Analisis efisiensi tataniaga pada kelompok usaha

advertisement
20
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Tataniaga
Pada dasarnya tataniaga memiliki pengertian yang sama dengan
pemasaran. Para ahli telah mendefinisikan pemasaran atau tataniaga sebagai
sesuatu yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang mereka.
Tataniaga pertanian dapat diartikan sebagai semua bentuk kegiatan dan
usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barangbarang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke
konsumen, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan
perubahan bentuk dari barang untuk mempermudah penyalurannya dan
memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumen (Limbong dan Sitorus,
1987).
Schaffner et. al. dalam Ratna (2009) mengemukakan pengertian tataniaga
dapat ditinjau dari dua perspektif yaitu perspektif makro dan mikro. Perspektif
makro menganalisis sistem tataniaga setelah dari petani yaitu fungsi-fungsi
tataniaga atau aktivitas yang diperlukan untuk menyampaikan produk/jasa yang
berhubungan dengan nilai guna waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan kepada
konsumen dan kelembagaan atau perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam
sistem tataniaga tersebut (pengolah, distributor, broker, agen, grosir dan pedagang
eceran). Perspektif makro tataniaga, menganalisis efisiensi sistem secara
keseluruhan dalam penyampaian produk/jasa hingga konsumen akhir atau
pemakai. Dalam perspektif mikro, tataniaga merupakan aspek manajemen dimana
21
perusahaan
secara individu, pada setiap tahapan tataniaga dalam mencari
keuntungan, melalui pengelolaan bahan baku , produksi, penetapan harga,
distribusi dan promosi yang efektif terhadap produk perusahaan yang akan
dipasarkan. Baik perspektif makro maupun mikro, sasaran akhirnya adalah
kepuasan konsumen.
Agar terjadi suatu pertukaran, beberapa kondisi harus dipenuhi, yaitu : (1)
paling sedikit harus ada dua pihak yang berpartisipasi dan masing-masing pihak
mempunyai sesuatu yang bernilai bagi pihak lain (2) setiap pihak juga harus ingin
berdagang dengan pihak lain dan masing-masing harus bebas untuk menerima
atau menolak tawaran pihak lain (3) kedua belah pihak harus berkomunikasi dan
menyerahkan barang.
Tujuan akhir dari tataniaga menurut Hanafiah dan Saeffudin (2006) adalah
menempatkan barang-barang ke tangan konsumen akhir. Untuk mencapai tujuan
tersebut, perlu dilakukan kegiatan-kegiatan tataniaga yang dibangun berdasarkan
arus
barang
yang
meliputi
proses
pengumpulan
(konsentrasi),
proses
pengimbangan (equalisasi) dan proses penyebaran (dispersi).
Khols dan Uhl (1985), mendefinisikan tataniaga pertanian merupakan
keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang atau jasa komoditas
pertanian mulai dari tingkat produksi (petani) sampai konsumen akhir, yang
mencakup aspek input dan output pertanian. Untuk menganalisis sistem tataniaga
dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Fungsi (the fungsional approach)
Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi
tataniaga apa saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam tataniaga.
22
Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan),
fungsi fisik (penyimpanan, transportasi, dan pengolahan) dan fungsi fasilitas
(standarisasi, resiko, pembiayaan, dan informasi pasar).
2. Pendekatan Kelembagaan (the institutional approach)
Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui berbagai
macam lembaga atau pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Pelaku-pelaku itu
adalah pedagang perantara (merchant middleman) yang terdiri dari pedagang
pengumpul, pedagang pengecer, pedagang spekulatif, agen, manufaktur, dan
organisasi lainnya yang terlibat.
3. Pendekatan Sistem (the bahavior system approach)
Merupakan pelengkap dari pendekatan fungsi kelembagaan, untuk
mengetahui aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga, seperti
perilaku lembaga yang terlibat dalam tataniaga kombinasi dari fungsi
tataniaga. Pendekatan ini terdiri dari the input-output system, the power
system, dan the communication system.
3.1.2. Lembaga Tataniaga
Hanafiah dan Saefuddin (2006), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga
adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga
dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Lembaga tataniaga
ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi
jasa. Tugas lembaga tataniaga adalah menjalankan fungsi-fungsi tataniaga serta
memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan
balas jasa kepada lembaga tataniaga berupa marjin tataniaga.
23
Limbong dan Sitorus (1987), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga
adalah suatu badan atau lembaga yang berusaha dalam bidang tataniaga,
mendistribusikan barang dari produsen hingga ke konsumen melalui proses
perdagangan. Produsen memiliki peranan utama dalam menghasilkan produk dan
sering melakukan sebagian kegiatan tataniaga. Sedangkan pedagang melakukan
penyaluran produk dalam waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan oleh
konsumen dalam saluran tataniaga.
Penggolongan lembaga tataniaga yang didasarkan pada fungsi, penguasaan
terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta bentuk usahanya, yaitu:
1) Berdasarkan fungsi yang dilakukan :
ƒ
Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer,
grosir dan lembaga perantara lainnya.
ƒ
Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik seperti pengolahan,
pengangkutan dan penyimpanan.
ƒ
Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga seperti
informasi pasar, kredit desa, KUD, Bank Unit Desa dan lain-lain.
2) Berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang :
ƒ
Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan
seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul dan lain-lain.
ƒ
Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang
dipasarkan seperti agen, broker, lembaga pelelangan dan lain-lain.
ƒ
Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang
dipasarkan seperti lembaga pengangkutan, pengolahan dan perkreditan.
24
3) Berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar :
ƒ
Lembaga tataniaga bersaing sempurna seperti pengecer beras, pengecer
rokok dan lain-lain.
