ii. tinjauan pustaka

advertisement
7 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pencemaran Perairan dan Bahan Pencemarnya
Pengertian kualitas lingkungan (perairan) adalah faktor biofisika-kimia yang
mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya. Menurut
Moore (1991) perairan ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan
organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya. Sedangkan menurut Boyd
(1982) kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan
untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya
dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu.
Definisi pencemaran air menurut Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1990
adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lainnya ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan
manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau sudah tidak berfungsi lagi
sesuai peruntukkannya.
Effendi (2003) menjelaskan bahwa sumber pencemar berdasarkan
lokasinya dapat berupa suatu lokasi tertentu (point source) seperti knalpot mobil,
cerobong asap pabrik, dan saluran limbah industri; dan tak tentu/tersebar (non
point /diffuse source) seperti limpasan (run-off) daerah pertanian, daerah
pemukiman dan daerah perkotaan.
Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan
menjadi dua, yaitu polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah
adalah polutan yang memasuki suatu lingkungan (misalnya badan air) secara
alami, seperti akibat letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, abrasi pantai,
erosi dan fenomena alam lainnya. Polutan yang memasuki suatu ekosistem
secara alamiah sukar dikendalikan. Polutan antropogenik adalah polutan yang
masuk ke badan air akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah
tangga), kegiatan urban (perkotaan), kegiatan industri maupun kegiatan
pertambangan
dan
pertanian
termasuk
perikanan.
Intensitas
polutan
antropogenik dapat dikendalikan dengan cara mengontrol aktivitas yang
menyebabkan timbulnya polutan tersebut (Effendi 2003).
Berdasarkan sifat toksiknya, polutan/pencemar dibedakan menjadi dua,
yaitu polutan tak toksik (non-toxic pollutans) dan toksik (toxic pollutans) (Mance
8 1987). Polutan tak toksik biasanya telah berada pada ekosistem secara alami.
Sifat destruktif pencemar ini muncul apabila berada dalam jumlah yang
berlebihan sehingga mengganggu kesetimbangan ekosistem melalui perubahan
proses fisika kimia perairan. Polutan tak toksik ini terdiri dari bahan-bahan
tersuspensi dan nutrien. Nutrien yang berlebih ini menyebabkan pengkayaan
unsur hara yang tinggi sehingga terjadi komunitas biotik yang berlebih
(blooming).
Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (lethal) maupun bukan
kematian (sub-lethal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku,
fisiologi maupun karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik. Polutan
toksik ini biasanya berupa bahan-bahan yang bukan bahan alami, misalnya
pestisida, detergen, dan bahan buatan lainnya. Polutan berupa bahan yang
bukan alami ini dikenal dengan istilah xenobiotik (pollutan artificial), yaitu polutan
yang diproduksi oleh manusia (man-made substances).
Mason (1993) mengelompokkan pencemar toksik menjadi lima, yaitu :1)
logam berat meliputi timbal, nikel, kadmium, zink, tembaga, dan merkuri; 2)
senyawa organik yang berasal dari kegiatan industri, pertanian dan domestik
meliputi pestisida, herbisida, surfaktan, hidrokarbon dan lain-lain; 3) gas,
misalnya klorin dan ammonia; 4) anion, misalnya sianida, fluorida, sulfida, dan
sulfat; 5) asam dan alkali.
Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat dapat dibagi dalam
dua jenis. Jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya
dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam
jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini
adalah Zn, Cu, Se, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua
adalah logam berat tidak esensial atau beracun, di mana keberadaannya dalam
tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun,
seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain. Logam berat ini dapat menimbulkan efek
kesehatan bagi manusia tergantung pada bagian mana logam berat tersebut
terikat dalam tubuh. Daya racun yang dimilikinya akan bekerja sebagai
penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus. Lebih
jauh lagi, logam berat ini akan bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen,
teratogen atau karsinogen bagi manusia. Jalur masuknya adalah melalui kulit,
pernapasan dan pencernaan (Boening 2000; Eisler 2006).
9 2.2.
Merkuri dan Selenium
2.2.1
Sumber dan Transportasi di Lingkungan
Lebih dari dua dekade ini, merkuri (Hg) dan selenium (Se) telah
diidentifikasi sebagai salah satu kontaminan utama dalam sistem perairan.
Merkuri dan selenium terbentuk secara alami dan tersebar di lingkungan baik
secara proses alami maupun aktivitas manusia. Sumber alami dari merkuri dan
selenium berasal dari batuan, gunung berapi maupun hutan. Sumber utama
antropogeniknya yang mencemari perairan adalah : (1) tambang batu bara dan
hasil bakarannya, (2) tambang emas, perak, nikel, dan fosfat, (3) peleburan
logam dan industri, (4) pemukiman, (5) penyulingan, transportasi, dan
penggunaan minyak, (6) irigasi pertanian, (7) dan limbah pertanian dan
peternakan. Sumber tidak langsung merkuri dan selenium ke dalam air adalah
merkuri di udara, yang terdeposit melalui hujan atau proses langsung lainnya ke
tanah dan air permukaan. Merkuri dan selenium juga bisa berasal dari sedimen
jika terganggu (seperti banjir dan penggalian). Pembakaran sampah padat dan
penggunaan bahan bakar fosil merupakan sekitar 87 % dari emisi merkuri di
Amerika Serikat (Paasivirta 1991; Boening 2000; US EPA 2001; Lemly 2002;
Eisler 2006).
Selenium merupakan elemen esensial atau dibutuhkan oleh manusia dan
hewan dalam proses metabolismenya. Namun jika terdapat dalam konsentrasi
lebih dari yang dibutuhkan maka selenium dapat berdampak negatif bahkan bisa
mematikan. Kadar selenium pada kerak bumi sekitar 0,1 mg/kg. Sumber
alaminya di perairan adalah ferroslite (FeSe2) dan chalcopyrite. Kadar selenium
pada perairan tawar alami bervariasi antara <0,1 - 5,0 μg/L (Lemly 2002). Kadar
merkuri pada perairan tawar alami berkisar antara 10-100 µg/L, sedangkan pada
perairan laut berkisar antara <10-30 µg/L (Moore 1991).
Merkuri dan selenium dapat terakumulasi sepanjang rantai makanan. Hal
ini dapat terjadi melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi. Bioakumulasi
adalah peningkatan konsentrasi suatu zat sepanjang masa hidupnya, baik
melalui jalur makanan atau proses metabolisme lainnya. Biomagnifikasi adalah
akumulasi suatu zat sepanjang proses rantai makanan atau tingkat trofiknya
(trophic level). Biomagnifikasi merkuri pada beberapa organisme angggota jala
makanan pada ekosistem perairan dapat dilihat pada Tabel 1.
