Perbaikan mutu biomineral cairan rumen dengan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Biomineral dan Mineral Organik
Suplemen mineral dapat diproduksi dari cairan rumen limbah rumah potong
(RPH). Cairan rumen mengandung zat makanan, seperti protein, vitamin, mineral,
dan lain-lain, yang diproduksi oleh mikroba rumen. Potensi nutrien dari cairan rumen
ini dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi suplemen biomineral (Tjakradidjaja et al.,
2007). Biomineral merupakan salah satu bentuk suplemen mineral yang mempunyai
nilai biologis cukup baik bila ditinjau dari segi nutrien mikroba rumen. Cara
menghasilkan biomineral dari cairan rumen limbah rumah potong, dapat dilakukan
dengan proses pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen ke
dalam protein mikrobalnya melalui penggunaan pelarut asam, pengendapan,
penambahan bahan carrier dan pengeringan di bawah sinar matahari (Tjakradidjaja et
al., 2009).
Biomineral cairan rumen berbeda dengan mineral organik. Biomineral
diperoleh dengan cara pemanenan protein mikroba rumen (Tjakradidjaja et al.,
2007), sementara mineral organik yang telah banyak diproduksi telah dibuat dengan
bantuan fungi atau dengan bantuan media pengikat seperti sumber protein. Pada
pembuatan mineral organik yang dilakukan Chaerani (2004), mineral anorganik Zn++
dan Cu++ diikat oleh gugus karboksil dari protein ampas tahu. Penggunaan mineral
mikro organik dapat meningkatkan pertumbuhan, reproduksi, dan kesehatan
ruminansia karena bioavaibilitasnya lebih tinggi atau lebih mirip dengan sumber
mineral yang tersedia di dalam tubuh. Suplemen mineral mikro organik membentuk
kompleks dengan unsur logam sehingga sering disebut chelat, bentuk ini stabil di
dalam saluran pencernaan sehingga akan mencegah pembentukan bentuk kompleks
dengan nutrien lainnya yang akan menghambat penyerapan. Kompleks logam dapat
diserap dengan memodifikasinya menjadi bentuk kimia mineral yang dapat diserap.
Penggunaan suplemen mineral mikro anorganik tergantung pada kemampuan ternak
dalam mengubahnya menjadi bentuk biologi aktif (Spears, 1996).
Serangkaian percobaan telah dilakukan untuk mendapatkan produk
biomineral cairan rumen yang optimal. Permana (2010) menyatakan bahwa level pH
5,5 adalah level pH pengasaman terbaik yang digunakan untuk mendapatkan kadar
bahan kering (BK) dan kadar abu tertinggi. Lebih lanjut menurut Permana (2010),
3
penambahan bahan carrier berupa tepung terigu dan agar menyebabkan penurunan
kandungan abu, protein kasar (PK), lemak kasar (LK), dan serat kasar (SK), tetapi
peningkatan BETN dibandingkan dengan biomineral yang asli (origin). Penggunaan
tepung terigu sebagai bahan carrier mempunyai keuntungan lain yaitu untuk
memenuhi kebutuhan energi tersedia untuk sintesis protein mikroba. Pati yang
terkandung dalam tepung terigu merupakan jenis karbohidrat mudah larut, namun
amilopektin yang menjadi komposisi utama pati sukar larut di air dingin
(Hindratiningrum et al., 2009). Mulyawati (2009) menyatakan bahwa xylosa
melindungi biomineral cairan rumen dari degradasi oleh mikroba rumen yang terlihat
dari penurunan konsentrasi amonia dan VFA dan peningkatan degradabilitas BK,
kecernaan BK dan bahan organik (BO). Pipit (2009) menyatakan bahwa biomineral
yang dienkapsulasi atau dilindungi dengan xylosa menambah ketersediaan protein
dan energi, namun belum dapat meningkatkan konsumsi bahan segar, BK, PK, total
digestible nutrien (TDN), produksi susu dan bobot badan sapi FH (FriesianHolstein). Tjakradidjaja et al. (2007) menyatakan bahwa nilai biologis biomineral
yang cukup baik dapat dimanfaatkan untuk ternak apabila diikuti dengan tingkat
bioavailabilitas dari biomineral dalam organ pasca rumen. Uji stabilitas biomineral
dengan metode Tilley dan Terry (1963) menunjukkan bahwa biomineral cukup
mudah difermentasi dan didegradasi di dalam rumen. Tingkat degradasi dan
kecernaan BK dan BO yang cukup tinggi menunjukkan penggunaan biomineral yang
baik di rumen dan organ pasca rumen. Tabel 1 menunjukkan performa ternak yang
diberi biomineral cairan rumen dibandingkan dengan kontrol.