ƒ
Lembaga tataniaga monopolistis seperti pedagang bibit dan benih.
ƒ
Lembaga tataniaga oligopolis seperti importir cengkeh dan lain-lain.
Lembaga tataniaga monopolis seperti perusahan kereta api, perusahaan
pos dan giro dan lain-lain.
4) Berdasarkan bentuk usahanya :
ƒ
Berbadan hukum seperti perseroan terbatas, firma dan koperasi.
ƒ
Tidak berbadan hukum seperti perusahaan perorangan, pedagang
pengecer, tengkulak dan sebagainya.
Terdapat tiga kelompok yang secara langsung terlibat dalam penyaluran
barang atau jasa mulai dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen, yaitu (1)
pihak produsen, (2) lembaga perantara, (3) pihak konsumen akhir. Pihak produsen
adalah pihak yang memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan. Pihak lembaga
perantara adalah yang memberikan pelayanan dalam hubungannya dengan
pembelian atau penjualan barang dan jasa dari produsen ke konsumen, yaitu
pedagang besar (wholeseller) dan pedagang pengecer (retailer). Sedangkan
konsumen akhir adalah pihak yang langsung menggunakan barang dan jasa yang
dipasarkan (Limbong dan Sitorus, 1987).
25
3.1.3. Saluran Tataniaga
Menurut Kotler (1997), Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi
yang saling bergantung dan bekerjasama dalam proses (usaha) menyampaikan
barang atau jasa dari produsen ke konsumen sehingga siap digunakan atau
dikonsumsi, yang didalamnya terlibat beberapa lembaga tataniaga yang
menjalankan fungsi-fungsi tataniaga.
Saluran tataniaga pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Penyaluran Langsung
Saluran tataniaga seperti ini disebut juga saluran tataniaga nol tingkat, karena
tidak ada perantara dalam sistem ini, produk langsung disalurkan ke
konsumen.
2. Penyaluran Semi Langsung
Saluran tataniaga ini disebut juga saluran tataniaga satu tingkat, karena dalam
sistem ini terdapat satu perantara. Biasanya yang bertindak sebagai perantara
adalah para pedagang pengecer.
3. Penyaluran Tidak Langsung
Sistem saluran seperti ini disebut juga saluran pemasaran dua tingkat, dimana
terdapat dua perantara yaitu pedagang besar dan pedagang pengecer.
Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006), panjang pendeknya saluran
tataniaga tergantung pada : (a) Jarak antara produsen dan konsumen. Semakin
jauh jarak antara produsen dan konsumen, maka makin panjang saluran tataniaga
yang terjadi (b) Skala produksi. Semakin kecil skala produksi, saluran yang terjadi
cenderung panjang karena memerlukan pedagang perantara dalam penyalurannya
(c) Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang mudah rusak menghendaki saluran
26
pemasaran yang pendek, karena harus segera diterima konsumen (d) Posisi
keuangan pengusaha. Pedagang yang posisi keuangannya kuat cenderung dapat
melakukan lebih banyak fungsi pemasaran dan memperpendek saluran pemasaran.
Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih saluran
tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987), yaitu :
1. Pertimbangan pasar, yang meliputi konsumen sasaran akhir mencakup
pembeli potensial, konsentrasi pasar secara geografis, volume pesanan,
dan kebiasaan pembeli.
2. Pertimbangan barang, yang meliputi nilai barang per unit, besar dan berat
barang, tingkat kerusakan, sifat teknis barang, dan apakah barang tersebut
untuk memenuhi pesanan atau pasar.
3. Pertimbangan internal perusahaan, yang meliputi sumber permodalan,
kemampuan dan pengalaman manajemen, pengawasan penyaluran, dan
pelayanan penjualan.
4. Pertimbangan terhadap lembaga perantara, yang meliputi pelayanan
lembaga perantara, kesesuaian lembaga perantara dengan kebijaksanaan
produsen, dan pertimbangan biaya.
Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan barang dari
produsen ke konsumen. Hal itu mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan
pemilikan yang memisahkan barang atau jasa dari orang-orang yang
membutuhkan atau menginginkannya. Pola umum saluran tataniaga produkproduk pertanian di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.
27
TENGKULAK
PEDAGANG
BESAR/
PERANTARA
PABRIK/
EKSPORTIR
KOPERASI /
KUD
PENGECER
KONSUMEN
AKHIR
PETANI
(Produsen)
Gambar 1. Pola Umum Saluran Pemasaran Produk-Produk Pertanian di Indonesia
(Sumber : Limbong dan Sitorus, 1997)
Dengan mengetahui saluran tataniaga suatu komoditas maka dapat
diketahui jalur mana yang lebih efisien dari semua kemungkinan jalur-jalur yang
dapat ditempuh, serta dapat mempermudah mencari besarnya marjin yang
diterima setiap lembaga yang terlibat.
3.1.4. Fungsi Tataniaga
Mubyarto (1994) menjelaskan bahwa fungsi-fungsi tataniaga adalah
mengusahakan agar pembeli atau konsumen memperoleh barang yang diinginkan
pada tempat, waktu, dan harga yang tepat. Fungsi-fungsi tataniaga dalam
pelaksanaan aktifitasnya dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga. Lembaga
tataniaga ini yang akan terlibat dalam proses penyampaian barang dan jasa dari
produsen sampai ke tangan konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga merupakan
kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk memindahkan barang-barang atau jasajasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi (Hanafiah dan Saeffudin, 1986).
