7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan dan Bahan Pencemarnya Pengertian kualitas lingkungan (perairan) adalah faktor biofisika-kimia yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya. Menurut Moore (1991) perairan ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya. Sedangkan menurut Boyd (1982) kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Definisi pencemaran air menurut Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1990 adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lainnya ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau sudah tidak berfungsi lagi sesuai peruntukkannya. Effendi (2003) menjelaskan bahwa sumber pencemar berdasarkan lokasinya dapat berupa suatu lokasi tertentu (point source) seperti knalpot mobil, cerobong asap pabrik, dan saluran limbah industri; dan tak tentu/tersebar (non point /diffuse source) seperti limpasan (run-off) daerah pertanian, daerah pemukiman dan daerah perkotaan. Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi dua, yaitu polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang memasuki suatu lingkungan (misalnya badan air) secara alami, seperti akibat letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, abrasi pantai, erosi dan fenomena alam lainnya. Polutan yang memasuki suatu ekosistem secara alamiah sukar dikendalikan. Polutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke badan air akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah tangga), kegiatan urban (perkotaan), kegiatan industri maupun kegiatan pertambangan dan pertanian termasuk perikanan. Intensitas polutan antropogenik dapat dikendalikan dengan cara mengontrol aktivitas yang menyebabkan timbulnya polutan tersebut (Effendi 2003). Berdasarkan sifat toksiknya, polutan/pencemar dibedakan menjadi dua, yaitu polutan tak toksik (non-toxic pollutans) dan toksik (toxic pollutans) (Mance 8 1987). Polutan tak toksik biasanya telah berada pada ekosistem secara alami. Sifat destruktif pencemar ini muncul apabila berada dalam jumlah yang berlebihan sehingga mengganggu kesetimbangan ekosistem melalui perubahan proses fisika kimia perairan. Polutan tak toksik ini terdiri dari bahan-bahan tersuspensi dan nutrien. Nutrien yang berlebih ini menyebabkan pengkayaan unsur hara yang tinggi sehingga terjadi komunitas biotik yang berlebih (blooming). Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (lethal) maupun bukan kematian (sub-lethal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku, fisiologi maupun karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik. Polutan toksik ini biasanya berupa bahan-bahan yang bukan bahan alami, misalnya pestisida, detergen, dan bahan buatan lainnya. Polutan berupa bahan yang bukan alami ini dikenal dengan istilah xenobiotik (pollutan artificial), yaitu polutan yang diproduksi oleh manusia (man-made substances). Mason (1993) mengelompokkan pencemar toksik menjadi lima, yaitu :1) logam berat meliputi timbal, nikel, kadmium, zink, tembaga, dan merkuri; 2) senyawa organik yang berasal dari kegiatan industri, pertanian dan domestik meliputi pestisida, herbisida, surfaktan, hidrokarbon dan lain-lain; 3) gas, misalnya klorin dan ammonia; 4) anion, misalnya sianida, fluorida, sulfida, dan sulfat; 5) asam dan alkali. Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu, Se, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau beracun, di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain. Logam berat ini dapat menimbulkan efek kesehatan bagi manusia tergantung pada bagian mana logam berat tersebut terikat dalam tubuh. Daya racun yang dimilikinya akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus. Lebih jauh lagi, logam berat ini akan bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen, teratogen atau karsinogen bagi manusia. Jalur masuknya adalah melalui kulit, pernapasan dan pencernaan (Boening 2000; Eisler 2006). 9 2.2. Merkuri dan Selenium 2.2.1 Sumber dan Transportasi di Lingkungan Lebih dari dua dekade ini, merkuri (Hg) dan selenium (Se) telah diidentifikasi sebagai salah satu kontaminan utama dalam sistem perairan. Merkuri dan selenium terbentuk secara alami dan tersebar di lingkungan baik secara proses alami maupun aktivitas manusia. Sumber alami dari merkuri dan selenium berasal dari batuan, gunung berapi maupun hutan. Sumber utama antropogeniknya yang mencemari perairan adalah : (1) tambang batu bara dan hasil bakarannya, (2) tambang emas, perak, nikel, dan fosfat, (3) peleburan logam dan industri, (4) pemukiman, (5) penyulingan, transportasi, dan penggunaan minyak, (6) irigasi pertanian, (7) dan limbah pertanian dan peternakan. Sumber tidak langsung merkuri dan selenium ke dalam air adalah merkuri di udara, yang terdeposit melalui hujan atau proses langsung lainnya ke tanah dan air permukaan. Merkuri dan selenium juga bisa berasal dari sedimen jika terganggu (seperti banjir dan penggalian). Pembakaran sampah padat dan penggunaan bahan bakar fosil merupakan sekitar 87 % dari emisi merkuri di Amerika Serikat (Paasivirta 1991; Boening 2000; US EPA 2001; Lemly 2002; Eisler 2006). Selenium merupakan elemen esensial atau dibutuhkan oleh manusia dan hewan dalam proses metabolismenya. Namun jika terdapat dalam konsentrasi lebih dari yang dibutuhkan maka selenium dapat berdampak negatif bahkan bisa mematikan. Kadar selenium pada kerak bumi sekitar 0,1 mg/kg. Sumber alaminya di perairan adalah ferroslite (FeSe2) dan chalcopyrite. Kadar selenium pada perairan tawar alami bervariasi antara <0,1 - 5,0 μg/L (Lemly 2002). Kadar merkuri pada perairan tawar alami berkisar antara 10-100 µg/L, sedangkan pada perairan laut berkisar antara <10-30 µg/L (Moore 1991). Merkuri dan selenium dapat terakumulasi sepanjang rantai makanan. Hal ini dapat terjadi melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi. Bioakumulasi adalah peningkatan konsentrasi suatu zat sepanjang masa hidupnya, baik melalui jalur makanan atau proses metabolisme lainnya. Biomagnifikasi adalah akumulasi suatu zat sepanjang proses rantai makanan atau tingkat trofiknya (trophic level). Biomagnifikasi merkuri pada beberapa organisme angggota jala makanan pada ekosistem perairan dapat dilihat pada Tabel 1. 