4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Enzim Enzim adalah protein yang mengkatalisis reaksi-reaksi biokimia dalam sel dengan konsentrasi yang sangat rendah (Kuchel and Gregory, 2002). Enzim mempunyai berat molekul yang beraneka ragam berkisar 104 - 107 KDa (Dryer, 1993). Suatu enzim dapat mempercepat reaksi 103 sampai 1012 kali lebih cepat dibandingkan dengan reaksi yang tidak dikatalisis oleh katalis (Ngili, 2008). Enzim berfungsi sebagai biokatalisator dalam sel dan sifatnya sangat khas, karena enzim hanya bekerja pada substrat tertentu dan bentuk reaksi tertentu (Poedjiadi, 2006). Enzim merupakan katalis biologik, yang mampu meningkatkan laju reaksi dengan cara selektif dan efisien berdasarkan pada hukum termodinamika dan kinetika (Shahib, 2005). 1. Klasifikasi enzim Menurut Martoharsono (1993) enzim dapat diklasifikasi menjadi 6 kelas berdasarkan fungsinya dan tiap kelas mempunyai beberapa subkelas berdasarkan IUPAC: 5 a. Oksidoreduktase, dibagi menjadi 5 sub-golongan mengkatalisis substrat yang bergugus fungsional; >CHOH, >C=O, >C=CH-, >CH-NH2, >CH-NH-. b. Transferase, enzim yang memindahkan gugus berkarbon 1, aldehidik/ ketonik, asil, fosfat dan gugus yang mengandung S. c. Hidrolase, enzim yang berkerja menghidrolisis substrat yang dibagi menjadi enzim yang menghidrolisis senyawa; ester, glikosidik, peptida, lain-lain ikatan C-N dan anhidrida. d. Liase, dibagi menjadi 3 sub-golongan mengkatalisis reaksi addisi terhadap ikatan; >C=C<, C=O, C=N-. e. Isomerase yang mengkatalisis semua reaksi isomer dan resemase. f. Ligase yang mengkatalisis pembentukan ikatan karbon-oksigen, karbonsulfur, karbon-nitrogen dan karbon-atom lainnya. Energi yang diperlukan untuk pembentukan ikatan diperoleh dari hidrolisis ATP. 2. Teori pembentukan enzim-substrat Menurut Shahib (2005) ada dua teori pembentukan kompleks enzim-subtrat yaitu : a. Teori lock and key (gembok dan kunci) Substrat yang spesifik akan terikat pada sisi aktif enzim. Substrat mempunyai daerah polar dan non-polar pada sisi aktif yang baik bentuk maupun muatannya merupakan pasangan substrat (Gambar 1). Hal ini terjadi karena adanya rantai peptida yang mengandung rantai residu menuntun substrat untuk berinteraksi dengan residu katalitik. Ketika 6 katalisis berlangsung, produk masih terikat pada molekul enzim. Kemudian produk akan bebas dari sisi aktif dengan terbebasnya enzim. b. Teori induced-fit (ketetapan induksi) Teori ini menerangkan bahwa enzim bersifat fleksibel, karena sebelumnya bentuk sisi aktif tidak sesuai dengan bentuk substrat, tetapi setelah substrat menempel pada sisi aktif, maka enzim akan terinduksi dan menyesuaikan dengan bentuk substrat seperti pada Gambar 1. Enzim Substrat Sisi Aktif Enzim Active Site Teori kunci gembok Sisi aktif cenderung kaku Enzim Sisi Aktif Enzim Substrat Active Site Teori kecocokan induksi Sisi aktif lebih fleksibel Gambar 1. Teori kunci gembok dan teori induksi (Shahib, 2005). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim a. Suhu Sebagian enzim mengalami denaturasi pada suhu diatas 50°C. Dengan kenaikan suhu, maka laju reaksi enzim akan meningkat dan akhirnya kehilangan seluruh aktivitasnya, seperti pada Gambar 2. Sebagian besar enzim berfungsi secara optimal antara suhu 25-37oC (Page, 1997). Suhu inkubasi yang lebih tinggi dari suhu optimum kerja enzim dapat menyebabkan terjadinya perubahan konformasi sisi aktif enzim akibat denaturasi protein enzim. 