Proses penyampaian barang dari tingkat produsen ke tingkat konsumen
diperlukan berbagai kegiatan atau tindakan-tindakan yang dapat memperlancar
proses penyampaian barang atau jasa bersangkutan, dan kegiatan tersebut
28
dinamakan fungsi-fungsi tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987). Fungsi-fungsi
tataniaga dapat dikelompokkan atas tiga fungsi yaitu :
1. Fungsi Pertukaran adalah kegiatan yang memperlancar perpindahan hak
milik barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini terdiri dari :
(a) fungsi pembelian yang bertujuan sebagai sarana untuk memperoleh
persediaan
barang
(b)
fungsi
penjualan
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan nilai dari suatu barang.
2. Fungsi Fisik adalah semua tindakan yang langsung berhubungan dengan
barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk, dan
waktu. Fungsi ini terdiri dari : (a) fungsi penyimpanan yang diperlukan
untuk menyimpan barang selama belum dikonsumsi atau menunggu
diangkut ke daerah tataniaga, (b) fungsi pengangkutan yang bertujuan
untuk menyediakan barang ataupun jasa didaerah konsumen sesuai dengan
kebutuhan konsumen, dan (c) fungsi pengolahan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas barang baik dari segi daya tahan maupun nilai jual.
3. Fungsi
Fasilitas
adalah
semua
tindakan
yang
bertujuan
untuk
memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan
konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari : (a) fungsi stadarisasi dan grading.
Standarisasi merupakan pembentukan mutu suatu barang dengan
menggunakan berbagai ukuran seperti : warna, susunan kimia, bentuk,
kekuatan, kadar air, tingkat kematangan, rasa dan lain-lain. Sedangkan
grading adalah tindakan mengklasifikasikan hasil pertanian menurut suatu
standarisasi yang diinginkan. Dengan adanya fungsi ini maka para
konsumen dapat memperoleh grade produk yang sesuai dengan keinginan
29
dan tingkat pendapatannya. Sedangkan para produsen dapat menawarkan
produknya dengan harga yang lebih tinggi sesuai dengan mutu produknya.
(b) fungsi penanggungan resiko. Dalam proses tataniaga terdapat
bermacam-macam resiko yang mungkin dihadapi antara lain: resiko
pemilikan keuangan dan resiko kerugian. (c) fungsi pembiayaan yang
merupakan salah satu fungsi tataniaga yang bertujuan untuk menyediakan
sejumlah uang untuk keperluan transaksi jual-beli suatu barang maupun
jasa, dan (d) fungsi informasi pasar. Fungsi ini meliputi kegiatan
pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi pasar
tersebut.
3.1.5. Struktur Pasar
Struktur pasar (market structure) adalah suatu dimensi yang menjelaskan
pengambilan keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam
suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran seperti size atau
concentration, deskripsi dan diferensiasi produk, syarat-syarat entry dan
sebagainya (Limbong dan Sitorus, 1987). Struktur pasar sangat diperlukan dalam
analisis struktur pasar, secara otomatis akan dapat dijelaskan bagaimana perilaku
penjual dan pembeli yang terlibat (market conduct) dan selanjutnya akan
menunjukkan keragaan yang terjadi akibat dari struktur dan perilaku pasar
(market performance) yang ada di dalam sistem tataniaga tersebut.
Analisis struktur pasar mendorong studi tentang faktor teknik, motivasi,
institusi, dan organisasi yang mempengaruhi kebiasaan perusahaan dalam pasar.
Struktur pasar dicirikan oleh : (1) jumlah dan ukuran pasar, (2) diferensiasi
30
produk, (3) kebebasan keluar masuk pasar, dan (4) pengetahuan partisipan tentang
biaya, harga, dan kondisi pasar (Dahl dan Hammond, 1977). Tabel 5 menyajikan
karakteristik struktur pasar.
Tabel 5. Jenis Pasar pada Sistem Pangan dan Serat
Karakteristik
Struktur Pasar
Jumlah
Sifat
Dari Sudut
Dari Sudut
Perusahaan
Produk
Penjual
Pembeli
Banyak
Homogen
Persaingan Murni
Persaingan Murni
Banyak
Diferensiasi
Persaingan Monopolistik Persaingan Monopolistik
Sedikit
Homogen
Oligopoli Murni
Oligopsoni Murni
Sedikit
Diferensiasi
Oligopoli Diferensiasi
Oligopsoni Diferensiasi
Satu
Unik
Monopoli
Monopsoni
Sumber : Dahl dan Hammond, 1977
Struktur pasar persaingan sempurna memiliki ciri : (a) terdapat banyak
penjual dan pembeli (b) setiap pembeli maupun penjual hanya menguasai
sebagian kecil dari barang atau jasa yang ada di pasar, sehingga tidak dapat
mempengaruhi harga (c) pembeli dan penjual sebagai penerima harga (price
taker) (d) bebas keluar masuk pasar (freedom for entry and exit) (e) barang atau
jasanya homogen (homogenous product).
Struktur pasar persaingan tidak sempurna, yang dapat dilihat dari dua sisi
yaitu sisi pembeli dan sisi penjual. Dari sisi pembeli terdiri dari pasar
monopsonistik, monopsoni, dan oligopsoni. Dari sisi penjual terdiri dari pasar
monopolistik, monopoli, oligopoli dan duopoli.
Struktur pasar monopolistik memiliki ciri : (a) banyak pembeli dan penjual
yang melakukan transaksi pada berbagai tingkat harga dan bukan atas dasar satu
harga pasar (b) produk yang dijual tidak homogen (c) produk dapat dibedakan
menurut kualitas, ciri atau gaya, service atau pelayanan yang berbeda, perbedaan
pengepakan, warna bungkus dan harga (d) Penjual melakukan penawaran yang
berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan bebas menggunakan merek,
periklanan dan personal selling.