10 Tabel 1 Biomagnifikasi merkuri pada beberapa organisme anggota jala makanan di ekosistem perairan Jenis Organisme 1. Sedimen Kadar Merkuri (µg/kg berat basah) 87 – 114 2. Fitoplankton 15 3. Tumbuhan tingkat tinggi 9 4. Zooplankton 13 5. Zoobenthos herbivora 77 6. Zoobenthos karnivora 83 7. Jenis ikan herbivora 332 – 500 8. Jenis ikan karnivora 604 – 1.510 9. Bebek/itik 10. Burung pemakan ikan 240 2.512 - 13.685 Sumber : Mason 1993. Konsentrasi merkuri dan selenium dalam tubuh ikan predator lebih tinggi dibandingkan dengan ikan pemakan dasar (US EPA 2001). Berdasarkan kebiasaan makan fungsional biota air yang diamati di Sungai Cikaniki, bioakumulasi merkuri pada perifiton adalah yang tertinggi yang diikuti selanjutnya oleh kelompok scraper, collector filterer, collector gatherer, shredder dan terakhir predator. Bioakumulasi merkuri pada biota perairan Sungai Cikaniki berkorelasi dengan konsentrasi merkuri pada media lingkungannya (Yoga et al. 2009). 2.2.2 Sifat Merkuri dan Selenium Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berada dalam bentuk cairan pada suhu dan tekanan normal. Merkuri terserap dalam bahan-bahan partikulat dan mengalami presipitasi. Pada dasar perairan anaerobik, merkuri berikatan dengan sulfur. Merkuri dalam bentuk garam-garam ini, jika larut dalam air, akan tersedia secara biologis dan dianggap beracun. Merkuri juga membentuk senyawa logam organik, yang banyak digunakan dalam industri dan pertanian. Merkuri elemental menimbulkan uap yang hanya sedikit larut dalam air, tetapi bermasalah karena mudah bertransportasi di atmosfer (Boening 2000). Para ahli tentang bahaya merkuri terhadap makhluk hidup sependapat tentang enam hal. Pertama, merkuri dan senyawanya tidak diketahui fungsi biologisnya, dan kehadirannya pada makhluk hidup tidak diinginkan dan 11 potensial berbahaya. Kedua, bentuk merkuri dengan daya racun yang relatif rendah dapat diubah menjadi berdaya racun sangat tinggi melalui proses biologi dan proses lainnya. Ketiga, metil merkuri dapat mengalami biokonsentrasi dan biomagnifikasi pada organisme melalui rantai makanan, terkena merkuri secara langsung bagi manusia dan tingkatan konsumsi trophic level yang lebih tinggi lainnya. Keempat, merkuri adalah mutagen, teratogen, dan carcinogen, dan menyebabkan embryocidal, cytochemical, dan efek histopatologi. Kelima, Kandungan merkuri tinggi biasanya ditemukan pada ikan dan satwa liar dari lokasi yang memiliki siklus merkuri alami yang kompleks dan berdampak terhadap manusia. Terakhir, penggunaan merkuri secara antropogenik harus dibatasi karena perbedaan antara batas toleransi alami merkuri dengan dampak berbahayanya di lingkungan sangat tipis (Eisler 2006). Terjadinya proses akumulasi merkuri di dalam tubuh hewan air, karena kecepatan penyerapan merkuri (uptake rate) oleh organisme air lebih cepat dibandingkan dengan proses ekresi, yaitu karena metil-merkuri memiliki paruh waktu sampai beberapa ratus hari di tubuh hewan air, sehingga zat ini menjadi terakumulasi dan konsentrasinya beribu kali lipat lebih besar dibanding air di sekitarnya (Eisler 2006). Senyawa-senyawa alkil merkuri lebih tahan urai daripada senyawa non alkil atau merkuri anorganik, sehingga senyawa alkil merkuri lebih berbahaya sebagai bahan pencemar. Metil merkuri, bentuk paling umum dari merkuri, masuk dengan cepat ke dalam rantai makanan. Dalam sebagian besar ikan dewasa, 90%-100% merkuri yang ada di dalam tubuhnya adalah metil merkuri (Paasivirta 1991). Metil merkuri terutama terdapat di jaringan daging ikan karena terikat dengan protein. Oleh karena merkuri terikat dengan protein di seluruh jaringan ikan, termasuk otot, maka tidak ada metoda pemasakan atau pengolahan ikan untuk mengurangi kadar merkuri di dalamnya (Boening 2000). Karena air yang hilang akibat proses pemasakan, maka kadar merkuri dalam ikan yang dimasak sebenarnya lebih tinggi daripada ikan segar yang belum dimasak (US EPA 2001). Senyawa merkuri bersifat sangat toksik bagi manusia dan hewan. Garamgaram merkuri terserap dalam usus dan terakumulasi dalam ginjal dan hati. Metil merkuri diangkut oleh sel darah merah dan dapat mengakibatkan kerusakan pada otak. Ion metil merkuri lima puluh kali lebih toksik daripada garam-garam merkuri anorganik. Senyawa merkuri mengalami masa tinggal (retention time) 12 yang cukup lama dalam tubuh manusia (Boening 2000; Eisler 2006). Dibandingkan dengan merkuri anorganik, merkuri organik dapat diserap secara sempurna, larut dalam bahan pelarut organik dan lemak, dapat melewati membran biologi, dan lebih lambat diekskresikan (Sorensen 1991). Selenium yang merupakan elemen mikro esensial bagi nutrisi hewan diperlukan umumnya dalam kisaran 5 µg/kg (Ohlendorf 1996; Lemly 2002). Seperti elemen esensial lainnya, tingkatan selenium dalam tubuh biasanya diatur secara homeostatis. Jika masukan selenium melebihi kemampuan tubuh untuk