ENDOTELIN DAN PERANNYA PADA NYERI KANKER Muhammad Akbar Bahar Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin Makassar ABSTRAK Pengembangan obat untuk mengatasi nyeri kanker membutuhkan pemahaman mengenai etiologi nyeri kanker. Penggunaan animal model telah membantu menjelaskan proses neuropatologi yang terjadi pada daerah tumor, dorsal horn, spinal cord hingga di wilayah otak.Telah diketahui bahwa sel-sel kanker dan sel-sel imun menghasilkan dan mensekresikan mediator-mediator yang memiliki kemampuan mengaktivasi dan mensensitasi nosiseptor aferen primer.Salah satu mediator tersebut adalah endotelin. Kata kunci : nyeri kanker, endotelin PENDAHULUAN 1), endotelin-2 (ET-2) dan endotelin-3 (ET-3). Ketiganya dihasilkan oleh jaringan yang berbedabeda yang bertindak sebagai pengatur tonus pembuluh darah, proliferasi sel dan produksi hormon. Penelitian menggunakan endotelin dan antagonis spesifik reseptor endotelin memperlihatkan bahwa peptida ini sangat penting dalam pengaturan fungsi fisiologis pembuluh darah dan penyakit. (1,2,3) Nyeri adalah gejala utama pada pasien kanker. Nyeri kanker dapat memacu pertumbuhan dan metastasis dari tumor sehingga penanggulangan nyeri kanker sangatlah penting tidak hanya dalam hal meningkatkan kualitas hidup pasien tetapi juga membantu meningkatkan efektivitas terapi kanker. Penanggulangan nyeri kanker saat ini masih menjadi tantangan utama bagi para peneliti dan klinisi. Hal ini dikarenakan obat anti nyeri yang digunakan saat ini, seperti obat golongan opioid, masih memiliki keterbatasan. Salah satu di antaranya adalah timbulnya tolenransi akut pada penggunaan berulang obat golongan ini sehingga membutuhkan pemberian dengan dosis yang lebih tinggi. Tetapi jika dosis ditingkatkan maka efek samping yang timbul pun akan semakin besar. Oleh karena itu, diperlukan obat baru yang tidak memiliki keterbatasan seperti ini atau obat yang mampu mengatasi keterbatasan ini. Pengembangan obat untuk mengatasi nyeri kanker membutuhkan pemahaman mengenai etiologi nyeri kanker. Penggunaan model hewan telah membantu menjelaskan proses neuropatologi yang terjadi pada daerah tumor, tanduk dorsal, dan corda spinalis hingga di wilayah otak. Telah diketahui bahwa sel-sel kanker dan sel-sel imun menghasilkan dan mensekresikan mediator-mediator yang memiliki kemampuan mengaktivasi dan mensensitasi nosiseptor aferen primer. Salah satu mediator tersebut adalah endotelin. SINTESIS ENDOTELIN ET-1, ET-2 dan ET-3 memiliki rantai αhelix tunggal dan dua jembatan disulfida. Ketiga peptida ini disandi oleh gen yang berbeda (yang berturut-turut berlokasi di kromosom 6, 1, dan 20) dan pengaturannya pada level transkripsi mRNA. Ketiganya disintesis sebagai propeptida dan diubah menjadi bentuk aktif oleh endopeptidase dan ET-converting enzyme. ET-1 adalah peptida yang paling mendominasi dan merupakan isoform yang paling poten. Aktivitas seluler dari ET-1 dimediasi oleh protein kinase C (PKC) (2,3,4,5). RESEPTOR ENDOTELIN Endotelin memberikan efek dengan cara berikatan pada dua reseptor endotelin yang terdapat pada permukaan sel, yaitu ETA dan ETB. Pengikatan ini bersifat cepat dan spesifik, sedangkan laju disosiasinya berjalan lambat dan kebanyakan tidak mencapai 100 %. Struktur asam amino dari kedua tipe reseptor 50 % identik. Ekspresi reseptor ETB (ETBR) lebih tinggi daripada reseptor ETA (ETAR) pada sel neuronal dan nonneuronal. ETBR berikatan dengan ketiga isotipe dengan afinitas yang sama. Sebaliknya ETAR memiliki afinitas pengikatan yang lebih besar terhadap ET-1 dibandingkan isoform lainnya. Kedua ENDOTELIN Endotelin pertama kali diisolasi dan diidentifikasi pada tahun 1985.Peptida ini dihasilkan oleh sel-sel endotel dan