31
Struktur pasar monopoli memiliki ciri : (a) terdapat satu penjual yang
berbentuk perusahaan monopoli, pemerintah atau swasta menurut undang-undang
dan dapat berupa monopoli swasta murni (b) produk satu dan tidak dapat
bersubtitusi dengan barang lain dan ada pengendalian harga dari penjual (c)
tindakan diskriminasi harga dengan menjual produk yang sama pada tingkat harga
yang berbeda-beda dan pada pasar yang berbeda.
Struktur pasar oligopoli memilki ciri : (a) terdiri dari beberapa penjual
yang sangat peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga perusahaan
lainnya (b) produk dapat berupa produk homogen atau produk heterogen,
sehingga tindakan perusahaan satu mempengaruhi dan mendapatkan reaksi
perusahaan lain (c) tingginya hambatan untuk memasuki industri yang
bersangkutan, hambatan ini seperti paten, kebutuhan modal yang besar,
pengendalian bahan baku, pengetahuan yang sifatnya perorangan dan lokasi yang
langka. Oligopoli yang menghasilkan produk yang homogen disebut oligopoli
murni, sedangkan oligopoli yangmenghasilkan produk berbeda corak (heterogen)
disebut oligopoli terdifferensiasi.
Bentuk pasar yang dekat keadaannya dengan monopoli adalah duopoli dan
oligopoli. Struktur pasar duopoli adalah bentuk pasar dimana hanya terdapat dua
penjual produk tertentu. Menurut Saefuddin dan Hanafiah (2006), struktur pasar
monopsoni akan dijumpai apabila terdapat seorang atau sebuah badan pembeli
untuk benda tertentu, sehingga dapat mempengaruhi permintaan dan harga barang
tersebut. Bentuk pasar yang dekat keadaannya dengan pasar monopsoni adalah
duopsoni dan pasar oligopsoni. Pasar duopsoni kebalikan dari pasar duopoli; pada
pasar duopsoni hanya terdapat dua pembeli benda tertentu. Pasar oligopsoni
32
kebalikan dari pasar oligopoli; pada pasar oligopsoni terdapat pihak pembeli
benda tertentu dalam jumlah sedikit misalnya tiga atau empat pembeli.
Menurut Saefuddin dan Hanafiah (2006), struktur pasar produk perikanan
yang banyak dijumpai dalam praktek adalah pasar persaingan monopolistik dan
oligopoli. Sudiyono (2001) juga mengatakan hal yang sama, dimana struktur pasar
produk pertanian cenderung berada pada pasar persaingan tidak sempurna, baik
berupa monopoli, oligopoli, maupun persaingan monopolistik. Hal ini disebabkan
oleh beberapa hal :
1. Bagian pangsa pasar (market share) yang dimiliki petani umumnya sangat
kecil, sehingga petani dalam pemasaran produk pertanian bertindak
sebagai penerima harga (price taker).
2. Produk pertanian pada umumnya diproduksi secara masal dan homogen,
sehingga apabila petani menaikan harga komoditi yang dihasilkan akan
menyebabkan konsumen beralih untuk mengkonsumsi komoditi yang
dihasilkan petani lainnya.
3. Komoditi yang dihasilkan mudah rusak (perishable), sehingga harus
secepatnya dijual tanpa memperhitungkan harga.
4. Lokasi produksi terpencil dan sulit dicapai oleh alat transportasi yang
mudah dan cepat.
5. Petani kekurangan informasi harga dan kualitas serta kuantitas yang
diinginkan konsumen, sehingga petani mudah diperdaya lembaga-lembaga
pemasaran yang berhubungan dengan petani langsung.
6. Adanya kredit dan pinjaman dari lembaga pemasaran kepada petani yang
bersifat mengikat.
33
3.1.6. Perilaku Pasar
Dahl dan Hammond (1977) mendefinisikan perilaku pasar sebagai suatu
pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga dalam beradaptasi dan
mengantisipasi setiap keadaan pasar yang menyesuaikan dengan struktur pasar
dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian,
penentuan harga dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku pasar dapat
diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan
oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, kemampuan
pasar menerima jumlah produk yang dijual, stabilitas pasar dan pembayaran serta
kerjasama diantara berbagai lembaga tataniaga. Struktur pasar dan perilaku pasar
akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui peubah harga, biaya,
marjin tataniaga dan jumlah komoditas yang diperdagangkan sehingga akan
memberikan penilaian baik atau tidaknya sistem tataniaga.
Perilaku pasar menunjukkan tingkah laku perusahaan dalam struktur pasar
tertentu, terutama bentuk-bentuk keputusan apa yang harus diambil dalam
menghadapi berbagai struktur pasar. Perilaku pasar meliputi kegiatan penjualan,
pembelian, penentuan harga, dan strategi tataniaga. Perilaku pasar dapat dilihat
dari proses pembentukan harga dan stabilitas harga, serta ada tidaknya praktek
jujur dari lembaga yang terlibat dalam tataniaga (Azzaino, 1983).
Perilaku pasar terdiri dari kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh para
pelaku pasar dan juga pesaingnya, terutama dalam hal harga dan karakteristik
produk. Perilaku pasar menggambarkan tindakan-tindakan perusahaan sebagai
akibat dari struktur pasar yang dihadapinya. Perilaku dapat dikelompokan menjadi
34
empat jenis yaitu: perilaku dalam strategi harga, strategi produk, strategi promosi
dan strategi distribusi.