mengaturnya, maka kadar selenium akan meningkat tinggi. Interaksi antara selenium dan elemen nutrisi lainnya dapat mempengaruhi metabolisme selenium dan kesehatan tubuh hewan, seperti dengan sulfur, vitamin E, protein, dan hidrokarbon dalam makanan (Dilaga 1992; Ohlendorf 1996). Salah satu fungsi utama selenium adalah sebagai komponen dari enzim glutationa peroksidase. Glutationa peroksidase membantu mencegah oksidasi membran sel (Ohlendorf 1996). Kekurangan selenium mengakibatkan oksidasi membran sel menghasilkan garis putih dan degenerasi pada otot yang sering disebut penyakit otot putih (white muscle disease) atau myopathy (Ohlendorf 1996). Selenium dan sulfur memiliki kesamaan pada kimia dan fisika dasarnya. Selenium dapat menggantikan komposisi sulfur pada proses sintesa protein dan struktur sel. Jika jumlah selenium berlimpah di perairan, maka selenium akan menggantikan sulfur dalam sintesa protein. Hal ini menyebabkan terganggunya proses sintesa protein sehingga menghasilkan molekul protein dan enzim yang disfungsional, yang berdampak pada kerusakan biokimia selular normal (Lemly 2002). 2.2.3 Toksisitas Merkuri dan Selenium terhadap Organisme Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh organisme melalui beberapa jalan, yaitu: saluran pernafasan, pencernaan, dan penetrasi melalui kulit serta sel mukus (Boening 2000; Eisler 2006). Di dalam tubuh hewan logam berat diserap oleh darah, berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam organ detoksifikasi (hati) dan ekskresi (ginjal). Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme tergantung pada konsentrasi logam berat dalam 13 air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan aktivitas fisiologis (Connel dan Miller 1995). Kasus keracunan merkuri yang cukup terkenal adalah kasus yang terjadi di Teluk Minamata, Jepang, pada tahun 1950-an. Industri kimia yang beroperasi di sekitar Teluk Minamata membuang limbah yang mengandung merkuri ke perairan teluk dan menyebabkan ibu-ibu yang mengkonsumsi makanan laut (sea food) yang diperoleh dari Teluk Minamata melahirkan anak-anak dengan cacat bawaan. Korban yang meninggal sebanyak empat puluh tiga orang dari 111 kasus keracunan yang terjadi (Eisler 2006). Ikan-ikan yang mati di sekitar Teluk Minamata mempunyai kadar metil merkuri sebesar 9 sampai 24 ppm. Di Indonesia, kontaminasi serius juga pernah diukur di Sungai Surabaya pada tahun 1996. Kejadian yang hampir serupa juga terjadi di Teluk Buyat Sulawesi Utara. Pengaruh dari toksisitas merkuri terhadap tubuh manusia antara lain : kerusakan syaraf, termasuk menjadi pemarah, paralysis, kebutaan atau gangguan jiwa, kerusakan kromosom dan cacat bayi dalam kandungan. Gejalagejala ringan akibat keracunan merkuri adalah depresi dan suka marah-marah yang merupakan sifat dari penyakit kejiwaan, sakit kepala, sukar menelan, penglihatan menjadi kabur, daya dengan menurun, merasa tebal di bagian kaki dan tangannya, mulut terasa tersumbat oleh logam, gusi membengkak dan disertai diare, lemah badan, dan cacat pada janin manusia (US EPA 2001). Kadar merkuri yang tinggi akibat pencemaran antropogenik juga pernah terjadi di Amerika Serikat dan Kanada, yaitu pada ikan yang menghuni danau Saint Clair (Eisler 2006). Lebih dari 10.000 danau di Swedia telah ditutup untuk penangkapan ikan akibat muatan merkuri yang berlebihan (Mitra 1986). Polusi merkuri akibat pertambangan emas terjadi di Kanada, Amerika Serikat, Afrika, Cina, Filipina, Siberia, Brasil dan negara Amerika Selatan lainnya (Sorensen 1991; Boening 2000; Yu 2005; Eisler 2006). Kadar merkuri yang diperbolehkan di perairan tawar Kanada dan Uni Eropa berturut-turut adalah 0,1 µg/L dan 0,2 µg/L, sedangkan kadar merkuri yang diperbolehkan di perairan laut Uni Eropa tidak lebih dari 0,3 µg/L (Moore 1991). Kadar merkuri pada air minum tidak boleh melebihi 0,002 µg/L (US EPA 2001). Di Indonesia berdasarkan PP no 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air, kadar maksimum merkuri dalam perairan adalah 0,002 mg/L 14 dan untuk air minum adalah 0,001 mg/L, sedangkan untuk selenium adalah 0,05 mg/L. Merkuri yang diakumulasi dalam tubuh hewan air akan merusak atau memicu sistem enzimatik, yang berakibat dapat menimbulkan penurunan kemampuan adaptasi bagi hewan yang bersangkutan terhadap lingkungan yang tercemar tersebut. Organ ikan yang paling banyak mengakumulasi merkuri adalah insang, ginjal, hati, saluran pencernaan dan otot (Eisler 2006). Gangguan selenium pada biosintesa protein dapat memiliki beberapa dampak. Paling banyak tercatat adalah teratogenesis reproduksi (Lemly 2002). Selenium yang dikonsumsi tersimpan pada telur untuk kemudian dimanfaatkan oleh larva setelah menetas. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya deformitas (perubahan bentuk) pada organisme seperti ikan (Sorensen 1991; Lemly 2002) dan burung pemangsa ikan (Ohlendorf 1996), baik pada jaringan keras maupun lunak. Substitusi selenium terhadap sulfur juga dapat merusak formasi protein pada juvenil dan ikan dewasa, sehingga menyebabkan berbagai gangguan patologi pada organ dalam dan jaringan sebagai gejala selenosis kronis ( Lemly 2002). Pada manusia, kekurangan selenium dapat menyebabkan gangguan pada kesuburan akibat rendahnya kualitas sperma. Pada orang dewasa, kekurangan selenium dapat menyebabkan terjadinya cardiomyopathy dan hypothyroidisme akibat kurangnya produksi iodine. Kekurangan selenium juga menjadi penyebab utama timbulnya penyakit Keshan (Keshan disease) yang mengakibatkan gangguan kardiovaskular terutama pada