. Lihat pula Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 95 83 perdamian, maka pihak yang dirugikan dapat memohon eksekusi kepada Pengadilan Agama. Akta Perdamaian ini dicatat dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan pada kolom Putusan. Dengan Akta Perdamaian juga, perkara tidak dapat dimintakan banding, kasasi ataupun peninjauan kembali, serta tidak dapat diajukan gugatan baru lagi.111 Dalam perkara perceraian, jika perdamaian di tingkat pertama itu berhasil, maka perkara dicabut atas persetujuan kedua belah pihak. Untuk itu, hakim membuat “penetapan” yang menyatakan perkara telah dicabut karena perdamaian dan para pihak dinyatakan masih dalam ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan, tempat mereka dahulu menikah. Dalam hal ini tidak ada Akta Perdamaian, sebab kalau ketentuan tersebut dilanggar, putusan (Akta Perdamaian) tersebut tidak dapat dieksekusi, karena akibat pelanggarannya tidak berakibat pada putusnya perkawinan. Numun, jika dikemudian hari, salah satu pihak menghendaki perceraian, maka yang dapat ditempuh ialah mengajukan perkara baru dengan alasan yang berbeda dengan alasan sebelumnya, termasuk alasan yang diketahui pada saat perdamaian itu terjadi. 111 Dengan demikian, perceraian Lihat Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 95 84 hanya dapat diajukan kembali atas alasan-alasan baru yang terjadi setelah perdamaian tersebut.112 Bila putusan perceraian itu dimintakan banding atau kasasi, maka perdamaian di tingkat ini pun masih dapat dilakukan sebelum perkara diputus. Seandainya perdamaian di tingkat ini berhasil, maka perkaranya dicabut atas persetujuan suami-istri yang bersangkutan. Untuk itu, Pengadilan Tinggi Agama membuat “Penetapan” yang berisi bahwa : mengizinkan pembanding mencabut perkaranya, membatalkan putusan PA yang mengabulkan perceraian itu, karena terjadi perdamaian sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, dan menyatakan bahwa status suami-isteri tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang sah. Demikian pula, dalam hal putusan cerai yang dimintakan kasasi, dan kemudian terjadi perdamaian sebelum Mahkamah Agung menjatuhkan putusannya, maka suami-istri dapat mencabut kasasinya itu karena terjadi perdamaian. Untuk itu, Mahkamah Agung membuat “Penetapan” yang berisi bahwa : mengizinkan pemohon kasasi mencabut perkaranya, membatalkan putusan cerai Pengadilan Tinggi Agama karena terjadi perdamaian, dan menyatakan bahwa suami-istri tersebut masih dalam ikatan perkawinan yang sah.113 112 Lihat Mukto Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 96 113 Lihat Mukto Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 97 85 Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan perdamaian yang dilakukan oleh hakam (mediator), Mahkamah Agung mengeluarkan aturan yang disebut Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia No. 01 Tahun 2008. Dalam perma Pasal 2 poin (4) disebutkan: “hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.” Dengan Perma ini, wajib bagi hakim mencantumkan atau menyebutkan dalam putusan perkara yang ditanganinya, nama mediator atau hakam dalam perkara tersebut. Jika tidak, maka hakim dianggap bersalah dan putusan perkaranya, batal demi hukum. B. Landasan Hidup Rumah Tangga Kehidupan rumah tangga, seandainya diibaratkan dengan suatu bangunan, maka dibutuhkan pondasi yang kuat. Pondasi rumah tangga, tidak lain adalah ajaran agama disertai dengan kesiapan fisik dan mental. 114 Oleh karena itu, seperti dikemukakan sebelumnya bahwa pernikahan dalam perspektif Islam disebut dengan “mīṡaqan galīẓan”. Istilah tersebut 114 Bagi mereka yang belum siap fisik dan mental, dianjurkan bersabar dan tetap memelihara kesucian diri agar selamat dari lembah kehinaan. Al-Qur’an menegaskan : وﻟﻴﺴﺘﻌﻔﻒ اﻟﺬﻳﻦ ﻻﳚﺪون ﻧﻜﺎﺣﺎ ﺣﱴ ...... ﻳﻐﻨﻴﻬﻢ اﷲ ﻣﻦ ﻓﻀﻠﻪTerjemahnya : Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya..... (QS al-Nur/24: 33) 86 menggambarkan bahwa pernikahan bukanlah sekedar kontrak biasa, melainkan kontrak yang sarat dengan makna religiusitasnya. Berdasarkan pemahaman bahwa pernikahan itu adalah mīṡaqan galīẓan, maka pernikahan melahirkan sejumlah hak115 dan kewajiban116 yang harus ditunaikan dan dipertanggung jawabkan, baik kepada pasangannya, maupun terhadap Allah swt. Seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam keluarga itu. Begitu pula seorang perempuan yang mengikatkan diri menjadi istri dalam suatu pernikahan memperoleh berbagai hak pula. Di samping itu, mereka pun menyandang kewajiban- kewajiban sebagai konsekwensi logis dari adanya sebuah ikatan pernikahan. Hak dan kewajiban itu telah diatur dalam agama berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Kewajiban masing-masing suami dan istri akan diuraikan sebagai berikut. 1. Kewajiban suami dalam rumah tangga. Secara umum kewajiban suami terhadap istri menurut agama Islam dapat dibagi kepada 2 bagian, yaitu (a) kewajiban yang bersifat materi, dan (b) 115 Hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain. Dengan kata lain, sesuatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperoleh dari hasil perkawinannya. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, h. 87 116 Kewajiban adalah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami-istri untuk memenuhi hak dari pihak lain. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UndangUndang Perkawinan, h. 87 87 kewajiban yang bersifat non materi. Kewajiban materi biasanya disebut dengan nafkah lahir (yang berwujud), yaitu mahar dan nafkah. Namun di sini tidak dibahas tentang mahar, karena mahar berkaitan dengan kewajiban suami yang harus ditunaikan di saat berlangsungnya akad nikah. Sedangkan kewajiban non materi biasanya disebut dengan kewajiban yang bersifat moril, seperti sopan santun, perlakuan yang baik, dan bersikap adil. a. Kewajiban materi/nafkah. 1) Pengertian nafkah Nafkah merupakan kebutuhan fital dalam kehidupan suatu keluarga. Dalam hal ini ia merupakan tanggung jawab suami terhadap isterinya. Nafkah berasal dari bahasa Arab, nafaqah, yang berarti biaya, belanja, pengeluaran uang, atau biaya hidup.117 Juga mengandung arti: ( ﻧﻘﺺ وﻗـﻞberkurang) atau ﻓﲎ وذﻫﺐyang berarti hilang atau pergi.118 Bila dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga, maka nafkah secara terminologi berarti sesuatu yang dikeluarkan oleh suami dari hartanya untuk kepentingan si istri yang berakibat hartanya menjadi berkurang. 2) Dasar hukum nafkah 117 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 1449 118 Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 165 88 Kewajiban suami memberi nafkah kepada istri tidak didasarkan pada kebutuhan istri dalam suatu rumah tangga, tetapi merupakan kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat pada perlu tidaknya si istri terhadap nafkah tersebut. Ini berarti, bahwa meskipun istri kaya dan tidak memerlukan bantuan biasa dari suami, namun tetap suami berkewajiban membayar nafkah. Kewajiban ini memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam, yaitu berdasarkan al-Qur’an, dan hadis. a) al-Qur’an Dalam al-Qur’an, setidaknya dijumpai dua ayat yang menyatakan kewajiban nafkah, yaitu : (1) QS al-Baqarah/2: 233. ٌﻀﺎ ﱠر َواﻟِ َﺪة َ ُﺲ إِﱠﻻ ُو ْﺳ َﻌ َﻬﺎ َﻻﺗ ٌ ﻒ ﻧـَ ْﻔ ُ ف ﻻَ ﺗُ َﻜﻠﱠ ِ َو َﻋﻠَﻰ اﻟْ َﻤ ْﻮﻟُْﻮِد ﻟَﻪُ ِرْزﻗـُ ُﻬـ ﱠﻦ َوﻛِ ْﺴ َﻮﺗـُ ُﻬ ﱠﻦ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌ ُﺮْو..... ... ﺑَِﻮﻟَ ِﺪ َﻫﺎ َوَﻻ َﻣ ْﻮﻟُْﻮٌد ﻟَﻪُ ﺑَِﻮﻟَ ِﺪ ِﻩ Terjemahnya : ... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya....119 (2) QS al-Ṭalāq/65: 6 ... ﻀﻴﱢـ ُﻘ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َ ُﻀﺎ ﱡرْوُﻫـ ﱠﻦ ﻟِﺘ َ ُﺚ َﺳ َﻜْﻨﺘُ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ُو ْﺟ ِﺪ ُﻛ ْﻢ َوَﻻﺗ ُ أَ ْﺳ ِﻜﻨُـ ْﻮُﻫـ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ َﺣْﻴ 119 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 57 89 Terjemahnya: Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka....120 b) Hadis Dalam bentuk hadis setidaknya ditemukan juga beberapa dalil, di antaranya: (1) Hadis dari Abu Hurairah: ُﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻟِْﻠ َﻤ ْﻤﻠُ ْﻮ ِك ﻃَ َﻌﺎ ُﻣـﻪ َ َ ﻗ:ﺎل َ ََﻋ ْﻦ أَِ ْﰉ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ َﻋْﻨﻪُ ﻗ 121 .ﻒ ِﻣ َﻦ اﻟْ َﻌ َﻤ ِﻞ إِﻻﱠ َﻣﺎﻳُ ِﻄْﻴ ُﻖ ُ َوﻛِ ْﺴ َﻮﺗـُﻪُ َوﻻَ ﻳُ َﻜﻠﱠ Artinya : Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw bersabda : hak anak-anak untuk mendapatkan makanan dan pakaian, dan tidak dibebani untuk berbuat kecuali yang mampu ia perbuat. (2) Hadis dari Ḥākim bin Mu’āwiyah al-Qusyairī: َﻣﺎ َﺣ ﱡﻖ: ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ﱯ أَ ﱠن َر ُﺟﻼً َﺳﺄَ َل اﻟﻨﱠِ ﱠ:ﺎل َ َ َﻋ ْﻦ أَﺑِْﻴ ِﻪ ﻗ، ََﻋ ْﻦ َﺣ ِﻜْﻴ ِﻢ ﺑْ ِﻦ ُﻣ َﻌﺎ ِوﻳَﺔ َوَﻻ.َب اﻟْ َﻮ ْﺟـﻪ ُ ﻀ ِﺮ ْ َ َوَﻻ ﻳ. َوأَ ْن ﻳَ ْﻜ ُﺴ ْﻮَﻫﺎ إِذَا ا ْﻛﺘَ َﺴﻰ. أَ ْن ﻳُﻄْﻌِ َﻤ َﻬﺎ إِذَا ﻃَﻌِ َﻢ: ﺎل َ َاﻟْ َﻤ ْﺮأَةِ َﻋﻠَﻰ اﻟﱠﺰْو ِج ؟ ﻗ رواﻩ إﺑﻦ ﻣﺎﺟـﻪ.ﺖ ِ اﻟْﺒَـْﻴ َوَﻻﻳـَ ْﻬ ُﺠ ْـﺮ إِﱠﻻ ِﰱ.ﻳـُ َﻘﺒﱢ ْﺢ Artinya : Dari Ḥakīm bin Mu’āwiyah, dari Bapaknya, ia berkata: seseorang telah bertanya kepada Nabi saw: apakah hak seorang istri atas suaminya ? 120 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 946 121 Lihat Muḥammad bin Ismā’īl al-Kaḥlānī, Subul al-Salām, (t.t., Maṭba’ah al-Bāb al-Ḥalabī, 1958), h. 221 90 Nabi berkata : “ia mesti memberi makan sesuai dengan apa yang ia makan, memberi pakaian sesuai dengan apa yang ia pakai, tidak memukul bagian mukanya, tidak mencela, dan tidak meninggalkannya kecuali ia berada di dalam rumahnya (Riwayat Ibn Mājah). (3) Hadis dari Ahwas ﺻ ْﻮا ﺑِﺎﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء ُ أَﻻَ َوا ْﺳﺘَـ ْﻮ: ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳـَ ُﻘ ْﻮ ُل َ ﱯ ص َر ِﺿ َﻲ اﷲُ َﻋْﻨﻪُ أَﻧﱠﻪُ َِﲰ َﻊ اﻟﻨﱠِ ﱠ ِ َﻋ ِﻦ ْاﻷَ ْﺣ َﻮ ﻓَِﺈ ْن، ﺎﺣ َﺸ ٍﺔ ُﻣﺒَـﻴﱢـﻨَـ ٍﺔ ِ ﲔ ﺑَِﻔ َ ِْ إِﻻﱠ أَ ْن ﻳَﺄْﺗ،ﻚ َ ِﺲ ﲤَْﻠِ ُﻜ ْﻮ َن ِﻣْﻨـ ُﻬ ﱠﻦ َﺷْﻴﺌًﺎ َﻏْﻴـَﺮ ذَﻟ َ ﻓَِﺈﳕﱠَﺎ ُﻫ ﱠﻦ َﻋ َﻮا ٌن ِﻋْﻨ َﺪ ُﻛ ْﻢ ﻟَْﻴ، َﺧْﻴـًﺮا َ أَﻻ، ً ﻓَِﺈ ْن أَﻃَ ْﻌﻨَ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻼ ﺗَـْﺒـﻐُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ َﺳﺒِْﻴﻼ، ﺿ ْﺮﺑًﺎ َﻏْﻴـَﺮ ُﻣﺒَـﱢﺮٍح َ ﺿ ِﺮﺑـُ ْﻮُﻫ ﱠﻦ ْ َوا، ﺎﺟـ ِﻊ ِﻀ َ ﻓَـ َﻌ ْﻠ َﻦ ﻓَﺎ ْﻫ ُﺠ ُﺮْوُﻫ ﱠﻦ ِﰱ اﻟْ َﻤ ﻓَﺄَﱠﻣﺎ َﺣ ﱡﻘ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﻧِ َﺴﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ ﻓَﻼَ ﻳـُ ْﺆ ِﻃْﺌ َﻦ ﻓَـ ْﺮ َﺷ ُﻜ ْﻢ، َوﻟِﻨِ َﺴﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َﺣﻘ ﺎ، إِ ﱠن ﻟَ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﻧِ َﺴﺎﺋِ ُﻜ ْﻢ َﺣﻘ ﺎ أََﻻ َو َﺣ ﱡﻘ ُﻬ ﱠﻦ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ أَ ْن ُْﲢ ِﺴﻨُـ ْﻮا إِﻟَْﻴ ِﻬ ﱠﻦ ِﰱ ﻛِ ْﺴ َﻮِِ ﱠﻦ، َوﻻَﻳَﺄْذَ ﱠن ِﰱ ﺑـُﻴُـ ْﻮﺗِ ُﻜ ْﻢ ﻟِ َﻤ ْﻦ ﺗَ ْﻜَﺮُﻫ ْﻮ َن، َﻣ ْﻦ ﺗَ ْﻜَﺮُﻫ ْﻮ َن رواﻩ اﻟﱰﻣﺬي .َوﻃَ َﻌﺎ ِﻣ ِﻬ ﱠﻦ Artinya : Dari Aḥwas ra, ia mendengar Nabi bersabda : Ketahuilah agar kalian (laki-laki) saling wasiat mewasiati tentang keharusan berbuat baik kepada wanita (istri), sebab mereka adalah tahananmu. Kalian tidak memiliki dari mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika demikian, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah dengan pukulan yang tidak menimbulkan bekas (membahayakan). Jika mereka mentaatimu, maka janganlah mencari-cari alasan atas mereka. Ketahuilah sungguh bagi kalian (suami) mempunyai hak yang wajib ditunaikan wanita (istri). Demikian sebaliknya, istri kalian juga mempunyai hak yang wajib ditunaikan oleh kalian (suami). Hak-hak kalian dari istri adalah istri dilarang membiarkan orang yang kamu tidak sukai menginjak tempat tidur kalian, dan tidak mengizinkan masuk ke rumah orang yang kamu benci. Sedangkan hak para istri dari kalian adalah berbuat baik kepada mereka dalam hal sandang dan pangan. (riwayat al-Tirmiziy) 91 Berdasarkan ayat dan hadis tersebut, meski disebutkan hanya tiga hal pokok, yaitu makan-minum, pakaian, dan tempat tinggal. Namun para ulama fikih menyimpulkan bahwa nafkah yang wajib bagi suami mencakup : makanminum, pakaian, tempat tinggal, pembantu (jika dibutuhkan), alat-alat untuk membersihkan tubuhnya, dan perabot rumah tangga. 122 Imam al-Nawawī, mazhab Syāfi’i, berpendapat bahwa suami tidak memiliki kewajiban menafkahi istrinya untuk biaya alat kecantikan mata, kotek, minyak wangi, dan alat kecantikan lainnya yang semuanya bertujuan untuk menambah gairah seksual.123 Selain itu, suami juga tidak menanggung beban untuk biaya kesehatan berupa obat-obatan dan biaya pemeriksaan dokter. Alasannya adalah bahwa istri merupakan pemilikan untuk dimanfaatkan (milk al-manfa’ah), statusnya sama seperti rumah kontrakan. Alat-alat kecantikan dan kesehatan itu juga disamakan dengan bahan-bahan yang dipakai untuk perbaikan rumah kontrakan tersebut (ka ‘imārah al-dār almusta’jarah). Semua keperluan untuk membiayai rumah tersebut adalah di luar tanggung jawab penyewa, sedang yang dibebani adalah pemiliknya. Dalam hal ini, ia menjadi tanggung jawab ayah atau keluarga. 124 122 Lihat Wahbah al-Zuḥaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. X, h. 7384 - 7385 123 Lihat Al-Khaṭīb Al-Syarbīnī, Mugni al-Muḥtāj, vol. III, (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāṡ al‘Arabī, t.th), h. 431 124 Lihat Al-Khaṭīb Al-Syarbīnī, Mugni al-Muḥtāj, vol. III. Lihat pula, Muwaffaq al-Dīn Abū Muḥammad ‘Abdullah bin Aḥmad al-Maqdisī Ibn Quddāmah selanjutnya disebut Ibn Quddāmah, al- 92 Wahbah al-Zuḥailī tampak tidak sependapat dengan pendapat para ulama klasik di atas, al-Zuḥailī menulis bahwa pendapat para ulama klasik tersebut didasarkan pada tradisi yang berkembang ketika itu, di mana obatobatan dan biaya kesehatan tidak dianggap sebagai kebutuhan dasar (ḥājat asāsiyyah). Menurutnya, tentu hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang yang menganggap kesehatan telah merupakan bagian dari kebutuhan pokok, sama seperti makanan dan kebutuhan pokok lainnya, bahkan lebih penting dari pada yang lainnya.125 Untuk mendukung pendapatnya, ulama kontemporer ini menukilkan bahwa Undang-Undang Mesir tahun 1985 telah memasukkan nafkah untuk keperluan kesehatan sebagai bagian dari kewajiban suami.126 Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa nafkah yang menjadi tanggungan suami meliputi sebagai berikut : (a) makan-minum dengan lauk pauknya (pangan); (b) pakaian (sandang); (c) tempat tinggal (papan); (d) pembantu jika diperlukan; Mugnī wa al-Syarḥ al-Kabīr, vol. VII, (Beirut: Dār al-Fikr, 1984), h. 568. Lihat pula Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 166 – 167 125 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh, vol. X, h. 7380-7381. 126 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh, vol. X, h. 7381 93 (e) alat-alat kebersihan dan perhiasan rumah; (f) alat-alat kecantikan; dan (g) keperluan untuk kesehatan. Dengan tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan nafkah istrinya seperti yang diuraikan, menunjukkan bahwa pada prinsipnya seorang istri dibebaskan dari kewajiban bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau keluarganya. Sebab semua keperluan dan kebutuhan istri yang merupakan kebutuhan dasar atau primernya adalah kewajiban suami. Istri berhak menuntut atau mengambil keperluan pokok yang dibutuhkannya, meski tanpa seizin suami seandainya sang suami ternyata melalaikan atau tidak memberikan apa yang menjadi haknya. Dalam hal mengapa suami yang harus memikul tanggung jawab nafkah dalam suatu rumah tangga, terdapat dua pandangan ulama fiqh. Pertama, menurut ulama Ḥanafiyah, nafkah diwajibkan terhadap suami karena dia mempunyai hak “menahan” istrinya.127 Sebagaimana hadis Nabi: .ﻚ َ ِﺲ ﲤَْﻠِ ُﻜ ْﻮ َن ِﻣْﻨـ ُﻬـ ﱠﻦ َﺷْﻴﺌـًﺎ َﻏْﻴـَﺮ ذَﻟ َ ﻟَْﻴ، ﻓَِﺈﳕﱠَﺎ ُﻫ ﱠﻦ َﻋ َﻮا ٌن ِﻋْﻨ َﺪ ُﻛ ْﻢ، ﺻ ْـﻮا ﺑِﺎﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء َﺧْﻴـًﺮا ُ أََﻻ َوا ْﺳﺘَـ ْﻮ أﺧﺮﺟـﻪ اﻟﱰﻣﺬى Artinya : 127 Lihat Wahbah al-Zuḥaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. X, h. 7373 94 Perhatikanlah istrimu sebaik-baiknya. Sebab mereka adalah tahananmu, kamu tidak memiliki dari mereka kecuali itu. Syekh Nawawi Banten sebagaimana dikutip oleh Husein Muhammad berkata, ‘awānin adalah bentuk jamak/plural dari kata ‘āniyah yang berarti istri adalah ‘āniyah, karena ia dipenjara sebagai tawanan atau tahanan suaminya. Sebagai tahanan, seorang istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya selaku orang yang memenjarakannya. Akan tetapi suami juga berkewajiban memberi dia keperluan hidupnya.128 Husein Muhammad cenderung tidak sependapat bila lafaz ‘awānin/’āniyah diartikan dengan “tahanan”, karena istri bukanlah tahanan dalam kerangkeng suami. Bagi kiai ini, tahanan dalam lafaz bahasa Arab adalah al-asīr yang berarti tahanan perang. Merujuk kepada Kamus Lisān al‘Ᾱrab, ia mengatakan bahwa ‘awānin berarti ka al-asrā (seperti tawanan perang), bukan tawanan yang sebenarnya. Pernyataan seperti itu bertujuan untuk merujuk pada status perempuan-perempuan yang dizalimi oleh laki-laki tanpa berdaya menghindarinya. Dengan pengertian yang demikian, maka hadis tersebut berarti : “ingatlah ! aku berpesan kebaikan terhadap perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian. Pada hal 128 Lihat Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 176 95 kalian sedikit pun tidak memiliki apa-apa dari mereka, kecuali untuk kebaikan (yang aku pesankan itu). Menurut penulis, bila redaksi awal hadis tersebut dicermati, di mana hadis mempunyai spirit atau semangat agar memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya, maka pengertian yang ditulis oleh Husein Muhammad adalah lebih tepat, tanpa perlu menyalahkan pengertian yang lain. Di samping ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa istri adalah ‘awārin (bentuk plural dari āriyah), yang berarti pinjaman, karena suami mengambil mereka atas dasar amanat Allah. Kedua, pandangan jumhur (mayoritas) ulama. Beban nafkah terhadap suami tersebut menurut pendapat mereka disebabkan oleh adanya hubungan perkawinan, yaitu bahwa perempuan itu menjadi istrinya. 129 Tujuan dari kedua pandangan di atas, Ḥanafiyah dan jumhur ulama, dimaksudkan agar sewaktu-waktu sang suami dapat menikmati tubuh istrinya, yang merupakan tujuan utama (primer) dari sebuah perkawinan. Dan karena itu, konpensasi atau imbangannya adalah nafkah. Bahasa yang populer dalam fiqh adalah an-nafaqah fī muqābalat al-Istimtā’. Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa untuk sesuatu yang berkaitan dengan nafkah, posisi istri sangat kuat dan dominan. Sebaliknya, 129 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh, vol. X, h. 7374 96 sesuatu yang berkaitan dengan relasi seksual, suamilah yang mempunyai posisi dominan. Dengan demikian, istri berkewajiban memenuhi tuntutan seks suami, sedang suami berkewajiban memenuhi tuntutan nafkah istri. Selain dua argumentasi di atas, mengapa suami yang dibebani nafkah, dapat pula dipahami dari redaksi al-Qur’an yang menjadikan suami sebagai pemimpin rumah tangga seperti yang ditegaskan dalam QS al- Nisā’/4: 34. ﺾ َوﲟَِﺎ أَﻧْـ َﻔ ُﻘ ْﻮا ِﻣ ْﻦ أَْﻣ َﻮاﳍِِ ْﻢ ٍ ﻀ ُﻬ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﺑـَ ْﻌ َ ﻀ َﻞ اﷲُ ﺑـَ ْﻌ َﺎل ﻗَـﻮﱠاﻣ ُْﻮ َن َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱢﺴَﺎ ِء ﲟَِﺎ ﻓَ ﱠ ُ اﻟﱢﺮﺟ (34) ...ُاﷲ ﺐ ﲟَِﺎ َﺣ ِﻔ َﻆ ِ ﺎت ﻟِْﻠﻐَْﻴ ٌ َﺎت َﺣﺎﻓِﻈ ٌ َﺎت ﻗَﺎﻧِﺘ ُ َِﺼﺎﳊ ﻓَﺎﻟ ﱠ Terjemahnya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)....130 Tidak ada perbedaan pendapat antara para mufassir klasik, seperti alṬabarī, al-Rāzī, dan ulama mutaakhkhirin seperti Muhammad ‘Abduh, dan Rasyīd Riḍā dengan feminis muslim, seperti Asgar Ali Engineer dan Amina Wadud Muhsin, bahwa yang dimaksud dengan pernyataan “” اﻟﺮﺟﺎل ﻗﻮاﻣﻮن ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺴـﺎء dalam QS al- Nisā’/4: 34 adalah laki-laki sebagai pemimpin terhadap istri 130 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 123 97 dalam rumah tangganya.131 Karena itu, sebagai konsekwensi dari adanya kepemimpinan itu, adalah jika suami sebagai pemimpin rumah tangga, maka tentu saja berkewajiban melindungi keluarganya, baik secara fisik maupun psikis, termasuk pemberian nafkah. Kepemimpinan suami atas istri itu didasarkan pada kelebihan atau keunggulan laki-laki atas wanita yang secara redaksional disebutkan oleh QS al- Nisā’/4: 34, yaitu : Pertama, karena kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada laki-laki. Kedua, karena kewajiban laki-laki memberi nafkah keluarga. Namun demikian, para pengkaji berbeda pendapat dalam menilai dua keunggulan yang disebutkan oleh QS al- Nisā’/4: 34 tersebut. Muhammad ‘Ali al-Ṣābūnī menyatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga didasarkan pada kelebihan intelektual, kemampuan mengelola rumah tangga, dan kemampuan mencari nafkah dan membiayai kehidupan keluarga.132 Senada dengan al-Ṣābūnī, al-Ṭaba’ṭaba’i, penulis al-Mīzān, menyatakan bahwa keunggulan laki-laki dibanding 131 Meski mereka sepakat bahwa suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, namun para penulis memiliki argumentasi yang berbeda-beda, mengapa suami yang dijadikan pemimpin keluarga. Perbedaan terjadi, ketika mereka berbeda dalam menilai, apakah pernyataan al-Qur’an itu bersifat normatif atau kontekstual. Bagi yang menilai sifatnya adalah normatif, maka kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga adalah bersifat permanen, norma yang tetap dan tidak dapat ditawar lagi. Namun, jika yang menilai bersifat kontekstual, maka kepemimpinan rumah tangga disesuaikan dengan konteks sosial tertentu. Kalau konteks sosialnya berubah, maka doktrin itu akan turut berubah, yaitu bisa jadi yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga adalah istri, bukan suami. Lihat Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 272 132 ‘Ali al-Ṣābūnī, Ṣafwat al-Tafāsīr, vol. I, h. 274 98 perempuan adalah dalam kekuatan intelektualnya. Karenanya, laki-laki lebih tahan dan tabah menghadapi tantangan dan kesusahan. Sedangkan kehidupan perempuan adalah kehidupan emosional yang dibangun di atas sifat kelembutan dan kehalusan. Meski kebenaran assumsi al-Ṭaba’ṭaba’i yang menyatakan bahwa perempuan lebih emosional dibandingkan dengan laki-laki ini, masih perlu diuji secara empiris dilihat dari beberapa disiplin ilmu. Untuk memperkuat argumentasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga. Para ulama mengurai beberapa potongan ayat yang terdapat dalam QS al- Nisā’/4: 34 tersebut. Imam al-Ṭabarī mengartikan kata qawwām, bagian dari potongan QS al- Nisā’/4: 34 ditafsirkan oleh dengan “penanggung jawab”. Artinya, laki-laki bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing istrinya dalam menjalankan kewajibannya, baik kepada Allah maupun kepada suami.133 Abdullah Yusuf Ali mengartikannya sebagai pelindung.134 Aḥmad bin Muḥammad mengartikan kata qawwām dengan orang melaksanakan pemberian nafkah kepada istri ()ﻳﻘﻮﻣﻮن ﺑﺎﻟﻨﻔﻘـﺔ ﻋﻠﻴﻬـﻦ.135 Sedangkan Muḥammad ‘Ali al-Sābūni, mengartikan kata qawwām dengan 133 Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ᾱyāt al-Qur’an, vol. IVX, (Beirut: Dār alFikr, 1988), h. 57 134 Abdullah Yusuf Ali, Qur’an, Terjemah dan Tafsirnya, terj. Ali Audah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 190 135 Lihat Aḥmad bin Muḥammad bin Ismā’īl Ibn al-Nuḥās, I’rāb al-Qur’an, Jilid I, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), h. 212 99 mereka yang menegakkan perintah dan larangan, memberikan nafkah, dan memberi arahan.136 Penjelasan di atas menunjukkan bahwa suami adalah penjaga (baik fisik maupun non fisik), penanggung jawab, pengarah, pembimbing, pelindung (pengayom) yang kesemuanya menunjuk pada arti kepemimpinan laki-laki (suami). Dengan demikian, secara otomatis, laki-laki atas nama suami dan ayah berkewajiban memimpin keluarga. Potongan lain dari bagian QS al- Nisā’/4:34, sebagai alasan kepemimpinan laki-laki, adalah ﲟﺎ ﻓﻀـﻞ اﷲ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ وﲟﺎ أﻧﻔﻘـﻮا ﻣﻦ أﻣﻮاﳍﻢ. alZamakhsyarī menyebutkan, bahwa alasan mengapa laki-laki dijadikan pemimpin bagi perempuan adalah : Pertama, karena kelebihan laki-laki atas perempuan berupa; akal, ketegasan, tekad yang kuat, dan kekuatan fisik. Kedua, karena laki-laki yang membayar mahar dan memberi nafkah keluarga.137 Rasyīd Riḍa sebagaimana juga ditulis Amiur Nuruddin menyebutkan bahwa laki-laki memiliki kelebihan yang fiṭrī dan kasbī. Kelebihan fiṭrī, laki-laki telah diberikan Allah quwwah (kekuatan) dan qudrah (kemampuan) sejak diciptakan, sedangkan kelebihan kasbī ialah karena laki- 136 ‘Ali al-Ṣābūnī, Ṣafwat al-Tafāsīr, vol. I, h. 274 137 Lihat al-Zamakhsyarī, Tafsīr al-Kasysyāf, vol. I, h. 495 100 laki mampu berusaha, mencari nafkah dan leluasa bergerak tanpa terhalang oleh hal-hal yang sifatnya reproduksi (menstruasi, hamil dan melahirkan). 138 Di sisi lain, Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa Allah memberikan keutamaan/kelebihan, baik fisik maupun psikis itu kepada sebagian laki-laki saja atas sebagian lainnya.139 Ini artinya, bisa jadi laki-laki akan kehilangan posisinya sebagai pemimpin rumah tangga, yakni di saat ia tidak lagi memiliki keutamaan atau kelebihan tersebut. Kenyataan memang menunjukkan bahwa dalam fakta hidup ternyata tidak sedikit perempuan atau istri yang memiliki keistimewaan dari pada laki-laki atau suami dari sisi keilmuan dan aktualisasinya, kekuatan badan dan kemampuan mencari penghasilan, dan seterusnya. Bila ini dijadikan dasar dalam kehidupan suatu rumah tangga, maka kepemimpinan itu dengan sendirinya tidak lagi berada pada pihak laki-laki atau suami, kecuali bila istri mengikhlaskan dirinya berada di bawah kepemimpinan laki-laki atau suami. Semua ini tentunya tidak terlepas dari kelebihan kodrati yang dimiliki oleh laki-laki, baik secara fisik maupun psikis. Meski hal ini banyak dibantah oleh aktivis gerakan feminis dengan argumentasi bahwa sudah banyak 138 Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 197 139 Muḥammad ‘Abduh, Tafsīr al-Manār, vol. V, h. 68, sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Cet. I (Jakarta: Paramadina, 1999), h. xxix., catatan kaki no. 14, h. 151 101 perempuan yang memiliki kepandaian akal, ketegasan, tekad yang kuat, kekuatan fisik, serta kemampuan mencari nafkah yang lebih dari pada lakilaki, namun alasan tersebut belum cukup mampu untuk membantah kenyataan secara umum, yaitu bahwa laki-laki secara kodrati telah memiliki kelebihan tersebut, sedang pengembangannya tergantung pada usaha laki-laki itu sendiri. Sementara, kelebihan perempuan dalam hal sensitifitas perasaan, kemungkinan besarnya dapat mempengaruhi aktifitas dan kinerja akal, khususnya ketegasan. Demikian pula, bentuk serta fungsi kodrati dari perempuan secara anatomis maupun secara biologis (fisik), juga dapat mempengaruhi kinerja yang berkaitan dengan hubungan eksternal, khususnya yang berkaitan dengan pencarian dan pemenuhan nafkah. Kontak dengan dunia luar dan berinteraksi dengan berbagai karakter yang bermacam-macam sebagai konsekwensi pencarian nafkah, memungkinkan terjadinya konflik, bukan hanya bersifat psikis, atau kemampuan intelektual saja, tetapi juga konflik yang bersifat fisik adalah sebuah kenyataan yang acap kali terjadi. Jika demikian, kewajiban mencari nafkah dengan tuntutan yang tidak hanya psikis dan kemampuan intelektual semata, tetapi juga kekuatan fisik dan ketegasan obyektif, masih lebih pantas jika disandang oleh laki-laki berdasarkan kecenderungan kodrati-nya yang memiliki keutamaan tersebut. Sementara dalam rumah tangga, fungsi seksual 102 perempuan dan kelebihan intuitifnya yang bersifat kodrati, diberikan kepada perempuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui, sampai kepada tugas pendidikan anak, sehingga menjadikan tugas tersebut lebih tepat diemban oleh kaum perempuan. Berdasarkan argumen tersebut, membebani perempuan dengan tugas dan pekerjaan lain, seperti mencari nafkah dan pekerjaan lainnya berarti “penzaliman”. Hal ini disebabkan, karena di samping tugas dari sifat kodratinya yang harus mereka terima, juga mereka dibebani dengan tugas tambahan lain yang seharusnya tidak mereka lakukan. Ibarat seorang yang menggendong bakul yang penuh dan berat, kemudian harus ditambah lagi, sehingga ia berjalan terseok-seok. Meski di sini perlu digarisbawahi bahwa bukan berarti perempuan tidak boleh sama sekali mencari nafkah di luar, pembagian ini dimaksudkan sebagai gambaran pembagian tugas dalam rumah tangga yang didasarkan pada kecenderungan kodrati-nya. Selanjutnya tidak berarti, bahwa pembinaan anak semata-mata dibebankan kepada perempuan atau istri saja, melainkan juga menjadi beban laki-laki atau suami dalam rumah tangga. Dengan demikian, ini sebuah konsep yang saling menunjang dan saling melengkapi satu sama lain. Perlu dicatat, bahwa kedudukan laki-laki atas perempuan dalam suatu rumah tangga bukanlah kedudukan yang bersifat superior atau kemuliaan ( درﺟـﺔ 103 )اﻟﺘﻔﻀﻴـﻞ laki-laki atas perempuan, sehingga suami dapat bertindak diktator, melainkan kedudukan yang bersifat kepemimpinan ( )درﺟـﺔ اﻟﺮﻳﺎﺳـﺔyang diberi tanggung jawab sebagai pelindung, penanggung jawab, dan sebagainya. Oleh karena itu, kepemimpinan itu hendaknya duduk di atas landasan musyawarah. Dalam hal besarnya nafkah yang menjadi tanggungan suami terhadap istrinya. Para ulama fiqh merincinya lebih jauh. Syams al-Dīn al-Sarakhsī, mazhab Ḥanafī, menyebutkan bahwa jumlah sandang dan pangan yang wajib ditunaikan suami adalah disesuaikan dengan kebiasaan tempat tinggal mereka, yang juga mencakup; pembantu termasuk perlengkapan sandang dan pangannya. Meskipun dalam mazhab ini terdapat perbedaan tentang jumlah pembantu yang disiapkan. Menurut Abū Ḥanīfah dan Muḥammad al-Syaibāni cukup satu orang. Sementara menurut Abū Yūsuf harus dua orang; satu untuk mengurusi urusan domestik rumah, dan yang satunya lagi untuk urusan luar rumah.140 Kewajiban nafkah ini menurut mereka adalah erat kaitannya dengan hak bersenang-senang (istimtā) suami, sehingga seandainya istri tidak meladeni suami (hubungan seks), baik karena pergi atau karena menghindar, maka nafkah dari suami menjadi gugur.141 140 Lihat Syamsuddīn al-Sarakhsī, al-Mabsūṭ, vol. V, (Beirūt, Dār al-Ma’rūfah, 1989), h. 181 183 141 Lihat Syamsuddīn al-Sarakhsī, al-Mabsūṭ, vol. V, h. 186 104 Imām al-Syāfi’i menyebutkan bahwa kadar nafkah yang harus diberikan suami kepada istrinya adalah sesuai dengan kemampuan dan kadar kepantasan di tempat tinggal mereka.142 Demikian juga, nafkah kepada pembantu berupa sandang dan pangan yang jumlahnya disesuaikan dengan kebiasaan tempat tinggal keluarga. Oleh karena itu menurut mereka, jika suami tidak memberi nafkah selama satu tahun kemudian menceraikan istrinya, maka suami harus membayar nafkah selama satu tahun tersebut di saat menjatuhkan talaknya. Jika suami tidak mampu mencukupi nafkah keluarga, maka tergantung istri; apakah akan bertahan ataukah berpisah. 143 Ibn Quddāmah, mazhab Ḥanbalī, dalam karyanya al-Mugnī menjelaskan bahwa kadar nafkah yang wajib ditanggung suami adalah sesuai dengan kemampuannya. Jika dalam kasus antara suami dan istri tidak ada kesepakatan tentang kadar nafkah, maka kadar nafkah didasarkan pada keputusan hakim.144 Jika suami tidak mampu membayar nafkah, maka perkawinan dapat difasakh. Alasannya adalah jika suami lemah syahwat saja, yang hanya mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan yang bersifat ekstra, 142 Lihat Muhammad bin Idrīs al-Syāfi’i, al-Umm, vol. V, (Beirut: Dār al-Kutub al’Ilmiah, 1993), h. 129. Dasarnya adalah : .... ﻟﻴﻨﻔﻖ ذو ﺳﻌـﺔ ﻣﻦ ﺳﻌﺘـﻪ وﻣﻦ ﻗـﺪر ﻋﻠﻴـﻪ رزﻗـﻪ ﻓﻠﻴﻨﻔﻖ ﳑﺎ آﺗﺎﻩ اﷲArtinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.... (al-Ṭalāq/65: 7) 143 Lihat Muhammad bin Idrīs al-Syāfi’i, al-Umm, vol. V, h. 133 144 Lihat Ibn Quddāmah, al-Mughnī wa al-Syarh al-Kabīr, vol, IX, h. 234 105 yaitu kesenangan (syahwat dan lażżāt), dalam hal ini tidak mengakibatkan kematian. Sedangkan, tanpa nafkah seseorang tidak akan dapat bertahan hidup.145 Oleh karenanya, alasan fasakh karena tidak ada nafkah lebih kuat daripada alasan lemah syahwat. Berkaitan dengan nafkah ini, KHI merincinya secara lebih jelas dalam beberapa poin, yaitu : (a) bahwa sesuai penghasilan suami, ia berkewajiban memberi nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; dan (b) sesuai pula penghasilan suami, ia berkewajiban memberi biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak (Pasal 80 ayat 4).146 Selanjutnya, pada ayat (6) disebutkan bahwa istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.147 Memperhatikan pandangan para ulama dan pasal-pasal dalam KHI menggambarkan bahwa pemberian nafkah oleh suami terhadap istri, bukanlah sesuatu yang mutlak. Suami boleh saja tidak memberi nafkah kepada istrinya sepanjang istri itu ikhlas dan riḍa menerimanya. 145 Ukuran dapat fasakh karena tidak cukup nafkah adalah kebutuhan hidup sehari-hari. Lihat Ibn Quddāmah, al-Mughnī wa al-Syarh al-Kabīr, vol, IX, h. 244, 247 146 Pasal 80 ayat (4) berbunyi : Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. c. biaya pendidikan bagi anak. 147 Pasal 80 ayat (6) berbunyi : Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. 106 b. Kewajiban non materi Sebelumnya telah diuraikan bahwa nafkah terbagi kepada dua jenis, yaitu nafkah yang bersifat materi dan nafkah yang bersifat non materi. Nafkah yang bersifat non materi adalah nafkah yang bersifat moril sebagai berikut : 1) Perlakuan yang baik Mempergauli istri dengan baik dan patut. Hal ini berdasarkan pada potongan ayat QS al-Nisā’/4: 19 : .ف ﻓَِﺈ ْن َﻛ ِﺮْﻫﺘُ ُﻤ ْﻮُﻫ ﱠﻦ ﻓَـ َﻌ َﺴﻰ أَ ْن ﺗَ ْﻜَﺮُﻫ ْﻮا َﺷْﻴﺌًﺎ َوَْﳚ َﻌ َﻞ اﷲُ ﻓِْﻴ ِﻪ َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِْﻴـًﺮا ِ ﺎﺷ ُﺮْوُﻫ ﱠﻦ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌ ُﺮْو ِ َو َﻋ Terjemahnya : ... Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak148 Potongan ayat di atas secara tegas memerintahkan keharusan menghormati istri, memperlakukannya dengan wajar, bergaul secara baik, dan bersikap menahan diri dari sikap yang tidak menyenangkan dari seorang istri. Pergaulan yang baik dalam istilah al-Qur’an, “al-ma’rūf” tidak dijelaskan secara khusus. Dalam hal ini, menurut para ulama fiqh diserahkan kepada 148 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 119 107 pertimbangan alur dan patut menurut pandangan adat dan lingkungan setempat.149 Dalam relasi seksual dan kemanusiaan, mu’āsyarah bi al-ma’rūf antara suami dan istri adalah bahwa keduanya harus saling memberi dan menerima, saling menyayangi, dan tidak saling menyakiti atau saling mengabaikan hak dan kewajibannya. 2) Menjaga istri dengan baik Suami berkewajiban menjaga istri dan memeliharanya dari segala sesuatu yang menodai kehormatannya, menjaga dari perbuatan dosa dan maksiat atau dari sesuatu kesulitan dan marabahaya. Untuk itu, suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istri dan keluarganya. Hal ini dapat dipahami dari keumuman ayat QS al-Taḥrīm/66: 6 (6) ...