BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera Peternakan babi berperan menopang perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara babi. Peternakan babi juga berkembang di provinsi Sumatra Utara, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Populasi babi di Indonesia diperkirakan 6 juta ekor (Http://database.deptan.go.id). Sebagian besar dari populasi tersebut berasal dari peternakan rakyat. Babi dipilih karena kebutuhan konsumsi daging, dan pelengkap sarana kegiatan upacara keagamaan di Bali. Perkembangan populasi ternak babi di Provinsi Bali rata-rata 12,87% per tahun (Kariyasa dan Ilham, 2012). Hog cholera merupakan salah satu penyakit menular yang secara ekonomi paling penting pada babi (Fenner et al., 2003). Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi yang besar karena biaya pemberantasan serta vaksinasi sangat mahal. Penyakit Hog cholera disebabkan oleh virus dari genus Pestivirus, famili Flaviviridae (OIE 2008). Virus Hog cholera (HC) berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 40-50 nm, mempunyai nucleocapside berbentuk heksagonal berukuran sekitar 29 nm, dan mengandung material genetik RNA berbentuk single stranded dan polarity positif. Berdasarkan virulensinya, virus HC dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni virus dengan virulensi tinggi, virulensi sedang dan virulensi rendah. Pengolompokan virus berdasarkan virulensi ini kadang-kadang sangat sulit dilakukan karena virus yang biasanya mempunyai virulensi rendah kadangkadang dapat juga menimbulkan penyakit yang parah (Subronto, 2003). Disamping itu, virulensi HC kemungkinan juga bukan sifat yang permanen karena kenaikan virulensi dapat terjadi setelah pasage virus pada babi (Tarigan et al., 1997). 2.2. Penularan Penyakit Hog cholera Virus Hog cholera dapat bertahan selama beberapa bulan di lingkungan yang lembab. Virus ini sensitif terhadap pengeringan (desiccation) (Gilles, 2007). Penularan penyakit hog cholera (HC) atau classical swine fever disebabkan oleh adanya infeksi virus in – utero atau kongenital pada induk yang bunting dan tertular, menyebabkan embrio atau janin yang di lahirkan mati, lemah, atau cacat. Sedangkan penularan secara alami dari penyakit Hog cholera terjadi melalui kontak langsung antar babi. Virus disebarkan melalui cairan mulut, hidung, mata, kemih, dan tinja. Penularan secara mekanis terjadi karena kontaminasi dari pengunjung kandang, sepatu, truk, atau alat-alat kandang (Subronto, 2003), dan penularan secara umum terjadi karena kontak langsung antara babi yang sakit dengan babi yang sehat (Tarigan et al., 1997). Virus melakukan replikasi di dalam tonsil, dengan jalan memasuki sel epitel dari kripte tonsil, segera meluas ke jaringan limforetikuler di sekitarnya. Dengan perantara cairan limfe, virus menyebar ke kelenjar limfe yang salurannya bermuara di daerah tonsil. Di dalam kelenjar limfe, virus memperbanyak diri dan selanjutnya terbawa ke daerah perifer, kemudian ke jaringan limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe visceral (Subronto, 2003). 2.3 Gejala Klinis Penyakit Hog cholera Masa inkubasi HC biasanya berkisar antara 2-6 hari. Gejala klinis HC dapat dibedakan atas gejala penyakit akut, subakut atau kronis (Tarigan et al.,1997). 