Tabel 1. Rataan Bobot Badan (BB) Awal, Bobot Badan (BB) Akhir, dan
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Perbobot Badan Metabolis
(BB0,75) Ternak
Peubah
Perlakuan
Pakan Kontrol
Kontrol + Mineral Mix
Kontrol + Biomineral
BB awal (kg)
28,957
35,431
34,259
BB akhir (kg)
33,690
41,489
41,590
PBB (kg/hari)
0,097
0,124
0,150
Konversi Pakan
0,863
0,778
0,638
Suganda (2009)
4
Pemberian biomineral 1% dari konsentrat dalam ransum pada sapi perah
dapat meningkatkan performan ternak dan menghasilkan laju pertumbuhan yang
lebih baik. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan konsumsi dan pencernaan
nutrien, namun penggunaan biomineral belum mampu meningkatkan produksi susu
(Suryahadi dan Tjakradidjaja, 2009). Suganda (2009) menyatakan bahwa pemberian
biomineral 0,05 kg/ekor/hari (sekitar 1% dari konsentrat) pada sapi jantan FH lepas
sapih dapat meningkatkan konsumsi ransum seperti konsumsi BK, PK, SK dan TDN.
Pemberian biomineral juga dapat meningkatkan daya produksi ternak dengan
menghasilkan PBB yang cukup tinggi (Tabel 1). Rakhmanto (2009) menambahkan
bahwa pemberian biomineral mempengaruhi pertambahan lingkar dada dan PBB,
konsumsi ransum dan konsumsi mineral Ca, K, Mg dan S. Hasil tersebut tidak
berbeda dengan pemberian suplemen mineral mix.
Mineral
Mineral adalah elemen inorganik yang dibutuhkan makhluk hidup sebagai
nutrien (Cheeke, 1999). Mineral berperan penting sebagai koenzim dan kofaktor
dalam proses fisiologis ternak, baik untuk pertumbuhan maupun pemeliharaan
kesehatan (Darmono, 2007).
Mineral yang dibutuhkan dengan kuantitas gram per hari yang relatif banyak
disebut mineral makro, termasuk diantaranya adalah Ca, P, Na, Cl, K, Mg, dan S.
Mineral makro penting sebagai komponen struktural dari tulang dan jaringan serta
bertindak sebagai unsur penting dalam cairan tubuh (Perry et al., 2003). Mineral
makro biasanya berfungsi sebagai komponen dari struktur jaringan (Cheeke, 1999).
Unsur mineral makro berperan penting dalam aktivitas fisiologis dan metabolisme
tubuh (McDowell, 1992). Unsur mineral esensial baik makro maupun mikro sangat
dibutuhkan untuk proses fisiologis ternak, terutama ternak ruminansia yang hampir
seluruh hidupnya bergantung kepada pakan hijauan. Hijauan pakan ternak, terutama
jenis rumput, yang tumbuh di tanah yang miskin unsur mineral akan kurang pula
kandungan mineralnya. Akibatnya ternak yang hidup di daerah tersebut akan
mengalami penyakit yang disebut penyakit defisiensi mineral (Darmono, 2007).