ُﺠﺎ َرة َ ِْس َواﳊ ُ ﻧَﺎ ًرا َوﻗـُ ْﻮ ُد َﻫﺎ اﻟﻨﱠﺎ ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳْ َﻦ آ َﻣﻨُـ ْﻮا ﻗـُ ْﻮا أَﻧْـ ُﻔ َﺴ ُﻜ ْﻢ َوأَ ْﻫﻠِْﻴ ُﻜ ْﻢ Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.... 150 Berkaitan dengan menjaga istri di sini, perlu digarisbawahi tentang pemahaman umum apa yang dimaksud dengan nafkah batin yang merupakan salah satu kewajiban suami terhadap istri. 149 Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 161 150 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 951 108 Pemahaman umum yang berkembang menganggap bahwa nafkah batin adalah pemenuhan kebutuhan seksual atau biologis. Sementara kebutuhan seksual atau biologis itu lebih dirasakan oleh anggota tubuh suami-istri, bukan batinnya. Berangkat dari pemahaman ini, penulis lebih cenderung untuk mengatakan bahwa nafkah batin, bukan hubungan seksual atau biologis, melainkan pendidikan dan pembinaan agama yang bersifat abstrak. Sejalan dengan pandangan ini, al-Qur’an memerintahkan bagi setiap kepala keluarga untuk mendidik dan menjaga keluarga dari api neraka, sebagaimana ayat yang disebutkan di atas. 3) Mewujudkan keluarga mawaddah, rahmah, dan sakinah. Suami wajib memberikan rasa cinta dan kasih sayang serta ketenangan bagi istri dan keluarganya. Hal ini dapat dipahami dari QS al-Rūm/30: 21 ... ًَﲪَـﺔ ْ َوِﻣ ْﻦ آﻳَﺎﺗـِ ِﻪ أَ ْن َﺧﻠَ َﻖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ أَﻧْـ ُﻔ ِﺴ ُﻜ ْﻢ أَْزَوا ًﺟﺎ ﻟِﺘَ ْﺴ ُﻜﻨُ ْـﻮا إِﻟَْﻴـﻬَـﺎ َو َﺟ َﻌ َﻞ ﺑـَْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ َﻣ َﻮﱠدةً َور (21) Terjemahnya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang....151 Berkaitan dengan kewajiban suami terhadap istri, Kompilasi Hukum Islam merincinya sebagai berikut : 151 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 644 109 Pasal 80 (1) Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama. (2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, dan bangsa. (4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung : a)nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c) biaya pendidikan bagi anak. (5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya. (6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. (7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyus (1) (2) (3) (4) Pasal 81 Tentang Tempat Kediaman Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya,baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. Pasal 82 (1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. 110 (2) Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman. 2. Kewajiban istri dalam rumah tangga Sebagai konsekwensi adanya kewajiban bagi seorang laki-laki dalam kedudukannya sebagai seorang suami sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka ia melahirkan hak baginya dari perempuan yang dinikahinya, sekaligus menjadi suatu kewajiban dari seorang perempuan dalam statusnya sebagai seorang istri. Kewajiban istri terhadap suaminya dapat ditemukan dalam alQur’an dan hadis. Berkaitan dengan hal ini, maka tidak ada kewajiban yang bersifat materi, tetapi semuanya merupakan kewajiban yang bersifat non materi yang dapat dirinci sebagai berikut : a. Memperlakukan suaminya secara baik. potongan ayat QS al-Nisā’/4: 19 Hal ini dapat dipahami dari yang menuntut sang suami mempelakukan istrinya dengan baik. (19) ... ِ َو َﻋﺎ ِﺷ ُﺮوْ ھُﻦﱠ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌ ُﺮوْ ف... Terjemahnya: ...Dan bergaullah dengan mereka secara patut... b. Memberikan ketenangan, cinta, dan kasih sayang kepada suaminya sesuai dengan kesanggupannya. Hal tersebut sejalan QS al-Rūm/30: 21. 111 ُﺴ ُﻜ ْﻢ أَزْوَاﺟًﺎ ﻟِﺘَ ْﺴ ُﻜﻨـُﻮْا إِﻟَْﻴـﻬَﺎ َو َﺟ َﻌ َﻞ ﺑـَْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ َﻣ َﻮﱠدةً َورَﲪَْﺔً إِ ﱠن ِ َوِﻣ ْﻦ آﻳَﺎﺗِِﻪ أَ ْن َﺧﻠَ َﻖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ أَﻧْـﻔ (21) .ََﺎت ﻟِﻘَﻮٍْم ﻳـَﺘَـ َﻔ ﱠﻜﺮُْون ٍ ِﻚ ﻷََﻳ َ ِﰱ ذَﻟ Terjemahnya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir. c. Taat dan patuh kepada suaminya selama hal itu tidak bertentangan dengan perintah Allah swt. Ketaatan kepada suami ini dapat dilihat dalam isyarat yang terdapat dalam potongan ayat QS al- Nisā’/4: 34. (34) ... ْﺐ ِ َﺎت ﻟِْﻠﻐَﻴ ٌ َﺎت ﺣَﺎﻓِﻈ ٌ َِﺎت ﻗَﺎﻧِﺘ ُ ﻓَﺎﻟﺼﱠﺎﳊ... Terjemahnya : ...Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada... Ketaatan dan kepatuhan kepada suami dalam arti mengikuti apa yang dimintanya dan menghentikan apa yang dilarangnya, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan agama. Jika menyalahi dengan aturan dan norma agama, maka tidak ada kewajiban istri untuk mengikutinya, sejalan dengan hadis Nabi yang artinya: “tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam mendurhakai Allah swt”. 152 152 .ﻻطﺎﻋﺔ ﻟﻣﺧﻠوق ﻓﻰ ﻣﻌﺻﯾـﺔ اﻟﺧﺎﻟق 112 Mutawalli al-Sya’rāwī seperti ditulis Nur Taufiq menjelaskan bahwa kata “qānitāt” berasal dari kata “qunūt” yang berarti panjang atau berkesinambungan. Jadi, “qunūt” adalah al-dawām al-ṭā’ah artinya ketaatan yang berkesinambungan. Dengan demikian, qānitāt dalam ayat ini adalah ketaatan yang berkesinambungan kepada perintah dan larangan Allah swt, yang dalam konteks relasi suami-istri diwujudkan dengan ketaatan yang berkesinambungan kepada suami yang qawwām, yang merupakan wali (penanggung jawab) bagi mereka sebagaimana yang diamanahkan dari ayah sang istri tatkala menikah, ketika sebelumnya ayah merupakan wali (penanggung jawab) bagi anak-anaknya sebagai amanah langsung dari Allah swt, baik duniawi maupun ukhrawi. 153 Umumnya ulama tafsir, mengartikan kata qānitāt sebagai ﻣﻄﻴﻌﺎت ( ﻟﻸزواجketaatan kepada suami)154. Quraish Shihab menambahkan bahwa seorang istri wajib menaati suaminya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan agama, serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang istri, bukan kewajiban secara mutlak.155 153 Lihat Nur Taufiq, Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 76 154 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsir al-Munīr fī al-‘qīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, vol. V, h. 53. Dan Muṣṭafā al-Marāgi, Tafsīr al-Marāgi, vol. V (t.t., Dār al-Fikr, t.th.), h. 28. 155 Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 2, h. 428 - 429 113 Kata qānitāt atau qānitīn atau qānitūn, digunakan untuk menunjukkan suatu ketaatan maksimal atau senantiasa taat ( )دوام اﻟﻄﺎﻋـﺔdan hanya ditujukan kepada Allah swt, yang mencakup arti kesungguhan, perhatian, dan pengabdian/penghormatan. Karena itu, ketaatan kepada suami adalah bagian dari rasa pengabdian kepada Allah swt, yang mencakup kesungguhan, perhatian yang tinggi, sikap keikhlasan dan penghormatan dalam pelaksanaannya.156 c. Menjaga diri dan harta suaminya bila suami sedang bepergian. Hal ini sejalan dengan makna ḥāfiẓāt li al-gaib bimā ḥafiẓallāh ()ﺣﺎﻓﻈﺎت ﻟﻠﻐﻴﺐ ﲟﺎ ﺣﻔﻆ اﷲ yakni bahwa seorang istri hendaklah menjaga dirinya dari zina dan harta suaminya ketika suami sedang pergi.157 Menjaga di sini adalah apapun yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab suami sebagai wujud penjagaan Allah swt kepada istri, maka juga menjadi amanah yang harus dipelihara oleh istri di saat suami tidak ada. Dengan demikian, potongan ayat yang disebutkan di atas bermakna bahwa apa pun yang ditinggalkan suami ketika ia tidak ada, maka hal itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban istri untuk memelihara dan menjaganya. Karena itu, jika suami 156 Lihat Nur Taufiq, Syikak dalam Hukum Keluarga Islam, h. 77 157 Al-Rāzī mengutip hadis Nabi yang berbunyi: ﺧﲑ اﻟﻨﺴﺎء إن ﻧﻈﺮت إﻟﻴﻬﺎ ﺳﺮﺗﻚ وإن أﻣﺮ ـﺎ أﻃﺎﻋﺘﻚ وإن ﻏﺒﺖ ﻋﻨﻬﺎ ﰱ . ﻣﺎﻟﻚ وﻧﻔﺴـﻬـﺎLihat, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, Jilid V, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), h. 72 114 memiliki kewajiban menjaga semua kepentingan istri dan keluarga dari hal-hal yang dapat mengganggu ataupun membahayakan kehidupan rumah tangga, baik itu sifatnya duniawi maupun ukhrawi, maka kewajiban istri pulalah untuk menjaganya di saat suami sedang pergi meninggalkan rumah. Jika suami berkewajiban mengatur dan memelihara jalannya roda kehidupan rumah tangga, maka hal itu juga menjadi kewajiban istri untuk menjaganya ketika suami sedang pergi, baik yang menyangkut dirinya maupun harta dan keturunan mereka. Dan jika suami memiliki kewajiban memberikan perhatian dan pembinaan kepada istri dan anak atas dasar kasih sayang, maka seorang istri berkewajiban untuk memberikan perhatian dan pembinaan, baik untuk diri, harta maupun keturunannya atas dasar kasih sayang pula. Demikian pula, jika suami berkewajiban memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri, seperti makanan, pakaian, pengobatan sesuai dengan kemampuannya, maka dalam hal ini istri berkewajiban mengelola dan memelihara nafkah lahir yang diberikan oleh suami. e. Menjaga dirinya dari segala sesuatu yang tidak disenangi oleh suaminya. f. Menjaga diri dengan tidak memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar. 115 Kesemua hal ini dapat pula dilihat dari sabda Rasulullah saw sebagai berikut: ت إِﻟَْﻴـ َﻬﺎ َ َﺧْﻴـ ُﺮ اﻟﻨﱢ َﺴﺎ ِء اﻟﱠِْﱴ إِذَا ﻧَﻈَْﺮ: ﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ َ َ ﻗ: ﺎل َ ََﻋ ْﻦ أَِ ْﰉ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ ﻗ أﺧﺮج اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ واﺑﻦ اﳌﻨﺬر واﺑﻦ .ﻟﻚ َوﻧـَ ْﻔ ِﺴ َﻬﺎ َ ﻚ ِﰱ َﻣِﺎ َ ﺖ َﻋْﻨـ َﻬﺎ َﺣ ِﻔﻈَْﺘ َ َوإِذَا ِﻏْﺒ، ﻚ َ َوإِذَا أََﻣ ْﺮﺗَـ َﻬﺎ أَﻃَﺎ َﻋْﺘ، ﻚ َ َْﺳﱠﺮﺗ 158 .أﰉ ﺣﺎﰎ واﳊﺎﻛﻢ واﻟﺒﻴﻬﻘﻲ Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda sebaik-baik wanita (istri) adalah bila engkau memandangnya, ia menyenangkanmu; bila engkau menyuruhnya, ia mematuhinya; dan bila engkau tidak ada ia memelihara kehormatanmu dalam harta dan dirinya. Ditakhrij oleh Ibn Jarīr, Ibn al-Munzir, Ibn Abī Ḥātim, al-Ḥākim, dan al-Baihaqī Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa kedudukan dan peran perempuan sebagai seorang istri dalam rumah tangga, adalah pendamping sekaligus ma’mūm atas suaminya ()ﻗﺎﻧﺘﺎت. Di samping itu, seorang istri selain berperan sebagai ibu rumah tangga, juga berperan sebagai parner kerja dalam memelihara roda kehidupan rumah tangga ()ﺣﺎﻓﻈﺎت, terutama di saat suami sedang tidak ada atau bepergian. Terkait dengan hal tersebut, para ulama fiqh merinci lebih jauh tentang kewajiban istri terhadap suaminya. Kewajiban tersebut menurut al-Kāsānī, mazhab Ḥanafi, adalah sebagai berikut : (1) istri wajib menyerahkan diri sepenuhnya untuk dinikmati oleh suami, karena suami adalah milk al-mut’ah 158 Lihat ‘Abd al-Rahman al-Suyūṭī, al-Dur al-Manṡūr fī al-Tafsīr al-Ma’ṡūr, vol. II, h. 514 116 (pemilik kesenangan), (2) istri tidak dibenarkan meninggalkan rumah, bila suami melarangnya, karena suami memiliki hak tersebut, (3) istri wajib taat kepada suami, jika sang suami menginginkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Sedangkan imam al-Syāfi’i hanya menyebutkan satu kewajiban istri terhadap suami, yaitu terpenuhinya kebutuhan seks (bersenangsenang) sebagai imbalan kewajiban suami mencukupi nafkah terhadapnya. Ibnu Quddāmah menyebutkan dua kewajiban istri terhadap suami, meski tidak secara tegas menyebutkan bahwa istri wajib patuh kepada suami, namun ia mencatat hadis tentang kriteria istri yang baik, salah satu di antaranya adalah taat kepada suami. Dengan mencatat hadis ini, menunjukkan bahwa Ibn Quddāmah ingin mengatakan bahwa salah satu kewajiban istri adalah taat kepada suami. Asumsi tersebut diperkuat oleh pandangan Ibn Quddāmah yang mengatakan bahwa istri yang akan bepergian, pindah tempat tinggal, melakukan tindakan selain tindakan kewajiban pokok syari’ah, haruslah mendapatkan restu lebih dahulu dari suami,159 (2) istri wajib menjaga diri dan harta suami. Kewajiban istri menjaga diri dan harta suami tersebut, sama 159 Ibn Quddāmah tidak menjelaskan, apa yang dimaksud dengan tindakan pokok syari’ah yang boleh dilakukan tanpa restu suami. Tetapi ia menyebutkan bahwa mengganti puasa ramaḍan (puasa wajib) kalau interval waktu bulan ramaḍan berikutnya masih lama, maka termasuk pokok syari’ah. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kemungkinan yang ia maksudkan sebagai kewajiban pokok syari’ah adalah kewajiban-kewajiban yang tidak boleh ditunda. 117 dengan asumsi kewajiban patuh dan menyenangkan suami sebagai kriteria sebaik-baik istri sebagaimana teks hadis yang disebutkan. Sementara dalam Undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan dua kewajiban istri terhadap suaminya yaitu : (1) istri wajib berbakti kepada suami,160 (2) istri wajib mengatur rumah tangga.161 Dari paparan di atas terlihat bahwa kewajiban istri terhadap suami yang juga sekaligus menjadi hak suami, tampak dengan jelas bahwa kewajiban istri tersebut tidak ada yang bersifat materi. Kewajiban istri terhadap suaminya, hanya semata-mata berbentuk non materi. 3. Pendekatan non-hukum Semua uraian yang dipaparkan di atas merupakan bentuk pengaturan yang bersifat hukum, termasuk hukum fiqh. Hukum biasanya memandang persoalan secara hitam-putih dan normatif. Cara pandang hitam-putih seperti ini, kemungkinannya akan berimplikasi pada munculnya keteganganketegangan di antara mereka, meskipun kemungkinannya juga merupakan cara penyelesaian yang terbaik bagi ketegangan-ketegangan yang muncul. Ketegangan bisa terjadi jika kedua belah pihak saling menggunakan 160 Pasal 83 ayat (1) KHI berbunyi : “Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam”. 161 Pasal 34 ayat (2) UUP No. 1/1974 berbunyi : “isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”; Pasal 83 ayat (2) KHI berbunyi : “Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya”. 118 otoritasnya, tanpa kompromi. Sebaliknya, ketegangan dapat dihindari jika semua persoalan yang menyangkut hak dan kewajiban mereka didekati melalui pendekatan akhlak karīmah. Pendekatan ini lebih menekankan pada sikap-sikap dan pandangan-pandangan demokratis, kemanusiaan, dan kemaslahatan bersama. Pandangan ini pada akhirnya akan mengantarkan pada suatu sikap bersama antara suami dan istri bahwa apa yang menjadi hak dan kewajibannya tidak harus dipandang sebagai segalanya. Hak dan kewajiban ini sebaiknya dipandang hanya sebagai salah satu sarana untuk membangun keharmonisan rumah tangga. Dengan pendekatan akhlak karīmah, sikap pergaulan antara suamiistri meliputi 4 hal, yaitu : (1) taḥabub, yaitu sikap saling mencintai, saling mengasihi dan saling menghargai satu sama lain; (2) ta’āwun, yaitu sikap saling tolong menolong, isi mengisi, dan saling melengkapi; (3) tasyāwur, yaitu apabila suami-istri akan berbuat sesuatu, mereka hendaknya saling terbuka dan musyawarah dengan akal yang sehat untuk mencari mufakat; dan (4) ta’affi, yaitu apabila salah satu dari dua pasangan berbuat salah, maka mereka saling memaafkan.162 Melalui pendekatan akhlak karīmah seperti di atas, kerja sama, gotong royong, dan saling pengertian antara suami dan istri dalam kerangka 162 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, Membina Keluarga Sakinah Menurut al-Qur’an dan al-Sunnah, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2002), h. 228 119 membina kebahagiaan rumah tangga akan dapat tercipta, karena apa yang menjadi kewajiban suami sewaktu-waktu dapat diambil alih oleh istri, sebaliknya apa yang menjadi kewajiban istri dapat dilaksanakan oleh suami. Selanjutnya, apa yang menjadi hak suami tidak mesti dipenuhi sesuai dengan keinginannya, dan apa yang menjadi hak istri pun tidak harus diikuti sesuai dengan seleranya. Masing-masing suami dan istri akan berlapang dada dan bersabar menerima segala keadaan, betapapun beratnya. C. Talak (Perceraian) dalam Hukum Islam 1. Talak dan dasar hukumnya. Tujuan dari pernikahan adalah membangun sebuah keluarga dan menciptakan kebahagiaan dengan keluarga tersebut. Akan tetapi, di saat kehidupan keluarga mengalami masalah yang dapat mengantarkan buyarnya kebahagiaan ini, dan keadaannya telah sedemikian parah hingga batas yang sangat sulit dalam menjalani kehidupan keluarga, maka tidak boleh tidak terdapat suatu media untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kehidupan keluarga yang demikian, tidak boleh dipaksakan agar tetap berada dalam ikatan pernikahan, jika pada diri suami-istri sudah menyimpan kebencian atau salah satu dari keduanya tidak bisa didamaikan. Untuk itu, Allah mensyariatkan talak, dan menjadikannya “halal yang paling dibenci”. 120 Talak laksana obat yang paling pahit dan paling keras, yang mempunyai dampak sangat luas. Rumah tangga yang buyar membawa efek begitu luas dan dalam, banyak jiwa yang menjadi sedih, orang tua, saudara, dan terutama anak-anak akan menangis dan terlantar, bahkan bisa menimbulkan trauma dan penderitaan yang berkepanjangan. Namun demikian, dalam kondisi yang tidak memungkinkan lagi, bila seandainya perkawinan itu dipertahankan, dan kemungkinan besar dapat menimbulkan bahaya atau kemudaratan bagi salah satu pihak atau keduanya, maka cara yang terbaik untuk mengobatinya adalah talak, ibarat suatu penyakit yang sudah kronis dalam tubuh seseorang, jalan satu-satunya adalah operasi, meskipun kadangkala harus mengorbankan sebagian dari anggota tubuh yang lain. Bila tidak, justru akan membawa kepada dampak yang lebih besar berupa kematian. Dengan demikian, memutuskan perkawinan melalui talak merupakan solusi terakhir dan jalan 121 keluar bagi kemelut yang terjadi dalam sebuah rumah tangga, 163 dan dibalik talak tersebut mengandung hikmah yang besar dari ketentuan Islam ini. 164 Secara harfiah ṭalāq yang berasal dari kata ṭa-la-qa berarti lepas, berpisah dan bercerai. Misalnya, nāqatun ṭāliqun (unta itu lepas).165 Secara terminologi ‘Abd al-Raḥmān al-Jazīrī dalam kitab al-Fiqh ‘Alā Mażāhib alArba’ah memberikan definisi sebagai berikut: 166 .ص ٍ ﺼ ْﻮ ُ َْﺼﺎ ُن َﺣﻠﱢ ِﻪ ﺑِﻠَ ْﻔ ٍﻆ ﳐ َ ﺎح أَْوﻧـُ ْﻘ ِ اﻟﻄﱠﻼَ ُق إَِزاﻟَﺔُ اﻟﻨﱢ َﻜ Maksudnya: Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu. Senada dengan definisi al-Jazīrī di atas, Sayyid Sābiq menulis: 167 .اﻟﻄﱠﻼَ ُق َﺣ ﱡﻞ َراﺑِﻄَِﺔ اﻟﱢﺰَو ِاج َوإِﻧْـ َﻬﺎ ِء اﻟْ َﻌ َﻼﻗَـ ِﺔ اﻟﱠﺰْوِﺟﻴﱠـ ِﺔ 163 Putusnya perkawinan dilihat dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak terhadap putusnya perkawinan itu, ada 4 kemungkinannya. (a) putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui kematian salah seorang dari suami istri, disebut cerai mati; (b) putusnya perkawinan atas kehendak si suami dengan alasan dan ucapan tertentu, disebut talak; (c) putusnya perkawinan atas kehendak si istri, sedang si suami tidak menghendakinya, disebut khulu’; dan (d) putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga, setelah hakim melihat bahwa perkawinan itu tidak dapat dilanjutkan, disebut fasakh. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 197 – 198. 164 Di antara hikmah adanya talak adalah bahwa dinamika kehidupan rumah tangga terkadang menjurus kepada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan perkawinan, jika kondisi demikian dipaksakan, maka bisa jadi menimbulkan mudarat atau bahaya yang lebih besar, baik kepada suami istri itu sendiri maupun kepada masyarakat. 165 Lihat Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 861. Lihat pula Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 6873 166 Abd al-Raḥmān al-Jazīrī, al-Fiqh ‘Alā Mażāhib al-Arba’ah, (Mesir: Dār al-Irsyād, t.th) h. 249. 122 Maksudnya: Talak adalah sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Sementara Abū Zakariya al-Anṣārī memberikan definisi talak sebagai berikut: 168 .ِﺎح ﺑِﻠَ ْﻔ ِﻆ اﻟﻄﱠﻼَ ِق َوَْﳓ ِﻮﻩ ِ اﻟﻄﱠَﻼ ُق َﺣ ﱡﻞ َﻋ ْﻘ ِﺪ اﻟﻨﱢ َﻜ Maksudnya: Talak adalah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan semacamnya. Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa talak adalah pembatalan perjanjian dan pelepasan ikatan perkawinan secara lahir dan batin antara seorang suami dengan seorang istri, dengan menggunakan lafaz talak dan yang semakna dengannya, sehingga tidak lagi halal bagi suami apa yang sebelumnya halal baginya. Lafaz ṭalāq telah dipakai pada zaman jahiliyah kemudian diadopsi oleh Islam dengan pengertian yang spesifik, yaitu talak yang terbatas hingga sampai tiga kali. Talak di zaman jahiliyah bersifat zalim, karena pelaksanaannya tergantung keinginan suami, kapan saja ia menginginkan untuk cerai dan kapan ingin kembali, meskipun hingga berpuluh-puluh kali. Diriwayatkan, seorang wanita mengadu kepada Rasulullah saw, ia berkata bahwa suaminya mentalak 167 Sayyid Sābiq, Fikih Sunnah, terjemahan Moh. Tholib, vol. II, h. 344 168 Zakariya al-Anṣārī, Fatḥ al-Wahhab, (Singapura: Sulaiman Mar’i, t.th.), h. 72 123 dirinya sesuka hatinya. Suaminya ruju’ kepadanya sebelum habis masa iddahnya, dan hal ini dilakukannya hingga beberapa kali. Rasulullah terdiam mendengarkan laporan tersebut, maka turunlah firman Allah: 169 (229) ... ف أَْوﺗَ ْﺴ ِﺮﻳْ ٌﺢ ﺑِِﺈ ْﺣ َﺴـﺎ ٍن ٍ ﺎك ﲟَِْﻌ ُﺮْو ٌ اﻟﻄﱠﻼَ ُق َﻣﱠﺮﺗـَﺎ ِن ﻓَِﺈ ْﻣ َﺴ Terjemahnya : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik...170 Dengan demikian perceraian atau talak adalah sebuah institusi dalam Islam yang digunakan untuk melepaskan ikatan perkawinan. Oleh karena itu, meskipun perkawinan tersebut dipandang sakral atau suci, namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak bisa dianggap tidak dapat diputuskan. Perkawinan Islam tidak boleh dipandang sebagai sebuah sakramen sebagaimana yang terdapat dalam agama Hindu dan Kristen, sehingga tidak dapat diputuskan. Ikatan perkawinan harus dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan dengan bahagia sampai ajal menjelang dan bisa juga putus di tengah jalan.171 169 Lihat Muḥammad Rasyīd Riḍa, Ḥuqūq al-Nisā’ fī al-Islām, diterjemahkan oleh Abu ‘Amir, Memenuhi Hak Sang Kekasih, h. 307. Lihat pula Abd Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. V, h. 1776 170 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55. Lihat Asgar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, diterjemahkan oleh Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), h. 169 171 124 Adapun dasar hukum tentang talak dapat pula dilihat dari kedua sumber utama ajaran Islam, al-Qur’an dan Hadis. Berkaitan dengan hal tersebut, setidaknya terdapat tiga ayat yang dapat dikategorikan sebagai dasar hukum talak, yaitu: 1) Al-Baqarah/2 : 226 . (226) .ﺺ أَْرﺑـَ َﻌـ ِﺔ أَ ْﺷ ُﻬـ ٍﺮ ﻓَِﺈ ْن ﻓَﺎءُ ْواﻓَِﺈ ﱠن اﷲَ َﻏ ُﻔ ْﻮٌر َرِﺣْﻴ ٌﻢ ُ ﻟِﻠﱠ ِﺬﻳْ َﻦ ﻳـُ ْﺆﻟُْﻮ َن ِﻣ ْﻦ ﻧِ َﺴﺎﺋِ ِﻬ ْﻢ ﺗَـَﺮﺑﱡ Terjemahnya : Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 172 2) Al-Baqarah/2: 228 (228) ...ُوٍء ُْﺴ ِﻬ ﱠﻦ ﺛـَﻠَﺜَﺔَ ﻗـُﺮ ِ َﺎت ﻳـَﺘَـَﺮﺑﱠﺼْـ َﻦ ﺑِﺄَﻧْـﻔ ُ وَاﻟْ ُﻤﻄَﻠﱠﻘ Terjemahnya Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.173 3) Al-Ṭalāq/65:1 ﺼﻮا اﻟْﻌِ ﱠﺪ َة َواﺗـﱠ ُﻘﻮا اﷲَ َرﺑﱠ ُﻜ ْﻢ ﻻَﲣُْ ِﺮ ُﺟ ْﻮُﻫ ﱠﻦ ِﻣ ْﻦ ُ ﱯ إِذَا ﻃَﻠﱠ ْﻘﺘُ ُﻢ اﻟﻨﱢ َﺴﺎءَ ﻓَﻄَﻠﱢ ُﻘ ْﻮُﻫ ﱠﻦ ﻟِﻌِ ﱠﺪ ِِ ﱠﻦ َوأَ ْﺣ ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﻨﱠِ ﱡ ُﻚ ُﺣ ُﺪ ْو ُد اﷲِ َوَﻣ ْﻦ ﻳـَﺘَـ َﻌ ﱠﺪ ُﺣ ُﺪ ْوَد اﷲِ ﻓَـ َﻘ ْﺪ ﻇَﻠَ َﻢ ﻧـَ ْﻔ َﺴـﻪ َ ﺎﺣ َﺸ ٍﺔ ُﻣﺒَـﻴﱢـﻨَـ ٍﺔ َوﺗِْﻠ ِ ﲔ ﺑَِﻔ َ ِْﺑـُﻴُـ ْﻮِِ ﱠﻦ َوﻻَﳜَُْﺮ ْﺟ َﻦ إِﻻﱠ أَ ْن ﻳَﺄْﺗ ( 1) .ﻚ أَْﻣًﺮا َ ِث ﺑـَ ْﻌ َﺪ ذَﻟ ُ َﻻﺗَ ْﺪ ِر ْى ﻟَ َﻌ ﱠﻞ اﷲَ ُْﳛ ِﺪ Terjemahnya : 172 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55 173 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55 125 Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. 174 b. Hadis : .ﺾ اﳊَْ َﻼ ِل إِ َﱃ اﷲِ اﻟﻄﱠَﻼ ُق ُ َﺎل َر ُﺳ ْﻮ ُل اﷲِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أَﺑْـﻐ َ ََﻋ ِﻦ اﺑْ ِﻦ ﻋُ َﻤ ٍﺮ ﻗ )رواﻩ أﺑﻮ داود 175 (واﺑﻦ ﻣﺎﺟـﻪ واﳊﺎﻛﻢ Artinya: Dari Ibn ‘Umar, Rasulullah saw bersabda, sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak 176 ()رواﻩ أﺑﻮداود واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ واﺑﻦ ﻣﺎﺟـﻪ .ﺟ َﻌـ َﻬـﺎ َ ﰒُﱠ َرا ، َﺼـﺔ َ ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﺣ ْﻔ َ ﱯ ﻃَﻠﱠ َﻖ اﻟﻨﱠِ ﱡ:ﺎل ﻋُ َﻤـ ُﺮ َ ََوﻗ Artinya: ‘Umar berkata: Nabi saw telah menceraikan Hafsah, kemudian merujuknya kembali. Beberapa ayat dari surah al-Baqarah, al-Ṭalāq, dan hadis di atas, pada dasarnya tidaklah memerintahkan atau melarang eksistensi perceraian. Namun, naṣ-naṣ tersebut selain sekedar menjelaskan tentang pengaturan perceraian atau talak dan sesuatu yang berkaitan dengannya bila hal itu harus terjadi, juga 174 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 945 175 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Jāmi’ al-Ṣagīr, vol. I, (Bandung: al-Ma’ārif, t.th.), h. 5 176 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 6874 126 sekaligus menjadi dasar hukum tentang dibolehkannya tindakan perceraian dalam Islam. Di samping itu, suami hanya diperkenankan menceraikan istrinya maksimal tiga kali, sesuai dengan QS al-Baqarah/2: 229 (229) ...ﺴـﺎ ٍن َ ﺑِِﺈ ْﺣ ف أَْوﺗَ ْﺴـ ِﺮﻳْ ٌﺢ ٍ ـﺎك ﲟَِْﻌ ُﺮْو ٌ اﻟﻄﱠﻼَ ُق َﻣﱠﺮﺗَﺎ ِن ﻓَِﺈ ْﻣ َﺴ Terjemahnya : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. 177 Perlu pula dicatat, bahwa seorang suami yang telah mentalak istrinya selain talak tiga, tetap mempunyai peluang untuk kembali (rujū’) kepada istrinya pada masa ‘iddah, yang disebut dengan talak raj’i,178 ataukah melakukan nikah baru jika masa ‘iddahnya telah habis dalam istilah fikih disebut dengan bāin ṣugrā179. Namun, jika talak yang ketiga jatuh, maka suami tidak dapat lagi ruju’ kepada istrinya, kecuali bila istri telah menikah 177 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55 178 Talak raj’i adalah talak dimana suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama isterinya itu masih dalam masa ‘iddah. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 220 179 Bāin sugrā adalah talak di mana suami tidak boleh kembali (ruju’) kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muḥallil. Talak seperti ini mempunyai tiga bentuk, yaitu : (1). Talak yang dilakukan sebelum istri digauli oleh suami. Karena itu, tidak ada kesempatan untuk kembali (ruju’) karena tidak ada masa ‘iddah, sebab ruju’ hanya dilakukan dalam masa ‘iddah, (2). Talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri atau yang disebut khulu’, dan (3). Perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau yang disebut fasakh. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 221 - 222 127 lagi dengan lelaki lain, kemudian bercerai hingga habis masa iddahnya dari suami yang kedua (bāin kubrā)180. Dengan tahapan perceraian kesatu, kedua, dan yang ketiga menunjukkan ketelitian Islam yang demikian tinggi. Meski di satu sisi Islam sangat menghargai sebuah institusi ikatan pernikahan, dengan memberikan kesempatan untuk kembali kepada orang yang “masih” dicintainya, namun di sisi lain Islam juga memberi kesempatan untuk memulai kehidupan baru, tanpa mengulangi usaha yang telah gagal sebelumnya. Lebih dari itu, ketentuan talak sebagaimana yang disebutkan juga diharapkan dapat mewujudkan kehidupan sosial yang bahagia dan harmonis. Masa iddah wanita atau istri yang ditalak oleh suaminya telah dijelaskan oleh QS al-Baqarah/2: 228181 ﺼـ َﻦ ﺑِﺄَﻧْـ ُﻔ ِﺴـ ِﻬـ ﱠﻦ ﺛَﻼَﺛـَﺔَ ﻗـُ ُﺮْوٍء ْ ﺎت ﻳـَﺘَـَﺮﺑﱠ ُ َواﻟْ ُﻤﻄَﻠﱠ َﻘ Terjemahnya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. 180 Bāin Kubrā adalah talak yang tidak memungkinkan suami ruju’ kepada mantan istrinya, kecuali setelah isterinya kawin dengan lelaki lain kemudian ia bercerai dengan lelaki tersebut dan habis pula masa ‘iddahnya. Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 222 181 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55 128 Ayat di atas menjelaskan bahwa masa ‘iddah seorang wanita ditetapkan selama tiga kali qurū’. diperdebatkan oleh kalangan ulama. Makna qurū’182 dalam ayat ini telah Mazhab Abū Ḥanīfāh dan Hanbalī mengartikannya dengan “al-ḥaīḍ” (masa haid). Alasannya, adalah karena dengan haid dapat diketahui bersihnya rahim dari janin, yang merupakan tujuan dari adanya iddah. Ini berarti, masa iddah-nya lebih lama dibandingkan dengan yang mengartikan “masa suci”, yaitu berjalan kurang lebih 3 bulan. Sementara mazhab Mālik dan Syāfi’i mengartikannya dengan “al-ṭuhr” (masa suci). Alasannya, adalah karena ‘adad (bilangan) yang digunakan dalam bentuk muannaṡ (bilangan yang menunjukkan perempuan), yaitu lafaz “”ﺛﻼﺛـﺔ. Menurut kaidah Bahasa Arab, jika bilangannya muannaṡ, maka ma’dud (yang dihitung) adalah bentuk muzakkar (menunjukkkan laki-laki). Dalam hal ini adalah “al-ṭuhr” (masa suci). Jika demikian, menurut pendapat ini, maka yang dihitung adalah mulai waktu sucinya sebelum dicampuri, sehingga masa iddah-nya berjalan kurang lebih 2 bulan.183 Mencermati perbedaan di atas, cenderung yang lebih relevan dengan perkembangan saat ini adalah pemahaman yang mengartikan dengan “masa 182 Lafaz “qurū’” adalah lafaz musytarak, yaitu lafaz yang mempunyai beberapa arti. Lafaz ini berarti : al-ḥaiḍ (masa haid, masa kotor) dan al-ṭuhr (masa suci). Al-Ṭāhir Aḥmad al-Zāwī, Tartīb alQāmūs al-Muḥīṭ, Juz III, (Riyāḍ: Dār ‘Ᾱlim al-Kutub, 1996), h. 579 183 Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. IX, h. 8182-8183 129 haid”, yang berarti bahwa masa ‘iddah-nya lebih lama. Dengan pengertian ini berarti, memberi kesempatan yang lebih luas kepada keduanya untuk melakukan introspeksi diri, dan pendinginan suasana, yang boleh jadi ada perubahan ke arah positif sehingga mereka mau berdamai, dan keruntuhan rumah tangga masih dapat diselamatkan. Jika wanita itu sudah tidak haid lagi, baik karena faktor usia ataupun karena sakit, maka masa ‘iddah-nya adalah tiga bulan.184 Tetapi jika wanita itu sedang hamil, maka masa ‘iddah-nya adalah sampai ia melahirkan.185 Sedangkan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa ‘iddah-nya selama empat bulan sepuluh hari.186 Namun, jika wanita yang ditinggal mati tersebut sedang hamil, maka di antara ulama berpendapat bahwa masa ‘iddahnya diambil waktu yang terlama.187 Misalnya, wanita yang sedang hamil dua bulan lalu ditinggal mati oleh suaminya, -sementara biasanya umur kehamilan adalah kurang lebih sembilan bulan- maka masa ‘iddah-nya sampai ia 184 Berdasarkan ... واﻟﻼﺋﻰ ﻳ ﺌـﺴـﻦ ﻣﻦ اﶈﻴـﺾ ﻣﻦ ﻧﺴﺎﺋﻜﻢ إن ارﺗﺒﺘﻢ ﻓﻌﺪ ﻦ ﺛﻼﺛﺔ أﺷﻬـﺮ واﻟﻼﺋﻰ ﱂ ﳛﻀـﻦQS al-Ṭalāq/65:4 Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuanperempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan... Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 946 185 Berdasarkan QS al-Ṭalāq/65:4 وأوﻻت اﻷﺣﻤﺎل أﺟﻠﮭـﻦ أن ﯾﻀﻌـﻦ ﺣﻤﻠﮭـﻦArtinya: Dan perempuanperempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 946 186 Berdasarkan QS al-Baqarah/2: 234 واﻟﺬﯾﻦ ﯾﺘﻮﻓﻮن ﻣﻨﻜﻢ وﯾﺬرون أزواﺟﺎ ﯾﺘﺮﺑﺼـﻦ ﺑﺄﻧﻔﺴـﮭـﻦ أرﺑﻌـﺔ أﺷﮭـﺮ وﻋﺸـﺮاArtinya: orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 57 187 Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 311 – 312 130 melahirkan. Tetapi bila umur kehamilannya sudah mencapai tujuh atau delapan bulan, maka masa ‘iddah-nya adalah empat bulan sepuluh hari. Adapun wanita yang masih dalam masa haid, namun ia tidak mendapat haid ketika menjalani masa ‘iddah karena sesuatu hal seperti sakit, maka dia harus menunggu selama sembilan bulan, dan seandainya setelah sembilan bulan lalu ternyata ia tidak hamil, maka dia harus menjalani masa ‘iddah tiga kali qurū’ setelah sembilan bulan tersebut. 188 Namun demikian, bila masa ‘iddah selama sembilan bulan kemudian ditambah lagi dengan masa tiga kali quru’ didasarkan atas pertimbangan ada tidaknya kehamilan, maka tampaknya perlu pengkajian ulang. Sebab, teknologi mutakhir telah mampu mendeteksi kehamilan seseorang sejak dini. Adapun QS al-Ṭalāq/65: 1 sebagaimana ditulis sebelumnya adalah menjelaskan tentang keadaan istri waktu talak itu dijatuhkan oleh suami. Berkaitan dengan keadaan istri ketika ditalak tersebut, selain terdapat talak yang disebut dengan talak sunni189, terdapat pula talak yang disebut dengan talak bid’i190. Yang termasuk talak sunni adalah talak yang dijatuhkan oleh suami ketika si istri tidak dalam keadaan haid, atau dalam masa suci yang 188 Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 319 189 Talak sunni ialah talak yang pelaksanaannya telah sesuai dengan petunjuk agama dalam alQur’an dan sunnah Nabi. 190 Talak bid’i ialah talak yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan agama. 131 belum dicampuri oleh suaminya, sedangkan yang termasuk talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci yang sudah digauli oleh suami. 2. Hukum talak (perceraian) Hukum talak atau perceraian dalam Islam pada dasarnya adalah makruh. Hukum makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha pencegahan terjadinya talak, yaitu beberapa tahapan yang harus ditempuh seperti yang terlihat dalam proses menghadapi kasus nusyus hingga syiqāq191, dan dilihat dari adanya hadis yang mengatakan bahwa “talak adalah sesuatu hal yang paling dibenci oleh Allah meskipun halal.” Tetapi, meski hukum asal talak ini adalah makruh, namun dipandang dari situasi dan kondisi tertentu, maka hukumnya dapat berubah sebagai berikut : a. Nadab atau sunnah, yaitu di saat rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi, dan jika dipertahankan, maka kemungkinan kemudaratan akan timbul lebih banyak lagi. b. Mubāḥ, yaitu boleh saja dilakukan bila diperlukan, tetapi sepanjang tidak ada pihak yang dirugikan sedangkan tampaknya terdapat ada manfaatnya. 191 Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 199 132 c. Wajib, yaitu perceraian yang mesti dilakukan, jika dipandang sudah tidak mungkin dipersatukan lagi, dan bahkan justru akan mendatangkan mafsadat yang lebih besar. d. Haram, yaitu talak yang dilakukan tanpa alasan, sedangkan isteri dalam keadaan haid, atau suci yang dalam masa itu ia telah dicampuri. 192 Karena kedudukan hukum dasar talak itu adalah makruh seperti yang dikemukakan di atas, -suatu kedudukan hukum yang hampir setingkat dengan haram-, maka talak itu hendaknya dilakukan dengan penuh pertimbangan yang matang, baik perceraian itu karena keinginan suami, atau karena permintaan isteri, maupun karena pemberian legitimasi hukum oleh Pengadilan Agama. Sebab penjatuhan talak tanpa alasan agama yang benar adalah perbuatan dosa yang diancam dengan siksa api neraka. 3. Sebab dan alasan perceraian Dalam perceraian, biasanya Pengadilan Agamalah yang akan memberikan kata akhir tentang terjadi atau tidaknya perceraian itu. Jika majelis hakim berpendapat bahwa segala ketentuan hukum tentang perceraian telah terpenuhi, setelah upaya perdamaian kedua belah pihak yang bertikai tidak tercapai, maka majelis hakim akan memutus tali perkawinan itu melalui perceraian. 