1. Gejala Klinis Hog cholera Akut Gejala klinis diawali dengan anoreksia, lesu, malas bergerak dan demam tinggi. Leukopenia dan thrombocytopenia hampir selalu terjadi dan muncul sebelum demam dan berlanjut sampai hewan mati. Konjungtivitis yang ditandai dengan eksudat mukopurulen pada mata sering terjadi. Gangguan saluran pencernaan ditandai dengan konstipasi diikuti dengan diare. Kadang-kadang babi memuntahkan cairan berwarna kuning, masalah lokomotor berupa kelemahan pada tungkai belakang sehingga babi berjalan sempoyongan, bagian belakang tubuh terayun ke kiri dan ke kanan saat berjalan (swaying gait) atau babi berdiri dengan bagian belakang tubuh disandarkan pada dinding atau babi lain merupakan gejala yang khas pada penyakit ini. Kemerahan yang diikuti keunguan pada kulit terutama pada daun telinga, abdomen dan kaki bagian medial juga hampir selalu terjadi (Harkness, 1985; Williams dan Matthews, 1988; Wood et al., 1988). Tingkat kematian pada HC akut sangat tinggi dan biasanya terjadi antara 10 - 20 hari setelah infeksi (Tarigan et al.,1997). 2. Gejala Klinis Hog cholera Sub Akut dan Kronis Gejala HC subakut sama seperti diuraikan diatas tetapi lebih ringan dan penyakit berjalan lebih lambat. Hog Cholera dinyatakan kronis apabila penyakit dapat berjalan lebih dari 30 hari (Mangeling dan Packer, 1969). Penyakit ditandai dengan anoreksia, demam dan diare yang lama tetapi hilang timbul (intermitten). Terjadi penurunan berat badan pada babi sehingga babi akan terlihat sangat kurus dan pertumbuhan sangat lambat. Infeksi HC pada babi bunting dapat berakibat aborsi, mummifikasi, stillbirth, anak yang lemah dan gemetaran, kematian neonatal, atau babi lahir kelihatan sehat tetapi virus dalam tubuhnya berkembang dengan perlahan-lahan dan setelah beberapa minggu atau bulan baru timbul gejala sakit (Tarigan et al.,1997). 2.4. Vaksinasi Sebagai Pencegahan Penyakit Hog cholera Upaya pengendalian ledakan kasus Hog cholera pada peternakan rakyat hingga saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan (Darmawan et al., 2012). Hal ini disebabkan oleh pengelolaan ternak babi tidak berdasarkan pada kaidah atau manajemen pemeliharaan ternak juga adanya anggapan beternak babi merupakan usaha sampingan (Darmawan et al., 2012). Pencegahan penyakit Hog cholera yang efektif adalah dengan vaksinasi. Tujuan dari vaksinasi adalah untuk merangsang respon imun terhadap antigen vaksin (bakteri, virus, dan jamur) sehingga reaksi imun terjadi dan maupun efektivitas dari sistem imun meningkat (Ruma, 2007). respon Di Indonesia dilakukan vaksinasi massal secara rutin dengan menggunakan vaksin yang sudah dilemahkan melalui pasage berulang-ulang pada kelinci (galur C) atau dilemahkan melalui biakan sel secara berulang-ulang (galur Japanese GPE dan French Triverval) (Darmawan et al., 2012). Vaksin-vaksin tersebut, terutama vaksin galur C, memacu kekebalan sejak 1 minggu pasca vaksinasi dan berlangsung selama 2-3 tahun (Subronto, 2003). Vaksinasi terhadap anak babi yang terlahir dari induk dengan status vaksinasi yang tidak jelas dapat dilakukan vaksinasi pada umur 14-21 hari, sedangkan untuk anak babi yang induknya sudah pernah divaksin, dapat dilakukan vaksinasi pada umur 30 hari (Subronto, 2003). Titer antibodi protekif telah terbentuk satu minggu setelah vaksinasi, dan bertahan selama 2-3 tahun (Tarigan et al., 1997; Tizard 2000). Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu teknik deteksi antibodi hog cholera yang saat ini paling banyak dan sering digunakan di seluruh dunia (Artois et al., 1997). Uji ELISA untuk diagnosis Hog cholera telah banyak dikembangkan karena test ini memiliki keunggulan yaitu dapat digunakan untuk memeriksa sampel dalam jumlah yang besar dalam waktu yang singkat (Mathias dan Mundy, 2005). Uji ELISA yang dikembangkan saat ini memiliki spesifitas tinggi dan dapat dipakai untuk membedakan virus hog cholera dengan virus bovine viral diarrhea (Artois et al., 1997; Christie, 2007). 