Kristanto et. al. (1986) membagi penetapan harga dalam tiga jenis, antara
lain: (1) penetapan harga penawaran dan permintaan, (2) harga yang dicantumkan,
dan (3) harga atas dasar perundingan. Terdapat tiga metode umum untuk
penetapan harga dalam bidang pertanian: (1) perhitungan, (2) spekulasi yang
terorganisir, dan (3) tebak-tebakan (untung-untungan) atau bermain ‘sulap’
dengan kekuatan-kekuatan pasar. Berdasarkan informasi yang cukup lengkap
mengenai keadaan yang penawaran dan permintaan, suatu usaha tataniaga yang
terpadu dapat memperhitungkan harga-harga yang relatif stabil yang akan
melindungi para pembeli terhadap harga-harga yang berfluktuasi tajam, maupun
mendorong penjualan dan persaingan. Oleh karena itu ada banyak penjual yang
terlibat dalam sistem tataniaga yang kompleks, maka spekulasi yang terorganisir
masih lebih baik daripada harga yang sepenuhnya bersifat untung-untungan, tetapi
dalam keadaan tidak pasti maka keputusan oleh banyak orang masih lebih aman
dan kurang spekulatif dibanding dengan keputusan segelintir orang.
Proses pembentukan harga produk sebagai salah satu aspek dalam perilaku
pasar khususnya untuk produk pertanian dapat dibedakan menjadi dua bagian
besar yaitu:
1. Price Determination
Price determination merupakan proses pembentukan harga yang didasarkan
pada teori ilmu ekonomi. Pembentukan harga yang terjadi sangat bergantung
pada kekuatan pasar. Harga yang terbentuk adalah harga keseimbangan yang
merupakan proses kekuatan supply dan demand.
35
2. Price Discovery
Pada
prakteknya
harga
di
pasar
tidak
selalu
menunjukkan
harga
keseimbangan, ada variasi dalam proses pembentukan harga yang bisa
menimbulkan keuntungan baik untuk penjual dan pembeli. Oleh karena itu,
terdapat banyak pilihan bagi penjual dan pembeli untuk mencari alternatifalternatif tawar menawar harga. Harga yang terbentuk pada sistem ini akan
sangat bergantung pada bargaining power yang dimiliki penjual dan pembeli.
3.1.7. Efisiensi Tataniaga
Efisiensi tataniaga menunjukan akibat dari keadaan struktur dan perilaku
pasar dalam kenyataan sehari-hari yang ditunjukkan dengan harga, biaya, volume
produksi, yang akhirnya memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem
tataniaga. Dengan demikian efisiensi tataniaga ini dapat digunakan untuk melihat
seberapa jauh pengaruh struktur dan tingkah laku pasar dalam proses tataniaga
suatu komoditi pertanian.
Memahami efisiensi tataniaga harus terlebih dahulu memahami tataniaga
sebagai suatu aktivitas bisnis yang ditujukan untuk menyampaikan suatu produk
kepada konsumen. Output dari aktivitas tataniaga adalah kepuasan konsumen
terhadap suatu produk dan jasa, sedangkan inputnya adalah semua sumber
sumberdaya usaha yang meliputi tenaga kerja, kapital, dan manajemen yang
digunakan perusahaan dalam proses produksi. Sehingga efisiensi tataniaga dapat
diartikan sebagai minimisasi dari rasio input-output. Perubahan yang mengurangi
biaya input tanpa mengurangi kepuasan konsumen akan meningkatkan efisiensi
36
sedangkan perubahan yang mengurangi biaya input tetapi mengurangi kepuasan
konsumen akan menurunkan efisiensi tataniaga.
Tataniaga disebut efisien apabila tercipta keadaan dimana pihak-pihak
yang terlibat baik produsen, lembaga-lembaga tataniaga maupun konsumen
memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut (Limbong dan sitorus,
1987). Indikator-indikator yang digunakan dalam menentukan efisiensi tataniaga
adalah marjin tataniaga, harga tingkat konsumen, tersedianya fasilitas fisik
tataniaga, dan intensitas persaingan pasar. Efisiensi tataniaga akan lebih mudah
dicapai bila terwujud kondisi aksesibilitas informasi yang memadai, dan
infrastruktur yang baik.
Menurut Ratna (2009), Efisiensi tataniaga dapat ditinjau dari efisiensi
operasional (teknik) dan efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan
dengan penanganan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari outputinput tataniaga. Input tataniaga adalah sumberdaya (tenaga kerja, pengepakan,
mesin-mesin, dan lain-lain) yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi
tataniaga. Output tataniaga termasuk didalamnya adalah kegunaan waktu, bentuk,
tempat dan kepemilikan yang berhubungan dengan kepuasan konsumen. Oleh
sebab itu sumberdaya adalah biaya, sedangkan kegunaan (utilities) adalah benefits
dari rasio efisiensi tataniaga. Biaya tataniaga secara sederhana adalah jumlah dari
semua harga sumberdaya yang dipergunakan dalam proses tataniaga; oleh sebab
itu nilainya lebih mudah dihitung atau diprediksi dibanding indikator/nilai
kepuasan konsumen (output tataniaga). Rasio efisiensi tataniaga (operasional)
dapat dilihat dari peningkatan dalam dua cara yaitu :
37
1. Pada perubahan sistem tataniaga dengan mengurangi biaya perlakuan pada
fungsi-fungsi tataniaga tanpa mengubah manfaat/kepuasan konsumen
2. Meningkatkan kegunaan output dari proses tataniaga tanpa meningkatkan
biaya tataniaga
Kedua cara tersebut mempunyai implikasi terjadi peningkatan efisiensi
tataniaga. Dalam realita dilapang, untuk mengetahui besaran indikator efisiensi
operasional (teknik), banyak peneliti mempergunakan analisis marjin tataniaga
atau sebaran harga di tingkat petani dengan di tingkat eceran. Fokus dalam
analisis ini adalah kajian biaya-biaya tataniaga dan aktivitas kegiatan produktif
(fungsi-fungsi dan lembaga tataniaga) mulai dari petani sampai ke konsumen
akhir.