192 Lihat Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang Perkawinan, h. 201 133 Dari data perceraian di Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI tahun 1996, dapat diketahui bahwa terdapat 13 faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya perceraian, yaitu : a. Poligami yang tidak sehat b. Krisis Akhlak c. Kecemburuan d. Kawin Paksa e. Krisis Ekonomi f. Tidak bertanggung jawab g. Kawin di bawah umur h. Penganiayaan i. Terkena kasus kriminal (dihukum) j. Cacat biologis k. Faktor politis l. Gangguan pihak ketiga m.Tidak ada kecocokan lagi (tidak harmonis) 193 Mengingat bahwa perceraian itu merupakan tindakan emergensi, yaitu ketika tidak ada jalan lain, melainkan dengan talak, maka hal ini dapat dilakukan dengan benar-benar dilandasi alasan yang kuat dan memiliki dasar hukum yang dibenarkan oleh agama. Alasan-alasan tersebut yaitu : a. Cerai karena cacat tubuh atau atau karena penyakit menular. ْﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺗَ َﺰ ﱠو َج ا ْﻣ َﺮأَةً ِﻣﻦْ ﺑَﻨِﻲ َ ِﺐ ْﺑ ِﻦ زَ ْﯾـ ٍﺪ أَنﱠ َر ُﺳﻮْ َل ﷲ ٍ َﻋﻦْ َﻛ ْﻌ ﺿﺎ ً ﺼـ َﺮ ﺑِ َﻜ ْﺸ ِﺤﮭَﺎ ﺑَﯿَﺎ َ ش أَ ْﺑ ِ ﺿ َﻊ ﺛَﻮْ ﺑَـﮫُ َوﻗَ َﻌ َﺪ َﻋﻠَﻰ ا ْﻟﻔِ َﺮا َ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َد َﺧ َﻞ َﻋﻠَ ْﯿﮭَﺎ ﻓَ َﻮ، ِﻏﻔَﺎٍر 193 Hasbi Indra, et. al., Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 223 134 )رواه أﺣﻤـﺪ ﻚ ﺛِﯿَﺎﺑَﻚِ َوﻟَ ْﻢ ﯾَﺄْ ُﺧـ ْﺬھَﺎ ِﻣ ﱠﻤﺎ أَﺗَﺎھَﺎ َﺷ ْﯿﺌـ ًﺎ ِ ُﺧ ِﺬىْ َﻋﻠَ ْﯿ: ش ﺛُ ﱠﻢ ﻗَﺎ َل ِ ﻓَﺎْﻧ َﺤﺎ َز َﻋ ِﻦ ا ْﻟﻔِ َﺮا 194 (واﻟﺒﯿﮭﻘﻰ Artinya: Dari Ka’ab bin Zaid ra. bahwasanya Rasulullah saw pernah menikahi seorang perempuan dari Banī gifār, maka tatkal ia akan bersetubuh dan perempuan itu telah meletakkan kainnya dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatanlah putih (balak) di lambungnya, lalu Beliau berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya berkata : ambillah kainmu, tutuplah badanmu, dan beliau tidak menyuruh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu. (diriwayatkan oleh Aḥmad dan alBaihaqī). أَ ﱡﯾ َﻤﺎ َرﺟـ ُ ٍﻞ ﺗَ َﺰ ﱠو َج ﺑِﺈِ ْﻣ َﺮأَ ٍة وَ ھُ َﻮ: ﺿ َﻰ ﷲُ َﻋ ْﻨـﮫُ ﻗَﺎ َل ِ ﺐ َر ِ ﻋَﻦْ َﺳ ِﻌ ْﯿـ ِﺪ ا ْﺑ ِﻦ ا ْﻟ ُﻤ َﺴﯿﱠـ 195 ()رواه ﻣﺎﻟﻚ . ْﺿ َﺮ ٌر ﻓَﺈِﻧﱠﮭَﺎ ﺗُ َﺨﯿﱠـ ُﺮ ﻓَﺈِنْ َﺷﺎ َءتْ ﻗَ ﱠﺮتْ َوإِنْ َﺷﺎ َءتْ ﻓَﺎ َرﻗَـﺖ َ ُْﺟﻨُﻮْ نٌ أَو Artinya: Dari Sa’īd bin al-Musayyab ra. berkata : “Barangsiapa di antara laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, dan pada laki-laki itu ada tanda-tanda gila, atau ada tanda-tanda yang membahayakan, sesungguhnya perempuan itu boleh memilih jika mau ia tetap (dalam perkawinannya) jika ia berkehendak cerai maka si perempuan itu boleh bercerai.” (diriwayatkan oleh Mālik). Hadis pertama tersebut, menjelaskan bahwa Rasulullah saw menikah dengan seorang wanita dari Banī Ghifār tanpa sebelumnya mengetahui bahwa ia mempunyai penyakit balak (penyakit belang kulit), dan setelah mengetahuinya, Rasulullah pun menceraikannya tanpa mengambil apapun 194 Lihat Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 145 195 Lihat Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 146 135 yang telah diberikan kepadanya. Sedang hadis kedua menjelaskan bahwa Rasulullah membolehkan untuk bercerai dengan mereka yang memiliki penyakit menular yang berbahaya, seperti sipilis, tbc, dan sebagainya. Oleh karena itu, menjatuhkan talak karena alasan penyakit adalah dibolehkan, sepanjang penyakit tersebut tidak diketahui sebelumnya. Jika penyakit itu muncul setelah menikah, maka para ulama berbeda pendapat tentang hal itu. Jumhur ulama, selain Ibn Hazm, berpendapat bahwa boleh menjatuhkan talak atas penyakit yang menimpa si istri. Bentuk penyakit, cacat yang dimaksud, menurut ‘Ali Ibn Abī Ṭālib dan ‘Umar Ibn al-Khaṭṭāb, yaitu : lemah syahwat, gila, penyakit menular dan sopak. Sementara Imām Syafi’i, Ahmad Ibn Hanbal, dan Mālik, menambahkan penyakit putus zakar atau impoten bagi laki-laki, dan bagi wanita tumbuhnya tulang pada kemaluan, kemaluannya buntu, kemaluannya tersumbat daging atau kemaluannya terlalu basah. Tetapi, bagi Imām Ḥanafi, cacat tubuh yang dikategorikan penyakit hanyalah putus zakar dan impotensi.196 Ibn al-Qayyim sebagaimana ditulis oleh Kamal Mukhtar berpendapat bahwa semua penyakit atau cacat tubuh yang menyebabkan suami-istri saling 196 Muhammad ‘Abd al-Raḥmān al-Dimasyqī, Raḥmatul al-Ummah fi al-Ikhtilāf al-Aimmah, diterjemahkan oleh ‘Abdullah Zāki al-Kāf, Fiqh Empat Mazhab, cet. II (Jakarta: Husyami Press, 2004), h. 354 136 menjauhi sehingga tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan, tidak ada kasih sayang dan saling mencintai dapat dijadikan alasan untuk memilih apakah akan tetap mempertahankan tali pernikahan ataukah bercerai. 197 Pendapat ini dinilai lebih relevan karena bentuk dan jenis penyakit yang terus mengalami perkembangan, maka merumuskan sifat penyakit adalah lebih penting daripada merumuskan jenis-jenisnya. Meskipun demikian, surat keterangan ahli atau keterangan dokter menjadi kunci utama untuk menilai kondisi penyakit itu. b. Alasan karena pasangan melakukan zina. إِنﱠ: ﺻﻠﻰَ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَﻘَﺎ َل َ ﺟَ ﺎ َء َر ُﺟ ٌﻞ إِﻟَﻰ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ: س ﻗَﺎ َل ٍ َﻋ ِﻦ ا ْﺑ ِﻦ َﻋﺒﱠﺎ : ﻗَﺎ َل، ْ أَ َﺧﺎفُ أَنْ ﺗَ ْﺘﺒَ ُﻌﮭَـﺎ ﻧَ ْﻔ ِﺴﻰ: َ ﻗَﺎل، َﻏﺮﱢ ْﺑﮭَﺎ: ﺲ ﻓَﻘَﺎ َل ٍ ا ْﻣ َﺮأَﺗِﻰْ ﻻَﺗَ ْﻤﻨـَ ُﻊ ﯾَـ َﺪ ﻻَ ِﻣ 198 ()رواه أﺑﻮ داود ﻓَﺎ ْﺳﺘَ ْﻤﺘِـ ْﻊ ﺑِﮭَﺎ Artinya: Dari Ibn ‘Abbās berkata : telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw kemudian berkata : sesungguhnya istriku tidak menolak akan tangan (orang lain) yang menyentuhnya, maka Nabi saw berkata : ceraikanlah dia, lalu laki-laki tersebut mengatakan, bahwa saya khawatir diriku mengikutinya (tidak sanggup berpisah/menceraikannya), lalu Nabi saw berkata : maka tinggallah dengannya/jagalah dia. (diriwayatkan oleh Abū Dāwud). 197 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h. 215 198 Lihat Abū Dāwud Sulaiman al-Sajastāni, Sunan Abū Dāwud, vol. II (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 471 137 Hadis tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberikan hak sepenuhnya kepada si suami apakah menceraikan atau tidak terhadap seorang istri yang dinilai berzina. Dan dengan demikian, hadis ini dapat dijadikan dasar sebagai alasan dan bolehnya menjatuhkan talak karena pasangan melakukan perzinahan, meskipun itu tidak wajib. Hadis ini juga mengandung arti, bahwa betapapun keadaan seorang pasangan, namun bila pasangannya masih menerima kondisi tersebut, maka ikatan pernikahan di antara mereka tidaklah mesti dipisahkan. c. Alasan karena tindakan kekerasan terhadap pasangan. س ٍ ﺲ ْﺑ ِﻦ َﺷ ﱠﻤﺎ ٍ ﺖ ْﺑﻦِ ﻗَ ْﯿ ِ ِﺖ َﺳ ْﮭـ ٍﻞ َﻛﺎﻧَﺖْ ﻋِ ْﻨ َﺪ ﺛَﺎﺑ ِ أَنﱠ َﺣﺒِ ْﯿﺒـَﺔَ ﺑِ ْﻨ: َﻋَـنْ َﻋﺎﺋِﺸـَﺔ ﻓَ َﺪ َﻋﺎ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ، ﺢ ِ ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺑَ ْﻌـ َﺪ اﻟﺼﱡ ْﺒ َ ﻲ ﻀﮭَﺎ ﻓَﺄَﺗَﺖْ اﻟﻨﱠﺒِ ﱠ َ ﻀ َﺮﺑَﮭَﺎ ﻓَ َﻜ َﺴ َﺮ ﺑَ ْﻌ َ َﻓ 199 ()رواه أﺑﻮ داود .... ُﺧـ ْﺬ ﺑَ ْﻌﺾَ َﻣﺎﻟِﮭَﺎ َوﻓَﺎ ِر ْﻗﮭَﺎ: ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺛَﺎﺑِﺘًﺎ ﻓَﻘَﺎ َل َ Artinya: Dari ‘Ᾱisyah r.a : bahwasanya Habibah Binti Sahal merupakan milik (istri) Ṡābit bin Qais Ibn Syammāsi, lalu (suatu saat) Ṡābit memukulnya hingga beberapa anggota tubuhnya terluka, maka Habibah pun mendatangi Nabi setelah subuh, lalu Beliau memanggil Ṡābit dan berkata : ambillah sebagian hartanya (dari mahar yang dibayarkan) lalu ceraikanlah dia (diriwayatkan oleh Abū Dāwud). 199 Lihat Abū Dāwud Sulaiman al-Sajastāni, Sunan Abū Dāwud, vol. II, h. 244 138 Hadis tersebut menjelaskan bahwa tindakan kekerasan atau penganiayaan terhadap pasangan dapat menjadi alasan untuk memutuskan tali pernikahan. Dan hadis ini menjelaskan bahwa penjatuhan talak dalam peristiwa ini ditetapkan langsung oleh Nabi sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam dunia hukum Islam. Hadis ini pula sejalan dengan perintah Allah swt yang memerintahkan agar setiap pasangan mempergauli pasangannya dengan cara yang baik (ma’rūf). Sehubungan dengan hal ini, ke empat hadis yang diutarakan di atas, tampak sejalan dengan alasan perceraian yang terdapat dalam Undang-Undang No 1/1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Meskipun dalil-dalil di atas belum mencakup keseluruhan alasan yang disebutkan dalam UU dan KHI tersebut, tetapi setidaknya unsur-unsur substantif ketidakmampuan menunaikan kewajiban karena cacat fisik atau penyakit, pidana zina, dan tidak memperlakukan secara baik, sebagian besarnya telah tercantum dalam alasan-alasan lain yang terdapat pada PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 19 sebagai rincian dari Pasal 39 UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan dan KHI Pasal 116. Alasan-alasan tersebut adalah PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 point e (tentang cacat badan atau penyakit), point a (tentang alasan zina), dan point d 139 (tentang alasan penganiayaan/kekejaman). Kemudian diulangi lagi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu pasal 116 point e (tentang alasan cacat tubuh/penyakit), point a (tentang alasan zina), dan point d (tentang alasan penganiayaan / saling menyakiti). Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 secara rinci disebutkan alasan perceraian sebagai berikut : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; e. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Kemudian dalam KHI ditambah dengan alasan lain sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. (sama dengan Pasal 19 PP No. 9/75); b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanny. (sama dengan Pasal 19 PP No. 9/75); c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. (tambahan); d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. (sama dengan Pasal 19 PP No. 9/75); 140 e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-isteri. (sama dengan Pasal 19 PP No. 9/75); f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. (sama dengan Pasal 19 PP No. 9/75) g. Suami melanggar taklik talak. (tambahan); h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. (tambahan). Berkaitan alasan perceraian yang sejenis dengan Pasal 19 dan KHI, Pasal 116 point d, yaitu : Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain dan ayat 3 dari sigat Taklik Talak.200 M. Yahya Harahap sebagaimana dikutip Abdul Manan Pasal 19 huruf d PP Tahun 1975 tersebut pada dasarnya unsur-unsurnya sebagai berikut : a. berupa penganiayaan fisik; b. tetapi dapat pula penganiayaan mental (mental cruelty); c. kadar kualitasnya: - membahayakan kehidupan jasmani; - atau menyengsarakan jiwa / rohani.201 200 Rumusan sigat Taklik Talak berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1990 sebagai berikut : .......... Sewaktu-waktu saya : 1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut; 2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya; 3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu; 4. Atau saya membiarkan (tidak memedulikan) istri saya itu enam bulan lamanya;............. Lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 399 201 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 414 – 415 141 Berdasarkan unsur-unsur di atas, maka dapat dikatakan bahwa penafsiran Pasal 19 d Peraturan Pemerintah tersebut bukan hanya sekedar kekejaman atau penganiayaan fisik saja tetapi juga kekejaman jiwa/rohani. Sejauhmana kekejaman dan penganiayaan itu dikategorikan sebagai penganiayaan berat ? Menurut hemat penulis, penganiayaan yang tergolong berat dapat dilihat pada dua hal: Pertama, tujuan atau maksud suami melakukan “kekerasan atau penganiayaan” istri tersebut, apakah dalam rangka melaksanakan perbuatan ma’rūf atau tidak. Kedua, apakah melampaui batas atau tidak, sehingga mengakibatkan cedera, dan atau cacat fisik. Dengan demikian, jika melampaui batas, maka itu berarti telah melakukan pelanggaran berat yang dapat menjadi alasan perceraian. Tetapi, jika dilakukan masih dalam batas-batas yang dibolehkan oleh syara’ (seperti yang sudah dijelaskan), maka tidak dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran yang dapat menjadi alasan perceraian. Sebagai misal, suami yang memukul istrinya dengan rotan semacam siwak yang dilapisi kain dengan maksud pendidikan (ta’dīb) agar istri merubah kebiasaan buruknya yang menyalahi agama, maka hal semacam ini tidak dapat dikategorikan sebagai penganiayaan berat. Sayid Usman sebagaimana dikutip Abdul Manan menyebutkan bahwa yang termasuk penganiayaan berat, meliputi : mendorong hingga sampai jatuh, 142 menjambak rambut, menendang dengan kaki, menyulut dengan api rokok, menyikut yang dapat menimbulkan rasa sakit, melempar dengan sepatu, dan semacamnya, meskipun kadar sakitnya sangat relatif dan bersifat kasuistik. 202 Sebab itu, bisa jadi suami menyatakan memukul istri dengan ringan sekali, tetapi istri merasa telah disakiti secara kasar dan keras, ataukah suami menyatakan bahwa ia hanya sekedar menangkis sebagai pembelaan diri, dan seterusnya. Dalam menghadapi pengadilan, yakni para kasus-kasus seperti ini, para pemangku hakim tentu dituntut agar memiliki kepekaan dan kearifan yang tinggi, sehingga dapat memutus perkara dengan tepat. Sebab, bila tidak, maka kemungkinan orang yang sudah terzalimi akan terzalimi lagi untuk kedua kalinya, sudah jatuh tertimpa tangga pula. D. Kerangka Konseptual Perceraian merupakan suatu fenomena sosial yang dipandang negatif oleh masyarakat. Ia merupakan tragedi terbesar dalam kehidupan rumah tangga, karena secara umum menimbulkan masalah atau problem dalam kehidupan bermasyarakat. 202 Dalam kaca mata Islam, perceraian adalah Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 417 143 “perbuatan halal yang sangat dibenci Allah” sebagaimana sabda Rasulullah saw : أَ ْﺑ َﻐـﺾُ ا ْﻟ َﺤﻼَلِ إِﻟَﻰ : ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل َ َﻋ ِﻦ ا ْﺑ ِﻦ ُﻋ َﻤـ َﺮ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱢ 203 ()رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟـﮫ .ق ُ ﷲِ َﻋ ﱠﺰ وَ َﺟ ﱠﻞ اﻟﻄﱠ َﻼ Artinya: Dari Ibnu ‘Umar dari Nabi saw, ia berkata : perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ‘Azza wa Jalla ialah bercerai. Namun demikian, dalam keadaan tertentu jika terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan karena adanya kekhawatiran timbulnya bahaya atau kemudaratan seandainya perkawinan itu dipertahankan, maka Islam membenarkan perceraian sebagai solusi terakhir dari usaha mempertahankan rumah tangga. Hal tersebut didukung oleh kaidah fiqhiyyah yang menyatakan bahwa kemudaratan harus dihapuskan : 204 ﻀـ َﺮ ُر ﯾُـ َﺰا ُل اﻟ ﱠ Maksudnya: Kemudaratan itu harus dihilangkan Kaidah tersebut, sejalan dengan sabda Rasulullah saw sebagaimana dikutip oleh Ali al-Nadwī yang menyatakan : 203 Abū ‘Abdullah Muhammad bin Yazīd al-Qazwīniy Ibnu Mājah, Sunan Ibn Mājah, vol. I, (t.t. : Dār Ihyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th), h. 650. Hadis ini diriwayatkan dari Kaṡir bin ‘Ubaid alHamṣiy, dari Muhammad bin Khālid, dari ‘Ubaidullah bin al-Walīd al-Waṣṣāfiy, dari Muḥārib bin Daṡṡār, dari ‘Abdullah bin ‘Umar. 204 Ali al-Nadwī, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, (Cet. V; Damsyik: Dār al-‘Ilmi, 2000 M), h. 287 144 ﺿـ َﺮرَ َو َﻻ َ َﻻ: ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل َ ِ أَنﱠ رَ ُﺳﻮْ َل ﷲ: َﺻﺮْ َﻣﺔ ِ َْﻋﻦْ أَﺑِﻲ 205 رواه اﻟﺘﺮﻣﺬى. ق َﺷﺎﻗﱠﮫُ ﷲَ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﻣﻦْ َﺷﺎ ﱠ، ُﺿﺎ ﱠرهُ ﷲ َ ﺿﺎ ﱠر َ ْ َﻣﻦ، ﺿـ َﺮا َر ِ Artinya: Dari Abu Sirmah, Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : tidak boleh saling memudaratkan, siapa yang memberi mudarat, maka Allah pun akan memudaratkannya, dan siapa yang mempersulit, maka Allah pun akan mempersulitnya. (riwayat al-Timiziy). Berdasarkan kaidah di atas, para fuqaha menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami-istri terdapat keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemudaratan pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita maḍarrat dapat berinisiatif, mengambil prakarsa untuk memutuskan perkawinan, kemudian hakim menceraikan perkawinan atas dasar penderitaan tersebut. Perspektif keagaamaan dalam hal menjalangkan hak dan kewajiban, keluarga muslim dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, mereka yang menjalankan hak dan kewajiban. Kedua, mereka yang kurang memperdulikan hak dan kewajiban. Dan ketiga, mereka yang mengabaikan hak dan kewajiban. Mereka yang melaksanakan hak dan kewajiban dinilai dapat membina rumah tangga yang bahagia dan harmonis. Sementara mereka 205 Lihat Ali al-Nadwī, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, h. 287. Yang dimaksud al-ḍarar yakni ada manfaat bagi diri sendiri, tapi bagi orang lain memudaratkan. Al-ḍirār yakni tidak ada manfaat bagi diri sendiri, dan bagi orang lain memberi mudarat. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Cet.I; Jakarta: Kencana, 2006), h. 16 145 yang kurang atau mengabaikan hak dan kewajiban dinilai melakukan tindakan nusyus yang melahirkan percekcokan yang berkepanjangan, dan akhirnya dapat mengantarkan ke lembaga peradilan, yang ujung-ujungnya adalah perceraian. Di antara yang dapat menimbulkan terjadinya perceraian adalah tindakan nusyus, karena dengan tindakan tersebut orang lain, dalam hal ini pasangan suami-isteri dapat jatuh ke dalam kemudaratan atau merugikan salah satu pihak dari pasangan tersebut. Dalil yang dijadikan dasar bolehnya seseorang bercerai karena tindakan nusyus adalah : س ٍ ﺲ ْﺑ ِﻦ َﺷ ﱠﻤﺎ ٍ ﺖ ْﺑ ِﻦ ﻗَ ْﯿ ٍ ِﺖ َﺳ ْﮭـ ٍﻞ َﻛﺎﻧَﺖْ ِﻋـ ْﻨـ َﺪ ﺛَﺎﺑ ِ أَنﱠ َﺣﺒِ ْﯿﺒَـﺔَ ﺑِ ْﻨـ: ََﻋﻦْ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔ ُﺢ )ﻓَﺎ ْﺷﺘَ َﻜـ ْﺘـﮫ ِ ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺑَ ْﻌـ َﺪ اﻟﺼﱡ ْﺒـ َ ﻀﮭَﺎ ﻓَﺄَﺗَـﺖْ اﻟﻨﱠﺒِ ﱠﻲ َ ﻀ َﺮﺑَﮭَـﺎ ﻓَ َﻜ َﺴـ َﺮ ﺑَ ْﻌ َ َﻓ ......... ُﺧـ ْﺬ ﺑَ ْﻌﺾَ َﻣﺎﻟِﮭَﺎ َوﻓَﺎ ِر ْﻗﮭَـﺎ: َﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﺛَﺎﺑِﺘًﺎ ﻓَﻘَﺎل َ إِﻟَ ْﯿ ِﮫ( ﻓَ َﺪ َﻋﺎ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ 206 ()رواه أﺑﻮ داود Artinya: Dari ‘Aisyah r.a. : sesungguhnya Habibah binti Sahal merupakan milik (istri) Ṡābit bin Qais bin Syammās, lalu (suatu ketika) Ṡābit memukulnya hingga beberapa anggota tubuhnya terluka, kemudian isterinya mendatangi Nabi (melaporkan kejadian yang dialaminya), maka Nabi memanggil Ṡābit dan berkata : ambillah sebagian hartanya dan ceraikanlah. 206 Abū Dawud Sulaiman al-Sajastāni, Sunan Abū Dāwud, vol. II, h. 669 146 Oleh karena itu, tindakan nusyus hukumnya adalah haram. Alasannya, adalah selain karena merugikan orang lain, juga karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui al-Qur’an dan hadis Nabi. Dalam kaitannya dengan Allah, pelakunya dibebani dosa dari Allah, dan kaitannya dengan rumah tangga merupakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami-istri. Nusyus selain dapat berbentuk perkataan, dapat pula berbentuk perbuatan atau tindakan. Dalam bentuk perkataan dari pihak istri, seperti menjawab secara tidak sopan terhadap pembicaraan suami yang lemah lembut. Dalam bentuk perbuatan, seperti tidak mau pindah ke rumah yang telah disediakan oleh suaminya; enggan melakukan apa yang diperintahkan oleh suaminya dalam hal yang tidak bertentangan dengan agama; keluar rumah tanpa seizin suami; tidak menjaga diri dan harta suaminya; dan tidak menjaga dirinya dari perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya. Sementara dalam bentuk perkataan dari pihak suami, seperti memaki-maki dan menghina istri. Dalam bentuk perbuatan, seperti mengabaikan hak isteri atas dirinya, 207 207 Hak istri seperti nafkah batin, nafkah lahir, dan perlakuan yang penuh kasih sayang. Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, vol. V, h. 295 147 menganggap rendah terhadap istrinya, 208 dan menyakiti istri dengan pukulan atau semacamnya.209 Meskipun suatu perceraian dapat bersumber dari adanya tindakan nusyus, namun ia bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan terdapat faktorfaktor lain yang menyebabkannya. Dengan demikian, nusyus dipengaruhi oleh faktor independen lainnya, seperti ; pudarnya rasa cinta, kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama, adanya campur tangan pihak ketiga, perselingkuhan salah satu pihak, tekanan ekonomi, lahirnya kesadaran tentang gender, pengaruh media massa, dan sebagainya. Dalam rangka mengantisipasi terjadinya runtuhnya bangunan rumah tangga seperti yang diuraikan di atas, al-Qur’an dan hadis begitu pula hukum Islam melalui Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum Islam telah mengatur hak dan kewajiban suami-istri dalam rumah tangga, agar tidak terjadi tindakan nusyus dan syikak yang mengarah kepada perceraian. Dengan demikian, jika suami atau istri menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan hukum Islam, maka diharapkan terwujudnya keluarga bahagia, atau setidaknya menjadi penangkal dalam meminimalisir lajunya perceraian. 208 Lihat Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. IV, h. 1354 209 Lihat Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr, Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, vol. V, h. 295 148 Kerangka konseptual tersebut, dapat digambarkan dalam diagram atau skema berikut : Tidak bahagia Faktor Penyebab Nusyus Al-Qur’an Hadis, Undang-Undang No.1/1974 dan KHI Syikak Pengadilan Tidak cerai Bahagia Cerai 144 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Lokasi Penelitian 1. Jenis penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif lapangan yang mengacu pada penelitian kasus, yang berusaha mendiskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasikan data. Penelitian ini dikategorikan sebagai studi lapangan, yang mengarah pada suatu masalah lapangan sebagai bahan penelitian yang sesuai dengan materi kajian. Selanjutnya, data yang telah dikumpulkan dikelola secara kualitatif. 2. Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Polewali Mandar. 1 Selain keberadaan dan eksistensinya telah berkembang sejak lama, wilayah ini merupakan bekas wilayah afdeling Mandar di zaman penjajahan Belanda. Karena itu, tidak mengherankan jika penduduknya bersifat heterogen. Hampir semua suku, khususnya yang ada di Sulawesi Selatan terdapat dalam wilayah ini, akibatnya adalah terjadinya mobilisasi dan interaksi sosial yang tergolong tinggi, dilihat dari aspek agama, sosial dan budaya. 1 Sebelumnya bernama Kabupaten Polewali Mamasa. Nama ini kemudian berubah menjadi Kabupaten Polewali Mandar ketika Kecamatan Mamasa menjadi kabupaten tersendiri sebagai suatu daerah pemekaran. 145 Pertimbangan utama pemilihan wilayah Kabupaten Polewali Mandar menjadi lokasi penelitian adalah ; (1) Kabupaten Polewali Mandar adalah kabupaten dengan tingkat perceraian tertinggi di Sulawesi Barat; (2) heterogenitas dari Kabupaten Polewali Mandar sangat disebabkan bervariasinya suku, bahasa, dan budaya; dan (3) peneliti sendiri berasal dari daerah tersebut sehingga akan sangat membantu peneliti dalam melakukan pengambilan data. Untuk mempertajam penelitian, penulis akan menfokuskan penelitian pada kasus-kasus perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polewali Mandar. Di samping itu, karena penelitian ini bersifat kualitatif dengan pendekatan kasuistik dengan tujuan untuk memberikan gambaran, dan hubungan antara faktor, bentuk dan solusi kasus nusyus, maka dianggap cukup bila penelitian ini difokuskan pada kabupaten tersebut. Selain itu, ini didasarkan pada pertimbangan adanya berbagai kendala yang mungkin terjadi, seperti tidak adanya di tempat responden yang akan diteliti, berhalangan untuk diwawancarai, dan kendala lainnya yang bersifat privat. Hal ini tentunya dapat dimaklumi, karena penelitian ini bersifat sangat pribadi. 146 B. Pendekatan Penelitian Sesuai masalah yang diangkat ke permukaan untuk diteliti, maka pendekatan penelitian ini adalah gabungan dari beberapa pendekatan yang relevan yaitu: 1. Pendekatan teologis normatif (syar’i).2 Pendekatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan landasan dan konsep dasar dalam agama tentang tindakan nusyūz yang dilakukan dalam sebuah rumah tangga. Selain itu, Pendekatan ini digunakan karena masalah-masalah yang akan dibahas berkaitan dengan hukum-hukum syari’ah dan lain-lain yang diatur dalam syari’at Islam. 2. Pendekatan yuridis. Pendekatan tersebut digunakan karena penelitian ini berhubungan dengan aturan dan kebijakan pemerintah tentang Undang-Undang Perkawinan sebagai undang-undang Negara. 3. Pendekatan psikologi Pendekatan tersebut digunakan untuk mengetahui secara faktual mengenai karakteristik perilaku masyarakat yang secara empirik didapat dari kegiatan observasi, baik kegiatan secara langsung maupun tidak langsung. 3 2 Tim Penyusun Pedoman Karya Ilmiyah, Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah, (Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi), (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2008), h. 12 3 Lihat S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Cet.IV; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 118 147 5. Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis adalah pendekatan dengan menggunakan teoriteori sosiologis yang dijadikan landasan untuk mengungkap fenomenafenomena sosial yang terjadi pada keluarga muslim yang mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Polewali yang berkaitan dengan penelitian. 6. Pendekatan fenomenologis Fenomenologis adalah suatu pendekatan yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subyektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. 4 Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh formulasi penelitian yang obyektif. Autentisitas data akan disajikan seautentik mungkin. Dengan pendekatan ini, data akan diformulasikan berdasarkan pemahaman, pengalaman dan kesadaran subjek penelitian tentang objek penelitian. C. Sumber Data Sumber data yang dijadikan landasan dalam penelitian ini, terdiri dari dua jenis data yakni data primer dan data sekunder. a. Sumber data primer Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data pada pengumpul data.5 Data primer dalam penelitian ini 4 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 20 5 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 137 148 adalah bertumpu pada data yang didapatkan di lapangan. Data tersebut diperoleh melalui wawancara terhadap sejumlah hakim dan sejumlah pasangan suami-istri yang bercerai di Pengadilan Agama Polewali karena tindakan nusyus. b. Sumber data sekunder Data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.6 Sumber data sekunder dalam hal ini berkaitan dengan sumber data autentik yang bertumpu pada data yang didapatkan di lapangan melalui dokumen di Pengadilan Agama yang berisi petikan putusan pengadilan Agama dan penelusuran berbagai referensi, baik dari buku-buku yang berkaitan langsung dengan topik permasalahan maupun yang menunjang terhadap kesempurnaan penelitian ini. Sumber data sekunder ini berguna dalam kerangka analisis bagi potret praktek nusyus yang terjadi di masyarakat. Dari data konseptual dan realitas lapangan tersebut diharapkan dapat dijadikan langkah antisipasi kehancuran rumah tangga keluarga muslim di Kabupaten Polewali Mandar, dan keluarga muslim umumnya. 6 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 137 149 D. Metode Pengumpulan Data Sebagaimana umumnya penelitian lapangan, proses pengumpulan data disesuaikan dengan penelitian yang akan dilakukan. Untuk itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Dokumenter, yaitu metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. Fungsinya adalah sebagai sarana untuk mendapatkan data primer dengan menginventarisir berbagai materi yang ada di lapangan sesuai dengan objek penelitian. Data-data tersebut diperoleh dari Pengadilan Agama Polewali. 2. Wawancara, (opended interview), yaitu bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari orang lain dengan mengajukan pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur. Teknik wawancara ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi di bawah permukaan dan menemukan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh subjek penelitian. Meskipun demikian, peneliti sebagai instrumen penelitian tetap menggunakan pedoman sebagai panduan wawancara. 150 E. Instrumen Penelitian Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif lapangan, maka instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Peneliti sebagai instrumen penelitian menggunakan beberapa alat pelengkap sebagai berikut: 1. Pedoman wawancara yaitu berupa catatan pertanyaan yang akan digunakan untuk menggali informasi dari informan dalam pengumpulan data penelitian. 2. Alat dokumentasi yaitu berupa alat tulis, kamera, alat perekam suara untuk merekam kegiatan atau barang yang ada kaitannya dengan sumber data dan data itu sendiri. F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data wawancara dan dokumenter di analisis melalui model Alir Miles dan Huberman7 terdiri atas empat tahap,yakni: (1) identifikasi, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penarikan kesimpulan dan verifikasi. Teknik analisis data tersebut dijelaskan sebagai berikut : 1. Identifikasi data Tahap identifikasi dilakukan dengan melakukan pembacaan secara menyeluruh untuk mendapatkan gambaran umum mengenai data penelitian untuk selanjutnya diorganisasikan ke dalam bagian-bagian yang teratur disesuaikan dengan masalah yang akan dipecahkan. 7 Miles & Huberman, Qualitative Data Analysis, Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), h. 20 151 2. Reduksi data Tahap reduksi data dilakukan dengan mereduksi/menghilangkan data yang tidak relevan, memilih data yang dibutuhkan. Data diseleksi dan dikelompokkan sesuai dengan fokus masalah penelitian. 3. Display atau penyajian data Tahap penyajian dilakukan dalam matrik kategori yang diwujudkan dalam bentuk diagram. Data yang disajikan dilengkapi dengan narasi untuk memberikan penjelasan komprehensif. 4. Verifikasi dan kesimpulan Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi mencakup langkahlangkah berikut. Pertama, generalisasi dari data awal yang memiliki keteraturan ditetapkan sebagai kesimpulan sementara. Kesimpulan sementara tersebut diverifikasi kembali dengan data yang ada untuk menghasilkan kesimpulan yang akurat. Dalam tahap verifikasi, jika data kurang sesuai dengan generalisasi, maka akan dilakukan penyesuaian. Sebaliknya, jika data mendukung generalisasi, maka generalisasi tersebut ditetapkan sebagai kesimpulan akhir. G. Pengujian Keabsahan Data Dalam penelitian kualitatif lapangan penting untuk mengecek keabsahan data untuk menghindari data yang tidak valid. Hal ini untuk menghindari adanya jawaban dari informan yang tidak jujur. Pengecekan data 152 dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi yakni teknik pengecekan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang ada untuk kepentingan pengecekan keabsahan data atau sebagai bahan perbandingan terhadap data yang ada. Triangulasi dilakukan dan digunakan untuk mengecek keabsahan data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data.8 1. Triangulasi dengan menggunakan teknik dan cara membandingkan data dokumentasi dan hasil wawancara untuk sumber data yang sama sehingga menjadi data yang autentik dengan masalah penelitian. 2. Triangulasi dengan menggunakan sumber yaitu dengan membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari lapangan penelitian melalui sumber yang berbeda dengan teknik yang sama. 8 Lihat Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 83 BAB IV NUSYUS DAN PROBLEMATIKANYA DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR A. Gambaran Umum Tentang Peradilan Agama di Indonesia dan Peradilah Agama Polewali Sebelum mamasuki inti pembahasan perlu dikemukakan deskripsi tentang lembaga Peradilan1 Agama di Indonesia dilihat dari beberapa aspek. Yaitu aspek historis, dan aspek pengajuan serta pemeriksaan perkara. Deskripsi historis tersebut diperlukan agar diperoleh gambaran dinamika perkembangannya terkait dengan kewenangan dan kompetensi Peradilan Agama. Demikian pula, gambaran tentang Pengadilan Agama Polewali sebagai bagian dari lembaga Peradilan Agama di Indonesia perlu pula dideskripsikan sehingga diketahui dinamika, perkara yang masuk serta mekanisme penanganan kasus di Pengadilan Agama Polewali. 1 Peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan; lembaga hukum bertugas memperbaiki. Sementara pengadilan mempunyai banyak arti, yaitu : dewan atau majelis yang mengadili perkara; mahkamah; proses mengadili; keputusan hakim; sidang hakim ketika mengadili perkara; rumah (bangunan) tempat mengadili perkara. Pengadilan Agama adalah badan peradilan khusus untuk orang yang beragama Islam yang memeriksa dan memutus perkara tentang perceraian, talak, dan lain-lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 7. Menurut Mahadi, peradilan adalah suatu proses yang berakhir dengan memberi keadilan dalam suatu keputusan. Proses ini diatur dalam suatu peraturan hukum acara. Sedangkan pengadilan menunjuk kepada suatu susunan instansi yang memutus perkara. Dalam melaksanakan tugasnya pengadilan menjalankan peradilan. Jadi, peradilan tidak bisa lepas dari hukum acara. Lihat, Mahadi, Kedudukan Peradilan Agama, (Jakarta: Departemen Agama, 1985), h. 99. 149 150 1. Deskripsi Historis Kompetensinya. Lembaga Peradilan Agama dan a. Peradilan Agama Masa Kerajaan Islam Nusantara Dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, maka lambat laun tata hukum di Indonesia mengalami perubahan dan pergeseran. Hukum Islam bukan saja menggeser hukum Hindu, yang di antaranya berwujud dalam hukum Pradata,2 tetapi juga memasukkan pengaruhnya ke dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat pada umumnya, yang tentunya hal ini berpengaruh terhadap proses pembentukan dan pengembangan institusi Peradilan Islam pada masa-masa berikutnya. Proses Islamisasi kepulauan Indonesia melalui jalur perdagangan dan perkawinan, secara tidak langsung memberikan andil bagi tersosialisasinya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat.3 Interaksi dan asimilasi antara para saudagar yang beragama Islam dengan penduduk asli Indonesia adalah titik tolak awal keberhasilan pembumian hukum Islam. Pendekatan lewat perdagangan dengan sendirinya dapat mengakses warga 2 Sebelum Islam masuk, di Indonesia terdapat dua macam peradilan, yaitu Peradilan Pradata dan Peradilan Padu. Peradilan Pradata mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi urusan raja, sedangkan Peradilan Padu mengurus masalah di luar wewenang raja. Materi hukum Peradilan Pradata bersumber dari ajaran Hindu yang terdapat dalam Papakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis, sementara Peradilan Padu menggunakan hukum materil berdasarkan pada hukum Indonesia asli yang tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 50 3 Naquib al-Attas, Islam Sekularisme, (Bandung: Pustaka, 1981), h. 247 151 yang secara ekonomis membutuhkan bahan pokok seperti sandang pangan dan kebutuhan lainnya.4 Dalam perkembangannya, ikatan perkawinan yang terjalin antara pedagang muslim dengan penduduk asli setempat merupakan transmisi penyebaran Islam pertama, dan kegiatan perdagangan adalah media dakwah yang tidak kalah pentingnya terhadap peresapan ajaran Islam. Misalnya, jika seorang saudagar muslim ingin menikahi perempuan pribumi, maka secara sukarela perempuan itu diislamkan dan pernikahan dilangsungkan secara Islam. Dari sini kemudian tumbuh keluarga yang mempunyai relasi antara anggota-anggotanya dengan kaidah-kaidah hukum Islam, ataukah kaidah-kaidah lama yang diadaptasikan dengan nilai-nalai Islam, Jika salah satu anggota keluarga itu meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan Islam.5 Posisi sentral saudagar kemudian secara formal beralih kepada peran para ulama. 