anak-anak dan perempuan muda. Selain itu juga menyebabkan penyakit Kashin-Beck (KashinBeck disease) yang mengakibatkan gangguan osteoarthropathy, terutama pada anak-anak, sehingga tumbuh kerdil. Hal yang lebih penting adalah mudahnya terkena penyakit kanker akibat kurang antioksidan (Barceloux 1999). Toksisitas akut selenium pada manusia ditandai dengan produksi liur yang berlebihan (hypersalivation), emesis, dan nafas beraroma bawang putih akibat ekskresi uap metabolit selenium. Biasanya diikuti dengan gangguan pencernaan (muntah dan diare), rambut rontok, gangguan syaraf (tidak bisa tidur, kejang urat /spasms, tachycardia) dan mudah lelah. Keracunan selenium kronis atau selenosis, diasosiasikan dengan perubahan pada rambut, gigi, dan kuku yang mudah patah, ketombe yang meningkat, lesi kulit (erythema, vesiculation, infeksi sekunder, kehilangan warna merah), gangguan syaraf (peripheral 15 hypoaesthesia, acroparasthaesiae, kesakitan /pain, hyperreflexia, mudah marah, mati rasa/numbness, depresi, tremor, mudah lelah, paralysis, convulsion), dan nafas beraroma bawang putih (Barceloux 1999). 2.3 Organ Target Toksikan 2.3.1 Insang Perubahan fisika kimia lingkungan yang mendadak menyebabkan ikan stress, antara lain seperti perubahan pH, suhu air, penanganan, penangkapan atau juga oleh polusi air. Stres ini mempengaruhi kinerja insang dan membahayakan kontrol homeostatis dari cairan tubuh (Lock et al. 1994). Insang merupakan organ yang multifungsional bagi ikan yaitu respirasi, regulasi ion, regulasi asam basa, ekskresi limbah nitrogen dengan luas mencapai lebih dari 50% total permukaan tubuh ikan (Heath 1987; Wood 2001). Insang menjadi titik lemah bagi tubuh ikan dalam menghadapi ancaman lingkungan luar karena tidak memiliki mekanisme perlindungan seperti halnya kulit yang memiliki lendir (mucus). Fungsinya yang menyerap toksikan air menyebabkan insang mudah terkena dampak toksikan dengan konsekuensinya fungsi-fungsi penting insang menjadi terganggu dan dapat membahayakan kondisi ikan (Heath 1987; Wood 2001). Insang terdiri dari lamela primer dan sekunder dengan jaringan epitel yang menutupi permukaan lamela. Jaringan epitel ini tersusun dari empat atau lima jenis sel, yaitu : pavement cells; chloride cells; accessory cells; mucous cells; dan neuroepithelial cells. Sel klorida yang berfungsi sebagai transportasi ion dan oksigen menjadi target yang diserang oleh toksikan (Heath 1987; Wood 2001). Sebagai respons terhadap efek toksikan, Mallatt (1985) mengidentifikasi lesi pada insang yaitu antara lain : terangkatnya epitel penutup lamela sekunder (pavement cells); meningkatnya jumlah ruang limfatik; perubahan pola aliran darah; munculnya granulocyte pada epitel; dan hipertrofi dan hiperplasia epitel termasuk sel mukus dan sel klorida. Hilangnya integritas struktur insang berdampak pada turunnya konsentrasi elektrolit darah (sodium, klorida, dan kalsium). Toksikan juga dapat mempengaruhi permeabilitas insang sehingga berdampak pada serapan dan buangan ion dan air. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah sel klorida sebagai respons ikan untuk mempertahankan 16 atau meningkatkan kapasitas insang menyerap ion dari air sebagai dampak adanya polutan. Efek toksikan terutama logam terhadap permeabilitas insang dan peningkatan jumlah sel klorida terkait dengan pergeseran ion Ca2+ dari titik stabilitas membran di insang. Semakin lama terkena polutan maka jumlah ion Ca2+ akan berkurang. Pada konsentrasi kronis, ikan merespons gangguan insangnya dengan meningkatkan respons hormonal oleh kelenjar hipofisa dengan melepaskan kortisol. Kortisol berfungsi mengontrol sistem kardiovaskular, keseimbangan ion dan air, mobilitas energi, immunosuppressan, dan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Lock et al. 1994). Senyawa-senyawa kimia selain masuk melalui saluran pencernaan, juga bisa masuk melalui saluran pernafasan (insang). Senyawa kimia tersebut akan masuk melalui insang yang langsung bersentuhan dengan lingkungan air. Setelah melewati insang, bahan-bahan kimia termasuk merkuri akan ikut ke dalam sistem pernafasan sampai akhirnya akan menembus sel epitel endotelial kapiler darah untuk masuk ke dalam darah. Selanjutnya akan terikut ke dalam aliran darah dan akhirnya ikut dalam proses metabolisme (Connel dan Miller 1995). Poleksic dan Tutundzic (1994) mengklasifikasi lesi insang ke dalam dua kriteria (Tabel 2) : (1) Berdasarkan jenis dan lokasi jaringan insang yang rusak. Terbagi dalam lima kelompok : (a) Hipertrofi dan hiperplasia dari epitel insang dan perubahannya yang terkait; (b) Perubahan pada sel mukus dan/atau sel klorida; (c) Parasit insang; (d) Perubahan aliran darah; (e) Tahap terminal. (2) Berdasarkan jangkauan perbaikan lesi. Terbagi tiga tahap : (I) Perubahan yang tidak merusak jaringan insang; (II) Perubahan fungsi jaringan yang terkait namun masih bisa diperbaiki jika lingkungan semakin baik; (III) Struktur insang tidak dapat diperbaiki lagi sehingga merusak fungsinya. 