7 Aktivitas Enzim Suhu Gambar 2. Hubungan suhu dengan aktivitas enzim (Shahib, 2005). b. pH pH sangat berpengaruh terhadap aktivitas enzim, karena sifat ionik gugus karboksil dan gugus amino mudah dipengaruhi oleh pH. Hal ini dapat menyebabkan daerah katalitik dan konformasi enzim menjadi berubah. Selain itu perubahan pH juga menyebabkan denaturasi enzim dan mengakibatkan hilangnya aktivitas enzim yang dapat dilihat pada Gambar 3 (Page, 1997). pH optimum Aktivitas Enzim pH Gambar 3. Hubungan pH dengan aktivitas enzim (Shahib, 2005). 8 c. Konsentrasi enzim Konsentrasi enzim secara langsung mempengaruhi kecepatan laju reaksi enzimatik dimana laju reaksi meningkat dengan bertambahnya konsentrasi enzim (Poedjiadi, 2006). Laju reaksi tersebut meningkat secara linier selama konsentrasi enzim jauh lebih sedikit dari pada konsentrasi substrat. Hal ini biasanya terjadi pada kondisi fisiologis (Page, 1997). d. Konsentrasi substrat Laju reaksi mula-mula meningkat dengan bertambahnya konsentrasi substrat. Akan tetapi setelah peningkatan substrat lebih lanjut akan tercapai suatu laju maksimum. Pada keadaan substrat yang berlebih akan terjadi kejenuhan pembentukan kompleks enzim substrat sehingga sebagian besar substrat tidak diubah menjadi produk. Penambahan substrat lebih lanjut tidak berakibat terhadap laju reaksi (Kuchel and Gregory, 2002). Hubungan antara konsentrasi substrat dengan laju reaksi enzim ditunjukkan dalam Gambar 4. Vmaks V (laju) ½ Vmaks Km [S] Gambar 4. Hubungan konsentrasi substrat dengan laju reaksi enzim (Shahib, 2005). 9 e. Inhibitor Inhibisi atau hambatan reaksi enzim adalah penurunan kecepatan reaksi enzimatik akibat adanya suatu senyawa kimia tertentu dalam larutan enzim substrat (Mara, 1999). Pada umumnya cara kerja inhibitor adalah dengan menyerang sisi aktif enzim sehingga enzim tidak dapat lagi berikatan dengan substrat dan fungsi katalitiknya terganggu (Winarno, 1986). B. Bacillus subtilis Bacillus merupakan salah satu mikroba golongan bakteri. Sebagian besar bakteri genus Bacillus pada umumnya hidup di tanah, tumbuh pada kondisi mesofillik, yaitu pada kisaran temperatur 25-35°C dan pH 7-8, diantaranya adalah B.subtilis, B.lincheniformis, B.megatarium, B.pumilis dan kelompok B.spaericus. Selain di tanah, beberapa jenis Bacillus juga ditemukan di lumpur dan di muara yaitu B.firmus dan B.lentus. Selain ditemukan di kedua habitat di atas, ada juga beberapa jenis Bacillus yang hidup di laut misalnya B.marinus, B.cirroflagelosus, B.epiphytes dan B.filicolonicus (Priest, 1993). Mikroorganisme ini bersifat gram positif dan bersifat aerob (Schlegel and Schmidt, 1994). B.subtilis berbentuk batang lurus gram positif berukuran 1,5 x 4,5 μ, sendiri-sendiri atau tersusun dalam bentuk rantai bergerak dan tidak bersimpai (Gupte, 1990). 10 C. Protease Protease merupakan biokatalisator untuk reaksi pemecahan molekul protein menjadi oligopeptida dan asam amino (Poedjiadi, 2006). Enzim protease yang digunakan dalam bidang industri umumnya dihasilkan oleh mikroorganisme karena memiliki beberapa keunggulan. Adanya mikroorganisme yang unggul merupakan salah satu faktor penting dalam usaha produksi enzim. Mikroba yang telah dikembangkan secara komersial sebagai penghasil protease antara lain B licheniformis, B.stearothermophilus, B.pumilus, Aspergillus oryzae dan A.niger. Industri pengguna protease diantaranya ialah industri deterjen, kulit, tekstil, makanan, hidrolisat protein, pengolahan susu, farmasi, makanan, bir, film dan limbah (Wilda et al., 2013). Enzim ini akan mengkatalis reaksi hidrolisis, yaitu reaksi yang melibatkan unsur air pada ikatan spesifik substrat. Karena itu, enzim ini termasuk dalam kelas utama enzim golongan hidrolase. Berdasarkan cara kerjanya, enzim protease dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu endopeptidase (memecah ikatan peptida dari arah dalam) dan eksopeptidase (memecah protein dan ikatan peptida dari arah luar; arah gugus karboksil terminal atau gugus amino terminal) (Winarno,1986). 