6 Misalnya, Nuruddin al-Raniri 7 menulis buku hukum 4 Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 45 5 Lihat, Mohammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia”, dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Taufiq Abdullah dan Sharon Shiddique (ed), (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 210 6 Mohammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia”, dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Taufiq Abdullah dan Sharon Shiddique (ed), h. 210 7 Nūruddīn Muhammad bin ‘Ᾱli bin Hasanja bin Muhammad Ḥāmid al-Raniri al-Qusyairy al-Syāfī’i, lahir di Rani (Rander) Gujarat, wafat pada 1068 H/1658. Mufti kerajaan pada masa Sultan Iskandar II. Penganut tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah, dan al-Audarusiyah. Lihat, Mahsud Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: LkiS, 2005), h. 36 -37 152 Islam yang berjudul “Ṣirāṭal Mustaqīm” pada tahun 1628. Dalam pandangan Hamka, karya al-Raniri ini adalah kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. Kemudian kitab ini diperluas dengan syarah, oleh Muhammad Arsyad al-Banjari8 yang berjudul “Sabīl al-Muhtadīn” 9 melalui bahasa melayu. Karya ini kemudian dijadikan rujukan dalam penyelesaian perkara atau sengketa antara umat Islam di wilayah kesultanan Banjar. Dalam hal yang sama, muncul pula kitab ‘Uqūd al-Lujain, yang ditulis oleh Syeikh Nawawi al-Bantani. 10 Kitab ini dijadikan pegangan dalam menangani berbagai masalah yang dihadapi, termasuk kerajaankerajaan seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Mataram.11 Sejalan dengan perkembangan masyarakat muslim ketika itu, mereka menjadikan tradisi perdamaian (taḥkim) sebagai suatu solusi hukum antara mereka, yang biasanya diberikan oleh para ulama/muballigh, di 8 Seorang ulama Syafi’iyyah di Kalimantan Selatan. Hidup pada 1710–1812 M. Sebagaimana direportasikan oleh Steenbriknk, Al-Banjari bukan saja tokoh yang ahli dalam memberikan fatwa hukum yang “humanis” dan emansipatoris, melainkan ia juga seorang pakar ilmu falak. Di antara jasanya adalah memperbaiki arah kiblat Masjid Jembatan Lima Jakarta, yang dilakukannya di saat ia baru pulang dari Makkah pada 1186 H/1773 M. Lihat, Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, h. 42 9 Judul lengkap buku ini ialah Sabīl al-Muhtadīn Littafaqquhi fī amri al-Dīn. Ditulis pada 1193 H/1779 M-1195 H/1781 M, tepatnya ketika kesultanan Banjar diperintah oleh Taḥmīdullāh bin Sulṭān Tamjīdullāh. Karya ini memuat masalah-masalah seputar hak perempuan dalam fikih Islam. Lihat, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, h. 41 10 Nawawi al-Bantani lahir di Serang Banten pada 1230 H/1813 M-1316 H/1898 M. Karya-karyanya mencakup tafsir, sejarah, tauhid, akhlak, hadis, dan bahasa Arab. Selain itu, ia juga member komentar (ḥāsyiah), di antaranya komentar atas kitab Fatḥ al-Qarīb karya Ibn Qāsim al-Gāzi. Lihat, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, h. 45-46 11 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), h. 69 153 samping tradisi fatwa. Misalnya, seorang wanita yang tidak mempunyai wali bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamanny.12 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga peradilan pertama di Indonesia adalah lembaga “taḥkim.” Dari lembaga taḥkim kemudian disusul lembaga ahlu al-ḥalli wa al’aqdi, yaitu pengangkatan orang-orang yang ahli di bidang hukum Islam oleh masyarakat dalam bentuk Peradilan Adat, yang mana para hakimnya diangkat oleh rapat dan persetujuan marga, negeri, atau semacamnya.13 Kemajuan Islam dibidang politik, yaitu setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam, maka lembaga ahlu al-ḥalli wa al’aqdi menjadi lembaga Peradilan Swapraja, 14 yang dikenal dengan Peradilan Serambi, Peradilan Surambi, Peradilan Masjid dan semacamnya.15 Peradilan Surambi dapat dilihat pada masa Sultan Agung berkuasa di Mataram,16 Raja membuat kebijakan berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan. Menurut Gunaryo, kebijakan yang merupakan langkah awal, 12 Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 47 13 Lihat, Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA TAZZAFA, 2009), h. 17 14 Swapraja adalah daerah yang berpemerintah sendiri, seperti daerah Yogyakarta dan Surakarta. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 877 15 Peradilan Surambi adalah proses peradilan yang dilaksanakan di Serambi masjid (Agung), Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, h. 52 16 Mataram adalah kerajaan yang muncul pada pertengahan abad ke-16. Kemampuan ekspansinya luar biasa, yaitu mampu menaklukkan seluruh kerajaan-kerajaan yang berada di pesisir Pantai Utara Pulau Jawa, termasuk kerajaan besar Hindu-Jawa, Majapahit, pada permulaan abad ke-17. Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, h. 51 154 yaitu memasukkan ahli-ahli agama Islam untuk duduk dalam proses Peradilan Pradata, yang pada akhirnya Peradilan Pradata ini dihapus dan diganti dengan Peradilan Surambi. 17 Meski berbeda dengan Gunaryo, Sultan Hamengku Buwono X sebagaimana dikutip Khoiruddin menulis bahwa Peradilan berdampingan Pradata dengan tidaklah Peradilan dihapus, Surambi. melainkan Jika maka Peradilan Pengadilan berjalan Pradata menangani masalah-masalah kriminal, Surambi menangani masalah-masalah yang bersifat kemasyarakatan, seperti perkawinan, wasiat, warisan, hibah, dan sebagainya.18 Meski terdapat perbedaan sebagaimana disebutkan, namun perlu dicatat bahwa pada masa Sultan Agung berkuasa di Mataram, maka terbentuk pulalah lembaga Peradilan Surambi. Memang diakui oleh Gunaryo bahwa Pengadilan Agama mengalami pasang surut. Sepeninggal Sultan Agung, Peradilan Pradata dihidupkan kembali oleh Amangkurat I sebagai pewaris tahta kerajaan. Dengan demikian, perbedaan pendapat antara Gunaryo dan Sultan Hamengku Buwono X tentang dihapusnya Peradilan Pradata dapat dimaklumi dan logis.19 17 Tidak ada alasan yang jelas tentang penggantian dan penghapusan Peradilan Pradata tersebut. Namun sebagai dugaan spekulatif adalah Islam dipandang sebagai satu-satunya alternatif yang tersedia karena memiliki konsep hukum yang jelas. Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, h. 51 18 Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, h. 18 19 Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, h. 57 155 Di Aceh, yang dikenal hanya Peradilan Agama dan dilaksanakan secara berjenjang. Pengadilan yang paling bawah, pengadilan tingkat desa yang dipimpin oleh seorang keucik. Kompetensinya adalah perkara-perkara ringan, sedang perkara yang lebih berat diserahkan kepada Balai Hukum Mukim. Di tingkat Banding disebut uleebalang. Pengadilan yang paling puncak adalah Mahkamah Agung yang diketuai oleh Sultan. Anggota Mahkamah Agung adalah Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Fakih.20 Di Sulawesi pada masa kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Gowa yang berada di bawah kekuasaan Raja Tallo, I Malingkaang Daeng Manyonri dengan gelar Sultan Abdullah Awwal al-Islam. Disusul Raja Gowa I, Mangngerangi Daeng Manrabi’a mengikuti Raja Tallo masuk Islam dengan gelar Sultan Alauddin. Kemudian berturut-turut Raja Bone, Raja Wajo, Raja Soppeng, dan Raja Sidenreng masuk pula ke dalam agama Islam. Peralihan agama oleh raja-raja yang disebutkan mempercepat proses Islamisasi di Sulawesi, dan agama Islam serta seluruh perangkat dan kelembagaannya, seperti peradilan berkembang dengan pesat. Di bidang peradilan, hakim tertinggi dipimpin langsung oleh raja sendiri. Namun, dalam perkembangannya, ketika Sultan Mālik al-Sa’īd berkuasa di Gowa, ia tidak lagi bertindak sebagai ketua pengadilan, melainkan mengangkat 20 Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, h. 59 156 pejabat syari’at yang disebut parewa syara’, berdampingan dengan pejabat adat yang disebut parewa ade’. Parewa syara’ ini dipimpin oleh seorang qāḍi yang berkedudukan di pusat pemerintahan dengan tugas antara lain menyelenggarakan pernikahan.21 Uraian di atas sebagaimana diakui oleh Lev bahwa Pengadilan Islam yang menggunakan hukum Islam dapat dijumpai di daerah-daerah yang penerimaan Islamnya kuat, meski bentuk dan keadaan berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Hakim-hakim agama di beberapa daerah seperti Aceh, Jambi, Kalimantan Selalatan dan Timur, Sulawesi Selatan, dan beberapa daerah lain diangkat oleh penguasa setempat. Sedangkan daerah-daerah yang tidak memiliki Peradilan Agama seperti Sulawesi Utara, Tapanuli di Sumatera Utara, Gayo, Alas di Aceh, dan Sumatera Selatan, ulama-ulama yang menguasai hukum Islam ditugasi oleh penguasa setempat untuk melaksanakan tugas-tugas peradilan.22 Fakta yang disebutkan di atas, memperkuat dugaan bahwa sebelum kolonial Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam telah hidup dan berkembang, bahkan beradaptasi dengan kebiasaankebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. b. Peradilan Agama Masa Penjajahan Belanda. 21 Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, h. 60 22 Lihat, Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, h. 19 157 Secara sosiologis, kolonialisme menjalankan misi ganda; yaitu misi ekonomi dan misi agama, tetapi kepentingan agama jauh lebih besar bobotnya, meskipun dibungkus dengan kegiatan ekonomi. Hal itu ditandai dalam setiap misi dagang dan ekonominya, di mana Belanda selalu melibatkan pastor-pastor agama Kristen.23 Pada awalnya, VOC dengan berbagai pertimbangan, tidak serta merta menghapus lembaga-lembaga asli yang ada, melainkan membiarkannya tumbuh dalam masyarakat sebagaimana sebelumnya. Langkah ini diambil, untuk meminimalisir perlawanan dari masyarakat dengan memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari. 24 Di samping lembaga-lembaga asli yang ada, Belanda juga tetap mengakui hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, seperti hukum keluarga Islam; perkawinan, waris, dan wakaf. Lebih dari itu, pemerintah Belanda pada pertengahan abad ke-18 berusaha menyusun buku-buku hukum Islam sebagai pegangan hakimhakim pengadilan (landraad) dan pejabat pemerintahan. Hukum kekeluargaan dalam statuta Jakarta 1642 diakui dan diterapkan dengan 23 Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 49 24 Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 50 158 peraturan Resolutie der Indiesche Regeering pada 25 Mei 1760, sebagai aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.25 Sejalan dengan itu, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda, sejak tahun 1800 mengakui bahwa di sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia, Islam merupakan agama yang dijunjung tinggi pemeluknya. Bila terjadi masalah yang dihadapi oleh umat Islam dalam bidang kemasyarakatan, baik yang bersifat ibadah, politik, ekonomi maupun kemasyarakatan lainnya, maka mereka senantiasa kembali merujuk kepada ajaran agama Islam. Atas dasar kenyataan itu Van den Berg (1845 – 1927), seorang sarjana Belanda, berkesimpulan bahwa pada masa awal penjajahan Belanda, bagi yang beragama Islam berlaku teori receptio in complexu artinya orang-orang muslim Indonesia menerima dan memberlakukan syariat Islam secara kesuluruhan.26 Menurut H.J. Benda sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim, bahwa meskipun pengakuan itu ada, namun pada abad ke-19, banyak orang Belanda, berharap dan menginginkan untuk menghilangkan pengaruh Islam di nusantara, di antaranya melalui proses Kristenisasi. Karena itu, tidak mengherankan bila sikap pemerintahan kolonial terhadap Islam dan penganutnya bersifat misi politik yang bernuansa ganda sebagaimana 25 Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 50 26 Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 51 159 disebutkan sebelumnya, yakni misi penjajahan secara politik dan ekonomi, dan misi keagamaan.27 Untuk membendung kekuatan umat Islam, Belanda melakukan tindakan: Pertama, mengawasi secara ketat aktivitas umat Islam. Sejumlah penelitian dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan kaum agama, dan selanjutnya memberikan nasehat kepada pemerintah Belanda tentang apa yang harus dilakukan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Dr. Van Ronkel. Selain penelitian, kegiatan mata-mata (spionase-spionase) juga dilakukan untuk menyelidiki aktivitas kaum agama yang dianggap membahayakan posisi dan kedudukan kolonial. Kedua, mengalihkan perhatian umat Islam dari persoalan kemasyarakatan kepada Islam ibadah. Cara yang ditempuh adalah mendekati, membujuk dan memuji-muji kedudukan para guru tarekat, dengan harapan agar umat Islam lebih memusatkan perhatian mereka kepada suluk dan zikir dan membenci kehidupan dunia. Di samping itu, Belanda juga memberikan tawarantawaran politik, seperti jabatan-jabatan penting kepada ulama yang menjadi panutan masyarakat, sebut saja sebagai misal, Syeikh Jalāludīn Fāqih Ṣāqir yang kemudian bergelar Tuanku Sami’, diangkat oleh Belanda menjadi Regen (Bupati) pertama di Luhak Agam. Dengan cara ini, dapat diduga bahwa keinginan untuk memberontak dan melawan kaum penjajah menjadi 27 Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 51 160 surut, sehingga dengan begitu, Belanda dapat lebih leluasa mengembangkan pengaruh dan kekuasaannya.28 Dalam bidang hukum, Belanda beranggapan bahwa hukum dan perundang-undangannya lebih baik dari sistem hukum daerah jajahan. Hukum yang terdapat di Indonesia adalah warisan jahiliah sebagai warisan bangsa Arab yang sudah kuno dan terbelakang. Atas persepsi bahwa hukum Indonesia adalah warisan jahiliah, Belanda memberlakukan hukum Barat (Belanda) untuk semua golongan penduduk, yang disebut dengan teori unifikasi hukum. Karena kurang strategis, teori unifikasi ini digagalkan oleh pakar-pakar hukum Belanda sendiri, dipimpin oleh Christian Snouck Hugronje. Langkah Hugronje adalah membentuk image orang-orang Islam dengan melahirkan teori receptie. Sasaran akhir teori tersebut adalah agar terjadi benturan antara adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Jika itu terjadi, maka hukum Belanda didukung dengan kekuatan politik dan sarjana hukum hasil pendidikan Belanda bertambah kuat, sedangkan hukum Islam dengan sendirinya akan lemah.29 Melalui usahanya yang gigih dan sistematis, lambat laun akhirnya berhasil menggantikan teori receptio in complexu menjadi teori receptie. 28 Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 53 29 Lihat, Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, h. 54 - 59 161 Teori yang menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku bila telah diresepsi atau diterima oleh hukum adat.30 Berdasarkan pemapan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum Belanda datang, hukum Islam telah berlaku di Indonesia, kemudian oleh Belanda telah berhasil melikuidasinya, yang akhirnya hanya berlaku untuk kasus-kasus yang sangat terbatas. c. Peradilan Agama di Era kemerdekaan. Kemerdekaan adalah suatu anugrah dari Allah swt yang disertai dengan perjuangan panjang bangsa Indonesia, dan makna kemerdekaan itu di antaranya adalah terbebasnya bangsa Indonesia dari pengaruh hukum Belanda. Hazairin berpendapat bahwa setelah Indonesia merdeka, meskipun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori ini harus keluar (exit) karena bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis. Hazairin menyebut teori receptie ini sebagai teori iblis. Karena itu, Hazairin mengembangkan suatu teori yang kemudian dikenal sebagai teori receptie exit. Pokok-pokok pikiran Hazairin adalah: (a) teori receptie telah patah, tidak berlaku dan keluar (exit) dari hukum ketatanegaraan Indonesia 30 Ismail Suny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad, ed., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 132 162 sejak tahun 1945 dengan berlakunya UUD 1945; (b) sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat 1, negara Republik Indonesia berkewajiban, membentuk hukum nasional yang bersumber dari hukum agama; dan (c) hukum agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia bukan hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain. Hukum agama, baik perdata, maupun pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia.31 Ismail Suny berpendapat bahwa dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945 sebagai dasar negara, meskipun tidak mencantumkan ketujuh kata dari Piagam Jakarta, maka teori receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan dasar hukumnya. 32 Selanjutnya, hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945. Periode ini disebut oleh Sunny sebagai era Penerimaan Hukum Islam sebagai sumber persuasif (persuasive source).33 31 Lihat, Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, (Jogjakarta: Kreasi Total Media, 2008), h. 110 32 Dasar hukum teori resepsi adalah IS (Indische Staatsregeling), suatu UUD Hindia Belanda yang baru yang menganut “asas hukum adat”, dan dengan berlakunya UUD 1945, maka IS tidak berlaku lagi. Lihat, Ismail Suny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad, ed., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 133. 33 Dalam hukum konstitusi dikenal persuasive source dan authoritative source. Sumber persuasif ialah sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya, sedang sumber otoritatif ialah sumber yang mempunyai kekuatan (authority). Lihat, Ismail Suny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad, ed., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 133. 163 Perkembangan hukum Islam di Indonesia setelah Republik Indonesia, setidaknya ditandai dengan kemerdekaan berdirinya Departemen/Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946. Keberadaan Depag ini merupakan tonggak awal bagi perjalanan hukum Islam di Indonesia. Sejak berdirinya Depag, maka sejak itu kewenangan Peradilan Agama Islam telah dipindahkan dari menteri Hukum kepada menteri Agama, dan penataan hukum Islam, baik yang bersifat administrasi maupun bersifat kelembagaan hukum Islam yang mengatur masalah perkawinan, rujuk, talak, dan wakaf telah dilakukan dibawah pengawasan Menteri Agama.34 UU pertama yang lahir mengatur tentang perkawinan pada era kemerdekaan ini adalah UU RI No. 22 Tahun 1946. UU ini diperluas wilayah berlakunya untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. UU No. 22 ini adalah sebagai kelanjutan Stbl No. 198 Tahun 1895, dan sebagai pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl. No. 348 Tahun 1929 jo. Stbl. No. 467 Tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl. No. 98 Tahun 1933.35 34 Lihat, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 21 - 22 35 Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) h. 21. Lihat pula Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA Tazzafa, 2009), h. 30 164 Menurut Aulawi, sedianya UU RI No. 22 Tahun 1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia, tetapi karena keadaan belum memungkinkan, maka pemberlakuannya terbatas untuk Jawa dan Madura. Nanti pada tahun 1954 barulah diberlakukan di seluruh Indonesia, dengan disahkannya UU RI No. 32 Tahun 1954 oleh DPR, yang intinya memperlakukan UU RI No. 22 Tahun 1946 di seluruh Indonesia.36 Alasan penundaan berlakunya UU RI No. 22 Tahun 1946 pada tahun 1946 sekaligus diseluruh tanah air Indonesia, tidak secara jelas disebutkan oleh Aulawi, namun ia menyebutkan bahwa pada tanggal 21 Nopember 1946, bangsa Indonesia sedang menghadapi Belanda yang berniat menjajah kembali tanah air. Dengan pernyataan ini, penulis berpendapat bahwa agaknya inilah alasan utama mengapa terjadi penundaan pelaksanaan Undang-Undang ini. Sebagaimana diketahui bahwa tentu keadaan seperti itu tidak akan cukup kondusif dan mengalihkan perhatian pemerintah serta menguras tenaga untuk menghadapi agresi dari luar, sehingga tidak dapat dipikirkan bagaimana penataan kenegaraan, termasuk penataan hukum. Achmad Roestandi menulis bahwa UU RI No. 22 Tahun 1946 memperoleh persetujuan DPR untuk diberlakukan di seluruh Indonesia pada tahun 1954. 37 Dengan demikian, secara umum ditulis, terdapat dua 36 A. Wasit Aulawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia”, dalam Amrullah Ahmad, ed., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 57 37 Achmad Roestandi, “Prospek Peradilan Agama (Suatu Tinjauan Sosiologis)” dalam Amrullah Ahmad, ed., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 210 165 tahapan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1946, yaitu : (a) tanggal 1 Pebruari 1947 untuk wilayah Jawa dan Madura; dan (b) tanggal 2 Nopember 1954 untuk wilayah lainnya.38 UU No. 22 Tahun 1946 berisi 7 pasal, dan secara umum terdiri dari dua hal, yaitu (a) keharusan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk; (b) penetapan pegawai yang ditugasi melakukan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk. Masih berkaitan dengan UU RI No. 22 Tahun 1946. Pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang ini, menurut Aulawi seperti dicatat oleh Khoiruddin hanya mengatur pencatatan perkawinan, talak dan rujuk, yang berarti hanya menyangkut hukum acara, bukan materi hukum perkawinan. Tetapi dengan adanya fungsi mengawasi dan menilai perkawinan sebagai tugas PPN, yang berarti juga termasuk materi hukum perkawinan.39 Dari paparan di atas, di sini tampak bahwa pemerintah setelah kemerdekaan dicapai dalam hal ini Departemen/Kementerian Agama, melihat bahwa dalam pembangunan hukum yang perlu segera dibenahi dan diatur adalah masalah perkawinan dan perceraian. Hal ini adalah logis, mengingat sebelumnya (sebelum kemerdekaan) terjadi kesimpangsiurang dalam hal hukum keluarga, di antaranya : angka perceraian yang sangat 38 Lihat, Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, h. 31 39 Lihat, Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, h. 32 166 tinggi, perkawinan usia sangat muda, kawin paksa, poligami, talak yang semena-mena, dan lain-lain. Ini semua terjadi akibat tidak adanya aturan formal yang mengatur hukum keluarga. Seperti dicatat oleh Gunaryo bahwa di antara pembagian penduduk oleh Belanda, hanya muslim pribumilah yang tidak memiliki aturan formal dalam hal hukum perkawinan, pada hal merekalah merupakan penduduk terbesar negeri ini.40 2. Pengadilan Agama Polewali, dan Mekanisme Pengajuan dan Pemeriksaan Perkara a. Pengadilan Agama Polewali Pengadilan Agama Polewali kelas II yang menjadi bagian dari studi ini terbentuk secara formal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura. Dikukuhkan beberapa ketetapan dan keputusan Menteri Agama RI antara lain Nomor 5 Tahun 1958 dan terakhir dikuatkan dengan ketentuan Pasal 106 Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Junto Pasal 210 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1970 diubah dan disesuaikan dengan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 40 Bagi golongan Eropa dan Tionghoa, berlaku BW (Burgerlijk Wetboek), copy dari BW Belanda. Bagi golongan Arab dan Timur Asing berlaku ordonansi 9 Desember 1924. Bagi golongan Kristen Pribumi berlaku HOCI (Huwelijk Ordonantie Christen voor Indonesiers). Dan bagi mereka yang termasuk dalam tiga golongan yang tidak disebutkan berlaku GHR (Regeling op de gemengde Huwelijken). Lihat, Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam, Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 125 – 127. 167 Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dinyatakan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Untuk menjalankan tugas-tugas Peradilan Agama, maka susunan, kedudukan dan kekuasaan serta hukum acara badan Peradilan Agama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan organisasi, administrasi dan financial Peradilan Agama berada di bawah pengawasan dan kekuasaan Departemen Agama. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 13 ayat (1), maka organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya termasuk Pengadilan Agama berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Dalam Pasal 106 Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa : a. Semua badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai badan Peradilan Agama menurut undang-undang ini. b. Susunan peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Pengadilan Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan ini tidak bertentangan dengan undang-undang ini. 168 Sejak diundangkannya Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, penyebutan nama yang berbeda-beda untuk Pengadilan Agama, misalnya Kerapatan Qāḍi di sebagian Kalimantan Selatan, Mahkamah Syari’ah di sebagian timur Indonesia dan daerah Sumatera, diseragamkan menjadi Pengadilan Agama yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama yang merupakan pengadilan banding, Mahkamah Agung merupakan puncak pengadilan tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Personil Pengadilan Agama Polewali saat ini berdasarkan data di Pengadilan Agama Polewali tahun 2009 terdiri dari : a. Hakim termasuk Wakil Ketua b. Pejabat struktural c. Panitera Pengganti d. Jurusita e. Bendahara/staf Jumlah 9 10 9 2 1 31 orang orang orang orang orang orang Setiap perkara yang diajukan akan diproses sesuai dengan ketentuan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Perkara atau dikenal dengan Pola Bindalmin yaitu tiga kelompok meja yang disebut meja I, meja II, meja III dan kasir. Selanjutnya berkas perkara diserahkan kepada Ketua Pengadilan untuk penentuan majelis hakim, lalu ketua majelis 169 menentukan hari sidang untuk pemeriksaan dan terakhir putusan/penetapan.41 Kinerja Pengadilan Agama Polewali, terutama dalam menjabarkan sebagian ketentuan hukum Islam dalam bidang perkara perdata agama dan hukum keluarga selama ini relatif berhasil. Keberhasilan ini ditunjang oleh dukungan masyarakat, di mana antara ketentuan hukum Islam dengan hukum adat berjalan seiring, bahkan ketentuan hukum adat memberikan penghargaan terhadap nilai-nilai hukum Islam. Meskipun demikian, tidak seluruh persoalan hukum tentang masalah perkawinan dan perceraian dapat terselesaikan secara baik.42 b. Keadaan Perkara di Pengadilan Agama Polewali Dalam tahun 2009 jumlah perkara yang diterima di Pengadilan Agama Polewali adalah sebanyak 432 perkara yang secara lengkap dan terperinci dalam tabel berikut : Tabel 3 Keadaan Perkara yang Diterima Tahun 2009 No 41 Jenis Perkara Perkara % 01. Cerai Gugat 202 46,8 02. Cerai Talak 91 21,1 03. Kewarisan 15 3,5 Wawancara dengan Drs. M. As’ad, panitera pengganti Pengadilan Agama Polewali pada tanggal 7 Pebruari 2010 42 Wawancara dengan Drs. Suryadi, Ketua Pengadilan Agama Polewali pada tanggal 9 Pebruari 2010 170 04. Isbat Nikah 94 21,8 05. Wali Adhal 3 0,7 06. Harta Bersama 3 0,7 07. Izin Kawin 1 0,2 08. Penguasaan Anak 09. Pengesahan Anak 8 1,9 10. Hibah 11. P3HP 6 1,4 12. Lain-Lain 9 2,1 432 100.00 Jumlah Sumber data : Diolah dari data yang diperoleh dari Kantor Pengadilan Agama Polewali tahun 2009 Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa perkara perceraian (baik cerai gugat maupun cerai talak) menempati posisi paling tinggi dengan jumlah 293 perkara atau 67,8 %. Yang masuk dalam perkara iṡbat nikah 94 perkara atau 21,8 %, kewarisan 15 perkara atau 3,5 %, wali adhal 3 perkara atau 0,7 %, dan perkara lainnya termasuk harta bersama, izin kawin, pengesahan anak, P3 HP, dan lain-lain dengan 27 perkara atau 6,3 % dengan rata-rata perbulan 36 perkara. Seluruh perkara yang diterima tersebut berdasarkan wawancara 43 dan pendataan di Pengadilan Agama Polewali. Khusus perkara perceraian diperoleh perbandingan yang cukup signifikan antara perkara yang 43 Wawancara dengan Dra. Najmiah, staf Pengadilan Agama Polewali 171 dicabut/ditolak/digugurkan dengan perkara yang telah diputus sebagai berikut : Tabel 4. Keadaan Perkara Perceraian yang Diterima dan Diputus (biasa) tahun 2009 No 01. Tahun 2009 Diterima Diputus (biasa) Dicabut Ditolak/gugur Jum Biasa Persentase Jumlah Persentase Jum Persentase 293 222 38,6 21 3,7 39 6,8 Sumber data: diolah dari data yang diperoleh dari Kantor Pengadilan Agama Polewali tahun 2009 Berdasarkan tabel 4 di atas dapat diperoleh perbandingan yang sangat mencolok antara perkara yang diputus dengan putus biasa dan perkara yang dicabut, digugurkan dan ditolak, yaitu dari keseluruhan perkara yang diterima berjumlah 293 perkara. 222 perkara yang diputus atau 38,6 %, dan hanya 21 perkara atau 3,7 % saja yang dicabut, sedangkan sisanya 39 perkara atau 6,8 % adalah perkara yang ditolak atau digugurkan. Selanjutnya keseluruhan perkara yang diterima Pengadilan Agama Polewali tersebut, diperiksa dan diputus oleh beberapa hakim. c. Mekanisme Pengajuan dan Pemeriksaan Perkara di Lembaga Peradilan Agama Polewali. 1) Pengajuan Perkara. Dalam persidangan perkara perdata, hakim memberi kesempatan penuh kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan sendiri duduk 172 perkaranya, hakim bersifat pasif. Karena itu, hakim akan memanggil kedua belah pihak untuk datang menghadap di muka hakim, pada waktu yang ditentukan. Jika waktu yang ditentukan, penggugat tidak datang menghadap pada hal sudah dipanggil secara patut dan tidak juga menguasakan kepada orang lain untuk menghadap, maka gugatannya dianggap gugur. Meskipun demikian, ia dapat mengajukan gugatan baru berdasarkan pasal 124 HIR dan 148 R.Bg. Sebaliknya, jika tergugat tidak menghadap dan juga sudah dipanggil secara patut dan tidak pula menguasakan kepada orang lain untuk menghadap, maka gugatan dapat dikabulkan dengan putusan verstek (putusan tanpa kehadiran tergugat), kecuali bila gugatan melawan hak atau tidak beralasan. Karena Pengadilan Agama (PA) adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan Peradilan Agama, maka Pengadilan Agama adalah satuan (unit) penyelenggara Peradilan Agama. Tugas pokoknya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam demi tegaknya hukum dan keadilan. Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama mengacu pada hukum acara perdata pada umumnya, kecuali yang diatur 173 secara khusus, yaitu dalam memeriksa perkara sengketa perkawinan. Dengan demikian, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama adalah hukum acara perdata pada umumnya dan hukum acara khusus yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama. Secara administrasi pengajuan perkara Tingkat Pertama di Pengadilan Agama ditempuh melalui beberapa proses, yaitu (1) proses pendaftaran, (2) proses pembayaran panjar perkara, (3) proses penyerahan kelengkapan berkas, (4) proses pemanggilan para pihak, (5) proses pemeriksaan perkara, (6) proses eksekusi, dan (7) proses hasil pemeriksaan. Proses pendaftaran perkara disampaikan kepada Pengadilan Agama melalui petugas kepaniteraan di Meja I.44 Meja I akan menerima gugatan, permohonan, perlawanan (verzet), 45 pernyataan banding, 46 kasasi, 47 44 Pengertian Meja di sini merupakan kelompok (unit) pelaksana teknis yang harus dilalui oleh suatu perkara di Pengadilan Agama, mulai dari penerimaan sampai perkara tersebut diselesaikan. 45 Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek (perkara yang diputus pengadilan tanpa kehadiran tergugat atau kuasa hukumnya) yang telah dijatuhkan Pengadilan Agama. Verzet diajukan oleh tergugat yang diputus verstek tersebut dalam waktu tertentu kepada Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut. 46 Banding (appel) adalah permohonan pemeriksaan kembali putusan atau penetapan Pengadilan Agama karena ada ketidakpuasan para pihak yang bersengketa. Banding diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama yang mewilayahi Pengadilan Agama yang bersangkutan. Banding diajukan melalui Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut dalam tenggang waktu tertentu, dengan syarat-syarat tertentu pula. 47 Kasasi artinya permohonan pembatalan putusan/penetapan Pengadilan Agama (PA) atau Pengadilan Tinggi Agama (PTA) yang diajukan kepada Mahkamah Agung. Kasasi diajukan melalui Pengadilan Agama yang dahulunya memutus perkara yang bersangkutan, karena adanya alasan tertentu. Diajukan dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula. 174 permohonan peninjauan kembali (PK), 48 eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi. Selanjutnya, proses pembayaran panjar perkara di bagian pemegang Kas, yang merupakan bagian dari Meja I. Setelah itu, perkara didaftar dan biaya panjarnya dibayar, pihak yang berperkara kemudian melengkapi berkas perkara sesuai ketentuan dan menyerahkannya kepada petugas di Meja II. Proses berikutnya, adalah pemanggilan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk menghadiri sidang sesuai dengan hari, tanggal, jam, dan tempat yang ditunjuk dalam Penetapan Hari Sidang (PHS). 2) Pemeriksaan Perkara Setelah proses di atas selesai, maka proses berikutnya adalah proses pemeriksaan perkara, dalam hal ini Jurusita atau Jurusita Pengganti atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama akan melakukan panggilan kepada pihak-pihak ke muka sidang menurut hari/tanggal/jam/ tempat yang telah ditentukan di dalam PHS tersebut. Pemeriksaan perkara ini dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama melalui beberapa tahapan sebagai berikut : 48 Peninjauan Kembali adalah upaya hukum yang dilakukan para pihak dan diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Agama yang dahulunya memutus, dengan alasan dan syarat tertentu, tetapi tidak terikat kepada waktu tertentu. 175 a) Tahap sidang pertama. 