memiliki aktivitas peptidergik yang menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah koroner. Ada tiga kelompok famili endotelin, terdiri dari 20 asam amino, yaitu endotelin-1 (ET91 92 Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 17, No.3 – November 2013, hlm. 91 – 94 (ISSN : 1410-7031) reseptor termasuk kelompok reseptor protein G (berukuran 45.000-50.000 dalton) dan memediasi respon-respon biologi dari berbagai stimulus, termasuk faktor pertumbuhan, polipeptida vasoaktif, neurotransmitter, hormon, dan fosfolipid. Kedua reseptor ini ditemukan di jaringan vaskular dan non vaskular (1,2,3,4). ETAR terdistribusi di neuron sensori perifer dan sel otot polos vaskular; ETBR diekspresikan di sel-sel endotel, sel otot polos, makrofag, sel Schwann tak termielinasi dari saraf sciatic dan selsel satelit dorsal root ganglion serta pada sel-sel keratinosit, yang diketahui mensekresikan opioid (5,6,7). ETAR terutama memediasi vasokonstriksi dan bronkokonstriksi, mitogenesis, antiapoptosis, nyeri akut dan nyeri neuropati. Antagonis ETAR menghambat proliferasi osteoblas dan proliferasi metastasis tulang sedangkan ETBR memediasi nyeri inflamasi dan vasodilatasi. (1,8, 9) ENDOTELIN-1 KANKER SEBAGAI MEDIATOR PADA Normalnya, endotelin-1 disintesis di sel-sel endotel, sel-sel otot polos pembuluh darah, leukosit, kardiomiosit, berbagai jaringan epitel (bronkial, endometrial, mammae, dan prostat) dan sel mesangial. Tetapi, telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan peningkatan jumlah ET-1 di berbagai keadaan patologis seperti sepsis, kerusakan ginjal, sel sickle, sindrom raynaud dan penyakit jantung (2,3). Beberapa tipe dari sel kanker mampu mensintesis prekursor ET-1 dan hasilnya adalah hipersekresi peptida. Endotelin dan reseptornya dapat dimodulasi oleh dua kategori sel kanker. Pertama, beberapa sel kanker menghasilkan ET-1 dan ETAR secara berlebih serta pengurangan ekspresi ETBR. Sel kanker yang masuk jenis ini adalah kanker kolon, kanker ovarium, kanker pankreas, kanker prostat dan kanker sel ginjal. Kategori kedua adalah sel kanker yang menghasilkan ET-1 dan ETBR secara berlebih serta pengurangan ekspresi ETAR.Yang termasuk kategori ini adalah kanker paru-paru dan kanker payudara (2). Terdapat indikasi bahwa ET-1 menginduksi pertumbuhan sel kanker dan bertindak sebagai modulator progresivitas pada sel kanker kelompok pertama. Sedangkan pada kanker yang terdapat peningkatan produksi ETBR, ET-1 terutama berfungsi sebagai aktivator tumor-associated cells seperti fibroslast, sel-sel endotel dan makrofag (2). Saat ini, beberapa penelitian menggunakan hewan coba dan penelitian pada manusia menunjukkan keterlibatan ET-1 dalam patogenesis nyeri. Kedua reseptor endotelin terlibat dalam proses penghantaran nyeri yang diinduksi oleh endotelin (ET-induced nociception). Secara spesifik, hasil-hasil penelitian ini memperlihatkan hubungan antara peningkatan ekspresi dari ET-1 terhadap patofisiologi dan tingkat kesakitan dari nyeri kan- ker. Namun demikian, ET-1 juga memiliki efek penghambatan nyeri pada sistem saraf pusat, sehingga dapat dikatakan bahwa ET-1 ini berperan ganda pada nyeri kanker. ET-1 DAN NYERI ET-1 merupakan peptida yang baru diketahui bertindak sebagai mediator pada patogenesis nyeri mulai dari inflamasi, luka dan penyakit yang mempengaruhi jaringan perifer tetapi tidak memiliki pengaruh pada nyeri fisiologis normal. ET-1 memiliki kemampuan menginduksi sekaligus mengontrol nyeri. ET-1 menginduksi nyeri pada berbagai model hewan seperti nyeri yang diinduksi oleh zat kimia secara akut dan yang diinduksi oleh inflamasi serta pada model hewan untuk nyeri kronik seperti neuropati dan nyeri kanker. Injeksi ET-1 secara