11 Mikroba endoprotease secara umum diklasifikasikan ke dalam 4 golongan berdasarkan residu asam amino yang berada pada sisi aktifnya (Witazora, 2008), yaitu: 1. Protease serin Protease yang memiliki residu serin pada sisi aktifnya dan dapat dihambat oleh hidroksil-organofluorida reaktif, seperti diisopropilfluorofosfat dan fenilmetilsulfonilfluorida endopeptidase. (PMSF). Semua enzim tersebut bersifat Enzim yang termasuk golongan ini adalah tripsin, kimotripsin, elastase dan subtilin. 2. Protease sulfidril atau tiol Protease yang mempunyai sulfidril pada sisi aktifnya yang distimulasi dengan agen pereduksi seperti ditiotreitol dan sistein serta dapat dihambat oleh senyawa oksidator, alkilator dan logam berat. Enzim yang termasuk golongan ini adalah protease dari tanaman (bromelin, papain, fisin) dan protease mikroba. Aktivitas enzim ini optimal pada pH netral. 3. Protease logam Protease yang keaktifannya bergantung pada adanya ion logam (protease netral dan protease alkali) sebagai aditif umumnya ditambahkan garam Ca2+ dalam bentuk garam klorida (Schwimmer, 1981). Kation-kation yang dapat mengaktifkan enzim adalah Na+, K+, Rb+, Cs+, Mg2+, Zn2+, Cr3+, Cu2+, Fe2+, Co2+, Ni2+ dan Al3+. Keaktifannya dapat dihambat oleh EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid). 12 4. Protease asam Protease yang mempunyai dua gugus karboksil pada sisi aktifnya dan memiliki residu aspartat atau glutamat pada titik isoelektrik sekitar pH 3,5 yang dapat dihambat oleh p-bromofenasilbromida. Enzim yang termasuk golongan ini adalah pepsin, renin dan protease kapang. D. Kinetika Reaksi Enzim Pada tahun 1913 Michaelis-Menten menunjuk pada mekanisme berikut untuk menjelaskan kekuatan reaksi-reaksi enzim. E + S (x) (y) ES (xy) Hasil Dimana E = enzim, ES = kompleks enzim substrat, dan S = substrat, sedangkan [S] >> [E] dan [ES]. Transformasi persamaan Michaelis-Menten yang paling banyak digunakan adalah “double reciprocal” Lineweaver-Burk, dengan menggabung persamaan Michaelis-Menten. Plot dari pasangan data (1/[S]0i, 1/v0i), untuk i = 1,..., n, dengan n adalah jumlah pasangan data, akan memberikan suatu garis lurus dengan ordinat dan absis intercept 1/Vmaks dan -1/Km pada Gambar 5 (Ngili, 2008). V0 Vmaks S K M [S] 1 K M [S] V0 Vmaks [S] Persamaan Michaelis-Menten 13 1 K 1 1 M V0 Vmaks S Vmaks Persamaan Lineweaver-Burk 1 V0 Slope KM Vmaks 1 Vmaks 1 KM 1 S Gambar 5. Diagram Lineweaver-Burk ( Suhartono, 1989). E. Stabilitas Enzim Stabilitas enzim dapat diartikan sebagai kestabilan aktivitas enzim selama penyimpanan dan penggunaan enzim tersebut, serta kestabilan terhadap senyawa yang bersifat merusak seperti pelarut tertentu (asam atau basa), oleh pengaruh suhu kondisi-kondisi non fisiologis lainnya (Kazan et al., 1997). Stabilitas enzim merupakan sifat penting yang harus dimiliki oleh enzim sebagai biokatalis. Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas enzim, seperti pH, suhu, kofaktor dan kehadiran surfaktan (Eijsink et al., 2005). Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan enzim yang mempunyai stabilitas tinggi, yaitu menggunakan enzim yang memiliki stabilitas ekstrim alami dan mengusahakan peningkatan stabilitas enzim yang secara alami 14 tidak atau kurang stabil (Junita, 2002). Menurut Illanes (1999), untuk meningkatkan stabilitas enzim dapat dilakukan dengan penggunaan zat aditif, modifikasi kimia, amobilisasi dan rekayasa protein. 