Efisiensi harga adalah bentuk kedua dari efisiensi tataniaga. Efisiensi ini
menekankan kepada kemampuan dari sistem tataniaga yang sesuai dengan
keinginan konsumen. Sasaran dari efisiensi harga adalah efisiensi aklokasi
sumberdaya dan maksimum output (ekonomi). Efisiensi harga dapat tercapai
apabila masing-masing pihak yang terlibat dengan tataniaga merasa puas atau
responsif terhadap harga yang berlaku. Efisiensi harga dapat dianaliis melalui ada
atau tidaknya keterpaduan pasar (integrasi) antara pasar acuan dengan pasar
pengikutnya, misalnya antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat
eksportir atau di konsumen akhir.
Mubyarto (1994) menyatakan bahwa marjin tataniaga besar tidak
selamanya menunjukkan saluran tidak efisien, maka perlu mempertimbangkan
aspek-aspek berikut :
38
1. Penggunaan teknologi baru dalam proses produksi dapat menekan biaya
produksi, sehingga marjin tataniaga menjadi lebih besar.
2. Adanya kecenderungan konsumen untuk mengkonsumsi yang lebih siap
dinikmati, walaupun harga lebih mahal.
3. Adanya spesialisasi produksi dari suatu daerah sehingga membentuk
daerah sentral produksi, sehingga akan menaikkan daerah tataniaga.
4. Adanya
tambahan
biaya
pengolahan
dan
penyimpanan
untuk
meningkatkan kegunaan bentuk.
5. Meningkatkan upah buruh dan tenaga kerja.
Kenaikan harga ditingkat konsumen sering digunakan sebagai ukuran
ketidakefisienan proses tataniaga, harga tingkat konsumen sebenarnya merupakan
fungsi dari pendapatan konsumen, musim, ketersediaan penawaran dibanding
permintaan efektif, harga barang substitusi, dan harga barang komplementer.
Sehingga dalam menyimpulkan bahwa harga komoditi dapat digunakan untuk
mengukur efisiensi tataniaga harus mempertimbangkan pengaruh variabelvariabel tersebut terhadap harga ditingkat konsumen.
Penyediaan fasilitas untuk pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan
dianggap dapat digunakan untuk melihat efisiensi tataniaga. Kurangnya
ketersediaan
fasilitas
fisik
terutama
pengangkutan
diidentikan
dengan
ketidakefisienan proses tataniaga.
Pasar yang tidak efisien akan terjadi apabila biaya tataniaga sama besar
dengan nilai produk yang dipasarkan jumlahnya tidak terlalu besar. Oleh karena
itu efisiensi tataniaga akan terjadi jika biaya tataniaga dapat ditekan sehingga
keuntungan tataniaga dapat lebih tinggi, persentase perbedaan harga yang
39
dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi, tersedia fasilitas fisik
pemasaran dan adanya kompetisi pasar yang sehat.
3.1.7.1. Marjin Tataniaga
Limbong dan Sitorus (1987), menjelaskan bahwa margin tataniaga adalah
perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen dengan harga yang
diterima petani produsen, atau dapat juga dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa
pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen sampai ke titik
konsumen akhir. Kegiatan untuk memindahkan barang dari titik produsen ke titik
konsumen membutuhkan pengeluaran baik fisik maupun materi. Pengeluaran
yang harus dilakukan untuk menyalurkan komoditi dari produsen ke konsumen
disebut sebagai biaya tataniaga. Marjin tataniaga antar komoditas berbeda satu
dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan jasa-jasa yang
diberikan pada berbagai komoditas mulai dari petani sampai tingkat pengecer
maupun konsumen akhir. Marjin tataniaga terjadi karena adanya biaya-biaya
tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga. Marjin tataniaga produk
pertanian cenderung akan naik dalam jangka panjang dengan menurunnya bagian
harga yang diterima petani. Marjin tataniaga relatif stabil dalam jangka pendek
terutama dalam hubungannya dengan berfluktuasinya harga-harga produk hasil
pertanian.
Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Fungsi yang
dilakukan antar lembaga biasanya berbeda-beda. Hal ini menyebabkan perbedaan
harga jual dari lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen
akhir berbeda. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat, akan semakin
40
besar perbedaan harga antar produsen dengan harga di tingkat konsumen. Biaya
tataniaga merupakan akumulasi pengeluaran dari biaya-biaya yang dilakukan pada
tingkat lembaga tertentu. Biaya tataniaga merupakan semua biaya yang
dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses penyampaian
barang mulai dari tingkat produsen hingga ke tingkat konsumen.
Marjin tataniaga hanya menerangkan tentang perbedaan harga dan tidak
menerangkan tentang kualitas suatu produk yang dipasarkan. Setiap lembaga
tataniaga yang terlibat pada dasarnya memiliki motivasi tertentu. Motivasi
tersebut dapat berupa keinginan untuk memperoleh keuntungan atas pengorbanan
yang telah dilakukan. Keuntungan tataniaga merupakan penerimaan yang
diperoleh dari lembaga tataniaga sebagai imbalan dari penyelenggaraan fungsifungsi tataniaga (Dahl dan Hammond, 1977).
Tomek dan Robinson dalam Ratna (2009), memberikan dua alternatif dari
definisi marjin tataniaga yaitu :
1. Perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima
produsen (petani).
2. Merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa tataniaga sebagai akibat adanya
aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi dalam sistem tataniaga tersebut.
Definisi yang pertama menjelaskan secara sederhana bahwa marjin
tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga yang
diterima petani (Pf) dengan demikian marjin tataniaga adalah M = Pr − Pf.
Sedangkan pengertian yang kedua lebih bersifat ekonomi dan definisi ini lebih
tepat, karena memberikan pengertian adanya nilai tambah (added value) dari
adanya kegiatan tataniaga dan juga mengandung pengertian dari konsep ‘derived
41
supply’ dan ‘derived demand’. Pengertian dari derived demand ini diartikan
sebagai permintaan turunan dari ‘primary demand’ yang dalam hal ini adalah
permintaan dari konsumen akhir, sedangkan derived demandnya adalah
permintaan dari pedagang perantara (grosir atau eceran) ataupun dari perusahaan
pengolah (processors) kepada petani, sedangkan derived supply adalah penawaran
di tingkat pedagang eceran yaitu merupakan penawaran turunan dari penawaran di
tingkat petani (primary supply).
Dari kedua konsep marjin tersebut, marjin tataniaga merupakan M = Pr −
Pf atau marjin tataniaga terdiri dari biaya-biaya dan keuntungan perusahaan yang
terlibat dalam sistem tataniaga tersebut. Dengan demikian, marjin juga
didefinisikan sebagai M = C + Π dimana C = biaya-biaya (input tataniaga) dan Π
adalah keuntungan perusahaan. Efisiensi operasional menurut penulis, lebih tepat
mempergunakan ratio antara keuntungan dengan biaya karena pembanding
opportunity cost dari biaya adalah keuntungan, sehingga indikatornya adalah Π /
C dan nilainya harus positif ( > 0 ).
Pengertian dari ‘derived demand’ ini interpretasinya dapat diperluas
mencakup hubungan: (a) elastisitas antara berbagai tingkat pasar dan (b)
elastisitas antara gabungan produk dan komoditas turunannya. Dari pengertian ini
akan muncul konsep atau besaran elastisitas di tingkat petani (Ef), elastisitas di
tingkat eceran atau konsumen akhir (Er) dan elastisitas transmisi. Elastisitas
transmisi adalah suatu ukuran seberapa jauh perubahaan harga di tingkat pasar
eceran ditransmisikan ke pasar tingkat petani. Secara matematis elastisitas
transmisi dapat dinyatakan :
42
ET = δ Pr ⁄ Pr
δ Pf ⁄ Pf
Dimana δ Pr ⁄ Pr adalah perubahan harga di tingkat eceran (konsumen
akhir) dan δ Pf ⁄ Pf adalah perubahan harga di tingkat petani. Untuk komoditas
pertanian, umumnya nilai elastisitas transmisi diantara 0-1. Nilai ET = 1
menunjukkan bahwa sistem tataniaga produk tersebut efisien (pasar persaingan
sempurna). Untuk jelasnya konsep primary dan derived demand dan supply dapat
dilihat pada Gambar 2.
Harga
Sr
Pr
Sf
C
A
Pf
Dr
B
0
Df
Qr, f
Gambar 2. Hubungan Antara Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga serta
Marketing Cost and Charge.
Sumber : Dahl dan Hammond 1977
Keterangan :
A
= Nilai marjin tataniaga ((Pr-Pf).Qr,f)
B
= Marketing cost and Marketing charge
C
= Marjin tataniaga (Pr-Pf)
Pr = Harga di tingkat pedagang pengecer
Pf = Harga di tingkat petani
Sr = Supply di tingkat pengecer (derived supply)
Sf = Supply di tingkat petani (primary supply)
43
Dr = Demand di tingkat pengecer (derived demand)
Df = Demand di tingkat petani (primary demand)
Qr,f = Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan tingkat pengecer
Besarnya marjin tataniaga pada suatu saluran tataniaga tertentu dapat
dinyatakan sebagai penjumlah dari marjin pada masing-masing lembaga tataniaga
yang terlibat. Rendahnya marjin tataniaga suatu komoditas belum tentu dapat
mencerminkan efisiensi yang tinggi. Namun sebaliknya, tingginya marjin sebagai
akibat derajat pengolahan yang tinggi akan mengindikatorkan meningkatnya
kepuasan konsumen sehingga tataniaga berlangsung efisien. Melalui analisis
marjin tataniaga dapat diketahui penyebab tingginya marjin tataniaga sehingga
dapat dicari solusi permasalahan agar distribusi marjin tataniaga dapat tersebar
merata diantara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat.
3.1.7.2. Farmer’s Share
Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi kegiatan
tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s
share) terhadap harga yang dibayar konsumen akhir. Bagian yang diterima
lembaga tataniaga sering dinyatakan dalam bentuk persentase (Limbong dan
Sitorus, 1987).
Jika harga yang ditawarkan pedagang/lembaga tataniaga semakin tinggi
dan kemampuan konsumen dalam membayar harga semakin tinggi, maka bagian
yang diterima petani (farmer’s share) akan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan
petani menjual komoditinya dengan harga yang relatif rendah. Semakin besar
marjin maka penerimaan petani relatif kecil. Dengan demikian dapat diketahui
44
adanya hubungan negatif antara marjin tataniaga dengan bagian yang diterima
petani (farmer’s share). Semakin tinggi farmer’s share berfungsi untuk mengukur
seberapa besar bagian yang diterima oleh petani ketika melakukan tataniaga
komoditi perikanan.