lokal di kulit menimbulkan nyeri dan eksitasi nosiseptor, dengan kedua efek ini sangat bergantung pada ETAR (2,5,10) ET-1 juga memiliki efek yang berbeda terhadap sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Pada sistem saraf perifer, endotelin menginduksi nyeri melalui ETAR dari nosiseptor lokal, dan secara bersamaan menghasilkan efek analgesia melalui ETBR dengan menginduksi pelepasan βendorfin dan aktivasi kolam opioid. Telah dilaporkan pula bahwa antagonis ETAR menunjukkan efek pengurangan rasa nyeri. Pemberian ET-1 secara eksogen ke sistem saraf pusat menyebabkan efek analgesia pada model hewan baik untuk nyeri akut atau inflamasi. Hasil ini memperlihatkan peran endotelin dalam mempengaruhi transmisi nyeri (2,3,10). ET BR DAN PELEPASAN OPIOD ETBR belum dipelajari secara mendetail disebabkan karena data yang telah ada cukup membingungkan. Sebagai contoh, peningkatan ekspresi ETBR pada sel-sel kanker telah teramati pada kanker kulit, payudara dan ovarium. Sedangkan penurunan jumlah ETBR teramati pada kanker prostat, kandung kemih dan kolorektal. Antagonis ETBR menghambat proliferasi sel tumor pada beberapa kasus sedangkan penelitian yang lain menunjukkan efek yang berlawanan (3,11). Aktivasi ETBR menghasilkan efek antinosiseptik pada lingkungan dengan konsentrasi ET-1 yang tinggi atau pada keadaan inflamasi. Sebagai contoh, ET-1 pada 10 pmol secara maksimal meningkatkan efek hiperalgesia setelah injeksi capsaisin pada kaki belakang mencit; peningkatan efek hiperalgesia dihambat pada dosis ET-1 yang lebih tinggi dan hilang pada 30 pmol ET-1. Pada nyeri non-kanker, ETBR memediasi efek nosisepsis dan antinosiseptik (2,12). Preinjeksi BQ-788, antagonis ETBR, menghasilkan keadaan hiperalgesia. Hal ini memperlihatkan bahwa dosis tinggi ET-1 memiliki efek anti- Muhammad Akbar Bahar, Endotelin dan Peranannya pada Nyeri Kanker nosiseptik melalui ETBR. Selanjutnya, terdapat bukti bahwa agonis ETBR mampu menghambat secara sempurna nosisepsis yang dimediasi oleh ETAR. Data elektrofisiologi juga mendukung efek antinosiseptik agonis ETBR. ET-1 yang diaplikasikan ke ujung saraf kutan menghasilkan potensial aksi yang dapat dihambat oleh agonis ETBR dan ETAR antagonis (5,13). Hal yang menarik adalah penemuan adanya hubungan antara produksi β-endorfin dan antagonis ETAR. Quang dan Schmidt menguji mRNA pada model hewan nyeri kanker karsinoma sel skuamosa dan menunjukkan bahwa ekspresi ET-1 hampir dua kali lipat, dan ekspresi ETBR secara signifikan menurun pada karsinoma sel skuamosa oral (dibandingkan dengan sel keratinosit oral). Pada model hewan, pemberian agonis ETBR ke dalam tumor menurunkan nyeri kanker kira-kira 50% hingga 3 jam setelah injeksi, sedangkan injeksi antagonis ETBR tidak memiliki efek. Menariknya, injeksi lokal nalokson atau antagonis selektif reseptor µ-opioid menggagalkan efek antinosiseptik agonis ETBR pada model hewan (14). Berbagai bukti kuat menunjukkan bahwa agonis ETBR perifer menghambat nyeri kanker dengan memodulasi β-endorfin yang dilepaskan dari sel-sel kanker untuk berikatan pada reseptor opioid perifer yang ditemukan pada lingkungan kanker. Karsinoma sel skuamosa oral terdiri dari sel-sel malignan keratinosit yang memiliki ETBR dan mensekresikan opioid untuk memodulasi aktivitas sel-sel nosiseptor aferen primer yang mengelilingi kulit. Lebih jauh lagi, aktivasi ETBR oleh ET-1 pada keratinosit menghasilkan efek analgesia yang dihilangkan oleh nalokson, mengindikasikan bahwa keratinosit merupakan sumber opioid yang dilepaskan karena aktivasi ETBR. Model hewan karsinoma sel skuamosa oral memperlihatkan bukti yang menarik bahwa aktivasi ETBR pada sel-sel kanker memiliki peran yang nyata sebagai analgesik yang