1. Stabilitas termal enzim Pada suhu yang terlalu rendah kemantapan enzim tinggi, tetapi aktivitasnya rendah. Sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi aktivitas enzim tinggi, tetapi kemantapannya rendah. Daerah suhu saat kemantapan dan aktivitas enzim cukup besar disebut suhu optimum (Wirahadikusumah, 2001). Dalam industri, pada proses reaksinya menggunakan suhu tinggi bertujuan untuk mengurangi tingkat kontaminasi dan masalah viskositas serta meningkatkan laju reaksi. Namun, suhu tinggi merupakan masalah utama dalam stabilitas enzim, karena enzim umumnya tidak stabil pada suhu tinggi. Proses inaktivasi enzim pada suhu tinggi berlangsung dalam dua tahap, yaitu : a. Adanya pembukaan partial (partial unfolding) struktur sekunder, tersier dan atau kuartener molekul enzim. b. Perubahan struktur primer enzim karena adanya kerusakan asam aminoasam amino tertentu oleh panas (Ahern and Klibanov, 1987). Air memegang peranan penting pada kedua tahap di atas. Oleh karena itu, dengan menggunakan air seperti pada kondisi mikroakueus, reaksi inaktivasi oleh panas dapat diperlambat dan stabilitas termal enzim akan meningkat. 15 Stabilitas termal enzim akan jauh lebih tinggi dalam kondisi kering dibandingkan dalam kondisi basah. Adanya air sebagai pelumas membuat konformasi suatu molekul enzim menjadi sangat fleksibel, sehingga bila air dihilangkan molekul enzim akan menjadi lebih kaku (Virdianingsih, 2002). 2. Stabilitas pH enzim Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi terjadi (Suhartono, 1989). Stabilitas enzim dipengaruhi oleh banyak faktor seperti suhu, pH, pelarut, kofaktor dan kehadiran surfaktan (Eijsink et al., 2005). Dari faktor-faktor tersebut, pH memegang peranan penting. Diperkirakan perubahan keaktifan pH lingkungan disebabkan terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat atau kompleks enzim substrat. Enzim menunjukkan aktivitas maksimum pada kisaran pH optimum enzim dengan stabilitas yang tinggi (Winarno, 1986). Pada reaksi enzimatik, sebagian besar enzim akan kehilangan aktivitas katalitiknya secara cepat dan irreversibel pada pH yang jauh dari rentang pH optimum untuk reaksi enzimatik. Inaktivasi ini terjadi karena unfolding molekul protein sebagai hasil dari perubahan kesetimbangan elektrostatik dan ikatan hidrogen (Kazan et al., 1997). F. Isolasi dan Pemurnian Enzim Enzim dapat diisolasi secara ekstraseluler dan intraseluler. Enzim ekstraseluler merupakan enzim yang bekerja di luar sel, sedangkan enzin intraseluler 16 merupakan enzim yang bekerja di dalam sel. Ekstraksi enzim ekstraseluler lebih mudah dibandingkan ekstraksi dari intraseluler, karena tidak memerlukan pamecahan sel, dan enzim yang dikeluarkan dari sel mudah dipisahkan dari pengotor lain serta tidak banyak bercampur dengan bahan-bahan sel lain (Pelczar and Chan, 1986). Proses pengisolasian dan pemurnian enzim berlangsung beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Sentrifugasi Proses ini bertujuan untuk memisahkan enzim dari sisa-sisa dinding sel, dimana molekul yang memiliki berat molekul tinggi dapat mengendap didasar tabung dengan cepat bila disentrifugasi dengan kecepatan tinggi. Kecepatan pengendapan molekul bergantung pada beberapa faktor, yaitu berat molekul, bentuk molekul dan viskositas larutan. Proses ini akan menimbulkan panas, sehingga dapat mendenaturasi enzim. Untuk menghindarinya maka sentrifugasi dilakukan pada suhu 2-4oC (sentrifugasi dingin). Sel-sel mikroba biasanya mengalami sedimentasi pada kecepatan 5000 rpm selama15 menit (Scopes, 1982). Prinsip sentrifugasi berdasarkan pada kenyataan bahwa setiap partikel yang berputar pada laju sudut yang konstan akan memperoleh gaya keluar (F). Besar gaya ini tergantung pada laju sudut ω (radian/detik) dan radius pertukarannya (cm) ( Sariningsih, 2000) 17 2. Fraksinasi dengan ammonium sulfat [(NH4)2SO4] Cara pemurnian