2.5. Faktor Parasit Internal Babi merupakan komoditas unggulan bidang peternakan daerah Bali setelah sapi Bali (Anonimous, 1999). Peternakan babi di Bali dapat berkembang dengan pesat, karena didukung oleh agama dan adat sebagian besar masyarakatnya, khususnya masyarakat Bali pemeluk agama hindu (Adi Suratma, 2009). Meskipun populasi babi di Bali dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan sistem pemeliharaan babi yang sudah mengalami perkembangan yang cukup baik, namun dalam perkembangannnya masih selalu dijumpai kendala yang salah satunya adalah aspek penyakit (Adi Suratma, 2009). Cacing Ascaris suum termasuk golongan nematoda yang dapat menginfeksi semua umur babi, tetapi infeksi pada babi umur muda sangat berbahaya, terutama babi umur di bawah 4 bulan (Soulsby, 1982). Ascaris suum mempunyai habitat pada saluran pencernaan dan menghisap sari-sari makanan (Soulsby, 1982). Tingkat infeksi cacing Ascaris suum pada babi di kabupaten Tabanan dan Gianyar dilaporkan 20,1% dan 22,12%, sedangkan tingkat infeksi cacing Ascaris suum di kota Denpasar belum ada laporan (Adi Suratma, 2009). Golongan cacing nematoda yang lain yang sering menginfeksi babi umur muda adalah cacing Trichuris suis. Cacing Trichuris sering menginfeksi babi yang berumur di bawah 6 bulan. Cacing Trichuris suis mempunyai habitat pada saluran usus dan menghisap darah inang dengan menggunakan kait (Raepstoff dan Nansen, 1998). Infeksi cacing Trichuris suis di Bali dilaporkan beragam, di daerah Gianyar dilaporkan 20,62% (Widana, 1998), di kecamatan Marga, Tabanan sebesar 2,21% (Nilasasih, 2001) dan di kota denpasar sebesar 32,67% (Adi Suratma, 2009). Infeksi cacing nematoda perlu mendapatkan perhatian khusus dalam bidang peternakan, karena telah diketahui bahwa infeksi nematoda pada ternak dapat mengakibatkan penurunan berat badan, penurunan produktivitas (Soulsby, 1982) dan meningkatkan angka kesakitan (morbiditas) terhadap penyakit infeksius lain yang disebabkan oleh bakteri, virus atau jamur sehingga meningkatkan nilai kerugian ekonomi bagi peternak (Beriajaya dan Stvenson, 1986) 2.6 Ivermectin Ivermectin merupakan salah satu obat yang saat ini paling banyak digunakan sebagai obat anti parasit di dunia. Ivermectin termasuk kelas lakton makro siklik dan terdiri dari campuran dua senyawa homolog, yaitu 22, 23-di hydroavermectin B1a (H2B1a, tidak kurang dari 80%) dan 22,23- dihydroavermectin B1b (H2B1b, tidak lebih dari 20%) (Canga et al.,2009). Dosis ivermectin yang digunakan pada berbagai jenis hewan berbeda-beda (Tanu, 1995). Pada sapi dosis ivermectin yang digunakan yaitu 200 μg/kg secara subkutan dan oral, dan 500 μg/kg secara topikal, pada domba yaitu 200 μg/kg secara subkutan dan oral, pada kambing yaitu 200 μg/kg secara subkutan, pada babi yaitu 300 μg/kg secara subkutan, pada kuda yaitu 200 μg/kg secara oral, dan pada anjing 6 μg/kg secara oral (Canga et al.,2009). Ivermectin bekerja dengan cara memperkuat peranan GABA (gamma amino butyric acid) pada proses transmisi di saraf tepi, sehingga cacing mati pada keadaan paralisis (Tanu, 1995). Ivermectin berefek terhadap mikrofilaria di jaringan dan embriogenesis pada cacing betina, dan mikrofilaria yang mengalami paralisis akan dihancurkan oleh sistem retikulo endotelial (Tanu, 1995). Kasus keracunan pada hewan akibat ivermectin jarang terjadi, dan tanda-tanda keracunan yang mungkin muncul apabila terjadi keracunan yaitu berupa demam, depresi, yang diikuti ataksia, rebah recumbency, dan terjadi kematian (Tanu, 1995).