3.1.7.3. Rasio Keuntungan dan Biaya
Tingkat efisiensi tataniaga dapat juga diukur melalui besarnya rasio
keuntungan terhadap biaya tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga
mendefinisikan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang
dikeluarkan. Dengan demikian semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan
dan biaya tataniaga, maka dari segi (teknis) operasional sistem tataniaga tersebut
akan semakin efisien (Limbong dan Sitorus, 1987).
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Penelitian ini dimulai dengan adanya permasalahan didalam kegiatan
tataniaga Ikan Lele Sangkuriang di Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor,
khususnya pada Kelompok Usaha Budidaya Ikan Lele Sangkuriang. Sifat dasar
produk perikanan yang mudah rusak (perishable) serta adanya jarak antara lokasi
pembudidaya dan lokasi konsumen dapat menyebabkan berkurangnya kualitas
ikan dan menimbulkan biaya untuk memasarkan ikan. Sedangkan konsumen
menginginkan kualitas ikan yang baik, segar dengan harga yang pantas.
Kegiatan tataniaga sangat dipengaruhi oleh informasi pasar yang
diperoleh. Tersedianya informasi, terutama informasi permintaan dan harga,
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya keuntungan
45
yang akan diperoleh. Pembudidaya Ikan Lele Sangkuriang di Kecamatan Ciawi
umumnya hanya memiliki modal yang kecil dan tidak mengetahui informasi pasar
sehingga hanya berperan sebagai penerima harga. Pedagang pengumpul yang
mengetahui informasi pasar mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pembudidaya, sehingga pembudidaya menerima harga yang
ditetapkan oleh pedagang pengumpul selama minimal menutupi biaya produksi.
Lembaga tataniaga berperan menjalankan fungsi-fungsi tataniaga serta
memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan
balas jasa kepada lembaga tataniaga berupa marjin tataniaga. Berbagai kegiatan
yang diperlukan untuk memperlancar penyaluran produk dari produsen ke
konsumen serta memberikan nilai tambah terhadap komoditi tersebut disebut
dengan fungsi tataniaga, yang terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan
fungsi fasilitas. Kegiatan tataniaga dari pembudidaya, lembaga tataniaga dan
konsumen menghasilkan pembentukan harga yang berpengaruh terhadap struktur
pasar dan perilaku pasar.
Struktur pasar dapat diketahui dengan mengetahui jumlah penjual dan
pembeli yang terlibat dalam tataniaga Ikan Lele Sangkuriang, sifat produk atau
heterogenitas produk yang dipasarkan, mudah tidaknya keluar masuk pasar serta
informasi perubahaan harga pasar. Setelah mengetahui struktur pasar, dilakukan
analisisis perilaku pasar, yaitu dengan mengamati praktek penjualan dan
pembelian, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama antar
lembaga tataniaga. Analisis struktur dan perilaku pasar dilakukan untuk
menjelaskan tingkat persaingan yang ada didalam pasar dan melihat pengaruhya
46
dalam penentuan harga juga kesepakatan atau kerjasama antara lembaga tataniaga
yang terjadi didalam pasar.
Struktur dan perilaku pasar akan mempengaruhi keragaan pasar yang
dapat dianalisis melalui marjin tataniaga dan rasio keuntungan biaya. Marjin
tataniaga digunakan untuk melihat perbedaan harga yang dibayarkan oleh
konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen yang diakibatkan oleh
sruktur dan perilaku pasar yang terjadi. Farmer’s share digunakan untuk
membandingkan harga yang diterima produsen atau pembudidaya dengan harga
yang dibayarkan oleh konsumen akhir yang sering dinyatakan dalam persentase.
Rasio keuntungan dan biaya digunakan untuuk mengetahui penyebaran rasio
keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga. Marjin tataniaga,
farmer’s share dan rasio keuntungan biaya dan biaya merupakan komponen untuk
menilai efisiensi tataniaga.
Marjin tataniaga yang diperoleh akan menentukan saluran tataniaga yang
paling efisien guna meningkatkan pendapatan petani melalui farmer’s share yang
selanjutnya akan memberikan alternatif saluran tataniaga yang terbaik guna
meningkatkan pendapatan pembudidiaya Ikan Lele Sangkuriang di Kecamatan
Ciawi. Kerangka pemikiran operasional dari penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 3.
47
Usaha Budidaya dan Tataniaga Ikan Lele pada Kelompok
Usaha Budidaya Ikan Lele Sangkuriang di Kecamatan Ciawi
•
•
•
•
•
Tataniaga yang tidak efisien
Marjin tataniaga yang tidak adil dan merata
Kurangnya informasi pasar di tingkat pembudidaya
Posisi tawar yang lemah di tingkat pembudidaya
Pembudidaya sebagai penerima harga
Analisis Saluran dan
Lembaga Tataniaga
• Pengumpul
• Pengumpul luar
kecamatan
• Pengecer
• Pengecer luar
kecamatan
• Pedagang pecel
lele
Analisis Fungsi Tataniaga
• Fungsi pertukaran
• Fungsi fisik
• Fungsi fasilitas
Analisis Struktur
Pasar
• Jumlah penjual
dan pembeli
• Sifat produk
• Kondisi keluar
masuk pasar
• Sumber
informasi harga
Analisis Perilaku
Pasar
• Sistem penentuan
harga
• Sistem
pembayaran
• Kerjasama antar
lembaga tataniaga
Analisis Efisiensi Tataniaga
• Marjin tataniaga
• Farmer’s share
• Rasio keuntungan biaya
Kondisi Efisiensi Saluran Tataniaga
Ikan Lele Sangkuriang
Alternatif Saluran Tataniaga yang dapat
dipilih Petani
Perbaikan harga ditingkat Petani
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
Download