enzim yang umum dilakukan adalah dengan proses pengendapan bertahap atau biasa disebut sebagai fraksinasi. Fraksinasi yang sering dilakukan adalah dengan senyawa elektrolit menggunakan garam ammonium sulfat, natrium klorida atau natrium sulfat (Suhartono et al., 1992). Menurut Wirahadikusumah (2001), meningkatnya kekuatan ion akan menyebabkan kelarutan enzim semakin besar yang disebut dengan salting in. Jika kandungan ion semakin tinggi akan menyebabkan kelarutan enzim menurun dan mengendap yang disebut dengan salting out. Ammonium sulfat sering dipakai untuk mengendapkan enzim karena kelebihannya, yaitu: kebanyakan enzim tahan terhadap garam tersebut (tidak terdenaturasi), memiliki kelarutan yang besar, mempunyai daya pengendapan yang cukup besar dan mempunyai efek penstabil terhadap kebanyakan enzim. Perlakuan penambahan ammonium sulfat dilakukan dengan meningkatkan kejenuhan dari larutan enzim, dengan pembagian fraksi : (0-20)% jenuh, (2040)% jenuh, (60-80)% jenuh, dan (80-100)% jenuh. Pengendapan ini dikenal sebagai salting out (Judoamidjojo et al.,1989). 3. Dialisis Dialisis adalah proses pemisahan molekul terlarut berdasarkan ukuran molekulnya menggunakan membran semipermeabel berdasarkan difusi partikel zat terlarut. Membran yang biasa digunakan adalah selofan yang 18 berbentuk selang. Difusi zat terlarut bergantung pada suhu dan viskositas larutan. Pada suhu tinggi laju difusi meningkat, tetapi sebagian besar protein dan enzim akan terdenaturasi. Proses dialisis harus dilakukan pada suhu 48°C dalam ruang dingin, karena protein dan enzim stabil pada suhu tersebut (Pohl, 1990). Molekul dengan berat molekul lebih kecil dari 20.000 Dalton dapat melalui membran, sedangkan yang berat molekulnya lebih besar akan tertahan di dalam membran (Baehaki et al., 2011). Jika membran berisi larutan protein atau enzim dimasukkan dalam larutan buffer, maka molekul kecil dalam larutan protein atau enzim akan keluar dari pori-pori membran seperti garam anorganik dan molekul protein atau enzim yang berukuran besar tetap dalam membran. Keluarnya molekul menyebabkan distribusi ion-ion tidak seimbang di dalam dan di luar membran. Untuk memperkecil pengaruh ini digunakan larutan buffer dengan konsentrasi rendah di luar membran (Lehninger, 1982). Molekul yang lebih kecil akan terus terdifusi keluar membran hingga ion-ion dalam membran seimbang atau dapat diabaikan (Boyer, 1993). G. Penentuan kadar protein dengan metode Lowry. Penentuan kadar protein bertujuan untuk mengetahui bahwa protein enzim masih terdapat pada tiap fraksi pemurnian dengan aktivitas yang atau tetap baik. Penentuan kadar protein dengan Metode Lowry didasarkan pada pengukuran serapan cahaya oleh ikatan kompleks yang berwarna ungu. Ini terjadi karena 19 protein bereaksi dengan tembaga dalam lingkungan alkali yang mudah larut, dimana kompleks Cu2+ dengan ikatan peptida akan tereduksi menjadi Cu+. Cu+ akan mereduksi folin-ciocalteuo yang mengikat protein sekitar pH 10. Sehingga komplek fosfomolibdat-fosfotungstat menghasilkan tungesteen blue atau heteropolymolybdenum dari warna kuning menjadi biru. Ini disebabkan karena oksidasi gugus aromatik terkatalis Cu, sehingga menghasilkan komplek berwarna biru dalam derajat yang berbeda tergantung pada komposisi triftofan dan tirosinnya. Karena itu, protein yang berbeda akan memberikan tingkat warna yang berbeda (Alexander and Griffith, 1993). Metode ini relatif sederhana dan dapat diandalkan serta biayanya relatif murah. Namun, metode ini mempunyai kelemahan yaitu sensitif terhadap perubahan pH dan konsentrasi protein yang rendah. Untuk mengatasinya adalah dengan cara menggunakan volume sampel yang sangat kecil sehingga