potensial. (14,15) 93 nomal sel skuamosa) juga telah memperlihatkan kemampuannya dalam memproduksi opioid (seperti kanker paru-paru, tumor kandungan, kanker kulit, dan kanker melanosit) (15). Penemuan yang menunjukkan bahwa antagonis ETAR mampu menyebabkan sekresi opioid dan memiliki efek antinosiseptik pada model hewan nyeri kanker melampaui ekspektasi, sebab secara umum hipotesis yang diterima bahwa antagonis ETAR yang terdapat pada nosiseptor aferen primer meningkatkan potensial ambang batas (10). Di tengah adanya indikasi hubungan fungsional antara ETAR dan ETBR pada model yang digambarkan sebelumnya, data mengenai hubungan antara ETAR dan ETBR secara fisik sangat menarik. Secara khusus, kedua subtipe reseptor ini mampu membentuk homo- dan heterodimer melalui pengikatan secara berpasangan ke ligan ET-1. Pada kasus ini, antagonis ETAR dapat mengganggu heterodimer dari kedua reseptor ini, membebaskan ETBR, yang kemudian akan berikatan ke ET-1 dengan peningkatan afinitas enam kali lebih besar. Pelepasan ETBR pada karsinoma sel skuamosa yang diberikan antagonis ETAR membuatnya lebih mudah diaktivasi oleh ET-1 yang dihasilkan secara berlebih oleh sel karsinoma, menyebabkan sekresi opioid pada lingkungan kanker (16). Kebanyakan tipe dari nyeri kanker pada awalnya memberikan respon yang baik terhadap morfin, tetapi kemudian toleransi berkembang sehingga dibutuhkan peningkatan dosis, dan hal ini bisa menyebabkan peningkatan efek samping morfin. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa antagonis ETAR mampu mencegah toleransi morfin (17). Secara teori, kombinasi dari antagonis ETAR, yang menghasilkan efek antinosiseptik dan secara bersamaan mencegah toleransi morfin, dengan ETBR agonis, yang memberikan efek pelepasan opioid, sangat menjanjikan untuk terapi nyeri kanker. ET AR DAN PELEPASAN OPIOID DATA KLINIK PADA MANUSIA Hal yang mengejutkan adalah sejalan dengan efek aktivasi ETBR, peningkatan produksi βendorfin dan sekresi leu-enkefalin terjadi pada kultur karsinoma sel skuamosa yang diberikan antagonis ETAR. Pada model hewan, nosisepsis karena rangsangan mekanik dimulai pada hari ke4 setelah inokulasi karsinoma sel skuamosa dan berakhir pada hari ke 18. Pemberian secara lokal nalokson metiodida ataupun antagonis selektif reseptor opioid (seperti antagonis reseptor µ-opioid atau naltrindole antagonis reseptor δ-opioid tetapi tidak untuk antagonis reseptor κ-opioid ataupun BOR) secara signifikan menghalangi efek antinosiseptik antagonis ETAR (15). Hasil ini menunjukkan bahwa agonis ETBR maupun antagonis ETAR dapat menghasilkan efek antinosiseptik melalui pelepasan peptida opioid di lingkungan kanker. Jenis kanker lain (selain karsi- Pada percobaan klinik, efek antinosiseptik dari antagonis ETAR belum menunjukkan data yang memuaskan. Atrasentan, obat oral antagonis ETAR, telah diteliti secara ekstensif pada percobaan klinik untuk mengontrol progresivitas kanker prostat; nyeri digunakan sebagai parameter efektivitas atrasentan. Meskipun data-data preklinik menunjukkan hasil yang positif, Atrasentan tidak memperlihatkan pengurangan nyeri kanker yang signifikan pada percobaan klinik di antara tiga kelompok pasien yang diuji (plasebo; 2,5 mg Atrasentan; 10 mg Atrasentan), tidak ada perbedaan yang dilaporkan (ukurannya adalah kebutuhan terhadap terapi opioid). Satu percobaan menunjukkan peningkatan nyeri pada sekelompok kecil pasien (5 orang dari 15 pasien), tetapi efek ini tidak signifikan. Hasil terbaru, pada percobaan 94 Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 17, No.3 – November 2013, hlm. 91 – 94 (ISSN : 1410-7031) klinik fase III menggunakan Atrasentan pada 811 pria dengan kanker prostat gagal menunjukkan bahwa antagonis selektif ETAR mampu mengurangi nyeri karena kanker secara signifikan (2). Hasil negatif pada percobaan klinik menggunakan antagonis ETAR mengindikasikan bahwa pemahaman mengenai peran ET-1 pada nyeri kanker masih jauh dari sempurna. Namun demikian, data-data ini diharapkan mampu menjadi pelengkap dalam upaya pengobatan nyeri pada pasien kanker. DAFTAR PUSTAKA 1. Levin, R.E., 1995, Endothelins. The New England Journal Of Medicine . pp. 333:6. 