10 Tabel 1 Biomagnifikasi merkuri pada beberapa organisme anggota jala makanan
di ekosistem perairan
Jenis Organisme
1. Sedimen
Kadar Merkuri (µg/kg berat basah)
87 – 114
2. Fitoplankton
15
3. Tumbuhan tingkat tinggi
9
4. Zooplankton
13
5. Zoobenthos herbivora
77
6. Zoobenthos karnivora
83
7. Jenis ikan herbivora
332 – 500
8. Jenis ikan karnivora
604 – 1.510
9. Bebek/itik
10. Burung pemakan ikan
240
2.512 - 13.685
Sumber : Mason 1993.
Konsentrasi merkuri dan selenium dalam tubuh ikan predator lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan pemakan dasar (US EPA
2001). Berdasarkan
kebiasaan makan fungsional biota air yang diamati di Sungai Cikaniki,
bioakumulasi merkuri pada perifiton adalah yang tertinggi yang diikuti selanjutnya
oleh kelompok scraper, collector filterer, collector gatherer, shredder dan terakhir
predator. Bioakumulasi merkuri pada biota perairan Sungai Cikaniki berkorelasi
dengan konsentrasi merkuri pada media lingkungannya (Yoga et al. 2009).
2.2.2
Sifat Merkuri dan Selenium
Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berada dalam bentuk cairan
pada suhu dan tekanan normal. Merkuri terserap dalam bahan-bahan partikulat
dan mengalami presipitasi. Pada dasar perairan anaerobik, merkuri berikatan
dengan sulfur. Merkuri dalam bentuk garam-garam ini, jika larut dalam air, akan
tersedia secara biologis dan dianggap beracun. Merkuri juga membentuk
senyawa logam organik, yang banyak digunakan dalam industri dan pertanian.
Merkuri elemental menimbulkan uap yang hanya sedikit larut dalam air, tetapi
bermasalah karena mudah bertransportasi di atmosfer (Boening 2000).
Para ahli tentang bahaya merkuri terhadap makhluk hidup sependapat
tentang enam hal. Pertama, merkuri dan senyawanya tidak diketahui fungsi
biologisnya, dan kehadirannya pada makhluk hidup tidak diinginkan dan
11 potensial berbahaya. Kedua, bentuk merkuri dengan daya racun yang relatif
rendah dapat diubah menjadi berdaya racun sangat tinggi melalui proses biologi
dan proses lainnya. Ketiga, metil merkuri dapat mengalami biokonsentrasi dan
biomagnifikasi pada organisme melalui rantai makanan, terkena merkuri secara
langsung bagi manusia dan tingkatan konsumsi trophic level yang lebih tinggi
lainnya. Keempat, merkuri adalah mutagen, teratogen, dan carcinogen, dan
menyebabkan embryocidal, cytochemical, dan efek histopatologi. Kelima,
Kandungan merkuri tinggi biasanya ditemukan pada ikan dan satwa liar dari
lokasi yang memiliki siklus merkuri alami yang kompleks dan berdampak
terhadap manusia. Terakhir, penggunaan merkuri secara antropogenik harus
dibatasi karena perbedaan antara batas toleransi alami merkuri dengan dampak
berbahayanya di lingkungan sangat tipis (Eisler 2006).
Terjadinya proses akumulasi merkuri di dalam tubuh hewan air, karena
kecepatan penyerapan merkuri (uptake rate) oleh organisme air lebih cepat
dibandingkan dengan proses ekresi, yaitu karena metil-merkuri memiliki paruh
waktu sampai beberapa ratus hari di tubuh hewan air, sehingga zat ini menjadi
terakumulasi dan konsentrasinya beribu kali lipat lebih besar dibanding air di
sekitarnya (Eisler 2006).
Senyawa-senyawa alkil merkuri lebih tahan urai daripada senyawa non
alkil atau merkuri anorganik, sehingga senyawa alkil merkuri lebih berbahaya
sebagai bahan pencemar. Metil merkuri, bentuk paling umum dari merkuri,
masuk dengan cepat ke dalam rantai makanan. Dalam sebagian besar ikan
dewasa, 90%-100% merkuri yang ada di dalam tubuhnya adalah metil merkuri
(Paasivirta 1991). Metil merkuri terutama terdapat di jaringan daging ikan karena
terikat dengan protein. Oleh karena merkuri terikat dengan protein di seluruh
jaringan ikan, termasuk otot, maka tidak ada metoda pemasakan atau
pengolahan ikan untuk mengurangi kadar merkuri di dalamnya (Boening 2000).
Karena air yang hilang akibat proses pemasakan, maka kadar merkuri dalam
ikan yang dimasak sebenarnya lebih tinggi daripada ikan segar yang belum
dimasak (US EPA 2001).
Senyawa merkuri bersifat sangat toksik bagi manusia dan hewan. Garamgaram merkuri terserap dalam usus dan terakumulasi dalam ginjal dan hati. Metil
merkuri diangkut oleh sel darah merah dan dapat mengakibatkan kerusakan
pada otak. Ion metil merkuri lima puluh kali lebih toksik daripada garam-garam
merkuri anorganik. Senyawa merkuri mengalami masa tinggal (retention time)
12 yang cukup lama dalam tubuh manusia (Boening 2000; Eisler 2006).
Dibandingkan dengan merkuri anorganik, merkuri organik dapat diserap secara
sempurna, larut dalam bahan pelarut organik dan lemak, dapat melewati
membran biologi, dan lebih lambat diekskresikan (Sorensen 1991).
Selenium yang merupakan elemen mikro esensial bagi nutrisi hewan
diperlukan umumnya dalam kisaran 5 µg/kg (Ohlendorf 1996; Lemly 2002).
Seperti elemen esensial lainnya, tingkatan selenium dalam tubuh biasanya diatur
secara homeostatis. Jika masukan selenium melebihi kemampuan tubuh untuk
mengaturnya, maka kadar selenium akan meningkat tinggi. Interaksi antara
selenium dan elemen nutrisi lainnya dapat mempengaruhi metabolisme selenium
dan kesehatan tubuh hewan, seperti dengan sulfur, vitamin E, protein, dan
hidrokarbon dalam makanan (Dilaga 1992; Ohlendorf 1996).