tidak mempengaruhi reaksi ( Lowry et al., 1951). H. Modifikasi Kimia Modifikasi kimia adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan stabilitas enzim yang larut dalam air. Menurut Mozhaev et al., (1990), modifikasi kimia enzim dengan senyawa berbobot molekul rendah merupakan metode yang paling sederhana dapat dilakukan. Proses modifikasi dilakukan dengan cara menginkubasi larutan enzim dengan larutan pemodifikasi. Enzim yang telah termodifikasi dapat dipisahkan dari campuran melalui dialisis atau kromatografi kolom penyaringan molekul. Berdasarkan struktur enzim, 20 gugus fungsi yang kemungkinannya paling besar bereaksi dengan zat pemodifikasi adalah gugus fungsi yang terletak pada permukaan. Sedangkan gugus ε-amino dari lisin merupakan gugus paling banyak dilibatkan, karena gugus ini paling melimpah dan paling mudah didekati dari rantai samping asam amino suatu enzim (Janecek, 1993). Untuk mendapatkan enzim hasil modifikasi kimia dengan ikatan kovalen yang stabil adalah dengan melakukan : 1. Modifikasi dengan menggunakan pereaksi bifungsional (pembentukan ikatan silang antara gugus-gugus fungsi pada permukaan protein). Modifikasi ini memungkinkan terbentuknya ikatan silang dengan gugus fungsional pada permukaan enzim. Pereaksi bifungsional merupakan senyawa yang memiliki dua gugus fungsional yang berikatan silang dengan pereaksi penyambung silang (cross-linking reagents). Pereaksi penyambung dibuat dengan menghubungkan dua gugus spesifik pereaksi modifikasi kimia bersama dengan rantai karbon sederhana. Panjang penyambung bervariasi untuk memudahkan pengukuran jarak dan pembelajaran topologi. Kebanyakan penyambung memiliki penyambung yang sederhana, rantai inert, dan reaksi ikatan silang yang ireversibel. Pereaksi penyambung berupa homobifungsional (mengandung dua gugus reaktif yang sama) atau heterobifungsional (mengandung dua gugus reaktif yang berbeda). 21 2. Modifikasi kimia dengan menggunakan pereaksi non polar (meningkatkan interaksi hidrofobik) Modifikasi dengan pereaksi nonpolar yang menambah ataupun menguatkan interaksi hidrofobik dapat dilakukan dengan anhidrida asam. Sejalan dengan reaksi umum antara anhidrida asam dengan nukleofil, maka rantai samping asam amino yang reaktif (sebagai nukleofil) adalah gugus amina primer dari lisin (Mozhaev and Martinek, 1984). 3. Penambahan gugus polar bermuatan atau polar baru (menambah ikatan ionik atau hidrogen) 4. Hidrofilisasi permukaan protein (mencegah terjadinya kontak antara gugus hidrofobik dengan lingkungan berair yang tidak disukainya) Hidrofilisasi ini dapat dilakukan dengan dua cara modifikasi langsung berbagai asam amino hidrofobik yang membentuk tapak-tapak hidrofobik pada permukaan enzim dengan pereaksi hidrofilik, atau hidrofilisasi terhadap asam amino yang berada dekat dengan tapak hidrofobik sehingga tapak tersebut terlindungi dari lingkungan berair pada gambar dibawah ini (Nubarov et al. 1987). 22 Gambar 6. Reaksi sitrakonat anhidrida dan gugus amina (Nubarov et al. 1987). Molekul dengan ikatan amina Sitrakonat anhidrida Cincin terbuka dan membentuk ikatan amida Gambar 7. Modifikasi gugus amina suatu residu lisin dalam protein oleh sitrakonat anhidrida (Khajeh et al., 2004). Sitrakonat anhidrida merupakan reagen spesifik yang digunakan untuk memblok gugus amino pada residu lisin, modifikator ini menghasilkan dua produk ikatan peptida yang dibentuk dari kedua gugus karbonil pada struktur molekulnya. Reaksi modifikasi ini diawali dengan pembukaan cincin sitrakonat anhidrida dengan suasana basa yakni pada pH 8 dan kemudian gugus karbonil dari sitrakonat anhidrida berikatan dengan gugus amino pada residu lisin (Khajeh et al., 2004).