49 Tahap ini terdiri dari : (a) hakim membuka sidang, (b) hakim menanyakan identitas para pihak, (c) pembacaan surat gugatan atau permohonan oleh penggugat/pemohon, dan (d) anjuran untuk berdamai.50 Dalam pembacaan gugatan, penggugat bisa saja mencabut gugatannya atau mengubah gugatan dalam pemeriksaan perkara, sepanjang tidak mengubah atau menambah petitum (tuntutan pokok). Jika penggugat mempertahankan gugatannya, maka sidang dilanjutkan pada tahap berikutnya, yaitu jawaban tergugat.51 b) Tahap jawab-berjawab (replik-duplik). Setelah pembacaan gugatan/permohonan, kemudian upaya damai gagal, ketua majelis akan bertanya kepada tergugat atau termohon, apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis. Jika akan menjawab tertulis, maka ditanya kembali, apakah sudah siap. Jika belum siap, maka akan ditanya lagi kapan tergugat/termohon memiliki kesiapan. Sejak itulah, proses jawab- menjawab akan berlangsung, baik antara pihak dengan pihak, maupun 49 Hal-hal pokok yang sangat menentukan dalam sidang pertama adalah : (1) Jika tergugat atau termohon sudah dipanggil dengan patut, tetapi ia atau kuasanya tidak hadir pada sidang pertama, maka akan diputus verstek, (2) jika penggugat atau pemohon sudah dipanggil dengan patut, tetapi ia atau kuasanya tidak datang pada sidang pertama, maka akan diputus dengan menggugurkan perkaranya, (3) sanggahan atau eksepsi relatif hanya boleh diajukan pada sidang pertama. Jika diajukan setelah waktu itu, maka tidak akan diperhatikan lagi, dan (4) gugat balik (reconventie) hanya boleh diajukan pada sidang pertama. Lihat, Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 93 50 Anjuran damai pada tahap ini bersifat “mutlak” atau “wajib” dilakukan dan dicantumkan dalam Berita Acara Sidang (BAP). Lihat, Ujang Suyatman, Proses Penyelesaian Perkara di Pengadilan Agama, dalam Jaih Mubarok, ed., Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung : Bani Quraisy, 2004), h. 80 51 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) h. 99 176 antara hakim dengan para pihak.52 Jawaban tergugat dapat berupa : (1) pengakuan, yaitu membenarkan isi gugatan, sebagian atau keseluruhannya, (2) bantahan, yaitu penyangkalan terhadap pokok perkara. Adapun replik (jawaban penggugat atas jawaban tergugat), penggugat dapat menyampaikan dalil-dalil tambahan untuk menguatkan dalil-dalil dalam gugatan sebelumnya. Sedangkan duplik (jawaban kembali dari tergugat atas jawaban penggugat dalam repliknya) akan diberikan oleh hakim kepada tergugat untuk menguatkan jawaban tergugat sebelumnya sebagai jawaban penggugat dalam repliknya. c) Tahap pembuktian.53 Tahap ini dimulai setelah tidak ada lagi yang akan dikemukakan oleh para pihak, dan tidak ada lagi pertanyaan hakim. Setelah itu, hakim memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak berperkara. Pembuktian mempunyai peranan penting dalam pemeriksaan perkara di persidangan pengadilan. Dengan pembuktian ini, hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang menjadi sengketa di pengadilan. Dengan demikian, pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. 52 Ujang Suyatman, loc. c it. 53 Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alatalat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Lihat, Abdul Manan, op.cit., h. 227 177 Dalam hal pembuktian, perlu diuraikan tentang apa yang harus dibuktikan, siapa yang seharusnya dibebani pembuktian, dan hal-hal yang tidak perlu dibuktikan lagi dalam penyelesaian perkara. (1) Apa yang harus dibuktikan. Untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa tertentu, maka yang perlu dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang disampaikan oleh para pihak dalam hal sesuatu yang belum jelas atau yang menjadi sengketa. Peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak belum tentu semuanya penting bagi hakim untuk dijadikan dasar pertimbangan hukum putusannya. Oleh karena itu, hakim dalam persidangan harus menyaring mana hal-hal yang relevan bagi hukum dan mana yang tidak relevan, kemudian peristiwa atau kejadian yang relevan itulah yang harus dibuktikan oleh hakim dalam persidangan untuk dijadikan dasar putusannya. Di samping itu, hal-hal yang menyangkut hak harus pula dibuktikan hak-hak yang menjadi sengketa. Hal ini sejalan dengan pasal 1685 KUH Perdata, pasal 163 HIR dan pasal 283 R.Bg, bahwa barangsiapa yang mengaku mempunyai hak maka ia harus membuktikannya, dan sudah menjadi pendapat umum, dan yurisprudensi bahwa hal-hal yang menyangkut hak dapat pula dibuktikan di depan sidang pengadilan. Dalam praktek Peradilan Agama, hal-hal yang 178 menyangkut pembuktian dalam perkara voluntair 54 tetap dibebani pembuktian sebagaimana yang terdapat pada perkara kontentius, 55 seperti permohonan pengesahan (iṡbat) nikah, penetapan asal-usul anak, dan cerai talak. (2) Siapa yang dibebani beban pembuktian. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, maka yang harus membuktikan atau dibebani pembuktian adalah para pihak yakni pihak yang berkepentingan di dalam suatu perkara, khususnya Penggugat yang mengajukan dalil-dalil gugatannya, sedangkan Tergugat berkewajiban untuk membuktikan bantahannya. Penggugat tidak berkewajiban membuktikan kebenaran bantahan Tergugat, dan sebaliknya Tergugat tidak berkewajiban membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh Penggugat. Dalam hal beban pembuktian ini sejalan dengan pasal 163 HIR, 56 pasal 283 R.Bg, 57 dan pasal 1865 KUH Perdata yang mempunyai pengertian yang sama, yang pada prinsipnya bahwa barangsiapa yang mengaku mempunyai hak, maka ia harus membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang didalilkan itu. Dengan demikian, jika Penggugat tidak dapat 54 Voluntair adalah perkara permohonan 55 Kontentius adalah perkara gugatan 56 Pasal 163 HIR menyebutkan bahwa barangsiapa yang mengaku mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. 57 Pasal 283 R.Bg mengemukakan bahwa barangsiapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak orang lain, maka ia harus membuktikan hak atau keadaan itu. 179 membuktikan peristiwa yang diajukannya, maka ia harus dikalahkan, sedangkan Tergugat tidak dapat membuktikan kebenaran bantahannya, maka ia harus pula dikalahkan. (3) Peristiwa yang tidak perlu dibuktikan. Peristiwa yang dianggap tidak perlu diketahui oleh hakim atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, seperti dalam putusan verstek dengan tidak hadirnya Tergugat setelah dipanggil secara patut, maka segala peristiwa yang didalilkan oleh Penggugat dengan sendirinya dianggap benar. Demikian pula misalnya, jika Tergugat mengakui dalil gugat dari Penggugat, maka gugatan Penggugat itu tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam hal pembuktian, yang tidak kalah pentingnya adalah alat bukti. Alat bukti yang diakui oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg, dan Pasal 1866 KUH Perdata, sebagai berikut : (a). Alat bukti surat (tulisan), 58 (b) alat bukti 58 Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Ia dibedakan menjadi akta dan surat bukan akta. Akta dalam hal ini mempunyai dua jenis yaitu : (1). akta autentik, seperti akta cerai yang dibuat dan ditandatangani oleh Panitera Pengadilan Agama, akta nikah yang dibuat dan ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama. Kekuatannya sempurna dan mengikat. (2). Akta di bawah tangan. Kekuatannya sama dengan bukti autentik jika diakui oleh pihak lawan, tetapi bila disangkal, maka kekuatannya adalah sebagai bukti permulaan. Sedangkan surat bukan akta, seperti surat biasa/koresponden, catatan harian dan sebagainya. Kekuatannya tergantung pada penilaian hakim, setidak-tidaknya dapat dijadikan sebagai bukti permulaan. Lihat, Ibid., h. 240 - 247 180 saksi, 59 (c) alat bukti persangkaan (dugaan), 60 (d) alat bukti pengakuan,61 dan (d) alat bukti sumpah.62 d) Tahap konklusi. Pada tahap ini, sebelum majelis bermusyawarah, pihakpihak diperbolehkan mengajukan konklusi atau pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, menurut pihak yang bersangkutan. Sifat dari konklusi di sini adalah untuk membantu majelis mengambil kesimpulan. e) Musyawarah Majelis Hakim. Musyawarah majelis ini berlangsung tertutup dan bersifat rahasia. Ruangan sidang dikosongkan untuk umum kecuali panitera sidang bila diizinkan oleh majelis. Hasil musyawarah majelis ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera sidang. Ini adalah lampiran Acara Sidang yang kelak akan dituangkan ke dalam dictum keputusan. 59 Saksi adalah orang yang mengalami, mendengar, merasakan, dan melihat sendiri suatu peristiwa atau kejadian dalam perkara yang sedang dipersengketakan. Seorang saksi tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup kecuali bila disertai dengan alat bukti lainnya. Ibid., h. 249 60 Pasal 1915 KUH Perdata menjelaskan bahwa persangkaan-persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal kea rah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Petunjuk mempergunakan persangkaan disebutkan dalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 R.Bg, yaitu bahwa apabila hakim hendak menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang disidangkan, jika ia menganggap bahwa persangkaan-persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan ada persesuaian satu sama lain, maka persangkaan-persangkaan itu dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim. 61 Pengakuan, menurut MR. A. Pitlo sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, di mana ia mengakui apa-apa yang dikemukakan oleh pihak lawan. 62 Sumpah ada dua macam, yaitu : (1) sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disebut dengan sumpah promissoir, dan (2) sumpah untuk memberikan keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak, yang disebut dengan sumpah assertoir atau confirmatoir. Sumpah yang terakhir inilah sebagai suatu alat bukti karena fungsinya adalah untuk meneguhkan suatu peristiwa atau kejadian yang disengketakan. 181 f) Tahap Pengucapan Keputusan. Putusan hakim adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum guna menyelesaikan atau mengakhiri perkara antara para pihak. Pada tahap ini hakim merumuskan duduknya perkara dan pertimbangan hukum (pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai alasan-alasannya dan dasar-dasar hukumnya, yang diakhiri dengan putusan hakim. Bila selesai pengucapan keputusan, maka ketua majelis akan menanyakan kepada pihak-pihak, apakah menerima atau tidak, keputusan tersebut. Bagi pihak yang menyatakan menerima, maka tertutuplah baginya untuk melakukan upaya banding. Bagi pihak yang menyatakan tidak menerima atau pikir-pikir dulu, maka masih terbuka baginya untuk melakukan upaya hukum. Putusan hakim tersebut, selain mempunyai kekuatan yang mengikat kedua belah pihak, juga mempunyai kekuatan pembuktian. Kekuatan pembuktian dalam arti dapat dipergunakan untuk alat bukti jika dilakukan banding, kasasi atau pelaksanaannya. Dengan selesainya proses pemeriksaan dan pembacaan keputusan, maka langkah selanjutnya adalah proses pelaksanaan putusan (eksekusi) oleh Jurusita yang ditunjuk. Putusan hakim dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu : (1) secara sukarela, dan (2) secara paksa dengan menggunakan alat negara. 182 Berdasarkan UU No. 7/1989, Pengadilan Agama telah dapat melaksanakan sendiri segala putusan yang dijatuhkannya tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Diktum putusan yang dapat dieksekusi hanyalah yang bersifat condemnatoir. 63 Condemnatoir ini haruslah jelas dan rinci, seperti wujudnya, bentuknya, batas-batasnya, dan sebagainya. Untuk jaminan pelaksanaan putusan (eksekusi), penggugat biasanya mengajukan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) bersamaan dengan pengajuan gugatan atau disusulkan. Dalam hal putusan hakim tentang perceraian, jika telah berkekuatan hukum tetap, maka panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan itu mengeluarkan Akta Cerai sebagai bukti adanya perceraian (pasal 84 ayat (4) UU No. 7/1989. Dalam perkara cerai gugat, maka akta cerai didasarkan atas putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa perkawinan putus karena perceraian terhitung sejak putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 81 ayat (2) UU No. 7/1989). Selain itu, dalam waktu paling lambat 30 hari, panitera atau pejabat yang ditunjuk berkewajiban untuk mengirimkan salinan putusan/penetapan cerai tersebut yang telah berkekuatan hukum tetap kepada PPN/KUA Kecamatan di tempat tinggal 63 Condemnatoir artinya berwujud menghukum pihak untuk membayar sesuatu, menyerahkan sesuatu, atau melepaskan sesuatu dan sejenisnya. 183 suami dan isteri yang bersangkutan serta PPN/KUA Kecamatan yang dahulu mencatat perkawinan mereka, untuk diadakan pencatatan perkawinan itu. Proses terakhir yang dilalui oleh sebuah perkara tingkat pertama yang diajukan kepada Pengadilan Agama adalah proses hasil pemeriksaan perkara yang berada di meja III sebagai suatu satuan unit kerja. Meja III bertugas : menyerahkan salinan Putusan Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Agung kepada pihak yang berkepentingan, menyerahkan salinan Penetapan Pengadilan Agama kepada yang berkepentingan, menerima memori/kontra memori banding, memori/kontra memori kasasi, jawaban/tanggapan peninjauan kembali dan lain-lain, menyusun dan menjahit serta mempersiapkan berkas. Namun perlu ditambahkan, bahwa khusus dalam sengketa perkara perceraian, sebelum proses pemeriksaan perkara sampai pada putusan terakhir dari majelis hakim, hakim tetap terlebih dahulu berusaha untuk menawarkan perdamaian bagi para pihak yang berperkara. 64 Atau dapat dikatakan, bahwa selama proses perkara berlangsung di Pengadilan Agama, masih terbuka lebar kesempatan untuk mengupayakan perdamaian oleh pihak-pihak yang berperkara, dan perdamaian itu dilakukan di depan hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 130 HIR ayat (1), yang mengatakan 64 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 164 184 bahwa hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. Khusus upaya perdamaian dalam sengketa perceraian menurut penulis, memiliki arti penting. Selain mempunyai nilai luhur, juga berarti menyelamatkan keutuhan rumah tangga dan menyelamatkan pemeliharaan anak, bahkan menyelamatkan generasi bangsa dari kehancuran secara keseluruhan. Oleh karena itu, hakim dituntut berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai perdamaian tersebut, tidak hanya dilakukan sampai sebatas formalitas atau sepintas lalu saja. 65 Untuk itu, seorang hakim harus bisa menemukan hal-hal yang melatarbelakangi atau penyebab dari persengketaan yang terjadi. Dengan mengetahui penyebabnya, maka para hakim dengan mudah mengajak, membujuk, dan mengarahkan para pihak yang berselisih itu untuk berdamai dan rukun kembali seperti semula. Dalam upaya hakim melaksanakan perdamaian yang maksimal, hakim dapat meminta bantuan kepada pihak lain atau lembaga lain yang dianggap perlu, berdasarkan maksud pasal 31 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 beserta penjelasannya, yang mengemukakan bahwa 65 Kecuali karena alasan zina, cacat badan atau sakit jiwa yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajibannya. Dalam hal ini, perdamaian yang dilakukan hakim tidak dituntut secara optimal. Ia dilakukan hanya merupakan kewajiban moral, bukan kewajiban hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 82 ayat (4) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 9 1975 di mana dalam pasal-pasal tersebut hanya dicantumkan “dapat” yaitu usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Karena itu, setiap perkara perceraian atas alasan perselisihan dan percekcokan terus menerus, lalu oleh hakim belum mengadakan usaha perdamaian secara optimal, maka putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara tersebut, batal demi hukum dan atau dapat dibatalkan. Lihat, Abdul Manan, h. 164 165 185 selama perkara belum diputus, maka usaha perdamaian para pihak yang berperkara dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Berbeda dengan perdamaian dalam perkara perdata pada umumnya, yaitu jika perdamaian dicapai dalam perkara perdata, maka dibuatlah Akta Perdamaian (Acta van vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.66 Tetapi jika perdamaian dalam perkara perceraian dicapai, maka perkaranya dicabut dengan persetujuan kedua belah pihak, dan untuk itu hakim membuat “Penetapan” yang menyatakan bahwa perkara telah dicabut karena perdamaian. Apabila salah satu pihak menghendaki perceraian setelah perdamaian tersebut, maka satu-satunya jalan ialah mengajukan perkara baru dengan alasan yang lain atau alasan yang baru, yaitu selain alasan yang diajukan pada permohonan/gugatan cerai atau alasan lain yang telah diketahui pada saat perdamaian itu terjadi. Demikian mekanisme pemeriksaan perkara dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya di Pengadilan Agama. Setelah putusan hakim di pengadilan tingkat pertama ini, pihak yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut, masih terdapat langkah atau upaya hukum yang dapat 66 Akta perdamaian, kekuatan hukumnya sama dengan putusan hakim dan dapat dieksekusikan. Jika ada pihak yang melanggar isi perdamaian, maka pihak yang dirugikan dapat memohon eksekusi kepada Pengadilan Agama. Akta perdamaian hanya bisa dibuat dalam sengketa yang bersifat kebendaan saja yang memungkinkan untuk dieksekusi. Akta perdamaian dicatat dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan pada kolom putusan, tidak dapat dimintakan banding, kasasi ataupun peninjauan kembali, dan tidak dapat diajukan gugatan baru lagi. Lihat, Mukti Arto, h. 95 186 dilakukannya, seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK). Namun, karena penelitian ini berkaitan dengan perkara yang diajukan dan diproses pada Pengadilan Agama tingkat pertama, maka upaya hukum tersebut tidak diuraikan dan dijelaskan lebih lanjut. B. Hasil Penelitian tentang Faktor, bentuk, dan Solusi Nusyus 1. Faktor Penyebab Hasil penelitian menunjukkan ada berbagai faktor penyebab terjadinya nusyus pada keluarga muslim di Kabupaten Polewali Mandar. Faktor itu antara lain adalah masalah “akhlak” dari istri. tergambar dalam kutipan tentang Putusan hakim Hal tersebut Pengadilan Agama Polewali berikut ini : MR, umur 29 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan tenaga harian lepas Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar, bertempat tinggal di Kampung Tangnga, Kelurahan Matakali, Kecamatan Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut pemohon. melawan HF, umur 27 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SD, pekerjaan urusan rumah tangga, bertempat tinggal di Dusun LenaLena Rea Barat, Desa Patampanua, Kecamatan Matakali, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut termohon Kronologis Bahwa pemohon dan istri termohon, menikah pada hari Ahad tanggal 16 Maret 2003. Pemohon dengan termohon telah terikat dalam pernikahan selama 6 tahun. Pada awalnya dalam membina rumah tangga pemohon dengan termohon hidup rukun dan damai serta telah dikaruniai dua orang anak. Beberapa tahun kemudian rumah tangga pemohon dan termohon sering diwarnai perdebatan dan pertengkaran, penyebabnya adalah karena termohon sering keluar bersama dengan lelaki lain disaat pemohon ke kantor. (1a) 187 Pada kutipan 1a di atas, tergambar bahwa faktor penyebab nusyus istri adalah akhlak dari istri itu sendiri. Terlepas dari kekurangan dari suami yang tidak dijelaskan dalam putusan hakim, namun seharusnya istri yang mengerti tentang agama tidak akan melakukan tindakan yang tidak seharusnya ia lakukan, yaitu keluar rumah tanpa izin suami, bahkan pergi dengan lelaki lain yang bukan mahramnya. Tindakan istri yang selalu meninggalkan rumah menunjukkan bagaimana akhlak dari istri yang tidak setia dan berpeluang menimbulkan fitnah di masyarakat. Ketidaksetiaan ini dapat menjerumuskan seseorang pada tindakan asusila yang mengarah ke perzinaan. Faktor ketidakpuasan terhadap materi juga merupakan faktor penyebab nusyus istri terhadap suami. Hal ini terungkap dalam kasus 2a berikut ini : Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara cerai talak yang diajukan oleh : SS, umur 26 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SD, pekerjaan buruh bangunan, bertempat tinggal di Rea Timur (samping Sekolah SPP Rea Timur), Kelurahan Ammasangan, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut sebagai pemohon. Me1awan SJ, umur 25 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan ibu rumah tangga, dahulu bertempat tinggal di Rea Timur (samping Sekolah SPP Rea Timur), Kelurahan Ammasangan, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar, sekarang tidak 188 diketahui dengan jelas alamatnya di Wilayah Republik Indonesia, selanjutnya disebut sebagai termohon. Pada awalnya rumah tangga pemohon dengan termohon hidup rukun dan damai, namun kemudian sering diwarnai dengan perselisihan dan pertengkaran disebabkan karena termohon selalu tidak puas dengan penghasilan pemohon sebagai seorang buruh (2a). Kutipan di atas menunjukkan bahwa kehidupan rumah tangga pasangan suami istri ini yang pada awalnya berlangsung dengan baik yang kemudian berubah setelah si istri melakukan nusyus. Ketidakpuasan terhadap materi merupakan faktor yang menyebabkan masalah dalam keluarga. Istri tidak puas dengan penghasilan suami yang sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar. Faktor lain yang dapat menyebabkan istri nusyus adalah faktor kecemburuan dan kecurigaan yang berlebihan dari istri. Hal ini dapat dilihat pada kutipan 3a berikut ini : Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan atas perkara antara : HH, umur 29 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir D.2, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil ( guru SDN No. 2 Kampung Baru Majene), bertempat tinggal di Jl. Masjid Taqwa Nomor 115 Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut pemohon konvensi / tergugat rekonvensi ; Melawan FR, umur 31 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir S.1, pekerjaan tenaga harian lepas (guru honorer SD), bertempat tinggal di J1.Poros Majene, Dusun Pambusuang, Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Bone Polewali Mandar, selanjutnya disebut termohon konvensi / penggugat rekonvensi 189 TENTANG DUDUK PERKARANYA Pada awalnya rumah tangga pemohon dengan termohon hidup rukun dan damai dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki bernama MH, umur 1 tahun; Bahwa selama pemohon dengan termohon membina rumah tangga sering terjadi perselisihan dan percekcokan disebabkan termohon sering marah jika pemohon terlambat datang dari tempat tugas di Kabupaten Majene yang sangat jauh dari tempat kediaman bersama di Pambusuang ; Bahwa, di samping itu termohon sangat tidak mengerti tugas pemohon sebagai seorang pendidik sehingga pada bulan Januari 2009, pemohon lambat tiba di rumah, termohon marah dan meminta diceraikan saja dan mengatakan "tidak mau ikut lagi sama pemohon sebab termohon tidak mau berpisah dengan orang tua termohon " (3a) Kutipan di atas menunjukkan bahwa faktor cemburu dan kecurigaan yang berlebihan istri terhadap suami yang menjadi penyebab nusyusnya istri. Hasil analisis kasus menunjukkan bahwa kemarahan istri tersebut disebabkan karena istri curiga suami selingkuh yang didasarkan pada seringkali istri melihat tanda merah seperti bekas kecupan pada leher suami dan pakaian dalam (celana) suami basah yang dicurigai sebagai bekas air sperma pada saat suami pulang dari tempat kerjanya. Dugaan ini dikuatkan dengan seringkalinya suami terlambat dari kantor. Faktor suggesti tanpa sadar dari istri juga dapat menyebabkan suami menjadi nusyus. Hal ini dialami oleh AN, umur 34 tahun, pekerjaan PNS dan AW, 37 tahun pekerjaan pengusaha. Berita acara persidangan menyebutkan pasangan suami-istri ini selalu bertengkar setiap hari yang disebabkan karena keegoisan mereka berdua. Pada setiap pertengkaran, istri 190 selalu menyuruh suami untuk kawin lagi dengan perempuan lain. Kalimat tersebut selalu diucapkan pada saat istri marah di saat keadaan emosi intens suami yang juga tinggi, yang membuat kalimat tersebut menjadi suggesti tersendiri kepada suami untuk menikah lagi. Berikut ini adalah kutipan berita acara persidangan : Hakim: apakah betul saudara pada awalnya hidup rukun dan kemudian sering terjadi pertengkaran? Tergugat: ya , betul sering teradi pertengkaran penyebabnya bukan karena saya telah menikah dengan perempuan lain, melainkan antara penggugat dan tergugat saling mempertahankan egoisnya masingmasing dan penggugat kurang memberikan pelayanan terhadap tergugat sebagai suami Hakim: apakah tergugat betul telah menikah dengan perempuan lain? Tergugat: ya betul, saya telah menikah lagi, namun karena perintah penggugat yaitu disetiap terjadi pertengkaran penggugat mengatakan bahwa kamu kawin saja dengan perempuan lain. Hakim: apakah betul telah terjadi pisah tempat tinggal? Tergugat: ya betul, namun tidak betul bila sudah tidak ada komunikasai sebab tergugat sering dapat ke rumah penggugat, namun penggugat sengaja menghindar dan bahkan tergugat diusir. (4a) Selain faktor dari istri, faktor dari suami juga yang dapat menyebabkan terjadinya nusyus, baik dari isteri maupun nusyus suami. Kutipan 5a berikut ini menunjukkan bahwa terjadinya nusyus yang disebabkan oleh akhlak dari suami. Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan atas perkara yang diajukan oleh : HB; umur 31 agama Islam, pendidikan terkhir SMP, Pekerjaan urusan rumah tangga, bertempat tinggal di .11 A. Passinringan bertempat tinggal, di J1 A.Passinringi (dekat pekuburan), Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut penggugat. 191 Melawan DG; umur 37 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan tukang ojek, dahulu bertempat tinggal di Desa Tonyamang, Kecamatan Binuang, Kabupaten Polewali Mandar, sekarang tidak Pada awalnya rumah tangga penggugat dan tergugat hidup rukun dan damai,namun kemudian sering diwarnai dengan perselisihan dan pertengkaran disebabkan karena tabiat tergugat yang pemarah, pencemburu dan kalau sedang marah suka memukul penggugat pakai tangan. (5a) Kutipan di atas menunjukkan bahwa nusyus yang dilakukan oleh suami disebabkan oleh faktor akhlak dari suami yang buruk. Kebiasaan suami yang suka menyakiti istri secara verbal maupun fisik, menunjukkan gambaran dari akhlak dari seorang suami yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Akhlak buruk suami juga tercermin pada perilaku suami yang suka minum minuman keras, suka main judi dan suka keluar malam tanpa alasan yang jelas. Hal ini tergambar dalam kasus berikut ini : Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan atas perkara yang diajukan oleh : RA; umur 26 tahun, agama Islam, pekerjaan tenun, bertempat tinggal di Dusun Karama, Desa Karama, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut penggugat. Melawan TM; umur 24 tahun, agama Islam, pekerjaan nelayan, bertempat tinggal di Dusun Mojopahit, Desa Karama, Kecamatan Tinambung,Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut tergugat. TENTANG DUDUK PERKARANYA …penggugat dengan tergugat telah terikat dalam - ikatan perkawinan selama dua tahun empat bulan, dalam membina 192 rumah tangga hidup rukun, namun setelah bulan Juli 2008 sudah mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan tergugat peminum dan penjudi, uang yang didapat dan hasil nelayan habis dipakai main judi.(6a) Selain faktor akhlak suami, faktor lokasi juga dapat menjadi penyebab nusyusnya istri atau Suami. Kasus berikut menggambarkan hal tersebut. Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara cerai gugat yang diajukan oleh : AM; umur 26 tahun, agatna Islam, pendidikan terakhir SD, pekerjaan urusan rumah tangga, bertempat tinggal di Dusun Ambo Padang, Desa Ambo Padang, Kecamatan Tubbi Taramanu, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut penggugat. M e l aw a n JY; umur 36 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMP, pekerjaan tani, dahulu bertempat tinggal di di Dusun Ambo Padang, Desa Ambo Padang, Kecamatan Tubbi Taramanu, Kabupaten Polewali Mandar, sekarang tidak diketahui dengan jelas alamatnya yang jelas di Wilayah Republik Indonesia atau dimana saja berada, selanjutnya disebut tergugat. Kronologis …pada bulan Oktober tahun 2006, tergugat minta izin kepada penggugat untuk pergi mencari nafkah dirantau orang, namun sejak kepergian tergugat tersebut, tergugat tidak pemah mengirim berita dan tidak pernah pula mengirim nafkah kepada penggugat dan kedua anaknya, Bahwa penggugat sangat merasakan penderitaan lahir batin sebab tidak ada harta yang ditinggalkan tergugat untuk dijadikan nafkah, sehingga penggugat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Polewali agar ikatan pemikahannya dengan tergugat diputuskan dengan perceraian. (7a) Kasus di atas menunjukkan bahwa faktor berpisahnya tempat tinggal suami istri dapat menyebabkan munculnya masalah dalam keluarga. Kasus tersebut mengungkapkan bahwa pada saat suami istri masih bersama, mereka hidup dengan rukun, namun masalah kemudian muncul pada saat 193 suami berangkat ke tempat lain untuk tinggal dan bekerja yang jauh dari keluarganya. Si suami semenjak itu tidak mengirimi nafkah untuk keluarganya. Berpisahnya tempat tinggal suami dan istri tentu saja bisa menimbulkan banyak masalah. Masalah yang paling rentan adalah ikut campurnya pihak ke tiga yang mungkin memang diberikan peluang oleh suami atau istri. Akibatnya adalah perhatian dari salah satu pasangan akan menjadi berkurang atau malah tidak ada lagi. Selain faktor internal suami atau istri, nusyus yang terjadi pada suami atau istri juga dapat disebabkan oleh pihak luar. Kasus berikut ini mengungkapkan hal tersebut. Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara cerai gugat yang diajukan oleh : MS; umur 24 tahun, agama Islam, pekerjaan urusan rumah tangga. bertempat tinggal di Dusun Puppuring, Desa Puppuring, Kecamatan Alu. Kabupaten Polewali Mandar dalam hal ini diwakili oleh kuasanya TK, S.H, Advokat / penasehat hukum, beralamat di Jalan Kartini No. 14 Polewali, Kecamatan Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, berdasarkan surat kuasa khusus Nomor 19 /SK / VII 2009 tanggal 14 Juli 2009, selanjutnya disebut penggugat. Melawan NH; umur tahun, agama Islam, pekerjaan petani, bertempat tinggal di Salulisu Dusun Tanete Baha Desa Batu Patigi, Kecamatan Tobada 4, Kabupaten Mamuju, selanjutnya disebut tergugat Kronologis bahwa selama kurang lebih tiga tahun menjalani hidup sebagai suami isteri tergugat tidak mampu menjadi kepala rumah tangga yang senatiasa membiarkan kedua orang tua tergugat mencampuri urusan rumah tangga penggugat dan tergugat, sebagai istri yang baik 194 penggugat senantiasa mengingatkan kepada tergugat untuk mencari jalan keluar guna memecahkan masalah ini namun ternyata semua usaha penggugat sia-sia belaka sebab tergugat tidak memiliki sikap tegas dan cenderung mengikuti semua kehendak orang tuanya. Bahwa pada puncaknya, pada sekitar pertengahan bulan Januari 2009, tergugat dengan kasar dan tanpa berperasaan mengusir penggugat dari tempat kediaman bersama atas dukungan kedua orang tua tergugat dimana tergugat menyuruh membawa semua barang milik penggugat dan melarang. penggugat untuk kembali lagi kepada tergugat (8a) Kasus di atas menggambarkan bagaimana terjadinya nusyus istri pada suami. Sejak pasangan ini menikah, pihak istri merasa tidak mempunyai peran dalam mengatur rumah tangganya termasuk dalam hal keuangan yang disebabkan oleh intervensi dari mertua. Suami sebagai kepala rumah tangga tidak mampu berbuat apa-apa walaupun sudah diingatkan oleh istrinya. Independensi sikap suami terhadap kehidupan istrinya sangat dipengaruhi oleh orang tuanya. Sebagai kepala rumah tangga seharusnya suami mampu memberikan solusi terhadap masalah ini. Namun suami mengambil tindakan yang bisa saja dikategorikan sebagai nusyus suami terhadap istri. Selain faktor-faktor di atas, faktor cemburu juga dapat menjadi penyebab nusyus suami. Kasus berikut menggambarkan hal tersebut. Pengadilan Agama Polewali yang memeriksa dan mengadili perkara perdata agama pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara cerai gugat yang diajukan oleh : MT: umur 26 tahun, agama Islam, Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan Guru Honor TK.HS. Muhdar Riso, bertempat tinggal Dusun 1 Riso, 195 Desa Riso, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar, selanjutnya disebut penggugat. Melawan Udin bin Sahe, umur 26 tahun, Agama Islam, Pendidikan terakhir SMP, Pekerjaan Tani, bertempat tinggal di Dusun 2 Riso, Desa Riso, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar. TENTANG DUDUK PERKARANYA … penggugat dan tergugat telah terikat dalam ikatan pernikahan selama lima tahun sepuluh bulan, awalnya hidup rukun dan damai, kemudian rumah tangga penggugat dengan tergugat diwarnai perselisihan dan pertengkaran, karena tergugat sering curiga dan cemburu kepada penggugat ketika ke luar dari wilayah Riso untuk mengurus urusan sekolah Taman Kanak-kanak. (9a) Kasus di atas menunjukkan bahwa faktor cemburu dari suami dapat pula menjadi pemicu terjadinya tindakan nusyus suami atau istri. Kasus tersebut menyebutkan bahwa suami sering curiga dan cemburu kepada istrinya, bila istrinya keluar dari kampung mereka, Riso. Pada hal si istri telah bekerja di luar yang sewaktu-waktu keluar dari kampung tersebut. 2. Bentuk Nusyus Faktor-faktor penyebab di atas menimbulkan bermacam-macam bentuk nusyus yang dapat dilakukan oleh istri maupun suami. Bentukbentuk nusyus tersebut tergambar dalam kutipan-kutipan putusan hakim Pengadilan Agama Polewali berikut ini : Bahwa pemohon dan istri termohon, menikah pada hari Ahad tanggal 16 Maret 2003. Pemohon dengan termohon telah terikat dalam pernikahan selama 6 tahun , pada awalnya dalam membina rumah tangga pemohon dengan termohon hidup rukun dan damai serta telah dikaruniai dua orang anak beberapa kemudian rumah tangga pemohon dan termohon sering diwarnai perdebatan dan pertengkaran, penyebabnya adalah karena 196 termohon sering keluar bersama dengan lelaki lain disaat pemohon ke Kantor. (1b) Kutipan di atas menunjukkan bahwa istri telah melakukan nusyus dengan tidak mematuhi suami. Salah satu kewajiban istri adalah mematuhi suami dan tidak meninggalkan rumah pada saat tidak ada izin dari suami. Nusyus yang dilakukan oleh istri sudah melampaui batas, bahkan batasan agama yang dilanggar yaitu keluarnya istri dengan pria lain yang bukan mahramnya. Walaupun faktor penyebab secara spesifik berbeda, namun bentuk nusyus yang dilakukan oleh istri juga sama. Hal ini ditunjukkan pada kasus berikut ini : ..., termohon tanpa izin dari pemohon pergi meninggalkan rumah membawa anaknya dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. … (2b) Nusyus yang dilakukan oleh istri adalah ketidakpatuhan pada suami dengan meninggalkan rumah tanpa izin dengan membawa anak mereka. Bentuk nusyus yang dilakukan oleh istri adalah perlakuan tidak menyenangkan istri terhadap suami secara visual. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut: …disebabkan termohon sering marah jika pemohon terlambat datang dari tempat tugas di Kabupaten Majene yang sangat jauh dari tempat kediaman bersama di Pambusuang ; Bahwa, di samping dari pada itu termohon sangat tidak mengerti tugas pemohon sebagai seorang pendidik sehingga pada bulan Januari 2009 pemohon lambat tiba di rumah, termohon marah dan meminta diceraikan saja dan mengatakan "tidak mau ikut lagi sama pemohon sebab termohon tidak mau berpisah dengan orang tua termohon " (3b) 197 Perlakuan istri terhadap suami dalam bentuk seringnya istri marah pada suami dengan alasan yang tidak jelas dan mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan sudah menunjukkan bahwa istri sudah melakukan nusyus. Katakata yang tidak menyenangkan yang keluar dari mulut istri mungkin disebabkan oleh kondisi emosi istri yang tidak terkontrol pada saat marah. Nusyus tidak hanya selalu dilakukan oleh istri. Suami juga dapat melakukan nusyus yang dapat berujung pada perceraian. Nusyus yang dilakukan suami dapat berbentuk perlakuan kasar dan meninggalkan kewajiban memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri. Hal ini terungkap dalam kasus berikut ini: …sering diwarnai dengan perselisihan dan pertengkaran disebabkan karena tabiat tergugat yang pemarah, pencemburu dan kalau sedang marah suka memukul penggugat pakai tangan. Bahwa puncak perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dan tergugat terjadi tahun 2007 yang lalu, tergugat kembali marah mencekik penggugat karena curiga kalau penggugat selingkuh dengan laki-laki lain, padahal tuduhan itu tidak pernah terbukti. penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal selama 2 tahun lebih. dan sejak saat itu antara penggugat dan tergugat sudah tidak saling memperdulikan lagi. (4b) Kutipan di atas menunjukkan bahwa suami seringkali melakukan kekerasan verbal dan kekerasan fisik kepada istri dan bahkan tidak melakukan kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada istri selama lebih dari 2 tahun. Kekerasan verbal, kekerasan fisik dan tidak memberikan nafkah kepada istri merupakan bentuk nusyus yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Bentuk nusyus ini menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga yang berujung pada perceraian. 198 Bentuk nusyus suami terhadap istri yang lain adalah pengusiran suami terhadap istri. Hal tersebut diungkapkan oleh kasus berikut ini. …bahwa selama kurang lebih tiga tahun menjalani hidup sebagai suami istri tergugat tidak mampu menjadi kepala rumah tangga yang senatiasa membiarkan kedua orang tua tergugat mencampuri urusan rumah tangga penggugat dan tergugat, sebagai istri yang baik penggugat senantiasa mengingatkan kepada tergugat untuk mencari jalan keluar guna memecahkan masalah ini namun ternyata semua usaha penggugat sia-sia belaka sebab tergugat tidak memiliki sikap tegas dan cenderung mengikuti semua kehendak orang tuanya. Bahwa pada puncaknya, pada sekitar pertengahan bulan Januari 2009, tergugat dengan kasar dan tanpa berperasaan mengusir penggugat dari tempat kediaman bersama atas dukungan kedua orang tua tergugat dimana tergugat menyuruh membawa semua barang milik penggugat dan melarang. penggugat untuk kembali lagi kepada tergugat. (5b) Kasus di atas mengungkapkan perlakuan suami terhadap istri yang dapat dikategorikan sebagai nusyus. Suami mengusir istrinya dari rumah dan melarangnya kembali. Tentu saja hal ini menyakiti istri baik secara fisik maupun secara psikis. Pengusiran tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor campur tangan orang tua suami dalam kehidupan keluarga mereka. Pengusiran suami terhadap istrinya bisa saja bentuk dari ketaatan suami terhadap orang tuanya. Alasan ini didasarkan pada kenyataan yang diungkapkan dalam kasus di atas tentang bagaimana orang tua dari suami yang selalu mengatur kehidupan keluarga anaknya sampai pada pengaturan keuangannya. Perasaan tidak dihargai yang dimiliki oleh istri bisa saja menjadi pemicu percekcokan dalam rumah tangga yang berujung pada pengusiran terhadap istri. 199 Nusyus dalam bentuk pengusiran tidak hanya dilakukan oleh suami, tetapi juga dapat dilakukan oleh istri. Hal ini tergambar dalam kasus pada kutipan 6b, berikut ini adalah kutipannya: ......Hakim: apakah tergugat betul telah menikah dengan perempuan lain? Tergugat(suami): ya betul, saya telah menikah lagi, namun karena perintah penggugagt yaitu disetiap terjadi pertengkaran penggugat mengatakan bahwa kamu kawin saja dengan perempuan lain. Hakim: apakah betul telah terjadi pisah tempat tinggal? Tergugat(suami) : ya betul, namun tidak betul bila sudah tidak ada komunikasai sebab tergugat sering dapat ke rumah penggugat, namun penggugat sengaja menghindar dan bahkan tergugat diusir. (6b) Kutipan di atas menunjukkan bagaimana istri mengusir suami setelah mengetahui bahwa suaminya menikah lagi. Walaupun pengusiran ini dilakukan di rumah sang istri, tetapi tetap dianggap istri telah melakukan tindakan nusyus. Bentuk nusyus istri yang lain adalah merusak barang atau properti suami, seperti yang tergambar dalam pengakuan istri, selaku termohon sebagai berikut : …. karena bingung dan kalut malam itu termohon pulang ke rumah orang tua termohon dan membawa anak kami, sampai di rumah termohon tidak sanggup mengendalikan emosi dan menyileti beberapa pakaian pemohon… (7b) Pengakuan istri di atas kemudian dikuatkan dengan pengakuan saksi yang mengatakan …”bahwa mereka sering bertengkar dan ada pakaian pemohon yang telah dirobek dengan gunting oleh termohon”. 200 Kutipan di atas menggambarkan bahwa di saat emosi istri sedang intens, mengantarkannya untuk berbuat sesuatu yang berada di luar kewajaran dan kesadarannya, sehingga melakukan tindakan yang disebut dengan nusyus. Seluruh pemaparan di atas, menggambarkan bahwa terdapat berbagai kemungkinan terjadinya beberapa bentuk nusyus dalam satu faktor. Kemungkinan satu faktor menimbulkan satu bentuk nusyus, tapi pada saat yang sama kemungkinan satu faktor memunculkan dua, atau bahkan tiga bentuk nusyus yang lain. 3. Solusi yang ditempuh. Kutipan-kutipan putusan hakim Pengadilan Agama Polewali yang peneliti dapatkan, menunjukkan bahwa tidak ada solusi yang ditempuh oleh pasangan suami istri untuk kembali rujuk atau damai pada saat mereka mengajukan gugatan perceraian. Walaupun ada usaha yang dilakukan oleh pihak keluarga untuk mendamaikan pasangan yang bermasalah, tetapi semuanya gagal. Begitu pula, semua pasangan bercerai tersebut, sebelumnya tidak pernah menempuh cara-cara untuk mengantisipasi tindakan nusyus seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis, baik dari suami maupun dari istri. Berikut ini adalah salah satu kutipan putusan hakim Pengadilan Agama Polewali tentang langkah yang ditempuh oleh pasangan suami-istri untuk menyelesaikan masalah dalam keluarga. 201 … Puncak perselisihan dan pertengkaran pemohon dan termohon terjadi pada bulan Oktober 2008, sebab pemohon melarang termohon meninggalkan rumah disaat pemohon ke Kantor, tetapi termohon marah dan langsung pulang ke rumah orang tua termohon tanpa seizin pemohon. Sejak itu, pemohon dan termohon telah pisah tempat tinggal selama enam bulan lamanya dan sejak itu Pula ayah pemohon telah berusaha untuk merukunkan pemohon dan termohon, tetapi tidak berhasil. pemohon sudah tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangganya dengan termohon, sehingga pemohon mengajukan permohonan talak ke Pengadilan Agama Polewali, agar ikatan perkawinannya dengan termohon diputuskan dengan perceraian ( talak ). (1c) Pasangan suami istri seperti yang tergambarkan di atas menunjukkan pihak keluarga dari istri yang berusaha untuk memediasi pasangan suami istri untuk berdamai, namun usaha tersebut tidak berhasil. Analisis yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan oleh pihak mediasi dari Pengadilan Agama Polewali untuk mendamaikan pasangan suami istri belum maksimal. Seluruh Laporan Hasil Mediasi Pengadilan Agama Polewali Kabupaten Polewali Mandar yang didapatkan oleh Peneliti menunjukkan bahwa seluruh hasil mediasi gagal. Hal yang tidak terungkap dalam mediasi tersebut adalah bagimana langkah-langkah yang dilakukan oleh pihak mediasi Pengadilan Agama Polewali untuk memberikan solusi damai pada pasangan suami-istri yang bermasalah. Namun demikian, menurut beberapa hakim Pengadilan Agama Polewali menyatakan bahwa langkah pertama yang diambil oleh mediator adalah memanggil para pihak yang berperkara. Jika kedua belah pihak hadir, maka mediator menyampaikan agar mereka 202 yang berperkara bersedia untuk berdamai. Namun jika pihak tergugat tidak hadir, maka mediasi tidak dapat dilakukan. 67 C. Pembahasan Tentang Faktor, Bentuk dan Solusi Nusyus Hasil penelitian yang diperoleh di lapangan seperti yang diuraikan sebelumnya ditemukan beberapa faktor penyebab, bentuk, dan solusi nusyus yang ditempuh oleh keluarga muslim di Kabupaten Polman. 1. Faktor Penyebab Nusyus Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada berbagai faktor penyebab terjadinya nusyus pada keluarga muslim di Kabupaten Polewali Mandar. Faktor-faktor tersebut berasal dari suami maupun istri. a. Faktor Nusyus Istri 1) Faktor Akhlak68 Hasil penelitian menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab nusyus istri adalah faktor dari akhlak si istri itu sendiri. Dalam hal ini, istri sering meninggalkan rumah tanpa izin suami, istri pergi dengan lelaki lain yang bukan mahramnya, istri marah dan langsung pulang ke rumah orang tuanya tanpa izin (kasus 1a). Kasus yang sama dialami pasangan SB (lihat tabel nomor urut 1), bahkan istri dalam pasangan ini sering bermalam di luar 67 Wawancara di antaranya: Drs. Suryadi, SH,MH, Ketua Pengadilan Agama Polewali pada tanggal 5 April 2010 68 Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “akhlāk”. Bentuk plural dari kata “khuluq” artinya : tabiat, budi pekerti, kebiasaan, dan harga diri. Identik dengan kata moral yang berasal dari bahasa Latin, mores atau mos yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Lihat, A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 364. Lihat pula, Luwais al-Ma’lūf, al-Munjid, (Beirut: Dār al-Masyriq, t.th), h. 194. Lihat pula, Burhanuddin Salam, Etika Individual, Pola Dasar Filsafat Moral, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 2 203 tanpa izin suami. Lebih dari itu, istri telah menikah lagi dengan lelaki lain. Dalam perspektif hukum Islam, istri dalam kasus ini telah melakukan tindakan nusyus, yaitu melakukan pembangkangan kepada suami, bahkan telah melukai perasaan suami. Dalam perspektif undang-undang, istri telah melanggar UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 33 yang mewajibkan agar setiap pasangan saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin. Dalam ajaran Islam, betapapun kekurangan suami, namun seharusnya istri yang setia atau saleh tidak akan melakukan tindakan seperti yang terdapat pada kasus di atas, yaitu keluar rumah tanpa izin suami, bahkan pergi dengan lelaki lain yang bukan mahramnya. Sebagai istri yang baik (ṣāliḥah) hendaknya berusaha menunjukkan kesetiaan kepada suaminya. Kesetiaan yang dibangun di atas landasan cinta dan kasih sayang sebagaimana kesetiaan Khadijah dan ‘Aisyah kepada Rasulullah saw. Kesetiaan Khadijah kepada Rasulullah saw dijelaskan dalam sebuah hadis sebagai berikut : ْ َﻣﺎ َﺗذْ ُﻛ ُر ِﻣنْ َﻋ ُﺟ ْوزٍ ِﻣن: ُ َﻓﻘُـ ْﻠت. ُ َﻓ ِﻐـرْ ت: َﺗﻘُ ْو ُل أ ُ ﱡم ْاﻟ ُﻣ ْؤ ِﻣ ِﻧ ْﯾنَ َﻋﺎ ِﺋ َﺷـ ُﺔ .ك ﷲ ُ ﺧَ ْﯾرً ا ِﻣ ْﻧ َﮭﺎ َ َ َﻗـدْ أَ ْﺑ َدﻟ، ِ َھﻠَ َﻛتْ ِﻓﻰ اﻟ ﱠدھْ ـر، َﻋﺟَ ﺎ ِﺋزِ ﻗُرَ ْﯾشٍ ُﺣ َﻣرَ ا َء اﻟ ﱠﺷ َد َﻗ ْﯾـ ِن ََﻓرَ ﱠد َﻋﻠَ ْﯾ َﮭﺎ اﻟ ﱠﻧ ِﺑﻲﱡ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم َو ُھ َو اﻟزﱠ ْو ُج ا ْﻟ َو ِﻓﻲﱡ اﻟﱠ ِذىْ َﻻ َﯾ ْﻧ َﺳﻰ َﻣﺣَ ﺎﺳِ ن ْ َﻗـدْ آ َﻣ َﻧتْ ِﺑﻰ إِذ، َﻣﺎ أَ ْﺑدﻟَ ِﻧﻰ ﷲ ُ َﻋزﱠ َوﺟَ ﱠل ﺧَ ْﯾرً ا ِﻣ ْﻧ َﮭﺎ: ﺧَ ِد ْﯾﺟَ ـ َﺔ َو َﺳﺎ َﺑقَ َﻓﺿْ ﻠ ُ َﮭﺎ 204 ، ُ َو َوا َﺳ ْﺗ ِﻧﻰْ ِﺑ َﻣﺎﻟِ َﮭﺎ إِذْ ﺣَ رَ َﻣ ِﻧﻰ اﻟ ﱠﻧﺎس، ُﺻ ﱠد َﻗ ْﺗ ِﻧﻰ إِذْ َﻛ ﱠذ َﺑ ِﻧﻰ اﻟ ﱠﻧﺎس َ َو، َُﻛ َﻔرَ ِﺑﻰ اﻟ ﱠﻧﺎس 69 أﺧرﺟـﮫ اﻟﺑﺧﺎرى وﻣﺳﻠم .َورَ زَ َﻗ ِﻧﻰ ﷲ ُ َﻋزﱠ َوﺟَ ﱠل َو َﻟ َد َھﺎ إِذْ ﺣَ رَ َﻣ ِﻧﻰ أَ ْو َﻻ ُد اﻟ ﱢﻧ َﺳﺎ ِء Artinya : ‘Aisyah, ummul mukminin berkata : saya cemburu, lalu saya berkata, apa yang engkau ingat (Nabi) dari nenek Quraisy yang sudah kemerah-merahan pipinya, telah sirna oleh masa (Khadijah), Allah telah menggantikannya dengan yang lebih daripadanya. Nabi, sebagai suami yang setia, yang tidak pernah melupakan kebaikan dan keutamaan Khadijah menjawab : Allah tidak menggantikannya dengan yang lebih baik daripadanya. Ia (Khadijah) telah beriman kepadaku ketika manusia mengkafirkanku, membenarkan ketika manusia mendustakanku, menyantuni aku dengan hartanya ketika manusia enggan memberikan hartanya kepadaku, dan Allah memberikan aku anak melalui Khadijah ketika wanita lain tidak memberikanku anak. (ditakhrij oleh Bukhari dan Muslim). Hadis di atas menjelaskan bahwa kesetiaan Khadijah kepada Rasulullah saw ditunjukkan dalam tiga hal yaitu : (1) beriman kepada Nabi di saat semua orang menolak seruannya; (2) membenarkan Nabi di saat orang mendustakannya: (3) mengorbankan hartanya di saat orang tidak memperdulikannya. Sementara kesetiaan ‘Aisyah kepada Rasulullah saw digambarkan sebagai berikut : َو ِﻓﻰ رِ َوا َﯾ ٍﺔ أَنﱠ َﻋﺎ ِﺋ َﺷـ َﺔ أَدْ رَ َﻛتْ َو َﻓﺎ َء اﻟ ﱠﻧ ِﺑﻲﱢ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم َو َﻣﺣَ ﱠﺑ َﺗـ ُﮫ أﺧرﺟـﮫ . ٍك ِﺑﺎ ْﻟﺣَ ـقﱢ َﻻ أَذْ ُﻛ ُر َھﺎ َﺑﻌْ ـ َد َھ َذا إِﻻﱠ ِﺑﺧَ ـ ْﯾر َ َواﻟﱠ ِذى َﺑﻌَ َﺛ: ْﻟِزَ ْو ِﺟـ ِﮫ اﻟرﱠ ا ِﺣﻠَ ِﺔ َﻓ َﻘﺎﻟَت 70 69 .أﺣﻣـد واﻟطﺑراﻧﻰ Munqiż Mahmūd al-Saffār, al-Dīn al-Mu’āmalah, Shafahāt min Hadyi al-Uswat alḥasanah sallallahu alaihi wa sallam, (t.t. Rābitah, 2009), h. 126 70 Munqiż Mahmūd al-Saffār, al-Dīn al-Mu’āmalah, Shafahāt min Hadyi al-Uswat alḥasanah sallallahu alaihi wa sallam, h. 126 205 Artinya : Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika ‘Āisyah mengetahui kesetiaan dan kecintaan Nabi kepada istrinya yang sudah tiada, “Khadijah”, ‘Aisyah berkata : Demi Allah yang mengutus engkau (Muhammad) dengan benar, saya tidak akan menyebutnya sesudah ini, kecuali kebaikan Khadijah. (ditakhrij oleh Ahmad dan Tabrani). Hadis yang disebutkan di atas melukiskan kesetiaan ‘Āisyah kepada Rasulullah saw yaitu tidak menyebut dan menceriterakan kecuali kebaikan orang yang dicintai oleh suaminya, yaitu Khadijah, meskipun sebagai manusia biasa tersimpan kecemburuan yang tinggi dalam lubuk hatinya. Dalam riwayat ini pula diketahui bahwa sikap atau tindakan ‘Āisyah tersebut dilakukan dalam rangka untuk menyenangkan hati kekasih yang dicintainya, yakni Rasulullah saw. Di samping itu, istri juga berkewajiban untuk melayani kebutuhan seksual suami, mendampingi dan mengatur rumah tangga suaminya. Berkaitan dengan hal ini, para ulama sepakat bahwa tugas-tugas pelayanan dan pengaturan rumah tangga merupakan tugas/kewajiban utama seorang istri. Oleh karena itu, meninggalkan rumah tanpa izin suami seperti dalam kasus di atas, dapat dipastikan bahwa kewajiban utama tersebut akan terabaikan. Dari sini, Syaikh al-Ghazali, pembela hak-hak perempuan dari kalangan ulama Mesir kontemporer, sebagaimana ditulis oleh Husein Muhammad menyatakan : “Betapapun juga, prinsip dasar yang harus kita ikuti atau kita upayakan agar selalu dekat padanya ialah “rumah”. Saya benar-benar merasa gelisah pada kebiasaan para ibu rumah tangga yang meninggalkan 206 (membiarkan) anak-anaknya tinggal dan diasuh oleh para pembantu atau diserahkan pada tempat penitipan anak. Nafas seorang ibu memiliki pengaruh yang luar biasa dalam menumbuhkan dan memelihara perilaku kebajikan dalam diri anak-anaknya.”71 Sejalan dengan pendapat al-Gazali di atas, dalam QS al-Ahzāb/33: 33 - 34 disebutkan : َﺼﻠَﻮةَ َو َءاﺗِ ْﯿﻦ َوﻗَﺮْ نَ ﻓِﻰ ﺑُﯿُﻮْ ﺗِ ُﻜﻦﱠ َوﻻَﺗَﺒَ ﱠﺮﺟْ ﻦَ ﺗَﺒَﺮﱡ َج ا ْﻟ َﺠ ِﮭﻠِﯿﱠ ِﺔ ْاﻷُوْ ﻟَﻰ َوأَﻗِ ْﻤﻦَ اﻟ ﱠ ﺖ ِ اﻟ ﱠﺰ َﻛﻮةَ َوأَ ِط ْﻌﻦَ ﷲَ َورَ ُﺳـﻮْ ﻟَﮫُ إِﻧﱠ َﻤﺎ ﯾُ ِﺮ ْﯾ ُﺪ ﷲُ ﻟِﯿُ ْﺬ ِھﺐَ َﻋ ْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱢﺮﺟْ ﺲَ أَ ْھ َﻞ ا ْﻟﺒَ ْﯿ َﺖ ﷲِ َوا ْﻟ ِﺤ ْﻜ َﻤـ ِﺔ إِنﱠ ﷲَ َﻛﺎن ِ َوا ْذ ُﻛﺮْ نَ َﻣﺎ ﯾُ ْﺘﻠَﻰ ﻓِﻰ ﺑُﯿُﻮْ ﺗِ ُﻜﻦﱠ ِﻣﻦْ َءاﯾَـ.ﻄ ِﮭ ْﯿ ًﺮا ْ ََوﯾُﻄَﮭﱢﺮَ ُﻛ ْﻢ ﺗ (34 -33) .ﻟَ ِﻄ ْﯿﻔًﺎ ﺧَ ﺒِ ْﯿـ ًﺮا Artinya: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’tilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.72 Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa istri ṣāliḥah sebagaimana istri-istri Rasulullah saw adalah istri yang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama dengan anak-anaknya. Sebagai madrasah dan universitas terbesar, mereka membimbing, mendidik, dan membesarkan anak-anaknya sehingga anak-anak tersebut tumbuh menjadi anak-anak yang saleh, dewasa dan berguna bagi agama dan masyarakatnya. 71 Meski hal ini Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 169 72 Tim Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 672 207 tidak berarti bahwa istri tidak boleh keluar sama sekali dari rumahnya dalam rangka ibadah, tugas luar dan tugas-tugas kemasyarakatan lainnya.73 Sejalan dengan QS al-Ahzāb/33: 33 dan 34 tersebut, Rasulullah saw bersabda : ﻓَﺈ ِ َذا، ٌ إِنﱠ ا ْﻟ َﻤﺮْ أَةَ َﻋـﻮْ َرة:ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨـﮫُ ﻗَﺎ َل ِ َﻋـﻦْ َﻋﺒـْ ِﺪ ﷲِ ْﺑ ِﻦ َﻣ ْﺴـ ُﻌـﻮْ ٍد َر َو ِھ َﻲ، َرﺣْ َﻤـ ِﺔ – َرﺑﱢﮭَﺎ- َوأَ ْﻗ َﺮبُ َﻣﺎ ﺗَ ُﻜﻮْ نُ ﺑِ َﺮوْ ﺣـ َ ِﺔ، َُﺧ َﺮ َﺟـﺖْ إِ ْﺳﺘَـ ْﺸ َﺮﻓَﮭَـﺎ اﻟ ﱠﺸ ْﯿﻄَﺎن . أﺧﺮﺟﮫ اﻟﺘﺮﻣﺬي واﻟﺒﺰار.ﺑَ ْﯿﺘِﮭَـﺎ ﻓِﻰ ﻗَ ْﻌـ ِﺮ Artinya : Dari Abdullah ibn Mas’ud ra, dari Nabi saw bersabda : “sesungguhnya wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar dari rumahnya, maka ia diintai oleh setan. Wanita itu lebih dekat kepada naungan Rahmat Tuhannya, di saat ia berada di dalam rumahnya yang terdalam. (ditakhrij oleh alTirmiziy dan al-Bazzār). Pada hadis lain, Rasulullah saw bersabda : ُ ﺻﻼَة َ :ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل َ ص َﻋﻦْ َﻋ ْﺒـ ِﺪ ﷲِ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠﺒ ﱢﻲ ِ َﻋﻦْ أَﺑِﻰ ْاﻷَﺣْ َﻮ . رواه أﺑﻮ داود... ﺻﻼَﺗِﮭَﺎ ﻓِﻰ ﺑَ ْﯿﺘِﮭَﺎ َ ْﻀ ُﻞ ِﻣﻦ َ ا ْﻟ َﻤﺮْ أَ ِة ﻓِﻰ َﻣﺨْ َﺪ ِﻋﮭَﺎ أَ ْﻓ Artinya : Dari Abu al-Ahwas dari Abdullah dari Nabi saw bersabda : salatnya wanita di dalam biliknya lebih baik baginya dari pada di rumahnya…. (riwayat Abū Dāwud). Wahbah al-Zuhailiy mengomentari ayat dan hadis tersebut dengan mengatakan bahwa wanita diperbolehkan pergi ke mesjid, kecuali wanita yang masih muda. 74 Meskipun demikian, kebolehan wanita keluar dari dalam rumahnya, hendaknya memakai pakaian yang sopan. Yaitu, memakai 73 Sejarah kehidupan wanita di zaman Nabi membuktikan bahwa mereka bekerja diberbagai sektor kehidupan, di antaranya bekerja sebagai babby sister (menyesui dan memelihara bayi orang lain), berdagang, memelihara ternak, bertani, home industri, juru rawat, guru, pembantu rumah tangga, dan sebagainya. Lihat, Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 170 74 Lihat, Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsīr……(Juz 22, Beirut: Dār al-Fikr, 1991), h. 10 208 pakaian yang tidak menampakkan dada dan leher, sehingga tidak tampak leher, anting-anting, dan kalungnya, dalam istilah al-Qur’an “tidak bertabarruj”. Lebih jauh QS al-Aḥzāb/33: 33 dan 34 tersebut menyebutkan bahwa istri ṣāliḥah itu, selain lebih banyak tinggal di rumah, juga lemah lembut dalam bertutur kata, banyak melakukan kebajikan, seperti salat dan memberi zakat, serta banyak memberikan pendidikan dan pengajaran tentang alQur’an dan sunnah Rasulullah saw di dalam rumahnya. Jika setiap rumah tangga muslim mengamalkan QS al-Ahzāb/33: 33 dan 34 tersebut, diharapkan dapat terbentuk anak-anak dan generasi muda yang berakhlak mulia, sebagaimana para salaf al- ṣāliḥ. Seorang istri seharusnya menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia dan menjauhi segala sifat yang tercela. Jika istri memiliki akhlak yang buruk seperti sering keluar rumah tanpa izin suami dan tuntutan nafkah yang berlebihan, maka suami akan semakin mudah terpancing emosinya sehingga pertikaian tak terelakkan, dan bahkan mengantarkan kepada jurang perceraian. Namun, sebaliknya jika istri berakhlak mulia, sopan dan hormat kepada suaminya, maka lambat atau cepat tentu sang suami akan berubah dan sayang kepadanya seandainya benar sang suami sebelumnya tidak lagi memperdulikannya. 209 Di antara akhlak terpuji yang seharusnya menjadi kepribadian seorang istri yang ṣāliḥah, terutama dalam rangka menghindari pertengkaran dan perceraian adalah sifat bijaksana dan sabar.75 Rasulullah saw bersabda : ﺻﻠ ﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻟِ ْﻸَ َﺷ ﱢﺞ َ ِ ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮْ ُل ﷲ: ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨـﮫ ُ ﻗَﺎ َل ِ َﻋﻦْ ُﻣ َﻌﺎ ٍذ َر رواه.76ُ اﻷَﻧَﺎة ْ َو ا ْﻟ ِﺤ ْﻠ ُﻢ: ُﻚ ﻟَ َﺨﺼْ ﻠَﺘَ ْﯿـ ِﻦ ﯾُ ِﺤﺒﱡﮭُ َﻤﺎ ﷲُ َو َر ُﺳﻮْ ﻟ ُـﮫ َ أَنﱠ ﻓِ ْﯿ: .ﺲ ِ – أَ َﺷ ﱢﺞ َﻋ ْﺒـ ِﺪ ا ْﻟﻘَ ْﯿ .ﻣﺴـﻠﻢ Artinya : Dari Mu’āż ra. ia berkata : Rasulullah saw berkata kepada al-Asyajj ‘Abd al-Qais : Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni sifat bijaksana dan sabar. (riwayat Muslim) Bagaimanapun harus diakui bahwa memiliki sifat bijaksana dan sabar, terutama jika menghadapi suami yang mempunyai karakter emosional dan diktator, ditambah dengan berkurangnya cinta sang suami, maka bisa jadi perkataan dan perbuatan terbaik sang istri, justru keliru dalam pandangan suami. Akan tetapi, seandainya pihak istri mampu bersabar menghadapi suami yang demikian itu, maka kemungkinan besarnya tidak akan terjadi pertengkaran dan perceraian. Bahkan bisa jadi, suatu saat suami akan menyadari kesalahan dan kekhilafannya, lalu meminta maaf dan tidak 75 Sabar menurut Ẓunnun al-Misry, ialah “menjauhi larangan, tenang ketika menenggak musibah, dan menampakkan dirinya orang yang cukup meski ia bukan orang berada.” Lihat, Ahmad Hadi Yasin, Dahsyatnya Sabar, (Jakarta: QultumMedia, 2010), h. 11 76 Al-anāt, adalah taṡabbut wa tarku ‘ajalah. artinya : sabar dan tidak tergesa-gesa. Lihat, Muhammad Yūsuf al-Kandahlāwi, al-Aḥādīṡ al-Muntakhabah, (New Delhi: Jami’ Nagar, 2003), h. 244 210 akan mengulangi lagi perbuatannya untuk selama-lamanya.77 Selain itu, istri muslimah yang ṣāliḥah dan sabar, akan mendapatkan pahala yang sangat besar dari sisi Allah. Bahkan dengan kesabarannya, bisa jadi sang suami akan meridhainya, dan dengan itu kelak ia akan dimasukkan ke dalam syurga. Rasulullah bersabda : ُ َﺳ ِﻤ ْﻌـﺖ: َﺳ ِﻤ ْﻌـﺖُ أ ُ ﱠم َﺳﻠَ َﻤﺔ ﺗَﻘُﻮْ ُل: ْ ﻗَﺎﻟَﺖ، َﻋﻦْ أ ُ ﱢﻣـ ِﮫ، ي َﻋﻦْ ُﻣ َﺴﺎ ِو ٍر ا ْﻟ ِﺤ ْﻤﯿَ ِﺮ ﱢ ض ٍ أَﯾﱡ َﻤﺎ ا ْﻣ َﺮأَ ٍة َﻣﺎﺗَﺖْ َو َزوْ ُﺟﮭَـﺎ َﻋ ْﻨﮭَﺎ َرا: ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﯾَﻘُﻮْ ُل َ َِر ُﺳﻮْ َل ﷲ رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟـﮫ.َﺠﻨﱠـﺔ َ ﺖ ا ْﻟ ِ َد َﺧﻠَـ Artinya : Dari Musāwir al-ḥimyāriy, dari ibunya, ia berkata : saya mendengar Ummu Salamah berkata : Saya mendengar Rasulullah saw bersabda : perempuan mana saja yang meninggal sedang suaminya rida padanya, maka ia pasti dimasukkan ke dalam syurga. (riwayat Ibn Mājah) 2) Faktor Kecemburuan Istri. 77 Beberapa tahun yang lalu di Bulukumba, penulis bertemu seorang mantan preman yang bernama Anwar yang selalu menyiksa isterinya dengan pukulan dan makian hampir setiap malam setelah pulang menenggak minuman keras. Namun, berkat ketabahan dan kesabaran, dan tentu saja doa sang istri, setelah bertahun-tahun tiba-tiba sang suami berubah seratus delapan puluh derajat. Suatu hari suami datang minta maaf sambil menangis, berlutut di hadapan isterinya meminta agar ia memaafkan semua kesalahan yang pernah dibuatnya. Selanjutnya, menjadi suami yang penyayang kepada istrinya, terbukti suami rela mencuci piring dan bahkan mencucikan pakaian istrinya. Itulah bukti kekuasaan Allah, mampu mengubah hati yang keras menjadi lembut, sebagaimana Allah merubah hati Fir’aun melihat bayi Musa, padahal ia amat bengis dan kejam terhadap setiap bayi yang dilahirkan dikala itu. Sebagaimana firman Allah : وأﻟﻘﯿﺖ ﻋﻠﯿﻚ ﻣﺤﺒـﺔ ﻣﻨﻰ وﻟﺘﺼﻨـﻊ ﻋﻠﻰ ﻋﯿﻨﻰArtinya: ....”Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS Ṭāhā/20: 39). 211 Kecemburuan 78 dan kecurigaan berlebihan atau cemburu buta dari istri merupakan bagian dari akhlak buruk yang berkaitan dengan kondisi emosional seseorang. Dalam hal ini, dapat pula menimbulkan kebencian yang mengakibatkan terjadinya tindakan nusyus istri. Meski kecemburuan itu sifatnya adalah reaksi dari aksi sang suami seperti pada kasus 3a di atas, yang diakui dalam konvensi dan rekonvesi pada kasus ini yaitu “sering pulang terlambat, celana dalam yang basah, nampak seperti bekas sperma, dan benjolan yang berbekas seperti bekas kecupan bibir di leher atau pipi suami”, dalam hal ini suami telah “i’rād” (berpaling) atau telah nampak tanda-tanda nusyus sang suami- namun bila istri itu seorang yang berakhlak tentu tidak akan menghadapinya dengan cara-cara reaktif dalam bentuk marah yang berlebihan, melukai hati suami, dan bahkan pergi meninggalkan rumah. Kecemburuan yang timbul dalam kasus ini, nampak telah mengaburkan pandangan istri kepada suaminya sedemikian rupa, mendorong timbulnya sikap kekerasan salah satu pihak. Dalam hal ini, istri sering marah, bahkan menghancurkan pakaian suami dengan silet. Lebih dari itu, istri sering meninggalkan rumah tanpa izin suami. Dalam hal ini, istri telah melakukan tindakan nusyus, yaitu melakukan tindakan yang tidak “ma’ruf” atau tidak menyenangkan suami. Sementara dalam perspektif undang-undang, istri telah melanggar UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 33 yang 78 Cemburu atau kecemburuan adalah perasaan benci apabila ada orang lain yang ikut “memiliki” orang yang telah menjadi haknya. Lihat, Ummu ‘Abdullah al-Wādi’iyyah, Nasīhatī li al-Nisa’, (t.t., Dār al-Haramain, 2000), h. 155 212 mewajibkan agar setiap pasangan saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin. Tidak sedikit rumah tangga yang karam di tengah gelombang kehidupan rumah tangga akibat kecemburuan berlebihan, kecurigaan dan prasangka buruk. Kecemburuan sifatnya adalah manusiawi, cemburu merupakan bukti cinta dan kasih sayang atau buah dari cinta, dan karenanya tidak ada cemburu kalau tidak ada cinta. Namun bila kecemburuan itu berlebihan, apalagi tanpa dasar yang jelas, maka bahtera rumah tangga berada diambang pintu kehancuran. Cemburu ada yang bersifat mahmūdah (terpuji) dan ada yang bersifat mażmūdah (tercela). Cemburu yang positif yaitu Lā tatajāwaz alsyar’ (yang sesuai dengan hukum-hukum agama). Sedang cemburu yang negatif yaitu “tatajāwaz al-syar’” (yang tidak sesuai dengan hukum-hukum agama). Sebagai contoh cemburu yang bersifat negatif yaitu hadis sebagai berikut : ﺿ َﻊ ﻧَ ْﻌﻠَ ْﯿ ِﮫ َ ﻟَ ﱠﻤﺎ َﻛﺎﻧَﺖْ ﻟَ ْﯿﻠَﺘِﻰْ اﻟﱠﺘِﻰ ھُ َﻮ ِﻋ ْﻨـ ِﺪى اِ ْﻧﻘَﻠَﺐَ ﻓَ َﻮ: َْﻋﻦْ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖ ُِﻋ ْﻨـ َﺪ ِرﺟْ ﻠَ ْﯿ ِﮫ وَ ﺑَ َﺴﻂَ طَﺮْ فَ إِ َزا ِر ِه َﻋﻠَﻰ ﻓِ َﺮا ِﺷ ِﮫ ﻓَﻠَ ْﻢ ﯾَ ْﻠﺒَﺚْ إِ ﱠﻻ رَ ْﯾﺜَ َﻤﺎ ظَﻦﱠ أَﻧﱢﻰ ﻗَـ ْﺪ َرﻗَ ْﺪت ُﺛُ ﱠﻢ إِ ْﻧﺘَ َﻌ َﻞ ُر َو ْﯾـ ًﺪا َوأَ َﺧـ َﺬ ِر َدا َءهُ ُر َو ْﯾـ ًﺪا ﺛُ ﱠﻢ ﻓَﺘَ َﺢ ا ْﻟﺒَﺎبَ ُروَ ْﯾـ ًﺪا وَ َﺧ َﺮ َج ُروَ ﯾـْ ًﺪا ﺟَ َﻌ ْﻠﺖ َدرْ ِﻋﻰ ﻓِﻰ َر ْأ ِﺳﻰْ َواﺧْ ﺘَ َﻤﺮْ تُ َوﺗَـﻘَـﻨﱠ ْﻌـﺖُ إِ َزا ِرىْ َوا ْﻧﻄَﻠَ ْﻘـﺖُ ﻓِﻰ إِ ْﺛ ِﺮ ِه َﺣﺘﱠﻰ َﺟﺎ َء ا ْﻟﺒَﻘِﯿـْ َﻊ 213 ُ ﺖ ﻓَﺄ َ ْﺳ َﺮ ْﻋـﺖُ َو َد َﺧ ْﻠﺖُ ا ْﻟﺒَ ْﯿـﺖَ ﻗَ ْﺒﻠَﮫ ِ ت ﻓَﺄ َطَﺎ َل ﺛُ ﱠﻢ رَ َﺟـ َﻊ إِﻟَﻰ ا ْﻟﺒَ ْﯿـ ٍ ﻓَ َﺮﻓَـ َﻊ ﯾَـ َﺪ ْﯾ ِﮫ ﺛَ َﻼثَ َﻣ ﱠﺮا ُﺖ أَنْ ﯾَ ِﺤ ْﯿـﻒَ ﷲ ِ ﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ُﻣ َﻌﺎﺗِﺒـ ًﺎ أَظَﻨَ ْﻨـ َوﺗَﺼَ ﻨـ ﱠ ْﻌﺖُ اﻟﻨﱠﻮْ َم ﻓَﻘَﺎ َل ﻟَﮭَﺎ اﻟﻨﱠﺒِ ﱠ . رواه أﺣﻤـﺪ.ُﻚ وَ َر ُﺳـﻮْ ﻟُﮫ ِ َﻋﻠَ ْﯿ Artinya: Dari ‘Aisyah ra. berkata : ketika malam itu bagian gilaranku, nabi datang dan meletakkan kedua sandal disisi kakinya, lalu membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidurnya. Tidak berapa lama ia menyangka aku telah tertidur, kemudian ia (nabi) memakai sandal pelan-pelan, mengambil pakaiannya pelan-pelan, membuka pintu pelan-pelan, dan keluar pelan-pelan. Saya pun mengambil mantel dan meletakkan di kepalaku untuk menutupinya, sambil menutupi mukaku dengan sarungku. Saya berjalan di belakangnya hingga tiba di Baqi’. Kemudian Nabi mengangkat tangannya berdoa tiga kali dengan panjang, lalu pulang ke rumah. Saya pun bergegas pulang dan masuk rumah terlebih dahulu, lalu pura-pura tidur. Nabi pun berkata kepadanya dengan nada celaan, apakah Allah dan rasul-Nya telah berlaku curang kepadamu ? (riwayat Ahmad) Kecemburuan dan kecurigaan istri terhadap suami seharusnya disikapi dengan arif, baik yang bersifat negatif maupun cemburu yang bersifat positif. Dalam menyikapi kedua kecemburuan tersebut, si istri dapat melakukan beberapa hal, yaitu ; (1) bersabar;79 (2) meminta orang yang berwibawa, orang yang dihormati oleh suami untuk menasihatinya; (3) mencari momen yang tepat untuk menyampaikan masalahnya kepada suami; (4) meningkatkan pelayanan kepada suami; (5) jangan mencari-cari bukti atas dugaan yang belum tentu kebenarannya; dan (6) introspeksi diri. 79 Sabar artinya tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati). Tenang; tidak tergesa-gesa; tidak terburu nafsu. Lihat, Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 763 214 Dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang memerintahkan kita bersabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi, di antaranya : QS alBaqarah/2: 155, 156, 157, 177, 214, al-‘Imrān/3: 186, al-A’rāf/7: 125, 126, alNahl/16: 42, dan al-Kahfi/18: 69. Ayat-ayat di atas menjelaskan janji-janji keberkatan yang sempurna, rahmat, petunjuk, dan pertolongan dari Allah swt bagi orang-orang yang sabar. Selain sabar, dapat pula meminta orang yang berwibawa atau orang yang dihormati oleh suami untuk menasihatinya, “bukan dengan membeberkannya kepada orang lain, atau bahkan menyebarkannya kepada media cetak dan media elektronik”.80 Sebab bisa jadi, bila disampaikan secara langsung atau membeberkannya secara luas, justru semakin menambah kebencian sang suami kepada istri. Berbeda, jika masalahnya disampaikan kepada orang yang dihormati dan dianggap dapat menasihati sang suami, maka sang suami akan menyadari bahwa kecemburuan si istri adalah bagian dari kecintaannya yang dalam terhadap dirinya, sehingga bisa jadi akan menyadari kekeliruan dan kesalahannya. Kasus pengaduan kepada orang yang dianggap mampu menyelesaikan masalah interen keluarga telah terjadi di zaman Rasulullah saw . Dalam hal ini, berkaitan dengan sebab turunnya QS al-Mujādilah/58, yaitu Khaulah binti Ṡa’labah yang mengadukan keadaan 80 Membeberkan secara luas hal-hal yang bersifat negatif dari suami berarti telah membuka aib seseorang kepada orang lain. Hal ini jelas bertentangan dengan hadis yang melarang membuka aib bagi orang lain. وﻣﻦ ﻛﺸﻒ ﻋﻮرة أﺧﯿﮫ اﻟﻤﺴﻠﻢ ﻛﺸﻒ ﷲ ﻋﻮرﺗﮫ.... : ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل . رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟـﮫ. ﺣﺘﻰ ﯾﻔﻀﺤـﮫ ﺑﮭﺎ ﻓﻰ ﺑﯿﺘـﮫArtinya : dari Ibn ‘Abbās ra. dari Nabi saw bersabda : …. Dan barangsiapa yang membuka aib saudaranya yang muslim maka pasti Allah akan membuka aibnya, sehingga Allah mempermalukan dia di rumahnya karena aibnya. (riwayat Ibn Mājah) 215 rumah tangganya kepada Rasulullah saw bahwa suaminya Aus bin Ṣamit telah menziharnya. 81 Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mencari momen-momen penting, misalnya, ketika suami sedang tenang, rileks atau istirahat. Di saat seperti itulah disampaikan kepada sang suami tentang keadaan yang dirasakan oleh si istri, mengingatkannya agar memperhatikan perintah-perintah Allah dan tidak melalaikan tanggung jawabnya terhadap istri dan keluarganya sebagai seorang suami serta banyak berdoa kepada Allah agar suaminya disadarkan dan dikembalikan kepada jalan yang benar. Sebagai contoh, meski bukan dalam konteks relasi suami-istri, kisah tentang Ummu Salamah dengan Abu Thalhah menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan saat yang tepat atau tidak tergesa-gesa untuk menyampaikan sesuatu kepada suami, terutama jika suami dalam keadaan letih dan banyak masalah yang dihadapinya. Dalam riwayat diceriterakan, bahwa meski anak satu-satunya telah meninggal dunia, namun ketika Abu Thalhah menanyakan keadaan anaknya. Ummu Salamah menjawabnya dengan tenang bahwa anaknya biasa-biasa saja, sehingga malam itu mereka berdua telah melakukan hubungan sebagaimana suami-istri, dan di saat yang tenang barulah Ummu Salamah menyampaikan kepada suaminya bahwa anaknya telah diambil oleh pemilik-Nya. Namun, sebelumnya ia bertanya kepada suaminya, bagaimana jika suatu barang titipan diambil oleh 81 Zihar adalah menyamakan punggung isteri dengan punggung ibu dengan maksud tidak boleh lagi menggauli isteri. 216 pemiliknya. Abu Thalhah menjawab bahwa kita tidak boleh menahan barang titipan, jika pemiliknya telah menghendakinya. Tidak kalah pentingnya adalah “istri meningkatkan pelayanannya kepada suami”. Ini, merupakan isyarat yang terkandung dari potongan ayat yang berbicara tentang sikap istri dalam menghadapi nusyus suami. yaitu : “melakukan shulh (perdamaian)” QS al-Nisā’/4: 128. Pelayanan yang terbaik adalah melakukan apa saja yang disenangi suami meski bertentangan dengan keinginan istri, sebagaimana Saudah ra, istri Rasulullah, yang merelakan bahagian malamnya kepada ‘Aisyah. 82 Pelayanan yang terbaik meskipun berat, -karena umumnya manusia menuntut agar orang lain menunaikan kewajibannya, tapi ia berat melepaskan hak-haknya- akan memberi kesan tersendiri kepada sang suami. Bahkan dalam sejarah dan fakta hidup seharihari tidak sedikit suami mengenang istri karena pelayanannya. Lebih dari itu, kenangan pelayanan itu akan dibawanya seumur hidup meskipun kubur telah memisahkan mereka berdua, sebagaimana kenangan Rasulullah saw kepada Khadijah ra. Termasuk dalam pengertian yang terkandung dalam hadis bahwa istri yang baik adalah istri yang menampakkan kegembiraan di hadapan suaminya, meski sebenarnya hatinya telah bersedih, (iżā nazarta ilaihā sarratka). 82 Suatu kisah yang pernah penulis dengar dan dapat diambil ، ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ ﻻﺗﻄﻠﻘﻨﻰ: ﺧﺸﯿـﺖ ﺳﻮدة أن ﯾﻄﻠﻘﮭﺎ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻟﺖ: ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل . واﺟﻌﻞ ﯾﻮﻣﻰ ﻟﻌﺎﺋﺸـﺔ ﻓﻔﻌـﻞArtinya : dari Ibn ‘Abbās berkata : Saudah ra telah khawatir jika Rasulullah saw menceraikannya, lalu dia berkata : ya Rasulallah, janganlah engkau menceraikanku, dan aku telah memberikan bahagian hariku kepada ‘Aisyah, maka Rasulullah pun melakukannya. 