Salah satu fungsi utama selenium adalah sebagai komponen dari enzim
glutationa peroksidase. Glutationa peroksidase membantu mencegah oksidasi
membran sel (Ohlendorf 1996). Kekurangan selenium mengakibatkan oksidasi
membran sel menghasilkan garis putih dan degenerasi pada otot yang sering
disebut penyakit otot putih (white muscle disease) atau myopathy (Ohlendorf
1996).
Selenium dan sulfur memiliki kesamaan pada kimia dan fisika dasarnya.
Selenium dapat menggantikan komposisi sulfur pada proses sintesa protein dan
struktur sel. Jika jumlah selenium berlimpah di perairan, maka selenium akan
menggantikan sulfur dalam sintesa protein. Hal ini menyebabkan terganggunya
proses sintesa protein sehingga menghasilkan molekul protein dan enzim yang
disfungsional, yang berdampak pada kerusakan biokimia selular normal (Lemly
2002).
2.2.3
Toksisitas Merkuri dan Selenium terhadap Organisme
Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh organisme melalui beberapa
jalan, yaitu: saluran pernafasan, pencernaan, dan penetrasi melalui kulit serta
sel mukus (Boening 2000; Eisler 2006). Di dalam tubuh hewan logam berat
diserap
oleh
darah,
berikatan
dengan
protein
darah
yang
kemudian
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi
biasanya dalam organ detoksifikasi (hati) dan ekskresi (ginjal). Akumulasi logam
berat dalam tubuh organisme tergantung pada konsentrasi logam berat dalam
13 air/lingkungan, suhu, keadaan spesies dan aktivitas fisiologis (Connel dan Miller
1995).
Kasus keracunan merkuri yang cukup terkenal adalah kasus yang terjadi
di Teluk Minamata, Jepang, pada tahun 1950-an. Industri kimia yang beroperasi
di sekitar Teluk Minamata membuang limbah yang mengandung merkuri ke
perairan teluk dan menyebabkan ibu-ibu yang mengkonsumsi makanan laut (sea
food) yang diperoleh dari Teluk Minamata melahirkan anak-anak dengan cacat
bawaan. Korban yang meninggal sebanyak empat puluh tiga orang dari 111
kasus keracunan yang terjadi (Eisler 2006). Ikan-ikan yang mati di sekitar Teluk
Minamata mempunyai kadar metil merkuri sebesar 9 sampai 24 ppm. Di
Indonesia, kontaminasi serius juga pernah diukur di Sungai Surabaya pada
tahun 1996. Kejadian yang hampir serupa juga terjadi di Teluk Buyat Sulawesi
Utara.
Pengaruh dari toksisitas merkuri terhadap tubuh manusia antara lain :
kerusakan syaraf, termasuk menjadi pemarah, paralysis, kebutaan atau
gangguan jiwa, kerusakan kromosom dan cacat bayi dalam kandungan. Gejalagejala ringan akibat keracunan merkuri adalah depresi dan suka marah-marah
yang merupakan sifat dari penyakit kejiwaan, sakit kepala, sukar menelan,
penglihatan menjadi kabur, daya dengan menurun, merasa tebal di bagian kaki
dan tangannya, mulut terasa tersumbat oleh logam, gusi membengkak dan
disertai diare, lemah badan, dan cacat pada janin manusia (US EPA 2001).
Kadar merkuri yang tinggi akibat pencemaran antropogenik juga pernah
terjadi di Amerika Serikat dan Kanada, yaitu pada ikan yang menghuni danau
Saint Clair (Eisler 2006). Lebih dari 10.000 danau di Swedia telah ditutup untuk
penangkapan ikan akibat muatan merkuri yang berlebihan (Mitra 1986). Polusi
merkuri akibat pertambangan emas terjadi di Kanada, Amerika Serikat, Afrika,
Cina, Filipina, Siberia, Brasil dan negara Amerika Selatan lainnya (Sorensen
1991; Boening 2000; Yu 2005; Eisler 2006).
Kadar merkuri yang diperbolehkan di perairan tawar Kanada dan Uni
Eropa berturut-turut adalah 0,1 µg/L dan 0,2 µg/L, sedangkan kadar merkuri yang
diperbolehkan di perairan laut Uni Eropa tidak lebih dari 0,3 µg/L (Moore 1991).
Kadar merkuri pada air minum tidak boleh melebihi 0,002 µg/L (US EPA 2001).
Di Indonesia berdasarkan PP no 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian
Pencemaran Air, kadar maksimum merkuri dalam perairan adalah 0,002 mg/L
14 dan untuk air minum adalah 0,001 mg/L, sedangkan untuk selenium adalah 0,05
mg/L.
Merkuri yang diakumulasi dalam tubuh hewan air akan merusak atau
memicu sistem enzimatik, yang berakibat dapat menimbulkan penurunan
kemampuan adaptasi bagi hewan yang bersangkutan terhadap lingkungan yang
tercemar tersebut. Organ ikan yang paling banyak mengakumulasi merkuri
adalah insang, ginjal, hati, saluran pencernaan dan otot (Eisler 2006).
Gangguan selenium pada biosintesa protein dapat memiliki beberapa
dampak. Paling banyak tercatat adalah teratogenesis reproduksi (Lemly 2002).
Selenium yang dikonsumsi tersimpan pada telur untuk kemudian dimanfaatkan
oleh larva setelah menetas. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya deformitas
(perubahan bentuk) pada organisme seperti ikan (Sorensen 1991; Lemly 2002)
dan burung pemangsa ikan (Ohlendorf 1996), baik pada jaringan keras maupun
lunak. Substitusi selenium terhadap sulfur juga dapat merusak formasi protein
pada juvenil dan ikan dewasa, sehingga menyebabkan berbagai gangguan
patologi pada organ dalam dan jaringan sebagai gejala selenosis kronis ( Lemly
2002).
Pada manusia, kekurangan selenium dapat menyebabkan gangguan
pada kesuburan akibat rendahnya kualitas sperma. Pada orang dewasa,
kekurangan selenium dapat menyebabkan terjadinya cardiomyopathy dan
hypothyroidisme akibat kurangnya produksi iodine. Kekurangan selenium juga
menjadi penyebab utama timbulnya penyakit Keshan (Keshan disease) yang
mengakibatkan gangguan kardiovaskular terutama pada anak-anak dan
perempuan muda. Selain itu juga menyebabkan penyakit Kashin-Beck (KashinBeck disease) yang mengakibatkan gangguan osteoarthropathy, terutama pada
anak-anak, sehingga tumbuh kerdil. Hal yang lebih penting adalah mudahnya
terkena penyakit kanker akibat kurang antioksidan (Barceloux 1999).