Mineral mikro adalah mineral yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit yaitu ≤
100 ppm yang dinyatakan dalam ppm atau ppb (McDowell, 1992). Mineral mikro di
dalam jaringan tubuh terdapat dalam jumlah sedikit dan yang termasuk dalam
5
mineral mikro adalah kobalt, koper, iodin, besi, mangan, molibdenum, selenium dan
seng (NRC, 1989). Mineral mikro berfungsi sebagai aktivator atau kofaktor enzim
(Cheeke, 1999). Tabel 2 menunjukkan kebutuhan mineral untuk sapi perah dan Tabel
3 menunjukkan kebutuhan mineral untuk sapi pedaging.
Tabel 2. Kebutuhan Mineral untuk Sapi Perah (Friesian Holstein)
Laktasi
Mineral
Jantan
Dara
Awal
laktasi
Kering
Produksi 713 liter
Produksi
13-20 liter
Ca (%)
0,30
0,41
0,77
0,39
0,43
0,51
P (%)
0,19
0,30
0,48
0,24
0,28
0,33
Mg (%)
0,16
0,16
0,25
0,16
0,20
0,20
S (%)
0,16
0,16
0,25
0,16
0,20
0,20
Na (%)
0,65
0,65
1
0,65
0,90
0,90
Fe (ppm)
50
50
50
50
50
50
Mn (ppm)
40
40
40
40
40
40
Zn (ppm)
40
40
40
40
40
40
Sumber : NRC (1989)
Tabel 3. Kebutuhan Mineral Sapi Pedaging (Angus)
Mineral
Growing & Finishing
Bunting
Awal laktasi
Ca ( %)
0,13
0,33
0,16
P (%)
0,05
0,20
0,09
Mg (%)
0,10
0,12
0,20
S (%)
0,15
0,15
0,15
0,06 -0,08
0,06-0,08
0,10
Fe (ppm)
50
50
50
Mn (ppm)
20
40
40
Zn (ppm)
30
30
30
Na (%)
Sumber : NRC (2000)
Defisiensi Mineral
Kondisi defisiensi mineral terutama diakibatkan oleh kurangnya kandungan
mineral tertentu pada pakan ternak, tetapi juga tidak menutup kemungkinan akibat
terjadinya interaksi unsur-unsur mineral dalam pakan tersebut. Timbulnya penyakit
6
juga disebabkan oleh kondisi daerah, yaitu lahan kering marginal dengan curah hujan
rendah (Darmono, 2007). Suryahadi (1996) menyatakan bahwa di berbagai daerah di
Indonesia mengalami defisien mineral seperti Ca, Na, Zn, P dan Mg, sementara
kandungan K, Fe, Mn, dan Cu dalam kisaran cukup. Parakkasi (1999) menambahkan
bahwa mineral yang kemungkinan defisien di Indonesia adalah Ca, P, Mg, Co, Se,
Zn, dan Si, sedangkan yang berlebihan adalah Mn. Kualitas hijauan dan kesuburan
tanah di Indonesia juga merupakan hal-hal yang mempengaruhi defisien mineral
(Darmono, 2007).
Gejala awal dari defisiensi mineral dapat berupa penurunan reproduksi sekitar
20−75%, retensi plasenta, anak yang lahir menjadi lemah, dan angka kematian anak
tinggi. Penyakit lain yang timbul adalah pneumonia, diare, stomatitis, anoreksia, dan
penurunan produksi susu pada sapi perah. Terkadang defisiensi terjadi secara
simultan pada ternak mengakibatkan ternak menjadi kurus, rontok bulu,
depigmentasi rambut, dermatitis, abnormalitas tulang, keguguran, dan performa
reproduksi yang buruk (Cheeke, 1999).