2. Huns, G., Deseure, K., and Adriaensen, H., 2008, Endothelin-1-induced pain and hyperalgesia: A review of pathophysiology, clinical manifestations and future therapeutic options. Neuropeptides. (42); pp.119–132. 3. Bagnato, A., and Natali, P.G., 2004, Endothelin receptors as novel targets in tumor therapy. Journal of Translational Medicine. 2:16. 4. Jain, S.K., Yadava, R.K., and Raikar, R., 2002, Role of endothelins in health and disease. JIACM.3(1): 59-64. 5. Khodorova, A., Montmayeur, J.P., Strichartz, G., 2009, Endothelin receptors and pain. The Journal of Pain.10:4-28. 6. Peters, C.M., Lindsay, T.H., Pomonis, J.D., Luger, N.M., Ghilardi, J.R., Sevcik, M.A., and Mantyh, P.W., 2004, Endothelin and The Tumorigenic Component Of Bone Cancer Pain. Neuroscience.126:1043–1052 7. Zanello, S.B., Jackson, D.M., and Holick, M.F., 1999, An Immunocytochemical approach to the study of β-endorphin production in human keratinocytes using confocal microscopy. Ann N Y Acad Sci. 885:85-99. 8. Pomonis, J.D., Rogers, S.D., Peters, C.M., Ghilardi, J.R. and Mantyh, P.W., 2001, Expression and localization of endothelin receptors: implications for the involvement of peripheral glia in nociception. The Journal of Neuroscience. 21 (3):999–1006. 9. Chiao, J.W., Moonga, B.S., Yang, Y.M., Kancherla, R., Mittelman, A., Wu-Wong, J.R., and Ahmed, T., 2000, Endothelin-1 from prostate cancer cells is enhanced by bone contact which blocks osteoclastic bone resorption. British Journal of Cancer. 83(3), 360–365. 10. Khodorova, A., Navarro, B., Jouaville, L.S., Murphy, J.E., Rice, F.L., Mazurkiewicz, J.E., Woodward, D.L., Stoffel, M., Strichartz, G.R., Yukhananov, R., and Davar, G., 2003, Endothelin-B receptor activation triggers an endogenous analgesic cascade at sites of peripheral injury. Nature Medicine.9:8. 11. Pao, M.M., Tsutsumi, M., Liang, G., Uzvolgyi, E., Gonzales, F.A., and Jones, P.A., 2001, The Endothelin receptor B (EDNRB) promoter displays heterogeneous, site spesific methylation patterns in normal and tumor cells. Human Molecular Genetics. 10:9. 12. Piovezan, A.P., D’Orleans-Juste, P., Tonussi, C.R., and Rae, G.A., 1998, Effects of endothelin-1 on capsaicin-induced nociception in mice. European Journal of Pharmacology. 351: 15–22. 13. Piovezan, A.P., D’Orleans-Juste, P., Souza, G.E.P., Rae, G.A., 2000, Endothelin-1-induced ETA receptor-mediated nociception, hyperalgesia and oedema in the mouse hind-paw: modulation by simultaneous ETB receptor activation. British Journal of Pharmacology. 129: 961-968. 14. Quang, P.N., Schmidt, B.L., 2010, Peripheral endothelin B receptor agonist-induced antinociception involves endogenous opioids in mice. PAIN. 149:254–262. 15. Schmidt, B.L., Hamamoto, D.L., Simone, D.A., and Wilcox, G.L., 2010, Mechanisms of cancer pain. Molecular Intervention. 10;3. 16. Harada, N., Himeno, A., Shigematsu, K., Sumikawa, K., and Niwa, M., 2002, Endothelin-1 binding to endothelin receptors in the rat anterior pituitary gland: possible formation of an ETA-ETB receptor heterodimer. Cell Mol Neurobiol. 22(2):207-26. 17. Balla, S., Matwyshyn, G., and Gulati, A., 2005, Morphine tolerance does not develop in mice treated with endothelin-A receptor antagonists. Brain Research. 1064:126–135