Toksisitas akut selenium pada manusia ditandai dengan produksi liur
yang berlebihan (hypersalivation), emesis, dan nafas beraroma bawang putih
akibat ekskresi uap metabolit selenium. Biasanya diikuti dengan gangguan
pencernaan (muntah dan diare), rambut rontok, gangguan syaraf (tidak bisa tidur,
kejang urat /spasms, tachycardia) dan mudah lelah. Keracunan selenium kronis
atau selenosis, diasosiasikan dengan perubahan pada rambut, gigi, dan kuku
yang mudah patah, ketombe yang meningkat, lesi kulit (erythema, vesiculation,
infeksi sekunder, kehilangan warna merah), gangguan syaraf (peripheral
15 hypoaesthesia, acroparasthaesiae, kesakitan /pain, hyperreflexia, mudah marah,
mati rasa/numbness, depresi, tremor, mudah lelah, paralysis, convulsion), dan
nafas beraroma bawang putih (Barceloux 1999).
2.3 Organ Target Toksikan
2.3.1 Insang
Perubahan fisika kimia lingkungan yang mendadak menyebabkan ikan
stress, antara lain seperti perubahan pH, suhu air, penanganan, penangkapan
atau juga oleh polusi air. Stres ini mempengaruhi kinerja insang dan
membahayakan kontrol homeostatis dari cairan tubuh (Lock et al. 1994).
Insang merupakan organ yang multifungsional bagi ikan yaitu respirasi,
regulasi ion, regulasi asam basa, ekskresi limbah nitrogen dengan luas mencapai
lebih dari 50% total permukaan tubuh ikan (Heath 1987; Wood 2001). Insang
menjadi titik lemah bagi tubuh ikan dalam menghadapi ancaman lingkungan luar
karena tidak memiliki mekanisme perlindungan seperti halnya kulit yang memiliki
lendir (mucus). Fungsinya yang menyerap toksikan air menyebabkan insang
mudah terkena dampak toksikan dengan konsekuensinya fungsi-fungsi penting
insang menjadi terganggu dan dapat membahayakan kondisi ikan (Heath 1987;
Wood 2001).
Insang terdiri dari lamela primer dan sekunder dengan jaringan epitel
yang menutupi permukaan lamela. Jaringan epitel ini tersusun dari empat atau
lima jenis sel, yaitu : pavement cells; chloride cells; accessory cells; mucous
cells; dan neuroepithelial cells. Sel klorida yang berfungsi sebagai transportasi
ion dan oksigen menjadi target yang diserang oleh toksikan (Heath 1987; Wood
2001).
Sebagai respons terhadap efek toksikan, Mallatt (1985) mengidentifikasi
lesi pada insang yaitu antara lain : terangkatnya epitel penutup lamela sekunder
(pavement cells); meningkatnya jumlah ruang limfatik; perubahan pola aliran
darah; munculnya granulocyte pada epitel; dan hipertrofi dan hiperplasia epitel
termasuk sel mukus dan sel klorida. Hilangnya integritas struktur insang
berdampak pada turunnya konsentrasi elektrolit darah (sodium, klorida, dan
kalsium).
Toksikan juga dapat mempengaruhi permeabilitas insang sehingga
berdampak pada serapan dan buangan ion dan air. Selain itu, terjadi
peningkatan jumlah sel klorida sebagai respons ikan untuk mempertahankan
16 atau meningkatkan kapasitas insang menyerap ion dari air sebagai dampak
adanya polutan. Efek toksikan terutama logam terhadap permeabilitas insang
dan peningkatan jumlah sel klorida terkait dengan pergeseran ion Ca2+ dari titik
stabilitas membran di insang. Semakin lama terkena polutan maka jumlah ion
Ca2+ akan berkurang. Pada konsentrasi kronis, ikan merespons gangguan
insangnya dengan meningkatkan respons hormonal oleh kelenjar hipofisa
dengan
melepaskan
kortisol.
Kortisol
berfungsi
mengontrol
sistem
kardiovaskular, keseimbangan ion dan air, mobilitas energi, immunosuppressan,
dan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Lock et al. 1994).
Senyawa-senyawa kimia selain masuk melalui saluran pencernaan, juga
bisa masuk melalui saluran pernafasan (insang). Senyawa kimia tersebut akan
masuk melalui insang yang langsung bersentuhan dengan lingkungan air.
Setelah melewati insang, bahan-bahan kimia termasuk merkuri akan ikut ke
dalam sistem pernafasan sampai akhirnya akan menembus sel epitel endotelial
kapiler darah untuk masuk ke dalam darah. Selanjutnya akan terikut ke dalam
aliran darah dan akhirnya ikut dalam proses metabolisme (Connel dan Miller
1995).
Poleksic dan Tutundzic (1994) mengklasifikasi lesi insang ke dalam dua
kriteria (Tabel 2) :
(1) Berdasarkan jenis dan lokasi jaringan insang yang rusak. Terbagi dalam lima
kelompok
:
(a)
Hipertrofi
dan
hiperplasia
dari
epitel
insang
dan
perubahannya yang terkait; (b) Perubahan pada sel mukus dan/atau sel
klorida; (c) Parasit insang; (d) Perubahan aliran darah; (e) Tahap terminal.
(2) Berdasarkan jangkauan perbaikan lesi. Terbagi tiga tahap : (I) Perubahan
yang tidak merusak jaringan insang; (II) Perubahan fungsi jaringan yang
terkait namun masih bisa diperbaiki jika lingkungan semakin baik; (III)
Struktur insang tidak dapat diperbaiki lagi sehingga merusak fungsinya.
17 Tabel 2 Klasifikasi lesi insang dan tahap kerusakannya
Lesi Insang
(a) Hipertrofi dan hiperplasia epitel insang
Tahap
I
-
Hipertrofi epitel saluran pernafasan
I
-
Terangkatnya epitel lamela
I
-
Infiltrasi leukosit epitel insang
I
-
Menipisnya epitel insang
I
-
Pecah dan mengelupasnya epitel lamela
II
-
Hiperplasia fokal sel epitel
I
-
Hiperplasia dari pangkal hingga setengah panjang lamela sekunder
I
-
Hiperplasia sel epitel yang tidak teratur
I
-
Penyatuan ujung lamela sekunder
I
-
Hiperplasia sel eosinofilik
I
-
Penyatuan ujung lamela primer
I
-
Pengentalan yang tidak terkontrol dari jaringan
II
-
Penyatuan beberapa lamela sekunder
I
-
Memendeknya lamela sekunder
I
-
Penyatuan sempurna semua lamela sekunder
II
(b) Perubahan pada sel mukus dan/atau sel klorida
-
Hiperplasia dan hipertrofi sel mukus
I
-
Sel mukus menghilang
I
-
Hipertrofi dan hiperplasia sel klorida
I
-
Sel klorida muncul di lamela sekunder
I
(c) Perubahan pembuluh darah
-
Teleangiektasis lamela sekunder
I
-
Membesarnya filamen pembuluh darah
I
-
Hemoragi dengan pecahnya epitel
II
-
Stasis
II
(d) Parasit insang
I
(e) Tahap terminal
-
Jaringan tergores (scar-tissue) –fibrosis
III
-
Nekrosis
III
Sumber : Poleksic dan Tutundzic (1994)
Toksikan merkuri dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada insang
antara lain : lisis sel, beberapa degenerasi dan nekrosis sel, meningkatnya
vakuolisasi intraseluler, perluasan dan terhambatnya aliran di pembuluh darah
(Osman et al. 2010); memicu batuk, kerusakan fungsi pernafasan (Nawaz et al.