217 hikmahnya, yaitu seorang suami yang telah kawin lagi untuk kedua kalinya, istri pertama pun curiga melihat tanda-tanda perubahan pada diri suami, dan naluri kewanitaannya meyakinkan dirinya bahwa suaminya telah kawin lagi. Tetapi si istri tidak pernah menyinggung atau bertanya kepada suaminya tentang kecurigaannya, ia memperlakukan suaminya seperti biasa, seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi, bahkan si istri berusaha meningkatkan pelayanan kepada suaminya sehingga kehidupan rumah tangga mereka berjalan harmonis hingga suaminya meninggal dunia. Selesai pemakaman suaminya, maka istri pertama pun mengantarkan bagian warisan kepada istri kedua dari almarhum suaminya, yaitu seperdelapan dibagi dua. Namun apa yang terjadi, istri keduanya berkata kepada istri pertama bahwa dirinya telah diceraikan oleh suaminya sekitar dua tahun lalu. Hikmah yang dapat diambil dari ceritera tersebut adalah bahwa betapa tinggi nilai-nilai pelayanan istri kepada suaminya, betapa kuatnya kesan yang ditimbulkan pelayanan istri sehingga ia mampu meruntuhkan dan membentengi cinta suami kepada orang lain. Seandainya dalam kasus ini, istri melakukan hal yang sama dengan ceritera di atas, maka bisa jadi tidak akan terjadi tindakan nusyus, kecuali jika suami itu sudah tidak normal lagi. Selain langkah-langkah di atas, juga tidak kalah pentingnya adalah istri tidak perlu mencari-cari bukti untuk membenarkan kecurigaan yang 218 dialaminya. 83 Sebab apa untungnya, istri menyelidiki suami. Seandainya tidak terbukti apa yang menjadi kecurigaannya, maka ia telah rugi waktu dan rugi tenaga. Sebaliknya, jika benar apa yang menjadi kecurigaannya, maka istri tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya benci dan sakit hati. Karena itu, tidak ada nilai positifnya jika istri berusaha membuktikan kecurigaan yang dialaminya. Yang terpenting adalah suami tetap menyayangi, menghormati, dan tidak meninggalkan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap dirinya. Bagaimana pun, Allah tidak akan pernah menzalimi hambanya. Jika Allah masih menginginkan bahwa rumah tangga tersebut selamat dari kehancuran, maka Allah akan menyembunyikan aib rumah tangga tersebut. Sebaliknya, bila Allah ingin memisahkan mereka dalam rumah tangga, maka Allah pun akan menampakkan aib dan kekurangan di antara mereka berdua. Karena itu, Rasulullah saw bersabda : ﻗِ ْﯿ َﻞ ﻓَ َﻤﺎ. اﻟﻄﱠ ْﯿﺮةُ وَ اﻟﻈﱠﻦﱡ َوا ْﻟ َﺤ َﺴـ ُﺪ: َﻋﻦْ َﻣ ْﻌ َﻤ ٍﺮ ﺛَﻼَثٌ َﻻ ﯾَ ْﺴﻠَ ُﻢ ِﻣ ْﻨﮭَﺎ أَ َﺣـ ٌﺪ َوإِ َذا، ظﻨَ ْﻨﺖَ ﻓَﻼَ ﺗُ َﺤﻘﱢ ْﻖ َ َوإِ َذا، ﻄﯿﱠﺮْ تَ ﻓَ َﻼ ﺗَﺮْ ِﺟ ْﻊ َ َ إِ َذا ﺗ: َا ْﻟ َﻤﺨْ ﺮَ ُج ِﻣ ْﻨﮭَﺎ ﯾَﺎ َر ُﺳﻮْ لَ ﷲِ ؟ ﻗَﺎل 84 َﺣ َﺴ ْﺪتَ ﻓَﻼَ ﺗَ ْﺒـ ِﻎ Artinya: Dari Ma’mar : tiga hal seseorang tidak akan selamat, yaitu : ramalan buruk, buruk sangka atau curiga, dan dengki. Rasulullah ditanya, 83 Mencari-cari bukti terhadap sesuatu yang masih bersifat dugaan adalah termasuk bagian “tajassus” yang dilarang oleh al-Qur’an. Lihat, QS al-hujurāt/49:12. “Tajassus” artinya : al-bahṡu ‘an al-syai’ (mencari sesuatu). Lihat, Ismā’īl bin ‘Umar, al-Misbāh al-Munīr, (Riyad: Dār alSalām, 2000), h.1304 84 Ahmad bin Ḥajar al-‘Asqalāniy, Fatḥ al-Bāri, vol. x, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, t.th.), h. 482 219 bagaimana jalan keluarnya ? Rasul menjawab : Jika engkau meramal buruk, maka jangan ulangi. Jika engkau curiga, maka janganlah engkau berusaha membuktikannya. Dan jika engkau iri, maka janganlah engkau keterlaluan. Hal terakhir yang penting diperhatikan oleh istri di saat terdapat hal yang tidak menyenangkan dari suami adalah agar istri melakukan perenungan dan introspeksi diri. Introspeksi diri perlu dilakukan, sebab sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an QS al-syūrā/42: 30 85 bahwa Allah akan membalas setiap perbuatan seseorang. Jika perbuatan baik, maka akan dibalas dengan kebaikan. Sebaliknya, jika perbuatan buruk, maka akan diganjar dengan keburukan pula. Berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh suami terhadap dirinya, berupa hilangnya perhatian dan kepedulian, atau bahkan menyakitinya adalah balasan dari Allah swt atas kekeliruan dan dosa yang dilakukannya. Dalam keadaan yang demikian, seharusnya istri lebih banyak berdoa dan bermunajat kepada Allah swt, sehingga Allah mengampuni dan memberikan jalan keluar dari permasalahan yang dialaminya. Di sisi lain, menghadapi istri yang curiga atau cemburu, suami pun dituntut untuk tidak membuka peluang bertambah besarnya kecurigaan istri. Seperti menghindari apa yang menjadi sumber dan pokok kecurigan istri, di samping menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi, sebagaimana Rasulullah 85 وﻣﺎ أﺻﺎﺑﻜﻢ ﻣﻦ ﻣﺼﯿﺒـﺔ ﻓﺒﻤﺎ ﻛﺴﺒﺖ أﯾﺪﻛﻢ وﯾﻌﻔﻮا ﻋﻦ ﻛﺜﯿﺮArtinya : Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Tim Penterjemah, Terjemah al-Qur’an, h. 788 220 saw menjelaskan kepada ‘Aisyah dalam peristiwa Bagi’ yang dikemukakan dalam foot not 35 di atas. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat sekian banyak penyebab dan motif tersembunyi yang dapat memunculkan sifat kecemburuan, di antaranya egoisme, penyakit kejiwaan, dan faktor luar. Egoisme sebagian pasangan muda bersifat kekanak-kanakan. Karena itu mereka acapkali bertindak tanpa arah yang jelas. Mereka hanya membayangkan sesuatu berdasarkan fantasinya semata. Di samping itu, dalam diri mereka penuh sifat egoisme yang selalu ingin menang sendiri. Untuk menutupi kekurangan masing-masing, mereka pun kemudian saling bertengkar, dan berselisih. Penyakit kejiwaan yang mungkin diakibatkan oleh gangguan saraf, trauma masa kecil, atau sejenisnya. Penyakit kejiwaan ini terkadang menimbulkan perasaan was-was yang menyerang kehidupan suami atau istri. Sementara perasaan itu hanya bersifat illusi yang bersifat semu, tetapi siap menyeret kehidupan bersama ke dalam jurang pertikaian dan kesengsaraan. Kecurigaan atau prasangka buruk muncul, karena campur tangan pihak luar, terutama orang-orang yang menyamar sebagai teman atau sahabat, pada hal di balik itu mereka adalah musuh dan penebar issu. Mereka tidak senang melihat kebahagiaan dan ketenteraman orang lain. Karena itu, dengan segala daya upaya akan dicarinya demi menghancurkan keluarga-keluarga bahagia. 221 Dengan demikian, meski terjadi perubahan pada diri suami setelah kemesraan pengantin baru berlalu. Namun perubahan itu, mesti dihadapi oleh sang istri dengan bijaksana, tidak dengan emosi atau bahkan menempuh caracara reaktif seperti marah, berteriak, membentak, memukul, mengamuk, dan semacamnya. Istri yang arif memahami, bahwa semua itu justeru menyebabkan hati suami semakin hancur, dendam, dan bahkan benci. Bila dendam dan kebencian telah memenuhi hati kedua pasangan suami-istri, menggeser cinta dan kasih sayang, maka itu alamat kehancuran rumah tangga. Bagaimanapun cinta dan kasih sayang adalah pondasi rumah tangga yang sangat urgen. Cinta dan kasih sayang melandasi segala hubungan dalam kehidupan berkeluarga, baik dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban suamiistri, maupun dalam hal mencegah terjadinya pertengkaran, perselisihan, atau perdebatan yang tidak berguna.86 Di antara pengamatan penulis menunjukkan bahwa kadang terdapat suami yang tampaknya sabar dan pendiam dalam menghadapi sifat istri yang mudah emosi, cemburu berlebihan, atau bahkan istri yang menguasai suaminya. Namun, di balik sikapnya yang pendiam itu justru menyimpan dendam dan dengki yang sewaktu-waktu dapat meledak, sehingga di saatsaat suami sudah merasa mampu dan mandiri, maka di saat itulah ia tidak 86 Lihat, Muhammad Muhyiddin, Bangga Menjadi Muslimah, (Bandung: Rosdakarya, 2007), h. 189 222 segan-segan melampiaskan kebenciannya, baik dengan cara menyakiti istri (fisik atau non fisik), meninggalkan, dan bahkan menceraikannya. Dalam kaitan ini, apapun bentuk konflik suami dan istri, namun yang perlu diwaspadai adalah di saat salah satu di antara keduanya, atau bahkan kedua-duanya tidak ada lagi rasa cinta, dan kasih sayang, karena faktor kecurigaan, cemburu yang berlebihan, dan berbagai faktor lain yang menyebabkan tidak berjalannya pelaksanaan kewajiban masing-masing pihak, dengan kata lain telah terjadi tindakan nusyus. Kita tentu tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika cinta dan kasih sayang telah pupus, apakah pasangan suami-istri itu dapat bertahan terhadap gelombang kehidupan rumah tangga pada masa-masa awal perkawinan mereka, baik pada tahun pertama maupun pada tahun kelima dari usia perkawinan mereka, yang biasanya merupakan anti klimaks dalam siklus perjalanan kehidupan rumah tangga itu. Dalam hubungannya dengan cinta dan kasih sayang suami-istri, terdapat tiga hal kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu : a) Jika suami secara terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak lagi mencintai dan menyayangi istrinya, di saat istri mencintai dan menyayangi suaminya, maka perkataan tersebut mengandung dua pukulan telak: satu pukulan akan menghancurkan hati dan perasaan istri, dan satu pukulan akan merobohkan bangunan kehidupan rumah tangga. 223 b) Jika istri secara terang-terangan mengatakan bahwa ia tidak lagi mencintai dan menyayangi suaminya, di saat suami mencintai dan menyayangi istrinya, maka perkataan tersebut hanya mengandung satu pukulan saja, yaitu sedikit melukai hati dan perasaan suami, tanpa merobohkan bangunan rumah tangga. c) Jika api cinta dan kasih sayang telah padam dari kedua belah pihak karena satu dan lain hal, maka struktur kehidupan rumah tangga secara psikis sebenarnya telah roboh dan hancur, meski secara fisik dan formal tampak masih utuh. Kehidupan rumah tangga seperti ini di satu sisi tentu amat menyedihkan dan mengecewakan, dan di sisi lain tentu tidak dapat lagi dipertahankan. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah kata “perceraian.” Pemaparan di atas menggambarkan pentingnya menjaga dan memupuk rasa cinta dan kasih sayang kedua belah pihak, dalam bahasa alQur’an “mawaddah wa raḥmah”. Demikian pula menghindari kecurigaan dan prasangka buruk, mencabutnya sampai ke akar-akarnya. Karena itu, Islam menghendaki agar suami dan istri berusaha melanggengkan kehidupan rumah tangga dalam suasana tenteram, dengan sikap menghindari saling curiga mencurigai, dan saling berperasangka buruk, sebagaimana yang terkandung dalam makna umum QS al-ḥujurāt/49: 12 yang berbunyi : 224 ْﯾَﺎأَ ﱡﯾﮭَﺎ اﻟﱠ ِﺬ ْﯾﻦَ آ َﻣﻨُﻮْ ا اﺟْ ﺘَﻨِﺒُﻮْ ا َﻛﺜِ ْﯿ ًﺮا ِﻣﻦَ اﻟﻈﱠﻦﱢ إِنﱠ ﺑَ ْﻌﺾَ اﻟﻈﱠﻦﱢ إِ ْﺛ ٌﻢ وَ ﻻَﺗَ َﺠ ﱠﺴ ُﺴـﻮْ ا وَ ﻻَﯾَ ْﻐﺘَـﺐ .....ﻀﺎ ً ﻀ ُﻜ ْﻢ ﺑَ ْﻌ ُ ﺑَ ْﻌ Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain....87 Sabda Nabi : ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َ ِ ﻗَﺎ َل رَ ُﺳﻮْ ُل ﷲ: َﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨـﮫُ ﻗَﺎل ِ ََﻋﻦْ أَﺑِﻰ ﺑَﺮْ َزةَ ْاﻷَ ْﺳﻠَ ِﻤﻲ ر َاﻹ ْﯾ َﻤﺎنُ ﻗَ ْﻠﺒَـﮫُ ! َﻻﺗَ ْﻐﺘـ َﺎﺑُﻮْ ا ا ْﻟ ُﻤ ْﺴﻠِ ِﻤ ْﯿﻦ ِ ْ ِ ﯾَﺎ َﻣ ْﻌ َﺸﺮَ َﻣﻦْ آ َﻣﻦَ ﺑِﻠِ َﺴﺎﻧِـ ِﮫ َوﻟَ ْﻢ ﯾَ ْﺪ ُﺧﻞ: َو َﺳﻠﱠ َﻢ ُ وَ َﻣﻦْ ﯾَﺘﱠـﺒِ ِﻊ ﷲ، ُ ﻓَﺈِﻧﱠـﮫُ َﻣ ِﻦ اﺗﱠﺒَـ َﻊ َﻋﻮْ َراﺗِ ِﮭ ْﻢ ﯾَﺘﱠﺒـ ِ ُﻊ ﷲُ َﻋﻮْ رَ ﺗـ َﮫ، وَ َﻻﺗَﺘﱠﺒِ ُﻌـﻮْ ا َﻋﻮْ َراﺗِ ِﮭـ ْﻢ رواه أﺑﻮ داود. ﻀـﺤْ ـﮫُ ﻓِﻰ ﺑَ ْﯿـﺘِـ ِﮫ َ َﻋﻮْ رَ ﺗـ َﮫُ ﯾَ ْﻔ Artinya : Dari Abu Barzah al-Aslamiy ra berkata : Rasulullah saw bersabda : “Hai sekalian orang yang mengaku beriman dengan lidahnya sedang iman itu belum masuk ke dalam hatinya, janganlah mencari-cari aib orang-orang muslim dan menyebarkannya, karena siapa yang berbuat demikian, maka Allah akan membuka aibnya. Jika Allah membuka aib seseorang, maka Allah akan mempermalukannya meskipun berada di dalam rumahnya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dāwud ) ‘Umar bin Khaṭṭāb juga berkata : َوأَ ْﻧـﺖَ ﺗَ ِﺠـ ُﺪ ﻟَﮭَـﺎ ﻓِﻰ، ﻻَﺗَﻈُﻨﱡـﻦﱠ ﺑِ َﻜﻠِ َﻤ ٍﺔ ﺧَ ﺮَ ﺟـ َﺖْ ِﻣﻦْ أَﺧِ ْﯿﻚَ ا ْﻟ ُﻤﺆْ ِﻣﻦِ إِﻻﱠ ﺧَ ﯿـْ ًﺮا 88 .ًا ْﻟﺨَ ْﯿـ ِﺮ ُﻣﺤْ َﻤـﻼ Artinya : 87 Tim Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 847 ‘Ali al-Ṣābūnī, Ṣafwat al-Tafāsīr, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, t.th.), h. 235. 88 225 “Janganlah kamu berperasangka terhadap suatu perkataan yang keluar dari mulut saudaramu yang beriman, kecuali itu adalah kebaikan. Sementara engkau mendapati jalan untuk membawanya kepada kebaikan.” 3) Faktor ekonomi atau Ketidakpuasan Terhadap Materi Faktor lain dari nusyusnya seorang istri sebagaimana ditemukan dalam hasil penelitian adalah faktor ekonomi atau ketidakpuasan terhadap materi. Ketidakpuasan terhadap penghasilan suami, menuntut hal-hal yang lebih dari makan dan minum, padahal penghasilan suami sebagai buruh lepas seperti pada kasus 2a dalam penelitian ini adalah pas-pasan, menunjukkan kehidupan emosional istri yang belum dewasa dan pada hakekatnya dapat dikategorikan sebagai akhlak yang buruk. Tetapi sebagai manusia sering bernafsu punya televisi, kulkas, dan sebagainya sebagaimana layaknya sebuah keluarga mapan. Karena suami belum sanggup memenuhi tuntutan istri akan kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan, maka timbullah pertengkaran suami-istri yang berimplikasi tidak berfungsinya pelaksanaan hak dan kewajiban, dengan kata lain telah terjadi nusyus di kalangan suami atau istri, yang selanjutnya mengantar keduanya ke meja pengadilan. Istri yang baik, meski penghasilan suaminya sedikit, namun ia akan tetap menerima dan mensyukuri pendapatan suaminya. Materi diakui merupakan penunjang kebahagiaan rumah tangga, tetapi bagi istri yang baik, materi bukan segala-galanya. Kemiskinan tidak dapat dijadikan dasar atau pembenaran terhadap terjadinya pertengkaran dalam hidup berkeluarga, 226 sebagaimana Asma’ ra. Dalam suatu riwayat yang dinukil oleh Zakariyya al-Kandahlawi dari hadis riwayat Bukhari diceriterakan bahwa Asma’ ra. telah menceriterakan keadaan hidupnya, ia berkata : “ketika pernikahan saya dengan Zubair ra., dia tidak memiliki harta apapun, tidak mempunyai tanah, tidak ada seorang pembantu pun untuk membantu pekerjaan, dan juga tidak memiliki sesuatu pun. Hanya ada satu unta milik saya yang biasa digunakan sebagai pembawa air. Juga, ada seekor kuda. Saya yang menumbuk kurma untuk makanan hewan-hewan tersebut. Saya yang memenuhi tempat air sendirian, apabila embernya pecah, maka saya perbaiki sendiri. Pekerjaan merawat kuda saya yang mengurusnya, mencarikan rumput dan memberinya makan. Semua pekerjaan rumah tangga, saya kerjakan sendiri. Semua pekerjaan yang sangat sulit bagi saya ialah memberi makan untuk kuda-kuda. Saya kurang pandai membuat roti, biasanya saya hanya mencampurkan gandum dengan air. Kemudian, saya bawa kepada tetangga saya, yaitu seorang wanita ansār untuk memasakkannya, ia adalah seorang wanita yang sangat ikhlas, dialah memasakkan roti untuk saya. 89 Kisah Asma di atas menunjukkan bahwa betapapun kekurangan dan kemisikinannya, ia tetap memperlihatkan kesetiaannya dan tidak meninggalkan suaminya. Meninggalkan suami di saat miskin merupakan 89 Zakariyya al-Kandahlawi, Hikāyah al-Ṣahābah, diterjemahkan oleh Abdul Wahib, Kisah-Kisah Sahabat, (Bandung: Pustaka Da’i, 1999), h. 204 227 tindakan yang tidak manusiawi, kecuali kalau si suami memang pemalas dan tidak mau bekerja. Kemiskinan bukan merupakan kehinaan dan bukan pula sesuatu yang dapat diramalkan kapan datang dan berakhirnya. Karena itu, seseorang harus bersikap optimis dalam hidupnya. Kewajiban suami adalah memenuhi kebutuhan dasar istri dan keluarganya, seperti pangan, sandang, dan papan, sesuai dengan tingkat kemampuan suami berdasarkan hadis nabi : ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل َ َِﻋﻦْ َﺟ ﱢﺪ ِه ُﻣ َﻌﺎ ِوﯾَﺔَ ا ْﻟﻘُ َﺸ ْﯿ ِﺮيﱡ ﻗَﺎ َل أَﺗَ ْﯿﺖُ َر ُﺳﻮْ َل ﷲ َط ِﻌ ُﻤﻮْ ھُﻦﱠ ِﻣ ﱠﻤﺎ ﺗَﺄْ ُﻛﻠُﻮْ نَ َوا ْﻛ ُﺴﻮْ ھ ُـﻦﱠ ِﻣ ﱠﻤﺎ ﺗَ ْﻜ ُﺴﻮْ ن ْ َ أ:ﻓَﻘ ُ ْﻠﺖُ َﻣﺎﺗَﻘُﻮْ ُل ﻓِﻰ ﻧِ َﺴﺎﺋِﻨَﺎ ﻗَﺎ َل رواه أﺑﻮ داود. ﺤﻮْ ھ ُـﻦﱠ ُ َو َﻻﺗُﻘَﺒﱢ َو َﻻﺗَﻀْ ِﺮﺑُﻮْ ھُﻦﱠ Artinya : Dari kakeknya Mu’awiyah al-Qusyairiy berkata: saya mendatangi Rasulullah saw, dia berkata, lalu saya bertanya apa yang menjadi kewajiban kami kepada istri-istri kami. Nabi menjawab memberi makan apa yang kamu makan, memberi pakaian apa yang kamu pakai, jangan memukul, dan mencela mereka. (riwayat Abu Dawud). Tidak terpenuhinya kewajiban suami seperti yang dijelaskan dalam hadis di atas, tidak berarti bahwa seorang istri serta merta harus meninggalkan suaminya dan bersikap nusyus. Ia tentu dituntut untuk bersabar, kecuali bila suaminya itu pemalas atau menghambur-hamburkan uang di luar lingkungan rumah tangganya. Selain itu, seorang istri dituntut untuk pandai-pandai menyesuaikan diri dengan kondisi ekonomi suami. Melakukan penyeimbangan antara 228 pengeluaran dan pendapatan. sebuah keluarga, dalam Penyeimbangan anggaran rumah tangga perwujudannya relatif bertingkat-tingkat. Perwujudan makna hidup sederhana bagi “the have” (kaum berada), praktis jauh berbeda dengan perwujudan makna hidup sederhana bagi “the have not” (kelompok miskin). Sederhananya konglomerat, jelas akan berbeda dengan sederhananya orang miskin. Usaha penyeimbangan anggaran pengeluaran dan pendapatan keluarga harus mendapatkan perhatian yang serius dari setiap keluarga muslim. Penyeimbangan anggaran keluarga, masuk dalam kategori pengertian keumuman lafaz QS al-ṭalāq/65: 790 yang memerintahkan agar suami memberikan nafkah kepada keluarganya sesuai dengan kemampuannya. Selain QS al-ṭalāq/65: 7 tersebut, terdapat pula ayat lain, yaitu QS al-A’rāf/7:3191 yang memerintahkan untuk tidak berlebih-lebihan dalam hal makan minum, ditambahkan oleh hadis dalam hal bersedekah dan berpakaian. 92 Dari sini kemudian dapat dipahami bahwa keserderhanaan yang dimaksudkan bukan hanya dalam hal seperti yang tersurat dalam teks ayat dan hadis, yaitu makan, minum, bersedekah, dan berpakaian, tetapi juga 90 ... ﻟﯿﻨﻔـﻖ ذو ﺳﻌـﺔ ﻣﻦ ﺳﻌـﺘﮫ وﻣﻦ ﻗﺪر ﻋﻠﯿﮫ رزﻗـﮫ ﻓﻠﯿﻨﻔﻖ ﻣﻢ ءاﺗ ﮫ ﷲArtinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya... Tim Penterjemah alQur’an, op. cit., h. 946 91 وﻛﻠﻮا واﺷﺮﺑﻮا وﻻﺗﺴـﺮﻓﻮا إﻧﮫ ﻻ ﯾﺤﺐ اﻟﻤﺴـﺮﻓﯿﻦ... Artinya: makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Ibid., h. 225 92 ﻛﻠﻮا واﺷﺮﺑﻮا وﺗﺼـﺪﻗﻮا واﻟﺒﺴـﻮا ﻣﺎ ﻟﻢ ﯾﺨﺎﻟﻄـﮫ إﺳﺮاف أوﻣﺨﯿﻠـﺔArtinya: “Makan dan minumlah, bersedekah dan berpakaianlah, tanpa berlebih-lebihan atau sombong.” 229 dalam semua aspek kehidupan. Menyadari hal ini, para isteri muslimah pantang menuntut pemberian nafkah di luar kemampuan maksimal suami, lebih-lebih lagi ia akan pantang meminta cerai karena kurangnya nafkah keluarga. Kurangnya nafkah dari suami tidak dapat dijadikan sumber pertengkaran, dan dasar pembenaran untuk menuntut cerai, sebagaimana ditunjukkan dalam kehidupan para isteri nabi yang jauh di bawah standar, yaitu mereka hidup berbulan-bulan tanpa makanan yang cukup, melainkan “aswadāin” (air dan kurma), namun mereka tidak meminta cerai dari nabi.93 Istri yang baik adalah mereka yang meyakini bahwa seberapa besar nafkah yang diterima dari suaminya, itulah kadar rezki yang diberikan Allah kepadanya. Karena itu, ia akan membelanjakannya tidak lebih dari besarnya nafkah yang ia terima. Seandainya hanya kebutuhan primer saja yang dapat terpenuhi, meski dengan kadar di bawah standar minimal misalnya, ia tetap menerimanya dengan penuh keikhlasan, ketabahan, dan berpuas diri terhadap pemberian Sang Maha Pemberi Rezki, Allah swt. Ia juga pantang memperturutkan keinginan nafsunya dan tidak mudah untuk mencari “pinjaman.” 93 : وﷲ ﯾﺎاﺑن أﺧﺗﻰ إن ﻛﻧﺎ ﻧﻧظر إﻟﻰ اﻟﮭﻼل ﺛم اﻟﮭﻼل: وﻋن ﻋروة ﻋن ﻋﺎﺋﺷﺔ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻧﮭﺎ أﻧﮭﺎ ﻛﺎﻧت ﺗﻘول اﻷﺳودان: ﯾﺎﺧﺎﻟﺔ ﻓﻣﺎ ﻛﺎن ﯾﻌﯾﺷﻛم ؟ ﻗﺎﻟت: ﻗﻠت.ﺛﻼﺛﺔ أھﻠﺔ ﻓﻰ ﺷﮭرﯾن وﻣﺎ أوﻗـد ﻓﻰ أﺑﯾﺎت رﺳول ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم ﻧﺎر . ﻣﺗﻔق ﻋﻠﯾﮫ....... . اﻟﺗﻣر واﻟﻣﺎءArtinya: Dari ‘Urwah dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Demi Allah wahai anak saudaraku, jika kami memandang bulan hilal, kemudian bulan hilal: hingga tiga hilal dalam dua bulan, tidaklah asap atau api menyala di rumah-rumah Rasulullah saw, saya bertanya: wahai bibiku, dengan apa Rasulullah saw hidup ? dia berkata: al-Aswadān, yaitu kurma dan air…. Lihat, Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Cet. II, Juz XXXXI,(t.t, Muassasah al-Risālah, 1999), h. 115. Lihat pula, Muhyiddin, Riyādussalihin, Cet. I, (Kairo: Matba’ah al-Istiqāmah, 1939), h. 223 230 Dalam era seperti saat ini, lembaga atau badan usaha bagaikan jamur di musim hujan yang siap melayani “pinjaman”. Jika pinjaman yang bersifat produktif misalnya, niscaya dampaknya lebih positif dibandingkan dengan hutang yang bersifat konsumtif. Meskipun demikian, menghindari pinjaman atau kredit (baik produktif maupun konsumtif), tentu akan lebih baik lagi. Karena dengan berhutang, sebenarnya adalah memaksakan diri menanggung beban ekonomis yang berada di luar kemampuan seseorang. Karena itu, nabi senantiasa berdoa agar dijauhkan dari himpitan dan beban utang kepada orang lain.94 4) Faktor Suggesti Bawah sadar Faktor suggesti bawah sadar dapat menjadi penyebab suami atau istri menjadi nusyus. Hal ini sesuai dengan pendapat ahli pemrograman pikiran bawah sadar salah satunya adalah Ericson (1901-1980). Menurut Ericson dalam Ja’faruddin 95 , Suggesti bawah sadar terjadi pada lima kondisi yaitu suggesti dari orang yang sangat berpengaruh yang ia hormati, kata-kata yang selalu diulang-ulang, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan emosi yang sangat intens, pengaruh kelompok/lingkungan/media, dan terakhir adalah dengan menggunakan metode Hypnosis. 94 اﻟﻠﮭم إﻧﻰ أﻋوذ ﺑك ﻣن ﻏﻠﺑـﺔ اﻟدﯾن وﻗﮭـر اﻟرﺟﺎل: ﻗﺎل رﺳول ﷲ ﺻم: ﻋن أﺑﻰ أﻣﺎﻣﺔartinya : dari Abū Umāmah, Rasulullah saw bersabda : ya Allah aku berlindung kepadamu dari kekuasaan utang 95 Ja’faruddin,Unconscious Mind Program dalam Pembelajaran Matematika, Makassar: Tesis tahun 2010 231 Kata-kata istri yang selalu berulang dan dalam kondisi suami istri sangat intens menjadikan kata-kata tersebut menjadi suggesti bawah sadar oleh suami. Pengulangan kata-kata tertentu seperti “Kawin saja”, atau “Cerai” menyebabkan terjadinya kejenuhan pada pikiran kritis suami, sehingga pada saat tertentu kata-kata tersebut akan menetap dalam pikiran bawah sadar suami yang pada gilirannya akan membuat suami betul-betul melaksanakan suggesti tesebut. Kondisi emosi suami pada saat kata-kata ini diucapkan adalah pada kondisi emosi suami dalam keadaan sangat intens. Emosi intens ini sangat dipengaruhi oleh terjadinya syikak suami dan istri. Kondisi emosi ini juga menjadi penguat akan dilaksanakannya suggesti dari istri yang sebenarnya juga sudah diucapkan secara berulang-ulang setiap kali terjadi syikak. b. Faktor Nusyus dari Suami. 1) Faktor Akhlak Nusyus selain bisa bersumber dari faktor istri, juga bisa berasal dari faktor suami seperti yang terlihat dari hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nusyus yang dilakukan oleh suami disebabkan oleh faktor akhlak yang buruk. (lihat kasus 5a). Kebiasaan suami yang suka menyakiti istri, baik secara verbal maupun fisik, “pencemburu”,96 menunjukkan gambaran dari 96 Umumnya, sifat “pencemburu” dimaknai secara deskruktif. Namun di sini perlu ditegaskan bahwa cemburu sesuai dengan norma-norma bukanlah sesuatu yang negatif, bahkan diperlukan atau diwajibkan. Sebagai kepala rumah tangga hendaknya selalu menjaga kemuliaan 232 akhlak seorang suami yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Akhlak buruk suami juga tercermin pada perilaku suami yang suka minum minuman keras dan suka bermain judi. Suami sebagai kepala rumah tangga, pembimbing, dan pengayom istri dan keluarganya, tidak sepantasnya melakukan hal-hal yang destruktif yang bertentangan dengan norma agama seperti memukul, minum minuman keras, main judi, dan berbagai larangan lainnya. Karena, semua perilaku menyimpang tersebut, selain bertentangan dengan agama yang diancam siksa, juga berpengaruh pada psikis atau kejiwaan yang bersangkutan. Alex Karl mengatakan: “Manusia tidak mengetahui jeleknya akibat dari sebuah dosa, pengaruhnya tidak akan bisa diobati secara umum”. 97 Socrates juga mengatakan “Kriminalis biasanya lebih menderita dari korbannya. Siapapun perilaku kriminal lantas ia tidak dihukum, maka ia akan menjadi manusia yang paling menderita.”98 dan kehormatan rumah tangganya. Karena itu, suami sebagai penjaga kehormatan dalam kehidupan rumah tangga mesti cemburu bila isteri dan anak perempuannya dekat atau bercanda yang melewati batas dengan lelaki lain. Rasulullah bersabda : أﺗﻌﺠﺒـﻮن ﻣﻦ ﻏﯿﺮة – أﻧﺎ وﷲ أﻏﯿـﺮ ﻣﻨـﮫ وﷲ أﻏﯿﺮ ﻣﻨﻰArtinya: apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad ? Demi Allah, aku lebih pencemburu daripada dia dan Allah lebih pencemburu daripada aku. Lihat, Syekh Muhammad Kan’an, Mabādi’ al-Mu’āsyarah al-Zaujiyyah, diterjemahkan oleh Ali Muhdi Amnur, Kado Indah Untuk Mempelai, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2009), h. 65. Lihat pula, Mahmud Muhammad alJauhari dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal, al-Akhawāt al-Muslimāt wa Binā’ al-Usrah alQur’āniyyah, diterjemahkan oleh Kamran As’ad Irsyady dan Mufliha Wijayati, Membangun Keluarga Qur’ani, Panduan Untuk Wanita Muslimah, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 192 97 Azhar Arsyad, et. al., Memahami Kebahagiaan antara Impian dan Kenyataan, Suatu Upaya Pengembangan Inner Capacity, (Makassar: Alauddin Press, 2006), h. 24 98 Ibid. 233 Bagaimana pun suami adalah teladan bagi isteri. Jika suami berakhlak mulia, maka kesannya bukan hanya kepada dirinya semata, melainkan akan berimplikasi kepada istri dan keluarganya. Akhlak mulia tersebut di antaranya adalah : takwa kepada Allah swt, memelihara kesucian dan kebersihan diri, ikhlas, mampu mengendalikan emosi, pemaaf, bertindak adil, sabar, dan syukur. diupayakan oleh masing-masing Semua sifat-sifat ini hendaknya suami istri, sehingga menjadi kepribadiannya. Tindakan menyakiti istri, baik verbal maupun fisik, selain menunjukkan krisis akhlak, juga berarti suami telah mengabaikan mu’āsyarah bi al-ma’rūf dalam relasi suami-istri yang diperintahkan oleh Allah swt. Dalam hal ini suami telah nusyus. Mu’āsyarah bi al-ma’rūf yang merupakan perintah Allah, bermakna saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, saling menyenangkan, saling menghargai dan menghormati, tidak saling menyakiti, dan tidak saling memperlihatkan kebencian. Masing-masing harus berlaku sopan terhadap pasangannya. Rasulullah saw bersabda : ﺧَ ْﯿ ُﺮ ُﻛ ْﻢ: ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َ ِ ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮْ ُل ﷲ: َْﻋﻦْ َﻋﺎﺋِ َﺸـﺔَ َرﺿِ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨﮫُ ﻗَﺎﻟَﺖ 99 أﺧﺮﺟـﮫ اﻟﺘﺮﻣﺬي. ْھﻠِﻰ ْ َ َوأَﻧَﺎ ﺧَ ْﯿ ُﺮ ُﻛ ْﻢ ِﻷ، ﻷ ْھـﻠِـ ِﮫ َ ِ ﺧَ ْﯿـ ُﺮ ُﻛ ْﻢ Artinya : 99 Lihat, Wahbah al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmi....... Juz IX, h. 6844 234 Dari ‘Ᾱisyah r.a. Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik kepada keluarganya, dan saya adalah yang terbaik terhadap keluargaku” (H.R. al-Tirmiżiy) Dalam kaitan relasi suami istri itu, yang perlu diperhatikan adalah bahwa antara mereka berdua hendaknya mempunyai pandangan yang sama tentang kesetaraan hamba-hamba Allah, sehingga suami tidak mensubordinasi istrinya, dan begitupun sebaliknya. Dalam hal ini, Allah swt tegaskan dalam QS alḥujurāt/49: 13. ﯾَﺎأَ ﱡﯾﮭَﺎ اﻟﻨﱠﺎسُ إِﻧﱠﺎ َﺧﻠَ ْﻘﻨَ ُﻜ ْﻢ ِﻣﻦْ َذ َﻛ ٍﺮ َوأ ُ ْﻧﺜَﻰ َوﺟَ َﻌ ْﻠﻨَـ ُﻜ ْﻢ ُﺷ ُﻌﻮْ ﺑًﺎ َوﻗَﺒَﺎﺋِﻞَ ﻟِﺘَ َﻌﺎ َرﻓُﻮْ ا إِنﱠ أَ ْﻛﺮَ َﻣ ُﻜ ْﻢ ﻋِ ﻨـْ َﺪ ﷲِ أَ ْﺗﻘَ ُﻜ ْﻢ إِنﱠ ﷲَ َﻋﻠِ ْﯿ ٌﻢ ﺧَ ﺒِ ْﯿـ ٌﺮ Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”100 2) Faktor Lokasi Selain faktor akhlak, faktor lokasi juga dapat menjadi penyebab nusyusnya istri atau suami. Hasil penelitian menunjukkan sebagaimana pada kasus 7a, bahwa faktor terpisahnya tempat tinggal suami-istri dapat menyebabkan munculnya masalah dalam keluarga. 101 Perbedaan tempat tinggal, selain akan berakibat pada berkurang atau hilangnya cinta dan kasih 100 Tim Penterjemah al-Qur’an, loc. cit. Pada kasus yang sama, seorang mahasiswa S3 pada salah satu perguruan tinggi di Jawa, karena terpisahnya tempat tinggal mereka yang menyebabkan perselingkuhan isteri dengan adik iparnya, akhirnya berakhir dengan perceraian di Meja Pengadilan Agama Kota Palu. 101 235 sayang antara suami dan istri, juga secara otomatis berimplikasi pada terabaikannya pelaksanaan kewajiban kedua belah pihak, baik berbentuk pelayanan, perlindungan, pembinaan, maupun pemberian nafkah secara baik. Dalam kaitan ini, terdapat dua pelanggaran atau nusyus suami sekaligus, yaitu di samping meninggalkan istri dalam waktu yang relatif lama, juga tidak memberikan belanja atau nafkah. Meski para ulama fikih tidak menyebutkan berapa lama seorang suami diperkenankan meninggalkan istrinya, dalam arti berpisah tempat tinggal antara suami dan istri. Namun, dalam riwayat disebutkan bahwa ‘Umar Ibn al-Khaṭṭāb tidak menahan tentara di luar daerah melebihi masa enam atau empat bulan, sebagaimana riwayat al-Baihaqī dari jalur Mālik. Tindakan ‘Umar tersebut didasarkan pada pernyataan Ḥafṣah (istri Rasulullah) yang mengatakan bahwa kemampuan seorang wanita bertahan dan bersabar ditinggal oleh suaminya adalah “enam atau empat” bulan. 102 Riwayat tersebut disebutkan sebagai berikut : ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨـﮫُ ِﻣﻦَ اﻟﻠﱠ ْﯿ ِﻞ ِ ب َر ِ ﺧَ َﺮ َج ُﻋ َﻤـ ُﺮ ا ْﺑ ِﻦ ا ْﻟﺨَ ﻄﱠﺎ: ََﻋ ِﻦ ا ْﺑﻦِ ُﻋ َﻤـ َﺮ ﻗَﺎل َ ﺗَﻄَﺎ َو َل ھَ َﺬا اﻟﻠﱠ ْﯿ ُﻞ َوا ْﺳـ َﻮ ﱠد َﺟﺎﻧِﺒُـﮫُ * َوأَ َرﻗﱠﻨِﻰ أَنْ ﻻَ ﺣَ ﺒِ ْﯿـﺐ: ﻓَ َﺴ ِﻤـ َﻊ ا ْﻣ َﺮأَةً ﺗَﻘُـﻮْ ُل َ َﻛ ْﻢ أَ ْﻛﺜَﺮ: ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨﮭُﻤـ َﺎ ِ ﺖ ُﻋ َﻤـ َﺮ َر ِ ﺼـﺔَ ﺑِ ْﻨ َ ب ﻟِ َﺤ ْﻔ ِ ﻓَﻘَﺎ َل ُﻋ َﻤـ ُﺮ ْﺑﻦِ ا ْﻟ َﺨﻄﱠﺎ.ُأ ُﻻَ ِﻋﺒُـﮫ 102 Lihat, Yūsuf al-Kandahlawī, Ḥayāt al-Ṣaḥābah, (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 2004), h. 241. 236 : ﻓَﻘَﺎ َل ُﻋ َﻤـ ُﺮ. ِﺳـﺘﱠـﺔَ أَوْ أَرْ ﺑَ َﻌـﺔَ أَ ْﺷﮭُـ ٍﺮ: َْﻣﺎ ﺗَﺼْ ﺒِ ُﺮ ا ْﻟ َﻤﺮْ أَةُ َﻋﻦْ زَ وْ ِﺟـﮭَـﺎ ؟ ﻓَﻘَﺎﻟَﺖ . َﻻأَﺣْ ﺒِﺲُ ا ْﻟﺠَ ْﯿـﺶَ أَ ْﻛﺜَـ َﺮ ِﻣﻦْ ھَـ َﺬا Artinya : Dari Ibn ‘Umar, ia berkata, ‘Umar pada suatu malam keluar lalu mendengar seorang wanita bersenandung : “Malam ini begitu panjang dan tepi langit begitu hitam * Namun aku tak bisa tidur karena tak ada kekasih yang aku cumbui. ‘Umar pun bertanya kepada Ḥafṣah binti ‘Umar : berapa lama seorang wanita dapat bersabar di tinggal oleh suaminya. ? Ḥafṣah menjawab enam atau empat bulan. ‘Umar berkata : Saya tidak menahan tentara lebih dari masa ini. Jika didasarkan kepada tindakan ‘Umar di atas, maka suami dan istri sebaiknya tidak berpisah lebih dari masa enam bulan. Dengan demikian, perjanjian taklik talak103 yang biasanya dibacakan sesudah akad nikah, yang mana suami berjanji tidak akan meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut, dapat diubah dari masa dua tahun menjadi enam bulan. Selain itu, dengan berpisahnya secara berjauhan tempat tinggal suami-istri, maka dapat dipastikan bahwa pelayanan kebutuhan biologis suami-istri telah terabaikan. Jika kebutuhan biologis ini tidak tersalurkan, terutama bagi perkawinan usia muda, maka bahayanya jauh lebih besar daripada kebutuhan lainnya. Kebutuhan biologis merupakan salah satu kewajiban utama bagi istri untuk memenuhinya, di samping kebutuhan istri itu sendiri. Pemenuhan kebutuhan biologis, akan menambah cinta kasih 103 Lebih tepat bila dikatakan perjanjian atau sumpah. Sebab sumpah bila dilanggar konsekwensinya adalah kaffarah (denda). Sedangkan taklik talak akan mengakibatkan jatuhnya talak dengan sendirinya, jika taklik talak tersebut dilanggar. Dengan begitu, akan mengakibatkan jatuhnya talak berkali-kali. 237 antara suami-istri. Di samping itu, akan membentengi kedua pasangan dari hal-hal destruktif yang tidak diinginkan dalam agama. Akibat tidak terpenuhinya kebutuhan biologis ini, karena mereka berpisah tempat tinggal, maka tidak sedikit istri atau suami melakukan perselingkuhan atau kawin di bawah tangan. Ketika rahasia perselingkuhan mereka terbuka, maka pertengkaran dan percekcokan pun semakin bertambah, yang kemudian berakhir dengan perceraian di meja Pengadilan Agama. 3) Faktor eksternal/faktor luar Hasil penelitian menunjukkan bahwa campur tangan pihak luar, seperti mertua dalam suatu rumah tangga, juga dapat menjadi faktor nusyusnya istri atau suami. Kasus 8a di atas menggambarkan bagaimana terjadinya nusyus suami pada istri. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa sejak pasangan ini menikah, pihak istri merasa tidak mempunyai peran dalam mengatur rumah tangganya termasuk dalam hal keuangan yang disebabkan oleh intervensi dari mertua. Suami sebagai kepala rumah tangga tidak mampu berbuat apa-apa walaupun sudah diingatkan oleh istrinya. Independensi sikap suami terhadap kehidupan istrinya sangat dipengaruhi oleh orang tuanya. Sebagai kepala rumah tangga seharusnya suami mampu 238 memberikan solusi terhadap masalah ini. Namun suami mengambil tindakan yang dapat dikategorikan sebagai nusyus, yaitu mengusir istri dari tempat kediamannya atas dukungan orang tua suami. Campur tangan oleh pihak luar dalam suatu rumah tangga memang acapkali membawa masalah, terutama bila mempunyai mertua yang egois, cerewet, suka mengatur, dan sebagainya. Hal-hal yang sepele dapat menjadi besar, bila pasangan suami-istri tidak arif dan sabar dalam menyikapinya. Oleh karena itu, suatu rumah tangga akan lebih baik bila tidak serumah dengan orang tua atau mertua. Rumah tangga yang independen dan mandiri, meski dengan rumah sewa yang terjangkau dan ekonomi yang pas-pasan, jauh akan lebih baik bila dibandingkan dengan pasangan suami-istri yang serumah dengan orang tua atau mertua, meski dengan rumah yang mewah dan ekonomi yang lebih. Dalam pengamatan penulis sepintas terlihat, bahwa ketahanan keluarga yang dibangun di atas kesusahan dan penderitaan bersama, jauh lebih bertahan dibandingkan dengan pasangan perkawinan yang dibangun di atas kemewahan dan kenikmatan. Terbukti, melalui acara inforteinment di beberapa media televisi kita menyaksikan bagaimana para kaum yang dinamakan “selebriti” dengan mudahnya melakukan kawin cerai. Pada hal dari sisi materi tidak ada yang kurang dari mereka, bahkan kehidupan 239 mereka memperlihatkan kehidupan yang sangat fulgar, penuh kemewahan dan kenikmatan duniawi. 