17 Tabel 2 Klasifikasi lesi insang dan tahap kerusakannya Lesi Insang (a) Hipertrofi dan hiperplasia epitel insang Tahap I - Hipertrofi epitel saluran pernafasan I - Terangkatnya epitel lamela I - Infiltrasi leukosit epitel insang I - Menipisnya epitel insang I - Pecah dan mengelupasnya epitel lamela II - Hiperplasia fokal sel epitel I - Hiperplasia dari pangkal hingga setengah panjang lamela sekunder I - Hiperplasia sel epitel yang tidak teratur I - Penyatuan ujung lamela sekunder I - Hiperplasia sel eosinofilik I - Penyatuan ujung lamela primer I - Pengentalan yang tidak terkontrol dari jaringan II - Penyatuan beberapa lamela sekunder I - Memendeknya lamela sekunder I - Penyatuan sempurna semua lamela sekunder II (b) Perubahan pada sel mukus dan/atau sel klorida - Hiperplasia dan hipertrofi sel mukus I - Sel mukus menghilang I - Hipertrofi dan hiperplasia sel klorida I - Sel klorida muncul di lamela sekunder I (c) Perubahan pembuluh darah - Teleangiektasis lamela sekunder I - Membesarnya filamen pembuluh darah I - Hemoragi dengan pecahnya epitel II - Stasis II (d) Parasit insang I (e) Tahap terminal - Jaringan tergores (scar-tissue) –fibrosis III - Nekrosis III Sumber : Poleksic dan Tutundzic (1994) Toksikan merkuri dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada insang antara lain : lisis sel, beberapa degenerasi dan nekrosis sel, meningkatnya vakuolisasi intraseluler, perluasan dan terhambatnya aliran di pembuluh darah (Osman et al. 2010); memicu batuk, kerusakan fungsi pernafasan (Nawaz et al. 2010); meningkatnya laju konsumsi oksigen, meningkatnya aktivitas LDH dan level piruvat serta laktat (Radhakrisnaiah et al. 1993); degenerasi vakuolar, 18 edema, atrofi (Paryono 2005); fusi lamela, hiperplasia, edema, atrofi, dan nekrosis (Nurchayatun 2007); hipertrofi, hiperplasia, hemoragi, teleangiektasis, deskuamasi, dan edema (Yuniar 2009). Efek patologi selenium terhadap insang antara lain menyebabkan terjadinya pelebaran (dilatasi) sinusoid darah dan pembengkakan lamela (telangiektasia) yang dipenuhi oleh eritrosit (Sorensen 1991). Pendarahan (hemoragi) jaringan insang sering terjadi karena kondisi ini. Penebalan lamela insang menyebabkan gangguan aliran darah dan pertukaran gas yang tidak efektif (mengurangi kapasitas pernafasan), dan respons gangguan metabolisme (meningkatkan permintaan pernafasan dan konsumsi oksigen) yang dapat menyebabkan kematian (Lemly 2002). 2.3.2 Hati Hati memiliki tiga fungsi utama : (1) Penyerapan, metabolisme, penyimpanan dan redistribusi nutrien dan molekul endogenous lainnya. Fungsi utamanya adalah untuk mempertahankan homeostasis organisme dengan sintesis ( hormon) dan sekresi molekul (protein, kolesterol, dan lemak) ke dalam darah. (2) Metabolisme xenobiotik (biotransformasi dan detoksifikasi). (3) Formasi dan ekskresi empedu (eliminasi degradasi produk senyawa endogenous, degradasi xenobiotik dan metabolitnya serta beberapa logam) (Heath 1987; Hinton 1993; Hinton et al. 2001). Volume, ruang dan mikroanatomi hati ikan berbeda dengan hati mamalia (Hinton 1993; Hinton et al. 2001). Untuk mempelajari toksisitas polutan terhadap hati ikan perlu diketahui pola morfologi, gangguan fungsional (fisiologi) dan fungsinya, dan kapasitas hati untuk mengaklimasi tekanan toksikan dengan proses metabolismenya. Hati mensekresi plasma protein utama seperti fibrinogen dan albumin yang berfungsi untuk sebagai penjaga osmolalitas darah, pH darah, sumber asam amino dan transportasi hormon serta bahan kimia eksogen seperti logam dan bahan organik. Fungsi ini yang menjadi target dari toksikan. Efek toksikan terhadap metabolisme hati, yaitu : (1) Toksik terhadap sel hati seperti menghambat enzim atau mengganggu ekspresi gen sebagai konsekuensi hambatan dalam sekresi lipid; (2) Tidak merusak sel hati namun mengganggu dalam jaringan sekelilingnya, contohnya hambatan terhadap sintesis vitellogenin atau choriogenin oleh antiestrogen, atau meningkatkan 19 katabolisme hormon hati. Kerusakan sel hati oleh toksikan dapat dideteksi oleh analisis klinis enzim darah (Heath 1987). Toksisitas timbul dari interaksi xenobiotik atau logam dengan saluran metabolisme hati atau dengan reseptor spesifik hati (Hinton 1993). Merkuri dan selenium merupakan logam yang terlibat dalam proses enzimatik dan terikat dengan protein (ligan binding). Ikatan merkuri dan selenium dengan protein jaringan membentuk senyawa metalotionina. Metalotionina merupakan protein aditif yang berperan dalam proses homeostatis organisme dalam mentolelir logam berat. Senyawa-senyawa kimia yang telah berikatan dengan protein dan membentuk metalotionina tersebut akan dibawa oleh darah (Roesijadi dan Robinson 1993). Merkuri yang tadinya masuk ke dalam hati akan terbagi dua: sebagian akan terakumulasi pada hati, sedangkan sebagian lainnya akan dikirim ke empedu. Dalam kantong empedu, akan dirombak menjadi senyawa merkuri anorganik yang kemudian akan dikirim lewat darah ke ginjal, dimana sebagian akan terakumulasi pada ginjal dan sebagian lagi dibuang bersama urin (Palar 1994). Hinton (1993) mengelompokkan biomarker histopatologi hati ikan dan alat untuk mendeteksinya pada Tabel 3. Hati adalah lokasi utama dari biotransformasi metil merkuri pada hewan. Hati mengubah senyawa berbahaya menjadi metabolit yang diekskresikan langsung ke empedu untuk proses detoksifikasi selanjutnya. Senyawa yang diekskresikan ke dalam empedu dan memasuki usus kecil akan diserap di usus atau dieliminasi dalam feses. Metil merkuri diserap dalam suatu proses yang disebut resirkulasi enterohepatik (Boening 2000). Merkuri dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada hati, antara lain degenerasi vakuolar, peradangan setempat (fokal hepatitis), kematian jaringan setempat (fokal nekrosis), pembendungan darah (kongesti) sel-sel hatinya membesar (megalositosis), inti sel mengecil (kariopiknosis), inti sel hilang (kariolisis) (Radhakrisnaiah et al. 1993; Paryono 2005; Destiany 2007; Yuniar 2009; Setijaningsih 2009; Masud et al. 2009). 