2010); meningkatnya laju konsumsi oksigen, meningkatnya aktivitas LDH dan
level piruvat serta laktat (Radhakrisnaiah et al. 1993); degenerasi vakuolar,
18 edema, atrofi (Paryono 2005); fusi lamela, hiperplasia, edema, atrofi, dan
nekrosis (Nurchayatun 2007); hipertrofi, hiperplasia, hemoragi, teleangiektasis,
deskuamasi, dan edema (Yuniar 2009).
Efek patologi selenium terhadap insang antara lain menyebabkan
terjadinya pelebaran (dilatasi) sinusoid darah dan pembengkakan lamela
(telangiektasia) yang dipenuhi oleh eritrosit (Sorensen 1991). Pendarahan
(hemoragi) jaringan insang sering terjadi karena kondisi ini. Penebalan lamela
insang menyebabkan gangguan aliran darah dan pertukaran gas yang tidak
efektif (mengurangi kapasitas pernafasan), dan respons gangguan metabolisme
(meningkatkan permintaan pernafasan dan konsumsi oksigen) yang dapat
menyebabkan kematian (Lemly 2002).
2.3.2 Hati
Hati memiliki tiga fungsi utama : (1) Penyerapan, metabolisme,
penyimpanan dan redistribusi nutrien dan molekul endogenous lainnya. Fungsi
utamanya adalah untuk mempertahankan homeostasis organisme dengan
sintesis ( hormon) dan sekresi molekul (protein, kolesterol, dan lemak) ke dalam
darah. (2) Metabolisme xenobiotik (biotransformasi dan detoksifikasi). (3)
Formasi
dan
ekskresi
empedu
(eliminasi
degradasi
produk
senyawa
endogenous, degradasi xenobiotik dan metabolitnya serta beberapa logam)
(Heath 1987; Hinton 1993; Hinton et al. 2001).
Volume, ruang dan mikroanatomi hati ikan berbeda dengan hati mamalia
(Hinton 1993; Hinton et al. 2001). Untuk mempelajari toksisitas polutan terhadap
hati ikan perlu diketahui pola morfologi, gangguan fungsional (fisiologi) dan
fungsinya, dan kapasitas hati untuk mengaklimasi tekanan toksikan dengan
proses metabolismenya. Hati mensekresi plasma protein utama seperti
fibrinogen dan albumin yang berfungsi untuk sebagai penjaga osmolalitas darah,
pH darah, sumber asam amino dan transportasi hormon serta bahan kimia
eksogen seperti logam dan bahan organik. Fungsi ini yang menjadi target dari
toksikan.
Efek toksikan terhadap metabolisme hati, yaitu : (1) Toksik terhadap sel
hati seperti menghambat enzim atau mengganggu ekspresi gen sebagai
konsekuensi hambatan dalam sekresi lipid; (2) Tidak merusak sel hati namun
mengganggu dalam jaringan sekelilingnya, contohnya hambatan terhadap
sintesis vitellogenin atau choriogenin oleh antiestrogen, atau meningkatkan
19 katabolisme hormon hati. Kerusakan sel hati oleh toksikan dapat dideteksi oleh
analisis klinis enzim darah (Heath 1987). Toksisitas timbul dari interaksi
xenobiotik atau logam dengan saluran metabolisme hati atau dengan reseptor
spesifik hati (Hinton 1993).
Merkuri dan selenium merupakan logam yang terlibat dalam proses
enzimatik dan terikat dengan protein (ligan binding). Ikatan merkuri dan selenium
dengan protein jaringan membentuk senyawa metalotionina. Metalotionina
merupakan protein aditif yang berperan dalam proses homeostatis organisme
dalam mentolelir logam berat. Senyawa-senyawa kimia yang telah berikatan
dengan protein dan membentuk metalotionina tersebut akan dibawa oleh darah
(Roesijadi dan Robinson 1993).
Merkuri yang tadinya masuk ke dalam hati akan terbagi dua: sebagian
akan terakumulasi pada hati, sedangkan sebagian lainnya akan dikirim ke
empedu. Dalam kantong empedu, akan dirombak menjadi senyawa merkuri
anorganik yang kemudian akan dikirim lewat darah ke ginjal, dimana sebagian
akan terakumulasi pada ginjal dan sebagian lagi dibuang bersama urin (Palar
1994). Hinton (1993) mengelompokkan biomarker histopatologi hati ikan dan alat
untuk mendeteksinya pada Tabel 3.
Hati adalah lokasi utama dari biotransformasi metil merkuri pada hewan.
Hati mengubah senyawa berbahaya menjadi metabolit yang diekskresikan
langsung ke empedu untuk proses detoksifikasi selanjutnya. Senyawa yang
diekskresikan ke dalam empedu dan memasuki usus kecil akan diserap di usus
atau dieliminasi dalam feses. Metil merkuri diserap dalam suatu proses yang
disebut resirkulasi enterohepatik (Boening 2000).
Merkuri dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada hati, antara lain
degenerasi vakuolar, peradangan setempat (fokal hepatitis), kematian jaringan
setempat (fokal nekrosis), pembendungan darah (kongesti) sel-sel hatinya
membesar (megalositosis), inti sel mengecil (kariopiknosis), inti sel hilang
(kariolisis) (Radhakrisnaiah et al. 1993; Paryono 2005; Destiany 2007; Yuniar
2009; Setijaningsih 2009; Masud et al. 2009).