Suplementasi Mineral
Suplementasi mineral penting dilakukan karena mineral merupakan salah satu
faktor pembatas pada ternak yang diberi pakan hijauan tropis. Beberapa mineral yang
sering defisien di daerah tropis adalah P, Na, Co, Se, Cu, I, dan Zn (Cheeke, 1999).
Suplementasi mineral dianjurkan harus memenuhi prinsip diantaranya mengandung
Ca dan P dengan rasio sebesar 2 : 1, kecuali untuk hewan ternak yang menyusui.
Bentuk suplemen mineral yang digunakan adalah yang mudah pemakaiannya dan
terhindar dari kontaminasi mineral-mineral beracun, bersifat cukup tinggi
palatabilitanya,
tepat
jumlah
pemberiannya,
pencampuran
harus
homogen
(Parakkasi, 1999). Mineral yang biasa ditambahkan ke dalam ransum dan rumen
dapat berupa mineral organik maupun anorganik. Mineral organik adalah mineral
yang dibuat dengan bantuan fungi (Silalahi, 2003) atau diikay di dalam protein
seperti ampas tahu (Chaerani, 2004). Suplemen mineral anorganik adalah mineral
yang dapat ditambahkan langsung ke dalam ransum.
Penelitian tentang suplementasi mineral telah banyak dilakukan. Suryahadi
(1996) mengatakan bahwa ternak di daerah tropis harus mendapat suplementasi
mineral sekitar 1,5-2 kali kebutuhan NRC. Maramis dan Evitayani (2009)
7
menyatakan bahwa sintesis protein mikroba pada ransum (60% jerami padi + 40%
pakan penguat) yang disuplementasi Ca, Mg, S dan P meningkat jika dibandingkan
dengan kontrol. Zulkarnaini (2009) menyatakan bahwa suplementasi mineral P dan S
pada jerami padi amoniasi mampu meningkatkan kecernaan NDF, ADF, selulosa,
dan hemiselulosa, lebih lanjut lagi dikatakan bahwa kebutuhan optimal mineral P
untuk mikroba rumen adalah 0,4%.
Rumen
Ternak ruminansia mempunyai bagian pencernaan yang besar dan multi
ruang, di dalamnya juga terdapat ekosistem mikroba yang sangat kompleks yang
mendukung proses fermentasi. Rumen-retikulum seperti tong fermentasi yang besar,
kapasitasnya bervariasi mulai dari 3-15 liter untuk domba dan 35-100 liter untuk
sapi. Rumen memiliki kisaran suhu 38-40 ºC, pH 5,5-7, tekanan osmotik cairan
rumen sekitar 250 mOsm/kg, komposisi gas di dalam rumen adalah CO2 65% dan
CH4 27% (Dehority dan Burk, 2003).
Pakan difermentasi di dalam rumen menjadi VFA, NH3, protein mikroba dan
gas (Dehority dan Burk, 2003). Hanya sedikit dari pakan hijauan yang diserap
sebagai glukosa, sementara pati dan karbohidrat lainnya difermentasi ke dalam
bentuk VFA (Lee, 2009). Produk akhir dari aktivitas bakteri, protozoa, dan fungi
adalah asam asetat, asam propionat, dan asam butirat yang merupakan VFA, metan
dan CO2 (Hobson dan Stewart, 2003).
Setiap mililiter cairan rumen mengandung 1,0 x 109 sampai 5,0 x 109 bakteri,
1,0 x 106 protozoa, dan fungi dan yeast yang bervariasi (Lee, 2009). Mikroorganisme
rumen dan protein pakan adalah dua sumber protein yang dapat digunakan untuk
hewan ternak (Dehority dan Burk, 2003). Pada keadaan normal, protein mikroba
minimal dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dari ruminan yang bersangkutan.