20 Tabel 3 Biomarker histopatologi hati dan alat deteksinya No Biomarker Alat Deteksi 1 Nekrosa sel hati Mikroskop cahaya/histopatologi 2 Hiperplasia dari regenerasi Mikroskop cahaya 3 Hiperplasia saluran/kelenjar empedu Mikroskop cahaya/histopatologi 4 Hepatocytomegaly Mikroskop cahaya & electron 5 Megalositosis yang bervariasi Mikroskop cahaya & electron 6 Vakuolisasi hidropis dari sel hati Histopatologi & mikroskop electron 7 Perubahan warna pada focus seluler tertentu Mikroskop cahaya 8 Adenoma Histopatologi 9 Carcinoma Mikroskop cahaya 10 Cholangioma Mikroskop cahaya 11 Cholangiocarcinoma Mikroskop cahaya 12 Campuran hepatocholangiocellular carcinoma Mikroskop cahaya Sumber : Hinton (1993) Pada ikan yang terkontaminasi selenium, infiltrasi limfosit terlihat dengan vakuolisasi ekstensif dari hepatosit parenkima di sekitar vena pusat. Sel Kuppfer juga meningkat dan vena pusat meluas akibat berkurangnya sel parenkima di sekitarnya. Inti sel sering berubah bentuk dan pleomorfik, serta munculnya residu yang tidak termetabolik (droplet). Secara bersamaan, perubahan ultrastruktural ini menunjukkan suatu degenerasi struktur jaringan yang cukup mengganggu fungsi hati secara signifikan. Gejala patologi ini adalah karakteristik dari selenosis kronis pada ikan dan vertebrata lainnya (Sorensen 1991). 2.3.3 Ginjal Ginjal adalah organ utama untuk membuang air atau memproduksi urin serta memproduksi darah terutama pada ikan air tawar agar meminimalkan kehilangan ion. Pada ikan laut pembuangan urin ini lebih lambat untuk mencegah kehilangan ion air dalam proses osmoregulasi. Laju penyaringan glomerular (glomerular filtration rate) pada ikan lebih rendah dibandingkan dengan hewan endotermal dengan tingkat laju metabolismenya yang tinggi. Produksi urin ikan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, salah satunya yang terpenting adalah salinitas (Larsen dan Perkins 2001). 21 Ginjal teleost terdiri dari dua bagian, yaitu kepala anterior dan badan posterior. Bagian kepala terdiri dari chromaffin, jaringan inter-renal (limfoid), dan jaringan penghasil darah (hematopoietic). Bagian badan ginjal terdiri tubular ginjal dan nefron. Nefron ginjal terdiri dari glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul Bowman, tubular proksimal, tubular distal, dan vesika urinari. Glomerulus ini dilindungi oleh dua lapisan, yaitu lapisan luar (parietal) yang tersambung dengan epitel tubular proksimal dan lapisan dalam (visceral) yang segaris dengan tubular glomerular (Heath 1987; Larsen dan Perkins 2001; Affandi dan Tang 2002). Peranan ginjal ikan dalam osmoregulasi, sintesis kortisol, dan eliminasi limbah dapat dipengaruhi oleh toksikan yang dapat merusak sel. Kebanyakan deskripsi tentang toksisitas ginjal berfokus pada histopatologi dan gangguan enzim. Kerusakan pada sel ginjal dapat dimulai dari berbagai mekanisme, termasuk gangguan sinyal sel, regulasi gen, sintesis protein, transportasi membran, regulasi ion, fungsi enzim, dan integritas cytoskeletal. Sel normal memiliki kemampuan untuk merawat dan memperbaiki kerusakan. Jika kerusakan yang terjadi melebihi kemampuan sel tersebut, maka terjadi nekrosis atau bisa juga apoptosis yaitu kemampuan menghancurkan sendiri. Selain itu terjadi juga hipertrofi dan regenerasi sel (Heath 1987; Larsen dan Perkins 2001). Gangguan ginjal cenderung terjadi pada tubular proksimal dengan nekrosis tabung akibat xenobiotik, selain juga terjadinya gangguan pada glomerular dan inter renal. Kecenderungan ini terkait dengan kapasitasnya yang besar sebagai transportasi membran pada sel epitel tabung dan konsentrasi senyawa toksik pada lumen tabung. Selain itu juga terjadi vakuolisasi hidropis, munculnya droplet protein, dilatasi ruang Bowman, hypercellularity dan fibrosis glomerular dan penebalan membran dasar. Peningkatan jumlah melano macrophages center (MMC) juga dapat digunakan sebagai indikator non spesifik dari stress (Larsen dan Perkins 2001). Efek histopatologi merkuri terhadap ginjal ikan antara lain adalah granulasi epitel tubular dan hiperplasia, atrofi glomerular, melebarnya ruang Bowman, inti piknotik, dan degenerasi nekrosis dari sel epitel tubular (Larsen dan Perkins 2001). Ikatan Hg dengan kelompok sulfidril pada protein membran, menyebabkan gangguan pada permeabilitas sel dan terjadi pembengkakan dan lisis. Target utama ion merkuri adalah Na+, K+-ATPase (Larsen dan Perkins 2001). 22 Akumulasi selenium tingkat tinggi pada ginjal menunjukkan terjadinya focal proliferative glomerulonephritis intra kapilar. Pada kondisi ini, jumlah berlebihan dari sel mesangial terlihat bersamaan dengan matriks abnormal yang berlimpah dan fibrosis periglomerular yang dapat mengeraskan jaringan. Selubung tubular muncul dan epitel tubular menjadi tervakuolasi dan mudah hancur sehingga menyebabkan sistem tubular tidak berfungsi dengan baik (Sorensen 1991). 