20 Tabel 3 Biomarker histopatologi hati dan alat deteksinya
No
Biomarker
Alat Deteksi
1
Nekrosa sel hati
Mikroskop cahaya/histopatologi
2
Hiperplasia dari regenerasi
Mikroskop cahaya
3
Hiperplasia saluran/kelenjar empedu
Mikroskop cahaya/histopatologi
4
Hepatocytomegaly
Mikroskop cahaya & electron
5
Megalositosis yang bervariasi
Mikroskop cahaya & electron
6
Vakuolisasi hidropis dari sel hati
Histopatologi & mikroskop electron
7
Perubahan warna pada focus seluler tertentu
Mikroskop cahaya
8
Adenoma
Histopatologi
9
Carcinoma
Mikroskop cahaya
10
Cholangioma
Mikroskop cahaya
11
Cholangiocarcinoma
Mikroskop cahaya
12
Campuran hepatocholangiocellular carcinoma
Mikroskop cahaya
Sumber : Hinton (1993)
Pada ikan yang terkontaminasi selenium, infiltrasi limfosit terlihat dengan
vakuolisasi ekstensif dari hepatosit parenkima di sekitar vena pusat. Sel Kuppfer
juga meningkat dan vena pusat meluas akibat berkurangnya sel parenkima di
sekitarnya. Inti sel sering berubah bentuk dan pleomorfik, serta munculnya residu
yang tidak termetabolik (droplet). Secara bersamaan, perubahan ultrastruktural
ini menunjukkan suatu degenerasi struktur jaringan yang cukup mengganggu
fungsi hati secara signifikan. Gejala patologi ini adalah karakteristik dari selenosis
kronis pada ikan dan vertebrata lainnya (Sorensen 1991).
2.3.3 Ginjal
Ginjal adalah organ utama untuk membuang air atau memproduksi urin
serta memproduksi darah terutama pada ikan air tawar agar meminimalkan
kehilangan ion. Pada ikan laut pembuangan urin ini lebih lambat untuk mencegah
kehilangan ion air dalam proses osmoregulasi. Laju penyaringan glomerular
(glomerular filtration rate) pada ikan lebih rendah dibandingkan dengan hewan
endotermal dengan tingkat laju metabolismenya yang tinggi. Produksi urin ikan
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, salah satunya yang terpenting
adalah salinitas (Larsen dan Perkins 2001).
21 Ginjal teleost terdiri dari dua bagian, yaitu kepala anterior dan badan
posterior. Bagian kepala terdiri dari chromaffin, jaringan inter-renal (limfoid), dan
jaringan penghasil darah (hematopoietic). Bagian badan ginjal terdiri tubular
ginjal dan nefron. Nefron ginjal terdiri dari glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul
Bowman, tubular proksimal, tubular distal, dan vesika urinari. Glomerulus ini
dilindungi oleh dua lapisan, yaitu lapisan luar (parietal) yang tersambung dengan
epitel tubular proksimal dan lapisan dalam (visceral) yang segaris dengan tubular
glomerular (Heath 1987; Larsen dan Perkins 2001; Affandi dan Tang 2002).
Peranan ginjal ikan dalam osmoregulasi, sintesis kortisol, dan eliminasi
limbah dapat dipengaruhi oleh toksikan yang dapat merusak sel. Kebanyakan
deskripsi tentang toksisitas ginjal berfokus pada histopatologi dan gangguan
enzim. Kerusakan pada sel ginjal dapat dimulai dari berbagai mekanisme,
termasuk gangguan sinyal sel, regulasi gen, sintesis protein, transportasi
membran, regulasi ion, fungsi enzim, dan integritas cytoskeletal. Sel normal
memiliki kemampuan untuk merawat dan memperbaiki kerusakan. Jika
kerusakan yang terjadi melebihi kemampuan sel tersebut, maka terjadi nekrosis
atau bisa juga apoptosis yaitu kemampuan menghancurkan sendiri. Selain itu
terjadi juga hipertrofi dan regenerasi sel (Heath 1987; Larsen dan Perkins 2001).
Gangguan ginjal cenderung terjadi pada tubular proksimal dengan
nekrosis tabung akibat xenobiotik, selain juga terjadinya gangguan pada
glomerular dan inter renal. Kecenderungan ini terkait dengan kapasitasnya yang
besar sebagai transportasi membran pada sel epitel tabung dan konsentrasi
senyawa toksik pada lumen tabung. Selain itu juga terjadi vakuolisasi hidropis,
munculnya droplet protein, dilatasi ruang Bowman, hypercellularity dan fibrosis
glomerular dan penebalan membran dasar. Peningkatan jumlah melano
macrophages center (MMC) juga dapat digunakan sebagai indikator non spesifik
dari stress (Larsen dan Perkins 2001).
Efek histopatologi merkuri terhadap ginjal ikan antara lain adalah
granulasi epitel tubular dan hiperplasia, atrofi glomerular, melebarnya ruang
Bowman, inti piknotik, dan degenerasi nekrosis dari sel epitel tubular (Larsen dan
Perkins 2001). Ikatan Hg dengan kelompok sulfidril pada protein membran,
menyebabkan gangguan pada permeabilitas sel dan terjadi pembengkakan dan
lisis. Target utama ion merkuri adalah Na+, K+-ATPase (Larsen dan Perkins
2001).
22 Akumulasi selenium tingkat tinggi pada ginjal menunjukkan terjadinya
focal proliferative glomerulonephritis intra kapilar. Pada kondisi ini, jumlah
berlebihan dari sel mesangial terlihat bersamaan dengan matriks abnormal yang
berlimpah dan fibrosis periglomerular yang dapat mengeraskan jaringan.
Selubung tubular muncul dan epitel tubular menjadi tervakuolasi dan mudah
hancur sehingga menyebabkan sistem tubular tidak berfungsi dengan baik
(Sorensen 1991).
2.3.4 Limpa
Limpa berperan penting dalam haematopoiesis (pembentukan darah)
dan penjebakan antigen. Pada ikan berahang, terdapat limpa yang terbagi atas
bagian luar (korteks) yang berwarna merah dan bagian dalam (medulla) yang
berwarna putih. Korteks membentuk eritrosit dan trombosit, sedangkan medulla
membentuk limfosit dan granulosit (Affandi dan Tang 2002). Pada struktur limpa
dan hati terdapat makrofag yang diketahui berfungsi untuk membuang material
tertentu dari ellipsoid ke MMC.
MMC bervariasi dalam jumlah dan ukuran di antara spesies ikan dan
individu dalam suatu spesies. Fungsi MMC adalah sebagai unit penyimpanan
untuk material yang tak diinginkan yang tidak diekskresikan oleh organ lain,
sehingga dapat dijadikan sebagai penanda (biomarker) terhadap kontaminasi
logam berat karena terperangkap di bagian ini (Hylland et al. 2003).