Mikroba Rumen
Mikroba rumen terdiri dari bakteri anaerobik, dan campuran spesies protozoa
anaerobik dan fungi serta flagelata yang jumlahnya bervariasi (Hobson dan Stewart,
2003). Jumlah bakteri rumen bervariasi bergantung kepada pakan, cara pemberian
pakan, waktu pengambilan sampel setelah makan, perbedaan spesies, perbedaan
individual spesies, musim, ketersediaan hijauan, dan ada atau tidaknya ciliata
protozoa (Ensminger et al., 1990). Fermentasi mikroba terhadap serat menjadi bagian
8
terpenting pada ternak ruminansia, oleh karena itu kebutuhan yang harus terpenuhi
terlebih dahulu adalah kebutuhan nutrien untuk mikroba. Tipe mikroba yang paling
berperan dalam fermentasi serat adalah bakteri selulolitik dan fungi anaerobik
(Bakrie et al., 1996).
Protozoa
Protozoa rumen merupakan protista eukariotik yang membantu pencernaan
karbohidrat yang mudah tercerna seperti pati dan sebagian serat. Protozoa dibagi
berdasarkan fungsinya menjadi pengguna gula terlarut, pendegradasi pati, dan
penghidrolisis ligno-selulosa (Kamra, 2005). Protozoa dan bakteri amilolitik
mempunyai fungsi yang sama untuk mendegradasi pati (Hungate, 1966; Ruckebusch
dan Thivend, 1980; Kung, 1999; Lee, 2009). Protozoa juga umumnya memangsa
bakteri untuk mendapatkan nutrien yang dibutuhkannya. Ada dua pendapat tentang
keberadaan protozoa di dalam rumen. Protozoa diperlukan untuk membantu proses
pencernaan nutrien di dalam rumen, namun disisi lain protozoa harus dikurangi
jumlahnya di dalam rumen; hal ini karena sifatnya yang merugikan dimana ketidakmampuan protozoa dalam memenuhi kebutuhan nutriennya membuat protozoa
umumnya memangsa bakteri dan juga bersifat proteolisis (Hobson dan Stewart,
2003). Kamra (2005) menyatakan bahwa ada beberapa dampak positif dengan
pengurangan jumlah protozoa di dalam cairan rumen, diantaranya adanya penurunan
aktivitas proteolisis, metanogenesis berkurang, peningkatan jumlah bakteri
kemungkinan untuk mengambil alih fungsi protozoa, dan adanya peningkatan
efisiensi konversi pakan terutama ransum yang mengandung tinggi serat.
Bakteri
Bakteri mempunyai fungsi dan produk yang bermacam-macam. Bakteri
rumen mempunyai nama sesuai dengan fungsinya yaitu selulolitik, xylanolitik,
amilolitik, dextrinolitik, pektinolitik, proteolitik, lipolitik, metanogen. Bakteri-bakteri
ini menghasilkan produk yaitu asam format, asam asetat, etanol, asam propionat,
asam laktat, asam butirat, suksinat, valerat, hidrogen, CO2, dan metan (Lee, 2009).
Bakteri total yang terdapat dalam cairan rumen berdasarkan jenis bahan yang
difermentasi dan hasil akhirnya terdiri bakteri pemanfaat selulosa, bakteri pemanfaat
hemiselulosa, bakteri pemanfaat pati, bakteri penghasil metan, bakteri pemanfaat
9
gula, bakteri pemanfaat asam, bakteri pemanfaat asam, bakteri pemanfaat lipid
(Dehority dan Burk, 2003)
Bakteri amilolitik secara spesifik memfermentasi pati (starch). Hasil
pencernaan dari gula dan pati akan menghasilkan asam propionat yang akan
dikonversi menjadi glukosa di hati ternak ruminansia dan digunakan sebagai energi;
dengan demikian asam propionat tergolong sebagai asam yang bersifat glukogenik
(Kung, 1999). Secara umum glukosa berguna sebagai sumber energi utama bagi
organ-organ tubuh, antara lain: otak, saraf, kelenjar susu dan janin.