2.3.4 Limpa Limpa berperan penting dalam haematopoiesis (pembentukan darah) dan penjebakan antigen. Pada ikan berahang, terdapat limpa yang terbagi atas bagian luar (korteks) yang berwarna merah dan bagian dalam (medulla) yang berwarna putih. Korteks membentuk eritrosit dan trombosit, sedangkan medulla membentuk limfosit dan granulosit (Affandi dan Tang 2002). Pada struktur limpa dan hati terdapat makrofag yang diketahui berfungsi untuk membuang material tertentu dari ellipsoid ke MMC. MMC bervariasi dalam jumlah dan ukuran di antara spesies ikan dan individu dalam suatu spesies. Fungsi MMC adalah sebagai unit penyimpanan untuk material yang tak diinginkan yang tidak diekskresikan oleh organ lain, sehingga dapat dijadikan sebagai penanda (biomarker) terhadap kontaminasi logam berat karena terperangkap di bagian ini (Hylland et al. 2003). Letak MMC di dalam limpa biasanya terdapat berdekatan dengan saluran darah dan pada beberapa spesies dikelilingi oleh lapisan sel limfoid. Lapar dan stres pada ikan yang dibudidayakan dapat meningkatkan jumlah MMC pada ginjal dan limpa ikan (Kurtovic et al. 2008). Sebaliknya, pengurangan jumlah dan ukuran MMC pada limpa ini juga dilaporkan terjadi pada ikan yang hidup di perairan tercemar, terutama polutan yang mempengaruhi immunosuppresan (De Vico et al. 2008). Gangguan terhadap limpa antara lain termasuk berkurangnya struktur dinding sel seperti kerusakan pseudopodia dan organel, termasuk pembengkakan mitokondria dan meningkatnya jumlah lisosom sekunder yang berisikan bahan membran, sebagai bentuk degradasi organel (Hylland et al. 2003). 23 2.3.5 Usus Usus merupakan bagian terpanjang dari saluran pencernaan. Pada ikan pembagian segmen usus lebih sederhana dibandingkan dengan hewan tingkat tinggi lainnya, karena bentuk dan diameter ususnya relatif homogen. Panjang usus ikan sangat bervariasi dan berhubungan erat dengan kebiasaan makan ikan. Panjang usus ikan herbivora beberapa kali lipat dari panjang tubuhnya (Effendie 2003). Lapisan terdalam dari usus adalah lapisan mukosa yang memiliki tonjolan-tonjolan (vili). Lapisan mukosa tersusun oleh selapis sel epitelium dengan bentuk prismaltik. Bentuk sel yang umum ditemukan pada epitel usus adalah enterosit yang dominan, dan mukosit terdapat diantaranya serta semakin meningkat jumlahnya pada bagian belakang usus. Enterosit memiliki mikrovili yang berfungsi untuk menyerap zat makanan sebelum dibawa ke hati (Affandi dan Tang 2002). Usus ikan yang berperan untuk menghancurkan makanan dan menyerap makanan menjadi tempat dengan konsentrasi xenobiotik yang tinggi yang masuk bersama makanan. Usus memiliki enzim aktivitas tinggi untuk metabolisme xenobiotik, terutama aktivitas dua fase, dan ini sangat penting bagi biotransformasi xenobiotik tingkat rendah. Biotransformasi dalam usus ini dapat meningkatkan toksisitas pada sel usus (Kleinow dan James 2001). Efek xenobiotik pada usus terkait dengan masa tinggal (retention time) dari toksikan dalam tempat tertentu (peristaltik kantung makanan, kecepatan penyerapan, aliran darah), aksesibilitas (terlepas dari matriks makanan), avaibilitas (kemampuan perlindungan lapisan mukus, permeabilitas), dan perpanjangan perubahan regenerasi (re-epitelisasi). Perubahan patologi yang umum terjadi pada usus adalah vakuolasi, nekrosis sampai putus, terlipatnya vili. Formasi sel sinsitia, sekresi mukus yang berlebihan, dan pembentukan gelembung pada subselular (Kleinow dan James 2001). Kerusakan sel epitel kolumnar juga terjadi dari perubahan degeneratif akibat terpapar toksikan. Perubahan inti juga dapat terjadi, dengan reduksi volume inti sebagai ciri umumnya. Dalam kondisi yang lebih parah, maka dapat terbentuk neoplasia pada saluran makanan akibat toksikan seperti papiloma, fibroma, fibrosarcoma, adenocarcinoma, dan polip (Kleinow dan James 2001). 24 2.3.6 Otot Daging Material yang masuk ke bagian otot merupakan hasil dari metabolisme tubuh yang masuk melalui aliran darah, termasuk deposit logam. Kondisi otot daging ikan adalah yang menjadi perhatian utama bagi para ahli, karena terkait dengan kesehatan manusia. Daging merupakan bagian ikan yang paling banyak dimakan oleh manusia, sehingga apabila terdapat kandungan toksikan dalam otot ikan akan terakumulasi dan termagnifikasi dalam tubuh manusia pula. Sehingga sangat penting memperhatikan kadar toksikan seperti merkuri dan selenium dalam otot ikan. Selain dapat membahayakan, kandungan kontaminan pada otot dapat menyebabkan terjadinya perubahan patologis. Perubahan patologis yang terjadi pada otot antara lain perubahan serabut otot, perubahan nukleus sel otot, pembengkakan (cloudy swelling), degenerasi hialin, degenerasi granular, degenerasi lemak sampai nekrosa serabut otot. Infiltrasi sel-sel radang menunjukan adanya reaksi patologis yang terjadi pada otot. Sel-sel radang yang tampak dapat menunjukkan derajat keparahannya dan membantu menentukan kausanya. Jenis-jenis sel radang yang bisa ditemui antara lain limfosit, neutrofil, histiosit, dan fibroblast dari endomysium. Hemoragi pada jaringan dan kongesti pembuluh darah dapat diidentifikasi dari adanya eritrosit pada preparat histopatologinya. Edema merupakan bentuk patologi karena adanya penumpukan cairan pada rongga-rongga antar serabut otot. Edema akan menyebabkan lokasi antar serabut menjauh dan meregang (Takashima dan Hibiya 1995). Perubahan-perubahan patologi yang terjadi pada otot dapat berupa nekrosis (miopati), inflamasi, degenerasi hialin dan tumor otot rangka, misalnya rhabdomyoma (Hoole et al. 2001). Miopati dapat merupakan suatu wujud dari defisiensi vitamin, namun dapat juga diakibatkan oleh dampak toksisitas logam seperti merkuri dan selenium (Ohlendorf 1996). Perubahan patologi pada otot ikan ini selain dapat mempengaruhi kondisi ikan, juga sangat berpengaruh terhadap nilai ekonomis ikan tersebut. 