Letak MMC di dalam limpa biasanya terdapat berdekatan dengan saluran
darah dan pada beberapa spesies dikelilingi oleh lapisan sel limfoid. Lapar dan
stres pada ikan yang dibudidayakan dapat meningkatkan jumlah MMC pada
ginjal dan limpa ikan (Kurtovic et al. 2008). Sebaliknya, pengurangan jumlah dan
ukuran MMC pada limpa ini juga dilaporkan terjadi pada ikan yang hidup di
perairan tercemar, terutama polutan yang mempengaruhi immunosuppresan (De
Vico et al. 2008).
Gangguan terhadap limpa antara lain termasuk berkurangnya struktur
dinding
sel
seperti
kerusakan
pseudopodia
dan
organel,
termasuk
pembengkakan mitokondria dan meningkatnya jumlah lisosom sekunder yang
berisikan bahan membran, sebagai bentuk degradasi organel (Hylland et al.
2003).
23 2.3.5 Usus
Usus merupakan bagian terpanjang dari saluran pencernaan. Pada ikan
pembagian segmen usus lebih sederhana dibandingkan dengan hewan tingkat
tinggi lainnya, karena bentuk dan diameter ususnya relatif homogen. Panjang
usus ikan sangat bervariasi dan berhubungan erat dengan kebiasaan makan
ikan. Panjang usus ikan herbivora beberapa kali lipat dari panjang tubuhnya
(Effendie 2003).
Lapisan terdalam dari usus adalah lapisan mukosa yang memiliki
tonjolan-tonjolan (vili). Lapisan mukosa tersusun oleh selapis sel epitelium
dengan bentuk prismaltik. Bentuk sel yang umum ditemukan pada epitel usus
adalah enterosit yang dominan, dan mukosit terdapat diantaranya serta semakin
meningkat jumlahnya pada bagian belakang usus. Enterosit memiliki mikrovili
yang berfungsi untuk menyerap zat makanan sebelum dibawa ke hati (Affandi
dan Tang 2002).
Usus ikan yang berperan untuk menghancurkan makanan dan menyerap
makanan menjadi tempat dengan konsentrasi xenobiotik yang tinggi yang masuk
bersama makanan. Usus memiliki enzim aktivitas tinggi untuk metabolisme
xenobiotik,
terutama
aktivitas
dua
fase,
dan
ini
sangat
penting
bagi
biotransformasi xenobiotik tingkat rendah. Biotransformasi dalam usus ini dapat
meningkatkan toksisitas pada sel usus (Kleinow dan James 2001).
Efek xenobiotik pada usus terkait dengan masa tinggal (retention time)
dari toksikan dalam tempat tertentu (peristaltik kantung makanan, kecepatan
penyerapan, aliran darah), aksesibilitas (terlepas dari matriks makanan),
avaibilitas (kemampuan perlindungan lapisan mukus, permeabilitas), dan
perpanjangan perubahan regenerasi (re-epitelisasi). Perubahan patologi yang
umum terjadi pada usus adalah vakuolasi, nekrosis sampai putus, terlipatnya vili.
Formasi sel sinsitia, sekresi mukus yang berlebihan, dan pembentukan
gelembung pada subselular (Kleinow dan James 2001).
Kerusakan sel epitel kolumnar juga terjadi dari perubahan degeneratif
akibat terpapar toksikan. Perubahan inti juga dapat terjadi, dengan reduksi
volume inti sebagai ciri umumnya. Dalam kondisi yang lebih parah, maka dapat
terbentuk neoplasia pada saluran makanan akibat toksikan seperti papiloma,
fibroma, fibrosarcoma, adenocarcinoma, dan polip (Kleinow dan James 2001).
24 2.3.6 Otot Daging
Material yang masuk ke bagian otot merupakan hasil dari metabolisme
tubuh yang masuk melalui aliran darah, termasuk deposit logam. Kondisi otot
daging ikan adalah yang menjadi perhatian utama bagi para ahli, karena terkait
dengan kesehatan manusia. Daging merupakan bagian ikan yang paling banyak
dimakan oleh manusia, sehingga apabila terdapat kandungan toksikan dalam
otot ikan akan terakumulasi dan termagnifikasi dalam tubuh manusia pula.
Sehingga sangat penting memperhatikan kadar toksikan seperti merkuri dan
selenium dalam otot ikan.
Selain dapat membahayakan, kandungan kontaminan pada otot dapat
menyebabkan terjadinya perubahan patologis. Perubahan patologis yang terjadi
pada otot antara lain perubahan serabut otot, perubahan nukleus sel otot,
pembengkakan (cloudy swelling), degenerasi hialin, degenerasi granular,
degenerasi lemak sampai nekrosa serabut otot. Infiltrasi sel-sel radang
menunjukan adanya reaksi patologis yang terjadi pada otot. Sel-sel radang yang
tampak dapat menunjukkan derajat keparahannya dan membantu menentukan
kausanya.
Jenis-jenis sel radang yang bisa ditemui antara lain limfosit, neutrofil,
histiosit, dan fibroblast dari endomysium. Hemoragi pada jaringan dan kongesti
pembuluh darah dapat diidentifikasi dari adanya eritrosit pada preparat
histopatologinya.
Edema
merupakan
bentuk
patologi
karena
adanya
penumpukan cairan pada rongga-rongga antar serabut otot. Edema akan
menyebabkan lokasi antar serabut menjauh dan meregang (Takashima dan
Hibiya 1995).
Perubahan-perubahan patologi yang terjadi pada otot dapat berupa
nekrosis (miopati), inflamasi, degenerasi hialin dan tumor otot rangka, misalnya
rhabdomyoma (Hoole et al. 2001). Miopati dapat merupakan suatu wujud dari
defisiensi vitamin, namun dapat juga diakibatkan oleh dampak toksisitas logam
seperti merkuri dan selenium (Ohlendorf 1996). Perubahan patologi pada otot
ikan ini selain dapat mempengaruhi kondisi ikan, juga sangat berpengaruh
terhadap nilai ekonomis ikan tersebut.
25 2.4 Faktor Lingkungan
Akumulasi logam berat dalam tubuh organisme dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain konsentrasi logam berat dalam air dan sedimen,
jenis organisme air, umur dan nilai pH air. Semakin rendah nilai pH air maka
logam berat semakin larut dalam air (bentuk ion) sehingga semakin mudah
masuk ke dalam tubuh organisme tersebut baik melalui insang, bahan makanan
ataupun diffusi (Duffus 1980).