Tipe mikroba yang paling berperan dalam fermentasi serat adalah bakteri
selulolitik dan fungi anaerobik (Bakrie et al., 1996). Karbohidrat merupakan sumber
energi utama dalam kehidupan mikroorganisme dan ruminan itu sendiri (Parakkasi,
1999). Ada banyak hal yang mempengaruhi fermentasi serat di dalam rumen, salah
satunya pakan kecukupan mineral baik makro maupun mikro yang mempengaruhi
kondisi mikrobial rumen. Mineral esensial diperlukan oleh mikroba rumen untuk
fungsi sel, aktivitas selulolitik dan pertumbuhan, ditambah lagi mineral juga
berkontribusi sebagai kapasitas buffer (Serra, 1996).
Bakteri proteolitik di dalam rumen bertanggung jawab untuk mendegradasi
protein sehingga dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak (Lee, 2009). Degradasi
protein menjadi asam amino adalah nilai penting untuk memprediksi jumlah asam
amino yang diserap di usus halus dan dimanfaatkan oleh ternak. Protein didegradasi
menjadi asam amino di dalam rumen dengan bantuan enzim protease dan peptidase
yang dihasilkan mikroba proteolitik, kemudian asam amino ini akan mengalami
katabolisme (deaminasi) lebih lanjut menghasilkan asam lemak terbang ammonia
dan karbondioksida. Amonia yang terbentuk merupakan sumber nitrogen utama bagi
pertumbuhan mikroba (Lee, 2009), karena amonia digunakan kembali untuk
membentuk protein tubuh bakteri. Satu hal yang khas pada ternak ruminansia adalah
ternak ini dapat memanfaatkan bakteri sebagai sumber proteinnya. Dehority dan
Burk (2003) menyatakan bahwa ternak memiliki pasokan asam amino tidak hanya
yang berasal dari protein pakan yang lolos degradasi di dalam rumen melainkan juga
protein mikroba yang terbentuk sebagai hasil fermentasi di dalam rumen. Parakkasi
(1999) menjelaskan bahwa komposisi asam amino mikroba rumen tidak dipengaruhi
10
oleh ransum jadi yang terpenting adalah kuantitas mikroba yang lolos sampai di usus
halus untuk dicerna dan diserap sebagai asam amino.
Fungi
Fungi awalnya dianggap sebagai protozoa berflagela, namun memiliki
miselium. Fungi anaerobik obligat mempunyai fungsi secara aktif dan positif untuk
degradasi serat karena memiliki enzim pendegradasi serat. Menghilangkan fungi
secara in vitro dari rumen dapat menyebabkan penurunan produksi gas dan degradasi
pakan berserat. Fungi memiliki kelebihan karena dapat melakukan penetrasi yang
lebih baik ke dalam lignoselulosa (Kamra, 2005). Hubungan antibiosis terjadi antara
fungi dan bakteri rumen. Populasi bakteri, terutama bakteri pencerna pati atau
karbohidrat yang mudah difermentasi, dapat menghambat aktivitas fungi; hal ini
disebabkan oleh penurunan pH yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang tibatiba dan cepat. Populasi bakteri yang meningkat cepat membuat tidak berkurangnya
energi yang digunakan sebagai media untuk melekatkan diri pada serat pakan dan
germinasi bagi fungi (Dehority dan Tirabasso, 2000).
Bakteriofage
Bakteriofage adalah virus bagi bakteri yang terdapat di rumen dalam jumlah
yang cukup besar. Bakteriofage adalah patogen obligat bagi bakteri karena
bakteriofage dapat melisis bakteri. Bakteriofage dapat digunakan untuk melisis
bakteri sehingga protein mikroba dapat tersedia bagi inangnya dan untuk mengurangi
bakteri yang tidak diinginkan seperti metanogen (Kamra, 2005).
Kebutuhan Mineral Mikroba Rumen
Bagi ternak ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri juga digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan
mikroba rumen. Apabila terjadi defisiensi salah satu mineral maka aktifitas
fermentasi mikroba tidak berlangsung optimum sehingga akan berdampak pada
menurunnya produktivitas ternak (McDowell et al., 2002).