25 2.4 Faktor Lingkungan Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi logam berat dalam air dan sedimen, jenis organisme air, umur dan nilai pH air. Semakin rendah nilai pH air maka logam berat semakin larut dalam air (bentuk ion) sehingga semakin mudah masuk ke dalam tubuh organisme tersebut baik melalui insang, bahan makanan ataupun diffusi (Duffus 1980). Merkuri pada lingkungan perairan dapat dimetilasi baik secara proses biologi maupun kimiawi, ataupun keduanya, di bawah kondisi alami pH dan suhu. Bentuk merkuri yang umum terdapat pada jaringan ikan air tawar adalah metil merkuri karena stabilitasnya yang tinggi dan daya larut lemak sehingga memiliki kemampuan tinggi untuk menembus membran sel organisme hidup (Eisler 2006). Metilasi merkuri di ekosistem tergantung dari pemasukan merkuri, aktivitas mikrobiologi, kandungan nutrien, kondisi pH dan redoks, masukan sedimen terlarut, tingkat sedimentasi, dan variabel lainnya. Bioavailibitas metil merkuri dalam biota air tergantung pada kimia danau, laju deposisi merkuri, dissolved organic carbon (DOC), dan variabel lainnya seperti tahapan daur hidup, umur, jenis kelamin, daya toleransi, suhu air, dan kesadahan (Boening 2000; Eisler 2006). Peningkatan konsentrasi merkuri dalam jaringan ikan biasanya berhubungan positif dengan pH rendah, rendah kalsium, rendahnya konsentrasi karbon organik terlarut, meningkatnya suhu, serta rendahnya kesadahan dan alkalinitas (Eisler 2006). Banyak ahli berpendapat bahwa selenium (Se) adalah yang mampu menghambat toksisitas merkuri. Selenium mampu mendetoksifikasi merkuri anorganik dengan rasio 1:1 (Koeman et al. 1975; Ping et al. 1986; Palmisano et al. 1995). mercuric selenide (HgSe), produk akhir detoksifikasi merkuri ditemukan pada hati mamalia laut dan burung (Koeman et al. 1975; Nigro dan Leonzio 1996). Sebuah model detoksifikasi merkuri pada hewan laut tingkat tinggi melibatkan transformasi metil merkuri yang termakan menjadi merkuri anorganik melalui spesiasi oksigen reaktif (Hirayama dan Yasutake 2001); mikroflora usus (Rowland et al. 1984; Rowland 1988); dan selenium (Iwata et al. 1982). Vitamin D dan E, senyawa thiol, selenium, copper, dan kemungkinan zink bersifat antagonistik terhadap efek berbahaya merkuri (US EPA 2001). 26 2.5 Histopatologi Histologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang jaringan. Patologi adalah kajian tentang penyakit atau kajian tentang adaptasi yang tidak cukup terhadap perubahan-perubahan lingkungan eksternal dan internal (Spector dan Spector 1993). Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting dalam kaitannya dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu. Histopatologi dapat dilakukan dengan mengambil sampel jaringan atau dengan mengamati jaringan setelah kematian terjadi. Perbandingan kondisi jaringan sehat terhadap jaringan sampel dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu penyakit yang diduga benar-benar menyerang atau tidak (Hinton 1993). Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi. Ketoksikan racun ditentukan oleh keberadaan racun ditempat aksi, dan keadaan ini bergantung pada keefektifan absorpsi, distribusi, dan eliminasi racun tersebut. Keefektifan absorpsi racun menentukan kecepatan dan kadar atau jumlah racun yang ada dalam sirkulasi darah. Keefektifan distribusi menentukan kecepatan dan kadar jumlah racun yang ada dalam tempat aksi tertentu. Keefektifan eliminasi, menentukan kadar atau jumlah racun dan lama tinggal racun (retention time) di tempat aksinya (Paasivirta 1991). Histopatologi telah menjadi alat standar dalam investigasi toksikologi akuatik. Pengamatan respons perubahan pada seluler, jaringan, dan organ menggunakan teknik histopatologi dengan mendeskripsikan penandanya (biomarker) menjadi metode yang paling sensitif dan secara biologis bernilai untuk mengukur efek stress hewan terhadap lingkungan dan parameter uji toksisitas pada kondisi kronis (Paasivirta 1991). Perubahan histopatologi sebagai indikator penting faktor stress dimana perubahannya dapat terjadi secara biokimia dan fisiologis. Perubahan ini biasa digunakan untuk meramal efek yang mungkin terjadi pada organisme seperti respon pertumbuhan, reproduksi, menghindarkan diri dari predator, dan stabilisasi populasi yang terjadi pada tingkat yang lebih tinggi (Hinton 1993). 27 2.6 Ikan Mas (Cyprinus carpio) Ikan mas dikenal sebagai salah satu ikan konsumsi yang banyak dibudidayakan dan bernilai ekonomis di Indonesia. Masuk ke Indonesia pada sekitar tahun 1920 dari Cina, Taiwan, Jepang, dan Eropa. Setelah beradaptasi dengan kondisi lingkungan di Indonesia, maka kini telah tercipta berbagai galur ikan mas seperti punten, majalaya, si nyonya dan lainnya. Ciri-ciri morfologi ikan mas adalah badan memanjang dan agak pipih, lipatan mulut dengan bibir sangat halus dan dapat disembulkan keluar. Terdapat dua pasang sungut, ukuran dan warna sangat beragam. Selain sisik ikan mas juga memiliki sirip punggung, sirip perut, dan sirip ekor. Habitat yang ideal berada pada ketinggian 150 m sampai dengan 600 m dpl, dengan suhu air antara 250C sampai dengan 300C (Hoole et al. 2001). Klasifikasi ikan mas adalah : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Pisces Kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Subordo : Cyprinoidea Famili : Cyprinidae Subfamili : Cyprininae Genus : Cyprinus Species : Cyprinus carpio Salah satu jenis hewan yang direkomendasikan oleh sebagai hewan uji adalah Cyprinus carpio L., karena ikan tersebut memenuhi persyaratan yaitu penyebarannya cukup luas, mempunyai nilai ekonomi yang menonjol, mudah dipelihara di laboratorium, dan cukup sensitif terhadap polutan. Ikan pada umumnya mempunyai kemampuan menghindarkan diri dari pengaruh pencemaran air. Namun demikian, pada ikan yang hidup dalam habitat yang terbatas (seperti kolam, sungai, danau, dan teluk), ikan sulit melarikan diri dari pengaruh pencemaran tersebut. Akibatnya, unsur-unsur pencemaran logam berat masuk ke dalam tubuh ikan (Masud et al. 2001).