4) Faktor cemburu Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu pemicu terjadinya perceraian dari suami adalah cemburu. Kemungkinan terjadinya kecemburuan oleh suami mempunyai persamaan dengan terjadinya kecemburuan oleh istri, yaitu (1) cemburu yang tidak beralasan, dan (2) cemburu yang beralasan. Kecemburuan yang terdapat dalam hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata kecemburuan suami terhadap istrinya tidaklah beralasan sebagaimana pada kasus 9a. Kecemburuan ini kemudian memicu tindakan suami untuk berkata kasar, bahkan menerlantarkan istrinya selama kurang lebih satu tahun, pada hal mereka baru membina rumah tangga sembilan bulan lamanya. Seandainya seorang suami yang baik dan bertanggungjawab, maka tentu akan mengambil tindakan yang bijaksana, yaitu menempuh cara yang disebutkan dalam al-Qur’an ketika terdapat tanda-tanda terjadinya nusyus dari istri, yaitu menasehatinya dengan baik, memberikan pukulan psikologis dengan berpisah tempat tidur, “bukan pergi dari rumah”, dan bila ini juga gagal, maka tidak mengapa memberi teguran keras dengan pukulan yang 240 tidak menimbulkan bekas yang lama, seperti pukulan dengan lidi atau semacamnya dengan niat menyadarkan dan mengembalikan kepada hukumhukum Allah. Meskipun tentu yang lebih bijaksana adalah bersabar dan berdoa agar Allah memberikan kesadaran kepada istrinya. Sikap kesabaran terhadap istri pernah ditunjukkan oleh ‘Umar bin Khattab, yaitu di saat seseorang mengadu kepada ‘Umar tentang keburukan akhlak istrinya yang suka marah, maka beliaupun menjawab bahwa istrinya pun sering marah, tetapi ia mensikapinya dengan penuh kesabaran, dan mengatakan bahwa para istri adalah wajar bila mereka marah, sebab pekerjaan rumah yang mereka lakukan sesungguhnya bukanlah tugasnya, melainkan tugas suami. 2. Bentuk Nusyus a. Bentuk Nusyus Istri 1) Meninggalkan Rumah Tanpa Izin Suami Faktor–faktor penyebab di atas menimbulkan bermacam-macam bentuk nusyus yang dapat dilakukan oleh isteri maupun suami. Kasus 1b di atas menunjukkan bahwa istri telah melakukan nusyus dengan meninggalkan rumah tanpa izin suami, bahkan telah melampaui batas agama, yaitu keluar bersama pria lain yang bukan mahramnya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa salah satu kewajiban istri adalah mematuhi suami dan tidak meninggalkan rumah pada saat tidak ada izin daripadanya. 241 Meninggalkan rumah tanpa izin suami terlebih lagi bila suami melarangnya, tentu bukanlah tindakan yang terpuji. Selain melanggar perintah Allah karena tidak mentaati aturan dan norma dalam relasi suami-istri, juga dapat menyakiti hati dan perasaan suami. Jika hati dan perasaan suami telah dilukai, maka tentu dapat membawa efek negatif. Meski pada mulanya sakit hati dan perasaan itu tidak terlalu besar, namun bila terakumulasi sedemikian rupa, maka lambat laun tidak mustahil dikemudian hari akan menggumpal lalu meledak di saat terjadinya pertengkaran kedua belah pihak. Oleh karena itu, seyogiyanya istri itu memperhatikan apa yang menjadi kewajibannya, meskipun tampaknya kewajiban itu merupakan hal-hal yang bersifat sepele. 2) Istri Selingkuh104 Perselingkuhan yang dilakukan oleh istri adalah bentuk pelanggaran yang amat mengerikan dalam suatu rumah tangga. Selain melanggar norma agama, juga sangat menyakitkan hati sang suami, terutama di saat suami masih sangat mencintai dan menyayanginya. Perselingkuhan istri dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang sulit dimaafkan, bagaimanapun sabar dan penyayangnya seorang suami. Umumnya kasus perselingkuhan yang terjadi di Indonesia, pada akhirnya berujung dengan perceraian di Pengadilan Agama. Oleh karena itu, suatu rumah tangga hendaknya berusaha semaksimal mungkin untuk menghindarinya. 104 Selingkuh artinya : tidak berterus terang; tidak jujur; suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; curang; dan serong. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 802 242 Perselingkuhan, terutama jika istri telah melakukan hubungan perzinahan dengan lelaki lain, maka ancaman hukumannya sangatlah berat. Bagi laki-laki atau perempuan yang gairu muḥṣan atau al-bikr, hukumannya adalah seratus kali cambuk/dera, berdasarkan QS al-Nūr/24: 2 disebutkan : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”105 Adapun perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki/perempuan yang muḥṣan, maka para ulama sepakat bahwa hukumannya adalah dirajam sampai mati, berdasarkan hadis Rasulullah, berasal dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid alJuhami yang mengatakan: “Teliti ya Unais, apabila wanita ini (isteri seseorang) mengaku, maka rajamlah dia.” Hadis lain, menyebutkan tentang “kasus Ma’iz yang mengadu kepada Rasulullah saw bahwa ia telah melakukan perzinaan, maka Rasulullah ketika itu merajamnya.”106 Berdasarkan keterangan di atas, maka pasangan suami-istri hendaknya benar-benar menjaga hal-hal yang dapat menjerumuskan ke dalam perzinaan, salah satunya adalah perselingkuhan. Perselingkuhan dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, di antaranya : 105 Tim Penterjemah al-Qur’an, op. cit., h. 543 Abdul Aziz Dahlan, et. al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6 (Jakarta: Ichtiar Baru, 1997), h. 2029 106 243 1) membebaskan pandangan mata. Menjaga pandangan dari hal-hal yang bertentangan dengan agama, misalnya menahan pandangan dengan pandangan nafsu merupakan antisipasi pertama yang dapat mencegah seseorang dari perselingkuhan. Karena itu, Allah swt memerintahkan agar setiap pribadi muslim, laki-laki atau perempuan agar menundukkan pandangannya (gaḍḍu albaṣar) sebagaimana diungkapkan dalam QS al-Nūr/24: 30 – 31 ﻗﻞ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﯿﻦ ﯾﻐﻀﻮا ﻣﻦ أﺑﺼﺎرھﻢ وﯾﺤﻔﻈﻮا ﻓﺮوﺟﮭﻢ ذﻟﻚ أزﻛﻰ ﻟﮭﻢ إن ﷲ وﻗﻞ ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﺎت ﯾﻐﻀﻀﻦ ﻣﻦ أﺑﺼﺎرھﻦ وﯾﺤﻔﻈﻦ ﻓﺮوﺟﮭﻦ وﻻ ﯾﺒﺪﯾﻦ.ﺧﺒﯿﺮ ﺑﻤﺎ ﯾﺼﻨﻌﻮن ...زﯾﻨﺘﮭﻦ إﻻ ﻣﺎظﮭـﺮ ﻣﻨﮭﺎ Artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman; “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya”...... Berdasarkan ayat yang memerintahkan untuk menjaga pandangan di atas, maka setiap muslim tidak boleh menganggap ringan perkara pandangan. Pandangan seringkali menjadi kunci terjadinya malapetaka. Tidak sedikit perempuan yang kabur dari rumah suaminya, pergi bersama laki-laki lain yang dicintainya. Begitu pula, tidak sedikit laki-laki menceraikan istrinya, atau keharmonisan rumah tangga menjadi terganggu karena suami melihat perempuan 244 lain dan tertarik kepadanya. Dari sini, kemudian Rasulullah mengingatkan tentang “masalah pandangan” agar memalingkannya. Nabi bersabda : ﻋﻦ ﺟﺮﯾﺮ ﺑﻦ ﻋﺒـﺪ ﷲ ﺳـﺄﻟﺖ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﻧﻈﺮ اﻟﻔﺠﺎءة رواه ﻣﺴﻠﻢ وداود واﻟﺘﺮﻣﺬي. إﺻﺮف ﺑﺼﺮك: ﻓﻘﺎل Artinya : Dari Jarīr bin ‘Abdullah, ia berkata : saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan yang tiba-tiba. Nabi menjawab: “Palingkanlah pandanganmu”. Hadis di atas menunjukkan agar setiap muslim tidak mempertajam atau mempercermat pandangan yang tiba-tiba (pandangan sekilas). Tetapi yang harus dilakukan adalah bagaimana pandangan pertama yang sekilas, -tanpa ada niat atau kesengajaan untuk memandang- secepatnya dialihkan. 2) khalwat (menyepi) yang diharamkan. Khalwat dapat mengantarkan kepada perselingkuhan yang dapat menyebabkan runtuhnya bangunan rumah tangga. Khalwat dapat menggerakkan rasa senang dan nafsu syahwat dalam diri laki-laki dan perempuan. Setan akan menyelinap di antara keduanya dengan cara merayu dan memperdaya. Rasulullah bersabda : ﺳﻤﻌﺖ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ: ﺳﻤﻌﺖ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﯾﻘﻮل: ﻗﺎل.ﻋﻦ ﻣﻌﺒـﺪ 107 . ﻻ ﯾﺨﻠﻮن رﺟﻞ ﺑﺎﻣﺮأة إﻻ وﻣﻌﮭﺎ ذو ﻣﺤﺮم: ﯾﺨﻄﺐ ﯾﻘﻮل Artinya : Dari Ma’bad, ia berkata, saya mendengar Ibn ‘Abbās berkata, saya mendengar Nabi berkhutbah, ia berkata : Janganlah laki-laki dan perempuan 107 Abu al-Ḥusain al-Naisabūri, Ṣaḥiḥ Muslim, vol. II, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 978 245 berkhalwat (berdua menyepi) dengan seorang perempuan kecuali terdapat mahramnya. Berdasarkan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa larangan menyepi seorang laki-laki dengan seorang wanita tanpa mahram adalah bersifat umum. Karena itu, seorang suami atau istri dituntut untuk menghindari keadaan menyepi tersebut sehingga terhindar dari perselingkuhan. Jika seandainya istri tidak lagi mencintai dan menyayangi suaminya, karena mungkin suami telah mengabaikannya, maka jalan yang terbaik ditempuh oleh istri adalah seperti petunjuk Imam Malik, yaitu mengadukan suaminya kepada hakim (pengadilan). Hakimlah yang akan memberikan nasehat kepada sang suami. Jika tidak dapat dinasehati, maka hakim dapat melarang istri untuk taat kepada suami, tetapi suami tetap wajib memberikan nafkah. Hakim juga membolehkan sang istri pisah ranjang, bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. Jika cara ini pun gagal menyadarkan suami, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pukulan kepada sang suami. Kalau dengan pukulan ini pun, suami belum juga memperbaiki diri, maka hakim boleh memutuskan perceraian atas persetujuan istri. Langkah hakim ini, seimbang dengan sikap yang diambil oleh suami dalam menghadapi istri nusyus, sebagaimana QS al-Nisā’/4: 34. Perbedaannya, adalah untuk kasus nusyus suami, yang melaksanakan tiga tahapan itu adalah hakim, bukan oleh istri itu sendiri.108 108 Lihat, ‘Iz al-Dīn Balīg, Minhāj al-Ṣāliḥīn min Aḥādīṡ wa al-Sunnah Khātam al-Anbiyā’ wa al-Mursalīn, (Beirut: Dār al-Fikr, 1978), h. 345. Lihat pula, Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 279 246 Di samping itu, dapat pula dilakukan seperti petunjuk QS al-Nisā’/4: 128, yaitu istri menasehati suami bersamaan dengan musyawarah, ketika kasusnya belum diajukan kepada hakim atau pengadilan. Tidakkah saling memberi nasehat antara sesama muslim itu dianjurkan oleh al-Qur’an dan hadis, lebih lagi antara suami-istri ?. Meski demikian, jika nasehat istri tidak diperdulikan oleh suami dan musyawarah pun gagal menghasilkan perubahan dan perbaikan, maka di saat itulah istri mengadukan kasusnya kepada hakim atau pengadilan. 3) Merusak Properti milik Suami Merusak barang suami sebagaimana pada kasus 7b di atas, seperti menggunting baju dan sebagainya, jelas tidak dapat dibenarkan dalam agama, meskipun itu merupakan reaksi dari aksi suami yang dicurigai telah selingkuh, atau bahkan telah kawin. Seorang istri yang baik, dituntut untuk menyikapi setiap permasalahan yang dihadapinya dengan cara-cara yang bijaksana, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, seperti menyikapi dengan ketabahan, kesabaran, dan sebagainya. Sebab menyikapi dengan cara-cara anarkis, justeru akan membuat hati suami semakin hancur, yang pada gilirannya berujung di meja pengadilan. 4) Mengusir Suami Kasus 6b, mengusir suami adalah bentuk nusyus istri yang tidak kalah bahayanya dibandingkan bentuk-bentuk nusyus yang lain. Betapa tidak, mengusir suami merupakan pukulan psikologis yang sangat telak bagi seorang suami, sekaligus menunjukkan keangkuhan dan ego dari seorang istri, meskipun terdapat kemungkinan bahwa tindakannya itu merupakan reaksi dari aksi suami sendiri. 247 Tindakan istri mengusir suami menunjukkan superioritas istri dalam kasus ini. Istri merasa punya kemandirian dan kemampuan di bandingkan dengan suaminya. Dari sini dapat dipahami, bahwa dalam suatu perkawinan setidaknya harus ada kafāah (kesejajaran atau keselarasan suami dengan istri), baik dari segi umur, pendidikan, status sosial, maupun ekonomi, sehingga isteri tidak merasa lebih unggul, lebih dominan, dan lebih hebat di bandingkan dengan status suaminya. Dari sini pula menunjukkan bahwa suami seharusnya memiliki derajat setingkat di atas istri dalam struktur keluarga muslim. Dalam kaitan ini, al-Qur’an QS al-Nisā’/4: 5 menjelaskan bahwa untuk menjaga status suami di mata istri sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga, maka harta merupakan salah satu sarana untuk menegakkan kepemimpinan tersebut, sebagaimana kandungan ayat “allatī ja’alallāhu lakum qiyāman” (harta yang dijadikan oleh Allah sebagai pokok kehidupan bagi kamu, yaitu suami). Karena itu, harta suami tidak boleh berada di bawah penguasaan istri. Ayat tersebut selengkapnya berbunyi : َوﻻَ ﺗُﺆْ ﺗُﻮا اﻟ ﱡﺴﻔَﮭَﺎ َء أَ ْﻣ َﻮاﻟَ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠﺘِﻰ ﺟَ َﻌ َﻞ ﷲُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻗِﯿَـ ًﻤﺎ َوارْ ُزﻗُﻮْ ھُ ْﻢ ﻓِ ْﯿﮭَﺎ َوا ْﻛ ُﺴﻮْ ھُ ْﻢ َوﻗُﻮْ ﻟُﻮْ ا ﻟَﮭُ ْﻢ . ﻗَﻮْ ﻻً َﻣ ْﻌ ُﺮوْ ﻓًﺎ Artinya : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, 109 harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka 109 Dalam terjemah Departemen Agama disebutkan bahwa orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum baligh atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya. 248 belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Al-ḍahhāq mengutip pendapat Ibn ‘Abbās mengatakan bahwa “alsufahā’” dalam ayat tersebut adalah anak dan istri, pendapat ini diikuti oleh Ibn Mas’ud, Hakam bin ‘Uyainah, dan Hasan. Diikuti pula kalangan ulama tabi’in seperti Mujāhid, ‘Ikrimah, dan Qatadah. Dengan demikian, ayat ini bermakna janganlah kamu serahkan hartamu kepada istrimu.110 Meski Imam al-Ṭabariy sebagaimana dikutip oleh Muhammad ‘Ali al-Sāyis 111 lebih memilih pengertian umum lafaz “al-sufahā’”, sehingga kata tersebut berarti bahwa siapa saja yang dianggap tidak mampu mengelola harta dengan baik, maka ia tidak layak diberikan dan dipercayakan untuk men-tasarruf-kan harta. Dari kedua pendapat tersebut, penulis memilih arti pertama. Setidaknya ada dua alasan : (1) terdapat hadis yang mendukung pendapat pertama, yaitu sabda Rasulullah saw yang berbunyi : ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ إِنﱠ أَﺑَﺎ َ َِﻋﻦْ َﻋﺎﺋِ َﺸﺔَ أَنﱠ ِھ ْﻨ ًﺪا أ ُ ﱠم ُﻣ َﻌﺎ ِوﯾَ ٍﺔ َﺟﺎ َءتْ َر ُﺳﻮْ لَ ﷲ ﻰ ُﺟﻨَﺎ ٌح أَنْ آ ُﺧ َﺬ ِﻣﻦْ َﻣﺎﻟِ ِﮫ ﻲ ﻓَﮭَﻞْ َﻋﻠَ ﱠ ُﺳ ْﻔﯿَﺎنَ َر ُﺟ ٌﻞ َﺷ ِﺤ ْﯿ ٌﺢ َوإِﻧﱠﮫُ ﻻَﯾُ ْﻌﻄِ ْﯿﻨِﻰ َﻣﺎ ﯾَ ْﻜﻔِ ْﯿﻨِﻰ َوﺑَﻨِ ﱠ . رواه أﺑﻮ داود. ِﺮوْ ف ُ ﻚ ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌ ِ ﻚ َوﺑَﻨِ ْﯿ ِ َﻣﺎﯾُ ْﻜﻔِ ْﯿ َْﺷ ْﯿﺌًﺎ ؟ ﻗَﺎ َل ُﺧ ِﺬى Artinya : Dari ‘Aisyah ra bahwa Hindun, ibu Mu’awiyah datang kepada Rasulullah saw, ia berkata bahwa Abu Sufyan adalah suami yang kikir, 110 Lihat, Ismā’il bin ‘Umar, al-Misbāh al-Munir, (Riyad: Dār al-Salām, 2000), h. 273 Lihat, Muhammad ‘Ali al-Sāyis, Tafsīr Ayāt al-Ahkām, (t.t. Muhammad ‘Ali Sabih, 111 t.th), h. 30 249 dan tidak memberi harta yang cukup untukku dan untuk anakku. Apakah aku berdosa jika aku mengambil hartanya ? Nabi menjawab, ambillah secukupnya untuk kamu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf. Hadis di atas menunjukkan bahwa istri tidak boleh mengambil harta suami sesuai dengan keinginannya, ia hanya boleh mengambil sekedar mencukupi kebutuhan diri dan anaknya. Ini, menunjukkan bahwa istri tidak boleh memanfaatkan harta suaminya sesuai dengan keinginan pribadinya sendiri. Alasan (2), Islam telah mengatur pembagian harta warisan dalam sistem faraid. Yaitu, jika seandainya suami meninggal dunia, maka istri mendapat seperdelapan bila ada anak, dan seperempat bila tidak ada anak. Ini, menunjukkan bahwa harta suami adalah milik suami, bukan milik istri. Karena itu istri tidak boleh menguasai harta suami karena ia bukan pemiliknya. Berdasarkan dua alasan tersebut, penulis berkesimpulan bahwa harta suami bukanlah harta istri. Dengan demikian, suami tidak berkewajiban untuk memberitahukan istri, berapa jumlah penghasilan suami. Lebih dari itu, suami tidak berkewajiban untuk menyerahkan seluruh penghasilannya kepada istrinya. Namun demikian, tidak berarti suami mesti menyembunyikan harta dan penghasilannya, atau tidak menyerahkannya kepada istri. Ini sangat tergantung kepada kondisi masing-masing keluarga. Walaupun demikian, seandainya suami memberitahukan atau menyerahkan harta dan 250 penghasilannya kepada istri, maka itu hanya merupakan sikap dan tindakan yang “ma’ruf”. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kewajiban utama suami terhadap istri adalah memberikan kebutuhan minimal (primer) terhadap istri dan keluarganya. Lebih dari itu, suami juga dituntut untuk bersikap ma’ruf. Yaitu memberikan kebutuhan sekunder, bahkan kebutuhan kemewahan. b. Bentuk Nusyus Suami 1) Menyakiti Istri Secara Fisik Nusyus tidak hanya selalu dilakukan oleh istri. Suami juga dapat melakukan nusyus yang dapat berujung pada perceraian. Nusyus yang dilakukan suami dapat berbentuk tindakan kasar yang dapat dikategorikan sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu memukul dengan tangan, bahkan mencekik leher istrinya. Dalam perspektif hukum Islam, tindakan memukul dan mencekik, jelas tidak dapat dibenarkan. Bahkan perbuatan ini bertentangan dengan perintah Allah yang memerintahkan untuk memperlakukan istri secara ma’ruf. Seandainya istri telah melakukan kesalahan atau tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan ajaran Islam, nusyus, maka tentu cara yang terbaik untuk meluruskannya adalah cara yang ditunjukkan oleh al-Qur’an seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan Bab II, yaitu langkah pertama, menasehatinya dengan cara yang santun, yang dilandasi oleh kasih sayang 251 yang dalam. Bila gagal, maka langkah ke dua adalah pemisahan tempat tidur atau tidak menggaulinya di tempat tidur. Jika cara ini pun gagal, maka dapat dilakukan pukulan ringan sebagai langkah terakhir, namun dalam batas tidak menyakiti fisik dan perasaannya, meski sanksi fisik ini harus dihindari semaksimal mungkin. Dalam perspektif undang-undang, maka perbuatan memukul dengan tangan, dan mencekik istri adalah bagian dari pelanggaran terhadap UU RI No. 1 Tahun 1994 pasal 33 yang mewajibkan agar setiap pasangan saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin. Bahkan dapat dimasukkan pelanggaran UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 5 huruf a yang ancaman hukumannya penjara 5 tahun dan denda Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah). 2) Menyakiti Istri Secara Verbal Menyakiti istri secara verbal, pada hakekatnya tidak kalah menyakitkan dibandingkan dengan menyakiti istri secara fisik. Bila memukul dengan tangan atau kayu, maka yang luka adalah bagian luar, meski bagian dalam juga turut merasakannya. Tetapi memukul dengan kata-kata atau lidah, maka yang luka adalah hati dan perasaannya. Bila perasaan telah luka terkadang sangat sulit untuk disembuhkan. Pepatah Arab mengatakan : “Jika kecintaan dalam hati telah luka, maka ia 252 laksana cermin, yang pecahnya tidak dapat dipulihkan.”112 Karena itu, hendaknya masing-masing pasangan bisa menahan diri untuk tidak sembarangan dalam berkata-kata apabila marah atau emosi, sebab dampaknya sangat besar. Dalam perspektif hukum Islam, tindakan menyakiti isteri secara verbal juga bagian dari pelanggaran terhadap “mu’asyarah bi al-ma’ruf” bersikap lemah lembut kepada pasangan. Sedangkan dari perspektif undang-undang adalah pelanggaran terhadap UU RI No. 1 Tahun 1994 pasal 33 yang mewajibkan agar setiap pasangan saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin. Juga dapat dimasukkan pelanggaran UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 5 huruf b yang ancaman hukumannya penjara 3 tahun dan denda Rp. 9.000.000 (sembilan juta rupiah). 3) Meninggalkan Tanggung Jawab Kutipan 4b di atas menunjukkan bahwa suami, di samping seringkali melakukan kekerasan verbal dan kekerasan fisik kepada istri, juga tidak memberikan nafkah kepada istri selama lebih dari 2 tahun. Dalam perspektif hukum Islam, perbuatan tidak memberi nafkah kepada istri juga merupakan tindakan nusyus. Suami dalam hal ini, jelas menunjukkan bahwa ia tidak bertanggung jawab dalam kehidupan 112 إن اﻟﻘﻠﻮب إذا ﺗﻨﺎﻓﺮ ودھـﺎ * ﻣﺜﻞ اﻟﺰﺟﺎﺟﺔ ﻛﺴـﺮھـﺎ ﻻﯾﺠـﺒـﺮ 253 rumah tangganya. Seperti diketahui bahwa di antara kewajiban pokok seorang suami adalah memberikan nafkah, baik lahir maupun batin kepada keluarganya. Dalam perspektif undang, suami yang demikian, juga melanggar UU RI No. 1 Tahun 1994 pasal 33 yang mewajibkan agar setiap pasangan saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin. Juga dapat dimasukkan pelanggaran UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 9 ayat 1 yang ancaman hukumannya penjara 3 tahun dan denda Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah). 4) Mengusir Istri Bentuk nusyus suami terhadap istri yang lain, adalah pengusiran suami terhadap istri. Dalam perspektif hukum Islam, pengusiran istri seperti yang dialami oleh istri pada kasus 7a, jelas merupakan tindakan nusyus yang tak dapat dibenarkan. Selain bertentangan dengan nilai- nilai kemanusiaan, juga bertentangan dengan perintah Allah yang menyuruh untuk memperlakukan istri secara ma’ruf (baik), dan juga sekaligus sebagai kewajiban suami terhadap istrinya. Betapapun kesalahan istri, namun bila suami itu baik dan bertanggung jawab, tentu akan mengembalikan istrinya kepada kedua orang tuanya, atau menceraikannya dengan cara-cara yang santun, tidak dengan pengusiran. Dapat dibayangkan perasaan seorang wanita yang diusir oleh suaminya, hati 254 dan perasaannya akan hancur, terutama seandainya ia tidak lagi mempunyai orang tua atau pelindung. Dalam perspektif undang-undang, bentuk pengusiran isteri adalah bentuk kekerasan psikis yang diancam dengan hukuman penjara 3 tahun dan denda Rp. 9.000.000 (sembilan juta rupiah). 3. Solusi yang ditempuh. Kutipan-kutipan putusan hakim Pengadilan Agama Polewali yang peneliti dapatkan menunjukkan bahwa tidak ada solusi yang ditempuh oleh pasangan suami istri untuk kembali rujuk atau damai pada saat mereka mengajukan gugatan perceraian, kecuali putusan cerai. Walaupun ada usaha yang dilakukan oleh pihak keluarga untuk mendamaikan pasangan yang bermasalah, tetapi semuanya gagal. Kegagalan dalam perdamaian di tingkat pengadilan ini, adalah logis dan dapat dimaklumi, mengingat mereka yang sudah membawa kasusnya di Pengadilan Agama, berarti mereka sudah mempunyai niat dan kebulatan tekad untuk mengakhiri perkawinan mereka dengan perceraian. Di samping itu, usaha yang dilakukan oleh pihak mediasi dari Pengadilan Agama Polewali untuk mendamaikan pasangan suami isteri cenderung sebatas formalitas yang belum maksimal. Hal ini tampak, pada Seluruh Laporan Hasil mediasi Pengadilan Agama Polewali yang didapatkan oleh Peneliti menunjukkan, bahwa seluruh hasil mediasi yang dilakukan dinyatakan gagal. Hal yang tidak terungkap dalam mediasi tersebut adalah bagimana langkah-langkah yang dilakukan oleh pihak mediasi 255 Pengadilan Agama Polewali untuk memberikan solusi damai pada pasangan suami istri yang bermasalah. Menurut hasil wawancara penulis dengan salah seorang Hakim Pengadilan Agama Polewali113 menyatakan, bahwa proses perdamaian biasanya dilakukan di salah satu ruangan pengadilan, yang khusus disiapkan untuk maksud tersebut. Karena belum ada petugas khusus yang mendapat sertifikat arbiter, maka yang bertindak sebagai hakam atau arbiter adalah salah seorang Hakim Pengadilan Agama yang tidak menangani kasus yang bersangkutan. Hakam tersebut dipilih oleh pasangan yang sedang berperkara dari beberapa nama yang ditawarkan kepada mereka oleh Ketua Pengadilan Agama. Dengan pernyataan tersebut, menunjukkan belum maksimalnya kerja hakam. Seyogiyanya, para arbiter lebih progresif dan aktif untuk terjun ke lapangan, mendatangi rumah-rumah mereka yang mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama, tidak melakukannya di Kantor Pengadilan Agama. Dengan begitu, mungkin ada faktor psikologis dan sosiologis yang berbeda bila dilakukan di Kantor Pengadilan Agama, sehingga tujuan hakam itu tercapai, yaitu perdamaian. 4. Skema Alur Masalah Nusyus Dalam Keluarga Muslim di Kabupaten Polewali Mandar 113 Wawancara dengan Drs. Rahmat (Hakim Pengadilan Agama Polewali) 256 Kajian penelitian terhadap masalah nusyus yang terjadi dalam keluarga muslim di Kabupaten Polewali Mandar menujukkan sebuah pola yang menarik mulai dari faktor penyebab, bentuk nusyus sampai pada terjadinya perceraian. Temuan penelitian menunjukkan bahwa dalam permasalahan yang terjadi dalam keluarga muslim, kadang kadang tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja yang dapat menyebabkan suami atau istri nusyus. Misalnya saja faktor ekonomi yang juga sangat dipengaruhi oleh faktor akhlak dari istri atau dari suami. Bentuk-bentuk nusyus yang dilakukan oleh suami atau istri yang kadang diperparah oleh bentuk nusyus yang lain, misalnya saja suami menyakiti istri secara fisik yang biasanya juga diikuti oleh kata-kata yang menyakiti istri secara verbal. Hubungan antara faktor penyebab nusyus dan nusyus itu sendiri kadang dikuatkan oleh interaksi emosi negatif yang intens yang membuat nusyus terjadi pada istri atau pada suami. Syikak salah satu interaksi emosi negatif yang menjadi penguat terjadinya nusyus pada suami atau istri. Faktor penyebab yang mungkin saja sepele, akan tetapi diperkuat dengan interaksi negatif seperti syikak menyebabkan masalah dalam rumah tangga semakin membesar dan menyulut terjadinya nusyus. Berikut ini adalah bagan alur interaksi faktor, bentuk nusyus dan penyelsaiannya. Diagram 1 (bagan alur faktor penyebab, dan bentuk nusyus) KECEMBURUAN ISTRI EKTERNAL (CAMPUR TANGAN ORANG TUA AKHLAK SUAMI KECEMBURUAN SUAMI EKONOMI sUAMI SUAMI) AKHLAK ISTRI TERPISAH TEMPAT TINGGAL SUAMI MENIKAH SYIKAK sUAMI MERUSAK PROPERTI SUAMI ISTRI SELINGKUH MENINGGALKAN RUMAH TANPA IZIN SUAMI • Ket: • istri meninggalka n rumah tanpa izin suami mengusir istri Faktor Penyebab • Menyakiti Bentuk Nusyus Istri secara fisik • Menyakiti Istri secara Verbal SUGESTI BAWAH SADAR OLEH ISTRI sUAMI MENAMPAKKAN KEMARAHAN MENYAKITI ISTRI SECARA VERBAL MENGUSIR ISTRI MENYAKITI ISTRI SECARA FISIK MENGUSIR SUAMI MENINGGALKAN TANGGUNG JAWAB Pisah rumah CERAI 279 Pada diagam (1) di atas tergambar bagaimana alur terjadinya nusyus dalam keluarga muslim. Diagram (1) menunjukkan bawah faktor akhlak dari istri dapat menjadi penyebab terjadinya pertengkaran diantara suami istri (syikak) yang selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya nusyus istri dalam bentuk meninggalkan rumah tanpa izin dari suami. Faktor akhlak ini juga menjadi penyebab terjadinya perbuatan yang sangat tercela yaitu terjadinya perselingkuhan istri dengan lelaki lain yang kemudian berujung pada terjadinya perceraian. Faktor ekonomi, yang menyebabkan suami tidak dapat menjalangkan kewajibannya dalam menafkahi rumah tangganya, yang menjadi pemicu terjadinya syikak terus menerus, yang kemudian berujung pada perceraian. Faktor akhlak suami juga dapat menyebabkan terjadinya nusyus. Diagram (1) menggambarkan faktor akhlak suami dapat menyebabkan terjadinya syikak dalam rumah tangga yang kemudian memicu suami melakukan nusyus dengan tidak menjalangkan kewajibannya sebagai suami dan sebagai kepala rumah tangga. Faktor akhlak ini juga yang menyebabkan suami melakukan nusyus dengan menyakiti istri secara fisik. Faktor lokasi tempat tinggal suami istri yang berbeda dapat menjadi pemicu terjadinya nusyus suami terhadap istri. Faktor lokasi tempat tinggal ini biasanya dipicu oleh faktor ekonomi keluarga dan juga dipengaruhi oleh 280 281 faktor akhlak dari suami. Perbedaan tempat tinggal suami dan istri tidak akan menjadi penyebab terjadinya nusyus suami terhadap istri, jika suami bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Faktor suggesti bawah sadar oleh istri dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya nusyus suami terhadap istri dalam bentuk suami meninggalkan kewajibannya dan nusyus istri terhadap suami dalam bentuk mengusir suami. Diagram 1 dan hasil penelitian menunjukkan bahwa suggesti bawah sadar oleh istri terhadap suami dengan kata-kata “kawin saja” terjadi pada saat keduanya terlibat interaksi emosi yang intens pada saat terjadinya syikak. Walaupun demikian faktor akhlak suami dan istri juga sangat mempengaruhi terjadinya hal tersebut. Faktor akhlak suami dan istri memicu terjadinya syikak yang selanjutnya menyebabkan istri mengeluarkan kata-kata yang mensuggesti suami untuk melakukan sesuatu yang bisa saja istri tidak menyukainya seperti kata-kata “cerai” atau “kawin saja.” Diagram 1 di atas menunjukkan suami menikah lagi karena selalu disuggesti oleh istri pada saat terjadinya syikak selanjutnya terjadi nusyus oleh istri dengan melakukan pengusiran pada suami dan nusyus yang dilakukan oleh suami dengan meninggalkan kewajibannya sebagai suami dan kepala rumah tangga. Faktor kecemburuan baik dari istri maupun suami dapat menjadi penyebab terjadinya nusyus. Kecemburuan yang berlebihan suami terhadap 282 istri dapat menyebabkan terjadinya nusyus dalam bentuk menyakiti istri baik secara verbal maupun secara fisik dan bahkan suami dapat meninggalkan kewajibannya sebagai suami dan kepala rumah tangga. Nusyus juga dapat dilakukan oleh istri karena kecemburuan yang berlebihan terhadap suami dalam bentuk merusak property suami, dan bahkan bisa meninggalkan rumah tanpa izin suami. Diagram 1 di atas juga menunjukkan bahwa suami dapat saja melakukan nusyus dengan tidak menjalangkan kewajibannya, menyakiti istri secara verbal dan bahkan mengusir istri dari rumah yang disebabkan oleh faktor ekternal berupa campur tangan orang tua suami dalam rumah tangga anaknya. Hal lain yang ditunjukkan oleh diagram 1 di atas adalah terdapat kemungkinan satu faktor penyebab, dapat menyebabkan satu, dua bahkan tiga bentuk nusyus. Faktor kecemburuan suami, kecemburuan istri dan faktor eksternal menyebabkan tiga bentuk nusyus. Faktor akhlak istri dan suami mengakibatkan dua bentuk nusyus, sedangkan faktor lokasi, ekonomi dan faktor suggesti tanpa sadar oleh isteri masing-masing satu bentuk nusyus. Selain itu, diagram 1 juga menunjukkan bahwa bentuk nusyus tertentu dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda, misalnya suami meninggalkan tanggung jawabnya, dapat disebabkan oleh faktor lokasi, 283 ekonomi, suggesti tanpa sadar oleh isteri, faktor eksternal, kecemburuan suami dan akhlak suami. Menyakiti istri secara fisik dapat dipengaruhi oleh akhlak suami dan kecemburuan suami yang berlebihan. Menyakiti istri secara verbal dapat dipengaruhi faktor eksternal (campur tangan orang tua suami) dan kecemburuan suami. Dan istri meninggalkan rumah tanpa izin suami dapat dipengaruhi oleh faktor kecemburuan istri dan faktor eksternal. Secara umum, pola alur dari faktor penyebab sampai pada terjadinya perceraian mempunyai alur yang sama. Dimulai dari faktor penyebab, kemudian terjadinya percekcokan yang intens oleh suami istri (syikak) yang kemudian menyebakan terjadinya nusyus baik oleh suami maupun istri. Selanjutnya terjadi pisah rumah antara pasangan yang berselisih dengan lama waktu yang bervariasi yang kemudian berujung pada terjadinya perceraian pada pasangan tersebut. BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor penyebab nusyus dalam keluarga muslim Kabupaten Polewali Mandar adalah faktor akhlak suami, faktor akhlak istri, faktor ekonomi, faktor eksternal atau campur tangan pihak ketiga, faktor lokasi tempat tinggal yang berbeda, faktor kecemburuan dan faktor suggesti bawah sadar dari istri. 2. Bentuk-bentuk nusyus dalam keluarga muslim kabupaten Polewali Mandar, adalah suami meninggalkan tanggung jawab, suami mengusir istri, istri mengusir suami, suami menyakiti istri secara fisik dan secara verbal, istri meninggalkan rumah tanpa izin suami, merusak properti suami dan istri selingkuh. a. Bentuk nusyus tertentu dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda. Nusyus suami dengan meninggalkan tanggung jawabnya, dapat disebabkan oleh faktor lokasi, ekonomi, suggesti tanpa sadar dari istri, faktor eksternal, kecemburuan suami dan akhlak suami. Menyakiti istri secara fisik dapat dipengaruhi oleh akhlak suami dan 271 kecemburuan suami yang berlebihan. Menyakiti istri secara verbal dapat dipengaruhi faktor eksternal (campur tangan orang tua suami) dan kecemburuan suami. Dan istri meninggalkan rumah tanpa izin suami dapat dipengaruhi oleh faktor kecemburuan istri dan faktor eksternal. b. Alur dari faktor penyebab sampai pada terjadinya perceraian: dimulai dari faktor penyebab, kemudian terjadinya percekcokan yang intens oleh suami istri (syikak) yang kemudian menyebabkan terjadinya nusyus baik oleh suami maupun istri. Selanjutnya terjadi pisah rumah antara pasangan yang berselisih dengan lama waktu yang bervariasi yang kemudian berujung pada terjadinya perceraian pada pasangan tersebut. 3. Tidak ada solusi yang ditempuh oleh keluarga muslim kabupaten Polman untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam keluarga muslim, kecuali cerai. Para Hakim Pengadilan Agama Polewali sulit mendamaikan pasangan suami-istri yang mengajukan kasusnya di Pengadilan Agama Polewali, karena sejak semula mereka sudah mempunyai niat dan tekad untuk mengakhiri perkawinan mereka. Model solusi yang dapat ditempuh oleh keluarga muslim yang mengalami kasus nusyus di Kabupaten Polewali Mandar adalah; pertama, sebelum sampai di tingkat pengadilan, maka pasangan yang bermasalah hendaknya mengangkat hakam atau penengah dari masing-masing 272 keluarga atau yang dituakan untuk menempuh jalur kekeluargaan sehingga perdamaian dapat dicapai; kedua, bila yang pertama gagal, maka Badan Penasehatan Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) yang ada di tingkat kecamatan perlu dilibatkan. Artinya, proses pradilan tidak dapat berjalan tanpa pengantar atau keterangan dari BP4; ketiga, jika yang kedua pun gagal, maka dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi di pengadilan dengan memperhatikan keterangan dari BP4 sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi mediator dan hakim pengadilan agama. Selain kesimpulan di atas, didapatkan pula temuan lain, yaitu pemahaman para hakim Pengadilan Agama Polewali yang menyatakan bahwa tindakan atau perbuatan nusyus hanya dilakukan oleh pihak istri, seperti yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan lainnya. B. IMPLIKASI Berdasarkan hasil penelitian ini, dikemukakan beberapa rekomedasi sebagai berikut : 1. Kepada pasangan suami-istri. Hendaknya lebih meningkatkan pemahaman tentang pembentukan keluarga bahagia, khususnya pemahaman tentang hak dan kewajiban berumah tangga. Demikian pula, hendaknya lebih meningkatkan akhlak dan moral, terutama akhlak berumah tangga dalam bentuk saling menghargai, menerima perbedaan, dan bersabar dalam 273 menghadapi semua tantangan yang sewaktu-waktu dapat menimpa bahtera rumah tangga, termasuk menerima dengan penuh kerelaan penghasilan suami yang merupakan pemberian dari Allah SWT. Menghindari kata-kata kasar yang dapat melukai hati dan perasaan pasangan, dan menghindari pula kata-kata yang propokatif secara berulang pada saat terjadinya pertengkaran. 2. Kepada Lembaga Peradilan Agama Polewali. Hendaknya membentuk lembaga mediasi yang representatif yang mampu secara serius membantu pasangan suami-istri untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam rumah tangga sebelum sampai di Pengadilan Agama. 3. Jika selama ini dalam “perjanjian lebih tepat” dari pada “taklik talak” disebutkan bahwa istri dapat mengajukan perceraian kepada Pengadilan Agama apabila suami meninggalkan istrinya selama dua tahun berturutturut, maka bunyi perjanjian tersebut diubah menjadi 6 bulan berturutturut. 4. Kepada peneliti selanjutnya. Disarankan agar penelitian lanjutan tentang kasus nusyus perlu dilakukan untuk mengungkap hal-hal yang belum terungkap dalam penelitian ini. 274