Mineral baik makro maupun mikro mempunyai pengaruh terhadap kondisi
mikrobial rumen. Mineral esensial diperlukan oleh mikroba rumen untuk fungsi sel,
aktivitas selulolitik dan pertumbuhan, mineral juga berkontribusi dalam regulasi
psikokimia rumen seperti tekanan osmotik, kapasitas buffer, potensial redox, dan
11
kecepatan pencairan (dilution rate). Semuanya ini berdampak pada fermentasi rumen
(Serra, 1995). Mineral berfungsi baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
meningkatkan populasi mikroba. Secara langsung mineral digunakan sebagai bahan
sel tubuh seperti S dan P. Mineral S sebagai komponen asam amino sel seperti
metionin, sistein, dan sistin serta vitamin B, tiamin, dan biotin (NRC, 2000). Mineral
P digunakan sebagai bahan utama dinding sel yaitu pospolipid (Ruckebusch dan
Thivend, 1980). Secara tidak langsung mineral digunakan untuk mengaktivasi
produksi enzim mikroba untuk mendukung proses fermentasi di dalam rumen yang
akhirnya akan menghasilkan energi, NH3, CO2, dan CH4 . Energi dan N yang berasal
dari proses fermentasi akan digunakan untuk membentuk sel. Mineral juga berperan
dalam menciptakan suasana rumen yang kondusif bagi proses fermentasi.
Mineral Ca, P, Mg dan S adalah mineral esensial yang sangat dibutuhkan
untuk menunjang pertumbuhan sel mikroba rumen (Hungate, 1966; Ruckebush dan
Stivend, 1980; Komisarczuk dan Durand, 1991). Mineral P esensial untuk semua
mikroorganisme karena merupakan bagian integral dari nukleotida dan beberapa
koenzim. Sejumlah besar mineral S terdapat dalam asam amino yang mengandung S
dalam protein mikroba. Menurut Little (1986), kebutuhan mikroba akan mineral P
adalah 2,8 - 4,3 g/kg bahan kering dan S sebesar 2,5 - 3,2 g/kg bahan kering. Indikasi
kebutuhan P untuk bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bakteri
lainnya, kemungkinan kekurangan P akan mengurangi keseluruhan populasi mikroba
rumen. Kekurangan S dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan mikroba
terutama fungi yang keberadaannya bergantung pada keberadaan sulfida. Mineral
Mg dan Ca diperlukan untuk pertumbuhan bakteri (Bakrie et al., 1996). Mineral Mg
berfungsi untuk mengaktifkan berbagai enzim yang dihasilkan bakteri termasuk
phospohidrolase dan phospotransferase. Mineral Ca berfungsi untuk mengaktifkan
berbagai enzim seperti protease, nuklease, lipase, α-amilase, dan selulase
(Ruckebusch dan Thivend, 1980). Lebih lanjut Ruckebusch dan Stivend (1980)
menjelaskan bahwa mineral Ca mempunyai peran dalam menjaga stabilitas struktur
dinding sel, defisiensi mineral ini dapat menyebabkan pertumbuhan dan prosesproses metabolisme yang membutuhkan Ca.
Beberapa mineral lainnya yang berperan penting dalam aktivitas mikroba
dalam rumen adalah zinc (Zn), selenium (Se), cobalt (Co), dan natrium (Na) (Arora,
12
1989). Mineral Zn berfungsi untuk aktivitas mikroba dalam rumen (McDonald et al.,
2002) dan Mn berfungsi untuk pengaktifan enzim yang berperan dalam metabolisme
protein (Williamson dan Payne, 1993). Sintesis protein mikroba membutuhkan
berbagai mineral diantaranya S dan P (NRC, 1996; Pathak, 2008). Selain mineral
yang mempengaruhi sintesis protein mikroba adalah sinkronisasi antara kecepatan
protein yang didegradasi untuk menghasilkan amonia dengan ketersediaan energi
(Khampa dan Wanapat, 2006). Elihasridas (1995) menduga bahwa tidak cukupnya
energi yang tersedia akan menyebabkan amonia tidak dapat dimanfaatkan untuk
sintesis protein mikroba. Selain hal yang disebutkan di atas Thomas (1973)
mengatakan bahwa suplai nutrien, populasi mikroba dan kondisi lingkungan rumen
mempengaruhi sintesis protein mikroba.