Merkuri pada lingkungan perairan dapat dimetilasi baik secara proses
biologi maupun kimiawi, ataupun keduanya, di bawah kondisi alami pH dan suhu.
Bentuk merkuri yang umum terdapat pada jaringan ikan air tawar adalah metil
merkuri karena stabilitasnya yang tinggi dan daya larut lemak sehingga memiliki
kemampuan tinggi untuk menembus membran sel organisme hidup (Eisler
2006). Metilasi merkuri di ekosistem tergantung dari pemasukan merkuri,
aktivitas mikrobiologi, kandungan nutrien, kondisi pH dan redoks, masukan
sedimen terlarut, tingkat sedimentasi, dan variabel lainnya. Bioavailibitas metil
merkuri dalam biota air tergantung pada kimia danau, laju deposisi merkuri,
dissolved organic carbon (DOC), dan variabel lainnya seperti tahapan daur
hidup, umur, jenis kelamin, daya toleransi, suhu air, dan kesadahan (Boening
2000; Eisler 2006). Peningkatan konsentrasi merkuri dalam jaringan ikan
biasanya berhubungan positif dengan pH rendah, rendah kalsium, rendahnya
konsentrasi karbon organik terlarut, meningkatnya suhu, serta rendahnya
kesadahan dan alkalinitas (Eisler 2006).
Banyak ahli berpendapat bahwa selenium (Se) adalah yang mampu
menghambat toksisitas merkuri. Selenium mampu mendetoksifikasi merkuri
anorganik dengan rasio 1:1 (Koeman et al. 1975; Ping et al. 1986; Palmisano et
al. 1995). mercuric selenide (HgSe), produk akhir detoksifikasi merkuri ditemukan
pada hati mamalia laut dan burung (Koeman et al. 1975; Nigro dan Leonzio
1996). Sebuah model detoksifikasi merkuri pada hewan laut tingkat tinggi
melibatkan transformasi metil merkuri yang termakan menjadi merkuri anorganik
melalui spesiasi oksigen reaktif (Hirayama dan Yasutake 2001); mikroflora usus
(Rowland et al. 1984; Rowland 1988); dan selenium (Iwata et al. 1982). Vitamin
D dan E, senyawa thiol, selenium, copper, dan kemungkinan zink bersifat
antagonistik terhadap efek berbahaya merkuri (US EPA 2001).
26 2.5 Histopatologi
Histologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang jaringan.
Patologi adalah kajian tentang penyakit atau kajian tentang adaptasi yang tidak
cukup terhadap perubahan-perubahan lingkungan eksternal dan internal (Spector
dan Spector 1993). Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari
kondisi dan fungsi jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi
sangat penting dalam kaitannya dengan diagnosis penyakit karena salah satu
pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan
terhadap jaringan yang diduga terganggu. Histopatologi dapat dilakukan dengan
mengambil sampel jaringan atau dengan mengamati jaringan setelah kematian
terjadi. Perbandingan kondisi jaringan sehat terhadap jaringan sampel dapat
digunakan untuk mengetahui apakah suatu penyakit yang diduga benar-benar
menyerang atau tidak (Hinton 1993).
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas
sistem biologi. Ketoksikan racun ditentukan oleh keberadaan racun ditempat
aksi, dan keadaan ini bergantung pada keefektifan absorpsi, distribusi, dan
eliminasi racun tersebut. Keefektifan absorpsi racun menentukan kecepatan dan
kadar atau jumlah racun yang ada dalam sirkulasi darah. Keefektifan distribusi
menentukan kecepatan dan kadar jumlah racun yang ada dalam tempat aksi
tertentu. Keefektifan eliminasi, menentukan kadar atau jumlah racun dan lama
tinggal racun (retention time) di tempat aksinya (Paasivirta 1991).
Histopatologi telah menjadi alat standar dalam investigasi toksikologi
akuatik. Pengamatan respons perubahan pada seluler, jaringan, dan organ
menggunakan
teknik
histopatologi
dengan
mendeskripsikan
penandanya
(biomarker) menjadi metode yang paling sensitif dan secara biologis bernilai
untuk mengukur efek stress hewan terhadap lingkungan dan parameter uji
toksisitas pada kondisi kronis (Paasivirta 1991). Perubahan histopatologi sebagai
indikator penting faktor stress dimana perubahannya dapat terjadi secara
biokimia dan fisiologis. Perubahan ini biasa digunakan untuk meramal efek yang
mungkin terjadi pada organisme seperti respon pertumbuhan, reproduksi,
menghindarkan diri dari predator, dan stabilisasi populasi yang terjadi pada
tingkat yang lebih tinggi (Hinton 1993).
27 2.6 Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Ikan mas dikenal sebagai salah satu ikan konsumsi yang banyak
dibudidayakan dan bernilai ekonomis di Indonesia. Masuk ke Indonesia pada
sekitar tahun 1920 dari Cina, Taiwan, Jepang, dan Eropa. Setelah beradaptasi
dengan kondisi lingkungan di Indonesia, maka kini telah tercipta berbagai galur
ikan mas seperti punten, majalaya, si nyonya dan lainnya.
Ciri-ciri morfologi ikan mas adalah badan memanjang dan agak pipih,
lipatan mulut dengan bibir sangat halus dan dapat disembulkan keluar. Terdapat
dua pasang sungut, ukuran dan warna sangat beragam. Selain sisik ikan mas
juga memiliki sirip punggung, sirip perut, dan sirip ekor. Habitat yang ideal berada
pada ketinggian 150 m sampai dengan 600 m dpl, dengan suhu air antara 250C
sampai dengan 300C (Hoole et al. 2001).
Klasifikasi ikan mas adalah :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Pisces
Kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Subordo
: Cyprinoidea
Famili
: Cyprinidae
Subfamili
: Cyprininae
Genus
: Cyprinus
Species
: Cyprinus carpio
Salah satu jenis hewan yang direkomendasikan oleh sebagai hewan uji
adalah Cyprinus carpio L., karena ikan tersebut memenuhi persyaratan yaitu
penyebarannya cukup luas, mempunyai nilai ekonomi yang menonjol, mudah
dipelihara di laboratorium, dan cukup sensitif terhadap polutan. Ikan pada
umumnya
mempunyai
kemampuan
menghindarkan
diri
dari
pengaruh
pencemaran air. Namun demikian, pada ikan yang hidup dalam habitat yang
terbatas (seperti kolam, sungai, danau, dan teluk), ikan sulit melarikan diri dari
pengaruh pencemaran tersebut. Akibatnya, unsur-unsur pencemaran logam
berat masuk ke dalam tubuh ikan (Masud et al. 2001).
Download