Fermentasi dalam Rumen dan Teknik Evaluasi
Ternak ruminansia dewasa memiliki rumen yang besar dan dilengkapi
sejumlah besar papilla, pakan masuk pada bagian rumen-retikulum dan dicerna
sepenuhnya oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme rumen
(Ensminger et al., 1990). Setiap jenis ternak ruminansia memiliki mikroba rumen
dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam mendegradasi ransum, sehingga
mengakibatkan perbedaan kecernaan. Waktu inkubasi 3-4 jam adalah waktu optimal
bagi mikroba untuk tumbuh (Sutardi, 1980; Nsereko et al., 2001). Produk fermentasi
dari mikroorganisme rumen harus berada dalam bentuk yang tersedia di rumen
(Dehority dan Burk, 2003). Mikroba rumen akan mencerna serat kasar untuk
memproduksi VFA dan CO2. Lemak akan dicerna mikroba membentuk asam lemak
dan gliserol, gliserol kemudian akan dirubah menjadi asam propionat. Hanya sedikit
protein yang dapat lolos dari proses degradasi di rumen (Ensminger et al., 1990).
Menurut Bakrie et al. (1996), hanya 36% protein ransum lolos dari degradasi rumen.
Produk fermentasi ini akan digunakan untuk menyediakan energi untuk aktivitas dan
untuk produksi, misalnya VFA yang digunakan untuk prekursor air susu (Parakkasi,
1999) dan asam propionat yang akan dikonversi menjadi gula di hati (Kung, 1999).
Evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan secara laboratorium (in vitro
dan in sacco) maupun menggunakan hewan percobaan (in vivo). Metode in vivo
sangat baik digunakan untuk mengukur kecernaan ternak, namun kekurangan metode
ini adalah membutuhkan sampel yang relatif banyak dan menunjukkan hasil yang
13
bervariasi karena pengaruh ternak, disamping itu juga sering kali membuat ternak
stress. Untuk menghasilkan data kecernaan yang hampir sama dengan keadaan yang
sebenarnya
dan
menghindari
kelemahan-kelemahan
teknik
in
vivo
maka
digunakanlah teknik in vitro dan in sacco (Theodorou dan France, 2000). Metode ini
juga dapat digunakan untuk mempelajari tentang bakteri rumen (Dehority dan Burk,
2003). Ibrahim (1990) memaparkan bahwa metode in vitro juga dapat digunakan
untuk mempelajari kelarutan mineral yang terdapat pada pakan.
Teknik in vitro dilakukan dengan cara mencampurkan cairan rumen dengan
larutan buffer (untuk mensimulasi saliva) dan sampel, seluruh cairan ini ditempatkan
dalam tabung fermentor. Sampel ini kemudian difermentasi pada temperatur rumen
yaitu 39º C selama waktu tertentu biasanya 24 sampai 48 jam. Tilley dan Terry
(1963) telah memperkenalkan metode tersebut sebagai two stage method, metode ini
paling banyak digunakan untuk mengukur kecemaan in vitro. Tahap pertama ialah
inkubasi dalam larutan buffer dan cairan rumen selama 48 jam dalam kondisi
anaerob, kemudian dilanjutkan tahap kedua yaitu pemberian larutan enzim pepsin
dan inkubasi selama 48 jam (Tilley dan Terry, 1963).
14
Download